Saturday, December 31, 2022

KANTUNG BERWARNA EMAS 23

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  23

(Tien Kumalasari)

 

Karina menangis menggerung-gerung, membuat bingung seisi rumah.

“Ya sudah, ini namanya musibah, terima saja dengan lapang dada. Nanti mencari dokter yang baik untuk menghilangkan cacat kamu itu,” kata bu Candra yang bukannya membuat berhenti menangis tapi justru membuat tangisnya semakin keras.

“Ibu bagaimana? Ini musibah yang harus aku terima dengan lapang dada? Bagaimana aku bisa menerima keadaan seperti ini Bu? Aku malu dong Bu, mana berani aku keluar? Mana wajah cantikku? Mana ada orang yang mengagumi aku? Aku tidak mau. Aku tidak mau begini.”

“Karin, tenanglah dulu. Nanti kita cari jalan untuk menyembuhkan luka itu.”

“Bagaimana caranya Bu, dokter sudah bilang, bekas luka ini tidak akan bisa hilang.”

“Kamu diamlah dulu, menangis setahun pun kalau tidak ada upaya, ya tidak akan bisa menjadi pulih. Jadi diam dulu sambil memikirkan bagaimana cara keluar dari masalah ini. Jangan seperti anak kecil dong Karin,” kesal ibunya.

Tiba-tiba Nurani memasuki kamar Karin, membawakan jus buah segar untuk Karina.

“Karin, ini jus buah segar, minumlah.”

“Apa kamu? Kamu pura-pura baik sama aku, sementara sebenarnya kamu mensyukuri penderitaan aku ini bukan?”

“Karin, kamu salah terima, aku juga prihatin melihat keadaanmu ini.”

“Bohong! Pergi kamu, pergi!”

“Karin, luka itu kan belum sembuh benar. Bahwa nanti akan menjadi bopeng, itu kan kata dokter. Siapa tahu nanti setelah kulit luka itu kering dan mengelupas, wajahmu bisa menjadi cantik lagi.”

“Omong kosong kamu! Memangnya kamu itu siapa? Kamu SMA saja belum selesai, sok tahu tentang masalah kulit. Keluar kamu. Kamu hanya mengejek aku.”

“Tidak Karin, aku sungguh sedih melihatmu seperti ini.”

“Keluaaar!!”

Karin mengambil bantal, melemparkannya kepada Nurani yang sedang membawa gelas jus, sehingga jus itu tumpah, membasahi lantai.

“Karin!” kali ini ibunya berteriak.

Nurani beranjak keluar, membawa bantal yang basah dan gelas yang sudah kosong. Kemudian dia kembali untuk membersihkan lantai yang basah dan lengket terkena tumpahan jus.

“Itulah kamu. Pantasnya kamu jadi pembantu!” Karina masih bisa mengejek Nurani yang berjongkok di lantai sambil mengepel.

“Sudah Karin, kamu diam. Pusing ibu mendengarkan semua omongan kamu,” kata bu Candra sambil keluar dari kamar.

Nurani keluar setelah membersihkan lantai. Wajahnya tampak murung. Ia memendam rasa kesalnya dalam hati. Ia bermaksud baik, walau Karina begitu jahat terhadap dirinya. Ia tak ingin membalasnya, ia justru ikut merasakan kesedihan adik tirinya, tapi balasannya sungguh menyakitkan. Nurani ingin berteriak atas ketidak adilan itu, tapi selalu dia bisa menahannya.

Bu Candra beranjak ke belakang. Ia melihat Nurani keluar dari kamar mandi di belakang, setelah selesai mencuci kain pel yang baru saja dipergunakannya. Tiba-tiba dia teringat perkataan Rian, beberapa hari yang lalu, yang mengatakan bahwa suaminya sudah tahu perlakuan buruknya terhadap Nurani.

Ia duduk di kursi dapur, melihat Nurani menjemur kain pel di luar.

“Nurani,” panggilnya ketika Nurani masuk kembali ke dapur.

Nurani mendekati ibu tirinya.

“Ya Bu.”

“Apa kamu mengadu kepada bapak kamu?”

Nurani terkejut, ia tidak mengerti apa yang dimaksud sang ibu tiri.

“Saya tidak mengerti apa maksud ibu.”

“Kamu mengadu kepada bapak, bahwa aku melakukan hal buruk terhadap kamu?”

“Tidak. Mengapa ibu mengira demikian?”

“Bapakmu menuduh aku melakukan perlakuan buruk sama kamu.”

“Saya sama sekali tidak pernah bicara apapun sama bapak. Apalagi mengadu. Tidak pernah Bu. Ibu harus percaya sama Nurani.”

“Baiklah. Tapi awas saja kalau sampai kamu mengadu yang tidak-tidak,” katanya sambil meninggalkan dapur.

Nurani menghela napas panjang. Hari masih siang. Pak Candra belum pulang dari kantor, Rian juga belum pulang dari kuliah, sehingga bu Candra berani menanyakannya kepada Nurani.

“Yang iya-iya saja tidak pernah aku katakan kepada siapapun, apalagi yang tidak-tidak,” kata batinnya.

Tapi kemudian Nurani mengejar ibu tirinya.

“Ibu.”

Bu Candra berhenti melangkah.

“Kalau boleh saya usulkan, selama wajahnya belum pulih, Karina kan bisa memakai penutup wajah, sehingga bekas luka itu tidak kelihatan. Dengan begitu, Karina tidak usah mengurung diri di kamar. Maaf Bu, saya hanya mengusulkan.”

Bu Candra tak menjawab, tapi tampaknya dia bisa menerima apa yang dikatakan Nurani.

***

“Lukanya saja belum kering benar, belum tentu kalau bekas luka itu menyebabkan bopeng,” kata pak Candra ketika sore hari itu sang istri membicarakannya.

“Tapi memang ada banyak luka yang dalam, karena dulu Karina menggaruknya sangat keras. Itu karena dia tak tahan rasa gatalnya. Nah bekas garukan itu membuat luka yang lebih dalam, sehingga akan susah pulihnya,” kata bu Candra.

“Mau bagaimana lagi, kalau memang harus begitu? Paling bisa ditutupi dengan bedak yang agak tebal.”

“Bapak kok gitu, kalau bekas lukanya dalam, mana bisa ditutupi dengan bedak tebal sekalipun?”

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”

“Bagaimana kalau operasi plastik?”

Pak Candra terkejut.

“Operasi plastik itu tidak murah.”

“Bapak kan punya banyak uang?” kata bu Candra memaksa.

“Memang ada, tapi kan aku juga punya kebutuhan lain. Nanti Nurani akan kuliah, dan pasti juga membutuhkan biaya banyak.”

“Nurani lagi,” keluh bu Candra dalam hati.

“Kita tunggu saja nanti bagaimana hasilnya. Kan lukanya belum kering benar, sehingga kulitnya belum mengelupas semuanya.”

“Karina tidak bisa terus menerus berada di kamar. Tapi dia malu untuk keluar.”

“Dia juga harus bekerja kan? Masih mau kerja tidak?”

“Maka dari itu, harus ada penanganan untuk membuat wajahnya bersih kembali.”

“Itu kita pikirkan nanti. Sekarang ini lebih baik memakai cadar untuk menutupi bekas lukanya.”

“Bapak punya ide dari mana? Usulan dari Nurani?”

“Mengapa kamu membawa-bawa Nurani?”

“Soalnya tadi Nurani mengusulkan hal yang sama. Memakai cadar.”

“Aku bahkan belum bertemu Nurani sejak pulang dari kantor, kecuali ketika dia menyajikan susu coklat di meja ini,” kata pak Candra sambil mengerutkan keningnya.

“Oh, kirain. Soalnya kok bisa punya pemikiran yang sama.”

“Itu ide terbaik daripada terus mendekam di kamar kan?”

“Ya, tampaknya itu masuk akal. Nanti ibu mau bilang sama Karina.”

“Katakan juga, dia masih mau bekerja tidak? Kalau terlalu lama absen juga tidak bisa, apalagi hanya dengan alasan malu dilihat orang. Jadi kalau mau menutup wajahnya pakai cadar, suruh dia melakukannya, lalu kembali bekerja. Kalau tidak mau, aku akan mencari orang lain untuk menggantikannya."

