Tuesday, June 30, 2020

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 06

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  06

(Tien Kumalasari)

 

Bagas memungut ponsel ayahnya nyang terjatuh. Untung tidak pecah lalu ambyar berkeping-keping..

"Bapak.. bagaimana sih.." katanya sambil memberikan  ponsel itu kepada ayahnya.

"Ah..iya..nggak tau bapak, tiba-tiba meloncat begitu saja. Rusakkah?  Nggak apa-apa kan?"

Sementara itu pak Suryo terus berteriak-teriak karena pak Darmono tidak menjawab.

"Hallo.. Hallo.. Darmono.. kamu masih disitu ..?"

"Hallo mas, waduh.. ponselku terjatuh mas, ma'af.."

"Waduuh.. untung nggak rusak.. "

"Iya, terkejut mendengar ucapan mas tadi. Bercanda kan?"

"Bercanda bagaimana? Biar aku suka bercanda, tapi untuk urusan pekerjaan mana bisa aku bercanda.. Ini serius dan sangat serius."

"Tapi kenapa mas? Bagas baru sebulan bekerja.. dan dia sedang belajar pastinya."

"Kristin bosan melakukannya."

"Tapi jangan begitu mas, aku takut Bagas mengecewakan."

"Tidak, dia tidak akan berjalan sendiri. Aku sama Kristin akan membantu."

"Tidak mas, ini bukan masalah sepele, aku harus bicara sama Bagas. Apakah dia sanggup atau tidak, karena ini menyangkut sebuah tanggung jawab yang berat.

"Baiklah, bicara dulu sama anakmu. Aku menunggu."

Ketika pembicaraan itu selesai, Bagas menatap ayahnya, ingin agar ayahnya mengatakan sesuatu, karena tadi dia menyebut namanya juga. Pak Darmono menatap anaknya lekat-lekat.

"Ada apa bapak?"

"Ini permintaan yang aneh, dan menurutku terlalu tergesa-gesa."

"Permintaan apa ?"

"Pak Suryo ingin kamu menggantikan pekerjaan Kristin."

"Apa maksudnya?"

"Dia minta agar kamu memegang perusahaan itu."

"Apa?" Bagas ternganga. Ia merasa seperti bermimpi. 

" Diserahi perusahaan? Memangnya siapa aku ini. Bukankah ada yang lebih berhak?" lanjutnya tak mengerti.

"Itulah, aku juga heran. Tampaknya itu terlalu berlebihan bukan?"

Bagas teringat kata-kata Kristin siang tadi, ketika bicara tentang salary yang lebih banyak. Pasti dia yang mengusulkannya pada ayahnya.

"Sangat berlebihan, dan Bagas tidak akan mau."

"Bagus le, tawaran yang tampak menggiurkan bukan berarti nyaman untuk dinikmati. Ini bukan sesuatu yang sepele, tapi berat."

 

***

 

Basuki memasuki warung dengan hati berdebar. Ia ingin ketemu Mery dan berbicara banyak. Ia duduk disebuah kursi kosong, menghadap kedalam, supaya bisa melihat Mery kalau dia kebetulan melintas diantara kesibukan para pelayan.

Ia memesan makan dan minum, lalu duduk sambil meletakkan kedua tangan diatas meja. Matanya nanap melihat kedalam, namun yang dicarinya tak tampak batang hidungnya,

Ketika pelayan mengantarkan pesanan, Basuki terpaksa menanyakannya.

"mBak Mery ada?"

"Sampai sa'at ini bu Mery belum datang pak."

"Biasanya datang jam berapa?"

"Biasanya sebelum warung buka sudah datang. Saya kurang tau mengapa sampai sekarang belum datang. Mungkin sakit, karena kemarin bilang kepala pusing."

Ketika pelayan ingin beranjak pergi, Basuki menahannya.

"Sebentar mas, kalau rumahnya bu Mery itu dimana ya?"

"Agak jauh mas,  didaerah Sukoharjo."

"Oh, baiklah, terimakasih."

Basuki menghirup es jeruk yang dipesannya. Ia ingat nama daerah itu, ketika dua orang anak buahnya mengejar si Sri. Apa itu rumahnya Timan? Apa Mery masih numpang dirumah Timan?

Basuki mengaduk nasinya, menyendoknya perlahan. Akankah dia mencari kesana? Tapi sungkan rasanya kalau nanti ketemu Timan, atau Sri..

Oh ya, dipapan nama warung didepan kan ada nomor telponnya. Pasti itu nomor ponsel Mery. Basuki berdiri sebentar dan mencatat nomor yang terpampang disana, lalu kembali duduk dan menikmati makan siangnya.

Selesai menyuapkan sendok terakhir, Basuki memutar nomor itu .

"Hallo selamat siang,"

Basuki berdebar. Suara itu amat dikenalnya, nyaring dan manis didengar.

"Mery..." bergetar Basuki menyapanya.

"Siapa ya?"

"Mery, kamu tidak lagi mengenali suaraku?"

Tak ada jawaban segera, Merypun sedang tergetar hatinya. Pasti dia tau bahwa itu suara Basuki. Ia ingin menutup ponselnya tapi tak sampai hati. 

"Mery ? Kamu masih disitu ?"

"Basuki ?"

"Ya aku, siapa lagi ?"

"Ada yang bisa dibantu?"

"Mery, kamu menyapa aku seperti menyapa orang asing."

Mery menata batinnya. Suaranya dia merasa tidak asing, tapi nadanya, lagunya, begitu halus dan lembut. Ini bukan seperti Basuki. Tampaknya dia sudah berubah. Tapi untuk apa dia menelponnya?

"Mery.." Basuki kembali menyapa, dan Mery merasa seperti ada hembusan angin dingin yang menerpa tengkuknya. Suara itu begitu manis dan mesra. 

"Ya.." bergetar suara Mery.

"Bisakah kita bertemu?"

Nah, ini membuat Mery curiga. Bertemu, lalu melakukan hal-hal yang tak pantas, untuk melampiaskan hawa nafsu? Tidak, Mery sudah berubah. Mery sudah mengenal yang namanya dosa, yang namanya pantas dan tidak pantas.

"Kamu tidak mau bertemu aku Mery?"

"Untuk apa?"

"Mery, aku kangen sama kamu," bergetar ucapan itu ketika dilontarkan, dan bergetar pula Mery mendengarnya. 

Tiba-tiba sebuah rentetan peristiwa ketika masih bersamanya, silih berganti menari di benaknya. Rindu, kangen, sayang, sudah sering diucapkannya. Tapi kali ini dengan suara berbeda, atau hanya karena perasaannya yang juga merasa kangen? Tidak, aku benci suasana itu. Basuki itu busuk, bejat, laknat.

"Mery.. sa'at ini aku ada diwarung kamu. Bisakah aku menunggu disini, atau aku datang ketempatmu?"

Mery menata hatinya. Ia ingin bertemu, di warung atau dirumah ini? Tadinya Mery mengira dia akan mengajaknya kerumah dia, atau ke sebuah hotel dan melakukan hal-hal busuk seperti dulu. 

"Mery.."

"Apa kamu ingin memarahi aku? Kamu dendam kepadaku karena aku membuatmu dipenjara?"

"Tidak Mery, tidak, aku sudah bertobat, jangan mengira aku menyukai  perbuatan itu, aku menyesal dan ingin menebusnya dengan perbuatan baik."

Mery terdiam. Perasaan curiga dan ingin bertemu bertarung dalam hatinya. Kalau curiga, tak usah datang, tapi ia juga ingin bertemu, menatap wajah garang tapi menghanyutkan, kala itu. Bagaimana sekarang keadaannya? Kemarin dia hanya melihatnya sekilas.

"Mery, aku akan kesini saja ya."

"Jangan.. aku sedang sakit."

"Kamu sakit apa?"

"Pokoknya sakit. Besok saja datang lagi ke warung."

"Jam berapa kamu ada di warung?"

"Jam sembilan aku sudah ada disana."

"Baiklah Mery, terimakasih banyak."

Ketika menutup ponselnya, Mery tertegun, selamanya Basuki belum pernah mengucapkan terimakasih atas apapun juga. Kebaikan yang diberikan untuk dia hanya semata ingin menyenangkannya dan dia tak perlu mengucapkan terimakasih. Tapi baru saja kata-kata itu terucap dari bibirnya.

Mery menghela nafas. Semoga dia benar-benar berubah.

 

***

 

"mBak, yuk makan dulu, aku sudah selesai memasak dan menatanya dimeja," ajak Sri sambil menjenguk kearah kamar Mery.

"Tiwi mana?"

"Sedang tidur, makanya aku bisa memasak lebih cepat. Ayo, nanti keburu dia bangun. Apa makannya harus aku bawa kesini mbak?""Jangan, aku kan cuma pusing sedikit, seperti orang sakit keras saja," kata Mery sambil bangkit.

"Tadi dapat telpon dari langganan ya?" tanya Sri setelah mereka duduk diruang makan.

"Dari Basuki."

"Basuki?" Sri membelalakkan matanya, lalu tersenyum nakal.

"Pantesan, pusingnya langsung hilang."

"Ah, kamu itu."

"Apa benar dia masih marah?"

"Nggak tau aku, tapi nadanya seperti enggak. Dia akan ke warung lagi besok. " 

"Aku bisa melihat, mbak Mery seperti sangat bahagia," canda Sri.

"Kamu itu bisa saja mengarang. Aku biasa-biasa saja."

"Sikap mbak Mery ketika menceritakan tentang Basuki, berbeda ketika mbak Mery bercerita tentang Bagas."

"Apa maksudmu?"

"mBak Mery suka sama Bagas, tapi tidak seperti rasa suka mbak Mery kepada Basuki."

Mery menghela nafas. 

"Aku suka anak itu. Dia baik, tampan, tapi masih sangat muda dibanding aku. Aku kira dia hanya membutuhkan sosok seorang ibu, dimana dia ingin bermanja."

"Dia tak mempunyai ibu?"

"Sejak dia masih bayi ibunya meninggal."

"Lalu dia dibesarkan ibu tiri?"

"Tidak, ayahnya tak pernah menikah lagi. Membesarkan Bagas dengan pembantunya yang setia."

"Oh, kasihan.."

"Kasihan.. benar, barangkali itulah yang aku rasakan. Tapi sungguh aku terkadang merasa bahagia berada didekatnya. Aku sering mengomel karena setiap kali dia makan selalu minta agar aku menungguinya, tapi aku senang melakukannya."

"Itu hanya rasa sayang, karena kasihan sama dia."

"Aku senang dia bermanja-manja sama aku. Tapi jauh rasanya kalau aku mengimbangi cintanya."

"Baiklah, aku berharap mbak Mery segera bisa menemukan seseorang yang benar-benar mencintai mbak Mery dengan sepenuh hati."

"Aamiin.. Do'akan aku ya Sri."

***

Hari itu seperti biasa Bagas datang kewarung. Begitu ia memarkir mobilnya, dilihatnya mobi Basuki berlalu.

"Bukankah itu mobilnya mas Basuki? Rupanya dia lebih dulu datang kemari. Aku terlambat. Sesungguhnya aku ingin minta agar mas Basuki mau menerima aku bekerja di perusahaannya. Aku benar-benar ingin resign, apalagi setelah dengan tiba-tiba pak Suryo meminta aku agar mengurus perusahaannya. Ini sangat aneh, dan aku yakin ini semua karena Kristin." gumam Bagas sambil turun dari mobilnya. Ia ingin segera bertemu mbak Merynya dan mengeluhkan semua permasalahan yang dihadapinya.

Namun begitu dia duduk dan seorang pelayan mendekatinya, ia mendapat keterangan bahwa Mery tidak datang ke warung hari ini.

"Mengapa tidak datang?"

"Sepertinya bu mery sakit, karena kemarin pulang lebih awal dan bilang kepalanya pusing."

"Yaah, sakit apa dia?"

"Kurang tau mas.."

"Baiklah, buatkan aku makan."

"Mas mau pesan apa?"

"Seperti biasa saja, dan cepat ya."

Ketika pelayan itu pergi, Bagas menelpon Mery. Tapi lama sekali panggilan itu tak diangkatnya. Bagas mencobanya lagi dan lagi, tetap tak ada jawaban.

"Apakah dia benar-benar sakit?" gumam Bagas yang mulai merasa khawatir.

Begitu pelayan menghidangkan pesanannya, Bagas segera menyantapnya, bahkan tampak tergesa-gesa sehingga mulutnya menganga karena kepanasan.

"Bodoh aku, kan harus dibiarkan sebentar baru disantap," gumamnya.

"Bagaas..!"

Bagas tersentak, suara panggilan itu sangat dikenalnya dan sangat membuatnya kesal. Bagaimana si centhil itu tiba-tiba bisa menyusulnya?

Kristin tiba-tiba sudah duduk didepannya, lalu melambai kearah pelayan.

"Aku nasi goreng, pakai udang, minumnya es kopyor," pesannya begitu pelayan datang.

  "mBak, kok tiba-tiba kesini? Lupa ya kalau ini cuma warung?"

"Bagas, kata papa aku harus belajar banyak dari kamu."

"Belajar apa? Aku ini orang biasa-biasa saja."

"Itulah, aku harus belajar menjadi orang biasa-biasa saja. Jadi biarpun agak sebel, aku ikuti saja kamu. Aku tau kamu tadi tiba-tiba menghilang disa'at jam makan siang. Kamu takut aku mengajakmu makan bersama bukan?"

Bagas menyendok nasinya dan mengunyahnya dengan nikmat, tak perduli pada apa yang dikatakan Kristin.

"Papa sudah bilang sama kamu?"

Bagas terkejut. Pasti yang dimaksud adalah tentang diserahkannya usaha pak Suryo itu kepada dirinya. Tapi Bagas tak mau membahasnya. Lebih baik ia pura-pura tidak tau.

"Sudah belum?" ulang Kristin.

"Aku belum ketemu pak Suryo."

"Oh, iya betul."

Bagas terus saja menyantap nasinya, sehingga begitu pesanan Kristin datang, ia sudah menghabiskan nasinya.


Seharusnya Bagas menghormati Kristin karena gadis itu adalah atasannya. Tapi karena sikap Kristin sendiri akhirnya Bagas memperlakukannya seperti teman biasa. Ia tak peduli seandainya harus dipecat sekalipun.

"Aku sudah selesai, bolehkah aku pulang dulu?" katanya  sambil meneguk minumannya.

Kristin tersedak pada suapan pertamanya karena terkejut mendengar ucapan Bagas. Ia terbatuk-batuk dan itu membuat Bagas kasihan juga.

"Minumlah dulu.. kenapa sih bisa sampai tersedak begitu?"

Kristin menghirup minumannya sambil masih terbatuk-batuk sedikit.

"Kamu mau pergi sekarang? Meninggalkan aku sendiri disini?"

"Bukankah kamu juga datang sendiri ?"

"Bagas, jangan terlalu jahat sama aku, biar aku habiskan dulu nasiku ini, lalu kita pulang bersama."

"Bukan pulang bersama, bukankah kita membawa mobil sendiri-sendiri?"

"Tidak, aku tadi cuma diantar sopir. Jadi kita bisa pulang sama-sama," kata Kristin seenaknya sambil terus menikmati nasi gorengnya.

Bagas menghela nafas berat. 

***

Pak Darmono terkejut karena siang itu pak Suryo datang kerumah. Setelah pak Suryo mengatakan tentang Bagas yang akan diserahi perusahaannya, pak Darmono berfikir panjang. Ada apa sebenarnya dibalik ucapan itu.Sebuah anugerah yang berat untuk diterima, pak Darmono harus berhati-hati.

