Friday, November 30, 2018

SEPENGGAL KISAH L

Keluarga Prasojo merasa lega ketika bu Prasojo telah sadar. Kepalanya berbalut perban dan wajahnya pucat. Pak Prasojo mendekat dan mengelus kepalanya. Bagaimanapun menjengkelkannya dia tetap isterinya yang harus dilindunginya. Bowo dan Dewi berdiri berdekatan, disisi sebelahnya.

"Bagaimana perasaanmu bu?" tanyanya lembut.

"Sepeda motor itu menyeberang tiba2, aku banting setir kekiri dan kemudian tidak ingat apa2 lagi. "

"Ya bu, semuanya sudah berakhir, cepat sembuh ya."

"Mobilku rusak?"

"Biarkan saja mobil rusak, yang penting ibu selamat. Ibu tadi kehilangan darah, dan butuh transfusi. Untung ada Dewi yang menolong ibu dan bersedia mendonorkan darahnya untuk ibu. Kami berterimakasih pada Dewi, untungnya lagi golongan darah Dewi sama. Kalau tidak .. entah apa yang akan terjadi.. so'alnya ibu kehilangan darah banyak sekali."

"Oh, jadi Dewi yang menyelamatkan aku? Sini nak..." tangan bu Prasojo melambai, dan Dewi mendekat . Senang hatinya karena dianggap berjasa. Entah darimana asalnya Dewi menempelkan plester pada lekukan sikunya, untuk menimbulkan kesan bahwa benar memang dia yang telah mendonorkan darahnya. Bukankah keberuntungan sedang berfihak padanya?

Sebelah tangan bu Prasojo merangkul Dewi. :"Darahmu mengalir pada tubuh ibu ini nak, sudah ibu duga, kamu memang ditakdirkan untuk menjadi keluarga ibu."

Dewi menangis terisak isak. Aduhai,  alangkah mudah Dewi mengalirkan air matanya, sementara sama sekali bukan dia yang berhak mendapatkan pujian ini.

"Bowo, sekarang kamu tau, Dewi telah menyelamatkan ibu, kalau tidak ada dia maka ibu ini sudah meninggal."

"Bowo sudah mengucapkan terimakasih bu." jawab Bowo.

"Ucapan itu tidak cukup nak... kamu harus membalasnya lebih, dengan...."

"Bu, sudah.. sekarang ibu istirahat saja, kami akan menunggu diluar,"

Kata2 bu Prasojo terhenti karena pak Prasojo memotongnya.

Kalau ibunya tidak sedang sakit, pasti Bowo sudah menjawab kata2 ibunya tadi dengan kesal, pak Prasojo sudah disuruhnya pulang karena khawatir bapaknya kacapean. Bowo menyuruh Dewi juga pulang tapi gadis itu menolaknya, Kesempatan bagus untuk berdekatan dengan Bowo ini tidak boleh disia siakannya. Bowo sungguh merasa kesal. Kecelakaan ini  tiba2 bisa dijadikan alasan bagi ibunya untuk menyinggung nyinggung so'al perjodohan itu lagi.Pastinya.. kemudian Bowo duduk disebuah kursi yang terpisah dari Dewi, tapi kemudian Dewi menyusulnya.

"Mas Bowo pasti haus, mau Dewi ambilkan minum?" 

"Tidak, terimakasih,"Bowo menjawab singkat.

"Atau makan barangkali? Ini sudah malam dan mas Bowo pasti lapar.."

"Tidak, aku hanya mengantuk. Biarkan aku memejamkan mata disini dan jangan mengganggu, tolong." pinta Bowo sambil menyandandarkan kepala disandaran bangku itu, lalu memejamkan matanya.

Huh, masih sombong juga dia, pikir Dewi.  tapi bukan Dewi namanya kalau tidak nekat. Ia justru duduk disebelah Bowo dan ikut2an menyandarkan kepala serta memejamkan mata. Ada harapan2 yang diimpikannya mendengar kata2 bu Prasojo tadi. Mungkin mas Bowo itu memang jodohku, demikian Dewi berpikir lagi. Dewi tersenyum, membayangkan mimpinya akan menjadi nyata.

 

"Aduuh, cantiknyaaa..." Asri menoleh ketika sedang menyiangi rumput2 diantara tanamannya. Seorang laki2 muda berjalan mendekat. Asri belum pernah melihatnya, tapi Asri kurang suka melihat cara laki2 itu memandanginya,

"Cantik sekali ya.." kata laki2 itu lagi.Asri  belum pernah mengenalnya tapi dia  menggoda dengan kata2 yang tak pantas. Asri merasa risi. Kebetulan bapaknya ada dibelakang, sehingga Asri sendirian menghadapi lelaki itu.

"Nama saya Ongky..." lanjur laki2 itu.

Aduuh.. kalau mau beli bunga kenapa harus memperkenalkan diri? Asri menghadapinya dengan wajah yang dipaksakan seramah mungkin. Bukankah pembeli adalah raja?

"Mas mau beli yang mana?"

"Ow..saya suka semuanya. Saya punya rumah baru diseberang, dan saya ingin ada banyak bunga dihalaman saya."

"Oh... baiklah ..Silahkan memilih..."

"Saya minta tolong mbak agar memilih untuk saya... yang mana saja..

"Nggak enak mas kalau saya yang memilih, nanti mas nggak suka.."

"Nggak, saya suka, pasti suka..  seorang gadis cantik pasti pintar memilih bunga yang cantik."

Daripada kelamaan menghadapi laki2 yang sedikit genit  ini Asri langsung memenuhi permintaannya. Diambilnya beberapa mawar, sedap malam, aster..dan tanaman2 lain yang menurutnya bagus lalu diletakkannya dihadapan laki2 yang mengaku bernama Ongky.

"Masih kurang kah?"

"Woouw... bagus semua .. aku suka...Begini, saya punya uang 500 ribu, kasih aja bunga2 yang mbak suka, yang seharga uang saya ini."

"Asri sebenarnya senang. Jarang ada yang memborong bunganya tanpa memilih dan langsung sebanyak 500 ribu..tapi ia kurang senang pada pembeli itu. 

"Ini mbak, terima dulu uangnya."

Laki2 itu membuka dompet dan mengulurkan uangnya pada Asri. Tapi Asri hampir menjerit, ketika memberikan uang itu Ongky juga sambil mengelus tangan Asri. Asri melepaskannya dengan halus dan berteriak. :" Bapaaak...tolong Asri pak.."

#ada lanjutannya#

SEPENGGAL KISAH XLIX

Hari sudah malam ketika Pak Prasojo dan Bowo duduk2 diteras. Mereka sedang menunggu bu Prasojo yang tak kunjung pulang sementara hari telah malam.

"Sebenarnya ibu pergi kemana ?" Ini sudah malam..

"Entahlah, sore ketika bapak pulang, ibumu sudah pergi. Kata simbok dia pergi arisan. Tapi nggak biasanya sampai malam begini"

"Mampir2 barangkali,"  Bowo melongok kedepan karena ada mobil yang seperti mau masuk kedalam. Tapi ternyata mobil orang yang mau putar haluan.

"Bapak menelponnya tapi hape tidak aktif. . tak biasanya begitu, mungkin batere mati."

"Mungkin kerumah sahabatnya itu, bu Harlan."

"Barangkali ya, membicarakan so'al pernikahan Dewi sama kamu, pak Prasojo mencoba bercanda.

Bowo tertawa :" Bapak bisa saja..,"

Tiba2 telephone dirumah berdering. Bowo berlari kedalam untuk menerimanya. Pak Prasojo masih duduk diteras sambil berkali kali melongok keluar. Tapi yang ditunggu belum nampak juga.

"Pak.. pak.." tiba2 Bowo mendekat dan tampak panik.

"Ada apa? Telepone dari siapa?"

"Dari rumah sakit,  ibu mengalami kecelakaan."

Pak Prasojo terkejut bukan alang kepalang. Bagaimana keadaannya? Rumah sakit mana?"

"Kita kesana secepatnya. Mereka menghubungi karena diberi tahu nomor telepone kita oleh seseorang."

Keduanya bersiap dan bergegas pergi kerumah sakit.

Dirumah sakit itu seorang suster mendekati gadis yang tadi mengantarkan bu Prasojo kerumah sakit. :"mBak, keluarganya belum datang juga, padahal pasien segera membutuhkan tambahan darah."

"Oh, apakah darah saya bisa diambil?" gadis itu Asri. Ketika habis mengantarkan bunga pesanan pak Jodi, Asri bergegas pulang karena hari sudah mulai gelap, pak Marsam pasti lama menunggu. Tapi ditengah jalan itu ia melihat kecelakaan. Asri ingin tetap berlalu diantara jalan macet oleh kerumunan orang, tapi ia mengenali mobil yang penyok bagian depannya, dan itu mobil yang biasa dikendarai bu Prasojo. Rupanya mobil itu menabrak sebuah pohon besar. Kerumunan orang itu sedang berusaha mengeluarkan korban dari dalam mobil. Asri sangat terkejut karena korban itu adalah bu Prasojo. Ia turun dari kendaraan dan mendekati korban itu.

"Oh, dia.. dia.. saudara..eh.. aku kenal dia.. cepat panggil ambulan." Asri panik. Bu Prasojo tak sadar dan darah terus mengalir dari kepalanya. Rupanya polisi telah memanggil ambulan yang kemudian segera tiba. Asri merasa iba melihat wajah pucat berlumuran darah itu. Walau bu Prasojo membencinya, tapi Asri tak sampai hati ikutan membecinya.Ia bukan pendendam. Sungguh ia merasa iba. Ia bertekat ingin menolongnya.

"Anda mengenalnya?" tanya polisi itu pada Asri.

"Ya, saya mengenalnya,"

"Mari ikut kerumah sakit."

Asri menitipkan sepeda motornya kesebuah warung dan ikut kerumah sakit bersama bu Prasojo yang tampak diam tak bergerak.

"Apa golongan darah embak?" pertanyaan perawat itu mengejutkannya.

"Saya...O.."

"Baguslah. mari ikut saya." Asri mengikuti perawat itu untuk diperiksa kemudian  diambil darahnya. Tapi hatinya berdebar debar bagaimana kalau nanti sampai ia bertemu pak Prasojo, dan terutama Bowo.

Asri selesai mendonorkan darahnya, lalu bergegas pulang. Untunglah pak Prasojo dan Bowo belum datang.Mengapa lama sekali? Aku harus cepat2 pergi dari sini. 

Diluar gerbang rumah sakit Asri  melihat mobil pak Prasojo, namun Asri segera bersembungi dibalik tiang gerbang itu. Ia berdebar debar. Sekilas dilihatnya Bowo didalam mobil itu, menyetir mobilnya. Asri menghela nafas, dan mengatur degub jantungnya. Kemudian memanggil becak agar mengantarkan ketempat dimana ia meninggalkan kendaraannya.

 

Asri merasa cemas, melihat pak Marsam berdiri didepan rumah sambil melongok kesana kemari, pasti bapak cemas karena aku tak segera datang.

"Bapak," teriak Asri walau belum dekat benar dengan bapaknya. Agar bapaknya segera tau bahwa ia telah datang.

"Oalah nduk.. akhirnya kamu pulang," gemetar suara pak Marsam. Tadi ia cemas sekali.

"Ayo masuk pak, nanti Asri ceriterakan  mengapa Asri pergi lama sekali. 

Asri memasukkan motornya, kemudian duduk dihadapan pak Marsam yang bersandar dikursi.

"Bapak tidak apa2?" Asri khawatir karena wajah bapaknya pucat. "Ma'afkan Asri ya pak, habis Asri tidak bisa menghubungi bapak untuk mengabari."

"Tidak apa2 nduk, bapak lega karena akhirnya kamu pulang." pak Marsam minum seteguk air yang diberikan Asri.

"Asri tadi dari rumah sakit."

"Haa.. kenapa kerumah sakit?"

Asri menceriterakan semuanya, juga ketika ia harus mendonorkan darahnya karena harus segera ada tambahan darah untuk bu Prasojo. Dan rumah sakit tidak bisa menghubungi pak Prasojo karena bu Prasojo tidak membawa satupun identitas. Ponsel pun tidak ada. Makanya dia kemudian memberikan nomor telepon rumahnya.

"Syukurlah nduk, mudah2an apa yang kamu lakukan bisa menolongnya. "

"Aamin.."

"Jadi kamu tidak bertemu pak Prasojo atau mas Bowo?"

"Tidak pak, ketika mereka datang, Asri pulang, hanya bertemu digerbang rumah sakit, tapi mereka tidak melihat Asri."

Pak Prasojo merasa lega karena suster mengatakan bahwa sudah ada yang mendonorkan darahnya. Ketika itu bu Prasojo belum sadar, tapi dokter mengatakan bahwa bu Prasojo sudah tertolong karena seorang gadis yang menolongnya.

"Siapa pendonornya pak, kita harus mengucapkan terimakasih."

"Kata suster dia langsung pergi, dan belum sempat menuliskan nama serta alamatnya. Pihak rumah sakit juga tidak mengatakan dia bersama siapa, tapi polisi mengatakan bahwa ibumu sendirian, lalu siapa ya le, gadis itu? "

"Sayang sekali ya,kemana kita harus mencari dia..."

Ketika itu tiba2 Bowo melihat Dewi. Bowo merasa bahwa Dewi lah yang telah mendonorkan darah untuk ibunya.

"Bagaimana keadaan ibu?" 

"Baik, terimakasih atas pertolonganmu ya... kata Bowo.

Dewi heran, mengapa Bowo berterimakasih padanya. Tapi dasar Dewi.. ia pura2 sedih dan menitikkan air mata. Sore tadi sepulang dari arisan ia mengantarkan bo Prasojo untuk membeli makanan disebuah restoran. Bu Prasojo hanya bersama Dewi karena bu Harlan sedang tidak enak badan.Tapi karena dompet bu Prasojo ketinggalan ditempat arisan, Dewi menawarkan diri untuk mengambil dompet itu, nanti akan disusulkan di restoran tersebut. Dewi hanya berjalan kaki mengambilnya karena tempatnya tidak jauh. Rupanya ketika hampir sampai di restoran tersebut .. mobil bu Prasojo menabrak pohon karena menghindari sepeda motor. Ketika Dewi datang ia melihat mobil bu Prasojo yang ringsek dan orang2 disekitarnyalah yang mengatakan kejadiannya. 

"Kata suster kalau tidak ada kamu, nyawa ibuku tidak akan tertolong." Dewi mengangguk angguk dan mengulurkan dompet bu Prasojo yang tadi diambilnya.

"Oh, untunglah kau membawa dompet ini.. sehingga tidak hilang."

Lagi2 Dewi mengangguk angguk sambil memperlihatkan wajah sedih , ia mengambil tissue dan mengusap air mata buayanya. Padahal ia sedang berfikir, apa yang terjadi sehingga Bowo berterimakasih padanya.

#adalanjutannya#


Thursday, November 29, 2018

SEPENGGAL KISAH XLVIII

Bowo heran, laki2 yang keluar itu juga menampakkan wajah heran.

"Ma'af, mau ketemu siapa ya?" tanya laki2 yang masih tergolong muda itu.

"Saya mau ketemu Asri, eh pak Marsam.."

"O, pak Marsam sudah pindah, saya menyewa rumah ini sejak tiga hari yang lalu. Tapi baru kemarin pindah kemari.

Bowo terkejut. Pak Marsam sudah pindah? Mengapa sampai dia tidak mengerti? 

