Friday, September 30, 2022

SEBUAH JANJI 40

 

SEBUAH JANJI  40

(Tien Kumalasari)

 

“Karena aku peduli sama kamu Sekar, kamu harus mendapatkan kedudukan yang baik di sini,” kata Seno, tanpa sadar bahwa Sekar gemetaran karenanya.

“Apa kamu senang?”

“Tidak, aku … tidak mau … “

“Apa? Kamu tidak mau?”

“Aku tidak mau. Aku sudah senang dengan pekerjaan aku. Pekerjaan yang tidak usah berinteraksi dengan para pimpinan.”

“Apa maksudmu Sekar.”

“Aku mau masuk dulu, kalau tidak tanda absenku akan merah,” katanya sambil membalikkan tubuh dan setengah berlari memasuki ruangan kerjanya.

Terengah-engah dia ketika duduk di kursi kerjanya. Bingung, tak tahu harus berbuat apa.”

Samadi. Nama itu sangat diingatnya. Nama laki-laki setengah tua yang hampir memperkosanya. Dan sekarang dia berada dibawah pimpinannya? Tidak. Mengapa dunia begitu sempit? Tadi Sekar hampir mengatakan bahwa dia lebih baik keluar saja. Tapi dia tak bisa mengatakan alasannya.

“Apa aku harus mengatakan saja terus terang kepada mas Seno ya. Aku sudah nyaman di sini, dan tidak harus ketemu langsung dengan para petinggi perusahaan. Tak mengapa walau gajinya kecil. Tapi sampai kapan aku bisa menyembunyikan diri dari si tua itu? Bagaimana kalau nanti dia melihat aku?”

Sekar memijit-mijit keningnya yang terasa berdenyut.

“Aduh, hari ini aku tak bisa konsentrasi dengan pekerjaan aku. Bagaimana ini?”

Sekar terus memijit-mijit keningnya. Ia terkejut ketika Warjo tiba-tiba masuk ke ruangannya.

Sekar menatapnya, tapi Warjo tak membawa apa-apa. Oh ya, ini masih pagi. Belum waktunya makan. Jadi dia heran ketika tiba-tiba Warjo mendekatinya.

“Ada apa Jo?”

“Ternyata Mbak Sekar kenal baik sama pak Seno?”

“Dan kamu menutupinya dari aku kan?”

“Mau gimana lagi Mbak, tadinya saya dipesan untuk tidak mengatakan pada Mbak, siapa yang mengirimi Mbak makan. Kemarin bahkan bilang kalau Mbak akan dijanjikan kedudukan yang lebih baik. Jadi sekretarisnya pak Samad, atau apa, gitu.”

Tiba-tiba bulu kuduk Sekar terasa merinding. Ia sedang ingin menghindari laki-laki setengah tua itu, malah ternyata dia juga bekerja di sini, dan Sekar hampir jadi sekretarisnya. Beruntung dia bisa ketemu pagi tadi, sehingga bisa mendengar rencana Seno, sehingga Sekar bisa menolaknya mentah-mentah.

“Siapa sebenarnya Samadi, di perusahaan ini?”

“Dia yang diserahi tanggung jawab di kantor ini Mbak. Tapi saat ini sedang bertugas ke Jakarta, mengurus ijin atau apa, saya sih orang kecil, nggak tahu apa-apa.”

"Ya sudah, kamu tadi ke sini sebenarnya mau apa?”

“Cuma mau bilang, ternyata Mbak Sekar kenal sama pak Seno. Mungkin itu sebabnya maka pak Seno selalu mengirimi Mbak Sekar makan siang setiap hari, hanya saja maunya sembunyi-sembunyi. Tak tahunya Mbak Sekar malah sudah tahu.”

“Oh, apa kamu juga sering ketemu yang namanya Samadi?”

“Kadang-kadang, kalau disuruh-suruh.”

“Kalau di depan dia, jangan pernah menyebut nama saya, ya.”

“Ya tidak, kalau tidak ada hubungannya pastilah saya tidak akan menyebut apa-apa.”

“Barangkali karena keheranan kamu mengetahui bahwa aku kenal sama pak Seno, lalu kamu ember … omong-omong sama dia tentang hal itu.”

Warjo tertawa lucu.

“Tidak Mbak, kalau Mbak sudah melarangnya, saya tidak akan melakukannya. Saya ini kan OB yang taat pada atasan. Tapi kan Mbak mau jadi sekretarisnya.”

“Tidak, aku tidak mau.”

“Memangnya kenapa Mbak, gaji sekretaris kan lebih tinggi, daripada pembantu administrasi, tidak seberapa.”

“Aku tidak mau gaji tinggi. Ya sudah, aku mau bekerja, kamu boleh pergi.”

“Baik Mbak, nanti siang saya pasti ke sini lagi,” katanya sambil berlalu.

“Ingat pesan saya Jo!”

“Iya, siaaap,” teriak Warjo yang kemudian menghilang di balik pintu.

Sekar menghela napas berat.

“Hidupku penuh liku-liku. Rasanya aku lelah sekali. Menghadapi segala macam cobaan, harus memikulnya sendiri demi menjaga perasaan bapak. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Hampir sebulan aku di sini, sama sekali tidak tahu bahwa ini milik mas Seno, dan juga sama sekali tidak tahu, bahwa si tua itu menjadi tokoh penting di perusahaan ini.”

Sekar berusaha menyelesaikan pekerjaannya, walau terkadang terganggu dengan segala ganjalan yang dilaluinya.

Siang hari itu, selepas menjalankan ibadah, Sekar bermaksud kembali ke ruang kerjanya. Tapi tanpa disangka, seseorang duduk di kursi depan meja kerjanya.

“Mas Seno,” sapanya terkejut.

“Ayo keluar, temani aku makan.”

“Tidak, saya akan_”

“Warjo tidak akan ke sini siang ini, karena aku akan mengajakmu.”

“Bagaimana kalau ada orang melihatnya?”

Seno tertawa.

“Apa maksudmu? Memangnya aku maling sehingga takut dilihat orang?”

“Mas Seno seorang petinggi, saya hanya ….”

“Sudah, ini perintah.”

Sekar menahan senyuman. Kata-kata memaksa itu masih juga diucapkannya walau sudah tidak setiap hari bertemu.

Seno sudah berdiri, dan mau tak mau Sekar mengikutinya.

Disepanjang perjalanan keluar kantor, banyak mata memandangi mereka dengan heran. Pegawai baru bernama Sekar, pergi bersama bos tertinggi mereka.

“Ada apa ya?”

“Apa Sekar membuat kesalahan?”

“Tampaknya tidak, wajah pak Seno tidak tampak marah.”

“Memang pak Seno suka marah? Dia sangat tampan, dan selalu tersenyum kepada siapa saja. Matanya teduh, hidungnya mancung, bibirnya ….”

“Eh, kamu sedang ngomongin apa?” tegur temannya yang merasa lucu mendengar ocehan temannya, yang dengan santai memuji-muji bos gantengnya.

Mereka terkekeh, tapi semua itu dilakukan setelah Seno dan Sekar keluar dari kantor menuju ke arah mobilnya.

“Waduh, dibawa kemana dia?”

“Yang jelas tidak sedang kena marah, wajah Sekar juga biasa-biasa saja,” mereka masih saja membicarakannya.

***

Seno mambawa Sekar ke sebuah rumah makan.

“Mengapa Mas Seno melakukan ini?”

“Banyak yang ingin aku bicarakan sama kamu.”

“Apa itu?”

“Pertama-tama aku terkejut ketika pada suatu hari melihat kamu di ruangan itu. Semula tidak percaya, tapi Warjo mengatakan bahwa ada pegawai baru bernama Sekar.”

“Lalu Mas mengirimi saya makan siang setiap hari.”

“Sebenarnya aku ingin menyembunyikan identitas aku di perusahaan itu, tapi ternyata kamu sudah tahu lebih dulu. Aku hampir membicarakan dengan Samadi bahwa dia akan mendapatkan sekretaris baru.”

“Untunglah saya keburu bertemu Mas Seno, sehingga bisa menolaknya.”

“Itulah yang ingin aku tanyakan sama kamu. Dengan menduduki jabatan sekretaris, kamu akan mendapatkan gaji lebih banyak.”

“Tidak mau. Aku hanya ingin menjadi pegawai biasa, sekedar bisa mencukupi uang kuliah aku.”

“Nah, aku juga ingin bertanya. Tadinya alasan kamu pergi, adalah karena ingin fokus dengan kuliah kamu, tapi ternyata kamu mencari pekerjaan di tempat lain. Kamu tidak berterus terang.”

