Wednesday, May 31, 2023

SEBUAH PESAN 08

 SEBUAH PESAN  08

(Tien Kumalasari)

 

Kamila menulis sebagai balasan atas pesan singkat itu. Bukan tulisan yang dikirimkannya, tapi hanya emoticon bermakna cinta, seperti Abi selalu menuliskannya. Sang ibu menatapnya heran, melihat Kamila hanya tersenyum saja setelah menuliskan entah tulisan apa.

“Ada apa?” tanya sang ibu.

“Dari mas Abi.”

“Kenapa pula? Melihat kamu tersenyum, tampaknya dia mau datang. Ya kan?” goda sang ibu.

“Iya Bu, katanya besok.”

"Jangan lupa, sampaikan sama dia, pesan ayah kamu. Dia tidak ingin kamu pacaran berlama-lama.”

“Dulu kan sudah Mila sampaikan Bu, tapi karena memang waktunya sangat singkat, jadi Kamila tidak bisa mendesaknya terlalu dalam. Hanya saja, sekilas dia bilang bahwa masih sangat sibuk mengurus bisnis ayahnya yang baru saja diserahkan sama dia. Jadi tampaknya dia akan sering pergi ke Jakarta.”

“Ibu pikir-pikir, benar kata adik kamu.”

“Kenapa?”

"Mempunyai suami pebisnis itu sering tidak nyaman. Sering pula kesepian. Apalagi ketika belum memiliki anak.”

“Ah, Raya kan suka bicara seenaknya.”

“Tapi ada juga benarnya lhoh. Terlalu terjun ke dunia bisnis, bisa melupakan anak istri.”

“Ibu, apakah Ibu juga merasakannya?”

“Bapakmu dulu juga begitu. Ibu sering menangis karena kesepian. Untunglah bapakmu mengerti, kemudian melepaskan beberapa usaha yang semula dipegangnya.”

“Nah, kalau begitu butuh suami pebisnis yang pengertian seperti bapak, ya kan?”

“Bagaimana dengan Abi?”

“Kalau dia, entahlah.”

“Sekilas, ibu melihat bahwa perhatiannya kepada istri akan berkurang karena bisnis yang dipegangnya.”

“Karena ini baru awal Bu, dia bertanggung jawab untuk menguasai semua pelajaran yang diajarkan ayahnya, karenanya agak kelihatan sibuk, dan seperti mengacuhkan saya.”

“Baiklah, orang tua kan selalu berharap anaknya akan hidup bahagia.”

“Terima kasih Bu, doakan Mila ya.”

“Tapi ibu juga kurang setuju kamu bekerja. Kalau seandainya kamu menikah, lalu harus ikut suami kamu, bagaimana dengan pekerjaan kamu?”

“Belum tahu kapan mas Abi akan menikahi Mila, saya harap bapak dan Ibu membiarkan Mila bekerja, untuk membunuh rasa sepi karena penantian itu.”

“Bukankah menunggu sambil belajar banyak hal tentang berumah tangga juga bisa? Belajar memasak sama bibik, misalnya.”

“Bu, kalau Mila tidak bekerja, sayang ilmu yang sudah Mila dapatkan. Biarpun entah untuk berapa lama, tapi Mila merasa bahwa bekerja itu perlu. Dan mengapa harus bekerja diluaran, bukan ikut di perusahaan bapak, karena Mila ingin melakukan sesuatu tanpa dibayangi kesuksesan bapak. Biarkan Mila menjalani hidup ini dengan cara Mila sendiri, bukan bergantung kepada orang tua.”

“Baiklah, kamu memang tampak sudah dewasa. Ibu harap kamu bahagia dengan semua pilihan kamu. Pilihan pekerjaan, pilihan suami, dan semuanya.”

“Terima kasih Ibu. Ibu memang ibuku yang terbaik. Selalu mohon doanya ya Bu.”

“Doa terbaik untuk anak-anakku.”

***

Damian berdebar, ketika didengarnya sepeda motor memasuki halaman. Ia tahu, Raya baru pulang dari kuliah. Sudah agak sore, sebentar lagi dia harus pulang. Entah mengapa, suara sepeda motor itu akhir-akhir ini selalu membuatnya berdebar. Damian pura-pura tidak melihatnya. Dia memasukkan daun-daun kering yang sudah dikumpulkannya, ketempat sampah. Kemudian melangkah mengembalikan sapu dan peralatannya ke gudang.

“Damiaaan!” panggil Raya agak kesal, karena Damian seperti tak mengacuhkannya. Padahal Damian asyik menenangkan debar jantungnya.

“Ya, Non.”

Damian menoleh, sebelum memasuki gudang.

“Sini !!”

Damian sudah tahu, Raya pasti membawa es krim di dalam keresek putih yang dibawanya. Mau tak mau dia mendekat, tapi dia tak berani menatapnya.

“Ini buat kamu, dimakan dulu sebelum mencair.”

“Mengapa Nona selalu membawa es krim untuk saya?” katanya sambil menerima es krim berbentuk contong itu.

“Jangan banyak tanya, segera dibuka, dan dimakan. Keburu mencair, tahu.”

Damian tersenyum, tapi ia tetap tak berani menatap nona majikannya.

“Mengapa kamu selalu menundukkan muka? Takut melihat aku?”

“Iya Non, takut,” jawab Damian sekenanya.

“Apa? Memangnya aku harimau?”

“Bukan harimau.”

“Lalu apa yang menakutkan?” katanya sambil duduk di atas batu di pinggir kolam, sambil mencecap es krimnya.

Damian benci pemandangan itu. Bibir tipis itu terlalu menggoda, apalagi kalau sedang mencecap es krim yang kelihatannya sangat nikmat. Damian sudah membuka es krimnya, tapi dia tak berani berhadapan dengan sang nona.

“Ada apa denganmu? Hei, kamu belum menjawab pertanyaanku. Kamu anggap aku apa, sehingga kamu takut melihat aku?”

“Peri,” jawab Damian sekenanya. Masa dia akan menjawab macan, atau singa, pasti marah dong dia. Dan lagi mana ada macan cantik, atau singa cantik.

“Apa?” Raya memekik  nyaring.

Damian meneruskan makan es krimnya, menggigitnya sebesar dia mampu, supaya segera habis.

“Damian, mengapa kamu anggap aku ini peri?”

“Peri cantik,” jawabnya begitu saja, tapi kemudian dia sangat terkejut sendiri dan menyesalinya.

“Maaf … maaf … “ katanya sambil membuang bungkus es krim itu setelah mengunyak contongnya sampai habis.

Raya tersenyum lebar. Gadis mana yang tidak suka dibilang cantik? Memang dia sudah cantik, tapi pujian akan selalu melambungkan perasaannya.

“Benarkah aku cantik?”

“Nona, sungguh saya kelepasan bicara, saya minta maaf,” kata Damian sambil berdiri. Kembali ke arah gudang, meletakkan sapu dan peralatan kebun kedalamnya, lalu menutupnya.

“Aku memang cantik, bukan?” gumam Raya sambil tersenyum. Iapun kemudian segera berdiri, membiarkan Damian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Raya melangkah masuk ke rumah, lalu memberikan sisa sebungkus es krim kepada bik Sarti.

“Ini untuk bibik,” katanya.

“Waduh, sudah hampir cair Non.”

“Masukkan ke freezer,” katanya sambil langsung masuk ke dalam rumah.

Bik Sarti geleng-geleng kepala. Ia bukannya tak tahu, akhir-akhir ini, hampir setiap hari nona bungsu majikannya selalu membawa es krim sepulang kuliah, lalu memberikannya kepada Damian. Apa nona cantiknya suka sama tukang kebunnya? Mana mungkin. Damian, biarpun  ganteng dan menawan, hanyalah anak pak Timan yang dulunya juga tukang kebun di rumah ini. Mana mungkin non Raya menyukai dia. Tapi sikapnya aneh, agak berlebihan. Bik Sarti tak berani mengungkapkan apa yang dirasakannya. Takut salah, kemudian jadi masalah seandainya dia berani menanyakannya.

***

Sebelum masuk ke kamarnya, ia melihat Kamila sedang membaca di depan jendela di ruang tengah.

“Aku kira Mbak tidur.”

