Friday, December 31, 2021

MEMANG KEMBANG JALANAN 01

 

MEMANG KEMBANG JALANAN  01

(Tien Kumalasari)

 

“Mas, sarapan sudah siap,” kata Tindy sambil melongok ke arah kamar. Dilihatnya suaminya sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Aroma parfum maskulin merebak memenuhi kamar. Tindy tersenyum tipis. Suaminya boleh dikata sangatlah pesolek. Wajah gantengnya dirawat dengan sangat baik. Ia juga sering ke salon untuk mencuci muka, atau sekedar merapikan rambutnya yang berombak.

Tapi senyuman Tindy bukanlah senyuman kebanggaan karena memiliki suami tampan seperti Haryo. Ada sesuatu yang tersembunyi dibalik senyuman itu, entah apa.

“Mengapa berdiri disitu? Melihat orang lagi dandan?” ucap Haryo tak senang.

“Aku cuma mau bilang sama mas, bahwa sarapan sudah siap,” jawab sang isteri dengan memendam rasa kesal.

“Aku tidak sarapan pagi ini.”

“Tidak?”

“Tidak, aku sedang tergesa-gesa.”

“Kalau tergesa-gesa, kenapa dandannya lama sekali? Seperti perempuan saja,” gerutu sang isteri sambil masih tetap berdiri didepan pintu.

“Kamu bisa nggak sih, jadi perempuan jangan terlalu usil? Apa ini mengganggu?”

“Aku ini memperhatikan kamu Mas, bukannya usil,” katanya sambil pergi dari kamarnya, langsung kearah ruang makan.

“Mana Bapak?” tanya salah seorang anaknya yang sudah siap menunggu di depan meja makan.

“Bapak tidak sarapan.”

“Lhoh, kenapa?”

“Jangan tanya kenapa, Ibu sendiri tidak tahu. Tapi dia bilang sedang tergesa-gesa.”

“Aduuuh... tergesa-gesa, tapi sudah dari tadi bapak berdandan. Aku tahu karena aku masuk ke kamar Bapak, saat Bapak sudah selesai mandi. Aku sudah selesai dandan dan Bapak belum?”

Tindy mengangkat bahu, lalu duduk di antara anak-anaknya, sarapan nasi soto ayam yang dia masak sendiri sejak sehabis subuh tadi, karena pembantu sedang tidak masuk kerja.

“Bapak itu sangat terkenal di kampus,” kata Lala anak sulungnya.

“Iya lah, Bapak kan dosen, apa aneh kalau terkenal? Semua mahasiswa mengenalnya.”

“Bukan karena dia dosen.”

“Karena apa?”

“Suka mentraktir cewek-cewek cantik,” kata Lala sambil menggigit kerupuk yang baru saja diambilnya.’

Wajah Tindy muram. Bukan sekali itu dia mendengar bahwa suaminya suka mengganggu mahasiswanya yang cantik-cantik. Ia hanya diam, barangkali wajar kalau orang ganteng bersikap genit.

“Ibu jangan marah.”

“Apa? Marah? Tidak,” kata Tindy, pura-pura tak peduli.

“Iya, Ibu tak akan marah, yang penting Bapak masih sangat perhatian kepada keluarganya,” kata Desy, anak ke duanya.

“Benar, yang penting tetap sayang sama Ibu,” sambung Tutut, si bungsu.

Tindy hanya tersenyum mendengarkan celoteh anak-anaknya. Hanya karena mereka bertiga Tindy bisa menjalani hidupnya. Tak ada yang tahu, bahwa seorang wanita sangatlah peka melihat perubahan sikap suaminya, sekecil apapun.

“Aku berangkat dulu,” kata Haryo sambil berdiri didepan ruang makan.

“Bapak, sebenarnya Tutut mau ikut mobilnya Bapak,” rengeknya.

“Tidak bisa, Bapak harus segera sampai ke kantor. Apalagi kamu masih makan begitu,” kata Haryo sambil berlalu.

“Hm, wangi bener baunya...,” celetuk Desy.

“Biasanya juga wangi,” sambung kakaknya.

“Ini wanginya beda, tampaknya bapak membeli parfum baru. Atau ibu yang membelikannya?” tanyanya sambil menatap Ibunya, yang mulai berdiri untuk mengantar suaminya ke depan.

“Tidak, tak pernah,” sambung Tindy sambil berlalu.

