Friday, November 29, 2019

DALAM BENING MATAMU 56

DALAM BENING MATAMU  56

(Tien Kumalasari)

 

Adhit ingin segera mendapatkan jawaban atas perasaan cintanya pada Dinda, Ia ingin menunda urusannya tentang Mirna. Hatinya sudah mantap, ketika ponsel berdering dan itu dari Dewi. Adhit terpaksa mengangkatnya.

"Hallo Wi... ada apa?"

"Untunglah kamu lagi on. Susah bener menghubungi kamu."

"Ya, lagi bertapa aku," candanya.

"Gawat Dhit, aku terpaksa minta tolong sama kamu."

"Mirna? Ada apa dengan dia ?"

 "Kamu kan tau bahwa dia itu orang gila, kasihan Mirna. Kebetulan aku dipertemukan dengannya dan tau semuanya. Ternyata dia yang dinikahi Aji, tapi setelah hamil di sia-siakannya. Baru sehari dia bejerja di tokoku, setelah mengontrak rumah sendiri bersama ayahnya."

"Kemana Aji ?"

"Kemarin dia mencegar Mirna ketika Mirna mau berangkat ke tokoku, yang kebetulan nggak jauh dari rumah kontrakannya. Lalu Mirna sengaja membawanya ketokoku. Dia terkejut melihat aku. Aku sudah me maki-makinya habis habisan. Tapi sa'at itu dia ngotot ingin bertemu Mirna, sepertinya dia butuh pertolongan Mirna, entah apa, tapi aku melarangnya bertemu. Tapi sorenya ketika Mirna pulang, mungkin Aji mencegatnya lagi, dan entah apa yang dilakukannya, Mirna sampai masuk rumah sakit dan keguguran."

"Dirumah sakit mana?"

"Ayud yang kebetulan mengetahui sa'at Mirna dioperasi atau mungkin di kuret karena kehamilannya yang gagal, paginya ingin menemui dirumah sakit itu, tapi pihak rumah sakit bilang kalau Aji sudah memindahkannya ke rumah sakit lain."

"Karena apa? Parahkah keadaan Mirna?"

"Tidak, aku curiga Aji memang menyembunyikan Mirna, karena tau bahwa Ayud melihatnya dan mengenalnya."

"Ada apa ya?"

"Itulah Dhit aku mengajak kamu untuk menyelidiki masalah ini."

"Tapi aku mau ke jakarta hari ini."

"Tolong Dhit, aku menghawatirkan Mirna."

Adhit bimbang, antara keinginan segera mengetahui kelanjutan perasaannya terhadap Dinda, dan membantu Dewi 

"Gimana Dhit ? Bisa kan? Aku masih dirumah sakit bersama Ayud nih. Pokoknya aku tunggu ya."

"Ya baiklah, aku kesana sekarang, Ayud sudah mengatakan rumah sakitnya tadi."

***

"Bapak, mana bapak?" keluh Mirna ketika perawat sedang mengukur tensinya siang itu. 

"Bapak Aji menunggu diluar bu, sabar ya, keadaan ibu lemah seteah dikuret, ibu harus istirahat dulu disini. "

Mirna sedih, ia memikirkan bapaknya yang entah berada dimana. Ia mendengar laporan perawat pagi tadi kepada suaminya. Tekanan darahnya rendah, hb nya juga sangat rendah. Kalau siang ini tidak membaik, ia harus mendapatkan transfusi darah.

Ketika perawat itu akan pergi, terbersit keinginan Mirna untuk meminta tolong. Ia harus menghubungi Dewi, ia sadar keadaannya tak begitu bagus, ia dalam tekanan Aji, dan ayahnya dipergunakannya sebagai alat untuk memaksanya.

"Suster...."

Perawat itu berhenti melangkah, berbalik mendatangi Mirna.

"Ada apa bu, akan saya panggilkan pak Aji."

"Jangan, tolonglah saya.."

"Apa yang bisa saya lakukan?"

"Tolong catatlah nomor telephone ini.."

Perawat itu lalu mengambil kertas yang entah darimana, mungkin dicatat disudut kertas laporannya, lalu mencatat nomor yang dikatakan Mirna. 

"Tolong mbak, kirimkan pesan ke nomor itu, bahwa saya ada dirumah sakit ini, saya bekerja disana dan nggak tau kalau harus terbaring disini."

"Baiklah bu.."

"Eh mbak..." panggil Mirna lagi ketika perawat itu akan berlalu.

"Ya bu?"