"Dar, kok bengong.."

Pak Darmno mencoba tertawa.

"Yang penting bukan seperti sapi ompong," candanya.

"Kamu sedang tidur?"

"Tidak, sedang melihat acara sinetron di televisi."

Pak Suryo tertawa.

"Kamu seperti emak-emak saja, suka menonton sinetron."

"Habisnya orang tua seperti aku, daripada tidur kan lebih baik menonton acara apapun di televisi. Oh ya, mau minum apa?"

"Tidak usah, aku mau bicara penting."

"Seperti yang mas bicarakan di telpon itu?"

"Ya, apa kamu sudah bicara sama anakmu?"

"Belum mas."

"Mengapa belum? Anakmu harus segera tau Dar. Ini demi masa depan dia."

"Bagas itu anak yang sederhana mas. Iming-iming kedudukan tidak akan membuatnya tergiur. Aku hampir yakin bahwa dia akan menolaknya."

"Mengapa? "

"Aku selalu mengajarkan padanya agar dia tak mudah tergiur oleh gemerlapnya bintang dilangit. Sejak masih kanak-kanak dia hidup sederhana dan tak pernah punya keinginan yang muluk-muluk. Jadi permintaan mas Suryo yang tiba-tiba pasti akan membuatnya bertanya-tanya."

"Bertanya-tanya bagaimana maksudmu?"

"Dia baru sebulan bekerja, mana mungkin tiba-tiba mendapat kepercayaan sebesar itu? Saya kira justru dia akan takut untuk menerimanya mas."

"Kan aku sudah bilang bahwa aku dan Kristin akan membantu sebelum dia benar-benar menguasainya."

"Harusnya Kristin yang menjalankannya, bukankah itu milik orang tuanya?"

"Dengar Dar, aku memintanya begitu bukan tanpa sebab."

"Jadi benar, ada sebabnya?"

"Aku ingin agar Bagas bisa menjadi menantuku." 

Pak Darmono terkejut.

***

besok lagi ya



 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Monday, June 29, 2020

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 05

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  05

(Tien Kumalasari)

 

Basuki masih tegak dengan menahan gemuruh dadanya, melihat Bagas menggenggam tangan Mery.  Apa yang terjadi dengan hatinya, Basuki sendiri tak menyadarinya.

Sementara itu Bagas yang lebih dulu melihat kearah pintu terkejut melihat Basuki berdiri disana, tak bergerak. Bagas mengira Basuki sedang mencari apakah dirinya sudah datang atau belum. Serta merta Bagas melepaskan tangan Mery. Mery pucat pasi. Itu kan Basuki, tempat dimana mega bertaut dan menyembunyikan cintanya. Mery tak tau apa yang akan terjadi nanti. Terakhir ia melihat Basuki ketika polisi menggelandangnya kedalam mobil, dan Basuki menatapnya penuh kebencian. Sakit melihat tatapan itu.

"Mas ! Sini.. aku juga baru datang," sapa Bagas. Tanpa sadar bahwa Mery sudah lebih dulu berdiri dan melangkah kedalam dengan hati gundah.

Basuki menatap punggung Mery dengan perasaan mengharu biru. Disadarinya Mery masih secantik dulu, tapi penampilannya sungguh berbeda. Bukan gadis yang suka berpakaian glamour dan dengan manisnya memperlihatkan lekuk liku tubuhnya yang indah. Membiarkan separuh dadanya menyembul keluar dan membuatnya gila dalam nafsu yang menggelegak. Namun Mery kecewa, yang diterimanya adalah pelampiasan nafsu, bukan cinta, sementara dirinya menyerahkan semuanya karena cinta. Aduhai, semuanya sudah berlalu. Hari demi hari, bulan dan tahun menggilas semua kenangan manis tapi juga menyakitkan itu.

Mery sembunyi dalam kebingungan yang menyentak. Ada ruang kerja yang tertutup, dia duduk disana dan berkunci didalamnya.

"Mas, kok bengong sih mas, aku sudah mendapatkan tempat duduk yang enak," kata Bagas sambil berdiri lalu mendekati Basuki sambil menarik tangannya.

Basuki mencoba tersenyum. Belum puas ia menyapa hatinya sendiri, menanyakan apa yang terjadi sehingga pertemuan itu membuat hatinya gemuruh yang membuatnya luruh dalam kebingungan.

"Sini mas. Aku hampir tertawa ketika mas Basuki mengirimkan alamat warung ini. Aku hampir setiap hari makan disini," kata Bagas gembira.

 Basuki perlahan menguasai hatinya, dan mencoba tersenyum.

"Aku tidak mengira.."

"Ayo mas, pesan apa yang mas ingin makan siang ini, pokoknya semuanya enak."

"Ya, terserah kamu saja, aku ikut.."

"Mas Basuki kok kelihatan lesu? Sakit?"

"Enggak, kecapean mungkin.."

"Jangan capek-capek lah mas.. biar banyak yang harus dikerjakan, mas juga harus ingat kesehatan."

"Iya.. "

"Mas sudah pernah datang  kemari pasti,dan merasakan enaknya, sehingga siang ini mengajak aku."

Pelayan mendekat ketika Bagas melambaikan tangannya.

"Mas Basuki mau makan apa? Aku nasi timlo saja.. minumnya teh hangat."

"Aku... sama deh. Nasi timlo sama teh hangat."

Pelayan mengangguk dan berlalu.

"Kamu.. kenal baik dengan pemiliknya?"

"Lebih dari kenal mas, dia gadis yang sangat baik."

Basuki berdehem. Ia sekarang yakin bahwa Mery pemilik warung ini adalah Mery yang dikenalnya. Benarkah ada hubungan yang lebih diantara Mery dan Bagas? Bukankah Bagas tampak masih sangat muda, dan Mery pastinya jauh lebih tua darinya? Pertanyaan demi pertanyaan bersahutan memenuhi benaknya.

"Pasti bukan sekedar kenal, aku melihat sendiri bagaimana dia menggenggam tangan Mery," bisik batin Basuki.

Ada yang aneh ketika dia merasa kurang senang melihat pemandangan itu. Basuki merasa bingung akan hatinya sendiri. Jatuh cintakah aku kepadanya?

Sesungguhnya Basuki mengajak Bagas bertemu bukan sekedar ingin makan bersama. Ia ingin mengajak Bagas membantu di perusahaannya. Tapi melihat sikap Bagas kepada Mery tadi, ia mengurungkan niatnya. Barangkali ia harus memikirkannya lagi.

 "Mas, pesanannya sudah.. silahkan mas.." ajak Bagas sambil mendekatkan mangkok kehadapannya.

"Oh iya..."

"Mas, sebetulnya tadi mas mengajak makan disini tuh karena ada perlu, atau hanya karena ingin makan bersama saja?"

"Tidak apa-apa,  hanya ingin makan bersama kamu saja. Maunya memamerkan ada warung sederhana murah, tapi enak, ternyata kamu sudah lebih dulu tau tempat ini."

"Iya mas, tapi jangan kecewa, aku senang bisa makan bareng mas."

Basuki tersenyum. Sesekali dia melirik kearah dalam, karena Mery tiba-tiba lenyap bagai ditelan bumi.."

Bagas juga heran, mengapa Mery tiba-tiba menghilang. Ia memanggil salah seorang pelayan.

"Bu Mery mana?"

"Ada di ruang kerjanya mas, tadi bilang kurang enak badan, jadi tak ada yang berani mengganggu," kata pelayan itu.

"Oh, mbak Mery sakit.." gumam Bagas.

Basuki juga heran, tadi tampaknya baik-baik saja. Diakah yang menyebabkannya? Ia tak mau bertemu dirinya, lalu bersembunyi diruang kerjanya?

"Kamu sangat dekat sama Mery ?"

Bagas agak heran mendengar Basuki yang dikiranya belum mengenal mbak Mery nya, tapi menyebut namanya begitu saja.

"Sangat dekat mas."

Basuki baru teringat, tadi Bagas sudah menjawabnya.

"Rasanya aku jatuh cinta sama dia."

Pernyataan yang terus terang ini mengejutkan Basuki, walau dia sudah menduganya dari awal. 

***

 

"Benar-benar dia Sri.. benar-benar dia.." kata Mery tiba-tiba begitu memasuki rumahnya.

"Apa mbak? Siapa yang mbak maksud?  Dan hari masih siang mengapa mbak Mery sudah pulang?" Siapa sih yang mbak maksud?"

" Coba tebak siapa..?"

"Bocah itu ?"

"Bukan... Basuki.."

"mBak ketemu dia?"

"Dulu aku tau seseorang yang dari belakang seperti Basuki, ketika dia habis makan diwarung. Tapi aku tidak yakin karena sejak datang dia duduk menghadap kejalan."

"Lalu dia datang lagi?"

"Dia ternyata kenal sama Bagas. Tadi janjian makan bersama di warung."

"Lalu bagaimana? mBak menyapa dia..? Lalu sikapnya bagaimana ? Baik ? Atau dia masih marah sama  mbak?"

"Aku lari kebelakang, dan bersembunyi diruang kerjaku."

"Sayang sekali, harusnya bisa melepas rindu," canda Sri.

Mery merengut dibuat-buat, lalu langsung masuk kekamarnya.

Sri tersenyum-senyum sendiri. Sejak awal dia tau bahwa Mery sangat mencitai Basuki, tapi dia kecewa karena Basuki tak pernah mencintainya.  Apakah cinta itu masih ada? Atau sudah beralih kepada anak muda bernama Bagas itu? Tak terbayangkan bagaimana bingungnya Mery waktu itu.

Ketika Mery sudah mandi, Sri kembali mencecarnya dengan banyak pertanyaan. 

"Mengapa mbak tak mau menemuinya sehingga mbak tau bagaimana sikapnya sekarang? Apakah mbak merasa tak enak karena Bagas ada disana juga? Bagaimana sih sebenarnya perasaan mbak. Masih cinta sama Basuki?"

Mery tersenyum, tapi senyum yang teramat sulit diartikan. 

"mBak.."

"Aku bingung Sri.. Ketika dia datang Bagas sedang menggenggam tanganku. Nekat anak itu, aku ingin melepaskan tapi dia mencengkeram sangat kuat."

"Waah, romantis dong mbak.."

"Romantis itu apa sih. Rokok..makan.. gratis.."

Sri terkekeh mendengar kepanjangan dari kata-katanya.

"mBak Mery pintar juga ya... bagus.. rokok .. makan.. gratis..."

"Kamu itu seperti nggak tau perasaanku saja Sri."

"Aku tau, baiklah biar aku tebak. mBak Mery masih mencintai Basuki, tapi mbak Mery juga mulai menyukai Bagas, lalu keduanya datang dan mbak Mery bingung."

Mery mengangguk-angguk.

"Tebakanmu hampir tepat."

"Kalau begitu mbak Mery tinggal memilih saja kan?"

"Apa katamu? Bagaimana kalau Basuki masih membenci aku? Kamu lupa ketika polisi membawanya lalu dia menatap aku penuh kebencian? Aku pernah mengatakan itu bukan?"

"Apakah benci itu tak akan luntur?"

Mery menghela nafas.

"Besok aku tak akan pergi ke warung."

"Lhoh, nanti anak buah kebingungan mencari mbak dong."

"Tidak, mereka sudah bisa melakukan semuanya sendiri. Ada Mini yang bisa mengatur semuanya."

"Mbak, bukankah masalah itu tidak harus dihindari tapi harus dihadapi ?"

Mery terdiam.

"Jangan-jangan dia masih cinta sama kamu."

"Lhah, mbak Mery mengada-ada nih.."

"Kamu kan masih ingat, ketika kamu menikah, dia memberikan hadiah sebuah leontin berbentuk jantung."

"Nah, ini namanya cemburu bukan?"

"Tidak, sungguh aku tidak cemburu sama kamu. Tapi siapa tau cinta itu masih ada."

"Lalu apa? Dia sudah mendo'akan aku agar aku bahagia, berarti dia sudah melepaskan rasa itu. mBak Mery jangan mengungkit masa lalu. Sebaiknya sekarang mbak Mery menghadapi dia dan melihat apa yang difikirkannya."

Mery menghempaskan tubuhnya disofa panjang. Menerawang jauh dan mencari dimanakah sebenarnya cintanya bersemayam. Masihkah ada diatas mega, atau sudah jatuh berderai menjadi kepingan-kepingan kecil yang tak berarti.

Lalu wajah polos yang terpancar dari laki-laki muda yang ganteng itu bergantian  dengan wajah ganteng yang tampak matang dan penuh wibawa,  menari-nari dalam benaknya.

Mery teringat ketika melihat sosok tinggi besar yang mematung ditengah pintu masuk, menatapnya tajam, namun tak bisa dia membaca apa yang difikirkannya. Ia lebih dulu ketakutan apabila Basuki masih membencinya. Lalu dia memilih kabur. Tak tau bagaimana harus bersikap dihadapan Basuki dan Bagas sekaligus.

***

"Makan dimana tadi?" Kristin selalu bertanya ketika ajakan makan siangnya tak pernah terpenuhi.

"Seperti biasa."

"Apa teman kamu suka kamu ajak makan di warung langgnan kamu itu?"

"Suka lah, dia yang mengajak kesana."

"Masa?"

"Benar."

"Sebenarnya masakannya enak.." gumam Kristin seperti kepada dirinya sendiri.

"Nah, tau sendiri kan ?"

"Cuma tempatnya yang aku nggak suka. Agak kumuh begitu."

"Kumuh apanya? Aku lihat tempatnya bersih dan nyaman. Beda dong kalau mbak Kristin membandingkannya dengan restoran mewah, yang lantainya berkilat dan tempat duduknya juga nyaman, ber AC pula."

"Iya sih.. tapi tempat yang nyaman juga mempengaruhi selera kita lho."

Bagas tak menjawab. Berdebat dengan gadis kaya yang tak mau mengerti keadaan, sangat menjengkelkan. Dia tak pernah mau kalah, dan selalu berpendapat bahwa yang mewah itu yang terbaik/

Sikap itu membuat Bagas ingin sekali menjauhinya. Kemudian dia menyesal ketika bertemu Basuki lalu dia tidak minta saja agar diperbolehkan bekerja diperusahaannya. Tapi Bagas berjanji suatu sa'at akan melakukannya. 

"Bagas, kalau besok bisa makan bersamaku kan? Apakah masih ada janji dengan teman?"

Bagas kesal sekali. Mengapa yang dibicarakan hanya ingin makan bersama saja? Tak adakah topik lain yang lebih menarik, misalnya rencana kerja yang bisa lebih memajukan perusahaan ayahnya. Bagas juga heran mengapa pak Suryo menyerahkan perusahaannya ditangan gadisnya yang manja ini. Tapi sebenarnya diakuinya bahwa Kristin gadis yang cerdas. Apakah hanya karena suka sama dia maka sikapnya seperti itu?

"Bagaimana Gas?"

"Belum tentu, lagi pula aku tidak suka makan ditempat mewah."

"Mengapa?"

"Karena aku bukan orang kaya. Aku orang biasa saja."

"Bagas, kalau kamu mau, kamu bisa mendapatkan salary yang lebih baik, nanti aku akan usulkan pada papa."

"Tidak, tidak.. bukan itu yang aku inginkan, aku ingin maju dengan upayaku sendiri, bukan karena belas kasihan orang lain. Dan sekarang ijinkan aku bekerja dan mohon mbak jangan mengganggu lagi."

