Tuesday, July 30, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 10

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  10
(Tien Kumalasari)

Simbok terkejut mendengar kata2 momongannya.

"Jeng Putri itu ngomong apa?"

"Aku mau pergi saja dari sini. Aku nggak mau dijodohkan samab siapapun juga, Putri mulai menangis.

"Cah ayu, wong belum lihat seperti apa orangnya kok belum2 sudah bilang nggak mau. Jeng.. dia itu ngguantheng lho. Uleng2an ganthengnya jeng. Aduuh.. kalau simbok ini masih muda.. terus dijodohin sama laki2 seperti itu.. wiiss

. Nggak usah dua kali simbok pasti langsung mengangguk. Bener lho jeng.. ayo ta jeng.. nanti keng rama duka...simbok takut jeng.. Oh yaa.. simbok ingat.. tamunya itu kan den Sapto.. saudaranya keng rama yang di Semarang itu.. lha sing nggantheng itu apa putranya ya.. yang namanya... aduh lupa... lama banget nggak ketemu... ayo jeng.. dandan dulu yuk.."

"Simbok kok nggak kasihan sama aku.. aku ini cintanya sama mas Teguh, nggak mau sama yang lainnya," tangis Putri sambil terus membelakangi simbok.

"Walaah.. lagi2 cinta.. Lhah cinta itu apa bisa bikin kenyang ta jeng..."

"Putriiiii..." tiba2 terdengar suara dari luar kamar, Keras dan menggelegar, suara yang tak asing lagi dan membuat hati simbok kecut menciut. Itu suara Pak Broto.

"Tuh jeng.. aduuh... simbok takuut...," kata simbok sambil melangkah keluar pintu. Sebelum pintu terbuka lebar, muncullah pak Broto dengan wajah gelap.

"Piye ta mbok, kamu kan aku suruh memanggil Putri?"

"Iya.. sudah pak.. sudah.. mm.. itu..," gagap simbok menjawabnya karena ketakutan.

"Sudah itu mana?" Pak Broto langsung memasuki kamar Putri. Dilihatnya Putri sedang membuka almari pakaian. Rupanya  karena takut mendengar kemarahan ayahnya, Putri langsung turun dari tempat tidur dan pura2 sedang memilih pakaian.

"Lama benar kamu!" hardik pak Broto sambil memelototi anak gadisnya. Simbok yang masih ada diluar pintu melongok kedalam dan merasa lega melihat Putri sedang bersiap untuk berganti pakaian. Putri tak menanggapi kemarahan ayahnya. Ia tampak memilih milih baju.

"Mbok.. bantu Putri mengenakan pakaian dan segera suruh dia keluar," kata pak Broto sambil melangkah meninggalkan kamar Putri.

"Jeng.. tuh.. simbok bilang apa.. keng rama marah kan? Sini simbok bantuin mengenakan bajunya."
"Ini saja mbok."

"Lho.. piye ta jeng Putri, ini kan daster.. mosok nemuin calon suami pake daster?"

"Iihh.. simbok.. biarin aja," jawab Putri nekat mengenakan daster itu. Tapi simbok menahannya.

"Nggaak.. nggak boleeh... simbok nanti juga kena marah kalau begini caranya," kata simbok sambil menarik daster yang sudah mau dilenakannya.

"Sini.. simbok pilihkan saja," kata simbok sambil memasukkaan daster itu ke almari, lalu mengambil salah satu gaun di almari gantung.

"Pakai ini saja. Jeng Putri lebih cantik kalau pakai ini."
Putri duduk di pembaringan. Wajahnya kusut. Ia diam saja ketika simbok mengenakan gaun berwarna biru muda yang belum lama ini dibelikan ibunya. Rupanya dalam keputus asaan Putri sudah pasrah apapun yang akan terjadi pada dirinya. Simbok merapikan baju yang selesai dikenakannya pada momongannya. Lalu diambilnya sisir. Disisirnya rambut Putri yang ikal terurai sampai kepunggungnya. Putri diam saja. Ia tetap diam ketika simbok memoleskan bedak pada wajahnya. Tapi ketika simbok meraih lipstick dimeja riasnya, Putri menolaknya. Kecuali takut belepotan, putri juga tak ingin dandan.
Tapi walau tak ada polesan apapum kecuali bedak tipis diwajahnya, Putri tetap kelihatan cantik. Wajahnya yang tirus, hidung mancung, alis yang hitam tebal melengkung indah, bibir tipis kemerahan, mata indah bagai sepasang bintang
... oh tidak.. mata bintang itu tampak kuyu.. letih..lelah.. oleh tangis yang setiap hari menderanya.

"Sudah.. ayo keluar jeng, simbok harus menyiapkan hidangan," kata simbok sambil menggandeng tangan Putri dan membawanya keluar. Putri benar2 pasrah. Tak ada yang bisa dilakukannya.
Ketika ia tiba di ruang tamu, dilihatnya dua laki2 sedang duduk dan ketika melihat ia datang kemudian menatapnya tak berkedip. Ia mengenal laki2 separuh baya itu. Tapi lelaki muda disampingnya.. haa.. simbok benar.. dia ganteng dan senyumnya memikat. Tapi adakah yang lebih memikat kecuali Teguh yang dicintainya? Laki2 itu dipanggilnya oom Sapto. Sudah lama sekali tidak ketemu setelah oom Sapto pindah ke Semarang. Dan itu kan Galang. Dulu sering bermain bersama ketika ia masih kira2 kelas 5 SD dan Galang sudah  SMA. Jadi dia yang akan dijadikan suamiku? Pikir Putri.

"Putri, kamu Putri kan?" Sapa pak Sapto ketika melihat Putri.

Putri tersenyum tipis.. mendekati pak Sapto dan mencium tangannya.

"Jadi Putri ini yang mas Broto maksudkan kemarin?"

"Ya iyalah, anakku kan cuma satu."

"Galang, kok kamu bengong begitu. Ini Putri, apa kamu lupa?"
Galang memang bengong. Ia begitu terpesona melihat kecantikan Putri yang sekarang sudah dewasa. Jadi ini yang akan dijodohkan dengannya? Wouuw.. ini anugerah yang lebih dari apapun.

"Galang...," pak Sapto menegur anaknya.

"Oh.. eh.. hallow Putri,"sapanya sedikit gugup.

Putri menyalaminya, tampak kaku.

"Kamu lupa sama Galang?" tanya pak Broto.

Putri menggeleng, lalu duduk diantara ayah ibunya. Wajahnya menunduk dan kesedihan itu belum sirna dari sinar matanya.

"Putri sakit?" tanya pak Sapto.

"Ya, baru masuk angin sejak beberapa hari ini," jawab pak Broto sambil merangkul pundak Putri.

"Jadi bagaimana mas, tampaknya Galang tak akan menolak. Bukan begitu le?" tanya pak Sapto sambil memandangi anaknya. Galang menundukkan kepalanya, tapi Pak Sapto tau bahwa Galang tidak menolaknya."

"Galang menurut saja apa kata bapak," jawab Galang tanpa mengangkat wajahnya. Mungkin sambil menenangkan debar jantungnya.

"Nah, kalau begitu semuanya beres. Pernikahan akan dilakukan secepatnya. Bulan ini juga, karena setelah itu Galang akan aku serahi perusahaan yang ada di Jakarta," kata pak Broto.

***

Putri terisak dikamarnya. Seganteng apapun tak ada yang bisa menghilangkan cintanya pada Teguh. Dielusnya perutnya sambil memanggil manggil nama Teguh dengan rasa pilu.
Bu Broto yang selalu memperhatikan Putri sebenarnya trenyuh melihat kesedihan yang selalu tersirat dimatanya. Hati seorang ibu. Berbeda dengan pak Broto yang keras dan selalu minta agar semua keinginannya terpenuhi. Tak seorangpun bisa menghalanginya.

"Putri.. barangkali pilihan orang tua itu tidak sesuai dengan keinginanmu, tapi percayalah bahwa ini semua demi kebaikanmu," kata bu Broto sambil mengelus kepala anaknya.
Putri semakin terisak.

"Ibu.. Putri hanya mencintai Teguh..," tangisnya sambil merangkul ibunya. Hanya kepada ibunya ia berkeluh, mengatakan apa yang ada dihatinya. Hanya ibunya yang selalu menampakkan perhatian dan kasih sayangnya dengan lembut dan menenangkan.

"Putri, cinta itu tidak harus memiliki. Cinta yang tulus.. adalah rasa bahagia melihat kecintaannya juga bahagia. "

Dia masih sekolah.. kalau kamu menjadi isterinya sekarang.. pelajarannya akan terganggu dan belum tentu dia bisa meraih cita2nya. Apa kamu suka melihat kegagalannya? Pasti tidak bukan? Kalau demikian halnya.. relakanlah dia, agar dia bisa mencapai cita2nya.. dan menjadi orang yang sukses. Kamu suka nggak mengetahui dia menjadi orang sukses? Kalau kamu suka dan ikut bahagia.. itulah cinta yang sebenarnya.. bukan cinta karena hawa nafsu."

Putri terdiam. Apa yang dikatakan ibunya benar2 merasuki kepalanya. Tentu ia ingin melihat Teguh bahagia, sukses, berhasil mewujudkan cita2 orang tuanya, seperti dulu Teguh pernah menceritakan padanya. Putri memeluk erat ibunya.
"Galang laki2 yang baik. Semoga dia bisa melindungi kamu, dan bisa membahagiakan kamu."

***
Hampir sebulan Teguh tak pernah mendengar berita tentang Putri. Ia tak pernah bisa menghubungi Putri,
 demikian juga Putri pasti juga tak akan bisa menghubunginya karena ponselnya sudah dirampas bapaknya.
Sudah lama dia tak pernah melewati sekolah Putri karena tau bahwa sopirnya atau bisa juga bapaknya pasti menunggui didepan sekolahan. Tapi siang itu entah mengapa Teguh begitu rindu. Ia akan berdiri dikejauhan. Melihat sebentar saja juga mau. Ketika ia menghentikan sepeda motornya dibawah sebuah pohon besar, matanya melihat kesekeliling tapi tak dilihatnya mobil pak Broto. Apakah karena sudah mempercayai anaknya maka sekarang mereka tak perlu menungguinya sampai pelajaran usai? Dua minggu lagi ujian, pasti Putri rajin mengikuti pelajaran, jadi tak mungkin ia tak masuk. Tapi sa'at pelajaran usai, ia tak melihat Putri. Teguh berjalan mendekati gerbang sekolah. Haa.. ada Susan.. teman sekolah Putri.

"Susan .." panggil Teguh. Susan menoleh dan dengan heran dia mendekati Teguh.

"Kamu? Ngapain kesini ?"

"Apa Putri nggak masuk ?"

"Lho.. kamu mimpi ya.."

"Apa maksudmu?"

"Sudah hampir sebulan Putri keluar dari sekolah, apa dia nggak bilang sama kamu?"
Teguh menggeleng. Kedua kakinya mendadak terasa lemas.Dia tak menjawab ketika Susan pamit untuk pulang. Teguh menghampiri sepeda motornya dengan lunglai. Ia harus tau kemana Putri pindah sekolah. Hatinya sudah bulat, ia akan kerumah Putri.

***
besok lagi ya

Monday, July 29, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 09

SEEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  09

(Tien Kumalasari)

Siang itu di kantor pak Broto ada tamu. Seorang laki2 setengah baya, berambut putih, bertubuh sedikit pendek, berwajah kepucatan. Ia duduk dikursi dihadapan pak Broto, memandangi tulisan diatas meja. R.Subroto-Direktur. Ia adalah pak Sapto. Pak Sapto masih terhitung saudara dekat pak Broto, tapi jarang bertemu. Tapi ia sudah tau kalau kakak misannya ini seorang direktur dari sebuah perusahaan besar.

"Syukurlah kamu bisa datang Sapto, aku dengar kamu habis sakit?" Sapa pak Broto begitu pak Sapto duduk.

"Ya mas, baru pulang dari rumah sakit, serangan jantung mas.."

"Pantesan wajahmu pucat begitu."

"Ya mas, ini tadi datang kemari karena mas Broto menelpon aku, katamu penting, ada apa mas?"

"Anakmu Galang, masih kuliah?"

"Sudah lulus mas, sarjana Ekonomi, tapi ya itu, belum dapat pekerjaan. Masih nganggur."

"Lha apa lupa kalau pakdenya punya perusahaan disini, kok ya nggak mau kabar2..."

"Takut mas, namanya orang nggak punya, rikuh bikin repot."

"Lha aku ini siapa, kan ya masih kerabat sendiri, masa kalau saudara butuh pertolongan terus aku nggak mau bantu.."

"Iya sih mas,"

"Suruh anakmu datang kemari. nanti aku bicara sama dia." 

"Baik mas, terimakasih sebelumnya kalau mas Broto mau kasih dia pekerjaan."

"Itu masalah gampang, tapi apa Galang sudah punya isteri?"

"Belum mas, mau dikasih makan apa isterinya, wong bekerja saja belum."

"Pacar, barangkali....?" tanya pak Broto penuh selidik.

"Belum punya mas, kalau punya pasti aku tau."

"Jadi menantuku mau nggak?"

Pak Sapto terkejut, dipandanginya kakak misannya seakan tak percaya apa yang didengarnya.

"Kok malah kayak orang bingung gitu."

"Mas Broto mau mengambil menantu anakku? Serius?"

"Ya serius lah..  mana ada orang tua ngomong nggak serius. Boleh nggak? Kamu mau nggak besanan sama aku?"

"Walah mas, ini kan anugerah bagi keluagaku. Kalau mas serius, aku pasti bersedia. Nanti aku bicara sama Galang."

"Suruh Galang datang kemari, atau langsung kerumah saja, biar ketemu Putri, dan ibunya Putri."

"Baik mas, nanti aku sampaikan."

***

Dikamar, Pitri merengek kepada ibunya agar bisa menghubungi Teguh, tapi bu Broto menolaknya, karena suaminya tak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Tolonglah bu, kan Teguh juga harus tau tentang keadaan Putri ini."

"Tidak nduk, ayahmu tidak mau bermenantukan Teguh, ibu mana berani membantahnya?"

"Lalu apa maksudnya ayah melarangnya bu, ini anaknya Teguh."

"Ya, ibu tau, tapi ayahmu memilih tidak menghubungi Teguh."

"Lalu bagaimana bu? Apa bayi tak berdosa ini harus digugurkan?"

"Bukan begitu nduk, nanti saja tunggu bapakmu kalau sudah datang."

"Bu.. memang Putri bersalah, Putri minta ma'af..  tapi Putri mohon, biarlah Putri menghubungi Teguh, agar dia tau. Dia pasti akan bertanggung jawab,"

"Tidak !!" tiba2 saja pak Broto sudah berada dikamar Putri. 

"Bapak...Putri minta ma'af.."

"Ya, kamu sudah mengucapkannya berulang kali. Bapak ma'afkan kamu, tapi kamu harus menurut apa kata bapak."

"Tapi bapak.. ini.."