"Pindah kemana ya?"

"Wah, saya tidak tau mas.. mereka tidak mengatakan mau pindah kemana. Ketika saya bertanya juga mereka tidak mengaku. Tampaknya memang kepergiannya tidak mau diketahui orang lain."

Lemas seluruh tubuh Bowo.. bagai orang kehilangan akal ketika dia berdiri tegak dihadapan laki2 muda itu. 

"Saya baru saja menikah, dan kebetulan ada yang mau menyewakan rumah ini."

Bowo masih tegak terdiam. Tapi laki2 itu berpikir lain.

"Apa mereka punya hutang sama mas?"

Bowo terkejut, pertanyaan itu menyadarkannya. :" Ok tidak,  tidak, mereka itu keluarga saya. Saya hanya terkejut kenapa mereka tidak memberitahu saya kalau mau pindah. Baiklah saya permisi dulu. Ma'af sudah mengganggu." Dan Bowo pun berlalu dengan beribu pertanyaan mengganggu benaknya.

"Mereka itu menghindari kita. Tak mau diganggu oleh kita." kata pak Prasojo ketika Bowo melaporkan kejadian itu. " Sudah kamu coba menelpon dia? "

"Tidak aktif semua." Bowo menyandarkan kepalanya disandaran kursi yang didudukinya.

"Ya sudah, orang sudah pergi ya biarin saja." tiba2 bu Prasojo menyela sambil ikut duduk bersama suami dan anaknya.

"Ibu itu ngomong apa, sudah.. nggak usah ikutan ngomong kalau memang mau bikin rame." tegur pak Prasojo yang kesal mendengar perkataan isterinya.

"Kita sudah banyak memberi untuk mereka, lha kalau mereka ingin pergi ya mengapa kita susah2 memikirkannya. Wong diberi ya nggak mau, masa harus dipaksa." bu Prasojo masih mengomeli suami dan anak nya yang kelihatan merasa kehilangan dengan kepergian pak Marsam dan anaknya.

Bowo berdiri dan langsung masuk kekamar, diikuti pak Prasojo yang juga langsung meninggalkan isterinya yang masih saja mengomel.

"Heran aku, seperti kehilangan emas satu kwintal saja."

Kemana perginya Asri dan pak Marsam?

Ada sebuah rumah dipinggiran kota, yang mungil, rapi dan bersih, dengan halaman yang tak begitu luas, tapi dipenuhi dengan pot2 tanaman bunga. Sa'at itu banyak mawar berkembang, beraneka warna.. ada kuning, merah, salem, ada yang berbintik2.. semuanya indah dan sedap dipandang mata. Disebuah kelompok yang lain, ada bunga2 aster dengan warna2 yang tak kalah indahnya.Ada juga bunga sedap malam yang sedang berkembang dan menebarkan aroma yang sangat wangi Itu sebuah kebun bunga yang cantik sekali. Seorang gadis muda, sore itu tampak menyirami bunga2 itu, sambil mencabut rumput2 yang tak berguna dan mengganggu tanaman bunganya.

"Lihat nduk, yang sebelah sini sudah mulai berkuncup pula." seorang laki2 tua mendekat sambil menunjuk kearah pohon bunga yang tumbuh disudut halaman.

"Benar pak.."

Seorang perempuan muda masuk kehalaman itu." mbak Asri, mana bunga pesanan saya?" tanya perempuan itu.

"Ini bu, sudah saya siapkan, saya taruh dikeranjang." 

Gadis itu memang Asri dan pak Marsam bapaknya. Rupanya mereka berpindah kepinggiran kota, dan menjadi penjual bunga. Asri senang melakukannya,dan merasa nyaman setiap hari bergumul dengan bunga2 cantik yang disukainya, sekaligus mendapatkan uang sebagai penghasilannya. Terkadang ada rasa rindu dihatinya, mengenang kasih sayang Bowo yang diberikan padanya. Lalu dipeluknya setangkai mawar kedadanya. Ah.. mengapa aku ini, bisiknya. Asri kemudian heran pada dirinya ketika terkadang ada rasa rindu yang menyesak dadanya. Lalu ia ketakutan sendiri pada perasaannya. Ada apa aku ini? Apa aku juga mencintainya? Tidaaak.. jangaan..

'Ini uangnya mbak," Asri terkejut dan terbebas dari lamunannya. Ia lupa kalau ada tamu yang mengambil pesanan bunganya.

"Oh..eh.. iya bu, terimakasih banyak bu."

"Wah, bagusnya.. terimakasih mbak Asri, besok kalau ada yang baru saya mau lagi lho." ujar perempuan itu sambil mengambil keranjang yang sudah disiapkan Asri.

Perempuan itu berlalu, dan Asri kembali sibuk dengan tanamannya.

Berbulan mereka tinggal dan sudah banyak langganan yang menyambanginya setiap hari. Terkadang Asri harus pergi untuk membeli lagi bunga2 baru yang menarik dan yang pasti disukai para pelanggannya. 

"Besok ada bunga2 baru yang harus saya ambil, dan itu bunga2 yang lain pak."

"Oh ya, kemarin ada yang pesan dan minta diantar kerumah, bapak lupa menyampaikan.." pak Marsam masuk kerumah dan keluar lagi dengan membawa selembar kertas kecil.

" Agak jauh rumahnya ini pak, mengapa tidak bapak suruh mengambil saja kesini?Ini kan pak Jodi yang dulu pernah kesini bersama isterinya"

"Katanya ia ingin memberi kejutan pada isterinya, dan ingin kamu yang mengantarnya. Ada catatan bunga yang dipesannya."

"Ini bunga sedap malam dan aster, ada sih.. tapi kalau harus mengantar tidak bisa sekarang, kan ini sudah sore."

"Nanti dia kecewa  karena hadiah itu kan harus diterima hari ini. Biar bapak saja yang mengantar." 

"Ya sudahlah pak, biar saya saja."

Asri bergegas menyiapkan tanaman bunga yang dipesannya, dan segera berangkat untuk mengantar pesanan.

"Bapak jangan kemana mana ya?"

Asri menstarter sepeda motornya setelah berpesan pada ayahnya.

Pak Marsam mengemasi alat2 yang tadi digunakan anaknya kemudian diletakkannya ditempat yang biasa Asri meletakkannya.Pak Marsam bernar2 bersykur karena bisa menyewa tempat yang nyaman, dan terbebas dari tekanan2 orang lain, baik yang sangat membenci keluarganya dan yang sangat memperhatikannya. Biarlah aku dan Asri hidup lebih tenang disini, dan aku merasa sangat sehat sekarang. Batin pak Marsam. Ia duduk dikursi depan dan menghirup sisa teh yang tadi dihidangkan anaknya.

Hari mulai gelap, namun Asri belum juga pulang kerumah. Pak Marsam sangat khawatir. Ia keluar masuk rumah dengan perasaan gelisah.

#adalanjutannya lho#

SEPENGGAL KISAH XLVII

Bu Prasojo marah sekali. Apalagi ketika melihat Bowo kemudian meninggalkan rumah tanpa berpamit padanya. Ia mendekati suaminya dan menangis karena amarah yang tidak tertahan.

"Ada apa lagi to ini?" Pak Prasojo yang sedang menyaksikan siaran berita di televisi menegurnya.

"Sekarang ibu tau, gara2 perempuan itu, anak dan suamiku membenci aku." 

"Apa maksud ibu? Siapa perempuan itu dan siapa yang membenci ibu?"

"Siapa lagi kalau bukan Asri.. anak sopir bapak itu." Bu Prasojo menuding nudingkan jarinya, kemudian duduk didekat suaminya sambil mengusap air matanya.

"Memangnya apa salah Asri?"

"Ya gara2 dia kan, Bowo berani menentang ibu, bapak juga tidak perduli lagi sama ibu."

"Coba ibu katakan, kesalahan Asri yang mana yang bisa membuat semua itu."

"Karena Bowo suka sama Asri dan bapak menyetujuinya bukan?"

"Ibu itu marah2 tapi tidak jelas jluntrungnya. Kalau seseorang disukai, mengapa jadi seseorang itu yang ibu salahkan? "

"Itu karena pintar2nya dia merayu anak kita bukan?"

"Bapak kira tidak, Asri belum tentu menerima cintanya Bowo kok."

"Halaah, itu kan hanya kepura puraannya dia saja. Sebetulnya dia ingin menjadi menantu kita. Bapak menyetujuinya bukan?"

"Bapak rasa kemarahan ibu ini kemarahan yang ngawur, meng ada2 dan hanya untuk melampiaskan rasa tidak suka ibu pada seseorang, dan kalau boleh bapak katakan, sumber dari rasa tidak suka ibu itu adalah karena ibu ingin agar Dewi bisa bekerja ditempat kita, satu, dan duanya.. ibu ingin mengambil Dewi sebagai menantu ibu. Yang pertama tidak kesampaian karena sudah ada Asri, terus yang kedua juga tidak kesampaian karena Bowo lebih suka Asri. Jadi Asri itu adalah sumber dari kebencian ibu. Tapi sumber sesungguhnya ada pada Dewi. Ya kan?"

Bu Prasojo terdiam, mungkin benar kata suaminya, tapi mana mungkin dia mengakuinya?

"Nah, mbok ya sudah bu, masalah jodoh itu bukan kita yang harus menentukannya, karena jodoh itu ada ditangan Tuhan.Bowo itu bukan anak kecil lagi, dia pasti bisa memilih mana yang terbaik untuk dirinya. Tidak usah ibumemikirkan sampai ibu marah2 begitu, sampai menuduh semua orang benci sama ibu. Itu kan ngawur namanya."

"Jadi bapak setuju kalau Asri itu menjadi menantu kita?" 

"Bapak tidak bilang setuju, dan Bowo juga belum bilang so'al menikah kok. "

"Lama2 dia akan mengatakan itu."

"Asri belum tentu mau. Dan sudahlah bu, jangan mengotori hati ibu dengan perasaan2 seperti itu. Lagian ibu yang sering menyakiti mereka bukan?Itu bapak tidak suka.Bapak tegaskan sekalian sekarang, hentikan membenci mereka dan hentikan kelakuan ibu yang selalu menyakiti mereka. Ibu sadar tidak, karena ulah ibu dirumah sakit itu nyawa pak Marsam hampir tidak tertolong?"

Bu Prasojo terdiam, tapi tampak bila anjuran suaminya tidak akan digubrisnya, karena rasa tidak suka masih melekat pada raut mukanya.

"Itu apa Asri?" tanya pak Marsam ketika melihat Asri membawa sesuatu.

"Ini untuk bapak, seorang pegawai kantor pak Prasojo kemari dan memberikan ini untuk bapak."

Dan itu adalah sebuah amplop, berisi uang pula. Pak Marsam meletakkan begitu saja amplop dan isinya diatas meja. 

"Aku kan tidak lagi bekerja, mengapa pak Prasojo masih memberiku uang?" kata pak Marsam lirih. 

"Bapak ingin mengembalikannya?"

"Ya, biar bapak kesana saja."

"Jangan pak, nanti kalau bapak bertemu bu Prasojo, bapak akan disakiti lagi. Asri tidak ingin hal itu terjadi. Biar Asri saja yang melakukannya."

"Baiklah, tapi pergilah kekantornya saja, kalau dirumah nanti ketemu dia," pak Marsam juga tau kalau bu Prasojo suka menyakiti hati Asri, juga dirinya.

 "Asri akan kesana sekarang, bapak jangan pergi kemana mana ya,"

Pak Marsam mengangguk. Dirapikannya bungkusan uang itu kembali.

 

"Asri, mengapa kamu melakukan ini? " Pak Prasojo menatap Asri tajam, gadis itu menunduk. Ia yakin pak Prasojo akan menegurnya seperti kata2 yang didengarnya itu.

"Bapak saya sudah tidak bekerja, mengapa masih juga bapak kasih uang ini? Jangan pak.. sudah banyak dan tak terhitung pemberian bapak untuk keluarga saya, kami tidak bisa menerimanya lagi. Terlalu berat beban kami untuk semua kebaikan bapak, dengan apa kami membalasnya pak?" berilang air mata Asri.

"Kamu itu bagaimana, biarpun bapak mau sudah tidak bekerja, tapi bapak kamu berhak menerima ini. Anggaplah ini uang pensiun untuk pak Marsam, dan akan aku berikan ini setiap bulan.

Asri terkejut. Pak Prasojo akan memberikannya setiap bulan? Itu akan meringankan beban hidupnya dan bapaknya.. tapi Asri menolaknya.

"Jangan pak, sungguh kami tidak bisa menerima ini."

"Asri, aku tidak menghutangkan apapun untuk keluarga kamu, ini iklas aku berikan karena jasa bapak kamu kepada keluargaku yang sudah bertahun tahun. Tolong jangan mengecewakan aku, terimalah Asri, aku akan kecewa kalau kamu menolaknya.Ayo diterima.. tolong Asri.." Pak Prasojo menyodorkan kembali amplop itu, dan Asri tak kuasa menolaknya.

"Aku akan memberikannya setiap bulan sebagai uang pensiun ayahmu."

Hampir setiap hari Bowo datang kerumah Asri sepulang dari kantor. Sepi rasanya tak melihat wajahnya sehari saja. Ingin Asri menolaknya. Tapi tak sampai hati. Asri tau bahwa Bowo mencintainya. Laki2 baik, ganteng, pengusaha kaya, siapa yang mampu menolaknya? Tapi Asri menutup hatinya untuk jatuh cinta. Kadang2 ada rasa tergoda, kadang2 dia juga rindu apa bila sehari saja Bowo tak datang menemuinya, tapi rasa itu ditepisnya jauh2. Tak mungkin aku duduk berdampingan dengan dia. Tak mungkin, aku dan dia bagaikan bumi dan langit.Kalau aku mengimbanginya pasti hanya derita yang akan aku rasakan. Batin Asri setiaap kali ingatannya melayang pada Bowo. Tapi Asri kadang2 terkejut, ada apa aku ini? Mengapa ada rindu? Ya Tuhan, tidak.. Asri segera menyibukkan dirnya didapur.

Sore itu Bowo datang kerumah Asri. Bowo membawa sebuah laptop yang akan diberikannya pada Asri. Ia tau Asri tak akan mau menerima pemberiannya tanpa melakukan apa2, sementara Asri pasti butuh uang untuk membiayai hidupnya. Bowo akan pura2 minta pertolongan Asri agar membantunya mengerjakan sesuatu, dirumah saja, dan itu ada upahnya. Pasti Asri mau.  Uang yang akan diberikan tidak diberikannya dengan cuma2. Bowo tersenyum, ia ingat ayahnya pernah mengatakan bahwa Asri dan pak Marsam menolak menerima uang pemberian ayahnya dengan alasan sudah tidak bekerja. Dan uang itu diterimanya dengaan terpaksa setelah ayahnya memohon mohon.

Diketuknya pintu rumah Asri. Hatinya berdebar, begitu rasanya setiap kali ia hendak bertemu kekasihnya. Pintu rumah itu terbuka, seorang laki2 keluar, tapi laki2 itu bukan pak Marsam.

#adalanjutannyalho#

Tuesday, November 27, 2018

SEPENGGAL KISAH XLVI

Asri berteriak terisk memanggil bapaknya ketika perawat mendorong pak Marsam keruang perawatan kembali.Rupanya ejekan bu Prasojo tadi terdengar oleh pak Marsam sehingga menyebabkan tekanan darahnya kembali tidak stabil. Bowo sibuk menenangkan Asri dan membawanya duduk didepan pintu. Asri memberontak ingin masuk kedalam tapi perawat melarangnya.