Tapi sikap ketus yang diperlihatkan Bagas tidak membuat Kristin mundur dan sakit hati. Ia masih merasa yakin bahwa kecantikannya akan bisa meluruhkan kesombongan Bagas.

"

"Papa.. bolehkah aku minta sesuatu ?" tanya Kristin pada sore itu, ketika ia tidak langsung pulang tapi menemui papanya terlebih dulu.

" Minta saja, apa sih yang enggak buat kamu?" canda pak Suryo.

"Bagaimana kalau papa menyerahkan saja perusahaan ini kepada Bagas?"

Pak Suryo menatap anaknya tajam. Perusahaan ini miliknya dan sudah seharusnya Kristinlah yang mengelolanya. Mengapa tida-tiba Kristin mengatakan itu?"

"Kristin, kamu sadar akan apa yang kamu katakan?"

"Kristin merasa lelah bekerja."

"Kamu itu sudah menjalankannya selama tiga tahun dan papa bangga kamu bisa memajukan perusahaan itu."

"Apakah menurut papa perusahaan kita maju ditangan Kritin?"

"Lumayan bagus, paling tidak terus berjalan dan tidak berhenti."

"Tapi Kristin merasa tidak mampu lagi."

"Mengapa tiba-tiba kamu berkata begitu?"

"Ya memang Kristin bosan."

"Lalu kamu akan melakukan apa? Duduk berpangku tangan, keluar masuk salon dan menghamburkan uang papa?"

"Papa kok begitu..?"

"Biarpun kamu perempuan, kamu tidak boleh hanya duduk berpangku tangan. Kamu masih muda, kamu harus berkarya."

Kristin mengeluh, wajahnya muram. Dan kalau sudah begitu biasanya pak Suryo menjadi luluh. Tapi tidak untuk kali itu. 

"Dengar Kristin, kamu tidak boleh berhenti, kecuali kamu sudah menikah dan suami kamu bisa mengelola perusahaan itu."

"Kalau begitu nikahkan saja Kristin," kata Kristin tanpa malu-malu.

Pak Suryo terperanjat. Ditatapnya wajah puterinya dengan mata berbinar.

"Kamu sudah punya pacar? Siapa? Apa dia seorang laki-laki yang pintar?"

Kristin bingung menjawabnya. Ia ingin menyebut nama Bagas, tapi keraguan menyelimutinya.

"Katakan Kristin," desak pak Suryo.

"Kristin... mencintai seseorang.." jawabnya lirih.

"Oh ya? Lalu apakah dia juga mencintai kamu?"

"Kristin tidak tau.."

"Menikahlah dengan orang yang mencintai kamu, bukan dengan orang yang kamu cintai. Mengerti?"

Kristin menatap ayahnya yang mengatakannya dengan wajah bersungguh-sungguh.

"Siapa laki-laki itu ?"

Kristin bingung, akankah dia berterus terang bahwa laki-laki itu Bagas? Walau dia tau bahwa ayahnya sangat memanjakannya, namun dia belum pernah berbicara tentang cinta. Bahkan ayahnya selalu menganggap bahwa Kristin masih kanak-kanak.

"Kok diam? Aku yakin dia sama sekali tidak tertarik sama kamu."

Tapi kemudian Kristin berfikir, bahwa ayahnya pasti akan membantunya mendekatkan dirinya dengan Bagas seandainya dia mengatakannya. Bukankah ayahnya sangat suka pada Bagas?

"Bagaimana kalau laki-laki itu Bagas?" terlontar begitu saja ucapan itu, dan pak Suryo benar-benar terkejut.

Pak Suryo teringat pembicaraannya dengan sahabatnya beberapa hari yang lalu. Bukankah ia ingin menjodohkan anak mereka masing-masing?

"Bagas? Bagas anaknya Darmono?"

 

***

 

"Bapak tau nggak, Bagas tadi diajak makan siang oleh mas Basuki," kata Bagas kepada ayahnya.

"Oh ya? Dimana ?"

"Ya diwarungnya mbak Mery."

"Pasti kamu yang mengajak dia kesana."

"Bukan pak, dia yang mengajak. Bagas tertawa ketika dia mengajak makan di warung itu. Dia mengira Bagas belum tau."

"Aneh, banyak orang suka makan diwarung itu. Tapi bapa sudah merasakan, memang timlonya enak."

"Sebenarnya Bagas ingin ngomong sama mas Basuki."

"Ngomong apa?"

"Bagaimana kalau Bagas ingin bekerka di perusahaan mas Basuki saja."

"Kamu nekat ingin resign dari sana ?"

"Iya pak.."

"Dengar Bagas, pak Suryo perna megatakan sama bapak bahwa dia ingin menjodohkan kamu dengan Kristin."

Kalau ada geledeg menyambar tiba-tiba, pasti tak akan se terkejut hati Bagas ketika mendengar ucapan ayahnya.

Ia ingin mengucapkan sesuatu untuk menolak, tapi kemudian terdengar dering telpon di ponsel ayahnya.

"Sebentar, pak Suryo menelpon." kata pak Darmono sambil meletakkan jarinya dibibir, lalu dia menjawab telpon itu.

"Hallo mas, tumben sore-sore menelpon?"

"Ada berita baik untuk anak kamu Dar."

"Berita baik apa tuh mas?"

"Bagas akan aku minta agar dia menggantikan Kristin memegang perusahaan milikku."

Pak Darmono terkejut, sehingga ponselnya terjatuh.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Sunday, June 28, 2020

Cintaku ada diantara mega 04

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  04

(Tien Kumalasari)

 

Bagas terkejut, melihat pak Suryo mendekat ke arah mejanya. Bagas segera berdiri dan menyalami.

"Kok kebetulan kamu juga ada disini Gas?"

"Iya pak, lebih suka disini, masakan Jawa semua, dan enak."

"Silahkan pak," kata Mery kemudian beranjak kebelakang,

Bagas ingin menghentikan Mery tapi sungkan sama pak Suryo yang kemudian sudah duduk didepannya bersama Kristin.

"Kamu makan apa itu Gas?"

"Saya timlo pak, tapi ada yang lainnya, itu daftar menunya ada diatas," kata Bagas sambil menunjuk kearah tulisan besar-besar berisi daftar menu dan harganya.

"Haa.. ada macam-macam.. tapi aku ingin nasi timlo saja. Kamu apa Kris?"

"Makanan murah begitu, apa enak ya?" kata Kristin sambil memoncongkan bibirnya.

"Jangan melihat harganya, rasakan dulu.. kamu sukanya kok begitu, belum belum sudah menilai."

Bagas memanggil pelayan.

"Mas, aku nasi timlo sama minumnya jeruk panas ya. Kamu apa, cepetan.."

"Aku mau nasi goreng saja. Dikasih udang. Minumnya.. es kopyor," kata Kristin tanpa menoleh kearah pelayan.

"Kamu nggak pesan lagi Gas?"

"Sudah pak, saya sudah mau kembali ke kantor."

"Lho, sebentar lagi, nemenin kami makan lah.. atau kamu mau pesan apa lagi.. gitu."

Bagas merasa tidak enak untuk menolak. 

" Bagas itu langganan kesini pa.. setiap makan siang pasti kesini."

Bagas hanya tersenyum. Sebel juga so'alnya Kristin menatapnya terus tanpa malu-malu. 

"Bagas pasti yakin kalau makan disini pasti enak, ya kan Gas?"

"Ini kan seleranya orang seperti saya pak, yang penting pas dikantong, pas dilidah."

"Nyindir ..." celetuk Kristin.

"Nggak, itu benar.. untuk apa harus makan ditempat mewah kalau di tempat biasa sudah merasa enak."

Kristin mencibir.

"Kamu harus belajar dari Bagas Kris. Kamu selamanya mau yang paling bergengsi, yang paling top, Beli barang juga begitu, bukan memilih barangnya tapi merknya. Padahal ada yang barangnya sama tapi harganya lebih murah."

Pesanan sudah datang, dan pak Suryo menarik mangkuknya dengan mata berbinar.

"Hm, baunya sedap... ini luar biasa. Salah kamu memesan nasi goreng, kamu sudah biasa memakannya, tapi ini berbeda."

Pak Suryo menyendok sedikit dan mengecap-ngecapnya di lidah.

"Wouw.. enak.. benar enak.. ada sambal kecapnya juga nih.."

Kristin tak bereaksi, ia juga segera menyantap nasi goreng pesanannya. Hm, enak, batin Kristin, tapi dia malu mengakuinya karena sebelumnya sudah merendahkannya.

Bagas tersenyum, Kristin memakannya dengan lahap. 

"Enak Kris?" tanya pak Suryo.

"Mm.. lumayan, so'alnya Kristin lagi lapar."

Bagas masih menyunggingkan senyumnya. Ia tau kalau nasi goreng buatan Mery sangat enak, tapi Kristin malu mengakuinya. Ia menghabiskannya dengan cepat karena alasan lapar. 

"Enak, boleh nambah ya, separo saja."

"Bisa dong pak,"

Bagas melambaikan  tangan kearah pelayan dan memesan lagi setengah porsi.

"Papa, tumben makan banyak.."

"Enak..Bisakah kamu memasak?"

"Ih, Katrin nggak suka memasak pa, kan sudah ada simbok."

"Harusnya yang namanya pembantu itu yang hanya membantu, kamulah yang harus mengerjakan."

Kristin tak menjawab, ia asyik menyedot es kopyornya dengan nikmat.

Diam-diam dia menyukai sikap pak Suryo. Biarpun dia orang kaya dan terpandang, tapi ia sangat rendah hati. Mengapa Kristin tak meniru sikap ayahnya?

"Pa, nanti papa langsung pulang kan?"

"Iya, mau kemana lagi?"

"Kalau begitu Kristin mau bareng Bagas saja."

"Oh, bagus kalau begitu, papa mau mampir kerumah teman dulu."

 

***

Mery duduk dibelakang warung sambil mengamati anak buahnya menata pesanan. Ada rasa aneh yang tiba-tiba merayapinya. Mengapa dia tak suka melihat kedatangan Kristin, dan lebih tak suka lagi melihat Kristin akan satu mobil dengan Bagas karena dilihatnya Gadis itu tidak mengikuti ayahnya tapi mengikuti Bagas. Ia juga melihat Kristin  menggandeng lengan Bagas, yang kemudian Bagas menghindarinya. Rasa tidak suka itu terus menghantuinya, sampai kemudian dia memutuskan untuk pulang saja.

"Ibu mau kemana?" tanya Mini pembantu setianya dan juga orang yang dipercayanya.

"Mau pulang, badanku agak kurang enak."

"Ibu kecapean barangkali."

"Iya, mungkin, tapi aku nanti juga mau mampir belanja. Tadi anak-anak memesan barang-barang habis yang harus segera dibeli."

"Kalau ibu nggak enak badan, biar saya saja yang belanja."

"Nggak apa-apa kalau cuma belanja sebentar. Tenang saja Mini."

"Baiklah, tapi ibu harus segera beristirahat."

"Iya Mini, terimakasih."

Mery berlalu, membuka pintu mobilnya dengan perasaan resah. Lalu mengendarai mobilnya juga masih dengan perasaan gundah.

"Apa yang terjadi pada diriku ini?" gumamnya pelan.

Terbayang kembali bagaimana Kristin berusaha menggandeng tangan Bagas. Terbayang bagaimana Kristin memandangi Bagas ketika duduk dihadapannya. 

"Tapi Bagas bilang bahwa dia tak suka sama dia," gumamnya lagi.

"Walau tak suka, kalau setiap hari disuguhi wajah cantik yang selalu melemparkan senyum manis memikat, sapa yang mendayu-dayu, apakah Bagas akan tetap bertahan?"

Lalu Mery merasa heran pada dirinya sendiri. Setiap kali Bagas mengatakan suka pada dirinya, Mery selalu menolaknya, tapi melihat sikap Kristin, mengapa batinnya seperti terluka? Aduhai..

"Gila kalau aku juga suka sama dia, anak kecil yang manja!" katanya sambil memukul  kemudi  mobilnya. Lalu menghela nafas panjang.

"Tapi aku suka kalau dia bermanja-manja sama aku,"

"Gila..gila.. gila !!" katanya sambil kembali memukul-mukul kemudi mobilnya, kali ini lebih keras.

***


"Selamat siang," sapa pak Suryo didepan pintu sebuah rumah.

"Selamat siang, ya ... mas Suryo? Angin apa yang membawamu sampai kemari." sambut pak Darmono dengan riang.

"Yang jelas bukan angin duduk."

Keduanya tertawa   keras.

"Ada-ada saja. Ayo silahkan duduk, masuk saja..."

"Nggak, disini saja, lebih enak, hawanya segar.. dan jangan menawari aku minum, apalagi makan, karena aku baru saja makan dan minum bersama anakmu."

"Bagas?"

"Iya, siapa lagi, memangnya kamu punya anak lain selain Bagas?"

"Ya tidak.. tapi bagaimana bisa makan bersama Bagas? Mas lagi di kantor?"

"Aku ke kantor mau ketemu Kristin, tapi Kristin mau keluar makan, ee.. kebetulan ketemu Bagas di warung timlo."

"Oh, iya.. Bagas bilang setiap hari makan disitu. Enak timlonya, kemarin aku juga dibelikan Bagas timlo ditempat langganannya itu."

"Benar enak, aku baru sekali merasakan, tapi kayaknya bakal ketagihan."

"Syukurlah. Bagas itu kan maunya makan yang murah meriah, maklum duitnya belum banyak. Bapaknya juga cuma orang pensiunan."

"Oh, itu bagus, aku suka anakmu, tidak manja, mau menjalani hidup apa adanya."

"Iya lah mas, dari kecil kan dia tau bagaimana bapaknya ini."

"Berbeda dengan Kristin. Dia itu anak tunggal, dimanja sekali sama ibunya. Tidak diajari untuk hidup sederhana, tidak diajari mengerjakan pekerjaan yang biasa wanita kerjakan. Itu sebabnya aku menyerahkan perusahaan itu biar diurus sama dia, supaya dia belajar bertanggung jawab dan bisa bersikap lebih dewasa. Aku senang dia bisa menjalankannya. Lalu aku juga membelikan satu rumah kecil untuk dia, maksudku supaya dia bisa mandiri, mengerjakan semua keperluannya sendiri. Ee.. yang ini tidak berhasil."

"Mengapa?"

"Ibunya mengirimkan pembantu untuk dia. Sama juga bohong kan?"

Pak Darmono tertawa melihat sahabatnya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum masam.

"Biarkan saja dulu, lama-lama pasti dia bisa."

"Bagaimana kalau kita besanan?" kata pak Suryo tiba-tiba.

"Apa?" pak Darmono menatap sahabatnya dengan wajah tak percaya. Kalau dia mengajak besanan, berarti menjodohkan anaknya dengan Kristin?  

"Iya, aku serius. Kristin membutuhkan suami yang seperti Bagas, bisa menjalani hidup dengan apa adanya. Ia bisa mengajarinya."

"Wah, ini perso'alan yang tidak segampang mengucapkannya. Anak sekarang mana mau di jodoh-jodohkan?

"Ya, aku tau, artinya sekarang ini kalau aku dan kamu sudah sepakat, tinggal  nanti anak-anak itu yang akan menentukan. Aku dan kamu tidak usah memaksa."

"Ooh, begitu ya?"

"Atau.. kamu keberatan punya besan seperti aku?"

"Tidak.. bukan  begitu. Kalau kamu mau punya besan seperti aku, ya ini namanya anugerah bagi aku. Bagaimana mungkin aku bisa bilang bahwa aku keberatan?"

