Wednesday, October 30, 2019

DALAM BENING MATAMU 36

DALAM BENING MATAMU  36

(Tien Kumalasari)

 

Bu Broto terkejut. Ia tak menyangka Adhit akan senekat itu. Ia ingin membuka rahasia itu, tapi kemudian ditahannya. Barangkali bukan sekarang sa'atnya yang tepat. Atau mungkin bapak ibu nyalah yang lebih berhak mengatakannya.

"Adhit, cucu eyang cah bagus... dengar kata eyang ya le, menurut pada orang tua itu perbuatan mulia lho. Kalau kamu menentang, kamu akan membuat kedua orang tua kamu sedih," lembut kata bu Broto, sambil mengelus pundak cucunya.

"Eyang, Adhit tak ingin menjadi anak durhaka, Adhit akan melakukan apa saja yang dikehendaki bapak sama ibu, tapi Adhit harus tau alasannya. Cuma itu saja keinginan Adhit, mengapa semua diam? Hanya berkata "tidak boleh".. tapi tanpa mengatakan apa alasannya."

"Baiklah ngger, eyang mengerti. Begini, memang ada sesuatu yang menyebabkan kalian tidak bleh berhubungan yang ada kaitannya dengan cinta, lebih-lebih sampai ke jenjang pernikahan, tapi disini eyang tidak berhak mengatakannya. Nanti bapak atau ibumu yang akan mengatakan, tapi ingat le, sa'at ini bapak sama ibumu sedang focus memikirkan pernikahan adikmu, jadi eyang minta kamu jangan dulu mengganggunya dengan pertanyaan itu. Mau mendengar kata-kata eyang?" 

Adhit menghela nafas. Memang ada sesuatu... dan itu membuatnya semakin penasaran.

"Sabar ya Dhit, nanti kamu pasti akan diberi tau. Orang tua melarang keras, pasti ada alasannya. Bukankah kamu percaya bahwa orang tua akan melakukan hal-hal terbaik bagi anak-anaknya? Ya nggak mungkin bapak ibumu akan menyusahkan kamu, membuat kamu kecewa atau sakit hati. Camkan itu le, dan jangan keras kepala."

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Adhit, jiwanya bergolak, diantara gelora cinta yang sulit dipadamkan, dan "sesuatu" yang membuat cinta itu terlarang. Apakah Dinda punya penyakit yang tidak bisa disembuhkan? Umurnya tidak akan panjang? O. tidaaak, jangan sampai itu terjadi.

"Dhit, jangan lupa mampir ke pasar sebentar ya, eyang mau belanja sesuatu."

"Baik eyang."

***

Hari itu Adhit benar-benar nggak punya semangat kerja. Ayud yang biasanya selalu bersama dan berbincang tentang banyak hal, sekarang lebih sering jalan bersama Raka. Apalagi menjelang hari pernikahan mereka yang sudah tidak lama lagi akan digelar secara besar-besaran oleh ayah ibunya. Dan ketika hati sedang gelisah seperti ini, Adhit bingung harus melakukan apa. Ia tak banyak bicara, ia lebih sering melamun dan ber main-main dengan ponselnya. Lalu tiba-tiba sebuah pesan WA membuatnya berbinar. Dari Dinda.

MAS ADHIT LAGI NGAPAIN?

Lalu dibalasnya segera, LAGI MIKIRIN KAMU..

Lalu Dinda membalasnya dengan emoticon melet.

Dan Adhit membalasnya dengan stiker berbentuk jantung..

MAS ADHIT SUDAH MAKAN SIANG?

BELUM, MAU NEMENIN ?

NGGAK AH, JAUH, KASIHAN MAS ADHIT, DINDA MAU BELI NASI AYAM AJA DIWARUNG SEBELAH.

JANGAN, AKU AKAN MENJEMPUT KAMU SEKARANG.

JAUH LHO MAS.

NGGAK MASALAH, TUNGGUIN YA.

Lalu emoticon berbentuk jantung ditampilkannya lagi dilayar ponsel Dinda.

Dan Mirna yang memperhatikan sejak Adhitama tampak gelisah kemudian melihatnya ada senyum mengembang dibibirnya. Hm.. senyumnya itu... Lalu dilihatnya Adhit berdiri, dan mungkin saking gembiranya Adhit keluar tanpa berpamit pada sekretarisnya. Mirna menghela nafas. Alangkah susah mengendalikan perasaan, walau dia tau bahwa bos ganteng yang dipujanya sudah punya pujaan lain. Lalu terbayanglah wajah Aji, yang selalu baik dan ramah, yang selalu memandangnya dengan sangat hangat dan entah apa yang ada dihatinya, tapi semua itu tak pernah menggetarkan perasaannya.

Ketika ponselnya berdering.... aduuuh... baru dipikirkan.. sudah menelpon. Mirna ragu-ragu mengangkatnya. Tapi dering itu tak henti-hentinya, seperti dering penjual es keliling yang belum juga mendapatkan pembeli.

"Hallo," kata Mirna menjawab telephone itu.

"Mirna, nanti pas istirahat siang aku jemput ya?"

Mirna tercengang, apakah Aji juga mengajak ayahnya lagi? Kalau ada ayahnya pasti susah menolak, sesa'at ia diam.

"Hallo... Mirna, kamu masih disitu?"

"Oh ya, apa.. m.. ma'af.. sambil bekerja nih.."

"Oh, ma'af... aku hanya ingin bilang bahwa nanti aku akan menjemput kamu, setelah sampai didepan kantor aku akan menelpon lagi."

Lalu telephone itu ditutup.

Apa dia akan datang bersama ayahnya? Lalu Mirna mencoba mengontak sang ayah, namun tak ada jawaban, rupanya Kadir mematikan ponselnya.

Mirna ingin menolak tapi merasa sungkan. Aji sudah sangat baik kepada ayahnya, sangat perhatian .. 

Dan ketika sa'at istirahat tiba itu Aji benar-benar menelponnya. Mirna berjanji bahwa ini yang terakhir, lain kali ia akan menolak dan dia akan mencari alasan yang tepat untuk itu. Lalu diangkatnya ponselnya.

"Hallo Mirna, aku sudah diluar."

" Oh, ya mas.. aku akan keluar... apa mas Aji bersama bapak?"

"Tidak, tadi bapak sudah mulai masuk kerja, dan sudah makan bersama teman-temannya. Bagaimana, apakah kalau tanpa bapak kamu akan menolak?"

"Nggak, bukan begitu, baiklah, aku mau keluar sekarang."

***

Siang itu Raharjo makan siang dirumah, karena Retno ingin mengajaknya bicara tentang rencana pernikahan Raka.

"Kata mas Galang, semuanya sudah siap, karena dia menyerahkannya pada EO... tapi kan kita harus juga secepatnya ke Solo untuk ikut bicara, karena waktunya tinggal sebulan lagi," kata Retno.

"Ya, aku sedang memikirkan untuk mengambil cuti."

"Bapak sudah tau kalau Dinda sudah pindah ke tempat kost didekat kampusnya?"

"Iya, kan kemarin sudah menelpon. Buat aku biar saja Dinda mencoba mengurus dirinya sendiri. Kalau terus kita ikut mengurusnya kapan dia dewasanya, anak kolokan begitu."

"Raka yang sering mengeluh, macam-macam saja maunya."

 "Mengeluh apa, Raka senang kok memanjakan adiknya."

"Tapi dia kan sudah mau punya isteri, biar Dinda belajar mengurus dirinya sendiri. Makan minum kalau bisa juga harus memasak sendiri.Tapi barusan Dinda menelpon, Adhit akan menyamperin ketempat kostnya untuk mengajaknya makan diluar."

"Nah, itu... banyak orang memanjakan Dinda rupanya."

"Bapak tau nggak, kata Raka, nada-nadanya Adhit suka sama Dinda."

"Masa? Jadi ketika kita bergurau agar dua-duanya bisa menjadi menantu itu ada benarnya. Cuma, aku kok melihat mas Galang kurang suka ya."

"Iya tuh, apa Dinda dianggap terlalu muda?"

"Bukan, rasanya ada yang lain. Mungkin mas Galang sedang menjodohkan Adhit dengan gadis lain."

"Masa sih? Kalau begitu pasti Putri ngomong terus terang."

"Ya sudah, jangan memikirkan Dinda dulu, kita bicara tentang rencana perhelatan yang akan diadakan di Solo itu saja, ayuk sambil makan. Sudah lapar nih aku."

"Ayo, kan sudah disiapkan dari tadi."

***

"Mas Adhit kok jauh-jauh datang ke kost cuma mau ngajakin Dinda makan sih?" tanya Dinda ketika sudah duduk semeja disebuah rumah makan.

"Habis, mas Adhit kangen sama Dinda."

Dinda tertawa, deretan giginya yang tertata rapi, tapi ada gingsul disebelah kiri, menambah manis tawa itu. Tak tahan Adht mencubit pipi Dinda.

"Memang sih, Dinda itu ngangenin.. " katanya riang.

"Kamu makannya lahap bener, kelaparan ya?"

"Iya, tadi ke kampus pagi2 belum sarapan, lalu pulang agak siang, terus mas Adhit ngajakin makan. Sudah lapar berat nih mas.."

"Mau nambah?"

"Nggak, ini porsinya lumayan besar, sudah kenyang sekarang."

"Kalau mau nambah boleh kok, nggak usah malu-malu."

"Enggak, kalau sama mas Adhit aku nggak usah malu. Ini bener udah kenyang, tapi kalau ada es krim Dinda masih mau... " kata Dinda sambil memeletkan lidahnya.

"Ya udah pesan aja, jangan kelamaan, keburu ngiler..," goda Adhit.

"Iih... masa aku ngiler... pesenin dong, aku mau es krim coklat stowberi campur vanili..."

"Banyak bener campurannya.."

"Nggak apa-apa, enak semua kok.'

"Okey, apa sih yang enggak buat kamu..."

Ketika Adhit melambaikan tangan kearah pelayan, tiba-tiba Dinda melihat sepasang laki-laki dan perempuan masuk kedalam. Dinda hampir berteriak memanggil, tapi Adhit segera memberi isyarat agar diam. Adhit memesankan pesanan Dinda, kemudian duduknya lebih dimiringkan kearah berlawanan dengan pintu masuk.

"Bukankah itu mbak Mirna?" bisik Dinda tak mengerti.

"Sst... diamlah, dan jangan menyapanya," kata Adhit serius.

"Kenapa? Mas cemburu?"

"Hush, apa-apaan sih kamu itu? Kenapa harus cemburu, orang bukan siapa-siapa aku."

"Lalu..."

Adhit meletakkan jari telunjuknya sebagai isyarat agar Dinda diam.

"Itu pacarnya?"

"Nggak tau, diam dan pura-pura tidak tau saja."

Yang masuk barusan memang Mirna dan Aji. Adhit enggan menyapa, dan beruntung mereka duduk agak kedalam disebuah sudut yang tak akan bisa melihat kearah Adhit dan Dinda.

Ketika pesanan es krim itu tiba, Adhit yang ikut memesan segera sibuk menikmati pesanannya, demikian juga Dinda. Adhit kembali merasa pernah bertemu laki-laki yang sedang bersama Mirna, sambil minum ia meng ingat-ingat. Tapi kesan yang dirasakannya adalah kesan yang kurang nyaman. Adhit merasa pernah bertemu dalam suasana yang tidak enak. Haaa... sekarang Adhit ingat.. 

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tuesday, October 29, 2019

DALAM BENING MATAMU 35

DALAM BENING MATAMU  35

(Tien Kumalasari)

 

Mirna terpaku, sesa'at tak mampu mengatakan  apapun. Hatinya yang bergolak gembira karena akan makan bersama bos gantengnya, surut tiba-tiba. Ia bisa menolak Aji dan membuat alasan apapun yang masuk akal. Tapi ada bapaknya yang juga menunggu.

"Hallo.." suara dari seberang sana.

"Oh, ya.. ya.. sebentar, mohon ditunggu ya," mau tak mau itulah jawaban yang harus diberikannya.

"Ma'af pak..." katanya sambil memandang pak bos dengan pandangan kecewa. Sangat kecewa.

"Ya.. ada apa?"

"Mm.. ma'af lagi tidak bisa menemani bapak, karena bapak saya menunggu diluar, mau mengajak makan siang juga."

"Kalau begitu ayo makan sama-sama sekalian.." Adhit menawarkan ajakan untuk bapaknya Mirna.Tapi kan disana bukan cuma bapaknya Mirna.

"Oh, nggak usah pak, terimakasih. Mungkin lain kali saja."

"Oh, baiklah, aku makan dirumah saja sama Dinda."

Mirna menggigit bibirnya, nama itu sangat membuatnya terganggu. Tapi apa boleh buat kalau sang bos ganteng lebih suka sama dia.

Ia membenahi berkas-berkas yang terserak dimejanya, lalu diangkatnya kepalanya ketika mendengar suara Adhit menelpone.

"Jangan.. jangan pergi dulu, nanti aku antar.. sebentar kok, ini udah hampir berangkat. Ya.. ya.. ada apa.. kok nggak bilang bilang dari kemarin. Nggak, nanti kita bicara lagi, tunggu ya."

Pasti sama Dinda. Ah.. Mirna mengibaskan perasaan sakit hatinya, kemudian bangkit berdiri.

"Saya keluar dulu pak."

"Oh, ya.. ya.. aku juga mau keluar sekarang," jawab Adhit yang kemudian juga berdiri dan melangkah keluar. Mirna mengikuti dibelakangnya.

"Bapak naik apa?" tiba-tiba Adhit menoleh sambil bertanya.

"Mm.. sama.. saudara.. mungkin," jawab Mirna sekenanya. Ia masih tetap berjalan agak dibelakang Adhit.

Ketika keluar dari halaman itu, dilihatnya mobil Aji berhenti agak kekanan. Melihat Mirna mendekat, Aji langsung keluar dan membukakan pintu buat Mirna.

"Itu bapak sudah menunggu," kata Aji.

Mirna segera naik , lalu duduk di jok belakang.

"Masih sibuk ya nduk?" tanya Kadir.

"Nggak pak, sudah waktunya istirahat."

"Tadi tiba-tiba nak Aji nyamperin, mengajak kemari supaya bisa makan siang bersama."

