Sunday, June 30, 2019

SA'AT HATI BICARA 37

SA'AT HATI BICARA  37

(Tien Kumalasari)

Bergegas dipanggilnya taksi yang kebetulan mangkal didepan rumah sakit itu. Hatinya gundah gelisah. Bagaimana kalau terjadi apa2 dengan adiknya? Ya Tuhan, selamatkan dia.. selamatkan dia.. bisiknya dalam hati. Jalanan yang masih sepi itu sesungguhnya sangat lancar bagi pengendara apapun untuk melaju. Maruti sudah meminta driver agar mempercepat laju kendaraannya, tapi bagi Maruti semuanya serasa bagai merayap lambat dan menyebalkan. Ingin Maruti melompat dan berlari sendiri sekencang kencangnya agar segera tiba dirumah.

Maruti merasa lega ketika akhirnya tiba didepan rumahnya, namun dilihatnya pak Karsono berdiri sendrian, tegak seperti patung didepan teras rumahnya. Dimana Dita, sudah sadarkah, lalu tidur dikamar?

Maruti mendekati pak Karsono setengah berlari.

"Bagaimana Dita pak, dimana dia sekarang?"

"Maruti, baru saja dokternya kemari dan membawanya kerumah sakit."

Maruti tercengang.

"Dokter siapa pak?

"Seorang dokter cantik. Tadi Dita sudah sadar setelah dirawat beberapa ibu2, dan tiba2 dokter itu datang. Dita mengenali kok, jadi kami biarkan dokter itu membawanya."

"Oh, dokter Santi?"

"Ya, begitulah tadi Dita menyebutnya."

"Oh, baiklah pak, terimakasih banyak."

"Ini kunci rumahmu nak," kata pak Karsono memberikan kunci rumah. 

"Oh ya, terimakasih pak."

Maruti membalikkan tubuhnya untuk menyusul Dita yang dibawa dokter Santi kerumah sakit,  

***

Pagi itu sebelum berangkat kekantor  Panji pergi kerumah sakit dimana bu Tarjo dirawat.Ia ingin bertemu Dita dan bertanya tentang Santi. Namun tak ditemuinya seorangpun diantara Dita ataupun Maruti. Ketika ditanyakannya pada perawat, katanya Maruti pulang pagi2 sekali. Dita tidak tampak sejak semalam. Kemudian Panji memutuskan untuk pergi saja kerumahnya, mungkin dirasanya lebih enak bicara dirumah daripada dirumah sakit. Namun dirumah Maruti ia juga tak menemukan mereka, bahkan keterangan dari pak Karsono tetangganya sangat mengejutkannya.

"Dokternya bernama Santi telah membawanya kerumah sakit. Maruti pun ketika pulang juga tak ketemu adiknya," kata tetangga yang menolongnya.

Panji terpana, Santi membawanya?Ini celaka.. segera diteleponenya Maruti.

"Hallo..mas Panji?" jawab Maruti dari seberang sana.

"Maruti, kamu dimana ?"

"Aku sedang menyusul Dita yang dibawa dokter Santi kerumah sakit mas, tadi pagi dia pingsan dirumah, aku masih dirumah sakit menunggui ibu waktu itu."

"Kamu dimana sekarang?"

"Aku sudah dirumah sakit tempat dokter Santi praktek mas. Ada apa?"

"Tunggu aku disitu, dan jangan kemana mana."

"Tapi aku harus mengetahui keadaan Dita dulu mas."

"Dita tak akan ada disitu, [ercayalah."

"Apa maksud mas Panji?"

"Pokoknya tunggu aku disitu."

Maruti kebingungan, bagaimana Panji tau bahwa Dita tak ada disitu? Maruti nekat masuk kedalam rumah sakit itu. Ia mencari dokter Santi, tapi perawat jaga bilang dokter Santi tak datang kesana, apalagi membawa pasien bernama Dita.

Maruti bingung, tampaknya ada sesuatu yang terjadi dan itu membuatnya takut. Ia kelobi depan menunggu Panji yang katanya akan menyusulnya. Sambil menunggu itu berkali kali Maruti menghubungi Dita, tapi ponselnya tidak aktif dari semalam. Tiba2 rasa takut menyergapnya. Apakah sakit Dita bertambah parah? Ya Tuhan, mana mas Panji yang katanya mau menyusulnya, ia butuh seseorang untuk menguatkan hatinya yang gundah.

Ketika dilihatnya mobil Panji datang, tak sabar Maruti datang menghampiri. Panji membuka pintu disampingnya dan mempersilahkan Maruti masuk.

"Apa yang terjadi? Bagaimana Dita? Dirumah sakit mana?" tanya Maruti cemas.

Panji menjalankan mobilnya keluar dari area rumah sakit. Maruti memandanginya dengan wajah pucat. Yang difikirkannya adalah sakit Dita bertambah parah, atau mungkin sesuatu telah terjadi pada adiknya. Atau.. enam bulan yang dijanjikan itu datang lebih cepat?

"Mas...."

"Santi membawa kabur Dita."

"Apa mas? Membawa kabur bagaiana? Aku bingung mas, aku cemas, aku tidak mengerti, pagi tadi aku dikabari tetangga bahwa Dita pingsan dihalaman. Ketika aku buru2 pulang untuk melihatnya, tetangga bilang bahwa Dita telah dijemput oleh dokter Santi, dibawa kerumah sakit. Tapi dirumah sakit itu aku tidak menemukannya."

"Ya, tentu, karena Santi membawa kabur Dita."

"Aku tidak mengerti.."

"Dengar Maruti, Santi itu penjahat. Dia membuat laporan palsu."

"Laporan apa?"

"Laporan kesehatan Dita. Sebenarnya Dita tidak sakit apapun. Dia sehat."

"Apa?"

Gemetar Maruti mendengarnya, apakah itu benar? Jadi dia tidak akan kehilangan Dita secepat itu? Tapi Panji belum menjelaskannya, Maruti mendengarnya seperti sebuah mimpi. Semuanya serba membingungkan.

"Itu benar. Dita tidak sakit apapun. Santi telah berbohong."

"Mengapa mas?"

"Entahlah, jawabannya ada pada Dita, tapi sekarang Santi membawa kabur Dita. Aku akan melaporkannya pada polisi kalau hari ini tidak bisa menemukannya."

Kepala Maruti tiba2 berdenyut kencang. Panji menceriterakan semuanya. Tentang nama dokter Baroto yang ternyata tidak ada, tentang laporan lab yang pastilah palsu. Dan semuanya membuatnya semakin pusing.

"Kalau kamu tidak percaya, periksakan saja lagi Dita ke dokter lain yang lebih ahli. Apa yang dikatakan Santi itu palsu."

"Tapi dimana sekarang Dita?" kecemasan Maruti kini tertuju pada keselamatan Dita. Aoakah Santi akan mencelakainya? Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhnya, tangannya gemetar, air mata mulai menitik perlahan dan membasahi pipinya.

"Dimana Dita sekarang?"

"Kita akan mencarinya. Lebih dulu kerumah Santi."

Tapi seperti kemarin, pagar rumah Santi tergembok, dan pintu rumah tertutup rapat.

"Rumah ini kosong.."

"Belum tentu, aku akan memanjat pagar dan masuk kedalam, siapa tau dia bersembunyi didalam dan mengelabui orang dengan gembok itu supaya mengira dia pergi.

Panji berusaha masuk dengan memanjat pagar. Berhasil, lalu mendekati rumah yang sepi dan tertutup rapat. Tapi memang benar tak ada siapa2 didalam. Panji mengintip kepintu garasi melalui lobang angin yang ada, tapi mobilnya juga tak ada. Beraarti Santi tak ada dirumah. Panji kembali ke mobilnya.

"Kemana Dita dibawa mas?" rintih Maruti.

"Kita akan mencarinya, kalau perlu lapor polisi."

"Mengapa dia membawa Dita?"

"Dia melakukan kejahatan itu atas sepengetahuan Dita. Pasti Dita akan dijadikan tameng oleh dia."

"Ya Tuhan....bagaimana ini?"

"Tenanglah Maruti, aku akan berusaha mencari ketempat lain. Kalau hari ini tidak ketemu aku benar2 akan lapor polisi."

***

Sementara itu Dita dan Santi ternyata berada disebuah rumah terpencil yang ada jauh diluar kota. Bukan hanya Dita, Santi pun sesungguhnya merasa takut.

"Mengapa dokter membawa saya kemari? Ini rumah siapa?" tanya Dita yang belum hilang rasa takutnya dari kemarin.

"Rumah siapa kamu tidak usah perduli, aku sudah membayarnya dan kita akan aman disini."

"Dokter, sebenarnya ada apa ini? Mengapa kita harus bersembunyi?" 

"Diamlah Dita." sentak Santi kasar. Dia sendiri sedang merasa tak tenang, dan Dita seperti anak kecil yang merengek rengek tak henti2nya.

"Tapi aku takut dokter."

"Tentu, aku juga takut, apa kamu mau dipenjara bersama aku?"

"Ini kemauan dokter, bukan aku, mengapa aku juga harus dipenjara?"

"Bodoh! Ini kemauan kamu. Kamu yang menginginkan Panji dan aku hanya membantu kamu, jadi kamu juga harus bertanggung jawab.

"Tapi dokterlah yang berbohong."

"Kamu membantu berbohong Dita, jangan bodoh. Dan diamlah, aku sedang memikirkan bagaimana caranya kabur dari masalah ini."

"Tapi aku ingin melihat ibuku.. "

"Ibumu sudah ada yang menangani, fikirkanlah dirimu sendiri."

Dita menangis tak henti2nya, membuat Santi kesal kemudian meninggalkannnya didalam rumah yang kemudian dikuncinya dari luar. Entah apa yang akan dilakukannya.

***

besok lagi ya

 


Saturday, June 29, 2019

SA'AT HATI BICARA 36

SA'AT HATI BICARA  36

(Tien KUmalasari)

Dita tampak tercengang, bu dokternya yang biasanya penuh perhatian terhadap keluarganya, tak terlihat perduli mendengar Dita menceriterakan musibah yang menimpa ibunya. 

"Dita..," suara Santi dari seberang.

"Ya dok... ya.." 

"Kamu masih disitu? Kamu mendengar aku bicara?"

"Ya.. ya.."

Didekatmu ada siapa? Kalau ada Maruti, atau siapapun yang ada didekatmu, lebih baik kamu menjauh dari mereka, supaya jelas aku bicara, "perintah Santi yang segera dituruti oleh Dita. Ia berdiri dan berjalan agak menjauh dari kakaknya.

"Ya dok, sudah,"

"Sudah jauh? Jangan sampai siapapun mendengar ini. Ini menyangkut keselamatan kamu juga." Kata2 Santi ini sangat mengejutkan Dita.

"Sekelamatan apa dok?" tanyanya heran, tapi juga ketakutan.

"Dengar, tampaknya mas Panji mencurigai kita."

"Apanya dok?"

"Aku dan kamu kan sedang bersandiwara tentang penyakit itu, supaya kamu mendapatkan mas Panji, ya kan? Nah seharian ini dia mencari cari aku. Ia curiga tentang nama dokter yang aku katakan telah memeriksa kamu.Aku tadi pulang dan bersembunyi dirumah, tapi aku sudah mengelabuinya dengan menggembok pintu pagar. Dia sedang mencari cari aku Dit, ini karena aku ingin membantumu mendapatkan mas Panji."

"Oh, kalau begitu nggak jadi saja dok, Dita sedang sedih memikirkan ibu, Dita tak perduli lagi sama mas Panji."

"Enak saja kamu bicara, kamu bilang nggak jadi, tapi aku terlanjur berbohong kepada semua orang. Dan aku takut mas Panji melaporkannya pada polisi."

Dita terkejut, mendadak wajahnya pucat pasi. Polisi? Sungguh menakutkan...

"Ya, polisi, bisa jadi aku ditangkap dan dipenjarakan."

"Tapi bukan aku kan dok?" Dita benar2 ketakutan.

"Ya nggak bisa begitu dong Dit, kamu ikut berbohong, kamu ada didalamnya, jadi kalau aku dipenjara, kamu juga akan dipenjara.."

"Oh.. tidaaak...," Dita berteriak, membuat Maruti menoleh kearahnya.

"Dita, kamu gila ya berteriak keras2 begitu? Dengar, aku serius nih."

"Lal..lu..lallu.. aku harus bagaimana?"

"Kamu harus berusaha supaya mas Panji tidak melapor ke polisi."

"Tta..pi..bagaimana?" 

"Ada apa Dita?" tiba2 Maruti sudah mendekati Dita. Rupanya Santi mendengarnya dan segera menutup pembicaraan itu.

"Hallo," Dita masih ingin bertanya tapi telephone sudah dimatikan.

"Ada apa? Kamu tampak kebingungan begitu.." tanya Maruti yang khawatir melihat sikap adiknya.

"Nggak.. nggak apa2, ini tentang obatku..."

"Belum habis kan?"

"Dia hanya mengingatkan, sudahlah mbak, ayo kembali duduk. Oh ya, aku mau beli minuman dulu ya, haus mbak."

"Biar aku saja yang beli, kamu duduk disini."

"Ya sudah, terserah mbak saja."

Tanpa menunggu jawaban, Maruti bergegas menuju kantin, dan begitu Maruti menjauh, Dita kembali menghubungi Santi, namun telephone itu sudah tidak aktif lagi. Dita mencoba ke nomor yang ada dicatatannya, tapi juga nggak bisa tersambung. Dita kebingungan, apa yang dikatakan Santi sungguh membuatnya takut. Dipenjara? Aduhai, jangan.. jangan sampai.. tempat yang pengap, mungkin bau.. bercampur penjahat2.. makan yang tidak enak, tidur di bawah dengan alas seadanya...dan penjaga yang sangar dan galak... oo.. Tuhan.. ampunilah aku... Dita berlinangan air mata, kali ini bukan karena menangisi ibunya, tapi karena bayangan penjara yang membuatnya sangat ketakutan..

