Friday, December 30, 2022

KANTUNG BERWARNA EMAS 22

 

KANTUNG BERWARNA EMAS  22

(Tien Kumalasari)

 

Karina panik. Tadi pagi sehabis dandan, dia hanya merasakan gatal sedikit, dia mengira sisa digigit nyamuk atau apa, entahlah, dia menganggapnya tidak serius. Tapi semakin siang, gatal semakin terasa, dan sekarang, sebelah pipinya berbintik-bintik kemerahan, terasa panas dan gatal.

Karina lari ke poliklinik yang memang disediakan di perusahaan itu. Dokter mengatakan hanya alergi. Karina diberinya obat berbentuk kapsul.

“Kalau gatalnya mereda, sehari sekali saja sudah cukup, tapi kalau masih gatal juga, boleh dua kali," pesan sang dokter.

Karina langsung meminumnya. Tapi sampai sore hari menjelang pulang, kemerahan itu tak juga mereda, rasanya semakin panas dan semakin gatal. Tak tahan Karina menggaruknya, sehingga beberapa bagian kemudian menjadi luka lecet.

Kepala bagian Karina yang melihatnya, juga merasa kasihan. Ia menghubungi Andre, karena dianggapnya Andre sangat dekat dengan keluarga Candra. Ia menceritakan keadaan Karina, yang sudah dibawa ke dokter tapi tidak juga mereda.

Andre beranjak ke keruang kerja Karina, melihat gadis itu sedang menangis.

“Ada apa?”

“Lihatlah wajahku. Mengapa menjadi begini ?” isaknya.

Andre terkejut.

“Kalau begitu kita ke rumah sakit saja. Ada dokter kulit yang lebih mengerti tentang penyakit kamu itu. Kamu alergi sesuatu. Tadi makan apa?”

“Aku bahkan belum makan sedikitpun sejak siang. Kemarin hanya makan daging dan sup, beli di warung.”

“Ya sudah, ayo ke rumah sakit saja, di dekat sini ada rumah sakit. Kita cari dokter kulit."

Karina menurut. Sore itu juga ia mengajak Karina ke rumah sakit. Tapi celakanya, dokter kulit baru akan praktek jam tujuh malam.

Karina terus menerus menangis, membuat Andre kebingungan. Lalu dia menelpon Rian.

“Ada apa Mas? Ini aku dalam perjalanan ke rumah sakit.”

“Karina sakit.”

“Sakit apa?”

"Separuh wajahnya kemerahan, katanya panas dan gatal. Sudah dibawa ke dokter di poliklinik perusahaan, tapi tidak mereda, semakin parah. Lalu aku membawanya ke rumah sakit."

"Rumah sakit mana?"

"Yang dekat dengan kantor. Dokter kulit akan praktek nanti jam tujuh malam."

“Ada apa dia?”

“Entahlah, sekarang wajahnya luka karena Karina tak tahan untuk tidak menggaruknya.”

“Aku segera ke sana.”

“Kenapa aku ini? Kenapa aku ini?” tangis Karina sangat keras, sehingga menarik perhatian banyak orang, membuat Andre merasa sungkan.

“Jangan menangis, malu dilihat orang.”

“Kamu tidak tahu mas, aku nggak tahan lagi.”

“Bertahanlah, jangan digaruk, lihat, ada yang sampai berdarah. Nanti malah semakin parah.”

“Aku tidak tahan, aku tidak tahan.. 

Andre terpaksa membiarkannya, karena Karina tak lagi bisa mengendalikan diri oleh  rasa panas, dan terlebih gatal yang menyiksanya.

Jam tujuh masih setengah jam lagi. Andre mengajak Karina untuk shalat, tapi Karina menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus menggaruk wajahnya.

Akhirnya Andre berangkat sendiri ke mushala, setelah berpesan agar lukanya jangan terus digaruk.

Karina membanting-banting kakinya.

