Thursday, April 30, 2020

KEMBANG TITIPAN 13

KEMBANG TITIPAN  13

(Tien Kumalasari)

 

Timan terus menjalankan mobilnya dengan bingung.

"Ada apa Sri? Itu mobil pak lurah sudah sampai disana, pasti kita ditungguin."

"Jangan mas, aku takut."

"Kenapaa? Sri.. jangan membuat aku  bingung. Ada apa?"

"Ada Basuki disana."

"Apa? Dimana ?"

"Lagi ngomong sama pak lurah.."

"Masa sih? Lalu mengapa kamu takut? Kan ada aku. Biar aku temui dia supaya semuanya menjadi jelas."

Tiba-tiba Timan menghentikan mobilnya  agak ketepi.

"Ya ampun mas, jangan.."

Sri benar-benar ketakutan, wajahnya pucat pasi.

"Sri, kalau benar dia Basuki, aku justru ingin menemui dia. Nggak apa-apa ada aku, kita kembali kesana ya?"

"Demi Tuhan, aku takut mas.."

"Kan ada aku ?"

"Tidak mas, jangan... sungguh aku takut."

"Aku akan menghadapinya Sri, aku tidak takut."

"Tapi aku takut mas... " suara Sri serak, hampir menangis, lalu Timan merasa kasihan.

"Ya sudah, jangan menangis, aku akan kirim pesan singkat ke pak lurah bahwa kita tidak akan kesana."

Timan sebenarnya ingin ketemu Basuki, kalau perlu bicara langsung dan apapun ingin dihadapinya. Tapi melihat keadaan Sri, ia mengalah. Lalu dikirimnya pesan singkat ke pak lurah.

PAK LURAH, MA'AF, SRI TIDAK JADI MENEMUI BAPAKNYA. ADA KEPERLUAN LAIN.

Dan pak lurah yang membaca pesan itu kemudian bisa mengerti, karena tadi dia sempat melihat mobil Timan melintas tanpa ada tanda-tanda mau berhenti.

 

***

 

Basuki mondar mandir didepan kantor polisi itu, lalu kembali kearah pak lurah.

"Mana dia ? Mengapa belum sampai juga?" tanyanya dengan wajah kesal.

"Baru saja dia mengabari, bahwa tak jadi datang kemari."

"Apa? Mengapa nggak jadi?" keras suara Basuki. Seperti kebiasaan dia bicara sama bawahannya, lupa bahwa dihadapannya adalah orang asing, seorang kepala desa  pula.

"Saya tidak tau pak. Mungkin ada keperluan lain, atau ... 

Lurah Mardi seperti sedang berfikir mencari jawaban yang tepat..

"Atau apa?"

"Waktu dia datang kemari untuk yang pertama kali, pak Darmin sangat marah pada Sri. Dinilainya Sri tidak patuh atau bagaimana, pokoknya kedatangan Sri tidak ditanggapi. Mungkin sekarang Sri takut, lalu mengurungkan niyatnya. Kan pak Darmin itu kalau marah nggak perduli apapun.. walau ada banyak orang tetap saja dia teriak-teriak. tanpa mengenal malu. Nah Sri yang malu."

Tampaknya jawaban pak lurah bisa diterima Basuki. Namun ketika Basuki hendak berlalu, lurah Mardi mencegahnya.

"Tunggu pak, saya ingin bicara, bisakah kita masuk sebentar?"

"Dengan siapa Sri pergi? Saya lupa menanyakan." tanya Basuki mengalihkan pembicaraan.

"Dengan temannya."

"Perempuan, atau laki-laki? Mengapa kalian bisa berpisah? Bukankah tadi pak lurah nyamperin kerumah mbahnya, oh.. itukah mbahnya Sri?" kata Basuki sambil menuding kearah mbah Kliwon.

mBah Kliwon tak menjawab. Sebel banget melihat tingkah orang yang sedikitpun tak menaruh hormat kepada orang lain padahal baru dikenalnya.

"Temannya, perempuan, tadi bertemu dijalan lalu dia minta berhenti, dan bilang mau menyusul kemari, ternyata tidak jadi. Tapi sebentar, saya tadi bilang ingin bicara sama pak Basuki kan?Bisakah kita masuk sambil menemui pak Darmin?"

"Tidak, mau bicara apa, langsung disini saja."

"Nggak enak pak, masa dipinggir jalan begini?"

"Tidak apa-apa, siapa bilang nggak enak, ayo bicaralah, aku sedang tergesa-gesa."

"Baiklah, apa boleh buat kalau pak Basuki ingin kita berbicara disini. Begini, waktu saya datang sebelum ini, saya bilang pada pak Darmin,  bahwa ada seorang pemuda yang ingin mengambil isteri anaknya."

"Maksudnya si Sri?"

"Ya, si Sri.."

"Tidak. Tidak mungkin, Sri itu milikku." hardik Basuki dengan wajah merah padam.

"Ya, pak Darmin juga bilang begitu. Dia bilang Sri itu dititipkan oleh pak Basuki, sejak dia masih kecil, dengan imbalan pak Basuki membayar semua hutangnya."

"Itu benar, dan tidak sedikit aku mengeluarkan uang untuk itu."

"Baiklah, bagaimana kalau uang pak Basuki yang telah digunakan untuk membayar hutang pak Darmin itu dikembalikan?"

"Aahaaa... maksudnya dengan begitu Sri harus saya kembalikan?"

"Begitu kira-kira pak."

"Tidak ! Tidak.. dan tidak !!" teriak Basuki sambil mengacungkan jari telunjuknya kearah wajah pak lurah. Lalu Basuki membalikkan tubuhnya dan pergi menuju ke mobilnya. Terdengar deruman keras ketika Basuki memacu mobilnya dan seperti melayang melintasi mobil pak lurah.

"Ya Tuhan, apa dia manusia?" keluh mbah Kliwon menahan amarah.

Lurah Mardi terpaku ditempatnya, belum pernah seseorang bersikap begitu kasar terhadapnya. Kalau menuruti kemauannya ingin dia mengayunkan bogem kewajah ganteng yang tak punya sopan santun itu. Tapi dia seorang kepala desa yang harus bisa menahan emosinya. Ia hanya mengelus dada, sambil menghela nafas panjang.

"Orang yang begitu mau jadi suami cucuku? Darmin benar-benar sudah gila."

"Jadi gimana ini mbah, jadi ketemu pak Darmin tidak?"

"Atau kita minta Sri kemari saja? Tiba-tiba membatalkan niatnya kemari, pasti karena melihat Basuki."

"Tadi dia bilang apa?" 

"Mas Timan yang bilang melalui pesan singkat, katanya Sri nggak jadi kemari karena ada keperluan. Cuma gitu. Tapi saya tadi melihat mobilnya melintas, tidak berhenti. Pasti karena melihat Basuki lalu Sri minta supaya mas Timan tidak berhenti. Coba saya telephone dulu ya."

"Hallo mas Timan," sapa lurah Mardi ketika telephonenya diangkat.

"Hallow pak lurah, disitu masih ada Basuki?"

"Tuh kan, nggak berhenti karena melihat dia ya?"

"Iya, Sri ketakutan sampai menangis tuh."

"Kasihan Sri, tapi dia sudah pergi. Cuma saya tadi sudah sempat bicara sama Basuki."

"So'al uang pengganti itu?"

"Ya, dia menolak mentah-mentah."

"Menolak? Tidak mau seandainya uangnya diganti? Dengan nilai sekarang?"

"Dia marah-marah, maunya bukan uang, tapi Sri."

"Ya ampuun.. lalu bagaimana ini?"

"Mau kesini nggak mas, saya tungguin nih sama mbah Kliwon."

"Ya pak lurah, kalau dia sudah pergi saya mau kesitu, tadi kan Sri ketakutan."

 

***

 

Dan tanpa dinyana, sambutan Darmin siang itu begitu menyenangkan. Ia langsung memeluk Sri dengan air mata yang tak terbendung. Sejagad penyesalan merubungi hatinya, membuat sesak dadanya dan yang kemudian ditumpahkannya dalam isak yang berkepanjangan.

"Mengapa bapak menangis ?" tanya Sri yang tentu saja ikut terisak.

"Bapak merasa sakit. Sakit oleh ulah bapak selama berpuluh tahun. Bergelimang dosa dan maksiat, tak pernah merasa jadi pelindung yang baik bagi anak isteri."

"Ya sudah pak, jangan terlalu tenggelam dalam sesal. Bukankah rasa penyesalan itu adalah nikmat menuju kebaikan? Mari kita jalani semua ini bersama-sama."

"Bapak tak mengira kamu bisa mengatakan semua ini. Sri kecil yang teraniaya karena ulah bapaknya. Ma'afkan bapak, ma'afkan bapak ya nduk."

"Sri sudah mema'afkan sebelum bapak memintanya."

"Bapak, ma'afkan juga saya ya pak," kata Darmin sambil mencium tangan bapak mertuanya."

"Sudah.. sudah, bapak sudah mema'afkannya. Bapak senang kamu menyadari semuanya. Ayo sekarang duduklah, akan bapak perkenalkan ini, nak Timan."

Timan mendekat dan meraih tangan Darmin. Kali itu Darmin tak menolaknya. Ia menepuk punggu punggung Timan dengan hangat.

 "Pak lurah, ma'afkan saya yang selalu berlaku kasar, dan terimakasih atas perhatiannya kepada saya yang banyak dosa ini." kata Darmin yang juga menyalami pak lurah.

"Tidak apa-apa pak Darmin, banyak orang bisa mengakui kesalahan, tapi tak banyak yang menyadarinya. Saya senang pak Darmin bisa menyadarinya."

"Tapi nasib Sri sungguh buruk. Basuki tak mau uangnya dikembalikan. Ia hanya minta Sri, seperti janji saya pada puluhan tahun lalu, ketika Basuki membayar hutang-hutang saya."

"Nanti kita akan mencari jalan terbaik untuk itu, kita akan memikirkannya bersama. Tadi saya ketemu pak Basuki diluar sana."

"Jadi dia belum pergi ?"

"Tadi sudah kesini?'

"Sudah, saya menemuinya sebentar karena bicaranya ngaco tidak karuan. Lalu dia pergi karena saya bilang sedang nggak enak badan. Ternyata dia masih menunggu diluar?"

"Mungkin dia masih berada disekitar, karena tau bahwa Sri akan datang kemari. Begitu saya datang, dia langsung mendekat dan mencari-cari si Sri. Untunglah Sri belum datang."

"Jadi tadi ketemu Sri juga?"

"Tidak, karena Sri yang bersama nak Timan melihat ada Basuki sedang bicara sama saya, kemudian Sri tidak jadi berhenti. Baru setelah Basuki pergi, saya panggil Sri kemari."

"Pak lurah bicara apa sama dia?"

"Tentang keinginan nak Timan akan mengganti uang yang sudah diberikan Basuki kala itu. Tapi dia menolaknya mentah-mentah."

"Tadi dia sudah mengatakannya. Saya jadi bingung pak lurah. Dia terus menuntut agar Sri segera diserahkan."

"Baiklah, nanti hal itu kita bicarakan lagi. Sekarang ada kabar baik sementara, tentang orang yang pak Darmin pukul waktu itu."

"Matikah dia?" tanya Darmin dengan wajah cemas.

"Tidak, justru kabar baik, dia selamat dan mungkin hari ini sudah pulang. Kabar baiknya lagi dia berjanji tidak akan menuntut."

"Berarti saya tidak akan lama lagi ditahan disini?"

"Mungkin tak lama lagi bisa pulang pak."

"Syukurlah, tapi bagaimana dia bisa bilang tidak akan menuntut?"

"Mas Timan membayar semua biaya selama dia dirumah sakit, dan juga memberinya sejumlah uang."

"Ya Tuhan, nak.. perlakuanku terhadapmu tidak baik, tapi kamu melakukan hal yang luar biasa untuk aku, ma'afkan bapak ya nak." kata Darmin sambil memeluk Timan.

"Jangan hal itu difikirkan pak, yang penting bapak selamat, dan Sri juga segera terbebas dari cengkeraman Basuki. Kami sedang mengusahakannya."

"Apakah nak Timan juga yang mau mengganti uang Basuki ?"

"Ya, tapi sementara ini dia masih belum mau menerima."

"Ya Tuhan, mengapa sejak dulu aku tidak bergaul dengan orang-orang baik ini?" kata Darmin yang kembali berlinangan air mata.

 

***

 

"Mas, bagaimana kabarnya Sri ? Mas sudah menelpon kang Mardi tadi kan?"

"Iya, baru saja selesai bicara,  bagaimana kamu, masih mual?"

"Sudah agak berkurang. Tadi kang Mardi bilang apa?"

"Kamu itu lagi sakit masih mikir yang macam-macam, istirahat dulu lah Tri."

"Aku sakit apa? Kata mas aku sakit menyenangkan."

"Iya, tapi kamu muntah-muntah terus."

"Enggak mas, sudah enggak. Aku sekarang ingin tau kabarnya Sri bagaimana. Prihatin aku mas."

"Ya belum sepenuhnya selesai.  Basuki tidak mau uangnya dikembalikan. Dia tetep minta Sri, tidak yang lainnya."

"Kok gitu ya mas, bukankah yang penting uangnya kembali?"

"Dia orang kaya, uang tak ada artinya. Suka atau tidak dia harus mendapatkan Sri,"

"Kalau Sri nggak mau?"

"Jelas nggak mau lah.. dia kan cintanya sama mas Timan."

"Waduh, bisa kacau ya mas... lalu bagaimana caranya melepaskan Sri dari ikatan  yang rumit itu?"

"Kalau aku ya.. larinya ke jalur hukum saja.."

"Bisa ya mas ?"

"Ya bisa lah.."

"Tapi kan perjanjiannya pakai surat.. ditandatangani pula oleh pak Darmin."

"iya, tapi bisalah, itu kan menyangkut tindakan asusila, dan melanggar hak azasi manusia."

"Kalau bisa aku bersyukur mas. Tapi.. aduh mas, aku mau dibeliin rujak dong.."

"Tuh kan.."

"Tapi rujaknya harus yang pakai mangga.."

"Lhah, kan ini lagi nggak musim mangga...?"

"Pokoknya aku mau yang pakai mangga... buruan mas, mau muntah nih..."

Aduh, susah ya ounya isteri ngidam. Bayu baru mengganti bajunya karena sebentar-sebentar memang ia harus ganti baju. Lastri nggak suka bau keringatnya. Kalau berani mendekat dengan tubuh keringatan pasti Lastri mengusirnya. Aduhai..

"Buruan mas.."

"Iya..iya.. aku cari dulu, ini lagi ganti baju nih... Pengin tau deh, kayak apa nakalnya anakku ini nanti.. semoga tidak rewel seperti ibunya," kata Bayu sambil mencium perus isterinya.

