MEMANG KEMBANG JALANAN 01
(Tien Kumalasari)
“Mas, sarapan sudah siap,” kata Tindy sambil melongok ke arah kamar. Dilihatnya suaminya sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Aroma parfum maskulin merebak memenuhi kamar. Tindy tersenyum tipis. Suaminya boleh dikata sangatlah pesolek. Wajah gantengnya dirawat dengan sangat baik. Ia juga sering ke salon untuk mencuci muka, atau sekedar merapikan rambutnya yang berombak.
Tapi senyuman Tindy bukanlah senyuman kebanggaan karena memiliki suami tampan seperti Haryo. Ada sesuatu yang tersembunyi dibalik senyuman itu, entah apa.
“Mengapa berdiri disitu? Melihat orang lagi dandan?” ucap Haryo tak senang.
“Aku cuma mau bilang sama mas, bahwa sarapan sudah siap,” jawab sang isteri dengan memendam rasa kesal.
“Aku tidak sarapan pagi ini.”
“Tidak?”
“Tidak, aku sedang tergesa-gesa.”
“Kalau tergesa-gesa, kenapa dandannya lama sekali? Seperti perempuan saja,” gerutu sang isteri sambil masih tetap berdiri didepan pintu.
“Kamu bisa nggak sih, jadi perempuan jangan terlalu usil? Apa ini mengganggu?”
“Aku ini memperhatikan kamu Mas, bukannya usil,” katanya sambil pergi dari kamarnya, langsung kearah ruang makan.
“Mana Bapak?” tanya salah seorang anaknya yang sudah siap menunggu di depan meja makan.
“Bapak tidak sarapan.”
“Lhoh, kenapa?”
“Jangan tanya kenapa, Ibu sendiri tidak tahu. Tapi dia bilang sedang tergesa-gesa.”
“Aduuuh... tergesa-gesa, tapi sudah dari tadi bapak berdandan. Aku tahu karena aku masuk ke kamar Bapak, saat Bapak sudah selesai mandi. Aku sudah selesai dandan dan Bapak belum?”
Tindy mengangkat bahu, lalu duduk di antara anak-anaknya, sarapan nasi soto ayam yang dia masak sendiri sejak sehabis subuh tadi, karena pembantu sedang tidak masuk kerja.
“Bapak itu sangat terkenal di kampus,” kata Lala anak sulungnya.
“Iya lah, Bapak kan dosen, apa aneh kalau terkenal? Semua mahasiswa mengenalnya.”
“Bukan karena dia dosen.”
“Karena apa?”
“Suka mentraktir cewek-cewek cantik,” kata Lala sambil menggigit kerupuk yang baru saja diambilnya.’
Wajah Tindy muram. Bukan sekali itu dia mendengar bahwa suaminya suka mengganggu mahasiswanya yang cantik-cantik. Ia hanya diam, barangkali wajar kalau orang ganteng bersikap genit.
“Ibu jangan marah.”
“Apa? Marah? Tidak,” kata Tindy, pura-pura tak peduli.
“Iya, Ibu tak akan marah, yang penting Bapak masih sangat perhatian kepada keluarganya,” kata Desy, anak ke duanya.
“Benar, yang penting tetap sayang sama Ibu,” sambung Tutut, si bungsu.
Tindy hanya tersenyum mendengarkan celoteh anak-anaknya. Hanya karena mereka bertiga Tindy bisa menjalani hidupnya. Tak ada yang tahu, bahwa seorang wanita sangatlah peka melihat perubahan sikap suaminya, sekecil apapun.
“Aku berangkat dulu,” kata Haryo sambil berdiri didepan ruang makan.
“Bapak, sebenarnya Tutut mau ikut mobilnya Bapak,” rengeknya.
“Tidak bisa, Bapak harus segera sampai ke kantor. Apalagi kamu masih makan begitu,” kata Haryo sambil berlalu.
“Hm, wangi bener baunya...,” celetuk Desy.