"Ya pak,.. nggak apa-apa."

Aji kemudian masuk dan duduk dibelakang kemudi, pada sa'at itu mobil Adhit keluar dan sempat melihat laki-laki yang menjemput Mirna. Adhit merasa pernah melihat laki-laki itu, tapi entah dimana. Sepanjang perjalanan pulang ia meng ingat-ingat, tak belum diingatnya juga. Itu karena pikirannya tertuju pada Dinda, yang katanya hari ini mau boyongan ke tempat kost nya.

***

Begitu turun dari mobil, dilihatnya Dinda sudah menunggu di teras, dan sebuah koper besar terletak disampingnya.

"Hari ini ?"

"Iya mas, Dinda mau berangkat sendiri, mas Raka sudah mengantar Dinda menemui ibu kost nya kok."

"Ayo aku antar kamu.sekalian..."

"Lho, bukankah tadi sudah pesan taksi?" kata bu Broto yang tiba-tiba sudah nongol dari dalam rumah.

"Dinda batalin, habis mas Adhit minta supaya Dinda menunggu," kata Dinda sambil memandangi Adhit yang sudah siap mengangkat koper Dinda.

"Kamu itu bukannya pulang mau makan siang Dhit?"

"Dinda sudah makan?" Adhit balik bertanya pada Dinda.

"Sudah, barusan sama eyang,"

"Kalau begitu tungguin eyang ya, eyang mau ikut ngantar Dinda, supaya eyang tau dimana tempat kost nya Dinda," tiba-tiba bu Broto sudah membalikkan tubuh kebelakang untuk berganti pakaian.

Adhit menghela nafas. Ia tau, semua orang menghalangi kedekatannya dengan Dinda. Ini aneh dan tak bisa dimengerti. Namun tak ada yang bisa dilakukannya.

***

Dirumah makan itu Mirna lebih banyak terdiam. Aji dan ayahnya yang banyak bicara. Ayahnya banyak bercerita mengenai kehidupannya yang terasa berat sejak berpisah dengan isteri dan anaknya. Dan kini menemukan kebahagiaannya setelah Tuhan mempertemukan mereka kembali. Aji mendengarkan dengan penuh perhatian, dengan sesekali melirik kearah Mirna, sementara Mirna terus saja menikmati makanannya tanpa menyambung pembicaraan itu.

"Apa benar minggu depan bapak sudah akan mulai bekerja?" tanya Aji mengejutkan Mirna yang kemudian mengangkat wajahnya.

"Bapak sudah mau bekerja lagi?" Mirna menimpali.

"Bapak sudah merasa sangat sehat, nggak bisa bapak berpangku tangan saja. Tadi bapak sudah menelpon Sukir, supaya besok mau nyamperin bapak."

"Bapak mau bekerja di kantor saya?"

"Wah, nggak nak, bapak itu hanya lulusan SMP, nggak punya ke ahlian apa-apa, bisanya cuma jadi buruh bangunan, dan sekarang karena sudah pengalaman trus dijadikan mandor, gitu saja."

"Mungkin menjadi keamanan di kantor saya ?"

"Nggak nak, sudah.. jangan mikirin pekerjaan bapak, bapak sudah sangat menyukai pekerjaan bapak ini. Kamu kan nggak malu ta nduk, punya orang tua menjadi mandor bangunan?"

"Ya enggak pak," kata Mirna sambil memegang tangan bapaknya. Kadir tersenyum, ia bangga punya anak sebaik Mirna.

"Mirna gadis yang baik, saya sangat kagum sama dia," kata Aji sambil menatap Mirna lekat2. Mirna mengalihkan pandangan kearah lain, Kearah sekeliling rumah makan itu yang hampir penuh karena memang waktunya makan siang. Ada AC diruangan itu, namung Mirna merasa gerah. Sungguh ia risih ketika sesekali Aji memandanginya dengan senyuman penuh arti. Mirna merinding. Ia kembali teringat pada Adhitama, yang memiliki senyuman memikat, tapi jarang sekali ia tersenyum kearahnya. Sementara ia selalu mengharapkannya. Aduhai, Mirna sudah merasa kalau rasa cintanya pada Adhitama akan terhempas, lalu luluhlah hatinya ber keping-keping. Tapi alangkah susah menghilangkan perasaan itu.

"Mirna dari tadi kok diam saja.." tegur bapaknya.

"Nggak apa-apa pak, sebenarnya tadi masih ada tugas yang belum selesai. Kalau sudah cukup bisakah kembali sekarang?" tanya Mirna sambil menatap Aji.

Aji mengangguk,. sesungguhnya ia masih mengharapkan lebih lama besama Mirna, tapi alasan pekerjaan sungguh membuatnya tak enak. Aji merasa.. Mirna sangat menarik hatinya, tentu ada harapan lebih daripada berteman biasa, hanya saja ia belum berhasil menarik hati Mirna. Itu kelihatan dari sikap dan cara dia berbicara. Apakah aku kurang tampan? Pikir Aji. Tampan sih, tubuh tinggi walau tak terlalu besar,wajah bersih tanpa kumis dan selalu licin, pasti ia merawatnya dengan sangat baik. Hidung mancung, mata yang memiliki pandangan tajam,bibir yang selalu tersenyum, semua itu disadari sepenuhnya oleh Aji. Ia merasa penasaran karena selama ini gadis-gadis berebut mendekatinya. Mengapa Mirna sama sekali tak kelihatan tertarik?

"Mirna mengambil tissue dan mengelap bibirnya perlahan. Aji melambai pada pelayan dan meminta  tagihannya.

***

Tempat kost Dinda terletak didaerah Kenthingan. Dinda tampaknya senang tinggal disana, ada sebuah kamar, dengan kamar mandi didalam, lalu sedikit ruang makan dan kalau ingin masak memasak sekadarnya, ada kompor gas kecil,  lalu diluar ada sepasang kursi dan sebuah meja, barangkali ada tamu untuk penghuninya. Udara diluar juga sejuh karena banyak pepohonan dan tanaman bunga-bunga yang dirawat dengan rapi oleh pemiliknya. Ada harum kembang melati yang menyeruak, ketika bu Broto mendekati taman kecil itu.

"Hm... lumayan bagus, pintar Raka mencarikan tempat untuk adiknya. Pasti Dinda kerasan tinggal disini bukan?" gumam bu Broto sambil memetik beberapa melati yang sedang berkembang.

"Ibunya Adhit sangat suka bunga, terutam mawar dan melati," katanya lagi sambil berjalan kearah kamar Dinda.

"Mau dibantuin menata barang-barang kamu?" kata Adhit.

"Nggaaaak.. mana boleh laki-laki menata pakaian perempuan, ya kan eyang?"

Bu Broto tersenyum dan mengangguk. Sesungguhnya Dita gadis yang baik. Ada rasa sayang ketika ia harus menyarankan Dinda meninggalkan rumahnya, tapi ia harus bisa mencegah semakin dekatnya Adhit dan Dinda. Ketika mereka meninggalkan Dinda sendirian, ada rasa sedih dihati bu Broto, ia sama sekali tidak membenci Dinda, bahkan menyayanginya.Bu Broto lupa, bahwa mereka bukan binatang yang bisa dikurung sehingga tak akan lari ke mana-mana.

 Sebelum pergi, bu Broto memeluk Dinda erat-erat. Ada genangan di pelupuk matanya, yang kemudian diusap Dinda dengan jemarinya yang lentik.

"Eyang jangan sedih, Dinda akan sering mengunjungi eyang kok."

Bu Broto mengangguk. 

"Benar, sering-seringlah kerumah, nanti akan eyang buat masakan kesukaan kamu."

"Horeeee... pasti Dinda akan suka.."

***

Tak tahan menyimpan perasaan kesal, Adhit nekat bertanya pada neneknya.

"Eyang, bukankah eyang menyarankan Dinda untuk kost itu karena ingin menjauhkan Dinda dari Adhit?"

Bu Broto terkejut. Begitu terus terangnya Adhit, dan seakan dia mengakui bahwa ia ingin selalu berdekatan dengan Dinda. Bingung bu Broto menjawabnya.

"Eyang..." Adhit mengulang pertanyaannya.

"Bukankah adikmu menikah dengan kakaknya Dinda?"

"Memangnya kenapa kalau kakak adik menyukai kakak beradik juga?"

"Kalau dalam istilah Jawa, itu namanya "dadung kepuntir" tidak bisa dilakukan."

"Dadung kepuntir itu apa?"

Kalau adikmu menikah dengan Raka, maka kalau kamu suka sama Dinda itu namanya Dadung kepuntir. Bingung kamu memanggilnya. Mau dipanggil kakak.. karena ia kakak isterimu.. tapi kan ia suami adikmu.. Mau memanggil adik.. lha dia kakak isterimu... Bingung kan?"

Tapi Adhit tak bisa menerima jawaban itu. 

"Tapi rencana Ayud sama Raka itu kan baru saja eyang, saya bilang sama bapak sudah jauh hari sebelum Raka melamar Ayud.Bagaimana bisa ada ungkapan dadung kepuntir ketika itu? Tapi bapak sama ibu sudah menentangnya keras, bahkan ibu sampai menitikkan air mata. Adhit bingung eyang."

Waduh, bagaimana ini? Bu Broto diam, tak bisa menjawab pertanyaan cucunya.

"Eyang... maukan eyang mengatakan penyebabnya? Kalau Ayud boleh menikah sama Raka, mengapa Adhit dilarang menyukai Dinda?"

"Kamu kan tau Dinda masih sangat muda, mungkin itu penyebabnya."

"Tapi Adhit kan tidak ingin menikah sekarang?"

"Dinda juga tidak suka sama kamu Adhit, dia itu hanya suka bermanja-manja sama kamu, bukan suka bukan cinta."

"Lepas daripada bagaimana perasaan Dinda, bapak sama ibu sudah melarang kok."

"Adhit, pada suau hari nanti pasti kamu akan tau sebabnya."

"Mengapa tidak sekarang saja? Adhit sudah lebih daripada dewasa, kalau Adhit tau sebabnya apa, dan memang tak boleh menyukai Dinda, Adhit akan terima."

"Sekarang belum sa'atnya le.."

"Kapan eyang?"

"Tunggu sampai adikmu menikah, nanti kamu akan tau."

"Mengapa harus menunggu? Apa hubungannya perasaan Adhit dan pernikahan Ayud?"

Bu Broto menghela nafas. Rupanya tak bisa rahasia itu disembunyikan terus menerus. Adhit bukan anak kecil yang gampang dibujuk. Ia laki-laki dewasa yang sedang terbakar cinta. Bu Broto yakin Adhit akan terus memperjuangkannya.

"Mampir belanja dulu yuk.."kata bu Broto untuk mengalihkan perhatian Adhit.

"Dengar eyang, Adhit belum pernah merasakan seperti yang sekarang Adhit rasakan terhadap Dinda. Adhit sudah mencoba menghilangkannya tapi tak pernah berhasil. Jadi sampai kapanpun Adhit akan tetap mengejarnya, Dinda harus menjadi isteri Adhit."

Bu Broto tercengang. Apakah rahasia itu harus dibuka saja sekarang?

***

besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

















Monday, October 28, 2019

DALAM BENING MATAMU 34

DALAM BENING MATAMU  34

(Tien Kumalasari)

Mirna terkejut, ia memeluk tubuh ayahnya erat-erat. Kadir juga terpana, ditengah jalan, tubuh bercadar itu tergolek, tak bergerak. Kadir ingin berlari mendekati tapi Mirna menahannya. Dijalanan orang-orang berkerumun, terjadi kemacetan tiba-tiba.. DEngung mobil polisi yang mendekat membuyarkan kerumunan itu. Beberapa celetukan orang-orang membuat miris hati Mirna. Mati dia.. sudah mati... ... jelas mati.. kasihan...

Tak lama mobil ambulan datang dan membawa tubuh itu ke rumah sakit. Aji mengantarkan Kadir dan Mirna mengikuti ambulan itu, ketika mengetahui mereka ingin pergi kesana.

"Meninggalkan dia?" bisik Mirna lirih. Bagaimanapun Widi pernah merawatnya sampai lebih dari sepuluh tahun, seperti anak kandungnya sendiri, walau sebenarnya ada maksud tertentu dengan apa yang dilakukannya. 

"Tenanglah, kita akan tau ketika sudah tiba dirumah sakit nanti." kata Kadir menghibur.

"Bapak kenal perempuan itu?" kata Aji tiba-tiba.

"Dia... bekas .. isteri saya.." jawab Kadir terbata.

"Oh.. ketika Mirna berteriak, tiba=tiba dia menyeberang jalan tanpa menengok kiri dan kanan lagi. Mudah-mudahan lukanya tidak parah.

"Ibu Widi mendengar teriakanku, pasti dia ketakutan,"

"Dia harus mendapatkan pelajaran atas apa yang telah dilakukannya. Hidupnya diliputi dendam, tak pernah mau menyerah." guman Kadir.pelan. Aji mendengar semuanya, tapi tak hendak menyela, ia hanya men d-ga=duga apa yang terjadi dengan keluarga itu.

"Sebenarnya Mirna menyayangi ibu Widi, karena mengira dia ibu kandung MIrna, tapi ternyata ibu membenci Mirna, ingin membunuh Mirna." 

"Ya sudah, nggak usah dipikirkan terlalu jauh, kita serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa ya."

Aji mengantarkan Kadir dan Mirna masuk kerumah sakit itu, walau Kadir menolaknya. Ia merasa sungkan karena Aji telah terlalu banyak berbuat baik untuk mereka.

"Nggak apa-apa pak, sekalian nanti mengantar bapak dan Mirna pulang. Ini kan sudah malam, lagi pula Aji juga lagi nggak ada pekerjaan.

"Terimakasih banyak nak."

***

Polisi yang memeriksanya segera tau bahwa dialah wanita yang diburu. Itu karena katerangan Mirna, dan surat KTP yang dibawanya. 

"Bagaimana keadaan ibu Widi?" tanya Mirna kepada polisi.

"Kritis, tapi kalau mau melihatnya, silahkan," kata dokter yang merawatnya.

Kadir terkejut melihat wajah Widi. Kecantikan yang dulu digndrunginya telah sirna. Itu karena ulahnya, karena ketidak sabarannya melihat kelakuan buruk Widi. 