"Tolong jangan bilang pak Aji tentang pesan saya ini."

Perawat itu mengangguk. Lalu keluar dari ruangan.

Mirna merasa sedih, sakit ditubuhnya tak begitu dirasakannya. Ia hanya memikirkan ayahnya. Ia berharap perawat itu benar-benar menolongnya, dan Dewi segera bisa datang menemuinya.

Ketika Aji masuk, Mirna pura-pura memejamkan matanya. Tapi Aji tetap mengajaknya bicara.

"Mirna, tolonglah aku..Hari ini aku harus kembali ke kantor polisi. Aku sudah bilang bahwa kamu sakit. Mungkin polisi akan datang kemari, tolong aku ya Mir."

Mirna membuka matanya. Dilihatnya wajah Aji yang pias, jauh dari keangkuhan yang biasanya diperlihatkannya sesa'at setelah diketahuinya dia mengandung.

"Dimana bapak?" katanya lemah.

"Bapak baik-baik saja, aku akan membawanya kemari setelah kamu mengatakan pada polisi tentang apa yang aku katakan kemarin."

Mirna kembali memejamkan matanya. Sungguh ia tak ingin berbohong, tapi ia juga ingin segera bertemu ayahnya.

"Maukah Mirna?"

Mirna mengangguk pelan. Itu membuat Aji merasa lega. Diciumnya pipi Mirna, tapi kemudian Mirna membuang mukanya. Laki-laki yang berstatus sebagai suaminya ini tak pernah membuatnya bahagia, tak pernah berhasil menumbuhkan cinta, dan kini justru memercikkan kebencin dengan melibatkannya pada kejahatan yang telah dilakukannya.

***

Ayud dan Dewi gembira ketika melihat Adhit datang. Adhit memeluk adiknya lalu mengelus perutnya yang mulai membuncit.

"Rupanya kangen juga ya sama keponakanmu ini?" canda Ayud.

"Iya, kangen bener, tapi bagaimana lagi. Harusnya siang ini aku mau ke Jakarta."

"Mas, kayaknya Mirna dalam bahaya, kita harus menolongnya,"

"Waduh, ini salah dia sendiri, dulu nggak mau gerterus terang kalau mau menikah dengan Aji."

"Iya mas, kan itu sudah lewat, ayo sekarang kita cari Mirna dimana."

"Sebentar, sebentar.. ada pesan WA ini, entah dari siapa, nggak kenal nomornya, tunggu.. siapa tau penting."

"Barangkali dari Mirna?

"Oh, dari perawat rumah sakit, ini dia alamatnya, Mirna yang nyuruh kita kesana, ayo kesana cepat."

"Ayud, kamu kembali saja ke kantor, nanti kamu kecapean, biar aku sama Dewi yang mengurusnya." kata Adhit ketika melihat Ayud mengikutinya.

"Iya YUd, sudah ada Adhit, kamu kembal saja ke kantor."

"Baiklah, tapi kabari aku kalau ada apa-apa ya."

***

Ketika tiba dirumah sakit itu, Adhit dan Ayud langsung menuju dimana ruang Mirna dirawat, karena bunyi WA itu juga menyebutkannya.

Ketika memasuki ruangan itu, dilihatnya Mirna terbaring dengan wajah pucat.

"Mirna ?"

Ada rona merah tersirat pada wajah Mirna ketika melihat Dewi datang. Dalam hati ia berterimakasih pada perawat yang dititipinya pesan. Tapi ia terkejut melihat Adhit datang juga bersama Dewi. Ia tak kuasa menahan debar jantungnya. Laki-laki tampan yang selalu dikaguminya, dan yang berusaha dilupakannya, sekarang ada dihadapannya, memandangnya penuh iba. 

"Pak Adhit.." bisiknya lirih.

"Aku memintanya untuk membantu mencari kamu, karena katanya Aji memindahkanmu ke rumah sakit lain, untunglah ada yang memberi tau keberadaanmu."

"Saya minta tolong perawat mbak, saya butuh pertolongan."

"Apa yang sesungguhnya terjadi ? Aku ikut prihatin mendengar kamu keguguran,"

"Bapak disekap oleh mas Aji," kata Mirna lirih, air mata mulai menggenangi kelopaknya, menetes membasahi pipinya.

"Disekap bagaimana?" tanya Dewi dan Adhit hampir bersamaan.

Lalu Mirna menceritakan semuanya, dengan ter bata-bata. Mulai ketika Aji mencegatnya ketika pulang dari toko Dewi sampai dirinya dibawa kerumah sakit itu.

