MELANI KEKASIHKU 39
(Tien Kumalasari)
Sasa bermaksud duduk disofa, menunggu. Tapi belum sampai pantatnya menyentuh sofa, pintu terbuka dan Andra muncul dengan senyum cerah.
“Hm, pasti senang berduaan dari siang sampai sore,” pikir Sasa sambil melanjutkan keinginannya untuk duduk.
“Ayo kita berangkat, kok malah nyantai begitu...”
“Sekarang?”
“Bulan depan..... Ya sekarang dong Sa.”
“Kamu sama siapa?”
“Aku sendiri, kelihatan kan? Jadi nanti kita pergi berdua, aku sama kamu.”
Andra menarik tangan Sasa agar berdiri, kemudian mengajaknya keluar dari ruangan.
“Kamu dari mana ?” tanya Sasa dalam berjalan ke arah mobil Andra.
“Dari rumah sakit.”
Diam-diam Sasa merasa lega. Lama karena singgah membezoek Anggoro, bukan bersenang-senang dengan Indira. Aduhai, cemburu terkadang kelewatan ya.
“Bagaimana keadaan om Anggoro?” tanyanya.
“Semakin baik. Mungkin dua tiga hari mendatang boleh pulang. Semoga tak ada rasa sakit yang mengganggunya lagi. Akhir-akhir ini masih ada keluhan pusing, cuma ya sudah berkurang katanya.”
“Syukurlah. Sebenarnya aku juga ingin menengok ke rumah sakit.”
“Aku kan sudah mengajak kamu tadi, kamu nggak mau...”
“Kamu kan nggak bilang mau membezoek om Anggoro?”
“Iya, tadi sekalian mampir ketika mau kembali ke kantor.”
“Aku juga ingin ke rumah bibik. Seperti apa ya tante Anindita?”
“Tante juga semakin membaik. Melani sangat pintar menghibur ibunya, mengajaknya bicara dan menggiringnya ke arah masa lalunya yang pastinya menyenangkan.”
"Aku ingat, dulu tante Anindita yang menyelamatkan aku dari tangan ibuku.”
“Oh ya, ibu juga pernah bercerita tentang itu. Sungguh heboh kejadian itu. Seperti kejar-kejaran di film detektif.”
Aku sedih mengingat ibuku.”
"Lupakan kesedihan itu. Kamu kan sudah hidup bahagia diantara orang-orang yang menyayangi kamu.”
***
Sasa masih belum mengerti, sebenarnya Andra akan mengajaknya belanja kemana. Ia heran ketika Andra menghentikan mobilnya didepan sebuah toko pakaian.
“Kita kesitu?” tanya Sasa.
“Iya, ayo turun,” kata Andra sambil turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Sasa.
Mereka berdua memasuki toko.
“Kamu mau membelikan aku baju ?” tanya Sasa setengah bercanda.
“Iya, boleh saja. Tapi aku mau minta tolong sama kamu.”
“Minta tolong apa?”
“Pilihkan sebuah gaun, yang warnanya lembut. Yang diminta adalah nuansa coklat muda. Carikan juga kerudungnya yang senada dengan bajunya.”
Wajah Sasa muram seketika. Dia akan dibelikan baju, tapi Andra minta agar dia memilihkan gaun juga? Untuk siapa? Pasti untuk Indi.
“Ayo, kamu pilih dulu mana yang kamu mau, setelah itu pilihkan seperti yang tadi aku katakan.”
“Mengapa tidak memilih sendiri sih? Aku ogah !” katanya sengit.
“Lhoh, gimana sih Sa.. . Nggak mau menolong aku? Aku kan laki-laki, mana bisa memilih gaun yang cocok untuk wanita.”
“Yang mau kamu belikan kan wanita? Mengapa kamu tidak menyuruh dia saja memilih sendiri mana yang dia suka,” katanya ketus.
“Yaaah, kamu pikir dia bisa memilih sendiri? Dan ini hadiah. Namanya hadiah juga harus menjadi kejutan.”
“Aku ogah !”
“Sasa !”
“Takut salah.”