“Apa yang harus saya katakan? Sebenarnya saya masih membutuhkan uang untuk biaya kuliah.”

“Kenapa kamu harus resign?”

“Banyak pertimbangan.”

“Katakan, apa itu.”

“Tunangan Mas membenci saya.”

“Kamu kan baru sekali bertemu?”

“Dua kali.”

“Yang di kantor itu, lalu?”

“Saya saat itu makan siang bersama bapak, tidak menyangka di bangku belakang saya ada mbak Elsa dan teman-temannya. Dia membicarakan sekretaris kampungan di kantor mas Seno, dan dia ingin menggantikannya.”

“Hm, dia memang menginginkannya, keterlaluan kalau dia mengatai kamu sekretaris kampungan," geram Seno. 

“Itu sebabnya saya memilih resign saja. Mas tidak usah bertanya lagi, semuanya sudah jelas. Sekarangpun saya sedang berpikir.”

“Untuk resign lagi? Ada hubungannya dengan pak Samadi?”

“Saya bingung.”

“Katakan ada apa.”

“Pak Samadi itu mengenal saya.”

“Oh ya?”

“Dia suami baru ibu tiri saya.”

“Benarkah? Apakah itu mengganggu kamu? Kamu kan sudah tidak bersama ibu tiri kamu, jadi pikirkan jalan hidup masing-masing saja.”

“Dia ….”

“Kenapa?”

“Jalan hidup saya sangat rumit.”

“Mau menceritakan?”

Sekar diam untuk beberapa saat lamanya. Sampai makanan yang dipesan sudah datang, lalu mereka melahap makanan itu tanpa suara.

Seno tampak sangat bahagia bisa menemukan gadis yang dicintainya. Dia akan melakukan apa saja demi kebahagiaan Sekar.

“Saya hanya ingin, Mas membiarkan saya bekerja di tempat saya sekarang, dan jangan sampai saya berhubungan dengan para pimpinan, karena saya adalah karyawan biasa. Saya sedang memikirkan apa yang selanjutnya akan saya lakukan.”

Seno menatap Sekar dengan tatapan mesra. Sekar tak berani balas menatapnya. Ia tak mungkin bisa mengimbangi cinta laki-laki ganteng di depannya. Dia sudah tahu sebabnya.

“Sekar, aku akan melamar kamu.”

Sekar terkejut bukan alang kepalang. Ditatapnya Seno yang dengan senyuman memikat menatapnya.

“Jangan sampai pertunangan Mas gagal karena saya. Lupakanlah saya.”

“Saya akan segera memutuskan pertunangan itu.”

“Tidak. Jangan Mas, mbak Elsa sangat mencintai Mas Seno.”

“Bagaimana kamu bisa tahu isi hati seorang Elsa?”

“Dia mengejar Mas. Jadi jangan sampai Mas melukainya, saya mohon,” pinta Sekar, serius.

Seno diam. Dia mengira, Sekar menolaknya karena dia masih berstatus punya tunangan. Kalau dia sudah memutuskan pertunangan itu, Seno yakin Sekar tidak akan menolaknya.

***

Dua tiga hari yang dijanjikan Samadi ternyata molor, karena Samadi pergi hampir satu minggu. Karena itulah kemudian Yanti menelponnya.

“Ada apa Yanti?”

“Mas bilang hanya dua tiga hari, ini sudah lima hari, bagaimana sih?”

“Yanti, suami kamu ini bukan orang biasa. Banyak yang harus diselesaikan, dan ternyata sampai hari ini belum juga selesai. Tapi aku janji, dua hari lagi aku pasti sudah pulang.”

“Benarkah? Dua hari? Kalau Mas tidak pulang aku pasti menyusul nih.”

Samadi tertawa.

“Kamu mau menyusul kemana? Jakarta itu luas, bisa-bisa malah kamu hilang dan tidak bisa pulang.”

“Habis, Mas bohong. Perginya lama.”

“Tenang saja, dua hari lagi aku pasti sudah pulang. Ini mengambil surat ijin yang sudah siap, baru besok bisa aku ambil.”

“Mas ini sedang di mana?”

“Lagi istirahat, lelah sekali.”

“Aku kok mendengar suara perempuan Mas?”

“Apa?”

“Suara perempuan.”

“Ini kan di lobi hotel, banyak laki-laki dan perempuan berseliweran.”

“Mas tidak sedang bersama perempuan di hotel?”

“Ya ampuun, ya tidak dong Yanti, aku hanya punya kamu, mana mungkin berpaling dari kamu?”

“Ya sudah, pokoknya Mas harus cepat pulang ya?”

“Iya, sekarang aku mau tidur sebentar.”

“Sama siapa?”

“Sendiri lah. Mau sama siapa?”

“Tahu begitu kemarin-kemarin aku ikut,” gerutu Yanti.

“Mau ikut bagaimana, aku kan kerja. Paling juga kamu hanya aku suruh tiduran di hotel.”

“Tidak bisa jalan-jalan?”

“Kalau kamu jalan-jalan sendiri, bisa hilang kamu. Sudah, aku mau istirahat dulu ya.”

Samadi menutup pembicaraan begitu saja. Yanti sedikit kesal, tapi janji akan pulang dua hari lagi itu sedikit melegakannya.

***

“Tadi Eli menelpon lagi,” kata bu Ridwan ketika suaminya pulang.

“Menelpon kenapa?”

“Menanyakan hubungan Elsa dan Seno. Dia ingin mereka segera menikah.”

“Kamu sudah bilang sama anak kamu?”

“Seno selalu membuat aku kesal. Jawabannya tidak jelas.”

“Kan kamu sudah tahu bahwa Seno tidak suka pada tunangannya. Kamu bilang, pertunangan itu untuk mendekatkan mereka, agar bisa saling mengerti hati masing-masing. Dan kalau ternyata tidak bisa dekat, tidak bisa saling mengerti, bagaimana?”

“Aku bingung menjawabnya.”

“Kamu kan takut, karena Eli itu orangnya galak, terkadang kasar? Tapi ini bukan demi menjaga hati kamu sendiri. Ini masalah kehidupan anak kamu. Berumah tangga itu kalau bisa ya sekali untuk seumur hidup, tidak asal kamu suka lalu harus menikahkan mereka. Kalau mereka tidak bahagia, apa kamu tidak sedih?”

“Jadi aku harus bilang bagaimana?”

“Ketika dia menelpon, kamu bilang apa?”

“Aku hanya bilang, tunggu dulu … tunggu dulu … gitu terus.”

“Kalau dia menelpon lagi, bilang terus terang kalau Seno tidak suka sama anaknya. Titik.”

“Aduuuh, aku pasti disemprot.”

“Disemprot sekali, tapi selanjutnya kamu tidak akan dikejar-kejar lagi. Sudah, aku pusing membicarakan masalah itu terus.”

***

Ternyata tidak hanya sekali Seno mengajak Sekar makan di luar. Warjo jadi tahu bahwa ada hubungan spesial diantara petinggi perusahaan itu dan karyawan baru-nya yang cantik.

Siang hari itu Seno dan Sekar sudah ada disebuah rumah makan, dan menikmati makan bersama. Sekar tak pernah bisa menolaknya, karena Seno punya senjata, ‘ini perintah’.

Hanya saja Sekar tak pernah menunjukkan bahwa dia akan mengimbangi perasaan Seno. Ia terus menjaga jarak, dan itu oleh Seno dianggap bahwa Sekar masih merasa ragu karena dia masih bertunangan. Ia bermaksud secepatnya mengatakan kepada orang tuanya, terutama ibunya, bahwa dia tidak mencintai Elsa, dan ingin agar hubungan pertunangan itu putus.

Mereka sudah selesai makan, dan sedang berjalan, ketika tiba-tiba seorang wanita masuk. Wanita yang sangat dikenal Sekar karena dia Yanti, bekas ibu tirinya. Melihat Sekar, Yanti berhenti. Ia melepas kaca mata hitam yang hampir menutupi seluruh wajahnya.

“Sekar?”

Sekar terpaksa menanggapi.

“Iya Bu.”

“Kamu sama siapa ini? Oh, ya ampuun, saya pernah melihat fotonya. Ini kan yang namanya pak Seno, bawahan suami saya?” katanya enteng, sambil tertawa sumringah.

Seno tertegun.

***

Besok lagi ya.

 

Thursday, September 29, 2022

SEBUAH JANJI 39

 

SEBUAH JANJI  39

(Tien Kumalasari)

 

Sekar masih bersembunyi di balik pohon, sampai laki-laki itu menaiki mobilnya, kemudian pergi. Sekar melangkah masuk ke dalam setelah Warjo tidak lagi ada di depan kantor.

