Tuesday, November 30, 2021

MELANI KEKASIHKU 39

 

MELANI KEKASIHKU  39

(Tien Kumalasari)

 

Sasa bermaksud duduk disofa, menunggu. Tapi belum sampai pantatnya menyentuh sofa, pintu terbuka dan Andra muncul dengan senyum cerah.

“Hm, pasti senang berduaan dari siang sampai sore,” pikir Sasa sambil melanjutkan keinginannya untuk duduk.

“Ayo kita berangkat, kok malah nyantai begitu...”

“Sekarang?”

“Bulan depan..... Ya sekarang dong Sa.”

“Kamu sama siapa?”

“Aku sendiri, kelihatan kan? Jadi nanti kita pergi berdua, aku sama kamu.”

Andra menarik tangan Sasa agar berdiri, kemudian mengajaknya keluar dari ruangan.

“Kamu dari mana ?” tanya Sasa dalam berjalan ke arah mobil Andra.

“Dari rumah sakit.”

Diam-diam Sasa merasa lega. Lama karena singgah membezoek Anggoro, bukan bersenang-senang dengan Indira. Aduhai, cemburu terkadang kelewatan ya.

“Bagaimana keadaan om Anggoro?” tanyanya.

“Semakin baik. Mungkin dua tiga hari mendatang boleh pulang. Semoga tak ada rasa sakit yang mengganggunya lagi. Akhir-akhir ini masih ada keluhan pusing, cuma ya sudah berkurang katanya.”

“Syukurlah. Sebenarnya aku juga ingin menengok ke rumah sakit.”

“Aku kan sudah mengajak kamu tadi, kamu nggak mau...”

“Kamu kan nggak bilang mau membezoek om Anggoro?”

“Iya, tadi sekalian mampir ketika mau kembali ke kantor.”

“Aku juga ingin ke rumah bibik. Seperti apa ya tante Anindita?”

“Tante juga semakin membaik. Melani sangat pintar menghibur ibunya, mengajaknya bicara dan menggiringnya ke arah masa lalunya yang pastinya menyenangkan.”

"Aku ingat, dulu tante Anindita yang menyelamatkan aku dari tangan ibuku.”

“Oh ya, ibu juga pernah bercerita tentang itu. Sungguh heboh kejadian itu. Seperti kejar-kejaran di film detektif.”

Aku sedih mengingat ibuku.”

"Lupakan kesedihan itu. Kamu kan sudah hidup bahagia diantara orang-orang yang menyayangi kamu.”

***

Sasa masih belum mengerti, sebenarnya Andra akan mengajaknya belanja kemana. Ia heran ketika Andra menghentikan mobilnya didepan sebuah toko pakaian.

“Kita kesitu?” tanya Sasa.

“Iya, ayo turun,” kata Andra sambil turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Sasa.

Mereka berdua memasuki toko.

“Kamu mau membelikan aku baju ?” tanya Sasa setengah bercanda.

“Iya, boleh saja. Tapi aku mau minta tolong sama kamu.”

“Minta tolong apa?”

“Pilihkan sebuah gaun, yang warnanya lembut. Yang diminta adalah nuansa coklat muda. Carikan juga kerudungnya yang senada dengan bajunya.”

Wajah Sasa muram seketika. Dia akan dibelikan baju, tapi Andra minta agar dia memilihkan gaun juga? Untuk siapa? Pasti untuk Indi.

“Ayo, kamu pilih dulu mana yang kamu mau, setelah itu pilihkan seperti yang tadi aku katakan.”

“Mengapa tidak memilih sendiri sih? Aku ogah !” katanya sengit.

“Lhoh, gimana sih Sa.. . Nggak mau menolong aku? Aku kan laki-laki, mana bisa memilih gaun yang cocok untuk wanita.”

“Yang mau kamu belikan kan wanita? Mengapa kamu tidak menyuruh dia saja memilih sendiri mana yang dia suka,” katanya ketus.

“Yaaah, kamu pikir dia bisa memilih sendiri? Dan ini hadiah. Namanya hadiah juga harus menjadi kejutan.”

“Aku ogah !”

“Sasa !”

“Takut salah.”

“Takut salah bagaimana?”

“Nanti kalau pilihanku nggak sesuai dengan selera dia, pasti aku disalahkan.”

“Tidak, setelah beli, kita tunjukkan dulu baju pilihan kamu kepada om Anggoro. Kalau om Anggoro suka, ya oke, kalau nggak suka, kita bisa memilih lagi.”

Sasa terpana.

“Om Anggoro? Jadi ini baju untuk siapa?”

“Untuk tante Anindita, sebagai tanda cinta.”

Sasa menampar keningnya sendiri. Pelan sih, tapi sikap itu membuat Andra heran.

“Kamu pikir untuk siapa?”

“Pacar kamu,” katanya sambil berlalu dengan cepat, kearah gaun-gaun indah yang tergantung agak kedalam ruangan.

Andra terkejut. Pacar aku? Dia pikir aku beli untuk pacar aku? Aaah, ya Tuhan, dia mengira aku pacaran sama Indi? Kan aku perginya sama Indi dan tidak pernah dengan gadis lain. Dan kenapa dia marah? Apa dia cemburu sama Indi? Atau... mm... bukankah cemburu itu tandanya cinta? Sasa cinta sama aku? Yang bener saja. Tapi sikapnya itu, sikap anehnya itu, terjadi setelah Indi datang menemui aku bukan? Jadi....

“Mas Andraaa!”  teriak Sasa dari kejauhan sambil melambaikan tangannya.

Setengah berlari Andra menghampirinya.

“Bagaimana.”

“Lihat ini... coklat mudanya lembut warnanya, bunga bunga kecil, senada dengan kerudungnya itu,” katanya bersemangat.

“Bagus. Mau yang itu?”

“Nanti dulu aja, kita lihat yang lainnya. Banyak warna coklat muda yang cantik..” kata Sasa sambil melangkah mengitari pajangan baju yang berderet-deret.

“Ini bagus Sa !” teriak Andra tiba-tiba.

Sasa mendekat.

