M E L A T I 31
(Tien Kumalasari)
Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? Jadi kelak, ketika Anjani menikah, dia akan menjadi pengiring pengantin, berdampingan dengan Nurina? Apa Daniel yakin dengan ucapannya? Ketika merebahkan tubuhnya kembali sambil memeluk guling, wajahnya tampak berubah resah. Mengapa Nurin? Harusnya dia menyebut nama Melati. O tidak, Melati sudah menolaknya, jadi sudah benar kalau dia mengajak Nurin berpasangan dengan dirinya.
Daniel memejamkan matanya, berharap bisa tidur tanpa membawa Melati ke dalam mimpinya. Tapi yang masuk ke dalam ingatannya adalah Anjani. Dulu Daniel pernah sangat mengagumi Anjani, saat ia merawat ayah Anjani setelah operasi. Tapi cinta itu tak terbalas, karena Anjani sudah punya calon suami. Sekarang, Daniel kembali membawa hatinya yang patah, karena penolakan Melati. Sudahlah, Daniel ingin melupakan semuanya, dan tak ingin jatuh cinta lagi. Nurin bukan siapa-siapa. Ia hanyalah seorang gadis cantik kaya raya yang tertarik padanya. Tapi cinta itu sudah tak ada.
***
Seperti biasa, kalau Daniel terbangun di pagi hari, selalu sudah ada minuman hangat di meja makan. Daniel duduk, sambil menunggu Baskoro keluar dari kamarnya.
“Nak Daniel sudah mandi, rupanya?” kata Baskoro yang kemudian duduk di depannya.
“Sudah sejak habis subuhan Pak.”
“Belum mau masuk kerja kan?”
“Belum, masih besok. Nggak enak juga lama-lama menganggur di rumah.”
“Kalau belum kuat benar, lebih baik minta diperpanjang cutinya. Saya khawatir ketika nak Daniel demam semalam.”
“Sudah lebih baik. Kalau kelamaan sendirian di rumah, malah kebanyakan ngelamun.”
“Oh, ya … jadi ingat. Kemarin nak Nurin makan di warung kita lho Nak,” kata Baskoro sambil menyeruput kopinya.
“Oh ya?”
“Dia datang ketika warung hampir tutup. Sama itu … Melati, benarkah nak Daniel pernah bercerita tentang Melati? Saya itu sudah tua, sering lupa. Ketika mendengar nak Nurin memanggil nama Melati, saya sibuk mengingat-ingat nama itu. Nak Daniel pernah menceritakannya?”
“Saya juga lupa Pak. Mungkin pernah,” jawab Daniel enteng. Ia ingin melupakan nama itu, jadi tak ingin membicarakannya lebih banyak.
“Dia hanya membeli sebungkus soto untuk dibawa pulang, tapi nak Nurin mengajaknya makan terlebih dulu. Nak Nurin sangat cantik. Saya selalu mendorong agar kalian bisa bersatu,” kata Baskoro.
Daniel tak menanggapi, hanya tersenyum-senyum saja. Entah apa yang ada di dalam senyuman itu. Tapi itu bukan senyuman bahagia. Hanya saja Baskoro mana mungkin mengetahuinya? Menolak seorang gadis cantik ? Alangkah bodohnya. Tapi Baskoro lupa, Daniel bukan anak muda seperti dirinya di waktu muda, yang gampang tertarik perempuan cantik.
“Ini pak Bas beli pecel?” tanya Daniel mengalihkan pembicaraan.
“Oh, tidak sepenuhnya. Saya hanya beli sambal pecel, lalu merebus sayurnya sendiri, lalu saya tambahin telur ceplok. Bagaimana? Tidak cocok?”
“Oh, ini cocok sekali, luar biasa. Ayo kita sarapan, tiba-tiba saya lapar,” kata Daniel yang sebenarnya ingin mengalihkan pembicaraan tentang Nurin.
“Baguslah, kalau nak Daniel suka. Ayo kita sarapan, saya juga harus segera berangkat ke warung. Tapi saya ingatkan, nak Daniel jangan ke mana-mana dulu, ingat, nak Daniel belum sembuh benar, nanti panas seperti semalam.”
“Iya.” jawaban singkat Daniel, sambil menghabiskan sarapannya.