"Widi..." Kadir berbisik

Mata yang memang tak bisa terpejam karena kelopaknya nyaris tak bisa menutupnya, tampak ber gerak-gerak.

"Ma'afkan aku ya," lanjutnya

Mata itu sekejap menyala, ada kemarahan yang ditahannya, lalu terdiam.  

Kadir memegang tangan Widi, lemas, tak bergerak.

"Sayang sekali, dia meninggal. Benturan pada kepalanya terlampau keras. " kata dokter lagi.

"Oh, pekik Mirna, tak urung ada rasa sedih yang mengirisnya. Bertahun berkumpul dalam keadaan baik-baik saja, dan sekarang dipisahkan karena kekejamannya dan niyat buruknya, lalu Tuhan telah membalas dengan caraNya.

Mirna mengusap setitik air matanya yang turun.

Kadir juga merasa berdosa ketika melihat wajah Widi sa'at terbuka cadarnya. Wajah cantik itu benar-benar sudah berganti dengan wajah buruk yang mengerikan, dan itu karena ulahnya, karena kemarahan yang tak bisa ditahannya ketika itu.

"Ma'afkan aku, " bisik Kadir lagi, lalu melangkah keluar dengan lunglai, diikuti Mirna. 

Beribu perasaan mengaduk aduk hatinya, antara sedih dan bersyukur. Apakah semuanya sudah selesai?

Namun Kadir dan Mirna mengurus pemakaman Widi dengan baik. Mereka juga mendo'akan agar Tuhan mengampuni segala salah dan dosanya.

***

Berita kematian Widi segera tersebar.  Galang dan Putri bersyukur, bukan mensyukuri kematian Widi, tapi mensyukuri keselamatan anak-anak mereka atas dendam Widi yang tak pernah henti.

Retno sedih, karena bagaimanapun Widi adalah sepupunya. Ia tak menyangka sang kakak sepupu yang dulu sangat pintar dan lincah bisa mengalami nasib se tragis itu. Ia menyesal karena Tuhan tak memberinya waktu untuk bertobat.

"Kasihan ya Ka, semoga Tuhan mengampuni semua dosanya," bisik Retno sedih.

"Aamiin..."

"Seandainya sebuah kejadian buruk yang menimpanya dulu itu bisa menjadi pelajaran agar berbuat lebih baik, pasti tidak akan begini jadinya."

"Benar, aku juga tak mengira mbak Widi menjadi seperti itu. Dan semua berawal dari cinta yang tak terbalas."

"Ternyata cinta bisa membuat orang menjadi kejam."

"Itu karena batinnya lemah, pikirannya jadi terlalu sempit. Hatinya dibakar dendam.. sampai akhir hidupnya."

"Benar Ka."

"Ya sudahlah, sekarang yang harus kita lakukan hanya mendo'akannya."

***

"Ya sudah Mirna, sekarang kamu nggak usah khawatir lagi, karena yang mengancammu sudah nggak ada lagi.. jadi kamu bisa hidup lebih tenang," kata Ayud katika siang itu ada diruang kerja Adhit.

"Benar bu, tapi bagaimanapun dia pernah merawat Mirna sampai 10 tahunan lebih. Dan Mirna masih merasa sayang sama ibu Widi sampai sebelum dia nyaris membunuh Mirna."

"Aku bisa mengerti, karena kamu selalu mengnggap dia ibu kandung kamu bukan?"

"Baru tau kalau dia bukan ibu kandung Mirna ketika ibu sendiri yang mengatakannya."

"Semua akan terkuak pada waktunya. Ya sudahlah.. kamu sudah melakukan yang terbaik sampai dia meninggal, mengurus pemakaman dan mendo'akannya. Itu perbuatan mulia."

Mirn mengangguk. Banyak kesedihan sudah dilewatinya, dan sekarang sikap Ayud juga sangat baik padanya. Mirna berjanji akan membuat hidupnya lebih nyaman, bersama bapaknya, orang yang mengukir jiwa raganya dan baru saja ditemukannya.Mirna berjanji, akan mencari rumah kontrakan yang bisa ditinggali bersama ayahnya. Tapi dia kan harus menabung dulu. 

"Rumah yang kalian tinggali itu sebenarnya rumah siapa?" tiba2 Adhit menyela.

"Kami hanya menyewa.. dibayar ibu tiap bulan."

"Oh, kirain milik ibu kamu."

"Bukan pak, mana ibu punya uang untuk membeli rumah?"

"Ya sudah, siapa tau nanti kamu bisa beli rumah sendiri?"

"Banyak rumah dijual dengan cicilan, barangkali kamu ingin tinggal bersama bapak kamu," sela Ayud.

"Nanti Mirna pikirkan bu."

"Katakan saja barangkali kami bisa membantu," sambung Adhit.

Mirna mengangkat kepalanya, memandangi wajah tampak yang dikaguminya itu, yang menatapnya dengan pandangan tulus.

Ah, alangkah baik hatinya, pikir Mirna yang kemudian menundukkan muka, untuk meredam gejolak hatinya yang me luap-luap. Tapi kemudian Mirna berusaha meredamnya. Wajak si cantik Dinda melintas, mereka begitu dekat dan mesra. Aduuh.. mengingat gadis itu cemburunya masih saja mengganggu.

"Terimakasih pak, akhirnya hanya itu yang biesa terucap dari bibirnya.

***

"Mas, tolong carikan rumah kost yang dekat kampus dong," kata Dinda [ada suatu malam dirumah bu Marsih.

"Kamu mau kost dekat kampus?" tanya Raka heran.

"Aku selalu lupa bilang, eyang Broto itu selalu menyarankan Dinda untuk kost saja didekat kampus."

"Tuh kan, simbah bilang apa, mereka itu keluarga terpandang, mana mau repot-repot mengurus orang seperti kita."

"Lho, simbah jangan begitu, eyang itu bilang begitu karena kasihan pada Dinda, kalau kuliah kejauhan.. pasti capek."

"Bukan karena hal lain?" tanya Raka.

"Hal lain apa, mereka baik semua sama Dinda, apalagi mas Adhit.

Tiba-tiba Raka teringat sebuah percakapan ketika di Jakarta, diantara ayah ibunya dan keluarga Galang, ketika membicarakan kemungkinan menjodohkan Adhit dan Dinda, tapi kemudian Galang menolaknya keras. Memang sih, alasannya tepat, karena sedang memikirkan bakal pernikahan dirinya dan Ayud, tapi Raka juga menangkap ke tidak senangan Galang pada pembicaraan yang setengah bercanda itu. Apakah ada hubungannya dengan permintaan bu Broto? Mereka tidak suka punya menantu Dinda? Lalu ingin menjauhkan Dinda dari Adhit?

"Gimana mas, bisa nggak?"

"Ya bisa lah, nanti mas akan tanyakan."

"Kalau sudah dapat Dinda akan segera pindah saja, karena di awal sebelum kuliah kan banyak kegiatan. Memang benar sih, pasti nanti Dinda akan capek."

 "Nggak berat pindah dari keluarga yang menyayangi kamu?"

"Berat sih, tapi kalau liburan kan aku bisa main kesana.."

"Bagaimana sikap mas Adhit sama kamu?"

"Mas Adhit? Aduuh... dia itu kadang-kadang aneh."

"Aneh bagaimana?"

"Sukanya manjain Dinda gitu, trus bicara yang aneh-aneh, tapi dia baik... besok ya mas, kalau Dinda punya pacar, Dinda harus dapat yang seperti mas Adhit. Ganteng, baik hati.."

"Idiiih... sekolah dulu ajaah...jangan mikir pacaraan..." celetuk bu Marsih yang mendengar pembicaraan cucu-cucunya.

 Raka tertawa tapi diam-diam dia ingat celetukan Ayud, bahwa Adhit suka sama Dinda. Ah, entahlah, Raka percaya bahwa jodoh itu sudah ditentukan dasi sananya.

"Jangan dengarkan Dinda mbah, dia itu kan sukanya ngomong yang enggak-enggak.anggap saja burung yang lagi ngoceh."

"Iih.. jahat deh."

"Ya sudah sana tidur, besok katanya mau ke kampus pagi-pagi."

"Ayuk mbah, kan aku tidurnya sama simbah, nanti sambil didongengin ya mbah," rengek Dinda manja.

"Kalau anak kecil dongengnya gampang, kalau anak segede kamu, didongengin juga pasti nggak akan tertark."

"Pokoknya ndongeng aja mbah, Dinda suka dengerinnya kok."

"Ya sudah sana, ini bukan waktunya ngoceh."

***

"Mirna, bulan depan bu Ayud mau menikah," kata Adhit pada siang itu di kantornya.

"Oh, ya pak.. Mirna sudah mendengarnya," kata Mirna sambil menunduk. Selalu begitu kalau Adhit mengajaknya bicara. Takut ada getaran-getaran yang mengganggunya. Habis matanya itu, seperti mata elang yang galak tapi menghanyutkan. Aduh.. 

"Kamu mau kan bantuin diacara itu nanti?"

"Pasti pak, kalau Mirna disuruh pasti Mirna akan mau. Apa menikahnya di Solo?"

"Eyang ingin cucunya menikah di Solo, kan kami semua ini asalnya dari Solo. Eh bukan, bapakku dari Semarang," kata Adhit sambil tersenyum.

Lagi-lagi Mirna harus membuang muka, karena senyumnya itu.

"Oh ya, siang ini mau menemani aku makan? Dulu itu belum jadi karena kamu ada perlu."

"Bu Ayud..?" tanya Mirna menahan perasaan gembiranya mendengar ajakan itu.

"Biasa lah, akhir-akhir ini kan Ayud lebih suka kencam makan siang sama calon suaminya."

Mirna harus segera meng iyakannya, khawatir nanti bos gantengnya keburu pulang untuk makan bersama Dinda.

Tiba-tiba ponsel Mirna berdering.

Nomor itu tak dikenalnya, ia ingin mengacuhkannya, tapi khawatir barangkali ada yang penting, entah dari siapa.

"Selamat siang," sapanya ragu-ragu.

"Mirna, ini aku Aji, sedang menunggu didepan kantor kamu," kata suara dari seberang yang sangat mengejutkannya.

"Ada apa ya?"

"Aku akan mengajakmu makan siang,"

Hati Mirna berdebar. Kan bos gantengnya sudah akan mengajaknya makan bersama? Ia harus menolaknya, lalu dicarinya sebuah alasan.

"Hallo Mirna, " suara Aji mendesak.

"Ya.. tapi..."

"Ini aku bersama pak Kadir, aku nyamperin tadi kerumahnya."

"Aduuhhh..." keluh Mirna dalam hati. 

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saturday, October 26, 2019

DALAM BENING MATAMU 33

DALAM BENING MATAMU  33

(Tien Kumalasari)


Adhit sudah sampai dipinggir jalan, ia melihat kesana kemari, namun orang yang ditunjuk Dinda tak lagi kelihatan. Memang tadi ada perempuan bercadar yang berjalan kearah selatan, bajunya biru gelap, demikian juga cadarnya, tapi mengapa bisa sangat cepat hilangnya? 

Adhit masih melongok kesana dan kemari, barangkali perempuan itu bersembunyi dibalik pohon atau ada dibelakang mobil yang berderet disana.

"Mencari siapa pak?" seorang tukang parkir bertanya ketika melihat Adhit dan Dinda tampak men cari-cari.

"Tadi saya melihat seorang perempuan, baju biru gelap, pakai cadar lewat kearah selatan, kok tiba-tiba menghilang ya?"

"O, perempuan itu? Tadi langsung naik becak pak," jawab tukang parkir itu.

"Naik becak? Kearah mana?"

"Kesana pak, baru saja, sebelum bapak keluar tadi."

"Dinda,.. ayo cepat," Adhit menarik Dind menuju ke mobil,  lalu keluar dari area parkir itu, tapi sayang sekali jalanan itu satu arah. Adhit menelpon polisi . Kemudian ia mengendarai mobilnya, mencari tikungan yang bisa menembus kearah jalan yang arahnya disebelah selatan rumah makan tadi.

"Jadi deg-deg an aku."

"Benarkah ia perempuan yang merebut ponselmu?"

"Aku ingat tas yang dibawanya, persis yang dibawa perempuan itu ketika ia minta aku mengantarnya masuk ke gang. Jalannya juga agak miring-miring kekiri gitu. Kalau wajahnya sih aku nggak tau. Habis tertutup cadarnya terus."

"Ini sudah sampai disebelah selatannya rumah makan itu, kemana ya becak itu membawanya? Coba kamu tengok setiap becak yang kita lampaui Din.."

"Udah nih, aku udah me longok-longok terus."

"Dia itu apa punya ajian belut putih ya?" gumam Adhit.

"Apa tuh?"

"Ajian yang bisa membuat dia menghilang, susah ditangkap."

"Oh ya, aku mau ah.. punya ajian seperi itu."

"Waaah, jangan... nanti kalau aku pengin nangkap kamu jadi susah.."

"Memangnya mas Adhit mau nangkap aku? Aku ini kan bukan kupu-kupu.. bukan kelinci.. bukan... apa lagi ya....."

"Bukan.. kamu bukan semua itu, kamu adalah bidadari kecil yang nakal."

"Haaa.... aku suka dibilang bidadari, kan bidadar itu cantik, tapi aku nggak mau dibilang nakal. Masa aku nakal sih?" Dinda cemberut, mulut kecilnya yang manyung justru membuat Adhit bertambah gemas. Dengan tangan kiringa ia mencubit pipi Dinda.

"Auuw.. Iih, mas Adhit genit.. " teriak Dinda.

Telephone Dinda berdering, Dinda mengangkatnya sambil tertawa. Mas Raka nih, pasti dia marah-marah.

"Hallo mas," jawabnya nyaring.

"Dinda, kalian itu dimana? Kata mas Adhit di mal,. mal mana?"

Dinda tertawa.

"Mas Adhit nggak mau kasih tau supaya nggak nggangguin mas Raka sama mbak Ayud.

"Ya ampuun...kalian memang pasangan orang nakal ya. Ini aku sama Ayud mau ke rumah simbah, buruan kesana."

"Nanti dulu mas, nih lagi jadi ditektif."

"Ditektif apa?"