“Ini bukan warna coklat, mas bos..” kata Sasa sambil tertawa.

“Maksudku, buat kamu.”

“Buat aku?”

“Nggak suka ?”

“Warnanya cantik banget. Kok kamu tahu kalau aku suka warna pink cantik ini?” kata Sasa riang.

“Ya tahu dong, kamu seringnya pakai baju yang nuansanya seperti ini kan?”

“Aah, baiklah, tapi nanti saja, kita cari warna pilihan untuk tante Dita dulu. Masa belum-belum memilih buat aku?” kata Sasa dengan nada riang. Ia merasa ternyata Andra memperhatikannya, dan itu membuatnya senang.

Andra tersenyum. Ta sedikitpun dia ingkar. Sasa memang cantik. Lincah dan cerewet. Itu kalau hatinya sedang senang. Tapi kalau lagi kesal, mulutnya mengerucut sepanjang siang. Tapi lucu melihatnya cemberut. Duuh, kok tiba-tiba Andra merasakah hal yang aneh? Gadis yang berdiri sambil memilih-milih itu tampak anggun dan begitu mempesona. Cantik mana dia sama Indira? O..ooh... Indira memang cantik, tapi getar yang ada bukanlah getaran cinta. Indira terlampau pintar. Dia banyak mendekte tentang apa yang dipilihnya. Itu sedikit mengurangi rasa simpatinya.

“Maaas, ini maaas..” teriak Sasa lagi, riang seperti burung yang sedang berkicau diantara bunga-bunga. Andra melangkah mendekati. Lalu menatap sepasang netra yang bulat berbinar. Tiba-tiba Andra teringat ketika dia memberinya sebungkus coklat saat meraka kanak-kanak. Seperti itulah binar matanya.

“Heeiii... ini lho, kok ngelihatin aku seperti itu sih?”

“Iya, yang mana?” agak gugup Andra menanggapinya.

“Ini juga cantik kan..? lihat, pasti tante Dita suka.

“Benar, habis yang memilih juga cantik. Terserah kamu saja, mana yang kamu pilih, atau dua-duanya sekalian?”

“Yaa.. ide bagus mas. Tunggu, apakah tante Dita gemuk? Kalau dengan badanku ini, lebih besar mana? Takutnya kekecilan.”

“Tidak, tante Dita itu kecil, sekecil kamu. Jadi kamu boleh mencobanya.”

“Baiklah, dua-duanya ya.”

“Tiga. Yang satu kan untuk kamu. Mau yang mana?”

“Serius nih ?”

“Serius dong.”

Sasa hampir melonjak kesenangan. Sore ini sikap Andra sangat manis. Tapi jangan sampai bayangan Indira melintas lagi. Kegembiraan Sasa pasti akan pudar.

***

Andra dan Sasa membawa bungkusan itu ke rumah sakit. Anggoro senang sekali.

“Iya benar, ini warna kesayangan Anindita. Dua baju coklat muda dengan corak yang berbeda, tapi semuanya indah.”

“Yang mana yang om suka?” tanya Andra.

“Berikan dua-duanya. Bungkus yang rapi. Aduh, kalian sungguh pintar memilih,” puji Anggoro sambil menyerahkan dua buah baju itu.

“Sasa yang memilih om.”

“Tentu saja, kamu laki-laki, mana bisa memilih sebagus ini. Ya kan Sa?”

“Kami memilih berdua kok om,” kata Sasa merendah.

“Kalian pasangan yang serasi,” kata Anggoro mengejutkan ke duanya.

“Oh ya, berapa habisnya, nanti om ganti,” lanjut Anggoro.

“Tidak om, tidak usah diganti,” kata Andra.

“Lhooh, kok gitu, pasti mahal kan itu?”

“Besok saja om ganti sebagai hadiah kalau Andra menikah,” canda Andra. Tapi dia diam-diam melirik Sasa. Hmh, kenapa juga pakai melirik ke aku, pikir Sasa.

“Kalau begitu kita harus membungkusnya dulu. Disini mana ada kertas untuk membungkus?” kata Anggoro.

“Iya ya, tadi nggak ingat untuk beli kertas kado. Habisnya belum tentu om Anggoro cocok sih,” kata Sasa.

“Kalau begitu bawa pulang dulu saja, bungkus yang cantik, lalu berikan sama dia.”

“Ini hadiah cinta dari seorang suami kan? Harus ditulisi nggak om?”

“Nggak usah. Kalau dia peka, pasti dia tahu siapa yang memberinya.”

“Wouwww... manis sekali. Semoga ini semakin mendekatkan om dan tante ya Sa.”

“Aamiin,” kata Anggoro sambil tersenyum.

Tapi saat pulang Sasa merasa bahwa sikap Andra agak aneh sore itu. Aneh yang membuatnya berdebar-debar.

“Aduh, jangan sampai aku salah sangka,” kata hati Sasa ketika Andra menggandengnya keluar dari ruang inap Anggoro.

***

“Sasa belum pulang?” tanya Agus ketika lebih dulu sampai dirumah.

“Belum, tumben. Biasanya dia datang sebelum mas sampai di rumah.”

“Sedang banyak pekerjaan, barangkali.”

“Iya mas. Ini teh hangatnya diminum dulu.”

“Besok mungkin Santi akan dibawa kemari,” kata Agus sambil menghirup teh nya.

“Dibawa kemari bagaimana ?”

“Dari Jakarta, dibawa ke Solo. Untuk memudahkan penyidikan.”

“Jadi nanti sidangnya disini ?”

“Pastinya begitu, karena semua saksi kan ada disini. Abi, Andra, bibik, simbok.”

“Apakah Sasa harus diberi tahu?”

“Bagaimana ya sebaiknya Laras?”

“Santi kan ibunya. Bagaimanapun dia harus diberi tahu.”

“Dia pasti akan bertambah terpukul. Aku kasihan sama dia.”

“Dia kan sudah tahu bagaimana ibunya. Jadi aku kira dia pasti bisa menerima apapun yang terjadi dengan ibunya. Tidak mungkin kita bisa menutupinya.”