"Kalau saja kamu berterus terang kalau mau menikah dengan bedebah itu, pasti aku akan mencegahnya, karena aku sudah tau siapa dia. Tapi sudahlah, semuanya sudah terlanjur, dan kamu harus segera keluar dari kemelut ini." kata Adhit mmenyesali peristiwa itu.

"Dia benar benar gila. Ternyata dia pembunuh."

"Penjahat kelas teri, gampang saja kalau mau membuat dia masuk penjara."

"Kamu jangan mau mengakui kebohongan itu Mirna."

"Tapi bapak dalam bahaya mbak," isak Mirna.

"Kurangajar benar dia itu," kata Dewi geram.

"Begini saja, aku akan melaporkan semua ini pada polisi."

"Bapak saya bagaimana pak."

"Jangan khawatir, nanti polisi akan mengaturnya. Dewi, kamu disini dulu menemni Mirna, saya akan ke kantor polisi."

Dewi mengangguk. Mirna menatap kepergian bekas bos yang masih ganteng itu dengan matanya. Dan laki-laki yang dikagumi itu sedang berusaha membantunya. Dipejamkannya matanya sambil melantunkan do'a dalam hati, agar dirinya benar-benar bisa terlepas dari keterlibatan kejahatan Aji.

"Tenanglah Mirna, Adhit pasti akan menolong kamu," kata Mirna yang merasa iba memandangi wajah pucat itu.

"Ma'afkan saya mbak, saya telah membebani mbak Dewi dengan persoalan saya."

"Jangan berfikir begitu, aku khawatir benar-benar ketika mendengar kamu bertemu Aji lagi."

"Saya hanya menghawatirkan bapak, dimana mas Aji menyekapnya."

"Percayalah Mirna, semuanya akan baik-baik saja."

Mirna mengangguk, sedikit merasa tenang karena Dewi menemaninya.

***

Raharjo sedikit kecewa menerima pesan dari Adhit siang itu.

"Adhit tidak bisa datang siang ini seperti janjinya, katanya ada urusan penting," kata Raharjo yang masih berada dirumah Galang.

"Katanya buru-buru ingin tau jawabannya, mengapa dia menundanya lagi?"

"Mungkin ada urusan pekerjaan yang harus ditanganinya."

"Tapi Ayud bilang Adhit sudah beberapa hari tidak ke kantor."

"Padahal rencananya besok aku mau kembali ke Medan mas."

"Lho, katanya kamu mau meminta Retno untuk menyusul kemari."

"Nggak mas, masalah ini harus aku bicarakan dirumah, dengan hati-hati. Tidak bisa disini."

"Benar juga ya, tapi bagaimana kalau besok Adhit datang dan kamu sudah kembali?"

"Bagaimana kalau mas Galang suruh Adhit ke Medan saja."

"Ke Medan?"

"Sebaiknya aku yang memberi tau masalah ini mas... bukan mas Galang, karena akulah yang membuat semuanya menjadi kacau begini."

"Tidak Jo,  bukan kacau, ada jalan untuk keluar dari masalah ini, karena kita adalah saudara, yang menganggap semua perso'alan bisa dipikul bersama."

"Baiklah, aku telephone Adhit sekarang saja ya mas, biar dia langsung ke Medan besok."

"Tapi katakan juga nanti harus ke Jakarta dulu, ibunya ingin ketemu."

Raharjo mengangguk, lalu memutar nomor telephone Adhit. Terdengar nada panggil, tapi Adhit tidak mengangkatnya. Ber kali-kali dilakukan, tetap Adhit tidak mau mengangkatnya.

"Kok nggak diangkat ya," kata Raharjo.

Coba aku yang menelpon ya Jo."

Namun baik Raharjo maupun Adhit, tak mendapat jawaban atas panggilan telephone yang dilakukannya.