"Iih,, aku nggak rewel ya, justru anak mas ini yang rewel," kata Lastri sambil cemberut.

***

Sri dan Timan serta lurah Mardi agak lama ketemuan sama Darmin. Ada bahagia dihati Sri karena bapaknya tak lagi menolak Timan. Mereka malah kelihatan akrab dan cocog satu sama lain.

"Ya sudah, kayaknya sa'atnya pulang ya, sudah kelaman kita disini," ajak lurah Mardi.

"Bapak sabar ya, kami akan mengurus semuanya agar bapak bisa segera pulang," kata Timan sambil menyalami pak Darmin.

"Iya nak, terimakasih banyak atas semuanya, bapak tak akan bisa membalasnya."

"Tak usah difikirkan pak, selalu berdo'a agar semua ini akan segera berakhir baik."

"Ya nak.. ya, terimakasih pak lurah, bapak.. jaga Sri baik-baik ya.."

Darmin melepas kepergian mereka dengan perasaan mengharu biru. Masih ada yang harus difikirkannya, yaitu melepaskan si Sri dari genggaman Basuki. 

"Mas Timan langsung mengantar si Sri atau kembali ke Solo?" tanya pak lurah.

"Biar saya antar sampai kerumah pak. Oh ya, mas Bayu tadi telephone akan mencari lawyer .. kayaknya Basuki harus diselesaikan melalui jalur hukum, Tadi saya belum bicara takutnya pak Darmin akan khawatir. Nanti malam saya akan menemui mas Bayu, biar lebih jelas bicaranya." kata Timan sambil menuju kearah mobilnya.

"Ya mas, saya siap membantu apapun dan kapanpun. Ini saya sama mbah Kliwon ya. Mas Timan sama Sri."

"Baik pak lurah, mobil saya pickup, nggak enak kalau berdesakan.""

Ketika Sri sudah naik keatas mobil dan Timan siap membuka pintu, tiba-tiba sebuah mobil berhenti, tepat dihadapan mobil Timan. Timan terkejut, wajah Sri berubah pucat.

Seorang laki-laki gagah keluar dari mobil mewah yang nyaris menabrak mobil Timan, lalu  berjalan kearah Timan. Timan berdiri terpaku, lalu tiba-tiba Timan merasa bahwa dia adalah Basuki. Dengan kepala ditegakkan Timan menunggu. Dua orang laki-laki berhadapan, mata saling memandang dengan sorot mata berapi-api. Masing-masing segera menyadari wahwa yang berdiri dihadapannya adalah lawan yang harus disingkirkan.

 

 ***

 

nesok lagi ya

 

 

\

 


Wednesday, April 29, 2020

KEMBANG TITIPAN 12

KEMBANG TITIPAN  12

(Tien Kumalasari)

 

Namun ketika Basuki tiba dirumah  tahanan dimana Darmin ditahan, tak ditemukannya siapapun. Darmin menemuinya dengan wajah kesal, dan itu membuat Basuki marah.

"Mengapa wajahmu sepeti itu? Kamu tidak suka aku datang? O.. ya, karena aku tidak memberi kamu uang? " kata Basuki dengan wajah sinis.

"Bukan tuan, saya sedang tidak enak badan, setiap malam tak bisa tidur nyaman."

"Memang ini rumah tahanan, bukan istana atau hotel, mau tidur nyaman yang bagaimana? Salah kamu sendiri, begitu goblog melakukan sesuatu yang berresiko." omeh Basuki panjang pendek.

"Ya, tuan," jawab Darmin lesu.

"Mana si Sri?" 

"Tuan bagaimana, saya disini, mana bisa tau si Sri dimana?"

"Jangan bohong, aku sudah kerumah kamu, juga kerumah simbahnya si Sri, kata tetangga, Sri lagi nengokin kamu disini."

"Tapi dia tidak kemari."

"Bohong !! "

"Kalau tidak percaya, tanyakan pada petugas disitu, apa tadi ada orang yang menemui saya."

"Kamu tampak tidak suka melihat aku datang, tampaknya kamu mulai tidak menyukai aku. Oo.. aku tau, karena ada yang mau memberi uang untuk menggantikan hutang-hutang kamu, lalu kamu bgitiu angkuh sama aku?"

"Tidak tuan, saya biasa saja, sungguh saya sedang tidak enak badan."

  "Ingat Darmin, aku tidak akan sudi seandainya ada yang mau membayar aku untuk membatalkan perjanjian itu. Aku hanya mau si Sri, tak ada yang lain."

Darmin terdiam. Sungguh ia merasa enggan bicara dengan laki-laki yang kali ini berdandan begitu perlente dan tampak lebih gagah. Mungkin karena tadi maunya ketemu si Sri, lalu berdandan agak berlebihan supaya Sri tertarik. Entahlah.. Yang jelas Darmin ingin agar Basuki segera berlalu.

"Tuan, saya minta ma'af, sungguh saya sedang nggak enak badan." 

Lalu Darmin berdiri, menemui petugas dan bilang bahwa dirinya ingin istirahat karena nggak enak badan.

Petugas menghampiri Basuki.

"Pak, mohon ma'af, pak Darmin sedang tidak enak badan, jadi sebaiknya lain kali saja bapak datang kembali," kata petugas itu.

Basuki mendengus kesal, kemudian berlalu.

***

 

Sementara itu pak lurah Mardi dan Sri serta mbah Kliwon sudah tiba dirumah sakit, dimana korban pemukulan oleh Darmin itu dirawat. Pak lurah segera menemui petugas rumah sakit dan mencari keterangan.

"Aku sudah menanyakannya, disana kamarnya," kata lurah Mardi kemudian.

mBah Kliwon dan si Sri mengikutinya. Namun tiba-tiba..

"Sri !!" sebuah panggilan mengejutkan semuanya. Sri menoleh dengan hati berdebar, karena menganali suara itu.

"Mas Timan !!" pekiknya pelan. Ia tampak gembira.

Timan melangkah cepat mendekati mereka. Sri menyalaminya lebih dulu, dan Timan menepuk tangan itu lembut.

"Kok mas Timan bisa tau kami ada disini?" tanya Sri.

Timan tersenyum, tapi matanya melirik kearah lurah Mardi.

Rupanya lurah Mardi mengabari Timan bahwa hari itu mereka mau membezuk korban pemukulan oleh pak Darmin  dan pulangnya akan mampir menemui pak Darmin di tahanan.

"O, pak lurah rupanya yang mengabari nak Timan?" kata mbah Kliwon gembira. Gembira karena melihat cucunya juga tampak gembira.

"Iya , mbah."

"Mas Timan nggak kepasar?"

"Nggak, aku pilih kesini aja, bisa ketemu kamu," kata Timan sambil menatap Sri.

"Aah, mesti gitu mas Timan nih."

"Itu betul.."

"Iya, aku percaya..." kata Sri sambil melangkah cepat, karena lurah Mardi dan mbah Kliwon meninggalkan mereka berdua.

"Dimana kamarnya?"

"Disana, ngikutin pak lurah saja."

"Sebenarnya tadi mas Bayu mau ikut.."

"Ikut, apa dia libur?"

"Ya mau ijin sehari gitu, karena pengin tau juga perkembangan cerita kita ini.."

"Hm, cerita kita ya?" kata Sri, tersenyum.

"Iya, terutama  cerita kamu, si kembang titipan Basuki."

Sri merengut.

"Ah, merengut juga nggak apa-apa, kan cantiknya nggak akan hilang."

"Oh ya, tadi mas Bayu mau ikut, trus kenapa? Ceritanya bisa melenceng kemana-mana."

"Lastri sakit."

"Oh, yu Lastri sakit? Sakit apa?"

"Ini yadi baru mau ke dokter, katanya semalam muntah-muntah  terus."

"Waah, jangan-jangan yu Lastri hamil."

"Benarkah? Kamu kayak yang pernah hamil saja."

"Bukan aku dong mas, yu Marni dulu waktu awal-awal hamil juga begitu, muntah-muntah terus. Berhenti muntah kalau sudah dikasih makan rujak."

"Wah, semoga itu benar. Pasti mereka sangat bahagia."

"Aku juga akan ikut bahagia. Eh, mana mereka? Kita ngobrol sendiri, nggak tau tadi belok kemana?"

Timan dan Sri celingukan, di persimpangan diujung lorong itu, barulah mereka melihat lurah Mardi dan mbah Kliwon. Mereka menunggu, karena rupanya sudah sampai didepan kamar yang dituju.

"Disini pak lurah, kamarnya?" tanya Timan.

"Iya, namanya Karsono. Ayo kita masuk," ajak pak lurah sambil masuk kedalam.

Pelan mereka mengikuti. Seorang laki-laki duduk ditepi pembaringan. Laki-laki itu masih muda, menerima mereka dengan heran karena belum pernah melihat mereka.

"Mas Karsono, saya kemari mengantarkan Sri. Dia ini anaknya pak Darmin yang sudah memukul mas Karsono sampai mas Karsono dirawat disini."

"Iya, dia itu mabuk, saya tidak mengira dia melakukannya. Tapi saya ngomong sembarangan juga, dan membuat dia marah."

Sri maju mendekat, menyalami Karsono.

"Saya Sri, anaknya pak Darmin. Saya kemari mau minta ma'af atas kesalahan bapak saya."

"Sudah, lupakan saja. Semuanya sudah terjadi. Dan ini sudah ditangani oleh pihak yang berwajib."

Sri tercekat mendengar kata-kata Karsono.

"Kapan mas Karsono bisa pulang? Tampaknya sudah sehat."

" Saya menunggu kakak saya. Mereka akan kemari untuk mengurus administrasinya, hari ini saya boleh pulang."

Tiba-tiba Timan mendekat.

"Mas, saya datang kemari untuk membantu menyelesaikan semuanya. Berapa beaya mas Karsono selama dirawat?"

Sri dan mbah Kliwon terkejut. Tadi tidak ada rencana untuk itu.

"Saya tidak tau persis, tapi syukurlah kalau anda mau memikirkan hal itu. Selama ini tidak ada keluarga Darmin yang datang dan perduli atas keadaan saya," keluh Karsono.

"Itu sebabnya kami datang kemari. Pak Darmin tidak punya keluarga, hanya Sri ini satu-satunya keluarganya. Dia juga terguncang, tapi hari ini kami sudah datang."kata lurah Mardi.

"Oh, iya, terimakasih banyak."

Timan keluar menuju ke kantor administrasi, diikuti Sri yang berlinang air mata.

"Mengapa menangis Sri, sudah besar kok masih suka menangis?"

"Mas Timan mengapa melakukan semua ini? Tadinya aku tidak berfikir sejauh ini. Aku hanya mau minta ma'af saja dengan membawa oleh-oleh pisang. Tapi mas Timan sanggup membayar semua biaya yang mungkin tidak sedikit."

"Sudah, kamu tenang saja. Kita tidak sekedar membantu dia, tapi juga mau minta agar dia bersedia mencabut tuntutannya."

Sri menatap Timan tak percaya. Sungguh tadinya hal itu tak terpikirkan.

"Saya sudah merencanakan semuanya dengan pak lurah."

"Ya ampun, bapakku menyusahkan banyak orang," kata Sri sedih.

"Sudah, usap air matamu, lalu duduk menunggu disitu, aku mau ke kasir," kata Timan sambil mengulurkan sapu tangan yang dikeluarkan dari sakunya.

Si Sri duduk disebuah bangku, diantara lalu lalang orang yang mau membezuk kerabat atau saudaranya yang lagi sakit, dan para perawat yang mendorong gerobag berisi obat .. juga dokter-dokter yang bertugas visite.. Hatinya terasa nyeri, karena ulah bapaknya lalu merepotkan banyak orang. Bukan hanya menyita waktu dan tenaga, tapi juga uang yang tiba-tiba harus terkucur. 

"Dengan apa aku harus membalasnya?" bisik Sri dalam hati, sambil mengusap lagi titik air matanya. 

Sri merasa hidupnya menjadi beban. Dan terus saja dia meratapi nasibnya sambil sesekali menyeka air matanya, sampai Timan sudah selesai dan kembali mendekati Sri.

"Ada apa? Kok sedih begitu?" tanya Timan sambil duduk disampingnya.

"Sedih mas... sungguh .. hidupku ini mengapa menjadi beban orang lain?"

"Sri, kok ngomong begitu, aku ini bukan orang lain, aku ini calon suami kamu," kata Timan sambil merangkul pundak si Sri.

"Dengan apa aku membalasnya mas?"

"Dengan cinta, dengan kasih sayang... gimana.. gampang kan?"

Sri tersenyum tipis.. ada bahagia tersungging disana, dan sederet gigi pitih yang sedikit menyembul, selalu membat Timan berdebar.  Alangkah manisnya kembang titipan ini, bisik hatinya.

"Ayo kita kesana lagi," ajak Timan sambil menarik tangan Sri.

Pertemuan dirumah sakit itu selesai. Karsono sang korban sudah mau menerima. Beaya rumah sakit sudah terbayar, dan amplop yang diberikan Timan kemudian cukup membuatnya bersedia mencabut tuntutannya. Ia menandatangi surat yang sudah disiapkan oleh pak lurah.

***

"Kita menemui bapak sekarang. Kamu harus sabar seandainya bapak masih belum suka menerima kedatangan kita. Ya," ujar Timan dalam perjalanan menemui Darmin.

"Ya mas."

"Tapi sedikit melegakan karena urusan dengan mas Karsono sudah selesai, semoga bapak bisa segera dibebaskan."

"Aamiin."

"Mengapa kamu tampak sedih?"

"Bukan sedih, membayangkan bagaimana nanti sikap bapak."

"Kan aku sudah bilang, kamu harus bersabar dan siap menerima apapun dan bagaimanapun nanti sikap bapak, ka yan?"

Tiba-tiba ponsel Timan berdering.

"Tolong Sri, dari mas Bayu, bilang aku lagi nyetir."

"Hallo.."

"Ini Sri ?"

"Iya mas Bayu, mas Timan lagi nyetir."

"Sudah mau pulang?"

"Baru dari rumah sakit, ini mau ketemu bapak.."

"Oh, baiklah, nanti aku telephone lagi saja, takut mengganggu mas Timan."

"Bagaimana kabarnya yu Lastri? Katanya ke rumah sakit?"

"Iya, ini baru saja pulang,"

"Yu Lastri sakit apa?"

"Sakit yang menyenangkan," jawab Bayu gembira.

"Yu Lastri hamil ?"

"Iya Sri, atas do'amu.. baru lima minggu.. "

"Syukurlah, aku ikut senang mas.. Ini lagi dimana ?"

