Saturday, October 31, 2020

ADA YANG MASIH TERSISA 19

ADA YANG MASIH TERSISA  19

(Tien Kumalasari)

 

Pak Kusumo segera minta agar telpon dari dealer disambungkan kedalam.

“Hallo..”

“Selamat siang bapak..”

“Selamat siang. Darimana ya?”

“Kami dari Dealer mobil Prakarsa, mau menghubungi pak Tejo, bisakah kami bicara?”

“Oh, pak Tejo sedang keluar, apa yang bisa saya bantu? Saya direktur utama perusahaan KUSUMA.”

“Begini bapak, kami cuma mau pesan kepada pak Tejo, bahwa pesanannya baru siap besok, karena surat-surat baru dikerjakan.”

“Itu.. surat-surat apa ya?”

“Surat perjanjian kredit pak.”

“Dia mau kredit mobil ?”

“Betul bapak.”

“Saya bilang, batalkan saja pesanan pak Tejo.”

“Apa bapak?”

“Batalkan !! Saya bilang batalkan.”

“Tapi.. bagaimana dengan pak Tejo?”

“Saya ini direktur utama sekaligus bapaknya Tejo. Dia sudah saya belikan mobil baru, cash, tidak kredit. Jadi batalkan saja transaksi kreditnya, daripada nanti saya tidak akan mau mengangsurnya.”

“Tapi bapak, kalau transaksi dibatalkan, maka uang muka yang sudah dibayarkan tidak bisa diminta kembali.”

“Tidak apa-apa, biar hangus. Nah, begitu saja ya. Sekali lagi batalkan, atas nama pak Kusumo Atmojo, bapaknya Sutejo.”

“Baiklah bapak. Terimakasih.”

Pak Kusumo menutup telpon dengan wajah kusut. Bingung apa saja yang dilakukan anaknya. Pakai mau kredit mobil segala. Kalau dia bosan mobil lamanya kan bisa bicara. Kok kredit sendiri. Maksudnya apa?

Ia ingin menelpon Tejo tapi diurungkannya. Kalau Tejo masih bersama isterinya, nanti isterinya jadi terganggu. Lalu pak Kusumo duduk di sofa menyandarkan tubuhnya dan mencoba menenangkan pikirannya.

***

Tejo yang keluar dari kantor tak berani menemui Anisa. Kalau bapaknya ngecek kerumah bisa kena marah lagi dia.

Ketika memasuki halaman, dilihatnya Miranti sudah siap menggendong Abi dan hampir memasuki mobilnya.

Tejo turun dan mendekat, tak tahan untuk tidak menyentuh pipi Abi, membuat Miranti heran.

“Mau ke dokter?” tanya Tejo.

“Ya.”

“Perlu sama aku?”

“Tidak. Aku sendiri saja.”

“Ya sudah, bapak menyuruh aku mengantar kamu. Tapi kalau kamu mau sendiri ya sudah.”

Miranti masuk kedalam mobil, dan berlalu.

Tejo termangu, diantara mau mengabari ke bapaknya bahwa Miranti tidak mau diantar, atau membiarkannya saja, lalu dia menemui Anisa. Pasti sudah lama dia menunggu. Dan pasti juga dia akan marah-marah nanti.

***

“Tumben-tumbenan dia menawarkan diri mau mengantar..” gumam Miranti.

“Barangkali sudah mulai sadar.”

“Tidak juga, bapak yang menyuruhnya. Dia tadi bilang begitu.”

Lalu Pram teringat adegan diteras ketika Tejo menyentuh pipi Ana dan Ana tersenyum genit.

“Dia juga menyentuh pipi Abi.”

“Mudah-mudahan dia segera sadar bahwa dia seorang ayah, dan juga seorang suami.”

Miranti menghela nafas berat.

“Pram, kemarin mau cerita apa?”

“Yang mana ya?”

“Kamu bilang besok saja cerita, sekarang lagi bekerja atau apa.. pokoknya lagi sibuk ada urusan kantor begitu.”

“Ooh.. itu.. apa ya.. kok aku lupa..”

“Iiih.. masa baru kemarin kok bisa lupa?”

“Ooh.. itu.. aku heran melihat sebuah adegan. Kelihatannya Ana itu gadis nggak bener.”