"Asri, kalau kamu masuk kedalam, justru akan mengganggo dokter yang menolongnya. Tenanglah Asri, percayakan kesehatan bapak pada dokter ya.."

Asri masih menangis, ia ingin me maki2 bu Prasojo yang membuat ayahnya kaget dan mendadak sesak nafas. Tapi yang akan dimaki maki sudah pergi dari sana. "Mana dia.. mana...manaaa! Dia yang menyebabkan semua inii! Diaa!!"Asri berteriak teriak. Ia lupa segala galanya, lupa pada rasa santun yang selama ini dimilikinya karena ketakutan akan kehilangan ayahnya. Sungguh ia sangat marah pada bu Prasojo.

"Asri, tenanglah Asri, ma'afkan ibuku ya.. dia memang keterlaluan. Aku sedih melihat kelakuan nya. Asri.. tenangkan hatimu. Ayo kita berdo'a saja demi kesembuhan bapak ya.."

Bowo mengajak Asri ke mushola yang ada dirumah sakit itu. Mereka berdua berdo'a dengan khusuk, diiringi isak tangis Asri yang tak henti2nya."

"Ya Allah, jangan ambil nyawa bapakku sekarang, hamba masih membutuhkannya ya Allah, jangan biarkan hamba sendirian. Sembuhkanlah dia, hamba mohon.. hanya kekuatanMu yang bisa menyembuhkannya. Jangan ambil nyawa bapakku ya Allah..jangan biarkan hamba sendirian..." bisik Asri dalam do'anya.

Bukankah kekuatan do'a yang dipersembahkan oleh hambanya kepada Sang Pencipta  itu adalah kekuatan yang maha dahsyat.? Mintalah dan Allah akan memberi. 

Asri berjalan tertatih dipapah oleh Bowo yang ikut larut dalam kesedihan itu.

Ruang perawatan itu masih tertutup. Bowo membawa Asri ketempat duduknya semula..

"Bagaimana bapakku?" rintih Asri.. Bowo mengelus punggungnya. Konon elusan dipunggung bisa menenangkan, dan memang Asri menjadi sedikit tenang, terutama setelah ia melantunkan do'a yang sangat panjang kepada Sesembahannya.

"Apakah Allah akan mendengar do'a saya?"

"Tentu Asri, bukankah Allah itu Maha Pengasih?"

Pintu ruang perawatan itu terbuka dan dokter yang merawatnya keluar. Asri berdiri dan mendekat dengan rasa takut yang tiada tara. "Dokter, bagaimana bapak?"

Dokter itu tersenyum, dan senyuman itu pasti melegakan.

"Pak Marsam telah melewati masa kritisnya," 

"Oh, syukurlah, alhamdulillah, terimakasih dokter, terimakasih banyak.." ingin rasanya Asri menari nari kegirangan. Wajah yang sendu itu sekarang menampakkan rona penuh rasa syukur yang tiada tara.

"Tapi.... "lanjut dokter itu. "Pak Marsam tidak boleh sekali lagi mendengar sesuatu yang mengejutkan, tidak boleh terlalu sedih.. dan juga tidak boleh terlalu gembira. Anda harus merawatnya dengan hati2."

Asri mengangguk angguk: "Baiklah dokter saya akan merawatnya dengan hati2. Tapi bolehkah saya menemuinya sekarang?" 

"Boleh mendekatinya, tapi jangan dulu diajak bicara Ingat, dia juga harus banyak beristirahat. Dan sa'at ini pak Marsam sedang tertidur." lalu dokter itu berlalu.

Asri menghambur masuk kedalam dan memeluk bapaknya.

"Asri, ingat kata dokter. Bukankah bapak perlu istirahat?Labih baik kita menunggu diluar dan membiarkan bapak tertidur." 

Asri tersenyum, dan melangkah keluar sambil sesekali menengok kearah bapaknya yang masih terbaring. Tapi tampaknya pak Marsam sedang tidur nyenyak.

Sore itu Bowo menjemput ayahnya dan pulang bersama. Bowo mengatakan bahwa ibunya siang tadi datang kerumah sakit.

"Oh, baguslah kalau mau menengok pak Marsam, memang bapak yang menyuruh tadi."

"Tapi kedatangan ibu membuat heboh pak."

Pak Prasojo memandangi anaknya. :" Heboh bagaimana?"

Seperti biasa, ibu bicara yang tidak2, menghina dan menyakiti hati, pak Marsam mendengarnya terus anval."

"Apa? Terus bagaimana sekarang?" pak Prasojo sangat khawatir.

"Dokter bisa mengatasinya, untunglah."

"Ibumu itu sekarang keterlaluan sekali. Biasanya tidak begitu. Sikapnya pada pak Marsam juga baik2 saja. Tapi kok akhir2 ini jadi begitu. Itu setelah dia dekat sama temannya arisan yang namanya bu Harlan."

"Benar pak."

"Apa kamu sudah tau, ibumu ingin menjodohkan kamu sama Dewi?"

Bowo hanya tertawa.

"Kamu tidak tertarik?" Bowo menggelengkan kepalanya.

"Bowo kan sudah bilang sama bapak, siapa gadis yang Bowo cintai."

"Kamu serius?"

"Sangat serius. Apa bapak tidak suka?" Bowo menoleh kearah bapaknya sejenak, untuk melihat reaksi pak Prasojo setelah mendengar ucapannya.

Pak Prasojo tidak menampakkan reaksi apapun. Batinnya sedang bicara .. menimbang nimbang.. dan belum tampak perasaan apapun disana.

Bapak tidak suka?" Bowo mengulangi pertanyaannya.

"Bowo, orang jatuh cinta itu boleh2 saja, tapi untuk menjadikan dia jodoh, kita harus berpikir seribu kali. Menimbang baik buruknya, Menimbang untung ruginya."

Bowo tertawa :" Seperti orang berdagang saja..."

"Orang berumah tangga itu memang seperti orang berdagang. Tidak tau apakah akan untung atau rugi. Untungnya kalau pendamping kita ternyata baik, bisa melayani, bisa selalu berdampingan dalam segala hal, bisa menerima suka dan duka yang kita alami.. Tapi ruginya kalau ternyata dia tidak bisa menjadi pendamping yang baik, tidak sejalan dan tidak bisa menciptakan kebahagiaan dalam rumah tangga kita. Ya.. bapak kira ketika masih awal.. masih sama2 dimabuk cinta, ya hanya kebaikanlah yang tampak, tapi entah kalau sudah berumah tangga.. siapa tau.."

"Bagaimana dengan bapak?"

"Hush, kamu itu jangan nanya so'al itu pada bapak..kamu sudah tau semuanya kan? Tapi kembali pada ibumu, dulu dia baik kok.. sungguh.. kenapa sekarang menjadi begitu." pak Prasojo mengeluh.

Sampai ketika mereka masuk kerumah Bowo belum menemukan apa reaaksi bapaknya ketika tau bahwa dia serius mencintai Asri.

Seminggu lamanya pak Marsam dirawat dirumah sakit, dan sekarang sudah kembali kerumah. Seperti kata dokter, dia harus menjaganya dengan hati2. Tidak boleh terlalu sedih tidak boleh terlalu bahagia.. tidak boleh kaget.. tidak boleh capek.. dan masih banyak lagi tidak boleh tidak boleh yang Asri tak berani melanggarnya. Itulah sebabnya kenapa Ari melarang bapaknya bekerja. Tapi kalau dua2nya tidak bekerja, mereka harus makan apa?

"Asri, sesungguhnya bapak ingin bekerja kembali."

"Tidak pak, tidak boleh." tegas kata Asri.

"Kalau bapak tidak bekerja, lalu kita makan apa?"

"Nanti Asri yang akan bekerja.Bapak jangan memikirkan apa2, ingat kata dokter ya.."

"Bekerja apa nduk?"

"Sudahlah, nanti pasti ada."

Namun Asri benar2 baru berfikir, pekerjaan apa yang bisa dia lakukan dengan tanpa meninggalkan bapaknya..

 

"Bowo, ibu sungguh tidak mengerti, apa sih sebenarnya maksudmu? Mengapa  kau memilih bekerja tanpa sekretaris setelah Asri keluar dari sana? Bukankah kau membutuhkan seseorang yang bisa membantumu?"

"Tidak, masih banyak yang bisa membantu Bowo. Sudahlah bu, ibu tak usah memikirkan pekerjaan Bowo.."

"Ibu hanya ingin kau tidak kecapean."

"Sejak kapan ibu berfikir begitu, sebelum Asri ada Bowo juga bekerja sendiri. O, aku tau, ibu ingin supaya Bowo mau menerima Dewi?

"Kalau iya kenapa, Dewi itu pintar."

"Tidak.. dan tidak, jangan sampai ibu memaksa Bowo lagi."

#adalanjutannyalho#

SEPENGGAL KISAH XLV

Terhenti langkah Bowo mendengar pintu terbuka dan sebuah teriakan dari suara orang yang dikenalnya.

"Mas Bowo..!" Asri berlari mendekati Bowo. Rupanya Asri bersembunyi didalam rumah untuk menghindari pertemuannya dengan Bowo. Namun ketika mendengar Bowo menerima telepon yang menyebut bahwa ayahnya ada dirumah sakit, Asri lupa segalanya. Ia membuka pintu dan menghambur kearah Bowo.

"Asri ?"

"Ma'afkan saya mas... saya hanya ingin mas Bowo melupakan saya."

Bowo memeluk Asri erat2 serasa tak ingin melepaskannya kembali. 

"Ada apa dengan bapak mas? Kenapa?" 

Bowo segera sadar bahwa dia harus menuju rumah sakit karena ayahnya menunggu disana. Dilepaskannya pelukan itu dan ditepuknya bahu Asri untuk menghiburnya.

"Pak Marsam ada dirumah sakit, aku belum tahu kenapa. Bersiaplah, kita segera kesana."

Asri berlari kedalam rumah dan berganti pakaian sekenanya. Hatinya was2 memikirkan ayahnya. Sakit apa bapak sehingga harus masuk rumah sakit ?

 

Asri menangis tersedu sedu melihat keadaan ayahnya. Ada selang2 infus, ada tabung O2 untuk membantu pernafasannya lalu ada selang2 yang lain yang Asri tidak tau untuk apa melingkar lingkar ditubuh ayahnya. . Kelihatannya parah, karena ayahnye belum sadarkan diri. Bowo tak tega melihatnya.

"Asri, jangan sedih, ayahmu sudah ada ditangan ahlinya, percayalah dia akan segera pulih. Ayo duduklah disini, dan tenangkan hatimu"

Malam itu Asri menunggui ayahnya dirumah sakit, dan Bowo menemaninya dengan setia. 

 

"Mengapa Bowo nggak ikut pulang pak?" tanya bu Prasojo ketika melihat suaminya pulang sendirian.

"Nggak, dia menemani Asri dirumah sakit," jawab pak Prasojo sambil masuk kedalam rumah. Bu Prasojo mengikuti dan menampakkan wajah kesal.

"Mengapa Bowo harus menemani?"

"Kasihan Asri bu, dia pasti sedih sekali,"

"Memang orang tua lagi sakit, ya pasti sedihlah, tapi kan Bowo itu bukan apa2nya, susah2 amat pakai harus menemani segala."

"Pak Marsam itu bukan orang lain bagi kita, ibu lupa..sedah berapa puluh tahun dia melayani kita? Masa kita tidak boleh perhatian sedikit saja buat dia. Berperi kemanusiaan lah bu .. "

"Lha kita ini kurangnya apa to, sudah mengantar dia kerumah sakit, sudah memikirkan biayanya, lalu kurang apa lagi?"

"Bu, aku tidak suka cara berpikir ibu, jadi diamlah karena aku capek berdebat. Sekarang aku mau istirahat.Mestinya ibu juga mau menjenguk pak Marsam untuk menunjukkan simpati ibu padanya, bukan malah bicara tidak karuan begitu."  Pak Prasojo langsung masuk kekamar dan tak lagi memperdulikan kata2 bu Prasojo yang tidak sejalan dengan pikirannya.

 

 Pagi subuh Bowo baru kembali kerumah. Ia melaporkan keadaan pak Marsam yang sudah sadar tapi masih lemah.

"Apa kata dokter?" tanya pak Prasojo khawatir.

"Serangan jantung, dan sebelumnya pak Marsam memang sudah punya riwayat darah tinggi. Mudah2an dokter bisa mengatasinya."

"Aamiin.. "

"Bapak nanti kekantor sama Bowo saja, setelah mengantar bapak, baru Bowo kekantor. Ada pekerjaan yang harus Bowo selesaikan, karena kemarin belum sempat. Nanti siang Bowo kerumah sakit lagi."

"Kamu tidak istirahat dulu?"

"Bowo tidur semalaman disana. Pak Marsam sudah dipindahkan ke zal, Asri masih menemani."

"Berikan kamar yang baik untuk pak Marsam, supaya tidak terganggu oleh pasien lain,"pesan pak Prasojo sambil menuju kamar mandi." 

"Sudah pak, bapak jangan khawatir, pak Marsam sudah dilayani dengan baik."

Pak Marsam memang sudah sadar, tapi masih lemah. Asri yang selalu menungguinya masih merasa khawatir karena wajah ayahnya masih pucat, dan dokter melarangnya bicara banyak.Asri heran, ayahnya selama ini tak pernah mengeluhkan apa2.. kenapa tiba2 terkena serangan jantung? Darah tinggi? Asri merasa sedih, kalau sampai terjadi apa2 atas ayahnya, apa yang harus dia lakukan? Apakah dia sanggup hidup sendirian tanpa ayahnya? 

"Asri..." suara pak Marsam lemah

"Oh, ya pak," Asri mengusap air mata yang mengambang dipelupuk matanya.

"Jangan menangis nduk, bapak tidak apa2.."

"Ya pak, segera sembuh ya pak, jangan buat Asri sedih,"

Pak Marsam hanya mengangguk, memang tak banyak yang bisa dikatakannya, karena kalau bicara banyak maka dadanya terasa sesak, dan nafasnya jadi ter engah2.

"Bapak harus semangat, supaya segera sembuh, trus bapak boleh pulang. Nanti kalau bapak pulang, bapak nggak usah bekerja lagi, biar Asri yang bekerja. Asri pasti bisa kok, cari uang untuk menghidupi kita berdua."

Pak Marsam mengangguk, berlinang air matanya mendengar anaknya ber kata2. 

"Kok bapak jadi menangis? Asri juga tidak apa2 kok, kita akan hidup  tenang, dan bahagia, hanya berdua, Asri dan bapak. Ya kan pak?  Sekarang bapak istirahat saja dan jangan memikirkan apa2. Ya pak?" Asri mengelus elus tangan bapaknya dimana masih tertancap jarum infus yang terpasang sejak semalam.

Siang itu Asri agak merasa tenang karena bapaknya bisa tertidur nyenyak. Dipandanginya wajah bapaknya yang sudah penuh dengan kerut merut dipipinya. Wajah tua yang pucat, dan tampak letih. Aduhai, ingin rasanya Asri menggantikan bapaknya, menanggung penyakit yang disandangnya agar bapaknya tetap sehat dan penuh semangat seperti hari2 sebelumnya. Tak henti berlinang air matanya memikirkan itu.