"Itu, ketemu orang yang dulu ngrampas ponselku, tapi ilang.."

"Nggak ketemu...?"

"Udah dilaporin ke polisi juga, nggak tau .. ini aku sama mas Adhit lagi nyari, tapi kayaknya nggak berhasil deh, kata mas Adhit dia tuh punya ajian belut putih."

"Kamu itu ada-ada saja, ya sudah ke rumah simbah ya."

Dinda masih ter senyum-senyum ketika menutup ponselnya.

"Marah kakak kamu?"

"Nggak, mana bisa mas Raka marah sama Dinda. Tapi dia kerumah simbah, mas Adhit mau ya nganterin Dinda kerumah simbah?"

"Baiklah, kita kesana sekarang."

***

Sepulang dari kantor Mirna langsung kerumah kontrakan ayahnya. Dilihatnya sang ayah sudah mandi dan rapi. Mirn tersenyum lalu mencium tangannya.

"Bapak kelihatan segar dan lebih muda."

Kadir tertawa.

"Itu karena kamu sudah membuang semua baju butut bapak, dan menggantikannya dengan baju-baju bagus."

"Iya pak, habis baju-baju sudah bulukan gitu masih bapak pakai juga."

"Kalau bapak jadi bersih itu ya buat siapa nduk, orang cuma hidup sendiri,"

"Sekarang bapak kan tidak sendiri, ada Mirna yang akan selalu memperhatikan bapak."

 "Iya benar, bapak merasa hidup lagi sekarang."

"Ayo kita jalan-jalan pak."

"Sekarang?"

"Ya sekarang, nanti kita belu keperluan bapak lagi, atau makan mie kesukaan bapak dulu."

"Hahaaa... kamu masih ingat nduk?"

"Dulu kan kalau bapak pas punya uang , pasti ngajak Mirna dan ibu Widi makan mie diwarung dekat rumah."

"Iya benar."

"Ayo berangkat sekarang.Hari sudah mulai gelap."

Tapi ketika Kadir dan Mirna sedang menunggu taksi on line yang dipesan Mirna, sebuah mobil berhenti didepan mereka. Kadir menarik Mirna agar sedikit mundur karena mobil itu berhenti terlalu minggir.

"Itu taksi yang kamu pesan?" tanya Kadir.

Tapi seseorang turun dari mobil itu, dan Kadir serta Mirna terkejut.

"Selamat sore pak, sore Mirna.." sapanya ramah.

"Ini kan... nak.. Aji.. ya?"

"Ya pak,  bapak sama Mirna mau kemana?"

"Mirna ngajak bapak jalan-jalan. Kok nak Aji sampai disini juga?"

"Saya memang mencari alamat pak Kadir, syukurlah ketemu."

"Oh ya, ada perlu kah?"

"Nggak pak, hanya ingin tau keadaan pak Kadir, sudah lebih sehat rupanya?"

"Ini atas budi baik nak Aji, jadi bapak cepat sehatnya."

"Alhamdulillah apk, saya ikut senang."

Tiba-tiba taksi yang mereka pesan sudah datang.

"Ini taksi kita pak."

"Nak Aji, bagaimana ini, bapak sudah mau pergi, taksinya sudah datang."

"Nggak apa-apa pak, lain kali saya akan kemari lagi, silahkan kalau mau pergi."

"Terimakasih nak, ayo Mirna."

"Ma'af mas, kami pergi dulu.."

Dan ketika taksi online itu meluncur, mobil Aji mengikuti dibelakangnya.

***

"Menurut Mirna, mas Aji itu terlalu baik," kata Mirna ketika sudah berada didalam taksi.

"Ya, bapak juga berfikir begitu, dia memperhatikan kesehatan bapak, sampai setelah pulang pun dia masih juga menanyakan keadaan bapak."

"Biasanya kalau sudah merasa membayar atau mengganti biaya perawatan, ya sudah, kan merasa sudah memenuhi kewajibannya."

"Benar. Jangan-jangan dia suka sama kamu."

"Ah, bapak ada-ada saja. Menurut Mirna dia itu sudah punya isteri. Masa umur segitu, kaya, cakep, belum juga punya isteri."

Dan tiba-tiba Mirna teringat kepada bos gantengnya. Bukankah Adhit itu juga sudah berumur, sukses, ganteng, tapi belum juga punya isteri? Tapi mengapa ya, si bos ganteng itu bisa menggetarkan hatinya, sedangnya si penolong ganteng ini menurutnya biasa-biasa saja?

"Tapi sepertinya kamu juga memikirkannya," pancing pak Kadir.

"Ah, bapak ini ada-ada saja. Nggak lah pak, biasa saja..."

"Iya nduk, kamu kan hanya anak mandor bangunan, mana pantas memimpikan menjadi isteri seorang pengusaha."

"Eeh, bapak jangan begitu. Mengapa jadi merendahkan diri sendiri? Jadi buruh, jad mandur, jadi oengusaha itu kan hanya karena memang sudah digariskan jadi begitu. Aku bangga jadi anak bapak, dan tak akan merasa rendah diri."

Kadir mengangguk, tapi orang tua mana yang tak ingin anaknya hidup mulia?

Ketika mereka makan disebuah warung mie setelah belanja semua keperluan mereka, Kadir merasa sangat bahagia. Waktu itu Mirna masih kecil,sepiring mie juga nggak habis dimakan sendirian, Kadirlah yang menghabiskannya. Tapi mereka sama-sama suka makan mie.

"Apa kamu tau dimana ibumu sekarang?" tanya Kadir tiba-tiba.

"Maksud bapak, ibu Widi? Nggak tau pak, karena jadi buron, mungkin juga bersembunyi disuatu tempat. Entahlah, sampai sekarang polisi belum berhasil menangkapnya.

Kadir menghela nafas.Dua orang wanita yang dicintainya sama-sama melukai hatinya. Yang satu lari bersama laki-laki lain, satunya menjadi cacat karena kemarahannya.

"Bapak nggak usah mengingat masa lalu. Bukankah bapak pernah bilang kalai sekarang ini bapak merasa bahwa hidup bapak baru dimulai?"

"Iya benar. "

Mereka menghabiskan waktu malam itu di warung mie.

Hari sudah malam, dan Kadir memaksa mengantarkan Mirna pulang ke tempat kost nya, sementara dia akan pulang sendiri. Tapi lagi-lagi sebuah mobil berhenti didekat mereka. Kali itu mereka belum sempat memanggil taksi.

"Nak Aji ?" kata Kadir tertahan.

Aji turun dari mobil, menghampiri mereka berdua. 

"Sudah selesai belanja dan makannya?

Kadir dan Mirna heran, Aji bisa tau apa yang mereka lakukan. 

"Saya kebetulan melihat bapak sama Mirna belanja, dan kebetulan juga melihat kalian makan di warung mie itu. Ingin ikut masuk, tapi takut mengganggu.

"Sebetulnya ya nggak apa-apa nak."

"Sekarang mau pulang?"

"Saya mau mengantar Mirna dulu ke tempat kostnya, mari nak," kata Kadir lalu menarik tangan Mirna.

"Biar saya antar saja pak."

"Jangan nak, aduuh, kami itu sudah banyak merepotkan nak Aji."

"Nggak apa-apa, biarkan saya mengantar Mirna lebih dulu, baru bapak."

Tapi tiba-tiba Mirna berteriak.

"Itu ibu Widi !!"

Seorang wanita yang kebetulan lewat menoleh, lalu tiba-tiba berlari dan langsung menyeberang jalan. Rem mobil berderit keras, dan sebuah jeritan ngeri terdengar.

***

besok lagi ya

Friday, October 25, 2019

DALAM BENING MATAMU 32

DALAM BENING MATAMU  32

(Tien Kumalasari)

Suasana menjadi kaku, semuanya tak mengerti penyebabnya, kecuali Galang dan Putri, yang bingung menghadapi tamu2nya, yang tampak tersinggung.

"Begini Jo, jangan salah faham, ini bukan masalah pantas atau tidak pantas, kita kan sudah menjadi keluarga sejak sebelum kita berkeluarga? Jadi tak ada yang tak pantas diantara kita. Cuma, ini pembicaraan tentang Raka dan Ayud, jadi marilah kita bicara tentang anak-anak ini dulu."

"Saya tau mas, tapi kan kami kan hanya bercanda, ya bercanda tapi juga ada harapan dalam canda itu, lhah aku lihat kok mas Galang menangkapnya serius amat." kata Raharjo.

Galang mencoba mencairkan suasana itu dengan tertawa.

"Jo, mungkin kelihatannya begitu, baiklah, aku minta ma'af, anakku kan perempuan, jadi agak gugup juga ketika ada yang melamarnya. Maklum, belum pernah dilamar, dulu kan aku melamar, bukan dilamar?" kata Galang mencoba bercanda.

Beruntung candaan itu agak mengena, dan membuat masing-masing tersenyum, bahkan ikut tertawa. Walau sesungguhnya ada juga ganjalan dihati Raharjo, sejak ketika dia menelpon Galang kemarin sorenya. Ada nada penolakan keras ketika dia bicara so'al Adhit dan Dinda. 

Namun suasana itu segera mencair ketika Raka dan Ayud mengajak mereka jalan-jalan, makan diluar dan mengunjungi tempat-tempat yang dulu pernah menjadi kenangan mereka bersama sebelum berpisah.

***

"Mas, rasanya kita tidak boleh begini terus menerus," kata Putri ketika tamu-tamunya sudah kembali ke Medan keesokan harinya, dan Raka serta Ayud juga sudah kembali ke Solo.

"Maksudmu?"

"Keadaan ini sungguh menyiksa aku mas, rahasia ini tidak bisa selamanya kita pendam. Nggak kuat aku mas," kata Putri nyaris terisak.

Galang segera memeluk isterinya.

"Tenanglah Putri, itu bisa kita pikirkan nanti, yang penting kan kita akan menikahkan Ayud lebih dulu. Setelah itu baru kita pikirkan bagaimana sebaiknya."

"Benar mas, tapi jangan lagi menyembunyikan rahasia ini."

"Maksudmu kita akan membukanya? Berterus terang bahwa Adhit bukan anakku?" sahut Galang pilu.

"Tadinya kita ingin begitu mas, tapi Tuhan pasti berkehendak lain. Hal itu tidak selamanya bisa menjadi rahasia. Terbukti Adhit jatuh cinta pada adiknya sendiri. Itu kehendak Yang Maha Kuasa agar kita tidak selamanya menyimpan rahasia."

"Apa kamu siap menerma ini semua?"

"Siap atau tidak, ini adalah dosaku mas, aku akan memikulnya," lalu meledaklah tangisnya, dan Galang semakin erat memeluknya.

"Baiklah, tapi seperti kataku tadi, kita selesaikan dulu pernikahan Raka dan Ayud, nanti kita bicarakan lagi bagaimana caranya."

"Terimakasih mas Galang selalu bisa mengerti aku, mencintai aku dengan segala kekuranganku, dosaku, cacatku, aibku...."

"Stop Putri, hentikan, kamu tidak boleh berkata begitu lagi. Kamu adalah isteriku yang aku sayangi, aku banggakan dan tak ada cacat celanya bagiku. Kamu isteriku yang sempurna, tak akan berubah selamanya."

"Terimakasih mas.." dan tangis itu semakin tak terbendung, dan Galang semakin mendekapnya erat. Alangkah indah hidup ini.

***

Hari itu Dinda tampak sangat gembira. ia diterima disebuah universitas favorit di kota Solo. Ia merangkul bu Broto yang lebih dulu ditemuinya, yang disambut dengan ciuman manis oleh bu Broto. Kamudian dia menelpon Raka, neneknya dan juga Ayud serta Adhit. Semuanya menerima berita itu dengan gembira.

Siang itu bu Broto hanya makan berdua dengan Dinda. Dinda makan dengan sangat lahap, dan merasa bahwa ini adalah makan siangnya yang paling enak.

"Eyang, Dinda boleh nambah lagi kan? Ini enak sekali, sungguh eyang," katanya sambil menyendok lagi nasi dan sayur, tanpa menunggu jawaban bu Broto. Bu Broto  tersenyum dan mengangguk angguk.

"Habiskan saja, eyang suka kalau kamu mau makan banyak."

"Bener eyang?"

"Bener, ayo nambah lagi.."

"Ah, eang bener eyang, mana muat perut Dinda kalau harus nambah lagi. Tapi bener lho, hari ini Dinda pengin makan banyak."

"Itu karena hati kamu lagi seneng."

"Iya eyang, mungkin bener kata eyang."

"Dinda, dulu kan eyang pernah bilang.."

"So'al apa eyang?" tanya Dinda sambil menyendok lagi nasinya."

"Kalau kamu kuliah, kan jauh tuh tempatnya dari sini. Nah, eyang usul.. apa nggak sebaiknya kamu kost saja ditempat yang dekat dengan kuliah kamu."

"Oh, iya eyang, Dinda masih ingat."

"Kamu jangan salah terima, bukannya eyang nggak suka kalau kamu tinggal disini, tapi eyang tuh kasihan, gadis mungil seperti kamu, kulahnya jauh, pasti capek. Ya kan?"

"Iya eyang, nanti Dinda mau bilang sama mas  Raka supaya mencarikan tempat kost yang dekat dengan tempat kulian Dinda."

"Tapi sekali lagi, kamu nggak boleh salah terima lho Dinda, eyang katakan ini karena eyang sayang sama Dinda."

"Iya eyang, Dinda tau."

"Ya sudah, ayo nambah lagi makannya."

"Sudah ah, kali ini perut Dinda sudah nggak muat lagi nih," kata Dinda sambil menutup sendok garpunya, lalu minum segelas air.

"Oh ya eyang, nanti sepulang mengajar, mas Raka mau menjemput Dinda kemari, sekalian Dinda mau ke rumah simbah ya."

"Oh ya, baiklah.. jam berapa Raka selesai mengajar?"

"Nggak tau eyang, mungkin sebentar lagi. Dinda bersihkan dulu meja makannya ya eyang, " kata Dinda sambil berdiri, lali membantu membersihkan meja maan, dengan membawa piring-piring kotor kebelakang.

Bu Broto menghela nafas panjang.