“Memangnya kenapa?”

“Kemarin aku melihat adegan seperti yang kamu pernah cerita itu.”

“Adegan apa sih?”

“Ketika Tejo mau berangkat kerja, Ana kan mengantar sampai kedepan, diteras Tejo menyentuh lagi pipi Ana, dan Ana senyum-senyum genit begitu..”

“Masa?”

“Masa sih aku bohong. Bukannya aku ingin memanas-manasi kamu sih Mir, cuma itu kan nggak pantas.”

“Hiih, siapa yang panas? Nggak tuh, aku biasa saja. Tapi kalau memang begitu ya aku benar-benar mulai nggak suka. Risih saja serumah dengan perempuan nggak bener begitu.”

“Kamu awasi saja terus, kalau benar-benar kelewatan ya cari baby sitter lain yang lebih baik.”

“Iya akan aku awasi dia. Kamu kemarin juga digodain kan?”

“Tapi aku kan laki-laki yang teguh.. mana mungkin aku tergiur sama wanita macam begitu ?”

“Tergiurnya sama yang bagaimana ?”

“Yang kalem, yang lembut.. keibuan.. baik hati.. cantik lah pastinya..”

“Banyak banget syaratnya..”

“Iya lah, bukankah semua orang berharap yang terbaik ?”

“Semoga kamu segera mendapatkannya ya Pram.”

“Aamiin...”

“Oh ya Pram, nanti mampir ke apotik sebentar ya?”

“Mau beli obat?”

“Tidak, obatnya sudah diberi. Aku cuma mau beli baby oil saja, kemarin satu botol tumpah. Habis deh.”

“Kalau baby oil kan tidak harus diapotik Mir? Ada mini market didepan sana.”

“Terserah kamu saja Pram.”

***

Anisa menunggu Tejo tapi tak kunjung tiba ditempat yang mereka janjikan. Lalu Anisa masuk kesebuah warung, memesan makan dan minum disana. Tiba-tiba seseorang menyapanya.

“Ini mbak Anisa kan ?”

“Iya.. eh.. kamu Budi ?”

“Iya, syukurlah masih ingat saya. Kok sendirian mbak?”

“Lagi nungguin teman. Kamu sekarang disini ?”

“Iya, cari pekerjaan susahnya bukan main.”

“Kamu mau cari pekerjaan apa? Jangan ngelamar jadi direktur,” canda Anisa.

“Bukan mbak, aku kan tidak sekolah tinggi. Jadi sopir saja aku juga mau kok.”

“Jadi sopir mau ?”

“Mau mbak, aku punya  SIM A, SIM C..”

“Hm... aku kasih pekerjaan mau ?”

“Mau, diperusahaan apa?”

“Jadi sopir pribadi, kamu mau?”

“Oh, mau mbak.. mau, dimana yang membutuhkan, aku dikasih tahu alamatnya dong mbak, bener nih.. aku butuh sekali.”

“Iya.. iya sabar.. ini.. aku kasih nomornya.. kamu catat ya..” kata Anisa sambil menyodorkan ponsel yang sudah tertera nomor ponselnya.

“Ini nomor mbak Anisa sendiri?”

“Iya, wong nantinya bakal jadi sopir pribadi aku kok.”

“Oh, begitu mbak? Bagus lah.. kapan aku bisa mulai?”

“Secepatnya, mobilnya baru mau aku ambil. Kamu minta gaji berapa?”

“Yah.. biasa saja mbak, berapa standar gaji sopir pribadi, pastinya mbak Nisa lebih tahu. Saya tidak muluk-muluk, terserah mbak saja.”

“Bagus kalau begitu, bubuhkan nomor kamu, atau chat di nomor itu saja, nanti kamu aku hubungi.”

“Baiklah mbak, terimakasih banyak.”

“Kamu sudah mau pergi ?”

“Sudah mbak, tadi cuma sarapan disini, habis melamar ke dua perusahaan ini tadi, nggak diterima, untunglah ketemu mbak Anisa.”

“Baiklah Bud, mungkin hari ini aku baru mau mengambil mobilku, nanti aku hubungi kamu.”

“Terimakasih banyak mbak, saya permisi dulu.”

“Ya.. ya..” kata Anisa senang.