"Salahku... salahku...mengapa aku melakukannya?" dan bayangan pria tampan yang memiliki senyum menarik itu berubah menjadi bayangan hantu yang menakutkan. Hantu itu menyeringai, giginya yang besar2 tampak meneteskan darah, rambutnya berjuntai.. keras dan bau, matanya seperti menyemburkan api.....

"Tidaaaak... ini salahkuu..." Desis Dita, yang kemudian ternyata didengar Maruti yang sudah datang dengan membawa dua botol minuman dingin.

"Dita, jangan selalu menyalahkan diri sendiri. Ini minumnya, minumlah," kata Maruti sambil mengangsurkan botol minuman.

Untunglah Maruti mengira Dita merasa bersalah dalam musibah yang menimpa ibunya. Kalau bayangan penjara dan hantu itu diketahuinya....entah apa yang akan terjadi pada dirinya.  Dita mengusap air matanya, dibukanya botol minuman dan meneguknya hampir setengah dari botol itu.

"Kamu haus ya?" Maruti merasa iba.

***

Namun Dita semalaman nggak bisa tidur, hatinya gelisah bukan alang kepalang. Ia sungguh ketakutan mendengar kata2 Santi bahwa Panji akan melaporkannya ke polisi. Maruti yang merasa iba mengira Dita kesakitan.

"Dita, kamu bawa obatmu kemari?"

Dita menggeleng.

"mBak, bagaimana kalau aku pulang saja?" 

"Ya, nggak apa2 Dit, pulanglah saja. Kamu kan sakit, dan tidak boleh terlambat minum obatnya."

Dita tak menjawab. Dia tak merasa sakit apapun, sakit itu hanya dibuat buat, atas saran dokter Santi. Dita juga tak tau, mengapa dokter Santi membantunya merebut Panji dari Maruti. Pasti bukan karena dia menyayangi dirinya, tidak. Sekarang Dita baru merasa bahwa Santi mengajaknya melakukan suatu kejahatan.

"Ya sudah, pulang saja dulu, besok pagi kalau kamu sudah enakan, kemari bawa ganti baju mbak ya."

Kembali  Dita hanya mengangguk. Hatinya sungguh kacau, ia tak tau harus melakukan apa. Barangkali dirumah bisa lebih tenang. Dita melangkah keluar, diikuti pandangan Maruti yang merasa trenyuh melihat adiknya. Pada pikirnya Dita pasti kesakitan, atau mungkin sangat merasa bersalah atas terjadinya musibah itu.

***

"Kamu pulang dari rumah sakit jam berapa Laras?"

"Ya belum lama, aku langsung kemari. Lama sekali mas Perginya, kemana saja? Aku menunggu sampai ngantuk."

"Aku mencari nama dokter Baroto yang kata Santi menangani penyakit Dita."

"Oh iya, sudah ketemu?"

"Nggak ada nama dokter itu."

"Maksudnya? Belum pulang dari luar negeri?"

"Nggak ada yang namanya Baroto onkolog. Itu hanya karangan Santi saja."

"Lhoh, mengapa dia melakukan itu?"

"Nggak tau aku, aku baru mencari cari dia, tapi tampaknya dia kabur."

"Kabur?"

"Aku akan melaporkannya pada polisi, ini tindakan kriminal. Ini membuat kacau semua orang. Bahkan bu Tarjo terkena musibah juga ada hubungannya dengan kebohongan itu."

"Eit, tunggu..tunggu.. aku tidak mengerti. Mengapa dokter Santi berbohong?"

"Nggak tau aku, aku sedang mencarinya, tapi tampaknya dia kabur. Dia curiga ketika aku bertanya tanya tentang dokter Baroto siang tadi, dia pasti sudah merasa kalau aku mencurigainya."

"Apa ya maksudnya?"

"Aku akan kerumah sakit lagi. Aku harus bertemu Dita untuk menanyakannya."

"Mas, bagaimana kalau besok saja? Ini sudah malam dan mereka masih sedih karena ibunya belum sadarkan diri, kalau mas bertanya tanya tentang Santi apa tidak menambah beban bagi mereka?"

"Iya juga sih...

"Mas bersabarlah dulu, sekarang antarkan aku pulang.Kalau aku pulang sendiri malam2 begini nanti ibu marah sama aku, dikiranya aku keluyuran."

"Salah kamu sendiri, mengapa kemari bukannya langsung pulang."

"Mau ngomong so'al usaha mas itu, tapi ya sudahlah, besok2 kalau semuanya sudah tenang kita bicara lagi."

"Ya, aku belum bisa berfikir juga tentang itu, ayo aku antar, pamit simbok dulu."

***

Hari masih pagi, disekitar rumah sakit masih tampak gelap, suasana sangat sepi karena para penunggu yang berjajar diluar ruang ICU juga masih meringkuk dalam tidur yang lelap. Maruti ingin mengabarkan keadaan Dita. Maruti juga ingin mengabarkan pada Dita bahwa ibunya sudah melewati masa kritis. Semalam sudah sadar, dan Maruti sempat berbicara sebentar karena dokter melarangnya bicara banyak. Tapi ponsel Dita tidak aktif.

"Mungkin Dita masih terlelap," bisik Maruti. Namun sampai remang malam itu menghilang, Dita masih belum bisa dihubungi. Maruti mulai disergap oleh rasa khawatir. Jangan2 Dita kesakitan dan tak seorangpun mengetahuinya. Maruti berpesan kepada perawat yang berjaga agar kalau ada apa2 harap  menghubungi saja nomor ponselnya, karena ia ingin pulang sebentar. Ia masuk keruang ICU dan melihat ibunya masih tertidur. 

Namun sebelum Maruti meninggalkan rumah sakit, pinselnya berdering. Itu nomor asing, ragu2 Maruti mengangkatnya. Namun dering itu tak henti2nya. 

"Hallo.." sapa Maruti.

"Hallo, ini Maruti? Saya pak Karsono, tetangga sebelah.

"Ya pak, ada apa?"

"Pagi tadi kami menemukan nak Dita pingsan didepan rumah."

Maruti terkejut bukan alang kepalang.

***

besok lagi ya

 

 

 


Friday, June 28, 2019

SA'AT HATI BICARA 35

SA'AT HATI BICARA  35

(Tien Kumalasari)

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Agus

"Sebentar Pras, baru aku pikirkan."

Keduanya kembali ketempat duduk. Ketika itu Maruti dan Dita sudah keluar dari ruang perawatan. Wajahnya kusut, bekas2 air mata masih tampak.

"Apa kata dokter?" Laras lah yang bertanya duluan.

"Parah Laras, ibu juga gegar otak karena waktu jatuh kepalanya menimpa lantai dengan keras."jawab Maruti pilu.

"Lalu bagaimana?"

"Ya tetap masih akan dirawat, hari ini juga masuk ICU."

"Ya Tuhanku..." keluh Laras trenyuh.

"Ibu juga belum sadar," lanjut Maruti. Dan Dita yang hanya diam kembali menangis sesenggukan.

"Dita, diamlah, jangan menangis lagi. Berdo'a saja untuk ibu,"

"Aku yang salah, aku yang salah."

"Bukan, ini sudah kehendak Tuhan, tak bisa kita mengingkarinya. Ayo berdo'a saja, ibu pasti akan baik2 saja," Laras terus menerus menghibur Dita.

"Tadi Dita bilang ada simbok, mana dia?"

"Mas Panji menyuruhnya pulang pakai taksi, kasihan simbok kalau kelamaan disini."jawab Laras.

"Laras, kayaknya aku harus pulang dulu, ada yang harus aku selesaikan. Kamu masih mau disini?" tiba2 Panji menyela pembicaraan mereka.

"Ya mas, aku disini menemani Maruti dan Dita."

"Maruti, aku juga mau kembali kekantor dulu. Berkas yang tadi kita bawa tertinggal dirumah makan," kata Agus ketika tiba2 diingatnya map yang tadi dibawanya.

"Oh, iya pak, saya mohon ma'af untuk tidak kembali ke kantor dulu." jawab Maruti.

"Nanti akan aku suruh orang mengantarkan ponselmu kemari,"

"Termakasih," jawab Maruti lalu kembali duduk disamping Dita.

Panji terlihat sedikit lega, melihat sikap Maruti yang tampak tak begitu perhatian sama perginya Agus. Apakah Agus yang mengejarnya? Kemudian terbayang lagi ayunan dengan bocah diatasnya, lalu Panji mengibaskannya, dan berlalu bersama Agus.

Maruti heran melihat sikap Panji,mengapa sedikitpun tak menoleh kearahnya ataupun Dita, dan langsung pergi,  tapi mengingat keadaan ibunya dikibaskannya perasaan itu. Kini mereka sedang menunggu sa'at bu Tarjo dibawa ke ruang ICU.

***

"Jadi nggak ada ya onkolog bernama Baroto dan yang sedang pergi keluar negri?" tanya Panji hampir disetiap rumah sakit yang dikujungi.

Kemarahannya memuncak. Dia tidak tau mengapa Santi mengarang cerita yang menghancurkan hati banyak orang ini.

Mobil Panji melunjur kearah rumah sakit dimana Santi berpraktek. Masih ada dua orang pasien, kemarahan Panji sudah memuncak, tapi dia kasihan kepada pasien yang masih menungguinya, dan pasti sudah lama. Panji duduk dikursi sudut, menjunggu sampai dua pasien tersebut selesai diperiksa. Pikirannya melayang layang kemana mana. Dari apa maksudnya Santi mengarang ceritera, sampai dia hampir saja melamar Dita. Ini sebuah kebodohan, Santi yang membodohi semua orang. Gila benar, apa maksudnya? Panji kembali memijit kepalanya. Bu Tarjo terkena musibah, ini juga ada sambungannya dengan kebohongan Santi. Ini tak bisa didiamkan, dia harus diseret ke pengadilan, Ini kriminal.

Tiba2 ponselnya berdering. Dari Agus.

"Hallo Pras.." jawab Panji. Bagaimanapun Agus telah membantunya berfikir tentang dokter bernama Baroto. Ia harus mengubah sikapnya.

"Bagaimana? Sudah ketemu dengan onkolog itu?"

"Nggak ada, aku sudah memasuki beberapa rumah sakit, nggak ada onkolog itu."

"Lalu mengapa Santi mengarang semua itu?"

"Ini yang sedang aku urus. Aku lagi dirumah sakit tempat Santi berpaktek, masih menunggu satu pasien lagi nih."

"Sebenarnya bagaimana sih cerita selengkapnya, aku tuh tau hanya sepotong2."

Kemudian Panji bercerita tentang semuanya, ketika Dita katanya divonis umurnya paling lama hanya tinggal 6 bulan, sampai kemudian Dita ternyata mencintai Panji lalu Maruti menangis nangis agar Panji mau mencintai Dita, bahkan minta agar mau menikahinya untuk memberikan kebahagiaan di akhir hidupnya, sehingga dia menyanggupinya, tapi belum kesampaian terjadi musibah dirumah Maruti ketika Panji sedang berniyat melamarnya.

Agus termenung mendengarnya. Apakah Santi sejahat itu? Apa maksudnya?

"Mau aku temani?" akhirnya kata Agus.

"Nggak.. nggak usah, dan ma'af sebelumnya, kayaknya aku mau menyeret bekas isterimu ke pengadilan."

"Ya Tuhan.. sampai begitu?"

"Pras, ini tindakan kriminal. Karena tindakannya aku nyaris menikahi Dita karena tangis Maruti, dan bu Tarjo mengalami musibah yang tidak ringan. Ini karena perbuatannya Pras."

"Yah, mau bagaimana lagi. Dia memang keterlaluan. Aku akan mendukungmu Panji."

Panji menutup telephonnya karena pasien terakhir sudah keluar. Panji langsung memasuki ruangan Santi, tapi begitu membuka pintu, bukan Santi yang ada didalam. Panji tertegun.

"Mau periksa?" Tanya dokter itu. 

"Oh, bukan, saya kita dokter Santi yang praktek." kata Panji 

"Dokter Santi ijin buru2, katanya ada keperluan mendesak,saya dokter Nita, tapi kalau bapak mau periksa, barangkali saya bisa membantu."

"Tidak, bukan mau periksa, baiklah, ma'af." 

Panji berlalu dengan perasaan tak menentu.

Dipacunya mobil kearah rumah Santi. Pasti dia sedang ada dirumah. Mengapa harus pamit buru2? Apakah dia bersembunyi karena merasa bahwa aku mencurigainya?

Mobil Panji berhenti didepan rumah mungil yang didiami Santi. Tapi pintu pagar tertutup dengan gembok. Tak ada mobil didalam pekarangan, dan kelihatannya memang rumah itu kosong. Panji masih duduk dibelakang kemudi, Dia ingin menelpon, tapi tadi dia meminjam ponsel Agus. Sehingga ia harus menanyakannya pada Agus.

"Hallo Pras," sapanya.

"Bagaimana? Jawab Agus dari seberang sana.

"Nggak ada dia, ini aku didepan rumahnya. tadi aku sudah ke rumah sakit, tapi setelah lama  menunggu ternyata yang paktek bukan dia, katanya pamit buru2. Aku kira pulang kerumah, ternyata tidak.""

"Waduh, mungkinkah dia melarikan diri?"

"Pras, tolong aku minta nomer tilponnya Santi ya."

"Oke, tunggu aku SMS kan ya.."

Panji sudah menerima nomor Santi, dan segera ditelponnya, tapi telponnya mati. Tak ada suara Santi kecuali operator yang memberitahukan bahwa telpon yang dia panggil sedang tidak aktif.

Kecurigaan Panji memuncak. Dia sedang berfikir akan apa yang harus dilakukannya. Tadinya ia ingin berbicara dulu karena ingin tau apa maksudnya, tapi karena tampaknya dia menghindar, tak ada cara lain kecuali melaporkannya pada yang berwajib.

