Thursday, September 30, 2021

ROTI CINTA 40

 

ROTI CINTA  40

(Tien Kumalasari)

 

Witri dan Dian sangat terkejut. Mengapa pak Kusno dibawa polisi ?

“Bu, dengan alasan apa polisi membawa pak Kusno ?” tanya Witri.

“Katanya, kami menipu dia, karena menyuruh Ningsih mencuri sertifikat dan bukti hutang yang ada dirumahnya. Siapa yang mencuri, siapa yang menipu?” tangis bu Kusno.

Witri merangkulnya.

“Bu, ibu tenang ya, polisi tidak akan menghukum orang yang tidak bersalah. Nanti pasti akan ketahuan siapa yang mencuri dan siapa yang menipu. Sudahlah bu, jangan sedih.”

“Saya akan menelpon pengacara agar membantu kasus ini. Ibu jangan sedih ya,” sambung Dian.

“mBak Ningsih belum kembali?”

“Belum, dia memang takut kalau Nurdin menyusul, makanya dia tidak pulang ke rumah, tapi Nurdin malah melaporkan ke polisi. Bagaimana ini?”

“Sebentar ya bu, saya akan menelpon teman saya. Dia seorang pengacara.”

“Apa sebaiknya mbak Ningsih disuruh pulang saja ?”

“Benar, sertifikat dan surat palsu itu barangkali dibutuhkan oleh pengacara untuk dipelajari,” kata Dian yang segera menelpon temannya.

“Biar saya menelpon mbak Ningsih ya bu, maaf ibu tahu nomor kontaknya?”

“Ponsel bapaknya ada di dalam nak. Pastinya disitu ada.”

Witri segera masuk kerumah dan mengambil ponsel pak Kusno yang tergeletak di meja ruang tengah. Ia menelpon Ningsih yang disuruhnya segera pulang.

Menyaksikan beberapa orang yang ikut membantu, hati bu Kusno menjadi sedikit tenang, biarpun rasa was-was itu masih ada.

Tapi dia kembali menangis ketika akhirnya Ningsih pulang.

“Bapakmu Ning.. bapakmu..”

“Ibu .. tenanglah, dan percaya bahwa mana yang benar dan mana yang salah bakal ketahuan.”

“Bapak akan segera pulang bu, percayalah,” kata Dian ikut menghibur bu Kusno.

Ketika pengacara datang, bu Kusno dan Ningsih segera menceritakan kronologi tentang sertifikat itu, yang tadinya dicuri Nurdin lalu dipergunakan untuk memeras pak Kusno. Ia mencatat semuanya untuk dipelajari. Bahkan dari sejak Nurdin membangunkan rumah pak Kusno karena Nurdin menjadi suami Ningsih,tapi kemudian diceraikan karena mandul, dan Nurdin memperhitungkan uang yang sudah dikeluarkan untuk membangun rumah dengan cara yang amat licik.. Semuanya diceritakan tak ada yang terlewat.

“Tolong bebaskan pak Kusno dengan jaminan mas, saya akan membayarnya,” kata Dian kepada pengacara itu.

“Itu gampang mas, saya bisa melakukannya tanpa membayarnya.”

“Betulkah? Terimakasih kalau begitu.”

***

“Ningsih, mulai besok, kalau kamu mau bekerja, kamu boleh masuk,” kata Dian ketika suasana sudah lebih tenang karena Dian menjanjikan akan bisa memulangkan pak Kusno paling lambat besok pagi.

Tapi Ningsih bingung tentang kata-kata ‘bekerja’ itu.

“Bekerja apa?”

“Witri, kamu belum bicara sama dia?”

“Ya belum mas, kan baru saja ketemu dan belum banyak bicara.”

Ningsih menatap keduanya tak mengerti.

“mBak Ningsih, sesungguhnya aku telah lancang melamarkan pekerjaan untuk mbak Ningsih. Cuma kalau mbak Ningsih mau. Kalau enggak ya nggak apa-apa. Pemilik perusahaan itu orang tuanya mas Dian ini. Aku juga bekerja disana.

“Oooo…” Ningsih baru mengerti.

“mBak Ningsih keberatan ? Maaf kalau aku lancang.”

“Aduh, kalau memang aku bisa bekerja, aku pasti senang sekali. Jadi aku bisa membantu meringankan beban orang tua,” kata Ningsih dengan wajah berseri.

“Nah, dia mau mas,” kata Witri kepada Dian.