“Untunglah, sudah dapat sopir.. jadi besok kalau ibu mau pergi kemana-mana ada yang ngantar. Setelah itu aku siap-siap keluar dari rumah mas Tejo dan bersenang senang dengan mobilku. Biar mas Tejo nanti yang membayar gaji sopirnya,” gumam Anisa sambil menghabiskan makanannya.

Hari sudah siang dan Tejo belum tampak batang hidungnya. Anisa sudah mau menelpon ketika Tejo sudah menelponnya lebih dulu.

“Nisa, ma’af.. aku agak terlambat ya.. aku baru mau kekantor lagi, tadi keluar ..ada urusan sebentar.” Kata Tejo ketika menelpon.

“Aku sudah menunggu dari tadi, janjinya kan jam sembilan?”

“Iya, tiba-tiba ada urusan pekerjaan dan bapak ada dikantor, aku tak berani keluar menemui kamu, kalau bapak tahu bisa kacau semua urusan.”

“Jadi bagaimana? Aku harus tidur diwarung soto ini? Tadi sambil menunggu kamu aku masuk ke warung soto, makan sampai kenyang.”

“Iya, sabarlah sebentar, aku mau ke kantor, kalau bapak sudah pulang aku langsung menemui kamu.”

“Baiklah, tahu nggak mas, aku sudah dapat sopir untuk mobil aku nanti.”

“Sopir ?”

“Iya, habisnya kalau mobil ditaruh dirumah siapa yang mau nyopir? Ibuku nggak bisa nyetir. Tadi ketemu teman yang cari pekerjaan, aku tawarin saja kalau mau jadi sopir pribadiku. Lalu dia mau.”

“Ya sudah, itu dibicarakan nanti. Sekarang aku ke kantor dulu.”

“Tapi jangan lama-lama ya mas. Aku tungguin sambil jalan-jalan ya.”

“Terserah kamu saja. Kalau aku siap nanti aku telpon kamu.”

***

Karena kesal, pak Kusumo justru pulang kerumah.

“Lho pak, kok sudah pulang, katanya di kantor banyak yang harus diselesaikan?”

“Sebel aku bu.. pengin marah aku ini.”

“Lho.. lho.. ada apa sih pak, datang-datang kok pengin marah. Ibu ambilkan minum ya, barusan ibu buat jus sirsat, seger pak..” kata bu Kusumo yang kemudian langsung beranjak kebelakang.

Pak Kusumo menyandarkan tubuhnya di sofa.

“Ini pak, seger.. diminum.. supaya amarahnya hilang.”

Pak Kusumo meneguk jus sirsatnya. Tapi kemarahan itu tak bisa hilang begitu saja.

“Ada apa sih pak ?”

“Ibu tahu nggak, Tejo pakai mau kredit mobil segala.”

“Kredit mobil ? Untuk apa?”

“Nggak tahu aku bu, gregetan aku sama anak kamu itu. Kelakuannya serba membuat bapak kesal, gemes,marah !!”

“Dia bilang kalau mau kredit mobil?”

Kalau dia bilang gitu ya pasti gampang bu, langsung bisa bapak tolak. Tapi ini tiba-tiba sudah transaksi sendiri.”

“Bapak tahunya dari mana?”

“Tadi dikantor, ada telpon dari dealer mobil, mencari Tejo. Waktu itu Tejo bapak suruh pulang untuk mengantar isterinya ke dokter.”

“O iya, ini waktunya periksa, mungkin imunisasi juga pak.”

“Lha itulah bu, telpon itu mengatakan ingin bertemu Tejo, sehubungan dengan kredit mobil yang sudah dia ajukan. Kaget bapak.”

“Bapak sudah tanya ke Tejo ?”

“Nggak usah tanya, wong sudah jelas. Nanti kalau ketemu tinggal bapak semprot saja.”

“Lalu bagaimana dengan transaksi kredit itu?”

“Bapak suruh batalkan. Bapak bilang ke dealer itu.”

“Lha kalau sudah transaksi biasanya sudah ada DP atau uang muka kan pak?”

“Biar saja DP nya hilang, bapak nggak peduli. Pokoknya sudah bapak batalkan. Nggak ngerti aku bu, apa maksudnya anak itu?”