Bu Candra termakan oleh ancaman pak Candra. Sebagai apapun, Karina harus dilibatkan dalam pekerjaan di perusahaan suaminya, kalau tidak, bu Candra khawatir Karina tidak akan tahu apa-apa tentang perusahaan, dan pada suatu hari akan dikalahkan Nurani.

Itu sebabnya, bu Candra segera mencarikan cadar untuk Karina, dan memaksanya masuk bekerja pada keesokan harinya.

***

Hari berjalan begitu cepat. Luka Karina sudah benar-benar mengering, dan benar saja, bekas luka itu meninggalkan lobang-lobang seperti bopeng, bahkan ada bekas yang memanjang. Benar perkiraan bu Candra, bahwa salah satu pemicunya adalah karena luka garuk yang sangat dalam.

Karina sangat sedih karena ia harus memakai cadar selama berbulan-bulan, bahkan hampir setahun. Harapan untuk bisa merebut hati Andre pupus sudah. Saat masih kelihatan cantik saja susah, apalagi dengan wajah bopeng seperti sekarang. Hal itu membuat kebenciannya terhadap Nurani semakin bartambah. Padahal Nurani selalu bersikap baik, bahkan setelah Karina pernah bermaksud membunuhnya.

***

Hari itu Nurani dipanggil oleh bapak kepala sekolahnya. Nurani berdebar.

“Nurani, melihat prestasi kamu di sekolah, kami menawarkan sesuatu untuk kamu,” kata pak kepala sekolah sambil tersenyum ramah. Selama di sekolah Nurani selalu berprestasi, dan bersikap baik, bukan hanya kepada para guru, tapi juga kepada teman-temannya yang umurnya tentu saja jauh di bawahnya. Itu sebabnya dia juga disayangi oleh para guru di sekolah itu.

Nurani hanya menatap kepala sekolahnya, menunggu apa yang akan dikatakannya.

“Maukah kamu mengikuti ujian akhir tahun ini?”

“Ujian akhir? Apakah itu berarti, kalau saya lulus, maka saya tidak lagi sekolah di sini?”

Kepala sekolah yang sudah separuh baya itu tersenyum lucu.

“Tentu saja Nurani. Kalau kamu lulus, berarti kamu sudah lulus, sudah bukan lagi murid SMA, tapi bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu masuk ke perguruan tinggi.”

Mata Nurani berbinar. Kalau demikian halnya, ia bisa mempersingkat waktu dalam menjalani pelajaran sekolah SMA nya. Tapi Nurani masih ragu.

“Apa saya bisa? Bagaimana kalau gagal?”

“Namanya orang berusaha itu, bisa gagal, bisa juga berhasil. Kalau berhasil, bersyukurlah, kalau tidak berhasil, ya terimalah dengan ikhlas. Begitu kan? Tapi boleh dong, berusaha.”

“Saya sebenarnya ragu.”

“Kamu itu pintar. Kamu menguasai hampir semua pelajaran dengan sangat baik. Apa selama di rumah kamu banyak membaca buku-buku sekolah?”

“Iya Pak, kakak saya yang memberikan buku-bukunya.”

“Mengapa juga dulu kamu tidak langsung masuk sekolah?”

Nurani terdiam. Tentu ada sebabnya, mengapa setelah SMP dia berhenti. Bahkan tetap tidak mau walau ayahnya memaksa. Ia sangat takut kepada ibu tirinya. Tapi yang namanya Nurani, mana mau dia menjelekkan orang lain?

“Baiklah, tidak apa-apa. Barangkali ada penyebabnya mengapa kamu tidak sejak dulu melanjutkan sekolah, tapi aku tak ingin tahu. Yang jelas kamu mampu dan kamu bisa.”

Nurani mengangguk.

“Jadi kamu mau ya, didaftarkan ikut ujian akhir?”

“Baiklah, saya akan mencobanya Pak.”

“Bagus. Kamu punya semangat tinggi. Kami para guru akan mendukung kamu.”

“Terima kasih banyak, Pak,” jawab Nurani dengan wajah berseri.

***

Sepulang dari sekolah, Nurani berharap Rian menjemputnya. Ia ingin segera menceritakan tawaran kepala sekolah yang sangat membahagiakannya.Tapi Nurani terkejut, ketika yang menunggunya adalah Siswati, teman Rian.

“Nurani!”

Nurani mendekati Siswati.

“Kok Mbak Sis ada di sini?”

“Aku menjemput kamu Nur.”

“Menjemput saya? Mengapa bukan mas Rian?”

“Mas Rian sedang giat mencari bahan untuk skripsi, dia minta agar aku nyamperin kamu di sekolah.”

“Ya ampun, mengapa jadi repot untuk saya? Saya kan bisa pulang sendiri.”

“Kamu tidak suka, aku yang menjemput kamu?” tanya Siswati kecewa.

“Tidak … tidak … mengapa Mbak Sis mengira begitu? Saya hanya sungkan karena jadi merepotkan.”

“Tidak repot kok. Kebetulan aku pulang di jam ini, dan kebetulan pula, rumahku melewati sekolah kamu. Dan kebetulannya lagi, aku juga membawa motor sendiri. Biasanya aku membonceng mas Rian, tapi karena motor di rumah tidak dipakai, jadi aku bawa motornya untuk kuliah.”

“Benar nih, tidak merepotkan?”

“Tidak Nur, aku senang melakukannya.”

Akhirnya Nurani pulang dengan dibonceng Siswati. Mereka mampir di warung bakso atas permintaan Nurani. Ia ingin mentraktir Siswati karena telah susah payah menjemputnya.

“Mbak Sis, hari ini aku mentraktir Mbak ya.”

“Biar aku saja, kita kan belum pernah makan bareng.”

“Tidak, tadi bapak memberi uang saku, jadi aku punya uang lebih,” kata Nurani.

Mereka makan dengan nikmat, dan ternyata Nurani mulai menyukai Siswati. Dia gadis yang cantik dan ramah, membuat Nurani cepat menjadi akrab.

“Sebenarnya aku ingin segera ketemu mas Rian, jam berapa ya mas Rian pulang?”

“Katanya sih agak siang, kalau sudah cukup bahan-bahan yang dibutuhkan. Memangnya kenapa?”

“Aku ingin bilang, bahwa aku ditawarin ikut ujian akhir oleh kepala sekolah aku.”

“Oh ya? Benarkah?”

Nurani mengangguk.

“Mas Rian sudah sering cerita tentang kamu. Katanya kamu pintar. Bagus kalau kamu bisa melewatinya, sehingga bisa segera kuliah nanti.”

“Belum tentu juga lulus. Aku kan hanya mencoba saja.”

“Kamu pasti lulus, aku doakan kamu Nur.”

“Terima kasih.”

“Nanti telpon saja mas Rian, supaya segera mendengar berita menyenangkan ini.”

“Baiklah. Tapi nanti saja kalau dia sudah pulang, takutnya mengganggu.”

***

Waktu begitu cepat berlalu, dan perkiraan semua orang adalah benar. Nurani lulus dalam ujian itu. Membuat pak Candra begitu bahagia.

Malam itu pak Candra mamanggil Nurani. Ia ingin bicara tentang kelanjutan pendidikan untuk Nurani. Pak Candra sudah mempersiapkan semuanya.

“Nur, sekarang katakan pada bapak, kamu mau melanjutkan ke mana. Bapak sudah mempersiapkan semuanya untuk kamu."

Tapi pak Candra heran, melihat Nurani menundukkan wajahnya.

“Jangan bilang kamu tak ingin melanjutkan pendidikan kamu ya,” kata pak Candra.

Nurani diam beberapa saat lamanya, sebelum kemudian mengatakannya dengan tegas.

“Memang benar Pak, lebih baik Nurani tidak melanjutkan kuliah saja.”

Pak Candra terhenyak. Ia menatap tajam anaknya. Sangat kecewa dengan jawabannya.

“Kamu membuat bapak kecewa Nur.”

“Ada yang lebih penting daripada membiayai kuliah Nurani Pak.”

“Apa itu?”

“Operasi plastik untuk Karina.”