“Ya sudah, besok juga dia sudah bisa mulai,” kata Dian.

“Tapi jangan besok mas, saya harus menunggu bapak pulang, dan selesainya kasus ini, supaya saya bisa bekerja lebih tenang.

“Iya mas, mbak Ningsih benar. Dia harus menunggu situasi benar-benar  menenangkan.”

“Baiklah, terserah saja Ningsih, kalau siap datanglah ke tempat kerja kamu,” kata Dian.

“Terimakasih banyak mas, dan Witri, aku juga harus berterimakasih sama kamu. Tanpa aku mengajak kamu bicara, kamu sudah tahu bahwa aku membutuhkan pekerjaan itu.”

“Maaf kalau saya lancang ya mbak.”

“Bukan, kamu tidak lancang. Kamu sangat baik hati dan penolong. Aku bersyukur bisa ketemu seseorang seperti Witri.”

“Tidak mbak, jangan begitu. Semua orang pasti juga akan melakukan hal yang sama kalau melihat situasi keluarga mbak seperti sekarang ini. Saya juga hanya coba-coba, barangkali perusahaan membutuhkan seorang karyawan lagi.”

“Itu sangat berarti untuk aku Witri. Terimakasih banyak.”

***

“Laki-laki bernama Nurdin itu sangat bodoh. Dia terperosok kedalam lubang yang digalinya sendiri,” kata Baskoro ketika Dian menceritakan semuanya.

“Kok ada mahluk seperti itu jahatnya sama perempuan. Kasihan Ningsih.”

“Witri sudah bilang mau mencarikan kerja untuk Ningsih, Dian sudah mengatakannya dan kita sudah setuju kan ?”

“Iya mas, bukankah nanti Witri juga akan berhenti menjadi kasir setelah menikah dengan Dian ?”

“Benar. Untunglah segera akan ada penggantinya. Semoga Ningsih juga sepintar Witri.”

“Dian bilang kalau urusan dengan bekas suaminya selesai, Ningsih bisa segera mulai bekerja. Biar saja nanti Witri melatihnya.”

“Ya, pastinya menunggu urusan dengan bekas suaminya dulu. Semoga segera selesai. Mendengar ceritanya aku juga merasa kasihan.”

“Katanya Dian ingin membayar untuk minta agar pak Kusno dikeluarkan dari tahanan, tapi pengacara bilang dia yang akan menjaminkan dirinya setelah mengetahui permasalahannya.”

“Semoga saja dipermudah, kan pak Kusno tidak salah apa-apa.”

“Hm, ada-ada saja..”

“Tapi aku senang Dian selalu melakukan hal-hal baik.”

“Syukurlah.. bukankah karena bapaknya juga orang baik ?”

“Ehem.. ibunya lebih lagi.”

“Ini kok jadi ganti topik sih? Sudah, aku mau kedepan dulu, saatnya tutup toko kan?”

“Oh, iya.. nggak terasa, ternyata sudah malam.”

“Kan Dian juga pulangnya sudah malam karena urusan keluarga Ningsih itu.”

***

“Ya sudah, ibu tidur.. mengapa belum tidur juga, ini sudah larut malam,” kata Ningsih yang menemani ibunya tidur, karena bu Kusno masih tampak gelisah.

“Iya Ning, penginnya juga segera tidur, tapi kok ya susah sekali ..”

“Karena ibu masih memikirkan bapak. Bukankah mas Dian sudah berjanji bahwa besok bapak pasti akan pulang?”

“Mengapa dia memastikan bahwa bapakmu pasti bisa pulang?”

“Kan bapak tidak bersalah, dan mas Dian berjanji akan membayar uang jaminan?”

“Nah, itu juga yang ibu pikirkan. Yang namanya Dian itu siapa, mengapa membayar uang jaminan untuk bapak? Ibu sedih menyusahkan orang lain.”

“Ibu tidak usah memikirkannya. Ningsih akan bekerja, nanti semuanya akan Ningsih ganti, biarpun hanya dengan mencicil. Saat ini kita tak bisa apa-apa selain menerima apa yang mereka berikan. Memang kita harus berhutang, baik materi maupun kebaikan. Tapi mau apa lagi, kita kan memang butuh bantuan ?”

“Ya sudah Ning, tapi kamu harus bicara nanti sama nak Dian, bahwa kamu akan menggantinya.”

“Iya bu, Ningsih pasti akan bicara, semoga semuanya segera berakhir, dan kita bisa hidup tenang.”