Sesampai didepan, suaminya sudah naik ke atas mobilnya, dan menstarternya.

“Hati-hati Mas,” teriak Tindy.

Haryo berlalu, tanpa sepatah kata pun menjawab. Mengangguk pun tidak.

Tindy menghela nafas, dan menghembuskannya dengan kasar, lalu kembali ke ruang makan. Dilihatnya ketiga anaknya masih asyik menikmati sarapan paginya.

“Pagi ini masakan Ibu enak sekali,” kata Lala.

“Memangnya biasanya nggak enak?” sambung Desy.

“Lebih enak, maksudku. Sayangnya Bapak nggak mau mencicipinya terlebih dulu.”

“Ibu mengajar hari ini?” tanya Tutut.

“Iya, sebentar lagi. Kamu mau ke sekolah bareng Ibu?”

“Iya, kalau Ibu tidak keberatan.”

“Mana mungkin Ibu keberatan, ayolah kita selesaikan sarapan kita, ini sudah siang.”

“Aku juga mau ke kampus, bareng Desy. Tapi nggak mungkin lewat ke sekolah kamu kan Tut, muternya terlalu jauh.”

“Iya, aku tahu, aku bareng Ibu kok.”

“Ibu sudah selesai, setelah membereskan meja, kalian boleh bersiap-siap, Ibu malah belum dandan,” kata Tindy sambil berdiri.

“Iya bu, dandan yang cantik dan wangi, jangan kalah sama Bapak,” goda Lala.

Tindy tersenyum lebar.

“Ibu kan tidak pandai berdandan,” kata Tindy sambil berlalu.

“Ibuku tanpa bersolek juga sudah cantik.. ya kan Bu?”

Tindy masuk ke kamarnya, dan bersiap untuk pergi ke kampus, tempat dia mengajar. Dia mengajar di sebuah universitas terkenal di kota itu. Haryo, suaminya, mengajar di perguruan tinggi yang lain, sehingga ia tak pernah bisa bersama-sama.

***

Sambil mengendarai mobilnya itu Haryo menerima telpon dari seseorang.

“Ya, tentu saja, nanti isteri saya yang akan menanda tangani kontrak rumah itu. Perpanjangan tiga tahun? Baiklah, berapa pun harganya, yang penting isteri saya setuju, Tentu, nanti dia akan sekalian membawa uangnya. Baik, baik... ya Bu, isteri saya sudah mengingatkan, hari ini dia pasti datang ke rumah Ibu. Terimakasih Bu,” lalu Haryo menutup ponselnya.

Tak berapa lama, ponselnya berdering lagi.

“Mas, mas dimana ?”

“Sedang dalam perjalanan ke kampus. Ada apa?”

“Bu Sigit tadi menelpon, menanyakan tentang perpanjangan kontraknya.”

“Apa kamu masih suka rumah itu?”

“Tentu saja aku suka,  cuma harus ada beberapa yang diubah. Tatanan untuk dapur, sepertinya itu sudah kuno.”

“Itu gampang. Rencanakan saja semuanya, dan tentang kontrak itu, dia sudah menelpon baru saja. Kamu bisa datang ke rumahnya untuk menanda tangani perpanjangan kontrak.”

“Uangnya?”

“Tidak lama lagi akan aku transfer ke rekening kamu.”

“Terima kasih mas, sama uang belanja juga sudah habis, mana anak-anak juga butuh membayar kuliahnya lho mas.”

“Iya, nanti aku transfer sekalian.”

“Terima kasih Mas, tapi tunggu, nanti Mas ke rumah kan?”

“Iya, setelah mengajar aku ke rumah. Masak apa hari ini?”

“Aku masak soto daging sapi Mas, kesukaan Mas kan?”

“Bagus, tak sabar rasanya untuk mencicipinya.”

“Makanya, Mas cepat datang. Kalau bisa Mas menginap ya?”

“Menginap ?”

“Iya Mas, aku kangen sekali malam-malamku ditemani Mas.”

“Bukankah aku juga selalu ada disini hampir setiap malam?”

“Tapi Mas kan selalu pulang setelahnya.”

“Iya, aku tak mau orang rumah mencurigaiku, sayang.”

“Mengapa Mas tidak mau berterus terang saja sekalian, supaya Mas tidak harus sembunyi-sembunyi.”