"Tiduran dikamar, sudah nggak muntah muntah tapi masih mual katanya."

"Iya mas, dulu yu Marni juga begitu. Sampaikan salam untuk yu Lastri ya mas, pokoknya aku ikut senang."

"Terimakasih Sri, nanti aku sampaikan."

"Lastri hamil beneran?" tanya Timan ketika ponselnya sudah ditutup."

"Iya mas, senengnya.."  

"Sebentar lagi kamu akan menyusul Sri.." canda Timan.

"Iih.. belum-belum sudah mau menyusul..." Sri cemberut.

"Nanti, sebentar lagi, aku nggak mau lama-lama lho, sudah nggak betah nih.."

"Nggak betah apaan ?"

"Nggak betah kelamaan jadi bujang."

"Bisa aja mas Timan nih.."

"Apa kamu nggak suka?"

Sri tersenyum..

"Semoga semuanya segera selesai ya mas.."

Dengan sebelah tangannya Timan menepuk-nepuk tangan Sri. Ada bahagia merekah, oleh pengharapan yang semoga tidak sia-sia.

***

 

 Mobil pak lurah Mardi sudah sampai didepan kantos polisi. Ia hanya bersama mbah Kliwon, karena Sri ada dimobil Timan. Mereka belum turun. Lurah Mardi mengawasi spion untuk melihat, apakah Timan sudah dekat.

"Kok jaraknya bisa lama sih?" ujar mbah Kliwon.

"Iya mbah, maklum, sambil pacaran," canda pak lurah.

"Hm, anak-anak muda. Tapi saya senang pak lurah, kalau ada nak Timan si Sri bisa tersenyum dan tertawa. Kalau dirumah bawaannya murung melulu."

"Maklumlah mbah, memang Sri kan lagi banyak pikiran. Semoga semuanya segera berakhir."

"Aamiin. Saya bersyukur banyak yang membantu Sri agar segera terlepas dari beban ini. Sesungguhnya saya sungkan."

"Tidak apa-apa mbah, Sri kan sahabat saya, ia juga banyak membantu dalam usaha yang dirintis Lastri dan saya sejak lama. Sudah sepantasnya saya juga ikut membantu ketika dia dalam kesulitan."

Tiba-tiba dari arah depan berhenti sebuah mobil. Berhenti tepat didepan mobil pak lurah.  Seorang laki-laki turun, lalu melangkah mendekati mobil pak lurah.

Pak lurah membuka kaca mobilnya karena laki-laki itu berhenti didepan pintunya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya lurah Mardi.

Laki-laki itu melongok kedalam mobil, mengamati barangkali ada yang dicarinya.

"Ma'af, saya kira ada si Sri," kata laki-laki tersebut.

"Tunggu pak, apakah anda yang bernama pak Basuki ?"

Laki-laki yang memang Basuki itu urung membalikkan tubuhnya. Menatap laki-laki yang semula duduk dibelakang setir. mBah Kliwon mulai menduga-duga.

Lurah Mardi turun, mengulurkan tangannya kepada Basuki.

"Saya Mardi, pak Basuki."

"Oh, bagaimana anda bisa mengenali nama saya?"

 "Saya lurah desa yang...."

"Haa... bukankah tadi anda pergi bersama si Sri? Mana dia?" tiba-tiba Basuki langsung menebaknya karena tetangga mbah Kliwon sudah memberitahu dengan siapa Sri pergi.

"Mari masuk kedalam, saya ingin bicara."

"Sri mana?" Basuki mengulang pertanyaannya.

"Dia akan segera datang."

Basuki mengangguk tapi ntak beranjak dari tempatnya berdiri. Tampaknya ia ingin menunggu kedatangan Sri.

Sementara itu mobil Timan hampir sampai disana. Timan nyaris menghentikan mobilnya ketika Sri berteriak.

"Terus mas ! Jangan berhenti !!"

 

***

 

besok lagi ya

 

 















Tuesday, April 28, 2020

KEMBANG TITIPAN 11

KEMBANG TITIPAN  11

(Tien Kumalasari)

Darmin terkejut, tak mengira semarah itu Basuki mendengar perkataannya. 

"Tapi tuan.."

"Tidak ada tapi-tapi, kamu sudah janji, dan kamu harus menepai. Ingat itu. Dan ingat juga, aku bisa melakukan apa saja. Sayangi nyawa tuamu." kata Basuki sambil berdiri lalu melangkah keluar dan tak perduli pada Darmin yang duduk melongo. Tapi tiba-tiba Basuki kembali.

"Jadi Min, jelas bukan, batalnya perjanjian adalah ketika nywamu terlepas dari tubuh tuamu yang tidak berguna itu!!  Tak lama lagi aku akan membawa anakmu, mau atau tidak aku akan tetap membawanya."  kata Basuki yang dibisikkannya  ketelinga Darmin, kemudian dia benar-benar keluar dari ruangan itu.

Tak ada amplop diatas meja, tak ada tawaran untuk membebaskannya dari tahanan. Dan tiba-tiba Darmin merasa muak pada Basuki, yang dinilainya sombong dan ugal-ugalan. Dan tiba-tiba juga Darmin merasa menyesal telah  menukar nyawa nya dengan imbalan anak gadisnya.  Lalu ia teringat akan perkataan lurah Mardi

"Dan satu lagi pak Darmin, jangan kembali meneguk minuuan keras."

"Saya sebenarnya merasa menjadi orang tak berguna., Berbuat semau saya seakan bisa menutupi penderitaan saya. Sekarang saya merasa bahwa ada yang sebenarnya mencengkeram jiwa saya."

"Pak Darmin sadar bahwa langkah pak Darmin itu salah? Bertobatlah,  bertobat adalah obat terbaik untuk mengobati luka hati."

Darmin menghela naafas.

"Dan apa yang pak Darmin lakukan itu bukan mengobati penderitaan, tapi justru memperparah. Kasihan si Sri, dia sangat menderita.

Lalu Darmin benar-benar merasa menderita. Tapi bagaimana caranya menebus kesalahan masa lalu? Ini menyangkut uang dan yang bersangkutan tak sudi seandainya uang dikembalikan. Apa yang harus Darmin lakukan?  'Kasihan Sri, dia sangat menderita', kembali kata-kata itu terngiang ditelinganya.  Derita, ia sekarang merasa menderita. Berada dalam tahanan dan tak bisa melakukan apa-apa. Sangat menyiksa. Dan jika Sri menderita.. alangkah sakit rasa hatinya.  Aduhai, benarkah anakku menderita? Bisiknya ber-kali-kali. Jadi begitu sakit rasanya menderita.. seperti aku sekarang ini, sendirian dalam ruang yang pengap. Tak ada minuman kesukaanku. Tapi tidak, aku tak akan meminumnya lagi. aku benci semuanya, benci minuman itu, benci uang yang diberikan Basuki, benci .. bahkan kepada dirinku sendiri. Berapa lamakah aku akan ada ditempat ini, lalu akan diadili dan dipenjara. Apakah orang yang aku pukul akan mati, atau selamat? Bagaimana kalau mati lalu aku dihukum lebih lama? Kata batin Darmin yang selalu menyiksanya.

Darmin memegangi kepalanya dengan kedua tangannya, yang ditumpukannya diatas meja. Hatinya bagai tercabik menyadari betapa kejamnya Basuki. Betapa buruk nasibnya, betapa buruk kelakuannya, betapa menyiksa semua perasaan itu. Mengapa baru sekarang dia menyadari? Ia terus meratapi keadaan dirinya sampai petugas mengajaknya kembali masuk ke ruang tahanan.

 

***

 

"Sri, jangan kebanyakan melamun .. ayo sini duduk sama simbah," kata mbah Kliwon ketika  mereka sudah selesai melakukan semua tugasnya.

Sri mendekat kearah simbahnya, duduk bersandar di kursi bambu itu, matanya menerawang kelangit-langit.

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Apakah bapak benar-benar benci sama Sri?" 

"Bapakmu sedang tidak waras. Jangan kamu pikirkan. Nanti pada sa'atnya dia akan menyadari kesalahannya."

"Kapan bapak menyadari kesalahannya?"

"Pada suatu hari nanti, mungkin sekarang ini belum sa'atnya. Kamu harus sabar, ya nduk?"

"Sri memikirkan cara mengembalikan uang Basuki , mas Timan mengatakan sanggup membayarnya, Sri jadi sedih. "

"Itu wujud cinta kasihnya Timan sama kamu, kamu harus mensyukurinya nduk."

"Rasanya sulit menerima kenyataan ini. Sedih bukan menjadi orang yang seperti Sri ini? Bahkan Sri sekarang merasa bahwa tubuh Sri ini juga bukan milik Sri lagi."

"Semuanya akan ada akhirnya, dan percayalah bahwa kebenaran akan menang. Suatu hari nanti bapakmu akan sadar."

"Simbah, biarpun bapak seperti benci sama Sri, tapi Sri ingin menjenguknya lagi. "

"Simbah maklum, bagaimanapun dia adalah bapakmu, ikatan itu tak akan bisa terputus sampai kapanpun. Kamu anak baik, walau disakiti masih memiliki rasa sayang."

"Semalam Sri bermimpi, dipeluk bapak dengan kasih sayang. Bapak menangis sambil mengelus kepala Sri."

"Mungkin bapakmu juga sedang kangen sama kamu."

Sri merenung lagi, alangkah senangnya kalau  bapaknya benar kangen sama dirinya. Selama ini ia merasa  bapaknya tak pernah memperdulikannya.

"Sri juga teringat kata mas Mardi.. eh.. pak lurah, bahwa orang yang dipukul Bapak masih ada dirumah sakit. Bisakah kita menjenguknya? Sri ingin melihat keadaannya dan meminta ma'af atas kelakuan bapak."

"Besok kita tanya pak lurah, dimana dia dirawat."

"Kata pak lurah, kalau orang itu sampai meninggal maka hukuman bapak akan lebih berat."

"Ya, itu benar nduk, karena dengan demikian bapakmu dianggap telah membunuh orang. Tapi sudahlah, jangan terlalu memikirkan itu, besok bisa saja kita kerumah sakit, baru menjenguk bapakmu. Ya kan?"

"Ya mbah, begitu ya?"

"Nanti simbah akan bertanya kepada pak lurah dulu, dimana orang itu dirawat.

"Ya, mbah?"

"Sudah, jangan sedih, serahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa, karena disana letak segala kemurahan dan kebesaranNya. Dan kepadaNya kamu harus selalu memohon. Jangan lupakan itu. Ayuk..ini sudah dhuhur, sa'atnya bersujud. Nanti hatimu akan lebih terasa ringan.

"Baiklah mbah."

 

*** 

 

 "mBah, kalau Sri mau membezuk ayahnya dan orang yang menjadi korban, saya antar saja. Tapi saya mau ke kantor dulu.

"Waduh, jangan pak lurah, jangan sampai merepotkan dan mengganggu pak lurah. Tidak apa-apa saya sama Sri saja. Kan banyak angkutan umum," kata mbah Kliwon buru-buru.

"Tidak apa-apa, saya juga butuh ketemu pak Darmin. Kemarin pernah mencari rumah Basuki tapi belum ketemu, barangkali pak Darmin bisa memberi gambaran kira-kiranya dimana."

"Tapi mengganggu tugas pak lurah juga kan."

"Tidak mbah, sama sekali tidak mengganggu, besok setelah ke kantor sebentar saya langsung nyamperin mbah Kliwon."

"Wah, terimakasih banyak pak lurah. Maksudnya cuma mau bertanya, malah jadi merepotkan."

"Tidak mbah, saya kan juga punya kepentingan. Saya sudah janji sama mas Timan bahwa saya akan membantunya. Kemarin itu dimana Basuki tinggal masih belum ketemu. Beberapa rumah yang saya datangi hanya ditungguin oleh orang yang tidak tau dimana persisnya Basuki tinggal. Barangkali pak Darmin bisa memberi gambaran. Soalnya ketika saya kesana, dia juga tidak bisa mengatakan apa-apa. "

"Tapi kalau kemarin sudah mengatakan tidak tau, apa besok dia bisa ditanya lagi?"

"Mungkin dia hanya pura-pura tidak tau. Kan saya juga belum bisa menebak, rasa penyesalan yang tampak waktu itu, benar-benar sesal atau pura-pura."

"Benar pak lurah, orang seperti Darmin itu sangat susah ditebak isi hatinya."

"Semoga dengan ber bicara pelan nanti kita akan mendapatkan sesuatu. Yang penting kita kesana dulu."

"Iya pak lurah, Sri juga bilang kepengin ketemu bapaknya. Katanya semalam bermimpi ketemu bapaknya dan merangkulnya sambil menangis."

"Semoga itu sebuah ikatan yang tak tampak antara \pak Darmin dan anaknya, yang tergambar dalam sebuah mimpi. Mungkin nanti pak Darmin sudah mau menerima Sri dengan baik, tidak seperti pertemuan mereka yang lalu. Karena sesungguhnya pak Darmin juga mencintai si Sri."

"Baiklah pak lurah, terimakasih banyak. Saya mohon diri. Karena Sri itu sesungguhnya takut kalau sendirian dirumah. Ya karena Basuki sering mendatangi ayahnya akhir-akhir ini."

"Ya mbah, bisa dimengerti. Karena merasa  memiliki lalu dia bisa mengambilnya kapan saja. Hati-hati ya mbah.."

***

"Jam segini kok belum pulang ya mas Timan? Tuh rumahnya masih terkunci." kata Lastri ketika bersama suaminya ingin berbincang dengan Timan.

"Tadi nggak telephone dulu."

"Kan sekalian mau belanja. Tapi aneh kalau sudah sore begini belum pulang."

"Coba deh ditelephone Tri."

"Jangan-jangan ke Sarangan.  Nggak aktif nih ponselnya."

"Bisa jadi. Aku sebenarnya pengin tau, bagaimana kelanjutan ceritanya, tentang uang yang harus dibayar itu. Bagaimanapun aku ingin membantu. Kalau terlalu banyak kasihan ms Timan."

"Iya mas, aku setuju. Dulu dia juga mati-matian berkorban mempertemukan kita. Kalau nggak ada mas Timan, sampai sekarang mas Bayu belum menemukan isteri, ya kan? Maksudnya isteri yang seperti aku. Kalau gadis cantik sih banyak."

"Kok larinya jadi ke gedis cantik banyak, aku kan nggak mau punya isteri selain kamu. Susah nyari isteri kayak kamu."

"Karena aku cantik kan?"

"Hm, kalau mau bilang jelek, takut dicubit, kalau mau bilang cantik.. aku juga harus dikasih upah. Gimana ya..."

"O, jadi memuji isteri harus ada upahnya?"

"Iya dong, setiap sa'at."