"Diam dan jangan membantah. Bapak juga sudah mengeluarkanmu dari sekolah." 

Kata2 pak Broto ini lebih mengejutkan Putri. Bagaimana mungkin ia harus keluar dari sekolah?

"Bapak, mengapa...?"

"Apa kamu tidak malu kalau teman2mu, guru2mu tau bahwa kamu sedang mengandung diluar nikah? Coba jawab bapak," kata pak Broto sambil memandang anaknya dengan sorot mata tajam. Putri menunduk, air matanya kembali bergulir membasah disepanjang pipinya.

"Dan kamu tidak perlu menangis, ini salah kamu sendiri. Bapak sedang mencari jalan agar keluarga ini luput dari aib yang kamu ciptakan. Malu bapak, Raden Sobroto mempunyai anak gadis yang mengandung diluar nikah."

"Tapi bapak, Teguh akan bertanggung jawab," pinta Putri memelas.

"Tidak. Mau jadi apa kamu kalau menjadi isteri Teguh? Kuliah belum selesai, keluarganya juga orang biasa saja. Pikir masa depan kamu," kata pak Teguh sambil menunjuk kearah wajah Putri.

Tangis Putri semakin menjadi. Ia memeluk ibunya sambil menangis sesenggukan. Bu Broto mengelus kepala Putri untuk menenangkannya.

"Sudah nduk, menurut saja apa kata bapak, ini demi kebaikanmu." 

"Bu, suruh simbok menyiapkan hidangan. Besok sore Sapto dan Galang anaknya akan datang kemari," perintah pak Broto tanpa perduli pada tangis Putri yang semakin menjadi jadi.

"Sapto dan Galang?" tanya bu Broto heran.

"Ya, nanti kita akan bicara hal penting, tadi sudah ketemu Sapto dikantor."

"Apa Galang akan bapak jadikan menantu kita?"

"Ya, kemungkinannya begitu, kalau Galang mau."

Pak Broto meninggalkan kamar Putri. Putri melepaskan ibunya, melayangkan pandangannya kearah punggung ayahnya sampai menghilang dibalik pintu.

"Ibu... Putri nggak mau bu.. Putri nggak mau..." tangis Putri kembali terdengar memilukan.

"Putri, bapak akan memilihkan yang terbaik buat kamu. Sudah diam, tak ada yang bisa kita lakukan. Sudah Putri, jangan menangis lagi," kata bu Broto yang sesungguhnya juga merasa iba mendengar tangis anaknya.

***

"Mas, jadi kamu akan meninggalkan aku? Kamu tega mas?" 

Suara rengek wanita cantik sambil menggoyang goyangkan tubuh laki2 tampan yang duduk disampingnya.

"Widi, aku sudah mengatakan bahwa kita ini adalah sababat dekat, tidak ada ikatan apa2. Jadi jangan menghalangi langkahku, aku butuh pekerjaan," kata sang laki2 tampan sambil melepaskan tangan si cantik yang mencengkeram lengannya.

"Tapi aku cinta sama kamu mas, aku sangat mencintai kamu," rengek si cantik sambil berlinangan air mata.

"Widi, aku sudah bilang sejak dulu bahwa kita hanya sahabatan, tak ada cinta dhati aku Widi, jangan salah terima terhadap sikapku. Kamu aku anggap sebagai adik, karena aku tidak memiliki seorang adikpun."

"Tapi aku cinta sama kamu mas Galang," Widi, gadis cantik itu merengek sambil menghentak hentakkan kakinya.

Ditaman kampus itu, Galang si tampan, sengaja menemui Widi sahabatnya untuk memberitahukan bahwa dirinya akan dinikahkan dengan seorang gadis kerabatnya. Dan dia akan bekerja pada perusahaan ayahnya. Tapi Widi berusaha menghalanginya karena perasaan cintanya pada Galang.

"Widi, jangan begitu," hibur Galang.

"Kamu bohong mas, kamu juga mencintai aku, sikapmu sama aku tak bisa menutupi perasaanmu, kamu cinta sama aku mas, jadi jangan pergi menikahi gadis itu."

"Kamu harus tau, aku tidak pernah mengatakan bahwa aku cinta kamu. Aku sayang kamu sebagai sahabat, sebagai adik, tidak lebih. Itu pula sebabnya aku memberitahu tentang kepergianku ke Solo, sore nanti."

"Kamu kejam mas."

"Ma'afkan aku Widi. Pesanku, belajarlah yang rajin dan selesaikan kuliahmu."

"Mas, kamu mau menikah bukan karena cinta.. suatu hari nanti aku akan merebutmu dari dia!" teriak Widi ketika melihat Galang melangkah keluar dari taman di kampus itu. 

***

"Jeng, bapak minta supaya jeng Putri keluar," tiba2 kata simbok sambil tergopoh gopoh memasuki kamar Putri.

"Ada apa mbok?" 

"Ituuu, ada tamu.. sepertinya itu calon suaminya jeng Putri..," kata simbok dengan wajah berseri.

"Nggak mau, aku emoh mbok..," Putri melompat ketempat tidur dan berbaring membelakangi simbok.

"Jeng, waduh.. menyesal kalau jeng Putri nggak mau, waduuh.. dia itu ganteng sekali lho jeng. Tubuhnya tinggi besar, matanya tajam, senyumnya sungguh membuat simbok hampir pingsan."

Putri sebenarnya ingin mentertawai simbok tapi kesedihan hatinya menutupi guyonan simbok yang biasanya bisa membuatnya terhibur, tapi tidak untuk kali ini. 

"Jeng, cepet, kok malah tiduran, nanti kalau bapak marah malah jadi nggak karu2an."

"Bilang kalau aku tidur."

"Ya ndak mungkin, sore2 begini tidur, cepet ta jeng, keluar sebentaaar saja, percayalaaah.. jeng Putri nggak akan menyesal... itu baguse uleng2an lho jeng," kata simbok sambil menepuk kaki Putri.

"Aku nggak mau mbok, tolong aku... aku mau minggat saja dari sini."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saturday, July 27, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 08

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  08

(Tien Kumalasari)

Teguh terkejut setengah mati. Dengan sigap ia menangkap tubuh Putri yang hampir terjatuh. Serta merta ia membawa Putri yang diam tak bergerak kedalam ruang dandan wanita. Beberapa temnnya melepas pakaian tari yang dikenakan Putri, setelah Teguh keluar dengan hati penuh khawatir.

Tiba2 pak Broto, ayah Putri nyelonong masuk. Ia dibantu Sarno yang sudah dipanggilnya segera mengangkat Putri ke mobil, lalu melarikannya kerumah sakit.

Pentas itu berantakan, tak seorangpun mengira akan datangnya petaka. Teguh melepas pakaian tarinya dan membasuh mukanya. Ia menghampiri ibunya yang masih duduk terpaku dideretan penonton paling depan, lalu mengajaknya menyusul kerumah sakit.

"Apa kamu tau dibawa kemana temanmu itu?"

"Ada rumah sakit terdekat dari sini, pasti kesana agar segera mendapatkan pertolongan," jawab Teguh yang kemudian menarik tangan ibunya agar segera bisa menyusul kemana putri dibawa.

Dugaan Teguh tidak meleset. Dirumah sakit Cipta Husada itu Putri dibawa, yang segera mendapatkan perawatan diruang UGD.

Teguh memasuki rumah sakit dengan menggandeng ibunya, lalu dari jauh dilihatnya pak Broto sedang mondar mandir diluar ruang UGD. Ia tampak gelisah, sedangkan seorang perempuan setengah tua yang cantik duduk disebuah kursi tunggu dengan wajah kusut penuh air mata.

Berdebar hati Teguh ketika mendekati pak Broto. Sebenarnya takut didamprat, tapi rasa khawatirnya tentang Putri membuatnya berani.

"Bagaimana keadaan Putri pak?" tanya Teguh begitu mendekat.

Pak Teguh mengawasi anak muda gagah yang mendekatinya, kemudian teringat bahwa dialah Teguh yang dibencinya.

"Mau apa kamu?" hardiknya dengan wajah kemerahan.

"Saya ingin melihat keadaan Putri," ujar Teguh sambil mengulurkan tangannya dengan maksud memberi salam. Tapi pak Broto menghindar dan menuding kearah wajah Teguh dengan tanpa belas.

"Pergi kamu, dia anakku dan tak ada urusannya dengan siapapun juga."

"Tapi pak.."

"Pergi dan jangan sok perhatian sama anakku. Pergiii!!"

Melihat kemarahan berapi api dari laki2 yang agaknya ayahnya Putri, bu Marsih segera menarik tangan anaknya, dan diajaknya pergi dari sana.

"Bu.. nanti dulu bu,"Teguh memprotes.

"Tidak le, dia benar, itu bukan urusan kamu. Ayo pergi sebelum terjadi keributan yang lebih parah."

"Bu..."

"Kita pulang dan jangan pikirkan dia lagi. Bisa mati berdiri kalau ibu memiliki besan seperti dia."

***

Malam itu Putri harus menginap dirumah sakit. Ketika sadar ia segera dibawa keruang inap yang sudah dipersiapkan. Putri kebingungan karena belum sempat bertanya apapun. Kepalanya masih pusing. Dilihatnya ayah ibunya ada disampingnya, memandanginya dengan wajah khawatir.

"Dimana aku?" katanya lirih..

"Kamu dirumah sakit nduk," ujar bu Broto sambil mengelus kepala Putri.

"Dirumah sakit...? Tapi tadi..."

"Kamu sedang menari tiba2 pingsan. Syukurlah sehingga laki2 itu tidak sempat menjamahmu," kata pak Broto dengan wajah muram.Ia lupa bahwa Teguh bukan menjamah Putri ketika menari tapi malah menggendongnya kedalam.

"Oh... kenapa aku.."

"Bagaimana perasaanmu? Pusing sekali? Memang dari pagi kan kamu tampak tidak sehat, pakai muntah2 segala.."

Putri diam, diingatnya satu persatu sa'at2 yang dilaluinya sebelum tergolek dirumah sakit itu. Ia didandanin, lalu melihat Teguh mengintip dibalik celah pintu, saling senyum penuh arti.. lalu pentas itu dimulai .. lalu tiba giliran Lara Ireng bertemu Permadi.. lalu ia ingin mengatakan sesuatu tentang dirinya yang muntah2..dan kekhawatirannya..ketika adegan itu memberinya kesempatan.. tapi sebelum itu terjadi tiba2 semuanya menjadi gelap dan begitu sadar ia telah berada dirumah sakit ini.

"Kamu itu kecapaian.. tidak mendengar kata orang tua.. " omel pak Broto.

Putri diam, ia lebih berbicara dengan batinnya sendiri tentang keadaannya. Bagaimana kalau ia ternyata benar2 hamil, lalu betapa marahnya ayahnya, mungkin dia akan dihajarnya, atau bahkan diusirnya dari rumah.. atau...

"nDuk, jangan berfikir apa2 dulu, tidurlah, ini sudah malam," bisik ibunya.

"Aku mau pulang saja, sudah nggak pusing," kata Putri.

"Ya belum boleh sama dokter, tadi baru saja darahmu diambil untuk diperiksa, mungkin besok baru tau hasilnya.

"Sudah jangan ngeyel. Kamu itu bawaannya ngeyel. Lagi sakit pengin pulang. Pokoknya kamu akan dirawat sampai benar2 sehat.Dan jangan banyak protes !"

***

Malam itu Teguh nggak bisa tidur. Ingatannya akan Putri sama sekali tak bisa hilang dari benaknya. Bu Marsih menasehati panjang lebar tapi tak satupun bisa melenyapkan bayangan Putri.

"Sudah to le, dia itu kan punya orang tua, ya pasti Putri sudah dirawat dengan sebaik baiknya. Kamu nggak usah terlalu memikirkannya."

"Teguh khawatir bu, sakit apa dia itu, wong tadinya baik2 saja."

"Lha wong lagi diperiksa dokter, lagi dirawat, dan itu bukan urusanmu ta le, sudah, jangan dipikirkan lagi. Besok kalau sekiranya orang tuanya nggak disana, kamu coba menjenguk kesana. Kalau ada orang tuanya, apalagi bapaknya.. haduuh.. ibu bisa pingsan kalau tidak cepat2 pergi. Orangnya tinggi besar,suaranya lantang, jadi seperti Burisrowo yang semalam gandrung2 sama mbok Mbodro..

"Iya bu, coba besok sepulang kuliah Teguh mencoba kesana. Yang penting Teguh sudah tau keadaannya bu."

"Ya sudah, sekarang jangan dipikirkan lagi, tidur yang nyenyak, mudah2an besok bisa ketemu Putri mu." hibur bu Marsih.

"Baiklah bu."

Rupanya saran ibunya untuk menemuinya esok hari bisa meredakan kegelisahannya. Dalam hati dia berdo'a, semoga besok bisa ketemu Putri, paling tidak bisa tau keadannya.

***

Pagi itu pak Broto masih berada dirumah sakit bersama isterinya. Putri adalah anak satu2nya yang mereka cintai, biarpun kesal tapi pak Broto juga menghawatirkan keadaan Putri.

Jam sepuluh lebih, dokter yang merawat datang. Seorang perawat mengiringinya sambil membawa berkas2, yang mungkin hasil lab pemeriksaan Putri semalam.

Dokter itu tersenyum ramah, memeriksa Putri dengan cermat. 

"Bagaimana dokter, anak saya?" tanya pak Broto tak sabar.

"Ini berita baik, mana suaminya mbak Putri?"

Pak Broto terkejut, mengapa dokter menanyakan suaminya? Bu Broto juga menatap dokter itu dengan wajah bingung. Tapi Putri menjadi pucat pasi. Sepatah kata dokter itu bagai palu godam yang memukul kepalanya, yang mendadak seperti berputar bagai baling2.

Karena semuanya terdiam, dokter itu melanjutkan kata2nya dengan senyum ramah.

"mBak Putri mengandung bu, baru beberapa minggu, tapi sehat kok.Segera beritau suaminya agar mendengar berita gembira ini ya."

Dokter itu melangkah pergi meninggalkan pak Broto dan bu Broto yang  terperangah dan tak mampu ber kata2.

Putri memegangi kepalanya yang berdenyut, kemudian ia memberi isyarat karena ingin muntah.

Bu Broto mengambil kantong plasti yang terdekat, dan menadahinya dengan tangan gemetar.

"Benar2 kurangajar dia! Dan kamu... benar2 anak yang tidak tau malu!! " tiba2 kata2 kasar mengahbmur dari mulut pak Broto. Bu Broto kemudian menggosok perut Putri dengan minyak kayu putih yang selalu dibawanya. Wajahnya kusut. Sedanagkan Putri segera menangis tersedu sedu.

"Ma'afkan Putri... ma'afkan.. bapak.. ibu.."

"Ma'af.. ma'af.. apa itu cukup? Kamu telah mencoreng nama keluarga dengan tingkah laku yang memalukan. Sebagai seorang wanita kamu telah menjatuhkan matabat kamu sendiri, martabat keluarga dan juga leluhur kamu!!"