"Asri, " Asri menoleh dan dilihatnya Bowo membawa bungkusan2. "Aku membawa makanan untuk kamu, kamu pasti belum makan karena sejak kemarin kamu menolak setiap kali aku ajak makan." 

Bowo menarik tangan Asri dan diajaknya duduk dikursi yang ada diruangan itu.

"Sudah banyak yang keluarga mas Bowo lakukan untuk saya dan bapak saya. Juga kamar yang mewah ini, lalu mas Bowo masih memperhatikan apa aku sudah makan atau belum, saya sungguh tak tau bagaimana harus membalas semua ini."

"Apa bapakku bilang telah menghutangkan ini semua untuk bapak kamu? Tidak kan? Ini semua untuk pak Marsam dan kamu, karena pak Marsam sudah dianggap keluarga oleh keluargaku. Jadi tak ada balas membalas. Sekarang makanlah, kamu tidak boleh jatuh sakit karena kamu harus merawat bapak bukan?"

Bowo lagi2 mengulurkan tissue untuk mengusap air mata Asri yang tak henti2nya mengalir. 

"Apa bapak bisa disembuhkan? " Asri mengusap air matanya.

"Tentu saja, mengapa tidak? Pak Marsam laki2 yang kuat.  Ayolah makan dulu, biar aku temani." Bowo membuka dua bungkusan yang salah satunya kemudian diberikannya pada Asri. Ada sedikit rasa tenang ketika  Bowo berada disampingnya dan berbicara seakan ikut merasakan kesedihannya.

"Bowo, kamu disini ?" tiba2 suara itu mengejutkan mereka berdua. Bu Prasojo masuk dan langsung menegur anaknya. " Kamu rela meninggalkan pekerjaanmu demi dia?" Bu Prasojo menuding Asri yang menunduk diam.

"Mengapa ibu kesini?" tegur Bowo yang tidak suka mendengar ucapan ibunya.

"Ayahmu yang menyuruh ibu datang kesini menjenguk Marsam. Oh.. itu dia.. enak ya, dalam sakitpun masih mendapat perlakuan istimewa. Mahal lho kamar ini... bisa setengah juta lebih seharinya. Wah..wah.. hebat sopirku ini.."

"Ibu.. ibu mengucapkan kata2 tak pantas." Bowo menegur tak senang, suaranya keras dan penuh amarah.

Tiba2 terdengar keluhan dari arah pak Marsam berbaring. Mereka pak Marsam terengah engah dan seperti sulit bernafas. Asri berteriak panik. "Dokteeeerrr."

#adalanjutannyalho#

 

 

 

Monday, November 26, 2018

SEPENGGAL KISAH XLIV

Bowo benar2 terkejut, seorang gadis, terpincang pincang menyapanya dengan manis yang dibuat buat. Gadis itu Dewi. Bowo ingin lari dari sana namun Dewi mengulurkan sebuah bingkisan didalam sebuah tas plastik.

"Mas Bowo, ini untuk mas Bowo."

"Untuk apa ?"

"Sebagai ucapan terimakasih karena mas Bowo telah menolong aku. Ini, biar aku letakkan dimeja sini ya? Oh ya, mana Asri?" Dewi rupanya belum tau kalau Asri telah resign tapi Bowo tak mau mengatakannya.

"O, dia sedang ada tugas keluar, sebentar lagi dia datang,"

"Owh, baiklah, boleh aku duduk disini? Tiba2 saja Dewi sudah duduk disofa yang ada diruangan itu. 

"Tapi ma'af, aku sedang ditunggu klient.. dan harus segera pergi." 

"Kalau begitu boleh aku numpang mas, aku boleh diturunkan dimana saja yang dekat rumah. Aku tadi ijin untuk tidak masuk kerja  karena kakiku sakit sekali."

"Oh, ma'af sekali karena aku berangkat bersama beberaapa staf. Jadi.. nggak enak juga kalau kamu ikut bersama kami."

Dewi sangat kecewa. Ia menduga duga , mungkin Bowo hanya mencari alasan agar bisa menjauh darinya. Baiklah.. akan ada sa'at lain dimana kau akan tunduk dibawah telapak kakiku. Janji Dewi dalam hati. Dilihatnya Bowo mengangkat telepon : " Kita berangkat sekarang saja, lebih cepat labih baik. Oke.. tungguin aku dilobi ya.."

Bowo meletakkan telepon, dan Dewi berdiri, tertatih dan kelihatan sangat kesakitan, namun Bowo pura2 tidak tau. Ia merasa gadis bernama Dewi ini sangat berlebihan. Dibiarkannya Dewi berjalan keluar sambil berpamit.

"Aku pergi dulu ya mas, nanti rotinya dimakan, aku sendiri lho yang membuatnya."

"Baiklah.." Bowo menjawab sambil pura2 menyibukkan diri dengan membuka buka map yang ada dimejanya.

Ketika Dewi keluar, Bowo memanggil salah seorang staf  dan memberikan bungkusan itu.

"Ini dibagi sama yang lain ya."

Dan Bowo kembali tenggelam dalam kesedihannya. Ia tak mengerjakan apapun hari itu, pikirannya hanya tertuju pada Asri.

 

Pagi itu pak Prasojo masih belum berangkat kerja, pak Marsam sedang mengelap mobil majikannya agar tampak lebih mengkilat. Tiba2 bu Prasojo mendatanginya dengan wajah penuh amarah.

"Bagus ya Marsam, anakmu itu,"

Pak Marsam menghentikan pekerjaannya.

"Ada apa bu?" dia menjawab penuh hormat.

"Anakmu yang bernama Asri itu telah mengadu domba antara aku dan Bowo anakku, apa itu pantas ? Memangnya siapa dia itu maka berani menentangku?"

"Mengadu domba bagaimana bu? Saya tidak mengerti. Kalau memang Asri bersalah biarlah saya yang akan menegurnya." jawab pak Marsam.

"Kamu jangan pura2 tidak tau, kamu pasti tau apa yang aku maksudkan. Dan ingat Marsam, dia itu hanya anaknya kamu, seorang sopir, yang tidak punya derajat. Jangan coba2 merayu anakku. Mana pantas dia berbuat begitu? Suruh dia sadar.. dia itu siapa..dan Bowo itu siapa!"

"Bu, saya..."

"Sudah.. jangan banyak bicara lagi." Dan bu Prasojo pun kemudian masuk kerumah meninggalkan pak Marsam yang terluka hatinya. Didepan pintu bu Prasojo berpapasan dengan suaminya.

"Ada apa kamu bu? Kamu marah2 sama pak Marsam?" Bu Prasojo tidak menjawab, dan langsung masuk kedalam rumah.

Pak Prasojo mengajak pak Marsam berangkat kekantor. Pak Prasojo melihat wajah pak Marsam pucat pasi. Apa lagi yang dilakukan isteriku, pikir pak Marsam.

Ditengah perjalanan itu pak Prasojo bertanya pada pak Marsam :" Ada apa tadi pak? Ibunya Bowo marah2 sama sampeyan?"

"Oh.. tidak pak.. tidak marah." pak Marsam menutupinya. Ia tak ingin masalah itu diperpanjang dengan kemarahan majikannya pada isterinya.

"Benar..? Aku lihat tadi dia marah2.. dan bicara agak keras, tapi aku tidak mendengar jelas apa yang dikatakannya."

"Oo.. bu Prasojo menegur saya karena tampaknya kurang bersih saya mengelap mobilnya." pak Marsam menjawab sekenanya.

"Ma'af ya.. kalau dia bicara kasar, ibunya Bowo suka begitu."

Pak Marsam mengangguk. Sebenarnya bukan karena kasarnya dia bicara, tapi kata2 yang diucapkannya sungguh menyakiti batinnya. Pak Marsam merasa terhina karena kedudukannya yang memang sopir itu dipakai bu Marsam untuk merendahkannya. Kalau saja ia tidak menyadari bahwa bu Prasojo itu isteri majikannya, pasti pak Marsam sudah melawannya. Apa dayaku, aku hanya orang rendahan..rintih batin pak Marsam.

 

Sore itu begitu selesai mengantarkan pak Prasojo, pak Marsam langsung berpamit untuk pulang. Kepalanya terasa pusing, tak tertahankan. 

"Mobil akan saya cuci besok pagi saja pak, kepala saya pusing sekali." pak Prasojo terkejut.

"Tunggu, aku punya obat pusing, sebentar aku ambilkan. Harus diminum sekarang ya."

Pak Prasojo masuk kedalam rumah. Pak Marsam menunggu sambil duduk ditangga samping rumah sambil memijit mijit kepalanya.

"Ini obatnya, minumlah dulu. "Diangsurkannya obat dan segelas air kepada pak Marsam.

"Terimakasih pak, merepotkan saja," pak Marsam menerimanya dan langsung meminumnya.

"Tunggu sebentar dulu pak, biar obatnya bereaksi. Sampeyan kan menaiki sepeda motor, kalau kepala pusing tidak baik berkendara, dijalan yang ramai pula. 

Tapi pak Marsam ingin segera sampai dirumah dan membaringkan tubuhnya dengan nyaman.

"Tidak pak, biar saya pulang saja, "

"Baiklah, tapi naik motornya pelan2 saja ya.." 

"Baik pak,"

Pak Marsam menuntun sepeda motornya dan menstarternya setelah tiba diluar halaman. Tiba2 pak Marsam merasa limbung, bumi seperti berputar dan kemudian ia  terjatuh diatas sepeda motornya, lalu tak ingat apa2.

Sampai hari gelap Bowo menunggu Asri dirumahnya, tapi gadis itu tak kunjung tiba. Kemana perginya gadis itu, dan mengapa juga pak Marsam juga belum pulang. Bowo ingin bertanya pada pak Marsam, kemana sebenarnya Asri pergi. Pak Marsam pasti tau. Ia bertekat tak ingin pulang sampai Asri datang.

Tiba2 telpon berdering.. dari pak Prasojo, ayahnya.

"Hallo.. ya pak.. saya... mm.. masih dijalan.. ya.. bapak menyuruhku kerumah Asri? Ada apa.. apa pak? Pak Marsam ada dirumah sakit? Kenapa? Pingsan dijalan? Ya pak.. aku segera kesana."

Bowo bergegas kembali kemobilnya, sa'at itulah pintu rumah pak Marsam tiba2 terbuka, dan Asri berteriak dari pintu itu.

#adalanjutannyalho#

SEPENGGAL KISAH XLIII

Dewi tersenyum memandangi ibunya. Dikedipkannya sebelah mata, hatinya girang bukan main ketika mendengar bu Prasojo berkata harus ada yang mengantarnya. Pasti Bowo.. dan Dewi menata rambutnya yang sesungguhnya masih tertata, membenarkan letak balutan dikakinya agar terlihat sempurna. Tapi ketika bu Prasojo muncul ,Dewi sangat kecewa.

"Ma'af jeng, Bowo sudah terlanjur ganti baju dan tidur.. susah nyuruhnya. Biar saya panggilkan taksi saja."

Wajah Dewi sudah gelap seperti mendung. Dia selalu berfikir bahwa Bowo itu sombong dan tidak perduli padanya. Hm.. lihat saja nanti, bisik batinnya.

Ketika kedua tamunya pulang, bu Prasoj.o mengetuk pintu kamar anaknya. "Bowo, buka pintunya, ibu ingin bicara. Bowo.. tolong sebentar saja." ujarnya berkali kali.

Ketika pintu terbuka Bu Prasojo segera menarik anaknya agar duduk dikursi diluar pintu itu.

"Mengapa sikapmu seperti itu?"

"Seharusnya saya yang bertanya pada ibu, mengapa sikap ibu seperti itu," Bowo menjawab dengan kesal. 

"Sikap apa? Sikap tadi siang itu, dirumah makan itu? Ibu sangat marah melihatmu berduaan terus dengan anak si sopir itu."

"Namanya pak Marsam, mengapa ibu menyebutnya begitu?"

"Ya..siapalah dia itu, ibu tidak suka."

"Mengapa ibu membenci Asri? Apa salah dia bu? Kasihan, dia pasti sakit hati."

"Ibu hanya tidak suka kamu berduaan terus sama dia. Kau harus tau bahwa itu tidak pantas!" Kau harus tau dimana kedudukanmu, dan siapa gadis itu."

"Ibu lupa bahwa Asri itu sekretarisku, dan aku pasti selalu berdua sama dia."

"Tapi tidak kalau kau ajak dia makan siang bersama, belanja bersama, itu sudah kelewatan. Tau? Apa kau tidak malu kalau orang2 menggunjingkan kelakuanmu ini?"

"Mengapa harus malu bu,  aku tidak merasa malu sama sekali. Asri gadis yang baik, dan dia sangat membantu dalam aku mengerjakan tugas2ku. Apa salah dia sehingga ibu seperti membencinya? Ibu juga mengembalikan baju yang aku berikan itu pada Asri, hanya karena baju itu pilihannya, padahal tadinya ibu suka sekali warna baju itu. Apa salah dia bu?" Bowo lupa pada janjinya untuk tidak mengatakan perihal baju itu pada ibunya. Bowo benar2 ingin menumpahkan kekesalan hatinya sa'at itu juga.

"O.. jadi gadis itu sudah mengadu padamu? Bagus, jadi dia sengaja ingin mengadu domba antara aku dan anakku. "

"Bukan dia mengadu bu, kebetulan saja aku tahu. Dia tadinya menyembunyikannya, dia tidak ingin aku marah sama ibu. Dia itu gadis yang baik."

"Mengapa kamu selalu memuji muji dia? Apa kamu suka sama dia?"

"Ya bu, aku mencintai Asri." Bowo berterus terang karena capek mengimbangi kemarahan ibunya. Apapun yang terjadi ibunya harus tau.

Bu Prasojo sangat terkejut. Pada sa'at itu pak Marsam masuk kedalam untuk berpamitan. Sebagian kata kebencian dari bu Prasojo dan ungkapan cinta yang diucapkan Bowo terdengar sangat jelas ditelinganya. Bowo melihat kedatangan pak Marsam dan menyambutnya ramah.

"Pak Marsam sudah selesai? Atau mau ketemu bapak?"

"Tidak mas, saya hanya mau pamit, tugas saya sudah selesai."

"Baiklah pak, hati2 dijalan ya pak."

"Permisi mas, bu.. saya permisi.." Pak Marsam juga berpamit pada isteri majikannya. Namun Bu Prasojo memalingkan muka, dan pak Marsam pun berlalu.

Bowo juga berdiri untuk kembali kekamarnya. 

"Bowo, ibu belum selesai bicara."

"Aku capek bu, ma'af" Bowo kembali menutup pintu dan menguncinya dari dalam.

"Dasar anak tak tau diuntung. Dengar Bowo, ibu nggak rela kamu berdekatan dengan gadis itu, apalagi kamu mencintainya. Ibu nggak rela." suara bu Prasojo hampir berteriak.

Ketika pak Marsam tiba dirumahnya dilihatnya Asri ada dirumah, sedang membuat minuman, yang kemudian diletakkannya dimeja dimana ayahnya biasa duduk sepulang kerja.

"Masih anget pak, Asri juga menggoreng pisang buat bapak." Asri kembali kebelakang untuk mengambil pisang goreng yang dikatakannya. Pak Marsam juga langsung pergi kebelakang untuk mencuci tangan dan kakinya serta mengganti pakaiannya.

Pak Marsam heran melihat Asri sempat menggoreng pisang. Biasanya Asri menyiapkan camilan untuk ayahnya dengan makanan yang dibelinya dijalan.