"Mau upah berapa sih, coba bilang."

"Upahnya bukan uang, jadi jangan bilang berapa..."

"O, gitu.. larinya kesana lagi nih.."

"Kesana tuh kemana?"

"Kayak nggak tau aja apa yang dipikirkan mas Bayu. Taulah aku.."

"Baguslah kalau tau, jadi aku sekarang mau  bilang kalau isteriku memang cantik. Nggak usah sekarang lho upahnya,Boleh nanti.. tapi dobel ya.."

"Iih.. apaan sih, lagi dijalan ngomongin yang enggak-enggak aja. Ayo pulang kalau begitu."

"Tapi belum bisa nyambung mas Timan, bagaimana?"

"Gimana kalau kang Mardi saja. Dia pasti tau."

"Ya sudah, kamu saja yang telephone."

Lastri memutar nomor Mardi.

"Hallo Tri, ada apa?"tanya lurah Mardi dari seberang.

"Ini, aku sama mas Bayu kerumah mas Timan, tapi sudah sore begini kok belum pulang ya?"

"Lho, sekarang mas Timan tiap sore kan kemari, ketemu si Sri."

"Aaah, sudah aku duga. Ini mas, mas Bayu kepengiin tau, kemarin kang Mardi bilang mau ketemu pak Darmin. Sudah ada angka yang disebutkan pak Darmin? Tentang uang yang harus dibayarkan ? Apa pak Darmin mau mengatakannya?"

"Mau sih, tapi angka persisnya tidak disebutkan. Lumayan banyak. Katanya hutang pak Darmin waktu itu sama dengan harga sebuah rumah bagus."

"Wauuu... bisa ratusan juta dong."

"Benar, tapi mas Timan menyanggupinya. Cuma saja saya belum bisa ketemu Basuki. Entah dimana dia tinggal. Tak seorangpun tau.  Maksud saya mau bicara juga sama Basuki tentang uang itu. Karena bagaimanapun namanya hutang kan harus dibayar?"

"Benar kang, ini tadi aku coba menghubungi mas Timan  belum bisa."

"Iya lah, orang lagi asyik pacaran.. " kata lurah Mardi sambil tertawa.

"Nanti saja saya coba menghubbungi lagi kang/."

"Besok rencananya aku mau mengantarkan Sri ketemu bapaknya, sama Sri ingin ketemu orang yang dipukul bapaknya itu. Mau minta ma'af katanya."

"Baguslah, memang itu seharus nya yang kita lakukan, supaya nanti dia tidak banyak menuntut."

"Sekalian mau mencoba lagi bicara sama pak Darmin, barangkali akan ada perkembangan. Karena kunci dari semua ini hanyalah Basuki."

"Ya mas, nanti kabari aku kalau ada perkembangan. Mas Bayu bilang ingin membantu."

"Baiklah, nanti aku kabari."

"Bagaimana? Apa kata pak lurah?" tanya Bayu ketika pembicaraan sudah selesai.

"Nanti saja sampai rumah aku ceritain mas, kenapa ya tiba-tiba aku kok merasa mual."

"Kamu lapar barangkali? Makan dulu yuk, coba cari enaknya dimana?"

"Nggak mas, aku pengin segera pulang dan tidur, nggak enak nih perutku."

 

***

 

Mobil lurah Mardi berhenti didepan pagar rumah mbah Kliwon. Ketika pak lurah turun, mbah Kliwon dan si Sri sudah siap didepan pintu. mBah Kliwon mengunci pintu rumahnya.

"Merepotkan ya pak lurah?" sapa Sri sungkan.

"Tidak apa-apa Sri, kan aku juga punya kepentingan. Sudah siap ?"

"Sudah, tinggal nungguin simbah, tuh lagi mengunci pintu."

"Bawa apa itu Sri?"

"Cuma pisang,  dua haru yang lalu sudah matang pohon. Nanti saya juga nitip untuk yu Marni. Yang ini ya pak."

"Oh ya, pasti ibunya Jarot suka. Ayo masuk, itu simbah sudah selesai."

Sri berjalan mengitari mobil, tetangga didepan rumah menyapanya.

"Mau kemana Sri?"

"Ini kang, mau nengokin bapak."

"Masih belum keluar?"

"Belum kang, do'akan ya." kata Sri lalu masuk kedalam mobil.

 

***

 

Siang itu sebuah mobil berhenti ddepan pagar rumah Lastri. Mobilnya bagus, semua orang lewat menatap kearah mobil itu. Seorang laki-laki gagah turun  dari mobil. Jalannya tegap, memakai kaca mata hitam yang keren banget. Bercelana jean dan memakai t shirt ketat yang  menutupi dada bidangnya.  Laki-laki itu masuk kehalaman kecil rumah Lastri dan berdiri didepan pintunya.

  Perlahan ia mengetuk, lalu semakin keras karena tak ada yang menjawabnya dari dalam.

"Permisi... permisi.. assalamu'alaikum... "

Tak ada jawaban sampai beberapa sa'at lamanya.

"Kemana dia? Tadi dirumah Darmin juga tidak ada. Jangan-jangan dia kabur dari aku, awas kamu Darmin," gerutunya dengan wajah kesal.

 Ia kemudian berbalik dan kembali kejalan. Seseorang yang rumahnya didepan melihatnya dan mendekati laki-laki gagah itu.

"Tuan mencari siapa?"

"Si Sri ada ?"

"O, Sri sedang pergi sama simbahnya."

"Pergi kemana?"

"Nggak tau, tadi disamperin mobil pak lurah. Dengar-dengar mau nyambangin bapaknya Sri yang masih ditahan.."

"Oh, terimakasih."

Laki-laki itu naik keatas mobilnya. setelah ia tau harus mencari kemana.

 

***

 

besok lagi ya

 

 

 

 

 

Monday, April 27, 2020

KEMBANG TITIPAN 10

KEMBANG TITIPAN  10

(Yien Kumalasari)

Terdengar langkah-langkah kaki. Sri menahan napas, takut apabila sebuah hembusan nafas akan terdengar olehnya. Lalu terdengar ketukan keras.

"Miin! Darmiin !!

Ketukan lagi semakin keras.

"Miin! Kamu mampus atau apa?"

Wajah Sri merah padam mendengar Basuki memaki ayahnya.

"O, berarti minggat dia."

Terdengar la ngkah menjauh, lalu orang berbicara. Rupanya Basuki ketemu seseorang.

"Pak, tau nggak dimana Darmin?"

"O, pak Darmin ditangkap polisi pak."

"Apa? Ditangkap polisi?"

"Sudah tiga hari ini pak.."

"Dasar wong eddan !! Kalau anaknya dimana?"

"Si Sri ? Sepertinya ikut mbahnya. tapi saya tadi seperti melihat dia pulang."

Sri berdebar, jangan-jangan Basuki akan kembali.

"Tapi kok sepi.. "

"Mungkin sudah kembali kerumah mbahnya."

Lalu terdengar mobil distarter, kemudian suara mobil menjauh.

Sri menghela nafas lega. Ia menunggu beberapa sa'at untuk meyakinkan apakah Basuki sudah pergi atau kembali kerumah.

Beberapa sa'at tak terdengar suara, Sri membuka pintu dan melongok keluar. Lalu berjalan keluar pagar, melihat kekiri dan kekanan, apakah mobil itu benar-benar sudah pergi.

Lalu Sri mengunci pintu rumah, dan bergegas kembali kerumah mbah Kliwon.

***

Timan berkali-kali melongok kearah jalan, tampak gelisah karena Sri tak segera kembali. Malam mulai  merambah, dan suasana sekeliling tampak temaram. 

mBah Kliwon berdiri, menuju pagar, iapun gelisah.

"Tadi katanya sebentar, ini mulai gelap. Ngapain saja anak itu," omelnya sambil memasuki rumah kembali."

"Bagaimana kalau kita susul saja mbah?" kata Timan. 

"Biar saya yang menyusul."

"Jangan mbah, mari kita susul berdua. Naik mobil saja. Jauhkah?"

"Tidak usah nak, rumahnya nggak jauh, jalan kaki saja."

"Ya sudah, mari saya antar mbah."

Keduanya berjalan kearah rumah Darmin, dengan debar yang sama. Jangan-jangan bertemu Basuki, lalu ..

"Simbaaah." teriak Sri dari kejauhan. 

Timan dan mbah Kliwon merasa lega. 

"Ada mas Timan ?" sapa si Sri sambil tersenyum. Timan harus menembus gelapnya temaram malam ketika ingin menikmati senyuman itu.  Hanya tampak remang, tapi cukup membuat dadanya berdebar kencang. Aduhai, mengapa sebuah cinta bisa mengolah batin dan raga sehingga bergejolak dan membuat semuanya jadi berbeda?

"Sri..." hanya itu yang diucapkannya ketika Sri menyalaminya. Tangannyapun berkeringat. Timan meremasnya lembut.

"Nak Timan menunggu agak lama. Simbah kira kamu akan segera kembali.

"Sudah tadi Sri mau kembali mbah, tapi tiba-tib a Basuki datang."

"Apa? Ada Basuki? Diapakan kamu?" tanya mbah Kliwon cemas.

"Tidak sempat ketemu, karena ketika dia datang Sri masih didalam. Lalu Sri cepat-cepat mengunci pintu depan."

"Dia tidak memaksa masuk?"

"Dia tadinya berteriak-teriak memangggil bapak, Sri diamkan saja. Lalu salah seorang tetangga yang lewat memberi tau bahwa bapak sedang ditahan. Kemudian dia pergi."

Timan dan mbah Kliwon menatik nafas lega.

"Syukurlah Sri tadi kami sangat cemas, kok sampai gelap begini belum pulang juga, lalu menyusul kamu."

"Sri harus menunggu beberapa sa'at sampai yakin bahwa dia benar-benar pergi."

"Kamu benar Sri, so'alnya kalau tidak bisa-bisa kamu dibawanya pergi."

"Sri sudah gemetaran tadi mbah."

"Iya, pantesan tangannya berkeringat," canda Timan.

"Itu karena kamu mas, bukan karena takut sama Basuki," kata Sri dalam hati. Mana mungkin ia benar-benar mengatakannya.

"mBah, tadi dirumah masih ada beberapa mie instan, ini saya bawa. Nanti Sri masak dan dimakan bersama ya, sama mas Timan juga."

"Wah, bagus nduk, bisa rame-rame makan mie instan, kebetulan simbah tadi juga mengambil telur di pekarangan. Ada empat telur yang baru saja simbah ambil. Bisa untuk teman makan, ya kan nak Timan?"

"Baru mendengar sudah terasa nikmatnya mbah, apalagi kalau Sri yang masak." kata Timan sambil menoleh kearah gadis yang berjalan disampingnya.

Sri hanya tersenyum. Ingin ia mencubit lengan Timan, tapi diurungkannya. Sungkan, nanti dikira genit. Eh.. masa sih gitu aja dibilang genit? 

Mereka sudah sampai dirumah mbah Kliwon. Sri langsung lari kebelakang sambil membawa bungkusan mie.

"Tungguin ya mas," katanya sambil berlalu.

***

 

 "Dari mana mas, kok sampai malam." tanya Marni kepada suaminya ketika hari sudah malam dan pak lurah baru saja pulang.

"Sedang mencari informasi tentang dimana Basuki tinggal bu."

"Sudah dapat ?"

"Rumahnya banyak, tapi beberapa yang aku datangi, penunggu rumahnya bilang kalau Basuki tak pernah pulang kesana."

"Nggak ada nomor kontak yang bisa dihubungi?"

"Nggak ada yang tau."

"Jadi dimana rumah Basuki yang ditempatinya setiap hari?"

"Belum mendapat informasi jelas bu, besok aku akan bertanya-tanya lagi."

"Sepertinya sa'at ini mas Timan masih ada dirumah mbah Kliwon."

"Oh ya? Siang tadi kami omong-omong di kantor kelurahan, dan dia juga bilang mau langsung  kesana. Mungkinkah dia masih disana ?"

"Tadi waktu Marni tilpun, mbah Kliwon bilang mas Timan masih ada disana."

"Oh, syukurlah, dengan adanya pak Darmin di tahanan, mas Timan lebih leluasa ketemu Sri."

"Langsung dinikahkan saja gimana mas?"

"Wah, jangan begitu, bapaknya masih ada, dan dia masih terikat dengan Basuki . Perjanjian mereka harus diselesaikan dulu."

"Sungguh menjengkelkan pak Darmin ini. Masa tega menjual anak gadisnya sendiri."

"Dia takut mati."

"Itu kan karena ulahnya sendiri. Tukang judi, tukang minum.. huuh.. akhirnya anaknya jadi korban, sungguh tega dia."

"Ketika orang sedang menikmati sesuatu yang menurut mereka itu menyenangkan, mereka lupa apa akibat yang akan ditimbulkannya."

"Iya mas, tenggelam dalam lautan kesenangan, tak perduli itu dosa atau akan menyengsarakan orang lain. Jadi gemes aku sama pak Darmin. Rasanya pengin mukulin saja."

Pak lurah tertawa.

"Memangnya kamu berani mukulin pak Darmin? Badanmu kecil begitu?" ledek pak lurah.

"Ee, biar badan kecil tapi kalau menghadapi orang kayak gitu ya tetap saja aku berani mas, kemarin saja aku berani memaki-maki dia."

"Wa, iya ya, isteriku memang hebat. Dan itu sebabnya aku memilih kamu. Bu lurah harus berani dan tegas, itu seiring dengan tugas pak lurah yang juga harus tegas terhadap semua masalah."

"Hm, senengnya dipuji suami. Ya sudah, istirahat dulu mas, Marni mau siapkan makan malam sekarang ya."

"Jarot sudah tidur ?"

"Sudah, tapi jangan mendekati dulu sebelum cuci kaki tangan lho mas, nggak boleh. Kalau sudah bersih baru boleh mendekati bayi. Mas itu bawa sawan dari jalanan."

"Sawan itu apa?"

"Sawan itu ya segala macam yang buruk. Demit, setan, aura jahat, sudah.. cepet bersih-bersih sana."

"Baiklah, yayi ratu.." canda pak lurah.

"Hm, kebanyakan nonton ketoprak," gerutu Marni sambil bergegas kebelakang.

 

  ***

 

"Saya bilang apa, mie buatan Sri sangat enak, nih.. sampai bercucuran keringat saya, padahal udara sangat dingin."

"Mas Timan bisa aja, kan itu sudah ada bumbunya, Sri tinggal merebus dan menambahkan telurnya. Jadi bukan Sri dong yang masak."

"Iya, tapi yang merebus siapa. Beda lho rebusan satu dengan lain orang. Kata orang-orang tua, beda tangan yang memasak akan beda pula rasanya, walau bumbunya sama."

