Wednesday, August 31, 2022

SEBUAH JANJI 16

 

SEBUAH JANJI  16

(Tien Kumalasari)

 

Jalanan begitu ramai saat itu. Lalu lintas begitu padat sehingga taksi yang ditumpangi Yanti hanya bisa merayap. Karena takut kesiangan, Yanti meminta sang pengemudi taksi untuk berbelok arah, menuju pasar. Ia harus lebih dulu berbelanja, barulah kemudian menemui Samadi.

Minar yang mengikuti heran, karena taksi yang ditumpangi Yanti tidak mengarah ke rumahnya. Ia menepikan mobilnya, dan menelpon suaminya. Kalau suaminya pergi, berarti mereka kencan di suatu tempat. Padahal tadi pagi sang suami masih sesambat tubuhnya sakit semua.

“Hallo,” sapa Samadi dari seberang, dan kelihatan sangat malas.

“Mas ada di mana?” tanya Minar.

“Apa maksudmu? Badanku sakit semua, dan kamu masih bertanya aku di mana? Lagi pula kamu bawa mobilku bukan?”

“Ya sudah, aku cuma bertanya. Aku lagi dijalan, mau membelikan makan untuk Mas, jadi aku bertanya dulu.”

“Tidak usah membelikan apa-apa. Bukankah tadi pagi kamu sudah menyiapkan makanan untuk makan siangku?”

“Iya sih, barangkali Mas ingin yang lebih fresh, bukan makanan pagi tadi.”

“Tidak mau. Sudah, aku mau tidur saja, kamu malah mengganggu,” kata Samadi kesal.

“Aku kan menunjukkan bahwa aku sangat perhatian sama Mas?”

“Aku lagi menahan sakit, sudah … jangan ngomong lagi,” kesal Samadi.

“Jadi nggak mau nih, dikirim makanan?”

“Nggak itu ya enggak. Makan saja sendiri, daripada aku nggak mau memakannya nanti.”

“Ya sudah, kalau begitu.”

Minar merasa sedikit lega, ternyata Yanti tidak pergi ke rumahnya untuk menemui suaminya.

“Iya juga sih, berani datang ke rumahku, apa mencari mati?"

Lalu Minar membawa mobilnya kembali ke warung.

“Mengapa ya, aku kok selalu sja merasa curiga atas kedua orang itu. Benarkah kata Ari bahwa aku terlalu berlebihan? Hm, bisa saja Ari ngomong begitu, dia kan belum tahu seperti apa mas Samadi itu sebenarnya,” gumamnya terus sambil membawa mobilnya.

***

Yanti yang sudah selesai berbelanja, sedang menunggu taksi yang dipanggilnya, ketika ponselnya berdering.

“Yanti?” suara Samadi dari seberang.

“Ya Pak?”

“Jangan ke rumahku, kamu ada di mana?”

“Masih di pasar. Aku berdalih ingin belanja, supaya bisa menemui Bapak.”

“Jangan di rumahku, aku khawatir Minar tiba-tiba pulang.”

“Memangnya dia bilang mau pulang? Biasanya tidak pernah pulang siang kan?”

“Tapi kan dia tahu bahwa aku lagi sakit. Tadi dia sudah menelpon untuk membawakan aku makanan. Biarpun aku sudah menolaknya, tapi aku khawatir dia nekat pulang.”

“Sebenarnya Bapak mau ngomong apa sih? Aku sudah memarahi Sekar, aku sedang mencari cara supaya dia mau menuruti kata-kataku.”

“Tidak. Aku urung menginginkan dia.”

“Lalu bagaimana?”

“Bayar hutang kamu, atau kamu menjadi simpananku.”

Yanti sudah menduga, bahwa kata-kata itulah yang akan dikeluarkan Samadi. Dia masih berpikir.

“Mengapa diam? Kembalikan uang aku, berikut bunga yang tertunggak, atau kamu turuti kata-kataku. Badanku masih sakit semua ini.”

“Sebenarnya apa yang terjadi? Sekar melawan, dan Mas tidak berdaya? Rasanya aku tidak percaya.”

“Bukan Sekar pelakunya.”

“Bukan? Tapi dia datang sendirian.”

“Menurutmu? Ternyata dia membawa teman. Seorang laki-laki tinggi besar. Merusak pintu rumah yang aku sewa, lalu menghajarku sampai babak belur.”

“Ya ampuun. Siapa dia? Mungkin tetangga di sekitar rumah situ yang mendengar sesuatu yang mencurigakan.”

“Tidak, tampaknya dia mengenal Sekar. Aku kira dia pacarnya.”

“Apa Sekar punya pacar?”

“Tanya saja anak tirimu itu. Dia mati-matian membela Sekar. Aku tidak mau berurusan dengan manusia kasar macam dia.”

“Siapa ya?”

“Sudahlah, jangan banyak berpikir. Ada dua tawaranku, kamu boleh memilih salah satu. Kalau sudah kamu dapatkan uangnya, atau kamu bersedia melakukannya, hubungi aku. Waktumu hanya tiga hari.”

“Apa? Tiga hari?”

“Tiga hari itu cukup. Aku tak bisa lama-lama menunggu.”

Lalu sambungan itu terputus. Yanti terpaku di tempatnya. Sesungguhnya dia tidak begitu menyukai Samadi. Dia bermanis-manis dihadapannya, hanya karena agar Samadi tidak menekannya dalam hutang piutang itu. Ia senang Samadi tak memaksanya membayar bunga. Tapi kali ini dia serius, bukan hanya bunganya, dia juga minta pokoknya dikembalikan.

***

“Dari mana kamu?” tanya Ari karena Minar pergi tergesa-gesa, tanpa pamit pula.

“Mengekor perginya Yanti.”

“Apa maksudmu?”

“Aku tuh, sungguh tetap merasa curiga sama mereka.”

“Mereka siapa?”

“Yanti sama suamiku lah, siapa lagi?”

“Ya ampun, Minar.”

“Kamu jangan menyalahkan aku, aku merasa  melihat gelagat yang tidak baik diantara mereka. Terkadang bicara berbisik-bisik dan senyum-senyum begitu.”

Ari justru tertawa.

“Kok tertawa sih? Aku serius nih.”

“Kalau kamu belum menemukan buktinya, jangan menuduhnya."

“Aku sedang mau mencari buktinya.”

“Baiklah, tenangkan dulu pikiran kamu. Ingat bahwa kita bersahabat. Jangan sampai persahabatan kita retak karena kecurigaan yang tidak beralasan.