Ketika Asri kembali dan meletakkan piring berisi pisang itu, dilihatnya mata Asri, sembab dan layu. Bekas menangis. Pak Marsam menghubungkan hal itu dengan pembicaraan yang didengarnya sore tadi dirumah pak Prasojo. Tapi pak Marsam menahan pertanyaan yang sudah sampai keujung bibirnya untuk menjaga perasaan Asri. Ia tau pasti Asri sedang sangat sedih. Ia harus menampakkan rasa senang karena Asri telah bersusah payah menggoreng pisang untuknya. Setidaknya untuk mengurangi kesedihannya.

"Hm.. masih hangat pula." Pak Marsam mengambil sebuah pisang goreng yang langsung dimakannya. Ini pisang raja yang sangat lezat. Bapak sangat suka." 

"Benar pak, pisang raja yang Asri beli dari pedagang pisang yang tadi lewat depan rumah."

"Tumben kamu pulang sangat awal, dan sempat menggoreng pisang pula." Pak Marsam mengambil lagi sebuah pisang goreng bukan karena lapar tapi karena ingin menyenangkan hati Asri . Sementara sebetulnya pak Marsam sendiri juga sedang menyandang perasaan yang tak enak setelah kejadian dirumah majikannya sore tadi.

"Mulai hari ini, Asri akan lebih banyak melayani bapak. Memasak, membuatkan camilan kesukaan bapak, pokoknya banyak waktu buat bapak."

"Maksudnya..?"

"Asri benar2 keluar dari pekerjaan Asri. " Mata Asri menerawang keatas sementara tubuhnya direbahkannya disandaran kursi yang didudukinya.

"Oh, begitu, baguslah.. bapak senang mendengarnya." dan pak Marsam benar2 senang.. dengan berhenti bekerja Asri tak akan lagi ada hubungannya dengan keluarga bu Prasojo yang tampaknya tak suka pada anaknya. Tapi kemudian pak Marsam juga teringat pada kata2 Bowo yang didengarnya tadi. AKU MENCINTAI ASRI. Benarkah? Dan bagaimana dengan Asri? Apakah Asri juga suka pada atasannya? Ini pasti yang menjadi sebab mengapa bu Prasojo membenci Asri. 

"Asri, kau benar2 tega meninggalkan pekerjaanmu?"

"Ya tega lah pak... aku lebih suka melayani bapak begini..." tapi kesedihan itu masih tampak pada raut muka anaknya.

"Bagaimana dengan mas Bowo?" pak Marsam mencoba memancing.

"Kenapa dengan mas Bowo? Banyak orang membutuhkan pekerjaan pak, pasti nanti akan ada gantinya." Itu bukan jawaban yang ditunggu pak Marsam.

"Kamu tega meninggalkannya?"

"Bapak kok bertanya begitu, kalau nggak tega ya aku pasti masih disana bukan?" Itu juga bukan jawaban yang diinginkannya. Pak Marsam mencoba mencari kata2 tepat untuk memancingnya lagi.

"Maksud bapak.. apa tidak kasihan mas Bowo kamu tinggalkan. Bagaimana kalau penggantinya nggak ada yang cocog, dan cocognya cuma sama kamu?" 

"Masa nggak ada yang cocog..."

Aduh.. susah sekali cara memancingnya. "Apa kamu suka sama mas Bowo?" akhirnya kata2 itu yang meluncur.

Asri terkejut. Mengapa bapaknya bertanya seperti itu, dan karena terlanjur maka dijelaskannya sekalian apa yang ada didalam hatinya. "Bapak mendengar mas Bowo berterus terang sama ibunya, bahwa dia cinta sama kamu." Asri lebih terkejut lagi. Berterus terang pada ibunya? Pasti ibunya mengamuk mendengar keterus terangan anaknya.

"Apa itu benar? Kamu sudah dewasa sekarang, dan sa'atnya kamu juga memikirkan pendamping hidup. Cuma.. kalau itu mas Bowo, bapak takut.. kita tidak sepadan dengan mereka nak, bagai bumi dan langit." Kata2 pak Marsam itu seperti mengingatkan Asri agar tak membalas cinta Bowo karena kedudukan mereka berbeda.

"Ya pak, pasti Asri tau itu. Asri juga takut. Kita bukan golongan orang2 kaya, kita tidak sepadan. Asri benar2 tau kok."

"Syukurlah, anak bapak yang baik," dan pak Marsam memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang.

Namun Bowo benar2 bersedih ketika pagi hari itu ia menjemput Asri dan melihat pintu rumah Asri tertutup rapat. Bowo yakin Asri sedang menghindarinya. Ketika ia menelpon pak Marsam yang sudah ada dirumah menjemput ayahnya, pak Marsam juga bilang bahwa dia tidak tau. Lalu Bowo berangkat sendiri kekantor, dan merasa betapa sepi dan lengang ruangan kerjanya ketika tak ada lagi seorang gadis manis yang duduk dihadapannya. Kursi itu kosong, mejanya bersih tak ada selembarpun kertas pekerjaan yang biasanya terserak disana. "Asri..." bisiknya sedih...

"Mas Bowo, " tiba2 suara itu datang dari arah pintu. Dan Bowo benar2 terkejut.

 

#adalanjutannyaya#

 

Sunday, November 25, 2018

SEPENGGAL KISAH XLII

Bu Prasojo langsung masuk kedalam, bu Harlan mengikuti dari belakang. Banyak pelanggan makan ditempat itu karena memang waktunya makan siang. Ia men cari2.. dimana Bowo duduk.. pelayan yang mempersilahkan tidak digubrisnya. Mana ya Bowo, jangan sampai dengan bocah itu. Batin bu Prasojo. Beberapa sa'at mencari akhirnya ditemukan juga anak laki2nya. Kemarahan bu Prasojo memuncak. Bowo sedang duduk berhadapan dengan Asri, dan mereka sedang asyik menikmati sendok demi sendok makanan yang hampir dihabiskannya.

"Bowo !" suara bu Prasojo itu keras benar, hampir berteriak.. dan Bowo serta Asri terkejut bukan kepalang.

"Bu, kok kesini? Ibu mau makan? Jangan berteriak begitu donk bu, semua orang melihat kesini tuh" Bowo menegur ibunya dengan kesal. Memang beberaapa tamu melihat kearah mereka karena ibunya berteriak cukup keras.

"Enak ya.. orang yang biasanya makan seadanya, setiap hari bisa makan di restoran?" tangan bu Prasojo menunjuk kearah Asri yang hatinya menjadi kecut. Ia juga merasa sakit hati di tunjuk2 dihadapan banyak orang yang masih melihat kearah mereka.

Bowo kesal sekali. Ia kemudiaan berdiri dan menuju kearah kasir. Meletakkan selembar uang dan menarik Asri keluar dari sana.

"Bowo ! Ibu ingin bicara sama kamu!" Bu Bowo mengejarnya. Bu Harlan mengikutinya tanpa mengucapkan apa2.

Bowo langsung naik kemobilnya setelah membukakan pintu umtuk Asri, kemudian berlalu dari sana. Bu Prasojo mengomel karena mobilnya terhalang mobil lain yang datang setelahnya.

"Hei.. parkirrrr! Suruh pemilik mobil ini menyingkirkan mobilnya, aku mau jalan nih!"

 Kelakuan bu Bowo ni seperti orang kesetanan. Ia lupa sopan santun dan lupa menghargai dirinya sendiri dihadapan banyak orang, hanya karena amarah yang tak bisa ditahannya.

Dikantor Bowo sibuk menenangkan Asri yang menangis terisak isak. Sungguh tak tertahankan derita batinnya kali itu. Rasanya ia tak bisa menahan lagi. Walau pak Prasojo yang menghalangi sekalipun ia harus tetap keluar dari pekerjaannya. Mana mungkin ia hidup dibawah kebencian orang lain?

"Ma'afkan ibuku ya Asri, ibu memang keterlaluan. Aku juga sangat marah tadi, Sudahlah, tak apa2, nanti aku akan bicara sama ibu dan menanyakan apa maksudnya. Tadi aku diam karena disana banyak orang. Nanti kita akan bertambah malu karena jadi tontonan bukan?"

Tapi Asri menangis bukan karena Bowo mendiamkan ibunya atau membelanya. Ia menangisi dirinya sendiri yang mengalami nasib sepahit itu.

"Atau aku mengantarmu pulang saja ya? Kamu boleh pulang untuk menenangkan diri, nanti kalau sudah tenang aku akan menjemputmu."Bowo mengulurkan tissue dan Asri menerimanya.

"Saya, lebih baik keluar saja pak," serak suara Asri ketika mengucapkannya. Ia menyeka air matanya dan mengemasi barang2nya.

Bowo sangat terkejut. Tampaknya kali ini ia tak bisa lagi membujuk Asri. Kesedihannya memuncak ketika melihat Asri langsung berdiri dan melangkah keluar ruangan. Bowo mengejarnya dan memegangi lengannya.

"Jangan Asri, jangan pergi.." memelas suara itu.

"Apa bapak tidak kasihan sama saya ? Bu Prasojo membenci saya sedangkan itu orang tua bapak, masih pantaskah saya duduk disini?"

"Nanti kita akan bicara, aku juga akan bicara sama bapak, juga ibu."

"Tidak pak, jangan bicara apapun dan jangan marah sama ibu, pasti ada alasannya kalau saya dibenci olehnya." Asri melepaskan lengannya tapi Bowo memegangnya erat sekali.

"Saya mohon, kasihanilah saya pak," 

Bowo tak tahan menatap mata itu. Mata yang bening indah itu sekarang terlihat layu dan sendu. Air mata masih menggenang disana. Bowo memeluknya erat. Betapa sedih membayangkan  setiap hari duduk disana tanpa Asri didepannya. Ia tak perduli apa anggapan Asri atas dirinya, ia terus memeluknya. Sejenak ada rasa nyaman bersandar dibahu Bowo, tapi Asri segera sadar, pelan dilepaskannya pelukan itu.

"Baiklah, aku akan mengantarmu pulang."

Bowo tidak langsung kembali kekantor setelah mengantarkan Asri, ia langsung kekantor ayahnya.Ia melihat pak Marsam diruangan satpam tapi ia hanya mengangguk meninggalkan kesan heran dihati ayah Asri itu.Bowo langsung menuju ruangan ayahnya dan  menceriterakan semuanya. Dari baju pemberiannya yang kemudian dikembalikan pada Asri sampai ketika ibunya marah2 dirumah makan itu. Juga tentang tekat Asri keluar dari pekerjaan itu.

 Pak Prasojo menyandarkan kepalanya ditempat duduknya, hatinya juga dipenuhi rasa kesal pada isterinya.

"Ini karena Dewi. Ibumu sangat menginginkan Dewi untuk bisa bekerja dikantormu."

"Aku tidak mau Dewi, aku tidak suka perempuan itu. Kelihatannya dia bukan perempuan baik2. Bowo teringat sikapnya ketika ia menggosokkan minyak urut dikakinya yang katanya keseleo. 

"Aku sudah mati2an mempertahankan Asri dan menolak keinginan ibumu. Heran aku, ada apa dengan ibumu.Pak Prasojo menghela nafas. "Dia ingin menjodohkanmu sama Dewi" lanjut pak Prasojo.

"Tidak pak, aku mencintai Asri," Kata Bowo tiba2, dan itu mengejutkan ayahnya.

"Bowo... kamu..?"

"Aku mencintai Asri pak, mohon jangan melarangku."

Pak Prasojo menangkap kesedihan dimata anak laki2nya. Ia heran, mengapa Bowo yang selalu dikelilingi wanita2 cantik tak pernah menggubrisnya dan sekarang jatuh cinta pada Asri? Asri anak sopirnya? Benar, Asri gadis cantik, baik, tapi pantaskah dia menjadi menantuku? pikir pak Prasojo. Dibayangkannya kelak anak laki2nya bersanding dengan perempuan cantik, pintar, berpendidikan, dan.. sekarang Asri lah pilihannya? Pak Prasojo bimbang. Separuh hatinya ingin memenuhi permintaan anaknya, tapi separuh hatinya masih mengingat pada derajatnya. Seorang pengusaha kaya, terpandang, berbesan dengan sopirnya sendiri.. ? Tapi pak Prasojo kan juga menyayangi Asri.. benar.. tapi kan tidak pernah membayangkan akan menjadikannya menantu.. Bergolak hati pak Prasojo oleh pertimbangan2 yang mengaduk aduk pikirannya.

"Aku mohon pak, jangan melarangku.." ucapan Bowo terdengar sangat memelas.

"Baiklah, nanti hal itu akan kita pikirkan lagi, sekarang aku ingin bicara dengan ibumu.Ayo kita pulang." Pak Prasojo berdiri dan memanggil pak Marsam dari telponnya.

Bu Prasojo heran melihat mobil suami dan anaknya beriringan masuk kehalaman. Ia menengok jam tangannya... baru jam 3. Dimeja tamu itu duduk bu Harlan dan juga Dewi.

"Sebentar ya jeng, itu mereka sudah pada pulang." bu Prasojo berpamit pada tamu2nya.

Ia melangkah kearah pintu masuk disamping rumah, untuk menyambut suaminya.

"Baru jam 3 pak, tumben sudah pulang."

Tapi pak Prasojo tak menjawab. Ia langsung masuk kerumah diikuti oleh isteri dan anaknya, yang juga diam tak memperdulikan ibunya. 

Pak Prasojo langsung masuk kekamar dan bu Prasojo masih mengikutinya.

"Pak, dengar, kemarin itu Bowo hampir menabrak Dewi, kakinya sampai bengkak, tuh liat sekarang masih diperban perban. Karena kalau tidak ia tak bisa jalan."

"Bapak kenapa sih, pulang2 kok sikapnya begitu,"

"Satu saja yang aku ingin katakan sama ibu. Aku tidak suka kelakuanmu. Dan aku juga tidak perduli tentang anak temanmu yang bernama Dewi itu." Tegas kata2 pak Prasojo.

"Begini lho pak.." bu Prasojo masih ingin bicara, tapi pak Prasojo langsung masuk kekamar mandi yang ada dikamar itu. Wajahnya muram, dan bu Prasojo tau bahwa suaminya sedang marah. Akhirnya ia keluar kamar dan menemui tamu2nya.

"Suamiku sedang tak enak badan jeng. Ma'af ya"

"Nggak apa2 mbakyu, saya sama Dewi mau pulang saja."

"Tunggu, jangan pulang sendiri, harus ada yang mengantar donk." bu Prasojo masuk kedalam menuju kamar Bowo. Kamarnya terkunci. "Bowo, bisakah minta tolong mengantar bu Harlan pulang?" bu Prasojo berteriak sambil mengetuk pintu. 

"Tidak, Bowo capek sekali." Bowo menjawab tanpa membuka pintu.

"Lha apa nggak kasihan, Dewi jalannya terpincang pincang lho.Itu kan karena kamu," bu Prasojo masih mencoba merayu, menyudutkan Bowo dengan kejadian sa'at Dewi terjatuh.

"Bowo capek. Suruh panggil taksi saja ?" 

#adalanjutannya#

 


Saturday, November 24, 2018

SEPENGGAL KISAH XLI

a Asri mengenalinya. Ada apa ya dia menelpon malam2 begini?

"Iya, b

Asri mengangkat ponselnya, dari siapa? Hanya nomor... ia ingin membiarkannya.. tapi barangkali ada yang penting. Asri mengangkatnya, suara nyaring terdengar dari seberang :"Hallo Asri.."