Tentu saja Adhit tidak mengangkatnya, karena waktu itu dia sedang ada di kantor polisi. Ketika dia datang, waktu itu Aji juga sedang memasuki kantor polisi itu. Begitu melihat Aji, Adhit langsung mendekat, geram melihat wajah tampan yang tampak kumal, tapi matanya penuh kelicikan. Ia teringat ketika Aji mengganggu Dinda, lalu dengan sekali tonjokan dihantamnya wajah Aji, dan membuat Aji terhuyung huyung.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Wednesday, November 27, 2019

DALAM BENING MATAMU 54

DALAM BENING MATAMU 54

(Tien Kumalasari)

 

Mirna merasa lemas. Kepalanya pusing tiba-tiba. Sama sekali ia tak menduga Aji akan berbuat sejauh itu. Apa benar bukan Aji pembunuhnya? Ia mencari alibi, berarti dia terlibat, atau dia memang melakukannya. Ingat akan keselamatan ayahnya, tiba-tiba timbul kekuatan pada diri Mirna. Ia bangkit berdiri dan bergegas berjalan kearah rumah. Sebungkus gorengan yang masuh hangat tertinggal di bangku tempat dia duduk, tak diperhatikannya. Aji mengikutinya dari belakang.

"Mirna, Mirna.. jangan khawatir, aku tak akan mencelakai ayahmu, tapi turutilah kata-kataku. Tolong Mirna," katanya sambil terus berjalan, dan Mirnapun tak menjawab, ia terus saja melangkah.

Ketika tiba dirumah kontrakannya, dilihatnya pintu terbuka, setengah berlari Mirna masuk kedalam.

"Bapak... bapak..," panggilnya sambil memasuki semua ruang yang ada dirumah itu, tapi tak ditemukannya orang yang dicarinya.

"Bapaaaak...," Mirna berteriak semakin keras. Kali ini sambil menangis.

"Mirna, bapak ada bersama aku," kata Aji sambil menarik tangan Mirna dan mengajaknya duduk.

"Jangan menangis, bapak baik-baik saja."

"Kembalikan bapak.. kembalikan, jangan libatkan dia kedalam perso'alan kamu mas," isak Mirna.

"Tidak, aku tidak melibatkan bapak, dia baik-baik saja, sungguh."

"Apa yang kamu inginkan mas.."

"Aku hanya ingin kamu membantu aku."

"Aku harus bagaimana?"

"Katakan pada polisi bahwa hari ketika bu Sukiman kecelakaan, aku sedang bersama kamu, ber jalan-jalan, atau belanja disebuah toko. Oh tidak, jangan belanja, aku harus punya bukti belanjaan itu. Katakan sedang ber-jalan-jalan saja."

"Jadi kamu memang membunuhnya?"

"Tidak, aku hanya dituduh, karena keluarganya mengatakan bahwa sore itu dia sedang pergi kerumah itu untuk menagih uang kontrakan."

"Kalau kamu tidak melakukannya, mengapa kamu harus memiliki alibi yang ternyata bohong? Dan melibatkan aku, melibatkan bapak.." kata Mirna setengah berteriak.

"Mirna, apapun yang dituduhkan polisi aku harus memiliki alasan kuat. Aku sudah mengatakan tak tau apa-apa, tapi mereka tak percaya. Lalu aku mengatakan bahwa waktu itu aku sedang bersama kamu."

"Penjahat!! Pembohong! Penipu kamu mas! Mimpi apa aku bisa bertemu manusia seperti kamu!!"

"Mirna, sudahlah, kamu tinggal menjawab bersedia atau tidak, lalu biarkan aku melakukan apa yang ingin aku lakukan."

"Kamu juga akan dihukum karena menyandera bapak !!"

"Apa itu masalah buat aku? Kalau aku sudah dihukum dengan tuduhan membunuh, maka tuduhan menyiksa bapak, atau bahkan membunuh bapak sekalipun, apa bedanya?"

Mirna terus menangis. Dadanya terasa sesak, perutnya juga terasa mulas.

"Kamu tau, aku hanya diberi waktu sehari untuk mencari kamu, dan besok aku sudah harus kembali ke kantor polisi dengan membawa kamu. Aku bisa keluar karena alasanku tepat, dan salah seorang saudara ayahku yang menjamin aku tak akan melarikan diri. Tapi besok aku harus kembali. Tolong Mirna."

"Bawalah bapak kembali kerumah ini."

"Pasti Mirna, tapi tidak sekarang. Besok sepulang dari kantor polisi kita akan menjemput bapak dan membawanya pulang."

Mirna tak menjawab, kepalanya terasa sangat pusing, tubuhnya gemetar, kemudian semuanya menjadi gelap. Mirna jatuh pingsan.

***

"Lho, ini Dinda kesini mau main, kok kalian mau pergi?" keluh Dinda dirumah Raka sore itu.

"Lain kali kalau mau kesini telepone dulu, supaya kamu tau kami ada ata nggak. Untung kami belum berangkat, kalau sudah, kamu nggak akan bisa ketemu siapa-siapa kan?" jawab Ayud sambil tersenyum.

