SEBUAH JANJI 16
(Tien Kumalasari)
Jalanan begitu ramai saat itu. Lalu lintas begitu
padat sehingga taksi yang ditumpangi Yanti hanya bisa merayap. Karena takut
kesiangan, Yanti meminta sang pengemudi taksi untuk berbelok arah, menuju
pasar. Ia harus lebih dulu berbelanja, barulah kemudian menemui Samadi.
Minar yang mengikuti heran, karena taksi yang
ditumpangi Yanti tidak mengarah ke rumahnya. Ia menepikan mobilnya, dan
menelpon suaminya. Kalau suaminya pergi, berarti mereka kencan di suatu tempat.
Padahal tadi pagi sang suami masih sesambat tubuhnya sakit semua.
“Hallo,” sapa Samadi dari seberang, dan kelihatan
sangat malas.
“Mas ada di mana?” tanya Minar.
“Apa maksudmu? Badanku sakit semua, dan kamu masih
bertanya aku di mana? Lagi pula kamu bawa mobilku bukan?”
“Ya sudah, aku cuma bertanya. Aku lagi dijalan, mau
membelikan makan untuk Mas, jadi aku bertanya dulu.”
“Tidak usah membelikan apa-apa. Bukankah tadi pagi
kamu sudah menyiapkan makanan untuk makan siangku?”
“Iya sih, barangkali Mas ingin yang lebih fresh, bukan
makanan pagi tadi.”
“Tidak mau. Sudah, aku mau tidur saja, kamu malah
mengganggu,” kata Samadi kesal.
“Aku kan menunjukkan bahwa aku sangat perhatian sama
Mas?”
“Aku lagi menahan sakit, sudah … jangan ngomong lagi,”
kesal Samadi.
“Jadi nggak mau nih, dikirim makanan?”
“Nggak itu ya enggak. Makan saja sendiri, daripada aku
nggak mau memakannya nanti.”
“Ya sudah, kalau begitu.”
Minar merasa sedikit lega, ternyata Yanti tidak pergi
ke rumahnya untuk menemui suaminya.
“Iya juga sih, berani datang ke rumahku, apa mencari mati?"
Lalu Minar membawa mobilnya kembali ke warung.
“Mengapa ya, aku kok selalu sja merasa curiga atas
kedua orang itu. Benarkah kata Ari bahwa aku terlalu berlebihan? Hm, bisa saja
Ari ngomong begitu, dia kan belum tahu seperti apa mas Samadi itu sebenarnya,”
gumamnya terus sambil membawa mobilnya.
***
Yanti yang sudah selesai berbelanja, sedang menunggu
taksi yang dipanggilnya, ketika ponselnya berdering.
“Yanti?” suara Samadi dari seberang.
“Ya Pak?”
“Jangan ke rumahku, kamu ada di mana?”
“Masih di pasar. Aku berdalih ingin belanja, supaya
bisa menemui Bapak.”
“Jangan di rumahku, aku khawatir Minar tiba-tiba
pulang.”
“Memangnya dia bilang mau pulang? Biasanya tidak
pernah pulang siang kan?”
“Tapi kan dia tahu bahwa aku lagi sakit. Tadi dia
sudah menelpon untuk membawakan aku makanan. Biarpun aku sudah menolaknya, tapi
aku khawatir dia nekat pulang.”
“Sebenarnya Bapak mau ngomong apa sih? Aku sudah
memarahi Sekar, aku sedang mencari cara supaya dia mau menuruti kata-kataku.”
“Tidak. Aku urung menginginkan dia.”
“Lalu bagaimana?”
“Bayar hutang kamu, atau kamu menjadi simpananku.”
Yanti sudah menduga, bahwa kata-kata itulah yang akan
dikeluarkan Samadi. Dia masih berpikir.
“Mengapa diam? Kembalikan uang aku, berikut bunga yang
tertunggak, atau kamu turuti kata-kataku. Badanku masih sakit semua ini.”
“Sebenarnya apa yang terjadi? Sekar melawan, dan Mas
tidak berdaya? Rasanya aku tidak percaya.”
“Bukan Sekar pelakunya.”
“Bukan? Tapi dia datang sendirian.”
“Menurutmu? Ternyata dia membawa teman. Seorang
laki-laki tinggi besar. Merusak pintu rumah yang aku sewa, lalu menghajarku sampai
babak belur.”