"Mas Timan tau dari mana?"

"Ya dari orang-orang tua, dari obrolan ibu-ibu dipasar. Aku mendengarkan saja sambil merasakan. Kan sebentar lagi aku punya isteri."

"Oh ya? Dapat isteri dari mana mas?" tanya Sri memancing. Bodohlah kalau dia tak tau maksudnya.

"Dari desa sini aja," kata Timan tetap berteka teki.

"Waduh, kira-kira aku kenal nggak ya?"

"Oh, kalau itu aku nggak tau. Tapi aku yakin mbah Kliwon tau kok."

"Ada apa, nyebut-nyebut nama simbah," teriak mbah Kliwon dari kamar, karena ia sengaja memberi waktu kedua anak muda itu untuk berbincang.

Sri dan Timan tertawa.

"Itu mbah, mas Timan," teriak Sri.

"Timan mau tanya mbah, siapa gadis yang sebenarnya akan menjadi isteri Timan? mbah Kliwon tau kan ?"

"Ya tau lah, cuma gadisnya itu saja yang pura-pura tidak tau," jawab mbah Kliwon masih dari dalam kamar.

"Yang mana ya gadisnya?" Timan tersenyum, menatap Sri lekat-lekat. Hati Sri bergetar. Barangkali tatapan tajam tapi teduh itulah yang membuat dia jatuh cinta pada Timan. Cinta pertamanya, yang semoga menjadi cinta terakhir. Begitu pikir Sri selalu. Tapi ia sadar bahwa masih banyak kendala yang harus dilompatinya. Tadi Timan sudah cerita sama mbah Kliwon tentang sikap ayahnya yang menentang Sri berhubungan dengan siapa saja. Sedih rasanya menyadari bahwa seakan dia dijual oleh bapaknya demi nyawa yang lebih disayanginya.

Mengingat hal itu, wajah Sri menjadi tampak murung. 

"Ada apa Sri? Kamu marah karena aku mengatakan hal itu? Kamulah gadis yang akan menjadi isteriku. Keputusanku sudah bulat, apapun harus aku lakukan demi kamu."

"Tidak mas, aku tidak marah."

"Wajahmu tampak sedih tiba-tiba."

"Aku ini sebenarnya kan gadis titipan ?"

"Kamu itu kembang titipan, tak mudah memetiknya, karena kamu ada dalam belenggu besi yang maha kuat. Tapi aku akan mematahkan besi itu dan memetikmu."

Berlinang mata Sri mendengar kata-kata Timan Akan mudahkah mematahkan belenggu besi itu?"

"Jangan menangis Sri, sebah cinta akan menjadi kekuatan dahsyat yang tak terputuskan. Aku dan kamu, akan menikmati hari-hari bahagia kita bersama. Teruslah berharap dan bermimpi, sampai mimpi itu menjadi kenyataan."

Alangkah lembut kata-kata itu. Alangkah sejuk  bagai air surgawi yang menyiram nuraninya yang sedang gundah.

"Sri, sesungguhnya aku masih ingin berlama-lama disini. Tapi ini sudah malam, sebaiknya aku pamit dulu," kata Timan sambil terus memandangi kekasih hatinya.

"Ya mas, aku tau, terimakasih banyak karena telah menguatkan aku."

"Kita akan saling menguatkan."

Timan berdiri lalu mendekati kamar mbah Kliwon.

"Mbah, Timan pamit dulu ya."

"Lho, kirain mau menginap disini,"  kata mbah Kliwon sambil bangkit lalu keluar dari kamar.

"Ya enggak mbah, mana pantas saya menginap sementara ada kembang titipan disini."

mBah Kliwon tertawa. 

"Kembang titipan akan siap dipetik pada waktunya. Baiklah nak, terimakasih banyak, dan jangan segan-segan main kesini lagi."

"Saya akan sering datang kemari mbah," katanya sambil melirik si Sri.

Ketika Timan pulang, terasa ada yang sunyi dihatinya. Walau ada mbah Kliwon yang selalu menghiburnya, tapi keberadaan Timan didekatnya membuat hidupnya terasa nyaman.

 

  ***

 

Ketika melewat rumah lurah Mardi, Timan melihat pak lurah masih duduk dibangku depan rumah. Timan membunyikan klaksonnya. Lurah Mardi yang tau bahwa itu Timan segera melambaikan tangannya.

Timan menghentikan mobilnya, lalu turun dan melangkah mendekati mereka.

"Baru pulang mas?" sapa lurah Mardi.

"Iya, inipun sudah kemalaman bukan? Sebentar lagi saja pasti saya sudah ditangkap hansip," kata Timan sambil tertawa.

"Kebetulan dong, kalau ditangkap hansip kan malah langsung dinikahkan?" kata Marni menyela.

Pak lurah dan Timan tertawa.

"Bagaimana, sudah bicara sama mbah Kliwon?"

"Semuanya sudah saya ceritakan. Saya akan berusaha membayar berapapun untuk Sri.

"Saya kan sore tadi jalan-jalan kekita, mencari informasi tentang dimana Basuki tinggal,"kata lurah Mardi.

"Haa, berarti sudah tau dimana dia tinggal?"

"Belum. Ada beberapa rumah milik Basuki, tapi tak satupun dari rumah-rumah itu ditinggalinya. Hanya orang-orang yang bertugas menunggu dan membersihan rumaah itu yang ada. Tapi tak seorangpun tau dimana Basuki tinggal menetap.

 "Wah, sayang ya pak lurah."

"Tapi nanti saya akan terus mencari informasi. Mas Timan jangan khawatir, menemukan orang terkenal seperti Basuki itu mudah, cuma agak ruwet."

"Sama saja itu namanya mas," sela Marni.

"Tapi setidaknya masih ada jalan, tenang saja mas Timan."

"Ya sudah, saya menunggu berita selanjutnya ya pak lurah, ini sudah malam, saya pamit dulu."

 "Silahkan mas, hati-hati dijalan ya."

"Kasihan mereka ya mas," kata Marni begitu Timan sudah berlalu.

"Iya. Semoga segera ada jalan keluar yang lebih baik."

 

***

 

Pagi itu Darmin merasa kesal, karena petugas mengatakan ada yang ingin ketemu.

"Huh, siapa sih, aku bosan dipanggil keluar terus menerus," gerutu Darmin.

"Seorang laki-laki, ganteng, tapi sudah agak tua." 

"Dia menyebutkan namanya?"

"Basuki."

Darmin langsung bersemangat. Pasti akan ada amplop yang ditinggalkan untuknya.Atau dia akan berusaha mengeluarkannya dari tahanan dengan jaminan? Iyalah.. Dia harus membantu karena aku kan calon mertuanya, kata Darmin dalam hati.

Darmin melangkah keluar dengan senyum terkembang. Senyum yang sama sekali tak kelihatan manis, karena menampakkan gigi kekuningan oleh sisa-sisa nikotin yang tertinggal disana.

"Tuan, bagaimana bisa kemari?"

"Bisalah, aku kerumah kamu."

"Ketemu Sri, lalu memberitahukan bahwa saya ada disini?"

"Tidak, rumah kamu tertutup rapat. Tapi ada orang yang memberi tau bahwa kamu sedang ditahan. Apa yang kamu lakukan?"

"Saya lagi makan dan minum-minum disebuah bar, ada yang meng olok-olok saya."

"Mengolok olok bagaimana?"

Lalu Darmin bercerita.

"Hei, jangan duduk disitu, dekat orang dekil itu, pasti badannya bau," kata seorang laki-laki kepada temannya.

Darmin yang sedang mabuk naik pitam. Ia langsung berdiri, memegang  leher  baju orang itu, kemudian menghajar wajahnya. Laki-laki itu terbanting kebelakang dan kepalanya mengenai tembok. Lalu Darmin lari sebelum polisi datang.

 "Wauww.. hebat kamu Darmin. Tapi bagaimana kamu bisa tertangkap?" kata Basuki sambil tertawa.

"Ada orang yang mengenali saya rupanya, kemudian saya ditangkap."

"Goblognya kamu, mengapa tidak sembunyi?"

"Saya pulang kerumah karena mengira tak ada yang tau. Tapi ternyata mereka datang untuk menangkap saya. Mendengar rame-rame diluar, saya kabur. Saya sudah berhasil lari dari kejaran mereka, tapi setelah melintasi perkebunan dan sampai dijalan, polisi mengenali saya. Ya sudah, mau apa lagi."

"Bagaimana kabarnya Sri?"

"Dia baik-baik saja, bersama mbahnya."

"Oh, sebenarnya aku ingin ketemu dan bicara baik-baik sama dia."

"Tuan, sebenarnya ada yang ingin saya sampaikan."

"Apa? Kamu mau aku membebaskan kamu dengan membayar uang jaminan?"

"Itu juga harapan saya."

"Kalau saya sudah ketemu Sri, dan Sri sanggup aku bawa pergi, baru aku akan melepaskan kamu."

Darmin termenung, tampaknya tidak mudah merayu si Sri, apalagi didekatnya ada mbah Kliwon yang pasti akan membantunya. Tiba-tiba Darmin ingin terlepas dari jeratan Basuki. Ia merasa Basuki tak akan bisa membantunya keluar dari sana karena syaratnya harus bisa membawa Sri terlebih dulu. Dan itu tidak akan mudah, kecuali kalau dia ada disamping si Sri.

"Mengapa kamu diam?"

"Begini. Kemarin ada orang yang ingin mengambil Sri sebagai isteri."

Basuki menatap Darmin dengan pandangan marah.

"Apa kamu lupa bahwa Sri sudah menjadi milikku?" hardiknya.

"Bagaimana kalau dia sanggup membayar berapa banyak uang yang tuan pakai untuk membayari semua hutang saya belasan tahun yang lalu?"

Wajah Basuki merah padam.

"Tidak. Aku sudah banyak uang ! Aku hanya mau si Sri !!'

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

  

 

 

Sunday, April 26, 2020

KEMBANG TITIPAN 09

KEMBANG TITIPAN  09

(Tien Kumalasari)

 

"Bapaaak..." teriak Sri, namun Darmin tak mau menoleh, dengan langkah gontai dia langsung masuk dan menghilang dibalik pintu.

Sri terisak. Timan memegang pundaknya.

"Sri, sabar ya Sri..."

"Ma'afkan bapak ya mas, ma'afkan bapak.." isak Sri.

Timan mengangguk.

"Sudah, jangan dipikirkan Sri, bapak sedang dalam situasi yang buruk. Pada suatu hari nanti pasti dia akan mengerti," hibur Timan.

"Mas, bagaimana dengan parcel-parcel ini?" tanya Lastri.

"Mana Tri, aku serahkan saja kepada mereka, kalau mau biar diberikan kepada pak Darmin, kalau nggak mau ya biar dibagi sesama petugas saja."

"Ya yu, ayo aku bantu."

"Gimana ini sebaiknya pak?"

"Kita bicara diluar saja. Mungkin mencari rumah makan terdekat, bicara sambil makan," kata Bayu.

"Ya, saya setuju mas Bayu."

"Ma'af ya, mas Bayu, pak lurah, saya jadi merepotkan."kata Timan dengan penuh sesal.

"Lho, mas Timan mengapa bicara begitu? Kita ini sahabat, saudara, semua permasalahan harus kita pikul bersama."

 "Terimakasih banyak, mas Bayu, pak lurah dan bu lurah..juga Lastri dan tentu saja mbah Kliwon yang telah bela-belain nurutin kemauan saya untuk bertemu bapaknya si Sri," kata Timan yang tak mau melepaskan pegangannya pada Sri.

"Saya minta ma'af kepada semuanya, atas perlakuan menantu saya yang kasar dan tak pantas. Sedih saya melihat sikapnya tadi. Dia seperti bukan manusia," umpat mbah Kliwon yang sangat marah menyaksikan sikap menantunya tadi.

"Tidak apa-apa mbah, kami semua maklum, dan sepertinya kita semua sudah menduga akan demikianlah sambutannya ketika kita datang." kata pak lurah Mardi.

"Ayo kita keluar dulu, tampaknya masalah ini harus dibicarakan bersama," kata Bayu.

***

 

Disebuah rumah makan mereka berbincang. Sri terdiam, tak mampu berkata-kata. Bahwa dia adalah gadis titipan, sama sekali belum dimengertinya. Apa ayahnya menjual dirinya kepada seseorang? Apakah seseorang itu Basuki? Alangkah benci si Sri kepada laki-laki itu. Sesekali ia mengusap pipinya karena air matanya terus mengalir. Timan yang duduk didekatnya menepuk-nepuk tangannya agar Sri merasa lebih tenang.

"Sri, apa kamu tau siapa laki-laki yang dimaksud bapakmu?" tanya Lastri.

Sri tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepala.

"Kemungkinan besar dia. Basuki, anaknya pak Cokro," kata mbah Kliwon.

 "Kamu pernah melihat laki-laki itu Sri?" tanya Timan.

Sri mengangguk pelan.

"Kamu suka?"

Sri menggeleng keras.

"Berapa dia memberi uang untuk bapakmu Sri?" tanya lurah Mardi.

Sri kembali menggeleng.

"Kalau ada yang tau berapa jumlah yang sudah dibayarkan laki-laki itu, apakah saya bisa menggantinya?" tanya Timan.

"Sayangnya dia susah diajak komunikasi," keluh Bayu.

"Kalau saja ada yang tau, saya akan menghitung uang saya, barangkali saya bisa menebusnya." kata Timan mantap.

"Kalau perlu dua kali lipat. Saya akan membantu mas Timan."kata Bayu.

"Saya juga tidak keberatan membantu," kata lurah Mardi.

"Tapi bagaimana bisa menanyakan jumlah uangnya? Dia tidak bisa diajak bicara.

"Saya akan mencobanya, mungkin besok, tapi sendiri saja, supaya dia tidak marah," kata lurah Mardi.

Timan merasa terharu karena banyak yang ingin membantu. Ia menepuk tangan Sri.

"Sri, kamu tidak usah sedih, kami akan membantu, dan kamu akan terlepas dari laki-laki itu," kata Timan/

Sri kembali mengusap air matanya.

 

***

 

Esok harinya lurah Mardi pergi ke tempat Darmin ditahan. Semula Darmin tidak mau keluar, tapi ketika petugas mengatakan bahwa yang datang adalah pak lurah, maka barulah  Darmin bersedia. Wajahnya tetap tak menampakkan keramahan. Tapi lurah Mardi tetap menerimanya dengan senyuman.

"Apa kabar pak Darmin?" sapanya.

"Menurut pak lurah, bagaimana sih kabarnya kalau orang dikurung dalam tahanan?"kata Darmin sengit.

"Ya..ya, saya tau, pasti kurang nyaman ya pak. Tapi bukankah ini semua terjadi karena kesalahan pak Darmin sendiri?"