“Nanti kita bicarakan lagi saja, ini aku sudah hampir sampai.”

“Baiklah Mas, segera transfer ya Mas.”

“Oke, siap..”

Haryo memasuki halaman parkir. Ketika turun dari mobil, dilihatnya segerombolan mahasiswa sedang bercanda. Haryo sengaja melewati mereka dan menyapa dengan manis.

“Hallo... selamat pagi, anak-anak cantik..”

“Selamat pagi Pak Haryo.”

“Lagi ngomongin apa nih?”

“Lagi ngomongin bahwa kita lapar, tadi belum sempat sarapan.”

“Wauw, kasihan.. sarapan sana gih..”

“Belum dapat kiriman dari ortu nih Pak,” kata salah seorang yang diamini oleh teman-temannya.

“Ya sudah, sarapan sana di kantin.. ayo Bapak temanin, tadi Bapak juga belum sempat sarapan,” kata Haryo sambil menarik tangan salah seorang mahasiswa yang tergolong cantik.

“Horeeee...” teriak mereka serempak, kemudian bersama-sama berlarian ke arah kantin.

Haryo tersenyum senang. Mereka memujanya, karena dia teramat royal. Dan Haryo suka itu.

***

Tindy sedang mematut dirinya didepan cermin. Ia selalu berdandan dengan lugas dan tak berlebihan. Ia juga hanya memoles wajahnya dengan make up yang tidak terlalu mencolok. Tipis, tapi tetap tampak manis.

“Ibu, kami sudah selesai membereskan dapur,” kata Tutut sambil masuk ke kamar ibunya.

“Baiklah, terima kasih nak. Hari ini simbok minta ijin, mungkin untuk satu atau dua hari ke depan, karena anaknya sedang sakit. Jadi kita semua yang harus membereskan rumah,” kata Tindy,

“Iya Bu, kami tahu kok. Ibu sudah selesai?”

“Sebentar lagi, Ibu akan menyiapkan berkas-berkas yang harus Ibu bawa, kamu tunggu didepan ya?”

“Baiklah Bu.”

Tindy tersenyum sambil sekali lagi merapikan dandanannya. Kala hatinya sedang kusut, ketiga anaknya itulah yang selalu menghiburnya. Ia tak tahu mengapa, tapi rasanya Haryo suaminya seperti semakin jauh darinya. Padahal setiap hari dia juga pulang, walau malam sekalipun. Ada yang berbeda. Lalu dia teringat ketika masa-masa masih belia. Ketika Haryo sangat mengejarnya, dan berusaha merebutnya dari siapapun yang mendekatinya.

“Tindy...” panggil seseorang. Saat itu Tindy baru mulai kuliah di sebuah perguruan tinggi.

Tindy terkejut, yang menyapa adalah seorang laki-laki berbadan tegap dan berwajah ganteng. Ia lupa-lupa ingat. Seperti mengenalnya, tapi siapa...?

“Kamu... ss_siapa?”

“Aku siapa hayo, kamu ingat? Padahal aku tidak lupa lhoh, sama kamu.”

Tindy mengawasi laki-laki ganteng bertubuh kekar itu dengan seksama. Memang Tindy agak lupa, tapi wajah itu seperti dikenalnya.

“Kamu Hendri bukan?” Tindy mencoba menebak.

“Bagus, kamu masih ingat aku.”

“Lupa-lupa ingat sih, kamu dulu kurus, dan badan kamu kecil, sekarang beda banget.”

“Iya, aku makan banyak supaya cepat gede,” candanya.

“Bisa saja kamu. Kamu kuliah disini ?” tanya Tindy sambil terus menatap Hendri.

“Iya, aku baru tahu kalau kamu juga kuliah disini.”

“Senang kita kembali berteman.”

“Aku juga senang. Kamu semakin cantik Tindy,” kata Hendri.

“Hih, baru ketemu sudah merayu,” kata Tindy sambil tersipu. Bagaimanapun ia senang dipuji cantik.

“Itu benar, aku tidak akan bohong.”

“Aku heran, mengapa kita baru ketemu hari ini,” kata Tindy.

“Aku sebenarnya agak ragu-ragu melanjutkan kuliah ini.”

“Kenapa?”

“Kamu kan tahu aku ini siapa? Orang tuaku tidak seperti orang tua kamu. Keluargaku adalah keluarga yang tidak mampu.”