***

Sementara itu setelah mendapat keterangan dari Panji tentang kejahatan Santi, lalu Panji mengatakan bahwa ia ingin menikahi Santi karena penyakit Santi, tiba2 dia teringat kata2 Santi waktu tiba2 datang ke kantornya. Santi bilang, kalau memang tertarik pada Maruti, ada peluang kok, karena Panji justru suka pada adiknya. Mengapa Santi mengatakan itu? Pikir Agus. Tiba2 saja harapan untuk memiliki Maruti lepas dari angan2nya. Kalau semuanya terbongkar, tak mungkin Panji mau menikahi Dita, dan pasti balik pada Maruti.

"Papaaaaa..." teriakan melengking itu mengejutkannya, karena Sasa tiba2 sudah ada didepannya, ketika Endang si perawat membukakan pintu ruangannya.

"Sasa? Kok sudah sampai disini ?"

"Iya, kan mau ajak tante Maruti jalan2. Mana tante Maruti?" tanya Sasa sammbil memandang sekeliling. Karena diluar tidak ada, Sasa mengira Maruti ada diruangan papanya.

"Tante Maruti lagi nggak masuk Sasa," jawab Agus sambil menahan kekecewaan dihatinya. 

"Tante Maruti sakit?"

"Ibunya yang sakit, jadi tante Maruti harus menungguinya dirumah sakit."

"Kalau begitu ayo kita kesana pa.."

"Kerumah sakit?" tanya Agus, dan Sasa mengangguk angguk.

"Tidak boleh anak kecil yang sehat masuk kerumah sakit."

"Kenapa papa?"

"Dirumah sakit itu kan banyak orang sakit, jadi banyak penyakit disana. Itu sebabnya anak kecil dilarang kesana, karena penyakit itu bisa menular."

"Kenapa tante Maruti juga kesana, bagaimana kalau tertular juga?"

"Kalau sudah besar itu, badannya sudah kuat, jadi tidak gampang tertular penyakit. Sekarang papa mau siap2 dulu dan kita jalan2 ya."

"Nggak mau, kita pulang aja, jalan2nya nunggu tante Maruti aja."

Waduh, Agus benar2 bingung, bagaimana kalau Sasa terlanjur suka sama Maruti dan selalu minta agar Maruti bersamanya?

***

Maruti dan Dita masih menunggui ibunya dirumah sakit. Sedih melihat ibunya belum juga sadarkan diri, sementara separo tubuhnya terbalut perban, dan selang2 infus bergelantungan disekitar tubuhnya.

"Ibu akan selamat kan mbak?" rengek Dita memelas.

"Tentu Dita, teruslah berdo'a untuk ibu." hibur Maruti sambil mengelus kepala adiknya.

"Dita sangat menyesal mbak, itu salah Dita.."

"Jangan terus menerus menyalahkan diri sendiri Dita, sudahlah, yang harus kita lakukan sekarang adalah berdo'a."

Tiba2 ponsel Dita berdering.

"Dari siapa nih mbak, nggak ada namanya," kata Dita yang merasa ragu2.

"Mungkin dari temanmu yang menanyakan keadaan ibu, angkat saja Dit."

"Tapi Dita nggak kenal nomornya."

"Barangkali ada yang perlu, kalau bukan siapa2 atau telepon itu mengganggumu, boleh langsung ditutup."

"Hallo.." kata Dita sambil mengangguk.

"Ini kamu Dita? Nggak kenal suaraku lagi?"

"Oh, dokter Santi. Nggak tau, soalnya nomernya ganti. Dokter, ini aku lagi dirumah sakit, ibu kena tumpahan sayur panas, dan itu parah."

"Oh, ya sudahlah, aku ikut prihatin, tapi dengar, ada yang ingin aku katakan dan itu penting."

***

besok lagi ya, Maruti ngantuk.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


SA'AT HATI BICARA 34

SA'AT HATI BICARA  34

(Tien Kumalasari)

"Tunggu Maruti, aku akan mengantarmu," Agus berlari lari mengejar Maruti, dan begitu dekat Agus segera meraih lengannya untuk menahannya terus melangkah.

"Ibuku mas, tersiram air panas.. " isak Maruti

"Ya.. ya, aku antar kamu."

Maruti tak bisa menolak, pikirannya kacau, air matanya bercucuran sepanjang perjalanan.

"Tenangkan hatimu Ruti, kalau sudah dirumah sakit berarti sudah ada penanganan yang bagus. Sudah, jangan menangis lagi," kata Agus sambil mengangsurkan tisu yang selalu tersedia dimobilnya.

"Pasti mereka mengabari saya dan saya tidak tau karena hape saya tertinggal dikantor," sesal Maruti.

"Nanti aku akan suruhan pesuruh kantor mengantarnya kerumah sakit. Sekarang tenangkan hatimu."

Begitu berhenti di area parkir rumah sakit itu Maruti segera berlari  lari kecil masuk kedalam. Katanya ibunya masih di ruang UGD. Agus kembali mengejarnya, dan menggandeng tangannya sampai kemudian tiba didepan  ruang UGD.

Sa'at itu Panji masih disana, duduk bersebelahan dengan Dita yang juga terus menangis. Ketika dilihatnya Maruti datang bergandengan tangan dengan Agus, meluaplah kembali rasa cemburu Panji.Dia mebuang muka, tak tahan melihatnya, sementara Dita begitu melihat Maruti segera berlari menubruknya.

"mBak, aku yang salah mbak, aku yang salah... ma'afkan aku mbak," tangis Dita.

"Mana ibu? Mana ibu, Dita?" tanya Maruti.

"Masih didalam, kita belum bisa masuk. Ibu pingsan dan belum sadar."

"Bagaimana ini bisa terjadi Dita?" tanya Maruti yang juga bercucuran air mata.

"Aku yang salah mbak.."

"Kamu menumpahkan sayur itu dan mengenai ibu?"

"Bukan, aku tergesa gesa menyuruh ibu keluar karena ada mas Panji dan mbak Laras, juga simbok. Mungkin ibu kemudian menjadi gugup, lalu menumpahkan sayur panas itu. Aku yang salah.. aku yang salaah.."

"Ya, sudahlah Dita, jangan disesali, mari kita berdo'a demi kesembuhan ibu ya," Maruti menuntun Dita untuk duduk dikursi tunggu.

Sementara itu Panji pura2 mempermainkan ponselnya, seperti sedang berbicara dengan seseorang. Agus yang datang mendekatinya diacuhkan begitu saja. Justru Laras yang lebih dulu mendekati Agus dan menyalaminya.

"Terimakasih telah mengantar Maruti, mas," sapa Laras.

"Kebetulan kami sedang ada diluar, dan ponsel Maruti tertinggal dikantor, jadi nggak bisa langsung mendengar ada kejadian seperti ini."

"Oh, pantas ditelponin nggak nyambung2."

"Ketika itu tiba2 dia ingin menghubungi Dita, kemudian aku pinjamkan ponsel aku, lalu baru dia mengetahui ada kejadian seperti ini. Bagaimana keadaan bu Tarjo?"

"Sangat parah mas, dari perut sampai ke kaki, melepuh."

"Ya Tuhan.. " desis Agus prihatin.

"Panji, dari tadi asyik saja," tiba2 Agus mendekati Panji yang masik asyik dengan ponselnya.

"Oh, iya Pras, sebentar, lagi menghubungi orang kantor." jawab Panji tanpa melepaskan ponselnya.

"Duduklah mas," Laras mempersilahkan.

"Terimakasih," jawab Agus sambil melirik kearah Panji. Agak aneh melihat sikapnya kali itu.

Beberapa jam kemudian seorang perawat keluar.

Maruti dan Dita berdiri dan mengahampiri dengan hati berdebar.

"Mana yang keluarganya bu Tarjo?"

"Saya anaknya," jawab Maruti dan Dita bersamaan.

"Dokter Baroto ingin bertemu. Silahkan masuk."

Maruti dan Dita masuk kedalam mengikuti perawat itu.

Tiba2 Panji yang mendengar bahwa dokter yang menangani bu Tarjo bernama Baroto, kemudian menghentikan kegiatannya memainkan ponselnya yang entah benar atau tidak..sedang menghubungi orang kantor atau barangkali sedang menghindari berbicara dengan Agus. Dilihatnya perawat itu masuk diikuti Maruti dan Dita. 

Panji segera berdiri dan berjalan menuju kearah perawat jaga. Ada dua orang perawat yang duduk disana.

"Kemana Panji?"

"Sebentar, mau menemui perawat itu." Jawab Panji tanpa menghentikan langkahnya. Agus yang penasaran mengikutinya dari belakang.

"Selamat siang suster," sapa Panji.

"Siang mas, ada yang bisa kami bantu?" Perawat itu menjawab.

"Mau tanya mbak, dokter Baroto itu ahli ongkologi?"

"Bukan mas, dia dokter bedah."

"Ada lagi Baroto, dokter anak, tapi dia nggak prakter disini," sahut perawat yang satunya.

Panji termangu ditempatnya berdiri.

"Ada apa ya mas?"

"Adakah nama dokter Baroto ongkolog?"

"Kayaknya nggak ada tuh kalau dirumah sakit ini, nggak tau kalau ditempat lain. Tapi selama saya bekerja kok belum pernah dengar nama Baroto ongkologi. Biasanya dokter2 ahli kan dikenal oleh hampir semua rumah sakit."

"Oh, gitu ya," Panji masih termangu.

"Dimana mas mengenal nama itu?"

"Mm.. seorang teman," jawab Panji sekenanya.

"Ooh, coba aja tanya  teman mas itu, beliaunya praktek dimana..gitu," saran perawat.

"Baiklah, terimakasih."

Ketika Panji membalikkan badan, hampir saja dia bertabrakan dengan Agus yang ternyata mengikutinya dan kemudian berdiri dibelakangnya.

"Oh, ma'af Pras."

"Ada apa dengan dokter Baroto? Aku kenal nama itu." kata Agus tiba2.

"Kamu tau? Dia ongkolog?"

"Bukan, dia dokter kulit,, dokternya Sasa anakku.Dia tuh sering gatel2 gitu, alergi "

Panji menghela nafas kecewa.

"Ada apa sebenarnya?"

"Yang menangani penyakit Dita namanya Baroto, katanya dokter onkologi. dan katanya lagi sedang ada diluar negeri."

"Kalau dia dokter ahli pasti semua rumah sakit mengenalinya. Tapi nggak tau juga, siapa yang kasih tau nama itu.?"

"Santi."

"Santi? Coba kamu tanya sekali lagi sama dia, mungkin dia salah ucap, atau kamu yang salah dengar, ma'af, sebaiknya kamu tanya dia sekali lagi."

"Aku akan telepone saja sekarang. Kalau jawaban kurang memuaskan akan aku temui dia."

"Ya, lebih baik begitu."

Tapi Panji nggak pernah lagi menyimpan nomor ponsel Santi. Waktu Dita memintanya untuk menelpon, Dita yang kasih nomornya dan Panji tidak menyimpannya.

"Aku punya nomornya Santi, sebentar," kata Agus yang kemudian mengangsurkan ponselnya setelah menemukan nomor bekas isterinya.

"Aku langsung menelpon dari sini ya?"

"Silahkan, nggak apa2."

"Hallo, ada apa siang2 begini telpon aku, kangen ya?" suara Santi dari seberang sana.

"Aku Panji,"

"Oh, ya ampuun .. mas, ada apa? Nyatanya suatu hari kamu juga kangen sama aku kan?" jawab Santi renyah seperti kerupuk baru digoreng.

"Aku mau nanya, dokter Baroto sudah kembali?"

"Oalah mas, masih mau nemuin dokter Baroto ya, tapi sayangnya belum kembali, dan aku juga belum menemukan kontaknya. Dia itu disana mengikuti seminar apa.. gitu lho, undangannya ditunjukin ke aku kok."

"Dia itu praktek dimana?"

"Lha ya nggak praktek mas, kan keluar negeri."

"Maksudku kalau nggak pergi, prakteknya dimana? "

"Ya di banyak rumah sakit mas, tapi sekarang lagi nggak ada."

"Alamat rumahnya?"

"Lha mas mau apa pake nanyain alamatnya segala. Kesanapun juga nggak akan ketemu, dan aku nggak tau persis, coba nanti aku tanyakan barangkali ada yang tau."

Pembicaraan ditutup oleh Panji tiba2. Jawaban Santi cukup membuatnya curiga. Di banyak rumah sakit, kenapa rumah sakit dimana bu Tarjo dirawat nggak tau. Ditanya alamatnya juga nggak tau. Panji mengangsurkan ponselnya kepada Agus.

"Terimakasih Pras."

"Apa katanya?"

"Lagi keluar negeri katanya, tapi katanya dia praktek dibanyak rumah sakit, kenapa disini yang rumah sakit besar nggak tau?"

"Alamat rumahnya?"

"Dia juga bilang nggak tau, mau ditanyakan dulu katanya."

"Aneh,"

"Memang aneh. "

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Thursday, June 27, 2019

SA'AT HATI BICARA 33

SA'AT HATI BICARA  33

(Tien Kumalasari)

Sampai diteras rumah, tak ada seorangpun disana. Maruti pasti sudah sampai di kantor, Dita.. tidurankah karena sedang sakit? Panji hampir memencet tombol bel rumah ketika tiba2 Dita muncul didepan pintu. Wajahnya berbinar begitu melihat Panji dihadapannya.

"Mas Panji..," teriaknya senang.

Tanpa malu2 Dita memeluknya, simbok memalingkan muka. Tak enak rasanya melihat laki2 dan perempuan yang bukan apa2nya berpelukan begitu. Tapi dilihatnya Panji tak membalas pelukannya. Dengan lembut didorongnya Dita.

"Mana ibu?"

"Ada, lagi didapur , masak. Mbak Laras, apa kabar."

"Baik Dita."

"Ini siapa?"

"Ini simbok," jawab Panji 

"Simbok? Maksudnya..?" tanya Dita tak mengerti.

"Simbok itu ibu. Dia ibuku," jawab Panji.

"Lhah, kan ibunya mas Panji...."

"Iya, ini pengganti ibuku."