“Ya ampuun. Siapa dia? Mungkin tetangga di sekitar
rumah situ yang mendengar sesuatu yang mencurigakan.”
“Tidak, tampaknya dia mengenal Sekar. Aku kira dia
pacarnya.”
“Apa Sekar punya pacar?”
“Tanya saja anak tirimu itu. Dia mati-matian membela
Sekar. Aku tidak mau berurusan dengan manusia kasar macam dia.”
“Siapa ya?”
“Sudahlah, jangan banyak berpikir. Ada dua tawaranku,
kamu boleh memilih salah satu. Kalau sudah kamu dapatkan uangnya, atau kamu
bersedia melakukannya, hubungi aku. Waktumu hanya tiga hari.”
“Apa? Tiga hari?”
“Tiga hari itu cukup. Aku tak bisa lama-lama menunggu.”
Lalu sambungan itu terputus. Yanti terpaku di
tempatnya. Sesungguhnya dia tidak begitu menyukai Samadi. Dia bermanis-manis
dihadapannya, hanya karena agar Samadi tidak menekannya dalam hutang piutang
itu. Ia senang Samadi tak memaksanya membayar bunga. Tapi kali ini dia serius,
bukan hanya bunganya, dia juga minta pokoknya dikembalikan.
***
“Dari mana kamu?” tanya Ari karena Minar pergi
tergesa-gesa, tanpa pamit pula.
“Mengekor perginya Yanti.”
“Apa maksudmu?”
“Aku tuh, sungguh tetap merasa curiga sama mereka.”
“Mereka siapa?”
“Yanti sama suamiku lah, siapa lagi?”
“Ya ampun, Minar.”
“Kamu jangan menyalahkan aku, aku merasa melihat
gelagat yang tidak baik diantara mereka. Terkadang bicara berbisik-bisik dan
senyum-senyum begitu.”
Ari justru tertawa.
“Kok tertawa sih? Aku serius nih.”
“Kalau kamu belum menemukan buktinya, jangan
menuduhnya."
“Aku sedang mau mencari buktinya.”
“Baiklah, tenangkan dulu pikiran kamu. Ingat bahwa
kita bersahabat. Jangan sampai persahabatan kita retak karena kecurigaan yang
tidak beralasan.
“Coba saja ya, pasti aku akan menemukan buktinya.
Sekarang ini dia jarang pulang bersama kamu kan? Ada-ada alasannya.”
“Lalu kamu mengira dia berkencan sama suami kamu?”
“Mungkin saja.”
Pembicaraan itu terhenti karena Yanti sudah kembali
dan langsung masuk ke dapur, untuk menyerahkan barang belanjaannya.
“Tuh, jangan ngomel lagi. Yang diomongin sudah datang,”
Ari mengingatkan.
***
Sekar sedang menghitung uang pembayaran sepeda
motornya, ketika ponsel bibik berdering.
“Dari Barno,” katanya sambil mengangkat ponselnya.
“Simbok ?” sapa Barno dari seberang.
“Ya No, ada apa?”
“Ada berita apa di rumah situ Mbok?”
“Ceritanya panjang, kalau ketemu saja cerita.”
“Apa non Sekar jadi menjual sepeda motornya?”
“Sepertinya jadi No, tuh, non Sekar sedang menghitung
uangnya, dan sepeda motornya sudah dibawa temannya baru saja.”
“Sayang sekali ya Mbok, menyesal kita tidak bisa
membantunya.”
“Ya tidak bisa No, kita saja bisa punya uang kalau
diberi oleh mereka. Saat mereka butuh juga hanya bisa ikut prihatin.”
“Kebetulan aku mau ketemu dosen lagi, nanti aku
mampir, sepeda motornya aku tinggal di situ, biar dipakai non Sekar.”
“Iya, terserah kamu saja. Kan kemarin kamu sudah
bilang sama Non Sekar?”
Setelah Barno menutup pembicaraan itu, bibik segera
mendekati Sekar.
“Non, Barno tadi menelpon.”
“Ya Bik, ada apa?”
“Nanti Barno mau kemari, sepeda motornya mau ditinggal
di sini saja.”
“Eh, jangan Bik. Biarkan saja, aku bisa naik ojol
kalau berangkat kerja.”
“Biarkan saja Non, dia sudah jarang mempergunakannya.”
“Barno tuh. Ya sudah, bagaimana nanti saja. Oh ya Bik, tolong nitip uangku ini ya.”
