ROTI CINTA 40
(Tien Kumalasari)
Witri dan Dian sangat terkejut. Mengapa pak Kusno dibawa polisi ?
“Bu, dengan alasan apa polisi membawa pak Kusno ?” tanya Witri.
“Katanya, kami menipu dia, karena menyuruh Ningsih mencuri sertifikat dan bukti hutang yang ada dirumahnya. Siapa yang mencuri, siapa yang menipu?” tangis bu Kusno.
Witri merangkulnya.
“Bu, ibu tenang ya, polisi tidak akan menghukum orang yang tidak bersalah. Nanti pasti akan ketahuan siapa yang mencuri dan siapa yang menipu. Sudahlah bu, jangan sedih.”
“Saya akan menelpon pengacara agar membantu kasus ini. Ibu jangan sedih ya,” sambung Dian.
“mBak Ningsih belum kembali?”
“Belum, dia memang takut kalau Nurdin menyusul, makanya dia tidak pulang ke rumah, tapi Nurdin malah melaporkan ke polisi. Bagaimana ini?”
“Sebentar ya bu, saya akan menelpon teman saya. Dia seorang pengacara.”
“Apa sebaiknya mbak Ningsih disuruh pulang saja ?”
“Benar, sertifikat dan surat palsu itu barangkali dibutuhkan oleh pengacara untuk dipelajari,” kata Dian yang segera menelpon temannya.
“Biar saya menelpon mbak Ningsih ya bu, maaf ibu tahu nomor kontaknya?”
“Ponsel bapaknya ada di dalam nak. Pastinya disitu ada.”
Witri segera masuk kerumah dan mengambil ponsel pak Kusno yang tergeletak di meja ruang tengah. Ia menelpon Ningsih yang disuruhnya segera pulang.
Menyaksikan beberapa orang yang ikut membantu, hati bu Kusno menjadi sedikit tenang, biarpun rasa was-was itu masih ada.
Tapi dia kembali menangis ketika akhirnya Ningsih pulang.
“Bapakmu Ning.. bapakmu..”
“Ibu .. tenanglah, dan percaya bahwa mana yang benar dan mana yang salah bakal ketahuan.”
“Bapak akan segera pulang bu, percayalah,” kata Dian ikut menghibur bu Kusno.
Ketika pengacara datang, bu Kusno dan Ningsih segera menceritakan kronologi tentang sertifikat itu, yang tadinya dicuri Nurdin lalu dipergunakan untuk memeras pak Kusno. Ia mencatat semuanya untuk dipelajari. Bahkan dari sejak Nurdin membangunkan rumah pak Kusno karena Nurdin menjadi suami Ningsih,tapi kemudian diceraikan karena mandul, dan Nurdin memperhitungkan uang yang sudah dikeluarkan untuk membangun rumah dengan cara yang amat licik.. Semuanya diceritakan tak ada yang terlewat.
“Tolong bebaskan pak Kusno dengan jaminan mas, saya akan membayarnya,” kata Dian kepada pengacara itu.
“Itu gampang mas, saya bisa melakukannya tanpa membayarnya.”
“Betulkah? Terimakasih kalau begitu.”
***
“Ningsih, mulai besok, kalau kamu mau bekerja, kamu boleh masuk,” kata Dian ketika suasana sudah lebih tenang karena Dian menjanjikan akan bisa memulangkan pak Kusno paling lambat besok pagi.
Tapi Ningsih bingung tentang kata-kata ‘bekerja’ itu.
“Bekerja apa?”
“Witri, kamu belum bicara sama dia?”
“Ya belum mas, kan baru saja ketemu dan belum banyak bicara.”
Ningsih menatap keduanya tak mengerti.
“mBak Ningsih, sesungguhnya aku telah lancang melamarkan pekerjaan untuk mbak Ningsih. Cuma kalau mbak Ningsih mau. Kalau enggak ya nggak apa-apa. Pemilik perusahaan itu orang tuanya mas Dian ini. Aku juga bekerja disana.
“Oooo…” Ningsih baru mengerti.
“mBak Ningsih keberatan ? Maaf kalau aku lancang.”
“Aduh, kalau memang aku bisa bekerja, aku pasti senang sekali. Jadi aku bisa membantu meringankan beban orang tua,” kata Ningsih dengan wajah berseri.
“Nah, dia mau mas,” kata Witri kepada Dian.
“Ya sudah, besok juga dia sudah bisa mulai,” kata Dian.