“Iya, kamu benar,” kata Agus dengan wajah sedih. Sangat disesalinya bekas isterinya bisa melakukan hal sekeji itu. Pasti hukumannya akan bertambah berat.

“Aku dengar Anindita sudah semakin baik. Barangkali ada baiknya kita menengok ke rumahnya,” kata Laras.

“Bagus juga. Aku juga senang Anggoro sudah semakin sehat. Semoga mereka segera merasakan kebahagiaan bersama keluarga yang utuh.”

“Aamiin. Mas besok bisa pulang agak sore kan?”

“Kita kesana besok sore ?”

“Iya, aku akan memasak rendang untuk Dita. Kata Maruti dia senang sekali makan rendang daging.”

“Bagus Laras, semoga dia bisa menerimanya. Nah, itu Sasa, sepertinya diantar Andra,” kata Agus.

“Mengantar Sasa, tante,” sapa Andra ketika sampai dihadapan orang tua Sasa.

“Lagi banyak pekerjaan ya?” tanya Agus.

“Tidak om, kami baru belanja baju.”

“Belanja baju?” tanya Agus dan Laras hampir bersamaan.

“Om Anggoro minta agar kami membelikan baju untuk tante Dita.”

“Waah, seru nih, mereka sudah baikan?”

“Belum tahu om, semoga saja bisa menjadi jalan kebaikan bagi om Anggoro dan tante Dita.”

“Ini bajunya bu, Sasa bertugas membungkusnya dengan apik, biar tante Dita suka.”

“Wah.. baiklah.. baiklah.. semoga semuanya segera menjadi baik.”

“Tapi saya mau langsung pulang om, tante, baru pulang, bau asem,” kata Andra sambil mencium tangan Agus dan Laras bergantian.

***

Siang itu bibik dan Melani sedang memasak didapur. Baru saja Anindita ke dapur dan meminta agar bibik memasak opor ayam. Mereka memasak dengan suka cita.

Anindita duduk didepan televisi. Ia sedikit bisa menangkap apa yang disiarkan, terlihat sebentar-sebentar dia mengangguk-angguk.

Dari dapur Melani memperhatikan, dan tersenyum senang melihat ulah ibunya.

“Semoga semua segera berakhir ya bik, aku senang melihat perkembangan kesehatan ibu,” kata Melani pelan, sambil membubuhkan santan di wajan. Bau sedap masakan mereka tercium oleh Anindita.

“Baunya sedap...” gumam Anindita yang didengar oleh mereka.

“Sebentar lagi matang ibu, kita bisa makan bersama-sama.” Teriak Melani dari dapur.

“Jangan terlalu asin ya bik.. nanti kamu dikira pengin kawin..” teriak Anindita yang membuat bibik terkekeh-kekeh, tapi juga terkejut.

“Cah ayu bu Dita sudah bisa bercanda... ya Tuhanku, terimakasih,” gumam bibik sambil mengambil mangkuk untuk tempat lauk yang sudah matang.

“Aku senang mendengarnya bik.”

“Iya bu, nggak terlalu asin kok. Masa sih, bibik masih laku?” bibik balas bercanda.

“Lihat tuh, ada yang ganteng-ganteng di televisi,” kata Anindita lagi.

“Kalau nak ganteng, itu punya nak Melan bu,” teriak simbok.

“Nak ganteng mau kesini ? Melan?” tanya Anindita.

“Belum tahu bu, kalau senggang pasti ke sini.”

Anindita melanjutkan menikmati acara televisi.  Tiba-tiba ia melihat sebuah breaking news disiarkan. Mata Anindita melotot. Ia mengenali seorang narapidana wanita yang digelandang oleh polisi dan diajak masuk ke dalam mobil polisi. Narapidana itu berteriak-teriak histeris, tapi polisi tak peduli.

Pembawa berita mengatakan, seorang tersangka kejahatan akan dipindahkan ke kota Solo karena akan diproses disana.

Tiba-tiba Anindita berteriak-teriak.

“Sasa... mana Sasaa... mana Sasa...!” bibik dan Melan terkejut, mendengar Anindita berteriak mencari Sasa.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Monday, November 29, 2021

MELANI KEKASIHKU 38

 

MELANI KEKASIHKU  38

(Tien Kumalasari)

 

“Bapak.. mau disuapin Melani ?”

“Tidak.. tidak... biar aku makan sendiri. Ini enak..” kata Anggoro sambil tersenyum. Ada rasa nyaman, seperti diguyur air dingin di kepalanya, mendengar bahwa kroket itu atas saran Anindita agar dibawa ke rumah sakit. Untuk dirinya bukan? Suaminya? Kalau bukan, lalu siapa lagi?

“Enak ya pak, masakan  bibik ?” tanya Melani.

Angoro tersenyum. Yang enak bukan karena masakan bibik, tapi karena ada yang menyuruhnya, dan itu adalah orang yang sangat dicintainya, dan diharapkan bisa memaafkan dirinya. Apakah maaf itu sudah diberikannya? Bagaimana nanti sikap Anindita kalau dia menemuinya sekali lagi?

Anggoro terus membayangkan wajah Anindita sambil mengunyah kroket yang sudah sebuah dihabiskannya. Wajah cantik bermata teduh, walaupun sedikit cerewet dan manja. Anggoro teringat saat mengayun Anindita lalu Anindita berteriak-teriak karena dia sengaja mengayun lebih keras. Senyum selalu menghiasi bibinya ketika mulutnya mengunyah kroket dengan nikmat.

“Kalau bapak suka, besok akan bibik buatkan lagi,” kata bibik.

Anggoro menatap bibik sambil menyendok kroket ke dua yang masih tersisa di piring kecilnya.

“Apakah... Anindita... sudah mau memasak ?” tanyanya hati-hati. Barangkali ada keinginan untuk menikmati kembali masakan isterinya.

“Sejauh ini, menangani sendiri belum pernah pak, tapi dia sering menyarankan apa yang harus dimasak bibik. Setiap bibik memasak, bu Dita selalu ke dapur untuk memberi saran, terkadang mengingatkan bumbu-bumbunya juga.”

Anggoro mengangguk-angguk. Sudah sangat jauh tingkat kesembuhan Anindita, dan dia berharap akan segera bisa kembali bersamanya.