"Oh, baiklah, silahkan masuk.. silahkan duduk, aku panggil ibu dulu ya," kata Laras mempersilahkan kemudian lari2 kecil memanggil ibunya. 

"Mas, masih ada waktu untuk berfikir," bisik Laras.

"Aku bingung, tapi bukankah ini perbuatan mulia?" jawab Panji sambil memijit mijit keningnya, ternyata kepala pusingnya belum sembuh benar.

"Mas, ini simbok bawa obat gosok.. mangga.. apa simbok gosokkan?" kata simbok sambil merogoh tas kecil yang dibawanya.

"Ini mas, tak gosokke ya mas?" tanpa menunggu jawaban, simbok sudah membuka botol kecil yang kemudian dioles oleskannya ditengkuk Panji.

"Wong sakit kok ya nekat, jane mau apa to ini, kalau memang sakit mbok ya jangan nekat,  besok2 saja," omel simbok sambil menghentikan gosokannya.

"Terimakasih mbok."

Simbok masih ngedumel sambil memasukkan kembali minyak gosoknya. Laras tersenyum memandangi ulahnya.

"Lha memang momonganmu itu kan orangnya keras kepala to mbok, biarin aja apa maunya," kata Laras, yang kemudian membuat mata Panji melotot kesal.

***

Sementara itu didapur Dita mengomel pada ibunya karena belum juga mau berhenti dari kegiatannya memasak. Diatas kompor ada sepanci sayur yang sedang mendidih, dan wajan penuh minyak untuk menggoreng ayam.

"Bu, cepatlah bu... nanti saja menggorengnya, ditungguin tuh.".

"Sebentar to nduk, ini sudah terlanjur masuk penggorengan, kalau dihentikan sebelum matang bisa berminyak, dan nggak enak rasanya.

"Masih lama kah bu?"

"Ya tunggu kalau sudah kering, kamu keluar saja dulu menemani , sementara ibu akan sekalian membuat minuman. Sudah, keluar sana dulu.

"Tapi aku harus berganti pakaian dulu bu, masak pakai daster begini."

"Lha ya sudah ganti pakaian sana, kok malah nungguin ibu disini."

"Baiklah," kata Dita sambil beranjak pergi meninggalkan dapur.

"Eh, tunggu Dita, tamunya cuma nak Panji ya?"

"Bukan cuma mas Panji bu, ada mbak Laras, ada simbok."

"Simbok siapa tuh?"

"Simbok itu, kata mas Panji, sebagai pengganti ibunya."

"Lho, kok pakai pengganti ibunya juga. Mau apa mereka ya nduk?"

"Nggak tau bu, aku ganti pakaian dulu, ibu jangan lama2 ya," kata Dita sambil melangkah meninggalkan ibunya.

Tapi mendengar kata simbok pengganti ibunya itu, kemudian bu Tarjo jadi berfikir, mau apa mereka datang kemari? Ia mengambil empat buah cawan di almari dapur, dan menatanya dimeja, sambil menunggu ayam gorengnya benar2 matang.

Sambil berfikir tentang tamu2nya, bu Tarjo menaruh gula dalam cawan, sebelum menuang tehnya. Tapi ternyata nggak ada air panas didalam termos, bu Tarjo lupa mengisinya. Jadi terpaksa dia menurunkan panci berisi penuh sayur dari atas kompor, untuk merebus sedikit air. Tapi karena gugup, pegangan salah satu panci itu terlepas, dan seluruh isi sayur tumpah mengenai tubuhnya. Terdengar jeritan kesakitan yang membuat semua orang berhamburan kedapur.

Dita yang belum selesai berpakaian bagus, Panji, Laras dan simbok, sangat terkejut melihat bu Tarjo terkapar dilantai dan menggulung gulungkan tubuhnya. 

"Ibu... ibu....ibuuu..." Dita menubruk ibunya, panik tak tau apa yang harus dibuatnya. 

Simbok mencari letak kamar mandi, mengambil pasta gigi, yang dilumatkan pada kulit yang melepuh, tapi air itu sangat banyak, menumpahi tubuhnya dari perut sampai kaki.

"Laras, siapkan mobil, aku akan menggendong bu Tarjo, kita harus kerumah sakit," perintah Panji. Laras berlari keluar, menyambar kunci mobil Panji yang terletak dimeja, dan memutar letak mobilnya kearah sebaliknya, karena rumah sakit letaknya berlawanan dari letak mobil itu.

Panji yang menggendong tubuh bu Tarjo yang terus menerus merintih segera menaikkannya ke mobil, dikuti Dita yang tak henti2nya menangis.

***

Siang itu Maruti ada dikantornya. Agus dengan berbagai alasan selalu mencari cara agar bisa berdekatan dengan Maruti. Katanya, Agus ingin menemui client, dan minta agar Maruti menemaninya untuk mencatat pembicaraan mereka. Lhah aku ini costumer servis atau sekretaris sih? Batin Maruti heran, tapi ia tak berani membantahnya. 

"Mira tidak masuk hari ini, jadi aku minta kamu menggantikannya," kata Agus, nah ini alasan Agus yang tak bisa dibantah benar2. Mira adalah nama sekretarisnya.

Namun karena Agus bilang waktunya mepet, dan Maruti harus membawa map yang diangsurkan Agus padanya, maka ponsel Maruti tertinggal di laci.

Dering yang berkali kali terdengar oleh orang lain, tak sekalipun ada yang berani membukanya.

***

 Agus mengajaknya ke sebuah rumah makan mewah, karena disitu katanya mereka berjanji ketemu. Ketika mereka sampai, client itu belum tampak batang hidungnya. 

"Pesan minuman saja dulu, mungkin karena jalanan macet. Kamu mau minum apa?" tanya Agus.

"Lemon tea saja," jawab Maruti singkat. Hari itu Maruti merasa bahwa pandangan Agus sedikit berbeda. Ada senyuman yang tak disukainya. Ganteng sih, manis juga senyumnya, tapi adakah yang seganteng dan semanis Panji senyumnya? Menurut Maruti, Panji tak tergantikan. Jadi lebih baik ia memandang kearah lain daripada beradu pandang dengan bosnya.

Agus memesan minuman untuk Maruti dan untuk dirinya sendiri.

"Jam berapa mereka katanya mau datang?" tanya Maruti karena sang client itu belum datang juga.

"Jam 11.00 sih, jadi nanti bisa makan siang sekalian."

"Ini sudah setengah 12..," kata Maruti sambil menengok kearah arloji tangannya.

"Mungkin macet," kalau jam 12 belum datang aku akan menelponnya.

Sampai ketika minuman yang dipesan sudah dihidangkan dimeja, Maruti sama sekali tak berani melihat kearah Agus, padahal Agus tak pernah mengalihkan pandangannya pada wajah cantik sederhana yang membuatnya ter gila2.

"Maruti, melihat apa sih kamu?" tegur Agus.

"Oh..eh... mm.. saya belum pernah kemari. Bagus sekali pemandangan disini," jawab Maruti sekenanya, kemudian dihirupnya minuman yang sudah diletakkan didepannya.

"Iya, tapi lebih indah pemandangan didepanku lho," jawab Agus sambil ikut2an menghirup minuman.

Maruti menoleh kearah belakang, tapi dibelakang dia adalah sebuah lukisan macan yang tampak garang. Itukah yang indah? Maruti tak begitu menyukai seni lukis, mungkin macan itu yang dimaksud Agus. 

"Oh, saya nggak begitu memahami lukisan," jawab Maruti.

"Itu Tuhan yang melukisnya," jawab Agus sambil tersenyum. Lagi2 senyum itu membuatnya resah.

"Lukisan Tuhan? Apa maksudnya? " Maruti menoleh lagi kearah lukisan macan itu.

"Bukan macan itu..." Agus tertawa.

"Apa maksud bapak?" tanya Maruti bingung.

"Kamu itu maksudku, Maruti..."jawab Agus tanpa melepaskan pandangannya kearah Maruti.

"Oh, " hanya itu jawab Maruti, kemudian ia menghirup lagi minumannya, lalu melihat kearah arloji ditangannya.

"Belum jam 12. Sebentar lagi saya akan menelponnya," kata Agus seperti mengerti kalau Maruti sedang menunggu nunggu sang client datang.

Tiba2 Maruti ingin mencari kesibukan dengan mengeluarkan ponselnya, tapi kemudian ponsel itu tak ditemukannya.

"Oh, ponsel saya ketinggalan di kantor," keluh Maruti.

"Lhoh, nggak bilang dari tadi, apa aku suruh orang mengantarnya kemari? Dimana kamu meletakkan ponselmu?"

"Nggak usah pak, biar saja, nanti sampai dikantor saja saya menelpon."

"Kalau kamu mau menelpon, bisa pakai punya saya, ingat nomornya nggak? Panji kah?" Agus memancing.

"Bukan, bukan.. kalau saya  ingin menelpon, itu menelpon  rumah," jawab Maruti yang diam2 membuat hati Agus merasa lega.

"Kalau begitu telepon saja pakai ponselku, hafal nggak nomornya..?"

"Nggak pak, nanti saja.." Maruti merasa sungkan, tapi daripada bengong dan menghadapi si bos yang semakin membuatnya resah ini lebih baik ia menelpon Dita. Tentu ia ingat nomornya.

"Tapi, baiklah kalau saya boleh pinjam ponsel bapak," sambung Maruti.

"Silahkan.."

Maruti menerima ponsel Agus, dan memutar nomornya. Nomor Dita.

Tiba2 terdengar sebuah tangisan, mirip jeritan menyayat ketika telpon itu diterima adiknya, dan Maruti hampir pingsan mendengarnya.

"Ya Tuhan...," keluh Maruti yang tiba2 pucat pasi. Gemetar tangannya ketika mengangsurkan kembali ponsel Agus.

"Ada apa?"

"Saya mohon pamit, ibu saya ada dirumah sakit." Maruti berdiri dan berlari kearah luar.

"Maruti, tunggu.." teriak Agus yang kemudian meletakkan selembar uang dimeja, lalu mengejar larinya Maruti.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


SA'AT HATI BICARA 32

SA'AT HATI BICARA

(Tien Kumalasari)

Laras memandangi Panji lekat2, seakan tak percaya akan apa yang didengarnya. bagaimana kakak sepupunya ini bisa begitu mantap mengatakannya, sementara kemarin2 masih ragu2.

Mantap? Tidak. Panji hanya sedang terbakar emosinya, menyala oleh rasa cemburu yang memuncak sampai ubun2nya. Ia kehilangan pegangan, dan ingin melakukan sesuatu yang semoga bisa membuat Maruti sakit hati. Aduhai, kini ia telah memutuskannya, dan esuk pagi ia ingin benar2 melamarnya.

"Mas, membahagiakan bisa dengan menyayanginya, memperlihatkan perhatian, dan tidak harus buru2 menikahinya.

"Bukankah aku harus membuat sempurna kebahagiaan itu?"

"Tapi mas bicara dan memutuskan sesuatu bukan atas dasar ingin melakukannya dengan tulus. Ya kan? Apakah ada sesuatu?" tuduh Laras.

"Kamu menuduh yang bukan2. Kamu tidak percaya pada kakakmu ini." sengit kata Panji.

"Memang iya ! Aku tidak percaya,"jawab Laras tak kalah sengit.

Pokoknya aku akan melamarnya besok. Kalau kamu mau boleh mengantarku, kalau tidak biar aku sama simbok.

"Sama simbok?"

"Iya, simbok itu pengganti ibuku, dia juga sangat menyayangi aku."

"Baiklah, aku kira keputusan ini mas lakukan karena sesuatu sebab. Malam ini mas boleh berpikir jernih, besok pagi aku menunggu kabarnya," kata Laras yang kemudian berdiri untuk berpamit.

"mBook, aku pulang ya mboook !" teriaknya kepada simbok.

***

"Ada apa malam2 menelpon aku Laras?" kata Maruti menjawab telephone Laras malam itu.

"Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Laras dari seberang sana.

"Sesuatu apa? Terjadi apa?" Maruti tak mengerti.

"Kamu dan mas Panji? Apa dia lagi marahan sama kamu?"

"Ya enggaklah, kami nggak pernah marahan, lagi pula mas Panji tadi sore menelpon aku.."

"Ngomong apa dia?"

"Eh, mau tau aja...," kata Maruti sambil terkekeh, " dia hanya bilang mau memikirkan permintaanku, gitu, memangnya ada apa?"

"Nggak tau deh, dia kayak orang bingung begitu," kata Laras tanpa mengatakan bahwa Panji berencana melamar Dita besok.

"Ma'afkan aku ya Laras, aku yang membuat semua ini. Aku sedih karena mau kehilangan adikku, tapi aku juga sedih kalau harus kehilangan mas Panji. Aku mengakuinya sekarang Laras, aku sangat mencintai dia," kata Maruti pilu. 

"Ya, aku tau itu."

"Tapi aku harus merelakannya demi kebahagiaan adikku."

"Maruti, kamu sudah melakukan yang terbaik, berusaha baik, karena aku tau hatimu sangat mulia. Aku yakin semua akan indah pada akhirnya."

"Terimakasih Laras."

 "Marilah kita berdo'a yang terbaik untuk semuanya ya Rut?"

Maruti menutup ponselnya, masih dengan berlinangan air mata. Bukan hanya karena harus kehilangan orang yang dicintainya, tapi karena ia telah melukai perasaan Panji juga.

"Ya Tuhan, berilah yang terbaik untuk semuanya," bisik Maruti sambil terus berlinangan air mata.

***"

"mBok sudah mandi ?" tanya Panji pagi itu.

"Sudah mas, tadi habis nyuci simbok sekalian mandi. Ini mau kepasar, mas Panji mau dimasakin apa, tapi harus dimakan lho, siang nanti pulang ya."

"Nggak usah mbok, simbok nggak usah kepasar."

"Lho, jadi nanti nggak akan pulang untuk makan siang?"

"Simbok harus ikut aku."