“Coba saja ya, pasti aku akan menemukan buktinya. Sekarang ini dia jarang pulang bersama kamu kan? Ada-ada alasannya.”

“Lalu kamu mengira dia berkencan sama suami kamu?”

“Mungkin saja.”

Pembicaraan itu terhenti karena Yanti sudah kembali dan langsung masuk ke dapur, untuk menyerahkan barang belanjaannya.

“Tuh, jangan ngomel lagi. Yang diomongin sudah datang,” Ari mengingatkan.

***

Sekar sedang menghitung uang pembayaran sepeda motornya, ketika ponsel bibik berdering.

“Dari Barno,” katanya sambil mengangkat ponselnya.

“Simbok ?” sapa Barno dari seberang.

“Ya No, ada apa?”

“Ada berita apa di rumah situ Mbok?”

“Ceritanya panjang, kalau ketemu saja cerita.”

“Apa non Sekar jadi menjual sepeda motornya?”

“Sepertinya jadi No, tuh, non Sekar sedang menghitung uangnya, dan sepeda motornya sudah dibawa temannya baru saja.”

“Sayang sekali ya Mbok, menyesal kita tidak bisa membantunya.”

“Ya tidak bisa No, kita saja bisa punya uang kalau diberi oleh mereka. Saat mereka butuh juga hanya bisa ikut prihatin.”

“Kebetulan aku mau ketemu dosen lagi, nanti aku mampir, sepeda motornya aku tinggal di situ, biar dipakai non Sekar.”

“Iya, terserah kamu saja. Kan kemarin kamu sudah bilang sama Non Sekar?”

Setelah Barno menutup pembicaraan itu, bibik segera mendekati Sekar.

“Non, Barno tadi menelpon.”

“Ya Bik, ada apa?”

“Nanti Barno mau kemari, sepeda motornya mau ditinggal di sini saja.”

“Eh, jangan Bik. Biarkan saja, aku bisa naik ojol kalau berangkat kerja.”

“Biarkan saja Non, dia sudah jarang mempergunakannya.”

“Barno tuh. Ya sudah, bagaimana nanti saja. Oh ya Bik, tolong nitip uangku ini ya.”

“Lhoh, kok dititipin ke bibik sih Non? Uang segitu banyak?”

“Aku kira lebih aman dibawa Bibik. Aku tidak perlu mengatakan apa sebabnya, tapi lebih baik bibik yang membawanya. Tolonglah Bik.”

Bibik mengerti apa maksud non cantiknya. Ia menerima amplop coklat besar berisi uang itu, dengan wajah prihatin.

“Semoga bapak tidak apa-apa, dan tidak perlu dibawa ke rumah sakit ya Non.”

“Iya Bik, tapi sejak semalam bapak makan hanya sedikit, dan lebih banyak tidur.”

“Barangkali lebih baik begitu Non, supaya banyak istirahatnya, tidak memikirkan yang berat-berat.

Sekar mengangguk sedih.

***

Siang itu Barno benar-benar datang, dan bermaksud meninggalkan sepeda motornya.

“Barno, mengapa kamu nekat? Aku kan bisa naik ojol, dan itu tidak mahal.”

“Daripada naik ojol kan harus bayar Non, lebih baik naik yang gratisan ini saja, memang sepeda butut, tapi masih bagus kok mesinnya. Saya selalu merawatnya dengan baik.”

“Tapi kan kamu jadi tidak bisa mempergunakannya, padahal kamu masih memerlukannya?”

“Saya sudah tidak perlu bolak balik ke kampus. Skripsi saya sudah selesai, tinggal ujian. Jadi tidak begitu memerlukan sepeda motor ini lagi. Mohon Non jangan menolaknya ya.”

“Kalau begitu aku antarkan kamu pulang, lalu baru aku bawa sepeda motor ini.”

Barno tertawa.

“Mana ada aturan begitu? Saya bisa naik ojol Non, sudah jangan dipikirkan. Saya mau segera pamit saja. Saya senang Non baik-baik saja. Tadi simbok sudah menceritakan semuanya. Kalau ada apa-apa, suruh simbok menelpon saya ya Non.”

Sekar menatap wajah ganteng berpenampilan sederhana itu lekat-lekat. Entah mengapa ada debar aneh di dadanya. Ia mencoba tersenyum sebagai ucapan terima kasih. Barno mengangguk, mengatupkan kedua belah telapak tangannya sambil mundur, takut non cantik mendengar debur jantungnya yang menghentak-hentak.

***

Sore itu Yanti pulang bersama Ari. Tapi Yanti  lebih banyak diam. Ia sedang memikirkan cara mencari uang agar tidak usah berhubungan lagi dengan Samadi. Ari sebentar-sebentar menoleh kearah samping, karena sikap sahabatnya berbeda dari hari-hari biasa.

“Yanti.”

“Ya.”

“Kok kamu dari tadi diam saja?”

“Lagi bingung aku Ar.”

“Bingung kenapa?”

“Aku sebenarnya … mmm … bisakah kamu menolong aku?”

“Pastilah aku akan menolong kamu, kalau aku bisa melakukannya.”

“Pinjamin aku uang dong.”

“Pinjamin uang? Banyak kah?”

“Limapuluh juta.”

“Limapuluh juta? Banyak banget?”

“Kamu kan tahu, aku ikutan bisnis warung itu, sebagian besar uangnya kan dari pinjam pak Samadi?”

“Oh iya, aku dengar itu dari Minar.”

“Sekarang pak Samadi menagihnya.”

“Lhoh, apa tidak bisa dicicil ?”

“Dia minta semuanya, berikut bunganya. Maukah menolongku?”

Ari terdiam.

“Maukah?”

“Maaf Yanti. Aku tuh tidak punya uang sebanyak itu. Aku dan suami sepakat untuk mengelola uang yang kami miliki dengan sebaik-baiknya, sehingga kalau aku harus mengeluarkan uang, suami aku harus tahu. Dan sebenarnya kami tidak punya uang berlebih.”

Yanti terdiam. Benar atau tidak apa yang dikatakan Ari, yang jelas dia tidak akan mendapatkan pinjaman darinya. Mungkin Ari hanya beralasan. Entahlah.

“Maaf ya Yanti. Tapi kalau menurut aku, lebih baik kamu bicara dengan pak Samadi secara baik, minta waktu lagi. Siapa tahu warung kita akan semakin maju, dan pendapatan kamu bisa dipergunakan untuk mengembalikannya.”

