SEBUAH JANJI 40
(Tien Kumalasari)
“Karena aku peduli sama kamu Sekar, kamu harus
mendapatkan kedudukan yang baik di sini,” kata Seno, tanpa sadar bahwa Sekar
gemetaran karenanya.
“Apa kamu senang?”
“Tidak, aku … tidak mau … “
“Apa? Kamu tidak mau?”
“Aku tidak mau. Aku sudah senang dengan pekerjaan aku.
Pekerjaan yang tidak usah berinteraksi dengan para pimpinan.”
“Apa maksudmu Sekar.”
“Aku mau masuk dulu, kalau tidak tanda absenku akan
merah,” katanya sambil membalikkan tubuh dan setengah berlari memasuki ruangan
kerjanya.
Terengah-engah dia ketika duduk di kursi kerjanya.
Bingung, tak tahu harus berbuat apa.”
Samadi. Nama itu sangat diingatnya. Nama laki-laki
setengah tua yang hampir memperkosanya. Dan sekarang dia berada dibawah
pimpinannya? Tidak. Mengapa dunia begitu sempit? Tadi Sekar hampir mengatakan
bahwa dia lebih baik keluar saja. Tapi dia tak bisa mengatakan alasannya.
“Apa aku harus mengatakan saja terus terang kepada mas
Seno ya. Aku sudah nyaman di sini, dan tidak harus ketemu langsung dengan para
petinggi perusahaan. Tak mengapa walau gajinya kecil. Tapi sampai kapan aku
bisa menyembunyikan diri dari si tua itu? Bagaimana kalau nanti dia melihat
aku?”
Sekar memijit-mijit keningnya yang terasa berdenyut.
“Aduh, hari ini aku tak bisa konsentrasi dengan
pekerjaan aku. Bagaimana ini?”
Sekar terus memijit-mijit keningnya. Ia terkejut
ketika Warjo tiba-tiba masuk ke ruangannya.
Sekar menatapnya, tapi Warjo tak membawa apa-apa. Oh
ya, ini masih pagi. Belum waktunya makan. Jadi dia heran ketika tiba-tiba Warjo
mendekatinya.
“Ada apa Jo?”
“Ternyata Mbak Sekar kenal baik sama pak Seno?”
“Dan kamu menutupinya dari aku kan?”
“Mau gimana lagi Mbak, tadinya saya dipesan untuk tidak
mengatakan pada Mbak, siapa yang mengirimi Mbak makan. Kemarin bahkan bilang
kalau Mbak akan dijanjikan kedudukan yang lebih baik. Jadi sekretarisnya pak
Samad, atau apa, gitu.”
Tiba-tiba bulu kuduk Sekar terasa merinding. Ia sedang
ingin menghindari laki-laki setengah tua itu, malah ternyata dia juga bekerja
di sini, dan Sekar hampir jadi sekretarisnya. Beruntung dia bisa ketemu pagi
tadi, sehingga bisa mendengar rencana Seno, sehingga Sekar bisa menolaknya
mentah-mentah.
“Siapa sebenarnya Samadi, di perusahaan ini?”
“Dia yang diserahi tanggung jawab di kantor ini Mbak.
Tapi saat ini sedang bertugas ke Jakarta, mengurus ijin atau apa, saya sih
orang kecil, nggak tahu apa-apa.”
"Ya sudah, kamu tadi ke sini sebenarnya mau apa?”
“Cuma mau bilang, ternyata Mbak Sekar kenal sama pak
Seno. Mungkin itu sebabnya maka pak Seno selalu mengirimi Mbak Sekar makan
siang setiap hari, hanya saja maunya sembunyi-sembunyi. Tak tahunya Mbak Sekar
malah sudah tahu.”
“Oh, apa kamu juga sering ketemu yang namanya Samadi?”
“Kadang-kadang, kalau disuruh-suruh.”
“Kalau di depan dia, jangan pernah menyebut nama saya,
ya.”
“Ya tidak, kalau tidak ada hubungannya pastilah saya
tidak akan menyebut apa-apa.”
“Barangkali karena keheranan kamu mengetahui bahwa aku
kenal sama pak Seno, lalu kamu ember … omong-omong sama dia tentang hal itu.”
Warjo tertawa lucu.
“Tidak Mbak, kalau Mbak sudah melarangnya, saya tidak
akan melakukannya. Saya ini kan OB yang taat pada atasan. Tapi kan Mbak mau
jadi sekretarisnya.”