"Pak, sudah pak.. jangan berteriak teriak begitu, ini dirumah sakit.. malu kalau tiba2 ada yang masuk dan mendengarnya."

"Sekarang juga bawa Putri pulang. " 

*** 

Karena itulah maka ketika Teguh ber endap2 dirumah sakit itu, ketika mencari tau apakah ayah ibunya Putri masih disitu, ia bukan hanya tak melihat kedua orang tua Putri, tapi ia juga tak menemukan Putri lagi.

"Dia sudah pulang pagi tadi mas."

"Oh, sakit apa sebenarnya dia?"

"Ma'af mas, kami tidak bisa menjawab pertanyaan mas, mungkin karena sudah sembuh," jawab perawat jaga.

Teguh pulang dengan kesewa, tapi kenyataan bahwa Putri sudah boleh pulang, membuatnyaa sedikit lega. Pasti Putri tidak menderita sakit yang berbahaya, dan sudah sembuh sehingga sudah boleh pulang.

Apa boleh buat. Dan pulanglah Teguh walau tak berhasil menemui pujaan hatinya.

***

Siang itu bu Broto belum berhasil menenangkan kemarahan hati suaminya. Ketika Putri meringkuk dikamar ditemani simbok, pak Broto berbincang dengan isterinya.

"Sudahlah bapak, ini memang aib bagi kita, tapi kita harus melakukan sesuatu sebelum aib itu tersebar kemana mana."

"Menurut ibu, apa yang harus kita lakukan?"

"Ya carilah Teguh dan suruh bertanggung jawab. Hanya itu jalan satu2nya."

"Tidak !! Aku tidak sudi menerima Teguh sebagai menantu.!

Bu Broto terkejut.

"Lalu apa? Menggugurkan kandungan Putri? Jangan pak, bayi itu tak berdosa. Kita tak berhak melenyapkannya."

"Bukan menggugurkannya, sudahlah, kamu nggak usah ikut2. Aku sudah menemukan jalan keluarnya.

 ***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 


Friday, July 26, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 07

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  07

{Tien Kumalasari)

Simbok langsung memasuki kamar mandi karena memang tidak terkunci. Dilihatnya Putri menundukkan kepala sambil memuntahkan semua isi perutnya. Simbok memijit mijit tengkuk Putri agar Putri merasa lega dan tuntas memuntahkannya.

Terengah Putri setelahnya, kemudian simbok menuntunnya kedalam kamar.

"Simbok kan sudah bilang, jangan makan rujak sebelum makan pagi. Ayu2 kok kalau dibilangi ngeyel. Ini akibatnya," omel simbok sambil menggosok tengkuk Putri dengan minyak kayu putih. Ia juga membalurkan minyak hangat itu ke perut putri dan juga punggungnya.

Kemudian simbok menggantikan baju Putri yang sebagian kotor terkena muntahan.

"Bagaimana, masih mual?" tanya simbok setelahnya.

"Nggak, aku mau rujaknya lagi.." rengek Putri.

"Haduuh... ini bagaimana ta, habis makan muntah2 kok malah minta lagi. Nggak mau simbok," kata simbok bersungut sungut.

"mBok, tolonglah mbok, habis rujaknya enak. Malah keluar semua, ganti dong mbok, beliin lagi."

"Nggak.. simbok nggak mau. Sarapan dulu."

"Ya sudah, ambilin sarapannya, tapi pas aku makan simbok berangkat beli rujaknya ya," Putri masih merayu simbok.

Simbok merengut, tapi ia tak sampai hati menolak permintaan momongannya.

Tapi ketika Putri menyendok lagi dua tiga sendok sarapannya, rasa mualnya mengganggunya lagi. Putri berlari kebelakang, dan kembali memuntahkan makanannya. Bu Broto yang waktu itu sedang  menuju dapur, terkejut melihat Putri muntah2.

"Lho.. nduk, kamu itu kenapa?" tanya bu Broto sambil menuntun Putri keluar dari kamar mandi.

"Nggak tau nih bu, sarapannya nggak enak, jadi mual Putri," kata Putri sambil menuju kekamarnya, diikuti bu Broto.

"Lha ini bau minyak kayu putih menyengat sekali, sudah dibalur minyak putih tadi?"

"Sudah bu, dari tadi mualnya, Putri berbaring sebentar ya bu?"

"Minum obat mual dulu, kalau nggak reda juga ke dokter saja."

"Nggak usah bu, nanti juga sembuh."

"Kamu jangan sembrono, nanti malam pentas malah nggak sehat bagaimana. Simbok mana ini, mbook.. tolong ambilkan obat mual di almari obat mbook.. mana ta simbok ini?"

Tiba2 simbok berlari lari dari arah luar.

"Ya bu, " tanya simbok sambil meletakkan bungkusan dimeja kamar Putri.

"Dari mana kamu ini? Lha itu apa?"

"Jeng Putri minta dibelikan rujak bu, lha kenapa lagi jeng Putri itu.."

"Dari kamar mandi, muntah2.."

"Lho, muntah lagi?"

"Mamangnya tadi sudah?"

"Sudah, terus simbok gosokkan minyak kayu putih keseluruh tubuh jeng Putri. Masuk angin, ee.. malah minta rujak."

"Gimana ta nduk? Lha kok pagi2 pengin rujak, kayak orang ngidam saja."

Tiba2 terkesiap hati Putri, ngidam?  Ya Tuhan, benarkah aku ngidam? Seketika semakin pucatlah wajah Putri. Rasa takut menyelimuti dirinya.

"Ambilkan obat mual dulu mbok."

"Yang mana ya bu?" simbok bingung.

"Walah, apa kamu nggak bisa baca to mbok, ada tulisannya obat mual gitu, botolnya kecil warna abu2."

"Oh ya, baiklah bu," jawab simbok sambil melangkah pergi.

"Nanti obatnya segera diminum dulu, setengah jam kemudian baru makan. Ini rujaknya nggak usah dimakan," kata bu Broto sambil mengambil bungkusan rujak dibawanya keluar kamar.

Putri ingin protes, tapi tak berani. Kata2 ngidam tadi membuat hatinya menjadi kecut. Bagaimana kalau iya?

"Ini jeng, obatnya, diminum dulu."

Putri bangkit dan menerima butiran obat mual yang diulurkan simbok, lalu diminumnya.

"mBook, rujakku dibawa keluar sama ibu," rengek Putri lagi.

"Sudah, biar saja, nggak usah mikirin rujak, sekarang jeng Putri istirahat, nanti malam kan mbeksa.. kalau sampai nanti masih mual2 terus ..gimana? Ya nggak bisa mbeksa, apa simbok aja yang nggantiin.." kata simbok sambil ngeloyor pergi.

***

Sore itu Teguh sedang berkemas, karena nanti sore harus ikut pentas.  Sebenarnya beberapa hari ini hatinya sedikit senang karena bisa bertemu gadis yang dicintainya, walau hanya sebatas saling pandang ketika berpadu dalam tarian.Dan malam nanti adalah yang terakhir bisa bertemu, karena pasti susah ketemu lagi setelah pentas itu usai. Latihan2 terakhirnya saja harus ditunggui ibunya, pasti selanjutnya pak Broto tak akan mengijinkan Putri menari. Apalagi bersamanya.

"Le, nanti ibu boleh ikut kan melihat pementasan itu?" tanya bu Marsih.

"Iya bu, pasti ibu akan menonton Teguh menari bersama Putri nanti"

"Hm, pasti senang kamu ya?" olok2 bu Marsih.

"Ah, entahlah bu, setelah ini kan belum tentu bisa bertemu lagi."

"Ya sudah nggak papa, seperti ibu bilang kemarin2, jangan memikirkan cinta, sekolah dulu le, sekolah."

Teguh mengangguk

"Maaas, aku nanti boleh ikut melihat ya?" tiba2 suara cempreng kemayu itu terdengar.

Teguh merengut. Kalau Naning ikut pasti merepotkan, bisa2 malah membuat malu karena memang Naning itu suka ceplas ceplos bicara, keras lagi. Dan yang menyebalkan, dia tak tau malu.

"Boleh ya mas.."

"Nggak, nggak boleh.."

"Kok nggak boleh sih mas, masa aku nggak boleh melihat calon suamiku menari?"

"Calon... calon... jangan ngawur."

"Mas Teguh didepan bu Marsih berani mengakui kalau kita saling jatuh cinta, kok sekarang bilang begitu? " protes Naning.

"Huh, siapa bilang saling jatuh cinta? Kamu kali.. jatuh bangun.."

"Tuh bu... mas Teguh gitu.. masa Naning nggak boleh melihat mas Teguh menari?"

"Sudah, jangan ribut, sekarang ayo kita masak didapur," kata bu Marsih sambil menarik tangan Naning menjauh dari Teguh. Teguh tersenyum, walau sebenarnya kesal.

*** 

Minum obat mual itu membuat Putri bisa tertidur nyenyak. Ketika bangun, ia merasa lapar, tapi yang dicarinya adalah bungkusan yang tadi dibelikan simbok.Tapi sudah capek mencari, bungkusan rujak itu nggak juga diketemukan.

"Cari apa jeng?" tanya simbok yang menyaksikan Putri mencari cari dimeja makan.

"Nggak.. nggak ada.." Putri malu mengakui karena tadi sudah dilarang.

"Sebentar simbok siapkan untuk makan siang ya."

Putri masih terus mencari cari.

"Cari apa nduk?" tiba2 bu Broto muncul dari kamarnya.

"Nggak, Putri lapar."

"Itu simbok sudah mau menyiapkan makan siang, bagaimana rasanya sekarang? Masih mual?"

"Nggak bu."

Mata Putri masih mencari cari. Haa, mungkin di kulkas. Putri menuju kulkas dan membukanya, tapi yang dicarinya tak ada disana.

"Sebenarnya kamu mencari apa ta nduk? Minum? Sini ibu ambilkan."

"Bungkusan yang tadi mana?" akhirnya karena tak tahan Putri berterus terang.

"Bungkusan apa? Rujak? Ya ampuun.. sudah ibu habiskan tadi."

Putri menghela nafas kesal. 

"Ibu tuh, orang Putri lagi pengin, malah dihabisin."

"Kamu tuh, bener2 seperti orang ngidam deh."

Kata2 ibunya membuat Putri surut memprotes karena rujaknya dihabisin. Ia lebih merasa khawatir kalau hal itu benar2 terjadi. Sambil duduk dimeja makan, dielusnya perutnya. Nggak tuh, masih rata.. 

"Nanti makanlah yang banyak, lalu bersiap2, suruh simbok ngebantuin apa yang perlu kamu bawa sa'at pentas nanti."

"Ya bu, semuanya sudah, nanti tinggal berangkat saja."

Dalam hati Putri berfikir, kekhawatirannya tentang ngidam itu akan disampaikannya pada Teguh sambil sembunyi2.

***

Sa'at pementasan itu tiba. Putri sudah berada dikamar hias, dan dihias sebagai Dewi Lara Ireng yang cantik sekali. Teman2nya memuji kecantikan Putri. Ia memang pantas menjadi putri titisan Widowati yang sangat dicintai Permadi.

Bapak dan ibunya duduk dibarisan paling depan. Ada bu Marsih yang duduk sederet dengannya, tapi tidak saling kenal sehingga hanya saling menganggukkan kepala sambil menunggu acara dimulai.

Sementara itu sang raden Permadi yang dijuluki lelananging jagad juga sudah selesai berhias. Dengan sembunyi2 ia melongok kekamar hias perempuan. Ia melihat kekasihnya juga sudah selesai didandanin, aduhai.. Teguh berdebar debar, seandainya benar dia menjadi Permadi, dan bisa mempersunting Lara Ireng... Alangkah cantiknya kekasihku, bisik hatinya sambil mengelus dadanya yang berdetak lebih kencang melihat kecantikan yang tiada taranya.

"Heeh.. dosa kamu mengintip perempuan lagi dandan," tiba2 seseorang menepuk punggungnya.Teguh tersenyum, ia meninggalkan pintu yang terbuka sedikit itu dan kembali keruangannya. Wajah Lara Ireng yang seakan bersinar terus membayang dipelupuk matanya. Dalam hati ia berdo'a, semoga suatu hari nanti ia benar2 bisa menyuntingnya.

Pentas itu dimulai dengan sendratari yang menawan. Pak Broto dan bu Broto juga bu Marsih menunggu sa'at putera dan puterinya tampil.

Ketika adegan Permadi dan Lara Ireng bertemu, pak Broto harus mengakui bahwa laki2 pilihan putrinya benar2 menawan. Ia ganteng, ia luwes dalam menari, dan itu sangat menakjubkan. Tapi rasa kagum itu dikibaskannya. Laki2 itu bukan siapa2 dan tak pantas menjadi menantunya.

Bu Marsih juga terkagum kagum melihat puteranya menari, dan juga mengagumi kecantikan gadis yang dicintai puteranya itu.

Ketika adegan Lara Ireng didekati Permadi, Putri sudah siap membisikkan sesuatu yang membuatnya cemas. Namun tiba2 Putri merasa pusing, dan badannya limbung. Suasana menjadi gaduh ketika tiba2 Putri pingsan diatas panggung.

***

besok lagi ya


Thursday, July 25, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 06

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  06

(Tien Kumalasari)

Tiba2 saja Naning nyelong masuk dan nimbrung berbicara tanpa tau apa sebenarnya yang dibicarakan. Ia mengira Teguh mengatakan bahwa Teguh dan dirinya saling jatuh cinta. Begitu masuk Naning lalu menghambur kearah Teguh dan berusaha memeluknya. Beruntung Teguh menghindar, dan Naning jatuh terjerembab kelantai.

"Adduuhh... " rintihnya sambil berusaha berdiri.

Taguh bukannya membantu Naning berdiri, malah tertawa terbahak bahak. Bu Marsihpun tersenyum, tapi matanya melotot kearah Teguh, seakan menegur Teguh yang justru mentertawakannya bukan menolongnya.

"Mas Teguuhhh..." Naning merengut, sambil duduk dikursi ia mngelut elus lututnya yang terasa nyeri.

"Teguh, jangan begitu ah," tegur bu Marsih.

"Salahnya sendiri, main sosor saja.. Nanti saja bu ceritanya, Teguh mau mandi dulu." kata Teguh sambil melangkah kekamarnya.

"Bu Marsih, lihat tuh.. katanya saling cinta tapi mas Teguh malah membuat saya tersungkur. Udah gitu saya malah diketawain," keluh Naning sambil masih saja mengelus elus lututnya.

"Ya sudah, kamu juga sih, datang2 sudah mau nubruk aja."

"Lha katanya saling mencintai, kok gitu?" Naning merengut.

"Sudah, jangan dulu mikir cinta2an. Kalian ini masih sangat muda.Nanti kalau sudah sa'atnya, dan kamu memang jodohnya Teguh, pasti akan jadian kok."

"Bener ya bu?"

"Sudah, sekaang bantuin ibu menyiapkan yang akan dimasak besok."