"Hallo, selamat malam, ma'af ini siapa ya?" Asri belum mengenali suara itu..

"Ya ampun Asri, mas

khirnya Asri mengenalinya. Ada apa ya dia menelpon malam2 begini?

"Iya, betul Asri.. sudah

a kamu tak mengenal suaraku?"

"Mbak Dewi ya?" a tidurkah?"

"Belum mbak, ada apa ya?"

"Cuma ingin cerita2 saja sama kamu. Oh ya, apa mas Bowo sudah memberi tau?"

"So'al apa ya? 

"Ya ampun As, tadi sore itu aku hampir tertabrak mobil mas Bowo, tau..?"

Asri terperanjat. "Apa mbak?

"Ceriteranya aku tuh habis dari rumah temenku, trus aku menyeberang jalan menunggu taksi, ee.. nggak sadar ada mobil mau lewat, untung sopirnya nggak ngebut, sehingga aku luput dari kecelakaan itu. Tapi kakiku terkilir, sekarang agak bengkak."

"Itu mobil mas Bowo?"

"Iya.. aku nggak nyangka kalau itu mas Bowo. Dan tau nggak As..aku digendong masuk kemobilnya, dibelikan obat gosok untuk kakiku, dan digosokkannya sekaliyan." Ada nada genit pada suara itu yang Asri sebenarnya kurang suka. Bukan karena cemburu, bukan.. cuma merasa agak aneh saja.

"Mas Bowo mu itu ternyata baik sekali ya As, setelah itu aku diantar sampai kerumah. Kalau tidak mana bisa aku pulang, orang nggak bisa jalan." lanjut Dewi kemayu..

"Sekarang bagaimana kakimu mbak?" Sesungguhnya Asri ingin segera mengakhiri pembicaraan itu setelah tau bahwa Dewi hanya terkilir.

"Sudah lumayan, cuma agak bengkak sedikit, tapi sudah bisa jalan sendiri kok. Tapi kenapa ya mas Bowo nggak cerita sama kamu?"

"Mungkin capek mbak. Tapi syukurlah kalau mbak Dewi tak apa2. Besok kalau ketemu kita cerita lagi ya?" sebenarnya agak kurang sopan menghentikan pembicaraan lebih dulu sementara yang menelpon tadi Dewi. Tapi Asri benar2 ingin beristirahat, setidaknya tak ingin mendengar suara genit yang seperti dibuat buat itu lebih lama lagi."

"Baiklah Asri, kamu pasti sudah ngantuk ya.. sampai ketemu lagi dan selamat tidur ya?"

Telephone sudah ditutup, tapi Asri lupa bertanya, darimana Dewi mendapatkan nomor ponselnya.

"Bagaimana keadaan Dewi jeng?" tanya bu Prasojo begitu sampai dirumah bu Harlan. Dia melirik kedalam tapi tak mendapaatkan yang dicarinya. "Mana Dewi? Tiduran dikamar?"

"Oalah mbakyu, dia masuk kerja.. saya sudah melarangnya tapi dia nekat pergi."

"Lho, katanya kakinya sakit?"

"Ya, masih agak sakit sih, tapi tadi sudah diperban pakai tensokrep.. jadi bisa jalan kok. Dia itu kalau sudah kerja kan rajin mbakyu, jadi karena baru beberapa hari ya dia takut kalau harus bolos."

"Ya bukan bolos namanya kalau memang sakit. Ya sudah.. syukurlah kalau gak apa2. Aku sudah memarahi Bowo tadi.. kenapa bisa hampir menabraknya."

"Dewi yang salah mbakyu, dia menyeberang tiba2."

"Ya sudahlah, ini au bawakan buah2an untuk Dewi. Aku pikir dia masih sakit. Tapi aku pengin kesana kok sekarang."

"Kemana mbakyu?"

"Kerumah makan tempat Dewi bekerja.

"Kalau begitu saya mau ikut mbakyu.."

Siang itu dikantor Bowo selalu mengamati Asri. Gadis itu tampak bekerja seperti biasanya,  tak tampak perubahan apapun setelah ia menyatakan cinta sore itu. Bowo bertanya tanya, apa sebenarnya yang ada dibenak gadis itu.

"Asri.."

Asri mengangkat kepalanya. 

"Apa kamu marah?"

"Marah? Tidak.." Asri mmenjawab singkat. 

Mengapa pembicaraan ini menjadi kaku? Ada sedikit sesal dihati Bowo karena kejadian sore itu. Harusnya aku menahan perasaanku,.. tapi apakah aku terburu buru? Kata2 itu seperti meluncur begitu saja. Mungkin bukan aku yang menggerakkannya, entah apa. Bowo berdebat dengan batinnya sendiri.

"Ma'af ya," akhirnya Bowo mengatakan itu.

"Untuk apa, bapak kan tidak bersalah."

Itu memang benar, salahkah aku kalau aku mencintai seseorang? Tapi Bowo merasa menjadi orang bodoh. Tak mampu mengatakan apa2 lagi sampai waktu istirahat tiba. Bowo mengemasi lembar2 kertas yang terserak dimejanya, sama sekali ia belum menyentuh pekerjaannya. 

"Bapak tidak ingin menjenguk mbak Dewi?"

Bowo terkejut, dia lupa belum menceriterakan kejadian sore kemarin.

"Kamu tau dari mana?"

"Mbak Dewi menelpon saya tadi malam."

"Ooh.. jadi dia yang semalam memaksa satpam meminta nomor ponselmu, kalau tidak, darimana dia mendapatkannya."

"Satpam?"

"Dewi bilang saudaramu.. dan ada yang kecelakaan.. jadi dia berikan nomor ponselmu."

"Ohh.."

"Tapi dia tidak apa2.. sudahlah.. jangan memikirkan dia lagi."

Tapi pembicaraan itu terhenti dan suasana menjadi kaku kembali. Bowo tak tahan. Dia kemudian mengajak Asri makan siang diluar. Barangkali suasana kaku ini bisa menjadi cair.

 

Tapi dirumah makan itupun suasana masih terasa kaku. Bowo heran pada dirinya sendiri mengapa ia tampak bodoh kali itu. Dua gelas minuman dingin diteguknya, dan ditatalah hatinya agar dia bisa berkata kata. Setidaknya dia harus tau apa isi hati gadis itu.

"Asri.."

"Ya... Asri mengangkat mukanya. Sesungguhnya ia takut kalau Bowo mengulangi perkataannya seperti yang kemarin sore diucapkannya.

"Berterus teranglah Asri, bagaimana perasaanmu terhadapku." Bowo akhirnya bisa mengucapkannya.

"Perasaan saya? Saya... sangat menghormati bapak.."

"Jangan bapak.. ini kan diluar kantor."

"Baiklah.."

"Baiklah apa?

"Saya sangat menghormati mas Bowo."

"Terus...?

"Ya itu..."

"Yang ada hubungannya dengan pernyataanku sore tadi.." Bowo sangat tak sabar.

Nah, inilah yang ditakutkan Asri. Ia seperti seorang pesakitan yang menunggu keputusan hakim untuk menghukumnya. Aduuh.. mana aku berani? Aku ini apa..siapa.. ini seperti mimpi.. 

"Asri..."

Asri mengangkat mukanya, memberanikan diri untuk menjawabnya. " Sesungguhnya.. saya sangat takut."

"Takut?" 

"Saya ini siapa mas, saya bukan siapa2.. mengapa mas Bowo merasa seperti itu?"

"Rasa itu tidak ada hubungannya dengan siapa2.. aku mencintai kamu sejak kamu masih kanak2." Bowo berterus terang. Ia semakin berani berkata kata.

Asri terkejut, sejak aku masih kanak2? 

"Sejak kau baru masuk SMA dan setiap sore menjemput ayahmu."

Ini benar2 gila. Waktu itu dia belum mengenal cinta. Hubungannya dengan Damar juga masih seperti cinta monyat. Bahwa kemudian mereka saling jatuh cinta beneran, itu adalah kekuasaan alam semesta.. yang menyatukan keduanya dalam sebuah hubungan yang ketika itu mereka sebut sangat indah. Meski kemudian berpisah dengan cara yang menyakitkan.

"Apa kau tidak tertarik pada mas Bowo mu ini?"

"Saya.. harus.. menjawab apa? Saya.. tidak berani.." terbata Asri mengucapkannya. Kemudian ia mencuba menelusuri hari demi hari yang dilaluinya bersama Bowo. Bahwa Bowo sangat perhatian, bahwa Bowo sangat baik, dan.. senyum itu.. apakah Asri masih membandingkannya dengan senyuman Damar yang juga menawan? Aduh.. mengapa Damar lagi. Asri memarahi batinnya sendiri. Bukankah ia harus melupakannya setelah tak lagi mendengar kabar beritanya? Mungkin mereka sudah bahagia. Tidak.. perlahan Asri melupakannya. Tapi perasaannya terhadap Bowo? Asri juga tak tau, karena apapun perasaan itu, selalu tertutupi mengingat bahwa Bowo adalah atasannya, yang dia hormati sekaligus dia kagumi.

"Saya.. adalah bumi.. mas Bowo itu langit.."

"Bagaimana kalau aku katakan... INI PERINTAH ?" Bowo mencoba bercanda, dan Asri tersenyum. Dipandanginya wajah Bowo dan senyum menawan itu kembali menghiasi bibirnya. Asri menunduk, jangan sampai ia tergoda oleh senyum itu. 

"Baiklah, aku menunggu kau mengatakannya, sekarang habiskan makananmu." 

Dijalan besar didepan rumah makan itu, sebuah mobil berhenti. Itu mobil bu Prasojo.

"mBakyu..kok berhenti disini? Bukan ini rumah makannya." Bu Harlan yang duduk disebelah bu Prasojo yang menyetir mobil itu bertanya heran, sebab katanya mau kerumah makan dimana Dewi bekerja.

"Ya jeng, aku tau.. tapi aku mau mampir kesini sebentar saja."

"Mau beli sesuaatu?"

"Tidak jeng, aku melihat mobil Bowo diparkir disitu, nah.. itu mobil Bowo, pasti dia ada disini."

 

#adalanjutannyaya#

 


Friday, November 23, 2018

SEPENGGAL KISAH XL

Bowo terkejut. Ia memapah Dewi yang tampak kesakitan.Ia mengangguk kearah orang2 yang berkerumun. "Ini saudara saya, tidak apa2 kok."

Untuk menghindari kerumunan banyak orang tersebut Bowo kemudian menaikkan Dewi keatas mobilnya, dan menjalankannya menjauh dari sana.

"Kok bisa sampai sini?" 

"Dari rumah teman, sedang menunggu taksi, diseberang jalan.Ma'af mengganggu."

"Ma'af....Mengapa tidak melihat jalan? Kalau mobilku jalannya kencang pasti kamu luka parah. Sekarang ada yang luka?"

"Tidak, terkilir sedikit. Aduuh...." Dewi merintih ketika memegang kaki kanannya, didekat mata kaki.

"Kita beli obat gosok dulu." Tanpa menunggu jawaban, Bowo menghentikan mobilnya didepan sebuah apotik. Dia turun dan memasuki apotik tersebut.

Dewi tersenyum. Entah apa yang tersembunyi dibalik senyumnya tersebut.

"Ini baru awal.." desis Dewi perlahan.

Ketika Bowo kembali dan mengulurkan obat gosok tersebut, Dewi menerimanya sambil meringis kesakitan. "Terimakasih mas,  tapi nanti biar aku gosok dirumah saja."

"Kok dirumah, sekarang saja, nanti terlanjur bengkak."

"Tapi.. aku tidak bisa menggosoknya, sakit sekali.. punggungku juga terasa sakit" Dewi masih meringis kesakitan.

Bowo terpaksa mengambil kembali obat gosok itu. "Mana yang sakit?"

Dewi mengingkapkan rok nya.. " Ini mas.. diatas mata kaki sebelah kanan..

Bowo merasa Dewi menyingkapkan roknya terlalu tinggi kalau memang yang sakit diatas mata kaki. Ada sebagian betis yang kelihatan, atau memang diperlihatkannya, tapi Bowo tak perduli. Ia menggosok bagian atas mata kaki, dan membiarkan Dewi merintih kesakitan, dan memegangi bahunya keras2.

"Sudah, sekarang aku harus mengantarmu kemana?" Bowo naik keatas mobil dengan wajah kesal. Ia merasa bahwa Dewi sangat keterlaluan. 

"Kalau mau kerumah saya, saya sangat berterimakasih, tapi kalau tidak, saya akan mencari taksi saja."

"Baiklah, saya antar kamu sampai kerumah."

Bowo menjalankan mobilnya kearah yang ditunjuk Dewi. Disebuah rumah kecil Dewi minta berhenti. Dewi juga minta dipapah karena tak bisa berjalan. Dirumah mereka disambut bu Harlan yang terkejut melihat anaknya dipapah papah.

"Ada apa Wi? Kenapa ini? Lho.. ini kan...."  Bu Harlan menghentikan ucapannya melihat Bowo. Ia mengenali wajah itu karena bu Prasojo pernah memberikan foto Bowo padanya.

"Ini mas Bowo bu.. aduuh.. kakiku terkilir bu.."

Bowo mendudukkan Dewi kesebuah sofa. Ia menyalami bu Harlan.

"Dewi terjatuh, hampir tertabrak mobil saya.. "

"Aku yang salah, menyeberang jalan tanpa melihat kiri kanan. Untung ada mas Bowo yang menolong ."

"Kamu itu memang ceroboh. Ayo nak.. duduklah dulu.. ibu akan membuatkan minuman.." bu Harlan sangat ramah, ia senang melihat anaknya diantar Bowo, dan tentu saja ada harapan2 lebih. "Aku kan sudah bilang.. anakku itu cantik... batin bu Harlan..

"Tidak bu, terimakasih banyak, saya baru pulang dari kantor." Bowo menyalami kembali bu Harlan dan berlalu.

Bu Harlan melihat Dewi tersenyum senyum. Kemudian dengan heran dilihatnya Dewi berjalan kearah kamarnya. Berjalan sendiri tanpa harus dipapah.

"Dewi, bagaimana kau ini?"

Dewi tertawa. "Cuma pengin digendong orang ganteng."

Bu Harlan melongo ..

 

Begitu memasuki rumah, bu Prasojo menyambut anak lelakinya dengan senyum semringah. Tampaknya dia senang sekali.

"Bowo, kamu tadi bersama Dewi?"

Bowo heran, begitu cepat berita itu tersebar sampai kerumah. Berarti bu Harlan sudah menelpon kerumah sehingga ibunya sudah mengetahui kejadian itu. Tiba2 Bowo teringat bahwa ibunya ingin menjodohkannya dengan Dewi. Kemudian Bowo juga teringat sikap Dewi yang tadi kesakitan dan minta agar dia menggosok kakinya, lalu ia menyingkapkan rok nya terlalu tinggi. Itu sungguh tidak pantas. Tak ada sedikitpun rasa simpatinya pada gadis itu. Dan ibunya begitu gembira mendengar bahwa dia telah mengantar Dewi kerumah.

"Kau hampir menabraknya, apa kau sudah minta ma'af?"

