Thursday, August 31, 2023

BUNGA TAMAN HATIKU 21

 BUNGA TAMAN HATIKU  21

(Tien Kumalasari)

 

Keluarga Sardono sudah menghentikan acara makan mereka, karena memang sudah menyelesaikannya. Supri tampak menunduk, menunggu reaksi sang majikan setelah mendapatkan laporan darinya.

“Apa yang dilakukan polisi itu saat menemui kamu?” tanya pak Sardono.

“Hanya bertanya apakah benar Biran bekerja di sini, dan saya jawab bahwa sudah dua hari dia tidak masuk kerja.”

“Polisi tidak akan menemui aku kan?”

“Mereka bertanya tentang Tuan, tapi saya mengatakan bahwa Tuan bekerja, barangkali nanti atau besok mereka menemui Tuan untuk menanyakan beberapa hal.”

“Aku kan tidak tahu apa yang dia lakukan diluar sana.”

“Benar, Tuan. Tapi mungkin mereka akan bertanya tentang perilakunya. Tadi mereka juga bertanya banyak tentang rumah dan lain-lainnya, tapi kan Biran pernah bilang bahwa rumahnya sudah dijual untuk membayar hutang.”

“Apa polisi mengatakan mengapa Biran sampai membunuh orang?”

“Katanya orang itu menagih hutang  sama Biran, tapi Biran marah, lalu menghajarnya sampai tewas.”

Nijah terdiam. Sama sekali tak menyangka ayah tirinya akan berbuat sejauh itu.

“Ya sudah, kalau begitu kamu cari lagi orang lain untuk mengganti Biran, tapi jangan yang kelakuannya seperti Biran.”

“Baik, Tuan. Sekarang saya permisi.”

Pak Sardono mengangguk, dan Supri berlalu.

Bu Sardono segera memerintahkan bibik untuk memberi makan Supri, sementara Nijah menumpuk piring-piring kotor bekas makan mereka.

“Nijah, apa kamu sedih mendengarnya?” tanya Satria kepada Nijah.

“Entahlah, saya tidak tahu apa yang saya rasakan. Barangkali bukan sedih, tapi menyesali perbuatannya.”

“Dan barangkali juga kejadian ini bisa membuka mata hatinya untuk bertobat.”

“Aamiin, semoga begitu.”

“Apa kamu ingin menjenguknya di tahanan?” tanya pak Sardono.

“Saya kira tidak, Tuan. Saya tidak tahu apa yang akan saya katakan ketika bertemu nanti. Mungkin benar, apa yang menimpanya, semoga menjadi pelajaran dia untuk mengerti tentang kesalahan yang pernah diperbuatnya.”

“Baiklah, aku mengerti,” kata pak Sardono sambil berdiri.

Ristia membantu Nijah membersihkan meja makan, membuat Satria tersenyum senang, karena merasa bahwa Ristia telah benar-benar berubah.

Sementara Satria dan ayahnya kembali ke kantor, Nijah membantu bibik membersihkan dapur. Dia mencuci semua perabotan, karena Ristia akan mengajaknya pergi.

“Nijah, apakah kamu bersedih mendengar ayahmu ditahan polisi?”

“Entahlah Bik, sepertinya aku tidak bersedih. Sudah banyak kelakuan buruk yang dilakukannya. Semoga yang terjadi ini menjadi pelajaran bagi dia dan membuatnya bertobat.”

“Kamu benar. Dia sendiri yang membuat tak ada ikatan batin antara kamu dan dirinya, karena dia tidak bisa bersikap sebagai seorang ayah, dan justru menyiksa kamu sepanjang hari-harimu.”

“Benar, saya tetap merasa tak punya orang tua, karena dia tak bisa menggantikan kedudukan orang tua aku. Dia adalah orang lain yang secara kebetulan pernah hadir dalam hidup ibuku. Inilah yang membuat aku sedih Bik. Kalau ibu mengetahuinya, pasti dia akan bersedih juga.”

“Selalu mendoakan orang tua kamu ya Jah, agar mereka tenang di alamnya.”

“InshaaAllah, Bik.”

"Nijah, apa kamu sudah selesai?” tiba-tiba Ristia masuk ke dapur dengan dandanan yang apik, siap untuk pergi.

“Sebentar Non, saya selesaikan ini dulu.”

“Tinggalkan saja Jah, biar aku selesaikan nanti,” kata bibik sambil mendekati Nijah.

“Tidak Bik, ini kurang sedikit.”

“Ya sudah, selesaikan saja, aku menunggu di depan,” kata Ristia sambil berlalu.

Setelah selesai mencuci perabotan, Nijah membersihkan diri dan berganti pakaian bersih. Lalu dia berpamit kepada bu Sardono yang duduk di ruang tengah sendirian.

“Nyonya, saya minta ijin untuk keluar, Non Ristia mengajak saya.”

“Sebenarnya mau kemana dia, siang-siang begini,” kata bu Sardono.

“Katanya hanya jalan-jalan saja.”

“Baiklah, hati-hati, dan jangan kesorean pulangnya, nanti kamu capek.”

“Baik, Nyonya.”

Nijah menghampiri Ristia yang sudah menunggunya di depan, lalu segera berangkat pergi.

Berita tentang Biran yang ditangkap polisi tak begitu berpengaruh pada keluarga itu, karena mereka sudah kesal dengan kelakuan Biran yang tidak terpuji.

***

Ketika keluar dari halaman, tanpa sadar Nijah melihat ke arah samping, dan melihat Bowo duduk di atas sepeda motornya, di bawah sebuah pohon besar yang ada di pinggir jalan.

Nijah tahu Bowo juga sedang menatapnya. Ketika mau melewati tempat di mana Bowo berada, Nijah membuka kaca mobilnya, dan melambaikan tangan. Bowo membalas lambaian tangan Nijah. Entah mengapa, ada perasaan sedih ketika melihatnya. Barangkali Bowo merasa, bahwa Nijah sedang berusaha menjauhinya. Hal itu dirasakan ketika mereka sedang bertelpon. Tapi Bowo masih merasa lega, karena ketika Nijah mengatakan tak bisa menemuinya dengan alasan harus mengikuti non Ristia, ternyata benar adanya. Bowo masih bersabar menunggu esok hari. Dia harus bertemu Nijah dan meyakinkan hatinya bahwa Nijah baik-baik saja.

“Itu siapa? Kenapa kamu melambaikan tangan?” tanya Ristia yang belum pernah melihat Bowo.

“Itu Wibowo, teman sekolah saya.”

“Memangnya kamu pernah sekolah apa?”

“Waktu masih SD, Non.”

“Oh, teman waktu SD. Tapi dia ganteng lhoh. Jangan-jangan pacar kamu.”

“Bukan Non, hanya berteman baik. Kami bertemu setelah beberapa tahun berpisah, karena selepas SD dia lalu pindah ke Jakarta, mengikuti orang tuanya."

"Sekarang dia ada di sini?”

“Tidak. Hanya karena liburan, dia ke sini.”

“Hanya untuk menemui kamu?”

“Ada keluarganya di sini, yang menunggui rumahnya, ada juga neneknya.”

“Tampaknya dia suka sama kamu.”

“Tidak Non, sungguh kami hanya berteman.”

“Ya sudah. Kalau kamu ternyata sudah punya pacar, mas Satria tentu akan kecewa.”

Nijah berdebar. Hampir tak percaya bahwa sebentar lagi dia akan menjadi istri majikannya. Ada rasa senang, ada debar bahagia, tapi ada rasa takut, karena merasa tak sepadan dengan calon suaminya.

“Kami hanya berteman baik,” kata Nijah lirih.

Bowo memang baik. Sejak dirinya kedinginan di sebuah mini market, dia menyelimutinya dengan jacketnya, dia memesan kopi panas untuk menghangatkannya, dia juga mengajaknya jalan-jalan untuk melihat dunia luar yang belum pernah dijamahnya. Dia juga memberikan pakaian pantas yang selalu dikenakannya saat keluar rumah. Ada sedih mengiris ketika menyadari bahwa Bowo sangat berharap agar dia bisa mendampinginya, tapi ia tak berani menjalaninya. Hidupnya sudah cukup susah, jangan lagi teraniaya dengan kehidupan yang pasti akan susah dijalaninya karena perbedaan status yang mereka miliki. Berbeda dengan Satria, yang kedua orang tuanya sudah sangat setuju, bahkan istrinya bersikap sangat manis kepadanya. Barangkali Nijah bermimpi, bahwa hidupnya akan lebih tenang dengan keputusan yang sudah diambilnya.