“Biasanya juga wangi,” sambung kakaknya.
“Ini wanginya beda, tampaknya bapak membeli parfum baru. Atau ibu yang membelikannya?” tanyanya sambil menatap Ibunya, yang mulai berdiri untuk mengantar suaminya ke depan.
“Tidak, tak pernah,” sambung Tindy sambil berlalu.
Sesampai didepan, suaminya sudah naik ke atas mobilnya, dan menstarternya.
“Hati-hati Mas,” teriak Tindy.
Haryo berlalu, tanpa sepatah kata pun menjawab. Mengangguk pun tidak.
Tindy menghela nafas, dan menghembuskannya dengan kasar, lalu kembali ke ruang makan. Dilihatnya ketiga anaknya masih asyik menikmati sarapan paginya.
“Pagi ini masakan Ibu enak sekali,” kata Lala.
“Memangnya biasanya nggak enak?” sambung Desy.
“Lebih enak, maksudku. Sayangnya Bapak nggak mau mencicipinya terlebih dulu.”
“Ibu mengajar hari ini?” tanya Tutut.
“Iya, sebentar lagi. Kamu mau ke sekolah bareng Ibu?”
“Iya, kalau Ibu tidak keberatan.”
“Mana mungkin Ibu keberatan, ayolah kita selesaikan sarapan kita, ini sudah siang.”
“Aku juga mau ke kampus, bareng Desy. Tapi nggak mungkin lewat ke sekolah kamu kan Tut, muternya terlalu jauh.”
“Iya, aku tahu, aku bareng Ibu kok.”
“Ibu sudah selesai, setelah membereskan meja, kalian boleh bersiap-siap, Ibu malah belum dandan,” kata Tindy sambil berdiri.
“Iya bu, dandan yang cantik dan wangi, jangan kalah sama Bapak,” goda Lala.
Tindy tersenyum lebar.
“Ibu kan tidak pandai berdandan,” kata Tindy sambil berlalu.
“Ibuku tanpa bersolek juga sudah cantik.. ya kan Bu?”
Tindy masuk ke kamarnya, dan bersiap untuk pergi ke kampus, tempat dia mengajar. Dia mengajar di sebuah universitas terkenal di kota itu. Haryo, suaminya, mengajar di perguruan tinggi yang lain, sehingga ia tak pernah bisa bersama-sama.
***
Sambil mengendarai mobilnya itu Haryo menerima telpon dari seseorang.
“Ya, tentu saja, nanti isteri saya yang akan menanda tangani kontrak rumah itu. Perpanjangan tiga tahun? Baiklah, berapa pun harganya, yang penting isteri saya setuju, Tentu, nanti dia akan sekalian membawa uangnya. Baik, baik... ya Bu, isteri saya sudah mengingatkan, hari ini dia pasti datang ke rumah Ibu. Terimakasih Bu,” lalu Haryo menutup ponselnya.
Tak berapa lama, ponselnya berdering lagi.
“Mas, mas dimana ?”
“Sedang dalam perjalanan ke kampus. Ada apa?”
“Bu Sigit tadi menelpon, menanyakan tentang perpanjangan kontraknya.”
“Apa kamu masih suka rumah itu?”
“Tentu saja aku suka, cuma harus ada beberapa yang diubah. Tatanan untuk dapur, sepertinya itu sudah kuno.”
“Itu gampang. Rencanakan saja semuanya, dan tentang kontrak itu, dia sudah menelpon baru saja. Kamu bisa datang ke rumahnya untuk menanda tangani perpanjangan kontrak.”
“Uangnya?”
“Tidak lama lagi akan aku transfer ke rekening kamu.”
“Terima kasih mas, sama uang belanja juga sudah habis, mana anak-anak juga butuh membayar kuliahnya lho mas.”
“Iya, nanti aku transfer sekalian.”
“Terima kasih Mas, tapi tunggu, nanti Mas ke rumah kan?”
“Iya, setelah mengajar aku ke rumah. Masak apa hari ini?”