"Terimakasih kalau begitu, kita tunggu bagaimana nanti anak-anak. Kan mereka yang menjalani."

***

Seorang laki-laki gagah dan ganteng memasuki warung Mery, lalu duduk disalah satu bangku yang kosong. Ia melongok kedalam, seperti mencari sesuatu, atau mungkin seseorang.

Seorang pelayan mendekati.

"Bapak mau pesan apa?"

"Nasi timlo,  minumnya es jeruk saja."

"Baiklah," pelayan itu berlalu.

Laki-laki itu menungu sambil membuka buka ponselnya.

Dibelakang, Mini bertanya kepada pelayan itu.

"Eh, kamu ingat tuan itu tadi?" 

"Iya bu, dua hari yang lalu dia juga makan disini."

"Kamu ingat karena dia memberi kamu uang kan?"

"Iya bu, apa bu Mery marah?"

"Tidak, pernahkah bu Mery marah sama kita? Aku cuma tertarik untuk mengetahui siapa dia. Ketika dia keluar dari warung ini beberapa hari yang lalu, bu Mery tampak mengamatinya dengan seksama. Sepertinya pernah mengenalnya."

"Nanti saya tanyakan.."

"Eh, jangan.. nggak usah, pakai mau nanya segala. Nggak sopan, tau!?'

"Iya bu."

"Ya sudah, cepat layani dia."

Basuki menikmati makan siangnya, tapi ditengah-tengah makan itu ia memanggil lagi pelayan yang tadi melayaninya.

"Ya, mau pesan apa lagi bapak?"

"Tidak pesan, cuma mau tanya, apakah nama Mery itu diambil dari nama pemiliknya?" tanyanya sambil menunjuk kearah papan nama yang terpampang diluar."

"Iya pak, pemilik warung ini bu Mery."

"Apa dia ada?"

"Kebetulan tadi sudah pulang pak, katanya nggak enak badan."

"Owh.."

"Ada pesan untuk bu Mery?"

"Tidak.. tidak ada. Ya sudah, terimakasih."

Laki-laki gagah itu menghabiskan makannya, lalu beranjak keluar warung sambil memberikan uang seratusan ribu.

"Kembaliannya untuk kamu."

"Terimakasih banyak pak," kata pelayan sambil terbungkuk-bungkuk.

 ***

Pagi hari itu Sri masih menyiapkan sarapan didapur, ketika melihat Mery sudah bangun.

"Lho, semalam katanya pusing, kok sudah bangun? Tiduran saja lagi, biar aku yang menyiapkan makan pagi, mbak," kata Sri khawatir.

"Tidak, sudah baik, pusingnya bukan sembarang pusing nih."

"O, ada sesuatu? Bocah itu mengganggu lagi?"

"Aku bingung.."

"Tampaknya mbak Mery lama-lama juga suka sama dia."

"Aku sudah merasa tua."

"mBak Mery jangan begitu. mBak Mery berhak dicintai dan mencintai. Kalau memang dia itu baik, dan sungguh-sungguh mencintai, mengapa harus menolaknya?"

Mery menghela nafas. Ia mengambil gelas lalu menuangkan minuman dingin dari dalam kulkas. Sri menarik tangannya.

"Jangan minum air dingin, masih pagi. Tuh, Sri sudah buatkan teh panas buat mbak. Masih mengebul. Ayo kita minum bersama,  pisang goreng juga ada."

"Oh, iya, bau pisang goreng, aku baru mau bertanya, bau apa ya, harum-harum wangi."

"Pisang kepok yang tiga hari lalu kita ambil dari kebun, sudah masak semuanya. Nanti mbak Mery bisa membawa untuk anak-anak warung. Aku sudah menggoreng banyak."

"Terimakasih Sri, kamu selalu baik," kata Mery sambil duduk dikursi dapur. Dimeja didepannya sudah ada teh panas dan sepiring pisang goreng. Mery menghirup tehnya perlahan.

"Mana mas Timan?"

"Masih di kamar, lagi bercanda sama Tiwi."

"Hm, menyenangkan kalau sudah punya anak."

"Benar sudah tidak pusing lagi mbak?"

"Tidak, setelah minum teh hangat buatan kamu."

"Ah, mbak Mery. Lalu bagaimana dengan Bagas?"

"Aku tidak berani memutuskan. Takut kalau dia kecewa."

"Mengapa harus kecewa? mBak Mery itu cantik, pintar masak.."

"Aku pintar masak itu kan karena belajar dari kamu Sri."

"Apapun itu, sekarang mbak Mery kan sudah bisa masak yang enaknya luar biasa. Jadi mana mungkin dia kecewa?"

"Kamu lupa Sri, aku kan sudaha tidak perawan lagi?" kata Mery sendu.

"Kalau orang itu benar-benar mencintai, ia harus bisa menerima semua kelebihan dan kekurangan kita. Pegang kata-kata saya mbak, mbak Mery itu pantas mencintai dan dicintai. Kalau memang dia cinta, tak akan ada cacat celanya yang ada dalam diri mbak Mery. Dia pasti menerimanya."

Benarlah? Tapi Mery masih ragu.

***

Siang hari itu ketika Bagas sedang berkutat dengan pekerjaannya, tiba-tiba ponselnya berdering.

"Mas Basuki?"

"Hallo Gas, lagi sibuk?"

"Nggak mas, sudah mau off  untuk istirahat makan siang."

"Bagus, ayo kita makan siang bersama."

"Dengan senang hati mas, dimana ?"

"Ada sebuah warung yang pasti kamu akan menyukainya. Aku akan kirim alamatnya."

"Baiklah mas."

"Tapi kalau kamu datang lebih dulu, kamu tungguin aku ya, aku masih akan mampir untuk suatu keperluan."

"Siap mas."

Bagas tersenyum ketika membaca pesan singkat dari Basuki. Itu Warung Timlo bu Mery, ia kan sudah hampir setiap hari kesana? Bagas akan mengatakannya, tapi diurungkannya. Ia hanya membalas..oke mas..

"Bagaas.." selalu saja Kristin memanggil namanya dengan suara yang mengejutkan. Ia baru saja memasuki ruangan.

Bagas mengangkat kepalanya.

"Nanti makan siang bareng aku ya? Aku sudah memesan tempat disebuah restoran."

"Tidak, mengapa harus memesan tempat segala sih?"

"Restoran itu selalu ramai kalau pas sa'at makan siang begini, jadi aku harus memesan tempat duduk yang nyaman supaya tidak dipakai orang lain."

"Tapi aku sudah janjian sama teman, ma'af."

"Perempuan?"

"Memangnya kenapa selalu bertanya begitu? Kalau perempuan kenapa, kalau laki-laki kenapa?"

"Cuma ingin tau."'

"Laki-laki, anaknya teman bapak, yang lama tidak ketemu."

" Aku boleh ikut?"

"Nggak boleh, ma'af," kata Bagas sambil kembali menekuni pekerjaannya.

***

Bagas sengaja datang lebih awal, supaya bisa bertemu mbak Mery nya sebelum Basuki datang. Siang itu mbak Mery menyambut Bagas dengan wajah berseri. Entah mengapa tiba-tiba perasaannya jadi lain. Sangat gembira melihat Bagas.

"Kamu akan datang bersama bos cantikmu itu lagi?" tanya Mery sambil mendahului duduk.

Bagas duduk didekatnya, lalu memegang tangan Mery dengan hangat. Mery berdebar tak menentu. Ia merasa aliran darahnya begitu cepat mengalir, berpacu dengan degup jantungnya. Tapi tiba-tiba dia sadar akan keadaannya, tak mungkin dia meladeni laki-laki muda nan menawan ini demi menurutkan hawa nafsunya. 

"Tidak, cintaku bersembunyi dibalik mega. Tak harus begini. Ini gila." kata batinnya sambil menarik tangannya agar pegangan Bagas terlepas. Namun Bagas tidak mau melepaskannya.

Sa'at itulah Basuki datang dan tegak ditengah-tengah pintu tanpa mampu melanjutkan langkahnya.

***

besok lagi ya

Saturday, June 27, 2020

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 03

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  03

(Tien Kumalasari)

 

"Iya kan, kamu Basuki ? Basuki anaknya mas Cokro? Lupa sama aku? Darmono, temannya ayah kamu."

"Oh.. iya om, saya ingat. Om adik kelasnya bapak ketika SMP, ketemu waktu ada reuni, waktu itu saya masih muda.."

Darmono tertawa.

"Sekarangpun kamu belum berubah, masih muda dan tetep ganteng. "

"Terimakasih om."

"Oh ya, kenalkan, ini anak om, Bagas namanya."

Bagas menyalami Basuki. Tangan dengan otot kekar itu menggenggamnya erat.

"Bagas.."

"Basuki"

"Kamu sekarang tingal di Solo? Bukannya kamu dulu ada didaerah Salatiga? Ah ya.. ayahmu punya banyak perkebunan. Ada yang didaerah Ungaran juga kan?"

"Iya om, tapi sekarang saya sering tinggal di Solo."

"Ah, kalau begitu bisa sering kerumah dong."

"Bapak mau cabuk rambak? Atau ketan juruh pake bubuk dhele ?" Bagas memotong pembicaraan itu.

"Ya, aku cabuk rambak, minta karaknya yang gosong ya yu?"

"Kamu sudah makan, Bas?"

"Sudah.., saya tadi makan ketan puli.. enak om."

"Ya, nanti kalau belum kenyang aku juga mau itu."

"Ini untuk bapak, , mas Basuki mau makan apa lagi?"

"Sudah, aku sudah kenyang. Biar aku temani saja disini."

"Kamu disini tinggal dimana?"

"Daerah Jurug om. Kapan-kapan mampir ya."

"Ya, ya.. nanti catat alamatnya yang jelas.  Bagas, catat nomor kontak masmu ini, supaya gampang nyambungnya."

"Iya bapak, nanti saja setelah makan."

"Ini langsung kerumah juga nggak apa-apa om, saya cuma sendirian dirumah."

"Lho, isteri kamu?"

Basuki tertawa.

"Masih belum laku om."

"Masak, orang ganteng dan sukses seperti kamu kok bisa belum laku."

"Benar om, belum laku."

"Jangan mencari yang susah-susah, yang penting cantik dan bisa menjadi isteri yang baik."

"Iya om, do'akan saja."

"Ya, om do'akan,:

"Nanti langsung kerumah ?"

 "Tidak bisa mas, saya kan harus kerja."

"Oh, baguslah,Kerja dimana ?"

"Iya tuh Bas, baru sebulan dia kerja, mengeluh terus dan bilang mau resign. Padahal dia masuk itu karena aku menitipkannya pada teman, pemilik perusahaan itu."                                                 

"Kenapa nggak betah? Kerjaannya berat?"

"Nggak juga mas.. nanti lah, lain kali aku mau cerita. Ayuk bapak, mau nambah apa lagi nih, Bagas jam setengah delapan harus masuk nih.

"Kalau masih ada waktu, ketan saja, dikasih bubuk sama juruh ya."

"Bapak, nanti mengantar saya kekantor dulu, lalu mobilnya bapak bawa, atau saya antar  bapak pulang  dulu?" tanya Bagas disela-sela makan.

"Begini saja Bagas, kamu bawa mobil kamu ke tempat kerja, biar bapak aku yang mengantar."

"Wah, bikin repot saja, aku bisa naik taksi,"

"Jangan om, pokok nya om saya antar, tapi sebelumnya jalan-jalan dulu kerumah saya."

"Kalau tidak merepotkan ya tidak apa-apa, saya kan pengangguran, tidak terikat apapun," kata pak Darmono.

  ***

 

"Permisiii... selamat pagiii..." 

Suara dari luar mengejutkan mbok Sumi yang sedang mengumpulkan baju-baju kotor. Ia bergegas kedepan dan membuka pintu. Dilihatnya seorang gadis cantik berdiri didepan pintu.

"Ya non, mau cari siapa ya?"

"Bagas ada?"

"Oh, mas Bagas sudah dari pagi tadi, sama bapak."

"Sudah lama ?"

"Kira-kira sejam yang lalu non."

"Oh, ya sudah.. saya permisi."

"Sebentar non, nanti kalau saya ditanya, non ini siapa ya, dan ada perlu apa?"

  "Saya Kristin, teman sekantor Bagas."

"O, non Kristin ya, baiklah, nanti saya bilang sama mas Bagas, tapi sepertinya dia mau langsung masuk kerja. Tadi sudah membawa tas kerjanya, dan sudah memakai sepatu juga."

"Ya sudah, saya permisi dulu," kata Kristin sambil berlalu. Kesal karena Bagas sudah pergi lebih dulu, 

Kristin sudah menghilang bersama mobilnya, tapi simbok masih berdiri didepan pintu.

"Bocah kok cantiknya kaya begitu, badannya tinggi, ramping, hidungnya mancung, bibirnya tipis kemerahan, pipinya juga kemerahan.. Apa itu pacarnya mas Bagas ya. Tapi cocog juga kalau itu, mas Bagas kan ganteng, tinggi besar, pintar. Semoga bener ah.. aku akan senang kalau momonganku dapat gadis cantik seperti itu. Cuma sayangnya kok caranya berpakaian,.. wah.. nggak cocog aku, orang kaya apa kekurangan uang buat beli kain, masa pakai rok bawahan kok cuma sedikit dibawah pantat. Saru ah.. besok aku mau bilang sama mas Bagas supaya ditegur itu, caranya berpakaian. Sudah begitu baju atasnya juga terlalu rendah, sampai kelihatan lekuk-lekuknya. Ah, nggak jadi suka aku. Anak gadis berpakaian seperti itu, namanya nggak sopan."

Lalu simbok masuk kedalam dan menutupkan pintunya sambil masih geleng-geleng kepala.

 

*** 

 

 "Bagaaas, aku kan sudah bilang, bahwa aku mau nyamperin kamu.. kok kamu berangkat duluan sih?"

"Aku sekalian mengantar bapak, jadi pagi-pagi sudah berangkat."

"Aku tadi susah payah kerumah kamu.."

"Aku kan nggak minta mbak."

"Ya sudah, nanti pulangnya saja bareng aku, mobilku sudah jadi, tapi aku terlanjur membawa mobilnya papa. Biar nanti sopir membawanya pulang."

"Aku sudah membawa mobil sendiri mbak."

"Ya ampun Gas, kan kemarin kamu bilang kalau mobilnya dipakai bapak kamu."

"Nggak jadi, tadi bapak aku antar dulu, nanti pulangnya  biar naik taksi."

"Kasihan Gas, harusnya tadi biar aja mobilnya dibawa bapak kamu."

"Nggak apa-apa, bapak lebih suka jalan-jalan."

"Bagas..."

Aduh, kapan mulai bekerja kalau dia ngomong terus-menerus? Bagas pura-pura tidak mendengar, dan menyibukkan dirinya dengan membuka-buka laptop."

"Bagas..."

"Sebentar mbak, aku lagi bingung mecari file yang kemarin, lupa saya taruh dimana."

"Aku cuma mau  bilang... nanti siang makan bareng ya."

Bagas mengangkat kepalanya.

"Tidak mbak, ma'af, saya harus makan dirumah."

"Haa.. bolehkan aku ikut?"

Bagas terkejut. Bagaimana mungkin ada orang senekat ini? 

"Gas.."

"Ma'af mbak, tolong biarkan saya menyelesaikan pekerjaan saya." 