“Lhoh, kok dititipin ke bibik sih Non? Uang segitu
banyak?”
“Aku kira lebih aman dibawa Bibik. Aku tidak perlu
mengatakan apa sebabnya, tapi lebih baik bibik yang membawanya. Tolonglah Bik.”
Bibik mengerti apa maksud non cantiknya. Ia menerima
amplop coklat besar berisi uang itu, dengan wajah prihatin.
“Semoga bapak tidak apa-apa, dan tidak perlu dibawa ke
rumah sakit ya Non.”
“Iya Bik, tapi sejak semalam bapak makan hanya
sedikit, dan lebih banyak tidur.”
“Barangkali lebih baik begitu Non, supaya banyak
istirahatnya, tidak memikirkan yang berat-berat.
Sekar mengangguk sedih.
***
Siang itu Barno benar-benar datang, dan bermaksud meninggalkan
sepeda motornya.
“Barno, mengapa kamu nekat? Aku kan bisa naik ojol,
dan itu tidak mahal.”
“Daripada naik ojol kan harus bayar Non, lebih baik
naik yang gratisan ini saja, memang sepeda butut, tapi masih bagus kok
mesinnya. Saya selalu merawatnya dengan baik.”
“Tapi kan kamu jadi tidak bisa mempergunakannya,
padahal kamu masih memerlukannya?”
“Saya sudah tidak perlu bolak balik ke kampus. Skripsi
saya sudah selesai, tinggal ujian. Jadi tidak begitu memerlukan sepeda motor
ini lagi. Mohon Non jangan menolaknya ya.”
“Kalau begitu aku antarkan kamu pulang, lalu baru aku
bawa sepeda motor ini.”
Barno tertawa.
“Mana ada aturan begitu? Saya bisa naik ojol Non,
sudah jangan dipikirkan. Saya mau segera pamit saja. Saya senang Non baik-baik
saja. Tadi simbok sudah menceritakan semuanya. Kalau ada apa-apa, suruh simbok
menelpon saya ya Non.”
Sekar menatap wajah ganteng berpenampilan sederhana
itu lekat-lekat. Entah mengapa ada debar aneh di dadanya. Ia mencoba tersenyum
sebagai ucapan terima kasih. Barno mengangguk, mengatupkan kedua belah telapak
tangannya sambil mundur, takut non cantik mendengar debur jantungnya yang
menghentak-hentak.
***
Sore itu Yanti pulang bersama Ari. Tapi Yanti lebih
banyak diam. Ia sedang memikirkan cara mencari uang agar tidak usah berhubungan
lagi dengan Samadi. Ari sebentar-sebentar menoleh kearah samping, karena sikap
sahabatnya berbeda dari hari-hari biasa.
“Yanti.”
“Ya.”
“Kok kamu dari tadi diam saja?”
“Lagi bingung aku Ar.”
“Bingung kenapa?”
“Aku sebenarnya … mmm … bisakah kamu menolong aku?”
“Pastilah aku akan menolong kamu, kalau aku bisa melakukannya.”
“Pinjamin aku uang dong.”
“Pinjamin uang? Banyak kah?”
“Limapuluh juta.”
“Limapuluh juta? Banyak banget?”
“Kamu kan tahu, aku ikutan bisnis warung itu, sebagian
besar uangnya kan dari pinjam pak Samadi?”
“Oh iya, aku dengar itu dari Minar.”
“Sekarang pak Samadi menagihnya.”
“Lhoh, apa tidak bisa dicicil ?”
“Dia minta semuanya, berikut bunganya. Maukah
menolongku?”
Ari terdiam.
“Maukah?”
“Maaf Yanti. Aku tuh tidak punya uang sebanyak itu.
Aku dan suami sepakat untuk mengelola uang yang kami miliki dengan
sebaik-baiknya, sehingga kalau aku harus mengeluarkan uang, suami aku harus
tahu. Dan sebenarnya kami tidak punya uang berlebih.”
Yanti terdiam. Benar atau tidak apa yang dikatakan
Ari, yang jelas dia tidak akan mendapatkan pinjaman darinya. Mungkin Ari hanya
beralasan. Entahlah.
“Maaf ya Yanti. Tapi kalau menurut aku, lebih baik
kamu bicara dengan pak Samadi secara baik, minta waktu lagi. Siapa tahu warung
kita akan semakin maju, dan pendapatan kamu bisa dipergunakan untuk
mengembalikannya.”