“Hei, mengapa kamu melamun?”

Nijah terkejut, karena dia memang melamun. Lamunan ke arah mimpi-mimpi yang panjang, tentang kehidupan yang entah apa nanti yang terjadi.

“Ah, tidak melamun, Non.”

“Kamu diam saja, apakah kamu memikirkan Wibowo?”

“Apa? Tidak, Non.”

“Kamu ingkar, karena takut Satria mengetahuinya, kemudian membatalkan niatnya?”

“Tidak Non, mengapa Non mengira begitu? Hal yang sudah saya putuskan, tak akan membuat saya takut.”

“Bagus, aku suka bersahabat dengan seorang pemberani,” kata Ristia sambil tersenyum aneh. Tak seorangpun tahu, apa arti senyuman itu.

***

Ristia menghentikan mobilnya di sebuah cafe yang sepi pengunjung. Ia mengajak Nijah turun, lalu masuk ke dalamnya.

“Ini tempat apa?”

“Tempat minum-minum, makan-makan. Ayolah, ini punya teman aku, kita bisa berbincang akrab,” kata Ristia yang terus menarik lengan Nijah.

Ia mengajaknya duduk di sebuah pojok ruangan. Nijah mengamati sekeliling tempat itu yang memang tampak sepi.

Tiba-tiba seorang laki-laki tampan keluar dan langsung mendekati meja mereka.

“Ristia, kamu sama siapa?” tanya laki-laki yang adalah Andri.

“Andri, kenalkan, ini temanku, Nijah.”

Andri menatap Nijah. Tentu saja Andri sudah mendengar nama Nijah, bahkan pernah melihatnya saat Nijah makan bersama Satria.

“Aku sudah pernah melihatnya, tapi memang belum sempat berkenalan. Nijah, aku Andri, sahabat Ristia.”

Nijah menerima uluran tangan Andri. Dia tak begitu ingat laki-laki itu, karena saat Andri datang bersama Ristia waktu itu, Nijah lebih banyak menundukkan muka.

“Saya Nijah.”

Andri melepaskan tangan Nijah, lalu duduk di dekat Ristia.

“Kebetulan kamu datang. Ada perlu?”

“Hanya mampir, dan memperkenalkan Nijah, calon madu aku,” kata Ristia berterus terang, membuat wajah Nijah memerah. Tak mengira Ristia akan membuatnya malu.

“Oh, cantik ya, bagus sekali Ristia, kamu bisa menerima wanita lain sebagai madu. Kamu benar-benar baik,” kata Andri sambil mengedipkan sebelah matanya kapada Ristia. Ristia hanya tersenyum.

“Sebenarnya aku lagi sedih, nih,” kata Andri tiba-tiba.

“Kamu bisa sedih juga? Kenapa?”

“Ibuku memaksa aku menikah di pertengahan bulan ini.”

“Apa? Ahaaa, ini berita bagus, akhirnya kamu mau menikah?”

“Kenapa kamu tampak gembira, sementara aku sedih?”

“Mengapa sedih Ndri, menikah itu kan enak.”

“Kata siapa? Aku tidak bisa menerima wanita lain selain kamu Ristia.”

Nijah mengangkat wajahnya. Laki-laki ini begitu mencintai Ristia dan sedih ketika mau dinikahkan dengan wanita lain?

“Kamu harus menerimanya Andri, jangan sampai jadi perjaka tua.”

“Aku tidak bisa hidup bersama wanita lain, Ristia. Hanya kamu. Kalau aku dinikahkan sama kamu, baru aku mau.”

Ristia tertawa.

“Andri, kamu kan tahu aku sudah punya suami?”

“Tapi kamu perempuan bodoh!”

“Apa?”

“Karena kamu mau dimadu, maka aku sebut kamu perempuan bodoh.”

Wajah Andri muram, tapi Ristia kemudian memegang tangannya sambil tersenyum, menenangkan.

“Kamu tadi bilang bahwa aku baik karena mau dimadu, kok sekarang memaki aku bodoh?”

“Sesungguhnya itulah yang tepat untuk kamu. Harusnya kamu minta cerai, lalu menikah sama aku. Aku juga ganteng, harta aku banyak. Semua keinginan kamu pasti aku penuhi.”

“Jangan gila Andri, kenapa tiba-tiba kamu mengatakan itu? Bukankah kita punya rencana? Kamu tidak mau lagi membantu aku?”

Andri terdiam, menatap ke arah Nijah yang menundukkan wajahnya. Lalu menghela napas panjang.

“Baiklah, aku tak pernah mengingkari apa yang pernah aku katakan. Baiklah, tapi kamu tidak harus datang di pernikahan aku, aku tak akan berani bernapas kalau ada kamu.”

Ristia tertawa keras.

“Menikah itu enak. Tapi tolong beri kami minum, aku haus, setelah itu aku mau pulang.”

Andri bertepuk tangan, seorang pelayan datang, lalu dia memesan minum kesukaan Ristia. Es buah yang segar. Nijah ikut menikmatinya, tapi dia sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

***

Hari sudah sore ketika kemudian Ristia mengajak Nijah pulang. Nijah tak mengerti mengapa Ristia hanya mengajaknya berputar-putar, kemudian mampir minum dan berbicara dengan seseorang yang dengan wajah sedih mengeluh akan dinikahkan.

“Hari sudah sore, kita harus segera pulang, nanti kita dimarahi ibu,” kata Ristia.

“Saya heran sama teman Non tadi.”

“Kenapa?”

“Dia sangat mencintai Non, sehingga merasa sedih ketika harus menikah.”

“Dia cinta mati sama aku, tapi kami kemudian menjadi sahabat baik.”

“Harusnya Non menghindari ketemu dia.”

“Kenapa harus menghindar?”

“Bukankah pertemuan dengan dia akan membuat dia tersiksa? Dia hanya bisa memandang, tapi tak bisa memiliki. Berbeda kalau non Ristia tidak usah menemuinya, sehingga dia bisa melupakan Non.”

“Tapi dia senang kok bertemu aku. Tidak apa-apa, sedikit menyenangkan dia.”

Nijah memikirkan Bowo. Kalau dirinya tak bisa membalas cinta Bowo, maka yang terbaik adalah menghindarinya, agar Bowo bisa mengerti, lalu bisa melupakan dirinya.

“Apa yang kamu pikirkan?”

“Tidak ada.”

“Sebenarnya aku belum puas mengajak kamu jalan-jalan. Besok kita jalan-jalan lagi ya? Aku sebenarnya ingin memberikan hadiah untuk kamu. Tapi ini keburu sore. Bagaimana kalau besok berangkat agak pagi?”

“Bukankah kalau pagi saya harus membantu bibik?”

“Aku akan minta ijin pada ibu agar kita bisa pergi. Aku ingin beli sesuatu untuk kamu, tapi kamu harus memilihnya sendiri, sehingga cocok dengan selera kamu.”

“Tidak usah Non, saya tidak ingin mendapatkan hadiah itu.”

“Kamu tidak boleh menolaknya, Nijah, aku tak ingin disebut madu yang jahat. Aku harus menunjukkan kepada semua orang, bahwa aku bisa menerima kamu sebagai madu yang juga aku sayangi. Semua orang harus tahu bahwa kita saling menyayangi, bukan seperti madu pada umumnya, yang bermusuhan karena berebut kasih sayang suami.”

Nijah mengeluh dalam hati. Sebenarnya juga terasa berat menikah dan menjadi istri muda. Tapi ingatan akan kebaikan nyonya majikan, dan ingatan bahwa dia diharapkan bisa melahirkan anak-anak demi keturunan keluarga mereka, membuat dia memaksakan diri untuk menjalani. Ada sedikit rasa syukur karena Ristia bisa menerimanya dan bersikap sangat baik pada dirinya.

Ketika mereka memasuki halaman rumah, sepasang mata mengawasinya dari atas sepeda motor. Wajahnya muram.

“Hanya muter-muter, lalu minum di sebuah cafe, apa sih maksud mereka itu?” gumamnya perlahan. Rupanya dia mengikuti terus mobil Ristia, sampai mereka kembali pulang ke rumah.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, August 30, 2023

BUNGA TAMAN HATIKU 20

 BUNGA TAMAN HATIKU  20

(Tien Kumalasari)

 

 

Bibik tersenyum ramah, karena pernah mengenal Bowo yang baik hati, dan telah menolong Nijah saat mau diperas oleh ayah tirinya.