***

 

Basuki benar-benar mengajak pak Darmono kerumahnya. Rumah kecil tapi apik dan tampak mewah. Banyak tanaman bunga disekitar halaman depan. Agak mengherankan, rumah seorang bujangan tapi banyak pohon-pohon bunga disekitar.

"Bukan main.." gumam pak Darmono begitu turun dari mobil.

"Apanya om?"

"Kamu ini bilang masih bujangan, jarang rumah bujangan banyak ditumbuhi bunga-bunga  Kamu memang suka bunga-bunga?"

"Bukan, pembantu saya yang menanam dan merawatnya."

"Kamu disini bersama pembantu?."

"Iya, ibu-ibu tukang masak dan tukang bersih-bersih kebun."

"Oh, pantesan.. atau memang ini disiapkan untuk calon isteri?"

Basuki tertawa.

"Silahkan masuk om," 

Darmono masuk dan duduk disebuah sofa..

"Inilah om , rumah bujang lapuk.."

"Aku heran, mengapa kamu tidak segera mencari isteri?"

"Saya kan sudah bilang om, belum ada yang mau."

"Ah, bercanda kamu Bas. Masa nggak ada yang mau sama bos ganteng yang punya segalanya."

"Bener om.. belum ada yang mau."

"Aku tuh nggak ketemu mas Cokro sudah puluhan tahun. Waktu itu kamu masih remaja, dan nakalnya bukaa main."

Basuki tertawa, menampakkan sederet gigi yang terawat rapi. Sungguh, biarpun sudah tidak tergolong muda, tapi penampilan Basuki masih tetap menawan. Tubuhnya tinggi besar, rambutnya ikal. Matanya tajam.  Oh ya, kalau Darmono mengatakan bahwa dulu Basuki sangat nakal, memang benar, nakalnya juga bukan sembarang nakal. Dia pernah menghebohkan sebuah dusun di daerah Sarangan, gara-gara dia jatuh cinta kepada gadis dusun yang molek bernama si Sri. Dan kegilaannya itu sempat membawanya ke balik terali besi selama bertahun-tahun.

Darmono tak begitu mengetahui kejadian itu karena waktu itu dia masih di Jakarta, menunggui Bagas kuliah disana.

"Apa susahnya mencari isteri yang cocok buat kamu?" kata Darmono lagi.

"Belum menemukan lagi seperti yang Basuki idam-idamkan."

"Lagi? Berarti pernah jatuh cinta, atau pernah ditinggalkan kekasih.."

"Saya punya sejarah masa lalu yang buruk om. Tapi sudahlah, saya tak ingin mengungkit masa silam yang kelam itu lagi. Saya ingin mengarungi  hidup ini dengan melakukan hal-hal baik saja."

"Baiklah, aku juga tak ingin bertanya lebih lanjut. Tapi aku menyesal ketika mas Cokro meninggal aku tidak mendengarnya. Sepertinya waktu itu aku masih tinggal di Jakarta."

"Iya om.. Oh ya, om mau minum apa?"

"Tidak sudah minum tadi. Sekarang aku hanya ingin berbincang saja. Aku senang bisa ketemu kamu. Kamu mirip sekali dengan ayahmu."

"Masa sih..?"

"Benar, itu sebabnya tadi aku langsung mengenali kamu."

"Saya juga senang bisa bertemu dengan sahabat almarhum bapak."

"Kamu masih melanjutkan bisnis ayahmu? Mengelola perkebunan cengkeh?"

"Sekarang tidak seberapa besar seperti ketika bapak masih ada. Tapi ya lumayan om."

"Cepatlah cari isteri."

"Siap om. Tapi om belum menceritakan, putera om berapa? Cuma Bagas atau ada yang lainnya?"

"Cuma Bagas. Isteri om meninggal beberapa bulan setelah melahirkan Bagas."

"Lalu...?"

"Lalu om sendiri sampai sekarang, merawat Bagas dan menyekolahkannya sampai selesai."

"Oh, jadi om sendirian merawat Bagas yang masih bayi? Tidak berniat menikah..mm ma'af.. maksud saya supaya ada yang bisa membantu merawat Bagas bersama-sama?"

"Tidak, om punya pembantu yang amat setia, yang merawat Bagas dari bayi sampai sekarang. Namanya mbok Sumi."

"Oo.."

"Tapi aku tidak bisa lama-lama disini Bas, aku harus segera pulang. Kalau kamu repot aku bisa naik taksi."

"Tidak, tidak .. saya akan mengantarkan om, sekaligus ingin melihat rumah om, supaya kalau suatu hari ingin berbincang lagi dengan om, tidak usah mencari-cari."

***

"Bagas... Bagas..!" Kristin memanggil-manggil Bagas diruangannya, tapi tidak ketemu.

"Gimana sih  Bagas.. pasti dia telah pulang lebih dulu dan sengaja tidak mengajak aku. Dasar, laki-laki sombong !" omel Kristin sambil keluar dari ruangannya.

Rupanya Bagas memang sengaja pergi ketika Kristin tidak ada ditempatnya,  supaya tidak memaksa untuk ikut bersama dia.

Tapi sebelum sampai di parkiran, Kristin bertemu dengan ayahnya.

"Kristin, kamu mau pulang makan?"

"Iya. Papa mau ngapain kesini?"

"Nggak apa-apa, ingin melihat hasil kerja kamu setelah papa menyerahkan perusahaan ini ke tangan kamu."

"Semuanya beres dong pa.."

"Ya sudah, kita omong-omong nanti sambil makan siang. Kamu mau makan dimana?"

"Terserah papa saja."

"Aku dengar, kemarin waktu ada tamu  ada masakan yang dipuji-puji tamu kita., Benarkah?"

"Oh, itu timlo langganan Bagas."

"Papa jadi ingin makan disana."

"Papa, itu warung, bukan restoran." protes Kristin karena keberatan kalau harus makan di warung.

"Tidak apa-apa, biar cuma warung kalau masakannya enak. Ayo, dimana alamatnya?"

"Kristin tanya dulu alamatnya pada Bagas, oh tidak, orang pantry pasti tau. Sebentar ya pa."

***

Tapi Bagas tidak benar-benar pulang ke rumah. Dia ke warung Mery seperti hampir setiap hari dilakukannya. Dan selalu setiap makan pasti minta agar Mery menemaninya.

"Anak manja, mengapa kemarin nggak jadi kesini, aku benar-benar belum pulang karena kamu bilang mau datang."

"Iya mbak, gara-gara bos genit itu, aku pulang kesorean."

"Meetingnya belum selesai?"

"Bukan, harus nganterin bos pulang, udah gitu, hampir sampai dirumahnya, dia bilang kunci rumah tertinggal di kantor. Jadi aku harus balik lagi ke kantor karena kunci tertinggal itu."

"Asyik dong.."

Bagas cemberut.

"Tapi dia cantik bukan alang kepalang, mengapa kamu tidak suka sih?"

"Sebel aku sama dia, sukanya maksa-maksa.. "

"Kamu jadi mau resign?"

"Jadi sih, tapi bapak masih menghalangi, gara-gara rasa berhutang budi sama pak Suryo."

"Berhutang budi?"

"Iya, apa aku belum  pernah bilang, bahwa aku diterima bekerja karena ayahnya Kristin itu teman sekolahnya bapak."

"O, gitu. Memang tidak enak orang berhutang budi."

"Tadi pagi tuh, bapak juga ketemu sama anak temannya. Kalau itu teman SMP,  Dia juga pengusaha kaya, aku mau bilang minta pekerjaan sama dia."

"Oh, baguslah, mengapa tidak dicoba?"

"So'alnya aku tadi terburu-buru mau masuk kerja. Orangnya ganteng, tinggi besar, dan kata bapak, ayahnya dia itu pengusaha sukses. Namanya...."

"Bagaaas !" tiba-tiba sebuah teriakan menggema di seantero warung makan itu, membuat beberapa orang yang sedang makan menoleh kearahnya. Seorang gadis cantik menggandeng ayahnya masuk.

Bagas terkejut bukan alang kepalang.

Tiba-tiba Kristin muncul diwarung itu bersama ayahnya."

***

besok lagi ya.

 

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 02

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  02

(Tien Kumalasari)

 

"Wah.. pesan mendadak begini kalau jadi keterusan bisa repot aku.." gumam Mery.

"Nggak apa-apa mbak, kan cuma tamu sepuluh.. aku bantu, masak dirumah saja, bukankah  untuk makan siang?"

"Iya sih.. tapi harus diingatkan nih orang, kali ini sepuluh.. lain kali limapuluh, apa nggak repot.. Eh tunggu, nih kirim alamat..  ooh.. alamat kantor.. diminta jam duabelas.. timlo dan kelengkapannya dilengkapi lauk pauk, plus buah dan.. oh.. ada makanan lain dari catering lain juga rupanya...  Yaah, buahnya minta mas Timan saja.. "

"Baru datang jeruk sama semangka mbak.. seger itu.."

"Hm... ini pemaksaan, tapi ya sudah.. aku sudah bilang sanggup."

"Iya mbak, besok aku yang masak deh.. "

"Tiwi bagaimana ?"

"Tiwi sudah besar, nggak nakal kok.. asalkan dia kenyang, dikasih mainan.. beres."

"Aku akan belanja pagi-pagi. Biarpun pesen hanya sepuluh porsi, tapi ini langganan baru, jangan sampai mengecewakan."

"Bener mbak.. siapa tau nanti bisa menjadi langganan.."

Besok jam sebelas aku juga bisa pulang dulu, supaya bisa ikut membantu mengantarkan pesanan," kata Timan menimpali.

"Tidak usah mas, cuma sedikit, mobilku saja cukup, nanti aku minta salah seorang karyawan membantu menurunkan dan mengatur disana, katanya untuk prasmanan." 

"Ya sudah, tapi kalau butuh bantuan jangan sungkan lho mbak."

"Iya mas.. "

 

***

 

"Tilpun siapa malam-malam?" tanya pak Darmono.

"Dari Kristin, besok ada tamu, katanya mau ketemuan direstoran.. tapi akhirnya minta di kantor saja. Kristin ribut nyuruh anak buahnya memesan masakan, salah satunya Bagas usul timlo."

"Oh, enak itu timlo, dimakan anget-anget gitu. Jadi ingat, besok simbok tak suruh masak timlo saja."

"Nggak usah pak, besok Bagas saja yang belikan. Ada warung timlo langganan Bagas yang gini pak," kata Bagas sambil mengacungkan jempolnya.

"Oh ya, ya sudah nggak apa-apa, tapi kamu kan ada acara di kantor, nanti bapak harus nunggu sampai jam berapa?"

"Akan Bagas suruh kirim kerumah, pokoknya bapak tenang saja."

"Baiklah kalau begitu, makan siangnya nunggu kiriman saja."

Bagas membuka ponselnya dan mengirim pesan singkat.

"Beres bapak, besok pasti dikirim kerumah."

"Itu yang kamu pesan untuk kantor kamu juga?"

"Iya, bukan Bagas yang pesan, Bagas suruh orang kantor yang pesan. Tapi itu langganan Bagas, dan dijamin tidak mengecewakan.

"Ya sudah, kamu baik-baik ya kerjanya, jangan berfikir untuk resign, pekerjaan itu harus ditekuni.  Pada awalnya mungkin terasa tidak enak, tapi lama-lama kamu akan terbiasa dan bisa menjalaninya dengan baik."

Bagas tak menjawab. Yang membuat tidak kerasan bukan pekerjaannya, tapi ia  tak ingin berdebat dengan ayahnya. Ia bertekat akan mencari pekerjaan baru dulu, baru resign dan baru akan bilang pada ayahnya.

 

***

 

Mery sudah selesai menata makanan yang dipesan dimeja yang sudah ditunjukkan. Ia juga sudah menerima pembayaran, dua kali lipat dari harga yang ditulisnya dinota. Tidak apa-apa, itu sudah dijanjikan ketika pesan, dan memang harganya berbeda karena pesannya sangat mendadak. Sekarang ada satu pesanan lagi kesebuah rumah. Ia tidak tau kalau pesanan itu untuk ayahnya Bagas.

Mery hampir menaiki mobilnya ketika sebuah suara mengejutkannya.

"Hallo, mbak cantik.."

"Ya ampuun... Bagas?"

"Iya, aku yang menyuruh pesan ketempat mbak Mery. "

"Kamu bekerja disini ?"

"Iya, syukurlah mbak Mery mengirim lebih awal. Sebentar lagi tamu kami datang."

"Terimakasih , semoga tidak mengecewakan."

"Tidaklah, aku percaya sama mbakku yang cantik ini."

"Ya sudah, aku pamit dulu... sekali lagi terimakasih ya."

"Nanti dulu, kenapa buru-buru?"

"Bagas, aku kan harus ke warung? Ini juga masih mampir ada lagi satu pesanan untuk rumah, nggak apa-apa, walau cuma dua porsi, sekalian jalan so'alnya."

"Bagas !!" suara teriakan itu membuat Bagas menoleh, dilihatnya Kristin melambaikan tangannya dari arah depan kantor."

"Hm, lihat tuh.. bos sudah ribut baru ditinggal sebentar saja."

"Oh.. itu.. cantik dan sexy..  seneng dong."

"Hihh, mbak Mery kan sudah tau aku nggak suka sama dia."

"Bagaaas !" Kristin berteriak lagi.

"Ya sudah, aku pergi dulu ya.."

"Aku nanti kesana mbak !" 

Mery menaiki mobilnya dan berlalu, Bagas menatapnya sampai mobil itu hilang dibalik pagar kantornya.

Baru kemudian Bagas membalikkan tubuhnya mendekati Kristin.

"Kamu kenal sama dia?"

"Ya kenal, kan dia yang punya warung timlo. Barusan dia menata diruang makan."

"Cantik, masih muda."

"Iya, cantik." kata Bagas sambil tersenyum senang, lalu berjalan masuk beriringan dengan sang bos cantik.

"Kalau pemilik warung wajahnya cantik, pasti warungnya ramai didatangi banyak orang," kata Kristin sambil berjalan kearah ruang kantornya.

"Nggak juga. yang penting bukan wajahnya, tapi masakannya. Disana memang enak, sekali-sekali mbak boleh mencoba."

"Makan diwarung ?" kata Kristin sambil menyipitkan matanya. Bagi pengusaha kaya, makan diwarung sungguh memalukan.

"Memangnya kenapa?"

"Nggak pernah terpikirkan aku makan diwarung."

"Iya, mbak seringnya makan direstoran mewah.." kata Bagas sambil terus berjalan kearah belakang. Dia ingin melihat sekali lagi tatanan diruang makan, karena tak lama lagi tamu-tamunya datang, lalu meeting setelahnya.

 

***

 

"Selamat siang," Mery mengucapkan salam begitu sampai didepan pintu  rumah keluarga Darmono. 

Seorang perempuan setengah tua keluar.

"Ya.. selamat siang," sapa mbok Sumi.

"Mau mengantarkan pesanan," kata Mery, lalu pembantunya menyerahkan rantang berisi timlo dan lauk pauk.

"Oh baiklah."

"Ini ibu?" tanya Mery yang mengira mbok Sumi pemilik rumah. Maklum, simbok ini  tampak bersih dan berpakaian rapi.

Simbok menutup mulutnya dan tertawa.

"Bukan, ibu sudah duapuluh tahun lebih meninggal. Saya ini pembantu mbak."

"Oh, ma'af."

"Oh, ini timlo?" kata pak Darmono yang tiba-tiba muncul.

"Iya pak."

"Bawa kebelakang mbok, aku sudah menunggu dari tadi."