***

Ketika Putri mau langsung masuk kekamarnya, pak Broto memanggilnya.

"Duduk disini dulu!" perintahnya tandas.

"Ma'af bapak," lirih Putri bersuara, sambil menundukkan kepala, kemudian duduk dihadapan ayahnya.

"Kamu ini sudah pintar berbohong ya. Ada2 saja akal2an kamu untuk membodohi orang tua. Kamu tau, bapak bersikap begini itu juga demi kebaikan kamu. Kamu itu masih muda,sa'atnya memikirkan sekolahmu. SMA saja belum selesai sudah berfikir mengejar laki2 yang belum jelas jluntrungnya. Berfikir nduk.. berfikir.. perbuatan kamu itu menyakiti orang tua. Tau?"

Putri hanya mengangguk. Air matanya mulai meleleh turun. Ia mengerti, memang masih terlalu muda, tapi apa salah kalau mencitai seseorang?

"Mulai besok, Sarno akan menunggui kamu mulai kamu masuk ke pekarangan sekolah sampai keluar lagi kemudian mengantarmu sampai kerumah."

Putri mengangkat mukanya. Dipandanginya wajah ayahnya yang tampak keruh dan penuh kemarahan. Astaga, mana bisa ia menemui kekasihnya walau sebentar saja?

"Dan jangan berfikir untuk membuat kebohongan2 lagi, Jangan mengarang alasan untuk mendapatkan kesempatan bertemu dengan laki2 itu."

Putri mengusap air matanya. Tak sepatahpun ia mampu menjawab kata2 ayahnya. Semakin dia menjawab akan semakin panjang kata2 ayahnya yang akan didengarnya.

"Dan satu lagi, kamu tidak usah ikut lagi latihan menari."

"Tapi bapak, bulan depan kami akan pentas dan....."

"Tidak boleh. Nanti kamu akan ketemuan lagi sama dia."

Putri ingin mengatakan lagi sesuatu, tapi pak Broto sudah berdiri dan meninggalkannya . 

***

"Teguh, sekarang coba cerita sama ibu. Kemarin kamu mau mengatakan apa tentang temanmu yang bernama Putri? Kamu dan dia saling jatuh cinta?" tanya bu Marsih ketika Teguh sedang berkemas akan pergi kuliah.

"Ya bu, kami bertemu ketika latihan menari bersama sama."

"Lalu kenapa kemarin dia menangis disini?"

"Hubungan Teguh dan Putri tidak disetujui ayahnya."

"Mungkin karena kalian masih sangat muda."

"Bukan, Putri itu anaknya priyayi, bangsawan yang kaya raya. Dan Teguh ini kan hanya orang biasa." ujar Teguh dengan tatapan mata sedih.

"Ya sudah, kalian ini kan masih muda, sebaiknya tidak memikirkan cinta terlebih dulu. Pikirkan sekolahmu le, nanti kalau pendidikan kamu terganggu gara2 cinta2an, ibu kan sedih. Dulu waktu bapakmu mau meninggal, beliau berpesan agar ibu menjadikanmu orang yang pintar, berpendidikan, supaya kamu memiliki masa depan yang baik."

Teguh menundukkan kepalanya.

"Ya bu, Teguh tak akan mengecewakan ibu, dan pasti melakukan apa yang menjadi pesan bapak almarhum."

 "Ya sudah le, sebaiknya kamu tidak usah memikirkan dia lagi. Apa dia juga teman kuliahmu?"

"Dia masih SMA bu."

"Naa, apalagi masih sekolah. Wis le, mikir sekolah dulu. Jangan sampai karena hal itu lalu sekolahmu terganggu."

Teguh mengangguk pelan. Ia kemudian berdiri, sambil mengusap air matanya yang sempat bergulir, lalu mencium tangan ibunya.

"Sudah, jangan sedih... semangat ya le."

Teguh tersenyum, lalu mengambil tas berisi perangkat kuliahnya. Dalam hati ia berkata, akan bisakah dia melupakan Putri yang dicintainya?

***

"Ibu, tolong bilang sama bapak supaya mengijinkan Putri ikut latihan menari ya," rengek Putri kepada ibunya ketika malam2 ibunya duduk sendirian.

"Lhah, mana berani ibu bilang begitu sama bapakmu. Kamu kan tau, kalau bapak sudah bilang tidak itu ya tidak. Tak seorangpun bisa mengubahnya."

"Tapi kan Putri harus pentas bulan depan bu, dua minggu lagi."

"Mau bagaimana lagi nduk, bapakmu sudah melarang, ya jangan nekat."

"Kan kasihan penyelenggaranya bu, harusnya aku jadi Lara Ireng, nggak akan ada yang bisa menggantikan bu."

"Terus.. Teguh itu jadi apa?"

"Jadi Permadi bu, lakonnya kan Parta Krama."

"Hm, kamu mencari kesempatan untuk bertemu Teguh kan?"

"Bukan bu, karena pentas itu, hanya Putri dan dia yang bisa melakukannya. Kalau diganti orang lain susah, kasihan kan, waktunya nggak lama lagi."

"Ya sudah, bilang sana sama bapak, kalau ibu nggak berani, naanti ibu dibentak malah jatuh pingsan."

"Bu, tolonglah bu.. Putri janji nggak akan melakukan hal2 yang nggak disukai bapak."

"Ini kan salah kamu juga, kamu berbuat yang macam2, pakai membohongi orang tua segala, ya begini ini jadinya."

"Bu, Putri janji.. ini demi penyelenggara pentas itu bu, kasihan, kalau ibu nggak percaya, ibu boleh mengantar Putri dan melihat Putri latihan.. sampai pentas itu selesai bu.." Putri terus merengek, dan akhirnya bu Broto tak sampai hati menolaknya.

Namub begitu bu Broto menyampaikan keinginan itu, pak Broto justru marah2.

"Tidak itu tidak, artinya tidak!! Ibu itu jangan gampang dibodohi sama anakmu itu, dia itu hanya ingin ketemuan sama si Teguh, bukan untuk latihan menari."

"Pak, latihan itu untuk pentas yang akan diselenggarakan 2 minggu lagi. Kalau Putri nggak datang, kasihan penyelenggaranya. Putri itu jadi lakonnya pak."

"Biar saja jadi lakon atau tidak, apa urusannya sama aku."

"Putri itu jadi pemeran utama pak, nggak ada yang bisa menggantikan, disa'at yang hanya kurang dua mingguan lagi."

"Ya biarin ta, apa perempuan selain Putri nggak ada?"

"Waktu latihannya mepet pak."

"Kok ibu jadi tiba2 ngebelain Putri. Ibu nggak kapok dibohongi anakmu sendiri? Orang itu ya, kalau sudah sekali berbohong, maka pasti akan diikuti dengan kebohongan2 yang lain. Dan kalau sekali berbohong itu berarti dia sudah nggak lagi bisa dipercaya."

"Bapak kok begitu amat sama anaknya sendiri."

"Lha kenyataannya memang berkali kali bohong kan? Apa kata2 bapak ini salah?"

"Putri berjanji tidak akan melakukan hal2 yang tidak baik. Ia bahkan bersedia ketika latihan dan pentas ditungguin sama ibu."

"Apa?"

"Ini demi penyelenggara pentas itu pak, kasihan kalau gagal sementara undangan sudah tersebar."

Pak Broto terdiam. Tampaknya dia memikirkan sesuatu. Bu Broto sedikit lega, melihat wajah pak Broto tidak segarang tadi. Mungkin kata2 bahwa ibunya mau menungguin putrinya latihan dan pentas, sedikit membuatnya bisa mengendapkan amarahnya.

"Apa ibu mau, ikut Putri latihan, dan menungguinya sampai dia pulang?"

"Ya pak, ibu akan ikut setiap kali Putri latihan.Juga ketika pentas nanti."

"Baiklah kalau begitu, tapi ibu harus berjanji akan mengawasi setiap gerak gerik Putri dan si Teguh itu."

***

Dua kali latihan itu bu Broto benar2 menunggui anaknya. Ia melihat tak sedikitpun tampak hal2 mencurigakan diantara Putri dan Teguh. Masing2 menjaga kepercayaan bu Broto, agar pentas itu tak akan gagal. Begitu juga dengan latihan terakhir yang dilakukannya.

"Besok pentas itu akan diselenggarakan pak, bapak mau ikut menonton kan?"

"Bapak itu pengin, tapi bapak nggak suka melihat tampang si Teguh itu."

"Selama ini dia baik kok pak, dia juga memberi salam sama ibu dengan sangat santun."

"Hm, ibu jangan terkecoh dengan sikap yang ditunjukkan dia, dia itu hanya berusaha memikat hati ibu supaya ibu merelakan anaknya berdekatan dengan dia.

"Ah, bapak kok gitu. Ikut ya pak, ibu suka sekali melihat pentas itu. Masih latihan saja sudah bagus, apalagi kalau nanti benar2 didandanin."

Sesungguhnya pak Broto suka sekali melihat kesenian Jawa ditampilkan. Itu budaya yang sangat indah dan adiluhung. Dulu waktu muda pak Broto juga sering menari. Ia pernah menari jadi Gatutkaca, dan tarian itu jugalah yang kemudian mempertemukannya dengan gadis cantik bernama Saptari, yang kemudian menjadi isterinya. Saptari bukan penari, tapi ia suka melihat tarian2  Jawa juga.

"Bagaimana pak, masa ibu akan datang sendiri."

"Ya sama Sarno.."

"Emoh, memangnya aku isterinya Sarno?"

"Ya sudah, gampang, ."

Itu jawaban yang melegakan. Putri juga senang bapaknya akan hadi di pementasan itu.

***

"Waah, simbok juga kepengin lihat kalau nanti malam jeng Putri menari."kata simbok keesokan harinya.

"Simbok mau ikut? Boleh kok, nanti Putri bilang sama ibu kalau simbok pengin ikut.."

"Bener ya jeng, simbok pengin sekali."

"Ya sudah, sekarang Putri minta tolong dibelikan rujak diujung jalan sana. Enak itu rujaknya.

"Lho, masih pagi kok pengin rujak, sarapan dulu ta jeng/"

"Sarapannya nanti saja, Putri pengin rujak sekarang, cepetan mbok."

"Ya, ya.. baiklah, tapi dimakan setelah sarapan ya.."

"Cepet ta mbok.."

Tapi setelah simbok pulang membawa sebungkus rujak, Putri langsung melahapnya sampai habis. Simbok kesal karena Putri nggak mau sarapan sebelumnya.

"Jeng Putri itu yen dikasih tau kok banyak ngeyelnya ya, nanti kalau perutnya sakit simbok nggak ikutan lho." mengomel simbok sambil membawa piring bekas rujak itu kebelakang.

Tapi belum sampai simbok meletakkan piring kotor itu, tiba2 dilihatnya Putri berlari kekamar mandi dan terdengar suara orang muntah2.

"Lhah... jeng.. muntah2 ya?"

***

besok lagi ya

"Jeng, nanti pak Sarno akan menunggu jeng Putri sampai pulang sekolah, itu perintah pak Broto." kata Sarno ketika mengantar ke sekolah Putri.

 

 

 

 

 

 

 

 


Wednesday, July 24, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 5

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  05

(Tien Kumalasari)

Pak Sarno memacu mobilnya menuju rumah majikannya. Disepanjang perjalanan pak Broto mengomel tak henti2nya.

"Bocah tak tau diuntung. Bisa saja membohongi orang tua hanya karena laki2 tak berguna itu."

"Sabar pak, barangkali jeng Putri sudah sampai rumah," hibur Sarno karena mejikannya terus menerus mengomel.

"Tadi kan aku sudah tilpun kerumah, dan dia belum sampai rumah."

"Mungkin memang belum sampai pak."

"Tapi perasaanku berkata lain. Pasti ia pergi kerumah Teguh. Kamu tau dimana rumah dia?"

"Nggak tau tuh pak."

"Waduh, harus bertanya pada siapa ya, aku yakin dia pasti kesana. Heran aku dengan cara berfikir bocah itu. Kalau bener dia jadian sama Teguh, mau makan apa dia? Selama ini makan enak tidur nyenyak, semua keinginan aku berikan. Apa Teguh bisa memberikan itu semua?"

"Sabar dulu pak, barangkali jeng Putri sudah sampai rumah."

"Baiklah, percepat mobilnya, nggak sabar aku."

"Ya pak, jalanan ramai karena ini sa'atnya pulang sekolah."

Pak Broto mengeluh. Dia merasa mobilnya merayap seperti siput.

Taoi begitu memasuki rumah, tampak bu Broto menunggu diteras rumah, wajahnya tampak cemas. Pak Broto yang buru2 turun dari mobil bergegas menghampiri isterinya.

"Belum pulang juga?"

"Belum pak, kemana dia?"

"Sudah aku duga, dia lari kerumah laki2 itu."

"Mengapa bapak tidak langsung mencarinya kesana dulu?"

"Kesana bagaimana, rumahnya saja aku nggak tau. Sarno juga nggak tau."

"Bagaimana pak.. Oh ya, Putri kan latihan menari .. dan juga bersama Teguh, coba Sarno suruh bertanya kesana, pasti mereka tau.Entah temannya, atau pengurusnya." 

"Iya juga ya. Sarno... kesini !"

"Ya pak."

"Kamu ke tempat Putri latihan tari ya, tanya kepada siapapun juga dimana rumah Teguh, lalu kamu langsung mencarinya kesana."

"Baik pak."

"Jangan pulang tanpa membawa Putri."

"Baik"

 ***

"Permisi..." suara halus itu mengalun dari pintu depan. Teguh merasa suara itu tidak asing baginya. 

"Permisi.." ulang suara itu. Tampaknya bu Marsih sedang tak ada dirumah.

Teguh yang sedang melamun dikamarnya melompat keluar kamar dan menuju depan rumah menghampiri arah datangnya suara itu.

"Putri?" teriaknya  sambil menghambur kearah Putri yang kemudian merangkulnya sambil menangis tersedu.

"Bagaimana kamu bisa kemari? Apa ayahmu tidak menjemputmu? Setiap hari aku lewat didepan sekolahmu, dan selalu melihat mobil ayahmu sudah menunggu disana."

"Aku ijin pulang sebelum jam pelajaran selesai. Aku ingin bertemu kamu Teguh. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu." 

"Ayo masuk dan duduklah dulu," kata Teguh sambil menggandeng Putri masuk kedalam rumah.

Putri duduk dan masih sibuk mengelap wajahnya dengan tissue karena tangisnya belum juga berhenti..

"Bagaimana kamu ini, pasti ayahmu marah karena kamu kemari," kata Teguh sambil ikut mengusap air mata Putri.

"Apa kamu tidak suka aku datang kemari?"

"Suka, suka sekali, tapi ini cara yang tidak benar Putri, kamu diam2 pergi dan pasti ayah ibumu kebingungan mencari kamu."

"Aku tidak tahan Teguh, aku nggak bisa hidup tanpa kamu."