Begitu selesai sarapan, Baskoro langsung pergi ke warung. Ia tak ingin kesiangan, sementara anak buahnya pasti sudah menunggu.
Daniel membersihkan meja makan dan mencuci semua peralatan makan yang kotor, kemudian duduk di ruang tengah.
Semalam dia mengatakan bahwa Nurinlah yang akan menjadi pasangannya pada perhelatan pernikahan Anjani, tapi ia belum mengatakan apapun pada Nurin. Ia harus mengabarinya.
Ada enggan yang menahan lengannya, tapi ia tetap melakukannya. Terdengar teriakan nyaring begitu ia mengontaknya.
“Mas Daniel? Menelponku ada apa? Sebentar lagi saya meeting dengan staf saya.”
“Maaf mengganggu.”
“Tidak apa-apa, masih ada sedikit waktu.”
“Ada sebuah perhelatan seorang kerabat, tapi masih bulan depan.”
“Aku diundang?” potong Nurin.
“Tidak, aku diminta menjadi pendamping pengantin, maukah kamu menjadi pasangan aku?”
“Apa? Pasangan mas Daniel? Tentu saja saya mau. Kapan? Aku harus berpakaian seperti apa?” tiba-tiba Nurin memekik-mekik, sangat bersemangat. Betapa tidak, berpasangan dengan Daniel? Laki-laki yang disukainya? Nurin bahkan tak pernah memimpikannya.
“Bagaimana Mas?” tanya Nurin ketika tak terdengar suara Daniel menjawabnya.
“Itu … mereka yang mengaturnya. Aku hanya memilih pasangan saya, dan sudah aku sampaikan ke sana. Maaf baru memberitahu kamu.”
“Tidak apa-apa, aku senang sekali. Eh, mengapa mas Daniel memilih aku sebagai pasangan? Aku merasa tersanjung, tahu.”
“Nurin, bukankah kamu akan segera mengadakan meeting dengan staf kamu? Mengapa kamu begitu banyak bicara?”
Nurin tertawa.
“Aku senang sekali, tahu. Baiklah. Memang benar, aku sedang ditunggu, tapi aku akan menghubungi Mas lagi nanti.”
Daniel tak menjawab. Ia hanya ingin mengatakan tentang pendamping pengantin itu, bukan ingin berbincang terlalu lama. Karenanya ia segera mematikan ponselnya.
***
Nilam terkejut, ketika sedang menyusukan bayinya, seseorang muncul. Untunglah hanya Nurina, yang mendekat sambil tersenyum cerah.
“Nurin, kamu membuat aku terkejut saja.”
“Hei, kamu menyusui bayi kamu sendiri?”
“Iya, memangnya kenapa?”
“Banyak dijual susu formula berkwalitas, kamu tidak perlu susah-susah menyusui.”
“Memangnya kalau menyusui kenapa?”
“Nanti payudara kamu akan kendor, kamu menjadi tidak menarik di mata suami. Awas saja nanti kalau suami kamu mencari yang lain, yang masih kencang dan montok.”
Nilam terkekeh keras, sampai bayi yang disusuinya melepaskan putingnya karena terkejut. Nilam segera menenangkannya, dan membuatnya kembali menetek, dan tertidur.
“Kamu sih,” gerutu Nilam.
“Yang aku katakan itu benar. Kamu masih muda dan cantik, jangan sampai kamu kehilangan kecantikan kamu gara-gara terlalu fokus pada bayimu.”
“Kamu itu omong apa. Ini anakku, tentu saja aku harus merawatnya dengan segenap jiwaku. Tak peduli akan menjadi jelek, tidak seksi lagi atau apapun. Kamu tahu, ASI jauh lebih baik dari susu formula, semahal atau sebaik apapun yang dijual di pasaran, jadi aku tetap akan memberikan ASI padanya.”
“Kamu tidak takut?”
“Seperti yang kamu katakan tadi? Suami aku meninggalkan aku?”
“Ya, kamu harus sadar itu Nilam.”
“Suami aku sangat mencintai aku.”
“Ya, ketika kamu cantik. Nanti … kalau kamu sudah tidak lagi cantik?”