“Ah, kita tidak jauh berbeda Hendri. Memangnya aku anak orang kaya? Saudaraku ada delapan, dan kami sekolah semuanya.”

“Yah, semoga aku bisa menyelesaikan kuliah aku tanpa hambatan.”

“Aamiin..”

“Dan yang penting bisa setiap hari ketemu kamu.”

Tindy tertawa. Entah bagaimana, dia sangat berbahagia bisa bertemu teman masa SMP nya disini.

“Tindy...!” sebuah teriakan terdengar.

“Ayo pulang !!” sambungnya.

“Nggak, aku belum mau pulang,” kata Tindy,

Dan si penyapa itu berlalu.

“Tindy sayang... pulang bareng yuk?” sapa yang lain, tapi Tindy hanya melambaikan tangannya sambil tersenyum.

“Ternyata banyak ya penggemar kamu,” kata Hendri yang beberapa kali mendengar ajakan pulang bareng dari teman laki-laki Tindy.

“Iih, penggemar apaan, memangnya aku artis?”

“Mirip artis..”

“Gombal ah.”

“Bener kok. Ayo kita rayakan pertemuan kita ini dengan makan bakso di kantin,” ajak Hendri.

“Boleh,” kata Tindy yang menyambut ajakan itu dengan gembira.

Lalu keduanya berjalan ke arah kantin, memesan bakso dan es sirup yang menyegarkan.

Keduanya asyik bercerita tentang pengalaman masa lalunya, tentang kenakalan Hendri saat masih SMP dulu, dan diselingi dengan tawa riang mereka.

“Kamu dulu suka mencontek pekerjaan rumah aku kan, masih ingat?”

“Ingat sekali. Habis kamu tuh pintar bukan main. Dan baiknya kamu, kamu dengan senang hati memberi contekan sama aku.”

“Aku kasihan sama kamu,” jawab Tindy sambil menghirup es sirupnya.

“Kasihan sama aku?” Hendri memelototkan matanya.

“Iya, habis kamu tuh saat mengerjakan soal, wajahmu sangat memelas.”

Hendri terbahak dan itu membuatnya tersedak.

“Aduuh, pelan-pelan dong tertawanya. Tuh, kamu sampai terbatuk-batuk begitu,” kata Tindy penuh iba.

“Habis kamu sih, masa aku bisa menampakkan wajah memelas?”

“Nggak Hen, aku hanya bercanda.”

“Tapi aku memang kurang pintar dibanding kamu. Kamu selalu menjadi juara kelas.”

“Ah, bisa saja.”

Ketika keduanya asyik bercanda itu tiba-tiba seseorang mendekati mereka, langsung duduk di samping Tindy.

“Boleh kan aku ikut duduk disini?”

“Mas Haryo?” lalu Tindy menampakkan wajah kesal melihat kedatangan Haryo.

***

Besok lagi ya.

Tuesday, December 28, 2021

MELANI KEKASIHKU 62

 

MELANI KEKASIHKU  62

(Tien Kumalasari)                     

 

“Iya kan mas?”

“Dita, sayang... kamu sudah mengatakannya tadi,” kata Anggoro kesal, tapi berusaha bersikap manis. Ia tak bisa menampakkan wajah kesalnya, tak bisa membuatnya terluka kembali.

“Aku hanya mengingatkan saja, takutnya mas lupa.”

“Tentu saja tidak. Sekarang tidurlah, malam sudah larut.”

“Mas juga harus tidur, besok jangan sampai bangun kesiangan. Bukankah mas akan ke kantor pagi-pagi?”

“Hm-emh...” Anggoro benar-benar memejamkan matanya. Anindita menyembunyikan wajahnya di dada bidang suaminya. Disitu ketenangan itu didapatnya.

Anggoro mengelus lembut kepala isterinya, sebelum ke duanya terlelap.

***

Pagi hari itu Anindita sudah bangun, dan menuju dapur setelah shalat dan mandi. Bibik terkejut ketika melihat Anindita menyiapkan bumbu nasi goreng.

“Ibu mau masak?”

“Pagi ini, aku akan membuat sarapan untuk suamiku. Dia suka sekali nasi goreng buatan aku bukan?”

Bibik tersenyum senang. Anindita masih ingat kesukaan suaminya, apalagi kalau dia sendiri yang memasaknya.