"Iya saya tau. Lalu mengapa? Kalau pak lurah datang kemari hanya untuk memaki-maki saya, maka lebih baik saya tidak usah menemui saja."

"Oh, jangan begitu pak. Pak Darmin kan tau bahwa saya adalah lurah desa yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi didesa saya. Jadi jangan berprasangka buruk terhadap saya.

Darmin terdiam.

"Saya ikut prihatin atas kejadian ini, dan saya berharap ini semua akan menjadi pelajaran bagi pak Darmin, agar selanjutnya bisa berkelakuan dengan lebih baik."

Mata Darmin berkilat. Ada amarah disana.

"Dan pak Darmin tau, apabila orang yang pak Darmin hajar dirumah makan itu sampai meninggal, maka pak Darmin bisa dihukum berat. Bisa sepuluh atau limabelas tahun dipenjara."

"Tapi saya hanya memukulnya sekali, karena dia mengganggu saya."

"Pak Darmin memukulnya sekali, tapi kepalanya terantuk tembok dengan keras sehingga dia mengalami gegar otak.  Sekarang masih dalam perawatan intensif. Berdo'alah agar dia tidak meninggal." kata lurah Mardi dengan nada mengancam. Darmin terpaku ditempat duduknya. Kepalanya menunduk. Dibayangkannya berada dalam penjara sampai puluhan tahun, alangkah mengerikan.

"Pak Darmin, saya ingin bertanya, apakah pak Darmin mencintai puteri bapak?"

"Mengapa hal itu ditanyakan? Adakah orang tua yang tiak mencintai anaknya?"

Pak lurah Mardi tersenyum. Baguslah kalau pak Darmin juga mencintai anaknya. Semoga itu bukan hanya jawaban yang terlontar dari bibir saja.

"Senang saya mendengarnya. Tapi kemarin ketika saya kemari dengan beberapa saudara, pak Darmin bilang kalau Sri itu titipan seseorang. Maksudnya apa pak?"

"Ya memang begitulah sesungguhnya. Saya hanya mencegah orang lain mengganggu si Sri, karena dia itu sudah milik orang lain."

"Tapi pak Darmin perlu tau, bahwa Sri itu kan bukan barang?"

"Apa maksud pak lurah"

"Bagaimana seseorang bisa menjadi milik orang lain tanpa sepengetahuan orang terebut? Kalau itu barang, okelah, bisa saja sebuah barang dipindah tangankan dari satu orang ke orang lain, dengan imbalan misalnya. Atau bahasa gampangnya dibeli, begitu kan? Tapi kalau itu manusia bagaimana bisa terjadi pak?"

Darmin tampak meresapi kata-kata lurah Mardi.

"Saya butuh uang waktu itu. Saya terbelit hutang. Rumah hilang, harta hilang, dan masih punya hutang."

"Lalu ?"

"Lalu seseorang melunasi hutang saya. Semuanya dilunasi, dengan janji."

"Janji memiliki si Sri?"

"Waktu itu si Sri masih gadis kecil. Dia bilang menitipkan Sri ke saya, dengan janji kalau Sri sudah dewasa, saya harus menyerahkannya."

"Ooh, begitu ? Apa hanya itu satu-satunya cara untuk melunasi hutang bapak?"

"Hanya itu. Saya tak punya apa-apa. Kalau saya tidak bisa bayar, saya harus membayarnya... dengan .. nyawa." kali itu pak Darmin mengatakannya dengan pilu.

Pak lurah Mardi terdiam, menatap Darmin yang menundukkan kepala sambil memainkan jari-jarinya.

"Sekarang Sri sudah dewasa. Saya harus memenuhi janji saya."

"Berapa banyak hutang pak Darmin waktu itu?"

"Tak terhitung. Seharga satu rumah bagus."

Lurah Mardi tercengang. Satu rumah? Itu bisa seratus sampai limaratus juta. Atau bisa lebih.

Apakah pak Darmin tidak berfikir, akankah Sri bahagia kalau harus melayani laki-laki yang tidak dia sukai?

"Saya takut kehilangan nyawa, apapun saya akan lakukan."

Lurah Mardi terdiam. Darmin juga terdiam. Masing-masing bicara dengan perasaannya sendiri.

Lama kelamaan Darmin tidak tampak garang seperti ketika kemarin lurah Mardi datang beramai-ramai. Barangkali ada sesal.. atau entahlah.

"Pak Darmin, seandainya ada orang yang mau membayar sebanyak dia telah melunasi hutang bapak waktu itu, apa perjanjian bisa batal?"

"Apa? Memangnya ada yang mau membayar sampai ratusan juta?"

"Barangkali ada.."

Pak Darmin diam sejenak, tapi kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Itu terserah dia."

"Dimana saya bisa menemui dia?"

"Namanya Basuki, almarhum bapaknya bernama Cokro. Tapi saya tidak tau dimana sekarang dia tinggal."

"Bukankah terkadang dia datang menemui pak Darmin?"

"Ya, hanya memastikan, bahwa Sri masih ada dibawah perlindungan saya. Maksudnya belum ada yang memilikinya. Dia selalu mengancam saya, dan nyawa taruhannya."

"Jadi Sri sudah pernah bertemu dia?"

"Lama sekali dia tidak datang, bertahun-tahun. Tapi akhir-akhir ini sering datang, hanya memberi saya uang, dan merasa yakin bahwa Sri masih perawan. Itulah sebabnya saya melarang siapapun mendekati Sri."

"Bagaimana sikap Sri terhadap Basuki?"

"Buruk. Sangat buruk. Tampaknya Sri benci pada Basuki."

"Ya pastilah, Basuki sudah terlalu tua  bukan?"

"Sebenarnya kalau wajah, masih menarik, cuma memang dia itu gila perempuan dari dulu."

"Kasihan kalau sampai Sri jatuh kedalam tangannya."

"Apa boleh buat. Kalau Sri menolak, saya harus mati."

"Ya Tuhan...."

"Sebenarnya Basuki tidak akan memaksa. Dia sanggup menunggu sampai Sri benar-benar mau melayani dia. " 

"Saya akan mencoba menemui Basuki. Sebagai anak orang terkenal pada jamannya, barangkali banyak yang mengetahui tentang dia."

Darmin tak menjawab apapun.

"Dan satu lagi pak Darmin, jangan kembali meneguk minukan keras."

"Saya sebenarnya merasa menjadi orang tak berguna., Berbuat semau saya seakan bisa menutupi penderitaan saya yang sebenarnya mencengkeram jiwa saya."

"Tapi sebaiknya pak Darmin bertobat, karena bertobat adalah obat terbaik untuk mengobati luka hati."

Darmin menghela nafas.

"Dan apa yang pak Darmin lakukan itu bukan mengobati penderitaan, tapi justru memperparah. Kasihan si Sri, dia sangat menderita.

Darmin tertunduk kelu. Belum pernah ia mau mendengarkan orang berkata-kata, apalagi bertutur yang seakan menyalahkan dia. Sekarang barulah dia meresapi kata demi kata yang dikatakan lurah Mardi. 

***

 

Namun Timan tidak merasa ketakutan dengan jumlah uang yang diperkirakan bisa menebus si Sri dari tangan Basuki.

"Tidak apa-apa pak lurah, saya masih punya rumah didesa. Saya akan menjualnya. "

"Tapi persisnya berapa kita harus ketemu dulu yang namanya Basuki."

 "Tapi dimana kita harus mencarinya?"

"Saya akan terus mencari informasi. Nanti mas Timan pasti akan saya kabari."

"Saya tunggu pak lurah, dan terimakasih banyak telah menemui pak Darmin demi saya."

"Saya bersyukur, tadi dia mau menerima saya. Wajah yang semula garang perlahan pudar, dan mau mendengar kata-kata saya, dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi."

"Syukurlah."

"Dia itu hanya takut mati."

"Takut mati?"

"Basuki mengancam akan membunuhnya kalau dia tak bisa membayar hutangnya, Lalu dia merelakan Sri untuk dijadikan isterinya. Janji itu sudah ada sejak Sri masih kanak-kanak."

"Saya akan berusaha melepaskan Sri dari jeratan hutang bapaknya."

"Saya akan terus membantu mas."

"Terimakasih pak lurah. Sekarang saya mau ketemu Sri dulu dirumah mbah Kliwon."

"Silahkan mas Timan, rupanya Sri juga butuh dukungan sa'at ini."

"Aamiin, mas Timan. Sampaikan salam saya pada Sri dan mbah Kliwon ya.

"Pak lurah benar. Semoga kita berhasil mengentaskan Sri dari penderitaannya."

***

 

Sore itu Sri pamit pulang sebentar untuk membersihkan rumah.

"Apa perlu simbah bantu?"

 "Tidak mbah, hanya rumah kecil saja kok. Saya cuma sebentar, lalu kembali kemari."

"Baiklah, selama bapakmu masih ditahan lebih baik kamu tidur disini saja, daripada sendirian dirumah sana."

"Ya mbah, maksud saya juga begitu."

"Kamu juga nggak boleh sedih lho Sri, banyak orang yang mendukung kamu."

"Ya mbah, Sri tau."

"Ya sudah, pulang sana dulu, jangan sampai hari gelap baru kembali kesini."

"Baiklah."

Sri melangkah keluar rumah, mbah Kliwon memandangi punggung cucunya dengan rasa iba.

Ia mengusap air matanya yang sempat menetes.

Namun ketika ia mau menutup pintu rumahnya, tiba-tiba sebuah mobil berhenti.

Mbah Kliwon mengawasi siapa yang datang. 

"mBah.." sapa orang itu yang ternyata Timan.

"Walah nak Timan, mari silahkan masuk."

Timan masuk kedalam, matanya mencari-cari. 

"Mana si Sri?"

"O, Sri baru pamit sebentar nak, tapi tunggu saja, dia akan segera kembali," kata mbah Kliwon sambil masuk kedalam. Sebelum pergi Sri sudah membuat wedang jahe kesukaannya. Masih panas, dan mbah Kliwon kemudian menuangnya kedalam gelas untuk disuguhkannya kepada Timan.

"Ini masih anget nak.":

"Simbah kok repot-repot, tapi terimakasih mbah," kata Timan yang langsung menyeruput wedang jahenya.

"Memangnya Sri kemana sih mbah?"

"Pulang sebentar, katanya mau bersih-bersih rumah. Tapi dia nanti tidur disini. Saya sudah pesan supaya jangan sampai malam kembalinya kemari."

"Saya habiskan wedangnya ya mbah, segar rasanya. Anget-anget enak."

"Habiskan saja nak, kalau mau dibelakang masih ada. Sri membuatnya sebelum pulang tadi."

 

***

Sri hampir selesai bersih-bersih. Ia mengunci semua pintu, baik yang dibelakang, maupun samping. Pintu depan masih tertutup, tapi Sri belum menguncinya. Ia lupa dimana kemarin meletakkan kunci rumah. Karena memang sudah dua hari rumah itu dibiarkan tidak terkunci, semenjak Sri lari kerumah simbahnya ketika ayahnya menjadi buron.

Lalu ia menyalakan lampu depan, agar kalau malam tidak tampak gulita.

Dimana kunci itu, Sri benar-benar lupa. Lalu Sri teringat bahwa ayahnya juga membawa kunci rumah. Ia memasuki kamar ayahnya, dan benar, kunci itu masih tergeletak diatas meja. Sri mengambilnya dan bergegas keluar. Tapi sebelum sempat dia membuka pintu, dilihatnya mobil berhenti didepan pagar. Sri terkesiap, itu mobil Basuki.

Sri mengunci pintunya dari dalam, lalu lari kebelakang rumah.

***

besok lagi ya

 

 

Saturday, April 25, 2020

KEMBANG TITIPAN 08

KEMBANG TITIPAN  08

(Tien Kumalasari)

Sri menatap mereka satu persatu, ada salah satu yang dikenalnya.

"Mas Jangkung?"

"Iya Sri, kami mendapat tugas dari pak lurah, untuk mengantarkan bapak-bapak itu," kata Jangkung sambil menunjuk kearah dua orang polisi yang bersamanya.  

"Pak Darmin ada?" lanjutnya.

Tercekat hati Sri. Bagaimanapun Darmin adalah ayahnya. Ada urusan apa dengan para petugas yang juga membawa polisi ini?

"Ada kan Sri ?"

"Iy.. iya... ada mas.."

Dan tanpa dipersilahkan beberapa orang masuk begitu saja kedalam, tanpa Sri bisa mencegahnya.

"Mas Jangkung, ada apa?" tanya Sri cemas.

"Kami mendapat laporan ada peminum dirumah ini, Dan beberapa jam yang lalu telah melakukan penganiayaan disebuah rumah makan." kata Jangkung.

"Oh... cemas hati Sri, ia tau ayahnya masih ada didalam, dan dua orang sudah masuk kedalam kamar ayahnya. Tapi Sri heran, tak ada suara dari dalam. Tiba-tiba terdengar suara botol jatuh dan tampaknya pecah.

Dua orang yang masuk membawa keluar beberapa botol minuman keras keluar dari kamar. Mengapa ayahnya diam saja? Sri cemas sekali, apa yang terjadi dengan ayahnya? Wajah Sri pucat. 

"Dimana ayahmu Sri?"

"Bapak ada... did.. dalam kamar..." terbata Sri menjawabnya.

"Nggak ada, kamarnya kosong. "

Sri bergegas melongok kedalam kamar ayahnya. Benar-benar tak ada. Bau minuman keras menyeruak memenuhi kamar itu. Ada botol pecah, terserak dilantai.

"Bapaaak!" teriak Sri, dan beberapa orang ikut mencari disetiap sudut, dibawah kolong.. didapur.. kamar mandi, tapi yang dicari tak ada.

"Kamu bilang ada.."

"Iya, tadi masih tidur dikamar.."

"Berarti dia kabur. "

Mereka ke bagian belakang rumah, dekat dapur ada pintu keluar. Mereke melongok, tak ada siapapun. Dibelakang rumah itu ada kebun yang tak begitu luas, tapi pagarnya terbuat dari pohon-pohon perdu.

"Dia kabur lewat sana." Seseorang mendekati pagar, melongok kesana kemari, tapi tak ada bayangan orang yang dicarinya.

"Kemana kira-kira bapakmu pergi?"

Sri menggeleng-geleng dengan mata berlinang. Dia benar-benar tak tau.

Ketika mereka pergi, Sri terduduk dikursi dengan perasaan gundah. Ia tak bisa menyalahkan mereka. Ayahnya yang salah. Mengapa juga pakai menganiaya orang?