“Nanti kalau bapak sembuh, langsung ke rumah bibik ya? Siapa tahu ibu akan menyambutnya dengan senang hati,” kata Melani yang terus melihat bagaimana lahapnya ayahnya makan.

“Bapak berharap agar bisa segera boleh pulang. Setelah kejadian bapak pingsan itu, rasa pusing masih terus mengganggu,” kata Anggoro.

“Bapak terlalu bersemangat ketika melihat ibu datang.”

“Iya...” kata Anggoro sambil memberikan piringnya yang telah kosong.

“Mau nambah lagi pak?” tanya bibik.

“Sudah bik, nanti lagi saja.”

“Biar bibik taruh di meja dekat sini, supaya gampang bapak mengambilnya,” kata bibik sambil menata sepiring kroket yang masih tersisa.

“Kali ini Melani tidak bisa lama-lama pak, karena ibu sendirian di rumah.”

“Iya benar, cepat pulang dan jangan membuat ibumu cemas. Kan biasanya ada bibik menemani. Dimana Abi?”

“Mas Abi kan harus bekerja pak, hari ini dia tidak bisa mengantar karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.”

“Dia laki-laki yang baik. Apa kalian saling suka?” tanya Anggoro yang membuat Melani kemudian tersipu.

“Tidak usah malu mengakui kalau memang suka. Wajar saja kalau kamu suka, dia laki-laki yang baik. Bapak juga suka punya menantu dia. Sungguh,” kata Anggoro mantap.

“Doakan saja ya pak, Melani belum bisa menjawabnya sekarang.”

“Nak ganteng sangat mencintai nak Melan. Bibik tahu itu,” sambung simbok sambil berdiri, karena melihat Melani berkemas mau pamit.

“Hiih, bibik nih...” kata Melani sambil mencubit lengan bibik pelan.

“Itu benar pak, bibik juga suka melihat nak Melan mendapat pendamping seperti nak ganteng. Sudah ganteng, baik, dan penuh perhatian sama keluarganya.”

“Bibik, ayo.. nanti ibu kelamaan nunggunya.”

“Iya.. iya. Permisi dulu ya pak, segera sembuh dan pulang ke rumah bibik,” kata bibik sambil menepuk-nepuk kaki Anggoro.

Anggoro tersenyum. Hari ini adalah hari yang melegakan, dan membahagiakan. Memang sih, belum tentu nanti Anindita bisa menerimanya dengan manis, tapi perhatiannya sangat membuat harapannya untuk kesembuhan isterinya semakin besar. Lalu timbullah sebuah ide dengan harapan akan membuat isterinya senang.

***

Ketika Melani dan bibik sampai dirumah, dilihatnya Anindita tertidur diatas kursi panjang, sementara televisi masih tampak menyala. Melani segera mengambil bantal lalu diletakkannya bantal itu di bawah kepala ibunya dengan hati-hati.

Anindita masih terlelap, tapi ketika Melani meninggalkannya untuk berganti pakaian, dia membuka matanya.

“Kamu sudah pulang ?”

Melani berhenti melangkah, lalu membalikkan tubuhnya dan kembali mendekati ibunya.

“Ibu tertidur ya? Mau pindah di kamar saja?”

“Tidak, sudah lama ibu tidur,” katanya sambil bangkit.

“Bu, Melani seneng banget. Bapak suka sekali kroketnya. Dua biji sekaligus dihabiskan,” kata Melani bersemangat.

Mata Anindita bersinar, lalu ada senyuman tersungging di bibirnya.

“Bapak akan segera sembuh.”

Anindita hanya mengangguk.

“Ternyata Bu, kroket itu makanan kesukaan bapak. Kata bapak, sudah lama sekali bapak tidak makan kroket. Ibu sungguh pengertian,” kata Melani bersemangat.

Anindita mengalihkan pandangannya ke arah televisi. Tapi Melani menangkap ada rasa senang dihati ibunya.

“Nak ganteng tidak kemari?” tanya Anindita mengalihkan pembicaraan.

“Tadi sudah bilang, bahwa hari ini dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Itu sebabnya Melan berangkat ke rumah sakit bersama bibik.”

“Ibu suka anak itu.”

Melani tersenyum. Hari itu juga bapaknya juga bilang suka sama Abi. Melani berdebar. Dia ingat ketika Abi bertemu simbok, lalu simbok menyarankan agar Abi dan keluarganya melamar kepada ayahnya. Tapi bukankah sekarang ibunya sudah jauh lebih baik ? Melani berharap nanti Abi dan ibunya akan melamar dihadapan ayah dan ibunya. Alangkah menyenangkan, alangkah manisnya. Dan tiba-tiba Melani merasa sangat rindu kepada simboknya. Besok dia akan minta kepada budenya agar membawa serta simbok datang kerumah  bibik.

“Ibu... kalau mas Abi melamar Melani, apakah ibu mau menerima?” kata Melani pelan, malu kalau sampai bibik mendengarnya.

Anindita menatap Melani.

“Melamar ? Dia mau apa..?”

“Sssh... ibu jangan berteriak, Melani malu.”

Sesungguhnya Melani hanya memancing apa yang akan dikatakan ibunya setelah mendengarnya. Apakah ibunya berharap juga agar Abi menemui bapaknya?

“Ibu, Abi mau menjadikan Melani sebagai isteri,” kata Melan masih dengan berbisik.

“Bayi kecilku mau dijadikan isteri orang?”

“Ibu... Melani sudah besar.”

Tiba-tiba wajah Anindita berubah muram. Melani ketakutan. Bagaimana kalau ibunya marah?

“Ibu, Melani hanya bertanya, bukan meminta agar ibu menyetujuinya.”

“Ibu tidak mau kehilangan kamu lagi.”

“Tidak ibu, ibu tidak pernah kehilangan Melani. Kita akan tetap bersama-sama.”

Anindita tak menjawab. Matanya kembali menatap ke arah televisi yang sedang menyiarkan beberapa iklan.