“Bibik mau ke mana, kok sendirian?” tanya Bowo, yang pastinya berharap, bibik keluar bersama Nijah.

“Bibik cuma mau ke pasar, ada kebutuhan dapur yang harus saya beli.”

“Mana Nijah?”

“Dia sedang memasak, bersama non Ristia.”

“Siapa non Ristia?”

“Istri tuan Satria, yang pastinya mas Bowo pernah melihatnya saat keluar dari bank, lalu tuan Satria kebetulan lewat, lalu mengajak kami pulang.”

“Oh, dia.”

Sebenarnya Bowo pernah mendengar tentang Ristia, yang Nijah dulu pernah mengatakan bahwa dia tidak ramah kepada Nijah.

“Mas, saya sedang mencari becak, supaya segera sampai ke pasar.”

“Bibik berani mbonceng sepeda motor?”

“Mbonceng di situ?” tanya bibik sambil menunjuk ke arah sepeda motor itu.

“Iya, kalau berani, saya bonceng sampai ke pasar.”

“Baiklah, saya mau Mas.”

Bibik segera naik ke boncengan, tapi dia memegang pinggang Bowo erat sekali. Ia belum pernah membonceng sepeda motor, tapi ia bersedia melakukannya karena terdesak oleh waktu. Bahan dapur yang akan dibeli sangat ditunggu.

“Pelan-pelan saja ya Mas.”

“Iya, tenang saja Bik, yang penting bibik pegangan dengan erat. Ya kan?”

Bowo menghidupkan mesin motornya, lalu menjalankannya pelan. Ia sangat berhati-hati dalam berkendara karena tahu bahwa sebenarnya bibik agak takut.

Sesampai di pasar, bibik turun, dan mengucapkan terima kasih. Tapi sebelum masuk ke dalam, Bowo menghentikannya.

“Bik, jam berapa biasanya Nijah beristirahat?”

“Biasanya setelah para majikan selesai makan siang. Itu saatnya kami beristirahat.”

“Bisakah nanti saya menemuinya?”

“Baiklah, nanti akan saya sampaikan. Setelah istirahat biar Nijah keluar sebentar.”

“Baiklah Bik, terima kasih.”

Bibik masuk ke dalam pasar, tapi Bowo masih menungguinya di luar. Bibik terkejut ketika Bowo masih menunggu, bahkan mengantarkannya sampai ke rumah.

Karena tergesa-gesa, bibik hanya sempat mengucapkan terima kasih dan tidak sempat berbasa basi, langsung bergegas masuk ke halaman dan menghilang di dalam sana. Bowo terpaksa pergi, tapi dia berharap bisa bertemu Nijah seperti bibik menjanjikannya.

***

Nijah dan Ristia sedang ada di dapur. Ristia tampak memetik sayuran yang akan direbusnya nanti, seperti bayam, dan kacang panjang yang kemudian diletakkannya di sebuah wadah.

“Sudah ini Jah, cukup begini saja?”

“Iya Non, biar saya cuci dahulu sebelum direbus,” kata Nijah sambil meraih sayuran tersebut, untuk dicucinya.

Kemudian dia mengambil panci yang sudah diisi air, diletakkannya di atas kompor.

“Itu untuk apa?”

“Untuk merebus sayur.”

“Kenapa tidak dimasukkan saja sekalian?” tanya Ristia yang tetap saja duduk di kursi dapur sambil bertanya-tanya.

“Airnya harus mendidih dulu, Non, baru sayurnya dimasukkan.”

“O, begitu, sebenarnya kita akan masak apa?”

“Nyonya ingin masak tumpang.”

“Apa itu, tumpang?”

“Seperti pecel, tapi sambalnya beda. Ini bibik sedang membeli bahan-bahan untuk membuat sambalnya.”

“Kacang tanah? Bukankah sudah ada yang jual sambal kacang yang sudah jadi?”

“Bukan Non, sambalnya dari tempe yang sudah setengah busuk.”

“Apa? Tempe setengah busuk, kenapa dimasak? Menjijikkan,” kata Ristia sambil mengernyitkan hidungnya.

Nijah tertawa sambil menyiapkan bumbu yang sudah tersedia.

“Memang iya. Tapi nanti kalau sudah jadi, Non pasti ketagihan.”

“Iih amit-amit deh, aku nggak mau makan sambal tempe busuk.”

“Nanti Non boleh merasakan kalau sudah matang. Sambal tumpang itu bukan hanya dibuat dari tempe busuk. Bumbunya macam-macam. Ada kencur, daun jeruk, bawang putih bawang merah pastinya, daun salam dan lengkuas. Lihat, sudah saya siapkan semuanya, nanti direbus dulu bersama tempenya. Sekarang menunggu bibik yang sedang belanja.”

Nijah memasukkan potongan kacang panjang yang sudah dicuci, kedalam air yang sudah mendidih.

“Jah, nanti setelah makan, jalan-jalan sama aku ya.”

“Siang-siang mau jalan-jalan ke mana Non? Panasnya bukan main.”

“Kan naik mobil?”

“Memangnya Non mau ke mana?”

“Pokoknya jalan-jalan. Beli makanan yang seger-seger. Rujak, es buah.”

“Kita kan bisa buat sendiri, Non.”

“Beda dong, buat sendiri sama beli di jalanan. Dulu setiap hari aku keluar rumah, sekarang kan jarang, jadi pengin keluar deh, tapi penginnya ngajak kamu.”

“Terserah Non saja, kalau begitu. Tapi kalau pekerjaan dapur sudah selesai ya. Kasihan bibik kalau kita pergi, sementara dapurnya masih berantakan.”

“Iya. Nggak apa-apa.

“Aduh, apa aku kelamaan? Cuma cari tempe busuk saja harus lari-lari ke pasar. Nyonya mendadak sih nyuruhnya, kalau nggak bisa bikin sendiri tempe busuknya,” kata bibik yang tiba-tiba saja sudah muncul diantara mereka.

Bibik segera meletakkan bahan masakan yang tadi dibelinya, begitu dia masuk ke dapur kembali.

“Bibik, kok cepat sekali kembalinya? Tadi naik apa?” tanya Nijah yang segera mengerjakan apa yang harus dimasaknya siang itu.

“Cepat ya? Kirain kelamaan.”

“Cepat dong Bik, kan belum ada satu jam Bibik perginya,” sambung Ristia.

“Iya benar, Bik. Belum satu jam.”

“Iya Jah, tadi aku ketemu mas Bowo, jadi aku diboncengin ke pasar, lalu menunggu sampai selesai, terus mengantarkan pulang.”

Nijah melongo mendengar cerita bibik.

“Siapa mas Bowo?” tanya Ristia.

“Itu, teman Nijah.”

“Kok Bibik bisa kenal sama teman Nijah?”

“Ketemu waktu kami pergi ke bank, Non,” kata bibik sambil berjalan ke arah kamar mandi untuk mencuci kaki tangannya.

“Ini tempe busuknya? Aku nggak mau ngupas ah, nanti tanganku bau,” kata Ristia.

“Ya sudah, biar saya saja Non, saya mengentas kacang panjangnya dulu, nanti kalau terlalu empuk juga nggak enak,” kata Nijah sambil mendekati kompor dan mengentas sayurnya.

“Aku ke kamar dulu ya, tolong aku nanti digorengin ayam saja, nggak mau sayur tumpangnya,” kata Ristia sambil menjauh.

“Ya, nanti Nijah gorengin,” kata Nijah.

“Jah, mas Bowo kepengin ketemu kamu,” bisik bibik setelah Ristia pergi.

“Apa? Kenapa mas Bowo ada di sini?”

“Aku juga nggak bicara banyak, soalnya kan aku beli tempenya sama bumbu lain, harus buru-buru. Mungkin dia sedang libur.”

“Jadi nggak ngomong apa-apa?”

“Cuma bilang kalau kepengin ketemu kamu siang nanti, setelah selesai makan siang.”

“Tapi pekerjaan kan masih banyak, nggak mungkin saya pergi menemui dia.”

“Nanti setelah majikan makan, biar aku yang membereskan dapur, kamu temui dia dulu, siapa tahu ada yang penting.”