Kamila mengangkat wajahnya.

“Kamu baru pulang? Tapi aku mendengar sepeda motormu sudah dari tadi.”

“Makan es krim sama Damian.”

“Apa? Lagi?”

“Apa yang lagi?”

“Akhir-akhir ini kamu hampir setiap hari membawa es krim, lalu memakannya bersama Damian.”

“Kebetulan saja pengin. Kan udaranya sangat panas. Nggak mungkin aku memberikannya pada MBak. Kan Mbak nggak suka es krim?”

“Sekarang aku suka, jadi besok jangan kamu berikan es krim itu pada Damian, aku juga mau,” kata Kamila sambil tertawa.

“Baiklah, apa yang enggak untuk mbakyuku yang cantik ini?” katanya kemudian langsung melangkah menuju ke kamarnya, tapi tanpa diduga, Kamila mengikutinya.

Raya terkejut, ketika mau menutup pintu, ternyata Kamila ada di belakangnya.

“Ada apa?”

“Sudah ada, jawabannya?”

“Jawaban apa sih?”

“Siapa dia, orang kamu cintai itu.”

“Oh, ya ampuuun.”

Raya terkekeh geli, tapi kemudian setelah ia meletakkan tas kuliahnya di atas meja, langsung menghambur ke arah kamar mandi.

“Heiii! Bagaimana?”

“Jawabannya belum ada,” teriaknya sambil menutup kamar mandi.

Kamila mengangkat bahunya, kemudian keluar dari kamar adiknya.

Raya senang, begitu keluar dari kamar mandi, tak lagi mendapati kakaknya di dalam kamarnya. Mila terus mendesak, sementara dia belum mendapatkan jawabannya. Tiba-tiba Raya teringat ketika Damian mengatakan bahwa dia adalah peri cantik. Raya berdebar. Kata cantik yang diucapkan oleh seseorang yang sangat spesial, ternyata berbeda rasanya.

Raya tersenyum sendiri, apakah Damian juga menyukainya? Tak mungkin dia berani mengatakan, karena dia merasa berbeda. Tapi entah mengapa, Raya tak pernah mengingat perbedaan itu. Ia juga pasti tak pernah mengingat, apakah nanti orang tuanya akan suka atau menentangnya.

Sekarang Raya sudah selesai mandi. Dari jendela kamarnya, ia melihat ke arah taman, dan melihat Damian sedang mengambil sepedanya di dekat gudang. Laki-laki yang tadi tampak lusuh dan berkeringat, sekarang sudah tampil rapi, dan gagah menawan. Raya menghela napas panjang. Mungkinkah Damian berani mengatakan cinta? Lalu Raya terkejut sendiri. Cinta? Apakah ada cinta terselubung diantara mereka? Benarkah ini cinta, seperti yang digambarkan Kamila? Cinta terpendam karena saling takut menyatakan isi hatinya?.

Raya meninggalkan jendela, ketika pangeran bersepeda itu lenyap dari pandangan dewi pengagumnya.

***

Kamila sangat bahagia, ketika Abi benar-benar datang lalu mengajaknya jalan bersama disiang hari pada keesokan harinya. Raya senang melihat kakaknya begitu bahagia. Sebelum Kamila berangkat, Raya mendekatinya dan berbisik.

“Tuh, kan. Akhirnya dia datang juga. Berarti dugaanku salah.”

“Memangnya kamu menduga seperti apa?”

“Laki-laki sibuk berbisnis.”

“Kamu kira dia akan melupakan aku?”

“Tidak, aku kan bilang tidak. Hanya pada umumnya. Tapi aku bersyukur, kalian baik-baik saja.”

“Selalu doakan aku ya Ray?”

"Tentu, kakak …”canda Raya.

Abi hanya berpamit kepada ibunya saat mengajak Kamila, karena ayahnya sudah berangkat ke kantor.

“Raya mau ikut?” tanya Abi ketika mereka mau berangkat.

“Nggak, nanti nggangguin yang lagi pacaran.”

Abi tertawa. Raya heran. Baru sekali ini ia melihat Abi tertawa. Sebenarnya ganteng sih, tapi terkadang kelihatan serem. Apa karena terlalu serius dalam menghadapi apapun ya?

“Kamu kuliah juga, kan? Sambung Kamila sambil mengikuti Abi menuju mobil.

“Nggak, aku libur hari ini.”

“Kenapa nggak mau ikut?”

“Yeeey, serius ngajakin aku? Nggak kan?” canda Raya sambil masuk ke dalam rumah, sementara mobil Abi sudah meluncur keluar halaman.

 Raya melangkah ringan ke arah taman. Sudah beberapa hari dirinya tidak memetik mawar, sedangkan mawar yang dipajang di kamar sudah tampak layu.

Ia melihat Damian sedang membuang daun-daun kering yang berserakan, dan terjepit diantara ranting-ranting pohon perdu yang ada diantara pohon-pohon bunga itu.

“Damiaaan.”

Panggilan yang terdengar bagai kidung dari sorga itu terdengar, dan Damian mulai berdebar tak karuan. Sebenarnya dia berharap tak bertemu Raya, agar hatinya berasa lebih tenang. Ia sekarang benar-benar menyadari, bahwa ada rasa lain yang menyelinap di relung hatinya, dan itu adalah cinta. Bukankah selalu ada rindu setiap kali dia pulang ke rumah dan mulai membaringkan tubuhnya di ranjang? Bukankah wajah elok menawan itu selalu terbayang? Damian bukan seorang pemimpi. Damian sadar sesadar-sadarnya bahwa perasaannya tidak ada pada tempatnya. Tapi dengan elok pula Damian mengertin bahwa cinta harus berada pada tempat yang seharusnya. Perbedaan status, dan kedudukan menjadi jurang pemisah yang maha dalam, dan sangat terjal. Ingin melompatinya? Pastilah terjerumus ke dalamnya, lalu hancur berkeping-keping.

“Damiaaaan!” kidung itu kemudian terdengar menghentak, membuatnya harus menoleh, tapi sebelumnya dia harus menata hatinya.

“Kamu tidak mendengar aku memanggilmu?”

“Maaf Non, ini ….”

“Ini apa?”

“Daun kering, susah diambil karena menyelinap diantara ranting-tanting kecil,” Damian membuat alasan.

“Aku mau mawar, Damian, mawar di kamar aku sudah layu.”

“Tapi Non ….”

“Lihat, disana ada beberapa yang mekar. Aku mau yang putih dan warna jingga, pasti indah dipadukan.”

“Tapi, ini mawar pesanan non Kamila.”

“Eeh, biarkan saja. Dia sedang tidak butuh mawar, dia sudah lupa pada pesanannya, karena sedang berdekatan dengan kekasihnya.”

“Nanti Damian ditegur, bagaimana?”

“Iih, bawel, aku kan sudah bilang bahwa dia tak mungkin teringat pada mawar-mawar itu.”

“Non Raya bertanggung jawab ya?”

“Tanggung jawab apa? Memetik mawar saja harus pakai tanggung jawab segala,” kata Raya sambil melangkah kearah pohon-pohon mawar yang beberapa diantaranya sedang berbunga mekar.

“Tanggung jawab, kalau nanti non Kamila marah.”

“Aku akan menanggungnya dan akan menjawabnya,” jawab Raya enteng, membuat Damian tersenyum. Mana mungkin dia tega membuat dewi cantiknya kecewa? Dia hanya meminta bunga, dan dia tidak harus membelinya.

Damian mengambil gunting tanaman, dan mulai memetik mawar, yang beberapa tangkai sedang mekar.

“Tolong buang durinya.”

“Iya Non, saya tahu. Pasti saya menghilangkan dulu durinya, karena kalau mengenai kulit Non pasti akan berdarah.”

“Iya ya, mengapa sih, mawar harus berduri? Ia cantik, tapi untuk memilikinya butuh perjuangan.”

“Seperti dirimu Non. Kamu cantik, tapi untuk memetikmu, butuh perjuangan yang tak mungkin bisa aku lakukan. Kamu bukan hanya mawar berduri, kamu adalah bintang yang hanya bisa aku pandang, tak mungkin tergapai tangan,” kata Damian dalam hati.