“Ibu benar, sudah lama Ibu tidak memasak nasi goreng untuk Bapak.”

“Pagi ini aku akan membuatnya Bik, tolong buatkan jus jeruknya, dan siapkan di meja makan.”

“Baiklah Bu,” kata Bibik riang.

Anindita sangat bersemangat memasak pagi itu. Bau gurih menusuk hidung ketika ia memasukkan udang kedalam wajan.

“Biiik, kerupuk udang masih ada kan?”

“Masih ada Bu, baru kemarin Bibik menggorengnya.”

“Baiklah, ini hampir selesai, apa mas Anggoro sudah bangun?”

“Biar saya lanjutkan mengaduknya Bu,” kata Bibik yang sudah selesai menata meja makan.

“Jangan, biar aku memasaknya sampai selesai. Aku mau menambah telur mata sapi juga.”

“Hm, pasti enak masakan Bu Dita.”

“Siapkan piringnya Bik, ini sudah selesai.”

“Hm... baunya sedap sekali. Bibik masak apa pagi ini ?” kata Anggoro yang tiba-tiba sudah ada didapur, dengan pakaian rapi.

“Bukan Bibik yang memasak, tapi Bu Dita sendiri,” kata Bibik yang sudah menyiapkan piring untuk wadahnya.

“Woouww... isteriku memasak nasi goreng?”

“Bukankah mas suka sekali sarapan nasi goreng masakanku?”

“Tentu saja Dita, itu kesukaan suami kamu ini.”

Anggoro mendekati isterinya, dan tersenyum melihat isterinya sangat bersemangat.

“Mas duduk saja di sana, minum jus jeruknya, nasi goreng sudah hampir siap,” kata Anindita sambil menempatkan nasi gorengnya ke dalam wadah, lalu menggoreng telur mata sapi untuk mereka bertiga.

Sambil menghirup jus jeruknya, Anggoro merasa bersyukur, karena Anindita benar-benar hampir pulih sempurna. Ini adalah hari pertama dimana isterinya mengingat sarapan kesukaannya, yang harus dimasak sendiri oleh tangannya.

“Sudah siaaap...” kata Anindita sambil membawa nasi gorengnya ke hadapan suaminya.

Anggoro tersenyum senang.

“Isteriku memang luar biasa. Ayo kita makan..”

Anindita duduk didepan suaminya, bersama-sama menikmati nasi goreng buatannya.

“Enak sekali. Kamu masih pintar memasak seperti dulu,” kata Anggoro sambil mengunyah makanannya, dan dia tidak berbohong. Anindita sudah bisa memasak seperti dulu.

“Benarkah?”

“Hm... benar.. Kalau tidak harus segera ke kantor, pasti aku mau nambah lagi.”

“Maukah mas membawa bekal untuk makan siang nanti?”

“Oh... bagus, aku mau.”

“Biiik...”

“Ya Bu, “ Bibik mendekat.

“Ambilkan rantang, mas Anggoro mau membawanya untuk bekal.”

“Baik Bu.”

“Tapi mas, nanti jangan lupa pulang agak siang ya.”

Anggoro hampir tersedak ketika minum setelah sarapan itu.

“Pelan-pelan mas minumnya.”

Anggoro mengelap mulutnya, kemudian berdiri.

“Bener ya mas, jangan lupa.”

“Ya.. ya, tentu,” kata Anggoro dengan kegelisahan yang disembunyikannya.

“Bibik, antarkan rantangnya ke depan. Masukkan ke mobil sekalian, sopirnya sudah datang.”

***

Melani sedang sarapan dengan ditemani Simbok, ketika ponselnya berdering. Abi sudah berangkat ke kantor setengah jam yang lalu.

“Dari Bapak,” kata Melani riang, kemudian mengangkat ponselnya.

“Melan..” sapa Anggoro dari seberang.

“Ya Bapak, apa kabar?”

“Kami baik-baik saja. Kamu bagaimana? Masih sering mual?”

“Tidak, sudah tidak lagi. Melani sudah mau makan banyak.”

“Syukurlah, senang Bapak mendengarnya.”

“Apa kabar ibu? Baik-baik saja kan?”

“Sangat baik, tadi pagi ibumu sudah memasak nasi goreng kesukaan Bapak, enak sekali.”

“Oh, syukurlah. Ini bapak ada di rumah?”