“Amiin.. “

Sekarang ibu tidur, semuanya akan baik-baik saja.”

Bu Kusno mengangguk dan mencoba memejamkan mata. Namun sebenarnya Ningsih juga memikirkan semua itu. Kebaikan dari orang-orang yang belum pernah dikenalnya, itu sangat membebaninya. Ia berjanji akan menggantinya, tapi itu katanya untuk menenangkan hati ibunya. Berapa banyak uang yang dikeluarkan Dian, dan berapa lama kalau ia harus mencicilnya setelah bekerja. Bekerja juga belum, sudah dijanjikan untuk membayar hutang? Dan nyatanya Ningsih sendiri baru bisa memejamkan matanya saat pagi hampir menjelang.

***

“mBak Ningsih…” suara dari luar itu mengejutkannya. Ningsih masih terbaring diranjang sementara ibunya sudah tidak ada lagi disampingnya. Bau wangi kopi menyengat hidungnya, pertanda ibunya sudah membuat minuman.

“mBak Ningsih…” suara itu terdengar lagi, dari depan. Ningsih melompat dan bergegas keluar karena mengenal bahwa itu suara Witri.

“Ah, Witri, aku baru saja bangun. Semalam hampir nggak bisa tidur.”

“Ya mbak, aku tahu pasti mbak Ningsih banyak pikiran sehingga nggak bisa tidur. Ini, aku buat nasi goreng sama telur ceplok, buat mbak dan ibu ya.”

“Ya ampun Witri, sepagi ini kamu sudah memasak nasi goreng ?”

“Iya mbak, kan sebelum bekerja aku harus membuatkan sarapan ibu, dan memasak sayur buat makan siang. Tadi aku bikin sup, tapi belum matang. Nanti kalau ibu dan mbak Ningsih mau, silahkan ambil saja. Saya juga menggoreng tahu sama tempe, dan kerupuk.”

“Aduh, aku jadi malu, Witri sudah memasak banyak masakan, saya baru bangun. Ini nasi gorengnya sedap sekali baunya, perutku jadi lapar.”

“Iya mbak, silahkan.. nggak tahu nanti bagaimana rasanya. Aku pamit dulu ya, mau mengentas sayur dan menemani ibu sarapan.”

“Terimakasih banyak Witri, ibu pasti suka ini.”

Witri segera berlalu, Ningsih membawa sepiring nasi goreng yang diberikan Witri ke belakang. Ibunya sedang meletakkan tiga gelas kopi di meja.

“Bu, ini dari Witri..”

“Apa itu?”

“Nasi goreng telur ceplok, untuk ibu dan Ningsih.”

“Ah, anak itu sungguh sangat baik. Selalu memikirkan kita. Taruh saja disana. Ini minum dulu kopinya, yang satu buat bapak, barangkali nanti segera pulang, kasihan, ditempat tahanan mana ada yang membuatkan kopi,” kata bu Kusno sendu.

“Iya bu, Ningsih mau sholat dulu. Bangun kesiangan, dan belum juga bangun kalau tidak mendengar Witri memanggil-manggil dari arah depan.”

“Ya ampun.. ya sudah cepatlah, ibu tunggu disini.”

***

Nurdin menginap di rumahnya, dimana dulu Witri dan ibunya menyewa.

Siang itu dia pergi ke kantor polisi, bermaksud menemui pak Kusno, karena sebenarnya dia menuntut pengganti uang yang sudah dikeluarkannya untuk pak Kusno setelah dia menceraikan Ningsih.

Tapi tanpa dinyana dia bertemu dengan pengacara pak Kusno yang siap membawa pak Kusno pulang.

“Apa-apaan ini? Mengapa seorang penipu bisa dilepaskan begitu saja?” teriaknya keras sambil menuding kearah pak Kusno.

“Tunggu pak, jangan sembarangan menuduhnya penipu. Sebenarnya yang menipu itu pak Kusno apa sampeyan?” tanya pengacara itu.

“Bagaimana kamu menuduh aku menipu? Kamu tidak tahu apa-apa. Ada surat hutang dengan jaminan serifikat itu, dan anaknya telah mencurinya dariku,” kata Nurdin tanpa rasa hormat sedikitpun kepada orang yang baru saja dikenalnya.

“Kami baru melaporkan balik pak Nurdin, karena pak Nurdinlah yang mencuri sertifikat pak Kusno ketika mengantarkan anaknya pulang.”