“Aku akan tetap cantik, menjadi ibu cantik yang tak akan ditinggalkan suami aku. Kamu harus belajar lebih banyak mengenai ‘menjadi seorang ibu’, Nurin. Ketakutan ditinggalkan suami itu sama sekali tidak beralasan. Sebuah rumah tangga yang kokoh tidak akan mudah tergoyahkan. Yang mudah goyah adalah saat kita tidak bisa menjaga mahligai cinta itu dengan baik.”
“Rumit sekali.”
“Sebentar, anakku sudah tertidur, aku tidurkan di boxnya dulu ya, kamu tidak ingin menggendongnya?”
“Tidak … tidak … “ Nurin undur ke belakang beberapa langkah, menghindari Nilam yang sedang menggendong bayinya, dan siap menidurkannya di dalam box.
Nilam mengajak Nurin duduk di sofa.
“Kamu belum siap menjadi ibu.”
“Tapi aku sudah siap menikah.”
“Tidak, kamu juga belum siap untuk itu. Banyak hal yang harus kamu mengerti untuk menjadi istri, apalagi menjadi ibu.”
“Dengar Nilam, aku masih belum bisa memahami jalan pikiran kamu. Lain kali aku akan belajar deh. Tapi kedatanganku kali ini, ingin mengatakan padamu, bahwa mas Daniel mengajak aku menjadi pasangannya.”
“Pasangan apa?”
“Pasangan pendamping pengantin. Katanya ada kerabatnya yang mau menikah, dia mengajak aku menjadi pendampingnya.”
“Oo, Anjani ya? Benar, Anjani mau menikah bulan depan. Apa katamu tadi, mas Daniel mengajak kamu menjadi pendamping pengantin?”
“Iya, bukankah ini berita baik? Rupanya mas Daniel mulai menyukai aku.”
Nilam menatap Nurin tak berkedip. Ia tak mengira Daniel akan mengajak Nurin. Benarkah, atau Nurin hanya berkhayal?
“Nilam, kenapa menatap aku seperti itu? Aku tidak bohong.”
“Tak percaya saja, soalnya mas Daniel itu orangnya susah.”
“Sesusah apapun, melihat aku yang sangat perhatian pada dia, tapi aku juga tidak tampak mengejarnya, akhirnya hatinya luluh juga. Bukankah kamu yang mengajari aku agar aku merebut cintanya dengan cara terhormat? Aku tidak mengejar-ngejarnya kok. Aku bahkan menjaga agar aku tidak tampak menyukainya. Ee, dia malah jatuh hati setelahnya,” kata Nurin riang.
Nilam hanya tersenyum. Nurin bukan gadis yang baik. Baik untuk menjadi istri, maupun untuk menjadi ibu. Bahkan melihat bayi yang bagi semua orang pasti menggemaskan, sama sekali Nurin tidak tertarik. Tak mungkin Daniel menyukainya. Nurin hanya mengejar kesenangan, dan itu bukan tipe Daniel. Pasti ada sesuatu yang membuat Daniel melakukannya.
Seorang perawat mengambil bayi yang sudah selesai disusui ibunya, untuk dikembalikannya ke ruang bayi.
“Aku menelponnya seharian, tapi ponselnya mati. Apa dia sudah masuk kerja ya?” sambung Nurin lagi.
“Entahlah, tapi aku kira belum. Cutinya belum habis.”
“Apa aku ke rumahnya saja ya? Pembicaraan tentang pendamping pengantin itu belum selesai.”
“Mas Daniel harus banyak istirahat setelah pulang dari rumah sakit. Aku sarankan agar kamu tidak mengganggunya.”
“Oh, begitu ya. Baiklah, mungkin aku akan menelponnya saja, nanti kalau ponselnya sudah aktif.”
Sampai kemudian Nurin pulang, Nilam masih belum percaya kalau Daniel benar-benar mengajak Nurin untuk menjadi pasangannya. Nilam mencoba menelpon kakaknya, tapi memang benar, ponselnya tidak aktif.
***
Nugi sangat bersemangat, ketika siang hari itu ibunya mengajak menengok adik bayi di rumah sakit. Begitu sampai, dia langsung berlari ke arah kamar bayi, karena dua hari yang lalu dia pernah diajak sang ibu untuk melongok melalui jendela ruang bayi, demi ingin melihat si adik.
Kali ini dia juga kembali melongok-longok.
“Mana adik Nugi? Kenapa tidak kelihatan?
“Itu, yang sedang tidur,” kata Suri.