Simbok membawa rantang itu kebelakang.

"Berapa saya harus bayar?"

"Nanti mau dibayar di warung, kata yang pesan."

"Oh, anak saya Bagas pastinya. Terimakasih banyak."

Mery tertegun. Jadi yang pesan Bagas? Dan ini orang tua Bagas. Keterlaluan anak itu, tidak mau berterus terang kalau ini untuk bapaknya, kata Mery dalam hati.

Ketika dalam perjalanan ke warung Mery terus berfikir tentang Bagas. Ia sangat suka pada Mery. Padahal dia jauh lebih muda dari Mery. Dan berkali-kali diingatkan tentang usia, Bagas tak mau peduli. Tapi Mery menganggapnya itu seperti sebuah permainan. Apakah karena Bagas tak lagi mempunyai ibu sehingga menyukai seorang gadis yang lebih tua darinya? Itu bisa saja terjadi. Bagas hanya ingin  menemukan sosok seorang ibu. Pantaslah kalau dia selalu manja setiap kali ada didepannya. Rasa kasihan kemudian menghinggapi perasaan Mery. Sudah duapuluh tahun lebih ibunya meninggal dan kasih sayang seorang ibu tak pernah didapatkannya.

 

***

 

Setelah acara makan siang itu hampir semua tamu yang datang memuji timlo yang disajikan. Bahkan beberapa tamu minta nomor kontaknya, yang dengan senang hati Bagas memberikannya.

Pertemuan itu baru berakhir setelah jam tiga. 

Bagas sedang bersiap untuk pulang ketika tiba-tiba Kristin mendekatinya.

"Bagas, nanti aku pulangnya ikut kamu ya."

"Memangnya mobil mbak Kristin kemana ?"

"Agak rewel, tadi aku suruh membawa ke bengkel."

"Tapi aku ada perlu.. nanti mbak kelamaan."

"Tidak, kemanapun kamu mau pergi, aku ikut."

Bagas merasa tidak enak, padahal dia janji mau mampir ke warungnya mbak Mery. Bagaimana kalau keburu tutup? Tapi sebenarnya Bagas kesal. Kalau Kristin mau, dia bisa saja meminta agar ayahnya menyuruh menjemput. Ada beberapa sopir perusahaan juga. Tampaknya memang Kristin ingin pulang bareng dirinya.

"Nggak apa-apa kan Gas?"

"Baiklah, aku antar mbak Kristin dulu saja."

"Terimakasih Bagas.." Kristin tampak gembira.

Kristin membenahi meja kerjanya, ketika telpon dimejanya berdering.

"Hallo.."

"Kris.. papa dengar mobil kamu dibengkel?" suara pak Suryo dari seberang.

"Iya pa.. sudah tadi siang, tampaknya belum siap juga."

"Biar papa suruhan menjemput kamu."

"Tidak pa, tidak usah dijemput, Kristin mau bareng Bagas saja."

"Kamu merepotkan orang."

"Tidak pa, Bagas mau kok."

Bagas yang mendengar Kristin menolak dijemput jadi bertambah kesal. Wajahnya muram ketika ia mulai mengangkat tas kerjanya dan bersiap keluar dari ruangannya.

"Eit.. sudah dulu pa, Bagas sudah menunggu."

Kristin menutup telponnya dan bergegas menyusul Bagas yang sudah membuka pintu ruangan. Dengan santai Kristin melingkarkan tangannya dilengan Bagas, tapi dengan halus Bagas melepaskannya.

"Bagas kok gitu.." rengut Kristin.

"Nggak enak dilihat karyawan lain. Nanti dikira kita ada apa-apa."

"Memangnya kenapa kalau ada apa-apa?"

"Jangan begitu mbak, aku jadi nggak enak..," kata Bagas yang melangkah lebih cepat, membuat Kristin sedikit tertinggal karena sepatu dengan hak tinggi membuatnya tak bisa berjalan cepat.

"Bagaas, tungguiin..."

Bagas tak mengacuhkannya, ia bahkan mengambil ponselnya, berlagak sedang menelpon seseorang.

"Bagas.." agak tersengal Kristin mengejarnya.

***

Perempatan didepan itu belok kiri, dan sampailah dirumah Kristin, tapi tiba-tiba Kristin berteriak.

"Aduh Gas, ada yang lupa..."

Bagas menoleh kearah Kristin.

"Kunci ketinggalan di kantor."

"Apa?"

"Kunci rumah Gas, aku nggak bisa masuk dong."

Kristin memang tinggal berpisah dengan orang tuanya. Ia tinggal dirumah mungil tapi indah agar bisa belajar hidup mandiri. Ayahnya yang menyuruh. Hanya ada pembantu yang datang pagi dan pulang ketika sore harinya.

"Apa maksud mbak? Kita harus kembali ke kantor lagi?"

"Iya Gas, tolonglah.. please..please...jam segini pasti pembantuku sudah pulang, dia membawa kunci sendiri." kata Kristin sambil merangkapkan kedua tangannya.

Bagas benar-benar kesal, wajahnya gelap seperti langit tertutup mendung. Seandainya Kristin bukan atasannya pasti dia sudah menurunkannya dijalan.

"Tadi ketika mau pulang papa menelpon, dan kamu sudah mau keluar ruang, aku tergesa-gesa dan kunci tertinggal dimeja."

"Mengapa kunci rumah bisa tertinggal dimeja kantor?" sesal Bagas, agak ketus.

"Iya, soalnya kan jadi satu dengan kunci laci mejaku."

Bagas terpaksa memutar mobilnya untuk kembali. Jarak ke kantor sekitar tiga kilometer, dan mereka terpaksa kembali.

Kristin tersenyum senang, tak peduli pada wajah Bagas yang gelap dan mengemudikan mobil dengan kencang.

"Wouww.. kamu jagoan  ngebut juga ya Gas, hebat, aku suka. Tapi hati-hati, jalanan rame, aku sih suka kalau kita mati berdua," kata Kristin seenaknya.

Bagas tak menjawab. Ia hanya teringat mbak Mery. Ia akan menyesal kalau nanti sesampai disana lalu warungnya sudah tutup. 

 Begitu sampai di kantor Bagas hanya menunggu diluar. Tak sabar Bagas menelpon mbak Mery.

"Hallo mbak.."

"Hallo, ini siapa ya?" jawab Mery, dia tak tau nomor kontak Bagas karena tak pernah menanyakannya. Itu pula sebabnya ketika Bagas mengirim pesan singkat agar mengirim timlo untuk ayahnya dia juga nggak tau bahwa itu orang tua Bagas.

"Masa nggak ingat suaraku sih?"

"Bagas ya? Ada apa?"

"Sudah tutupkah ?"

"Hampir, ini lagi siap-siap."

"Aduuh, tungguin aku dong."

"Kamu itu ngapain, daganganku sudah habis."

"Nggak apa-apa, cuma pengin ketemu mbak Mery saja."

"Bagas, jangan seperti anak kecil."

"Tuh kan, pasti bilang begitu deh."

"Kamu juga nggak bilang kalau yang harus dikirim kerumah itu untuk ayah kamu."

Bagas tertawa.

"Kejutan, biar mbak Mery kenal sama calon mertua," kata Bagas seenaknya.

"Bagas!!"  kata Mery setengah berteriak mendengar Bagas menyebut bahwa ayahnya adalah calon mertuanya.

Tiba-tiba pintu mobil dibuka, dan Kristin sudah duduk disampingnya.

"Sudah selesai, ayuk.."

"Ya sudah, aku kesitu besok saja..."

Bagas menutup ponselnya dan menjalankan mobilnya. Wajah yang ketika mengangkat ponsel tampak cerah, kembali muram begitu Kristin duduk disampingnya.

"Menelpon siapa?"

"Ada..." jawab Bagas.

Lalu Bagas kembali memacu mobilnya. Ia harus segera melemparkan sang bos cantik kerumahnya.

Begitu sampai dirumah, Bagas segera meminta Kristin untuk turun, karena dilihatnya gadis itu belum juga bergerak untuk membuka pintu untuk keluar.

"Kita sudah sampai kan?" kata Bagas tanpa memandang kearah samping.

"Ya, ada lagi satu permintaan, maukah besok pagi nyamperin aku sa'at berangkat ke kantor?"

Bagas terkejut. Rumahnya tidak searah, mengapa harus nyamperin? Tapi harus ada cara untuk menolak, dan Bagas menemukannya.

"Ma'af mbak, besok aku tidak naik mobil."

"Kenapa? "

"Mobilnya mau dipakai bapak."

Kristin terdiam. Tapi kata-kata berikutnya justru membuat Bagas lebih kesal lagi.

"Kalau begitu besok aku saja yang nyamperin kamu, aku mau pinjam mobil papa saja." kata Kristin sambil turun, tanpa memberi kesempatan kepada Bagas untuk menolaknya.

Bagas memukul setir mobilnya dengan keras, sebelum kemudian memacunya pulang.

"Gadis gila!" umpatnya.

 

***

Hari masih pagi ketika Bagas meminta ayahnya menemani jalan-jalan pagi. Bukan jalan sih, karena mereka mengendarai mobil juga. Bagas ingin menghindari Kristin kalau sampai benar-benar nyamperin kerumah ketika berangkat kerja.

"Kemana kita Gas?"

"Putar-putar kota pak, udara pagi itu segar kan?"

"Tumben. Biasanya kamu bangun siang, bahkan tidak pernah tau kalau papa setiap pagi jalan-jalan muter kampung sendiri."

"Iya ?"

"Kamu bangun siang, papa sebelum subuh sudah bangun."

Bagas tertawa.

"Bapak mau makan cabuk rambak ?"

"Haa.. itu makanan yang sudah lama bapak tidak makan. Mau dong."

"Baiklah, tapi nanti makannya duduk di tikar, sambil bersila, dan tempat makannya adalah pincuk."

"Bagas, bapak itu sejak masih muda sudah sering jajan ditempat begitu. Sudah tau kalau cabuk rambak enaknya dimakan diatas pincuk, lalu ada kerupuk karak yang sedikit gosong.."

"Iya, tapi kalau makan bersama Bagas ditempat begitu kan belum pernah?"

Bagas menghentikan mobilnya dijalan Coyudan. 

"Lho, itu sudah ada pembelinya. Penjualnya sudah tua, dulu aku sama ibumu suka jajan disitu," kata pak Darmono sambil keluar dari mobil.

Sudah ada seorang laki-laki duduk diatas tikar itu, yang kemudian mengangguk kearah mereka.

"Silahkan pak."

Tiba-tiba pak Darmono berteriak.

"Lho, kamu Basuki kan ?"

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 


Thursday, June 25, 2020

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA 01

CINTAKU ADA DIANTARA MEGA  01

(Tien Kumalasari)

 

Mery sibuk di warungnya, warung yang dirintisnya sejak lima tahun lalu, dan selalu ramai pembeli. WARUNG TIMLO MBAK MERY,  terkenal karena citarasanya yang berbeda dan bikin ketagihan, kata para langganan. Mery sudah bisa beli mobil sendiri, biarpun bekas tapi masih bagus, tapi dia masih menumpang dirumah Timan, suami Sri, sahabatnya. Ia menyewa sebuah tempat didekat pasar untuk membuka warungnya.

Mery sedang melongok keluar setelah mengawasi pegawainya yang sedang menata pesanan, ketika tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki yang sudah selesai makan, lalu berdiri dan melangkah keluar. Mery tak sempat melihat wajahnya karena sejak datang dia duduk menghadap kejalan. Ia hanya menatap pungungnya yang tampak tegap, dan mengingatkannya akan seseorang.

Seseorang, yang pernah dicintainya, yang kemudian dilupakannya karena perilakunya yang membuatnya kecewa.

"Pasti bukan dia, mana mau orang berduit makan diwarung seperti ini," gumamnya.

"Siapa bu? Ibu kenal?" tanya Mini, salah seorang pembantunya.

"Ah, tidak, bukan siapa-siapa."

"Bapak yang barusan keluar itu sangat royal. Kembalian limapuluh lebih  tidak diminta, diberikan kepada pelayan," kata Mini lagi.

"Oh ya, baguslah. Berarti dia baik hati."

"Baik hati dan banyak duit."

Mery mengangguk dan tersenyum. Apakah dia? Ah, Mery benci akan ingatan itu. Bukankah dia tidak pernah mencintainya? Yang dilakukannya hanyalah kobaran nafsu. Pelampiasan yang sebenarnya adalah pamrih. Pamrih ingin menguasainya, dan membantunya melakukan apa yang diinginkannya.

"Bu, ada yang ingin bertemu ibu," kata salah seorang karyawan ketika mendekatinya.

"Siapa?"

"Itu, biasa, yang suka memakai mobil merah," kata karyawan itu penuh arti.

"Aduh, bilang saja aku tidak ada di warung."

"Ibu gimana, saya sudah bilang bahwa ibu ada."

"Hm.. kamu itu," gerutu Mery sambil berdiri. Bagaimanapun ia tak ingin mengecewakan langganan, dan laki-laki muda bermobil merah itu adalah langganan tetapnya. Setiap sa'at makan siang pasti dia datang dan makan di warungnya.

Mery melangkah keluar, mendekati meja dimana  laki-laki muda itu menunggunya sambil tersenyum-senyum.

"Hm, masih anak-anak, apa sih maunya selalu minta ditemani setiap kali makan?" batin Mery sambil mendekat, lalu duduk didepan anak muda itu.

"Hallo, mbak cantik... "

"Iih, apa sih kamu, setiap kali makan pasti manggil-mangil aku."

"Iya nih, nggak enak kalau makan nggak ditungguin mbak."

"Manja."

Laki-laki muda itu tertawa, dan sesungguhnya tawa itu manis sekali. Mery memalingkan wajahnya agar tidak tenggelam dalam pemandangan didepan matanya yang selalu mampu mengaduk-aduk hatinya. Bukannya Mery tak suka, tapi Mery merasa sudah terlalu tua untuk laki-laki ganteng didepannya. Cintanya bukan disitu, tapi terselip diantara mega, entah kemana angin akan membawanya.

"mBak Mery tau nggak, masakan mbak itu enak sekali."

"Terimakasih..."

"Kok terimakasih sih?"

"Lha aku suruh jawab apa, dipuji ya bilang terimakasih."

"Senyum dong.."

"Eh, kamu itu anak kecil sukanya nggodain orang tua ya."

"mBak Mery kok selalu bilang kalau aku anak kecil sih, aku tuh sudah jadi sarjana bertahun lalu lho."

"Iya, lalu kenapa? Menurut aku, kamu itu tetap saja seperti anak kecil, manja dan..."

"Dan menggemaskan..."  potong anak muda itu.

Mery mencibir.

"Iih, mbak Mery kalau mencibir tambah cantik lho."

"Kamu itu maunya makan apa ngoceh sih.. dari tadi ngomong melulu.."

"Iya, aku kan sudah makan, maunya pelan-pelan, so'alnya kalau cepet habis mbak Mery pasti segera mengusir aku."

"Aku tuh ya, pekerjaanku banyak dibelakang."

"Bos kok bekerja sih, bos itu ya tinggal perintah.. komando.. "

"Enak aja.. "

"Aku sebenarnya lagi sedih nih mbak.."

"Kenapa?"

"Aku tuh kan kerja disuatu perusahaan, bosku itu perempuan.. eh.. dia ngejar-ngejar aku terus mbak, aku bingung."

"Ya baguslah, bekerja belum lama sudah disukai bos."

"Aku nggak suka mbak."

"Apa dia tidak cantik?"