"Lho, kemana? Mau ajak simbok jalan2? Ini kan hari Kamis, mas nggak ke kantor?"

"Nanti aku kekantor, tapi simbok ikut aku dulu sekarang, ganti bajunya yang bagus ya,."

"Nanti dulu to mas, lha simbok ini mau diajak kemana dulu, jadi simbok bisa milih baju yang cocog yang mana. Jalan2.. bertamu.. belanja.. kan harus beda bajunya."

"Simbok ini kayak artis saja. Pokoknya baju yang pantas lah, bertamu mbok.. bertamu.."

"Bertamu? Memangnya bertamu kemana mas? Tumben2an simbok diajak bertamu."

"mBok, jangan banyak bertanya, nanti sambil jalan aku kasih tau. Cepat mbok."

Dan simbokpun setengah berlari menuju kamarnya. Ia tau momongannya tampaknya kesal dengan pertanyaan2nya.

Panji menunggu simbok sambil menyandarkan kepalanya disandaran sofa. Sesungguhnya hatinya serasa tidak tenang. Bayangan Maruti yang sedang mengayun anaknya Agus, dan tampak sangat gembira, kembali mengusik hatinya. Sungguh ia cemburu, karena tau sejak awal Agus memang tertarik Pada Maruti. Hanya karena segan padanya saja Agus tidak meneruskan niyatnya. Tapi sore kemarin mereka tampak begitu akrab. Apa Maruti sudah mengatakan kalau aku akan diminta untuk menyukai adiknya karena penyakitnya? Sehingga itu memberi peluang kepada Agus untuk bisa mendekatinya? Semakin difikirkan, darah ditubuhnya semakin cepat mengaliri urat nadinya, membuat kepalanya menjadi pusing. Ketika simbok datang  Panji masih bersandar sambil memijit mijit kepalanya.. matanya terpejam.

"Lho, mas, simbok sudah cantik begini, mas Panji kok malah masih leyeh2 begitu? Mas pusing ya, kok kepalanya dipijit pijit?

Panji membuka matanya, dilihatnya simbok berdiri dihadapannya, mengenakan kebaya warna coklat muda, dan selendang batik tersampir dipundaknya. Kalau tidak sedang kacau pikirannya pasti Panji segera menggoda pamongnya. Tapi kemudian hatinya sedih teringat almarhum ibunya, karena baju dan selendang yang dipakai simbok adalah pemberiannya. Dalam keadaan hati rapuh, teringat ibundanya, tak tahan lagi menitiklah air mata Panji. Seandainya ibunya masih ada, pasti ia akan lebih menguatkannya. 

"Ya Tuhan, kalaupun aku tak melakukannya, apa aku salah? Aku berhak menentukan apa yang harus aku lakukan, dan Dita bukan apa2ku, mengapa aku harus berkorban?" bisik Panji pelan.

Tapi segera terbayang wajah Maruti, menangis dipangkuannya, sungguh pilu merasakannya. 

"Nggak, nggak jadi saja," katanya pelan, lalu diminumnya seteguk teh yang tak lagi hangat.

Simbok memandangi momongannya dengan heran. Simbok juga melihat air mata dipipi momongannya. Segera simbok mendekat dan bersimpuh dihadapannya.

"Mas Panji, sebenarnya ada apa?" tanya simbok penuh kasih sayang.

"mBok, tolong ambilkan obat pusing dialmari obat ya," 

"Oh, yang emplek2an warna ijo?"

"Ya, "

Simbok segera berlari kebelakang, sambil membawa cangkir teh momongannya untuk diisikannya lagi sekaliyan. Simbok sudah tau obat pusing yang mana karena sudah sering melayani momongannya. Di almari itu ada obat pusing, obat diare, obat mual. Huh.. kayak apotik saja, pikir simbok, tapi simbok segera mengambil yang dibutuhkannya.

Panji benar2 pusing, keputusan yang diambilnya sangat berat. Mngkin Maruti juga berat melepaskan cintanya. Tapi tiba2 terbayang kembali ayunan dengan anak kecil duduk berayun, dan Maruti serta Agus mengayunkannya bersama sama. Kembali panas darahnya menggelegak,. Aku akan melakukannya, biar sakit hati Maruti kalau aku menampakkan kemesraan dengan adiknya. 

"Ini mas, obatnya," kata simbok sambil mengangsurkan obat dan minumannya.

Terimakasih mbok, sementara simbok mengunci semua pintu, kita segera berangkat." 

Simbokpun mundur dan memeriksa semua pintu, kemudian menunggu momongannya didepan.

***

"Maas, tunggu mas, aku ikut.." tiba2 teriakan Laras mengejutkannya. Ia memasuki halaman dengan tergesa gesa.

"Kamu naik apa?"

"Taksi, jadi mas berangkat? Oh, ada simbok.."

Laras memasuki mobil, duduk disamping kemudi, dan mobil itu melaju pelan keluar dari halaman.

"Cantik bener simbok.." puji Laras ketika melihat simbok dandan.

"Iya tuh, nggak tau mau diajak kemana ini sama mas Panji."

"Jadi mas?" 

"Jadi, kenapa tidak?"

"Sudah mas fikirkan masak?"

"Bukan cuma masak,. lebih dari masak, aku harus melakukannya."

"Mengapa harus menikahinya?"

"Kata Maruti biar kebahagiaannya sempurna, ya sudah aku lakukan saja."

"Maruti pasti juga sakit."

"Biar saja sakit, ini kan maunya? Lagi pula kan mudah bagi Maruti untuk melupakan aku, mengapa harus dikasihani? "

"Kok mas bilang begitu, Maruti sangat mencintai mas. Sungguh."

"Bohong, itu bohong."

"Mas Panji kok gitu, dia bilang sama aku kalau sangat mencintai mas Panji."

"Itu bohong, kalau dia mencintai aku, tak akan mudah bagi dia untuk bermanis manis dengan pria lain," kata Panji geram.

"Priya lain yang mana?" Laras heran.. 

"Sudah, jangan banyak tanya, nanti aja aku ceriterakan, aku sedang galau nih."

Laras tak menjawab. Tapi diam2 dia berfikir, bermanis manis dengan siapa? Baru tadi malam Maruti mengatakan bahwa sangat mencintai Panji.

Mobil terus melaju dijalanan yang mulai ramai oleh hiruk pikuk kendaraan. Mereka bertiga sedang berembug dengan pikirannya masing2. Simbok juga sedang menduga duga apa yang akan dilakukan momongannya.

Panji menghela nafas ketika akhirnya sampai juga didepan pagar rumah Maruti. Mobil itu berhenti, dan Panji menata batinnya.

"Mas, Laras peringatkan sekali lagi, dekatilah dia dulu, nggak usah buru2 melamarnya."

Tapi Panji segera turun dari mobil, berjalan kearah rumah diikuti oleh simbok dan Laras. 

Jadikah Panji melamarnya?

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 















Wednesday, June 26, 2019

SA;AT HATI BICARA 31

SA'AT HATI BICARA  31

(Tien Kumalasari)

Pandu terpaku dimobilnya. Ada bara menyulut dadanya. Panas, tapi mengapa? Hanya melihat Maruti pergi bersama Agus dan anaknya, apakah itu salah?

" Ya salah lah, kan aku mau mengajakmu pulang bersama dan berbicara hal2 yang tadinya kamu bicarakan tentang Dita, mengapa kamu pergi bersama Agus?" bisiknya lirih penuh rasa kesal.

Panji mengundurkan mobilnya kembali dan keluar dari area perkantoran itu. Ia lupa bahwa tadi tidak mengatakan akan menjemputnya.

***

Disebuah area permainan anak2, Sasa sedng berteriak teriak gembira. Ia duduk di kursi ayunan, dan tanpa henti minta agar Maruti mengayunkannya.

"Dita, tante capek dong, gantian mbak ya yang mengayun kamu?" kata Endang, si mbak perawat.

"Nggak mau, aku maunya sama tante Maruti.." teriak Sasa sambil tertawa tawa.

Melihat hal itu Agus mendekat.

"Biar papa saja ya... sudah Maruti, kamu duduklah beriatirahat.

"Jangaaan... diayun papa sama tante Maruti aja.. ayo.. berdua.. berduaaa..." pinta Sasa sambil merengek.

"Biar saya saja pak, nggak capek kok," kata Maruti.

"Tante sama papa aja.. ayo... cepat....," Sasa masih merengek rengek.

Dan terpaksa Agus dan Maruti menurutinya, satu memegangi tali disebelah kiri dan satunya sebelah kanan. Sasa tertawa tawa senang, sementara Maruti sebenarnya sedikit sungkan.

Dilihat dari mata orang yang melihatnya, mereka seperti sebuah keluarga yang berbahagia. Ayah, ibu dan anaknya, sementara pembantunya hanya melihat tak jauh dari sana. Dan salah satu orang yang melihatnya itu adalah Panji. Agak lama dia mengamati mereka bertiga yang tampak sedang bergembira, kemudian ia berlalu.. Mungkin daripada darahnya keburu menggelegak karena suhu rasa cemburu yang semakin memanas.

"Sudah ya Sasa, ayo sekarang kita makan.. tadi kamu bilang lapar.." bujuk Agus karena kasihan melihat Maruti yang seperti kelelahan. Sebenarnya sih bukan lelah, tapi sungkan.

"Oh iya, kita makan, lalu main lagi ya?"

"Lho.. nggak lagi dong Sasa, sebentar lagi hari gelap, tante Maruti harus pulang."

"Tapi besok lagi boleh kan?"

"Tanya sama tante, maukah besok main lagi."

"Tante, besok main lagi kan?"

Maruti tersenyum.

"Besok, kalau tante tidak ada pekerjaan ya sayang?"

"Pekerjaan apa?"

"Ya banyak yang harus dikerjakan tante. Kapan2 saja kalau Sasa ingin, boleh main lagi, tapi bukan besok. Ya?" Marut mencoba membujuk. Dan mata bening itu ber kedip2, tapi akhirnya mengangguk.

Mereka kemudian makan dirumah makan yang tak jauh dari area permainan itu. Maruti tak sanggup menolaknya, karena Agus adalah bosnya.

Sasa makan sangat lahap dengan sebentar2 disuapi Maruti, Agus senang melihatnya. Diam2 dia berkhayal, seandainya Maruti benar2 bisa jadi ibunya Sasa, alangkah bahagianya.

***

"Ibu, mengapa mbak Ruti sudah malam begini belum pulang juga?" tanya Dita. Ada rasa curiga, jangan2 kakaknya sedang bersama Panji. 

"Mungkin pekerjaannya masih belum selesai Dita," jawab ibunya.

"Tapi ini sudah malam bu."

"Coba saja kamu menelpun, jangan menyuruhnya segera pulang kalau memang dia masih bekerja."

"Dita sudah menelponnya, hape nya nggak aktif."

"Oh ya? Berarti dia masih sibuk."

"Sibuk pergi bersama mas Panji, barangkali," ucap Dita lirih.

"Apa nduk?" tanya bu Tarjo karena nggak begitu jelas mendengar kata2 anaknya.

"Nggak, nggak apa2 bu," Dita mengelak, sungkan juga memperlihatkan rasa cemburunya.

"Kamu mau makan dulu? Makan aja dulu, lalu kamu segera minum obatnya. Ya nduk?"

"Nggak bu, nanti saja."

Tiba2 didengarnya mobil berhenti didepan pagar. Dita setengah berlari menuju pintu, untuk melihat siapa yang datang. Ia ingin mengenali mobil yang mengantarnya, kalau itu Maruti. Namun mobil itu berhenti terlalu kedepan sehingga tak kelihatan dari pintu rumah. Dan tiba2 saja Maruti sudah muncul dari arah pagar.

"Pasti dengan mas Panji," desis Dita lirih.

"Dita, kok berdiri disitu?"

"mBak sama siapa?"

"Sama pak Agus."

Dita menghela nafas lega, kemudian ia berjalan beriringan dengan kakaknya memasuki rumah.

"Kok baru pulang Ruti?" sapa ibunya yang sedang menata meja makan.

"Iya bu, ada tugas dari pak Agus, jadi baru bisa pulang," jawab Maruti tanpa mengatakan tugas apa yang tadi harus dilakukannya.

"Tuh, benar kan, adikmu bertanya terus, karena kamu pulang terlambat."

"Oh ya, kangen ya sama mbak?" canda Maruti.

"Mengapa nggak jawab telponku mbak?"

"Oh batery habis, lupa ngecas Dit."

"Ya sudah, sekarang kakakmu biar ganti baju dulu, lalu kita makan bersama sama ya."

"Waah, ibu masak apa hari ini?"

"Sekarang ibu sering masak, karena permintaan adikmu. Gak apa2, ibu senang kok. Ayo cepat ganti bajumu.

"Ruti mau mandi sebentar bu, biar Dita dan ibu makan saja dulu," kata Maruti sambil berjalan kebelakang.

***

 Simbok tengah bersih2 dikamar Panji, ketika tiba2 Laras datang mengejutkannya.

"Hayooo!! Simbok!!"

"Ya ampuun... mbak Laraaas.... jantung simbok hampir copot nih... gawe kaget wae..," ujar simbok sambil mengelus dadanya.

Laras tertawa terkekeh.

"Mana mas Panji mbok?"

"Lha dari pagi belum pulang tuh, masih di kantor barangkali."

"Nggak ada, dari sore sudah mninggalkan kantor. Aku kira sudah pulang."

"Belum mbak, mungkin kerumahnya.. siapa itu.. yang cantik pernah dibawa kesini?"

"Maruti? Nggak ada mbok, aku sudah menelpon, dia juga nggak tau. Biasanya kalau begitu itu terus kerumah, tapi enggak, aku telepone juga nggak diangkat. Kemana ya dia?"

"Ya coba ditunggu dulu to mbak, biar simbok buatkan minuman dulu, mungkin sebentar lagi pulang," kata simbok sambil bergegas kebelakang untuk membuat minuman.

"Kemana dia, katanya mau omong2 soal pekerjaan, lha ini ada yang perlu aku tanyakan, malah dicari cari nggak ketemu," omel Laras sambil bersandar di sofa.