“Takut salah bagaimana?”
“Nanti kalau pilihanku nggak sesuai dengan selera dia, pasti aku disalahkan.”
“Tidak, setelah beli, kita tunjukkan dulu baju pilihan kamu kepada om Anggoro. Kalau om Anggoro suka, ya oke, kalau nggak suka, kita bisa memilih lagi.”
Sasa terpana.
“Om Anggoro? Jadi ini baju untuk siapa?”
“Untuk tante Anindita, sebagai tanda cinta.”
Sasa menampar keningnya sendiri. Pelan sih, tapi sikap itu membuat Andra heran.
“Kamu pikir untuk siapa?”
“Pacar kamu,” katanya sambil berlalu dengan cepat, kearah gaun-gaun indah yang tergantung agak kedalam ruangan.
Andra terkejut. Pacar aku? Dia pikir aku beli untuk pacar aku? Aaah, ya Tuhan, dia mengira aku pacaran sama Indi? Kan aku perginya sama Indi dan tidak pernah dengan gadis lain. Dan kenapa dia marah? Apa dia cemburu sama Indi? Atau... mm... bukankah cemburu itu tandanya cinta? Sasa cinta sama aku? Yang bener saja. Tapi sikapnya itu, sikap anehnya itu, terjadi setelah Indi datang menemui aku bukan? Jadi....
“Mas Andraaa!” teriak Sasa dari kejauhan sambil melambaikan tangannya.
Setengah berlari Andra menghampirinya.
“Bagaimana.”
“Lihat ini... coklat mudanya lembut warnanya, bunga bunga kecil, senada dengan kerudungnya itu,” katanya bersemangat.
“Bagus. Mau yang itu?”
“Nanti dulu aja, kita lihat yang lainnya. Banyak warna coklat muda yang cantik..” kata Sasa sambil melangkah mengitari pajangan baju yang berderet-deret.
“Ini bagus Sa !” teriak Andra tiba-tiba.
Sasa mendekat.
“Ini bukan warna coklat, mas bos..” kata Sasa sambil tertawa.
“Maksudku, buat kamu.”
“Buat aku?”
“Nggak suka ?”
“Warnanya cantik banget. Kok kamu tahu kalau aku suka warna pink cantik ini?” kata Sasa riang.
“Ya tahu dong, kamu seringnya pakai baju yang nuansanya seperti ini kan?”
“Aah, baiklah, tapi nanti saja, kita cari warna pilihan untuk tante Dita dulu. Masa belum-belum memilih buat aku?” kata Sasa dengan nada riang. Ia merasa ternyata Andra memperhatikannya, dan itu membuatnya senang.
Andra tersenyum. Ta sedikitpun dia ingkar. Sasa memang cantik. Lincah dan cerewet. Itu kalau hatinya sedang senang. Tapi kalau lagi kesal, mulutnya mengerucut sepanjang siang. Tapi lucu melihatnya cemberut. Duuh, kok tiba-tiba Andra merasakah hal yang aneh? Gadis yang berdiri sambil memilih-milih itu tampak anggun dan begitu mempesona. Cantik mana dia sama Indira? O..ooh... Indira memang cantik, tapi getar yang ada bukanlah getaran cinta. Indira terlampau pintar. Dia banyak mendekte tentang apa yang dipilihnya. Itu sedikit mengurangi rasa simpatinya.
“Maaas, ini maaas..” teriak Sasa lagi, riang seperti burung yang sedang berkicau diantara bunga-bunga. Andra melangkah mendekati. Lalu menatap sepasang netra yang bulat berbinar. Tiba-tiba Andra teringat ketika dia memberinya sebungkus coklat saat meraka kanak-kanak. Seperti itulah binar matanya.
“Heeiii... ini lho, kok ngelihatin aku seperti itu sih?”
“Iya, yang mana?” agak gugup Andra menanggapinya.
“Ini juga cantik kan..? lihat, pasti tante Dita suka.
“Benar, habis yang memilih juga cantik. Terserah kamu saja, mana yang kamu pilih, atau dua-duanya sekalian?”