Yanti terdiam. Ari tentu saja tidak tahu, bahwa Samadi sebenarnya hanya ingin memaksanya. Ia tahu Samadi sudah lama tertarik pada dirinya, dan hutang itu dipergunakannya untuk memaksanya.

“Bukankah begitu lebih baik, Yanti?” kata Ari lagi, ketika melihat Yanti hanya terdiam.

“Baiklah, aku akan mencobanya.”

***

Begitu sampai di rumah, Yanti langsung memasuki kamar Sekar. Karena kamar itu kosong, ia mencarinya ke dapur.

“Bik, mana Sekar?”

“Ada di kamar bapak, barangkali Bu, sejak tadi siang non ada di sana.”

Yanti melangkah ke arah kamar, membuka pintu kamar dengan kasar. Dilihatnya Sekar duduk di tepi pembaringan, sambil memijit kaki ayahnya.

“Sekar!”

Sekar sudah sejak tadi menatap ibu tirinya, yang berdiri ditengah pintu.

“Sini!” kata Yanti sambil melambaikan tangannya.

Tak ingin terjadi kegaduhan lagi, Sekar mengikuti. Dilihatnya ayahnya masih memejamkan mata. Tertidur, atau entahlah. Yang jelas Sekar tidak ingin ibu tirinya berteriak di kamar itu.

Yanti melangkah keluar, Sekar mengikutinya, tapi kemudian Sekar mendahului pergi ke arah dapur, agar ayahnya tak terusik oleh suara ibu tirinya yang selalu keras.

“Ada apa Bu?”

“Siapa laki-laki yang membantu kamu, menghajar pak Samadi kemarin?” hardiknya.

“Teman saya.”

“Jadi kamu datang ke sana membawa teman?”

“Masalah buat Ibu?” kata Sekar kesal. Tapi ia tak mau mengatakan bahwa laki-laki itu Barno.

“Apa katamu? Kamu menentang? Kamu berani sama ibumu ini?”

“Ibu marah tidak beralasan. Kelakuan laki-laki itu tidak benar, dan pantas dihajar.”

“Kamu benar-benar kurangajar. Tak tahu membalas budi!”

“Kurangkah apa yang aku lakukan untuk Ibu? Ibu memintaku berhenti kuliah, aku berhenti. Menyuruhku bekerja, aku mencari pekerjaan. Menyuruhku membayar gajinya bibik, aku lakukan. Tapi menyuruhku melayani laki-laki tua yang sama sekali belum pernah aku kenal. Dan melihat kelakuannya juga seperti bukan orang baik-baik, maaf Bu, Sekar tidak mau.”

“Dia itu kaya! Bodoh!”

“Sekar tidak tertarik dengan kekayaan yang dimiliki laki-laki tak bermoral seperti dia.”

“Kamu benar-benar menantang aku Sekar!”

“Maaf Bu, saya harus melakukannya. Karena itu tidak pantas.”

Sebuah tamparan mendarat di pipi Sekar.

Plaakkk!

Jeritan kecil terdengar, karena Sekar kesakitan. Tak tahan mendengar semuanya, bibik yang tadinya berada di dalam kamar segera keluar.

“Sabar Bu, saya mohon.”

“Apa kamu?! Kamu hanya pembantu, jangan ikut campur.”

“Benar, saya hanya pembantu, tapi Ibu sudah keterlaluan dengan menyakiti non Sekar. Dia sudah cukup berbakti pada Ibu.”

“Omong kosong kamu Bik. Pergi sana dan jangan ikut campur!” katanya sambil mendorong tubuh bibik supaya pergi menjauh.

Lalu sekali lagi Yanti mengayunkan tangannya untuk menampar anak tirinya. Tapi tiba-tiba sebuah cengkeraman menyakiti lengannya.

“Jangan sakiti anakku!!” katanya terengah-engah.

“Bapak.”

Sekar memburu ke arah ayahnya yang tampak terhuyung-huyung, sambil sebelah tangannya memegangi dadanya.

“Bapak, ayo kembali ke kamar ya, Sekar tidak apa-apa,” kata Sekar sambil memapah ayahnya. Bibik yang melihat bahwa majikannya tampak lemas, ikut mendekat dan membantu memapahnya.

Tapi tubuh kurus itu terkulai, lalu terdengarlah raung yang menyayat.

“Bapaaaak.”

***

Besok lagi ya.

Tuesday, August 30, 2022

SEBUAH JANJI 15

 

SEBUAH JANJI  15

(Tien Kumalasari)

 

Barno berhenti sejenak, dengan mengatupkan kedua telapak tangan dia menghadap ke arah di mana Yanti berdiri, sebagai isyarat untuk pamitan, karena ia melihat bahwa yang bersangkutan sedang sibuk bertelpon.

“Mau pulang? Sudah dapat uangnya?” kata Yanti dengan nada mengejek.

“Uang apa?” tanya Barno heran.

“Bukankah kamu datang kemari hanya untuk meminta uang?”

Barno tak menjawab, ia langsung mendekati sepeda motornya, menaikinya dan berlalu.

“Dasar anak pembantu, tak tahu sopan santun,” omelnya. Ia lupa bahwa sedang bertelpon, terkejut ketika mendengar teriakan dari seberang.

“Kamu mendengar suaraku, atau kamu sudah ketiduran?”

“Oh, iya, aku mendengarnya.”

“Datanglah besok siang ke tempat biasa kita bertemu.”

“Besok?”

“Aku belum menceritakan semuanya. Hanya mengatakan bahwa dia kabur. Kamu tidak tahu bahwa aku terluka bukan?”

“Dia melawan ?”

“Sudah, ceritanya besok, aku sedang memasuki rumah, nanti istriku mendengarnya.”

“Lalu sambungan itu terputus. Yanti merasa kesal. Tampaknya dia melawan saat Samadi mendekatinya, dan dia meminta ganti rugi. Dirinya? Bisakah dia melayani laki-laki yang bukan suaminya? Dia suka, tapi tak pernah membayangkan bisa menjadi selingkuhannya, dan melakukan hubungan layaknya suami istri.

Dengan kesal ia masuk ke dalam rumah.  Wajahnya semakin membara ketika melihat Sekar keluar dari kamar ayahnya. Sekar cepat menjauh dari depan kamar ayahnya, agar kalau ibu tirinya berteriak, ayahnya tak akan mendengarnya. Dan benar saja, dia berteriak. Untunglah Sekar sudah ada di dapur.

“Sekar!”

Sekar berhenti melangkah, meraih gelas dan menuju ke arah kulkas.

“Kamu tuli?” hardik Yanti kasar.