“Aku masak soto daging sapi Mas, kesukaan Mas kan?”
“Bagus, tak sabar rasanya untuk mencicipinya.”
“Makanya, Mas cepat datang. Kalau bisa Mas menginap ya?”
“Menginap ?”
“Iya Mas, aku kangen sekali malam-malamku ditemani Mas.”
“Bukankah aku juga selalu ada disini hampir setiap malam?”
“Tapi Mas kan selalu pulang setelahnya.”
“Iya, aku tak mau orang rumah mencurigaiku, sayang.”
“Mengapa Mas tidak mau berterus terang saja sekalian, supaya Mas tidak harus sembunyi-sembunyi.”
“Nanti kita bicarakan lagi saja, ini aku sudah hampir sampai.”
“Baiklah Mas, segera transfer ya Mas.”
“Oke, siap..”
Haryo memasuki halaman parkir. Ketika turun dari mobil, dilihatnya segerombolan mahasiswa sedang bercanda. Haryo sengaja melewati mereka dan menyapa dengan manis.
“Hallo... selamat pagi, anak-anak cantik..”
“Selamat pagi Pak Haryo.”
“Lagi ngomongin apa nih?”
“Lagi ngomongin bahwa kita lapar, tadi belum sempat sarapan.”
“Wauw, kasihan.. sarapan sana gih..”
“Belum dapat kiriman dari ortu nih Pak,” kata salah seorang yang diamini oleh teman-temannya.
“Ya sudah, sarapan sana di kantin.. ayo Bapak temanin, tadi Bapak juga belum sempat sarapan,” kata Haryo sambil menarik tangan salah seorang mahasiswa yang tergolong cantik.
“Horeeee...” teriak mereka serempak, kemudian bersama-sama berlarian ke arah kantin.
Haryo tersenyum senang. Mereka memujanya, karena dia teramat royal. Dan Haryo suka itu.
***
Tindy sedang mematut dirinya didepan cermin. Ia selalu berdandan dengan lugas dan tak berlebihan. Ia juga hanya memoles wajahnya dengan make up yang tidak terlalu mencolok. Tipis, tapi tetap tampak manis.
“Ibu, kami sudah selesai membereskan dapur,” kata Tutut sambil masuk ke kamar ibunya.
“Baiklah, terima kasih nak. Hari ini simbok minta ijin, mungkin untuk satu atau dua hari ke depan, karena anaknya sedang sakit. Jadi kita semua yang harus membereskan rumah,” kata Tindy,
“Iya Bu, kami tahu kok. Ibu sudah selesai?”
“Sebentar lagi, Ibu akan menyiapkan berkas-berkas yang harus Ibu bawa, kamu tunggu didepan ya?”
“Baiklah Bu.”
Tindy tersenyum sambil sekali lagi merapikan dandanannya. Kala hatinya sedang kusut, ketiga anaknya itulah yang selalu menghiburnya. Ia tak tahu mengapa, tapi rasanya Haryo suaminya seperti semakin jauh darinya. Padahal setiap hari dia juga pulang, walau malam sekalipun. Ada yang berbeda. Lalu dia teringat ketika masa-masa masih belia. Ketika Haryo sangat mengejarnya, dan berusaha merebutnya dari siapapun yang mendekatinya.
“Tindy...” panggil seseorang. Saat itu Tindy baru mulai kuliah di sebuah perguruan tinggi.
Tindy terkejut, yang menyapa adalah seorang laki-laki berbadan tegap dan berwajah ganteng. Ia lupa-lupa ingat. Seperti mengenalnya, tapi siapa...?
“Kamu... ss_siapa?”
“Aku siapa hayo, kamu ingat? Padahal aku tidak lupa lhoh, sama kamu.”
Tindy mengawasi laki-laki ganteng bertubuh kekar itu dengan seksama. Memang Tindy agak lupa, tapi wajah itu seperti dikenalnya.
“Kamu Hendri bukan?” Tindy mencoba menebak.