“Bohong itu .”

“Nanti pengadilan yang akan memutuskan, mana yang bohong. Anda atau pak Kusno. Ada bukti surat hutang palsu yang anda buat, dan memaksa pak Kusno menandatanganinya tanpa tahu isi surat yang anda buat.”

“Surat itu hanya tertulis tulisan sedikit diatas tempat dimana saya harus menandatanganinya. Isinya kurang lebih adalah, DEMIKIAN SURAT INI SAYA BUAT DENGAN SEBENAR-BENARNYA TANPA PAKSAAN DARI SIAPAPUN,” kata pak Kusno kepada pengacara yang dikirimkan Dian untuknya.

“Saya mau melakukannya, katanya untuk ijin pembangunan rumah harus ada surat persetujuan saya. Saya ini orang bodoh, tidak mengira kalau itu untuk mengakali saya,” lanjut pak Kusno.

“Bohong.”

“Baiklah, jangan berteriak-teriak disini. Terserah anda mau apa, saya sudah mendapat ijin untuk membawa pak Kusno pulang,” kata pengacara itu sambil berdiri dan pak Kusno yang digamit lengannya segera mengikuti.

Nurdin ingin mengejar pengacara itu, tapi dua orang polisi menahannya.

“Apa-apaan ini ? Mengapa aku ?”

“Anda ditahan atas laporan penipuan dan pembuatan surat palsu.”

“Tidaaak, lepaskan.”

“Kalau pengadilan memutuskan anda tidak bersalah, maka anda akan dilepaskan.”

Nurdin meronta dan terus memaki-maki pak Kusno yang dianggapnya menipu.

***

Bu Kusno sangat gembira ketika siang itu suaminya telah pulang kembali.

“Pak, kopinya sudah dingin, soalnya sudah sejak pagi ibu membuatnya. Ibu buatkan lagi ya?”

“Tidak bu, kopi buatan ibu, biar dingin, biar panas, tetap sedap diminum,” kata pak Kusno yang segera menghirup kopinya, sekali teguk dan habis.”

“Ya ampun, bapak haus sekali rupanya.”

“Bapak kangen kopi buatan ibu, jadi bapak habiskan sekaligus.”

Bu Kusno tersenyum bahagia.

“Bapak makan ya, tadi nak Witri mengirimkan semangkuk besar sup ayam, dan tahu tempe goreng.”

“Nak Witri ?”

“Iya pak, tadi pagi juga sudah membuatkan nasi goreng untuk ibu dan Ningsih.”

“Anak itu sangat baik hati.”

“Benar pak, dan majikannya yang ganteng itu juga baik hati.”

“Majikan nak Witri?”

“Yang mengirimkan pengacara lalu bisa membebaskan bapak kan juga nak Dian, majikannya Witri.”

“Ya Tuhan…”

“Bapak tidak tahu ?”

“Pengacara itu tidak bilang apa-apa, katanya yang penting aku bisa bebas dan Nurdin sekarang ganti ditahan.”

“Nurdin ditahan ?”

“Iya, bapak nggak tahu bagaimana caranya, pokoknya pengacara itu yang mengaturnya. Nanti kami akan bertemu di pengadilan, katanya.”

“Itulah, dia yang bermaksud jahat, jadi dia memakan buah yang ditanamnya sendiri.”

“Jadi bagaimana yang namanya Dian itu mau menolong kita?”

“Dia itu anak dari majikannya nak Witri, yang setiap sore mengantar Witri pulang. Ketika mengantar Witri itu dia mendengar semuanya, bahwa bapak dibawa polisi atas perbuatan Nurdin. Lalu tiba-tiba dia tanpa diminta lalu menghubungi pengacara dan minta agar bapak ditahan luar.”

“Kok ceritanya jadi panjang. Mengapa dia bisa dengan mudah membebaskan aku ya bu?”

“Kata Ningsih, nak Dian membayar uang jaminan.”

”Tidak bu, dia bilang dia tidak membayar uang jaminan. Pengacara itu yang menjaminkan dirinya agar saya bisa keluar, sambil menunggu pengadilan.”

“Benarkah? Alangkah baiknya orang-orang itu, padahal kita belum kenal sebelumnya.”

“Tapi sesungguhnya aku tidak suka semuanya menjadi ruwet bu, aku sudah bilang kepada pak pengacara itu, bahwa aku tetap akan menggadaikan sertifikat itu, untuk aku berikan kepada Nurdin. Supaya dia puas dan tidak memusuhi kita. Dan permasalahan akan selesai. Laporan tentang dialah penipunya, akan saya cabut.”