“Saya baru mau minum Bu,” jawab Sekar yang kemudian duduk di kursi dapur, lalu meneguk minumannya.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu melukai dia?”

“Tidak Bu, dia yang melukai saya,” jawab Sekar setenang mungkin. Sikapnya ini membuat Yanti semakin marah.

“Kamu jangan bicara seenaknya. Dia bukan orang sembarangan.”

“Saya tahu. Dia laki-laki tak tahu diri. Tidak sembarang orang bisa melakukannya,” jawabnya, kemudian meneguk lagi minumannya.

“Aku berbaik hati sama kamu, tahu! Aku ingin kamu hidup enak, berkecukupan, terhormat. Tapi kamu menyia-nyiakannya.”

“Tidak. Bukan terhormat namanya kalau merenggut  kebebasan seseorang secara paksa. Bahkan kalau dibiarkan, dia bisa merusak kehormatan saya.”

Sekar heran dengan dirinya sendiri, karena berani mengatakan semua yang dipendamnya kepada ibu tirinya, yang selama ini selalu dihormatinya, dan dipatuhi semua perintahnya. Tapi tidak untuk kali ini. Sekar sangat geram atas perlakuannya, yang dianggapnya sudah keterlaluan.

Mata Yanti menyala. Ia ingin meluapkan amarahnya yang sudah memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Dengan kasar direnggutnya gelas minum yang ada di depan Sekar, lalu dibantingkannya ke lantai.

Prang!!

Bibik yang semula bersembunyi di dalam kamarnya, terpaksa keluar mendengar suara gelas pecah berhamburan.

Dilihatnya Sekar sedang memunguti pecahan gelas, sedangkan Yanti berkacak pinggang dengan penuh amarah.

“Biar bibik saja Non,” kata bibik yang kemudian berjongkok di dekat non cantiknya.

“Ada apa?” terdengar suara keras gemetar dari arah pintu. Semuanya menoleh, dan pak Winarno sudah berdiri sambil berpegangan daun pintu.

Sekar sangat terkejut. Tentu saja ayahnya mendengar keributan itu, lalu nekat keluar. Ia melihat tangan ayahnya gemetar. Ia segera berdiri dan memburu ke arah ayahnya.

“Bapak, kenapa bangun?” katanya lembut.

“Ada suara keras dan berisik, gelas pecah kah itu?” tanga pak Winarno lemah.

“Iya Pak, Sekar mengambil gelas dan terjatuh, sehingga gelasnya pecah berantakan,” katanya sambil mencoba menutupi suasana tegang yang terjadi diantara dia dan ibu tirinya.

“Yanti! Apa yang kamu lakukan?”

Pak Winarno melepaskan pegangan Sekar, menoleh ke arah istrinya dengan pandangan kesal.

“Bapak, tentu saja ibu marah karena Sekar memecahkan gelas.”

“Hentikan omong kosong ini Sekar. Kamu selalu menutupi apa yang dilakukan ibu tiri kamu yang sangat keterlaluan ini.”

“Tidak Bapak_”

“Diam!” pak Winarno terpaksa membentak anaknya.

“Bapak ….”

“Sudah cukup semuanya. Aku mau bicara sama kamu, Yanti.”

“Sebaiknya Bapak istirahat saja,” kata Sekar sambil menarik ayahnya, tapi lagi-lagi tangan itu ditepiskannya.

“Bibik, ambilkan kursi itu,” perintahnya kepada bibik.

Bibik mengambilkan sebuah kursi, diletakkannya di depan majikannya. Sudah kepalang tanggung, rupanya tak perlu semuanya ditutupi lagi.

Perlahan pak Winarno duduk, Sekar terpaksa membantunya. Dadanya berdegup kencang. Tak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Yanti, bisakah kamu duduk? Aku mau bicara sama kamu,” kata pak Winarno walau suaranya tampak gemetar.

Yanti yang semula berdiri terpaku, kemudian duduk. Wajahnya muram. Tak tampak rasa hormat sedikitpun kepada suaminya, dan tak ada rasa trenyuh melihat suaminya seakan menahan sakit. Sekar duduk di lantai, memegangi lengan ayahnya.

“Bapak mau bicara apa? Aku kan pernah bilang bahwa aku mau menikahkan Sekar karena dia sudah dewasa?”

“Tapi tampaknya dia menolak, dan kamu memaksanya?”

“Aku melakukannya untuk kebaikan dia. Agar dia hidup terhormat.”

“Kehormatan seseorang bukan terletak dari harta yang dimilikinya.”

“Omong kosong. Kalau kita miskin, mana ada yang menghormati kita? Coba saja Bapak lihat, seseorang yang bertemu orang yang kaya, punya kedudukan, pasti jalannya akan terbungkuk-bungkuk, menyapa dengan hormat, karena dia memang orang terhormat. Beda kalau ketemu orang miskin. Mana ada yang terbungkuk-bungkuk, menyapa dengan penuh hormat.”

“Apakah rasa hormat itu hanya bisa dirasakan saat orang terbungkuk-bungkuk di hadapan kita?”

“Tentu saja.”

“Tidak. Hormat seperti yang kamu katakan itu adalah hormat dari orang yang mencari muka. Tidak tulus. Tapi rasa hormat yang muncul karena perilaku luhur, adalah rasa hormat yang sesungguhnya. Kamu, Sekar, jangan pernah meminta agar orang terbungkuk-bungkuk di hadapan kamu karena kekayaan yang kamu miliki, tapi  jadilah gadis terhormat karena perilaku yang luhur dan mulia,” kata pak Winarno, yang semakin lama semakin terdengar terengah-engah.

Sekar yang merasa khawatir, kemudian berdiri, dan memaksa ayahnya agar segera kembali ke kamar.

“Bapak, lebih baik beristirahat. Sudah waktunya makan malam dan minum obatnya, ayo Bapak.”

“Dasar tidak tahu diri. Kebaikan aku selama berpuluh tahun dengan membesarkan kamu, seperti inikah balasannya?” kata Yanti sambil menggebrak meja.

“Saya akan membalas semua kebaikan Ibu, tapi tidak dengan mempertaruhkan kehormatan saya,” kata Sekar sambil menuntun ayahnya menuju kamar.

“Kamu berani ya sama ibumu? Berani menentang aku?”

“Saya bukan berani menentang Ibu, saya menentang kemauan yang tidak pada tempatnya,” katanya sambil terus melangkah.

Pak Winarno mengacungkan jempolnya ke depan wajah Sekar. Sekar merangkul pinggangnya erat, sambil menitikkan air mata.