Masih berdebar dada Sekar, saat dia duduk di kursi kerjanya.

“Bagaimana dia ada di situ? Bagaimana dia kenal sama Warjo, dan apa yang mereka bicarakan tadi? Apakah ada hubungannya dengan perusahaan ini, atau bahkan dengan diriku?” gumam Sekar sambil meraih teh hangat yang sudah tersedia di atas mejanya.

Perlahan Sekar membuka laptopnya, tapi tidak segera fokus dengan pekerjaannya.

“Apakah dia ada hubungannya dengan sekotak makanan yang setiap hari dikirimkan untuk diriku?” Sekar terus membatin.

Sekar memulai menata apa yang harus dikerjakannya. Tapi bayangan laki-laki itu terus menghantuinya.

“Nanti aku harus menanyakannya pada Warjo. Aku ingin tahu apakah dia ada hubungannya dengan perusahaan ini. Kalau ya, rasanya aku harus pergi dari sini. Aku tidak mau selalu dihantui oleh perasaan yang tak menentu. Ada yang membuatku takut, dan itu tidak akan membuat aku tenang dalam berkarya.”

Ia terus berusaha mengibaskan beribu tanda tanya yang memenuhi benaknya, sehingga kemudian bisa melanjutkan pekerjaannya.

Saat istirahat, ponsel Sekar berdering. Sekar berdebar, ada foto Barno terpampang dilayar, dan senyumnya mengembang. Ia teringat apa yang dikatakan ayahnya, bahwa Barno pantas menjadi pendampingnya. Apakah dirinya tidak mau punya mertua yang tidak berkasta? Itu pertanyaan ayahnya. Lalu senyumnya semakin melebar.

“Non !”

Sekar terkejut. Rupanya dia sudah mengangkat panggilan telpon itu tapi tidak segera menjawab, karena pikirannya melayang ke mana-mana.

“Eh … ya, Barno,” jawabnya sedikit gugup.

“Non sedang melamun? Atau masih sibuk? Kalau masih sibuk saya tutup dulu ya.”

“Tidak … tidak, Barno, saya sedang membenahi kertas-kertas di meja. Maaf ya,” jawabnya bohong.

“Ini sudah saatnya istirahat bukan?”

“Iya, aku sudah mau istirahat nih.”

“Ya sudah, berarti saya tidak mengganggu.”

“Tentu saja tidak. Apa kabarmu Barno?”

“Baik Non, sebenarnya saya cuma mau memberi tahu, bahwa minggu depan saya akan cuti selama seminggu.”

“Berarti kamu mau pulang?” lalu Sekar kaget karena ia berteriak, dan tampak seperti bersorak.

“Iya Non, sekaligus ada tugas ke kantor pusat.”

“Ooh.”

“Berarti saya akan ketemu pak Seno.”

“Ya. Pokoknya aku senang kamu pulang. Bibik kangen sekali sama kamu, dia pasti senang.”

“Apakah Non juga senang?” tanya Barno yang kemudian disesalinya sendiri, merasa begitu lancang.

“Maaf,” kemudian kata maaf disusulkannya.

“Aku senang, tentu saja.”

Kemudian Warjo masuk ke dalam ruangannya, dan meletakkan kotak nasi di meja Sekar. Tapi ketika Warjo membalikkan tubuhnya, Sekar berteriak.

“Tunggu Jo, jangan pergi dulu.”

“Non, ya sudah … saya mau makan dulu. Pastinya Non juga mau makan.”

“Iya, baiklah No, sampai ketemu.”

Lalu Sekar menutup ponselnya, menatap Warjo yang masih berdiri menunggunya.

“Ya Mbak …”

“Ini makanan sebenarnya dari siapa?”

“Waduh Mbak, saya kan sudah bilang bahwa dari seorang petinggi, tapi saya tidak tahu namanya.”

“Jangan bohong kamu. Dosa lhoh.”

“Ya ampun, kok Mbak jadi nyumpahin saya sih.”

“Bukan nyumpahin, tanpa disumpahin-pun, yang namanya bohong itu dosa.

“Dosa untuk kebaikan itu kan hukumannya ringan,” kata Warjo cengengesan, lalu membalikkan tubuhnya.

“Warjo, aku belum selesai bicara.”

“Ada apa lagi sih Mbak, kalau tanya namanya, sungguh saya tidak tahu. Lagian kenapa peduli sama namanya, yang penting makan enak, beres kan?”

“Tidak. Diberi oleh seseorang itu kan harus mengucapkan terima kasih. Tidak asal makan begitu saja.”

“Iya, Mbak Sekar benar, besok kalau ketemu saya akan bilang bahwa Mbak Sekar mengucapkan terima kasih.”

“Apa kamu ketemu setiap hari?”

“Tidak setiap hari Mbak, tergantung dia.”

“Kamu benar, tidak tahu namanya? Sudah berbincang setiap saat tapi tidak tahu namanya?”

“Iya Mbak.”

“Aku kasih tahu ya, namanya pak Seno. Suseno,” kata Sekar sambil menatap tajam Warjo.

Warjo tertegun, untuk sesaat tak bisa bicara.

“Jelas?”

“Kok …. Kok Mbak tahu sih?”

“Karena aku tahu dan kamu tidak, maka kamu aku beri tahu.”

“Maaf Mbak … sungguh ini bukan kemauan saya, tapi kemauan beliau. Dia tidak mau saya mengatakan siapa yang memberi.”

“Baiklah. Besok kamu bilang, bahwa tidak usah memberi aku makan siang.”

“Jangan begitu Mbak, uangnya sudah dibayarkan ke restoran itu, saya tinggal mengambil dan menyerahkannya pada Mbak.”

“Aku tidak mau.”

“Mbak, tolonglah Mbak, saya bisa kena hukuman kalau tidak bisa melaksanakan tugas saya dengan baik,” kata Warjo memelas.

“Kalau begitu makan saja oleh kamu sendiri.”

“Mbak jangan begitu, saya sudah mendapat jatah saya sendiri. Tolong Mbak, jangan menolak ya. Dia pemilik perusahaan ini. Saya bisa dipecat.”

Sekar membelalakkan matanya. Jadi dia bekerja di perusahaan milik keluarga Ridwan lagi? Mengapa dunia begitu sempit?

“Tolonglah Mbak,” Warjo masih memohon-mohon.

Tak urung Sekar merasa kasihan melihat Warjo. Akhirnya dia mengangguk, dan membiarkan Warjo pergi.

Tapi muncullah dilema yang mengusik hatinya. Sekarang dia tahu, perusahaan ini adalah juga milik keluarga Ridwan. Seno adalah petinggi yang dimaksud Warjo. Benarkah dia ingin lari dari sana? Di satu pihak dia menghindari Seno, satu pihak yang lainnya dia membutuhkan pekerjaan. Apakah dia harus mencari lagi lowongan pekerjaan yang lain? Dimana sangat susah mendapatkannya? Apa nanti ayahnya tidak akan ikut gelisah memikirkan keadaan ini?

Perlahan Sekar membuka kotak yang diantarkan Warjo. Nasi gudeg dan semua perlengkapannya. Ada telur pindang, ada paha ayam, ada sambal goreng ati, ada kerupuk. Semuanya menggugah selera. Mengapa ia harus menampik pemberian ini? Warjo saja sampai ketakutan ketika dia menolaknya. Apakah Seno juga mengancam bahwa pemberian ini harus sampai kepada dirinya, dan kalau tidak maka Seno akan memarahinya? Warjo bahkan takut Seno akan memecatnya.

Sekar tersenyum tipis. Begitu baik hati Seno terhadap semua bawahannya, mana mungkin dia akan memecat gara-gara nasi kotak ini?

Sekar menarik kotak makanan itu ke hadapannya, mengambil sendok, dan mulai menyuapnya. Wajah Seno terbayang. Wajah tampan yang tampak rapuh saat dia menolak cintanya. Ada rasa iba melihatnya, tapi apa yang harus diperbuatnya? Ada banyak masalah ketika ia membiarkan hati mereka bertaut. Lagi pula ada seorang laki-laki dari seorang ibu tanpa kasta yang selalu dirindukannya, walau cinta tak pernah terucap.

***

Elsa merasa kehabisan cara. Akal-akalan yang mengorbankan mobilnya sehingga penyok, tidak membuat hati Seno berpaling kepadanya. Ia bahkan merasa, sikap ayah Seno juga tidak ramah saat dia dianggap sakit di rumah mereka.