***

Besok lagi ya,

 

Friday, December 30, 2022

KANTUNG BERWARNA EMAS 22

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  22

(Tien Kumalasari)

 

Karina panik. Tadi pagi sehabis dandan, dia hanya merasakan gatal sedikit, dia mengira sisa digigit nyamuk atau apa, entahlah, dia menganggapnya tidak serius. Tapi semakin siang, gatal semakin terasa, dan sekarang, sebelah pipinya berbintik-bintik kemerahan, terasa panas dan gatal.

Karina lari ke poliklinik yang memang disediakan di perusahaan itu. Dokter mengatakan hanya alergi. Karina diberinya obat berbentuk kapsul.

“Kalau gatalnya mereda, sehari sekali saja sudah cukup, tapi kalau masih gatal juga, boleh dua kali," pesan sang dokter.

Karina langsung meminumnya. Tapi sampai sore hari menjelang pulang, kemerahan itu tak juga mereda, rasanya semakin panas dan semakin gatal. Tak tahan Karina menggaruknya, sehingga beberapa bagian kemudian menjadi luka lecet.

Kepala bagian Karina yang melihatnya, juga merasa kasihan. Ia menghubungi Andre, karena dianggapnya Andre sangat dekat dengan keluarga Candra. Ia menceritakan keadaan Karina, yang sudah dibawa ke dokter tapi tidak juga mereda.

Andre beranjak ke keruang kerja Karina, melihat gadis itu sedang menangis.

“Ada apa?”

“Lihatlah wajahku. Mengapa menjadi begini ?” isaknya.

Andre terkejut.

“Kalau begitu kita ke rumah sakit saja. Ada dokter kulit yang lebih mengerti tentang penyakit kamu itu. Kamu alergi sesuatu. Tadi makan apa?”

“Aku bahkan belum makan sedikitpun sejak siang. Kemarin hanya makan daging dan sup, beli di warung.”

“Ya sudah, ayo ke rumah sakit saja, di dekat sini ada rumah sakit. Kita cari dokter kulit."

Karina menurut. Sore itu juga ia mengajak Karina ke rumah sakit. Tapi celakanya, dokter kulit baru akan praktek jam tujuh malam.

Karina terus menerus menangis, membuat Andre kebingungan. Lalu dia menelpon Rian.

“Ada apa Mas? Ini aku dalam perjalanan ke rumah sakit.”

“Karina sakit.”

“Sakit apa?”

"Separuh wajahnya kemerahan, katanya panas dan gatal. Sudah dibawa ke dokter di poliklinik perusahaan, tapi tidak mereda, semakin parah. Lalu aku membawanya ke rumah sakit."

"Rumah sakit mana?"

"Yang dekat dengan kantor. Dokter kulit akan praktek nanti jam tujuh malam."

“Ada apa dia?”

“Entahlah, sekarang wajahnya luka karena Karina tak tahan untuk tidak menggaruknya.”

“Aku segera ke sana.”

“Kenapa aku ini? Kenapa aku ini?” tangis Karina sangat keras, sehingga menarik perhatian banyak orang, membuat Andre merasa sungkan.

“Jangan menangis, malu dilihat orang.”

“Kamu tidak tahu mas, aku nggak tahan lagi.”

“Bertahanlah, jangan digaruk, lihat, ada yang sampai berdarah. Nanti malah semakin parah.”

“Aku tidak tahan, aku tidak tahan.. 

Andre terpaksa membiarkannya, karena Karina tak lagi bisa mengendalikan diri oleh  rasa panas, dan terlebih gatal yang menyiksanya.

Jam tujuh masih setengah jam lagi. Andre mengajak Karina untuk shalat, tapi Karina menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus menggaruk wajahnya.

Akhirnya Andre berangkat sendiri ke mushala, setelah berpesan agar lukanya jangan terus digaruk.

Karina membanting-banting kakinya.

“Omong saja, enak. Aku ini yang merasakannya. Ya ampuuun, mana dokteeer … mana dokteeeerrr ….”

Ketika Andre sudah kembali, bersama itu pula ia melihat Rian. Ia datang bersama Siswati.

“Ada apa?” tanyanya. Tapi tanpa dijawab Rian sudah tahu apa yang terjadi. Ia merasa ngeri melihat wajah adiknya.

“Itu tadinya kenapa?”

“Nggak tahu. Pagi tadi gatal sedikit, tapi siang tadi mendadak menjadi parah, aku tak tahan lagi. Mengapa dokternya lama sekali?”

“Sabarlah Karin, hanya dokter yang bisa menangani.”

“Ketika dia masuk ke ruangan aku, aku hanya melihat pipi sebelah kiri agak kemerahan, entah bagaimana, kok tiba-tiba sudah separah itu.

Ketika dokter datang, hanya Rian yang menemani masuk. Siswati menunggu di luar, ditemani Andre.

“Eh, kita belum kenalan, saya Andre,” kata Andre sambil mengulurkan tangannya.

“Siswati, “ kata Siswati sambil tersenyum.

“Teman Rian ya?”

“Saya adik kelasnya. Tadi kebetulan mau diajak membezoek Nurani.”

“Oh, sudah kenal Nurani?”

“Kemarin membezoek, sepulang kuliah.”

“Oh.”

Mereka berbincang agak lama, karena Karina rupanya juga ditangani lebih dari penanganan biasa. Rupanya dokter juga menyuntiknya untuk menghilangkan rasa gatal, dan juga mengobati luka-luka di wajahnya.

Begitu keluar, wajah Karina sudah diobati. Tapi ia tak lagi mengeluh gatal.

“Bagaimana kata dokternya?” tanya Andre.

“Dokter hanya mengira alergi yang sangat parah. Belum diketahui penyebabnya. Tadi disuntik, dibersihkan lukanya dan diobati. “

“Syukurlah, semoga segera sembuh.”

“Mas Andre, maukah mengantarkan Karina pulang? Saya bawa motor, kalau saya boncengkan, takut lukanya terkena debu,” pinta Rian.

“Tentu. Biar saya mengantarkannya pulang.”

“Lagi pula saya harus membelikan obatnya juga, supaya bisa segera diminum.”

“Baiklah, sekarang juga saya antarkan Karina.”

***

Bu Candra sangat terkejut melihat keadaan Karina.

Andre yang hanya mengantarkan segera pamit pulang.

“Mengapa buru-buru pulang? Ibu buatkan minum dulu, ya.”

“Terima kasih Bu, saya belum pulang sejak pagi. Semoga Karina cepat sembuh,” kata Andre yang bergegas pergi.

Karina sudah masuk ke dalam kamarnya, berbaring dengan mata sembab. Rasa gatal itu sudah banyak berkurang, tapi sekarang berganti dengan rasa pedih dan nyeri pada wajahnya.

“Sebenarnya kamu kenapa?”

“Ibu, aku capek menjawabnya. Banyak orang bertanya dan aku sudah menceritakan semuanya,” kata Karina tak terkendali.

“Apa maksudmu Karina? Ibu baru melihatmu, dan tidak tahu apa-apa. Mengapa kamu marah?”

“Aku kesal Bu, lelah.”

“Ibu hanya bertanya kenapa. Tiba-tiba parah seperti itu.”

“Aku juga nggak tahu Bu, pagi tadi hanya sedikit gatal, tapi siang harinya parah, panas dan gatal yang Karin rasakan. Untunglah mas Andre sangat perhatian, aku dibawanya ke rumah sakit.”

“Pasti itu karena alergi sesuatu. Tapi kamu kan tidak pernah alergi makanan apapun? Lagipula kemarin kamu juga tidak makan apa-apa yang bisa memicu alergi.”

“Entahlah Bu, semua orang juga sudah menanyakan itu, dan aku tetap tidak tahu jawabnya. Sekarang aku mengantuk Bu. Biarkan aku tidur,” kata Karina.

“Jangan-jangan karena pipi kamu terkena kotoran kucing itu.”

Karina terkejut. Mata yang semula terpejam, dibukanya lebar-lebar.

“Apa? Karena kotoran kucing itu? Memang kemarin yang terkena juga di sebelah sini, yang luka ini. Tapi kan aku langsung mencucinya dengan sabun. Bahkan aku keramas karena takut rambutku juga terkena kotoran itu.”