"Jangan begitu Putri. Kita sudah melakukan hal yang salah. Kita tidak bisa menyalahkan ayahmu. Orang tua mana yang suka melihat anak gadisnya berhubungan dengan laki2 yang belum jelas masa depannya? Jangan salahkan ayahmu Putri, dia benar."

"Teguh, aku bersusah payah datang kemari dan kamu malah menyalahkan aku?"

"Bukan menyalahkan Putri, aku hanya mengingatkanmu."

"Aku tidak tahan Teguh. Jadikan aku isterimu."

Teguh terkejut mendengarnya. Dia berfikir Putri terlalu terburu buru. Ia mengira sebuah perkawinan itu begitu mudahnya.

"Dengar Putri, kalau dipikir pikir, kita ini masih terlalu muda untuk memikirkan itu."

"Kamu tidak cinta aku Teguh, aku benci kamu."

Tiba2 tangis Putri meledak. Teguh merangkulnya.

"Tenang Putri, jangan berkata begitu, kamu salah terima. Aku sangat mencintai kamu. Sangat, lebih dari apapun. Tapi baiklah, kita endapkan dulu perasaan kita itu, dan mari kita melanjutkan sekolah kita, lalu biarkan aku bekerja, dan setelah itu aku akan melamarmu. Itu lebih baik bukan?"

"Bapak tidak akan mengijikanmu Teguh, percayalah."

"Kalau sekarang aku bisa menerimanya, tapi nanti kalau aku sudah bisa berdiri tegak dan siap menghidupi seorang isteri, aku akan berani melakukannya, apapun akan aku lakukan untuk mendapatkanmu Putri."

"Teguh.. aku bingung," tangis Putri sedikit mereda.

"Tenangkan hatimu dan teruskan sekolahmu. Kita akan bersatu, percayalah. Tapi bukan sekarang."

Putri mengusap air matanya. Ada sedikit kata2 Teguh yang bisa diterima akal sehatnya. Mungkin Teguh benar, mereka masih kanak2. Putri teringat kata2 simbok, itu cinta monyet. Masih suka meloncat loncat. Ah tidak,Putri berjanji tidak akan meloncat kemanapun. Hanya Teguh yang dicintainya.

"Putri, ayo aku mengantarmu pulang."

"Teguh.." Putri masih ingin membantah.

"Bapak dan ibumu pasti kebingungan mencarimu. Ayo.. aku keluarkan dulu sepeda motorku ya."

Teguh menuju kesamping rumah, dan sa'at itulah bu Marsih datang. Agak heran bu Marsih melihat seorang gadis cantik duduk dikursi tamu ambil mengusap sisa airmatanya.

"Oh, ada tamu rupanya," tegur bu Marsih yang belum pernah melihat Putri.

Putri berdiri, dan menyalami bu Marsih dengan mencium tangannya.

"Temannya Teguh?"

"Ya bu."

"Oh. baiklah, mana Teguh?"

"Ini aku bu," teriak Teguh dari depan. Rupanya ia sudah mengeluarkan sepeda motornya dari samping rumah.

"Silahkan duduk nak, ibu buatkan minuman ya?"

"Nggak usah bu, saya mau pamit."

"Ya bu, Teguh mau mengantarkan pulang dulu ya bu. Oh ya, ini namanya Putri, teman Teguh menari."

"Oh, senang nak Putri mau datang kegubug ibu ini."

Putri mengangguk, ia sangat terkesan dengan keramahan ibunya Teguh ini. Apakah hanya orang kaya saja yang memiliki sifat congkak dan sombong? Ia bandingkan bu Marsih dengan ayahnya. Jauh sekali bedanya. 

"Ayo Putri, jangan kesorean"

Putri membonceng Teguh meninggalkan rumah, diikuti dengan pandangan keheranan oleh bu Marsih. Siapa sebenarnya gadis cantik itu..?

***

Tapi diujung lorong dikampung itu ada mobil ayahnya baru saja berhenti. Teguh menghentikan motornya, dan menyuruh Putri turun. Ada rasa was2 dihati Putri. Kalau ayahnya yang datang kemari, pasti seluruh kampung akan keluar melihat tontonan menarik karena pasti ayahnya akan marah2 dengan teriakan khasnya.

Beruntung karena ternyata pak Sarno yang turun.

Teguh menghampiri pak Sarno.

"Menjemput Putri pak?Ini saya baru mau mengantarnya pulang."

"Oh iya nak, terimakasih banyak. Pak Broto menyuruh saya mencari jeng Putri karena ketika menjemput disekolah ternyata sudah pulang."

"Ya, dia kerumah saya dan saya sudah membujuknya untuk pulang."

"Terimakasih banyak nak. Tadi saya bertanya ke teman menari jeng Putri tentang alamat rumah nak Teguh. Syukurlah ketemu."

"Putri, pulanglah, kamu sudah dijemput."

Putri mengangguk, lalu naik keatas mobil ayahnya.

Teguh menunggu sampai mobil itu lenyap ditikungan.

***

"Kok sudah kembali nak? Memangnya dimana rumah temanmu itu?"

"Ketemu sopir yang menjemput dia bu, diujung kampung."

"Siapa sebenarnya gadis itu Teguh?" tanya bu Marsih

"Teguh kan sudah bilang bahwa itu teman Teguh menari."

"Tapi dia tadi disini menangis nangis, kamu menyakiti hatinya?"

"Nggak bu, panjang ceritanya."

"Kamu pacaran sama dia?"

"Kami saling mencintai bu."

"Oh ya ampuun, jadi mas Teguh ternyata mencintai aku?" tiba2 suara melengking itu hampir membuat bu Marsih dan Teguh terlonjak kaget.

***

besok lagi ya

Tuesday, July 23, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 04

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  04

(Tien Kumalasari)

Teguh turun dan menstandart kan motornya. Ia ingin memegangi dadanya, barangkali copot jantungnya ketika melihat pak Broto berjalan menuju kearahnya sambil menampakkan wajah yang sangat menakutkan. Sementara Putri berdiri tegak disampingnya.

"Karena laki2 ini kamu tega berbohong pada bapak, pada ibu, pada Sarno?"

"Ma'af bapak, Putri hanya...."

"Diam dan jangan berbicara apapun." hardik pak Broto .

"Dan kamu. Siapa namamu?" tanyanya sambil memandangi Teguh. Tampak senyuman sinis dan menyakitkan. Tapi Teguh tidak menundukkan kepala. Dipandanginya wajah pak Broto dan menjawab pelan.

"Saya Teguh pak."

"Kamu anak sekolahan?"

"Saya masih kuliah pak."

"Kuliah apa? Oh ya.. pokoknya kuliah, dan itu kemudian membuatmu kamu bangga lalu berani mendekati anakku? Kamu tau dia itu siapa? Aku ini siapa? Kamu tau?"

Sekarang Teguh menundukkan mukanya. Ia tau bahwa dirinya hanyalah orang tanpa pangkat dan derajat. Tapi siapa yang telah menumbuhkan cinta dihatinya? Ini adalah perasaan. Ia datang dengan tiba2 dan menyelimuti hatinya. Haruskah cinta bertanya kepada siapa ia dipanahkan?

"Melihat kendaraan yang kamu pakai ini, aku sudah tau sedang berhadapan dengan orng yang bagaimana."

Teguh ingin berontak. Ia tak harus dihinakan seperti ini. Tapi ditahannya karena ia adalah ayahnya Putri, gadis yang sangat dicintainya.

"Aku tak akan banyak bicara, aku melarang kamu mendekati Putri lagi!"

"Bapak, aku mencintai dia ," tiba2 Putri menyela dengan linangan air mata. Tak tahan ia melihat priya pujaannya disakiti sampai sekejam itu.

"Apa kamu bilang? Tau apa kamu tentang cinta?Tidak, sekarang masuk ke mobil.!"

"Bapak...."

"Masuk ke mobil !!!" kali ini suara pak Broto begitu keras, menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Putri memandangi Teguh dengan tatapan pilu, air mata mengalir disepanjang pipinya. Ingin Teguh berlari kearahnya, mendekapnya dan membasuh semua kesedihannya. Tapi Putri sudah berlari kearah mobil. Dipandanginya Teguh sebelum ia masuk dan menutupkan pintunya.

"Aku tak akan bicara lagi tentang apapun sama kamu. Hanya satu, jangan dekati anakku lagi!!"

Lalu pak Broto pun membalikkan badannya, dan berjalan dengan langkah lebar kearah mobilnya. Deru mobil yang menjauh itu seperti menghempaskannya kejurang tanpa batas. Teguh limbung, kemudian duduk diatas sebuah batu besar yang kebetulan ada diluar gerbang sekolah itu.

***

"Jeng, makan dulu, nanti sakit lagi... mbok ya nurut kalau sama simbok itu ta jeng," kata simbok sambil duduk diatas karpet yang terbentang dilantai kamar Putri, sedangkan Putri duduk bersandar dikursinya, tak bergerak. Matanya menerawang kelangit langit kamar, tak bergeming walau simbok menepuk nepuk lututnya.

"Jeng... ayo jeng.. nurut ya sama simbok, mau disuapin ya? Biar simbok suapin deh," kata simbok sambil mengambil piring, menaruh nasi diatasnya dan menyiramnya dengan semur daging yang seharusnya membangkitkan selera. Tapi Putri menggeleng.

"Emoh mbok.. biar aku mati saja...," rintihnya pilu, sambil bercucuran air matanya.

"Lho..lho..lho.. nggak baik ngomong begitu cah ayu, mati dan hidup itu kan miliknya Gusti Allah. Moh yen jeng Putri bilang begitu.. simbok ikutan nangis lho.."

"Aku suka sama dia mbok, aku cinta.. tapi bapak memisahkannya.. aku lebih baik mati..."

"Lha, kok malah diulang lagi, dibilangi nggak boleh bilang begitu kok nekat. Dengar simbok, cinta itu makanan apa ta.. wong karena cinta saja kok bilang pengin mati segala. Nggak mau simbok. "

"mBok... aku mau dia .."

"Jeng, orang tua itu hanya mau yang terbaik untuk anaknya. Kalau bapak melarang, berarti bapak tau kalau apa yang menjadi pilihan jeng Putri itu nggak baik, nggak akan membahagiakan hidup jeng Putri nantinya. Percayalah jeng."

"Bapak itu terlalu sombong. Bapak menghina Teguh mbok, mentang2 bapak itu kaya.. aku nggak suka mbok.."

"Ya, memang orang kalau nggak suka ya pasti bilang hal2 yang menyakitkan, tapi bapak itu kan memilihkan yang terbaik buat jeng Putri."

"Tapi aku cinta dia mbok."

"Jeng Putri itu masih sangat sangat muda, belum bisa memilih yang baik dan yang tidak. Kalau simbok sering lihat sinetron di televisi itu lho jeng, itu namanya cinta monyet, cinta yang suka loncat2 seperti monyet. Itu bukan cinta yang sesungguhnya lho jeng," kata simbok sok tau. 

Biasanya kalau simbok ngomong hal2 yang dianggapnya lucu pasti Putri tertawa terkekeh kekeh, tapi tidak malam itu. Wajahnya tetap saja cemberut, kusut.

"Ayo jeng, sudah diambilkan simbok, aaak... mangap to jeng, ya wis.. kalau jeng Putri nggak mau makan juga besok simbok mau pergi," ancam simbok.

Mendengar simbok mau pergi, Putri menegakkan tubuhnya, memandangi simbok, tampaknya ada rasa khawatir  kalau benar2 kehilangan simbok.

"Mau pergi kemana?" tanya Putri lirih.

"Ya ke dusunnya simbok, disini sudah nggak ada gunanya, jeng Putri nggak mau nurut sama simbok, ya lebih baik simbok pulang ke kampung."

Sejak masih kecil, Putri paling takut pada ancaman simbok yang satu itu. Kalau dia nakal, kalau nggak nurut, simbok masti mengancam mau pergi, dan nurutlah Putri sama pamong yang setia meladeninya sejak dia masih bayi itu. Dan ternyata perasaan takut kehilangan simbok itu masih terbawa sampai sekarang.

Putri membuka mulutnya, petanda mau disuapin. Simbok tersenyum senang, lalu menyuapi momongannya dengan semangat.

***

Tak berdeda dengan Putri, Teguh juga merasa sedih dan tersiksa. Makan sejak siang yang disiapkan bu Marsih sama sekali tak disentuhnya. 

"Ada apa to le, kok nggak mau makan? Kalau nggak mau makan masakan ibu, beli saja, gitu?  Pengin apa, ibu beliin," kata bu Marsih prihatin. Sedangkan Teguh hanya diam duduk didepan televisi, tapi sama sekali pikirannya bukan kearah televisi itu. 

"Nggak bu, biar nanti Teguh makan, tapi bukan sekarang."

"Lha itu makanan dari siang juga masih utuh. Nanti kamu sakit lho le, kemarin baru masuk angin begitu."

"Ya bu, nanti Teguh makan, ibu nggak usah khawatir."

Tiba2 Teguh ingin tahu bagaimana keadaan Putri. Diambilnya ponselnya dan diputarnya nomor tilpun kekasihnya.

"Hallo... kamu? Putri nggak lagi pegang hape, ini sekarang punya saya. Mau apa lagi?" itu suara berat, sepeti suara laki2 yang sore tadi menghardiknya. Teguh buru2 menutup ponselnya. Rupanya Ponsel Putri sudah dirampas ayahnya.

"Mas, tak beliin mie rebus mas..." tiba2 suara lantang kemayu itu terdengar, dan Naning muncul serta langssung duduk disamping Teguh.

"Apa ta Ning, bikin aku kaget saja," tegus Teguh yang akhir2 ini merasa kesal setiap kedatangan Naning.

"Halaah, cuma gitu aja kaget ta mas, ini.. mie rebus masih panas, dimakan ya, tak ambilin piring..." tanpa menunggu jawaban Naning sudah beranjak kebelakang, datang lagi membawa piring dan sendok.

"Ini mas, enak, ini mie nya pak Karso langgananmu itu lho."

"Nggak..nggak.. aku lagi nggak ingin makan," sergah Teguh sambil beralih ketempat duduk lainnya.

"Gimana ta mas.."

"Teguh, itu sudah Naning bawain, susah2.. jangan  buat dia kecewa. Lagian itu kan mie kesukaanmu. Ayo le, dimakan, anget2 gini kan enak."

Teguh mengambil piring berisi mie itu, lalu menyuapkannya sekitar tiga sendok, lalu diletakkannya sisanya diatas meja.

"Kok cuma sedikit ta mas," tegur Naning sambil mengambil piringnya.

 "Sudah kenyang."

"Tak suapin ya mas," kata Naning sambil menyendok sesendok mie, siap disuapkan kemulut Teguh. Tapi Teguh segera berdiri lalu berjalan kekamarnya.

"Aku mau tidur."

"Tuh, bu.. mas Teguh gitu kalau sama saya," keluh Naning, yang kemudian memasukkan mie yang tadi mau dimasukkan kemulut Teguh, lalu kemudian dimasukkan kemulutnya sendiri.