"Ini mbak, simbok buatkan teh anget, diminum dulu sambil menunggu mas Panji. Mudah2an cepat pulang," kata simbok sambil meletakkan secangkir teh diatas meja.

"Terimakasih mbok."

Laras meneguk teh hangatnya, kemudian kembali menyandarkan tubuhnya di sofa. 

"Simbok masak apa?"

"mBak Laras mau makan? Ayuk, ada ayam goreng sama ca brokoli, baru sore tadi simbok memasaknya."

"Hm, enak kayaknya, mau deh mbok.."

"Sebentar, simbok tata mejanya."

"Nggak usah mbok, bawa kesini saja, aku mau makan disini."

"Walah, disini saja? Baiklah," Kata simbok sambil berlalu. Diambilnya piring, nasi dan lauk pauknya dan diletakkan dimeja didepan Laras duduk.

"Hm... sedap bener baunya mbok."

"Cobain dulu, sedap baunya belum tentu enak rasanya lho."

"Kalau masakan simbok, aku percaya pasti enak. Aku makan ya mbok, ayo simbok temenin dong," kata Laras sambil menyendok nasi dan lauknya.

"Nggak mbak, simbok sudah kenyang, perutnya nggak muat lagi diisi makanan. Sudah, dimakan saja, simbok melanjutkan pekerjaan tadi. Kamar mas Panji berantakan, biar simbok ganti dulu sepreinya."

"Ya mbok, silahkan, jangan kaget kalau ini nanti Laras habiskan ya."

"Habiskan saja mbak, simbok malah senang, lha wong sudah masak enak2, mas Panji jarang makan dirumah. Nanti kalau nggak dimakan paling2 simbok bagi sama tetangga," kata simbok sambil menuju ke kamar Panji.

Sa'at Laras makan dengan lahap, tiba2 Panji datang. Tanpa mengucap apapun dia duduk didepan Laras sambil mengawasi sepupunya yang makan dengan lahap.

"Hai mas, jangan sedih kalau jatahmu aku habiskan malam ini," kata Laras sambil mengunyah makanannya. Ia berharap Panji akan membalas olok2nya, tapi dilihatnya sepupu gantengnya itu malah menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa.

"Hei... kesambet lagi?"

"Aku sudah memutuskan." akhirnya Panji berucap.

"Memutuskan apa?" 

Laras menghabiskan suapan terakhirnya, minum seteguh air dan duduk agak mendekati Panji. Dilihatnya wajah kusut sepupunya.

"Apa yang terjadi?"

"Aku sudah memutuskan, akan mengambil Dita sebagai isteriku."

Laras terpana.

***

besok lagi ya

 

 

 

Tuesday, June 25, 2019

SA'AT HATI BICARA 30

SA'AT HATI BICARA  30

(Tien Kumalasari)

Agus masih termenung dikantornya. Entah mengapa, kata2 Santi yang diucapkannya selalu dipikirkannya. Panji ternyata tidak suka pada Maruti? Kalau Panji menginginkan Maruti Agus akan mengalah karena Panji adalah sahabatnya. Tapi kalau tidak, bisakah aku mengambil hatinya? Dan Aguspun kemudian keluar ruangan, melihat apakah Maruti sudah kembali ke kantor, ataukah belum. Ternyata tidak ada Maruti disana. Agus kembali memasuki ruangannya dengan kecewa. Ada harapan yang berkembang dihatinya, siapa tau itu adalah mungkin.

***

"mBak, duduklah disini" kata Dita kepada Maruti, ketika sore itu Dita sudah keluar dari kamarnya. Bu Tarjo dan Maruti senang melihatnya tidak kesakitan seperti siang tadi. Dan sikap Dita pada Maruti sudah seperti biasa, apalagi ketika Panji kelihatan memiliki perhatian pada dirinya.

"Ada apa Dit?" Maruti pun duduk disebelah adiknya.

"Benarkah mas Panji menyukai aku?" dikatakannya itu tanpa dosa, sementara Maruti merasa sebuah sembilu tajam mengiris jantungnya. Berdarah darah. Dita tampaknya sengaja menanyakannya, atau sengaja menyakiti hati kakaknya. Entahlah.

"Benarkah?" Dita mengulang pertanyaannya.

"Oh, mas Panji? Tampaknya.. tampaknya ya...," jawab Maruti sambil mengusap luka berdarah yang menggenangi isi hatinya. Ditahannya air mata yang ingin menitik keluar.

"Benarkah?"

"Tampaknya begitu, kamu suka?"

"Kok tampaknya sih mbak.."

"Kan mbak nggak tau kalau belum menanyakannya, tapi kan dari sikapnya.. kamu pasti bisa merasakannya."

"Iya sih..." kemudian Dita diam sejenak.

"Apa mbak suka kalau mas Panji menjadi suami aku?"

"Dita, apapun yang akan membuatmu bahagia, mbak pasti suka," dan meneteslah air mata kemudian membasahi pipinya. Tak tertahankan. Dita memandanginya dan mengusapnya lembut.

"Mengapa mbak menangis?"

"Aku menangis bahagia," kemudian dipeluknya Dita dengan kasih sayang yang setulus tulusnya. Akan diberikannya apapun demi Dita, dan itu adalah janjinya.

"Bolehkah seorang adik menikah lebih dulu dari kakaknya?" lanjut Dita dalam pelukan Maruti. Maruti mengangguk angguk, dan air matanya teruslah mengalir.

"Apa mbak tidak menyesal?"

"Jodoh itu hanya Tuhan yang menentukan. Kalau kamu diberinya jodoh lebih dahulu, itu memang kehendakNya. Tak ada seorangpun yang bisa menghalanginya.

"Apa mbak juga suka sama mas Panji?"

Menjerit batin Maruti, sekeras kerasnya. Ya iyalah bukan cuma suka.. tapi cintaaaa banget. Ya Tuhan, mengapa ini semua harus terjadi..

"mBak.."

"Apa?"

"mBak suka sama mas Panji?"

Maruti melepaskan pelukannya. Dipandanginya Dita dengan linangan air mata. Wajah cantik manja yang sebentar lagi meninggalkannya, mata bening yang sering mengganggunya, bibir tipis yang sering mengolok oloknya, tak lama lagi semuanya hanya akan tinggal kenangan. Maruti menangis lagi.

"Dita, sayangku, kalau aku suka sama mas Panji, itu karena dia baik sama kita, terutama sama kamu."

Dita menghela nafas panjang.

"Mungkin aku hanya berkhayal, mungkinkah mas Panji mau memperisteri aku?mBak, jangan bilang sama mas Panji tentang apa yang aku tanyakan ya."

Maruti tersenyum.

 "Yang jelas mas Panji penuh perhatian sama kamu. Kalau Tuhan mengijinkan akan menjadi jodoh kamu, pasti akan terjadi."

***

"Mas, simbok masak enak hari ini, kesukaan mas Panji. Makan ya.." kata simbok sambil mendekati momongannya, yang sa'at itu sedang melamun ditaman belakang rumahnya.

"Nanti saja mbok.." jawab Panji ogah2an.

"Mas kok nggak nanya simbok masak apa.. gitu sih.." simbok kecewa merasa tidak diperhatikan.

"Aku lagi nggak pengin apa2 mbok," Panji menepuk punggung simbok untuk mengurangi kekecewaannya.

"Mas Panji sakit?"

"Enggak.."

"Wajahnya pucat begitu, kalau sakit bilang sakit, simbok kerokin ya?"

"Aku nggak lagi sakit mbok, cuma lagi aras2en.."

"Pasti ada sebabnya kan?"

"Sini mbok, duduk didekat aku sini, jangan ndeprok dibawah begitu," kata Panji ketika melihat simbok bersimpuh didepannya.

"Biar simbok disini saja, diatas rumput, dingin," jawab simbok ngeyel.

"Duduklah, aku mau ngomong sama simbok, penting nih," kata Panji sambil menarik simbok agar dudu disebelahnya.

"Ada apa ta?"

"mBok,ada seorang gadis.."

"O, yang mas Panji ajak kerumah itu, mbak Maruti?" simbok menyela.

"Dengar dulu mbok, jangan ngomong apa2 dulu sebelum aku selesai bicara."

Simbok mengangguk angguk

"Ada seorang gadis, yang divonis ..mm.. diperkirakan akan meninggal tidak lama lagi."

"Lhah...."

"Ssst... Gadis itu suka sama aku, bolehkah aku menikahi dia? Aduh.. piye ini aku bicaranya. Begini mbok, gadis itu suka sama aku, tapi dia itu sakit, dan diperkirakan sudah mau meninggal beberapa bulan lagi. Menurut simbok,bisakah aku menikahinya untuk memberikan kebahagiaan disa'at terakhirnya?"

"Lho.. apa dia itu mbak Maruti?"

"Bukan, adiknya Maruti."

"Bukankah mas Panji suka sama mbak Maruti?"

"Aku mencintainya mbok, aku ingin menjadikannya isteriku, tapi dia minta aku mau mencintai adiknya untuk memberinya kebahagiaan disa'at terakhirnya."

"Waduh, ya berat ya mas.. "

"Berat sekali mbok, tapi Maruti menangis nangis begitu. Aku nggak tega mbok, dan itu membuat aku sedih. Apa yang harus aku lakukan ?" Panji menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, membuat simbok jadi trenyuh. Dielusnya punggung Panji penuh kasih sayang.

"Sabar ya mas, cah bagus.. simbok tau bagaimana perasaan mas, tapi coba mas timbang baik buruknya, dengan hati tenang."

"Bagaimana menurutmu mbok?"

"Bagaimana simbok? Kalau menurut simbok, ya kasihan sama mbak Maruti, harus berkorban demi adiknya, tapi nggak ada salahnya memberi kebahagiaan bagi orang yang sudah mau meninggal. Maksudnya, nanti kalau adiknya sudah meninggal, mas kan bisa kembali lagi sama mbak Maruti?" lugas sekali kata2 simbok, dan hampir sama dengan yang dikatakan Laras, ia juga harus mau berkorban.

 ***

Sepedih apapun, Maruti haus menjalaninya. Ia lebih tak tega lagi melihat adik semata wayangnya harus pergi dengan membawa luka karena cinta tak tersampai.

"Mudah2an mas Panji mau memenhuhi permintaanku," bisik Maruti dalam hati. Ia kemudian menenggelamkan dirinya dengan pekerjaannya, berharap bisa melupakan semuanya.

Dering telephone itu mengejutkannya. Dari Panji. Maruti menerimanya dengan hati berdebar.

"Hallo mas."

"Maruti, kamu jangan menangis lagi ya, tak tahan aku melihat tangismu," suara serak Panji dari seberang sana.

"Mas, aku sangat sedih.. aku harap mas bisa memahaminya. Bagaimana dengan permohonanku mas, aku bersedia menunggumu, sampai kapanpun."

"Aku akan mencobanya Ruti, aku akan mendekati Dita."

"Menikahlah dengannya."

"Apa aku harus menikahinya?"

"Agar kebahagiannya sempurna mas..." isak Maruti.

"Ya sudahlah, nanti kita bicara lagi, kamu jangan menangis lagi Ruti."

Sampai kemudian telephone ditutup, Maruti masih memegangi ponsel itu dengan linangan air mata. Maruti terkejut dan segera mengusap air matanya ketika mendengar Agus memanggilnya.

"Maruti," dan laki2 itu tiba2 sudah berdiri dihadapannya.

"Ya.."

"Kamu menangis ?"

"Nggak apa2 pak, sedih kalau ingat adik saya sakit."

"Ya, aku bisa mengerti, aku ikut berdo'a ya, demi adik kamu."

"Terimakasih pak."

"Oh ya Maruti, maukah sepulang dari kantor nanti menemani Sasa jalan2?"

"Jalan2? Kenama pak?"

"Kemana saja, yang penting Sasa senang. Beberapa hari yang lalu kan dia pernah minta, agar mengajak kamu jalan2. Dulu belum jadi karena kamu dijemput Panji. Sore ini bisa ya? Dia sudah jalan kemari kok."

Maruti terdiam, Sasa.. gadis lucu nan mungil.. yah, barangkali dengan berjalan bersama Sasa akan sedikit menghibur hatinya, mengapa tidak?

"Bagaimana Ruti?Ini jam kantor sudah selesai, sudah sa'atnya pulang."

"Baiklah pak, saya mau."

Dan begitu Maruti selesai menjawab, Sasa sudah tiba didepan pintu kemudian berlari kearahnya.

"Tante, kita akan jalan2 bukan?"

Maruti tersenyum, dipangkunya gadis kecil yang menggemaskan itu dan diciuminya. 

"Anak manis, baiklah."

"Ayo papa.."

"Maruti, ayo pulang," ajak Agus.

Agus tersenyum senang. Apalagi melihat Sasa menarik narik tangan Maruti dan diajaknya keluar. 

Mereka sudah menaiki mobil Agus ketika tiba2 Panji datang, dan melihatnya meluncur keluar dari kantor. Panji tertegun. Serasa ada yang hilang dari hatinya.

***

besok lagi ya

Monday, June 24, 2019

SA'AT HATI BICARA 29

SA'AT HATI BICARA  29

(Tien Kumalasari)

"Ada apa?" tanya Laras ketika dilihatnya wajah Panji tampak tegang.

"Maruti barusan ditilphone ibunya, katanya Dita kesakitan."

"Sudah dibawa kerumah sakit?"

"Nggak mau, katanya menunggu aku,"

 "Ya ampuun... ya sudah mas, ayo aku ikut," kata Laras yang kemudian cepat2 berganti pakaian dan ikut bersama Pandu.

***

Diantara rasa kasihan dan khawatir, Maruti juga kesal terhadap sikap adiknya. Sudah kesakitan tapi susah dibawa kedokter dan harus menunggu Panji datang. Sementara Maruti tidak yakin Panji akan mau datang walau dia telah menelponnya.

"Dita, ayo kerumah sakit saja, nggak usah menunggu siapapun."