“Tidak, aku tidak mau.”
“Memangnya kenapa Mbak, gaji sekretaris kan lebih
tinggi, daripada pembantu administrasi, tidak seberapa.”
“Aku tidak mau gaji tinggi. Ya sudah, aku mau bekerja,
kamu boleh pergi.”
“Baik Mbak, nanti siang saya pasti ke sini lagi,”
katanya sambil berlalu.
“Ingat pesan saya Jo!”
“Iya, siaaap,” teriak Warjo yang kemudian menghilang
di balik pintu.
Sekar menghela napas berat.
“Hidupku penuh liku-liku. Rasanya aku lelah sekali.
Menghadapi segala macam cobaan, harus memikulnya sendiri demi menjaga perasaan
bapak. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Hampir sebulan aku di sini, sama
sekali tidak tahu bahwa ini milik mas Seno, dan juga sama sekali tidak tahu,
bahwa si tua itu menjadi tokoh penting di perusahaan ini.”
Sekar berusaha menyelesaikan pekerjaannya, walau
terkadang terganggu dengan segala ganjalan yang dilaluinya.
Siang hari itu, selepas menjalankan ibadah, Sekar bermaksud
kembali ke ruang kerjanya. Tapi tanpa disangka, seseorang duduk di kursi depan
meja kerjanya.
“Mas Seno,” sapanya terkejut.
“Ayo keluar, temani aku makan.”
“Tidak, saya akan_”
“Warjo tidak akan ke sini siang ini, karena aku akan
mengajakmu.”
“Bagaimana kalau ada orang melihatnya?”
Seno tertawa.
“Apa maksudmu? Memangnya aku maling sehingga takut
dilihat orang?”
“Mas Seno seorang petinggi, saya hanya ….”
“Sudah, ini perintah.”
Sekar menahan senyuman. Kata-kata memaksa itu masih
juga diucapkannya walau sudah tidak setiap hari bertemu.
Seno sudah berdiri, dan mau tak mau Sekar
mengikutinya.
Disepanjang perjalanan keluar kantor, banyak mata
memandangi mereka dengan heran. Pegawai baru bernama Sekar, pergi bersama bos
tertinggi mereka.
“Ada apa ya?”
“Apa Sekar membuat kesalahan?”
“Tampaknya tidak, wajah pak Seno tidak tampak marah.”
“Memang pak Seno suka marah? Dia sangat tampan, dan
selalu tersenyum kepada siapa saja. Matanya teduh, hidungnya mancung, bibirnya ….”
“Eh, kamu sedang ngomongin apa?” tegur temannya yang
merasa lucu mendengar ocehan temannya, yang dengan santai memuji-muji bos
gantengnya.
Mereka terkekeh, tapi semua itu dilakukan setelah Seno
dan Sekar keluar dari kantor menuju ke arah mobilnya.
“Waduh, dibawa kemana dia?”
“Yang jelas tidak sedang kena marah, wajah Sekar juga
biasa-biasa saja,” mereka masih saja membicarakannya.
***
Seno mambawa Sekar ke sebuah rumah makan.
“Mengapa Mas Seno melakukan ini?”
“Banyak yang ingin aku bicarakan sama kamu.”
“Apa itu?”
“Pertama-tama aku terkejut ketika pada suatu hari
melihat kamu di ruangan itu. Semula tidak percaya, tapi Warjo mengatakan bahwa
ada pegawai baru bernama Sekar.”
“Lalu Mas mengirimi saya makan siang setiap hari.”
“Sebenarnya aku ingin menyembunyikan identitas aku di
perusahaan itu, tapi ternyata kamu sudah tahu lebih dulu. Aku hampir
membicarakan dengan Samadi bahwa dia akan mendapatkan sekretaris baru.”
“Untunglah saya keburu bertemu Mas Seno, sehingga bisa
menolaknya.”
“Itulah yang ingin aku tanyakan sama kamu. Dengan menduduki
jabatan sekretaris, kamu akan mendapatkan gaji lebih banyak.”
“Tidak mau. Aku hanya ingin menjadi pegawai biasa,
sekedar bisa mencukupi uang kuliah aku.”
“Nah, aku juga ingin bertanya. Tadinya alasan kamu
pergi, adalah karena ingin fokus dengan kuliah kamu, tapi ternyata kamu mencari
pekerjaan di tempat lain. Kamu tidak berterus terang.”