Damian merasa, tangannya gemetar ketika menyerahkan bunga itu, lalu sedikit tersentuh olehnya jemari lentik itu oleh jemarinya.

Raya menatap Damian sekilas, menghadiahkannya sebuah senyuman, lalu melangkah pergi menuju dapur.

“Bibiiik,” teriakan nyaring itu terdengar menggelitik telinga Damian.

“Keadaan ini sangat menyiksa, lebih baik aku pergi dari sini, mencari pekerjaan lain,” gumam Damian pelan, sambil melanjutkan acara bersih-bersih taman.

***

Besok lagi ya.

 

Tuesday, May 30, 2023

SEBUAH PESAN 07

 SEBUAH PESAN  07

(Tien Kumalasari)

 

Sari terkejut. Penjual tahu itu amat dikenalnya, setiap kali dia datang membantu ibunya di pasar. Tapi Sari sama sekali tidak suka. Banyak duitnya, tapi selalu berpakaian kusut, dan terkesan kumuh. Beda dong dengan Damian, yang walaupun tukang kebun, tapi tubuhnya atletis, pakaian selalu bersih dan rapi. Pokoknya jauh deh kalau dibandingkan dengan Darmo, si tukang tahu.

“Kenapa diam? Dia ganteng lho. Dan sederhana, santun. Tidak neka-neka walau duitnya banyak. Aku sudah pernah ngomong sama dia, kalau dia mau aku ambil menantu.”

“Apa?” Sari tentu saja terkejut. Ibunya sudah bicara sama Darmo untuk diambilnya sebagai menantu?

“Kamu tidak mendengar, ibu bicara?”

“Ya ampun Bu, teganya ibu menjodohkan Sari sama Darmo,” cemberut Sari.

“Memangnya kenapa? Anak sekarang, kalau mencari sendiri sering tidak pas. Hanya mengejar wajah ganteng, tapi tidak punya uang. Mau hidup seperti apa? Menyusahkan orang tua? Wah … wah, jangan sampai kamu merasa bahwa orang tua masih harus memikirkan kebutuhan anak. Itu menyedihkan, walaupun orang tua tidak keberatan,” omel bu Mijah sambil masuk ke dalam kamar.

“Kejam sekali ibuku, menjodohkan aku dengan laki-laki dekil seperti Darmo,” gumamnya yang lumayan keras rupanya didengar oleh sang ibu.

“Apa katamu? Laki-laki dekil?”

“Emang iya, kan? Selalu dekil setiap kali dia ada di pasar. Sari kan sudah sering bertemu. Keringatnya bau, lagi.”

Bu Mijan yang geregetan lalu mendekati lagi anaknya dan menjewer kupingnya.

“Dengar ya, memang kalau di pasar dia tampak dekil. Habis dia kan lagi jualan. Keringat bau, iya lah, kalau dagangan rame, pasti dong keringatan. Kamu jangan asal ngomongin orang. Nanti kamu akan bener-bener jatuh cinta sama dia.”

“Hiii , amit-amit deh.”

“Tak jewer kuping kamu lagi sampai putus ya,” gemas bu Mijan.

“Ibu kalau mencari menantu yang menarik dong, masak mas Darmo?”

“Dia itu hanya kelihatan kumuh kalau saat jualan di pasar. Kalau dia pas jalan, itu kelihatan cakep, tahu. Sekali-sekali akan ibu minta dia mengajak jalan kamu.”

“Apa?”

“Jangan bandel dan jangan membantah. Orang tua itu hanya akan memilih yang terbaik untuk anaknya.”

Sari diam, wajah Damian melintas. Tapi sebenarnya dia agak kesal, karena sikap Damian yang dingin, dan tak pernah menunjukkan perhatian pada dirinya. Tadi saja dia menyuruhnya pulang sendiri dengan alasan harus mengambil sepeda. Tapi kan memang sepeda itu harus diambil kan? Tapi memang Damian tak tampak tertarik pada dirinya. Ada sedih melintas di hati Sari. Lalu wajah Darmo terbayang. Laki-laki tinggi besar, tapi selalu kelihatan lecek dan kumuh, mengapa ibunya memaksanya agar Darmo menjadi menantunya. Hiihh, Sari mengangkat pundaknya lalu berdiri pelan dan berjalan tertatih ke dalam kamarnya. Kakinya sakit sekali. Rupanya tadi tertindih sepeda, sementara dibawahnya adalah bebatuan runcing. Ada luka yang cukup dalam, yang membuatnya berdarah-darah.

***

Hari sudah sore ketika Damian memasuki rumahnya. Pak Timan yang melihat kedatangannya, herean ketika melihat Damian membawa dua sepeda.

“Itu punya siapa, Dam?”

“Punya Sari, akan Damian antarkan setelah mandi.”

“Kok bisa membawa sepeda Sari?”

Lalu Damian menceritakan peristiwa yang tadi dialaminya, sehingga dia harus meninggalkan sepedanya di rumah orang, lalu dia harus membawa sepeda Sari ke bengkel juga.

Rodanya melengkung karena tergilas mobil, dan baru sore hari selesai dibetulkan.

“Pengemudi mobil itu harus membiayai semuanya dong.”

“Dia kabur, dan tak seorangpun bisa mengejarnya, dia langsung tancap gas, dan sebagian besar perhatian tertuju kepada Sari yang menjerit-jerit di pinggir jalan.

“Lukanya parah?”

“Agak parah sih. Kaki kirinya, ada luka yang harus dijahit. Tadi Damian memanggil ambulans karena tak tahu bagaimana harus membawanya ke rumah sakit. Dia menjerit-jerit terus dan tidak bisa berjalan.”

“Sekarang sudah boleh pulang?”

“Karena lukanya tidak berbahaya, lalu boleh pulang. Tapi tetap saja tidak bisa berjalan tegak, karena menahan sakit.”

“Kasihan, tengoklah dia sekarang.”

“Saya memang mau ke sana untuk mengembalikan sepedanya.”

“Sudah bagus, sekarang?”

“Sudah. Baru dari bengkel ini tadi. Tapi saya belum membayarnya, karena tidak punya uang lagi."

“Kalau begitu cepat mandi dan antarkan sepeda Sari ke rumahnya. Biar nanti ongkosnya dibayar oleh ibunya."

***

Bu Mijan keluar dari rumah, menerima kedatangan Damian. Ia tidak membangunkan Sari yang tertidur nyenyak di kamarnya.

“Apa kamu mau ketemu Sari? Dia sedang tidur,” kata bu Mijan.

“Tidak Bu, hanya mau mengantarkan sepedanya, sudah saya bawa ke bengkel dan sudah kembali baik.”

“Oh, baiklah, berapa ongkosnya?”

“Hanya lima puluh ribu rupiah, tapi belum saya bayar juga Bu, karena saya tidak punya uang lebih.”

“Saya ganti saja, kasihan kamu. Tadi Sari juga memberikan kwitansi dari rumah sakit, biar saya ganti saja,” kata bu Mijan sambil masuk ke dalam rumah. Sebenarnya Damian sungkan menerima uang ganti itu, tapi dia benar-benar tidak punya uang, sementara uang itu sebenarnya untuk beli makan bagi ayahnya.

“Ini Dam, sebagai ganti uang kamu.”

“Ini kelebihan seratus ribu, yang ini saja, sudah cukup Bu.”

“Biar saja lebih, kan kamu sudah bersusah-payah menolong Sari.”

“Tidak Bu, jangan. Biar ini saja, sudah cukup. Saya langsung pulang ya Bu,” kata Damian sambil membalikkan badan, setelah mengembalikan uang seratus ribu dan memasukkan yang lainnya ke dalam saku bajunya.

“Sombong amat, orang tak punya, dikasih uang ditolak. Ya sudah, terserah kamu, yang penting aku sudah bermaksud baik,” gumam bu Mijan sambil masuk ke dalam rumah.

“Ada siapa Bu?” tiba-tiba Sari keluar dari kamar, karena seperti mendengar suara Damian di depan rumah.

“Ada Damian, hanya mengantarkan sepeda kamu.”

“Kenapa ibu tidak memanggil Sari?”

“Lha kenapa harus memanggil kamu? Dia kan tidak mencari kamu.”

“Masa mengembalikan sepeda tidak mencari Sari.”