“Apa bibik cerita tentang … aku … dan … tuan muda?”

“Tidak, mana sempat cerita, kan aku sedang terburu-buru.”

Nijah diam. Tangannya sibuk mengupas tempe, yang setelah dipotong-potong dimasukkannya ke dalam panci.

“Tapi rasanya aku tidak bisa menemuinya Bik, lupa bilang. Non Ristia mengajak aku pergi setelah makan.”

“Pergi ke mana?”

“Nggak tahu aku Bik, katanya pengin ngajak aku jalan-jalan.”

“Siang-siang, mau jalan-jalan ke mana?”

“Nggak tahu. Mana berani aku membantah Bik.”

“Waduh, kasihan sekali mas Bowo, pasti dia nanti menunggu kamu.”

“Setelah memasak aku akan mengabari dia, bahwa aku tidak bisa keluar siang ini.”

“Iya, terserah kamu saja, kalau bisa ya besok atau bagaimana, kasihan dia.”

Nijah berdebar. Seminggu lagi dia akan menikah dengan tuan muda, apa yang harus dikatakannya pada Bowo? Berterus terang? Atau merahasiakannya?

“Hei, jangan melamun, itu air di panci untuk apa?”

“Oh iya, untuk merebus bayamnya Bik,” kata Nijah terkejut. Pikirannya sedang galau memikirkan Bowo. Karena itu ia membiarkan bibik melanjutkan membumbui sambal tumpangnya.

***

 Bowo belum pulang ke rumahnya. Ia menunggu siang untuk bertemu dengan Nijah. Ia masuk ke sebuah warung makan, karena haus dan sedikit lapar.

Akhir-akhir ini Bowo merasa bahwa sikap Nijah agak aneh. Ia selalu ingin buru-buru menutup pembicaraan saat dia menelpon, dengan berbagai alasan. Entah kenapa, Bowo merasa ada sesuatu yang terjadi pada Nijah. Ia mengkhawatirkannya. Ia sudah ngebut untuk segera bisa menyelesaikan kuliahnya. Soal pekerjaan itu gampang, karena ayahnya memiliki saham yang lumayan di sebuah perusahaan besar. Setelah itu ia akan menjemput Nijah dan menikahinya.

Semoga orang tuanya tidak akan menentangnya, walaupun Nijah gadis sederhana yang tak punya pendidikan tinggi. Bowo yakin, sebagai istri, Nijah tidak mengecewakan. Ia akan bicara baik-baik kepada mereka, nanti pada saatnya.

Bowo sedang menghirup segelas es jeruk yang dipesannya, ketika ponselnya berdering. Bowo berdebar, dari Nijah.

“Ya Jah? Kamu sudah selesai?”

“Belum Bowo, baru selesai masak.”

“Bukankah nanti kita bisa bertemu?”

“Bowo, aku minta maaf, siang ini non Ristia mengajak aku keluar, jadi tidak bisa menemui kamu. Kok kamu ada di sini?”

“Aku libur dua hari, memerlukan pulang karena ingin bertemu kamu.”

“Bowo, aku kan bekerja, dan pekerjaan pembantu itu tidak ada jam kerjanya seperti kalau bekerja kantoran.”

“Iya, aku tahu. Tapi tadi bibik menjanjikan akan meminta kamu keluar setelah pekerjaan kamu selesai.”

“Bibik juga berkata begitu, tapi sayangnya non Ristia sudah terlanjur mengajak aku terlebih dulu, aku mana berani menolaknya?”

“Kalau malam?”

"Kalau malam, tidak enak dong Bowo, ini bukan rumah aku.”

“Oh ya, aku tadi lewat rumah kamu, tapi rumah itu sedang direnovasi. Kata tetangga di situ, ayahmu telah menjualnya.”

“Apa?”

“Iya, itu benar. Sudah beberapa bulan yang lalu dijualnya.”

“Ya Tuhan, kebangetan dia itu.”

“Apa kamu ingin mengusutnya? Bukankah itu rumah almarhumah ibu kamu?”

“Benar, tapi biarkan saja. Aku lelah berurusan sama dia. Biar saja dia mengambilnya dan menghabiskan uangnya. Aku ikhlas,” kata Nijah sendu. Sedih karena tak bisa mempertahankan rumah peninggalan ibunya.

“Jadi kapan kita bisa bertemu?”

“Besok siang saja, nanti aku kabari, ini aku harus menata meja untuk makan siang.”

“Baiklah, soalnya besok sore aku sudah kembali.”
Nijah menutup ponselnya dengan sedih. Bukan hanya sedih karena rumah ibunya sudah menjadi milik orang lain, entah bagaimana cara ayahnya melakukannya, tapi juga sedih karena harus berterus terang kepada Bowo tentang dirinya yang hampir menikah dengan tuan mudanya.

***

Di ruang makan siang hari itu, Ristia heran melihat ayah, ibu mertua dan suaminya menikmati sayur tumpang yang dimasak bibik, dengan sangat lahap. Karena penasaran, Ristia menyendoknya sedikit dan mencicipinya.

“Kenapa kamu itu? Belum pernah makan nasi tumpang?” tanya bu Sardono.

Ristia menggeleng, sambil mengecap sesendok sambal tumpang yang diambilnya.

“Hm, kok enak. Rasanya unik, tapi enak.”

“Tuh kan, aku bilang apa? Tapi enaknya, kalau makan harus pakai sayurnya ini. Baru diatasnya di siram sambalnya.”

Ristia menuruti saran ibu mertuanya, dan harus mengakui bahwa makan di siang hari itu terasa nikmat. Sayur tumpang, dia mengingat-ingat, dan akan membeli di luaran nanti pada saatnya. Sedikitpun ia tak ingin memasaknya sendiri. Di dapur, yang katanya dia belajar memasak, hanya mau memetik sayur sambil duduk, dan bertanya ini itu tanpa mengerjakannya. Itu bukan keinginannya. Walau begitu dia berusaha terus bersikap manis pada Nijah.

“Oh ya, Mas, setelah makan aku mau mengajak Nijah jalan-jalan,” kata Ristia kepada suaminya.

“Ke mana?”

“Jalan-jalan saja. Aku yakin Nijah akan senang kalau aku mengajaknya keliling kota. Ya kan Jah?” katanya kemudian kepada Nijah yang duduk di sebelah kiri suaminya.

“Iya.”

“Mengapa wajahmu murung Jah? Kamu tidak lagi sakit kan?” tanya Satria tiba-tiba.

Nijah menoleh ke arah Satria, dan menggeleng pelan.

“Kamu capek, barangkali? Kalau capek ya istirahat saja, tidak usah pergi ke mana-mana,” sambung bu Sardono.

“Tidak apa-apa Nyonya, saya baik-baik saja.”

“Bertemu bapak tirinya, barangkali, lalu dia minta uang?” tanya pak Sardono.

“Tidak, Tuan.”

“Tadi Supri bilang bahwa sudah dua hari Biran tidak masuk kerja,” kata bu Sardono.

“Oh ya?”

“Supri menggantikannya, jadi dua hari dia tidak pulang.”

“Nanti aku suruh sopir ke rumahnya. Barangkali dia sakit.”

“Rumahnya sudah dijual Tuan,” kata Nijah tiba-tiba.

“Apa? Rumah sudah dijual?”

“Ada yang bilang, rumah itu sudah dibangun, dan sudah menjadi milik orang.”

“Berarti dia tidak masuk kerja karena menghabiskan uang penjualan rumah itu.”

“Sepertinya sudah lama dijualnya, barangkali juga uangnya sudah habis.”

“Itu rumah ayahmu?”

“Sebenarnya itu rumah peninggalan ibu saya.”

“Kalau begitu urus dong, kamu berhak atas rumah itu.”

“Biarkan saja Tuan, saya sudah lelah memikirkan bapak.”

Tiba-tiba bibik bilang, ada Supri ingin menghadap.

“Suruh dia ke sini saja. Tawari dia makan, nanti."

Supri sang penjaga datang, lalu duduk di kursi yang biasanya diduduki Nijah.

“Ada apa Pri?”

“Mohon maaf Tuan, tadi ada polisi menemui saya, mengatakan bahwa Biran ditangkap polisi karena membunuh orang.”