“Jangan-jangan mau diberikan ke wanita itu pak, siapa namanya sampai lupa.. Anisa.. “

“Menurut bapak, sepertinya sudah tidak berhubungan lagi sama Anisa. Kan bapak menyuruh orang untuk mengawasi Tejo setiap harinya.”

“Tapi namanya maling itu sama yang jaga ya masih pinter malingnya.”

“Wah, nggak tahu kalau itu bu. Bapak belum telpon dia, kalau dia sedang bersama Miranti, nanti Miranti ikut mikir. Bapak tunggu saja dirumah. Kalau marah-marah dikantor ya nggak enak didengar orang-orang kantor.”

“Bapak sudah bilang kalau bapak tunggu dia dirumah?”

“Sudah, barusan bapak kirim pesan singkat.”

“Ya sudah, jusnya dihabiskan dan sabar pak, nanti darah tinggi bapak naik lagi kalau marah-marah terus.”

***

Tejo membaca pesan bapaknya, bahwa dia ditunggu dirumah. Alangkah senangnya, jadi dia bisa langsung menemui Nisa dulu, lalu mengurus mobil yang akan dibelinya.

Tapi dasar lagi apes, ban mobilnya kempes tiba-tiba, barangkali tertusuk paku dijalan.

Tejo memberhentikan mobilnya dipinggir jalan.

“Hadduuh...

Lalu Tejo menelpon bengkel langganannya.

Tiba-tiba pak Kusumo menelpon.

“Ya bapak..”

“Kamu masih dirumah sakit ?”

“Tidak bapak.. “

“Sudah pulang?”

“Tadi MIranti tidak mau Tejo mengantarnya, dia memilih berangkat sendiri.”

“Kalau begitu mengapa lama sekali tidak segera kembali?”

“Sebenarnya ini dalam perjalanan kembali ke kantor, tapi bapak menyuruh Tejo kerumah.”

“Ya sudah cepat kerumah.”

“Tidak bisa pak, ban Tejo kempes dua-duanya.”

“Apa?”

“Ban kempes bapak.. baru menelpon bengkel, supaya datang untuk mengganti ban-nya..

Pak Kusumo menutup ponselnya begitu saja. Tejo menangkap nada marah dalam suara bapaknya. Sama sekali Tejo tidak menduga bahwa itu dikarenakan masalah kredit mobil yang dilakukannya.

Tejo bingung, Bapaknya seperti menunggu, dan Anisa juga pasti menunggu. Lalu ditelponnya Anisa.

“Gimana mas?”

“Ada masalah nih Nis. “

“Masalah apa lagi mas?”

“Banku kempes dijalan.”

“Masih dimana ?”

“Purwosari sih, nggak begitu jauh dari dealernya, tapi bapak menelpon aku diminta cepat pulang. Bingung aku Nis.”

“Hiih, kebangeten deh bapak kamu itu. Lalu bagaimana ini? Kulitku sudah gosong karena berpanas-panas..”

“Begini saja Nis, kamu langsung ke dealer, bilang kamu isterinya pak Tejo, tanyakan apa mobilnya sudah siap. Nanti aku yang transfer uangnya.”

“Jadi aku ke dealer nih?”

“Iya, kamu bilang dari pak Tejo, gitu.. mereka sudah tahu.

***

 Besok lagi ya

 

 

 

Friday, October 30, 2020

ADA YANG MASIH TERSISA 18

ADA YANG MASIH TERSISA  18

(Tien Kumalasari)

 

Ana melemparkan guling kembali keatas ranjang. Tejo menghampiri box bayi dan mengangkat tubuh mungil yang masih menangis keras, lalu mengayunkannya perlahan.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu sudah gila?” hardik Tejo marah.

“Aku kesal, menangis tak henti-hentinya. Aku capek !”

“Dia ngompol, tolong gantikan popoknya.”

“Nggak mau !!”

“Nisa !! Bayi ini tak berdosa !!”

“Aku yang berdosa dan kamu tidak ? Aku benci kamu membentak aku!!”

Lalu Ana berlari kekamarnya sambil menangis, membuka almari dan mengeluarkan semua isinya, dimasukkannya kedalam tas. Tejo mengikutinya.

“Apa yang kamu lakukan?”

“Aku mau pergi ! Kamu lebih menyayangi bayi itu dari pada aku.”