“Ya sudah, ibu mau makan sekarang? Melani ganti baju dulu ya? Tampaknya bibik sudah menyiapkan makan untuk kita,” kata Melani sambil beranjak ke kamar untuk ganti baju. Biarkanlah ibunya memikirkan apa  yang dikatakannya. Baik atau buruknya hasilnya nanti, ia akan menerimanya dengan sabar.

Anindita mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari arah televisi.

***

“Sasa.. nanti aku akan mengantarkan Indi lagi untuk melihat lahan itu. Tampaknya dia ingin mengaturnya sendiri tatanan bangunan rumah itu.”

“Oh, ya,” jawab Sasa tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop yang dihadapinya.

Ada rasa tak senang karena sudah tiga kali ini Indi meminta agar Andra memperlihatkan lokasinya, dengan alasan dia punya ide untuk bangunan yang akan dibelinya.

“Mungkin sekalian makan siang.”

Sasa tak menjawab. Tangannya sibuk menari-nari diatas keyboard seakan tak mendengar apa yang dikatakan Andra.

“Kamu mau ikut?” pertanyaan itu sebenarnya sering dilontarkan Andra setiap kali dia keluar bersama Indi, tapi Sasa tak pernah menjawab ‘ya’.

“Mau?”

“Tidak.. tidak, pekerjaan aku masih banyak.”

“Nanti makan di kantin atau keluar?”

“Entahlah, belum aku pikirkan.”

Andra menghela napas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya. Akhir-akhir ini sikap Sasa amat berbeda. Ia juga tak pernah mau diantarkannya pulang walau dia tak membawa mobil sekalipun.

“Sa...”

Kali ini Sasa mengangkat wajahnya.

“Apa kamu sakit?”

“Tidak... aku baik-baik saja.”

“Kalau sakit, bilang saja, jangan memaksa untuk terus bekerja.”

“Hmh, memangnya kamu benar-benar peduli sama aku?” katanya gemas, namun kalimat itu hanya diucapkannya didalam hati.

“Sa... “

Sasa tetap melanjutkan pekerjaannya.

“Apa kamu marah sama aku?”

Sasa kembali mengangkat wajahnya. Marah? Haruskah dia marah ketika seseorang dianggapnya tidak lagi memperhatikannya?

“Apa?”

“Kamu nggak marah kan sama aku?”

“Memangnya kenapa aku harus marah?”

“Barangkali saja, karena aku sering keluar tanpa kamu.”

“Tidak... tidak...” Sasa begitu cepat menjawabnya. Sangat memalukan kalau itu memang ‘iya’.

“Selamat siang...”

Dan keduanya menatap kearah pintu, ketika suara nyaring itu terdengar. Begitu merdu, seperi suara musik lembut yang mengalunkan sebuah lagu.

“Selamat siang,” jawab Andra renyah, seperti kerupuk baru digoreng.

“Kita jadi kan ?”

“Iya, aku sudah menunggu dari tadi. Kita berangkat sekarang?”

“Iya, aku sudah membawa konsepnya, nanti dibicarakan sambil makan kan?”

“Baiklah.”

“mBak Sasa mau ikut?” tanya Indi ramah.

“Tidak, saya banyak pekerjaan,” jawab Sasa sambil mengulaskan senyuman ikhlas.

“Aduh, sekretaris kamu ini rajin sekali ya Ndra. Setiap kali diajak keluar nggak pernah mau,” kata Indi sambil tersenyum.

“Aku juga sudah mengajaknya tadi. Kalau begitu, ayo berangkat sekarang,” kata Andra sambil berdiri.

“Sa, bener nih, nggak mau ikut?”

Sasa menggeleng. Tetap saja dia menebarkan senyum ramah sampai keduanya menghilang di balik pintu. Tapi senyum itu menghilang begitu pintu tertutup kembali.

***

“Andra, kamu dari mana ?” tanya Anggoro ketika Andra datang membezoeknya.

“Dari mengantar teman, lalu mampir kemari.”

“Teman yang itu? Yang dulu pernah datang kemari?”

“Iya, dia akan membeli rumah yang baru kami bangun.”

“Kamu suka sama dia?”

“Ah, kan dia cantik, siapa yang tidak suka gadis cantik?”

“Hm, dulu om kira kamu pacaran sama Sasa, anaknya mas Agus.”

“Kami memang sangat dekat, bahkan sejak ketika masih kecil.”

“Itu bisa menjadi jodoh kamu kan?”

Andra tertawa.

“Tidak mengecewakan kok. Tapi apa kamu memilih Indira?”

“Belum memikirkan om. Bagaimana keadaan om ?”

“Lebih baik. Tadi Melani kemari bersama bibik.”

“Lhoh, lalu tante Dita sendirian?”

“Ya, memang dia yang menyuruh Melani pergi bersama bibik.”

“Syukurlah. Dulu tante sangat takut kalau Melani pergi tanpa tante.”

“Aku senang, barangkali memang banyak kemajuan. Oh iya Ndra, aku ingin minta tolong sama kamu.”

“Apa itu om?”

“Maukah kamu membelikan sebuah baju. Gamis untuk tante kamu, sekalian kerudungnya?”

“Wouw..  pasti Andra mau, hadiah untuk tante kan? Nanti Andra akan meminta Sasa untuk memilihkannya. Pasti dia lebih pintar memilih.”

“Ya, tapi aku ingat warna kesayangan tante kamu. Pilihkan yang nuansa coklat muda. Sesuaikan dengan kerudungnya. Tante kamu suka warna lembut, dan coklat muda itu yang paling disukainya.”

“Siap om, nanti juga akan saya belikan. Langsung diberikan, atau ditunjukkan dulu sama om?”

“Kalau kamu sempat, bawa kesini dulu, aku mau lihat.”

“Saya akan beli hari ini juga. Baiklah, akan saya telpon Sasa supaya tidak pulang lebih dulu.”

***

Sasa sudah berkemas, karena jam kerja sudah hampir habis. Dia mengambil ponselnya untuk memesan taksi online, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Dari Andra. Wajahnya langsung muram.

“Ya?” jawabnya singkat.

“Sa, kamu jangan pulang dulu ya,” kata Andra dari seberang.