"Ya sudah, Naning habiskan saja ya bu," katanya sambil melahap mie itu sampai habis. Bu Marsih memandanginya sambil tersenyum.

"Bu, apa benar bu Marsih suka punya menantu Naning?

"Sukalah, kan Naning gadis yang baik," jawab bu Marsih sambil tersenyum. 

"Tapi mas Teguh nggak suka sama Naning."

"Lama2 dia pasti suka,biar saja dulu, dia masih sekolah, belum sa'atnya memikirkan cinta2an."

"O, iya ya.. kalau begitu Naning akan menunggu sampai mas Teguh selesai kuliah ya bu."

Bu Marsih hanya tersenyum.

***

Sejak hari itu Putri berangkat sekolah selalu diantar dan dijemput pak Broto. Jangan sampai ada kesempatan bagi Teguh untuk menemui anak gadisnya. Putri sangat sedih karena tertutup kemungkinan untuk bertemu kekasihnya. Pulang pergi dijemput, ponsel juga nggak punya, bagaimana bisa menghubungi Teguh? 

Siang itu seperti biasa pak Broto dengan diantar Sarno sudah menunggu didepan sekolah Putri. Sa'at bubaran tiba, diamatinya satu demi satu murid2 yang keluar. Putri belum kelihatan, bahkan sampai semua murid keluar, Putri tetap tak tampak. Pak Broto merasa tak enak. Ia turun dari mubil, menuju kedalam sekolahan, dan menemui ruang guru.

"Selamat siang bu," sapa pak Broto ketika seorang guru menemuinya.

"Siang bapak, ini pak Broto ayahnya Putri bukan?"

"Ya benar bu, saya mau menjemput Putri, tapi kok nggak ada ya?"

"Lho, tadi Putri pamit  pulang sebelum jam pelajaran usai, karena kepalanya pusing, katanya."

"Oh, begitu ya, baiklah bu, terimakasih banyak, saya dari kantor jadi tidak tau."

Tapi dalam perjalanan menuju mobil itu timbul perasaan tak enak dihati pak Broto. Ditilpunnya isterinya.

"Bu, apa Putri sudah pulang?"

"Lho, belum tuh pak," jawaban dari seberang sana.

***

besok lagi ya

Monday, July 22, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 03

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 03

(Tien Kumalasari)

Teguh terkejut.

"Apa?"

"Iya, bu Marsih bilang begitu, tanya aja kalau nggak percaya."

"Enak saja ngomongin perjodohan," kata Teguh kesal.

"Lho mas, apa sampeyan lupa, dulu kalau kita main bersama2, pasti aku ini jadi isterimu. Lha itu kan sudah menunjukkan bahwa kita ini jodoh, apalagi ibumu juga suka sama aku."

"Itu mainan anak2, jangan dibawa bawa.. dan kalau ibuku suka sama kamu, ya kamu saja kawin sama ibuku," kata Teguh sambil keluar dari kamarnya. Sebel juga dikamar berduaan dengan seorang gadis, walau gadis itu sudah biasa blusukan dirumah itu.

"Mas, ini aku ngomong serius lho."

"Aku juga serius. Sekarang pulang saja sana, aku mau istirahat."

"Lho.. aku diusir nih?" 

"Ya wis terserah apa kata kamu, pokoknya aku mau istirahat, badanku lagi nggak enak nih.."

"Tak masakin anget2an mas, apa aku beliin soto? Diujung jalan itu sotonya enak lho mas, bener."

"Udah ta Ning, aku nggak mau makan apa2, aku maunya tidur, jadi pulanglah." kata Teguh sambil kembali masuk kekamarnya lalu menutup pintunya dan menguncinya dari dalam.

"Mas Teguh tuh.. jahat banget ya sama aku, awas, nanti aku bilang sama bu Marsih."

Naning meninggalkan rumah itu sambil mengomel. Dia itu baik, tapi terkadang seperti anak kecil. Dia suka banget sama Teguh, dan rasa suka itu dipendamnya sejak mereka masih kanak2.

***

"Bagaimana Putri bu? Masih sakit?" tanya pak Broto disore hari sepulang dari kantornya.

"Masih dikamarnya, tapi tadi sudah mau makan sedikit2, simbok yang melayani, kalau sama ibu mana mau dia.."

"Besok kalau mau sekolah biar Sarno yang mengantarnya, Sarno juga yang menjemputnya."

"Ya, nanti ibu bilang sama Putri."

Pak Broto menuju kamar Putri, dilihatnya Putri masih tiduran , tampak wajahnya pucat. Pak Broto memegang kening Putri.

"Nggak panas kan, bagaimana sekarang ? Masih merasakan apa?"

"Sudah baik pak, nggak apa2 kok."

"Besok kalau kamu sekolah, biar Sarno mengantar dan menjemput ya, nggak boleh lagi naik ojek atau taksi atau apalah namanya, dan jangan sering2 nggak masuk sekolah, kamu kan sebentar lagi ujian?" kata pak Broto tandas.

"Ya," Putri menjawab pendek. Pikirannya melayang kearah Teguh, biasanya kalau pulang pasti Teguh menjemputnya. Teguh kuliah di universitas yang letaknya tak jauh dari SMA tempat Putri bersekolah, dari situlah mereka berkenalan, dan kebetulan mereka mempunyai hobi yang sama yaitu menari. Sekarang Putri sedang berfikir, bagaimana caranya menghindari Sarno apabila Sarno menjemputnya.Hampa rasanya bila sekali saja tidak bertemu Teguh dan berboncengan dengan sepeda motor miliknya.

"Apa kamu masih sering berboncengan sama Teguh?" tiba2 tanya ayahnya. Putri tak menjawab, hanya menggeleng. Apa ayahnya tau tentang apa yang sedang dipikirkannya?

"Dengar Putri, bapak tidak suka sama Teguh. Kamu itu berteman dengan orang yang salah. Dia itu tidak sebanding dengan keluarga kita. Bertemanlah dengan sesama priyayi, yang punya kedudukan.. masa puteri pak Broto kok setiap hari berboncengan sama Teguh yang orang kebanyakan, tidak punya derajat dan pangkat."

Putri ingin menutup kupingnya agar tak mendengar kata2 ayahnya, yang barangkali sudah seribu kalu didengarnya. Tapi Putri tak berani. Dirumah itu Putri paling takut sama ayahnya. Pak Broto itu agak temperamen, dan selalu berbicara keras. Ia juga memegang teguh status kedudukannya sebagai seorang priyayi yang tak pantas bergaul dengan sembarang orang.

Putri tentu saja tak setuju. Ia jatuh cinta pada seseorang yang jauh dari kriteria yang diagung2kan ayahnya. Teguh itu tampan, manis, baik hati...tak ada duanya.. Tapi mana berani Putri membantahnya? Tapi dalam hati Putri berjanji, suatu hari nanti ia akan berbicara pada ayahnya tentang kebaikan2 yang dimiliki Teguh. Kecuali satu, kekhilafannya malam tadi. Dan pilu hati Putri mengingatnya.

"Ya sudah, istirahat saja dulu, dan ingat kata2 bapak tadi, jangan sampai kamu menentangnya." kata pak Broto sambil keluar dari kamarnya, meninggalkan Putri yang masih tenggelam dalam lamunannya.

***

Hari itu memang Putri sudah mulai masuk sekolah. Sa'atnya pulang, dilihatnya pak Sarno sudah menunggu dibawah pohon waru yang rindang. Putri melihat kesudut tembok pembatas gerbang sekolah, dilihatnya Teguh sudah ada disana. Selalu ditemapat itu Teguh menunggu setiap menjemput Putri sepulang sekolah. Semalam mereka sudah janjian, akan tetap pulang sekolah bersama sama. Tapi Putri bingung karena pak Sarno sudah menunggu dan pasti melihat gerak geriknya,.

Putri sedang berfikir untuk menemukan alasan agar bisa menghindari pulang bersama Sarno, ketika tiba2 Sarno menghampirinya.

"Jeng, ayo kita pulang, nanti setelah mengantar jeng Putri saya harus kembali kekantor."

"Oh.. eh.. iya, anu pak Sarno.. ini.. aku ada pelajaran tampahan.. mungkin agak sore pulangnya."

"Tapi pak Broto bilang saya harus menunggu sampai jeng Putri pulang."

"Begini saja, kalau menunggu pasti akan lama, pak Sarno kembali saja kesini sekitar jam empat. Bagaimana? Di jam itu pasti aku sudah siap untuk pulang. " 

"Jam empat ya jeng? Masih lama juga sih, ini baru jam dua lebih sedikit."

"Makanya, sekarang pak Sarno pulang dulu, nanti jam empat jemput aku."

Karena tak ada jalan lain Sarno terpaksa menurut. Ia meninggalkan Putri dan berjanji akan kembali jam empat nanti.

Putri merasa lega, dengan wajah berseri dihampirinya Teguh, begitu Sarno telah pergi dengan membawa mobil ayahnya.

"Kamu dijemput?" tanya Teguh begitu Putri mendekat.

"Sudah aku suruh pergi, nanti jam empat biar dia kembali/"

"Ayuk, naiklah, kemana kita?" tanya Teguh sambil mempersilahkan Putri naik ke boncengannya.

"Jalan aja terus, kita minum2 ditempat sepi, ada yang ingin aku bicarakn sama kamu."

Dan motor Teguh pun melunjur dengan kecepatan sedang, menuju kewarung dipinggiran kota yang selalu mereka datangi setiap pulang sekolah. 

"Mau bicara apa?" tanya Teguh setelah memesan dua gelas es jeruk kesukaan mereka.

"Bapak marah2 ketika aku pulang."

"Ya.. kan kamu sudah cerita di telephone."

"Masih dilanjutin pagi harinya. Bukannya marah sih, tapi mengomeli aku tak habis2nya."

"Ayahmu tau kalau kita selalu ketemuan walau dengan sembunyi2. "

"Ya, entah bagaimana bapak bisa tau. Tapi aku akan tetap mencintai kamu, apalagi setelah kejadian malam itu," kali ini wajah Putri tampak sendu. 

"Aku sangat menyesal," sahut Teguh lirih.

"Bagaimana kalau aku hamil?" kata2 Putri ini mengejutkan Teguh.

"Hamil."

"Hal itu bisa saja terjadi,"

Teguh menghela nafas panjang. Dipandanginya wajah cantik yang masih tampak kepucatan itu lekat2. 

"Aku sungguh sangat menyesal. Tapi seandainya itu terjadi, aku tetap akan bertanggung jawab."

Putri memandangi kekasihnya dengan wajah berseri. 

"Hanya saja kamu harus tau, aku bukan orang kaya. Aku masih kuliah dengan biaya pas2n dari peninggalan ayahku, pensiunan seorang guru. "

"Apapun dan bagaimanapun keadaanmu aku akan tetap bersamamu Teguh. Aku bersedia hidup miskin asalkan bersamamu."

Kedua sejoli itu berpegangan tangan dengan tangan2 mereka diatas meja. Dua pasang mata saling bertatap , seakan menyatakan bahwa ada janji untuk sehidup semati. Kedua anak muda yang sedang dimabuk cinta itu sama sekali tak memperhitungkan, betapa susah memperjuangkan hidup. Mereke berfikir bahwa apabila hati saling cinta maka segalanya akan menjadi indah. Aduhai...

*** 

Sebelum jam 4 sore Teguh sudah mengantarkan Putri kembali kesekolah, Jangan sampai Sarno datang lebih dulu lalu memergoki kedatangan mereka berdua.

Tapi tanpa dinyana, begitu mereka berhenti, mobil pak Broto sudah ada disana. Putri sedang bersiap untuk berbohong. Ia mencari alasan mengapa datang dari luar sekolah padahal tadi katanya ada tambahan pelajaran. Namun sebelum alasan itu ditemukan, tiba2 seseorang turun dari mobil itu. Pak Broto.

Putri terkejut, wajahnya pucat pasi. Teguh urung menstarter motornya untuk pergi karena pak Broto memberi isyarat untuk berhenti.

***

besok lagi ya

 

 


Saturday, July 20, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 02

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  02

(Tien Kumalasari)

Hujan baru berhenti ketika jam menunjukkan pukul 7 malam. Itupun masih ada rintik2 gerimis yang lembut menerpa tubuh2 yang beranjak dari tempatnya berteduh. 

Teguh menghentikan sepeda motornya disamping gerbang rumah Putri. Putri segera turun, sambil mengusap air matanya. Ketika ia melangkah untuk membuka gerbang, terdengar Teguh berbisik lirih :" Putri, ma'afkan aku.."

Gerbang telah terbuka menimbulkan derit yang mengiris. Setengah berlari Putri menuju rumah, dan terdengar deru sepeda motor menjauh.

"Putri, apa2an kamu ini!!" keras suara pak Broto yang menunggu diteras rumah bersama isterinya.

"Ma'af bapak, hujannya deras sekali," jawab Putri sambil terus berlalu.

"Ya ampun nduk, bajumu basah kuyup seperti ini..dan kotor begitu.. apa kamu tadi bergulung dilumpur?" tanya ibunya sambil mengukuti langkah Putri yang terus menuju kamar mandi. Ia tak berani menatap wajah ayahnya yang memandanginya dengan sorot mata penuh amarah. Dan tak berani menatap wajah ibunya yang memandanginya penuh khawatir.Ada sesuatu yang hilang dari dirinya, dan membuatnya seperti kehilangan tempat berpijak. Desah2 penuh kepasrahan yang tadi direguknya tiba2 hilang berganti sakit yang mengiris. Putri terus mengguyur tubuhnya dengan air, seakan ingin menghilangkan noda yang mencederai kesuciannya. Dia terus mengguyurkan air, sambil membiarkan air matanya terus bergulir.

"mBok, ambilkan baju kering untuk Putri," teriak bu Broto kepada pembantunya.

Simbok tergopoh menuju kamar majikan kecilnya.

"Sudah, jangan lama2 mandinya, nanti kamu masuk angin," teriak bu Broto dari luar ketika mendengar Putri masih terus berguyur.

"Jeng Putri, ini bajunya," simbok juga berteriak sambil membawa setumpuk pakaian kering.

Pintu terbuka sedikit, tangan Putri keluar dan mengambil baju yang dibawakan simbok.

"Cepat Putri, lalu makan dan minum obat," kata bu Broto yang masih saja berdiri diluar kamar mandi.

"Simbok siapkan dahar sekarang bu?" tanya simbok.

"Ya mbok, supaya Putri bisa segera makan dan minum obatnya.

Simbok bergegas kedapur.

Tapi setelah selesai mandi dan berpakaian itu Putri langsung membaringkan tubuhnya dipembaringan. Tubuhnya terasa ngilu, demikian juga hatinya. Sesal yang berkepanjangan semakin terasa mengiris. Kegelapan itu, getar2 itu, gelora itu, amukan nafsu itu, mengapa ia tak bisa menahannya? Duhai, bagaimana cara menghiloangkan sesal itu? Bagaimanaa cara memutar kembali waktu, sehingga ia tak usah berteduh, sehingga ia minta saja langsung pulang menembus hujan, toh bajunya sudah terlanjur basah? 