“Ya ampun, bapak..”

***

Besok lagi ya

 

 

 

 

Wednesday, September 29, 2021

ROTI CINTA 39

 

ROTI CINTA  39

(Tien Kumalasari)

 

Gemetar tangan Ningsih ketika memegang sertifikat itu. Dan diantara lembaran sertifikat itu ada lagi selembar surat dengan tulisan diatasnya “PERJANJIAN HUTANG”. Dengan gemas dia memasukkannya lagi didalam lembaran sertifikat itu, barangkali surat palsu itu berguna pada suatu hari nanti. Sangat beruntung karena Nurdin belum menyimpannya didalam kamarnya. Dengan segera Ningsih memasukkan surat berharga itu kedalam tas yang dibawanya.

Namun ketika Ningsih mau keluar dan kabur, didengarnya mobil memasuki halaman. Hati Ningsih tercekat, tampaknya Nurdin telah pulang. Bersamaan dengan itu bibik pembantu keluar dengan meletakkan gelas berisi minuman dingin diatas meja.

Ningsih membalikkan tubuhnya dan berkata kepada bibik.

“Bik, tolong, biarkan aku sembunyi didalam kamar kamu.”

“Apa ?” tanya bibik dengan bingung.

“Cepat bik, dan jangan bilang pada bapak kalau aku datang,” kata Ningsih sambil menarik lengan bibik ke belakang, lalu masuk kedalam kamar pembantu.

“Tolong ya bik, jangan bilang kalau aku datang. Nanti aku akan mengatakan semuanya pada bibik.

Bibik mengangguk dengan masih merasa bingung. Tapi Ningsih adalah majikan yang baik, dan bibik sangat menghormatinya. Maka dia segera menutup pintu kamarnya, membiarkan Ningsih bersembunyi didalamnya.

Didengarnya langkah tuannya memasuki rumah lalu berteriak.

“Biik..”

Bibik berlari kedepan.

“Ya, pak..”

“Ini minuman siapa? Apakah tadi ada tamu?”

“Ti..tidak pak.. tidak ada,” jawab bibik sambil menenangkan batinnya.

“Mengapa ada minuman disini?”

“Itu.. saya buatkan.. untuk bapak..”

Tumben-tumbenan kamu buat minuman untuk aku lagi? Bukankah pagi tadi sudah?”

“Tadi.. saya.. seperti mendengar bapak minta minum sebelum pergi, saya buatkan minuman dingin, setelah saya keluar bapak sudah.. pergi.”

Nurdin meneguk es sirup yang ada diatas meja.

“Seperti baru, esnya belum mencair.”

“Itu.. saya belum lama menambah es batunya.. udara sangat panas.”

“Ya sudah, aku mau pergi dulu,” kata Nurdin sambil mengambil tas yang terletak diatas meja, tanpa memeriksanya lagi.

“Bapak mau kemana ?”

“Eeh.. kenapa kamu tanya-tanya?”

“Barangkali nanti ada tamu dan bertanya.”

“Bilang saja tidak tahu, gampang kan? Ya sudah, aku ditunggu di kantor notaris nih,” kata Nurdin sambil berlalu.

“Baiklah pak..”

Nurdin segera pergi lagi, dan bibik mengelus dadanya karena merasa lega. Ia segera bergegas ke belakang.

“Bu, bapak sudah pergi.”

“Oh, ya sudah. Mau kemana dia?”

“Tadi bilang di tunggu di kantor notaris, gitu.”

“Baiklah, aku pergi dulu ya bik, dan sekali lagi jangan bilang kalau aku datang.”

“Kapan ibu pulang kemari lagi?”

“Bapak sudah menceraikan aku, aku tidak akan kembali kemari.”

“Ya Tuhan, bapak sungguh keterlaluan. Isteri begini baik dan cantik diceraikan?”

“Ya sudah bik, terimakasih sudah menolong aku.”

“Sedih kalau ibu tidak kembali.”

“Jangan sedih bik, nanti bapak pasti akan membawa pulang ibu yang baru,” kata Ningsih sambil menyelipkan uang duaratus ribu kedalam saku bibik.

“Aduh bu, ini apa?”

“Buat jajan bibik, hanya sedikit. Sudah ya bik, jangan lupa pesan saya,” kata Ningsih sambil melangkah cepat, keluar dari rumah itu.