“Memang tidak mencari kamu. Dia bilang hanya akan mengembalikan sepeda kok. Ongkos sama uang untuk kebutuhan rumah sakit sudah aku tukar semua.”

Sari kembali masuk ke dalam kamar dengan wajah kecewa.

***

Pagi hari itu, begitu meletakkan sepedanya di dekat garasi, Raya sudah menyambutnya dengan wajah cerah.

“Damian, sudah kamu ambil sepeda kamu?”

“Sudah Non,”

“Kan jauh, dari rumah kamu?”

“Saya naik taksi dari rumah sakit, sekalian mengambil sepeda Sari, lalu saya masukkan ke bengkel.”

“Sudah selesai membetulkan sepedanya? Kayanya ban depan peyot.”

“Sudah selesai dan sudah saya antarkan ke rumahnya.”

“Apa Sari dirawat di rumah sakit?”

“Tidak Non, hanya ada yang harus dijahit, tapi boleh langsung pulang.”

“Jam berapa kamu sampai rumah?”

”Sudah sore Non, habisnya, harus menunggu di reparasi sepeda sampai benar-benar menjadi baik.”

“Capek ya?”

Damian tersenyum, tapi dia senang mendengar suara Raya yang menurutnya seperti kicauan kenari cantik di pagi hari.

“Capek kan?” Raya mengulangnya karena Damian hanya tersenyum.

“Sedikit Non,” kata Damian yang kemudian langsung meninggalkan sang cantik, untuk mengambil sapu di gudang.

Raya menunggu di tepi kolam, sambil menaburkan pakan ikan yang sudah tersedia di sana.

Mengagumi indahnya pagi dan sejuknya udara, membuat wajah Raya tampak berseri-seri. Diam-diam Raya bertanya pada hatinya. Mengapa dia begitu selalu ingin dekat dengan Damian? Perasaan apa ini?

Raya menoleh, ketika didengarnya suara… sriik… srikkk… sapu lidi menyapu tanah. Dilihatnya Damian sudah melepas baju luarnya, tinggal memakai kaos oblong dan celana pendek. Hal yang dilihatnya setiap kali anak muda itu sedang bekerja. Raya belum pernah menatapnya secara jelas. Setiap kali bicara, ia hanya menatap sekilas, dan merasa sungkan pada perasaannya sendiri. Tapi yang sekilas itu sempat menangkap tubuh atletis berotot yang sangat menawan. Kemudian dia berdiri, lalu melangkah meninggalkan tempat itu, sambil menyesali rasa aneh yang selalu membayanginya.

Ia berpapasan dengan bik Sarti yang membawa nampan dan segelas kopi, dan setoples camilan.

“Non, nggak kuliah?” tanya bik Sarti.

“Ini mau kuliah,” katanya tanpa menatap bik Sarti.

Raya masuk ke kamarnya dan memukuli pipinya sendiri, berkali-kali.

“Uuh,” ia berhenti ketika pipinya terasa pedih. Tapi tamparan oleh diri sendiri itu tak bisa menghilangkan bayangan Damian yang tadi sempat diliriknya.

“Aku sudah gila,” keluhnya sambil menjatuhkan pantatnya di kursi depan cermin tempat dia berdandan.

“Kenapa kamu merasa gila?”

Raya hampir terlonjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba saja Kamila kakaknya sudah berdiri dibelakangnya, mengacak acak rambutnya.

“Mbak Mila?”

“Kamu nggak kuliah?”

“Sebentar lagi.”

“Kenapa kamu merasa gila? Ihh, ngeri mendengarnya.”

“Mbak, bagaimana rasanya orang jatuh cinta?”

Kamila terkekeh. Dia duduk di kursi di dekat adiknya.

“Kamu sedang jatuh cinta?”

“Nggak tahu aku, ini perasaan apa. Makanya aku nanya sama Mbak,  bagaimana rasanya jatuh cinta?”

“Adikku sayang sudah dewasa, memang sudah saatnya jatuh cinta,” kata Kamila sambil menatap adiknya penuh rasa sayang.

“Ditanya belum ngejawab lhoh Mbak. Bagaimana rasanya?”

“Jatuh cinta itu … mmm gimana ya, mungkin begini … kalau dekat tuh, deg-degan, kalau jauh, rasanya pengin ketemu, terus … wajahnya selalu terbayang-bayang … terus … apa lagi ya … pokoknya banyak rasa mengaduk-aduk hati kita.”

Raya menatap kakaknya lekat-lekat.

“Begitukah?”

“Kamu merasakan hal seperti itu?”

Raya dengan polosnya mengangguk.

“Kamu jatuh cinta sama siapa? Teman kuliah kamu? Dosen kamu? Wah, kamu kan cantik, tidak susah untuk jatuh cinta sama kamu. Ayo katakan, sama siapa? Pasti dia ganteng, pintar, romantis. Ah, jadi ingat mas Abi yang sama sekali tidak romantis deh,” kata Kamila kemudian, dengan nada sendu.

Raya terpaku diam. Ia tak bisa mengatakannya tentang perasaannya tertuju kepada siapa. Malu dong, atau nanti malah dimarahi oleh sang kakak karena menjatuhkan cintanya pada orang yang tidak sekelas dengan keluarganya.

“Hayo, sama siapa? Kasih tahu dong, masa sih, mau main rahasia sama mbaknya sendiri? Siapaaa, Raya?” Kamila mendesaknya, tapi Raya hanya tersenyum. Ia menyisir rambutnya, kemudian membuka almari untuk mengambil baju ganti untuk kuliah.

“Heiii …!”

“Nanti saja, aku belum bisa mengatakannya, soalnya belum tentu dia juga suka sama aku,” katanya tanpa memandang ke arah kakaknya,

“Baiklah, masih rahasia ya? Mbak tunggu ya, nanti harus bilang sama Mbak.”

“Nanti, kalau dia sudah ketahuan suka sama aku. Malu dong, kalau bertepuk sebelah tangan,” kata Raya sambil tersenyum malu-malu.

“Kamu itu cantik, siapa yang tak bisa menerima cinta kamu? Orang rabun, barangkali,” canda Kamlila.

Raya hanya tertawa, kemudian asyik mengganti bajunya dan membiarkan Kamila keluar dari kamarnya.

***

Hari itu pak Rahman berangkat ke kantor agak siang. Ia duduk di teras bersama istri dan Kamila, yang kemudian baru mengatakan bahwa dia ingin bekerja. Tanpa diduga, pak Rahman sangat marah mendengarnya.

“Apa maksudmu? Kalau kamu ingin bekerja, kenapa tidak bilang sama bapak? Bapak kan bisa menempatkan kamu di suatu tempat dengan posisi yang baik?”

“Mila ingin bekerja tanpa harus bergantung kepada orang tua,” kata Kamila takut-takut.

“Apakah bergantung pada orang tua itu buruk? Memalukan?”

“Memang tidak, tapi kepuasan yang didapat, tidak sesuai dengan jerih payah yang sudah dijalani.”

“Apa maksudnya?”

“Kami sudah sekolah, belajar susah-susah, tapi begitu mudah mendapat kedudukan, karena bantuan orang tua. Itu kurang memuaskan. Kalau orang tua bisa memberi kedudukan atau posisi bagus di perusahaannya, kenapa kami harus sekolah? Tanpa itupun pasti bisa hidup enak. Bagi Mila, hal itu terasa kurang memuaskan.”

“Huh, aku nggak ngerti jalan pikiran kamu. Bukankah semua orang maunya mendapat sesuatu dengan gampang?”

“Kalau dengan jerih payah sendiri, itu baru memuaskan. Bukan karena Bapak seorang pemilik perusahaan.”

“Terserah kamu saja,” akhirnya pak Rahman menjawab singkat, kemudian berdiri meninggalkannya.

“Mengapa kamu membantah apa yang ayahmu katakan?” kata bu Rahman setelah suaminya tak ada diantara mereka.

“Mila mengatakan apa yang Mila inginkan.”

“Tapi itu membuat ayah kamu kecewa.”

“Kalau saya menjadi orang yang bisa mandiri tanpa bantuan orang tua, pada suatu hari nanti bapak sama ibu akan bangga.”

“Entahlah. Ibu hanya berharap yang terbaik untuk kalian.”