"Aku sudah menelpon dokter Santi." kata Dita sambil menggosok perutnya dengan minyak kayu putih.

"Lalu bagaimana, dokter Santi mau kemari? Atau kita kesana?"

"Dia mau datang kemari." jawab Dita singkat.

Dan ternyata Dokter Santi datang bersama dengan Panji. Wajah Santi  berseri menyambut kedatangan Panji.

"Hai mas, kok bisa bareng ya, sebenarnya kita itu jodoh lho," candanya yang ternyata tidak membuat seorangpun tertawa..

"Bagaimana dengan Dita?" tanya Panji tanpa memperdulikan gurauan Santi.

"Ya, hanya karena terlambat makan obat. Harusnya kemarin dia kontrol, tapi entah mengapa tidak Dita lakukan. Ya begini ini jadinya. Tapi ini aku sudah bawakan obatnya kok. Cuma aku sekali lagi memperingatkan, sesungguhnya Dita itu sudah parah. Sangat parah."kata Santi sambil melangkah masuk kerumah.

Bu Tarjo dan Maruti menyambutnya, dengan wajah cemas.

"Nggak apa2 bu, salahnya kemarin nggak kontrol lagi. Memang demikian kalau terlambat minum obatnya., dia akan merasa kesakitan. Ini sudah saya bawakan." kata Santi sambil mengulurkan sejumlah kapsul didalam plastik klip.

"Diminumkan sekarang ya dok?" tanya Maruti.

"Ya, sekarang saja, sudah makan kan?

"Sudah dokter, ya setelah makan itu tadi tiba2 dia sesambat perutnya sakit." sela bu Tarjo.

"Baiklah, kalau begitu bisa diminumkan sekarang."

Santi ikut masuk kedalam kamar Santi, sementara Panji dan Laras masih duduk dikursi didepan kamar.

"Nak Panji, terimakasih sudah mau datang kemari."

"Ya bu, tadi Maruti menelpon.Syukurlah kalau tidak apa2."

" Marilah masuk dan ketemu Dita nak.. dia pasti senang."

"Ya bu, nanti saja, masih ada dokter Santi disana."

***

"Dokter, saya mendengar suara mas Panji diluar," bisik Dita setelah Maruti keluar dari kamarnya. Memang tadi masuk kekamar Dita, hanya untuk meminumkan obat. Setelah ada dokter Santi Maruti keluar lagi, menemui Panji yang masih menunggu bersama Laras.

"Iya, dia ada, maka bersenanglah hatimu," jawab Santi sambil berbisik juga. 

Tak seorangpun tau apa yang mereka bicarakan dengan suara lirih, bahkan ketika mereka tertawa gembira. Juga dengan suara yang dipelankan. Tapi tak lama sesudah itu dokter Santipun berpamit.

"Aku pulang dulu, supaya mas Panjimu bisa segera menemui kamu."

Dita mengangguk, ia menata letak tidurnya seakan sedang menahan  rasa sakit, ketika Panji dan Laras memasuki kamarnya.

Dipintu sebelum dia keluar, Santi membisikkan sesuatu ketelinga Panji.

"Penyakitnya sudah parah, mungkin dia tak akan bertahan selama itu." kemudian Santi berlalu, dan Panji bersama Laras memasuki kamar Dita.

"Apa kabar Dita," sapa Laras..

"Baik mbak," jawab Dita sambil membetulkan letak selimutnya.

"Masih sakitkah?"

"Sudah berkurang mbak, kan barusan minum obat dari dokter, aku merasa sehat dan tak memperhatikan kalau obatku habis."

"Lain kali kamu harus memperhatikan kesehatan kamu," lanjut Laras.

"Ya.. mm.. ada mas Panji..," sapa Dita sambil tersenyum. Ia mencoba menyembunyikan rasa senangnya yang menggelora begitu memandangi wajah ganteng yang sejak awal pertemuannya telah menjatuhkan hatinya.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Baik, sudah nggak sakit lagi."

"Besok kalau kamu sudah sembuh, mas Panji akan mengajak kamu jalan2 lho." sela Laras, yang kemudian menahan sakit dikakinya karena Panji menginjaknya dengan sengaja.

"Adduh..." bisiknya lirih.

"Ada apa mbak?"

"Ini.. mm.. tadi .. tadi agak terkilir ketika memasuki rumah, tiba2 nyeri." jawab Laras terbata, dan Panji menahan senyumnya.

"Oh, ada obat gosok di kamar ibu," kata Dita

"Nggak apa2, cuma sedikit.. Oh ya, mas Panji membawa buah2an tadi, masih diletakkan dimeja sana. Mau saya ambilkan?" ujar Laras sambil menjauh dari tempat Panji berdiri, takut kakinya kena pijak lagi.

"Biar disana mbak, nanti kalau sudah berkurang sakitnya aku akan keluar. Terimakasih mas Panji telah memperhatikan aku."

"Lha mas Panji kan memang penuh perhatian sama kamu," Laras masih ingin membuat Panji kesal. Kakinya sudah jauh dari kaki Panji, yang pasti tak akan sampai seandainya Panji ingin menginjaknya lagi.

Kata2 Laras ini membuat Dita tersipu, dan diucapkannya rasa terimakasih dengan lirih.

"Terimakasih mas.."

Panji hanya mengangguk dengan tersenyum. Sejak Maruti mengungkapkan keinginannya agar dia mencintai Dita, sikapnya pada Dita jadi berubah sedikit kaku. Ia ingin menuruti kata2 Laras agar bersikap baik seperti biasanya, tapi tetap susah dilakukannya. 

Mereka tak lama disana, dan dengan alasan harus segera kembali kekantor, maka Panji dan Laras segera berpamit.

Maruti mengantarkan mereka, dengan linangan air mata.

Panji memandangnya trenyuh.

"Sudah, jangan menangis lagi," ucapnya lirih sebelum memasuki mobilnya. Maruti tak mengerti, apa maksud kata2nya tadi, tapi ia melihat senyuman manis yang selalu dirindukannya. Apakah Panji akan memenuhi keinginnnya? 

***

"Kamu tadi menginjak kakiku mas, sakit tau?!"

"Kamu sih, bicara nggak karuan, itu memberi harapan kosong, apa tidak kasihan nantinya?"

"Memberi harapan kosong bagaimana, bukankah mas sudah berjanji akan menyenangkannya? Berusaha menyayanginya?"

"Bohong, aku nggak bicara seperti itu."

"Lho, mas kok ingkar.."

"Kamu yang minta supaya aku bersikap baik, pura2 menyayangi, tapi aku kan tidak bilang mau?"

"Mas itu  bagaimana, namanya menolong orang jangan setengah hati donk."

"Menolong dengan memberikan cinta padahal sebenarnya tidak, apakah itu mudah?" Mintalah apa saja, asal jangan cintaku."

"Wah, mas Panji bener2 kejam deh."

"Kejam bagaimana ?"

"Maruti meminta tolong, dia sudah berkorban, kan aku sudah bilang begitu.Kalau Maruti mau berkorban kenapa mas tidak ?"

Panji tak menjawab sepatah katapun.

"Iya kan mas?"

"Aku harus bertemu dokter Baroto dulu."

"Mas nggak percaya sama Santi?"

"Nggak jelas.."

"Nggak jelas bagaimana?"

Tiba2 Panji teringat kata2 Santi sebelum berpisah tadi, bahwa mungkin Dita tak akan tahan selama itu. Maksudnya bisa meninggal sebelum 6 bulan yang dikatakannya? Diam2 ada rasa ngilu dihati Panji. 

***

Agus tak menduga kalau siang itu Santi tiba2 masuk keruang kerjanya.Wajahnya langsung muram begitu melihatnya tiba2 duduk dihadapannya.

"Mau apa lagi kamu kemari?" tegurnya kesal.

"Mas, Maruti mana?" tanya Santi pura2 tak tau bahwa Maruti sedang berada dirumah karena mendengar Dita kesakitan.

"Mau apa kamu nanya2? Dia sedang ijin, dan itu bukan urusan kamu."

"Mas, sekarang aku merasa bahwa memang aku bukan isteri yang baik, sehingga mas kecewa kemudian menceraikan aku."

"Kamu ini bicara apa?Itu masalah yang sudah usang dan kamu tidak perlu mengungkitnya lagi."

"Tunggu dulu mas, jangan marah dulu.. aku mengatakan itu karena aku merasa bahwa mas pantas mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari aku, aku senang kalau mas bahagia, sungguh."

"Apa maksudmu? 

"Aku tau Maruti gadis yang baik.mBak Endang (perawat Sasa) bilang kalau Sasa suka juga sama Maruti."

Agus ingin mendampratnya lagi, tapi Santi menutup mulutnya dengan jari telunjuknya, memberi isyarat agar Agus tidak ngomong dulu.

"Dengar dulu mas, dulu itu sepertinya mas Panji suka sama Maruti, dan mas kecewa kan?"

"Santi !!" meninggi suara Agus karena menahan kesal yang amat sangat. Ia merasa Santi masih ingin mengurusi kehidupannya.

"Mas, sekarang ini mas boleh berharap banyak pada dia, sungguh, ini pilihan yang bagus."

"Apa maksudmu, selesaikan kata2mu dan segera pergi dari sini !"

"Mas harus tau, mas Panji tidak memilih Maruti tapi adiknya. Jadi mas masih banyak peluang untuk mendekatinya." kata Santi sambil berdiri kemudian keluar dari ruang kerja bekas suaminya sambil tersenyum.

Agus terpaku ditempat duduknya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

Sunday, June 23, 2019

SA'AT HATI BICARA 28

SA'AT HATI BICARA  28

(Tien Kumalasari)

"Untuk apa mas ketemu Santi?" tanya Laras kecewa karena kesanggupan Panji seperti ada syaratnya.

"Aku harus bertanya tentang penyakit Dita terlebih dulu."

"Mas tidak percaya ?"

"Bukan tidak percaya, tapi tiba2 ada vonis seperti itu, aku kan harus tau karena aku dan kamu juga mungkin sangat awam tentang penyakit dan pengobatannya.

"Baiklah, itu tidak apa2, yang penting mas punya perhatian terhadap Dita, maksudku Maruti."

***

"Mas tidak percaya sama keterangan dokter?" kata Santi ketika Panji menemuinya diklinik tempatnya berpraktek.

"Salahkah aku kalau aku ingin mengetahui penyakit Dita?"

"Sebenarnya dokter tidak boleh membeberkan penyakit pasiennya kepada orang lain, ma'af mas."

"Tapi aku bukan orang lain."

"Bukan orang lain? Apa maksud mas?"

"Mereka keluargaku, dan aku calon suami Dita." 

"Wauuwww.... " Santi bertepuk tangan.

"Selamat ya mas.." lanjut Santi sambil tersenyum.

?Kamu belum menjawab pertanyaanku Santi," sahut Panji kesal.

"Mas, kalau mas calon isteri Dita, pasti mas telah mengetahui semuanya, pasti keluarganya telah mengatakan sejelas jelasnya, bukan?"

"Tapi aku ingin mendengar sendiri dari kamu."

"Oh, ada hasil2 lab yang bisa aku tunjukkan sama mas.. lihatlah.." kata Santi sambil mengeluarkan sebuah map, yang berisi hasil2 pemeriksaan. 

"Ini keterangan hasil lab Dita?" Tanya Panji sambil menerima map itu.

"Kan ada tulisannya didepan itu.. nah.. ini hasil photo rongen.. ini kanker yang menyerang lambung dan sudah menyebar.. ini..ini ..Ini keterangan ketika pemeriksaan darah, laparoscopy dan keterangan2 lainnya. Sudah sangat parah dan dokter sudah angkat tangan."

Panji tak begitu memahami hasil lab itu, ia hanya membaca map berwarna biru yang ada tulisannya Anindita..

"Siapakah dokter ahli yang menangani?"

"Oh, itu dokter Baroto, dia seorang onkolog, pernah dengar?"

"Itu ahli kanker kan?"

"Ya, terkemuka .."

"Boleh aku menemuinya?"

Dokter Santi berdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu, sambil membuka buka catatan, entah catatan apa.

"Oh, sayang sekali pak Baroto sedang pergi keluar negeri. Agak lama karena beliau sedang memperdalam ilmunya."

"Kapan dia kembali?"

"Saya kurang tau mas, tidak ada kontak dengan dia selama keberangkatannya yang baru kemarin. Nanti aku akan kabari setelah bisa terhubung."

Panji keluar dari ruangan dokter Santi dengan rasa tidak puas, apa yang ditunjukkan sungguh membuatnya ngeri. Separah itukah? Sayang ia belum bisa menemui dokter ahli yang katanya menanganinya.

***

Siang hari itu Dita sedang menulis nulis di buku hariannya. Kali itu dengan seri yang tampak cerah. Bu Tarjo memperhatikannya dengan terharu.

"Dita, ibu sudah memasak ca brokoli pesananmu. Mau makan sekarang?"

"Sebentar bu, Dita selesaikan dulu menulisnya," jawab Dita sambil menulis .

"Cerita apa lagi yang kamu tulis nduk?"

"Ah, ibu mau tau ajah, "Dita tersenyum dan menutup buku kecilnya.

"Ayo makan, sudah ibu siapkan dimeja."

"Ibu, mengapa ibu yang harus meladeni Dita? Kan Dita sudah sembuh..?"

"Ya, benar, tapi ibu ingin meladeni kamu karena biarpun sembuh kan kamu habis sakit, ibu khawatir kalau kecapean bisa lebih parah penyakitmu."

"Ah, ibu... ya enggaklah, Dita sudah sehat kok."

Tiba2 telephone Dita berdering.

"Oh.. dari dokter Santi, Dita terima dikamar ya bu?"

"Kok dikamar, disini saja, biar ibu dengar perkembangan penyakitmu."