“Iya bu, saya tidak akan mengatakan bahwa ibu baru saja pulang.”

Bibik merasa heran, ia tidak tahu mengapa isteri majikannya pulang, lalu menghindari bertemu bekas suaminya. Iya, bibik juga heran, mengapa isteri sebaik itu diceraikan. Memang majikannya akhir-akhir ini selalu bersikap kasar kepada isterinya. Bibik sering merasa kasihan melihat Ningsih sering menangis sendiri di kamarnya. Ketika Nurdin membawa Ningsih pergi untuk dipulangkan, Ningsih juga tidak berkata apa-apa pada bibik. Ternyata suaminya telah menceraikannya.

***

Ketika bibik sedang bersih-bersih dapur, didengarnya mobil majikannya kembali memasuki halaman. Lalu terdengar langkah-langkah cepat memasuki rumah, dan sebuah teriakan terdengar, membuatnya hampir terjengkang.

“Bibiiiiik..”

Jantung bibik nyaris rontok mendengar teriakan itu.

“Ya pak..”

“Siapa tadi yang datang kemari?”

“Si..siapa pak? Tidak ada yang datang kemari..” kata bibik dengan gemetar mendengar suara lantang majikannya.

“Jangan bohong kamu !! Pasti tadi ada yang datang. Dan minuman yang kamu buat pasti sebenarnya untuk tamu itu. Ya kan ? Ya kan?”

“Tidak pak.. tidak ada.. itu tadi.. minuman untuk bapak…”

“Bohong !!” teriak Nurdin lebih keras.

Bibik benar-benar ketakutan, ia berlari ke belakang karena terkencing-kencing.

“Setan alas kamu !” Kamu bohong. Siapa yang dataaaang?” teriak Nurdin sambil mengernyitkan hidungnya karena bau pesing menyambar penciumannya.

“Orang gila! Mengapa kamu kencing disini?”

Bibik masih ada di kamar mandi, membersihkan diri. Teriakan demi teriakan membuatnya semakin gemetar. Tapi ia sudah berjanji untuk tidak mengatakannya pada majikannya tentang Ningsih, dan ia memegang janji itu.

Ketika bibik keluar sambil membawa alat mengepel, Nurdin menghujaninya dengan maki-makian yang tak kunjung berhenti.

Bibik mengepel lantai dengan gemetar.

“Kamu tetap tidak mau mengatakannya? Mengapa tidak mau mengatakan kalau ada tamu?”

“Bibik memang.. tidak.. melihat ada tamu ..”

“Kamu tidak melihatnya?”

“Tidak pak..” jawab bibik sambil melanjutkan mengepel, sambil mundur ke belakang.

Nurdin duduk di sofa, dan kembali membuka tasnya. Tapi dengan kesal dia tidak menemukan barang yang dicarinya.

“Heran aku, sudah aku siapkan sejak pagi, dan kebetulan tadi tertinggal dirumah ketika aku pergi, setelah aku kembali, surat itu tidak ada lagi didalam tas,” gumamnya sambil mengeluarkan semua isi tasnya yang berisi surat-surat yang ada hubungannya dengan pekerjaannya, tapi sertifikat curian itu tidak ada. Padahal dia akan mengesahkannya didepan notaris tentang perjanjian hutang palsu yang dibuatnya. Notaris sudah berjanji akan membantunya, walau si penghutang tidak bisa hadir dihadapannya.

“Siapa ya yang mengambilnya? Apa Ningsih datang kemari? Ah, tak mungkin dia berani. Perempuan yang bisanya hanya menangis itu tak akan berani datang kemari sendiri. Tapi mungkin ada orang lain yang menemaninya. Siapa? Bapaknya yang sudah tua dan bodoh itu?” gumamnya sambil merapikan kembali surat-surat yang tadi di obrak abriknya.

“Bibiiiik..!” Nurdin kembali berteriak.

“Ya pak..” kata bibik sambil mendekat.

“Agak mundur.. agak mundur, kamu masih bau..”

Bibik mundur beberapa langkah kebelakang.

“Benarkah tadi kamu tidak melihat ada orang datang?”

“Saya dibelakang terus, membersihkan dapur, tidak mendengar ada tamu.”

“Tapi kamu membuat minuman itu kan?”

“Itu.. untuk bapak.. kalau tamu pasti sudah diminumnya,” jawab Bibik yang entah dari mana datangnya bisikan untuk mengatakan itu.