Nijah terkejut, semuanya juga terkejut.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Tuesday, August 29, 2023

BUNGA TAMAN HATIKU 19

 BUNGA TAMAN HATIKU  19

(Tien Kumalasari)

 

Ketika Ristia mau pergi menemui Nijah, dilihatnya bibik keluar dari kamar itu. Wajahnya tampak lebih tenang, karena Nijah sudah tidak segelisah semula.

“Bik, Nijah ada di dalam?”

"Non Ristia mau ngapain? Saya mohon jangan mengganggunya ya Non,” pinta bibik yang khawatir Ristia akan menyakitinya.

“Bibik itu ngomong apa sih? Aku ingin menghibur Nijah, barangkali dia takut sama aku, padahal aku nggak ngapa-ngapain. Aku akan menganggap Nijah adalah saudara aku.”

Bibik menatap tak percaya, tapi ia melihat senyum Ristia seperti orang yang tulus mengatakannya. Ia menyingkir dari tengah pintu, ketika Ristia mendorongnya pelan. Ketika Ristia masuk ke dalam kamar Nijah, bibik tak beranjak dari depan pintu. Kupingnya harus mendengar, Ristia mengatakan apa. Kalau Nijah disakiti, bibik tak akan segan membelanya. Tapi yang terdengar adalah sapa Ristia yang sangat ramah.

“Nijah, kamu kenapa?”

Suara itu begitu manis, lalu bibik meninggalkannya, melanjutkan pekerjaannya di dapur.

Nijah yang semula terkejut melihat kedatangan Ristia, kemudian merasa lega mendengar suara merdu dan ramah yang menyapanya. Ia mengangkat wajahnya, lalu mengusap sisa air matanya.

“Kamu menangis? Kenapa? Apa kamu merasa tersakiti ketika bertemu aku di rumah makan itu? Ya ampun Jah, aku minta maaf. Saat itu aku hanya terkejut, tapi aku bisa menerima semuanya kok.”

Nijah menatap tajam Ristia, seakan tak percaya apa yang diucapkannya.

“Kamu tidak percaya? Aku sudah mengatakan pada mas Satria bahwa aku bersedia menerima kamu sebagai maduku.”

Nijah tercengang dan lebih tercengang lagi ketika Ristia tiba-tiba memeluknya.

“Nijah, kamu gadis yang baik, mas Satria sangat mencintai kamu. Aku bahagia, melihat dia juga bahagia. Kita akan hidup berdampingan bersama. Aku akan banyak belajar dari kamu karena mas Satria selalu memuji-muji kamu.”

“Non … “

“Katakan sesuatu, dan semua perasaan kamu, kita akan bersahabat sejak detik ini.”

“Saya belum berani menerimanya. Saya hanya orang kampung yang bodoh. Tidak sepadan dengan keluarga ini,” katanya lirih.

“Nijah, mas Satria bukan orang sembarangan. Dia tak akan memilih kalau memang kamu bukan orang yang pantas dipilih. Ayolah Jah, jangan meragukan apapun. Biarkan mas Satria menikahi kamu.”

“Non … apakah tidak sakit … mendapatkan seorang madu? Dan madu itu adalah orang kampung miskin yang tidak berpendidikan.”

“Sakit? Tidak Nijah, aku tidak merasa sakit. Aku mengerti kekuranganku, dan aku yakin, kalau kelak kamu melahirkan anak-anak yang lucu, mereka juga akan menjadi anak-anakku.”

Nijah menitikkan lagi air matanya. Ada haru yang menyesak dadanya. Siapa sih yang tidak mau memiliki suami seganteng tuan mudanya? Tapi dia kan harus tahu diri, dan tak pernah memimpikannya. Tapi sekarang, istri sang tuan muda itu bahkan mendorong dan mendukungnya. Bersikap sangat baik dan bersahabat. Adakah ketenangan yang melebihi ketika memiliki sahabat yang sangat dekat?

Nijah menimbang-nimbang sebelum akhirnya menjawab.

“Beri saya waktu, Non.”

“Apakah kamu ragu-ragu? Walaupun aku sudah meyakinkan kamu bahwa kita akan menjadi sahabat, bahkan saudara? Mas Satria akan bahagia kalau kamu bisa menerimanya. Terimalah Nijah, kita akan menikmati kebahagiaan itu bersama-sama.”

Nijah tersedu ketika Ristia kembali memeluknya, kali ini lebih erat.

***

Malam itu seperti biasa Bowo menelponnya. Tapi Nijah tak berani mengucapkan apapun tentang Satria yang akan menjadikannya istri. Bowo masih bersikap hangat, dan mengumandangkan kidung-kidung cinta yang Nijah selalu menanggapinya dengan gurauan, yang terkadang membuat Bowo merasa kesal. Nijah memang tidak pernah menerimanya sebagai sesuatu yang serius. Ada jurang menganga diantara mereka, yang belum tentu bisa dilompatinya. Sedangkan kali ini, tak ada jurang apapun yang membuatnya ragu. Apakah Nijah salah memilih? Nijah merasa sudah mempertimbangkannya masak-masak, bersedia melayani keinginan Satria, yang sebagian besar berisi rasa untuk membalas budi keluarga Sardono yang telah bersikap sangat baik kepada dirinya. Membalas budi dengan melahirkan anak-anak bagi Satria, yang sangat didambakan oleh keluarga Sardono.

Sejak hari itu, keluarga Sardono membuatkan sebuah kamar baru yang berhadapan dengan kamar yang dipergunakan oleh Satria dan Ristia. Sama besar dan dilengkapi perabotan mewah yang tidak berbeda. Nijah sudah melarangnya, tapi mana mungkin keluarga Sardono mau menghentikannya? Mereka sangat bahagia dan berharap agar mimpi-mimpi mereka tentang seorang cucu akan menjadi nyata.

***

Ristia tak pernah lagi bepergian sejak pembicaraannya dengan Nijah. Hanya kadang-kadang saja dia pergi, dan belum tentu dilakukannya dalam sekali seminggu. Ia asyik belajar memasak bersama Nijah dan bibik, mengatur meja, melayani suami dengan baik. Bahkan tak segan dia menyapu serta mengepel lantai.

Bu Sardono sangat senang melihat perubahan Ristia, dan merasa yakin bahwa keluarga itu akan lengkap dengan kehadiran Nijah sebagai menantunya.

Dua bulan persiapan, sepertinya semuanya sudah tertata sempurna. Satria juga sudah merasa tak sabar menunggu. Hari-hari yang dilaluinya selalu dipergunakan untuk menggoda Nijah, yang sekarang tak pernah menolaknya. Nijah bahkan sangat bahagia setiap kali Satria menatapnya dengan mesra, walau selalu diterimanya dengan menundukkan kepala, sambil menenangkan debar jantungnya.

“Aku tak sabar lagi,” bisiknya di telinga Nijah ketika Nijah melayaninya makan.

Nijah menatap orang-orang yang ada disekeliling meja makan itu, yang sepertinya tak memperhatikan ulah Satria. Bahkan Ristia membiarkannya.

Nijah segera menjauh dan duduk di kursi yang agak jauh dari Satria, karena bu Sardono memintanya.

“Sayur ini, kenapa agak keasinan?” tiba-tiba pak Sardono nyeletuk.

Ristia mengangkat wajahnya, ia merasa, bahwa dialah yang membumbui sayur itu.

“Maaf Tuan, saya kurang cermat membumbui,” tiba-tiba kata Nijah, yang tak ingin keluarga itu menyalahkan Ristia yang sudah sangat baik kepada dirinya.

“Ini masakan kamu Jah?” tanya pak Sardono heran.

“Ya, Tuan,” kata Nijah sambil mengangguk.

“Tumben kamu masak keasinan.”

“Bukan Pa, sebenarnya Ristia yang membumbui,” tiba-tiba Ristia nyeletuk. Ia harus kelihatan baik di mata keluarga mertuanya, sehingga ia harus mengakui kesalahannya.

“Non?” Nijah menatap Ristia.

“Mengapa kamu mengakuinya sebagai masakan kamu? Bukankah itu aku yang memasak?”

Nijah terdiam.

“Papa mohon maklum, Ristia memang baru belajar. Nanti Ristia akan lebih memperhatikan rasa di setiap Ristia memasak,” kata Ristia malu-malu.

“Ya sudah, tidak apa-apa, lain kali belajar lebih cermat, karena tangan terampil akan menciptakan masakan yang lebih lezat,” kata bu Sardono.