“Omong saja, enak. Aku ini yang merasakannya. Ya ampuuun, mana dokteeer … mana dokteeeerrr ….”

Ketika Andre sudah kembali, bersama itu pula ia melihat Rian. Ia datang bersama Siswati.

“Ada apa?” tanyanya. Tapi tanpa dijawab Rian sudah tahu apa yang terjadi. Ia merasa ngeri melihat wajah adiknya.

“Itu tadinya kenapa?”

“Nggak tahu. Pagi tadi gatal sedikit, tapi siang tadi mendadak menjadi parah, aku tak tahan lagi. Mengapa dokternya lama sekali?”

“Sabarlah Karin, hanya dokter yang bisa menangani.”

“Ketika dia masuk ke ruangan aku, aku hanya melihat pipi sebelah kiri agak kemerahan, entah bagaimana, kok tiba-tiba sudah separah itu.

Ketika dokter datang, hanya Rian yang menemani masuk. Siswati menunggu di luar, ditemani Andre.

“Eh, kita belum kenalan, saya Andre,” kata Andre sambil mengulurkan tangannya.

“Siswati, “ kata Siswati sambil tersenyum.

“Teman Rian ya?”

“Saya adik kelasnya. Tadi kebetulan mau diajak membezoek Nurani.”

“Oh, sudah kenal Nurani?”

“Kemarin membezoek, sepulang kuliah.”

“Oh.”

Mereka berbincang agak lama, karena Karina rupanya juga ditangani lebih dari penanganan biasa. Rupanya dokter juga menyuntiknya untuk menghilangkan rasa gatal, dan juga mengobati luka-luka di wajahnya.

Begitu keluar, wajah Karina sudah diobati. Tapi ia tak lagi mengeluh gatal.

“Bagaimana kata dokternya?” tanya Andre.

“Dokter hanya mengira alergi yang sangat parah. Belum diketahui penyebabnya. Tadi disuntik, dibersihkan lukanya dan diobati. “

“Syukurlah, semoga segera sembuh.”

“Mas Andre, maukah mengantarkan Karina pulang? Saya bawa motor, kalau saya boncengkan, takut lukanya terkena debu,” pinta Rian.

“Tentu. Biar saya mengantarkannya pulang.”

“Lagi pula saya harus membelikan obatnya juga, supaya bisa segera diminum.”

“Baiklah, sekarang juga saya antarkan Karina.”

***

Bu Candra sangat terkejut melihat keadaan Karina.

Andre yang hanya mengantarkan segera pamit pulang.

“Mengapa buru-buru pulang? Ibu buatkan minum dulu, ya.”

“Terima kasih Bu, saya belum pulang sejak pagi. Semoga Karina cepat sembuh,” kata Andre yang bergegas pergi.

Karina sudah masuk ke dalam kamarnya, berbaring dengan mata sembab. Rasa gatal itu sudah banyak berkurang, tapi sekarang berganti dengan rasa pedih dan nyeri pada wajahnya.

“Sebenarnya kamu kenapa?”

“Ibu, aku capek menjawabnya. Banyak orang bertanya dan aku sudah menceritakan semuanya,” kata Karina tak terkendali.

“Apa maksudmu Karina? Ibu baru melihatmu, dan tidak tahu apa-apa. Mengapa kamu marah?”

“Aku kesal Bu, lelah.”

“Ibu hanya bertanya kenapa. Tiba-tiba parah seperti itu.”

“Aku juga nggak tahu Bu, pagi tadi hanya sedikit gatal, tapi siang harinya parah, panas dan gatal yang Karin rasakan. Untunglah mas Andre sangat perhatian, aku dibawanya ke rumah sakit.”

“Pasti itu karena alergi sesuatu. Tapi kamu kan tidak pernah alergi makanan apapun? Lagipula kemarin kamu juga tidak makan apa-apa yang bisa memicu alergi.”