“Yaa.. ide bagus mas. Tunggu, apakah tante Dita gemuk? Kalau dengan badanku ini, lebih besar mana? Takutnya kekecilan.”
“Tidak, tante Dita itu kecil, sekecil kamu. Jadi kamu boleh mencobanya.”
“Baiklah, dua-duanya ya.”
“Tiga. Yang satu kan untuk kamu. Mau yang mana?”
“Serius nih ?”
“Serius dong.”
Sasa hampir melonjak kesenangan. Sore ini sikap Andra sangat manis. Tapi jangan sampai bayangan Indira melintas lagi. Kegembiraan Sasa pasti akan pudar.
***
Andra dan Sasa membawa bungkusan itu ke rumah sakit. Anggoro senang sekali.
“Iya benar, ini warna kesayangan Anindita. Dua baju coklat muda dengan corak yang berbeda, tapi semuanya indah.”
“Yang mana yang om suka?” tanya Andra.
“Berikan dua-duanya. Bungkus yang rapi. Aduh, kalian sungguh pintar memilih,” puji Anggoro sambil menyerahkan dua buah baju itu.
“Sasa yang memilih om.”
“Tentu saja, kamu laki-laki, mana bisa memilih sebagus ini. Ya kan Sa?”
“Kami memilih berdua kok om,” kata Sasa merendah.
“Kalian pasangan yang serasi,” kata Anggoro mengejutkan ke duanya.
“Oh ya, berapa habisnya, nanti om ganti,” lanjut Anggoro.
“Tidak om, tidak usah diganti,” kata Andra.
“Lhooh, kok gitu, pasti mahal kan itu?”
“Besok saja om ganti sebagai hadiah kalau Andra menikah,” canda Andra. Tapi dia diam-diam melirik Sasa. Hmh, kenapa juga pakai melirik ke aku, pikir Sasa.
“Kalau begitu kita harus membungkusnya dulu. Disini mana ada kertas untuk membungkus?” kata Anggoro.
“Iya ya, tadi nggak ingat untuk beli kertas kado. Habisnya belum tentu om Anggoro cocok sih,” kata Sasa.
“Kalau begitu bawa pulang dulu saja, bungkus yang cantik, lalu berikan sama dia.”
“Ini hadiah cinta dari seorang suami kan? Harus ditulisi nggak om?”
“Nggak usah. Kalau dia peka, pasti dia tahu siapa yang memberinya.”
“Wouwww... manis sekali. Semoga ini semakin mendekatkan om dan tante ya Sa.”
“Aamiin,” kata Anggoro sambil tersenyum.
Tapi saat pulang Sasa merasa bahwa sikap Andra agak aneh sore itu. Aneh yang membuatnya berdebar-debar.
“Aduh, jangan sampai aku salah sangka,” kata hati Sasa ketika Andra menggandengnya keluar dari ruang inap Anggoro.
***
“Sasa belum pulang?” tanya Agus ketika lebih dulu sampai dirumah.
“Belum, tumben. Biasanya dia datang sebelum mas sampai di rumah.”
“Sedang banyak pekerjaan, barangkali.”
“Iya mas. Ini teh hangatnya diminum dulu.”
“Besok mungkin Santi akan dibawa kemari,” kata Agus sambil menghirup teh nya.
“Dibawa kemari bagaimana ?”
“Dari Jakarta, dibawa ke Solo. Untuk memudahkan penyidikan.”
“Jadi nanti sidangnya disini ?”
“Pastinya begitu, karena semua saksi kan ada disini. Abi, Andra, bibik, simbok.”
“Apakah Sasa harus diberi tahu?”
“Bagaimana ya sebaiknya Laras?”
“Santi kan ibunya. Bagaimanapun dia harus diberi tahu.”
“Dia pasti akan bertambah terpukul. Aku kasihan sama dia.”
“Dia kan sudah tahu bagaimana ibunya. Jadi aku kira dia pasti bisa menerima apapun yang terjadi dengan ibunya. Tidak mungkin kita bisa menutupinya.”