Nurdin terdiam.

“Pasti ada yang datang,” kata Nurdin sambil melangkah keluar, lalu memacu mobilnya, kearah bandara.

***

Betapa terkejutnya Nurdin ketika mendapat informasi bahwa ada penumpang bernama Sriningsih dengan tujuan Jakarta.

“Baru saja take off..” kata petugas yang memberikan keterangan.

Nurdin sangat marah. Ningsih tidak saja mengambil sertifikatnya, tapi juga surat hutang palsu yang dibuatnya.

Nurdin heran, bagaimana Ningsih berani melakukannya. Dia tidak menyadari, kenekatan Ningsih dipicu oleh kemarahannya karena Nurdin berbuat semena-mena kepada orang tuanya.

Dengan nekat dia memesan lagi tiket, untuk penerbangan berikutnya. Ia harus mendapatkan kembali sertifikat dan surat hutang itu.

“Sejak kapan Ningsih punya keberanian untuk datang kemari dan mencuri surat-surat itu? Perempuan bodoh yang nggak bisa apa-apa.. dari mana dan siapa yang menyuruhnya untuk melakukannya?” gumamnya penuh geram ketika menunggu saat boarding.

Lalu Nurdin berpikir, apa yang akan dilakukannya untuk merebut kembali sertifikat itu, sementara surat hutang palsu yang dibuatnya juga dibawa oleh Ningsih.

“Aku harus mendapatkannya kembali, atau uang seratus juta yang mereka harus bayar segera diberikan kepadaku. Huh,orang miskin, bagaimana cara dia akan membayarkan uang itu?”

***

Pak Kusno duduk mendampingi isterinya yang sejak kemarin murung memikirkan anaknya.

“Sabar ya bu, nanti juga Ningsih pasti kembali. Dia tidak akan berbuat nekat bu, soalnya dia membawa bekal baju.”

Bu Kusno diam saja. Entah sudah berapa puluh kali kata-kata itu diperdengarkan di telinganya, dan tak sekalipun bisa menghiburnya.

Tiba-tiba ponsel pak Kusno berdering.

“Haah, dari Ningsih bu,” kata pak Kusno sambil membuka ponselnya. Bu Kusno mengangkat tubuhnya yang semula bersandar lesu.

“Ningsih ?” sapa pak Kusno.

“Bapak, Ningsih sudah berhasil membawa kembali sertifikat itu.”

“Haa.. kamu berhasil? Kamu ada dimana? Menemui dia? Apa dia memberikannya dengan suka rela?” tanya pak Kusno dengan hati berdebar, sementara bu Kusno segera duduk merapat pada suaminya, ingin mendengar perihal anaknya.

“Bukan pak, dengan pertolongan Allah Ningsih berhasil mengambilnya, berikut surat hutang palsu yang dibuatnya. Ningsih datang ke rumah Nurdin, dan kebetulan melihat tas Nurdin yang berisi sertifikat itu. Nurdin tidak ada dirumah waktu itu, jadi Ningsih bisa melakukannya.”

“Sekarang kamu masih disana ?”

“Tidak pak, Ningsih sudah ada di Jakarta.”

“Syukurlah nak, segeralah pulang.”

“Pak, saya yakin Nurdin pasti mengejar saya setelah tahu bahwa sertifikat itu lenyap. Mungkin dia menyusul ke Jakarta lalu langsung ke rumah bapak, jadi sebaiknya saya tidak pulang ke rumah dulu.”

“Tapi Ning, ibumu menangis terus. Ini bicaralah,” kata pak Kusno sambil menyerahkan ponselnya kepada isterinya.

“Ning.. ini kamu ?”

“Ibu jangan sedih, Ningsih baik-baik saja, dan sudah berhasil membawa kembali sertifikat itu.”

“Kalau begitu cepatlah pulang nak.”

“Tidak dulu bu, kemungkinan besar Nurdin mengejar Ningsih, jadi sebaiknya Ningsih tidak pulang dulu. Nanti kalau Nurdin kemari bilang saja Ningsih pergi entah kemana.”

“Lalu kamu ada dimana ?”

“Ningsih sudah di Jakarta bu, tapi Ningsih mau menginap dirumah pakde dulu, sambil memikirkan apa yang harus Ningsih lakukan, agar membuat Nurdin jera.”

“Tapi kamu baik-baik saja kan ? Soalnya kamu pergi begitu saja tanpa pamit, bapak sama ibu jadi bingung.”