“Bagus, kamu masih ingat aku.”
“Lupa-lupa ingat sih, kamu dulu kurus, dan badan kamu kecil, sekarang beda banget.”
“Iya, aku makan banyak supaya cepat gede,” candanya.
“Bisa saja kamu. Kamu kuliah disini ?” tanya Tindy sambil terus menatap Hendri.
“Iya, aku baru tahu kalau kamu juga kuliah disini.”
“Senang kita kembali berteman.”
“Aku juga senang. Kamu semakin cantik Tindy,” kata Hendri.
“Hih, baru ketemu sudah merayu,” kata Tindy sambil tersipu. Bagaimanapun ia senang dipuji cantik.
“Itu benar, aku tidak akan bohong.”
“Aku heran, mengapa kita baru ketemu hari ini,” kata Tindy.
“Aku sebenarnya agak ragu-ragu melanjutkan kuliah ini.”
“Kenapa?”
“Kamu kan tahu aku ini siapa? Orang tuaku tidak seperti orang tua kamu. Keluargaku adalah keluarga yang tidak mampu.”
“Ah, kita tidak jauh berbeda Hendri. Memangnya aku anak orang kaya? Saudaraku ada delapan, dan kami sekolah semuanya.”
“Yah, semoga aku bisa menyelesaikan kuliah aku tanpa hambatan.”
“Aamiin..”
“Dan yang penting bisa setiap hari ketemu kamu.”
Tindy tertawa. Entah bagaimana, dia sangat berbahagia bisa bertemu teman masa SMP nya disini.
“Tindy...!” sebuah teriakan terdengar.
“Ayo pulang !!” sambungnya.
“Nggak, aku belum mau pulang,” kata Tindy,
Dan si penyapa itu berlalu.
“Tindy sayang... pulang bareng yuk?” sapa yang lain, tapi Tindy hanya melambaikan tangannya sambil tersenyum.
“Ternyata banyak ya penggemar kamu,” kata Hendri yang beberapa kali mendengar ajakan pulang bareng dari teman laki-laki Tindy.
“Iih, penggemar apaan, memangnya aku artis?”
“Mirip artis..”
“Gombal ah.”
“Bener kok. Ayo kita rayakan pertemuan kita ini dengan makan bakso di kantin,” ajak Hendri.
“Boleh,” kata Tindy yang menyambut ajakan itu dengan gembira.
Lalu keduanya berjalan ke arah kantin, memesan bakso dan es sirup yang menyegarkan.
Keduanya asyik bercerita tentang pengalaman masa lalunya, tentang kenakalan Hendri saat masih SMP dulu, dan diselingi dengan tawa riang mereka.
“Kamu dulu suka mencontek pekerjaan rumah aku kan, masih ingat?”
“Ingat sekali. Habis kamu tuh pintar bukan main. Dan baiknya kamu, kamu dengan senang hati memberi contekan sama aku.”
“Aku kasihan sama kamu,” jawab Tindy sambil menghirup es sirupnya.
“Kasihan sama aku?” Hendri memelototkan matanya.
“Iya, habis kamu tuh saat mengerjakan soal, wajahmu sangat memelas.”
Hendri terbahak dan itu membuatnya tersedak.
“Aduuh, pelan-pelan dong tertawanya. Tuh, kamu sampai terbatuk-batuk begitu,” kata Tindy penuh iba.
“Habis kamu sih, masa aku bisa menampakkan wajah memelas?”
“Nggak Hen, aku hanya bercanda.”
“Tapi aku memang kurang pintar dibanding kamu. Kamu selalu menjadi juara kelas.”
“Ah, bisa saja.”
Ketika keduanya asyik bercanda itu tiba-tiba seseorang mendekati mereka, langsung duduk di samping Tindy.
“Boleh kan aku ikut duduk disini?”
“Mas Haryo?” lalu Tindy menampakkan wajah kesal melihat kedatangan Haryo.
***
Besok lagi ya.