"Dinda gadis yang baik, seandainya tak ada ikatan darah diantara mereka, aku pasti suka punya cucu menantu seperti dia. Ya Tuhan, mengapa jadi begini." keluh bu Broto dalam hati. Ia segera berdiri ketika yu Supi mengambil sisa makanan diatas meja untuk dibawa kebelakang juga.

***

"Bagaimana keadaan bapak kamu, Mirna?" tanya Adhit ketika siang itu selesai makan siang bersama Ayud.

"Sudah pulang ke rumah pak, maksud saya, kerumah pondokannya."

"Oh, syukurlah, penabrak itu bertanggung jawab bukan?"

"Ya pak, dia membayar semua beaya pengobatan dirumah sakit, bahkan memberi uang juga untuk bapak.

"Syukurlah kalau dia bertanggung jawab. Tapi dia belum mulai lagi bekerja kan?"

"Belum pak, biar istirahat dulu beberapa hari."

"Kamu benar, seorang mandor bangunan itu pekerjaannya berat. Memang tidak mengusung pasir atau bata atau semen.. tapi dia bertanggung jawab atas semuanya."

"Sebetulnya saya sudah melarang bapak bekerja lagi, tapi bapak memaksa."

"Biasanya seorang tua susah dilarang berhenti bekerja. Biarkan saja semampu dia."

"Ya pak."

Tiba-tiba pembicaraan berhenti karena Dinda nyelonong masuk, dan langsung menggelendot dibahu Adhit. Mirna membuang muka, ada rasa tak suka melihat sikap Dinda kepada bos gantengnya. Tapi dilihatnya Adhit menyambutnya dengan wajah berseri.

"Kok tiba-tiba kamu sampai kemari?"

"Aku sama mas Raka, tapi dia sedanag ketemu mbak Ayud, ya sudah, aku kemari saja."

"Mm.. gitu ya, mau kemana kalian? Jangan bilang kamu mau minta hadish ke kakak kamu karena kamu diterima kuliah disana."

"O, enggak lah, aku mau minta hadishnya sama mas Adhit." kata Dinda seenaknya. Ia kemudian duduk dihadapan Adhit, dan memegang tangan Adhit seenaknya. Membuat hati Adhit kebat kebit tak menentu. 

"Iya atau nggak? Eh.. dikasih atau enggak?" lanjut Dinda.

"Memangnya kamu mau minta hadish apa?" tanya Adhit sambil mengacak acak rambut Dinda.

"Apa saja boleh?"

Adhit mengangguk.

"Mm.. apa ya? Kalau begitu kita pergi saja yuk, nanti Dinda mau memilih apa yang Dinda inginkan."

"Aku tau apa yang kamu mau."

"Apa?"

"Paling es krim."

"Haaa.. iya... es krim.. sama sesuatu deh, ayo mas..bisa keliar nggak, biarin kita tinggalkan mas Raka sama mbak Ayud."

Dinda mengelus rambutnya yang acak-acakan, lalu berdiri dan menarik Adhit keluar ruangan itu. Hari sudah menjelang sore, sebentar lagi kantor tutup.

"Mirna, aku langsung pulang ya."

Karena gembiranya Dinda lupa berpamit pada Mirna, padahal sudah saling kenal.

"Selamat sore pak," sambut Mirna dengan wajah kecut. Bagaimanapun sikap Dinda dan Adhit membuat dadanya panas. 

"Iih.. kolokan amat..." gumamnya sambil membenahi barang-barangnya.

Tiba-tiba Ayud masuk bersama Raka, yang kemudian celingukan karena yang dicari nggak kelihatan.

"Mana dia?" tanya Ayud.

"Pak Adhit sudah pulang bersamaa....dik Dinda.." jawab Mirn.

"Ya ampun Ka.. lihat kelakuan adik kamu, malah dia kabur bersama mas Adhit."

"Ya sudah kita susul saja dia, coba kamu telephone mereka kemana," kata Raka.

"Bener-bener deh..." keluh Ayud yang kemudian memutar nomor telephone kakaknya.

***

Sore itu disebuah rumah makan, Dinda dan Adhit sedang menikmati is krim dengan riangnya. Dinda tertawa-tawa ketika Adhit tak mau mengatakan dimana dia sedang berada, ketika Ayud menelponnya.

"Mas Adhit jahat, kenapa mas Adhit bilang kita ke mal? Kan kita cuma makan es krim disini?"

"Biar saja mereka men cari-cari, supaya mereka nggak mengganggu kita," jawab Adhit enteng.

"Memangnya kalau ada mereka kita akan terganggu? Huh, kayak kita ini orang yang lagi pacaran saja," kata Dinda sambil menjilat jilat es krim dari sendoknya.

"Memangnya kita tidak pacaran?"

"Wuaaaa... masa aku pacaran sama orang tua?"

"Haaah? Apa kamu bilang? Aku orang tua?"

Dinda ter tawa-tawa senang merasa bisa membuat jengkel Adhit. Ia terus menjilati es krim dari sendoknya dan it membuat Adhit semakin gemas.

"Iya kan jauh lebih tua dari pada aku?"

"Nggak boleh ya?"

"Nggak boleh," jawab Dinda sekenanya.

"Emang kenapa? Apa aku kurang ganteng?"

"Bukan, aku tuh besok kalau punya pacar.. pengin yang gantengnya kayak mas Adhit.."

"Kok nggak pilih mas Adhit saja?"

"Hm... diam lah mas, aku lagi menikmati es krim nih... "

Tapi tiba-tiba pandangan Dinda mengarah kearah jalan dan matanya terbelalak.

"Mas... itu,, itu..." tangan Dinda menunjuk nunjuk kearah jalan.

"Itu apa?" tanya Adhit sambil matanya juga menatap kearah jalan. 

"Itu... yang membawa lari ponsel Dinda.." teriak Dinda, yang kemudian membuat Adhit berdiri dan berlari kearah jalan.

***

besok lagi ya


Thursday, October 24, 2019

DALAM BENING MATAMU 31

DALAM BENING MATAMU  31

(Tien Kumalasari)

 

Raharjo terkejut mendengar teriakan Galang. Ini tidak sewajarnya. Sebuah penolakan keras yang tak akan boleh diganggu gugat. Sesa'at Raharjo tak bisa ber kata-kata. Tapi pembicaraan itu belum terputus.

"Mas, ada apa mas? Kenapa berteriak?" tanya Raharjo bingung.

Galang menyadari keterkejutannya dengan teriak yang pastilah terasa tidak wajar. Ia menghembuskan nafas setelah menariknya dalam-dalam.

"Ma'af Jo.."

"Ada apa mas ?"

"Aku... aku terkejut saja... ma'af ya."

"Apa usulku berlebihan? Dan itu membuat mas Galang agak... mm.. marah kah?" tanya Raharjo hati-hati.

"Tidak, bukan begitu.. aduuh.. kenapa juga aku ini. Baiklah, kita selesaikan satu persatu saja dulu ya Jo, so'al Raka dan Dinda. Oh ya, besok datang pagi bukan?"

Galang mencoba menyembunyikan ke gelisahannya, tapi tak urung hal itu membuat perasaan aneh di hati Raharjo. 

"Aku berusaha datang pagi, nggak tau anak-anak akan datang jam berapa," jawab Raharjo kemudian.

"Baiklah, aku tunggu ya Jo."

Galang menutup pembicaraan itu dengan perasaan tak menentu. Ia terkejut ketika Raharjo mengusulkan perjodohan untuk anak-anak mereka. Raharjo tidak tau apa-apa, Raharjo tak akan pernah menyadari siapa sebenarnya Adhit.

"Ada apa mas?" tanya Putri yang sedari tadi mendengarkan Galang berbicara dengan Raharjo.

"Nggak ada, besok mereka akan datang, mungkin kalau bisa pesawat terpagi."

"Tapi mas Galang kok kelihatan aneh?"

Galang tersenyum, ia tak ingin membebani perasaan isterinya dengan usulan Raharjo yang mengejutkan. 

"Aneh bagaimana? Perasaan aku biasa-biasa saja."

"Tadi mas pakai berteriak .." Putri masih curiga.

"Aaah,, biasa, Raharjo kan suka bercanda, sudah jangan pikirkan. Minta simbok menata kamar buat tamu-tamu kita nanti."

Putri hanya mengangguk, tapi yang didengarnya tadi bukan candaan. Ah, entahlah, kalau suaminya berkata tidak apa-apa, sebaiknya dia juga merasa bahwa tidak ada apa-apa.

***

Pagi itu Adhit sudah bersiap-siap berangkat mengantar Ayud ke airport, tapi ia harus menjemput Raka terlebih dulu. Raka sudah melarangnya dan bersedia datang untuk berangkat bersama tapi Adhit memaksa untuk menjemputnya. Ketika Ayud sudah siap, Dinda ber lari-lari mendekat.

"Aku ikuuut..." teriaknya.

"Hm... kenapa nggak dari tadi? Buruan ganti baju.."

"Nggak usah, ini bagus kan?"

Dinda memutar badannya bak seorang peragawati, dengan hot pant sebatas paha bahan jean berdan kaos berlengan pendek berwarna biru muda, Dinda merasa sudah pantas dan tentu saja cantik/

Adhit tersenyum,  menurutnya dengan pakaian apapun Dinda tampak cantik dan menawan. Senang dong kalau Dinda ikut, nanti pulangnya bisa berduaan, mungkin mengajaknya makan es krim, atau apalah yang bisa membuat mereka senang.

Tapi tiba-tiba bu Broto ikut menimpali.

"Aku juga mau ikut lho..." katanya, sudah dengan baju bagus dan tas kecil ditenteng ditangan kirinya.

Ayud tertawa, dan Adhit kehilangan senyumnya.

"Adduh, jadi rame nih... ayo mas berangkat."

"Aku duduk sama eyang dibelakang," kata Dinda yang sudah lebih dulu melompat naik keatas mobil. Sungguh ia tak punya perasaan apapun, dan sikap bu Broto juga sama sekali tak mempengaruhi sikapnya.

"Nanti pulangnya sekalian mau belanja, kamu harus bantuin eyang ya," pesan bu Broto sambil naik dan duduk disamping Dinda. Adhit merasa, bahwa neneknya menghalangi Dinda berduaan dengannya. Ya Tuhan, ada apa ini? keluhnya dalam hati, sambil menjalankan mobilnya perlahan.

***

Hari itu Mirna membezoek ayahnya. Ia merasa lega karena ayahnya sudah tampak lebih sehat. Mungkin satu dua hari lagi sudah boleh pulang. 

"Aku merasa lebih baik, sebenarnya ingin cepat-cepat pulang," kata Kadir pada Mirna.

"Iya pak, kalau bapak sudah baik juga pasti sudah boleh pulang. "

"Aku khawatir kalau terlalu lama disini, maka beaya perawatan akan semakin membengkak."

"Bapak nggak usah khawatir, oang yang menabrak sudah menitipkan sejumlah uang, dan kalau kurang, pihak rumah sakit akan menghubungi dia."

"Tapi kasihan juga, ini bukan sepenuhnya kesalahannya, aku yang menyeberang tanpa melihat jalan. Kapan ya aku bisa bertemu dia, kata Sukir ketika aku belum sadar dia beberapa kali menjenguk. Tapi ini sudah dua minggu dan aku belum pernah bertemu dia. Siapa namanya dia Mirna?"

"Kok Mirna juga lupa pak, dulu KTP juga diserahkan ke Mirna, Mirna membaca sekilas tapi lupa, dan KTP itu sudah Mirna serahkan ke pak Sukir. Nanti kalau ketemu pak Sukir Mirna akan tanyakan."

Tiba-tiba seseorang masuk kedalam ruangan itu. Seorang laki-laki bertubuh sedang, tapi berwajah bersih dan menawan,mengenakan pakaian santai, T shirt agak ketat yang membuat dadanya tampak tegap. Laki-laki itu mendekat, tapi Mirna kemudian ingat, dialah laki-laki yang telah menabrak ayahnya. Laki-laki itu mengulurkan tangannya.

"Hallo, lupa sama saya?" sapanya.

"Oh, nggak mas.. ingat kok, jawab Mirn sambil tersipu, karena laki-laki itu memandangnya sangat lekat.

"Bapak, saya Adji, yang telah membuat bapak dirawat disini."

"Oh, nak.. baru saja bapak bicara sama anak bapak ini, bahwa bapak ingin sekali bertemu dengan nak... siapa... "

"Adji Sasangka pak."

"Nah, nak Adji, saya sudah menyusahkan nak Adji."

"Oh, nggak pak, saya yang menyusahkan bapak, saya minta ma'af ya pak." kata Adji sambil me nepuk-nepuk tangan pak Kadir.

"Nggak apa-apa, bapak yang salah."

"Bagaimana keadaan bapak?"

"Sudah sangat baik, saya justru ingin segera pulang nak."

"Tadi saya sudah bicara sama dokter, besok bapak boleh pulang."

"Ah, syukurlah nak.. "

"Semua beaya perawatan sudah saya selesaikan semua, sampai besok pak, jadi bapak nggak usah memikirkannya." 

"Terimakasih banyak nak. Oh ya, ini anak saya, Mirna." kata Kadir memperkenalkan anaknya.

"Lho, mbak ini anaknya bapak? Tapi ketika kecelakaan itu terjadi, sepertinya nggak kenal sama bapak."

"Inilah keajaiban yang sudah ditunjukkan Tuhan kepada saya nak. Dengan tidak di sangka-sangka, dalam kecelakaan itu aku ditolong oleh seorang gadis yang ternyata anak saya sendiri, yang sudah limabelas atau enam belasan tahun tidak ketemu."

"Oh, Sungguh Tuhan Maha Besar... "

"Kalau nanti ada kesempatan, bapak akan ceritakan semuanya."

Adji mengangguk angguk, dengan sesekali melirik kearah Mirna. Ada perasaan suka tiba-tiba, entah mengapa.

Mereka berbincang sangat akrab, karena Adji memang ramah dan sangat perhatian kepada orang yang pernah ditabraknya. Ia bersyukur pak Kadir dan anaknya tidak menuntut dan membawa peristiwa kecelakaan itu ke pengadilan.Sebelum pergi Adji juga meninggalkan sebuah amplop berisi uang ditangan pak Kadir, yang ditolaknya keras-keras, tapi dipaksakannya juga.