“Nisa.. aku kaget kamu mau memukul bayi itu. Bagaimanapun dia masih bayi.”

“Kamu kira aku akan memukul sungguhan? Aku hanya gemas dan kesal. Sekarang aku mau pergi. Ini, bawa ponsel bututmu yang pura-pura kamu tinggalkan untuk di cas waktu itu. Aku tidak doyan ponsel busuk !” katanya sambil melemparkan ponsel kelantai sehingga pecah berderai.

Tejo masih mengayunkan bayi itu, yang kemudian berhenti menangis. Apa dia merasa nyaman berada dalam gendongan? Atau ada ikatan yang entah bagaimana membuat Tejo kemudian mendekapnya dengan sayang?

Tapi Tejo sudah buta karena rasa cintanya kepada Anisa. Hatinya tercekat melihat Anisa mengemasi pakaiannya. Ia tak bisa kehilangan Anisa atau Ana, ia harus mencegahnya.

“Nisa, jangan pergi, aku membentakmu karena aku terkejut melihat kamu mengayunkan guling itu. Dengar, aku sudah memesan sebuah mobil, besok akan dikirim kerumah kamu.”

Mendengar kata mobil, kemarahan yang menyala bak bara tiba-tiba padam bagai tersiram seember air. Tangan yang sibuk mengemasi baju berhenti  melakukannya.

“Benarkah mas? Kamu tidak bohong?”

“Ini aku dari dealer, besok sudah akan dikirim.”

“Terimakasih mas, ma’af aku marah, habis aku terkejut, mas belum pernah membentak aku.”

“Baiklah, sekarang tolong gantikan popoknya, bajuku ikut basah nih, setelah itu berikan minumnya,” kata Tejo sambil meletakkan bayi yang sudah kembali terlelap itu ke boxnya.

Dan dengan senandung riang Ana menggantikan popok Abi, lalu menghangatkan susu dalam freezer , sementara Tejo memunguti ponsel yang ambyar terserak dilantai, sebelum mengganti bajunya sendiri. Ada perasaan aneh merayapinya ketika mencium bau kencing bayi dari baju yang dilepasnya. Tak ada rasa jijik seperti ketika terkena kotoran lainnya.

***

“Sebenarnya kamu mau ngomong apa? Katanya kalau sudah selesai belanja mau ngomong?”

“Pram, aku memikirkan kamu.”

“Memangnya aku kenapa?”

“Kamu kan tidak seharusnya berkorban terus untuk aku.”

“Apa maksudmu ?”

“Dengar Pram, kamu harus memikirkan hidupmu. Bukan hanya aku. Aku tak sampai hati melihatmu datang setiap hari untuk aku, sebagai sopir aku.”

“Lalu ?”

“Berhentilah Pram, pikirkan hidupmu..”

“Kamu memecat aku ?”

“Bukan Pram, aku minta kamu memikirkan hidup kamu. Aku merasa terbebani dengan pengorbanan kamu ini Pram. Biarkan aku menjalani kehidupanku yang entah akan bagaimana akhirnya.”

“Aku tidak akan melepaskan kamu sampai kamu mendapatkan kebahagiaan kamu Mir.”

“Pram.. aku menangis nih..”

“Menangislah sepuas kamu, sampai kamu bisa melepaskan ganjalan didalam hati kamu.”

“Pram... pikirkan hidup kamu..”

“Sudah aku pikirkan, dan kamu tidak usah memikirkannya.”

“Pram...” Miranti terisak. Pram meraih tissue yang selalu siap disampingnya, diulurkannya kepada Miranti.

“Itu berat untuk kamu kan Pram?”

“Tidak, aku senang menjalaninya kok. Sudahlah, jangan berfikir yang macam-macam.”

“Aku harus bagaimana Pram?”

“Biarkanlah terus mengalir sampai tiba disebuah muara.”

Miranti terus terisak oleh perasaan yang tak menentu. Permintaannya agar Pram berhenti berkorban untuknya ditolaknya mentah-mentah.

***

Ketika memasuki rumah, Miranti melihat Ana sedang melayani Tejo makan. Ia membersihkan diri dikamar mandi kemudian melihat Abi sedang terlelap dengan botol susu yang sudah kosong disampingnya.