“Baik, Mama,” jawab Ristia sambil tersenyum, tapi ia mengumpat dalam hati. Sesungguhnya memang dia terpaksa melakukan semuanya. Tapi Andri selalu memberinya semangat agar dia sabar menjalaninya.

***

“Ristia, kalau kamu ingin bisa melakukan sesuatu dengan mulus, jalani semuanya dengan sabar,” kata Andri setiap kali Ristia menemuinya sambil mengeluh.

“Aduh Ndri, gerah rasanya berpura-pura terus, ingin rasanya semua segera berakir dan Nijah lenyap dari depan mataku.”

“Kamu tuh kalau dibilangin selalu saja begitu. Dengar ya, kalau kamu tidak sabar, lalu sedikit saja melakukan sesuatu yang membuat mereka curiga, maka akan hancurlah semuanya, dan kamu akan tetap menjadi istri yang diacuhkan, karena menurut mereka, Nijah adalah istri terbaik.”

“Kapan aku bisa melakukannya Ndri, sudah dua bulan lebih aku bersandiwara.”

“Sebentar lagi, saat mereka menyiapkan pernikahan.”

“Mereka sedang bersiap-siap. Ada kamar bagus, indah, mewah, yang disiapkan untuk kamar Nijah. Betapa sakit membayangkan suami aku tidur bersama pembantu itu. Kamu tahu tidak, aku ingin segera mengkoyak-koyak kebahagiaan mereka.”

“Sabar sedikit lagi, kalau tidak, kamu justru akan dicampakkan. Tapi sebenarnya aku suka kalau kamu dicampakkan. Kamu bisa datang ke aku, lalu aku akan menikahi kamu.”

“Huhh, itu saja yang kamu katakan. Aku sudah bilang kan, kita berteman saja?”

“Baiklah, aku juga sudah menganggapnya begitu. Dan itu pula sebabnya, mengapa aku selalu membantumu, dan ingin membuat kamu bahagia.

 “Terima kasih ya Ndri,” kata Ristia sambil memeluk Andri, dan itu sudah cukup bagi Andri.

Ristia pulang setelah puas berbincang, dan merencanakan dengan matang, apa yang akan mereka lakukan.

“Aku pasti akan membuatnya sakit dan tersiksa,” desis kejam meluncur dari mulutnya sebelum dia pergi meninggalkan Andri.

***

Begitu sampai di rumah, Ristia segera menuju dapur, mendekati Nijah yang sedang mengaduk sayur.

“Nijah, maaf ya, aku pergi sejak pagi. Banyak kegiatan yang aku tinggalkan karena ingin belajar dari kamu.”

“Tidak apa-apa Non, lakukan saja seperti biasa. Saya biasa melakukannya bersama bibik.”

“Tapi aku kan ingin banyak belajar Jah, supaya bisa menjadi istri yang baik seperti kamu.”

“Non sudah banyak belajar, nanti juga akan menjadi pintar.”

“Kamu bisa saja. Ya sudah, aku mau mandi dulu, gerah, diluar udara sangat panas.”

“Kalau dari luar yang hawanya sangat panas, jangan langsung mandi, Non, istirahat dulu barang sejam. Kata orang, itu tidak baik untuk kesehatan.”

“Kamu pintar Jah, ia benar, aku istirahat dulu di kamar.”

Sebelum memasuki kamar, Ristia mendengar bu Sardono masuk ke dapur.

“Nijah, kamar kamu sudah jadi, kamu bisa tidur di sana.”

Ristia melangkah menaiki tangga, sambil mencibir.

“Tidak, Nyonya, biarkan saya tidur di kamar seperti biasa.”

“Dasar orang kampung. Tidur di kasur empuk, bagaimana kalau tergelincir dan jatuh?” umpat Ristia sambil masuk ke kamarnya.

“Baiklah, tapi besok kalau kamu sudah resmi menjadi istri Satria, kamu tidak boleh lagi tidur di kamar itu,” kata bu Sardono sambil menunjuk ke arah kamar tempat Nijah tidur setiap malam.

Nijah hanya tersenyum tersipu, kemudian mengentas sayur yang sudah matang dari atas kompor.

“Bik, ini tempenya aku ambil satu ya,” kata bu Sardono sambil mencomot tempe goreng yang sudah ditata di atas basi.

“Iya Nyonya, saya menggoreng banyak, karena tuan dan Nyonya menyukainya.”

“Enak dimakan begini saja, masih hangat.”

“Dengan cabe rawit, Nyonya,” kata bibik sambil meletakkan sepiring kecil cabe rawit yang sudah dicuci.

“Iya, wah bisa habis sepiring ini nanti Bik.”

“Saya masih menyisakan yang masih mentah, tapi sudah dibumbui, nanti saat makan baru digoreng, biar nikmat.”

“Iya, kamu benar.”

Bu Sardono asyik makan beberapa potong tempe goreng.

“Bik, nanti kalau Nijah sudah menikah, apa kamu butuh teman untuk melakukan semua tugas kamu?”

“Nyonya, mengapa begitu? Saya akan tetap seperti sekarang ini, membantu bibik melakukan semua tugasnya,” kata Nijah tiba-tiba.

“Tapi kamu kan sudah menjadi nyonya, Jah.”

“Tidak ada yang berubah Bik, saya akan tetap begini.”

“Baiklah, kita lihat saja nanti. Rupanya Nijah memang lebih suka mengerjakan sesuatu, dari pada duduk manis dan dilayani,” kata bu Sardono sambil berdiri, kamudian meninggalkan dapur dengan tersenyum menatap calon menantunya.

“Bibik, apapun yang terjadi, tak akan ada yang berubah diantara kita,” kata Nijah sambil memeluk bibik dari belakang.

“Aku sudah tahu, kamu gadis yang baik. Semoga kamu bahagia dalam hidup kamu ya Jah.”

“Kita akan bahagia bersama Bik.”

Bibik memeluk Nijah dengan erat, sambil menitikkan air mata. Ia merasa telah menemukan seorang anak yang penuh kasih sayang, dan itu membuatnya bahagia.

***

Siang hari ketika saatnya makan siang, Ristia belum keluar dari kamarnya. Nijah yang sudah merasa akrab dengan Ristia, kemudian mengetuk pintunya dan kemudian masuk begitu saja, karena Ristia tidak menjawab. Rupanya Ristia tertidur diatas ranjang, masih dengan pakaian yang tadi dipakainya. Berarti dia belum jadi mandi seperti tadi dikatakannya.

Nijah mendekat perlahan. Ristia tampak nyenyak dalam tidurnya, agak ragu Nijah membangunkannya. Tapi nyonya majikannya sudah menunggu, jadi dia menyentuhnya perlahan.

“Non … “

Ristia bergerak, menggeliat.

“Saatnya makan siang Non, nyonya sudah menunggu.”

Ristia membuka matanya dan tampak terkejut.

“Nijah?”

“Iya Non, maaf saya bangunkan Non, karena nyonya sudah menunggu di ruang makan.”

“Oh, ya ampun, aku ketiduran, bahkan belum jadi mandi.”

“Tidak apa-apa Non, lebih baik makan dulu saja.”

“Baiklah, aku segera menyusul,” kata Ristia yang segera bangkit dari ranjangnya.

Ketika ia sampai di ruang makan, dilihatnya Satria juga sudah siap di kursinya. Memang akhir-akhir ini, sejak ketertarikannya pada Nijah, Satria lebih sering makan di rumah, bahagia dilayani calon istri dan juga istrinya, yang sudah berubah bersikap manis dan menyenangkan.

Bu Sardono juga bahagia, hari-harinya dipenuhi oleh kasih sayang diantara mereka, dan bahagia menunggu hari yang akan membuat lengkap keluarga itu, dengan menikahnya Satria dan Nijah.

Pak Sardono sudah mencari hari baik. Minggu depan adalah hari baik itu. Nijah berdebar menunggunya, dan rasa mengiris semakin dirasakan Ristia.

***

Pagi hari itu bibik keluar rumah untuk pergi ke pasar terdekat, karena ada kebutuhan dapur yang mendesak untuk melengkapi masakan siang hari itu. Nijah dan Ristia sedang menyiapkan semuanya, ketika bibik bergegas keluar.

Bibik sedang mencari becak supaya lebih cepat sampai ke pasar, ketika sebuah sepeda motor berhenti di dekatnya.

“Bibik?”