"Terlalu cantik, seperti boneka barby.."

"Bagus itu.. mana ada laki-laki disukai wanita cantik kok malah sedih."

"Namanya nggak suka mbak, dandanannya itu lho, aduuh... nggak.. nggak.. aku lebih suka gadis yang sederhana, tidak banyak tingkah... seperti mbak Mery ini."

"Bagas.. kamu itu sudah berapa kali bilang begitu?"

"Dan sudah berapa kali mbak Mery menolaknya?"

"Aku itu sudah terlalu tua untuk kamu Bagas., sadari itu. Kamu akan menyesal nanti."

"Nggak, mana mungkin aku menyesal kepada pilihanku sendiri?"

"Kamu belum tau siapa aku."

"Aku sudah tau.."

"Beluuuum..."

"mBak Mery kok gitu."

"Sudah, habiskan makanannya.. ini sudah jam satu lebih, nanti kalau terlambat kembali ke kantor bisa ditegor sama bosmu."

"Aku mau resign saja."

"Lhoh.. bekerja belum lama kok mau resign."

"Mau jadi pegawainya mbak Mery saja, biar bisa ketemu setiap sa'at."

Aduuh, Mery benaar-benar mengeluh menghadapi Bagas yang nekat. Iya sih, Mery memang cantik. Tubuhnya padat berisi, tinggi semampai. Hidung mancung, mata bulat dan bibir tipis yang selalu mengulaskan senyum, membuat banyak lelaki tergoda. Namun Mery tak pernah menanggapinya. Dia selalu merasa tua, dan tak pantas jatuh cinta, padahal umurnya baru tigapuluhan lebih. Ada cinta yang digenggamnya dan tak pernah lepas dari angannya. 

"mBak, aku benar-benar bingung nih .."

"Kamu itu laki-laki, kalau tidak suka ya bilang saja tidak suka, beres kan."

"Susah, dia nempel terus kayak perangko."

"Enak dong ditempel bos cantik."

"Aku benar-benar mau resign, ini bulan terakhir. Mau cari pekerjaan lain saja."

"Ya sudah, pilih yang terbaik, tapi pikirkan masak-masak sebelum bertindak."

***

"Bagas.. kok baru kembali? Kamu makan dimana sih, tadi aku ajak makan siang bersama nggak mau", kata Kristin sang bos cantik, sambil cemberut. 

Bagas memalingkan muka. Wajah cantik menawan itu sesungguhnya tetap saja cantik walau cemberut, tapi Bagas tak pernah menanggapinya. 

"Ma'af mbak, terlanjur kencan sama teman."

"Perempuan?"

"Mmm.. ya..," tiba-tiba Bagas ingin memanas-manasi Kristin.

"Oouww... pacar?"

"Hm..emh... " kata Bagas sambil duduk didepan meja kerjanya.

Kristin mengejarnya lalu duduk dihadapan Bagas. Menatapnya tak berkedip.

"Kamu sudah punya pacar, Bagas?"

"Ah, sudahlah mbak, saya boleh melanjutkan pekerjaan saya ?"

"Aku tidak percaya. mana berani kamu pacaran? Tapi itu sebabnya aku suka kamu. Polos dan tidak neko-neko." kata Kristin sambil membalikkan tubuh, kembali ke meja kerjanya. Bagas sedikit kesal, mengapa dia ditempatkan satu ruang dengan wanita cantik tapi tampak ganas ini.

"Besok kamu akan bertugas bertemu klient di rumah makan... mm.. aku lupa dimana, nanti aku lihat dicatatanku. Jam sebelas siang."

"Ya.." jawab Bagas singkat, kemudian menekuni lagi pekerjaannya.

 

*** 

Bagas duduk diruang tengah rumahnya sambil melihat televisi, tapi ia seperti tak menikmati acara yang terpampang didepannya. Ia merasa tersesat telah masuk kedalam perusahaan yang dipimpin seorang gadis genit dan pesolek. Padahal tanpa bersolekpun harusnya dia sudah cantik. Kesalnya lagi dia selalu ingin mendekatinya.

"Bagas, " tiba-tiba terdengar ayahnya memanggil.

Bagas hanya hidup bersama ayahnya. Ibunya meninggal sejak dia masih bayi, dan setelah itu ayahnya tak mau menikah lagi. Dia membesarkan sendiri anaknya, dibantu oleh pembantunya yang setia, mbok Sumi.

"Bagas.."  pak Darmono, ayahnya mengulangi panggilannya karena Bagas tak segera beranjak.

Bagas berdiri dan berjalan mendekati ayahnya, yang rupanya sudah duduk didepan meja makan.

"Ya  bapak.."

"Kamu tidak lapar?"

"Iya.. lapar bapak."

"Duduk dan mari kita makan, simbok masak enak hari ini."

"Iya bapak."

"Bagaimana pekerjaan kamu?"

"Baik, tapi Bagas kurang suka."

"Apa yang membuat kamu tidak suka? Memang orang bekerja itu banyak tidak enaknya, minimal diperintah oleh atasan. Ya kan?" kata pak Darmono sambil menyendok nasinya.

"Bukan itu."

"Lalu apa?"

"Lingkungan kerjanya, teman sekerjanya.."

"Bukankah nak Kristin itu gadis yang sangat cantik. Katanya kamu satu ruang dengan dia."

"Bagas tidak suka. Mengapa dulu bapak menyuruh Bagas melamar kesitu?"

"Karena bapak kenal sama pemiliknya, Bapaknya Kristin itu kan teman sekolah bapak."

"Oh, jadi Bagas diterima karena bapaknya Kristin itu teman bapak?"

"Memangnya kenapa? Cari pekerjaan itu susah, kalau kita tidak kenal sama orang dalam, tidak mudah mendapat pekerjaan itu."

Bagas terdiam, pura-pura menikmati makanan yang disuguhkan simbok. Bapaknya tak pernah memberitau tentang kedekatannya dengan pak Suryo.

"Simbok selalu masak enak, ya kan?"

"Bagas mau resign saja pak."

Pak Darmono menghentikan suapan yang hampir masuk kemulutnya.

"Apa maksudmu ?"

"Mau cari pekerjaan lain saja pak."

"Jangan seenaknya kamu. Bapak jadi nggak enak sama pak Suryo dong. Susah-susah bapak minta supaya kamu diterima, baru sebulan saja kamu sudah mau resign. Memangnya mudah cari pekerjaan itu?"

Bagas diam. Ia tak mengira bahwa ayahnya terikat dengan budi baik yang diberikan pak Suryo, ayahnya Kristin.

"Pertahankan dulu, jangan tergesa-gesa resign. Nggak enak sama pak Suryo aku .."

***

 

Mery memasuki rumah Timan ketika hari sudah malam. Warungnya buka sekitar jam sebelas, dan tutup sore hari sekitar jam empat. Selama ini dia masih menumpang dirumah Timan, karena Sri sahabatnya memintanya begitu. 

"Kok baru pulang mbak?" sapa Sri begitu Mery masuk kerumah.

"Tadi banyak bahan bumbu yang habis, aku belanja dulu."

"Oh, pantesan."

"Aku mandi dulu, aku belanja sekalian untuk kamu memasak besok pagi," kata Mery sambil mengulurkan bungkusan belanjaan.

"mBak Mery selalu begitu deh, kan mas Timan itu kerjanya di pasar, bisa aku titipin belanja kalau aku butuh."

"Kasihan mas Timan dong, dia bekerja, melayani pembeli, masih disuruh belanja juga. Sudah, jangan rewel. Kalau ada yang kurang bilang saja," kata Mery langsung masuk kekamarnya, kemudian mandi.

Sri membawa bungkusan kearah dapur. Dilihatnya suaminya sedang menggendong Tiwi dari kamar. Tiwi itu anaknya Sri, yang sudah berumur tiga tahun.

"Kok sudah bangun?"

"Minta minum, katanya."

"Oh, sayang.. sini sama ibu."

Sri meraih Tiwi dari gendongan suaminya.

"Tadi seperti mendengar suara mbak Mery. Baru pulang dia?"

"Iya, tuh.. belanja macam-macam buat aku masak besok."

"Selalu mbak Mery begitu. Padahal dia makan hanya pagi sama malamnya saja."

"Iya tuh, aku sudah melarangnya lho."

"Ibu... minum..." rengek Tiwi.

"Oh.. iya.. iya.. yuk.. ibu buatkan dibelakang ya."

Timan mengacak rambut Tiwi sebelum isterinya menggendongnya kebelakang. 

***

 

Malam itu setelah Tiwi tidur, Timan dan isterinya serta Mery duduk diruang tengah. Biasanya begitu, sebelum ngantuk mereka pasti berbincang, sambil menonton televisi, atau bercanda tentang apa saja. Mereka memang  keluarga yang bahagia.

"mBak, yang suka nemuin mbak di warung itu masih suka kesana?" tanya Sri tiba-tiba.

"Yang mana sih?"

"Itu, yang mbak bilang pakai mobil merah."

"Oh, dia.. memang tiap hari dia kesana."

"Tampaknya dia jatuh cinta sama mbak."

"Aku tuh ingin tertawa kalau ingat sikap dia. Aku kan sudah tua, masa harus bercintaan sama anak-anak begitu."

"Masa sih anak-anak?"

"Iya, umurnya paling duapuluh tiga atau duapuluh lima begitu, sedangkan aku? Sudah tua  nih, rambutku sudah ada ubannya."

"Uban itu bukan berarti tua, ada lho, masih muda sudah ubanan.."

"Aku merasa nggak pantas lagi. Pokoknya nggak akan memikirkan cinta, yang penting cari duit dulu. Supaya aku bisa beli rumah, dan tidak bikin repot kamu terus."

"Eeh.. siapa yang repot, aku malah suka kalau mbak Mery ada disini. Ya kan mas?" kata Sri kepada suaminya yang asyik melihat berita.

"Apa?"

"Huh, dia tuh kalau orang lagi ngomong nggak pernah merhatiin deh." 

"Oh, iya.. aku mau bilang jadi lupa.. tadi tuh aku ketemu dia.."

"Dia siapa?"

"Siapa namanya, lupa aku.. mm.. yang menculik kamu itu lho Sri.."

"Yang menculik Sri itu aku kan mas Timan?" potong Mery.

"Bukan itu..aduh.. mm... Basuki... "

Mery terkejut.

"Benar aku melihat sedang berjalan di pertokoan."

"Mas berhenti dan bicara sama dia?"

"Ya enggak, aku sudah pengin segera sampai rumah ketemu Tiwi.. lagipula kalau bicara mau bicara apa?"

"Jadi dia sudah keluar dari penjara?"

"Sudah lah.. kalau belum masa bisa jalan-jalan."

Mery diam. Ia teringat punggung laki-laki tinggi besar yang keluar dari warungnya. Benarkah dia? Tahukah dia bahwa dia ada diwarung itu?

Tiba-tiba ponsel Mery berdering.

"Tuh mbak.. ada yang menelpon."

"Siapa malam-malam begini?"

"Terima saja mbak, siapa tau orang mau pesan  makanan dari warung mbak Mery."

"Selamat malam," sapa Mery.

"Malam, ini warung Timlo mbak Mery?"

"Benar. Ma'af ini siapa ya?" 

"Bisakah saya memesan makanan untuk besok siang?"

"Aduh, mengapa mendadak?"

"Iya, majikan kami ada tamu mendadak besok siang, tidak banyak, hanya kira-kira sepuluh porsi untuk makan siang, dengan sayur timlo dan lauk-pauknya."

"Tidak bisa mas, kalau pesan harus dua hari sebelumnya."

"Tapi ini sangat mendadak mbak, majikan saya bersedia membayar dua kali atau tiga kali lipat, yang penting tamunya tidak kecewa."

"Aduh... gimana nih, pesanan mendadak besok siang, penting katanya," kata Mery sambil menatap Sri.

"Diterima saja mbak, besok aku bantuin, sayang rejeki ditolak," kata Sri lirih.

"Baiklah kalau begitu."

"Bisa dikirim kan, nanti saya beritaukan alamatnya."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 


Wednesday, June 24, 2020

LESTARI PUNYA MIMPI 30

LESTARI PUNYA MIMPI  30

(Tien Kumalasari)

 

Seseorang turun dari mobil. Mendekati yang punya rumah sambil kepalanya melongok-longok kedalam.

"Anda mencari siapa?"

"Eh..anu.. saya mencari seseorang.. lari dari saya.. apa dia datang kemari?"

"Siapa ya?"

"Seorang gadis, hati-hati, dia itu pembohong, jangan sampai sampeyan terkecoh. Ini kan rumah pertama setelah dia kabur.. jadi... saya kira dia kemari."

"Oh, tidak ada gadis pembohong masuk kemari."

"Tadi seperti ada perempuan didalam sana.. berjalan kearah belakang."

"Tidak ada.. itu isteri saya..."

"Tapi bajunya kok..."

"Tidak ada yang bapak cari, jadi mohon tinggalkan rumah saya, mobil anda menghalangi isteri saya mengentas kerupuk-kerupuk itu."

Pakde melongok lagi kedalam, seperti tidak percaya pada keterangan si empunya rumah, lalu membalikkan tubuhnya, masuk kedalam mobil dan menyuruh Triman memundurkan mobilnya untuk keluar dari halaman.

"Kita kemana lagi pak? Saya harus kembali kerumah sakit, saya juga belum mengabari isteri-isterinya." kata Triman.

"Sebentar, aku mencurigai rumah itu. Sepertinya ada seorang perempuan didalam, bajunya seperti baju Desy, aku ingat sekali baju yang dia pakai."

"Lalu bagaimana?"

"Berhenti agak menjauh, tapi terus mengawasi rumah itu, suatu sa'at pasti dia keluar juga."

"Kelamaan pak.. kalau memang bapak yakin Desy ada disitu, langsung masuk saja."

"Itu yang punya rumah, berkacak pinggang didepan pintu, bagaimana aku bisa masuk?"

"Kalau tidak segera , bisa-bisa dia duluan yang melapor ke polisi."

Pakde kebingungan, yang dikatakan Triman ada benarnya. Dia harus nekat kalau ingin selamat. Lalu dia kembali masuk ke halaman rumah itu. Seorang perempuan sedang mengentas kerupuk-kerupuk yang dijemur. 

"Tuh, yang ini pasti isterinya, tapi yang aku lihat tadi bajunya berbeda. Itu bajunya Desy," pikir pakde.

Lalu dia semakin mendekat, perempuan itu menoleh.

"Ada apa lagi pak?"

"Bu, tolong, ijinkan saya membawa gadis itu, dia itu pembohong dan sangat berbahaya."

"Gadis yang mana pak?"

"Saya tau ada gadis berbaju biru tua didalam, dia keponakan saya, agak sinting dia, biarkan saya membawanya."

"Tidak ada gadis berbaju biru."

"Saya melihatnya bu, tolonglah, saya peringatkan ibu, dia itu sangat berbahaya. Jadi jangan biarkan dia berada dirumah ini."

"Itu, suami saya sedang menerima telpon, tanya saja sama dia."

Dan memang pakde melihat laki-laki tadi sedang berbicara di telpon.

"Tidak jauh lagi pak, ada perempatan dimana ada pos ronda, bapak belok kekiri. Ya, bagus, segera pak, orangnya ada disini."

Laki-laki itu mendekati pakde.

"Bagaimana pak, masih belum percaya? Bapak mau menggeledah rumah saya? Ayo pak, silahkan masuk saja, silahkan.."