"Aku libur seminggu ini, penginnya nginep disini."

"Boleh saja, tapi kami mau ke dokter dulu, kamu tunggu dirumah ya."

"Ogah, ak sendirian? Kalau begitu aku ikut saja."

"Ke dokter, mbak Ayud mau periksa kandungannya, kamu nggak papa ikut ngantri disana?" tanya Raka.

"Nggak apa-apa, daripada sendirian disini, kalau aku diculik hantu bagaimana?"

"Nggak mungkin, sesama hantu mana bisa saling menculik?" goda Raka.

"Eeh... apa? Jadi mas Raka ngatain aku hantu? Huuh.. jahat banget sih. Kalau aku hantu kan mas Raka juga hantu? Mana ada hantu punya kakak manusia." kata Dinda cemberut.

Lalu Raka dan Ayud tertawa renyah.

"Jadi kangen mas Adhit deh, kemana sih dia, lama banget perginya," kata Dinda yang tiba-tiba teringat Adhit.

"Oo.. kangen ya...?" goda Ayud.

"Iya lah, lama nggak diledekin mas Adhit. Kenapa sih orang-orang pada suka ngeledekin Dinda?"

"Karena kamu tuh nggemesin..."

"Sudah.. sudah, ayo kita berangkat sekarang. Tadi belum ngambil nomor antrian, pasti dapat belakangan." kata Raka yang kemudian berdiri.

"Ayuk, itu tas kamu bawa masuk kekamar dulu, nanti aja ngeberesinnya, Dinda."

"Iya.. kamarku yang biasanya itu kan?"

***

Dan benar juga, karena mengambil nomor antrian belakangan, maka Raka dan Ayud harus sabar karena pasien lumayan banyak.

"Tuh, harus nungguin lama kan, kamu pasti nggak sabar," kata Ayud.

"Nggak apa-apa... seneng liat perempuan-perempuan perutnya buncit."

Tapi ternyata Dinda juga merasa letih karena duduk terus ber lama-lama. Kemudian ia berdiri dan ber jalan-jalan disekitar rumah sakit itu.

Tiba-tiba Dinda melihat seseorang yang dikenalnya, duduk di sebuah kursi tunggu diluar ruang UGD. Laki-laki yang pernah mengganggunya. Dinda ingin membalikkan tubuhnya, tapi laki-laki itu keburu melihatnya. Laki-laki itu Aji, yang sedang menunggui Mirna diruang UGD. Melihat Dinda, Aji bukannya ingin mengejar seperti biasanya kalau melihat perempuan yang menarik hatinya. Kali itu tidak, ia teringat kata Mirna bahwa gadis cantik itu pacarnya Adhit. Aji justru mengalihkan pandang kearah lain. Ia mencari jalan agar bisa pergi dari situ dan tidak berpapasan dengan Dinda. Aji berdiri dan berjalan kearah pintu ruang UGD.

Dinda merasa heran karena Aji seperti tak perduli padanya. Ia membalikkan tubuhnya untuk menemui Ayud dan Raka.

"Aku melihat dia, katany ketika sudah tiba didepan kakaknya."

"Dia.. siapa?"

"Itu... laki-laki mata keranjang itu, yang.. mm.. katanya menikah dengan mbak Mirna."

"Aji?" seru Ayud.

"Iya.. untung dia tidak perduli sama aku."

"Dia sama Mirna ?"

"Nggak tau, diluar ruang UGD, dia sendirian."

"Berarti Mirna ada didalam? Kenapa dia?" tanya Ayud sambil berdiri. Ia ingin mencari tau apa yang terjadi pada Mirna. Tapi Raka menahannya.

"Sudahlah Yud, disini saja, kita bisa mencari tau nanti. Kalau kamu kesana, lalu namamu dipanggil, bagaimana? Masa Dinda yang harus masuk."

"Iih.. mas Raka, emangnya aku hamil?"

Ayud kembali duduk. Tapi ketika ruang dokter kandungan itu dibuka, dilihatnya dokter keluar, lalu bergegas pergi dari ruang prakteknya. Pasien yang menunggu ber tanya-tanya. Dan seseoang yang bertanya pada perawat yang membantu dokter itu, jawabannya adalah sang dokter harus segera menangani pasien yang harus di operasi.

"Waduh, operasi kan lama.." keluh Ayud.

"Lumayan, tapi mau bagaimna lagi?"