Bibik terkejut. Lupa-lupa ingat akan wajah tampan yang menyapanya, yang kemudian membuatnya berteriak ketika sadar siapa yang turun dari sepeda motornya.

“Mas Bowo?”

***

Besok lagi ya.

 

Monday, August 28, 2023

BUNGA TAMAN HATIKU 18

 BUNGA TAMAN HATIKU  18

(Tien Kumalasari)

 

Satria menatap ke arah istrinya, yang mendekat bersama Andri, yang juga sudah dikenalnya, karena dulu juga adik kelas semasa kuliah.

“Mas, kok mas makan di sini bersama Nijah?” katanya sambil menatap tajam Nijah.

Nijah masih mencengkeram pinggiran meja, wajahnya menunduk.

Satria tak bisa lagi menyembunyikan semuanya. Sudah kepalang tanggung, dan barangkali sekaranglah saatnya sang istri mengetahuinya.

“Ristia, bukankah kamu ingin tahu siapa wanita yang akan menjadi istri aku?”

“Ya, apakah Nijah yang akan mengantarkan kamu menemuinya? Nijah mengenalnya?”

“NIiah mengenalnya, tentu saja. Karena wanita itu adalah Nijah sendiri.”

Mata Ristia terbelalak, tanpa sadar tangannya mencengkeram tangan Andri dengan erat, larena Andri berdiri sangat dekat dengannya.

“Apa maksudmu Mas, Nijah… Nijah … adalah wanita yang akan kamu peristrikan?” tanya Ristia dengan sedikit gemetar.

“Non … saya … saya …” gemetar pula Nijah, sehingga tak bisa mengucapkan kata-katanya dengan jelas.

Tapi sebelum Nijah mengatakannya dengan lengkap, Satria sudah memotongnya.

“Iya, benar. Ada yang salah?”

“Mas, dia kan hanya …._”

“Dia wanita yang tepat untuk aku, dan kamu sudah berjanji untuk menerimanya, siapapun pilihan aku, bukan?”

Andri merasa, tangan Ristia basah oleh keringat. Rasa iba membuat dia harus berbuat sesuatu. Dia harus pergi, yang dia yakini bahwa Ristia pasti akan mengikutinya. Itu lebih baik daripada bersitegang di tempat umum seperti ini.

“Satria, sepertinya aku harus pergi, karena ada urusan,” kara Andri tiba-tiba.

“Ndri, aku ikut kamu.”

“Maaf, Satria,” kata Andri sambil melangkah pergi.

“Tunggu, Andri,” Ristia pun setengah berlari mengikutinya.

Satria menghela napas panjang, sementara Nijah dilihatnya sedang mengusap air mata yang membasahi pipinya.

“Nijah, mengapa kamu menangis?”

“Tuan, saya tidak bisa menjalani,” katanya tersedu.

“Menjalani apa?”

“Menjadi … istri tuan,” katanya lirih.

“Kenapa Nijah? Karena sikap Ristia tadi? Kamu tidak usah memikirkannya. Aku yang akan menjalaninya, dan mau tidak mau dia harus mengikuti kemauan aku.”

“Itu sangat kejam, Tuan. Dia istri Tuan, bagaimana mungkin bisa menerima wanita lain untuk istri Tuan?”

“Kami sudah berbicara Jah, dia bisa menerima, dan mengerti. Dia menyadari bahwa dia tak akan bisa melahirkan seorang anak.”

“Tapi saya bukan wanita yang pantas.”

“Sudah, sekarang makan saja dulu. Ini sudah sore, setelah ini kita pulang, lalu kamu bisa mengendapkan pikiran kamu, sehingga bisa berpikir jernih.”

“Kita pulang saja, Tuan.”

“Nijah, pesanan sudah terhidang. Dimakan dulu, ayo. Aku sangat lapar, pasti kamu pun juga demikian. Ayo,” kata Satria sambil menyendok makanannya.

Nijah diam terpaku, sesekali tangannya mengusap air mata yang mengalir.

“Sudah, jangan menangis lagi. Makan, lalu kita pulang. Atau kamu mau aku suapin? Sini, biar aku suapin.”

“Tidak … tidak.”

“Kalau begitu makanlah, ayo. Makan dan jangan memikirkan apapun lagi.”

Nijah menurut, tapi mana bisa dia makan dengan nikmat, sementara hatinya sedang kacau tak menentu?

Sesuap yang dimasukkan kemulutnya, sangat susah ditelannya. Ia meraih minumannya dan meneguknya.

Satria meneruskan makannya. Walau agak terganggu dengan kedatangan Ristia, tapi dia masih bisa menahannya, dan makan dengan lahap.

“Ayo Jah, habiskan.”

Sesuap dua suap memang masuk ke mulutnya, tapi kemudian Nijah meletakkan sendoknya di piring, dan meneguk minumannya sampai habis. Ia berharap bisa meredam kegelisahan yang melandanya.

“Habiskan Jah.”

“Saya sudah kenyang.”

“Aku suapin kamu.”

“Tidak, Tuan, sungguh saya sudah kenyang.”

Keduanya meninggalkan rumah makan dengan beriringan.

Di dalam mobil, Nijah diam membisu. Sesekali ia mengusap air matanya yang masih mengalir.

“Jangan menangis Jah, aku ikut sedih melihat kamu menangis.”

“Jangan sampai saya menjadi perusak rumah tangga. Itu tidak baik,” lirihnya.

“Kamu tidak merusak apapun. Anggap saja kamu berbuat baik untuk keluarga Sardono, dengan bersedia melahirkan keturunan bagi mereka.”

Nijah terdiam. Berbuat baik adalah keinginannya. Dulu, ibunya selalu menuturkan hal-hal baik yang harus dilakukan, agar mendapat balasan kebaikan juga dalam hidupnya. Tapi kebaikan yang satu ini, berbau kekejaman kepada sesama wanita. Haruskah dia menjalaninya?

“Kamu harus mengerti pada keinginan aku yang sesungguhnya. Memang benar, aku mencintai kamu, tapi ada keinginan lain di balik rasa itu, yaitu aku ingin kamu bisa melahirkan anak-anakku,” kata Satria, kali ini suaranya terdengar sangat memelas, membuat Nijah kemudian menoleh kepada tuan muda ganteng di sampingnya. Pedih rasanya melihat wajah sendu itu. Memang tak ada air mata mengalir di sana, tapi kesedihan itu tampak, dan membuatnya trenyuh.

Tapi menuruti kemauannya? Lalu terbayang olehnya wajah Ristia yang memerah tadi, entah karena marah, atau sangat terkejut, tapi hal itu membuatnya menjadi manusia paling jahat di dunia. Toh dia belum menyanggupinya, tapi duka yang akan dirasakannya sudah terbayang oleh angan-angannya.

“Nijah, aku ingin kamu mengendapkan pikiran kamu, sehingga kamu bisa berpikir lebih jernih,” laki-laki tampan itu bersuara.

***

Ristia menangis terisak di pelukan Andri. Wanita manapun tak ada yang suka dimadu. Walau dirinya mengatakan bahwa sanggup menjalaninya, dengan janji jahat akan menghabisi wanita madunya nanti, tapi bahwa wanita itu adalah Nijah, membuatnya terguncang. Nijah hanya seorang pembantu. Begitu sakit ketika menyadari bahwa suaminya membandingkannya dengan seorang pembantu.

“Mengapa kamu menangis?”

“Nijah itu pembantu di rumah aku,” isaknya.

“Memangnya kenapa kalau dia pembantu di rumah kamu?”

“Betapa menyakitkan ketika aku harus bersaing dengan pembantu itu. Lihat Ndri, apakah dia lebih cantik dari aku? Katakan Ndri.”

“Bagi aku, kamu lah wanita tercantik di dunia ini, dan itu sebabnya aku selalu mencintai kamu, dan tak ingin mencari istri selamanya.”

“Jangan bagi kamu. Secara umum saja.”

“Tapi kamu bertanya sama aku, jadi aku jawab sesuai apa yang ada di dalam hatiku.”

“Andri, betapa menyakitkan, maduku adalah pembantuku. Kenapa Ndri? Apa yang diperbuat perempuan itu sehingga bisa menarik hati suami aku? Apakah suami aku diguna-guna ya Ndri.”

“Ah, mana aku percaya sama yang namanya guna-guna. Tapi kamu tidak usah merisaukan hal itu.”