"Sudah..." Bowo berlalu dan terus masuk kedalam rumah, tanpa memperdulikan ibunya yang tampaknya masih ingin bicara. Sesungguhnya Bowo kesal pada ibunya, tapi ditahannya demi janjinya pada Asri. Lagian Bowo tau, kalau dia menegur ibunya pasti kebenciannya pada Asri semakin bertambah. Sambil duduk diatas pembaringan, Bowo mencoba berfikir tentang kebencian ibunya pada  Asri. "Ibu juga ingin agar Dewi bekerja dikantorku. Apa karena itu maka Asri yang tidak berdosa harus dibencinya? Dan karena itu pula maka Asri ingin keluar dari pekerjaannya?" bisik Bowo sambil merebahkan tubuhnya diatas kasur. Bowo sungguh merasa letih, lahir dan batinnya.

Malam itu Asri gelisah dipembaringannya. Ia memikirkan kata2 Bowo yang menyatakan cintanya. Sungguh Asri belum pernah mendengar seorangpun laki2 mengatakan.. Asri, aku mencintaimu.  Damarpun tidak. Mereka belajar bersama, main bersama, jalan2 bersama.. tapi tak pernah terucap kata itu. Rasa itu mengalir begitu saja dan mereka sudah memahami perasaan satu dan lainnya. Tiba2 rasa rindu pada Damar menyergapnya. Didekapnya guling erat2.. dan berbisik lirih..:" Damar.. sedang apa kau disana? Apakah kau sudah menikah dengan Mimi? Bahagiakah kau sekarang? Atau kau sudah melupakan aku?" Lalu ucapan Bowo kembali terngiang ditelinganya. Benarkah dia mencintai aku? Seorang pengusaha kaya.. ganteng pula.. mencintai anak seorang sopir.. tak berpendidikan.. dan..

Tiba2 terdengar bunyi telephon dari ponselnya.

#adalanjutannyaya#

SEPENGGAL KISAH XXXIX

Ketika Bowo masih mengamati bungkusan baju itu, tiba2 Asri keluar membawa segelas air. Asri terkejut melihat Bowo memegangi bungkusan itu. Asri bingung harus menjawab apa. Asri juga menyesal karena tak menyimpan bungkusan itu didalam kamar...

"Asri.. ini apa?" Bowo mengangkat bungkusan itu.. dan Asri bingung untuk menjawabnya. Ia meletakkan gelas diatas meja, tapi karena tangannya gemetar maka tergulinglah gelas itu dan airnya tumpah membasahi taplak meja serta sebagian membasahi lantai. Tergopoh Asri mengambil pel kebelakang. Bowo mengikutinya.

"Ma'af mas...," masih gemetar Asri ketika Bowo memegang lengannya.

"Nanti aku bantu mengepel lantaimu, sekarang jawablah dulu pertanyaanku.. ini baju yang kamu memilih ditoko itu bukan? Yang aku berikan pada ibu dihari ulang tahunnya?"

"Mas... itu..." Asri tak menemukan jawaban untuk pertanyaan itu. Jawaban yang membuat semuanya menjadi baik tak ada permusuhan dan kemarahan. Aduhai.. jawaban apa..

"Asri...." Bowo memegangi kedua lengan Asri. Asri masih gemetar. Kedua telapak tangannya dingin berkeringat."Mengapa kau tak mau menjawabnya?

Bowo teringat raut muka ibunya ketika ia mengatakan bahwa Asri yang memilihkan bajunya. Wajah yang tadinya berseri penuh bahagia, mendadak berubah seperti langit tertutup mendung. Bowo kemudian menduga duga.. apa ibunya sangat membenci Asri sehingga tidak sudi memakai baju pilihan Asri? Lalu memberikan baju itu pada Asri? Itu pasti sesungguhnya dugaan yang benar, tapi Bowo ingin Asri sendiri mengucapkannya, mengatakannya terus terang.

"Asri.. kau takut mengatakannya? Baiklah.. ibuku tak suka baju pilihanmu.. lalu memberikannya untukmu. Begitu kah?"

Tapi Asri diam membisu. Air mata mulai mengambang dipelupuk matanya. Bowo merasa kasihan. Pasti Asri takut mengatakannya. Kemudian Bowo menuntunnya agar duduk dikursi. Bowo tidak mengerti, mengapa ibunya membenci Asri. Gadis baik yang pintar dan tak pernah melukai siapapun. Gadis yang bersedia menutupi luka hatinya agar tak membuat ada kemarahan dan sakit hati bagi yang lainnya.

"Apa dugaanku benar?"Bowo meraih tissue yang ada dimeja itu dan memberikannya pada Asri. Asri mengusap setitik air matanya dan menguatkan batinnya. 

"Ada satu permintaan saya," kata Asri gemetar. Bowo mengangguk. dan Asri melanjutkan kata2nya sambil kembali mengusap air matanya. "Kalau saya mengatakan hal ini.. jangan sampai mas Bowo marah. Kepada saya.. juga kepada bu Prasojo..

Bowo terdiam. Separuh dugaannya benar. Kekagumannya pada Asri sungguh tak terkira. Ia bisa membayangkan, ibunya yang kesal..marah dan tidak suka.. bisa mengucapkan kata2 apa saja, tidak perduli melukai atau tidak. Tapi Asri bisa menahannya, merhasiakannya.. dan  bahkan melarang dirinya agar tak marah pada ibunya. Padahal sesungguhnya dia marah. Namun demi gadis yang dikagumi dan disayanginya, Bowo mengangguk.

"Memang benar, bu Prasojo memberikan baju itu. Tapi tidak mengucapkan sepatah katapun. Beliau datang, memberikan sebuah bungkusan berisi baju ini, lalu pergi, sehingga saya juga tak sempat berkata apapun. Namun saya bisa menangkap semuanya. Bu Prasojo tidak suka baju pilihan saya setelah saya yakin pasti mas Bowo memang mengatakannya pada ibu  bukan?"

"Benar, aku mengatakan pada ibu, supaya ibu memujimu,"

"Ternyata tidak bukan? Saya juga tidak mengerti mengapa bu Prasojo membenci saya." Asri menghela nafas. Lega karena telah melepaskan sebagian beban yang bergayut dihatinya. 

"Mas Bowo sudah berjanji untuk tidak marah bukan? Pada saya.. juga pada bu Prasojo, saya akan pegang janji itu."

Bowo ingin sekali memeluk Asri dan mendekap kedadanya. Tapi tidak, Bowo sangat menjaga kehormatan wanita yang dicintainya, ia cukup menepuk nepuk pundaknya sambil menahan segala perasaannya.

"Asri, aku mencintai kamu," kata2 itu meluncur begitu saja, seperti arus deras mengalir tak tertahan karena sudah memenuhi isi dadanya.

Asri sangat terkejut. Ia mundur beberapa langkah dan memandang Bowo dengan pandangan tak mengerti. Ia berlari kebelakang mengambil kain pel dan kembali untuk membersihkan air yang membasahi meja dan lantainya. Bowo meemgangi tangan Asri, merebut kain pel itu dan mengelap air yang masih menggenang dimeja itu.

"Ma'af Asri, jangan marah.. tapi kata2 itu keluar dari lubuk hatiku.Kau tak perlu membalasnya sekarang. Tapi aku lega bisa mengatakannya. Perasaan ini yang sudah lama ingin aku katakan padamu."

Bermacam perasaan masih meng aduk2 hati Bowo ketika ia sendirian dalam perjalanan pulang. Tentang ibunya..tentang ungkapan perasaannya.. Sesungguhnya ia marah sekali pada ibunya. Asri kan tidak melakukan kesalahan apapun. Mengapa ibunya menumpahkan kekesalannya pada Asri? Ia memilihkan baju yang sesunggahnya ibunya suka, mengapa setelah tau bahwa Asri yang memilihnya kemudian seperti marah pada Asri?Haa.. apa itu juga yang membuat Asri kemudian menulis surat pengunduran diri?  Sesampai dirumah nanti aku harus bertanya pada ibu. Tapi.. Bowo kemudian teringat janjinya pada Asri.. dia tidak akan marah.. tidak akan marah.. baiklah.. tidak akan marah..Tapi ada sedikit rasa lega ketika dia sudah berhasil mengungkapkan perasaannya pada Asri. Coma ia tidak tau apa jawaban Asri nanti. Akankah dia menerima.. atau menolaknya?

Bowo mengendarai kendaraannya dengan pelan, karena merasa bahwa pikirannya tidak tenang. Namun tiba2 sesorang menyeberang didepannya. Berderit bunyi rem dari mobilnya. Ya ampuun, tidak sampai menabrak, tapi orang itu terjatuh. Bowo turun dari mobilnya dan membantunya berdiri. Ia mengamati apakah ada yang terluka dari orang itu. Tapi Bowo terkejut, yang nyaris ditabraknya adalah Dewi. Bagaimana Dewi bisa sampai kesana sementara rumahnya seharusnya tidak melewati jalan itu?

#adalanjutannyalho#

Thursday, November 22, 2018

SEPENGGAL KISAH XXXVIII

Bowo agak kesal karena keinginan untuk mengutarakan isi hatinya gagal lagi. Dipandanginya perempuan yang agaknya pegawai rumah makan itu. Dan tiba2 Asri juga mengenalnya.

"mBak Dewi?"

Haa.. sekarang Bowo baru ingat. Dewi.. yang pernah bertemu ketika ia membelikan baju hadiah untuk ibunya, dan dia adalah Dewi anaknya bu Harlan.

"Selamat sore mas, mas Bowo lupa ya sama saya?" Dewi begitu ramah.. 

" Oh.. mm.. ya.. lupa2 ingat.. habisnya baru ketemu sekali. Bekerja disini?"

"mBak Dewi bekerja disini?" Hampir bersamaan Asri juga mengutarakan pertanyaan yang sama.

"Ya, baru dua hari ini.. Baru pulang dari kantor?"

"Benar, pulang kantor.. terus tiba2 haus."

"Mengapa bekerja disini ?" tanya Asri tiba2

"Nggak apa2.. ini rumah makan punya teman, aku hanya membantu.Tuh.. di kasir. Nggak apa2 kok, aku senang."

Asri jadi merasa nggak enak. Dulu ketika datang kekantor, bu Prasojo pernah bilang bahwa Dewi lebih pantas duduk dikursinya. Tapi sekarang Dewi malah jadi pegawai restoran, tampak senang lagi. Tiba2 ia menjadi merasa bersalah.

"Ayolah disampaikan, mau tambah pesen apa lagi?" tanya Dewi ramah.

"Aku kenyang.."jawab Asri lalu memandangi Bowo.

"Ya, kami hanya ingin minum, terimakasih."

"Lain kali datanglah kemari lagi lalu kita bisa ngobrol bersama."

Namun ketika keduanya pergi,  entah mengapa, ada sedikit rasa cemburu dihati Dewi. Bowo itu gagah..ngganteng.. kaya.. mengapa harus bersanding dengan Asri? Tadinya Dewi tak lagi memikirkannya, tapi melihatnya kembali berdua sore ini, ada rasa aneh yang menggelitik pikirannya. Dan kemudian Dewi berjanji dalam hati :"Aku akan merebut mas Bowo dengan caraku, jangan dengan campur tangan ibu."

Diperjalanan Asri masih mengingat ingat ketika bu Prasojo ingin Dewi bekerja dikantor Bowo.Seandainya ia keluar sekarang, apakah Dewi bisa bekerja disana.

"Mengapa diam saja? Apa yang kau pikirkan?

"Kasihan mbak Dewi. Sebetulnya ia lebih pantas menjadi sekretaris mas Bowo."

Bowo tertawa. "Mengapa kamu mengatakan itu? Pantas dan tidaknya itu kan aku yang menentukannya."

"Seandainya aku keluar, apakah mas Bowo mau menjadikan mbak Dewi sebagai sekretaris?"

"Ada2 saja. Suatu pekerjaan tidak bisa ditukar begitu saja dari satu orang ke orang yang lain. Lagipula sudahlah.. kenapa kita harus memikirkan itu?"

Asri kemudiana merasa bahwa Dewi tidak senyinyir ibunya ataupun bu Prasojo yang memandangnya dengan sinis. Bertemu dua kali setelah kedatangan mereka Asri merasa bahwa Dewi orangnya baik. Dia ramah dan sedikitpun tidak membencinya walau sebenarnya dulu menginginkan kedudukan seperti dirinya dikantor Bowo. 

Sesungguhnya Bowo merasa kesal karena keinginannya sore itu gagal total. Salahkah Dewi, atau memang Tuhan belum mengijinkan dia mengutarakan cintanya pada Asri.

Kemudian keduanya tenggelam dalam lamunannya masing2.

"Sesungguhnya di restoran mana Dewi bekerja jeng?"tanya bu Prasojo ketika ia bertamu kerumah bu Harlan sore itu.

"Ini lho nama restorannya. " Bu Harlan mengangsurkan sebuah kartu yang sejak tadi tergeletak dimeja didepan mereka.

"Saya jadi merasa bersalah jeng, mengapa tidak segera bisa menyingkirkan Asri dari sana lalu Dewi bisa menggantikannya.

"Dulu mbakyu bilang Asri mau keluar."

"Benar, tapi Bowo dan bapaknya melarangnya. Jadi ya tetaplah dia masih bekerja disana. Tapi sesungguhnya ada posisi lain..entah dimana nanti.. aku akan terus membujuk bapaknya Bowo."

"Sudah jeng, Dewi sudah nggak mau. Dia sudah suka bekerja dirumah makan temannya itu. Nanti kalau saya paksa dia .. malah dia marah2 sama saya. "

"Mengapa begitu ya, apa dia tidak suka sama Bowo anak saya?"

"Dewi tetap merasa bahwa Bowo menyukai Asri. Dia bilang tak ingin mengganggunya."

"Itu nggak mungkin jeng, masa aku harus berbesan sama Marsam sopirku sendiri. Waduuh.. mau saya taruh dimana muka ini? Tidak.. tidak.. amit2 ..amit2.. jangan sampai.." jawab bu Prasojo dengan wajah seakan melihat sesuatu yang menjijikkan.

Sampai mobil itu didepan rumah Asri mereka masih terdiam. Tapi kali itu Bowo ingin mengatakan cintanya dirumah Asri saja. Itulah sebabnya dia ikut turun dan mengikuti Asri dari belakang. Asri heran dan menatap Bowo penuh tanda tanya.

"Sampai disini saja mas, terimakasih banyak." 

"Aku haus lagi, bolehkah minta segelas air putih? Tanya Bowo. Ia sungguh ingin sekali mengatakan perasaannya sore itu, supaya ia segera tau apa jawab Asri setelah mendengar isi hatinya.

Oh, baiklah.. silahkan masuk,, "Asri membukakan pintu dan mempersilahkannya duduk. Pak Marsam belum pulang sehingga rumah itu sepi sekali. Hati Bowo berdebar debar , ia sedang mereka reka kata2 yang pantas dia ucapkan nanti. Tapi alangkah gelisah ia memikirkannya. Sambil menunggu Asri  mengambilkan air putih yang dimintanya, ia memandangi ruangan yang walau sederhana tapi tampak bersih dan rapi. Dipojok sana dilihatnya foto perempuan berkebaya  sedang memangku seorang gadis kecil. Bowo berdiri mendekat..dan menduga duga, Ini pasti ibunya Asri dan Asri yang masih kecil, pantas Asri cantik, ibunya juga cantik.

Tiba2 Bowo melihat sesuatu, sebuah bungkusan tergeletak diatas almari kecil didekat foto itu. Ia mengenali bungkusan itu, yang dengan berdebar kemudian dibukanya. Gaun ibunya, yang diberikannya ketika ibunya berulang tahun. Mengapa ada disitu?