“Ibu kira itu penyebabnya.”

“Ya ampuun, kenapa kucing itu jahat sekali sama aku?”

“Mana Rian?”

“Tadi bilang mau beli obatnya sekalian.”

***

Ketika Rian datang, Karina menceritakan tentang kotoran kucing itu, membuat Rian terheran-heran.

“Bagaimana bisa ada kotoran kucing di kamar kamu?”

“Bukan hanya di kamar, di atas bantal aku,” sergah Karina kesal.

“Aku sama ibu pernah mencari keberadaan kucing di dalam rumah, tapi tak ada. Kami tak menemukannya. Kalau ketemu sudah pasti aku bunuh dia,” lanjutnya, bengis.

“Ya sudah, ini obatnya di minum dulu, aku harus mengantar teman aku pulang, tapi mau langsung ke rumah sakit dulu. Seharian belum ke rumah sakit. Apa ibu sudah?”

“Ibu tadi arisan sampai jam tiga, baru istirahat sebentar, Karina datang.”

“Karina kan datangnya sudah malam Bu, Bapak pasti bertanya, mengapa ibu tidak menjenguknya.”

“Nanti kalau kamu ke rumah sakit, bilang bahwa ibu menunggui Karina yang juga sedang sakit.”

Rian tak menjawab, tapi sebelum pergi, dia mengatakan sesuatu.

“Nanti setelah pulang, Rian mau bicara sama ibu.”

Lalu Rian berlalu, mengantarkan Siswati yang menungguinya sejak pulang kuliah. Bu Candra hanya mengawasi gadis teman Rian, dari dalam rumah, karena Rian tidak sempat memperkenalkannya.

***

Nurani terkejut ketika Rian mengatakan tentang penyakit Karina.

“Ibu mengira karena semalam sebelah pipinya terkena kotoran kucing,” kata Rian.

Nurani terhenyak. Lagi-lagi kucing … kucing dan kucing … Mengapa tiba-tiba banyak cerita tentang kucing? Tiba-tiba dia teringat,  almarhumah ibunya dulu punya piaraan kucing berbulu emas dan sangat disayangi, serta sangat menyayanginya. Tapi kan sudah puluhan tahun berlalu, dan selama ini tak pernah ada lagi kucing di rumah itu.

Nurani hanya diam, tak mengatakan apa-apa tentang kucing piaraan almarhumah ibunya itu. Toh tak akan ada yang memikirkannya. Cuma saja dia heran ketika tiba-tiba ia mendengar banyak cerita tentang kucing. Bahkan ketika dia jatuh ke jurang, Andre juga melihat kucing di dekatnya.

“Mungkin juga karena kotoran, jadi membawa banyak bibit penyakit,” kata Nurani prihatin.

“Pastinya begitu. Tapi heran juga ya, tiba-tiba ibu sama Karina diganggu kucing. Di rumah sakit, di rumah ….”

“Semoga hanya kucing tetangga. Aku juga pernah,  saat di rumah mendengar suara kucing.”

“Benarkah?”

“Hanya suara kucing. Mungkin kucing tetangga. Namanya kucing, bisa saja main kemana-mana.”

“Semoga tidak mengganggu lagi.”

“Ya.”

“Kamu dapat salam dari Siswati,” kata Rian tiba-tiba.

Siswati lagi? Nurani selalu merasa tak enak mendengar nama itu disebut Rian. Ada rasa cemburu mengganggunya. Eh, cemburu? Apa Nurani mencintai Rian? Tidak juga barangkali. Cemburu, iya … tapi karena takut tidak lagi mendapat perhatian dari kakak tirinya itu. Benarkah begitu? Itu pertanyaan yang selalu menghantui pikiran Nurani.

“Hei, kamu tidak mendengarnya?” tanya Rian karena Nurani tidak menjawabnya.

“Eh, apa?”

“Kamu dapat salam dari Siswati.”

“Oh, wa’alaikum salam,” kata Nurani sambil tersenyum.

“Sedianya tadi mau ikut ke sini, tapi karena aku kemudian mengurus Karina juga, jadi aku langsung mengantarnya pulang. Takut dimarahi orang tuanya karena kemalaman.”

“Tidak apa-apa, jangan merepotkan siapapun.”

“Tidak repot. Siswati suka sama kamu.”

“Oh ya? Terima kasih.”

“Aku mau ke ruang bapak dulu ya, seharian nggak ada yang menjenguk.”

“Tadi siang mas Andre kemari, dan menemui bapak karena ada yang harus dibicarakan.”

“Oh, syukurlah.”

***

Pagi hari itu Rian tidak pergi kuliah pagi. Ia harus bicara dengan ibunya. Ia merasa tak enak setelah ayahnya berbicara panjang lebar tentang sikap ibunya dan Karina terhadap Nurani.

“Ibu mau pergi?”

“Ya, ada urusan, aku titip Karina ya?”

  “Nanti Rian mau ke kampus.”

“Tuh, giliran menjaga adiknya sendiri, kamu keberatan.”

“Bukan keberatan, Karina kan di rumah, beda dengan Nurani. Apalagi bapak juga ada di rumah sakit.”

“Alesan kamu.”

“Ibu jangan pergi dulu, Rian mau bicara.”

“Bicara apa? Mau melamar gadis yang bersama kamu semalam?”

“Ibu gimana sih, itu teman kuliah Rian. Tepatnya adik kelas. Belum-belum melamar, mau dikasih makan apa nanti?”

“Lalu kamu mau bicara apa?”

“Bapak mengajak bicara Rian. Bapak tahu bahwa ibu sama Karina tidak suka sama Nurani, dan memperlakukan Nurani dengan sangat buruk.”

“Bapakmu itu hanya mengada-ada. Saking sayangnya sama Nurani, lalu menuduh orang lain berlaku buruk sama dia.”

“Bapak bukan anak kecil. Pasti bapak mengatakannya dengan pertimbangan. Ibu jangan marah, sebagai ayah, bapak memperlakukan kita dengan sangat baik. Melindungi kita, memberikan kehidupan yang layak, mengasihi Rian dan Karina seperti anak kandung sendiri.”

Bu Candra mencibir.

“Ibu, Rian mengatakan ini, karena yang dibicarakan bapak adalah ibuku, ibu kandung aku.”

“Lalu maksudmu apa?”

“Bapak ingin agar kita memperlakukan Nurani dengan baik.”

“Dia itu hanya manja.”

“Itu tidak mungkin. Nurani tidak pernah manja. Dia bahkan tidak pernah meminta sesuatu. Ketika Karina minta dibelikan ponsel, Nurani sama sekali tak menginginkannya. Ketika Karina minta sesuatu, Nurani tak pernah ikutan memintanya.”

Bu Candra tak menjawab. Itu memang benar. Tapi namanya rasa benci dan dengki, tak mudah menghilangkannya. Apalagi kalau diiringi rasa ingin mendapatkan lebih, sampai-sampai lupa siapa dirinya sebenarnya.

“Baiklah Bu, Rian hanya ingin mengingatkan itu. Sebaiknya ibu merubah perangai buruk itu, Nurani adalah adiknya Rian juga,” kata Rian sambil berdiri.

“Hei, kamu mau ke mana?”

“Ke kampus Bu.”

“Ibu kan minta supaya kamu menjaga Karina?”

“Rian harus ke kampus, banyak yang harus Rian kerjakan,” katanya sambil menjauh.

Bu Candra kesal. Bukan hanya karena diberi tahu Rian tentang perasaan suaminya, tapi juga karena dia tidak akan bisa pergi karena Karina tak mau ditinggal sendiri.

***

Hari terus berlalu, pak Candra dan Nurani sudah pulang ke rumah, karena memang sudah sehat benar. Nurani juga sudah harus masuk sekolah. Tapi apa yang selalu dijalani sebelumnya, masih dilakukannya tanpa beban.

Berkali-kali ayahnya melarang supaya jangan  terlalu banyak mengurusi rumah, tapi Nurani tak mau mendengarkan. Nurani sudah terlatih menjalani kehidupannya dengan selalu bekerja, demi keluarganya, dan sekarang ditambah kewajibannya untuk memikirkan pelajaran sekolahnya.