“Menurut kamu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku ingin sekali melenyapkan perempuan itu.”

“Bukankah dengan berada satu rumah dengan kamu, maka lebih mudah kamu melakukan rencana kamu itu?”

“Mudah bagaimana, maksudmu? Pasti gampang ketahuan lah, kalau aku melakukan sesuatu sama dia.”

“Kamu ini pintar, mengapa tidak bisa mencari akal agar semuanya berjalan baik?”

“Pikiran aku buntu Ndri, yang ada hanya kemarahan.”

“Redam dulu kemarahan kamu, tata hati kamu, lalu hadapi semuanya dengan tenang.”

“Bagaimana aku bisa melakukannya Ndri? Ada bara di dalam dadaku ini, ia sudah membakar aliran darah di tubuhku.”

“Itu sebabnya aku ingin kamu meredamnya. Lalu tenang, lalu bersikaplah baik. Bukan kepada suami kamu saja, tapi juga kepada Nijah. Kalau kamu berbaik-baik sama dia, tak akan ada yang mencurigai kamu saat kamu melakukan sesuatu untuk dia. Kamu mengerti?”

Ristia terdiam. Mencoba mencerna apa yang dikatakan Andri. Meredam kamarahannya, dan bersikap baik kepada Nijah, lalu apa ….

Andri mengatakan banyak hal, yang kemudian diterima Ristia dengan rasa mengerti. Terlihat kemudian Ristia mengangguk-angguk sambil tersenyum, walau masih ada sisa air mata disana.

 ***

 Begitu masuk ke dalam rumah, Nijah langsung menuju ke kamarnya, dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, menelungkup dan mencurahkan tangisnya di atas bantal.

Bibik yang baru saja selesai bersih-bersih dapur, memburu ke dalam kamar Nijah, lalu duduk di tepi ranjang.

Bibik melihat bahu Nijah bergerak-gerak, dan merasa yakin bahwa Nijah sedang menangis, walau suara tangisnya tak terdengar.

Bibik mengelus punggungnya.

“Jah, ada apa?”

Nijah tak menjawab, tapi mendengar suara bibik dan elusan tangan di punggungnya, ia segera bangkit, lalu menghambur ke dalam pelukannya.

“Ada apa Jah? Tuan muda menyakiti kamu?”

Nijah terisak di pelukan bibik, yang dianggapnya seperti orang tuanya sendiri.

“Apa yang terjadi? Tuan Satria menyakiti kamu?”

“Bik, katakan, apa yang harus aku lakukan?”

“Katakan, ada apa.”

Lalu Nijah menceritakan semuanya, menceritakan bahwa Satria ingin menjadikannya istri muda, dan sebelum dia menjawabnya, muncul Ristia yang seperti marah terhadapnya.

Bibik mengusap air mata Nijah dengan telapak tangannya.

“Aku sudah tahu tentang keinginan tuan Satria. Nyonya sudah mengatakan semuanya, tadi.”

Nijah terisak pelan, merasa sedikit lega ketika sudah menumpahkan semuanya kepada bibik.

“Jadi nyonya dan tuan sudah mengetahuinya, dan menyetujuinya,” lanjut bibik. Nijah tahu, karena Satria juga sudah mengatakannya. Tapi tentu saja dia tak yakin, Ristia akan menyukainya.

“Nyonya dan tuan ingin agar segera memiliki cucu. Kamu adalah pilihan terbaik tuan muda, jadi kedua orang tuanya juga menyetujuinya. Mereka yakin kamu gadis yang baik, tak peduli kamu datang dari mana,” lanjut bibik.

“Tapi aku tak bisa melakukannya Bik, aku tidak mau merusak rumah tangga orang.”

Nijah kemudian terdiam, karena bibik pun terdiam. Dia mengerti apa yang dirasakan Nijah. Nijah gadis yang baik, tak mungkin melakukan hal yang membuat orang lain terluka.

Mereka terkejut ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan bu Sardono masuk ke dalamnya.

Nijah mengusap air matanya.

“Kamu menangis Jah? Apa kamu menjadi sedih karena permintaan Satria? Apa sebenarnya kamu sudah punya pacar, atau seseorang yang kamu cintai?” tanya bu Sardono lembut, setelah duduk di sebuah kursi yang ada di dekat tempat tidurnya.

Nijah mengusap air matanya yang masih terus menetes.

“Kamu sudah punya pacar?”

Wajah Bowo terbayang di kepalanya. Laki-laki tampan yang baik hati, dan selalu menjaga serta memperhatikannya, yang berjanji akan menjemputnya saat sudah bekerja, tapi tidak membuatnya bersorak bahagia. Akan lebih banyak rintangan kalau Bowo menikahinya. Mana mungkin kedua orang tuanya akan suka. 

Lalu dia membandingkan dengan kedua orang majikannya, yang sangat menghargainya, bahkan tidak menganggapnya rendah walau dia hanya pembantu. Sebenarnya Nijah memilih yang terakhir itulah yang menjadi pilihannya, menjadi istri Satria yang sama-sama baik, dan kedua orang tuanya menyetujuinya. Tapi istrinya? Nijah merasa ngeri ketika mengingat wajah kemerahan dan mata menyala dari Ristia yang menatapnya saat di rumah makan.

“Kalau kamu sudah punya pacar, katakan saja. Kami tidak ingin memaksa.”

Nijah menggeleng pelan.

“Jadi kamu belum punya pacar?”

“Tidak punya, Nyonya.”

“Mengapa kamu menangis? Kamu menolak Satria?”

“Non Ristia tidak akan suka.”

“Satria sudah bicara dengan istrinya tentang hal itu. Jadi kamu tidak usah memikirkannya. Tolong Jah, Ristia tidak akan bisa punya anak, sedangkan kami ingin sekali segera bisa menimang cucu. Aku berharap kamu bisa menjadi ibu bagi cucu-cucu kami. Tolong kamu mengertilah, Nijah,” kata bu Sardono lembut.

Nijah menatap nyonya majikannya, dan melihat kesungguhan dalam ucapannya. Tapi ketika diingatnya wajah Ristia, Nijah segera menundukkan wajahnya.

“Non Ristia tidak akan suka,” katanya pelan.

“Aku akan bicara sama Ristia,” kata bu Sardono sambil berdiri, kemudian melangkah pergi setelah sebelumnya mengelus kepala Nijah. Hati Nijah tersentuh oleh kelembutan itu.

***

Satria sedang duduk termangu di atas sofa di kamarnya. Ia sudah menceritakan semuanya kepada ibunya. Satria sangat sedih karena merasa bahwa tak mungkin Nijah menerima lamarannya, melihat sikap Ristia saat di rumah makan tadi.

Satria kesal, karena sebelumnya Ristia sudah setuju dia menikah lagi. Memang sih, dia sebelumnya tidak mengatakan bahwa wanita itu adalah Nijah, tapi apa bedanya Nijah atau wanita lain?

Tiba-tiba pintu terbuka, dan Ristia masuk dengan mata sembab. Seperti biasa, begitu bertemu sang suami, dia segera menghambur ke pelukannya.

Satria menyambutnya kaku.

“Mas, maafkan aku tadi ya, aku hanya terkejut, bahwa wanita pilihan Mas adalah Nijah.”

“Mengapa kamu menangis?”

“Aku kan bilang, bahwa aku hanya terkejut. Tapi setelah aku pikir-pikir, sikapku tadi tidak benar. Aku sudah menyetujui Mas menikah lagi, dengan siapapun.”

“Walaupun itu Nijah?”

“Tentu saja Mas, aku bisa menerimanya. Kalau Nijah melahirkan nanti, aku juga akan ikut memiliki anaknya. Mengapa tidak?”

Satria mendorong tubuh Ristia yang tadinya masih merengkuhnya, lalu menatap wajah cantik yang masih tampak sembab itu.

“Benarkah kamu bisa menerimanya?”

“Tentu saja Mas, sesuai janjiku sejak awal Mas mengatakannya.”

Saria tersenyum. Ia mengelus kepala istrinya penuh rasa terima kasih.

Ristia pun tersenyum tulus. Apa yang ada di dalam hatinya, entahlah.

“Di mana Nijah?”

“Begitu datang, dia langsung masuk ke kamarnya."

”Aku akan menemuinya,” kata Ristia sambil tersenyum, lalu berdiri dan bergegas meninggalkan suaminya.

***

Besok lagi ya.

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...