"Ini pasti bukan karena sakitnya Dita bu, kan Dita sudah nggak sakit lagi. Sebentar ya." jawab Dita sambil kembali masuk kekamarya. Diam2 bu Tarjo yang merasa curiga menempelkan kupingnya dipintu kamar Dita. Ia ingin tau, mungkin dokter Santi berbicara tentang penyakit anaknya.

"Hallo dokter... ya.. baik.. ada.. ada perkembangan.. suka kok.. hehe.. terimakasih dokter.. oh ya.. kapan.. baru saja..? Lalu... waaah.. pintar sekali dokter.. ya.. aku mau.. pastinya.. (tertawa renyah) ooh.. gitu...? Waduuh... ya.. ya.. bisa.. akan Dita lakukan... bisa... terimakasih dokter."

Dita menutup ponselnya sambil berjalan kearah pintu. Terkejut sekali dia melihat ibunya berdiri disana.

"Ibu... ibu mendengarkan pembicaraan dengan dokter Santi?

"Oh, ya.. ma'af nak.. ini tidak sopan ya, tapi sungguh ibu hanya menghawtirkan kesehatanmu." kata bu Tarjo sedikit tersipu karena ketahuan mencuri dengar ketika Dita sedang bertelephone.

"Nggak apa2 bu, ibu jangan khawatir, dokter Santi hanya mengingatkan bahwa kemarin harusnya obat Dita sudah habis."

"Lha harusnya kan kamu kontrol , kok nggak bilang."

"Dita nggak merasakan sakit kok bu."

"Ya sudah nanti ke dokter kontrol, ibu antar ya?"

"Nggak usah bu, besok saja. Sekarang Dita pengin makan ya, ayo ibu juga.."Jawab Dita sambil duduk di kursi makan.

"Baiklah, ibu temani kamu makan ," kata bu Tarjo sambil duduk pula didepan anaknya,

"Ini ayam goreng dari mas Panji masih ada, ayo kita habiskan. hm.. baik bener mas Panji sama Dita ya bu."

"Iya, dia baik, apa kamu suka sama dia?" pancing bu Tarjo.

Dita tampak tersipu, ia tak menjawb kecuali hanya tersenyum, kemudian menyendok nasi serta lauknya dan makan dengan lahap. Bu Tarjo memandanginya dengan terharu. Bisakah Maruti meminta Panji agar bisa mencintai Dita? Dalam hati bu Tarjo bertanya tanya, penuh harapan.

***

"Jadi mas, belum bisa menemui dokter ahli yang menangani penyakit Dita?" tanya Laras ketika siang itu Panji kembali lagi kerumah Laras.

Panji menggeleng.Ada keraguan yang sesungguhnya memenuhi hatinya tentang vonis itu.Ia ingin bertemu dokter Baroto, tapi terhalang karena katanya sedang keluar negri.

"Baiklah, kita tunggu saja keterangan sejelas jelasnya nanti dari dia, tapi maukah selama ini mas Panji bersikap manis sama Dita?"

"Bersikap manis bagaimana ?"

"Ya bersikap baik lah mas, seakan akan mas memang suka sama dia."

"Waduuh.. kamu ada2 saja.. itu tidak gampang Laras, bagaimana mungkin orang bisa berpura pura suka sementara sebenarnya dia tidak suka? Aku baik sama Dita karena dia adik dari Maruti, gadis yang sesungguhnya aku cintai."

"Mas, aku kira tidak berlebihan kalau mas bersikap baik .. ya.. nggak usah harus mesra2 begitu.. pokoknya baik.. yah.. seperti dulu.. ketika belum ada peristiwa ini.

"Hm. kamu itu Laras.. " keluh Panji.

"Cobalah mas, misalnya datang kerumah, menemui dia, bawa oleh2 buat dia, aku kira dengan begitu Dita pasti bahagia. Nggak usah bicara so'al pernikahan dulu lah.. siapa juga suruh cepat2 menikah.. Mungkin mengetahui bahwa mas sangat perhatian sama dia, dia sudah sangat bahagia kok."

Panji hanya terdiam. Dia kasihan pada Maruti, pasti sangat sedih mendengar penolakannya untuk menerima Dita.

Tiba2 telephone Panji berdering.

"Dari Maruti ," bisiknya. 

"Ada apa mas, coba diterima, kok malah dipandangi begitu," tegur Laras.

"Takut dia bicara sambil nangis2 kayak kemarin," tapi diangkatnya panggilan telephone itu.

"Hallo Maruti, ya.. ada apa.. jangan menangis lagi Maruti, tenangkan hatimu," kata Panji.

"Mas, datanglah kerumah.." tapi suara dari seberang benar2 sambil menangis.

"Ada apa? Aku sedang memikirkan kata2mu sore kemarin."

"Mas, datanglah sekarang juga. Tiba2 Dita kesakitan luar biasa, baru saja ibu menelpon mas," tangis Maruti semakin keras.

"Tidak dibawa ke dokter?"

"Nggak mau mas, katanya menunggu mas.."

Wadhuh....

***

besok lagi ya

 

 

Saturday, June 22, 2019

SA'AT HATI BICARA 27

SA'AT HATI BICARA  27

(Tien Kumalasari}

Maruti menghentikan langkahnya dan menunggu pengendara mobil itu mendekat. Tapi Maruti heran, yang keluar dari mobil itu adalah Laras. 

"Wah, beruntung kamu belum berangkat."

"Tumben pagi2 sudah sampai sini." sapa Maruti menyambut kedatangan tamunya.

"Ya, dan aku pakai mobil mas Panji."

"Oh, lha mas Panji kemana ?"

"Dia sakit dirumahku."

Maruti terkejut.

"Sakit ? Sakit apa ?"

"Sakit hati lah.." jawab Laras, berbisik.Maruti yakin Panji sudah mengatakan semua yang terjadi sore kemarin.

"Ma'af kalau aku penyebabnya.." jawab Maruti lirih. Ia kemudian menggandeng Laras masuk ke teras.

"Duduklah dulu, tapi aku akan segera berangkat kerja."

"Nanti aku antar kamu, sekarang aku mau ketemu Dita," kata Laras yang kemudian berdiri dan langsung masuk kedalam rumah. 

"mBak Laras ?" teriak Dita yang sedang duduk dimeja makan.

"Hai Dita, sudah sehat kah ?" tanya Laras yang kemudian juga duduk didepan Dita.

"Sehat banget mbak, ayo sarapan, cuma telur nih.."

"Aku sudaah sarapan. Mana ibu?"

"Lagi dikamar, tuh.."

"Oh ya, ini, ada titipan buat kamu," kata Laras sambil mengangsurkan sebuah bungkusan.

"Eh.. apa nih? Titipan dari siapa?"

"Dari mas Panji."

"Dari mas Panji? Oh ya.. apa nih..?" Laras melihat sinar mata Dita berbinar. Trenyuh mengingat wajah cantik yang tampaknya sehat itu hanya memiliki beberapa bulan lagi untuk hidup.

"Buka aja, kata mas Panji kamu suka."

"Hm..ayam goreng nih baunya... horeee..." teriak Dita gembira.

Bu Tarjo yang muncul tiba2 terkejut mendengar Dita berteriak.

"Ada apa Dita? Oh.. ada nak Laras? Ayo buatkan minum dulu untuk mbak Laras, Dita.

"Ibu, mas Panji mengirimi aku ayam goreng, aku mau nambah lagi makannya ya." kata Dita gembira.

"Boleh saja. Tapi buatkan minum dulu tamunya."

Tapi Laras menolaknya.

"Nggak usah bu, saya hanya mampir, dan sekalian mau ngantar Maruti berangkat kerja, jadi sekarang juga saya mau pamit ya bu."

"Oh, untunglah Maruti belum berangkat."

***

Diperjalanan Maruti menanyakan keadaan Panji.

"Dia sakit, semalam nggak bisa tidur, pagi ini dia belum bangun, badannya panas, tapi aku sudah memberinya obat."

"Ya ampun, kenapa tidak kamu bawa ke dokter?"

"Nggak mau dia, orang sakitnya tuh sakit hati." jawab Laras sekenanya.

"Kamu membuat aku merasa bersalah Laras," Keluh Maruti.

"Sebenarnya bagaimana penyakit Dita, aku lihat tadi baik2 saja, seger, terlihat sedikit gemuk,"

"Ya, kata dokter Santi obat2nya lebih bayak penghilang rasa sakit, jadi dia tidak kesakitan seperti kemarin2. Tapi Laras, sebentar, darimana kamu dapatkan ayam goreng yang kata kamu kiriman dari mas Panji?"

"Oh, itu karangan aku saja," Laras tertawa.

Maruti tertegun, dirinya semalam juga mengucapkan kata2 bohong tentang perhatian Panji pada Dita, dan sekarang Laras melakukannya. Maruti tersenyum. Sikap ingin menyenangkan itu semoga tidak akan berbuah menyakitkan bagi Dita. Itu do'a Maruti, dan mungkin juga Laras.

"Padahal mas Panji sama sekali tak punya perhatian untuk itu," keluh Maruti. 

"Siapa tau nanti hati mas Panji bisa terbuka. Dan sekarang aku mau nanya sama kamu Ruti, maukan kamu menunggu seandainya nanti mas Panji mau?" pertanyaan ini sesungguhnya agak menyakitkan, karena seperti berharap akan kematian Dita. Kalau dijelaskan kan begini kalimatnya, maukah kamu menunggu sampai Dita meninggal dan mas Panji bisa kembali untukmu? Aduh..bagai tersayat hati Maruti mendengarnya.

"Ruti, aku minta ma'af, tapi bukankah ini kenyataannya?" tanya Laras hati2. Sesungguhnya Laras juga tak ingin menyinggung perasaan Maruti. Keputusan itu kan bagai buah simalakama, cuma hanya ada satu titik sasaran. Dijalani Dita mati, tidak dijalani juga Dita mati. 

"Tidak, aku mengerti. Kamu tau Laras, aku sangat mencintai mas Panji, aku tak akan berpaling darinya, sampai kapanpun." jawaban ini lebih santun, tidak mengatakan kalau dia meninggal aku tetap akan menunggunya. Laras mengerti dan mengangguk. Hanya saja mereka belum tau, kapan Panji juga akan mengerti.

***

Laras mengantarkan Maruti sampai ketempat meja kerjanya. Sesungguhnya Laras ingin ketemu si ganteng yang berkumis, tapi malu mengakuinya. Semoga ketemu, begitu bisiknya dalam hati.

Dan keinginan Laras terpenuhi. Kedatangan mereka justru bersamaan. Ada gadis mungil yang ikut mengantar ayahnya bersama perawatnya. Berdebar Laras menyambutnya.

"Hai Laras, tumben pagi2 sudah sampai sini."

"Mengantar Maruti nih mas, sekarang mau pamit. Hai Sasa.. masih ingat sama tante?" sapanya pada Sasa.

Namun Sasa berlari mendekati Maruti.

"Tante, ayo jalan2 sama Sasa.." teriaknya.

"Sasa, tante kan lagi bekerja," jawab Maruti sambil memegangi pipi gadis kecil itu.

"Tuh ditanya sama tante Laras, lupa nggak sama tante Laras," lanjut Maruti..

Sasa memandangi Laras dan menggeleng.

"Sasa ingat..."

"Ayo beri salam sama tante Laras,"kata Agus

Laras berlari mendekati Laras dan mencium tangannya.

"Sudah, sekarang Sasa pulang ya , dan ingat, nggak boleh nakal," kata Agus.

Sasa berlalu, ada rasa kecewa dihati Laras, karena Sasa lebih perhatian sama Maruti daripada dengan dirinya.

"Laras, duduklah dulu, nggak apa2 menemani Maruti," kata Agus.

"Nggak mas, nanti mengganggu, sekarang saya pamit dulu."

"Baiklah, oh ya.. nggak bersama Panji? Aku melihat mobil Panji didepan, aku kira ada Panji disini."

'Ya, saya pakai mobil mas Panji, kebetulan nggak dipakai. Permisi, saya pamit dulu mas," kata Laras yang kemudian berlalu.

"Hati2 dijalan Laras," teriak Maruti.

Laras melambaikan tangan, dan Agus mengantarkan sampai kedepan.

***

"Aku tadi membawa oleh2 ayam goreng buat Dita," kata Laras kepada Panji setelah sampai dirumah.

Laras memegang dahi Panji, dan merasa lega, tidak terasa panas lagi.

"Dita senang mendapatkan ayam goreng itu. Aku bilang kiriman dari kamu mas," Laras berterus terang.

"Kok kamu bohong begitu, nanti dia banyak berharap dari aku," Panji memprotes apa yang dilakukan Dita.

"Aku hanya ingin menyenangkan dia, dan nyatanya dia senang kok," jawab Laras seenaknya.

"Kamu itu.." keluh Panji."

"Mas, aku tadi bicara sama Maruti."

"Tentang apa?"

"Aku bertanya, apakah Maruti mau menunggu sampai... ya Tuhan.. aku bukan mendo'akan ya mas, tapi ada suatu titik dimana Dita akan... yah.. susah buat kalimatnya yang lebih santun. Begini, kalau perkiraan dokter itu benar, Maruti akan tetap menunggu kamu lho mas."

"Apa ?" 

"Maksudku begini, penuhilah permintaan Maruti, menikahi Dita, untuk memberikan kebahagiaan diakhir hidupnya, itu kan tidak lama, ma'af sekali lagi, nanti Maruti akan tetap menunggu kamu. Dia bilang akan tetap mencintai kamu sampai kapanpun."

"Jadi kamu juga memaksa supaya aku menikahi Dita?" 

"Bukan memaksa, kalau mas mau berkorban seperti pengorbanan Maruti, bukankah itu perbuatan mulia?"

"Maruti berkorban?"

"Berkorban dong mas, dia juga cinta sama mas, dan dia rela berkorban demi adiknya. "

"Baiklah.."

"Mas mau?Sesungguhnya tidak harus menikahi, cukup kasih dia perhatian, rasa sayang, itu cukup membahagiakan lho."

"Baiklah akan aku pikirkan, tapi aku akan ketemu Santi dulu."

***

besok lagi ya

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...