***

Samadi mengetuk pintu rumahnya, sambil menahan rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Ia tidak tahu siapa laki-laki itu, yang tiba-tiba datang dan menghajarnya, serta membuat Sekar berhasil kabur dari dekapannya.

“Tapi mendengar pembicaraannya, tampaknya dia mengenal Sekar. Siapa dia?” gumamnya sambil menunggu pintu dibuka.

Kembali ia mengetuk pintu, dan kemudian tubuhnya hampir terjatuh ke arah depan ketika pintu tiba-tiba terbuka. Beruntung yang membuka pintu adalah istrinya yang berbadan agak tambun, sehingga bisa menahan tubuhnya.

Minar terkejut melihat keadaan suaminya.

“Mas, kamu kenapa? Mengapa wajah Mas lebam-lebam begitu?” pekik Minar sambil menuntun suaminya agar duduk di sofa, lalu dia duduk di sampingnya.

“Jangan banyak bertanya dulu, ambilkan aku minum,” kata Samadi sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa.

Minar bergegas ke belakang, membuat coklat susu panas, lalu di letakkan di meja. Ia kembali duduk di samping suaminya.

“Itu Mas, minumlah,” katanya sambil membantu suaminya duduk dengan tegak.

Samadi meraih cangkir berisi coklat susu panas itu dan meneguk setengahnya.

“Sekarang ceritakan ada apa? Mas berantem ya? Mana ada orang tua berantem?”

“Aku memang berantem?”

“Sama siapa? Katanya ada pembicaraan penting, kok jadi berantem?”

“Tidak jadi bicara, tidak jadi ada kerja sama.”

“Lalu berantem?”

“Ya … aku tidak suka karena dia melawan aku.”

“Melawan bagaimana? Sebuah pembicaraan bisnis, ada lawan melawan?”

“Maksudnya, kami tidak cocok. Saling merendahkan, lalu berantem,” Samadi sungguh pintar mengarang cerita, yang membuat istrinya percaya.

“Aduh, memang lebih baik tidak bekerja sama dengan orang kasar seperti itu. Mas ke rumah sakit ya?”

“Tidak usah, kompres saja wajahku dengan air hangat. Aku mau segera tidur.”

“Mas mau makan dulu?”

“Tidak.”

Samadi meraih minumannya dan meneguknya habis, lalu berdiri dan masuk ke kamarnya, sementara Minar menyiapkan kompres air hangat seperti yang diminta suaminya.

***

Sekar menyuapi ayahnya dengan nasi tim dan sup ayam. Hanya sedikit yang masuk ke perutnya. Berulang kali Sekar memaksanya, pak Winarno tetap menggelengkan kepalanya.

“Aku kenyang. Sudah, cukup,” katanya.

Sekar tak bisa memaksanya. Ia segera meminumkan obat, lalu menyelimuti ayahnya.

Pak Winarno memejamkan matanya, napasnya tersengal. Sekar merasa sangat khawatir. Ia mengambil minyak gosok, lalu menggosok dada ayahnya perlahan.

Obat untuk sesak napas sudah diminumkannya, karena sejak tadi napas ayahnya sudah tampak memburu. Ia menyesali sikap ibunya yang kasar, sehingga membuat ayahnya mendengar kegaduhan itu. Pasti suasana itu membuat ayahnya sedih dan terluka, dan itu mempengaruhi kesehatannya.

Sekar mulai bersiap-siap. Kalau keadaan ayahnya tidak membaik, ia harus membawanya ke rumah sakit. Besok sepeda motor miliknya sudah akan dibayar orang, dan itu membuatnya sedikit lega.

“Kamu istirahatlah,” kata pak Winarno lemah.

“Iya Pak.”

“Makan dulu, dan istirahat.”

“Kalau Bapak sudah tidur, Sekar mau makan. Bapak tidurlah, jangan memikirkan apa-apa. Sekar sudah bisa menjaga diri Sekar. Tak ada yang perlu Bapak khawatirkan,” kata Sekar berbisik di telinga ayahnya.

Pak Winarno mengangguk lemah, tapi ia masih memejamkan matanya.

Sekar duduk di tepi pembaringan, memijit pelan kaki ayahnya.

“Kamu pergilah dari sini,” kata pak Winarno lirih, membuat Sekar terkejut.

“Pergi? Apa maksud Bapak?”

“Jauhi ibu tirimu.”

“Kalau Sekar pergi, Sekar harus bersama Bapak. Sekar tak bisa meninggalkan Bapak. Lagi pula Sekar harus pergi ke mana?”

“Sebenarnya Bapak punya simpanan, di bank. Ambil uangnya, beli rumah kecil untuk kamu. Semuanya sudah Bapak transfer ke rekening kamu.”

“Apa? Pakai saja uang itu untuk pengobatan Bapak.”

“Tidak, aku tidak perlu pengobatan. Uang itu untuk kamu. Aku persiapkan untuk kamu, kalau sewaktu-waktu ibumu menguasai rumah ini.”

Sekar menatap ayahnya tak percaya. Jadi ayahnya sudah mempersiapkan semuanya? Tapi Sekar sungguh merasa takut. Ucapan ayahnya seperti sebuah isyarat. Isyarat yang menakutkannya. Tiba-tiba air matanya bergulir begitu saja.

“Aku sudah mentransfer seluruh uang itu. Dan kamu harus mendengar apa kata bapak ini. Jangan menjawab apapun kecuali kamu siap dan menyanggupinya.”

“Bapak tidurlah, jangan memikirkan apa-apa,” kata Sekar terisak.

“Mengapa kamu menangis?”

“Bapak harus sembuh. Kalau bapak belum merasa baik, besok Sekar akan membawa Bapak ke rumah sakit. Dirawat di rumah sakit akan lebih baik.”

“Bapak tidak mau dirawat. Kalau bapak ada di rumah sakit, bapak akan merasa lebih parah. Karena tidak nyaman. Lebih baik di rumah saja. Apa kamu keberatan merawat bapak?”

“Tidak, bukan begitu. Sekar hanya merasa bahwa di rumah sakit kan peralatannya lebih lengkap, keadaan Bapak juga selalu dipantau, dan_”

“Sudah, jangan banyak omong, bapak mau tidur, kamu makan dan istirahatlah.”

***

Di dapur, Sekar menangis terisak-isak. Hari sudah malam, setelah di yakini bahwa ayahnya sudah tertidur, Sekar meninggalkan kamar ayahnya. Bibik menyiapkan makan, tapi Sekar menolak memakannya.