Tiba-tiba ada pesan masuk di ponselnya. Wajah Kamila berseri.

“Dari mas Abi.”

“Mila, besok aku akan pulang. Dan pasti segera menemui kamu, ada hal penting yang ingin aku katakan”

Lalu ada emoticon cinta seperti biasanya. Kamila masih bertanya-tanya. Hal penting apa yang dibawanya?

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

Monday, May 29, 2023

SEBUAH PESAN 06

 SEBUAH PESAN  06

(Tien Kumalasari)

 

Raya dan Kamila mengayuh sepedanya, melupakan rasa haus yang semula menderanya. Rasa khawatir karena Damian pergi terlalu lama, membuatnya bingung dan gelisah.

“Jauhkah warung?”

“Nggak tahu aku, dia tadi bilang dekat.”

Mereka terus mengayuh, lalu melihat beberapa orang berkerumun di suatu tempat.

Hati keduanya tercekat. Ada apa di sana? Damian mengalami kecelakaan? Beribu pertanyaan memenuhi benak Raya dan Kamila yang semakin memacu laju sepedanya mendekati kerumunan tersebut.

Tapi hati mereka lega, ketika melihat Damian berdiri diantara orang-orang itu, dan tampak sedang menelpon.

“Damian!” Raya lebih dulu berteriak.

Damian menoleh. Tampaknya ia sudah selesai menelpon, lalu mendekati Raya yang sudah berhenti didekat tempat itu bersama Kamila.

“Non, maaf, saya harus berhenti karena harus menolong seseorang. Tapi saya sudah beli air mineral dalam botol, untuk Non berdua,” katanya sambil menyerahkan botol minuman ke arah Raya dan Kamila.

“Ada apa?”

“Seseorang terserempet mobil, dia kebetulan tetangga saya,” katanya sambil menunjuk ke arah seorang gadis yang duduk di tepi jalan sambil menangis.

“Itu kan dia?” pekik Raya tiba-tiba.

“Kamu mengenalnya?” tanya Kamila heran.

“Tidak. Aku pernah melihat Damian memboncengkan dia.”

Damian tersenyum.

“Iya Non, benar. Rupanya dia juga sedang bersepeda bersama dua orang temannya, tapi karena jalannya terlampau ketengah, kemudian terserempet mobil,” terang Damian.

“Keadaannya bagaimana?”

“Tampaknya kakinya cedera, saya baru menelpon ambulans.”

“Mas Damiaaan,” terdengar gadis yang ternyata Sari itu merengek manja.

“Itu pacar kamu?” tanya Kamila sambil membuka tutup botolnya.

“Bukaaan,” Damian setengah berteriak.

Kamila meleletkan lidahnya.

“Kenceng banget teriaknya,” goda Raya.

“Memang bukan.”

“Mas Damiaaaan, sakit nih,” rengeknya lagi.

“Sabar sebentar, ambulans akan segera datang,” kata Damian sambil mendekat, hanya untuk bilang sabar, lalu kembali mendekati Raya dan Kamila.

“Maaf Non, nanti saya harus mengantarkan ke rumah sakit. Tidak apa-apa ya, Non pulang sendiri?”

“Iya, nggak apa-apa. Tapi sepeda kamu bagaimana? Apa kamu akan mengikuti ambulans dengan mengayuh sepeda?”

“Tidak, saya akan menitipkannya di warung itu. Saya sungguh minta maaf ya Non, kebetulan tetangga, jadi nggak enak kalau mendiamkannya saja.”

“Nggak apa-apa kok Dam, kami pulang berdua nggak apa-apa,” kata Kamila sambil menghabiskan minuman botolnya.

“Kamu hati-hati ya Dam,” pesan Raya.

“Ini, uang ganti untuk beli air mineral tadi,” kata Kamila sambil mengulurkan uang limapuluhan ribu.

“Tidak usah Non, nggak mahal, dan kebetulan saya juga butuh beli untuk diri sendiri,

Sementara itu ambulans sudah datang. Dengan dibantu salah satu orang yang ikut berkerumun, Damian menggotong Sari masuk ke dalam ambulans. Damian menitipkan sepeda bututnya dan juga sepeda Sari yang rusak, ke sebuah rumah yang ada di tempat itu, kemudian ikut masuk ke dalam ambulans.

Kamila mengajak Raya untuk segera kembali ke rumah.

“Raya, heiii … kok bengong, kayak sapi ompong. Ayo pulang.”

“Iya, kenapa juga, aku melamun ini tadi,” kata Raya sambil menaiki sepedanya, lalu mengikuti kakaknya yang sudah  mendahuluinya.

***

Damian duduk termangu di ruang tunggu. Agak heran, kenapa Sari yang katanya akan menghadiri undangan ke luar kota, kok malah bersepeda dengan teman-temannya.

Agak lama dia menunggu, sampai kemudian perawat memanggilnya.

“Mas keluarganya nona Sari?”

Damian mengangguk mengiyakan.

“Dia hanya menderita luka luar, tidak apa-apa, jadi setelah ditangani lukanya, dia boleh pulang.”

“Oh, baiklah, terima kasih.”

“Ini beaya yang harus dibayarkan,” kata perawat sambil mengulurkan sebuah nota.

Damian menerimanya, membaca angkanya.

Seratus empatpuluh lima ribu. Untuk perawatan dan obat. Damian merogoh sakunya, membuka dompetnya. Untunglah masih ada uang seratus lima puluh di dalam dompet itu. Damian segera bergegas ke kasir untuk membayarnya.

Sekembalinya dari kasir, Damian melihat Sari berjalan terpincang-pincang. Senyumnya merekah, melihat Damian masih menungguinya.

“Mas, ternyata aku tidak membawa uang, hanya di saku celanaku ini, limapuluh ribu rupiah, cukup nggak ya?” katanya sambil merogoh uang ke dalam saku celananya.

“Sudah aku bayar. Uangmu itu nanti buat bayar taksi saja. Kita tidak membawa kendaraan apapun.”

“Ya sudah, nanti aku minta sama ibu untuk mengganti uang kamu. Berapa habisnya?”

“Ini bukti pembayarannya,” kata Damian sambil mengulurkan kwitansi pembayaran yang baru diselesaikannya.

“Nanti biar ibu menukarnya.”

“Tidak usah saja,” jawab Damian, yang sebenarnya butuh uang itu untuk pegangan, dan untuk membelikan ayahnya makan setiap harinya.

“Jangan begitu, kasihan kalau kamu yang membayarnya.

Damian diam, kemudian dia menelpon taksi.

“Duduklah dulu, sambil menunggu taksi."

“Baiklah, tapi tolong bantu aku berjalan, kakiku sakit sekali,” rengek Sari.

Mau tak mau Damian mendekat, dan membiarkan Sari bergayut di lengannya. Damian merasa Sari sengaja melakukannya, karena kalau kakinya yang sakit, sebenarnya ia tak perlu menempelkan kepala di dadanya. Tapi Damian menahan rasa tidak enak itu, mengingat Sari baru saja mengalami kecelakaan.

“Bukannya kamu mau pergi ke kondangan?”

“Karena Mas Damian tidak mau mengantar, aku nggak jadi datang. Kata ibu, aku bisa menitipkan kado melalui salah satu temanku. Kemudian aku memilih bersepeda bersama teman yang lain. Nggak nyangka ketemu mas Damian. Katanya ada tugas penting?” protes Sari.

"T⁸ugasnya mengantar kedua nona majikan aku.”

“Mengantar ke mana?”

“Bersepeda bersama.”

“Ya ampun, hanya tugas seperti itu, kamu menolak menemani aku.”

“Biarpun hanya bersepeda, yang meminta kan anak majikan, masa aku tiba-tiba bilang tidak bisa?” jawab Damian kesal, karena Sari tak mau mengerti.

“Mereka yang dua orang itu tadi?”

“Iya.”

“Cantik-cantik.”

Damian mengiyakan, tapi tak mengucapkannya sebagai jawaban.

“Taksinya lama, tapi aku malah senang. Bisa berlama-lama sama mas Damian.”

Damian mengerutkan keningnya. Tampak bahwa Sari selalu menampakkan rasa suka sama dirinya. Damian tak menanggapi.