Bu Ridwan sedang duduk di ruang tamu ketika Elsa keluar dari kamar dan sudah rapi.

“Kamu mau ke mana?”

“Mau pulang saja Bu.”

“Kenapa pulang? Bukankah mobil kamu belum diantarkan kemari?”

“Saya sudah tanya ke bengkel. Seno memberikan alamat rumah Elsa, jadi mobil itu akan diantar ke rumah Elsa kalau sudah siap.”

“Hm, Seno itu memang keterlaluan. Orangnya ada di sini, mengapa mobilnya diantar ke sana?” omel bu Ridwan.

“Biar saja Bu, saya mau naik taksi.”

“Tunggu Seno saja, biar nanti dia mengantarkan kamu.”

“Tidak usah Bu, saya janjian mau ketemuan sama teman-teman kuliah saya. Mereka baru datang dari Amerika.”

“Oo? Tidak mengajak Seno, supaya kenal dengan teman-teman kamu?”

“Kami ketemuan di café, mana Seno mau? Malam-malam pula.”

Bu Ridwan diam. Agak kurang suka mendengar malam-malam Elsa mau ketemuan dengan teman-temannya. Itu kan salah satu yang tidak disukai Seno?

“Elsa, Seno memang tidak suka hura-hura. Bagaimana kalau kamu mengurangi kesukaan kamu yang suka bersenang-senang apalagi saat malam hari?”

“Memangnya apa salahnya kalau saya ketemuan dengan teman-teman saat malam hari? Kami terbiasa begitu. Dan percayalah saya tidak akan melakukan hal-hal yang buruk,” Elsa mencoba membela diri.

“Kalau kamu ingin Seno memperhatikan kamu, cobalah kurangi kesukaan kamu ber hura-hura itu.”

“Seno itu terlalu kolot. Harusnya belajar mengimbangi kemajuan jaman. Kalau saya mengikutinya, teman-teman saya akan mengatakan saya kuno, tidak berkelas.”

Bu Ridwan diam. Semakin lama semakin terbuka olehnya, bahwa Elsa tidak bisa mengimbangi gaya hidup Seno yang sederhana, dan pekerja keras, sementara Seno-pun tak akan bisa melakukan hal-hal yang diluar keinginannya.

“Baiklah Bu, saya pergi dulu. Saya sudah memanggil taksi.”

“Oh, iya Elsa, hati-hati di jalan.”

Elsa langsung pergi keluar, karena tampaknya taksi yang dipesan sudah menunggu didepan.

Bu Ridwan termenung. Pendidikan tinggi, keluaran universitas terkenal pula, tapi mana tata krama yang harusnya dimiliki, karena dia kan gadis Indonesia, Jawa pula. Ketika setiap anak muda berpamit kepada orang tua dengan mencium tangannya, maka hal itu tak pernah dilakukan Elsa. Baru sekarang bu Ridwan merasakannya.

Maka ketika siang hari itu ibu Elsa menelpon, menanyakan kapan akan menikahkan anak mereka, maka ragu-ragu bu Ridwan menjawabnya. Rupanya Elsa sudah menelpon ibnya, sehingga tiba-tiba dia menelponnya.

“Sebaiknya jangan tergesa-gesa dulu Eli, menikah itu bukan main-main. Anak-anak yang menjalani harus yakin pada pilihannya. Barulah hidup mereka akan bahagia.”

“Mengapa tiba-tiba kamu berkata begitu? Bukankah dari dulu kamu yang ingin berbesan?”

“Keinginan orang tua terkadang berbeda dengan anak. Aku baru sadar sekarang. Maaf ya Eli.”

“Maksudmu bagaimana sekarang?”

“Kita tunggu saja dulu, bagaimana maunya anak-anak.”

“Huuh, keburu tua.” Kata Eli sambil memutus sambungan telpon tiba-tiba.

Bu Ridwan menghela napas panjang. Tuh kan, sahabatnya tampak marah karena dia mengundur-undur pernikahan anak-anak mereka. Dari dulu dia sudah tahu kalau sahabatnya yang satu itu amat keras dan terkadang sedikit kasar. Ia ingin menghindari kata-kata ketus dan kasar itu, tapi mana mungkin memaksa Seno untuk menikah, sementara dari dulu dia sudah tahu kalau Seno tidak menyukainya.

***

Setelah makan malam, Sekar tidak langsung masuk ke kamarnya. Biasanya dia langsung menekuni kuliahnya yang memang dijalaninya melalui online.

“Ada apa Non? Kok malah melamun di sini?”

“Agak bingung aku bik.”

“Bingung kenapa?”

“Oh ya, apa Barno tadi menelpon bibik?”

“Tidak Non, memangnya kenapa?”

“Tadi menelpon, saat aku masih di kantor.”

“Oh ya? Cerita apa dia?”

“Katanya Minggu depan mau pulang.”

“Benarkah?” wajah bibik langsung sumringah.

“Dia cuti seminggu, tapi sebenarnya ada tugas untuk ke kantor pusat.”

“Wah, senang sekali bibik Non. Kapan persisnya dia pulang Non? Maksud bibik, hari apa … gitu.”

“Dia hanya bilang minggu depan."

“Pasti kalau sudah dekat akan ngabari kan Non?”

“Iya bik, begitu pastinya.”

“Lalu Non tadi sebenarnya mau bilang apa?”

“Oh iya, itu bik. Bingung aku.”

“Kenapa lagi Non?”

“Bibik tahu nggak, perusahaan dimana aku bekerja itu, sebenarnya milik pak Ridwan juga.”

“Pak Ridwan siapa sih Non?”

“Bibik lupa lagi sih? Pak Ridwan itu ayahnya mas Seno.”

“Oh iya, Non pernah memberi tahu bibik ya, duuuh … bibik sudah tua sih, lupa.”

“Hm, bibik tuh.”

“Nanti dulu Non, jadi Non itu pindah kerja, tapi kembali lagi di situ juga perusahaan milik pak Seno?”

Sekar mengangguk.

“Waduh, perusahaan kok nyebar di mana-mana. Malah Barno tanpa sengaja juga bekerja di sana.  Lalu kenapa Non bingung?”

“Bingung lah Bik, aku pindah kan karena menghindari mas Seno, ee .. ketemu lagi. Malah makan siang yang selalu dikirim itu, ternyata juga dari dia.”

“Lalu bagaimana Non? Apa pak Seno kemudian melarang Non melanjutkan kerja di sana?”

“Bukan begitu Bik, aku tuh bingungnya, apa aku harus keluar lagi, gitu lhoh.”

“Ya nggak usah Non, kalau di tempat yang sebelumnya, kan karena tunangan pak Seno yang ingin jadi sekretaris pak Seno, sekarang beda lagi. Biarkan saja, tetaplah bekerja. Non kan sudah merasakan, cari kerja itu susah lho.”

“Gitu ya Bik?”

“Iya, nggak usah pindah lagi, nanti lagi-lagi ketemu perusahaan milik pak Seno lagi, bagaimana. Sama juga bo ong kan?”

***

Tapi pada suatu hari ketika Sekar memergoki Seno ketemuan dengan Warjo, Sekar nekat mendekati, tidak lagi bersembunyi. Tentu saja Seno terkejut.

“Sekar?”

“Ternyata majikan saya juga mas Seno.”

“Aku baru tahu ketika sedang meninjau cabang baru ini. Aku senang kamu bekerja di sini. Apakah ketika tahu bahwa akulah pemilik perusahaan ini, lalu kamu juga mau lari?”

“Tidak.”

“Syukurlah, teruslah bekerja, aku tahu alasan kamu resign. Tentang tunangan aku kan? Tapi kamu tidak usah khawatir, dia tidak akan datang kemari.”

“Syukurlah, tapi aku tetap tidak mau dianggap menjadi penghalang.”

“Tidak, siapa yang menganggapmu? Nanti kalau masa percobaan kamu sudah selesai, aku akan mengangkat kamu menjadi sekretaris lagi.”

“Sekretaris mas Seno?”

“Tidak. Perusahaan ini dipegang oleh bawahan aku yang baru, yang aku serahi mengelolanya. Dia sudah berpengalaman dan tampaknya baik.”

“Oh, orang lain?”

“Kamu belum pernah bertemu pimpinan kamu di sini ya? Kamu akan menjadi sekretarisnya nanti, dan pasti akan menghadapinya setiap hari. Tapi dia tidak akan membuat aku cemburu, orangnya sudah setengah tua, tapi dia pintar. Namanya Samadi.”

Sekar merasa tanah yang dipijaknya bergoyang.

***

Besok lagi ya.