"Kita pulang saja yuk, periksa besok saja," kata Ayud sambil berdiri.

Tapi ketika tiba diruang UGD itu, tak dilihatnya lagi sosok Aji yang katanya menunggu disana. Ayud mendekati perawat yang keluar dari ruangan itu.

"Ma'af suster, ada pasien bernama Mirna?" Ayud bertanya sekenanya, karena menurutnya pasti Aji bersama Mirna.

"Oh, dia sudah dibawa ke ruang operasi," jawab perawat itu.

"Memangnya dia kenapa?"

"Dia keguguran."

Ayud terkejut. Ia berjalan kearah ruang operasi, diikuti Raka dan Dinda.

"Ayud, mau apa kamu itu?" tanya Raka sambil berjalan mengikuti isterinya.

"Aku ingin tau keadaan Mirna. Kenapa dia?"

Walau sebenarnya tak ingin ikut campur, tapi Raka dan Dinda mengikuti Ayud menuju ruang operasi. Dinda memegangi tangan kakaknya erat ketika melihat Aji. Raka yang pernah melihat sikap Aji terhadap isterinya memandang tajam Aji, mungkin bersiap menonjokkan kepalan tangannya kalau Aji bersikap kurangajar terjadap isterinya.

Dan walau kurang senang melihat sikap Aji beberapa waktu lalu, Ayud terpaksa bertanya.

"Ma'af, ada apa dengan Mirna?" tanya Ayud.

Aji kali itu tampak pucat, Ayud mengira ia mencemaskan keadaan isterinya.

"Keguguran," jawab Aji singkat. Mata nyalang itu tak ada lagi, ada kecemasan yang ditahannya, dan membuatnya lemas.

"Jatuh ya?"

Aji menggeleng, lalu ia berjalan menjauh dari Ayud, rupanya tak ingin mendengar petanyaan-pertanyaan Ayud lagi. Banyak yang dipikirkannya, dan membuatnya bingung, juga takut. Ancaman hukuman itu. Bagaimana kalau Mirna tak bisa memberinya keterangan? Besok ia harus kembali ke kantor polisi. Apa ia harus kabur? Berjuta pikiran memenuhi benaknya. Pikiran yang membuat kepalanya terasa berat. Ada sesal memenuhi dadanya ketika ia terpaksa melakukan kejahatan itu.

Tiba-tiba telephone berdering, Aji mengangkat ponselnya. Dari pamannya, saudara ayahnya yang telah membayar penangguhan penahanan atas dirinya.

"Hallo om, iya.. sudah ketemu, bisa.. tapi sial om... iya.. dia tiba-tiba pingsan.. sekarang sedang dioperasi... keguguran om.. saya lagi menungguinya. Belum tau, entahlah om, tolonglah saya. Bagaimana lagi, saya juga bingung.. baiklah, besok saya akan ke sana dengan membawa surat keterangan dari rumah sakit ... baik om. Tidak... bukan saya... saya sedang ingin membuktikan bahwa bukan saya pelakunya. Baiklah.."

Ayud dan Raka mendengar sedikit pembicaraan itu, tapi tidak mengerti apa maksudnya. Tapi mereka melihat bahwa Aji sangat cemas.

"Ia sangat mencemaskan isterinya, lihat wajahnya pucat," kata Ayud.

"Kita pulang saja dulu, besok kita mencari keterangan tentang keadaan Mirna."

Ayud keberatan, tapi Raka mendesaknya. 

"Baiklah, besok kita cari keterangan."

***

Tapi keesokan harinya, ketika Ayud kerumah sakit itu lagi, didapatnya keterangan yang membuatnya heran.

"Pasien Mirna dipindahkan ke rumah sakit lain atas permintaan suaminya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tuesday, November 26, 2019

DALAM BENING MATAMU 54

DALAM BENING MATAMU 54

(Tien Kumalasari)

 

Mirna merasa lemas. Kepalanya pusing tiba-tiba. Sama sekali ia tak menduga Aji akan berbuat sejauh itu. Apa benar bukan Aji pembunuhnya? Ia mencari alibi, berarti dia terlibat, atau dia memang melakukannya. Ingat akan keselamatan ayahnya, tiba-tiba timbul kekuatan pada diri Mirna. Ia bangkit berdiri dan bergegas berjalan kearah rumah. Sebungkus gorengan yang masuh hangat tertinggal di bangku tempat dia duduk, tak diperhatikannya. Aji mengikutinya dari belakang.