Miranti menyentuh pipinya lembut.

“Kamu tidak rewel kan nak?”

Miranti mengambil botolnya dan mencucinya kebelakang. Melewati Tejo yang sedang makan dan Ana yang duduk dikursi lain.

“Ibu sudah pulang?”

“Ya, Abi rewel?”

“Tidak bu, hanya merengek sedikit ternyata ngompol, lalu Ana gantikan dan Ana beri minum susu, kemudian kembali tidur. Abi anak yang manis,” pujinya sambil tersenyum.

“Baiklah, terimakasih Ana,” kata Miranti yang kemudian berjalan kembali kekamarnya.

Tapi tiba-tiba Ana mengejarnya.

“Ibu, saya mau bicara.”

Miranti berhenti melangkah.

“Besok pagi bolehkah saya pamit sehari saja?”

“Oh, boleh saja. Mau kemana kamu?”

“Mau menengok ibu di kampung. Sudah dua bulan lebih saya tidak pulang.”

“Baiklah, ada roti dialmari makan, bawa saja untuk ibu kamu.”

“Terimakasih bu.”

“Besok kalau mau berangkat saya beri kamu uang untuk membeli oleh-oleh untuk ibu kamu ya An.”

“Terimakasih bu.”

Lalu Ana kembali keruang makan, melihat Tejo sudah selesai makan, tersenyum kearahnya sambil memincingkan sebelah matanya. Tejo tahu Ana akan melihat mobil barunya besok pagi.

Miranti berganti baju dan membaringkan tubuhnya.

BIARLAH MENGALIR SAMPAI TIBA DISEBUAH MUARA     

Ia sadar, Pram sangat menyayanginya dan tak ingin jauh darinya. Selalu titik air matanya setiap kali mengenang kebaikan Pram.

Sementara itu Tejo sudah selesai makan, dan bersiap kembali kekantor. Ana mengantarnya sampai keteras, dan Pramadi yang ada didalam mobil melihat dengan heran, ketika Tejo mengelus pipi Ana. Lalu Ana tersenyum genit. Ihh..

“Ada apa diantara mereka?” pikir Pramadi yang kemudian pura-pura tidak melihatnya. Lalu Pram teringat ketika hari pertama Ana ada dirumah itu, Miranti juga melihat Tejo mengelus pipi Ana. Dan Pram kemudian merasa bahwa tampaknya Ana bukan perempuan baik-baik,

***

“Ana..” panggil Miranti dari dalam kamar, ketika ia sudah mendengar deru mobil Tejo pergi. Ana masuk kekamar Miranti.

“Ya bu.”

“Tolong seperti biasa ditatakan makan untuk mas Pram ya.”

“Iya bu, ditata diteras kan?”

“Iya An..”

“Baiklah, nanti biar Ana temani ya bu, Ana juga belum makan.”

“Oh, baiklah,”

Ana menata makan siang untuk Pram dimeja teras. Seperti biasa Miranti melakukannya. Tapi kali itu Ana menaruh dua piring disana. Ana belum makan, dan ingin makan sekalian disana.

“Mas sopir.. silahkan makan.. semuanya sudah siap..” kata Ana sambil mendekati mobil dimana Pram masih duduk dibelakang kemudi sambil membuka-buka ponselnya.

“Maas,” ulang Ana sambil mengetuk pintu mobil, karena Pram seperti tidak mendengarnya.

“Oh ya, terimakasih. Sebentar,” kata Pram lalu kembali asyik dengan ponselnya. Tampaknya banyak yang ditulis Pram, karena agak lama Ana menunggu.

“Maas, makan dulu mas. Mas ganteng..”

Lalu Pram turun, dan naik ke teras. Tapi Pram terkejut ketika Ana ikut duduk didepannya dan siap makan bersamanya.

Pram menggerutu dalam hati.

“Kalau aku tahu bahwa dia akan ikut makan, ogah aku turun dari mobil,” katanya dalam hati. Tapi dia biarkan Ana mengambilkan nasi dipiringnya.

“Sudah mbak, tidak usah dilayani, saya biasa makan sendiri.”

“Tidak apa-apa, kebetulan saya juga belum makan. Ini mas, pahanya enak, saya tadi yang menggorengnya.