“Dua hari lagi aku harus kontrol. Maukah menemani?”

“Apa? Aku mana bisa menemani? Aku kan harus kerja.”

“Ijin, masa nggak boleh.”

“Bukannya tidak boleh, tapi sungkan memintanya. Orang bekerja itu, harus mengerti mana yang harus lebih diutamakan.”

“Maksudnya mengantar teman sakit, bukan hal yang utama?”

“Maaf Sari, luka kamu kan tidak parah, kamu bisa sendiri, kan?”

Sari merengut, tapi Damian membiarkannya. Agak kesal karena Sari seperti selalu ingin memaksakan kehendak.

“Itu taksinya datang,” kata Damian sambil berdiri. Ia berjalan mendahului, tapi Sari meneriakinya.

“Maaas, bantu aku berjalan.”

Damian berbalik mendekati Sari, dan lagi-lagi Sari bergayut erat di lengannya. Padahal tadi bisa keluar sendiri dari ruang UGD.

Keduanya berjalan pelan, Damian membukakan pintu belakang taksi, lalu menutupnya, sedangkan dia sendiri kemudian duduk di samping kemudi.

“Maas, kok duduk di situ, aku sendirian dong.”

Damian tak menjawab, ia malah berpesan kepada pengemudi taksi untuk menuju ke tempat di mana dia menitipkan sepeda. Pengemudi taksi mengangguk, lalu menjalankan taksinya.

“Kenapa tidak langsung ke rumah?” lagi-lagi Sari memprotes.

“Aku harus mengambil sepeda aku, sekaligus sepeda kamu, yang nanti akan aku bawa ke bengkel. Jadi nanti setelah aku turun, kamu pulang sendiri saja.”

“Ya ampuun,” Sari mengeluh, tapi kemudian Damian mendiamkannya, sampai ia diturunkan di tempat dia menitipkan sepedanya.

“Sudah Mas, tinggalkan saja saya, antarkan dia sampai ke rumahnya,” perintahnya kepada sang pengemudi.

***

 Kamila dan Raya sudah sampai di rumah, langsung menyerbu ke dapur, meminta bibik untuk menyiapkan sarapan.

“Bibiiik …. lapeerrr,” rengek Raya.

“Iya Bik, sarapan dong,” sambung Kamila.

“Lhoh, katanya mau sarapan di jalan, nyari nasi tumpang atau nasi gudeg?”

“Nggak jadi, langsung pulang saja.”

“Damian ada juga? Biar bibik juga menyiapkan sarapan untuk dia.”

“Damian nggak ikut. Ayo Bik, aku tunggu di ruang makan ya.”

Keduanya membersihkan diri, lalu beranjak ke ruang makan.

“Tadi kan sama Damian?” kata bibik sambil menyiapkan nasi dengan lauk pecel dan telur ceplok.

“Damian mengantarkan pacarnya yang kecelakaan,” kata Raya sambil membalikkan piring dan segera menyendok nasinya.

“Pacar? Damian sudah punya pacar?”

Raya mengangkat bahu, sambil menyendok telur ceploknya.

“Ngawur kamu, kan tadi sudah bilang kalau gadis itu tetangganya.”

Raya meleletkan lidahnya.

“Setahu bibik, Damian belum punya pacar,” kata Bibik sambil membuka kulkas dan menuangkan jus jeruk kepada ke dua nona majikannya.

“Dari mana Bibik tahu?”

“Bibik kan pernah nanya sama dia.”

“Masa punya pacar harus bilang-bilang. Pasti ngomongnya tidak dong,” kata Raya.

“Raya tuh aneh, kalau dia punya pacar, hari Minggu pasti main sama pacarnya, bukannya ikut bersama kita.”

“Iya Non. Sekarang bibik tinggal ke dapur ya?”

“Masak apa hari ini Bik?”

“Hanya masak soto daging, nyonya bilang, nanti sore mau makan di luar sekeluarga,” kata bik Sarti sambil berlalu.

“Oh iya, bapak mengajak jalan-jalan nanti sore,” kata Kamila.

“Sebenarnya aku sedang ingin di rumah saja,”

“Kenapa kamu ini, kalau kamu nggak ikut, bapak bisa marah dong.”

“Iya aku ikut, aku kan hanya bilang bahwa ‘sebenarnya aku ingin di rumah saja’."

“Tiba-tiba kamu seperti orang tak bersemangat sih. Ada apa?”

“Nggak tahu nih, kecapekan barangkali.”

“Habis ini mandi, lalu tidur. Mumpung hari Minggu.”

“Mbak Mila mau ke mana?”

“Nggak ke mana-mana. Tadinya kalau mas Abi masih di sini, rencananya mau jalan-jalan juga. Tapi ternyata tiba-tiba saja dia pergi.”

“Sedih ya, hari Minggu nggak ada pacar?”

“Sedih sih enggak. Cuma kecewa saja, karena rencana yang sudah dibuat jadi buyar.”

“Sabar ya Mbak. Kalau urusannya sudah selesai pasti dia datang deh.”

”Iya, semoga saja.”

“Aku mau mandi dulu,” kata Raya sambil beranjak ke kamarnya. Tapi sambil berjalan itu, entah mengapa hatinya sangat kesal, kalau teringat gadis yang kecelakaan tadi, memanggil Damian sambil merengek-rengek.

“Manja amat, masa bukan siapa-siapanya? Sebel saja mendengarnya,” gumamnya sambil menutup pintu kamarnya, tanpa sadar, mengapa dia harus sebel mendengar rengekan Sari?

***

Sore hari ketika bu Mijan pulang, terkejut melihat kaki kanan Sari diperban sampai ke lutut.

“Kenapa kamu?” tanyanya sambil duduk di dekat anaknya.

“Jatuh.”

“Kok bisa jatuh?”

“Terserempet mobil.” 

“Apa? Bagaimana bisa terserempet mobil? Kamu tadi nggak jadi ke kondangan? Atau terserempet ketika mau berangkat kondangan?”

“Sari kan tidak jadi pergi. Kata Ibu, suruh dititipkan saja sama teman, kalau mau kirim kado. Ya sudah, Sari titipin, lalu Sari sepedaan bersama teman yang lain.”

“Terus bagaimana kok bisa terserempet, kamu jalan terlampau ketengah, kan?”

“Ya tidak sebenarnya. Lagian hanya stang yang terserempet, tapi Sari kemudian terjatuh, kaki dari lutut sampai mata kaki luka, yang dekat lutut sempat dijahit.”

“Parah.”

“Untungnya ketemu mas Damian.”

“Katanya Damian sedang ada tugas dari majikan.”

“Tugas apa? Ibu tahu? Tugas mengantar anak majikan, bersepeda juga.”

“Ya ampun. Lalu luka kamu, siapa yang membawa ke rumah sakit.”

“Mas Damian lah, dia mana tega membiarkan Sari terluka. Dia malah yang memanggilkan ambulan, karena kaki Sari berdarah-darah.

“Kamu itu lain kali hati-hati, sampai luka seperti itu, pasti sakit sekali.”

“Sakit lah Bu, untungnya ada mas Damian.”

“Dari tadi Damian … Damian … terus. Memangnya kalau nggak ada dia apa kamu nggak bisa ke rumah sakit sendiri? Apa orang lain juga akan membiarkan kamu terluka di pinggir jalan?”

“Ibu kok sepertinya nggak suka sama mas Damian? Dia salah apa, coba?”

“Damian itu memang nggak salah apa-apa, kamu itu yang salah.:

“Kok Sari yang salah sih Bu?”

”Ibu itu tahu, kamu suka sama Damian, tapi ibu tidak suka, tahu?”

“Memangnya kenapa?”

“Dia itu memang ganteng, baik hati, tapi yang ibu tidak ingin menjadikan dia menantu, adalah karena dia hanya tukang kebun. Gaji tukang kebun itu berapa coba? Apalagi dia juga harus merawat ayahnya, yang sakit-sakitan. Lalu istrinya mau dikasih makan apa? Cari laki-laki kaya. Atau paling tidak yang bisa mencukupi semua kebutuhan kamu.”

“Ibu, kalau kami kekurangan, nanti Sari juga mau ikut bekerja, supaya hidup kami berkecukupan.”