“Entahlah Bu, semua orang juga sudah menanyakan itu, dan aku tetap tidak tahu jawabnya. Sekarang aku mengantuk Bu. Biarkan aku tidur,” kata Karina.

“Jangan-jangan karena pipi kamu terkena kotoran kucing itu.”

Karina terkejut. Mata yang semula terpejam, dibukanya lebar-lebar.

“Apa? Karena kotoran kucing itu? Memang kemarin yang terkena juga di sebelah sini, yang luka ini. Tapi kan aku langsung mencucinya dengan sabun. Bahkan aku keramas karena takut rambutku juga terkena kotoran itu.”

“Ibu kira itu penyebabnya.”

“Ya ampuun, kenapa kucing itu jahat sekali sama aku?”

“Mana Rian?”

“Tadi bilang mau beli obatnya sekalian.”

***

Ketika Rian datang, Karina menceritakan tentang kotoran kucing itu, membuat Rian terheran-heran.

“Bagaimana bisa ada kotoran kucing di kamar kamu?”

“Bukan hanya di kamar, di atas bantal aku,” sergah Karina kesal.

“Aku sama ibu pernah mencari keberadaan kucing di dalam rumah, tapi tak ada. Kami tak menemukannya. Kalau ketemu sudah pasti aku bunuh dia,” lanjutnya, bengis.

“Ya sudah, ini obatnya di minum dulu, aku harus mengantar teman aku pulang, tapi mau langsung ke rumah sakit dulu. Seharian belum ke rumah sakit. Apa ibu sudah?”

“Ibu tadi arisan sampai jam tiga, baru istirahat sebentar, Karina datang.”

“Karina kan datangnya sudah malam Bu, Bapak pasti bertanya, mengapa ibu tidak menjenguknya.”

“Nanti kalau kamu ke rumah sakit, bilang bahwa ibu menunggui Karina yang juga sedang sakit.”

Rian tak menjawab, tapi sebelum pergi, dia mengatakan sesuatu.

“Nanti setelah pulang, Rian mau bicara sama ibu.”

Lalu Rian berlalu, mengantarkan Siswati yang menungguinya sejak pulang kuliah. Bu Candra hanya mengawasi gadis teman Rian, dari dalam rumah, karena Rian tidak sempat memperkenalkannya.

***

Nurani terkejut ketika Rian mengatakan tentang penyakit Karina.

“Ibu mengira karena semalam sebelah pipinya terkena kotoran kucing,” kata Rian.

Nurani terhenyak. Lagi-lagi kucing … kucing dan kucing … Mengapa tiba-tiba banyak cerita tentang kucing? Tiba-tiba dia teringat,  almarhumah ibunya dulu punya piaraan kucing berbulu emas dan sangat disayangi, serta sangat menyayanginya. Tapi kan sudah puluhan tahun berlalu, dan selama ini tak pernah ada lagi kucing di rumah itu.

Nurani hanya diam, tak mengatakan apa-apa tentang kucing piaraan almarhumah ibunya itu. Toh tak akan ada yang memikirkannya. Cuma saja dia heran ketika tiba-tiba ia mendengar banyak cerita tentang kucing. Bahkan ketika dia jatuh ke jurang, Andre juga melihat kucing di dekatnya.

“Mungkin juga karena kotoran, jadi membawa banyak bibit penyakit,” kata Nurani prihatin.

“Pastinya begitu. Tapi heran juga ya, tiba-tiba ibu sama Karina diganggu kucing. Di rumah sakit, di rumah ….”

“Semoga hanya kucing tetangga. Aku juga pernah,  saat di rumah mendengar suara kucing.”

“Benarkah?”

“Hanya suara kucing. Mungkin kucing tetangga. Namanya kucing, bisa saja main kemana-mana.”

“Semoga tidak mengganggu lagi.”

“Ya.”

“Kamu dapat salam dari Siswati,” kata Rian tiba-tiba.