Berhari-hari tidak masuk bekerja, Karina masih menunggu agar bekas luka diwajahnya bisa pulih. Tapi saat terakhir periksa, dokter mengatakan bahwa bekas luka itu akan menyebabkan wajahnya menjadi bopeng. Aduhai.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Thursday, December 29, 2022

KANTUNG BERWARNA EMAS 21

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  21

(Tien Kumalasari)

 

Bu Candra membalikkan tubuhnya, setelah melihat bercak kecoklatan di bantal Karina. Ia duduk sambil masih menutup mulut dan hidungnya, sementara di kamar mandi belakang, Karina membersihkan dirinya sambil berteriak-teriak memaki entah pada siapa.

Bu Candra tak habis pikir. Di rumah sakit dia dilukai seekor kucing, di rumah, kucing itu membuang kotoran di bantal Karina.

“Ada apa ini? Kucing itu seperti mengikuti aku, dari rumah sakit sampai ke rumah. Bagaimana cara dia masuk ke rumah dan aku tidak bisa melihatnya? Tiba-tiba saja ada. Tapi kenapa? Kenapa kucing itu mengikuti aku dan menyakiti bahkan membuat kacau rumah ini, sementara tak ada orang kecuali aku dan Karin?”

Bu Candra berdiri, mencari-cari di sekitar rumah, barangkali kucing itu masih ada disana. Ia melongok ke kolong dengan membawa senter, di balik almari, di bawah meja, di dapur dan setiap sudut yang kira-kira bisa dipakai sembunyi kucing itu. Tapi tak ada. Kucing itu barangkali seekor binatang sakti yang memiliki aji panglimunan. Bisa tak kasatmata setelah membuat onar.

Bu Candra kecapekan mencari, lalu kembali duduk di ruang tengah dengan rasa kesal yang sudah mencapai ubun-ubunnya.

Sementara itu Karina sudah keluar dari kamar mandi, hanya membalut tubuhnya dengan handuk, mulutnya masih menceracau memaki-maki.

“Bu, tolong ambilkan baju Karina dong.”

“Di mana, apa kamu tak bisa mengambilnya sendiri?”

“Ya di dalam kamar Karina dong Bu, tolonglah.”

“Nggak mau, aku sudah masuk dan kamarmu sungguh berbau busuk.”

“Lalu bagaimana Bu?” kata Karina sambil membanting-banting kakinya.

“Ambil baju ibu saja, di kamar ibu.”

“Kebesaran dong Bu, ibu kan gemuk.”

“Terserah kamu mau atau tidak. Kalau tidak mau ya sudah, pakai handuk itu saja terus sepanjang malam.”

Karina terpaksa menurut. Ia masuk ke kamar ibunya dan mengambil salah satu baju rumahan, yang walaupun tampak kedodoran tapi dipakainya juga.

“Bagaimana sekarang Bu? Aku nggak bisa tidur dong.”

“Ya bersihkan dulu, kalau mau tidur.”

“Tolonglah Bu, masa sih Karina harus membersihkan kotoran kucing? Nggak mau dong Bu.”

“Mau bagaimana lagi, itu kan kamar kamu?”

“Ya ampun, di mana ada kucing di rumah ini? Mari kita cari Bu, kita bunuh saja kalau ketemu, karena dia selalu mengganggu kita. Jangan-jangan yang mengobrak-abrik rumah kita dua hari yang lalu juga kucing itu.” Geram Karina.

“Wah, kalau itu tak mungkin. Bagaimana bisa kucing melakukannya?”

“Sekarang tolonglah dulu kamar Karina Bu, sungguh Karina tak sanggup melakukannya.”

“Kalau begitu kamu tidur di sofa saja.”

“Jangan dong Bu, aku mau tidur sama ibu saja, di kamar ibu.”

“Bagaimana dengan kamar kamu? Masa dibiarkan begitu saja? Menunggu Nurani pulang?”

“Ibu, tolonglah mencari orang di sekitar sini, barangkali ada yang mau membantu membersihkan kamar Karina. Karina berikan deh seprei berikut sarung bantal gulingnya untuk dia. Nggak mau lagi Karina memakainya.”

“Ya coba besok ibu cari. Sekarang lebih baik kita tidur, malam sudah semakin larut.”

***

Karina tidur di kamar ibunya, karena segan membersihkan kamarnya yang kotor dan berbau. Mereka tak banyak bicara karena sudah sangat lelah dan tentu saja mengantuk.

Tiba-tiba terdengar suara aneh dari atas kamar mereka.

“Bu, suara apa itu?” tanya Karina berbisik, lalu tidurnya bergeser, merapat kepada ibunya.

“Entahlah, aku juga baru mendengarnya. Seperti orang berjalan di atas atap rumah kita,”

“Apa? Jangan-jangan maling.”

“Ya ampun, kamu agak ke sana, ibu sampai nggak bisa napas nih,” kata bu Candra sambil mendorong tubuh Karina.

“Bu, aku takut. Bagaimana kalau itu maling mau menyatroni rumah kita?”

“Jangan-jangan yang mengobrak abrik rumah kita waktu itu.”

“Ya ampun, apa dia mau melakukannya lagi?”

“Telpon Rian, suruh dia pulang. Kita hanya berdua, perempuan pula. Bagaimana kalau dia penjahat yang kemarin masuk dan megobrak abrik rumah kita?”

“Ibu saja yang telpon. Ponsel Karina tertinggal di kamar.”

“Ponsel ibu tertinggal di ruang tengah.”

“Ambil dong Bu.”

“Kamu saja yang ambil, ibu takut.”

“Karina juga takut.”

Lalu semuanya sepi, tak terdengar suara apapun.

“Dia sudah pergi,” bisik Karina.

“Jangan-jangan sudah masuk ke dalam rumah,” kata bu Candra ketakutan.

“Ya ampun Bu, kita harus mencari pertolongan.”

“Satu-satunya jalan adalah mengambil ponsel kita. Ponsel kamu, atau ponsel ibu.”

“Ponsel Karina tertinggal di kamar, Bu. Ibu ambil ponsel ibu saja.”

“Coba kamu yang ambil.”

“Takut Bu, kalau tiba-tiba dia sudah ada di dalam rumah, lalu tiba-tiba juga dia mencekik Karina, bagaimana?”

“Ya ampun, kamu nih, anak muda, penakut amat.”

“Kalau begitu ayo kita ambil bersama-sama.”

Senyap seperti menghimpit perasaan mereka. Ketika kemudian terdengar dentang jam, mereka baru tahu bahwa sekarang adalah jam dua pagi.

“Baru jam dua.”

“Ayo cepat bangun, katanya mau diambil berdua. Hanya ponsel itu satu-satunya yang bisa menolong kita. Menyuruh Rian segera pulang karena ada penjahat menyatroni rumah ini.”

“Ayo, ibu bangun dulu dong.”

Karena sama-sama takut, keduanya hanya dorong mendorong dari atas ranjang, minta yang lain agar turun terlebih dulu. Akhirnya bu Candra mengalah. Ia turun lebih dulu, lalu menarik tangan Karina.

Keduanya berjingkat ke arah pintu, lalu bu Candra membukanya perlahan.

“Tak ada suara apapun.”

“Cepat Ibu ambil ponselnya,” bisik Karina sambil mendorong ibunya.

Bu Candra menoleh ke arah kiri dan kanan. Semuanya tampak remang, karena mereka selalu mematikan lampu setiap kali hendak tidur.

“Cepat Bu, kita butuh mas Rian sekarang.”

“Kamu kenapa sih, cepat … cepat … Kita sama-sama takut. Kalau kamu mau, ayo kita mengambilnya bareng-bareng,” kata bu Candra sambil menarik tangan anaknya.

Mereka melangkah perlahan, lalu tiba-tiba terdengar seperti suara pintu berderit.

Karina merangkul ibunya erat-erat.

“Karina, ibu nggak bisa napas, tahu.”

“Itu suara apa? Seperti pintu terbuka, dari arah belakang. Penjahat itu masuk lewat pintu belakang. Lebih baik kita sembunyi,” gemetar suara Karina ketakutan.

“Aneh. Di rumah kita, tak ada pintu yang mengeluarkan suara berderit saat dibuka atau ditutup,” kata bu Candra yang kemudian ikut gemetar.