"Mirna, Mirna.. jangan khawatir, aku tak akan mencelakai ayahmu, tapi turutilah kata-kataku. Tolong Mirna," katanya sambil terus berjalan, dan Mirnapun tak menjawab, ia terus saja melangkah.

Ketika tiba dirumah kontrakannya, dilihatnya pintu terbuka, setengah berlari Mirna masuk kedalam.

"Bapak... bapak..," panggilnya sambil memasuki semua ruang yang ada dirumah itu, tapi tak ditemukannya orang yang dicarinya.

"Bapaaaak...," Mirna berteriak semakin keras. Kali ini sambil menangis.

"Mirna, bapak ada bersama aku," kata Aji sambil menarik tangan Mirna dan mengajaknya duduk.

"Jangan menangis, bapak baik-baik saja."

"Kembalikan bapak.. kembalikan, jangan libatkan dia kedalam perso'alan kamu mas," isak Mirna.

"Tidak, aku tidak melibatkan bapak, dia baik-baik saja, sungguh."

"Apa yang kamu inginkan mas.."

"Aku hanya ingin kamu membantu aku."

"Aku harus bagaimana?"

"Katakan pada polisi bahwa hari ketika bu Sukiman kecelakaan, aku sedang bersama kamu, ber jalan-jalan, atau belanja disebuah toko. Oh tidak, jangan belanja, aku harus punya bukti belanjaan itu. Katakan sedang ber-jalan-jalan saja."

"Jadi kamu memang membunuhnya?"

"Tidak, aku hanya dituduh, karena keluarganya mengatakan bahwa sore itu dia sedang pergi kerumah itu untuk menagih uang kontrakan."

"Kalau kamu tidak melakukannya, mengapa kamu harus memiliki alibi yang ternyata bohong? Dan melibatkan aku, melibatkan bapak.." kata Mirna setengah berteriak.

"Mirna, apapun yang dituduhkan polisi aku harus memiliki alasan kuat. Aku sudah mengatakan tak tau apa-apa, tapi mereka tak percaya. Lalu aku mengatakan bahwa waktu itu aku sedang bersama kamu."

"Penjahat!! Pembohong! Penipu kamu mas! Mimpi apa aku bisa bertemu manusia seperti kamu!!"

"Mirna, sudahlah, kamu tinggal menjawab bersedia atau tidak, lalu biarkan aku melakukan apa yang ingin aku lakukan."

"Kamu juga akan dihukum karena menyandera bapak !!"

"Apa itu masalah buat aku? Kalau aku sudah dihukum dengan tuduhan membunuh, maka tuduhan menyiksa bapak, atau bahkan membunuh bapak sekalipun, apa bedanya?"

Mirna terus menangis. Dadanya terasa sesak, perutnya juga terasa mulas.

"Kamu tau, aku hanya diberi waktu sehari untuk mencari kamu, dan besok aku sudah harus kembali ke kantor polisi dengan membawa kamu. Aku bisa keluar karena alasanku tepat, dan salah seorang saudara ayahku yang menjamin aku tak akan melarikan diri. Tapi besok aku harus kembali. Tolong Mirna."

"Bawalah bapak kembali kerumah ini."

"Pasti Mirna, tapi tidak sekarang. Besok sepulang dari kantor polisi kita akan menjemput bapak dan membawanya pulang."

Mirna tak menjawab, kepalanya terasa sangat pusing, tubuhnya gemetar, kemudian semuanya menjadi gelap. Mirna jatuh pingsan.

***

"Lho, ini Dinda kesini mau main, kok kalian mau pergi?" keluh Dinda dirumah Raka sore itu.

"Lain kali kalau mau kesini telepone dulu, supaya kamu tau kami ada ata nggak. Untung kami belum berangkat, kalau sudah, kamu nggak akan bisa ketemu siapa-siapa kan?" jawab Ayud sambil tersenyum.

"Aku libur seminggu ini, penginnya nginep disini."

"Boleh saja, tapi kami mau ke dokter dulu, kamu tunggu dirumah ya."

"Ogah, ak sendirian? Kalau begitu aku ikut saja."

"Ke dokter, mbak Ayud mau periksa kandungannya, kamu nggak papa ikut ngantri disana?" tanya Raka.

"Nggak apa-apa, daripada sendirian disini, kalau aku diculik hantu bagaimana?"

"Nggak mungkin, sesama hantu mana bisa saling menculik?" goda Raka.