Yanti terdiam. Ari tentu saja tidak tahu, bahwa Samadi
sebenarnya hanya ingin memaksanya. Ia tahu Samadi sudah lama tertarik pada
dirinya, dan hutang itu dipergunakannya untuk memaksanya.
“Bukankah begitu lebih baik, Yanti?” kata Ari lagi, ketika
melihat Yanti hanya terdiam.
“Baiklah, aku akan mencobanya.”
***
Begitu sampai di rumah, Yanti langsung memasuki kamar
Sekar. Karena kamar itu kosong, ia mencarinya ke dapur.
“Bik, mana Sekar?”
“Ada di kamar bapak, barangkali Bu, sejak tadi siang
non ada di sana.”
Yanti melangkah ke arah kamar, membuka pintu kamar dengan
kasar. Dilihatnya Sekar duduk di tepi pembaringan, sambil memijit kaki ayahnya.
“Sekar!”
Sekar sudah sejak tadi menatap ibu tirinya, yang
berdiri ditengah pintu.
“Sini!” kata Yanti sambil melambaikan tangannya.
Tak ingin terjadi kegaduhan lagi, Sekar mengikuti.
Dilihatnya ayahnya masih memejamkan mata. Tertidur, atau entahlah. Yang jelas
Sekar tidak ingin ibu tirinya berteriak di kamar itu.
Yanti melangkah keluar, Sekar mengikutinya, tapi
kemudian Sekar mendahului pergi ke arah dapur, agar ayahnya tak terusik oleh
suara ibu tirinya yang selalu keras.
“Ada apa Bu?”
“Siapa laki-laki yang membantu kamu, menghajar pak
Samadi kemarin?” hardiknya.
“Teman saya.”
“Jadi kamu datang ke sana membawa teman?”
“Masalah buat Ibu?” kata Sekar kesal. Tapi ia tak mau
mengatakan bahwa laki-laki itu Barno.
“Apa katamu? Kamu menentang? Kamu berani sama ibumu
ini?”
“Ibu marah tidak beralasan. Kelakuan laki-laki itu
tidak benar, dan pantas dihajar.”
“Kamu benar-benar kurangajar. Tak tahu membalas budi!”
“Kurangkah apa yang aku lakukan untuk Ibu? Ibu
memintaku berhenti kuliah, aku berhenti. Menyuruhku bekerja, aku mencari
pekerjaan. Menyuruhku membayar gajinya bibik, aku lakukan. Tapi menyuruhku
melayani laki-laki tua yang sama sekali belum pernah aku kenal. Dan melihat kelakuannya
juga seperti bukan orang baik-baik, maaf Bu, Sekar tidak mau.”
“Dia itu kaya! Bodoh!”
“Sekar tidak tertarik dengan kekayaan yang dimiliki
laki-laki tak bermoral seperti dia.”
“Kamu benar-benar menantang aku Sekar!”
“Maaf Bu, saya harus melakukannya. Karena itu tidak
pantas.”
Sebuah tamparan mendarat di pipi Sekar.
Plaakkk!
Jeritan kecil terdengar, karena Sekar kesakitan. Tak
tahan mendengar semuanya, bibik yang tadinya berada di dalam kamar segera
keluar.
“Sabar Bu, saya mohon.”
“Apa kamu?! Kamu hanya pembantu, jangan ikut campur.”
“Benar, saya hanya pembantu, tapi Ibu sudah keterlaluan
dengan menyakiti non Sekar. Dia sudah cukup berbakti pada Ibu.”
“Omong kosong kamu Bik. Pergi sana dan jangan ikut
campur!” katanya sambil mendorong tubuh bibik supaya pergi menjauh.
Lalu sekali lagi Yanti mengayunkan tangannya untuk
menampar anak tirinya. Tapi tiba-tiba sebuah cengkeraman menyakiti lengannya.
“Jangan sakiti anakku!!” katanya terengah-engah.
“Bapak.”
Sekar memburu ke arah ayahnya yang tampak
terhuyung-huyung, sambil sebelah tangannya memegangi dadanya.
“Bapak, ayo kembali ke kamar ya, Sekar tidak apa-apa,”
kata Sekar sambil memapah ayahnya. Bibik yang melihat bahwa majikannya tampak
lemas, ikut mendekat dan membantu memapahnya.
Tapi tubuh kurus itu terkulai, lalu terdengarlah raung
yang menyayat.
“Bapaaaak.”
***
Besok lagi ya.