Wednesday, September 28, 2022

SEBUAH JANJI 38

 

SEBUAH JANJI  38

(Tien Kumalasari)

 

“Apa? Ibu kecelakaan? Dimana? Waduh, bapak sudah pulang,” sesal Seno panik.

“Kamu saja, datang ke sini.”

“Ibu luka? Harus ke rumah sakit?”

“Cepat datang kemari, alamatnya ibu kirim. Tuh sudah sharelok..”

“Baiklah.”

“Gimana ibu ini, kalau luka harusnya langsung ke rumah sakit. Mengapa malah aku disuruh datang kesana?” gumam Seno sambil berkemas.

Ia langsung memacu mobilnya ke arah yang ditunjukkan ibunya.

“Ibu luka? Mengapa tidak ke rumah sakit langsung Bu, supaya segera mendapat penanganan?” Seno masih saja menghubungi ibunya karena khawatir.

“Tidak parah, yang penting kamu segera datang.”

“Mengapa sih Ibu ini, membuat Seno khawatir saja.”

“Sudahlah, segera kemari, ibu tidak tahu harus bagaimana.”

“Seno tilpon bapak dulu saja Bu,”

“Tidak usah, malah bapakmu nanti ikutan khawatir. Ibu tidak apa-apa.”

Seno menutup ponselnya.

“Tidak apa-apa bagaimana ibu ini, namanya juga kecelakaan, tentu saja aku khawatir. Tempatnya jauh pula. Mau kemana ibu sebenarnya, dan naik apa?” gumam Seno tak henti-hentinya.

Tapi tak urung Seno juga mengabari ayahnya yang sudah ada di rumah.

“Kecelakaan di mana? Kata Simbok, tadi pergi sama Elsa,” kata pak Ridwan ketika Seno menelponnya.

“Apa? Sama Elsa? Kok ibu tidak bilang kalau perginya sama Elsa? Bukankah kalau terjadi sesuatu Elsa pasti bisa mengatasinya? Ke rumah sakit, atau bagaimana … malah membuat orang khawatir saja,” omel Seno yang mulai merasa tak senang ketika tahu bahwa ibunya pergi bersama Elsa.

Ia mulai memperlambat laju mobilnya. Sepertinya tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ibunya tidak mengatakan dengan jelas, kecelakaannya bagaimana, ada luka yang seperti apa, malah menyuruh Seno segera datang.

“Mau kemana sebenarnya ibu sama Elsa? Ada-ada saja,” Seno terus saja mengomel kesal.

Ketika mobil Seno berhenti di tempat yang dikatakan ibunya, ia melihat ibunya berdiri di dekat mobil. Tapi dia tak melihat Elsa.

Seno segera turun dan menghampiri ibunya.

“Ada apa Bu?”

“Ini, mobilnya menabrak pohon itu.”

“Seno melihat mobilnya penyok di bagian kiri. Tidak parah.

“Ini mobil Elsa?”

“Kok kamu tahu?”

“Bapak yang bilang, ibu perginya sama Elsa. Mana dia?”

“Tuh, di dalam mobil, katanya kepalanya pusing sekali.”

“Kalau begitu kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja?”

“Elsa tidak mau. Katanya hanya pusing karena kepalanya terantuk kemudi,” katanya sambil membuka pintu mobil, dan Seno melihat Elsa menelungkupkan kepalanya di atas kemudi.

“Saya panggil ambulans saja.”

“Jangan, dia tidak mau,” sanggah ibunya.

“Lalu bagaimana? Kalau sakit, hanya dokter yang bisa menyembuhkannya.”

“Bawa saja ke rumah, ayo bantu ibu membawanya masuk ke mobilmu.”

“Rumahnya Elsa?”

“Tidak, Elsa bilang di rumah tidak ada orang. Ayah ibunya sedang ada di luar negri.”

Seno sangat kesal mendengarnya.

“Ayo dong Seno, bantu ibu menurunkan dia,” kata bu Ridwan sambil mencoba menarik tubuh Elsa.

Elsa bergerak, lalu dengan gerakan lemah mencoba turun dari mobil.

“Aduuuh …” rintih Eksa sambil berdiri, tapi seperti tak kuat. Tubuhnya bersandar pada body mobil.

“Seno, bantu dia berjalan.”

Dengan wajah muram, Seno membantunya. Mau bagaimana lagi. Ada orang kesakitan, masa dia masih enggan menyentuhnya? Lalu Senopun memapah Elsa, yang kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Seno. Bu Ridwan mengikuti dari belakang, ada senyuman tersirat di bibirnya.

***

“Kita antarkan ke rumahnya saja kalau memang tak mau ke rumah sakit,” kata Seno dalam perjalanan.

“Nggak mau,” rintih Elsa.

“Maksudmu apa? Kalau sakit ya dokter yang bisa menanganinya.”

“Biar dokternya datang ke rumah kamu.”

“Jangaaan, nggak ada orang di rumah aku …”

“Seno, ibu kan sudah bilang, bawa ke rumah saja, nanti panggil dokternya di rumah kita saja. Kalau di rumah Elsa tidak ada orang, kasihan dong dia sedang sakit, masa sendirian?”

Tapi setiba di rumah, pak Ridwan juga menegur istrinya.

“Mengapa dibawa kemari? Tidak ke rumah sakit?” katanya ketika melihat Seno memapah Elsa yang tampak tak berdaya.

“Dia tidak mau,” jawab istrinya.

“Lalu kalau dibawa ke sini, siapa yang bisa mengobatinya?”

“Nanti kita panggil dokter pribadi kita dong Pak, kasihan dia.”

“Kenapa tidak dibawa ke rumah orang tuanya saja?”

“Katanya di rumah tidak ada orang.”

Bu Ridwan menyuruh membawa Elsa ke ruang atas. Tapi Seno menolaknya.”

“Tidak ke atas Bu, itu kamarku. Masa dia mau ditidurkan di kamar Seno?”

Lalu Seno membawa ke sebuah kamar yang ada di ruangan itu.

“Betul, di ruang tamu saja,” kata pak Ridwan. Ada wajah tak senang di sana.

Setelah mengantar Elsa ke kamar tamu lalu Seno meninggalkannya. Ia menelpon dokter langganan, agar datang ke rumahnya. Ia juga menelpon bengkel agar mengambil mobil Elsa yang ditinggalkan.

“Tampaknya dia tidak apa-apa. Apa ada luka?” tanya pak Ridwan kepada istrinya.

“Itu … kalau luka sih tidak kelihatan, tapi dadanya sakit, kepalanya juga merasa pusing,” kata bu Ridwan.

“Kamu bikin repot saja. Keluarganya kan ada, mengapa dibawa ke sini?”

“Bapak gimana sih, kan aku sudah bilang, keluarganya pada pergi, di rumah nggak ada orang. Masa sih, menolong calon menantu saja keberatan?”

“Menolong itu tidak memberatkan, ikhlas kok. Bahkan siapapun yang membutuhkan. Tapi kalau ada jalan yang lebih baik, kenapa tidak? Membawa ke rumah sakit, juga namanya menolong. Membayar biayanya, oke. Tapi kalau ke rumah, lalu ada apa-apa, bagaimana?” omel pak Ridwan.

Bu Ridwan tidak menjawab, tapi bibirnya cemberut bak kerucut.

“Bapak kok gitu,” omelnya.

“Aku bicara yang sebenarnya. Kamu sering melakukan sesuatu tanpa berpikir.”

“Ya sudahlah Pak, anaknya sudah di sini, bapak marah-marah terus, kalau dia mendengar kan jadi tidak enak.”

“Ya sudah terserah kamu saja.”

“Senoooo,” bu Ridwan berteriak memanggil Seno. Seno hanya membuka pintu kamarnya, melongok dari atas.

“Ada apa?”

“Kamu sudah menelpon dokter?”

“Sudah, Ibu tunggu saja,” katanya lalu menutup lagi pintu kamarnya.

Seno sudah naik ke kamarnya sesaat setelah mengantarkan Elsa ke kamarnya. Sebenarnya dia punya urusan sore itu, tapi berhubung ada masalah dengan ibunya, terpaksa dibatalkannya. Sekarang dia merasa kesal. Ia juga merasa, Elsa sengaja menempel padanya saat dipapah, entahlah. Barangkali karena rasa tidak suka itulah maka pikirannya jadi yang tidak-tidak.

Bu Ridwan masuk ke kamar dimana Elsa berbaring.

“Seno tetap saja tidak peduli, Bu.”

“Peduli kok, tadi kan kamu dirangkulnya?”