“Apa yang harus saya katakan? Sebenarnya saya masih
membutuhkan uang untuk biaya kuliah.”
“Kenapa kamu harus resign?”
“Banyak pertimbangan.”
“Katakan, apa itu.”
“Tunangan Mas membenci saya.”
“Kamu kan baru sekali bertemu?”
“Dua kali.”
“Yang di kantor itu, lalu?”
“Saya saat itu makan siang bersama bapak, tidak
menyangka di bangku belakang saya ada mbak Elsa dan teman-temannya. Dia
membicarakan sekretaris kampungan di kantor mas Seno, dan dia ingin
menggantikannya.”
“Hm, dia memang menginginkannya, keterlaluan kalau dia mengatai kamu sekretaris kampungan," geram Seno.
“Itu sebabnya saya memilih resign saja. Mas tidak usah
bertanya lagi, semuanya sudah jelas. Sekarangpun saya sedang berpikir.”
“Untuk resign lagi? Ada hubungannya dengan pak Samadi?”
“Saya bingung.”
“Katakan ada apa.”
“Pak Samadi itu mengenal saya.”
“Oh ya?”
“Dia suami baru ibu tiri saya.”
“Benarkah? Apakah itu mengganggu kamu? Kamu kan sudah
tidak bersama ibu tiri kamu, jadi pikirkan jalan hidup masing-masing saja.”
“Dia ….”
“Kenapa?”
“Jalan hidup saya sangat rumit.”
“Mau menceritakan?”
Sekar diam untuk beberapa saat lamanya. Sampai makanan
yang dipesan sudah datang, lalu mereka melahap makanan itu tanpa suara.
Seno tampak sangat bahagia bisa menemukan gadis yang
dicintainya. Dia akan melakukan apa saja demi kebahagiaan Sekar.
“Saya hanya ingin, Mas membiarkan saya bekerja di
tempat saya sekarang, dan jangan sampai saya berhubungan dengan para pimpinan,
karena saya adalah karyawan biasa. Saya sedang memikirkan apa yang selanjutnya
akan saya lakukan.”
Seno menatap Sekar dengan tatapan mesra. Sekar tak
berani balas menatapnya. Ia tak mungkin bisa mengimbangi cinta laki-laki
ganteng di depannya. Dia sudah tahu sebabnya.
“Sekar, aku akan melamar kamu.”
Sekar terkejut bukan alang kepalang. Ditatapnya Seno
yang dengan senyuman memikat menatapnya.
“Jangan sampai pertunangan Mas gagal karena saya.
Lupakanlah saya.”
“Saya akan segera memutuskan pertunangan itu.”
“Tidak. Jangan Mas, mbak Elsa sangat mencintai Mas
Seno.”
“Bagaimana kamu bisa tahu isi hati seorang Elsa?”
“Dia mengejar Mas. Jadi jangan sampai Mas melukainya,
saya mohon,” pinta Sekar, serius.
Seno diam. Dia mengira, Sekar menolaknya karena dia
masih berstatus punya tunangan. Kalau dia sudah memutuskan pertunangan itu,
Seno yakin Sekar tidak akan menolaknya.
***
Dua tiga hari yang dijanjikan Samadi ternyata molor,
karena Samadi pergi hampir satu minggu. Karena itulah kemudian Yanti
menelponnya.
“Ada apa Yanti?”
“Mas bilang hanya dua tiga hari, ini sudah lima hari,
bagaimana sih?”
“Yanti, suami kamu ini bukan orang biasa. Banyak yang
harus diselesaikan, dan ternyata sampai hari ini belum juga selesai. Tapi aku
janji, dua hari lagi aku pasti sudah pulang.”
“Benarkah? Dua hari? Kalau Mas tidak pulang aku pasti
menyusul nih.”
Samadi tertawa.
“Kamu mau menyusul kemana? Jakarta itu luas, bisa-bisa
malah kamu hilang dan tidak bisa pulang.”
“Habis, Mas bohong. Perginya lama.”
“Tenang saja, dua hari lagi aku pasti sudah pulang.
Ini mengambil surat ijin yang sudah siap, baru besok bisa aku ambil.”
“Mas ini sedang di mana?”
“Lagi istirahat, lelah sekali.”