“Ini aku sudah mau memanggil taksi.”

“Jangan dong Sa, aku mau mengajak kamu.”

“Kemana ? Sama siapa saja?”

“Tidak sama siapa-siapa, hanya aku sama kamu.”

“Kemana?”

“Belanja. Pokoknya jangan pulang dulu.”

Belum sempat Sasa menjawabnya, Andra sudah menutup ponselnya. Ada rasa senang di hati Sasa ketika Andra mau mengajaknya. Berdua saja? Tadi dia sudah khawatir, jangan-jangan bersama Indi juga.

***

Besok lagi ya.

Saturday, November 27, 2021

MELANI KEKASIHKU 37

 

MELANI KEKASIHKU  37

(Tien Kumalasari

 

Anindita terkejut bukan alang kepalang, ketika tiba-tiba Anggoro menubruknya dan memeluknya erat. Dengan terengah dia berusaha melepaskannya, tapi tiba-tiba dilihatnya ceceran darah, yang sebagian mengenai bajunya. Matanya terbelalak.

“Da_rah... da_raaah...” lalu didorongnya tubuh Anggoro dengan tangan gemetar.

Anggoro tak kuasa menahan tubuhnya yang masih lemah. Ia terkulai dan tak sadarkan diri. Darah berhamburan semakin banyak, sementara Melani berteriak teriak memanggil perawat jaga.

“Susteeer... susterr..”

Pada saat itu Panji masuk ke ruangan bersama Abi, sangat terkejut melihat keadaan Anggoro. Keduanya bersama-sama mengangkat Anggoro, bersamaan dengan datangnya dua orang perawat.

Semuanya panik. Maruti merangkul Anindita yang gemetar ketakutan, lalu mengajaknya duduk di sofa.

Anggoro sudah di baringkan. Perawat segera menangani keadaan Anggoro. Infus kembali dipasangkan, dan seorang cleaning servis segera membersihkan ceceran darah.

Anggoro terbaring lemas, matanya terpejam. Banyak darah yang mengalir, membuat semuanya ketakutan.

Tak lama kemudian keadaan sudah mulai tenang.

“Sudah selesai bu, pak Anggoro akan baik-baik saja. Lain kali jangan biarkan beliau bangun dulu ya bu..” pesannya kepada Melani yang berdiri dengan cemas disamping tempat tidur.

Melani mengangguk, lalu menatap iba ke arah wajah ayahnya yang pucat pasi.

Anindita tampak gelisah, sebentar-sebentar dia menengok ke arah tempat tidur, lalu menundukkan mukanya. Entah apa yang dipikirkannya.

“Dita, apa kamu ingin mendekat kesana?” tanya Maruti lembut, dan hati-hati, takut kalau tidak berkenan lalu Anindita berteriak-teriak.

Anindita menoleh ke samping, dimana Maruti terus menerus mendekap pinggangnya.

Maruti merasa lega, karena tak ada pancaran marah di mata adiknya. Semakin lega ketika melihat Anindita mengangguk, lalu perlahan berdiri. Maruti menuntunnya ke arah pembaringan. Melani mengambil sebuah kursi, merasa senang melihat ibunya berjalan mendekat.

Anindita duduk dikursi yang disediakan, Maruti tetap mendampingi.

Tak ada yang bersuara, senyap terasa, tapi Melani dan Maruti menatap wajah Anindita dengan cermat, ingin tahu apa yang sebenarnya diinginkannya.

Anindita menatap wajah yang terbujur lemah itu dengan tatapan aneh. Tiba-tiba sebelah tangannya diangkat, lalu diletakkannya diatas tangan Anggoro yang tertutup selimut.

Melani berdebar. Tapi seperti juga Maruti, ada rasa bahagia melihatnya. Rupanya masih ada cinta tersisa dihati Anindita. Sangat membencinya, tapi tak tega melihatnya sakit, lemah tak berdaya.

“Apakah dia sakit?” bisiknya sambil menoleh ke arah Melani.

Melani mengangguk sambil tersenyum.

“Apakah ibu sedih melihatnya?” tanya Melani hati-hati. Bagaimanapun dia masih ragu akan apa yang dipikirkan ibunya.

Tiba-tiba Melani melihat air mata ibunya berlinang. Melani merangkulnya.

“Bapak akan sembuh, asalkan ibu menyayanginya,” bisiknya ditelinga ibunya.

Tak ada jawaban dari mulut Anindita, tapi Melani merasa ibunya terisak. Melani mendekapnya erat. Maruti menghampiri Panji dan merangkulnya, terisak di pundaknya.

“Anindita akan pulih mas... “ isaknya. Ia tak ingin menangis disamping Anindita. Biarlah Melani yang menenangkannya.

Panji menepuk-nepuk punggung isterinya.

“Ia akan semakin baik, Maruti.”

Maruti mengangguk, lalu mengusap air matanya.

Abi yang duduk diam merasa terharu melihat adegan demi adegan yang disaksikannya. Ia bersyukur melihat Anindita bersikap sangat menyentuh ketika melihat suaminya terbaring tak berdaya. Itu bukan sikap seorang yang sakit jiwa.

Abi berdiri, mengambil beberapa botol minuman yang rupanya disediakan Andra disana, lalu diletakkannya di meja. Dua botol lagi diambilnya, diserahkannya kepada Melani dan ibunya.

Anindita menatap Abi, dan tersenyum tipis.

“Nak ganteng...” bisiknya sambil menerima botol minuman yang diserahkan Melani.

“Iya Ibu. Ibu jangan sedih ya? Semuanya akan baik-baik saja,” kata Abi sambil memegang tangan Anindita.

“Minumlah Ibu,  sni aku bukakan botolnya,” kata Melani.

“Biar aku yang membukanya,” kata Abi sambil mengambil botol dari tangan Anindita.

“Ibu, minumlah..”

Anindita meneguk air minum itu beberapa teguk, lalu menyerahkan sisanya kepada Melani.

Melani menatap Abi dengan tatapan penuh terimakasih, dan Abi membalasnya dengan senyuman yang selalu membuat hati Melani berdebar. Ia belum pernah mengatakan cinta pada Abi, tapi Abi menangkap rasa itu dari sinar matanya.