***

Pak Kadir terharu, ketika memasuki kamar di tempat pondokannya, ia melihat semua tampak rapi, bersih dan wangi. Mirna juga membuang semua baju butut pak Kadir dan membelikannya yang baru dan pantas. Ada bahan-bahan makanan kering yang ditumpuk diatas meja, untuk keperluan makan dan minum pak Kadir ketika sedang dirumah. Ada kompor gas, alat-alat masak sederhana yang diletakkannya disudut kamar. Hanya ada satu ruangan, jadi semuanya tertata disana.

"Lain kali bapak harus cari tempat pondokan yang lebih baik, bukan yang hanya sepetak seperti ini," kata Mirna sambil membuatkan minuman untuk bapaknya.

"Ya, itu gampang, tidak harus dipikirkan sekarang. Bapak senang kamu membuat semuanya menjadi bersih dan rapi. Bapak tak pernah serapi ini. Semuanya berantakan.

"Setelah ini bapak harus lebih rapi. Ini obat-obat untuk bapak, saya letakkan dimeja, harus diminum sampai habis. Nanti sa'at harus kontrol, Mirna akan menjemput bapak dan mengantarkannya kerumah sakit."

 "Tapi tempat ini sama rumah kost kamu kan jauh nduk, biar saja bapak berangkat sendiri."

"Nggak apa-apa pak, ijinkan Mirna merawat bapak dihari tua bapak ini, supaya Mirna merasa bahwa Mirna punya keluarga. Nanti kalau uang Mirna cukup, Mirna akan mengontrak rumah untuk kita berdua."

Kadir memeluk anaknya dengan air mata ber-linang2. Alangkah bahagianya seseorang ketika mendekati hari tuanya ada anak yang merawatnya dengan sangat baik. Tadinya Kadir berfikir, akan sendirian seumur hidup, sampai akhir hayatnya, entah bagaimana nantinya. Tapi sekarang semuanya menjadi lain. Bahagia ini bukan hanya milik Kadir, tapi juga milik Mirna, anaknya.

***

Raharjo dan Retno sudah sampai di Jakarta, juga Raka dan Ayud. Bahagianya bisa bertemu orang tua masing-masing, tak terkirakan. Ayud menggelendot dibahu ibunya sejak kedatangannya, setelah menciumi simbok yang sudah semakin tua tapi masih tampak bersemangat.

Berlinang air mata simbok, ketika mendengar Ayud akan menikah. Dalam pengabdiannya kepada keluarga Subroto, hampir dua kali ia menikmati pernikahan momongannya. Dulu antara Putri dan Galangm sebentar lagi Ayud dan Raka. Mereka adalah bayi-bayi yang dulunya menjadi momongan simbok.

"Simbok sudah semakin tua," isak simbok.

"Nggak mbok, simbok masih kelihatan muda, sehat, semangat," peluk Ayud erat-erat.

"Semoga besok simbok masih bisa menggendong anaknya jeng Ayud, mas Adhit... mungkinkah ya jeng?"

"Ya mungkin saja mbok, do'akan agar cucumu ini segera punya momongan," kata Putri menimpali.

"Iih... ibu.. menikah saja belum, sudah didoakan punya momongan," sahut Putri sambil mencubit lengan ibunya.

"Mengapa Adhit tidak ikut serta kemari?" tanya Putri.

"Mas Adhit tidak bisa meninggalkan Dinda," celetuk Ayud sekenanya, maksudnya hanya bergurau, tapi kata-kata itu membuat pucat wajah Putri, dan juga Galang. Lebih-lebih ketika Raharjo dan Retno juga menimpali.

"Ya, betul tidak kataku mas, kita akan menjadi sebuah keluarga besar," kata Raharjo tanpa merasa bersalah.

"Bagus sekali, benarkah kita akan menjadi keluarga besar?" timpal Retno.

Aduhai, kedua tamunya tak mengerti, bahkan Ayud dan Raka juga tak mengerti, alangkah sulit menghindari suasana pelik seperti ini. Galang melihat Putri sudah berlinangan air mata.

"Lihat, Putri sampai terharu," teriak Retno tanpa dosa.

":Tidak.. tidak... begini.. Jangan berfikiran yang aneh-aneh dulu. Kita selesaikan satu per satu. Sekarang, bicara saja tentang Raka dan Ayud. Setuju?" kata Galang serius.

Raharjo dan Retno merasa aneh, melihat Galang tampak serius. Ia seperti tak menghendaki puterinya Dinda menjadi menantu keluarga ini. 

"Bagiklah mas, mungkin puteriku kurang pantas menjadi bagian dari keluarga ini," kata Raharjo, ada nada tersinggung disana,

***

besok lagi ya

 




















DALAM BENING MATAMU 30

DALAM BENING MATAMU  30

(Tien Kumalasari)

Mirna tercengang, semakin dekat ia melangkah kearah pembaringan Kadir, beberapa ingatan berkelebat.. benar ia merasa pernah mengenal lelaki ini, apalagi ketika mendengar suaranya, lalu menyebut namanya.

"Benarkah kamu Mirna?" serak suara Kadir ketika Mirna sudah berdiri disamping tempatnya berbaring.

"Bapak?" tiba-tiba ingatan itu menjadi jelas dikepalanya. Wajah itu, wajah bapaknya yang pergi setelah peristiwa tragis itu.

"Apa kamu anakku ?"

"Bapak, ini Mirna... bapak?" tiba-tiba saja Mirna menubruk kedada Kadir dan menangis tersedu disana. Sukir yang menyaksikan adegan itu merasa terharu. Jadi benar bahwa Kadir memang merasa bertemu dengan anaknya, dan Tuhan mengabulkan kerinduan yang tersimpan didada ayah dan anak itu. Kerinduan akan memiliki keluarga, kerinduan akan kasih sayang seorang darah daging.

"Lama sekali, baru bisa bertemu denganmu nak, bapak sangat rindu. Kamu sudah dewasa, dan cantik seperti ibumu. Karena wajahmu yang mirip itulah aku kemudian berusaha menemuimu. Dan itu benar, kamu adalah anakku," bisik Kadir pelan ditelinga Mirna.

Mirna bangkit, mengusap air matanya yang bercucuran. Tak disangka laki-laki setengah tua yang ditolongnya, diselamatkannya nyawanya dengan tetesan darahnya, adalah ayah kandungnya. 

"Oh ya, ini anak buahku, namanya Sukir.. " kata Kadir memperkenalkan temannya.

"Kami sudah berkenalan pak." jawab Mirna sambil tersenyum.

"Kadir telah membantuku mencarimu, kealamat yang tertulis setelah kamu mendonorkan darahmu, tapi rumah itu dijaga poliisi, apa kamu berurusan dengan polisi? Dengan siapa selama ini kamu tinggal? " ber tubi-tubi pertanyaan Kadir.

Sukir mengambil sebuah kursi, dan mempersilahkan Mirna duduk.

"Mirna bahkan tak tau, sebenarnya Mirna anak siapa, setelah mengetahui bahwa ibu Widi ternyata tak bisa melahirkan seorang anakpun setelah rahimnya diangkat."

"Ceritakanlah semuanya nak."

Dan Mirna pun menceritakan semuanya, sampai kemudian ibunya berusaha membunuhnya dan sekarang menjadi buron.

***

Adhit melihat wajah Mirna ber seri-seri pagi itu. Ada sedikit rasa heran, karena biasanya Mirna hanya fokus kepada pekarjaannya dengan wajah yang selalu murung. Ia ingin bertanya tapi diurungkannya. Ia tak mau dianggap terlalu perhatian kepada sekretarisnya.

"Saya sudah bertemu bapak saya," tiba-tiba suara itu memberikan jawaban atas pertanyaann yang dipendamnya. Adhit menatap wajah berseri itu dengan rasa ikut bergembira.

"Benarkah? Dimana, dan bagaimana caranya?"

"Beberapa hari yang lalu saya menolong seorang laki-laki setengah tua yang tertabrak mobil didepan rumah kost saya."

"Oh ya, Ayud sudah cerita, lalu kamu juga mendonorkan darah kamu bukan?"

"Ternyata dia bapak saya."

"Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Aku ikut senang mendengarnya. Lalu bagaimana keadaannya sekarang?"

"Sudh lebih baik, tapi masih pusing-pusing, dokter belum mengijinkannya pulang."

"Semoga segera membaik ya."

"Terimakasih pak," sahut Mirna.

Ada harapan untuk menemukan kehidupan yang baru, sebuah keluarga walau tanpa ibu, tapi ada tempat untuk bersandar ketika hati sedang gulana. Itu membuat Mirna sangat bersemangat. 

Seperti ketika setiap sore sepulang kantor ia selalu menjenguk ayahnya ke rumah sakit, membawakan apa saja yang bapaknya inginkan, dan memberinya semangat agar segera pulih.

"Apa rencana bapak setelah sembuh nanti?"

"Belum tau nak, masih memikirkan kondisi bapak ini dulu,tapi yang jelas bapak akan tetap bekarja."

"Menurut Mirna, bapak nggak usah bekerja saja,  biar Mirna yang bekerja."

Kadir tertawa, ia terharu karena anak gadisnya memperhatikannya.Tapi Kadis merasa masih kuat, mana mau ia duduk berpangku tangan dan membiarkan anak gadisnya menghidupinya?

"Bapak ini walau sudah setengah tua, tapi kan masih kuat bekerja nak, mana mungkin aku mau menjadi beban anakku? Tidak, nanti setelah sembuh bapak akan tetap bekerja, dan kamu jangan terlalu menghawatirkan bapak."

"Baiklah, kita lihat saja nanti.. yang penting bapak harus sehat dulu kan?" 

***

Pagi hari ketika libur, Mirna pergi ke rumah pondokan ayahnya yang letaknya agak jauh dari rumah sakit tempat dia dirawat. Ia ingin melihat seperti apa, dan membenahi barang-barang yang mungkin tidak pantas dan harus dibersihkan. Kadir hanya menyewa sebuah kamar tidur yang sangat sederhana. Kamar mandi yang dipergunakan untuk ber enam dari orang-orang yang tinggal atau menyewa tempat itu. Tak ada ruangan lain kecuali sepetak kamar dengan alas tidur dari kasur busa tilis yang digelar di lantai. Ada almari usang yang tak berisi banyak barang-barang. Beberapa lembar pakaian yang kebanyakan lusuh, dan ada sebuah dompet berisi 4 lembaran puluhan ribu dan beberapa lembar dua ribuan. Ada juga sebuah meja, termos kecil diatasnya, gelas kosong dan sendok yang tidak terpakai. Rupanya sebelum pergi Kadir telah mencuci semua peralatan makannya. Lalu kaca dan sisir yang dekil... ah.. seorang laki-laki sering tidak perduli pada kerapian dan kebersihan.Tapi Mirna merapikan semuanya, baik almari dan semua yang ada disekitarnya. Ia ingin, kalau pulang nanti ayahnya akan merasa lebih nyaman. Ia juga ingin mengganti seprei kumal yang menutupi kasur tipis itu, tapi ia harus membelikannya lebih dulu karena tak ada persediaan sprei disitu,

"Pak, saya nanti akan bawa kunci kamarnya bapak ya, besok mau saya bawakan seprei nyang bersih," kata Mirna kepada pak Sukir yang menemaninya.

"Ya, silahkan mbak, kalau perlu bantuan saya pasti siap."

"Ya pak, terimakasih banyak," kata Mirna sambil membersihkan kamar itu dari sebu-debu yang sudah menebal. Dan membuka lebar2 pintu kamarnya agar bau pengap dan penguk segera lenyap.

***

Mirna benar-benar merasa memiliki semangat untuk hidup. Ia lupakan semua masa lalunya yang pahit, yang kadang menyiksa dan terakhir benar-benar membuatnya tersiksa. 

Sesa'at ia melupakan rasa kagumnya terhadap pria ganteng yang selalu duduk dihadapannya. Yang selalu tampak gagah dan berwibawa, yang memiliki senyum selangit manisnya. Ah, tidak lagi, ia sedang bersemangat karena menemukan ayah yang mengukir jiwa raganya. Yang baru diketahuinya bahwa ia adalah darah dagingnya, justru dari umpatan ibu Widi nya sebelum menyiksanya. Ini anugerah, ini membuatnya benar-benar hidup..

***

Siang itu Adhit sengaja membiarkan Ayud makan siang hanya bersama Raka, yang nyamperin ketika selesai mengajar. Ia akan makan diluar, dan tiba-tiba timbul niyatnya untuk mengajak Mirna. Apa salahnya sekali-sekali makan bersama sekretarisnya?

"Mirna .."

"Ya pak..?"

"Kamu mau menemani aku makan siang ?"

Mirna berdebar, ia merasa sedang bermimpi, ingin rasanya segera mengangguk se keras-kerasnya agar bos gantengnya tau bahwa ia sungguh mau makan bersamanya. Tapi tiba-tiba diingatnya bahwa ia harus belanja seprei dan semua kebutuhan ayahnya yang harus disiapkannya.

"Mm, ma'af pak... siang ini saya ada keperluan," jawabnya pelan.

"Oh, gitu ya... baiklah, nggak apa-apa, aku mau makan dirumah saja."

"Ma'af pak.."

"Nggak apa-apa, so'alnya bu Ayud sudah keluar duluan dari tadi."

Lalu Adhit berdiri dan melangkah keluar. Tiba-tiba saja ia ingin makan dirumah, supaya bertemu Dinda, dan bisa makan bersamanya. Diam-diam Adhit ber debar-debar. Bagaimana caranya menghilangkan perasaan ini?

***

Dinda berlari kecil kearah depan ketika mendengar mobil memasuki halaman. Wajahnya berseri ketika melihat Adhit turun dari mobil. Ia segera berlari mendekat.

"Mana mbak Ayud?" tanyanya riang.

"Digondol kakakmu..." jawab Adhit sambil tersenyum, lalu berjalan masuk kerumah sambil merangkul bahu Dinda.

"Haa... senangnya. Karena itu lalu mas Adhit pulang? Mau makan dirumah? Eyang baru saja menata meja, kita bisa makan bersama, horeee.."

Celoteh Dinda selalu menggemaskan. Ingin rasanya menggigit bibir yang tak pernah berhenti mengoceh itu. Namun dari dalam bu Broto keluar sambil memandang kurang suka.