“Karena terpaksa. Begitu masuk kamar, aku seperti dilemparkan begitu saja ke atas kasur,” gerutunya.

“Masa sih?”

“Iya, kesal Elsa Bu. Lebih baik Elsa pulang saja.”

“Bagaimana sih kamu. Mengejar sesuatu itu harus dengan perjuangan. Seno sudah memanggil dokter, sebentar lagi pasti datang.”

Elsa menggeliat, ia tak sedikitpun terluka. Mobilnya hanya menyerempet pohon, dan itu memang disengaja. Lalu ia pura-pura kesakitan. Akal-akalan bu Ridwan-lah semua itu. Elsa tinggal menurut. Tapi walau melihat dirinya ‘kesakitan’, Seno seperti tak peduli.

Dari luar pintu ia mendengar pak Ridwan berbicara dengan seseorang. Rupanya dokter yang dipesan itu sudah datang.

“Iya, silakan, ada di kamar itu, istriku ada di dalam kok. Maaf mengganggu,” kata pak Ridwan yang terdengar dari dalam kamar.

Bu Ridwan segera keluar, membiarkan dokter masuk ke dalam.

“Siapa yang sakit?” tanya dokter ramah.

“Ini dok, menantu saya, eh … calon menantu … “

“Sakit apa? Yang dirasakan apa?”

“Dada agak sesak, kepala pusing dok,” kata Elsa.

“Lho, memangnya kenapa?”

“Tadi mobilnya nabrak pohon, dia kesakitan,” bu Ridwan menjawab.

Pak Ridwan duduk di ruang tamu. Bagaimanapun dia merasa khawatir. Kalau sampai sakit Elsa parah, dia akan memaksanya membawa ke rumah sakit. Sangat riskan merawat orang sakit di rumah, apalagi bukan anggauta keluarganya.

Kemudian ketika dokter itu keluar, lalu pak Ridwan mempersilakannya duduk.

“Kenapa dia?” tanya pak Ridwan begitu sang dokter duduk.

“Tidak apa-apa kok. Tidak ada memar, dan dia baik-baik saja. Barangkali tadi memang terantuk kemudi, tapi pelan, tidak terlalu keras.”

“Jadi tidak berbahaya?”

“Tidak, sama sekali tidak. Saya sudah memberikan resepnya, hanya penghilang rasa sakit, tidak ada yang serius.”

“Oh, baiklah kalau begitu.

***

“Bagaimana pekerjaan kamu?” tanya pak Winarno ketika sedang berdua bersama Sekar.

“Baik Pak.”

“Kamu suka?”

“Lumayan Pak, yang penting bisa beradaptasi dengan lingkungan, dan bisa mengerjakan semua tugas dengan baik.”

“Kata bibik ada yang suka memberi kamu nasi kotak untuk makan siang?”

“Iya Pak, sudah dua hari ini. Sekar tidak tahu, itu dari siapa, Kata OB di kantor Sekar, dari salah satu petinggi perusahaan.”

“Sekar juga bingung, kok hanya Sekar yang dikasih. Kata OB, mungkin karena kerja saya bagus. Entahlah, mau menolak ya nggak enak," lanjut Sekar.

“Sebuah pemberian itu bisa saja karena kamu berperilaku atau bekerja dengan baik, tapi bisa juga karena ada pamrih tersembunyi. Nah yang terakhir ini kamu harus hati-hati. Tidak enak lho mendapat pemberian.”

“Benar Pak, Sekar juga bertanya-tanya, tapi mau menolak juga nggak enak. Jadi ya sudahlah, Sekar terima saja. Sekar sudah minta pada bibik untuk tidak lagi membawakan bekal makan untuk Sekar, sayang kalau tidak termakan.”

“Nanti bibik kecewa.”

“Iya sih.”

“Begini saja, bawa bekal dari bibik untuk sarapan, kalau saat makan siang dapat jatah ya tinggal dimakan lagi. Tapi tetap pesan bapak, kamu harus selalu berhati-hati.”

“Baik Pak, Sekar akan selalu berhati-hati.”

“Kuliah kamu bagaimana?”

“Baik kok Pak, Sekar bisa menjalani dengan baik. Bapak tidak usah khawatir.”

“Maafkan bapak ya nduk, kamu ingin kuliah tapi harus mencari biaya sendiri.”

“Kenapa Bapak harus minta maaf? Sekar senang melakukannya. Dan menikmati hasil keringat sendiri itu bukan main senangnya.”

“Kamu memang anak bapak yang baik. Bapak bangga punya kamu. Semoga hidup kamu selalu berlimpah kebahagiaan.”

“Aamiin. Atas doa Bapak, semoga Sekar bisa mencapai cita-cita Sekar.”

“Dan segera setelah itu, menikahlah dengan laki-laki yang bisa menjadi imam dalam hidup kamu.”

“Aamiin. Iih Bapak, kok sampai ke ‘menikah’ segala,” kata Sekar tersipu.

“Kamu sudah dewasa, kamu pikir kamu masih anak-anak?”

“Tapi kan masih nanti, Sekar harus bisa menyelesaikan kuliah Sekar dulu.”

“Iya, baiklah.”

Sekar menyandarkan tubuhnya. Tiba-tiba wajah Barno terbayang.

“Mengapa dengan dia? Aku selalu mengingatnya, bahkan merindukannya, apakah aku benar-benar jatuh cinta sama dia? Padahal diantara aku dan dia, tak pernah terucap sepatahpun kata cinta. Apakah mata kami pernah bicara?” kata batin Sekar.

“Kamu mikir apa?” tiba-tiba ayahnya mengejutkannya.

“Oh … eh … tidak Pak, Sekar hanya ….”

“Kamu melamunkan sesuatu?”

“Tidak, hanya mengantuk.”

“Barno seorang laki-laki yang baik,” dan kata-kata ayahnya ini benar-benar membuatnya terlonjak.

“Aap … apa?”

“Bapak pernah bermimpi, tentang seorang laki-laki baik yang akan bisa menjadi pelindung dalam hidup kamu. Dan laki-laki itu adalah Barno.”

Dada Sekar berdegup kencang.

“Apakah kamu merasa hina menjadi menantu seorang yang tidak berkasta?”

Sekar tidak mengira, ayahnya akan berkata begitu terbuka dan berterus terang.

“Bapak pernah meminta agar dia berjanji saat bapak sakit keras. Bapak ingin agar dia mau menjaga kamu,” lanjut pak Winarno.

Sekar tak menjawab. Ia memandangi ayahnya dengan air mata berlinang. Ia melihat mata tua itu tampak masih bersinar terang, penuh harap ketika menatapnya. Jadi ayahnya sejak lama berharap agar Barno bisa mendampinginya? Sekar masih merasa belum begitu jelas mengurai perkataan ayahnya.

“Kamu belum menjawab pertanyaan bapak.”

“Aap ..apa yang harus Sekar jawab?”

“Apakah kamu keberatan menikah dengan orang yang tidak berkasta?”

Sekar menggeleng pelan. Bayangan Barno kembali melintas. Laki-laki itukah yang diharapkan ayahnya agar bisa mendampinginya?

“Jadi kamu mau, seandainya menjadi istrinya?”

“Is … tri ,,, ss..siapa?”

“Barno lah. Kamu kelihatan bodoh sekali sore ini,” kesal pak Winarno.

“Jja di.. Bapak ingin … agar Sekar menikah dengan … dia?”

“Hanya sebuah harapan. Bapak berharap kamu tidak menolaknya.”

Sekar menubruk ayahnya, terisak di bahunya.

“Kamu keberatan?”

Sekar menggeleng-gelengkan kepalanya, dan dengan senyuman bahagia pak Winarno mengelus putri semata wayangnya.

***

Pagi itu Sekar sudah sampai di kantornya. Dia hanya naik ojol, karena kebetulan sepeda motornya bocor dan kemarin tidak sempat pergi ke bengkel.

Tiba-tiba Sekar tertegun. Agak ke kanan dari pintu masuk, ia melihat Warjo berbicara dengan seseorang disamping sebuah mobil. Mata Sekar terbelalak, karena dia mengenal laki-laki tersebut. Ia kemudian bersembunyi di balik sebuah pohon besar, dengan kaki gemetar.

***

Besok lagi ya.

Tuesday, September 27, 2022

SEBUAH JANJI 37

 

SEBUAH JANJI  37

(Tien Kumalasari)

 

Sekar menutup pembicaraannya dengan Barno. Ia menyimpan ponselnya ke dalam laci, kemudian menghirup teh di atas meja kerjanya. Minuman yang sudah dingin, tapi lumayan menghilangkan dahaganya. Kemudian dia ke kamar mandi, mengambil wudhu dan shalat, di ruangan itu juga. Ia merasa lega setelah melakukannya.