Pakde heran, karena laki-laki si empunya rumah itu tiba-tiba mempersilahkannya masuk. Iapun masuk mendekati pintu, tapi belum sampai dia masuk lebih dalam, terdengar sirene polisi.

Pakde kebingungan, ia kembali keluar, tapi laki-laki pemilik rumah itu menghadang di pintu.

"Kok kembali pak, silahkan masuk saja, barangkali yang bapak cari ada didalam."

Sebuah  mobil person dan mobil polisi berhenti didepan pagar. Tak lama Janto keluar diikuti dua orang polisi. Pakde ketakutan.. Wajahnya pias. Ia ingin kabur, sudah berhasil melangkah cepat ke halaman, tapi Janto memegang tangannya. Tangan kuat Janto mencengkeram lengan pakde, lalu menyerahkannya kepada polisi.

"Ini dia penculiknya pak," kata Janto.

Pakde meronta, tapi seberapa kuat seorang setengah tua ditangan dua polisi kekar?

Desy keluar dari rumah dengan langkah tertatih. Begitu melihat Janto ia menubruknya dan menangis terisak.

"Terimakasih pak."

"Sudah, semuanya sudah berlalu, kamu aman," kata Janto sambil menepuk pundaknya.

Setelah mengucapkan terimakasih kepada penulong Desy, Janto segera membawa Desy pergi Desy menatap pakdenya yang digelandang masuk ke mobil polisi. Bagaimanapun dia juga darah dagingnya.

 

***

 

Setelah memberikan keterangan di kantor polisi, Janto membawa Desy kerumah sakit, takut lukanya terkena infeksi mengingat ada luka sobek dibeberapa tempat.

Sudah jam delapan malam ketika Janto sampai dirumah, dengan membawa Desy pula.

Tari bersyukur Desy selamat dari cengkeraman bandit tambun itu, tapi juga merasa kasihan melihat kaki Desy luka lumayan parah.

"Kamu tinggal disini saja dulu, dan tidak usah ke kantor," kata Tari.

"Tidak bu, saya pulang saja, dan akan berusaha masuk kantor besok pagi."

"Jangan bawel, kamu kan belum bisa berjalan."

"Bisa, biar terpincang pincang sedikit. Badan saya tidak apa-apa."

"Ya sudah, tapi besok pagi saja, ini sudah malam. Tidurlah sama mbak Mamiek. Aku punya baju tidur yang belum pernah aku pakai. Pakai aja."

"Terimakasih banyak ibu."

***

Dua tahun berlalu setelah kejadian itu. Desy benar-benar sudah putus hubungan dengan keluarga pakdenya. 

Dia sudah menemukan jodohnya, seorang karyawan baru yang ditempatkan sebagai kepala gudang, yang kemudian menyuruh Desy resign agar benar-benar menjadi ibu rumah tangga.

Tari bersyukur hidupnya berjalan sangat manis. Kemarin dengan diantar Janto Tari memeriksakan kandungannya yang sudah berumur empat bulan.

Haris sudah bisa berlari-lari dan bermain sendiri, tapi belum mau terlepas dari mbak Mamiek yang selalu memanjakannya. Lagipula Haris akan punya adik, dan mbak Mamiek masih diperlukan untuk membantu mengasuh  bayinya.

"Ibu, aku mau digendong ibu.." rengek Haris pada suatu pagi.

"Wouw, anak ibu yang ganteng, sekarang Haris tidak boleh minta gendong ibu," kata ayahnya.

"Haris mau gendong ibu.." Haris masih merengek.

"Dengar, didalam perut ibu ini ada adik. Kalau Haris minta gendong juga, nanti adiknya nangis, gimana hayo.."

"Ada adik?" mata Haris berbinar.

"Iya, ada adik, suka nggak Harus punya adik?"

"Haris suka.. haris suka...." lalu Haris berjingkrak-jingkrak.

"Gendong bapak saja ya, huppp!!" kata Janto sambil mengangkat tubuh Haris tinggi-tinggi. Haris terkekeh senang.

"Lagi... lagi..." teriaknya.

"Huppp!!!"

"Lagi.. lagi..."

Berkali-kali Janto mengangkat tubuh Haris dan membuatnya terkekeh-kekeh.

"Sudah... sudah... nanti bapak capek."

Haris turun dan berlari mencari mbak Mamiek yang sedang sibuk dibelakang.

Tari tersenyum senang. Janto duduk disamping isterinya, mengelus perutnya yang mulai membuncit.

"Senang ya kali ini anak kita tidak rewel?"

"Iya mas, tidak begitu rewel seperti ketika mengandung Haris. Anaknya perempuan 'kali ya."

"Memangnya kalau perempuan tidak membuat kehamilan rewel?"

"Ya tidak mas, perempuan itu memang tidak suka rewel. Beda kalau laki-laki, banyak maunya," kata Tari sambil tersenyum menggoda.

"Enak aja. Memangnya aku ini rewel.?"

"Bangeettttt..."

Janto mencubit pipi isterinya dengan gemas.

"Mana sih aku rewel? Dikasih.. aku suka, nggak dikasih.. aku juga minta.."

"Lhaaah... itu kan sama saja?"

"Ooh, sama ya?"

Canda itu terhenti karena ponsel Janto berdering.

"Dari bapak.." bisik Janto sambil mengangkat telponnya.

"Syukurin, kalau disuruh nelpon orang tua susah banget," gerutu Tari.

"Hallo bapak?"

"Apa kabar kamu ?"

"Baik, bapak, bapak dan ibu sehat kan?"

"Sehat, tapi akhir-akhir ini ibumu sedikit rewel."

"Lho, kenapa pak?"

"Kangen sama kamu, kangen sama cucunya. Kamu tidak pernah pulang ke Jakarta dengan membawa anak kamu."

"Oh, iya pak, Janto akan mencari waktu luang untuk ke Jakarta."

"Bener ya, mana Haris, bapak ingin bicara."

"Hariiiiss..." teriak Janto sambil berdiri mencari anaknya.

"Ya bapak.. " Haris berlari mendekati ayahnya.

"Ini, kakek mau bicara, bilang hallo sama kakek.."

"Hallo kakek..."

"Hallo cucu kakek yang ganteng. Kamu lagi ngapain."

"Lagi main mobil-mobilan..."

"Nenek kangen sekali sama kamu, kamu ke Jakarta ya, sama bapak, sama ibumu?"

"Iya.. Haris mau... naik pesawat kan?"

"Iya..iya, nanti kakek jemput di  bandara."

Haris mengulurkan ponselnya kepada ayahnya.

"Bapak, Haris mau ke Jakarta, nanti dijemput kakek"

Janto mengangguk angguk.

"Ya bapak, saya cari waktu luang untuk ke Jakarta, secepatnya."

"Anakmu belum tiga tahun bicaranya sudah jelas, nggak cadel sama sekali."

"Iya bapak."

"Ya sudah, sehat-sehat semuanya ya."

"Ibu mana?"

"Tidur, sudah, jangan diganggu, kalau malam sering tidak bisa tidur, jadi kalau siang-siang begini dia tidur, bapak tidak mau mengganggu."

"Iya bapak, semoga sehat-sehat semuanya."

"Mas mau ke Jakarta?" tanya Tari setelah ponsel ditutup.

"Ibu kangen sama kita."

"Besok Sabtu?'

"Iih, kamu senengnya .. kalau mau diajak jalan-jalan..."

"Gimana sih, katanya ibu kangen sama kita.."

"Iya.. iya.. tapi aku tidak bisa hari Sabtu. Ada tamu  yang bisanya ketemu besok hari Sabtu siang. Bagaimana kalau kamu berangkat dulu sama mbak Mamiek dan Haris? Aku menyusul hari Minggunya, hari Senin aku tidak kekantor. Tapi kalau rencana Sabtu dibatalkan aku bisa ikut bersama kalian."

"Terserah mas saja, kan mas yang membelikan tiketnya?"

"Tapi kamu tidak apa-apa kan berangkat sendiri? Kandunganmu tidak rewel kan?"

"Tidak mas.. jangan khawatir."

 

***

 

"Mbak Mamiek.. mbak Mamiek..." Haris berlari-lari kecil lalu merangkul pengasuhnya dari belakang.

"Ya ampun, mas Haris.. mbaknya sampe kaget.. mbok ya jangan lari-lari.. nanti jatuh kayak kemarin lho."

"Aku nggak jatuh .."

"Iya.. ada apa.. cah bagus?"

"Besok ikut ke Jakarta ya ?"

"Ke Jakarta?"

"Haris mau ketemu kakek sama nenek.. mbak Mamiek ikut ya?"

"mBak Mamiek belum tau, kan bapak sama ibu belum bilang sama mbak Mamiek."

"mBak Mamiek harus ikut..." Haris merengek.

"Iya Haris, nanti mbak Mamiek ikut kok.." kata Tari yang tiba-tiba sudah ada didekat Haris.

"Horeeee!" Haris berjingkrak kegirangan.

"mBak Mamiek, nanti tolong disiapkan baju-baju Haris dan semua perlengkapannya, kita akan ke Jakarta selama dua atau tiga hari.

"Baik bu.."

"mBak Mamiek juga ikut lho, nanti kalau enggak Haris pasti rewel."

"Iya bu.."

"Kalau mas Janto belum tentu, katanya hari Sabtu masih harus ke kantor. Tapi kalau acara kantor bisa diundur ya ikut bareng kita."

"Aku bisa ikut, " tiba-tiba Janto sudah ada diantara mereka. 

"Kok mas sudah pulang? Ini jam berapa?"

"Iya, aku lapar.. boleh minta makan bu?" canda Janto sambil mengembangkan tangannya, bermaksud  merengkuh isterinya.

"Eiit.. cuci kaki tangan dulu, main sosor aja.."

"Iya.. lupa..."

Janto beranjak kebelakang...dari arah kamar Haris berteriak.

"Bapaaaak..."

"Sebentar, bapak cuci kaki tangan dulu.." katanya sambil masuk kekamar mandi.

"Mbak Mamiek, tolong disiapkan makan siang ya, pak Janto sudah pulang."

"Ya bu, ini sudah.. tinggal mengangkat sayurnya.

mBak Mamiek biarpun tugasnya hanya mengasuh Haris, tapi tak mau berhenti membantu Tari mengurus rumah. Terkadang juga memasak. Janto senang, karena isterinya tak harus bekerja keras mengurus semuanya.

"Masak apa mbak Mamiek hari ini?" tanya Janto yang sudah siap duduk didepan meja makan.

"Tadi ibu hanya menyuruh masak  sayur asem sama bacem tahu tempe."

"Hm, enak nih...Hariis, ayo makan bareng bapak."

"Haris mau disuapin mbak Mamiek ajah."

"Iya..iya.. sini.. sama mbak Mamiek."

"Bisa ikut bareng ke Jakarta mas? Acaranya nggak jadi?"

"Diundur hari Senin, jadi aku bisa ikut bareng ke Jakarta."

"Bagus kalau begitu, bisa datang sama-sama, ibu pasti senang."

 

***

 

Sabtu siang itu mereka sudah sampai di bandara Suta.. Karena bersama Janto, keluarga di Jakarta tak perlu menjemputnya. 

Haris sangat senang, ia berlari kesana kemari, dan tentu saja mbak Mamiek juga ikut berlarian kesana kemari.

"Tari, kamu disini dulu, aku mau mengurus bagasi. Habis itu aku pesan taksi sekalian."

"Ya mas, aku disini, sambil mengawasi Haris tuh."

Tari geleng-geleng kepala melihat kegembiraan Haris. Ia mengawasi sambil tersenyum senyum. Tapi tiba-tiba..

"Tari..." suara panggilan itu mengejutkannya. Suaranya masih seperti dulu, lembut dan ..ya Tuhan.. Tari menahan debar jantungnya.

Nugroho sudah berdiri didepannya. Menatapnya tak berkedip. Ada rindu memercik disana, yang disambutnya dengan getaran yang sama. Sebuah peccikan api menyadarkan Tari.

"Mas Nugroho,"

"Tari.."

Tari menyadari, ada cinta yang mengendap didasar hatinya, yang disimpannya demi keikhlasan cintanya kepada keluarga.

"Mas, kok disini?" akhirnya Tari bisa mengucapkan kata itu, setelah berhasil menguasai gejolak jantungnya.

"Aku sekarang ada di Jakarta. Tadi mengantarkan Asty pulang ke Magelang, karena ibu kangen sama cucu-cucunya."

"Mas tidak ikut?"

"Aku tak bisa meninggalkan bisnisku disini. Mungkin menyusul lain hari."

"Owh.."

"Kamu sama siapa? Ngapain disini?"

"Aku baru sampai, orang tua mas Janto juga kangen sama cucunya. Aku juga sama mas Janto, dia lagi mengurus bagasi.

"Ibuuu..." tiba-tiba Haris memeluk kaki ibunya."

"Haris, beri salam sama om Nug.."

Haris mengulurkan tangannya.

"Wow.. ini Haris, sudah besar, anak ganteng..  cium dulu dong.." Nugroho mengangkat Haris dan mencium pipinya dengan gemas.

"Tari.. mengapa ya, aku tak bisa melupakan kamu?"

"Mas, tidak melupakan itu bagus, kita sudah menjalani hidup kita masing-masing. Mari kita endapkan segala rasa yang barangkali dulu terasa indah, tapi sekarang kita harus memasukkannya kedalam album kenangan. Aku bahagia, dan aku harap mas Nugrohopun demikian."

"Iya Tari, " jawab Nugroho sendu.

"Aku sedang mengandung anak keduaku mas."

"Iya, aku tau, perutmu sudah tampak membuncit, dan itu membuat kamu bertambah cantik."

Tari mencoba tertawa, dan mencoba menganggap ucapan itu hanya sebuah gurauan.

"Baiklah, aku pergi dulu Tari, salam buat mas Janto."

Tari memandangi punggung laki-laki tegap itu, dan mencoba mengikis habis semua kenangan tentang dia, tentang cintanya, karena ia selalu memimpikan hidup tenteram, yang penuh wangi sorga, tanpa cela, tanpa noda.

"Ibu... "

Suara Haris mengejutkan lamunannya. Tari berjongkok dan mencium pipi anaknya, miliknya yang sangat berharga.

"Tari.. Haris rewel?"

"Tidak mas, sudah selesai?"

"Sudah."

"Tadi ada mas Nugroho.."

Janto menatap isterinya.

"Dia mengantarkan Asty yang mau pulang menengok mertuanya, tapi tergesa pergi karena ada urusan. Dia titip salam sama kamu." kata Tari yang tak mau menyembunyikan apapun dari suaminya.

"Oh, dia tinggal disini sekarang?"

"Katanya, tapi aku tidak bertanya dimana. Ayo mas.. sudah pesen taksi?"

"Sudah. Haris.. sini sama bapak.."

Janto menggendong anaknya, dan sebelah tangannya lagi merangkul isterinya.

mBak Mamiek yang menarik kopor dibelakang mereka menatapnya sambil tersenyum.

"Sebuah keluarga yang bahagia," gumamnya.

***T A M A T***

 

Masih ingat BASUKI ? Tak bisakah gelimang dosa terhapus dengan ketulusan hati dalam mengarungi sisa hidupnya? Bisakah dia menemukan cinta sejatinya? Ternyata banyak liku yang harus dilaluinya.

Yuk, ikuti kisahnya dalam CINTAKU ADA DIANTARA MEGA.

Wouuww.. lebay nggak sih judulnya? Kisah cinta lagi? Tak apa, karena dalam hidup harus ada cinta.

                                           __________________

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...