Siswati lagi? Nurani selalu merasa tak enak mendengar nama itu disebut Rian. Ada rasa cemburu mengganggunya. Eh, cemburu? Apa Nurani mencintai Rian? Tidak juga barangkali. Cemburu, iya … tapi karena takut tidak lagi mendapat perhatian dari kakak tirinya itu. Benarkah begitu? Itu pertanyaan yang selalu menghantui pikiran Nurani.

“Hei, kamu tidak mendengarnya?” tanya Rian karena Nurani tidak menjawabnya.

“Eh, apa?”

“Kamu dapat salam dari Siswati.”

“Oh, wa’alaikum salam,” kata Nurani sambil tersenyum.

“Sedianya tadi mau ikut ke sini, tapi karena aku kemudian mengurus Karina juga, jadi aku langsung mengantarnya pulang. Takut dimarahi orang tuanya karena kemalaman.”

“Tidak apa-apa, jangan merepotkan siapapun.”

“Tidak repot. Siswati suka sama kamu.”

“Oh ya? Terima kasih.”

“Aku mau ke ruang bapak dulu ya, seharian nggak ada yang menjenguk.”

“Tadi siang mas Andre kemari, dan menemui bapak karena ada yang harus dibicarakan.”

“Oh, syukurlah.”

***

Pagi hari itu Rian tidak pergi kuliah pagi. Ia harus bicara dengan ibunya. Ia merasa tak enak setelah ayahnya berbicara panjang lebar tentang sikap ibunya dan Karina terhadap Nurani.

“Ibu mau pergi?”

“Ya, ada urusan, aku titip Karina ya?”

  “Nanti Rian mau ke kampus.”

“Tuh, giliran menjaga adiknya sendiri, kamu keberatan.”

“Bukan keberatan, Karina kan di rumah, beda dengan Nurani. Apalagi bapak juga ada di rumah sakit.”

“Alesan kamu.”

“Ibu jangan pergi dulu, Rian mau bicara.”

“Bicara apa? Mau melamar gadis yang bersama kamu semalam?”

“Ibu gimana sih, itu teman kuliah Rian. Tepatnya adik kelas. Belum-belum melamar, mau dikasih makan apa nanti?”

“Lalu kamu mau bicara apa?”

“Bapak mengajak bicara Rian. Bapak tahu bahwa ibu sama Karina tidak suka sama Nurani, dan memperlakukan Nurani dengan sangat buruk.”

“Bapakmu itu hanya mengada-ada. Saking sayangnya sama Nurani, lalu menuduh orang lain berlaku buruk sama dia.”

“Bapak bukan anak kecil. Pasti bapak mengatakannya dengan pertimbangan. Ibu jangan marah, sebagai ayah, bapak memperlakukan kita dengan sangat baik. Melindungi kita, memberikan kehidupan yang layak, mengasihi Rian dan Karina seperti anak kandung sendiri.”

Bu Candra mencibir.

“Ibu, Rian mengatakan ini, karena yang dibicarakan bapak adalah ibuku, ibu kandung aku.”

“Lalu maksudmu apa?”

“Bapak ingin agar kita memperlakukan Nurani dengan baik.”

“Dia itu hanya manja.”

“Itu tidak mungkin. Nurani tidak pernah manja. Dia bahkan tidak pernah meminta sesuatu. Ketika Karina minta dibelikan ponsel, Nurani sama sekali tak menginginkannya. Ketika Karina minta sesuatu, Nurani tak pernah ikutan memintanya.”

Bu Candra tak menjawab. Itu memang benar. Tapi namanya rasa benci dan dengki, tak mudah menghilangkannya. Apalagi kalau diiringi rasa ingin mendapatkan lebih, sampai-sampai lupa siapa dirinya sebenarnya.

“Baiklah Bu, Rian hanya ingin mengingatkan itu. Sebaiknya ibu merubah perangai buruk itu, Nurani adalah adiknya Rian juga,” kata Rian sambil berdiri.