Kemudian ia membuka bekal yang dibawanya dari rumah, untuk dimakannya. Bibik selalu membawakan bekal makan siang untuk non cantiknya.

“Biar irit, Non tidak usah makan di luar,” pesannya waktu itu.

Perlahan Sekar membuka bekalnya. Ada nasi, ca kangkung dan lele goreng, serta sambal. Sekar tersenyum. Ia memiliki ruang sendiri, sehingga tidak sungkan ketika saat makan dia memakan makanan bekalnya.

“Sekar, mau makan di kantin?” sapa salah seorang rekan kerjanya sambil menjenguk ke arah ruangannya.

“Tidak, terima kasih, saya membawa bekal,” jawabnya sopan.

Teman-teman Sekar senang karena Sekar selalu ramah kepada siapapun, dan santun kepada yang lebih tua.

Sekar mengeluarkan botol air putih yang juga dibawakan bibik bersama dengan makanannya. Diletakkannya botol itu di meja kerjanya.

Tapi tiba-tiba seorang OB datang dengan membawa kotak makanan, lalu diletakkannya di mejanya.

“Mbak Sekar, ini makan siang untuk Mbak.”

Sekar terkejut.

“Lhoh, aku tidak memesan makanan. Pasti kamu salah Jo.”

“Tidak, seseorang menyuruh saya untuk memberikan ini untuk Mbak.”

“Siapa?”

“Saya … tidak tahu namanya.”

“Lhoh, masa nggak kenal kok nyuruh-nyuruh sih?”

“Dia salah seorang petinggi di perusahaan ini.”

“Petinggi?”

“Ya. Mana berani saya menolaknya.”

“Siapa sih dia? Aku tidak mau menerima kalau tidak tahu siapa orangnya.”

“Mbak jangan begitu. Saya bisa mendapat hukuman kalau Mbak menolaknya.”

Sekar mengerutkan dahinya. Siapa orang yang membuat OB ini ketakutan? Dan aneh, kalau petinggi, masa seorang bawahan tidak tahu namanya?”

“Ya sudah Mbak, makan saja. Tidak bagus menampik rejeki,” kata OB itu kemudian berlalu.

Sekar menghela napas kesal. Siapa yang tiba-tiba memberi aku makanan? Padahal dis sudah membawa bekal? Karena penasaran Sekar membuka kardus berwarna putih itu.

“Haa, nasi … rendang … sayuran …lalu ada jus buah juga?”

“Sekar memang sudah lapar. Hampir menetes air liurnya ketika melihat makanan itu. Ia sudah mengambil sendok untuk mencicipinya, tapi dia ragu-ragu.

“Jangan-jangan makanan ini beracun. Bagaimana kalau setelah makan, kemudian aku merasa mual, pusing, muntah lalu tak sadarkan diri dan … mati?” gumamnya sambil menghentikan keinginannya menyendok makanannya.

Tiba-tiba OB itu kembali lagi.

“Mbak Sekar, buahnya ketinggalan di meja saya,” katanya sambil meletakkan sebuah jeruk besar werwarna kuning emas.

“Jo … “

“Segera makan Mbak, jangan takut, makanan itu tidak beracun, saya juga mendapatkannya, dan sudah saya makan sampai habis, dan saya masih hidup nih.”

Sekar tertawa lucu. OB bernama Warjo ini sangat lucu dan mnyenangkan. Dia heran Warjo seperti bisa membaca kata hatinya.  Khawatir tentang makanan, yang jangan-jangan beracun dan membuat dia mati. Kok dia bilang bahwa dirinya makan nyatanya masih hidup, Itu yang membuatnya tertawa.

“Jadi kamu juga mendapat makan siang seperti ini?”

“Iya Mbak. Kok dari tadi Mbak hanya memegangi sendok dan tidak segera dipakai untuk menyendok?”

“Iya Jo, masih agak ragu, soalnya nggak jelas dari siapa.”

“Iya sih, tapi kalau bagi saya jelas sekali. Dia itu kan atasan kita. Cuma tidak setiap hari datang kemari.”

“Oh, begitu ya.”

“Ya sudah Mbak, segera makan, nanti saat istirahat keburu habis.”

“Terima kasih ya Jo.”

Warjo mengacungkan jempolnya, kemudian berlalu. Mau tak mau Sekar menikmati nasi rendang itu, dan sejenak melupakan lele goreng dan sambal buatan bibik.

“Aku akan minta maaf nanti pada bibik, karena telah mengabaikan bekal yang dibawakannya,” gumam Sekar yang kemudian mulai makan.

Sejauh ini tak ada yang dikeluhkan dengan pekerjaannya. Dia bisa menjalaninya, dan menemukan rekan-rekan kerja yang sangat baik.

***

“Mengapa Sekar resign? Apa dia membuat kesalahan dan kamu menegurnya?” tanya pak Ridwan kepada Seno saat datang ke kantor. Seminggu yang lalu pak Ridwan pergi, dan baru kembali. Ia terkejut ketika tahu bahwa Sekar telah tidak ada di ruangan Seno.

“Bukan karena kesalahan atau apa. Dia bilang akan fokus pada kuliahnya.”

“Sayang sekali. Dia bekerja dengan baik.”

“Benar.”

“Bagaimana dengan cabang baru itu? Berjalan dengan baik?”

“Baik. Pengelolanya orang yang sudah berpengalaman. Semoga menjadi semakin baik, kan baru tiga bulanan berjalan.”

“Bagus. Bapak senang kamu bisa mengatur semuanya dengan baik."

“Bapak kan yang mengajarkannya pada saya.”

“Kemarin ibumu menanyakan lagi, tentang kemungkinan Elsa untuk menjadi sekretaris kamu. Dengan resign-nya Sekar, tidak ada alasan untuk menolaknya.”

“Tidak. Banyak alasan untuk menolaknya. Seorang sekretaris harus mengerti tentang perusahaan. Tidak asal cantik dan bisa mengetik.”

“Jadi kamu tetap akan menolak kalau ibumu membicarakannya lagi?”

“Iya pak. Alasan agar kami bisa selalu dekat itu tidak masuk akal. Ini sebuah perusahaan. Membutuhkan keseriusan kerja, bukan asal dekat dan hati senang. Apakah Bapak setuju dengan keinginan ibu?”

“Tidak. Bapak sudah memarahi ibumu saat membicarakannya.

“Syukurlah.”

“Tapi kamu tampak tidak bersemangat. Karena tidak ada Sekar?”

Seno menunduk, tersipu. Dan itu benar. Semangatnya agak surut, karena setiap dia memandang ke arah meja kerja yang diduduki Sekar, ia mendapatkan pemandangan yang kosong. Tak ada siapapun, kosong, seperti jiwanya.

“Apa kamu menyukai Sekar?”

Seno terkejut. Ia menatap wajah ayahnya lekat-lekat. Mencari jawab, apakah ayahnya akan menunjukkan sikap tak suka seandainya dia berterus terang.

“Benarkah?” ulang pak Ridwan.

“Apakah Sekar tidak pantas seandainya menjadi menantu Bapak?”

“Jadi benar, kamu menyukainya?”

“Bapak akan memarahi saya?”

Pak Ridwan tertawa.

“Kamu itu, mengapa belum-belum sudah ketakutan seperti itu?”

“Sekar adalah anak dari keluarga sederhana. Bukan pengusaha, bukan konglomerat seperti keluarganya Elsa.

“Apakah menurutmu bapak punya ukuran tentang menantu yang bapak inginkan? Tentang derajatnya, kekayaannya ….”

“Entahlah, Seno tidak mengerti.”

“Bagi bapak, kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan bapak.”

“Jadi ….”

“Sekar gadis yang baik, dan bersemangat tinggi. Bapak kagum sama dia.”

“Sayangnya dia menjauhi Seno karena dia tahu Seno sudah punya tunangan.”

“Oh ya? Kenapa kamu risau? Kejar dia.”

Semo tersenyum senang. Ada yang disembunyikannya dalam senyum itu. Apa yang dikatakan ayahnya adalah penyemangatnya dalam mengejar cintanya.

***

“Bik, aku minta maaf ya,” kata Sekar begitu sampai di rumah, dan langsung menemui bibik di belakang.

“Kenapa Non? Datang-datang kok minta maaf?”

“Ini lho bik, bekal yang bibik bawakan, tidak sempat Sekar makan.