"Dinda, tadi katanya mau bantuin eyang menata meja, kok malah lari kedepan." tegurnya.

"Oh, iya eyang, habisnya mendengar mobil mas Adhit datang. Baiklah, biar Dinda melanjutkan menata mejanya," kata Dinda sambil berlari kebelakang. Namung Adhit tau, neneknya kurang suka melihat keakraban itu. Adhit menghela nafas panjang, lalu menuju kebelakang untuk mencuci tangannya.

"Tumben kamu pulang siang, nggak makan sama adikmu?" tegur bu Broto sambil mengikuti langkah cucunya.

"Ayud sudah makan bersama Raka," jawab Adhit singkat.

"Oh ya, kemarin ibumu menelpon, katanya Raka mau melamar Ayud, itu benar kan?"

"Mungkin yang.."dan Raka menghilang dibalik kamar mandi. Bu Broto tau bahwa Adhit kurang suka terhadap sikapnya terhadap Dinda, namung ia harus melakukannya. Hal yang salah tak bisa dilanjutkan. Rahasia harus tetap tersimpan rapi, demi menutupi aib, demi sebuah harga diri. Tapi bisakah?Bukankah se pandai-pandai menyimpan bangki pasti akan tercium juga bau busuknya?

***

Makan siang hari itu terasa sangat nikmat. Raka tak bosan-bosannya memandang wajah Ayud yang asyik mengunyah makanannya sambil sesekali melirik kepadanya. Sebentar lagi Ayud akan menjadi isterinya, itu kata ibunya yang telah mendengar kisah cintanya. Ia tentu sangat berbahagia. Dalam waktu dekat Raharjo dan Retno akan ke Jakarta. 

"Apakah kita harus ke Jakarta juga?" tanya Raka.

"Ke Jakarta, ngapain ?"

"Bapak sama ibu akan segera melamar kamu."

"Oh ya? Secepat itu?"

"Memangnya kenapa?"

"Sudah buru-buru pengin kawin ?"

"Bukan..."

"Apa?"

"Menikah lah..." lalu keduanya tertawa lucu.

"Aku mau ke Jakarta, ketika bapak dan ibu kesana nanti."

"Kapan ?"

"Belum tau, nanti pasti mereka mengabari. Kamu mau ikut kan?"

"Kita lihat saja nanti, kalau mas Adhit mengijinkan."

"Ya pasti mengijinkan lah, mas Adhit kan yang selalu mendorong dorong aku juga supaya cepat-cepat melamar kamu."

"O, jadi kalian sekongkol ya? Mas Adhit, kamu, Dinda..."

"Sekongkol untuk hal yang baik kan nggak ada salahnya."

"Hm...gitu ? Oh ya Raka, kamu tau nggak kalau sebenarnya mas Adhit suk sama Dinda?"

"Haa... sama si centil itu? Aneh mas Adhit, susah sekali jatuh cinta, taunya suka sama adikku?"

"Bagaimana menurut pendapat kamu?"

"Terserah saja, kalau yang mau menjalaninya suka, aku bisa apa? Aku senang kita tetap menjadi satu keluarga. Tapi Dinda kan masih sangat muda."

"Benar, dan Dinda itu suka juga sama mas Adhit, aku juga nggak tau. Tapi ketika mas Adhit bilang sama bapak, bapak melarangnya keras.Demikian juga ibu."

"Masa? Karena Dinda masih kecil menurut mereka?"

"Nggak tau. Mas Adhit sedih lho karena itu."

"Kalau mau menikah sekarang ya pasti belum boleh, kan Dinda masih harus kuliah, oh ya, besok kan pengumuman dia diterima atau tidak di universitas pilihannya itu."

"Mas Adhit sudah bilang tidak akan menikahi sekarang. Tapi baru bilang suka saja sudah ditentang."

"Mengapa aku diterima? Ah, diterima kah? Jangan-jangan tidak. Bagaimana kalau om Galang juga menolak aku? Aku tau sih, aku kan cuma..."

"Sst.. sudah jangan dilanjutin, bapaksama ibu nggak bilang menolak kok. Mereka sudah menelpon aku."

"Oh,syukurlah..."

***

"Besok mereka jadi datang kan mas?" tanya Putri di sore itu.

"Katanya begitu, dan katanya lagi Raka sama Ayud juga mau datang. Tapi belum tau, Adhit belum mengabari."

Dering telepone membuat percakapan mereka berheenti.

"Dari Raharjo,... hallo Jo..." sapa Galang ramah.

"Besok kita mau ke Jakarta, " kata Raharjo dari seberang.

"Iya, aku sama ibunya Adhit baru berbicara so'al itu.Kabarnya Raka sama Ayud juga mau datang?"

"Iya, katanya begitu. Biarlah mas, kita kan lama-lama juga memang harus menjadi tua, senang rasanya kita bisa besanan."

"Iya, aku juga berfikiran begitu."

"Dengar mas, kita ini kan sama-sama punya seorang anak gadis dan seorang anak laki-laki. Aku juga, mas Galang juga. Kalau keduanya bisa menjadi pasangan alangkah menyenangkan." kata Raharjo yang membuat Galang terkejut seketika.

"Apa maksudmu Jo?"

"Raka mau menikah dengan Ayud, kalau Adhit mau menunggu dan kelak bisa berdampingan dengan Dinda, bukankah itu sangat membahagiakan?"

"Tidak Jo, tidaaaak!" suara Galang hampir berteriak.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tuesday, October 22, 2019

DALAM BENING MATAMU 29

DALAM BENING MATAMU  29

(Tien Kumalasari)

Kadir merasa ia harus mendapatkan informasi tentang gadis itu. Apakah dia yang mirip isterinya, yang dilihatnya memasuki tempat kost itu? Dan Mirna itu, bukankah nama anaknya?

"Kir, maukah menolongku?"

"Ya pasti aku mau bos, bagaimana, aku harus melakukan apa?"

"Tolong tanyakan nama dan alamat gadis yang mendonorkan darah untuk aku itu ya."

"Kalau itu karena ingin mengucapkan terimakasih, bos nggak perlu ter buru-buru, aku sudah mengatakannya, yang penting bos harus sembuh dulu."

"Bukan cuma itu.."

"Ada apa sebenarnya bos?"

"Kir, aku kan pernah menceritakan kisah hidupku sama kamu, sehingga aku jadi pelarian, meninggalkan anak gadisku bersama perempuan murahan itu?"

"Ya.. ya, aku masih ingat.."

"Gadis itu, dan nama yang kamu sebutkan itu, seperti nama anakku."

"Oh, masa bos? Tapi nama kan bisa saja sama?"

"Beberapa hari sebelum terjadinya kecelakaan itu, aku melihat gadis itu, yang mirip sekali dengan isteriku yang pertama."

"Oh, lalu bisa mengira itu anak bos dari isteri bos yang pertama?"

"Bukan hanya itu, wajah bisa saja mirip. Begini Kir, sebelum terjadi kecelakaan itu, ketika keluar dari gedung yang sedang kita kerjakan itu, aku melihat lagi gadis itu, sedang berjalan, aku ingin menanyakan siapa dia, penasaran sekali aku, lalu aku menyeberang, dan kurang ber hati-hati sehingga aku tertabrak mobil."

"O, itu kejadiannya?"

"Aku berfikir tentang gadis itu, apakah dia yang membawaku kerumah sakit? Lalu aku mendengar kamu menyebutkan nama Mirna. Aku benar-benar ingin tau tentang gadis itu Kir, tolonglah cari informasi  tentang nama dan alamatnya ya."

"Oh, baiklah bos, nanti sepulang dari sini aku mau bertanya kesana. Bos juga harus cepat sembuh ya.. pekerjaan menunggu. Pak Hasan hanya mau menyerahkan pekerjaan yang di Gilingan itu sama bos saja. Dia juga titip ini.. buat bos," kata Sukir sambil menyerahkan sebuah amplop berisi uang."

"Untuk apa ini Kir, kan semua biaya rumah sakit ini sudah ada yang mbayarin, aku nggak butuh uang Kir."

"Jangan begitu bos, mungkin bos ingin ini itu.. pokoknya terima saja, ini rasa simpati dari juragan kita, nggak boleh ditolak. Dia belum bisa menjenguk bos karena sa'at ini lagi pergi ke Jakarta."

"Baiklah kalau begitu. Sampaikan  terimakasihku sama pak Hasan ya Kir."

***

Ayud merasa kesal karena sejak berangkat dari rumah sampai ke kantor kakaknya terus menggoda dia yang kabarnya sudah jadian sama Raka.

"Hm, si centhil itu pengin aku cubit bibirnya.. bisa-bisanya ngadu sama mas  tentang masalah itu," sungut Ayud.

Adhitama tertawa.

"Itu bukan masalah, itu bagus, aku suka mendengarnya. Kapan sih seorang kakak merasa bahagia? Yaitu apabila adiknya sudah mendapatkan pendamping yang bisa membuatnya bahagia juga."

"Mas yakin, aku akan bahagia?"

"Aku yakin, dia itu baik, penuh tanggung jawab, dan ... dia ganteng kan?"

"Benarkah aku bisa mendampinginya, mengingat aku lebih tua dari dia?"

"Umur itu bukan masalah, kamu itu lebih tua tapi kadang cara berfikir kamu seperti anak-anak. Dan Raka itu lebih dewasa daripada kamu."

Ayud terdiam, bagaimanapun tak ada yang salah, dan apakah dia mencintainya juga? Sepertinya Ayud tak menolak 

"Bagaimana dengan mas sendiri? Aku ini lebih muda, harusnya mas Adhit duluan yang mendapatkan jodoh.. bisa-bisa aku kualat."

Adhitama terbahak.

"Nggak ada, apa kualat itu. Kalau memang kamu lebih dulu mendapatkan jodoh, mengapa tidak, silahkan, aku kan laki-laki. Dan laki-laki itu, biar setengah tua masih pantas hidup membujang."

"Huh, dasar mas aja yang susah. Bagaimana dengan Dinda? O, mas mau menunggu Dinda?" ledek Ayud.

"Ah, sudahlah sedih aku kalau teringat itu. Aku kan pernah bilang kalau bapak sama ibu melarang aku menyukai Dinda?"

"Lhah, iya ya mas, jangan-jangan juga aku dilarang deket-deket sama Raka."

"Ya sudah, kamu bilang saja dulu sama bapak atau ibu, nggak tau juga aku alasan yang sebenarnya, padahal keluarganya kan baik sama keluarga kita, sahabatan sejak lama malah."

"Iih, ternyata jatuh cinta itu rumit ya, bukan hanya memikirkan diri kita sendiri, tapi juga harus memikirkan orang-orang dilingkungan kita."

***

Malam itu Galang menerima telephone dari Raharjo. 

"Ada apa nih, tumben-tumbenan menelpone malam-malam," kata Galang menyambut telephone itu.

"Kangen sama mas Galang, tapi begini mas, sebenarnya kami mjau ke Jakarta sendiri untuk ketemu mas Galang berdua, tapi lebih baik aku bicara dulu tentang garis besarnya kedatangan kami nanti. "

"Wouw, serius nih tampaknya, ada apa? Masalah apa Jo?"

"Ini masalah anak-anak kita mas."

Galang tiba-tiba merasa cemas, jangan-jangan Adhit sudah bicara sama Raharjo mengenai perasaannya pada Dinda.

"Mas, anak-anak kita ternyata sudah pada besar ya mas, mau tak mau kita harus memikirkan masa depannya, jodoh yang baik untuk mereka... ya kan?"

Galang belum menjawabnya, debaran jantungnya masih terasa kencang. Kalau ini pembicaraan tentang Adhit dan Dinda, apa yang harus dijawabnya? Raharjo sudah mengatakan tentang joodoh. Lalu Galang memikirkan sebuah jawaban, yang belum juga ditemukannya.

"Mas, kemarin Raka bilang, bahwa dia jatuh cinta sama Ayudya."

Galang tiba-tiba menghempaskan  nafasnya dalam-dalam, lega mendengarnya karena itu tentang Ayud dan Raka, dan itu tentu membuatnya gembira.

"Oh ya? Benar? Serius? Jadi kita mau besanan nih?"

"Kalau mas Galang tidak keberatan."

"Ya enggaklah, sejak ber tahun-tahun lalu kita adalah sahabat, dan aku gembira menyambut berita ini, ayolah, Ayud juga sudah cukup umur."

"Bagaimana dengan Adhitama?"

"Anak itu susah sekali, nggak apa-apa kalau dia harus belakangan Jo, dia kan laki-laki."

"Kalau begitu nanti aku bicara sama Retno, mungkin dalam waktu dekat kami akan melamar secara resmi, tapi ya itu mas, Raka kan baru memulai kariernya, mungkin belum bisa mencukupi seandainya dia buru-buru cari isteri."

"Itu bisa kita pikirkan nanti, semua orang berangkat dari nol. Kami ingat bagaimana aku, juga mungkin kamu Jo, dulu kita juga tak punya apa-apa, janganlah hidup itu mendongak keatas Jo, menunduklah kebawah, agar kita tidak takut melangkah."

"Senang mendengar mas Galang bicara begitu, nanti aku kabari Raka ya mas, kalau mas Galang sudah setuju."

"Aku tunggu kedatangan kamu Jo."

Galang menutup telephone dengan perasaan lega.Entah mengapa, alasan adanya hubungan Raka dan Ayud  sedikit membuatnya terhibur, barangkali bisa dijadikan alasan penolakan perasaan Adhit kepada Dinda.

Namun Putri yang mendengar berita itu justru merasa khawatir.

"Mengapa kamu ragu-ragu, Putri?"

"Bagaimana kalau Galang protes"

"Protes bagaimana maksudmu?"

"Apa dia nggak akan marah, kalau Adhit suka sama Dinda ditolak, mengapa Raka dan Ayud diijinkan?"

"Itu kan alasan usia, pasti Adhit bisa menerimanya."

"Belum tentu mas, ah.. mas nggak tau aja, waktu di Solo itu sikap Adhit sama ibu dingin sekali lho, sepertinya dia nggak suka dia menolak hubungan dia sama Dinda, padahal menurut aku, Dinda itu benar-benar masih seperti kanak-kanak. Tapi Adhit kayaknya susah melepaskannya."