“Tidak, bapak sudah di kantor, sedang menunggu hasil laporan.”

“Tampaknya kesehatan ibu semakin membaik, sudah mau memasak nasi goreng kesukaan Bapak.”

“Benar, tapi saat ini Bapak sangat khawatir.”

“Memangnya kenapa Pak?”

“Tiba-tiba ibumu merengek ingin melihat rumah lamanya. Dia banyak bicara tentang hal yang sudah diingatnya.”

“Bukankah itu bagus? Apa yang Bapak khawatirkan?”

“Bapak khawatir kalau tiba-tiba ibumu mengingat masa lalu yang membuatnya pergi dari rumah.”

“Mungkinkah kalau hal itu terjadi lalu ibu sangat marah?”

“Banyak kemungkinan yang akan terjadi. Mungkin marah, mungkin sedih, tapi yang bapak khawatirkan kalau ibumu akan kembali sakit.”

“Ya Tuhan.”

“Harus ada yang membuatnya bisa meredam perasaannya ketika ingatan itu melintas.”

Melani terdiam beberapa saat. Bapaknya benar, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Tiba-tiba Melanipun merasa takut.

“Apakah Bapak ingin agar aku datang ke Jakarta?”

“Apakah kamu bisa ke Jakarta dengan keadaan kamu saat ini?”

“Melani sudah tidak apa-apa bapak. Nanti Melani akan bicara sama mas Abi, barangkali mas Abi akan mengijinkan Melani pergi ke Jakarta.”

“Baiklah, bicaralah, Bapak memang butuh teman, dan ibumu sangat dekat dengan kamu. Tapi bapak tidak memaksa, bicara dulu dengan suami kamu.”

***

Sore itu Anindita sudah berada dalam mobil bersama Anggoro dan Bibik.

“Sebelumnya kamu harus tahu ya, rumah itu sudah ditempati orang lain. Jadi kita hanya akan melihat dari kejauhan,” pesan Anggoro wanti-wanti. Takut kalau sampai Anindita mengajaknya masuk.

“Iya, aku hanya ingin melihat saja.”

Anggoro terus memacu mobilnya dengan hati berdebar.

“Masih jauhkah ? Di jalan apa sih rumah kita dulu?”

“Sudah nggak seberapa jauh. Nama jalan-jalan sudah banyak yang berubah, jadi tidak sama lagi.”

Anindita seperti tak sabar. Dia terus menoleh ke arah kiri dan kanan jalan.

“Disebelah mana rumah kita dulu? Kiri jalan, atau kanan jalan?”

“Kiri jalan. Kita hampir sampai.”

“Benarkah?”

Bukan hanya Anggoro yang berdebar. Bibikpun berdebar, takut akan reaksi Anindita setelah melihat rumah lamanya.

Lalu Anggoro memperlambat laju mobilnya.

“Didepan itu, yang ada pohon asam dipinggir jalan. Itu rumah kita dulu.”

Anindita memajukan tubuhnya, melongok ke arah depan.

“Itu rumahnya...” kata Anggoro sambil menghentikan mobilnya, tapi hanya sebentar, lalu dijalankannya lagi.

“Mas, tunggu.. tunggu.. berhenti dulu dong mas...”

“Mau apa kamu? Tadi aku sudah bilang kan, tidak boleh masuk, karena sudah ada orang lain yang tinggal disana.

“Iya, aku tidak akan masuk, aku ingin turun dan melihat dengan jelas. Benarkah rumah itu sudah usang seperti kata kamu.”

“Ya sudah diperbaiki yang punya, pastinya.”

“Tapi aku tetap mau turun..” Anindita merengek.

Anggoro terpaksa menghentikan mobilnya, agak jauh dari rumah itu. Dan Anindita benar-benar turun. Bibik dan Anggoro ikut turun, takut Anindita melakukan hal-hal yang tidak mereka inginkan. Tanpa terasa, mobil Anggoro berhenti didepan gang, dimana dulu Bibik dan Anindita tinggal, sebelum pulang kampung.

“Lhoh, ini bukannya bibik Karti ?” seorang wanita berteriak sambil menjinjing belanjaan. Bibik terkejut. Ketiganya urung melangkah menuju rumah lama itu.

“Benar kan? Bibik ?”

“Iya, eh bu Siti.. apa kabar.”