“Maaf bu, Ningsih sengaja tidak pamit, karena kalau pamit pasti bapak sama ibu melarangnya. Entah darimana datangnya, Ningsih tiba-tiba berani melakukannya.”

“Ya sudah Ning, yang penting kamu baik-baik saja.”

“Ningsih baik-baik saja bu. Ibu jangan khawatir, disana NIngsih bahkan tidak ketemu dia sama sekali. Nanti kalau kita ketemu Ningsih akan menceritakan semuanya.”

Pak Kusno dan bu Kusno merasa lega, mendengar suara anaknya yang ternyata baik-baik saja, bahkan telah membawa sertifikat yang semula dicuri Nurdin.

“Hm.. syukurlah bu, anak kita baik-baik saja,” kata pak Kusno setelah meletakkan ponselnya dengan perasaan lega.

“Aku tidak mengira, tiba-tiba Ningsih berani melakukannya. Anak itu kan pendiam, kalau ada apa-apa bisanya cuma menangis.”

“Ibu juga heran pak, mungkin terdorong oleh rasa marah kepada Nurdin karena melakukan perbuatan yang semena-mena terhadap orang tuanya.”

Tiba-tiba ponsel pak Kusno berdering lagi.

Dari siapa nih, nggak ada namanya.

“Angkat saja pak, barangkali penting.”

“Bagaimana kalau Nurdin ?”

“Tinggal dijawab saja kan pak. Maksudnya apa.”

“Hallo…”

“Hallo pak, ini Witri..”

“Oh, nak Witri ?”

“Iya, bagaimana, sudah ada berita tentang mbak Ningsih ?”

“Alhamdulilah nak, baru saja Ningsih menelpon, dia ternyata pergi ke Padang, ke rumah suaminya.. eh.. bekas suaminya.”

“Ya ampun pak.. mengapa mbak Ningsih kesana?”

“Dia berhasil mengambil sertifikat itu tanpa sepengetahuan Nurdin, dan membawanya pulang. Dia sudah sampai di Jakarta tapi belum pulang ke rumah, khawatir kalau Nurdin mengejarnya.”

“Alhamdulillah pak, Witri ikut senang. Kalau nanti Nurdin menyusul, laporkan saja pada polisi pak.”

“Iya sih, tapi bapak ini tidak bisa berurusan dengan polisi, nanti malah keliru. Jadi menunggu Ningsih saja maunya bagaimana, katanya Ningsih juga akan melakukan sesuatu.”

“Baiklah pak, saya ikut senang. Nanti kalau saya pulang kita bicara lagi, barangkali saya bisa membantu.”

“Terimakasih banyak nak Witri.”

***

“Mas, mbak Ningsih sudah kembali,” kata Witri ketika Dian mengantarnya pulang.

“Oh ya, kemana sebenarnya dia pergi ?”

“Ke Padang, rumah bekas suaminya.”

“Mengapa ?”

“Dia berhasil mengambil kembali sertifikat itu tanpa sepengetahuan Nurdin.”

“Bagus dong, berarti tidak ada masalah?”

“Tampaknya setelah mengetahui, Nurdin pasti akan mengejarnya kemari. Jadi mbak Ningsih belum berani pulang.”

“Kalau begitu laporkan saja pada polisi, agar semuanya segera selesai, kalau memang Nurdin bersalah biarlah dia masuk penjara sekalian.”

“Aku sudah bilang, tapi pak Kusno tidak berani melakukannya.”

“Nanti kita bantu mereka, aku punya teman pengacara, dia yang akan mengurusnya.”

“Nanti kalau sampai disana, mas saja yang bicara sama pak Kusno ya? Atau kalau bisa kita temui mbak Ningsih.”

“Ya sudah, nanti kita akan memikirkannya.”

“Terimakasih ya mas, Witri kasihan sama mereka.”

Tetapi ketika sampai dirumah dan mereka turun dari mobil, dari kejauhan dilihatnya bu Kusno sedang menangis di teras, bu Narti menemaninya.

Witri bergegas mendekat.

“Ada apa bu?” tanya Witri cemas. Dia tak melihat pak Kusno didekat mereka.

“Bapaknya Ningsih nak.. bapaknya Ningsih..” tangis bu Kusno.

“Pak Kusno kenapa?”

“Nurdin datang membawa polisi, bapaknya Ningsih dibawanya.”

***

Besok lagi ya

 

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...