“Bu, lebih baik raih tombol lampu, supaya terang. Ini gelap, Karina takut.

“Kalau lampunya terang, kita bisa terlihat, bodoh!”

“Aduh, sekarang cepat ke arah ruang tengah, di mana ibu meletakkan ponsel Ibu?”

“Ya di atas meja. Cobalah tenang, kita sudah memasuki ruang tengah.”

Ruang tengah pun tampak remang, keduanya tak ada yang berani menyalakan lampu. Tapi bu Candra melihat ponselnya, tergeletak di atas meja.

“Itu dia ponsel ibu.”

Bu Candra merasa lega ketika berhasil meraih ponselnya. Ia segera menyalakannya, lalu mencari nomor kontak Rian.

“Aduh, kok nggak bisa sih?” keluh bu Candra sambil menoleh ke kiri dan ke kanan.

“Nggak bisa bagaimana? Mana, biar Karin saja.”

Bu Candra menyerahkan ponselnya.

“Lhoh, kok bisa nggak ada sinyal?”

“Nggak bisa ya?”

“Nggak bisa Bu, aduh … ada apa ini?”

Lalu derit pintu terdengar lagi, kali ini di sertai suara hentakan pintu.

Karina dan bu Candra lari ke dalam kamar, lalu menguncinya dari dalam. Napas mereka terengah, lalu bersama-sama melompat ke atas ranjang.

Bu Candra menarik selimut, sampai hampir menutupi seluruh tubuhnya. Karina ikut masuk ke dalam selimut itu, merangkul ibunya erat-erat.

***

Ternyata mereka tak bisa tidur sama sekali. Begitu tampak cahaya terang dari jendela, bu Candra segera bangun dan keluar dari kamar. Hari memang sudah pagi. Yang pertama ingin dilakukan bu Candra adalah mencari orang yang bersedia membersihkan kamar, sekaligus rumahnya.

Ketika Karina mengikutinya keluar, ia lebih dulu  mengajaknya ke belakang. Tak ada pintu terbuka. Mereka mencoba membuka dan menutup semua pintu, tak ada suara derit yang terdengar.

“Lalu suara apa semalam itu?”

“Entahlah, ayo kita ke depan, mencari orang terlebih dulu.”

Begitu mereka membuka pagar, dilihatnya seorang tukang sampah mendorong gerobak. Bu Candra memanggilnya.

“Pak, pak … mau minta tolong Pak.”

“Ada apa ya Bu.”

“Maukah sampeyan membersihkan rumah saya?”

“Tapi saya sedang mengambil sampah-sampah di setiap keluarga Bu.”

“Tolonglah Pak, nanti saya beri uang banyak.”

“Sebenarnya ada apa Bu?”

Lalu bu Candra menceritakan bahwa ada kucing membuang kotoran di atas bantal anaknya.

“Hanya membersihkan saja. Buang saja berikut seprei dan sarung bantalnya, ambil saja sama Bapak. Nanti saya beri uang banyak. Pokoknya kamar saya bersih Pak,” kata Karina setengah memaksa.

Akhirnya si tukang sampah bersedia melakukannya, dengan iming-iming uang yang lumayan banyak.

***

Hari sudah semakin siang ketika kamar Karina selesai dibereskan. Ia menghabiskan sebotol pewangi untuk menghilangkan bau tak sedap dari dalam kamarnya.

Baru saja bisa bernapas lega, dering ponsel Karina terdengar menggelitik telinganya. Dari atasannya. Karina enggan mengangkatnya. Paling mengingatkan agar dia di suruh masuk. Karina malah menelpon Andre.

“Ya, Karin, ada apa? Kamu masih di rumah? Tuh, atasan kamu sudah mencari-cari kamu, katanya menelpon kamu tapi kamu tidak mengangkatnya.”

“Iya Mas, kan harusnya dia tahu kalau bapak lagi sakit. Aku masih ngantuk sebenarnya.”

“Kamu tidur di rumah sakit?”

“Iya,” bohongnya.

“Ya sudah, segera ke kantor, banyak pekerjaan nih.”

“Bisakah aku di jemput?”

“Siapa yang akan menjemput? Aku sedang sibuk.”

“Sopir kantor saja kalau begitu.”

“Tidak ada. Dia sedang mengantar manager keuangan ke bank.”

“Aduh.”

Andre menutup ponselnya dengan kesal.

“Hiih, jahat semua sih,” omelnya sambil menggaruk-garuk pipinya, yang entah kenapa terasa gatal.

“Ada apa?” tanya ibunya.

“Nggak ada yang mau menjemput, Ibu antar ya?”

“Nggak bisa, ibu belum mandi, nanti mau arisan juga. Panggil taksi saja, sana.”

Karina membanting kakinya.

***

Saat istirahat siang, Karina memasuki ruang Andre.

“Ngapain ke sini? Nggak makan?”

“Aku sebenarnya ngantuk sekali, semalam nggak bisa tidur.”

“Tidur di rumah sakit memang nggak nyaman.”

“Tidak, aku bohong. Sebenarnya aku sama ibu tidur di rumah.”

“Kenapa bohong?”

“Ceritanya panjang. Semalam rumah disatroni penjahat.”

“Apa?”

“Mas Rian nggak ada, di rumah cuma ada aku dan ibu. Pertama, ketika aku mau tidur, ternyata ada kotoran kucing di bantal aku.”

“Apa? Kotoran kucing? Ini bohong lagi kan?”

“Sungguh. Aku tidak tahu dari mana asalnya kucing itu, tiba-tiba sudah ada kotoran di sana. Setelah itu, seperti ada orang mau masuk ke rumah. Aku mencoba menelpon mas Rian supaya dia pulang, aneh, nggak ada sinyal.”

“Masa sih?”

“Kejadian semalam sungguh membuat aku ketakutan, semalaman nggak bisa tidur.”

“Di rumah ada kucing?”

“Kami tak pernah memelihara kucing. Heran, tiba-tiba ada kucing. Waktu ibu di rumah sakit kemarin, juga ditubruk kucing, sampai luka.”

Andre tiba-tiba teringat kucing yang menjadi penolong sehingga Nurani bisa ditemukan. Ada misteri tentang kucing, yang dirasakannya aneh.

“Ya sudah, saya mau istirahat, kalau kamu mau makan, makan di kantin saja,” kata Andre yang kemudian berdiri, seperti enggan kalau Karina mengikutinya.

“Mas, aku ikut ya.”

“Aku mau ke rumah sakit, melihat bapak dan Nurani.”

“Aku ikut.”

“Tidak bisa, mungkin aku akan lama, karena mau meminta tanda tangan bapak juga. Itupun kalau Bapak sudah lebih baik.”

Karina diam dan merasa kecewa. Ketika ia berdiri dari atas sofa yang semula ia duduki, Andre sudah tak kelihatan batang hidungnya.

“Sombong,” umpatnya sambil beranjak keluar dari ruangan.

Tapi kerika Karina keluar dari ruangan, ia merasa pipinya terasa panas dan sedikit gatal. Ia menggaruknya, dan terkejut ketika banyak bintik-bintik di sana.

“Ini kan yang semalam kena kotoran kucing sial itu? Ya ampun, mengapa jadi begini?”

Ketika ia berpapasan dengan salah seorang karyawan, karyawan itu berteriak sambil menuding ke arah wajah Karina.

“Ya ampun, pipi kamu kenapa?”

Setengah berlari Karina menuju ke ruangannya, lalu mengambil kaca dari dalam tas nya. Tersentak dia melihat wajah yang semula mulus tiba-tiba tampak seperti penuh bisul kecil-kecil. Terasa panas dan gatal. Karina kebingungan.

***

Besok lagi ya.

 

Wednesday, December 28, 2022

KANTUNG BERWARNA EMAS 20

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  20

(Tien Kumalasari)

 

Nurani mencoba menata batinnya, yang entah kenapa terasa sangat terasa sesak di dadanya. Ia bingung akan apa yang terjadi. Bukankah tadi berharap Rian segera datang? Mengapa begitu datang justru perasaannya menjadi tidak enak?

“Nur, apa kabarmu hari ini?”