“Iya, kamu benar,” kata Agus dengan wajah sedih. Sangat disesalinya bekas isterinya bisa melakukan hal sekeji itu. Pasti hukumannya akan bertambah berat.
“Aku dengar Anindita sudah semakin baik. Barangkali ada baiknya kita menengok ke rumahnya,” kata Laras.
“Bagus juga. Aku juga senang Anggoro sudah semakin sehat. Semoga mereka segera merasakan kebahagiaan bersama keluarga yang utuh.”
“Aamiin. Mas besok bisa pulang agak sore kan?”
“Kita kesana besok sore ?”
“Iya, aku akan memasak rendang untuk Dita. Kata Maruti dia senang sekali makan rendang daging.”
“Bagus Laras, semoga dia bisa menerimanya. Nah, itu Sasa, sepertinya diantar Andra,” kata Agus.
“Mengantar Sasa, tante,” sapa Andra ketika sampai dihadapan orang tua Sasa.
“Lagi banyak pekerjaan ya?” tanya Agus.
“Tidak om, kami baru belanja baju.”
“Belanja baju?” tanya Agus dan Laras hampir bersamaan.
“Om Anggoro minta agar kami membelikan baju untuk tante Dita.”
“Waah, seru nih, mereka sudah baikan?”
“Belum tahu om, semoga saja bisa menjadi jalan kebaikan bagi om Anggoro dan tante Dita.”
“Ini bajunya bu, Sasa bertugas membungkusnya dengan apik, biar tante Dita suka.”
“Wah.. baiklah.. baiklah.. semoga semuanya segera menjadi baik.”
“Tapi saya mau langsung pulang om, tante, baru pulang, bau asem,” kata Andra sambil mencium tangan Agus dan Laras bergantian.
***
Siang itu bibik dan Melani sedang memasak didapur. Baru saja Anindita ke dapur dan meminta agar bibik memasak opor ayam. Mereka memasak dengan suka cita.
Anindita duduk didepan televisi. Ia sedikit bisa menangkap apa yang disiarkan, terlihat sebentar-sebentar dia mengangguk-angguk.
Dari dapur Melani memperhatikan, dan tersenyum senang melihat ulah ibunya.
“Semoga semua segera berakhir ya bik, aku senang melihat perkembangan kesehatan ibu,” kata Melani pelan, sambil membubuhkan santan di wajan. Bau sedap masakan mereka tercium oleh Anindita.
“Baunya sedap...” gumam Anindita yang didengar oleh mereka.
“Sebentar lagi matang ibu, kita bisa makan bersama-sama.” Teriak Melani dari dapur.
“Jangan terlalu asin ya bik.. nanti kamu dikira pengin kawin..” teriak Anindita yang membuat bibik terkekeh-kekeh, tapi juga terkejut.
“Cah ayu bu Dita sudah bisa bercanda... ya Tuhanku, terimakasih,” gumam bibik sambil mengambil mangkuk untuk tempat lauk yang sudah matang.
“Aku senang mendengarnya bik.”
“Iya bu, nggak terlalu asin kok. Masa sih, bibik masih laku?” bibik balas bercanda.
“Lihat tuh, ada yang ganteng-ganteng di televisi,” kata Anindita lagi.
“Kalau nak ganteng, itu punya nak Melan bu,” teriak simbok.
“Nak ganteng mau kesini ? Melan?” tanya Anindita.
“Belum tahu bu, kalau senggang pasti ke sini.”
Anindita melanjutkan menikmati acara televisi. Tiba-tiba ia melihat sebuah breaking news disiarkan. Mata Anindita melotot. Ia mengenali seorang narapidana wanita yang digelandang oleh polisi dan diajak masuk ke dalam mobil polisi. Narapidana itu berteriak-teriak histeris, tapi polisi tak peduli.
Pembawa berita mengatakan, seorang tersangka kejahatan akan dipindahkan ke kota Solo karena akan diproses disana.
Tiba-tiba Anindita berteriak-teriak.
“Sasa... mana Sasaa... mana Sasa...!” bibik dan Melan terkejut, mendengar Anindita berteriak mencari Sasa.
***
Besok lagi ya.