“Jangan begitu Non, Non harus makan. Kalau tidak, nanti Non jatuh sakit, padahal Non kan harus merawat bapak. Kalau Non juga sakit, bagaimana?”

“Tapi aku tidak ingin makan Bik, kata-kata bapak membuat aku takut.”

“Orang tua, banyak berpesan, itu sudah biasa Non.”

“Apakah bapak akan meninggalkan aku Bik? Aku takut Bik, aku tidak ingin bapak pergi.”

“Mengapa Non berpikir begitu? Bapak hanya berpesan, bukan benar-benar ingin pergi. Masa sih manusia bisa mengetahui mati dan hidupnya? Yang ada, adalah mempersiapkan segalanya. Mungkin bapak merasa khawatir, kalau besok-besok bu Yanti akan mengabaikan Non, maka dipersiapkannya rumah untuk Non, supaya Non memiliki tempat berteduh. Itu kan hanya pesan, bukan pamitan, Non. Sudahlah, makan dulu, ayo bibik temenin ya.”

***

Di warung, Yanti sedang sibuk mencatat semua barang-barang habis yang segera dibutuhkan, tapi ia mendapat pesan dari Samadi, bahwa dia ingin bertemu di rumahnya. Yanti sedikit bingung, mengapa di rumahnya? Bagaimana kalau nanti Minar mengetahuinya?

Hari itu kebetulan Ari dan Minar sedang sibuk, dan Yanti menawarkan diri untuk berbelanja sendiri.

“Baiklah kalau begitu, kan belanjaan tidak begitu banyak?” kata Minar.

“Pakailah mobilku,” kata Ari.

“Aku naik taksi saja,” kata Yanti yang segera memesan taksi.

Yanti akan ke rumah Samadi lebih dulu, karena Samadi minta agar Yanti menemuinya di rumah. Siapa sangka, ternyata Minar yang merasa curiga mengikutinya dari belakang.

***

Besok lagi ya.

Monday, August 29, 2022

SEBUAH JANJI 14

 

SEBUAH JANJI  14

(Tien Kumalasari)

 

Yanti terus melenggang masuk ke dalam kamarnya. Maksudnya kamar tamu yang dijadikan kamarnya, tanpa peduli bibik yang kebingungan mendengar jawabannya.

Bibik masih terpaku di tempatnya berdiri, ingin mengatakan sesuatu tapi Aryanti sudah menutup pintu kamarnya.

“Ya Tuhan, apa yang terjadi dengan non Sekar?”

Bibik mencoba menelpon anaknya, tapi Barno tak mengangkatnya. Apa sebenarnya yang terjadi di sana? Bibik merasa panik. Ia masuk ke kamar pak Winarno, dan langsung duduk dilantai begitu saja, bersandar pada pintu.

Tanpa diduga, pak Winarno melihat ulahnya.

“Bik, apa yang kamu lakukan?”

Bibik terkejut. Ia menyesal telah berperilaku kebingungan dan bahkan masuk ke kamar majikannya.

“Ada apa?”

“Eh, tidak ada apa-apa Pak,”

“Mengapa kamu tiba-tiba duduk di situ, dan terlihat seperti orang bingung?”

“It … itu Pak, saya kesal pada … pada Barno …” jawabnya sekenanya.

“Memangnya Barno kenapa?”

“Dia .. dia pulang langsung, tidak mampir kemari Pak, saya jadi … kesal.”

“Hanya soal kecil, kenapa kesal? Barangkali Barno terburu-buru karena harus menyelesaikan tugas kuliahnya. Kamu jangan egois begitu Bik,” kata pak Winarno, walau pelan tapi  jelas didengar oleh bibik. Tapi sebenarnya bukan itu yang membuat bibik gelisah kan, hanya alasan yang disampaikannya pada pak Winarno saja, supaya sang majikan tidak cemas karena ikut memikirkan puteri cantiknya.

“Iya sih Pak,  tapi kan tadi … bapak menyuruh Barno supaya menemui Bapak dulu, bukan langsung kabur.”

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin ngobrol sebentar. Entah mengapa, aku suka sama anak kamu itu Bik.”

“Alhamdulillah kalau Bapak suka,tapi ya maaf Pak, namanya anak kampung, kadang-kadang cara bicaranya terlalu kasar,” kata bibik mencoba menetralkan suasana.

“Tidak kok. Anakmu sangat santun, bicara dengan baik.”

“Benarkah Pak?”

“Benar sekali. Masa aku bohong?”

“Ya sudah Pak, saya mau ke belakang dulu. Bapak menginginkan apa?”

“Tidak, aku bisa sendiri. Paling ingin minum.”

“Oh iya, tapi kalau Bapak memerlukan sesuatu, Bapak panggil saya ya.”

“Iya, iya …Tapi apa Sekar belum kembali?”

“Be … belum Pak.”

“Aku seperti mendengar suara Yanti. Apa telingaku salah ya? Setengah tidur sih.”

“Oh, saya kok … belum melihatnya.”

“Baiklah, tentu saja. Kalau Yanti datang pasti Sekar juga ada. Kan Sekar sedang menjemputnya?”

“Iya, benar Pak.”

Lalu bibik bergegas keluar, semakin banyak pak Winarno bertanya, semakin banyak kebohongan yang harus diucapkannya.

***

Barno memasuki rumah yang pintu bagian depannya tertutup. Ia mendekati pintu itu, dan urung mengetuknya karena mendengar suara Sekar.

“Mana ya Ibu, saya harus segera mengajaknya pulang,” kata Sekar.

“Kamu tidak tahu, ibumu sudah pulang.”

“Sudah pulang?” kata Sekar lagi.

“Hei, kamu mau ke mana?”

Barno masih mendekatkan telinganya ke pintu.

“Tentu saja saya mau pulang.”

“Tunggu dulu.”

“Apa yang akan Bapak lakukan?”

“Apa ibumu tidak mengatakan apapun?”

“Apa maksud Bapak? Dan tolong lepaskan tangan saya.”

“Sekar.”

“Lepaskan!” kata Sekar agak keras. Barno mengepalkan tangannya. Ia membayangkan apa yang akan dilakukan oleh lelaki yang suaranya terdengar berat di dalam sana.

“Kamu adalah milikku.”

“Lepaskaaan!”

“Kamu milikku. Dengar, aku ini memang sudah setengah tua. Tapi aku masih gagah dan juga tampan kan? Aku juga banyak uang. Aku akan memberikan apa saja yang kamu minta. Aku akan membuatkan rumah bagus untuk kamu. Mobil, dan apapun yang kamu inginkan.”