“Hei, kamu mau ke mana?”

“Ke kampus Bu.”

“Ibu kan minta supaya kamu menjaga Karina?”

“Rian harus ke kampus, banyak yang harus Rian kerjakan,” katanya sambil menjauh.

Bu Candra kesal. Bukan hanya karena diberi tahu Rian tentang perasaan suaminya, tapi juga karena dia tidak akan bisa pergi karena Karina tak mau ditinggal sendiri.

***

Hari terus berlalu, pak Candra dan Nurani sudah pulang ke rumah, karena memang sudah sehat benar. Nurani juga sudah harus masuk sekolah. Tapi apa yang selalu dijalani sebelumnya, masih dilakukannya tanpa beban.

Berkali-kali ayahnya melarang supaya jangan  terlalu banyak mengurusi rumah, tapi Nurani tak mau mendengarkan. Nurani sudah terlatih menjalani kehidupannya dengan selalu bekerja, demi keluarganya, dan sekarang ditambah kewajibannya untuk memikirkan pelajaran sekolahnya.

Berhari-hari tidak masuk bekerja, Karina masih menunggu agar bekas luka diwajahnya bisa pulih. Tapi saat terakhir periksa, dokter mengatakan bahwa bekas luka itu akan menyebabkan wajahnya menjadi bopeng. Aduhai.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

55 comments:

  1. Alhamdulillah KaBeE_22 sdh tayang. Matur nuwun bu Tien, salam SEROJA dan tetap ADUHAI

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah yg ditunggu sdh tayang
    Trimakasih bu Tien

    ReplyDelete
  3. Syukron nggih Mbak Tien...🌷🌷🌷🌷🌷
    Ternyata dah buanyak yg ancang-ancang balapan
    Selamat Kakek Habi

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh datang...
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat ....

    ReplyDelete
  5. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah, KANTUNG BERWARNA EMAS (KBE) 22 telah tayang,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah... akhirnya KBE 22 hadir juga...
    Matunuwun Bu Tien, salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah...

    Maturnuwun Bu Tien...
    🙏🙏

    ReplyDelete
  9. 🦋🍃🌸 Alhamdulillah KBE 22 telah hadir. Salam Aduhai Bunda Tien. Semoga sehat selalu dan tetap smangaaats...
    Matur nuwun. 🙏🦋🏵

    ReplyDelete
  10. Alhamdulilah...
    Tks bu da Tien...
    Semoga sehat" selalu ya bunda..
    Salam aduhai dari Sukabumi.. 🙏🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun mbak Tien-ku, Kantung Berwarna Emas sudah tayang.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien

    ReplyDelete

  13. Alhamdulillah KANTUNG BERWARNA EMAS~22 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah Maturnuwun
    Sehat selalu nggih Mbak.

    ReplyDelete
  15. Kucing berbulu kuning emas.. apkh kamu punya kantung berwarna emas utk Nurani??
    Penasaran... tunggu bsk lg..
    Tks bunda Tien.. 🙏🙏🥰

    ReplyDelete
  16. Matur nuwun sugeng dalu sugeng sare,salam dari Tanggamus, Lampung

    ReplyDelete
  17. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu

    ReplyDelete
  18. Waw .. Semakin seeu, terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  19. Matur nuwun, mbak Tien.
    Salam sehat dari kota Kudus.

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah.. Terima kasih bu Tien.
    Semoga sehat selalu.
    Salam *ADUHAI*

    ReplyDelete
  21. Puji Tuhan, Rian sudah menyampaikan perasaan bapaknya tentang bu Chandra dan Karina yg tidak sayang kpd Nurani.
    Semoga menyadarkan bu Chandra dan sedikit demi sedikit ada pertobatan...

    Matur nuwun ibu Tien....