Bau minuman keras masih memenuhi ruangan. Kemudian Sri berdiri, masuk kekamar ayahnya dan membersihkan pecahan botol dan tumpahan minuman keras. Lalu ia merasa sendirian. Rumah yang senyap, aroma pengap dan jiwa yang sesat telah melingkupi kehidupan ayahnya.

Tapi dia adalah ayahnya, darahnya mengalir disepanjang nadinya. Betapapun kesal dan bencinya dia, tapi  menyaksikan ayahnya lari entah kemana, diburu aparat yang pasti mengancamnya dengan hukuman sekap di penjara. hatinya bagai teriris. 

Gelapnya malam mulai menyelimuti bumi. Sri merasa tak tahan menanggung beban itu seorang diri. Ia menutup semua pintu lalu berjalan kerumah mbah Kliwon.

***

"Bagaimana mas? Darmin sudah ditangkap?" tanya Marni kepada suaminya.

"Kabur."

"Kabur? Kok bisa?"

"Menurut Sri, tadinya masih tidur di kamar. Mungkin karena mendengar suara gaduh, lalu dia menyelinap melalui pintu belakang dan kabur entah kemana."

"Kasihan Sri.."

"Tapi dia tetap diburu. Beberapa botol minuman telah disita sebagai bukti. Orang yang dianiaya masih menginap dirumah sakit karena luka-lukanya."

"Mengapa tidak ditangkap sa'at itu juga?"

"Begitu memukuli orang lalu dia kabur, tapi seseorang mengenali dia, lalu dengan mudah aparat menemukan rumahnya. Sayang dia kabur."

"Lalu bagaimana rencana lamaran mas Timan?"

"Belum tau aku bu, mungkin bicara dulu sama mbah Kliwon,"

"Lalu dimana ya Sri sekarang? Pasti dia sedih. Seburuk apapun Darmin, ia tetap bapaknya bukan?"

"Mungkin kemudian dia pergi kerumah mbah Kliwon."

"Mas kesana coba, kasihan si Sri."

"Ini sudah malam, besok pagi saja."

"Padahal mas Timan akan siap melamar hari Minggu besok itu."

"Dia harus tertangkap dulu. "

"Ya Tuhan, kasihan kamu Sri.." gumam Marni sedih.

 

***

 

mBah Kliwon terkejut ketika mendengar ketukan pintu, yang ternyata adalah Sri. Dia memang selalu mengunci pintunya ketika hari mulai gelap, karena dis hanya sendirian.

"Sri, ada apa?"

Sri tak menjawab, menghambur kedalam pelukan mbah Kliwon, yang kemudian terhuyung-huyung karena tulang tuanya tak sangup menyangga tubuh Sri. Beruntung tak sampai terjatuh.

"Ada apa nduk? Bapakmu ngamuk?"

"Bapak kabur, " katanya sambil terisak..

"Kabur bagaimana ?"

"Tadi dicari polisi, katanya semalam menganiaya orang disebuah rumah makan."

 "Ya Tuhan... "

"Sri bingung mbah... nggak tau harus apa.. bagaimana kalau bapak tertangkap?"

mBah Kliwon menggandeng cucunya agar duduk.

"Dengar Sri, bukannya simbah mensyukuri apa yang terjadi dengan bapakmu. Simbah tau pasti kamu sedih, karena bagaimanapun kamu adalah darah dagingnya. Tapi ibarat orang menanam, pasti dia akan menuai. Kelakuan bapakmu sudah tak terkendali, Tuhan memperingatkannya."

Sri diam terpaku. Apa yang harus disesalinya? Memang itulah yang seharusnya terjadi. Barangkali dengan kejadian ini ayahnya akan menjadi jera, dan bisa berperilaku lebih baik. Tapi benarkah ?"

"Sudah, kamu tenangkan dulu hatimu disini. Semoga yang terjadi adalah yang terbaik."

Sri belum beranjak dari tempat duduknya. Lelah menyelimuti seluruh tubuhnya, jiwanya, lahir dan batinnya.

"Tadi sore setelah kamu pulang, nak Timan menelphone.

Sri mengangkat wajahnya, menatap simbahnya. Berita itu tidak menggembirakannya. Kejadian yang menimpa ayahnya jangan sampai Timan mendengarnya. Tapi mana mungkin? Pak lurah pasti sudah mengabarinya. Aduuh, malunya si Sri. Masihkah Timan mencintainya seperti pernah dikatakannya walau tau bahwa dirinya anak seorang pesakitan?

"Dia akan datang kemari hari Minggu besok."

"Dua hari lagi?"

"Ya, sedianya akan menemui bapakmu."

"Ya ampun, jangan mbah, jangan.."

"Mengapa jangan? Apa yang akan mas Timan lakukan itu adalah sebuah wujud dari kesungguhannya mau memperisteri kamu."

"Tapi kejadian ini bagaimana? Sri malu mbah.."

"Hilangkan perasaan malu itu. Sedikit banyak dia pasti sudah tau seperti apa bapakmu itu."

"Tapi kali ini dia harus berurusan dengan polisi mbah."

"Nanti kita akan bicara. Kamu tidak usah khawatir,"

Namun Sri tetap saja khawatir. Hampir semalam dia tak bisa memejamkan matanya. Membayangkan kedatangan Timan, yang kemudian kecewa ketika mengetahui ayahnya menjadi buruan polisi. Ya Tuhan, ..Akan maukah dia mempunyai keluarga seperti ayahnya?

 ***

 

Pagi itu ketika Sri selesai mengurus para pemasok sayur, Marni datang, tidak sendirian, tapi bersama suaminua.

"Rajin sekali Sri," sapa Marni.

"Iya yu, karena semalam nggak bisa tidur."

mBah Kliwon mempersilahkan tamunya masuk.

"Silahkan pak lurah, ayo Sri, buat minuman hangat."

"Tidak usah Sri, kami kan tidak akan lama. Duduk saja disini Sri," kata pak lurah. Ada rasa iba melihat wajah Sri yang pucat, namun tetap melakukan tugasnya pagi itu.

"Sini Sri, duduk dekat aku," kata Marni.

"Mana Jarot?" tanya si Sri.

"Dia bersama neneknya tadi. Kamu tampak pucat Sri."

"Masak sih yu?"

"Kami datang untuk memberi tau Sri, bahwa ayahmu sudah tertangkap." kata pak lurah.

Sri menatap pak lurah. Matanya mulai berkaca-kaca,

 "Kamu tidak usah sedih Sri, mungkin ini sebuah pelajaran bagi bapakmu, agar menyadari kesalahannya."

Sri mengusap tetes air matanya dengan ujung baju.

"Benar kata pak lurah Sri, semoga semua ini bisa menjadikan pelajaran bagi bapakmu.Kelakuannya sudah sangat keterlaluan.

"Dia ditahan dikota, kalau kamu mau ketemu, nanti kami akan mengantar kamu," lanjut pak lurah.

Sri hanya mengangguk.

"Ada lagi yang kamu harus tau, besok Minggu mas Timan tetap akan datang kemari."

"Tidak pak  lurah, jangan," sanggah Sri

 "Mengapa Sri ?"

"Saya malu , sungguh saya malu.."isak Sri

Marni merangkul pundaknya.

"Mengapa harus malu?"

"Mas Timan tak akan sudi punya keluarga seorang pesakitan. Lebih baik lupakan saja keinginan mas Timan, daripada lebih menyakiti yu."

"Mas Timan sudah tau semuanya."

"Apa?" 

"Kamu jangan khawatir. Mas Timan mu sangat mencintai kamu Sri," kata Marni sambil menepuk-nepuk pundak Sri.

"Aku malu yu.. aku malu.."

  "Nggak perlu malu, dia sudah tau semuanya dan dia tetap ingin melamar kamu."

Sri merangkul Marni sambil terisak-isak. mBah Kliwon ikut berlinangan air mata. Ada rasa syukur karena Timan tetap mencintai cucunya. Apa lagi yang harus dikhawatirkan?

 

***

 

Siang itu Timan menelphone mbah Kliwon. mBah Kliwon tau, pasti Sri yang dicarinya.

"Sri... Sri..."

"Apa ini mbah?" Tanya Sri ketika mbah Kliwon mengulurkan ponselnya.

"Terima saja..."

"Nggak mau mbah.."

"Sri, jangan begitu, nggak sopan.." tegur mbah Kliwon.

Sri mendekatkan ponsel  itu ketelinganya.

"Sri... " Timan sudah menyapanya lebih dulu, karena Sri diam saja.

"Ya.."

"Kenapa nggak mau menerima telephoneku Sri.." kata Timan karena mendengar tadi Sri bilang 'tidak mau menerima'.

"Ma'af.. Sri sedang..."

"Sri, aku ikut prihatin atas kejadian itu, tapi aku tidak akan terpengaruh Sri, aku tetap mencintai kamu."

Gemetar tangan Sri yang memegang ponsel mendengar kata-kata Timan.

"Sri, kamu harus percaya sama aku. Aku bukan anak kecil yang suka main-main. Aku sungguh-sungguh ingin menjadikan kamu isteriku."

Sri terisak.

"Kenapa menangis?"

"Aku malu mas.."

"Kenapa malu? Sama calon suami sendiri kok malu," kata Timan memancing candaan. Tapi Sri tidak tersenyum, apalagi tertawa.

"Ya sudah, kamu boleh menenangkan hati kamu dulu. Tapi nanti menjenguk bapak hari Minggu saja ya, aku mau ikut."

Sri terkejut.Rupanya pak lurah sudah mengatakan semuanya kepada Timan, Tapi benarkah Timan mau ikut menjenguk bapaknya di tahanan?

"Saya serius Sri. Tungguin aku kalau mau menjenguk bapak."

Lalu Timan menutup ponselnya.

Sri menangis sedikit keras. Rasa haru, sedih bahagia bercampur aduk dihatinya. Diserahkan kembali ponsel itu kepada mbah Kliwon sambil mengusap air matanya.

"Sudah, jangan menangis Sri. Simbah akan berdo'a untuk kebahagiaanmu, kata mbah Kliwon sambil mengelus kepala Sri.

 

***

 

 "Mas Timan sangat baik ya mas, besok mau menjenguk bapaknya Sri di tahanan." kata Lastri kepada suaminya pada suatu malam.

"Kita ikut kan?"

"Ya ikut lah mas, walau akhirnya belum melamar resmi, tapi kan nanti bisa kelihatan bagaimana sikap pak Darmin ketika melihat calon menantunya.

"Kamu benar Tri, dan parcel-paarcel itu tetap kita bawa kan?"

"Iya dong mas, kalau nggak masa akan kita habiskan sendiri."

"Hm, tiba-tiba aku kok jadi ingat jaman kita masih pacaran dulu ya Tri.."

"Kenapa emang?"

"Menunggu bertahun tahun sampai aku berhasil mempersunting kamu. Gadis bodoh."

"Iih, kok bodoh sih..? Kata Lastri cemberut. 

"Bodoh lah, dicintai orang ganteng malah kabur.."

"Iih, mana sih gantengnya? Mana..? Jelek gitu.."

"Apa? Aku jelek? Ayo bilang sekali lagi bahwa aku jelek.."

"Jeleeek..!! Kata Lastri yang kemudian lari menjauh, dan Bayu mengejarnya.

Lastri terkejut ketika hampir saja menabrak bu Marsudi yang baru saja keluar dari kamar.

"Eeeh.. ada apa ini?"

Lastri sembunyi dibelakang bu Marsudi.

"Kalian kayak anak kecil saja sih, pakai kejar-kejaran segala," tegur bu Marsudi sambil tersenyum.

"Minggir bu, biar aku gelitikin dia sampai menangis."

"Bu.. itu bu.. mas Bayu," rengek Lastri manja.

"Bayu..." tegur bu Marsudi.

"Habis aku dikatain jelek bu, coba apa ibu nggak sakit hati anak laki-lakinya dibilang jelek!"

"Sudah.. sudah.. aduuh.. kayak anak kecil saja kalian ini. Ayo Tri, kita siapkan makan malam saja."

"Itu bu..mas Bayu.."  rengek Lastri sambil memegangi lengan mertuanya.

"Bayuuu !!"

Bayu membalikkan tubuhnya sambil mengancam.

"Awas ya, nanti kalau  nggak ada ibu."

Lastri mengikuti ibu mertuanya sambil memeletkan lidahnya kearah suaminya.

***

Hari itu Sri jadi menjenguk bapaknya di tahanan. Ada Timan yang selalu berjalan disampingnya, mbah Kliwon, pak lurah Mardi dan isterinya, serta Bayu dan isterinya.

Setelah lurah Mardi berbincang sebentar dengan petugas, mereka diijinkan menunggu sementara petugas yang lain menjemput Darmin, diajaknya menemui keluarganya.

Sri sedih, melihat wajah ayahnya cekung, seperti berhari-hari tidak pernah tidur. Dia mendekati ayahnya, lalu mencium tangannya dengan linangan air mata.

Darmin tak terpengaruh dengan perhatian anaknya. Ia duduk dan mengamati siapa saja yang datang bersama Sri. Wajahnya muram, matanya melotot marah kepada anaknya.

"Jadi kamu katakan kepada semua orang bahwa aku ditangkap polisi ? Iya ?" tuding Darmin kepada anaknya.

"Bukan bapak, ini.. pak lurah dan bu lurah.. ini yu Lastri dan suaminya.. dan ini.. mas Timan.."

"Siapa dia?" katanya tanpa nada manis.

"Min, ini yang aku pernah bilang sama kamu,. lalu belum-belum kamu sudah marah-marah.."

Timan berdiri, mendekati Darmin dan meraih tangannya. bermaksud menciumnya, tapi Darmin mengibaskan tangannya.

"Saya Timan, temannya Sri, dan..."

"Tidak.. tidak.. hentikan semua ini. Kamu..  maksudnya mau mengambil Sri sebagi isteri kamu?" 

"Benar bapak, saya akan datang lagi ketika suasana sudah lebih baik, untuk melamar secara resmi," kata Timan dengan perasaan yang mulai tidak enak.

"Tidak.. tidak.. lebih baik kalian pulang, dan ingat, Sri itu sudah ada yang punya."

"Apa maksudmu Min?" kata mbah Kliwon agak keras.

"Sri itu sudah menjadi titipan seseorang. Jadi lupakan keinginan kamu," katanya sambil menuding kearah Timan.

"Bapak, apa maksud bapak?"

"Kamu itu barang titipan. !! Jangan bertanya lagi dan segera bawa mereka pergi dari sini." kata Darmin kasar, sambil berdiri lalu berjalan masuk.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Friday, April 24, 2020

KEMBANG TITIPAN 07

KEMBANG TITIPAN  07

 (Tien Kumalasari) 

Darmin menoleh kearah wanita itu. Ia merasa tak pernah melihatnya. Kemarahannya memuncak karena ada perempuan berani menentangnya.