“Omong kosong apa? Orang berumah tangga itu, jangan mengandalkan penghasilan istri. Yang harus mencukupi itu suami, bukan istri. Dengar Sari, tetangga pasar, di mana ibu berjualan, adalah seorang tukang penjual tahu. Dia masih perjaka, tekun mencari uang, sudah punya rumah sendiri, punya motor bagus yang dipergunakannya setiap berjualan.”

“Lalu kenapa dengan penjual tahu itu?”

“Akan ibu jodohkan sama kamu.”

“APA?”

***

Besok lagi ya.

 

 

Saturday, May 27, 2023

SEBUAH PESAN 05

 SEBUAH PESAN  05

(Tien Kumalasari)

 

 

Sari memegangi setang sepeda Damian, sambil berlenggak lenggok kemayu. Damian memalingkan wajahnya.

“Aku minta maaf Sari, hari Minggu itu aku punya tugas.”

“Tugas apa sih Mas?”

“Mengapa tidak pergi sama ibu kamu saja?”

“Ibu kan jualan sih Mas, dan kalau Minggu itu pasar pasti rame.

“Mengapa harus cari teman? Pergi ke kondangan sendirian itu kan tidak apa-aa. Lagian aku kan bukan keluarga?”

“Tapi itu di luar kota Mas, ibuku nggak ngebolehin aku berangkat sendiri. Tolong ya Mas, sungguh aku tidak berani.”

“Wah, maaf Sari, aku tidak bisa.”

“Tapi Mas, aku tadi sudah bilang sama pak Timan, katanya boleh kok aku mengajak mas Damian.”

“Ini bukan masalah bapak aku, aku sedang ada tugas dari majikan aku, jadi aku nggak berani.”

Tugas apa sih Mas.”

Damian agak merasa kesal, karena Sari mendesak terus. Sebenarnya bukan masalah kalau hanya dimintai pertolongan mengantar, tapi kan dia sudah berjanji akan menemani Raya sepedaan di hari Minggu itu? Bukan karena sangat ingin bersepeda bersama Raya, tapi dia tidak berani menolak permintaan anak majikan.

“Bagaimana Mas, bisa kan?”

Damian ingin segera mengayuh sepedanya, tapi Saru terus memegangi stangnya.

“Maaf Sari, aku tidak bisa. Kalau memang tidak berani datang sendiri, ya nggak usah datang. Atau kalau mau memberi kado, dititipkan orang lain kan bisa?”

“Ya ampun Mas, sama saudara sendiri, masa nggak akan datang, sungkan dong.”

“Maaf Sari, sungguh aku tidak bisa,” katanya sambil melepaskan tangan Sari, lalu dia mengayuh sepedanya. Sari membanting-banting kakinya, menatap Damian yang sudah masuk ke halaman rumahnya,

Tapi sesampainya di rumah, ayahnya mengatakan tentang permintaan Sari tadi.

“Sari tidak berani berangkat sendiri, karena luar kota.”

“Kalau tidak berani, lebih baik tidak usah datang, gitu saja kok repot.”

Damian langsung masuk ke belakang rumah, melalui pintu samping. Pak Timan yang merasa kesal atas jawaban anaknya, mengikutinya masuk, lalu mereka bertemu di ruang belakang.

“Jadi kamu sudah ketemu Sari?”

:Sudah, dan sudah Damian jawab bahwa Damian tidak bisa.”

“Damian, dia sudah begitu baik sama kita. Masa sih, cuma menolong mengantarkan ke kondangan saja tidak mau?” tegur pak Timan.

“Bukannya Damian  tidak mau, tapi Damian ada acara di hari Minggu itu.”

“Acara apa sih? Bukannya Minggu kamu harusnya libur?”

“Non Raya minta agar saya menemani dia. Damian sungkan dong pak, menolak, karena dia anak majikan Damian.”

“Menemani ke kondangan juga?”

“Bukan, hanya jalan-jalan bersepeda.”

“Itu kan tidak penting, hanya jalan-jalan.”

“Sebenarnya semuanya tidak penting bagi Damian, apalagi di saat Damian harus beristirahat, tapi harus ada bedanya, permintaan dari anak tetangga, dan permintaan dari anak majikan.”

Damian tak pernah berani membantah kata ayahnya, tapi kali ini Damian agak kesal, karena ayahnya kelihatan sekali terlalu ingin mendekatkan dirinya dengan Sari, dan itu sama sekali tidak Damian inginkan.

Akhirnya pak Timan kembali ke ruang tengah, duduk sambil menikmati kopi pahit yang dibuatnya sendiri. Ia tak mengira Damian begitu kesal, hanya karena Sari memintanya agar mengantarkannya ke kondangan.

“Damian …”

Damian mendekati ayahnya, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian.

“Damian minta maaf. Bukan maksud Damian membantah apa yang Bapak katakan.”

“Iya, bapak tahu. Maafkan bapak juga ya,” kata pak Timan sambil meneguk kopi pahitnya.

“Tidak apa-apa kok Pak. Saya hanya minta pengertian Bapak, kalau disuruh memilih, mana yang harus Damian jalani, Bapak pasti mengerti ke mana Damian harus memilih.”

“Bapak terlalu bernafsu ingin menjodohkan kamu dengan Sari,” akhirnya pak Timan mengakuinya.

“Jangan lagi meminta agar Damian berjodoh sama dia ya Pak. Pertama, Damian belum memikirkannya, ke dua Damian tidak tertarik sama dia.”

Pak Timan menghabiskan sisa kopinya.

“Apa kamu sudah memiliki pacar?”

Kalo ini Damian tertawa.

“Bapak ada-ada saja. Damian belum berani memikirkannya. Damian belum merasa mampu menghidupi seorang istri.

“Ada wanita yang ingin memiliki suami yang sudah berkecukupan, tapi ada wanita sederhana yang bisa menerima keadaan suaminya, kaya ataupun miskin.”

“Baiklah, itu benar.”

“Bapak kira, Sari lah wanita yang bapak sebutkan terakhir itu.”

“Kok kembali ke Sari lagi sih Pak?”

“Hanya sebagai contoh saja.”

Damian tersenyum. Hanya sebagai contoh, kata ayahnya, tapi menjurusnya kan kepada keinginan yang sebenarnya?

“Damian mandi dulu ya Pak,” kata Damian sambil berdiri.

“Mau cari yang seperti apa dia? Jarang ada gadis yang mau diperistri laki-laki miskin,” gumam pak Timan setelah Damian masuk ke kamar mandi.

***

Sari masuk ke dalam rumahnya dengan wajah keruh. Ibunya yang baru pulang dari pasar tampak duduk beristirahat, heran melihat tampang anaknya yang seperti tak bersemangat.

“Ada apa? Tidak ketemu Damian? Belum pulang barangkali,” kata bu Mijan, ibu Sari.

“Ketemu.”

“Lalu … ?”

“Dia tidak mau.”

“Tidak mau? Hanya diajak pergi, makan-makan, apa itu berat?”

“Dia sudah punya acara.”

“Acara apa?”

“Katanya begitu, pertanyaan Sari tidak dijawabnya. Kenapa sih kalau sama ibu?”

“Kamu kan tahu, ibu harus berjualan? Lagi pula yang menikah kan teman kamu, sebenarnya bukan kerabat kita. Kalau memang tidak bisa datang ya tidak apa-apa kan? Titipkan saja kadonya sama teman kamu yang lain.”

“Bukankah Ibu yang menyuruh Sari datang,  supaya cepat ketularan menikah?”

Bu Mijan tertawa.

“Kan hanya bercanda. Memangnya benar, kalau menghadiri pernikahan, lalu bisa ketularan? Lha kalau ibu datang juga, terus ibu ketularan menikah, bagaimana?”

Sekarang Sari tersenyum. Tak bisa membayangkan, ibunya yang sudah tua menikah lagi.

“Ya sudah, nitip saja sama teman kamu, nanti kalau dia sudah kembali ke sini, kamu temui dia dan minta maaf.”

Sari diam, tapi sebenarnya bukan datang ke kondagan itu yang penting. Tadinya dia berharap bisa pergi berdua bersama Damian, laki-laki ganteng yang sangat disukainya. Suka? Barangkali tidak sekedar suka. Sari mencintainya. Tapi kok Damian begitu dingin terhadapnya ya? Bukankah dirinya cantik?