    ReplyDelete
  22. Nuwun bu .baru buka krn luar kota. Kasihan juga Karina wajahnya jadi bopeng..Apakah omongan Rian dan kejadian yg diakibatkan kucing secara bertubi tubi akan menyadarkan Karina dan bu Chandra ? Tunggu saja jawaban bu Tien di episode mendatang

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat selalu Bunda Tien

    ReplyDelete
  24. Karina jadi si buruk rupa, memang suasana hati bisa tampak sampai rona wajah: iner beauty kata orang, ini kerjaan kucing kenapa nggak nongol nongol, dikasih bedak sama kucing, salep tepatnya, herbal lagi; lho jadi kalah donk salepnya pak dokter, ah nggak tau, musthi operasi plastik nich biar agak balikan dikit.
    mbok pakai plastik kresek saja, banyak tuh dipasar wuah aneh², nggak kasihan apa.
    Masih ada untung nich, untungnya Nurani hanya ngumpulin cerita kucing disimpan di angannya, coba kalau kelepasan ngomong apa nggak tambah runyem tuh, halah biasanya juga di share di wa ; nich aku punya cerita kucing, sana bilang dulu sama admin boleh di share tidak.
    Jaré kowé sok ngraupi kucing, åpå; weruh banyu mlayu buanter ngadoh.
    Amirah tersandera nungguin Karina, susah payah Rian memberi saran sama biyungnya dianggap angin lalu.
    Jadi Chandra sering bangun pagi, ngawasin Nurani karena yakin kalau anaknya diperlakukan buruk sama Amirah. Heh duet malah; tuh sama Karina. Anak yang dimanja, anak juragan Chandra wauw, saking bangganya sampai minta diperlakukan istimewa di kantor bapaknya, kadang sok perintah lagi, sama seperti emaknya tiap hari kumpul sama temennya ngehabisin uang saku jatah pemberian dari Chandra, sekedar buat meok sama temen temennya.
    Apa itu meok; ya 'makan enak omong kosong' lah.
    Terus kalau bopeng; tambah nggak pede donk, lebih manja lah, sakit buat alasan.
    Bisa lho nanti pulang sekolah ke kantor dulu, kerumah bareng bapaknya pulang, kan Chandra memastikan kalau Nurani baek baek saja, lagian disuruh nggak ngurusin pekerjaan rumahan nggak mau berhenti, ih semakin setrès tuh Karina.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Kantung berwarna emas yang ke dua puluh dua sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  25. Bopeng ..nah kan Itu org yg iri dah kena balasan nya hahah ..kucing peliharaan ibu Nurani yaa jelmaan yg selalu membantu Nurani terhindar dan enak yaa.terima kasih bu Tien

    ReplyDelete
  26. Alhamdulillah KBE 22 sdh hadir.
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  27. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu. Aamiin 🤲

    ReplyDelete
  28. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien KBE 22nya 🙏🙏

    ReplyDelete
  29. Terimakasih Bu Tien...
    Salam sehat sejahtera..

    ReplyDelete
  30. Aduhai, mbak Tien ... Matur nuwun salam Seroja dan doa utk mbak Tien

    ReplyDelete
  31. Ceritanya mkin Asyiik trs... terima kssih Mbu tien...

    ReplyDelete
  32. Yg busuk mukanya baru Karina itu pertanda hatinya jg busuk.....trims Bu tien

    ReplyDelete
  33. 𝓣𝓮𝓻𝓲𝓶𝓪 𝓴𝓪𝓼𝓲𝓱 𝓜𝓫𝓪𝓴 𝓣𝓲𝓮𝓷...

    ReplyDelete
  34. Nah, selama Karina dan ibunya masih berbuat jahat kepada Nurani, teror masih berlanjut.
    Pahlawannya adalah Kucing berwarna Emas.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  35. Slmt mlm bunda..terima ksih KBE nya..slm sht sll dan slm istrht🙏😍🌹

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...