“Lepaskan! Jangan mengigau. Aku tidak butuh semua itu.”

“Ibumu sudah berjanji. Imbalannya adalah semua hutang ibu kamu akan aku anggap lunas.”

“Dia bukan ibuku. Lepaskan atau aku akan berteriak!!”

Terdengar tawa laki-laki itu. Begitu nyaring tapi sangat memuakkan. Barno memutar gerendel pintu. Sialnya pintu itu terkunci.,

Lalu terdengar jeritan Sekar. Barno mendorong pintu, tapi tidak berhasil.

“Lepaskaaan. Aaaaughhh.”

Lalu terdengar kursi terjatuh, dan suara Sekar terdengar tertahan. Rupanya laki-laki itu membekap mulutnya, atau apa lah. Tapi darah di tubuh Barno sudah mulai mendidih. Tak berhasil mendorong, ia mendobraknya dengan keras. Suara daun pintu terlepas, dan tubuh Barno melompat ke dalam.

“Laki-laki itu terkjejut, rengkuhannya pada Sekar terlepas.

“Bedebah! Kamu siapa?”

“Non, pulanglah dulu,” kata Barno kepada Sekar.

“Tapi Barno, kamu_”

“Pulanglah, bapak menunggu, jangan sampai beliau khawatir karena Non tidak pulang-pulang.”

“Tapi_”

“Cepat Non, manusia berhati binatang ini urusan saya.”

Mendengar kata bahwa ayahnya pasti mengkhawatirkannya, Sekar segera bangkit. Ia meraih tas tangan yang tadi dibawanya dan bergegas keluar, setelah mengatakan kata ‘hati-hati’ untuk Barno.

Samadi menggeram marah.

“Kamu siapa? Kamu tidak tahu apa-apa.”

“Tapi aku tahu bahwa dia harus aku jaga dan aku jadikan wanita terhormat.”

“Kurangajar kamu,” kata Samadi sambil melemparkan kursi kecil yang sempat diraihnya, ke arah Barno. Tapi Barno sudah siap, dia menghindar sambil melompat ke arah Samadi, langsung mengayunkan sebuah bogem ke wajah Samadi.

Laki-laki setengah tua itu terhuyung ke belakang.

“Setan kamu! Aku laporkan kamu pada polisi.”

“Laporkan saja, aku tidak akan lari.”

Samadi melangkah maju sambil mengayunkan tangannya untuk memukul, tapi Barno segera menangkap lengannya, lalu memelintirnya.

“Aaaaughhh!”

Samadi meraung.

Barno mendorongnya sehingga Samadi terjerembab ke belakang. Kepalanya tarantuk pinggiran meja. Barno melangkah maju, mengayunkan lagi tangannya ke arah wajah Samadi, bertubi-tubi. Samadi tak bisa bangkit, tubuhnya terasa lemas.

Barno merasa cukup menghajarnya, kemudian membalikkan tubuhnya, keluar dari ruangan sambil membanting sisa daun pintu yang masih terpasang separonya, menimbulkan suara gaduh yang memekakkan telinga.

***

Sekar memasuki rumah dengan wajah pucat dan rambut awut-awutan. Ia langsung pergi ke arah belakang, lalu merangkul bibik yang menyambutnya dengan wajah penuh syukur.

“Ya ampun Non, saya sangat khawatir. Apa yang terjadi? Dimana Barno?”

Sekar terisak, tak mampu mengucapkan apa-apa, sambil mempererat pelukannya.

“Barno dimana Non? Baik-baik saja?” bibik bertanya lagi, karena iapun mengkhawatirkan anaknya.

Sekar mengangguk. Baru mampu mengangguk, ia masih terisak. Tapi bibik tidak merasa puas.

“Apakah Barno baik-baik saja?”

“Iya Bik. Apakah bapak menanyakan aku?” akhirnya terbata Sekar mengucapkan kata-kata, karena ia juga mengkhawatirkan ayahnya.

“Iya Non, tadi bertanya. Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Ibu mempertemukan aku dengan laki-laki itu, sudah setengah tua, menjijikkan. Beruntung ada Barno yang menyelamatkan aku,” kata Sekar masih dengan terbata-bata.

“Ya Tuhan, kejam sekali bu Yanti. Lalu Barno bagaimana?”

“Dia masih di sana, mudah-mudahan dia bisa menghajar laki-laki itu. Aku ingin menunggu, tapi Barno menyuruhku pulang lebih dulu.”

"Sebaiknya Non rapikan rambut Non, dan keringkan air mata, lalu temui bapak. Jangan memperlihatkan wajah kusut.”

Sekar mengangguk. Ia mengusap air matanya lalu masuk ke dalam kamar.

Bibik yang mengkhawatirkan anaknya segera menelponnya, dan merasa lega karena Barno langsung menjawabnya.

“Tidak apa-apa Mbok, aku sudah mau kembali ke situ. Non Sekar tidak apa-apa kan?”

“Iya, sudah mau menemui bapak, karena tadi menanyakannya. Bapak juga menanyakan kamu. Cepatlah kemari dan ceritakan semuanya. Simbok belum jelas benar karena non Sekar datang langsung menangis.

“Baiklah Mbok, aku segera ke situ.”

***

Sekar sedang berjalan ke arah kamar ayahnya, ketika ibu tirinya menghadang di depannya.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu bertindak semau kamu. Tidak mengerti betapa semua itu aku lakukan demi kebaikan kamu,” hardiknya sambil matanya membulat mengandung amarah.

“Apa juga yang Ibu lakukan? Ibu menjual saya untuk melunasi hutang ibu?”

“Jangan lancang!” Yanti berteriak.

“Itu benar bukan? Dia mengatakannya, tapi saya tidak sudi melakukannya.”

“Sekar !!” Kamu berani menentang ibumu? Ibu yang merawat kamu sejak kamu kecil hingga dewasa? Inikah balasan kamu? Anak tak tahu diri!”

“Pokoknya saya tidak mau!”

Sekar meneruskan langkahnya, khawatir ayahnya mendengar teriakan ibu tirinya, lalu memikirkan hal yang membuatnya semakin sakit.

“Anak tak tahu diri! Bodoh!” umpatnya, yang untunglah tidak mengikuti masuk ke dalam kamar ayahnya.

Sekar membuka pintunya pelan, ternyata pak Winarno masih membuka matanya. Hati Sekar berdebar, apakah tadi ayahnya mendengar teriakan ibu tirinya?”