“Siapa nama adik bayi?”
“Kemarin sudah diberi tahu kan, hayo, ingat nggak namanya?”
“Panjang, Nugi lupa dong.”
“Ndaru Satria Utama. Ya kan?”
“Oh iya, mbak Nilam bilang, dipanggil Ndaru.”
“Benar.”
“Bolehkah Nugi menggendong adik Ndaru?”
“Belum boleh, adiknya masih sangat kecil. Ayo sekarang kita temui mbak Nilam.”
Nugi berlari-lari mendahului, karena dia sudah tahu di mana kamar Nilam. Tapi tiba-tiba Nugi menabrak seseorang.
“Ehh! Anak siapa nih, kok nggak hati-hati sih? Mata tuh dipakai untuk melihat,” pekiknya marah.
“Maaf … maaf ya Mbak,” kata Nugi, tapi wanita itu tetap berlalu.
“Nugi, makanya jangan lari-lari, tuh, mbaknya marah-marah kan?” tegur Suri yang berjalan di belakang Nugi.
“Bu, mbaknya itu, seperti temannya om Daniel ya? Ibu nggak ingat?”
“Oh iya, galak amat. Cuma ditabrak anak kecil saja marah,” kesal Suri yang baru ingat bahwa dia adalah Nurin, ketika sama-sama membezoek Daniel di rumah sakit.
“Iya, padahal Nugi sudah minta maaf, lhoh.”
“Ya sudah, jangan hiraukan.”
Begitu memasuki ruangan Nilam, Nugi segera mengadu.
“Tadi ada temannya om Daniel, marah-marah sama Nugi.”
“Nugi, kamu itu ngomong apa, datang-datang ngomong nggak jelas. Ibu, silakan duduk,” kata Nilam yang kemudian mempersilakan ‘ibunya’.
“Itu, tadi Nugi menabrak seorang wanita,” kata Suri sambil duduk.
“Temannya om Daniel? Marah-marah, karena kamu menabrak dia?”
“Iya, kan Nugi sudah minta maaf, dia nggak jawab langsung pergi begitu saja.”
“Oh, apa itu Nurin? Dia baru dari sini tadi.”
“Benar, namanya Nurin, ibu ingat. Nggak nyangka lho, cantik-cantik bisa bicara kasar begitu sama anak kecil.”
”Lain kali Nugi kalau jalan harus hati-hati.”
“Bagaimana keadaan kamu?”
“Baik Bu, besok sudah boleh pulang.”
“Syukurlah. Kamu sudah merasa sehat kan? Bagaimana ASI nya, sudah lancar?”
“Lancar Bu, alhamdulillah. Mas Wijan ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan kalau saya sudah pulang.”
“Ibu setuju, nanti ibu masakin?”
“Jangan Bu, nanti ibu kecapekan, Nilam mau pesan saja di katering langganan.”
“Baiklah, itu juga bagus, masakannya enak.”
“Ibu, aku mau melihat adik bayi lagi, siapa tahu dia sudah bangun,” kata Nugi yang terus saja berlari keluar.
Suri dan Nilam tersenyum melihat ulah Nugi.
***
Melati terkejut, ketika tiba-tiba Nurin muncul di depannya dengan wajah berseri-seri.
“Melati, kamu masih ingat, kemarin itu aku kan mau pesan, menu yang aku pilih paket yang mana ya?” katanya sambil langsung duduk.
“Sebentar saya lihat. O.. mbak Nurin pesan yang paket A.”
“Ya, paket A, aku pesan untuk 200 porsi ya, itu kebetulan hari ulang tahun saya. Harinya, Sabtu, tanggal 20. Bisa kan?”
Melati tampak melihat catatan, lalu mengangguk.
“Bisa mbak, jam berapa ya?”
“Siang saja, sekitar jam 10 sudah siap ya.”
“Baik. Akan saya bayar sebagian sekarang,” sambungnya sambil membuka tas mahal yang dibawanya.
“Oh ya, aku ingin memberi tahu kamu. Bulan depan, aku sama mas Daniel akan menjadi pendamping pengantin lhoh. Mereka pesan di sini nggak ya.”
Melati pura-pura mengambil sesuatu dari dalam almari, untuk menyembunyikan hatinya yang bergetar.
***
Besok lagi ya.