Nurani tersenyum. Senyum yang disukai Rian, maupun Andre. Senyum dengan gingsul yang sedikit menonjol.

“Oh ya, kenalkan, ini teman aku, Siswati,” kata Rian memperkenalkan temannya.

Gadis bernama Siswati itu  meletakkan parsel buah yang dibawanya ke atas meja, lalu mengulurkan tangannya, sambil tersenyum manis, dan menyebutkan namanya, dibalas dengan perlakuan yang sama oleh Nurani.

“Apa kabar, Nurani?”

“Baik Mbak,” jawabnya ramah. Ada gemuruh di dadanya ketika melihat cara Rian menatap Siswati.

“Mas Andre sudah pulang?”

“Sudah. Lama dia di sini, menunggu mas Rian.”

“Iya, aku sudah bilang. Kasihan, dia pasti capek. Aku suruh dia pulang karena aku sudah dalam perjalanan kemari.

Nurani mengangguk. Ia melirik sedikit ke arah Siswati. Alangkah cantiknya gadis ini. Kalau tersenyum, ada dekik di pipi bawahnya. Di mana mas Rian mendapatkannya? Pikir Nurani.

“Siswati ini, adik kelas aku. Maksudnya, satu tingkat di bawah aku,” Rian menerangkan.

O, satu tingkat di bawahnya. Begitu dekat dengan seorang adik kelas, pasti karena ada hubungan yang istimewa. Sebenarnya mereka pasangan yang cocok. Rian ganteng, dan Siswati cantik. Nurani berusaha bisa menerima sebuah kenyataan, bagaimanapun pahitnya. Pahit? Mengapa pahit? Bukankah kebahagiaan Rian harusnya menjadi kebahagiaannya juga? Nurani memarahi dirinya sendiri. Ia merasa buruk dan jahat. Ada apa dengan hatinya?

“Nur, kamu baik-baik saja?”

“Baik kok.”

Tiba-tiba Nurani merasa hampir kehilangan kakak lelakinya. Tiba-tiba Nurani merasa tak akan lagi punya teman yang selalu melindungi dan menjaganya. Kalau dia sedih, kalau dia teraniaya, siapa yang akan membelanya? Siapa yang akan membantunya mencuci piring walau dia melarangnya?  Wajah Nurani yang tiba-tiba sendu, tertangkap oleh Rian yang selalu memperhatikannya.

“Kamu baik-baik saja?”

Nurani menampakkan senyuman tipis di bibirnya.

“Mengapa bertanya tentang itu terus?”

“Kamu seperti orang kesakitan. Mana yang terasa sakit?”

Aduhai, kelihatan ya kalau aku kesakitan? Senyuman Nurani melebar. Ada perasaan enggan dikira kesakitan. Tidak, aku tidak akan kesakitan, bukankah aku Nurani yang kuat?

“Nah, itu senyum yang aku sukai,” seloroh Rian. Siswati tak berkomentar. Ia belum begitu mengenal Nurani, tapi dia tahu bahwa Nurani gadis yang baik. Rian sudah sering bercerita tentang kebaikannya.

Nurani menutup mulutnya dengan kedua tangan, seperti kebiasaannya selama ini.

“Tuh, kenapa sih ditutupi?”

“Aku tadi sudah menelpon Bapak,” kata Nurani mengalihkan pembicaraan.

“Oh ya, mana ponsel baru kamu?”

Nurani menunjukkan ponselnya.

“Wah, ini ponsel mahal, mana kuat aku beli yang seperti ini.”

“Entah mengapa, semua orang repot memberikan aku ponsel,” kata Nurani.

“Lhoh, ini kan perlu untuk berkomunikasi. Nomor baru ya? Aku belum punya.”

“Aku sudah punya nomor Mas, nanti aku miscall.”

“Rupanya mas Andre juga perhatian sama kamu.”

Wajah Nurani meredup. Tampaknya Rian suka kedekatan Andre dengan dirinya.

“Dia laki-laki yang baik.”

Nurani hanya mengangguk.

Tapi kemudian Rian berpamitan.

“Nur, aku antarkan Sis pulang dulu ya, nanti aku kembali lagi kemari, menemani kamu sampai pagi.”

Nurani menatap Siswati, yang menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

“Mas membuat mbak Sis jadi repot.”

“Tidak repot kok. Kebetulan kami pulang bareng, lalu mas Rian mengajak membezoek adiknya,” kata Sis.

Ternyata Siswati juga punya suara merdu. Itu yang dirasakan Nurani ketika mendengar perkataannya.

“Ya sudah, aku pergi dulu. Eh ya, tapi aku pulang mandi dulu juga, dan ganti baju. Nanti kamu teriak bahwa tubuhku bau asem seperti biasanya.”

“Iya, mandi yang wangi ya. Tapi lebih baik Mas nungguin bapak saja, aku sendirian tidak apa-apa kok.”

“Nanti gantian, aku bisa ke sana dan kemari. Atau kalau ibu mau, biarlah ibu tidur di rumah sakit, untuk menemani bapak.”

Nurani mengangguk, lalu Rian melangkah keluar, diikuti Siswati.

“Mas Rian tidak pernah bercerita tentang seorang adik kelas yang begitu cantik dan menarik, tiba-tiba saja diajaknya datang menemui aku. Ah, sudahlah, aku tak boleh berpikir yang tidak-tidak. Bukankah mas Rian mengatakan bahwa dia temannya?” gumam Nurani, lalu ia terkejut ketika perawat datang untuk membersihkan tubuhnya dan menggantikan bajunya.

***

Rian kesal, ketika sampai di rumah, ibunya sedang bersantai bersama Karina di ruang tengah.

“Ibu tidak ke rumah sakit?”

“Tadi ibu sudah kesana.”

“Nanti Karina menemani bapak di rumah sakit ya,” katanya kemudian kepada Karina.

“Aku? Bukankah besok aku harus bekerja? Kalau aku tidur di rumah sakit, bisa kesiangan ke tempat kerja.

“Kalau begitu Ibu saja,” katanya kemudian kepada ibunya.

“Kamu itu ya, menyuruh-nyuruh Karina dan ibu. Kami kan perempuan, kamu sendiri kenapa tidak?”

“Rian menemani Nurani, Bu.”

“Apa? Mengapa dia harus ditemani? Dia baik-baik saja kan?”

“Namanya di rumah sakit, masa dibiarkan sendirian. Kalau dia membutuhkan apa-apa, bagaimana?”

“Di sana kan ada dokter, ada perawat. Kalau bapak beda, bapak sudah tua, pasti butuh teman. Jadi sebaiknya kamu menemani bapak, bukan Nurani,” sergah ibunya.

Rian tak menjawab. Ia langsung masuk ke kamarnya. Agak kesal dengan sikap ibu dan adiknya, yang seakan kurang perhatian terhadap keluarga.

Akhirnya daripada berdebat yang tak akan pernah sampai pada ujungnya, Rian mengalah. Ia akan ke rumah sakit, untuk ayahnya dan untuk Nurani.  

***

Tapi malam itu, saat Rian kembali menemani Nurani di rumah sakit, Nurani segera mencecar Rian, tentang siapa sebenarnya Siswati.

Rian tertawa mendengar pertanyaan itu.

“Nur, bukankah aku sudah mengatakan bahwa dia adalah teman?”

“Adik kelas, jadi teman, pasti ada yang istimewa.”

“Apa sebenarya yang kamu pikirkan?”

“Aku kan justru tanya sama Mas Rian?”

“Jawabannya adalah teman.”

“Dia cantik, bukan?”

“Ya, dia sangat cantik.”

“Dan ramah, dan baik.”

“Ramah dan baik, benar. Itu sebabnya kami berteman. Dia sering bertanya tentang mata kuliah, dan berbincang tentang banyak hal.”

"Nurani mengerti."

“Kamu mencurigai sesuatu? Kami pacaran, misalnya?”

Nurani tersenyum tipis. Malu dong mengakui bahwa dia mencurigai atau menuduh Rian pacaran sama Siswati.

“Tidak Nur, kami masih kuliah. Belum berani pacaran.”

“Memangnya kalau lagi kuliah nggak boleh pacaran?”