"Jeng Putri..." tiba2 simbok masuk kamar dan mengejutkannya.

"Simbok, kalau mau masuk ketok pintunya dulu dong," tegus Putri yang merasa diganggu.

"Lho, bimbok sudah mengetuk berkali kali tuh, jeng Putri nggak dengar rupanya."

"Oh, iya mbok, ada apa?"

"Jeng Putri ditunggu diruang makan, ibu yang menyuruh simbok memanggil jeng Putri."

"Putri nggak ingin makan mbok, kepala pusing."

"Itulah maka ibu menyuruh jeng Putri makan, supaya segera bisa minum obat."

"Aku males bangun mbok."

"Simbok bawakan saja minuman hangat, sama makan dikamar ya?"

Tanpa menunggu jawaban simbok keluar kamar, melapor kepada majikannya bahwa Putri nggak mau keluar, dan simbok akan membawakannya kedalam.

Ketika simbok memasuki kembali kamar Putri, dilihatnya Putri sudah menutup tubuhnya dengan selimut.

"Jeng, ini teh hangat diminum dulu, supaya badan juga jadi hangat. Jangan wangkal, nanti ibu marah lho. Sini, simbok tungguin disini, ini diminum dulu. Habis itu makan. Ada sup hangat masakan simbok, uenak lho jeng.Biar simbok duduk disini menunggu,"

Simbok melayani Putri sejak Putri masih bayi. Ia sudah tau bagaimana cara meluluhkan hati Putri. Ia nggak akan pergi sebelum Putri menuruti permintaannya. 

Putri bangkit, mengibaskan selimutnya dan duduk ditepi pembaringan. Simbok mengulurkan teh hangat itu, dan Putri meneguknya.

"Sekarang makan dulu, simbok ambilkan supnya dulu ya," kata simbok sambil menyendokkan sup kedalam mangkup yang kemudian diangsurkannya pada Putri. Putri menggeleng tapi simbok menyendokkannya lalu disuapkannya kemulut Putri.

"Ayo, sedikit saja, biasanya kan jeng suka sup masakan simbok. "

Tak urung Putri membuka mulutnya menerima suapan yang diangsurkan simbok. 

"Nah, enak kan? Ayuh.. sayurnya... aaaaakk.."

Putri melahap sup itu sampai habis. Kemudian kembali merebahkan tubuhnya.

"Lho.. lho.. nasinya belum, sama ca kangkung.. ayam... ayo to jeng, biar enak badannya, ini obatnya sudah simbok bawakan sekalian, tapi harus makan nasi dulu."

"Sudah mbok, sudah kenyang," kata Putri sambil membalikkan tubuhnya membelakangi simbok.

"Wadhuhh... piye ta jeng, ya sudah, obatnya dulu.""Emoh mbok, aku sudah nggak pusing lagi, aku mau tidur saja."

Kali ini simbok tak berhasil membujuk Putri. Ia keluar lagi sambil membawa segala makanan yang tadi dibawakan untuk Putri.

***

Malam itu Teguh merasakan hal yang sama. Ada sesal yang menggumpal, susah diuraikannya dengan apapun juga. Seandainya ia bisa menahannya.. seandainya Putri tidak menyambutnya.. seandainya tak ada hujan sore itu.. dan berjuta seandainya memenuhi kepalanya. Teguh tak bisa tidur sampai kokok ayam membelah remang sisa2 malam.Ia harus meminta ma'af pada Putri, tapi apakah itu cukup? Apakah ma'af bisa membasuh dosa dan noda yang telah ditorehkannya?

"Mas Teguh.. mas Teguh..." ada suara mengetuk pintu kamarnya. Teguh membuka matanya yang belum lama terpejamkan. 

"Mas, bangun mas, ini sudah siang.. kamu nggak masuk kuliah?"

Suara itu semakin nyaring terdengar. Teguh tau itu suara Naning, tetangga sekampung yang selalu mampir kerumahnya sepulang dari belanja. Naning membantu ibunya berjualan nasi dan lauk pauk setiap pagi. Pagi itu karena belum melihat Teguh mengeluarkan sepeda motornya, Naning langsung masuk kerumah. Ibunya Teguh yang sedang memasak didapur membiarkannya karena keduanya memang berteman sejak masih kecil.

"Maaas.. apa kamu sakit?"

Teguh bangkit, mengucek matanya lalu membuka pintu kamarnya.

"Berisik !!" hardiknya pura2 marah.

"Pemalas ! Ini sudah siang tau..!!"

"Ya,aku tau..." katanya sambil keluar dari kamar.

"Ini, sate lontong kesukaanmu," kata Naning sambil meletakkan bungkusan dimeja makan.

"Ya, taruh aja disitu."

"Kamu nggak kuliah mas?"

"Nggak, badanku lagi nggak enak."

"Kamu masuk angin, mau aku kerokin? Pasti semalam kamu hujan2an. Kata ibu kamu latihan menari sampai hujan reda baru pulang."

"Nggak usah, aku mau dikerokin ibu saja. Kamu ngerokinnya sakit."

"Eee.. masa sih? Kan sama2 pakai uang benggol yang punya ibu itu.."

"Iya, tapi tanganmu itu kalau ngerokin sakit."

"Huh, ya sudah, " Naning cemberut kemudian berlalu. Teguh tersenyum senyum sendiri melihat Naning pergi sambil mengomel.

"Kamu masuk angin to le.?" tiba2 bu Marsih ibunya Teguh keluar dari dapur sambil meletakkan masakan yang baru dimasaknya.

"Ya bu, Teguh mau tidur dulu."

"Lha ini Naning sudah bawakan kamu lontong sate kesukaanmu, dimakan dulu lalu minum obat. Kamu sih, hujan2 nekat pergi, sampai bajumu basah dan kotor seperti itu."

"Ya bu, Teguh kekamar mandi dulu, nanti tolong ibu kerokin ya?"

Ya, cepatlah, ibu mau kepasar, dan nggak usah mandi. Kalau mau mandi pakai air hangat, ditermos masih ada. Nanti kamu bertambah sakit kalau mandi pake air dingin."

***

Hari itu Putri juga enggan masuk sekolah. Badannya terasa sakit semua. Simbok sudah menggosoknya dengan minyak gosok yang hangat, lalu Putri kembali tidur.

"Ibu kan sudah bilang kemarin, nggak usah pergi, kamu nekat sih. Sampai bapak marah2 nggak karuan," gerutu bu Broto ketika melihat Putri masih tergolek diranjang dan berselimut tebal.

"Ma'af bu.." sahut Putri lemah. 

"Sebelum berangkat tadi bapakmu melihat kamu masih tidur, marah2 lagi karena kemarin kamu pergi disa'at hujan mau turun, trus nggak bawa ponsel, kamu nggak boleh mengulangnya lagi lho nduk."

Putri diam, tak tau harus menjawab apa. Dia memang salah, dan kesalahan itu sangat berat terasa ditanggungnya. 

"Ya sudah, tiduran dulu, biar simbok membawa sarapanmu kekamar."

Bu Broto keluar dari kamar setelah membenarkan letak selimut anaknya.

Putri memejamkan matanya dan mencoba tidur, tapi tak bisa. Bayangan Teguh selalu mengambang dipelupuk matanya. Apakah Teguh juga merasakan hal yang sama? Putri mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Teguh. Tapi ponsel  Teguh tampaknya dimatikan. Apakah Teguh sakit?

***

Bu  Marsih sudah selesai ngerokin Teguh. Lalu membalurkan minyak gosok yang hangat keseluruh punggungnya.

"Merah gosong tuh, kamu masuk angin le," kata bu Marsih sambil keluar dari kamar anaknya.

"Bu, mas Teguh sudah dikerokin?" tiba2 suara itu terdengar lagi.

"Sudah Ning, coba kamu lihat dikamar, dan suruh dia makan, aku mau kepasar dulu." kata bu Marsih sambil berkemas.

"Ya bu, biar Naning paksa dia makan."

Ketika Naning masuk kekamar Teguh, dilihatnya Teguh sedang berbicara di telpone.

"Ma'afkan aku, sungguh aku menyesal... ya... baiklah, istirahat saja dulu, ya pastilah,. baik, besok kita ketemu lagi kan.. ya..."

Teguh menutup ponselnya ketika melihat Naning memasuki kamarnya.

"Telpon sama siapa?" tanya Naning sambil memandangi penuh selidik.

"Mau tau aja..." jawab Teguh sambil kembali berbaring dan membalikkan tubuh membelakangi Naning.

"Eh, jahat banget ya sama aku, cuma ditanya aja.. awas ya .. kalau kamu telponan sama perempuan.."

"Lho.. memangnya apa urusannya kamu melarang aku?"

"Ya  nggak boleh, kan kamu itu jodohnya aku."

***

besok lagi ya


Friday, July 19, 2019

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 01

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  01

(Tien Kumalasari)

Udara mendung sejak siang itu, tapi Putri tetap berkemas untuk berangkat latihan menari. Maklumlah, bukan hanya latihan itu yang membuatnya bersemangat, tapi pasangan menarinya yang sudah beberapa bulan ini mengisi hatinya. Teguh bukan sekedar teman beradu dalam tarian. Pemuda tampan yang menurutnya sangat baik hati ini begitu membuatnya tergila gila. Ia hanyalah pemuda kebanyakan yang bukan keturunan seorang hartawan atau seorang yang memiliki derajat dan kedudukan tinggi.Berbeda dengan Putri yang puteri seorang berdarah biru, dan memiliki harta berlimpah. Namun penampilan Teguh yang sederhana dan santun, begitu menarik hati Putri.

"Putri, mendung begitu gelap, mbok ya nggak usah latihan menari," tegur bu Broto,  ibunya yang mengikuti dibelakangnya begitu Putri membuka pintu depan.

"Nggak bu, nanti Putri ketinggalan, trus nggak bisa mengikuti ajaran sore ini, padahal bulan depan sudah harus berani di pentaskan," sanggah Putri sambil melongok kearah jalan, seakan ada yang sedang ditunggunya.

"Kalau begitu jangan berangkat sendiri, suruh pak Sarno mengantar kamu," kata bu Broto lagi.

"Nggak usah bu, sungkan sama teman2 kalau Putri diantar pakai mobil, nanti dikira sombong."

"Ya bukan begitu nduk, memang cuacanya yang lagi nggak bagus, apa salahnya diantar mobil."

"Enggak bu, biar Putri naik ojek saja."

Sementara itu terdengar suara sepeda motor berhenti diluar gerbang. Putri mencium tangan ibunya lalu berjalan kearah gerbang.

"Bocah kok ngeyel," gerutu bu Broto sambil memandangi punggung anak gadisnya.

"Putri jadi berangkat?" tiba2 pak Broto sudah berdiri dibelakang bu Broto.

"Bapak... tadi ibu kira bapak masih tidur, jadi ibu biarkan Putri pergi tanpa pamit sama bapak."

"Memang baru bangun aku, tadi seharusnya aku suruh Putri libur saja latihan menarinya. Orang mau hujan begini."

"Ibu sudah melarangnya, tapi dia nekat. So'alnya bulan depan mau ikut pentas."

"Tapi aku curiga sama anakmu itu bu, akhir2 ini dia sering berboncengan sama temannya yang namanya Teguh itu."

"Cuma berboncengan pak, kan nggak apa2. Tapi sore ini dia naik ojek kok."

"Ada mobil dirumah, mengapa dia selalu menolak diantar sopir? Itu karena dia penginnya berboncengan sama Teguh."

"Katanya malu sama teman2nya kalau diantar mobil, nanti dikira sombong. Tadi ibu juga sudah minta dia supaya diantar Sarno."

Pak Broto masuk kedalam sambil mengomel. Ia menyalahkan isterinya kenapa tak melarang Putri untuk mengurungkan niyatnya sementara hari tampaknya akan hujan.

***

Memang benar, bukan ojek online yang mengantar Putri, tapi Teguh. Teguh selalu menunggunya diujung jalan setiap kali menjemput putri, Putri yang memintanya karena ia tau ayahnya nggak suka dirinya berduaan dengan Teguh.

Tapi sampai ditempat latihan itu tampak sepi. Rupanya baik guru maupun teman2nya enggan datang karena mendung begitu tebal, dan sudah bisa dipastikan hujan akan turun.Hanya ada tiga atau empat siswa tari yang masih duduk disebuah bangku dibawah pohon tanjung yang rindang, 

"Nggak ada latihan hari ini Putri, kami sudah mau pulang,"kata salah seorang dari mereka yang kemudian beranjak dari duduknya, diikuti oleh ketiga temannya.

"Iya, kayaknya hari akan hujan," sahut Putri, sambil duduk dibngku yang tadi mereka duduki. Ia bermaksud istirahat sebentar.

"Ya udah, kita juga pulang saja Putri," kata Teguh yang masih duduk diatas sepeda motornya.

"Apa boleh buat, tapi duduklah sebentar Teguh, aku haus nih," kata Putri sambil membuka tas kecil yang dibawanya, lalu meneguk air mineral dalam botol yang dibawanya.

"Kamu mau?" 

"Kamu bawa berapa?"

"Cuma satu, nggak mau? Aku nggak punya penyakit menular lho," seloroh Putri sambil menyodorkan botol minuman kearah Teguh. Sementara itu keempat teman nya sudah pergi meninggalkan pendapa tempat latihan itu.

Teguh menerima botol itu, dan meneguk airnya sampai habis.

"Hm.. enak, segar.." katanya sambil tersenyum, kemudian duduk disamping Putri dibangku itu.

"Enak donk, kan diberikannya dengan kasih sayang," canda Putri.

"Bukan, karena bekas bibirmu," lalu keduanya tertawa lirih. Ada getar2 merayapi hati mereka yang dimabuk cinta.

"Putri, sesungguhnya aku takut," tiba2 kata Teguh.

"Takut apa ?"

"Aku mencintai gadis yang salah," gumamnya sambil mempermainkan pasir yang terserak dibawah dengan sepatunya.

"Apa maksudmu?"

"Kamu kan sudah tau bahwa ayahmu tidak menyukai aku. Mana mungkin aku bisa memilikimu?" kata Teguh, dengan nada perih.

"Jangan begitu, nanti aku akan meluluhkan hati bapak," kata Putri sok yakin.

"Aku kan harus tau diri, aku bukan siapa2, aku tak punya apa2,kecuali cinta."

"Itu sudah cukup Teguh, aku juga mencintai kamu, dan aku tak ingin berpisah darimu," kata Putri sambil menyandarkan kepalanya pada bahu Teguh yang bidang.

Teguh menghela nafas, ia tak yakin bisa menggapai bintang gemerlap yang menggantung dilangit sana.

Angin bertiup perlahan, menerbangkan bunga2 tanjung yang kemudian tersebar disekeliling pohon itu, lalu menebarkan wangi yang memikat. Pelataran yang berpasir itu seakan tertutup oleh bunga putih kecil2 yang berhamburan semakin banyak karena angin semakin kencang. Putri sedikit menggigil. Ia lupa membawa jacket walau tau hujan kelihatan mengancam sejak keberangkatannya dari rumah.