“Aduh, lama sekali kita tidak ketemu. Ini kan bu Dita?”

Anindita menatap wanita yang menyapanya, tapi ia lupa-lupa ingat.

“Saya bu Siti, dulu sering ikut menggendong Melani. Bu Dita lupa?”

Anindita tersenyum tipis. Ia lupa-lupa ingat.

“Karena sudah lama, jadi bu Dita agak lupa,” kata Bibik.

“Lha ini mau kemana?”

“Cuma mau jalan-jalan saja, maaf bu Siti, kami pamit dulu. Ayo kita pergi,” kata Bibik sambil menggandeng Anindita menjauh, diikuti Anggoro.

“Tampaknya bu Dita sudah sembuh. Laki-laki itu kan suaminya? Aku nggak lupa kok,” gumam wanita bernama Siti itu, tapi ketiganya bisa mendengar.

Mereka sudah sampai didepan rumah lama Anggoro. Rumah itu tampak sepi.

“Itu, masih ada ayunannya,” teriak Anindita.

“Iya, pemilik baru merasa sayang merubahnya. Sekarang kita pulang ya?”

Anindita mengangguk, tapi seperti ada yang diingatnya.

Malam ketika sampai dirumah, Anggoro melihat isterinya hanya diam saja, sambil duduk di ruang tengah.

“Dita, sayang.. kamu capek?”

“Siapa perempuan bernama Siti itu?” tiba-tiba dia bertanya, membuat Anggoro kaget.

“Dia bilang, pernah ikut menggendong Melani, dia bilang, aku sudah sembuh. Memangnya aku sakit apa?” lanjutnya.

“Itu kan tetangga kita dulu,” kata Anggoro sekenanya.

“Aku seperti ingat, dulu aku juga pernah tinggal di gang kecil itu.”

“Apa?”

“Aku bingung mas, sekarang kepalaku pusing,” kata Anindita sambil memegangi kepalanya.

“Kamu jangan banyak pikiran. Memikirkan kejadian yang telah lalu itu tak ada gunanya. Bukankah sekarang kita hidup bahagia?”

“Tapi aku mengingat sesuatu, aku harus yakin itu benar-benar terjadi.”

“Dita, kamu lelah, istirahat di kamar yuk.”

“Aku pernah hidup miskin di gang itu...”

“Dita...”

“Mengapa aku waktu itu hidup miskin? Kamu tidak ada mas..”

“Dita, istirahat dulu yuk, kamu lelah, sayang.”

“Sebentar.. sebentar...” Anindita memegangi kepalanya.

“Rumah besar itu, tadinya rumah kita, mengapa aku bisa tinggal di gang kecil dan hidup miskin? Bayi kecilku... bayi kecilku.. hilang disitu mas...” tiba-tiba Anindita menangis terisak-isak. Anggoro sangat cemas, didekapnya kepala Anindita.

“Aku ingat sekarang... lepaskan aku..!” tiba-tiba Anindita meronta, lalu menjauhkan diri dari suaminya. Pipinya basah oleh air mata.

“Dita.. dengarkan aku..”

“Aku.. aku... kamu pernah mengusir aku, memperlihatkan foto-foto itu, bukan aku, kamu memfitnah aku,” teriaknya.

Anggoro mendekati isterinya, merengkuhnya dalam pelukan.

“Dengar Dita, baiklah, aku akan menceritakan semuanya, tapi kamu tenang ya?”

Anindita meronta, tapi tak mampu melepaskan rengkuhan suaminya.

“Dita, aku sangat mencintai kamu, sejak dulu, sampai sekarang, dan akan begitu selamanya. Kamu harus percaya.”

“Bohong. Kamu mengusir aku.. dan bayi kecilku..!”

“Seseorang memfitnah kamu, dan aku sangat bodoh mempercayainya. Tapi orang yang membuat kita berpisah itu sudah dipenjara, dan sekarang sudah meninggal.”

Anggoro masih mendekap isterinya erat-erat.

“Siapa dia?”

“Santi...”

“Santi?”

Lalu Anggoro menceritakan dengan singkat kisah lama itu.

Tiba-tiba tubuh Anindita jatuh terkulai.

“Dita !!”

Anggoro mengangkat tubuh isterinya kedalam kamar, dan dengan panik memanggil dokter perusahaan agar segera datang ke rumahnya.