“Ma’af, saya tidak suka paha.. saya lebih suka tahu atau tempe saja. Kata Pram sambil mengambil sepotong tahu dan sayur yang disiapkan.

“Ooh.. gimana sih mas, padahal ini enak lhoh. Cobain mas.. sedikit saja, Ana suapin ya.”

Pram memundurkan kepalanya, melihat tangan Ana mengambil sepotong daging paha ayam, lalu akan disuapkannya kemulutnya. Merinding bulu kuduk Pram melihat keberanian perempuan didepannya.

“Tidak.. tidak.. saya akan makan makanan yang saya suka, kalau mau saya akan mengambilnya sendiri,” lalu Pram cepat-cepat menghabiskan makanannya supaya segera pergi dari hadapan Ana.

“Tambah lagi mas?”

“Tidak. Terimakasih.”

“Mas Pram itu ternyata pemalu ya. Tapi aku suka pria pemalu. Biasanya dia itu malu-malu tapi mau lhoh.”

Pram tak menjawab, diletakkannya sendoknya lalu meneguk minumannya, dan kemudian berdiri.

“Ma’af, saya lupa mematikan mesinnya,” katanya lalu pergi dari sana dan kembali masuk kemobilnya.

“Benar-benar perempuan nggak bener dia itu,” gumamnya sambil menoleh sekali lagi kearah teras, dan dilihatnya Ana masih sibuk menyuap makanannya.

“Ganteng kok pemalu, bikin gemes saja,” gerutu Ana sambil menggigit paha yang baru saja dicomotnya.

“Lhoh, kok makan sendiri An.. mas Pram mana?”

Ana menoleh kearah Miranti dan mulutnya dimonyongkan kearah mobil.

“Tuh, sudah tadi. Makannya hanya sedikit.”

“Sudah makan?”

“Sudah bu, hanya sedikit makannya. Apa orang ganteng memang makannya hanya sedikit ya?”

Miranti menatap Ana tak senang. Menurutnya hari ini Ana tampak banyak bicara, sepertinya  hatinya sedang senang. Miranti tak tahu bahwa suaminya sedang menjanjikan sebuah mobil untuk Ana besok pagi.

Begitu kembali masuk kekamar, sebuah pesan singkat diterima dari Pram.

"Mulai besok, aku nggak usah dikasih makan saja.”

Miranti menahan senyumnya, pasti karena ulah Ana yang kegenitan.

“Ada apa sih, masakannya nggak enak? Aku sendiri lho yang memasaknya.”

“Enak masakannya. Mengapa sih dia ikutan makan diteras, biasanya tidak?”

“Memangnya dia mengganggu kamu?”

“Hiih. Menurut aku, dia itu gadis yang nggak bener.”

“Ada apa?” sambung Miranti dengan menambahkan emotikon orang tertawa.

“Nanti kalau ada kesempatan aku mau cerita. Ini aku sedang mengerjakan urusan kantor.”

“Baiklah, selamat bekerja.”

***

Pagi hari itu ada lagi sebuah sandiwara.

Ketika Tejo mau berangkat kekantor, Ana mendekati Miranti.

“Bu, bolehkah saya perginya ikut pak Tejo dan nanti minta turun dijalan?”

“Bilang saja sama dia, mau apa tidak kamu ikut.” Jawab Miranti sambil menggendong anaknya.

“Pak Tejo, boleh ya nanti saya ikut pak Tejo. Nanti saya diturunkan dijalan dekat terminal juga mau.”

“Tidak.. tidak. Enak aja ikut aku. Naik angkot apa taksi sana saja,” jawab Tejo dibuat seketus mungkin.

“Ah, ya sudah. Saya naik angkot saja,” lalu Ana masuk kedalam kamar dan tersenyum geli. Ia ingin menunjukkan kepada Miranti bahwa Tejo sama sekali tidak menyukai Ana.

Ana berganti pakaian, mengambil tas tangan kecil dan keluar dari kamarnya. Penampilannya tetap sederhana. Rambut dikucir ekor kuda, dan dandanan yang hanya memakai bedak saja.

Dilihatnya Miranti duduk sambil memangku Abi didepan kamar.

“Pak Tejo nggak mau kalau saya ikut bu. Biar saya naik angkot saja.”