Tiba2 terdengar gelegar petir yang keras. Putri terkejut dan merangkul Teguh erat2.

"Ayo kita pulang saja, sebelum hujan benar2 turun," kata Teguh sambil mengendapkan debar jantungnya karena pelukan perempuan cantik disampingnya bisa saja membuatnya terlena. Dia sangat mencintai Putri, dan dia ingin menjaga cinta itu seputih bunga tanjung yang tersebar dipelataran itu.

Putri pun bangkit. Teguh menstarter sepeda motor tuanya, lalu mempersilahkan kekasihnya duduk di boncengan.

Deru motor tua itupun kemudian membelah sore yang dinaungi mendung, kemudian menerabas jalanan yang penuh lalu lalang kendaraan, yang semuanya tergesa gesa karena berpacu dengan datangnya hujan. Keadaan itu membuat jalanan macet. Teguh masuk ke jalan kecil untuk menghindari kemacetan agar bisa cepat sampai dirumah sebelum hujan benar2 turun.

Tiba2 sekali lagi terdengar guntur menggelegar, dibarengi gerimis yang semakin deras. Hujanpun bagai dicurahkan dari langit. Teguh menepikan kendaraan disebuah gubug, tampaknya kalau siang dipergunakan untuk berjualan, entah makanan atau apa.

Putri turun lalu berlari kedalam gubug. Bajunya terlanjur basah. Teguh menyusul setelah menyandandarkan sepeda motornya didepan gubug itu. Hari semakin gelap, dan hujan belum hendak berhenti. Langit hitam kelam, dan itu pertanda bahwa hujan akan lama. Putri menggigil kedinginan. 

***

"Bu, Sarno sudah berangkat menyusul Putri?" tanya pak Broto.

"Sudah pak, tapi kok lama ya," jawab bu Broto sambil melongok kearah depan. Belum ada tanda2 mobil yang dibawa Sarno memasuki halaman.

"Masa bawa mobil ikutan berteduh juga," omel pak Broto tak sabar. Diluar hujan masih deras.

"Coba ibu telephone dia."

Bu Broto memutar nomor telepehone Sarno dengan telephone rumahnya. Terdengar suara kemerosak ketika Sarno mengangkat telephone, pertanda hujan disanapun belum juga berhenti.

"Hallo..." jawab Sarno dari seberang.

"Sarno, kamu dimana? Sudah bersama Putri?"

"Belum bu, saya belum ketemu jeng Putri, tempat latihan itu sudah kosong bu."

"Berarti Putri sudah pulang, coba kamu telusuri sepanjang jalan menuju rumah, barangkali dia berteduh disuatu tempat."

"Saya sudah menelusuri bu, bahkan sudah hampir sampai rumah ini, tapi nggak melihat jeng Putri berteduh dimanapun. Bahkan warung atau rumah makan juga sudah saya lihat bu, barangkali berteduh sambil makan2 bersama teman2nya."

"Lha kemana anak itu? Coba kamu telusuri sekali lagi No, lebih cermat, jangan tergesa gesa."

"Baik bu/"

Bu Broto menutup telephonnya. Wajahnya tampak cemas.

"Sarno belum ketemu Putri. Tempat latihan sudah kosong."

"Keras kepala anak itu. Suruh Sarno mencari dan jangan boleh pulang sebelum ketemu!!"

***

Hujan masih deras, dan hari semakin gelap. Sepi dijalan kampung itu, tak seorangpun lewat karena pasti semuanya lebih suka meringkuk dirumah diudara yang dingin dan hujan lebat seperti ini.

Putri menggigil. Teguh yang merasa kasihan kemudian memeluknya erat. Keduanya basah kuyup. Ia juga tidak membawa jacket. Barangkali dengan berpelukan gigil itu akan mereda. Putri lebih merasa tenang. Ia merangkul Teguh erat2. Tapi gigil yang lain kemudian datang. Gigil itu bukan lagi gigil kedinginan, tapi gigil karena darah yang menggelegak oleh nafsu yang tak tertahankan. Teguh yang santun dan baik hati tak bisa mengalahkan setan yang bertepuk tangan menyulut gelora agar api  semakin berkobar. Dan api pun memang sedang berkobar. Biarkan hujan berderai. Biarkan guruh menggelegar karena ada gemuruh yang luruh dalam kelamnya malam, tanpa bintang, apalagi rembulan.

***

maukah dilanjutkan?

 


Tuesday, July 16, 2019

SA'AT HATI BICARA 53

SA'AT HATI BICARA  53

(Tien Kumalasari)

T A M A T

Laras masih terdiam, matanya memandangi Agus yang juga menatapnya tajam, seakan mengatakan bahwa ia serius dengan kata2nya. Laras tertunduk, terkulai dalam risau yang tak terbendung, tapi ia bingung akan mengatakan apa.

"Laras, apa kamu marah saya mengatakan itu? Tapi aku serius."

Laras tersenyum tipis, tapi memandang kearah lain.

"Baiklah, aku mohon ma'af kalau kamu tidak berkenan, aku harus tau diri donk, aku seorang duda dengan satu anak, pasti berat menerimanya bukan?"

"Bukaaan.. bukan.. bukan itu.. ," Laras memotongnya segera, karena memang bukan status duda itu yang membuatnya resah. Sungguh ia mencintai laki2 ganteng dihadapannya itu, tapi kalau anaknya tidak bisa menerima dia, bagaimana ia bisa menjalaninya? Itu bukan so'al mudah, apalagi Sasa masih kecil. Jangan sampai dia kecewa dengan pilihan ayahnya.

"Lalu apa?"

"Mas mencintai aku karena apa?"

"Karena kamu cantik, karena kamu baik, dan kamu bisa berteman dengan Sasa. Aku ingin kamu menjadi isteriku Laras, menjadi ibunya Sasa."

"Mas salah."

"Apa maksudmu ?"

"Mas tanyakan dulu pada Sasa, apa dia mau menerima aku."

"Sasa suka sama kamu, kamu berteman dengan baik."

"Baiklah, itu kan pendapat mas, sekarang begini saja, aku bersedia menerima mas, apabila Sasa yang melamarku."

"Laras ?"

"Itu permintanku mas."

"Apa kamu tidak mencintai aku?"

"Bukan itu ukurannya mas, aku cinta, mas cinta, bagaimana kalau Sasa tidak bisa menerima? Kasihan dia mas. Biarlah dia menentukan apakah aku pantas jadi ibunya atau tidak."

"Baiklah, nanti aku akan ajak Sasa kemari. Oh ya, besok Sasa boleh pulang, kamu mau ikut menjemputnya kan?"

"Tapi..."

"Laras, mengapa kamu ini, Sasa akan mengundang kamu dan Maruti, besok kerumah, untuk merayakan kepulangan Sasa."

Maruti.. disebutnya nama itu tiba2 menggoreskan lagi sedikit luka dihatinya. Maruti memang baik, dia sahabat Laras, seperti saudara, bahkan lebih karena mereka selalu dekat, tapi bersaing merebut hati Sasa? Alangkah menyedihkan. Laras sudah tau kalau Sasa akan memilih Maruti. Memang sih, Maruti itu kan cintanya sama Panji, tapi kenyataan bahwa dia lebih dipilih Sasa, sungguh melukai batinnya.

*** 

Sore itu Panji menjemput Maruti dikantornya. Setelah Maruti tidak lagi menolaknya, Panji seakan tak mau lama2 berjauhan dari Maruti. Pagi menjemputnya kerumah, sore menjemputnya ke kantor, alangkah indah hidup ini.

"Ruti, besok Agus mengundang kita," kata Panji begitu duduk didepan Maruti sambil menunggu Maruti berkemas.

"Iya, pak Agus sudah mengatakannya tadi."

"Besok siang Sasa boleh pulang, kamu mau ikut menjemputnya?"

"Nggak ah mas, kan sudah ada Laras.. nanti aku kebanyakan meninggalkan kantor, jadi nggak enak."

"Tapi sorenya kita kesana kan?"

"Ya, nggak apa2.. kan sudah selesai jam kantor. Kita jemput Laras juga ya."

"Pasti Agus sudah menjemputnya."

"Iya ya, tapi ada baiknya kita tanyakan dulu sama pak Agus, apa dia akan menjemput atau tidak. Kalau tidak kita bisa menjemputnya. Nanti mas aja yang menanyakannya. Dia sudah pulang sejak siang tadi."

"Iya, itu masalah gampang, sekarang kita pulang dan temani aku makan."

"Huh, kebiaaan deh, sudah sore begini belum makan juga, tapi itu alasan kan? Supaya bisa ngajakin aku?"

"Tuh sudah tau..." 

Dan senyum2 bahagia itu merekah, menyejukkan udara menjelang sore yang sedang panas2nya.

***

Sasa sangat gembira pulang kerumah. Laras tidak ikut menjemputnya dengan berjuta alasan. Oke lah, Tapi Agus berjanji akan menjemputnya sore nanti.

"Mengapa tante Laras nggak ikut menjemput Sasa pa?"

"Tante Laras kan kemarin bilang sakit, jadi dia nggak bisa menjemput Sasa. Tapi nanti malam pasti tante Laras kesini. Sasa suka nggak sama tante Laras?"pancing ayahnya.

"Suka, kan dia suka beliin es krim buat Sasa, dan dia juga berikan boneka Hallo Kitty buat Sasa."

Panji tertawa. Ia berharap Sasa bisa meluluhkan hati Laras.

"Apa tante Maruti akan datang juga nanti?"

"Iya lah, pasti datang, kan papa sudah mengundangnya."

"Papa, Sasa mau mama yang baik, Sasa nggak suka sama mama yang kemarin," tiba2 Sasa menggelendot dipangkuan ayahnya dan berkata manja.

"Oh ya, Sasa mau mama yang seperti apa?"

"Yang seperti tante Maruti. Sasa mau tante Maruti jadi mamanya Sasa."

Dan Agus terpana. Mengapa tiba2 Sasa ingin Maruti menjadi mamanya?

"Mengapa tante Maruti?"

"Tante Maruti itu kan cantik.. baik.. Sasa suka deh."

"Kalau... tante Laras ?" tanya Agus hati2.

Tapi Sasa menggeleng gelengkan kepalanya.

"Mengapa?"

"Sasa pokoknya mau tante Maruti," rengeknya.

Agus terkejut, jangan2 Laras bersikap seperti kemarin karena Sasa mengatakan ini. Agus kebingungan. Ia harus menjawab apa.

"Sasa, tante Laras itu juga baik. Kamu tau, lengan sebelah kanan tante Laras itu terluka, kenapa?Karena dia menyelamatkan Sasa dari maut."

"Maut itu apa?"

"Maut itu adalah... mm.. kematian.. Sasa kan hampir tertabrak mobil, nah orang kalau ditabrak mobil pasti mati. Tapi tante Laras menyelamatkan Sasa sehingga Sasa selamat, sedangkan tante Laras sendiri jadi terluka, dan harus dirawat dirumah sakit. Kasihan kan? Kalau tidak ada tante Laras, papa tidak bisa menimang Sasa seperti ini," kata Agus sambil mengangkat Sasa dan didudukkannya dipangkuannya. Sasa terdiam, dia tampak memikirkan kata2 ayahnya.

"Kalau tidak ada tante Laras, Sasa mati ya pa? Apa mati itu sakit?"

ergidik bulu kudu Agus mendengar kata2 Sasa. Sasa mati? Ya Tuhan, Agus tak kuasa membayangkannya.

"Sudahlah Sasa, jangan ngomongin itu lagi, sekarang kita bersiap siap untuk pesta nanti malam yuk."

Sasa merosot turun dari pangkuan ayahnya, berlari kebelakang dan ikut memilih milih balon yang ditata asri diruangan depan.

***

Malam itu Laras datang karena Panji dan Maruti menjemputnya. Agus urung melakukannya karena Maruti akhirnya meminta untuk menjemputnya. Takut Agus kerepotan karena pasti sibuk menyiapkan acara malam harinya.

Kedatangan mereka disambut Sasa yang lebih dulu memeluk Maruti. Maruti menciuminya dengan gemas.

"Sasa, tante senang kamu sudah sembuh, jangan sakit lagi ya?"

Sasa mengangguk angguk.

Laras memalingkan mukanya. Tapi ia terkejut ketika tiba2 Laras merangkulnya.

"Tante Laras," teriaknya riang.

"Sasa..." hanya itu yang diucapkan Laras, kemudian dia mengangkat Laras dan digendongnya. Ia tak tau bagaimana Agus menatap adegan itu dengan penuh harap.

"Mengapa tante nggak mau jemput Sasa tadi, kan tante sudah janji."

"Oh..eh.. itu... mm.. kemarin kepala tante pusing, jadi...nggak bisa jemput tadi."

"Sekarang sudah sembuh?"

"Sudah sayang..," jawab Laras senang karena ternyata Sasa mengharapkannya datangi.

"Luka dilengan tante belum sembuh kan?" Sasa memegangi lengan Laras, dan Laras meringis menahan sakit.

"Auuw.."

"Sakit ya?"

Laras mengangguk.

"Sedikit.."

"Tante, maukah tante jadi mamanya Sasa?" teriakan Sasa ini didengar semua orang, yang kemudian disambut tepuk tangan oleh Agus, Panji dan Maruti.

"Jawab Laras.. jawab," teriak Panji...

Laras terharu, diciumnya Sasa dengan linangan air mata. Agus mendekat dan merangkul mereka berdua, dalam satu pelukan.

***

Sebulan setelahnya persidangan Santi berlangsung. Bu Tarjo yang sudah tau semuanya berkeras ikut menghadiri setiap persidangan.

Santi bersikeras bahwa Dita lah penyebabnya. Tapi Dita juga berkeras bahwa Santi membujuknya.

Sangat terkuras emosi Dita. Apapun yang diketahuinya telah dikatankannya. Panji pun maju menjadi saksi. Bahwa Santi mengejar kejarnya, lalu ingin memisahkannya dari Maruti..

"Dita itu korban, dia dijadikan alat oleh terdakwa untuk memisahkan saudara Panji dan saudari Maruti dengan akal2an melalui kepintarannya sebagai dokter."kata pengacara Dita.

 Santi tak berkutik. Ia duduk tegak dikursi terdakwa, 

Dan dihari dijatuhkannya vonis itu, Santi terkulai dikursi terdakwa. Matanya menatap kosong, dan seperti tak mendengar vonis hakim. Ketika palu diketukkan tiga kali, Santi tersungkur, pingsan dikursinya.

Ada derai tangis karena duka, atas buah dari pohon yang ditanamnya.  Ada bahagia oleh suara2 hati yang bersih dari noda. Saling berbicara dalam lisan penuh suka cita.

Namun ada suara lirih terucap dari bibir Dita : "Kasihan dokter Santi"

UNTUK APAKAH MEMPEREBUTKAN CINTA KALAU HATI TAK SALING MEMILIKI?

 T A M A T

___________________________________________________________________________________

 

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...