Sari lupa bahwa bukan hanya kecantikan yang membuat orang jatuh cinta. Masih ada hal lain disamping wajah cantik itu, dan selera setiap orang kan tidak sama?

“Apa kamu suka sama Damian?” tiba-tiba kata ibunya.

Wajah Sari berubah merah karena malu.

“Damian itu hanya seorang tukang kebun, seperti juga ayahnya. Kalau hanya sahabatan saja, boleh lah, kan kita juga sudah lama bertetangga. Tapi kalau kamu memimpikannya untuk menjadi suami, pikirkanlah lagi. Kalau memang kamu menikah, jangan sampai masih menjadi beban orang tua lagi, dan itu berarti suami kamu haruslah orang yang bisa membuat hidup kamu berkecukupan.”

Sari diam. Memang sih, Damian hanya seorang tukang kebun. Tapi gantengnya itu lhoh. Bahkan dia sama sekali tak mirip sama ayahnya. Apakah ibunya yang sudah meninggal itu canti

Akhirnya Sari memutuskan untuk tidak usah datang ke kondangan temannya yang menikah. Tadinya kan dia sebenarnya ingin datang bersama Damian, agar temannya tahu bahwa dirinya bisa menggaet laki-laki ganteng.

***

 Pagi hari itu setelah Subuh, Damian sudah membuat kopi pahit untuk ayahnya,  dan teh untuk dirinya sendiri. Diseberang jalan ada penjual bubur ayam. Damian membelinya untuk sarapan, sebelum dia berangkat bersepeda bersama Raya. Damian berdebar-debar, rasanya seperti janjian dengan pacar. Pacar? Damian terkejut memiliki ungkapan itu. Mana berani dia pacaran sama anak juragan? Rupanya dia hanya bisa berhenti pada tahap mengagumi saja. Jangan sampai menjadi terlalu jauh. Itu saja sudah cukup membahagiakan. Bertemu setiap hari, mendapatkan canda dan senyuman, dan membawa senyuman itu ke dalam mimpi.

“Apa kamu akan pergi seharian?” tanya pak Timan sambil menikmati bubur ayamnya.

“Tidak, paling nanti siang sudah kembali.”

“Ya sudah, hati-hati,” pesan ayahnya sambil menghabiskan buburnya.

“Nanti siang Damian akan membawa makan siang buat Bapak.”

“Tidak usah tergesa-gesa, buburnya masih ada, bisa untuk makan siang nanti. Tadi bapak hanya mengambil sedikit. Kalau pagi tidak bisa makan banyak.”

“Apa masih enak sih Pak, kalau dimakan siang?”

“Setelah ini bapak panasi, pasti masih enak dimakan nanti siang.”

“Ya sudah, terserah Bapak saja. Tapi nanti Damian tetap akan membawakan makan siang untuk kita.”

“Baiklah.”

Damian meninggalkan rumahnya, saat pagi masih remang. Cahaya kemerahan di ufuk timur menampakkan udara yang bakal cerah hari itu. Ada dendang pelan meluncur dari mulut Damian. Dendang tentang cinta, yang tak akan mampu diraihnya. Semilir angin pagi yang sejuk, tak mampu mengucurkan keringatnya walau ia mengayuh sepedanya begitu cepat. Ia takut datang ketika non Raya sudah lama menunggu. Gadis cantik itu selalu bangun pagi-pagi, dan tak pernah lupa waktu di mana dia harus bersujud.

Dan itu benar, begitu sampai di depan pagar, Raya sudah menanti sambil memegangi sepedanya. Ia memakai celana olah raga berwarna biru bersetrip putih, dan kaos lengan panjang berwarna pink muda. Kerudungnya yang senada tampak berkibar terhembus angin pagi yang nakal. Ia sudah memegangi sepedanya, yang pastilah dari merk terkenal. Tapi Damian tak merasa risih dengan sepedanya sendiri yang butut. Baginya, sepedanya adalah sahabat sejati yang selalu menemani kemanapun dia pergi.

“Damian, kamu bangun kesiangan?”

“Tidak Non. Tadi harus menyiapkan sarapan untuk bapak.”

“Oh iya. Saya senang kamu begitu memperhatikan orang tua.”

“Saya hanya punya bapak, dan bapak juga hanya punya saya.”

Raya tersenyum.

“Siap berangkat sekarang?”

“Siap Non.”

Tapi sebelum mereka berangkat, terdengar teriakan Kamila dari teras rumah.

“Aku ikuuut !”

“Yaaah, kenapa nggak tadi-tadi sih,” gerutu Raya.

Keduanya tampak menunggu. Tapi Kamila bersiap begitu cepat.. Ia hanya mengganti celananya dengan celana sport karena kaos putih bersih berlengan panjang sudah dikenakannya dari tadi. Ia mengayuh sepedanya dari samping rumah, langsung keluar, mengikuti Raya yang sudah lebih dulu mengayuh sepedanya. Sepeda yang sama bagusnya dengan milik adiknya.

Hari itu hari Minggu, banyak pesepeda lalu lalang di jalanan. Tapi Damian memilih melewati jalan kecil yang halus beraspal, supaya tidak terganggu oleh pesepeda-pesepeda yang terkadang berpacu dengan temannya.

“Ke mana kita?” tanya Kamila.

“Ini sudah hampir sampai di luar kota,” jawab Damian.

“Bagus, ayo melihat sawah,” teriak Raya yang kemudian mendahului memacu sepedanya. Kamila mengikutinya.

Mereka mulai berkeringat, karena matahari mulai memancar panas.

“Ayo berhenti dulu, aku lelah,” kata Raya yang kemudian menghentikan sepedanya dibawah sebuah pohon besar.

Kamila dan Damian mengikutinya. Raya menyandarkan sepedanya, lalu mengelesot begitu saja di atas rumput. Kamila mengikutinya, demikian juga Damian.

“Segar ya, disini?”

“Karena kita berteduh di bawah pohon,” kata Raya yang kemudian berbaring, dan meletakkan kepalanya di pangkuan kakaknya.

“Iih enaknya ,,, “ omel Kamila sambil mengacak kepala adiknya.

“Aku haus, kenapa tadi tidak membawa minum?”

“Iya, tadi kamu tergesa-gesa sih.”

“Biar saya beli air di sana Non,” kata Damian yang segera berdiri, lalu mengambil sepedanya.

“Eh, ini uangnya,” kata Kamila.

“Saya membawa Non, pakai ini dulu,” kata Damian sambil naik ke atas sepedanya, lalu mengayuhnya pergi.

“Untung kamu mengajak Damian,” kata Kamila.

“Sekali-sekali kita ajak dia jalan, bukan hanya disuruh-suruh.”

“Nanti ajak dia makan juga, pasti dia juga lapar.”

“Aku sekarang juga sudah lapar nih,” keluh Raya.

“Tadi bilang haus, kenapa sekarang jadi lapar? Bukankah tadi kamu sudah sarapan?”

“Hanya sepotong roti, lalu berangkat.”

“Setelah hilang capeknya, kita cari warung makan.”

“Ngomong-ngomong, apa kabar mas Abi?”

“Belum ada berita apapun, pasti dia langsung sibuk,” kata Kamila dengan wajah muram.

“Baru pacaran, sudah merasa tak punya waktu. Besok kalau sudah jadi suami istri, bisa kangen setiap hari,” kata Raya, lagi-lagi seenaknya.

“Nggak apa-apa, yang penting dia setia.”

“Lalu bagaimana kemarin itu, katanya cari pekerjaan.”

“Sudah, di perusahaan milik teman aku. Jadi sekretaris ayahnya, lumayan. Bulan depan aku masuk kerja.”

“Mbak sudah bilang bapak kalau mau kerja?”

“Nanti saja aku bilang, kemarin belum sempat, bapak pulangnya malam sih.”

“Hm, orang-orang sibuk,” gumam Raya.

“Damian kok lama ya?”

“Iya, katanya dekat.”

“Ayuk kita susul dia,” kata Raya yang kemudian sudah mengambil sepedanya, lalu keduanya memacunya ke arah di mana Damian pergi.

***

Besok lagi ya.

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...