"Kamu tidak usah ikut campur. Ini urusanku."

"Tapi saya tidak suka mendengar kata-kata kamu. Dia ini orang tua, harusnya kamu menaruh hormat. Oh ya, apakah kamu bapaknya Sri? Saya heran, Sri yang cantik dan lembut hati bisa terlahir karena seorang ayah yang seperti kamu."

"Tutup mulut kamu ! Atau aku hajar kamu?!"

"Eeh... lancang kamu Darmin. Kamu tidak tau siapa dia. Dia adalah bu lurah!" hardik mbah Kliwon.

Darmin mundur selangkah.

"Aku hanya minta agar Sri pulang ! Tidak pantas seorang gadis tidur disembarang tempat !"

"Ini  bukan sembarang tempat. Ini rumahku, rumah mbahnya si Sri." kata mbah Kliwon tak kalah sengit.

"Mulut kamu bau minuman keras, kamu tidak waras. Aku akan melaporkan kamu agar kamu ditangkap, karena pemabuk adalah penjahat."

Wajah Darmin merah padam, sudah gatal tangannya ingin menampar bu lurah, tapi ada rasa segan. 

"Ada apa pak?" tiba-tiba Sri terbangun mendengar suara ribut.

"Pulang kamu !!" teriak Darmin sambil menuding kearah si Sri.

"Sri akan tetap disini. Dia bekerja untuk pak lurah." kata bu lurah lantang, sambil berdiri dihadapan Sri, seakan khawatir kalau-kalau Sri mendekati ayahnya.

Beberapa pemasok sayur sudah datang, heran ada orang berani bicara lantang dihadapan bu lurah.

Darmin  menuding Sri dengan mata menyala.

"Awas kamu !!"

Lalu dia membalikkan tubuhnya dan berlalu.

Bu lurah menghela nafas kesal. Dia memasuki rumah sambil merangkul pundak si Sri.

"Kasihan kamu Sri, bagaimana bapak kamu bisa melakukan hal seperti itu?"

Sri diam, berlinang air matanya.

"Segeralah menikah dengan mas Timan, dan tinggalkan saja bapakmu."

Alangkah mudah kata itu diucapkan. Semudah itu pulakah dia bisa menikah dengan Timan mengingat sikap bapaknya seperti itu?

"Silahkan duduk bu lurah, saya siapkan minuman hangat," kata mbah Kliwon.

"Terimakasih mbah, tapi saya harus segera kembali. Lagi pula para pemasok sayur sudah pada datang, dan mobilnya juga sudah siap didepan. Saya akan segera melaporkan kejadian ini kepada mas Mardi. Mungkin mas Timan harus segera melamar Sri."

"Terimakasih banyak bu lurah, saya juga sudah tidak tahan menyaksikan penderitaan Sri. Bagaimana mungkin, hidup bersama ayah kandungnya tapi tidak merasa nyaman."

"Semoga semuanya segera berakhir mbah. Oh ya, ini nasi buat sarapan," kata bu lurah kemudian sambil meletakkan rantang diatas meja.

"Sri, bu lurah selalu repot untuk kita,  bawa rantangnya kebelakang dan urus barang-barang itu. Mandinya nanti saja."

"Iya mbah, terimakasih banyak yu Marni," kata Sri sambil beranjak kebelakang.

 

***

 

Ketika Marni sampai dirumah, dilihatnya suaminya sudah selesai mandi.

"Aduuh, anak bapak yang ganteng.. enak ya tidurnya?"

"Setiap diajak jalan-jalan pasti dia tidur."

"Segar hawa pagi."

"Tadi ada sedikit keributan dirumah mbah Kliwon."

"Keributan apa ?

"Semalam Sri tidur dirumah mbah Kliwon, karena ketakutan melihat laki-laki itu ada dirumahnya. Darmin tampaknya baru pulang menjelang pagi, kemudian melihat Sri tidak ada dirumah. Nah, dia marah-marah lalu datang kerumah mbah Kliwon. Aduh mas, bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan itu... ngeri aku mas."

"Melakukan apa sih? Kamu ngomongnya nggak jelas."

"Darmin itu lho mas, bukankah mbah Kliwon itu mertuanya? Tapi dia berkata kasar dan sama sekali tidak menghormatinya. Kesal aku mas, aku marah sekali dan memaki-maki dia."

"Berani kamu ?"

"Berani lah. Melihat orang bersikap kasar seperti itu, nggak tahan aku."

"Dia memang susah diatur, aku akan memperingatkannya, belum sempat juga karena di kantor sedang banyak pekerjaan."

"Mas harus segera memperingatkannya. Kasihan Sri mas, anak baik seperti dia mengapa terlahir dari  bapak yang kasarnya seperti setan."

"Nanti akan ada yang bertugas memperingatkan. Sudah.. ayo sarapan dulu."

"Tapi mas, tampaknya mas  Timan harus segera melamar. Biar Sri segera terlepas dari bapaknya."

"Ya, nanti aku juga mau bilang sama mas Timan. Sepertinya kemarin juga sudah ketemu Lastri sama mas Bayu."

"Baiklah, aku  tidurkan thole dulu, lalu menyiapkan sarapan buat mas."

 

***

 

Sri sudah menyelesaikan pekerjaannya pagi itu. Tapi hatinya merasa gelisah. Pasti nanti ketika dia pulang, Darmin akan marah-marah. Dan  entah apa yang akan diperbuatnya.

Sri duduk termenung setelah selesai masak. Hanya oseng kangkung dan rempeyek teri yang sesungguhnya menggugah selera. Tapi Sri masih belum ingin makan.

"Simbah mau makan sekarang?"

"Kamu kok malah duduk disitu? Belum lapar?"

"Sri belum lapar, tapi kalau simbah mau makan sekarang akan Sri siapkan."

"Kalau begitu nanti saja kalau kamu juga sudah ingin makan. Nggak enak makan sendiri."

Sri tidak beranjak dari tempatnya duduk. mBah Kliwon mendekati dan duduk dihadapan Sri.

"Kamu sedih memikirkan bapakmu? Takut pulang nanti sore?"

"Nggak tau mbah, Sri bingung."

"Ya sudah, kalau takut pulang ya tidur disini lagi saja."

"Tidak mbah, nanti dia datang kemari dan ngamuk-ngamuk lagi.  Nggak tega mendengar bapak berkata kasar sama simbah."

mBah Kliwon beranjak berdiri karena mendengar dering telephone.

"Hallo... oh.. iya nak.. ada.. sebentar.." suara mbah Kliwon yang kemudian mendekati si Sri.

"Ini, ada telephone untuk kamu," katanya sambil menyerahkan ponselnya.

"Siapa mbah?"

"Terima saja dulu."

"Hallo..."

"Hallo juga, ingat nggak suara siapa ini?"

Mendadak wajah Sri berseri-seri. Wajah ganteng dengan mata teduh itu terbayang dimatanya. 

"Ingat nggak ?"

"Lupa tuh? kata Sri menggoda..

"Aduh, kasihan deh aku, begitu gampang dilupakan rupanya. Ya sudah aku tutup saja kalau begitu," kata Timan balas menggoda.

"Mas Timaaaan!"

"Tuh, pura-pura lupa kan ?"

"Ada apa mas?"

"Kok ada apa sih, kan kemarin aku sudah janji mau menelpone."

"Memangnya nggak jualan ?"

"Jualan sih, sudah agak sepi pasarnya. Sebentar lagi mau mengirim buah ke rumah makan."

"Oh, senangnya seandainya aku bisa membantu.."

"Boleh membantu dong, tapi kan ada syaratnya?"

"Apa tuh?"

"Menjadi isteri aku dulu.."

Sri terdiam, hatinya terguncang. Ia ingat kata bu lurah pagi tadi. Segeralah menikah dengan mas Timan.. aduhai.. seperti semudah membalikkan telapak tangan.

"Heiii.. kok diam? Kamu marah?"

"Nggak... "

"Kok diam?"

"Ngebayangin..."

"Ngebayangin apa?"

"Benarkah itu akan terjadi ?" tanya Sri pilu.

"Mengapa tidak ? Sri, aku serius, sudah lama keinginanku terpendam. Aku jatuh cinta pada pandngan pertama," kata Timan begitu lancar. Entah darimana datangnya keberanian itu. Mungkin karena yakin bahwa Sri tak akan menolaknya. Kelihatan dong dari sikapnya. 

Sri tersenyum, hatinya melambung kelangit bersama seonggok bunga-bunga wangi yang menghiasi seluruh nurani.  Ini pernyataan cinta yang baru didengarnya. Bukan candaan.

"Sri..."

"Ya..."

"Kok diam?"

"Ngebayangin.."

"Dari tadi ngebayangin melulu."

Sri tertawa. Timan menelan ludah. Pasti sederet gigi putih dibalik bibir tipis itu tampak sangat mempesona.

"Sudah mas, katanya mau ngirim buah ke rumah makan.."

"Lhoh, kok ngusir? Lagi asyik-asyiknya nih."

Sri tersenyum lebar. Entah mengapa hatinya merasa ringan. Beban yang memberatinya terlepaskan. Lagi asyik sih, memang iya, ingin rasanya bicara terus seperti ini.

"Nanti ditungguin orang yang lagi pesan buah lho..."

"Bukan karena sebel sama aku ?"

"Ya enggak lah.. "

"Bener?"

"Bener.."

"Yakiin?"

"Ih.. mas Timan.."

Gemas Timan mendengar celetukan si Sri. Seandainya Sri ada didepannya pasti bisa dilihatnya bibir tipis yang mengucapkan kata-kata, dan mata berbinar yang membuatnya terpana. Benar-benar kembang desa yang telah berhasil merebut hatinya.

Tapi tiba-tiba ada telephone masuk. 

"Sri, sudah dulu ya, tampaknya pak lurah menelphone, aku jawab dulu ya."

"Ya mas."

Sri menutup telephone dengan hati berdebar. Pak lurah menelphone mas Timan, apakah ada sesuatu yang ada hubungannya dengan dirinya?

"Sudah selesai ngomongnya Sri?" tanya mbah Kliwon ketika Sri mengembalikan ponselnya.

"Sudah mbah, sepertinya kang Mardi menelpone mas Timan."

"Semoga berbicara tentang kamu Sri."

"Apa iya mbah ?"

"Bu lurah pasti sudah melapor pada suaminya tentang kejadian pagi tadi. Bukankah dia bilang lebih baik mas Timan segera menikahi kamu?"

Sri terdiam. Sungguh dia merasa was-was.

***

Dan sore itu Bayu mengatakan pada Lastri, bahwa hari Minggu besok mereka akan mengantarkan Timan menemui bapaknya.

"Bagus dong mas, seneng aku mendengarnya."

"Kita harus membawakan oleh-oleh Tri, coba pikirkan apa.."

"Parcel buah, sama roti.. yang bagus, sudah pantas itu."

"Bukan yang pakai bahan baju.. atau lain-lain yang ditempatkan di baki-baki berhias itu?"

"Itu kan kalau sudah jadi, trus mau menikah. Kok mas lupa sih?"

"Lho, aku nggak tau ya, kan ibu yang mempersiapkan semuanya."

"Ini kan baru mau ngomong-ngomong, silaturahmi, ya cukup bawa oleh-oleh saja, pokoknya pantas dan tidak memalukan."

"Yang disukai calon mertua juga kan?"

"Apa tuh? Sarung ? Baju bagus?"

"Bukan, wisky.. brendi... kan dia suka minum-minum katanya?"

Lastri tertawa keras.

"Rupanya mas mendukung kesukaan bapaknya Sri ya?""

"Kalau mau membuat dia senang..ya harus membawa apa yang menjadi kesenangannya. Kan kalau bapaknya senang langsung anaknya dikasih."

"Hiih... nggak mau aku.. mas nih ada-ada saja."

"Ya sudah, kalau masalah buah, mas Timan kan ahlinya. Biar dia mengatur parcel buah. Kita akan membawakan makanan atau kue-kue saja."

"Ayuk mas, kita jalan-jalan."

"Tuh, senengnya .."

"Mas Bayu tuh...

"Ini kan demi mas Timan... ayo mas.. "

"Cuma minta jalan-jalan saja apa susahnya sih? Kalau minta turunnya bintang atau rembulan.. wah.. itu baru susah."

Lastri mencubit lengan suaminya dengan mesra.  

"Ayo.. ini masih sore.. jangan cari gara-gara ya?"

"Iih.. mas Bayu.. gara-gara apa sih?"

"Gara-gara cubitan mesra.. "

"Apa tuh?"

"Ini pura-pura nggak tau atau memang bener nggak tau nih?"

"Nggak tau, bicara nggak jelas begitu.."

"Oke, ayo masuk ke kamar,  biar aku jelasin.."

"Maaas, katanya mau jalan-jalan.. mengapa harus masuk kamar?"

 "Lho, masa jalan-jalan pakai baju rumahan begini, ganti baju dong, jangan ngeres ah.."

"Mas Bayu.. jelek ah !! 

"Ayo ganti baju dulu," kata Bayu sambil menarik isterinya.

***

Sri melangkah perlahan memasuki rumah, ada debar didadanya ketika membayangkan akan seperti apa nanti kemarahan ayahnya.

Berderit ketika ia membuka pintu.. Si Sri melangkah perlahan, tapi ketika melewati kamar ayahnya, didengarnya dengkur yang agak keras.

Kebiasaan, kalau malam ngelayap, kalau siang mendengkur. 

Sri melangkah perlahan menuju kamarnya. Kalau melihat kepulangan Sri, kemudian dia memakai baju yang bukan pemberian Basuki, pasti mengomel, dan mengancam akan membakar seluruh baju kumalnya.

Bergegas Sri mandi. Ketika melihat kebelakang, barang-barang-barang tampak berserakan. Gelas dan piring kotor, serta kertas bungkus yang sudah kosong tapi masih belum juga dibuang oleh ayahnya.  Sri menjerang air untuk membuat minum, lalu membersihkan meja dapur. Baru ditinggal sehari saja rumah sudah berantakan seperti kapal pecah. Padahal ayahnya hanya sendiri. Bagaimana kalau nanti Sri sudah mengikuti suaminya?

Membayangkan menjadi isteri, Sri tersenyum sendiri. Tapi ada rasa perih dihati. Entah apa yang terjadi pada hidupnya nanti..

Ketika Sri selesai menuangkan minuman pada cangkir yang biasanya dipakai oleh ayahnya, tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki diluar pintu depan. Sri bergegas kedepan, dan melihat beberapa laki-laki berseragam berdiri disana. Lalu dua orang berseragam polisi menyusul dibelakangnya. Sri terkesiap.

 

***

 

besok lagi ya

 

 

 







































M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...