#adalanjutannyalho#

SEPENGGAL KISAH XXXVII

Bowo terkejut dengan apa yang baru saja diucapkannya. Demikian juga Asri. Mereka berpandangan sejenak. Bowo tersenyum lalu mobil itu menepi.

"Ma'af ya.. aku melamunkan yang tidak2. Itu tentang cinta. Cinta seorang laki2 yang tak terbalas. Sungguh kasihan... " Bowo seperti bicara pada dirinya sendiri. Asri memandanginya tak mengerti. 

"Maukah mau mendengarkan ceriteraku? " Bowo sendiri bingung akan mengatakan apa. Daripada bingung lebih baik ia berterus terang.

"Asri..apakah kau tega meninggalkan aku?"

"Maksud bapak?" Asri pun juga bingung..

"Kalau kau resign.. berarti kau meninggalkan aku." 

"Tapi..."

"Tidak bukan?Kau tidak akan pergi?"

"Saya bingung..."

"Aku sungguh tidak mengerti..aku juga bingung. Aku yakin ada yang membuatmu membuat keputusan itu. Aku yakin kau akan tetap meninggalkan pekerjaanmu."

Kemudian Bowo sadar bahwa sesungguhnya bukan itu yang ingin dibicarakannya. Bukankah ia ingin menyatakan cinta? Aduuh... Bowo menepuk jidatnya.

"Kenapa pak?" Dan Bowo terkejut dengan kelakuannya sendiri, ia merasa seperti linglung, tapi kemudian ia membelokkan perhatian Asri.

"Asri.. ini bukan dikantor. Kau lupa pada permintaanku.. kalau diluar kantor  aku bukan pak Bowo tapi mas Bowo."

"Ya, ma'af.." Asri menjawab singkat. Sesungguhnya Asri juga bingung melihat sikap Bowo kali itu.

"Aku haus, kita mampir minum sebentar ya?" Tanpa menunggu jawaban Asri Bowo sudah keluar dari mobil. Bowo bertekat akan mengutarakan cintanya nanti, setelah batinnya tenang, barangkali setelah meneguk minuman dingin diwarung itu. Ia membukakan pintu samping dan menarik Asri keluar karena melihat gadis itu masih terdiam seperti patung.

"Temani aku ya?"

 

"Jadinya bagaimana pak?" bu Prasojo buru2 menanyakan pada suaminya begitu mereka duduk menghadapi secangkir kopi sepulang pak Prasojo dari kantor.

"Apanya yang bagaimana?"

"Asri jadi keluar ?" Bu Prasojo harap2 cemas menunggu jawaban suaminya.

Pak Prasojo kesal pada isterinya. Gara2 ingin mencarikan pekerjaan untuk Dewi dia sungguh berharap Asri akan keluar dari pekerjaannya.

"Pak..." ulang bu Prasojo ketika melihat suaminya tak bereaksi.  . malah memperhatikan acara televisi yang biasanya tak membuat suaminya tertarik.

"Jadi tidak pak?"

"Mengapa kau berharap Asri akan keluar? Tidak, Asri akan tetap bekerja untuk perusahaan kita."

"Mengapa tidak jadi?" itu pertanyaan konyol bukan? Harusnya bu Prasojo tau bahwa suami dan anaknya akan menahan Asri supaya tidak keluar.Tapi  bu Prasojo sudah terlanjur berjanji pada sahabat arisannya bahwa sebentar lagi Dewi akan mendapat pekerjaan.dan itu yang membuat dia menegaskan tentang jadi tidaknya Asri resign dari perusahaan

Dering telephone membuat bu Prasojo langsung berdiri. Pasti dari bu Harlan. Gimana menjawabnya nanti.. pikirnya ..

"Hallo... oh iya jeng.. ini saya lagi bicara sama bapaknya Bowo.. haa.. Dewi tidak mau? Lho.. bekerja dimana? Waduuh.. dirumah makan temannya? ... kenapa diijinkan jeng... yaaah.. susah2 saya merayu suami ... ya.. gimana.. sudah sejak kemarin ? Baiklah .. baik jeng.. besok kan ketemu.. kita bisa bicara lagi.. selamat sore...

Bu Prasojo meletakkan gagang telephone dan bergegas mendekati suaminya.

"Dengar pak.. Dewi sudah dapat pekerjaan."

"Ya baguslah.. bukankah itu yang diharapkan?"

"Tapi pak.. dia bekerja direstoran temannya. Sudah sejak kemarin.."

"Syukurlah.."

" Tapi dia menjadi pelayan restauran.."

"Memangnya kenapa kalau pelayan restoran? Apakah itu hina?"

"Tapi dia itu sarjana lho pak.. sarjanaaa!" Bu Prasojo menekankan kata "sarjana" pada kalimatnya.

"Ya tidak apa2 to bu..sarjana atau bukan.. dia boleh melakukan pekerjaan apa yang dipilihnya.. ada anak teman sekolah bapak yang cuma jadi tukang parkir. Dia juga sarjana kok."

"Ah.. kasihan bener.. yang bukan sarjana bisa duduk dikantoran,, yang sarjana cuma jadi pelayan. Kalau ibu ketemu akan ibu tegur dia  .."

"Ya.. tegur saja.." jawab pak Prasojo sekenanya.. dan itu membuat bu Prasojo sangat berang. Keinginannyaa tidak sejalan dengan keinginan suaminya.. sungguh menjengkelkan.

 

Rumah makan itu belum begitu ramai. Mungkin karena hari masih sore dan belum sa'atnya orang2 kelaparan. Bowo memilih tempat duduk agak kedalam agar jauh dari orang2 lain yang sedang makan atau minum.

Mereka duduk berhadapan.. lalu Bowo memesan minuman. 

"Kamu lapar?" Asri menggeleng. Baiklah, Bowo juga tidak lapar.. ia hanya ingin menenangkan pikirannya. Sepuluh tahun silam perasaan ini pernah dirasakannya. Perasaan cinta pada Dewi, bukan Dewi anaknya bu Harlan. Ini Dewi yang sesungguhnya akan menjadi isterinya. Sayang takdir menuliskan lain. Dewi meninggal akibat penyakit kanker darah yang disandangnya. Kala itu hati Bowo sempat hancur.. dan bertahun tahun lamanya ia baru bisa melupakannya. Banyak gadis berlomba mendekatinya, tapi Bowo tak pernah memperdulikannya. Laki2 ganteng yang punya senyum menawan ini baru merasakan kembali cinta.. setelah bertemu Asri. Gadis muda yang umurnya jauh dibawahnya., gadis belia inilah yang membuat pintu cintanya kembali terbuka.Gadis manis yang pintar, ..yang seakan tak pernah memperdulikan perasaan hati Bowo. Benarkah Asri tak pernah tertarik pada senyumannya, pada perhatiannya.. dan semua yang dia lakukan untuknya? Berdebar hati Bowo, tapi dia harus melakukannya.

Segelas minuman dingin itu telah dihabiskannya. Hati Bowo sedikit tenang. Dipandanginya gadis manis yang membuatnya jatuh bangun ini..Ia harus mengatakannya sekarang.. diterima atau tidak.. sekarang sa'atnya.

"Asri..." Asri mengangkat mukanya. Dari tadi ia hanya minum sedikit, dan lebih banyak waktunya dihabiskan dengan mempermainkan sendok pada minuman itu.

"Aku ingin mengatakan sesuatu."

"Ya...." 

"Sesungguhnya... aku.....

Tiba2 sebuah teriakan nyaring terdengar.. " Asri...!"

Bowo menghentikan kata2nya. Dilihatnya wanita cantik yang mendekati mejanya .. lalu ia mengingat ingat... karena merasa pernah bertemu dengannya.


#adalanjutannyalho#


Wednesday, November 21, 2018

SEPENGGAL KISAH XXXVI

SEPENGGAL KISAH  36


"Kita nggak jadi ke kantor dulu,  pak Marsam. Kekantornya Bowo saja." perintah pak Prasojo kepada pak Marsam.

Pak Marsam bertanya dalam hati. Kemarin pak Prasojo bilang akan ada meeting pagi, kenapa sekarang harus kekantor puteranya dulu. Tiba2 pak Marsam berdebar debar. Jangan2 karena kemarin Asri mengajukan surat pengunduran diri.

"Pak Marsam tahu nggak .. bahwa kemarin Asri mengajukan surat pengunduraan diri?" Pak Prasojo bertanya tiba2.

" Oh.. iya.. tampaknya begitu.. tapi..."

"Apa pak Marsam tau mengapa tiba2 Asri ingin berhenti bekerja?"

Bingung pak Marsam menjawabnya. Apa ia harus mengatakan tentang baju itu? Tidak.. bukan hanya itu penyebabnya, dan pak Marsam yakin bahwa tak mungkin Asri mengatakan tentang baju itu kepada atasannya.

"Pasti bapaknya tau..."

"Tidak pak..mm.. maksud saya.. Asri hanya ingin bekerja dirumah saja. "

"Masa itu alasannya?"

"Ma'af pak.. kadang2 orang tua tidak harus mengetahui terlalu banyak tentang anaknya yang sudah dewasa." Jawab pak Marsam sekenanya.

"Apa itu tentang pacar? Asri dilarang oleh pacarnya?"

"Oh.. tidak mungkin pak.. Asri belum punya pacar.. kalau ada pasti saya mengetahuinya. "

Pak Prasojo tau pasti bahwa pak Marsam tak akan bisa memberikan jawaban yang pasti. Tapi ada sesuatu. Dan itulah yang pasti. Tapi apa..

 

Diruangan pak Prasojo Asri kemudian dipanggil. Pak Prasojo menanyakan perihal keinginannya untuk keluar dengan pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan yang dilontarkan kepada pak Marsam. Jawabannya juga tak memuaskan.

"Saya hanya merasa tidak pantas pak.. saya kan hanya lulusan SLTA,, dan tidak pantas duduk dikursi sekretaris. "

"Kau sudah menjalaninya lama. Baru merasa begitu sekarang?"

"Saya sudah lama memikirkannya. Baru sekarang bisa melakukannya."

"Kamu bohong bukan? Kamu menyembunyikan sesuatu?Ada yang mendorongmu untuk melakukan itu"

Pertanyaan pak Prasojo itu dirasakan seperti sebuah tembakan beruntun yang sulit dihindarinya. Hampir saja Asri mengangguk dan mengatakan yang sebenarnya. Ia tak tahan melihat tatapan mata pak Prasojo dan ia harus menghindarinya. Asri menundukkan kepalanya, dan menahan agar air matanya tak jatuh.

"Benar? Tatap mataku Asri dan katakan yang sebenarnya."

Asri menggelengkan kepalanya. "Tidak ada pak.. sungguh.."

"Kalau begitu aku sependapat dengan Bowo. Aku menahanmu untuk tetap bekerja disini."

"Mengapa pak?" Lirih Asri mengatakannya. Hampir berbisik.

"Kalau kau bekerja dengan buruk maka aku tidak akan menahannya. Aku memandang bapakmu yang semakin tua. Kau harus menjadi anak kebanggaannya."

"Mengapa pak?" Kali ini Asri terisak. Tak tahan ia menyembunyikan keharuannya atas perhatian majikan ayahnya ini kepada keluarganya.

"Bapakmu sudah bekerja selama berpuluh tahun bersamaku. Sejak ibumu masih ada, sejak kau masih berumur belum lima tahun. Dan dia sudah seperti keluarga bagi kami. Kalau bapakmu tidak bisa menjadikanmu orang.. maka akulah yang akan melakukannya."

Asri terisak. Ia tak menyangka begitu besarnya karunia ini. Karunia yang berupa kasih sayang dari seseorang yang dalam derajat dan kedudukan bagaikan bumi dan langit dengan keluarganya. Sungguh Asri tak mengira. Jadi ketika bapaknya bilang bahwa pak Prasojo ingin menyekolahkannya, itu adalah benar adanya. Sekarang baru Asri merasakannya.

"Jadi.... sekarang hapus air matamu." Pak Prasojo mengangsurkan tisue yang kemudian dipakai Asri untuk mengusap air matanya. "Lalu kembalilah bekerja. Anak baik.. kau pasti menurut apa kataku bukan? Buat ayahmu bangga bahwa kau bisa melakukan hal yang semestinya dilakukan oleh orang berpendidikan tinggi. Bukan alasan yang tepat kalau kau ingin berhenti karena merasa pendidikanmu hanya SLTA. Kau bisa belajar banyak hal, dan kau menangkap semuanya dengan kecerdasanmu,"

Pak Prasojo menepuk nepuk bahu Asri dan meninggalkannya.

Asri masih termangu. Kata2 pak Prasojo itu memang bisa menghentikan langkahnya untuk pergi, tapi kalau diingat sikap bu Prasojo .. Asri kembali bingung.

"Tidak bu.. aku nggak mau meminta minta seperti pengemis." kata Dewi kepada ibunya.

"Apa maksudmu?"

"Aku sudah melihat sikap mas Bowo, dan aku tidak lagi tertarik untuk bekerja disana. Biar aku mencari pekerjaan lain saja."

"Jangan bandel, susah2 ibumu ini minta agar bu Prasojo membantumu, tapi kau malah bilang nggak mau kerja disana. Apa sih maksudmu?" Bu Harlan tampak marah.

"Ya sikap meminta tolong itu yang tampak seperti pengemis bu, dulu juga kita sudah tau bahwa mas Bowo sudah punya sekretaris.. dan dia itu baik lho.. mengapa ibu masih memaksakan kehendak untuk tetap berharap."

"Bukan ibu yang memaksa, bu Prasojo sendiri yang meminta agar kau bisa bekerja disana. Dia itu ingin mengambilmu sebagai menantu. Tau?"

"Dulu aku mau .. karena belum tau .. sekarang tampaknya mereka itu saling suka.. masa aku harus merusaknya?"

"Sok tau kamu.. bu Prasojo sendiri bilang bahwa mereka tidak pacaran, dan bu Prasojo juga bilang bahwa Asri mau resign dari pekerjaannya."

"Masa ?" Dewi tak percaya.

"Bu Prasojo sendiri yang bilang"

"Tapi aku sudah janji sama temanku.. untuk ikut bekerja dirumah makan.. milik dia.."

"Apa? Bekerja dirmah makan? Kamu itu sarjana Dewi.. masa jadi pelayan rumah makan?" Bu Harlan sampai berdiri dan menuding anaknya dengan sengit.

"Tidak apa2 kalau jadi pelayan juga. Yang penting halal."

Pembicaraan yang semakin memanas itu berhenti karena Dewi segera pergi meninggalkan ibunya yang semakin marah melihat sikapnya dan juga marah mendengar keinginannya.

Sore itu sepulang kantor Asri menurut saja ketika Bowo nekat mengantarnya pulang. Tak banyak yang mereka bicarakan, karena keduanya sedang tenggelam dalam pikirannya masing2. Asri bingung atas apa yang harus dilakukannya,sedangkan  Bowo khawatir Asri akan meninggalkannya karena dilihatnya Asri masih ragu untuk melanjutkan pekerjaannya atau tidak.Tiba2 Bowo merasa batinnya seperti diiris. Tiba2 ada rasa takut yang membelit perasaannya. Takut kehilangan benda berharga yang disayanginya. Ya Tuhan.. aku mencintainya.. desis batin Bowo dengan sedih. Jangan biarkan dia pergi.. aku mencintainya.. dan desis yang terakhir itu sampai keluar dari mulutnya. Asri mendengarnya..

#adalanjutannyalho#

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...