“Tapi jangan besok mas, saya harus menunggu bapak pulang, dan selesainya kasus ini, supaya saya bisa bekerja lebih tenang.
“Iya mas, mbak Ningsih benar. Dia harus menunggu situasi benar-benar menenangkan.”
“Baiklah, terserah saja Ningsih, kalau siap datanglah ke tempat kerja kamu,” kata Dian.
“Terimakasih banyak mas, dan Witri, aku juga harus berterimakasih sama kamu. Tanpa aku mengajak kamu bicara, kamu sudah tahu bahwa aku membutuhkan pekerjaan itu.”
“Maaf kalau saya lancang ya mbak.”
“Bukan, kamu tidak lancang. Kamu sangat baik hati dan penolong. Aku bersyukur bisa ketemu seseorang seperti Witri.”
“Tidak mbak, jangan begitu. Semua orang pasti juga akan melakukan hal yang sama kalau melihat situasi keluarga mbak seperti sekarang ini. Saya juga hanya coba-coba, barangkali perusahaan membutuhkan seorang karyawan lagi.”
“Itu sangat berarti untuk aku Witri. Terimakasih banyak.”
***
“Laki-laki bernama Nurdin itu sangat bodoh. Dia terperosok kedalam lubang yang digalinya sendiri,” kata Baskoro ketika Dian menceritakan semuanya.
“Kok ada mahluk seperti itu jahatnya sama perempuan. Kasihan Ningsih.”
“Witri sudah bilang mau mencarikan kerja untuk Ningsih, Dian sudah mengatakannya dan kita sudah setuju kan ?”
“Iya mas, bukankah nanti Witri juga akan berhenti menjadi kasir setelah menikah dengan Dian ?”
“Benar. Untunglah segera akan ada penggantinya. Semoga Ningsih juga sepintar Witri.”
“Dian bilang kalau urusan dengan bekas suaminya selesai, Ningsih bisa segera mulai bekerja. Biar saja nanti Witri melatihnya.”
“Ya, pastinya menunggu urusan dengan bekas suaminya dulu. Semoga segera selesai. Mendengar ceritanya aku juga merasa kasihan.”
“Katanya Dian ingin membayar untuk minta agar pak Kusno dikeluarkan dari tahanan, tapi pengacara bilang dia yang akan menjaminkan dirinya setelah mengetahui permasalahannya.”
“Semoga saja dipermudah, kan pak Kusno tidak salah apa-apa.”
“Hm, ada-ada saja..”
“Tapi aku senang Dian selalu melakukan hal-hal baik.”
“Syukurlah.. bukankah karena bapaknya juga orang baik ?”
“Ehem.. ibunya lebih lagi.”
“Ini kok jadi ganti topik sih? Sudah, aku mau kedepan dulu, saatnya tutup toko kan?”
“Oh, iya.. nggak terasa, ternyata sudah malam.”
“Kan Dian juga pulangnya sudah malam karena urusan keluarga Ningsih itu.”
***
“Ya sudah, ibu tidur.. mengapa belum tidur juga, ini sudah larut malam,” kata Ningsih yang menemani ibunya tidur, karena bu Kusno masih tampak gelisah.
“Iya Ning, penginnya juga segera tidur, tapi kok ya susah sekali ..”
“Karena ibu masih memikirkan bapak. Bukankah mas Dian sudah berjanji bahwa besok bapak pasti akan pulang?”
“Mengapa dia memastikan bahwa bapakmu pasti bisa pulang?”
“Kan bapak tidak bersalah, dan mas Dian berjanji akan membayar uang jaminan?”
“Nah, itu juga yang ibu pikirkan. Yang namanya Dian itu siapa, mengapa membayar uang jaminan untuk bapak? Ibu sedih menyusahkan orang lain.”
“Ibu tidak usah memikirkannya. Ningsih akan bekerja, nanti semuanya akan Ningsih ganti, biarpun hanya dengan mencicil. Saat ini kita tak bisa apa-apa selain menerima apa yang mereka berikan. Memang kita harus berhutang, baik materi maupun kebaikan. Tapi mau apa lagi, kita kan memang butuh bantuan ?”
“Ya sudah Ning, tapi kamu harus bicara nanti sama nak Dian, bahwa kamu akan menggantinya.”
“Iya bu, Ningsih pasti akan bicara, semoga semuanya segera berakhir, dan kita bisa hidup tenang.”
“Amiin.. “
Sekarang ibu tidur, semuanya akan baik-baik saja.”