"Coba saja kita lihat nanti. Kita harus memikirkan satu demi satu dulu. Biarlah sekarang Ayud, setelah itu baru Adit. "

"Ibu bilang, nanti kalau Dinda sudah mulai kuliah, ibu akan menyarankan agar Dinda kost saja didekat kampus, supaya nggak capek, gitu saran ibu, dan kayaknya sudah disampaikan ke Dinda."

"Apa benar itu bisa menghalangi tidak akan terjadi ap-apa kalau Dinda sudah pindah rumah?"

"Namanya juga usaha mas, nggak tau nanti, aku mulai pusing kalau memikirkan itu. Teringat kembali kesalahanku.." kata Putri sedih.

"Sudahlah.. nggak mau aku kalau kamu jadi sedih begitu," kata Galang sambil memeluk isterinya. Dan sesungguhnya sikap Galang yang selalu melindungi inilah yang membuatnya semakin jatuh cinta.

***

Sore hari sepulang kerja, Sukir kembali mampir kerumah sakit. Ia sudah mendapatkan keterangan dari rumah sakit mengenai pendonor darah itu, dan bahkan sudah mencari ke alamat yang tercatat disana.

"Bos, aku sudah mendapatkan alamat gadis itu."

"Tunggu Kir, siapa nama gadis itu ? Benarkah Mirna?"

"Mirna Aryati.. ini alamatnya, aku catat lengkap, berikut Rt Rw dan nomor rumahnya."

"Kamu ketemu dia?Dia tngal dirumah kost didepan gedung yang kita bangun itu kan?"

"Bukan, ini kampung Nusukan, jauh dari sini, dan bukan di tempat kost itu."

"Bukan? Tapi itu nama anakku. Bukan gadis itu rupanya?"

"Nggak tau aku bos, tapi dengar dulu. Rumah gadis itu, dijaga polisi."

"Apa?"

"Katanya pemilik rumah buron, dan sudah ber hari-hari jadi incaran polisi, jadi rumah itu kosong."

"Kosong ?Incaran polisi? "

"Eh.. bos mau ngapain, jangan begitu, tiduran saja dulu, biar cepat pulih."

Kata Sukir begitu melihat Kadir berusaha bangkit.

"Apa yang dilakukan gadis itu Kir?"

"Nggak jelas bos, katanya kasus penganiayaan dan pembunuhan."

"Ya Tuhan, apa yang dilakukannya? Dan itu sebabnya maka ia tinggal dirumah kost itu?"

"Entahlah bos, rumah kost yang mana .. gadisnya seperti apa, aku tidak tau kalau yang dirumah kost itu."

"Kir, aku ingin pulang saja."

"Lho bos, bagaimana ini, kepala masih di perban-perban kayak begitu kok ingin pulang, sabar lah bos, jangan terburu buru begitu."

"Kalau begitu aku mau minta tolong kamu lagi."

"Baiklah, aku harus melakukan apa lagi."

"Datanglah ke rumah kost itu, dan  tanyakan, apakah ada yang bernama Mirna disana, terus nyatakan apa benar dia pendonor darah itu."

"Oh, begitu ya, baiklah bos, aku akan mencari tau tentang gadis bernama Mirna itu disana."

Namun sebelum Sukir pamit untuk kembali, tiba-tiba muncullah Mirna diruangan itu. Ia ingin melihat keadaan orang yang telah ditolongnya. Dan serta merta pandangan Kadir menjadi kabur, oleh air mata yang mengambang di pelupuknya. Ia berada dekat sekali dengan seseorang, yang wajahnya mirip sekali dengan isteri pertamanya. 

"Apakah namamu Mirna ?" bisik Kadir lirih..

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Monday, October 21, 2019

DALAM BENING MATAMU 28

DALAM BENING MATAMU  28

(Tien Kumalasari)

Raka sedikit berdebar. Senyuman Ayud tak mudah dimengertinya. Mungkin merendahkan dirinya, mungkin karena merasa lebih tua, mungkin diasanya dirinya tak pantas.. Lalu dipesannya lagi segelas lemon tea.

"Haus sekali ya?" tanya Ayud tiba-tiba.

"Udara sangat panas, jadi harus minum banyak," jawab Raka sekenanya. Padahal ia merasa harus minum untuk mendinginkan perasaannya.

"Kalau begitu aku juga," seru Ayud kepada pelayan yang membawakan pesanan makanan mereka.

"Hm... rupanya kehausan juga,"celetuk Raka sambil menatap wajah Ayud, yang sa'at itu juga sedng menatapnya. Sepasang mata bertemu dan menciptakan getar yang tak mereka mengerti sebelumnya. Ayud menoleh kearah depan, pura-pura mencari sesuatu. Ia bingung, mengapa kali ini ada perasaan lain dihatinya, apakah itu cinta? Selalu dibantahnya perasaan aneh itu, dengan keyakinan bahwa ia lebih tua. Tapi ternyata cinta tak memandang usia. Ia heran, betapa mudah sebuah cinta mendobrak keangkuhan yang selama ini disandangnya. Sungguh, ia merasa cantik, pintar, dan berhasil dalam berkarya membantu kakaknya, yang mengandalikan sebuah perusahaan besar warisan kakeknya. Laki-laki mana yang berani melamarnya? Tapi laki-laki dihadapannya, walau dengan sedikit ragu berani mengutarakan cinta, walau secara tidak langsung. Dan itu membuat hatinya berdebar tak menentu.

"Lagi memandangi apa sih?" tanya Raka yang kemudian ikut menatap kearah pintu masuk.

"Dinda lama sekali, cari apa dia?"

"Disebelah kan supermarket, biarin saja, apa maunya," jawab Raka sambil meraih piring yang berisi makanan pesanannya.

"Hm.. baunya menusuk selera, sudah lama aku nggak malan selat Solo. Ayo makan? Biar saja pesanan Dinda menjadi dingin. Minumannya juga sudah mencair."

"Aku susul dia?"

"Nggak usah, lebih baik kamu menjawab pertanyaanku. Sambil makan."

"Apa?"

"Pertanyaanku... eh.. pernyataanku... bagaimana menurutmu? Apakah kamu menganggap aku lancang? Terlalu berani? " tanya Raka sambil menyendok makanannya, mengunyahnya melan, sambil menatap Ayud yang juga sedang memotong daging diatas piringnya.

"Tidak,"

"Apa yang tidak?"

"Kamu tidak lancang.."

"Mmmm.. lalu...?"

"Lalu apa...," Ayud tampak menikmati beefsteak yang dipesannya.. membuat Raka semakin gemes melihatnya..

"Jadi bagaimana? Jangan tanya bagaimana apanya," kata Raka yang sudah tau apa nanti kata Ayud selanjutnya.

Ayud tersenyum, menurut Raka itu adalah senyum paling manis yang pernah dilihatnya. Dilumatnya sepotong daging dari saladnya seperti sedang melumat bibir Ayud, dan itu membuatnya berdebar lebih kencang.

"Raka...jangan banyak bertanya lagi, habiskan makanmu, dan telephone adikmu."

"Baiklah.. berarti kamu menolak aku, tapi susah mengucapkannya, oke, aku sudah siap menerimanya. Ayahku pernah bilang, kalau kamu berani melamar perempuan, harus siap seandainya ditolak, jangan pernah merasa patah hati. entahlah.. mungkin patah hati itu sakit, tapi aku siap kok."

Ayud masih memotong lagi sepotong daging diatas piringnya, tapi ia tersenyum, dan senyum itu memberikan harapan bagi Raka. Kalau dia menolah, pasti wajahnya tidak semanis itu. Tapi bukankah Ayud memang manis? Baik dia sedang tersenyum atau sedang merengut.

"Kamu akan tau jawabanku, dari sikapku. Seorang dosen harus bisa membaca isi hati mahasiswanya, apa dia menyukai behan kuliah yang kamu berikan atau tidak."

"Ya Tuhan, kamu kan bukan mahasiswaku?" keluh Raka lalu meneguk minumanku.

"Sama dalam membaca pikiran."

"Baiklah, akan aku simpulkan sendiri, kamu menerimaku bukan? Kamu juga cinta sama aku bukan? Kalah salah bilang salah, kalau benar tersenyumlah dan pandang mataku." kata Raka kesal merasa dipermainkan.

Tiba-tib dilhatnya senyum itu, tanpa menjawab,  dan mata mereka beradu, dalam sejuta rasa yang tak terucapkan.

"Heiii.. kalian sudah selesai?"

Teriakan itu mengejutkan mereka berdua dan membuyarkan perasaan yang sedang mengharu biru.

"Iih... Dinda, kebiasaan deh, selalu teriak-teriak begitu," gerutu Ayud sambil memelototi Dinda, yang kemudian hanya tersenyum lalu duduk seenaknya diantara mereka.

"Hmh.. esku sudah mencair nih," keluhnya sambil meneguk minumannya.

"Salah sendiri, lama bener perginya.."

"Kan mas Raka yang nyuruh ?" jawab Dinda seenaknya lalu menrik piring yang berisi pesanannya.

"Apa?" Raka mendelik, dan Dinda tertawa senang.

"O.. aku tau.. kalian sekongkol ya?" sela Ayud yang tiba-tiba mengerti sesuatu.

"Sekongkol apa?" tanya Raka pura-pura tak tau.

"Iya, jujur saja lah mas, kan tadi mas Raka yang nyuruh aku pergi agak lama, supaya mas Raka bisa leluasa menyatakan isi hatinya.." jawab Dinda seenaknya, lalu menyendok makanannya.

"Dindaaaaaa," Raka protes sambil masih mendelikkearah adiknya."

"O, jadi gitu ya ?" Ayud mengangguk angguk.. tapi tak ada raut muka kesal diwajahnya.

"Bagaimana hasilnya ? Pasti oke kan?" tanya Dinda sambil terus mengunyah makanannya.

Raka merasa kesal karena Dinda membuka rahasianya, tapi ia lega karena dilihatnya Ayud melanjutkan makanannya, justru sambil ter senyum-senyum

***

Adhit terkejut karena tiba-tiba Dinda nyelonong masuk kedalam kamarnya, ketika dia sedang melihat sebuah acara di televisi. 

"Mas..."

"Hei, lupa ketuk pintu ya?" tegur Adhit sambil tersenyum. Selalu ada rasa suka setiap berdekatan dengan Dinda, yang selalu ditahannya karena teringat tangis ibunya, tangis yang tak pernah dimengerti apa artinya.

"Iya.. ma'aaaf.."

"Ada apa sih, kok kelihatan gembira begitu?"

"Hari ini.. mas Raka sama mbak Ayud sudah jadian."

"Jadian apaan?"

"Iih, mas Adhit, masa nggak tau maksudnya jadian sih.. gini lho,," jawab Dinda sambil menautkan kedua ujung jari telunjuknya.

"Benar?"

"Benar dong.. masa aku bohong sih? Cocog kan mas keduanya, aku seneng banget lho.. mas Adhit seneng nggak?"

"Seneng lah.."

Tiba-tiba bu Broto nyelonong masuk, ada rasa was-was ketika melihat Dinda masuk kekamar Adhit, tapi pintunya nggak tertutup kok, jadi harusnya bu Broto nggak usah khawatir.. tapi namanya orang tua, sudah punya rasa curiga, jadi semuanya jadi serba membuatnya khawatir.

"Dinda, ternyata kamu ada disini, eyang nyari ke mana-mana," kata bu Broto sambil menarik tangan Dinda.

"Ada aoa eyang?"

"Mau eyang suruh ngicipin masakan eyang, ada kolak pisang tuh," katanya sambil terus menarik tangan Dinda.

"Aduh yang, pasti masakan eyang itu enak... " suara Dinda semakin menjauh. Dan Adhit merasa, bu Broto sedang menghawatirkannya. Pasti ibunya sudah bilang tentang perasaannya ke Dinda, dan seperti ibunya pasti neneknya juga akan menghalanginya.

"Hm.. ada apa ini.." keluh Adhit sambil kenbali menatap acara di televisi, tapi sudah tak lagi dirasakannya. Ia mematikan televisi, lalu berbarin g ditempat tidur, memeluk guling dan memejamkan matanya.

***

Siang itu, sa'at istirahat tiba, Sukir memerlukan menjenguk atasannya, Kadir yang masih terbaring di kamar rumah sakit itu. Kepalanya berbalut perban, dan ada bercak darah masih kelihatan disana..Tapi Supri lega Kadir sudah siuman.

"Bagaimana keadaanmu bos?" selalu Sukir  memanggil bos kepada Kadir karena dia memang mandornya.

"Baik, gara-gara aku ingin menemui gadis itu," keluh Kadir pelan.

"Gadis apa? Bos sedang ter gila-gila sama seorang gadis?" tanya Sukir sambil tertawa.

"Bukan ter gila-gila, tapi aku merasa pernah melihat dia, tapi entah dimana.. mm.. dia mirip isteri pertamaku."

"Oh, gitu... lalu karena ter gesa-gesa jadi nggak tau ada mobil melintas yang kemudian menabrak ya bos?"

"Siapa yang membawaku kemari? Kamu Kir?"

"Aku kan belum keluar dari gudang, ketika keluar terus mendengar kalau bos kecelakaan, nggak tau dibawa kemana, ternyata kemari dan sudah mendapat pertolongan."

"Oh, siapa yang membawaku?"

"Seorang gadis bos, dia juga mendonorkan darahnya untuk bos, yang kebetulan darahnya cocog sama bos. Syukurlah."

"Alhamdulillah, siapa gadis itu Kir?"

"Namanya Mirna.."

Kadir terkejut mendengar nama itu. Mirna bukankah nama anaknya? Mirna yang ditnggalkannya bersama Widi? Atau gadis cantik yang dilihatnya selama beberapa hari ini adalah Mirna? Diakah yang membawaku kemari dan mendonorkan darah untuk aku? Beribu pertanyaan memenuhi Benar Kadir, membuatnya pusing. Sukir memijit mijit kepala Kadir.

"Aduuh.. itu luka ku Kir," keluh Kadir karena Sukir memijit persis ditempat lukanya.

"Oh, ma'af, habisnya bos me mijit-mijit kepala bos sendiri, aku kira pusing."

"Dimana alamat gadis itu?"

"Di bagian administrasi ada, nanti aku tanyakan persisnya."

***

besok lagi ya


M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...