***

Hari masih pagi, Melani dan Abi memasuki rumah Anggoro, setelah Anggoro memberikan alamatnya. Keduanya terbang ke Jakarta pagi-pagi sekali setelah Bibik yang panik menelpon Melani malam itu. Anggoro sendiri sebenarnya tak ingin mengganggu anaknya mengingat dia sedang hamil.

Begitu bibik membukakan pintu, Melani langsung menghambur ke kamar dimana ibunya masih terbaring sambil memejamkan mata.

Anggoro terkejut melihat kedatangan anak dan menantunya.

“Kalian datang?”

“Bagaimana keadaan ibu? Bibik sudah mengatakan semuanya.”

“Semalam dokter sudah datang memeriksa keadaannya. Tidak apa-apa, ibumu hanya shock saja, ketika Bapak menceritakan semuanya.”

“Siapa?” tiba-tiba Anindita membuka matanya.

“Ibuuu..”

“Melani? Kamu datang? Mana nak ganteng?”

“Ini saya Bu,” kata Abi yang tiba-tiba muncul didepan pintu kamar.

“Ibu sakit?” tanya Abi.

“Tidak.. tidak.. Ibu tidak apa-apa,” katanya sambil bangkit.

Melani menatap ibunya. Anggoro merasa lega, wajah Anindita tidak lagi pucat seperti semalam.

“Melani sangat khawatir, mendengar bahwa ibu pingsan,” kata Melani sambil memeluk ibunya.

“Ibu pingsan? Tidak, Ibu tidak apa-apa. Ibu sudah tahu semuanya. Tapi ibu lega, akhirnya kita bisa berkumpul kembali. Ibu sangat bahagia.”

Anggoro mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.

“Terimakasih, ya Allah,” bisiknya sambil berlinang air mata, lalu bersimpuh dihadapan isterinya.

“Maafkan aku, Dita.”

“Berdirilah mas, aku memaafkan semuanya, termasuk Santi yang sekarang sudah meninggal,” bisiknya sambil berusaha mengangkat tubuh suaminya. Anggoro berdiri dan memeluk Dita, lalu menangis di pundaknya.

Anindita memiliki hati yang mulia. Dulu sekali, saat dia masih gadis, dan melihat Santi mendapatkan vonis dipenjara, dia merasa sangat iba. Sekarang, dengan kesalahan yang dilakukannya bahkan kepada bayi kecilnya, dia juga berucap untuk memaafkannya.

***

Hari itu ada kesibukan di rumah Anggoro yang ada di Solo. Keluarga itu sedang merayakan kelahiran bayi Melani yang lahir tiga hari lalu. Karena ibu dan bayinya sehat, mereka diperbolehkan pulang tiga hari setelahnya.

Seorang bayi laki-laki yang ganteng, terlelap tidur dipangkuan neneknya, yang sangat bahagia mendapatkan cucu.

“Bayi kecilku ganteng sekali...” bisik Anindita sambil terus mendekap cucunya.

Banyak tamu yang datang menyambut kehadiran Nak Ganteng kecil. Pak Cokro, Bu Cokro, Panji, Maruti, Laras, Agus, dan juga Andra dan Sasa. Eh masih ada, keduanya datang belakangan, Indira dan Aris. Mereka sudah menikah. Melani terkekeh ketika melihat Indi dan Sasa duduk berdampingan, dengan perut sama-sama buncit. Berarti akan segera datang bayi kecil bayi kecil lainnya, yang akan menyemarakkan hidup keluarga mereka.

***

T A M A T.

 

SEORANG LAKI-LAKI PARUH BAYA MELOTOT MEMANDANGI ANAK LAKI-LAKINYA, DENGAN AMARAH YANG TAK TERKENDALI.

“MENGAPA BAPAK SELINGKUH? BAPAK TIDAK LAGI MENCINTAI IBU?”

“DIAM KAMU!! KAMU TIDAK TAHU APA-APA. DAN INGAT, INI BUKAN URUSAN KAMU!”

LALU LAKI-LAKI PARUH BAYA ITU PERGI BEGITU SAJA, MENINGGALKAN GERAM DAN DENDAM YANG MEMENUHI SETIAP HATI YANG MENDENGAR HARDIKAN ITU.

 

Ada cerita lain yang semoga seru ya, MEMANG KEMBANG JALANAN.

Tungguin....

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...