Bu Kusno mengangguk dan mencoba memejamkan mata. Namun sebenarnya Ningsih juga memikirkan semua itu. Kebaikan dari orang-orang yang belum pernah dikenalnya, itu sangat membebaninya. Ia berjanji akan menggantinya, tapi itu katanya untuk menenangkan hati ibunya. Berapa banyak uang yang dikeluarkan Dian, dan berapa lama kalau ia harus mencicilnya setelah bekerja. Bekerja juga belum, sudah dijanjikan untuk membayar hutang? Dan nyatanya Ningsih sendiri baru bisa memejamkan matanya saat pagi hampir menjelang.
***
“mBak Ningsih…” suara dari luar itu mengejutkannya. Ningsih masih terbaring diranjang sementara ibunya sudah tidak ada lagi disampingnya. Bau wangi kopi menyengat hidungnya, pertanda ibunya sudah membuat minuman.
“mBak Ningsih…” suara itu terdengar lagi, dari depan. Ningsih melompat dan bergegas keluar karena mengenal bahwa itu suara Witri.
“Ah, Witri, aku baru saja bangun. Semalam hampir nggak bisa tidur.”
“Ya mbak, aku tahu pasti mbak Ningsih banyak pikiran sehingga nggak bisa tidur. Ini, aku buat nasi goreng sama telur ceplok, buat mbak dan ibu ya.”
“Ya ampun Witri, sepagi ini kamu sudah memasak nasi goreng ?”
“Iya mbak, kan sebelum bekerja aku harus membuatkan sarapan ibu, dan memasak sayur buat makan siang. Tadi aku bikin sup, tapi belum matang. Nanti kalau ibu dan mbak Ningsih mau, silahkan ambil saja. Saya juga menggoreng tahu sama tempe, dan kerupuk.”
“Aduh, aku jadi malu, Witri sudah memasak banyak masakan, saya baru bangun. Ini nasi gorengnya sedap sekali baunya, perutku jadi lapar.”
“Iya mbak, silahkan.. nggak tahu nanti bagaimana rasanya. Aku pamit dulu ya, mau mengentas sayur dan menemani ibu sarapan.”
“Terimakasih banyak Witri, ibu pasti suka ini.”
Witri segera berlalu, Ningsih membawa sepiring nasi goreng yang diberikan Witri ke belakang. Ibunya sedang meletakkan tiga gelas kopi di meja.
“Bu, ini dari Witri..”
“Apa itu?”
“Nasi goreng telur ceplok, untuk ibu dan Ningsih.”
“Ah, anak itu sungguh sangat baik. Selalu memikirkan kita. Taruh saja disana. Ini minum dulu kopinya, yang satu buat bapak, barangkali nanti segera pulang, kasihan, ditempat tahanan mana ada yang membuatkan kopi,” kata bu Kusno sendu.
“Iya bu, Ningsih mau sholat dulu. Bangun kesiangan, dan belum juga bangun kalau tidak mendengar Witri memanggil-manggil dari arah depan.”
“Ya ampun.. ya sudah cepatlah, ibu tunggu disini.”
***
Nurdin menginap di rumahnya, dimana dulu Witri dan ibunya menyewa.
Siang itu dia pergi ke kantor polisi, bermaksud menemui pak Kusno, karena sebenarnya dia menuntut pengganti uang yang sudah dikeluarkannya untuk pak Kusno setelah dia menceraikan Ningsih.
Tapi tanpa dinyana dia bertemu dengan pengacara pak Kusno yang siap membawa pak Kusno pulang.
“Apa-apaan ini? Mengapa seorang penipu bisa dilepaskan begitu saja?” teriaknya keras sambil menuding kearah pak Kusno.
“Tunggu pak, jangan sembarangan menuduhnya penipu. Sebenarnya yang menipu itu pak Kusno apa sampeyan?” tanya pengacara itu.
“Bagaimana kamu menuduh aku menipu? Kamu tidak tahu apa-apa. Ada surat hutang dengan jaminan serifikat itu, dan anaknya telah mencurinya dariku,” kata Nurdin tanpa rasa hormat sedikitpun kepada orang yang baru saja dikenalnya.
“Kami baru melaporkan balik pak Nurdin, karena pak Nurdinlah yang mencuri sertifikat pak Kusno ketika mengantarkan anaknya pulang.”
“Bohong itu .”
“Nanti pengadilan yang akan memutuskan, mana yang bohong. Anda atau pak Kusno. Ada bukti surat hutang palsu yang anda buat, dan memaksa pak Kusno menandatanganinya tanpa tahu isi surat yang anda buat.”