“Ya sudah, hati-hati dijalan, ini uang .. belilah oleh-oleh untuk ibu kamu,” kata Miranti sambil menyerahkan sejumlah uang.

“Terimakasih bu,” kata Ana kemudian berlalu. Wajahnya cerah, membayangkan mobil yang akan dimilikinya hari itu.

Dipelataran, dilihatnya Pram baru saja datang.

“Mas ganteng baru datang?”

Pram menoleh sedikit kearah Ana lalu memasukkan motor bututnya ke garasi.

“Mas, mau nganterin saya nggak? Ditinggal juga nggak apa-apa.”

“Oh, ma’af, bu Miranti minta saya datang pagi karena mau kedokter.”

“Lho, memangnya ada yang sakit?”

“Adik Abi cuma kontrol kesehatan,” kata Pram sambil masuk lagi ke garasi untuk mengeluarkan mobilnya.

Ana mencibir dan berlalu. Ditengah perjalanan dilepasnya tahi lalat palsunya dan juga tali kucir rambutnya, dan dibiarkan tergerai berombak, lalu dipanggilnya taksi.

***

Tejo menekuni pekerjaannya, tapi sebentar-sebentar dilihatnya arloji. Ia berjanji akan menemui Nisa jam sembilan, tapi semenit sebelum dia meninggalkan pekerjannya, pak Kusumo datang.

“Adduh...” keluh Tejo pelan.

“Kenapa adduuh?” tanya pak Kusumo yang mendengar keluhan Tejo.

“Oh, ini pak, saya salah menuliskan data.”

“Hati-hati kalau bekerja.”

“Ya bapak.”

“Hari ini anakmu akan kontrol kesehatan ke dokter anak, kamu tidak mengantarnya?”

“Saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini pak. Lagi pula sudah ada Pram yang akan mengantarkannya.”

“Yang suaminya Miranti itu kamu atau Pram?”

“Tapi pak...”

“Dulu waktu Miranti mau operasi, yang tanda tangan Pram, ketika anak kamu lahir, yang mengumandangkan adzan ditelinganya juga Pram. Sekarang ketika harus mengantar anak kamu ke dokter, kamu juga menyuruh Pram. Bagaimana kamu ini?”

“Kalau saya meninggalkan pekerjaan ini, nanti tidak akan selesai bapak.”

“Tejo,  dengar ya.. bapak sudah tahu kalau akhir-akhir ini kamu tidak pernah lagi menemui Anisa. Kamu betah dirumah sa’at pulang dari kantor. Malam-malam juga tidak pernah lagi keluar rumah. Tapi bapak minta... perbaiki hubungan kamu sama isteri kamu. Bapak melihat hubungan kalian masih kaku. Bukankah aneh, sudah punya anak tapi hubungan masih kaku? Rumah tangga macam apa yang kalian jalani itu? Bapak kasihan sama Miranti. Tampaknya dia menahan perasaan kesal sama kamu. Kelihatan dari mukanya, apa kamu tidak merasakannya?”

“Sebenarnya kami baik-baik saja pak.”

“Tapi bapak belum melihat itu. Kalau memang hubungan kalian baik, pulang dan antarkan anakmu ke dokter pagi ini.”

“Tapi pak.. “

“Pulanglah, biarpun Pram yang mengantarnya, tapi kamu harus ada bersama isteri dan anakmu.”

“Pekerjaan ini..”

“Biar bapak yang mengerjakan. Sebelum ada kamu siapa yang mengerjakan semua ini? Cepat pulang, sebelum isteri kamu keburu berangkat.”

Tejo berdiri dengan perasaan tak menentu. Tapi dia tak bisa membantah apa kata bapaknya. Pak Kusumo duduk dimeja Tejo dan mencermati semua data yang dikerjakan Tejo.

Tiba-tiba telpon berdering.

“Ya, ada apa?”

“Ada telpon dari Dealer Mobil Prakarsa ingin bertemu pak Tejo, apakah bapak mau menerimanya?” tanya sekretaris Tejo.

“Dealer mobil ? Tanyakan keperluannya.”

“Katanya mau bicara tentang kredit mobil atas nama pak Tejo.”

Pak Kusumo tertegun.

***

Besok lagi ya

 

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...