“Aku kok mendengar suara perempuan Mas?”
“Apa?”
“Suara perempuan.”
“Ini kan di lobi hotel, banyak laki-laki dan perempuan
berseliweran.”
“Mas tidak sedang bersama perempuan di hotel?”
“Ya ampuun, ya tidak dong Yanti, aku hanya punya kamu,
mana mungkin berpaling dari kamu?”
“Ya sudah, pokoknya Mas harus cepat pulang ya?”
“Iya, sekarang aku mau tidur sebentar.”
“Sama siapa?”
“Sendiri lah. Mau sama siapa?”
“Tahu begitu kemarin-kemarin aku ikut,” gerutu Yanti.
“Mau ikut bagaimana, aku kan kerja. Paling juga kamu
hanya aku suruh tiduran di hotel.”
“Tidak bisa jalan-jalan?”
“Kalau kamu jalan-jalan sendiri, bisa hilang kamu.
Sudah, aku mau istirahat dulu ya.”
Samadi menutup pembicaraan begitu saja. Yanti sedikit
kesal, tapi janji akan pulang dua hari lagi itu sedikit melegakannya.
***
“Tadi Eli menelpon lagi,” kata bu Ridwan ketika suaminya
pulang.
“Menelpon kenapa?”
“Menanyakan hubungan Elsa dan Seno. Dia ingin mereka
segera menikah.”
“Kamu sudah bilang sama anak kamu?”
“Seno selalu membuat aku kesal. Jawabannya tidak
jelas.”
“Kan kamu sudah tahu bahwa Seno tidak suka pada
tunangannya. Kamu bilang, pertunangan itu untuk mendekatkan mereka, agar bisa
saling mengerti hati masing-masing. Dan kalau ternyata tidak bisa dekat, tidak
bisa saling mengerti, bagaimana?”
“Aku bingung menjawabnya.”
“Kamu kan takut, karena Eli itu orangnya galak, terkadang
kasar? Tapi ini bukan demi menjaga hati kamu sendiri. Ini masalah kehidupan
anak kamu. Berumah tangga itu kalau bisa ya sekali untuk seumur hidup, tidak
asal kamu suka lalu harus menikahkan mereka. Kalau mereka tidak bahagia, apa
kamu tidak sedih?”
“Jadi aku harus bilang bagaimana?”
“Ketika dia menelpon, kamu bilang apa?”
“Aku hanya bilang, tunggu dulu … tunggu dulu … gitu
terus.”
“Kalau dia menelpon lagi, bilang terus terang kalau
Seno tidak suka sama anaknya. Titik.”
“Aduuuh, aku pasti disemprot.”
“Disemprot sekali, tapi selanjutnya kamu tidak akan
dikejar-kejar lagi. Sudah, aku pusing membicarakan masalah itu terus.”
***
Ternyata tidak hanya sekali Seno mengajak Sekar makan
di luar. Warjo jadi tahu bahwa ada hubungan spesial diantara petinggi
perusahaan itu dan karyawan baru-nya yang cantik.
Siang hari itu Seno dan Sekar sudah ada disebuah rumah
makan, dan menikmati makan bersama. Sekar tak pernah bisa menolaknya, karena
Seno punya senjata, ‘ini perintah’.
Hanya saja Sekar tak pernah menunjukkan bahwa dia akan
mengimbangi perasaan Seno. Ia terus menjaga jarak, dan itu oleh Seno dianggap
bahwa Sekar masih merasa ragu karena dia masih bertunangan. Ia bermaksud
secepatnya mengatakan kepada orang tuanya, terutama ibunya, bahwa dia tidak
mencintai Elsa, dan ingin agar hubungan pertunangan itu putus.
Mereka sudah selesai makan, dan sedang berjalan, ketika
tiba-tiba seorang wanita masuk. Wanita yang sangat dikenal Sekar karena dia
Yanti, bekas ibu tirinya. Melihat Sekar, Yanti berhenti. Ia melepas kaca mata
hitam yang hampir menutupi seluruh wajahnya.
“Sekar?”
Sekar terpaksa menanggapi.
“Iya Bu.”
“Kamu sama siapa ini? Oh, ya ampuun, saya pernah
melihat fotonya. Ini kan yang namanya pak Seno, bawahan suami saya?” katanya
enteng, sambil tertawa sumringah.
Seno tertegun.
***
Besok lagi ya.