“Sekar …”

“Ya, mengapa Bapak tidak tidur?”

“Mengapa ibumu berteriak?”

“Oh, tidak apa-apa Pak.”

“Tidak apa-apa bagaimana? Aku mendengar ibumu berteriak marah.”

Sekar memegangi tangan ayahnya dan menciuminya berkali-kali.

“Ibu marah karena Sekar terlambat menjemputnya,” kata Sekar berbohong.

“Sampai begitu kerasnya dia menghardik kamu?”

“Tidak apa-apa Pak, memang Sekar yang salah,” kata Sekar sambil tersenyum. Tapi pak Winarno terus menatap wajah anaknya.

“Kamu habis menangis?”

“Ah, Bapak ada-ada saja,” kata Sekar yang terkejut, karena ternyata ayahnya melihat raut wajahnya yang pastinya kusam dan sembab.

“Bapak tahu, kamu selalu menutupi apapun yang kamu rasakan,” kata pak Winarno sambil meremas tangan anaknya.

Sekar tertawa lirih, atau tepatnya merintih yang tersembunyi, karena sesungguhnya tawa lirih itu memang menyerupai sebuah rintihan. Dan pak Winarno selalu bisa menangkapnya.

“Bapak jangan berpikir yang tidak-tidak, Sekar baru datang, lalu mencuci muka, jadi kelihatan basah.”

Pak Winarno menghela napas.

“Bapak minta maaf ya.”

“Mengapa Bapak meminta maaf? Bapak tidak bersalah apapun. Sekar yang minta maaf karena tidak bisa sepenuhnya merawat Bapak.”

“Sudah banyak, bahkan terlalu banyak kamu melakukan banyak hal untuk bapak.”

Sekar merangkul ayahnya. Ia sadar, sang ayah mengetahui saat hatinya sedang resah. Ia tak pernah menampakkan keresahan itu, tapi ayahnya selalu bisa menangkapnya.

“Bapak harus bahagia, karena Sekar akan selalu bersama Bapak.”

Pak Winarno mengelus kepala Sekar, tak terasa berlinanglah air matanya.

***

Barno baru saja menstandartkan kendaraannya dibawah pohon jambu yang ada di depan rumah, ketika tiba-tiba Yanti keluar sambil berbicara dengan seseorang. Pembicaraan itu terhenti ketika ia menegur Barno.

“Kamu? Mau apa datang kemari?” kata Yanti kasar.

“Saya mau ketemu simbok saya,” jawabnya.

“Masuk dari pintu samping, jangan dari sini,” katanya tanpa senyuman.

Barno mengangguk. Dia memang selalu masuk dari samping, tapi ia tak menjawab sepatah katapun.

Ia terus melangkah, dan masuk dari pintu dapur. Bibik senang melihat anaknya.

“Apa yang terjadi sebenarnya?”

“Non Sekar sudah pulang kan?” tanyanya, walau tadi bibik sudah mengatakannya.

“Sudah. Begitu datang langsung menangis. Aku bingung.”

“Mana dia?”

“Di kamar bapak. Simbok menyuruhnya, karena sudah dari tadi bapak bertanya-tanya.

“Ya sudah, syukurlah.”

“Ada apa sebenarnya?”

Dengan suara berbisik, Barno menceritakan semuanya. Bibik sangat terkejut. Ia mendengarkan sambil menutup mulutnya dengan tangan, agar tak berteriak karena marah mendengar penuturan anaknya.

“Sungguh keterlaluan,” geram bibik.

“Untunglah aku mengantarnya tadi, kalau tidak, entah apa yang terjadi,” gumam Barno sambil meraih segelas air putih dingin yang diberikan simboknya.

“Pasti bu Yanti marah kalau laki-laki itu mengatakannya.”

“Tampaknya iya. Tadi di depan dia sedang berbicara di telpon.”

“Apa sebaiknya non Sekar pergi saja dari rumah ya?”

“Mana mungkin non Sekar mau meninggalkan ayahnya,” kata Barno.

“Tapi kalau tetap di sini pasti akan ribut dengan ibu tirinya. Biarlah nanti aku bicara sama non. Sekarang kamu ke kamar Bapak dulu, tadi kamu ditanyakan, dan aku berbohong berkali-kali,” kata simboknya sambil menarik tangan anaknya.

Begitu masuk kamar, pak Winarno langsung memanggilnya.

“Barno, kata simbokmu, kamu langsung pulang, sampai simbokmu marah-marah tadi.”

Barno tidak membantah perkataan pak Winarno, ia mengira pasti itulah tadi yang dikatakan simboknya.

“Iya Pak, saya tadi sebenarnya sedang membeli buku.”

“O, begitu, simbokmu mungkin mengira kamu sudah pulang. Apa sekarang kamu mau pulang?”

“Iya Pak, sudah hampir malam.”

“Baiklah, ini, terimalah, ada sedikit buat kamu jajan,” kata pak Winarno sambil membuka dompetnya yang diletakkan di bawah bantal.”

“Tidak Pak, terima kasih, saya masih punya uang. Pemberian simbok masih sisa lumayan dan cukup.”

“Kamu selalu begitu. Terima saja, ini hanya sedikit.”

Barno menoleh ke arah simboknya, yang kemudian menganggukkan kepalanya, menyuruh Barno menerimanya agar pak Winarno tidak kecewa.

Barno menerima uang itu dan mengucapkan terima kasih.

“Jangan melupakan pesanku ya.”

“Iya Pak, saya akan selalu mengingatnya.”

“Hm, bagus. Sekarang pulanglah.”

Barno mencium tangan pak Winarno, kemudian melangkah pergi. Simbok dan Sekar mengikutinya.

“Barno, bagaimana tadi?” tanya Sekar sambil berbisik.

“Saya hajar dia. Non tidak usah khawatir,” kata Barno sambil menetap penuh iba kepada non cantiknya.

“Terima kasih Barno, kalau tidak ada kamu, entah bagaimana nasibku.”

“Saya sudah berjanji akan selalu menjaga Non. Sekarang saya permisi dulu. Saya mohon nanti Non mendengarkan saran dari simbok.”

“Saran apa?”

“Nanti simbok pasti mengatakannya,” kata Barno sambil mencium tangan simboknya, kemudian berlalu, kembali melalui pintu samping.

Saat melewati teras, Barno sempat mendengar Yanti berteriak.

“Apa? Saya harus menggantikannya? Tapi ….”

Yanti menghentikan ucapannya karena melihat Barno melintas.

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...