“Melani, kekasihku,” bisiknya pelan, tapi Melani mendengarnya. Ia menundukkan kepalanya, tersipu malu.

Anindita menatap kembali ke arah suaminya yang masih memejamkan mata.

“Ia akan sembuh?” tanyanya pelan.

“Kalau ibu menyayangi bapak, pasti bapak akan segera sembuh,” kata Melani sambil mengusap bibir ibunya dengan tisu.

Anindita tak menjawab, tapi kembali lagi matanya menatap ke arah pembaringan.

Cinta yang tersisa ternyata mampu melembutkan hatinya. Barangkali kemarahan akan segera sirna. Itulah yang dipikirkan dan tentu saja diharapkan Melani dan keluarganya.

***

 “Sasa, kok kamu belum berangkat? Tadi bapak sudah menyiapkan mobil kamu lho,”  kata Laras ketika melihat Sasa masih duduk di meja makan dan tak tampak bersiap untuk bekerja.

“Sasa nggak masuk hari ini bu,” kata Sasa yang masih menyuap sarapannya, pelan.

“Kenapa? Kamu sakit?”

“Sedikit.”

“Sakit sedikit itu maksudnya bagaimana? Pusing, atau apa? Sudah minum obat?” tanya ibunya khawatir.

“Sudah Bu, jangan khawatir, dengan istirahat nanti pasti sakitnya akan berkurang.”

“Benar, nggak apa-apa? Perlu ke dokter ?  Ibu antar?”

“Aduuuh, Ibu... tidak... kan cuma pusing sedikit,” kata Sasa sambil mengangkat piring-piring kotor untuk dibawa ke belakang.”

“Taruh saja disana, biar Ibu cuci.”

“Biar Sasa saja bu,” kata Sasa sambil menjauh. Laras mengikutinya.

“Katanya pusing. Itu kan dingin, nanti kamu tambah pusing.”

“Tidak Bu, kan cuma nyuci piring sedikit, sudah, ibu kesana saja, biar Sasa yang ngeberesin dapur.”

“Heran deh, bilang sakit tapi semuanya dikerjakan,” omel ibunya.

“Kan cuma sedikit bu.”

“Tuh, ponsel kamu berdering, jangan-jangan dari Andra..”

“Biarin saja bu.”

“Gimana sih,” kata Laras sambil menghampiri ponsel Sasa yang masih terletak di meja makan.

“Benar, dari Andra. Aku angkat ya,” teriak Laras sambil membuka ponselnya, tanpa menunggu persetujuan Sasa.

“Hallo..”

“Sasa ? Bukan ya? Tante Laras?”

“Iya Ndra, ini tante. Sasa lagi dibelakang tuh.”

“Oh, Sasa nggak apa-apa kan? Biasanya jam segini sudah sampai di kantor.”

“Iya Ndra, tadi bilang kepalanya pusing.”

“Oh, sakit ya? Mau diantar ke dokter?”

“Tidak, tante sudah menawarkan, tapi dia nggak mau. Katanya mau tidur saja, nanti sembuh.”

“Ya sudah tante, nggak apa-apa. Biar istirahat saja dulu, nanti kalau perlu ke dokter hubungi saya ya tante.”

“Iya Ndra. Maaf ya.”

“Tidak apa-apa tante, kalau memang lagi sakit memang harus istirahat kan.”

“Baiklah Ndra, terimakasih.”

Laras meletakkan ponselnya, lalu kembali ke dapur. Dilihatnya Sasa sudah selesai mencuci piring dan perabotan kotor.

“Sudah, sekarang kamu istirahat. Tadi Andra menelpon, kalau kamu butuh ke dokter, dia mau mengantarkan.”

Sasa hanya tersenyum, lalu mengelap tangannya dengan serbet.

“Sasa ke kamar ya bu.”

“Ya, nanti kamu mau di masakin apa?”

“Terserah Ibu saja. Nanti kalau Ibu memasak, Sasa mau bantuin ya.”

“Kalau lagi nggak enak badan, bagusnya yang anget-anget. Sup ayam saja ya.”

“Iya Bu.”

Sasa masuk ke dalam kamarnya setelah mengambil ponselnya. Sebenarnya dia tak tahu apa yang dirasakannya. Tiba-tiba sejak kemarin hatinya sangat gelisah. Wajah wanita cantik bernama Indira itu terus mengganggunya dan membuatnya tidak suka.

“Ya ampun, ada apa dengan hatiku? Salahkah dia? Bukankah dia sangat sopan, baik dan ramah? Apakah aku iri hati karena kalah cantik darinya? O, tidak, aku tidak pernah iri terhadap kelebihan seseorang. Aku juga tidak membenci Indira, tapi ada apa hatiku ini?” gumamnya sambil membaringkan tubuhnya.

Sasa ingin menenangkan dirinya dengan mencoba memejamkan matanya, bahkan menutupi wajahnya dengan bantal, tapi bayangan Indira terus mengusiknya.

“Aku benci perasaan ini. Bahkan aku seperti marah kepada Andra. Apa salah dia?”

Sasa masih gelisah dan tak mampu tidur walau sedetikpun, sampai ketika ibunya masuk kedalam kamarnya.

“Sa, kamu tidur ?” tanya Laras sambil memegang dahi anaknya.

Sasa membuka matanya.

“Tidak panas kan Bu, Sasa tidak apa-apa.”

“Makan yuk. Sup nya baru saja matang. Ada perkedel dan sambal tomat kesukaan kamu.”

“Tadi aku ingin membantu Ibu memasak.”

“Sudah, cuma masak sedikit, tiap hari Ibu memasak sendirian. Lagi pula kamu kan sedang tidak enak badan. Kamu boleh ikut memasak kalau kamu libur. Ini tidak bekerja, tapi kan sakit.”

“Cuma pusing, dan sudah berkurang kok Bu.”

“Ya sudah, ayo makan sekarang. Masih hangat dan pasti lebih menyegarkan badan kamu yang lagi sakit.”