“Surat itu hanya tertulis tulisan sedikit diatas tempat dimana saya harus menandatanganinya. Isinya kurang lebih adalah, DEMIKIAN SURAT INI SAYA BUAT DENGAN SEBENAR-BENARNYA TANPA PAKSAAN DARI SIAPAPUN,” kata pak Kusno kepada pengacara yang dikirimkan Dian untuknya.
“Saya mau melakukannya, katanya untuk ijin pembangunan rumah harus ada surat persetujuan saya. Saya ini orang bodoh, tidak mengira kalau itu untuk mengakali saya,” lanjut pak Kusno.
“Bohong.”
“Baiklah, jangan berteriak-teriak disini. Terserah anda mau apa, saya sudah mendapat ijin untuk membawa pak Kusno pulang,” kata pengacara itu sambil berdiri dan pak Kusno yang digamit lengannya segera mengikuti.
Nurdin ingin mengejar pengacara itu, tapi dua orang polisi menahannya.
“Apa-apaan ini ? Mengapa aku ?”
“Anda ditahan atas laporan penipuan dan pembuatan surat palsu.”
“Tidaaak, lepaskan.”
“Kalau pengadilan memutuskan anda tidak bersalah, maka anda akan dilepaskan.”
Nurdin meronta dan terus memaki-maki pak Kusno yang dianggapnya menipu.
***
Bu Kusno sangat gembira ketika siang itu suaminya telah pulang kembali.
“Pak, kopinya sudah dingin, soalnya sudah sejak pagi ibu membuatnya. Ibu buatkan lagi ya?”
“Tidak bu, kopi buatan ibu, biar dingin, biar panas, tetap sedap diminum,” kata pak Kusno yang segera menghirup kopinya, sekali teguk dan habis.”
“Ya ampun, bapak haus sekali rupanya.”
“Bapak kangen kopi buatan ibu, jadi bapak habiskan sekaligus.”
Bu Kusno tersenyum bahagia.
“Bapak makan ya, tadi nak Witri mengirimkan semangkuk besar sup ayam, dan tahu tempe goreng.”
“Nak Witri ?”
“Iya pak, tadi pagi juga sudah membuatkan nasi goreng untuk ibu dan Ningsih.”
“Anak itu sangat baik hati.”
“Benar pak, dan majikannya yang ganteng itu juga baik hati.”
“Majikan nak Witri?”
“Yang mengirimkan pengacara lalu bisa membebaskan bapak kan juga nak Dian, majikannya Witri.”
“Ya Tuhan…”
“Bapak tidak tahu ?”
“Pengacara itu tidak bilang apa-apa, katanya yang penting aku bisa bebas dan Nurdin sekarang ganti ditahan.”
“Nurdin ditahan ?”
“Iya, bapak nggak tahu bagaimana caranya, pokoknya pengacara itu yang mengaturnya. Nanti kami akan bertemu di pengadilan, katanya.”
“Itulah, dia yang bermaksud jahat, jadi dia memakan buah yang ditanamnya sendiri.”
“Jadi bagaimana yang namanya Dian itu mau menolong kita?”
“Dia itu anak dari majikannya nak Witri, yang setiap sore mengantar Witri pulang. Ketika mengantar Witri itu dia mendengar semuanya, bahwa bapak dibawa polisi atas perbuatan Nurdin. Lalu tiba-tiba dia tanpa diminta lalu menghubungi pengacara dan minta agar bapak ditahan luar.”
“Kok ceritanya jadi panjang. Mengapa dia bisa dengan mudah membebaskan aku ya bu?”
“Kata Ningsih, nak Dian membayar uang jaminan.”
”Tidak bu, dia bilang dia tidak membayar uang jaminan. Pengacara itu yang menjaminkan dirinya agar saya bisa keluar, sambil menunggu pengadilan.”
“Benarkah? Alangkah baiknya orang-orang itu, padahal kita belum kenal sebelumnya.”
“Tapi sesungguhnya aku tidak suka semuanya menjadi ruwet bu, aku sudah bilang kepada pak pengacara itu, bahwa aku tetap akan menggadaikan sertifikat itu, untuk aku berikan kepada Nurdin. Supaya dia puas dan tidak memusuhi kita. Dan permasalahan akan selesai. Laporan tentang dialah penipunya, akan saya cabut.”
“Ya ampun, bapak..”
***
Besok lagi ya