“Siapa yang bilang nggak boleh? Aku yang belum berani pacaran.”

“Kalau pacar seperti mbak Sis itu, pasti menyenangkan.”

“Kenapa? Karena dia cantik? Orang jatuh cinta itu tidak hanya karena dia cantik.”

“Karena apa dong.”

“Hish, kamu masih SMA nggak boleh dulu bicara tentang cinta.”

Nurani cemberut, tapi Rian terkekeh karenanya.

“Mas ke kamar bapak sana saja, aku sendiri tidak apa-apa kok. Nggak enak sama bapak. Yang tua tidak dijaga, aku yang tidak apa-apa malah dijaga.”

“Nanti aku pasti ke kamar bapak. Masa sih aku tega sama bapak? Tapi kan aku harus tahu keadaanmu lebih dulu.”

“Sebenarnya aku baik-baik saja. Ingin segera pulang.”

“Dokter tidak akan mengijinkan. Bapak juga minta sama dokter agar kamu dirawat sampai benar-benar sembuh. Lihat, luka kamu itu masih mengeluarkan darah bukan?”

“Mana? Sudah tidak, kok.”

“Tapi luka itu lumayan dalam. Kamu tidak boleh semau kamu sendiri. Sekarang aku mau ke ruang bapak ya,” kata Rian sambil berdiri.

“Kalau ada apa-apa, telpon aku," lanjutnya.

“Iya, baiklah.”

Tapi pernyataan Rian bahwa Sis adalah teman biasa, tidak sepenuhnya dipercaya oleh Nurani. Ia melihat bagaimana Rian menatap Sis. Itu tidak biasa. Lalu dia ingat bagaimana Andre menatapnya. Tiba-tiba kepala Nurani terasa berdenyut. Siapa Andre, siapa Rian .. dan mengapa ada perasaan berbeda terhadap keduanya?

***

“Mengapa kamu ada di sini? Nurani sama siapa?” tanya pak Candra.

“Nurani sendirian. Tapi dia yang minta agar saya menemani Bapak.”

“Aku kan tidak apa-apa.”

“Nurani juga bilang begitu.”

Pak Candra tertawa.

“Rian, aku ingin mengatakan sesuatu.”

“Ya Pak?”

“Aku tahu bahwa ibumu dan Karina tidak suka pada Nurani.”

Rian terdiam. Sebenarnya dia tahu akan hal itu. Tapi bu Candra adalah ibunya, dan Karin adalah adiknya.

“Aku minta maaf sama kamu, karena dia adalah ibu dan adikmu.”

“Ya Pak.”

“Aku juga tahu kalau kamu itu berbeda. Terima kasih karena kamu mengasihi Nurani seperti kepada adik kandung kamu sendiri.”

“Terus terang aku katakan, Karina dan Nurani itu berbeda. Nurani sangat lembut dan baik hati, sedangkan Karina punya sifat sebaliknya. Kecuali itu dia malas. Bukan hanya untuk pekerjaan rumah. Di kantor, atasannya juga mengeluh. Hanya saja dia tidak begitu menekan Karina, karena dia tahu bahwa Karina adalah anakku.”

Rian hanya diam dan menundukkan kepala.

“Sebenarnya aku tak ingin membedakan antara kalian semua, tapi ibumu memperlakukan Nurani dengan berbeda. Aku sudah tahu apa yang dia lakukan, karena aku mengamatinya setiap hari. Baru akhir-akhir ini aku tahu.”

“Aku sudah pernah menegur ibumu tentang perlakuannya pada Karina yang tidak mendidik. Tapi tampaknya tak ada perubahan yang tampak. Aku yakin kalaupun kamu yang menegur, tak akan ada perubahan yang akan membuat aku senang. Jadi yang ingin aku lakukan adalah selalu melindungi Nurani.”

Rian mengangguk mengerti.

“Terima kasih kamu telah melakukannya.”

“Saya menganggap Nurani seperti adik saya sendiri.”

“Ya, tentu. Dan kamu tahu Rian, Nurani pernah bilang sama aku, bahwa dia kelak ingin memiliki suami yang baik seperti kamu.”

Sekarang Rian tertawa lebar.

“Itu karena dia menyadari kebaikan yang telah kamu berikan untuk dia, sejak dia masih kecil.”

“Kami selalu kompak Pak.”

“Kamu juga harus mengerti, aku ingin menjodohkan Nurani dengan Andre.”

“Mas Andre sangat baik. Dia akan bisa membahagiakan Nurani. Tapi saya yakin, untuk saat ini Nurani masih akan memikirkan sekolahnya.”

“Ya, aku tahu. Tapi Nurani tidak gampang dipengaruhi. Kamu harus membantu aku.”

“Ya Pak, tentu saja.”

“Kembali tentang ibu dan adikmu, kamu harus ikut mengawasi, jangan sampai mereka menyakiti Nurani.”

“Baiklah.”

“Satu lagi, aku sedang menyelidiki seorang gadis bernama Mamik atau entah siapa aku lupa, itu teman Karina, dan dia penjual obat terlarang.”

“Benarkah?”

“Mungkin bukan narkoba, tapi paling tidak dia pengedar psikotropika.”

“Karina berteman dengan dia? Apa Karina juga melakukannya?”

“Kamu harus mencegahnya. Aku sudah menyuruh orang untuk menyelidiki gadis itu.”

“Bagaimana Bapak tahu?”

“Obat dalam botol yang kamu temukan di depan kamar Karina, termasuk obat golongan psikotropika. Aku sempat mengambilnya dua butir, dan menanyakannya ke apotek.”

“Tapi katanya dia sudah mengembalikan obat itu kepada temannya.”

“Entahlah, kebenaran belum terungkap. Sekarang aku lelah, tampaknya aku kebanyakan bicara.”

Rian terkejut. Ia tidak sadar, ayahnya berbicara banyak dan panjang. Ia berdiri, menyelimutinya dan membiarkannya beristirahat. Memang benar, dia harus berada di kamar ayahnya.

***

Nurani hampir memejamkan matanya, ketika ponselnya berdering. Ia mengangkatnya, dan melihat wajah tampan dengan senyum khasnya, Andre.

“Hallo,” sapanya.

“Selamat malam Nurani,” suara Andre dari seberang.

“Malam Mas, ada apa ya?”

“Bukankah aku sudah minta ijin untuk boleh mengucapkan selamat pagi ataupun malam?”

“Oh, ini kompensasi ponsel ya?”

Andre tertawa.

“Tidak, jangan begitu, aku jadi merasa bersalah.  Aku hanya minta ijin untuk boleh mengucapkannya, bukan kompensasi apapun.”

“Baiklah.”

“Baiklah, sekarang tidurlah, aku sudah lega mendengar suara kamu. Sekali lagi, selamat malam.”

“Selamat malam,” kata Nurani lalu menutup ponselnya.

Nurani memejamkan matanya, masih dengan senyuman tersungging. Suara Andre begitu lembut, dan sedikit lucu.

***

“Ibu tidak ke rumah sakit?” tanya Karina sebelum masuk ke kamarnya.

“Rian sudah ke sana, dan dia ada di kamar bapakmu, aku sudah menelponnya.”

“Ya sudah, aku tidur dulu ya Bu, besok harus masuk kerja. Ibu anterin ya.”

“Eh, kenapa ibu yang harus nganterin? Tilpon saja ke kantor, minta agar sopir menjemput," sergah ibunya yang kemudian juga berdiri untuk masuk ke dalam kamarnya.

Bu Candra membaringkan tubuhnya. Banyak yang harus dipikirkannya. Terutama tentang masa depan Karina. Ia harus berusaha supaya Karina tidak akan kalah oleh Nurani, dalam hal apapun.

Tapi baru saja dia memejamkan matanya, terdengar teriakan dari kamar Karina. Bu Candra bangun, dan bergegas keluar dari kamarnya, menuju ke kamar Karina. Belum juga ia masuk, Karina sudah keluar dari pintu sambil berteriak.

“Ini gila. Ada kotoran kucing di bantal Karina. Lihat, mengenai wajah Karina!” teriaknya sambil lari ke arah kamar mandi belakang.

Bu Candra masuk ke dalam, dan bau busuk menyeruak memenuhi kamar Karina.

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...