Sasa bangun dengan malas. Ia tak ingin mengecewakan ibunya yang bersusah payah memasak untuk dirinya.

“Ibuku ini benar-benar ibu yang luar biasa. Bukan ibu kandung tapi menyayangi aku dengan cinta kasih seorang ibu,” kata batin Sasa sambil melangkah keluar mengikuti sang ibu.

Tiba-tiba Sasa teringat pada ibu kandungnya, yang pastinya sedang meringkuk didalam kamar tahanan. Ada sedih melintas. Bagaimanapun darah Santi mengalir di tubuhnya. Tapi kemudian dikibaskannya. Bukankah dia harus mengunduh buah yang ditanamnya?

“Sasa, tak ada yang harus kamu sesali. Kamu bahagia diantara bapak dan ibu Laras bukan?” itu kata ayahnya ketika melihat dia sedang termenung ketika mendengar pembicaraan ayah dan ibu Laras nya,

“Ayo, kok malah bengong disitu?” kata Laras ketika melihat Sasa masih terpaku didepan pintu.

“Iya bu,” katanya sambil duduk.

Laras menyendokkan nasi untuk Sasa, sebelum mengambil untuk dirinya sendiri.

Tapi sebenarnya Laras tahu, bahwa Sasa bukan sekedar pusing. Pasti ada sesuatu yang memberati pikirannya. Ia melihat Sasa juga tidak lahap makan, walau didepannya ada lauk kesukaannya.

 “Nggak enak ya, masakan Ibu ?”

“Oh, enak kok ..”

“Kok kamu makan tidak seperti biasanya. Kamu sedang memikirkan sesuatu?”

“Tidak, Sasa baik-baik saja.”

“Sebuah masalah tidak cukup hanya dipendam didalam hati. Berbagilah agar beban lebih berkurang.”

Sasa menatap ibunya. Wanita cantik berhati mulia ini selalu bisa meraba isi hatinya. Selalu berusaha menenangkannya. Haruskah ia mengatakan semua kegelisahannya? Tidak, Sasa sungkan mengatakan bahwa dia memikirkan Indira yang tampaknya sangat menarik dan mengenal Andra dengan baik. Ya Tuhan, Sasa baru sadar, ada sesuatu yang mengusiknya. Ada rasa yang tidak sewajarnya. Sesungguhnya dia takut kehilangan Andra. Apakah itu cinta?

***

Berhari-hari setelah kejadian Anggoro pingsan gara-gara melepaskan infusnya ketika melihat Anindita, Anindita tak mau lagi ikut setiap kali Melani membezoek bapaknya. Entah apa yang dipikirkannya, Melani tak tahu. Mungkin malu, sungkan, atau entahlah. Tapi dengan membiarkan Melani pergi tanpa dirinya, itu membuat Melani senang. Rasa takut kehilangan Melani sudah tak ada lagi. Biasanya Melani membezoek ayahnya dengan dijemput nak ganteng Abi. Tapi hari itu Abi tak bisa menjemputnya karena tak bisa meninggalkan pekerjaannya.

“Ibu, aku ke rumah sakit ya, ibu mau ikut?”

Dan seperti biasanya, Anindita menggeleng.

“Pergilah bersama bibik,” katanya singkat.

“Kalau aku bersama bibik, ibu sama siapa?”

“Tidak apa-apa sendirian.”

“Baiklah ibu, aku tidak akan lama.”

Ketika mereka pergi, Anindita duduk di ruang tengah sendirian.

Panji membelikan televisi yang dipasangnya di ruangan itu, dan Anindita mulai menyenangi duduk disana sambil melihat acara yang entah dimengertinya atau tidak. Tapi ia selalu tampak terhibur dengan televisi itu.

***

Anggoro sudah lebih baik setelah seminggu kemudian. Ia tak pernah lagi menanyakan isterinya, karena menganggapnya masih membencinya, ketika di didorong sampai terjatuh sehingga dia pingsan ketika itu.

Tapi Melani selalu mengatakan bahwa ibunya sudah berubah, dan tampak sedih melihat ayahnya sakit.

“Sudahlah Melani, jangan menghibur Bapak dengan kata-kata itu lagi. Bapak sudah bisa menerima keadaan ini. Dan bapak akan menjalaninya dengan ikhlas. Nanti setelah sembuh bapak akan kembali ke Jakarta, mengurus usaha bapak yang sudah lama bapak serahkan ke orang lain.”

“Bapak, janganlah berkata begitu. Itu benar bahwa ibu sudah berubah. Dulu ibu tidak akan membiarkan Melani pergi sendiri, tapi akhir-akhir ini tidak. Bahkan tadi ibu menyuruh bibik menemani. Dan itu berarti ibu juga memperhatikan sakitnya Bapak.”

Anggoro tak menjawab. Sungguh dia sudah tak akan memikirkannya dan selalu menganggap Melani hanya menghiburnya.

“Nak Melan, ini saya letakkan di piring ya,” kata simbok sambil membawa bungkusan.”

“Iya bik, aduh, aku lupa.”

Tak lama kemudian bibik mendekat dengan membawa sepiring kroket. Anggoro menatapnya sambil tersenyum.

“Bibik masih ingat makanan kesukaan aku.”

“Pak, itu tadi ibu yang menyuruh bibik membuatnya,” kata bibik sambil mengambil piring kecil dan meletakkan dua buah kroket diatasnya.

Anggoro tidak serta merta menerima piring kecil itu walau itu makanan kesukaannya. Ia agak terkejut mendengar bahwa Anindita yang menyuruh membuatnya.

“Apa?”

“Tadi pagi, ketika nak Melan bilang sama ibu bahwa ingin membezoek bapak, Bu Dita menyuruh bibik memasak kroket, untuk dibawa ke rumah sakit,” terang simbok.

Melani mengangguk lalu mengambil piring kecil itu, dan dengan garpu disuapkannya pada ayahnya.

Anggoro meminta piring itu dengan tangan gemetar. Isterinya masih ingat kesukaannya? Lalu air matanya merebak. Masih dengan gemetar ketika ia menyuap sendiri kroket yang sejak lama tidak pernah disantapnya.

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...