“Waduh, banyak pekerjaan sampai nggak sempat makan ya? Kasihan Non, pasti Non lapar dong. Kalau begitu makan saja sekarang. Nanti Non bisa kurus.”

Sekar tertawa sambil meletakkan kotak makan yang masih utuh.

“Bibik jangan khawatir. Tadi Sekar mendapat makanan dari sana.”

“Dari kantor? Biasanya tidak kan?”

“Tadi, katanya ada petinggi perusahaan yang datang, kemudian memberi Sekar makan.”

“O, sudah dapat jatah? Ya sudah nggak apa-apa, sini, nanti bibik makan saja.”

“Jangan Bik, nanti akan Sekar makan setelah mandi. Sayang, lele gorengnya enak sih.”

Bibik tertawa.

“Ya sudah, nanti bibik ganti saja tempatnya di piring, supaya lebih enak Non Sekar makannya.”

Sekar mengangguk, lalu membalikkan tubuhnya, menuju ke kamarnya.

***

 Tapi hari itu, Sekar kembali mendapatkan sekotak nasi yang lagi-lagi diantarkan oleh sang OB yang baik hati.

“Jo, ini apa lagi?”

“Saya juga nggak tahu Mbak, disuruh menyerahkan sama Mbak. Bahkan pesannya setiap hari begitu.”

“Apa?” Sekar terkejut. Setiap hari mendapat jatah makan siang? Dan hari ini adalah nasi ayam goreng dan sayuran serta sambal.

“Jo, tunggu Jo,” teriak Sekar menghentikan langkah Warjo.

“Ya Mbak.”

“Apakah semua karyawan mendapat makan seperti ini juga?”

“Tidak Mbak, hanya Mbak, dan saya,” jawab Warjo sambil tersenyum, kemudian melanjutkan langkahnya.

“Sebentar Jo!”

Warjo terpaksa kembali mendekati meja kerja Sekar.

“Mengapa begitu? Mengapa hanya saya? Saya kan jadi tidak enak sama yang lain.”

“Mungkin karena kerja Mbak bagus, jadi mendapatkan ekstra makan siang. Kalau saya, diberi juga tapi karena saya mendapat tugas mengantarkannya kemari.”

“Ini aneh. Bagaimana kalau teman lain tahu? Jadi nggak enak aku Jo.”

“Tidak ada yang tahu Mbak, mereka tahunya adalah Mbak memesan makanan melalui saya.”

“Siapa sebenarnya dia?”

“Permisi Mbak,” dan kali ini Warjo benar-benar keluar dari ruangan.

Sekar terpaku di tempat duduknya. Hari ini bekal yang dibawakan bibik kembali hangus tak termakan. Tapi Sekar berpikir kembali, besok akan ada dan besoknya, dan besoknya, karena Warjo bilang setiap hari akan ada makanan untuk dirinya.

***

“Ibu, kapankah Elsa boleh bekerja di kantor Seno?” tanya Elsa ketika siang itu kembali datang ke rumah Seno.

“Nanti dulu Elsa, bersabarlah. Harus seijin ayahnya Seno, ibu tidak bisa memastikannya.”

“Kalau tidak bisa juga, lalu kapan Elsa bisa berdekatan dengan Seno? Setiap hari dia selalu menghindar. Apa Ibu tidak merasa  aneh, sudah bertunangan tapi tidak pernah pergi berdua?”

“Ibu sudah bilang sama Seno. Tapi dia itu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Apalagi sekarang ada perusahaan baru dibawah perusahaan Seno juga.”

“Bagaimana kalau lama-lama Seno jatuh cinta pada sekretarisnya yang kampungan itu?”

“Tidak mungkin-lah El, sama orang secantik kamu saja dia tidak tertarik, dan susah untuk didekatkan, apalagi sama sekretarisnya yang kampungan itu.”

“Tapi kalau setiap hari ketemu, lalu sekretaris kampungan itu pintar merayu, apa tidak bisa terjadi, lama-lama Seno jatuh cinta sama dia? Elsa sangat khawatir kalau hal itu benar-benar terjadi Bu.”

“Jangan khawatir Elsa, kamu itu jauh diatasnya, dia bukan type Seno, percayalah.”

“Bagaimana kalau saya ke kantornya lagi saja Bu.”

“Jangan Elsa, nanti Seno marah lagi. Dia itu tak suka kalau ada orang mengganggu saat dia bekerja.”

“Bagaimana kalau sama Ibu?”

“Ayahnya nanti yang akan marah.”

“Ya ampun Bu, tolonglah cari jalan, agar Seno mau memperhatikan Elsa.”

“Dengar Elsa, Seno itu orang yang sangat susah dimengerti. Itulah sebabnya, ibu ingin kamu bisa jadi sekretarisnya, supaya kamu mengerti apa yang tidak disukai Seno, sehingga kamu bisa menghindari hal-hal tersebut. Tapi bagaimana lagi, ibu sedang mencari jalan untuk mendekatkan kalian.”

“Elsa sudah tak sabar lagi Bu, Elsa sangat mencintai Seno.”

“Bersabarlah Elsa, Oh ya, baiklah. Tampaknya ada jalan supaya kita bisa mempertemukan kamu dan Seno..”

“Benarkah?” sahut Elsa penuh harap.

“Tunggu sebentar, ibu mau ganti pakaian dulu.  Nanti kita pergi bersama-sama.”

“Langsung ke kantornya Seno?”

“Tidak, sudahlah nanti kita bicara lagi. Tidak mungkin langsung ke kantornya, nanti Seno marah, apalagi ayahnya.”

“Lalu bagaimana?”

“Tunggu, ibu ganti pakaian dulu ya.”

***

“Yanti, besok aku harus berangkat pagi-pagi.” Kata Samadi yang siang itu pulang untuk makan siang.

“Aku mendapat tugas ke Jakarta. Ada urusan perusahaan di sana.”

“Lhoh, kok Mas yang mendapat tugas? Mas kan pemilik perusahaan itu?”

“Iya, benar. Tapi ada urusan perijinan yang harus aku tangani sendiri.”

“Berarti bukan mendapat tugas dong namanya. Masa bos kok disuruh-suruh?"

“Aku sendiri yang menyuruhnya, bukan siapa-siapa.”

“Mas istilahnya aneh-aneh.”

“Pengusaha itu memang istilahnya terkadang tidak dimengerti. Kamu tidak usah ikut-ikutan, biar semua aku yang urus.”

“Tapi sekali-sekali aku ingin dong, ikut Mas ke kantor.”

“Untuk apa ikut? Kamu juga tidak akan mengerti apa-apa.”

“Sesekali kan nggak apa-apa sih Mas, aku ingin, supaya orang tahu, bahwa aku ini istri Mas.”

“Mengapa juga ingin begitu?”

“Ya supaya pada tahu kalau aku istri bos-nya. Kalau sudah tahu, tak akan ada karyawan perempuan yang akan menggoda Mas.”

Samadi terbahak.

“Aku kan sudah tua, mana ada yang menarik  hati perempuan?”

“Perempuan itu terkadang tertarik bukan karena tua atau muda. Bisa jadi mereka tertarik karena uangnya. Ya kan?”

“Kamu ada-ada saja. Aku itu malah tidak tahu karyawan-karyawan di perusahaan aku.”

“Kok aneh, pemilik perusahaan tidak mengenal karyawannya?”

“Kan ada yang mengurus. Masa aku harus mengurus hal-hal kecil.”

“Jadi Mas juga tidak tahu, apakah ada karyawan cantik di kantor Mas?”

“Tidak, mana bisa aku tahu, aku tidak mau mengurus soal itu. Yang penting semua berjalan dengan baik.”

“Bolehkah besok aku ikut ke Jakarta?”

“Aduh Yanti, untuk apa ikut? Aku hanya akan mengurus perijinan, lalu pulang.”

“Tidak lama perginya?”

“Kalau lancar ya dua tiga hari bisa pulang. Kamu bersenang-senanglah, bukankah kamu masih punya uang banyak?”

“Ya sudah, terserah kamu saja, yang penting kalau urusannya selesai, harus cepet pulang ya.”

“Iya. Masa aku betah pergi meninggalkan kamu berlama-lama.”

***

Hari mulai sore, dan Seno sedang bebenah untuk pulang. Selama belum menapat sekretaris baru, Seno masih mengerjakan semuanya sendiri, dan hanya terkadang dibantu oleh orang yang sudah dianggapnya mengerti.

Tiba-tiba ponselnya berdering, Seno buru-buru mengambil ponselnya. Dari ibunya.

“Ya Bu, ada apa?”

“Tolong kemari Nak, ibu kecelakaan.”

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...