"Eeh... apa? Jadi mas Raka ngatain aku hantu? Huuh.. jahat banget sih. Kalau aku hantu kan mas Raka juga hantu? Mana ada hantu punya kakak manusia." kata Dinda cemberut.

Lalu Raka dan Ayud tertawa renyah.

"Jadi kangen mas Adhit deh, kemana sih dia, lama banget perginya," kata Dinda yang tiba-tiba teringat Adhit.

"Oo.. kangen ya...?" goda Ayud.

"Iya lah, lama nggak diledekin mas Adhit. Kenapa sih orang-orang pada suka ngeledekin Dinda?"

"Karena kamu tuh nggemesin..."

"Sudah.. sudah, ayo kita berangkat sekarang. Tadi belum ngambil nomor antrian, pasti dapat belakangan." kata Raka yang kemudian berdiri.

"Ayuk, itu tas kamu bawa masuk kekamar dulu, nanti aja ngeberesinnya, Dinda."

"Iya.. kamarku yang biasanya itu kan?"

***

Dan benar juga, karena mengambil nomor antrian belakangan, maka Raka dan Ayud harus sabar karena pasien lumayan banyak.

"Tuh, harus nungguin lama kan, kamu pasti nggak sabar," kata Ayud.

"Nggak apa-apa... seneng liat perempuan-perempuan perutnya buncit."

Tapi ternyata Dinda juga merasa letih karena duduk terus ber lama-lama. Kemudian ia berdiri dan ber jalan-jalan disekitar rumah sakit itu.

Tiba-tiba Dinda melihat seseorang yang dikenalnya, duduk di sebuah kursi tunggu diluar ruang UGD. Laki-laki yang pernah mengganggunya. Dinda ingin membalikkan tubuhnya, tapi laki-laki itu keburu melihatnya. Laki-laki itu Aji, yang sedang menunggui Mirna diruang UGD. Melihat Dinda, Aji bukannya ingin mengejar seperti biasanya kalau melihat perempuan yang menarik hatinya. Kali itu tidak, ia teringat kata Mirna bahwa gadis cantik itu pacarnya Adhit. Aji justru mengalihkan pandang kearah lain. Ia mencari jalan agar bisa pergi dari situ dan tidak berpapasan dengan Dinda. Aji berdiri dan berjalan kearah pintu ruang UGD.

Dinda merasa heran karena Aji seperti tak perduli padanya. Ia membalikkan tubuhnya untuk menemui Ayud dan Raka.

"Aku melihat dia, katany ketika sudah tiba didepan kakaknya."

"Dia.. siapa?"

"Itu... laki-laki mata keranjang itu, yang.. mm.. katanya menikah dengan mbak Mirna."

"Aji?" seru Ayud.

"Iya.. untung dia tidak perduli sama aku."

"Dia sama Mirna ?"

"Nggak tau, diluar ruang UGD, dia sendirian."

"Berarti Mirna ada didalam? Kenapa dia?" tanya Ayud sambil berdiri. Ia ingin mencari tau apa yang terjadi pada Mirna. Tapi Raka menahannya.

"Sudahlah Yud, disini saja, kita bisa mencari tau nanti. Kalau kamu kesana, lalu namamu dipanggil, bagaimana? Masa Dinda yang harus masuk."

"Iih.. mas Raka, emangnya aku hamil?"

Ayud kembali duduk. Tapi ketika ruang dokter kandungan itu dibuka, dilihatnya dokter keluar, lalu bergegas pergi dari ruang prakteknya. Pasien yang menunggu ber tanya-tanya. Dan seseoang yang bertanya pada perawat yang membantu dokter itu, jawabannya adalah sang dokter harus segera menangani pasien yang harus di operasi.

"Waduh, operasi kan lama.." keluh Ayud.

"Lumayan, tapi mau bagaimna lagi?"

"Kita pulang saja yuk, periksa besok saja," kata Ayud sambil berdiri.

Tapi ketika tiba diruang UGD itu, tak dilihatnya lagi sosok Aji yang katanya menunggu disana. Ayud mendekati perawat yang keluar dari ruangan itu.

"Ma'af suster, ada pasien bernama Mirna?" Ayud bertanya sekenanya, karena menurutnya pasti Aji bersama Mirna.

"Oh, dia sudah dibawa ke ruang operasi," jawab perawat itu.

"Memangnya dia kenapa?"

"Dia keguguran."

Ayud terkejut. Ia berjalan kearah ruang operasi, diikuti Raka dan Dinda.

"Ayud, mau apa kamu itu?" tanya Raka sambil berjalan mengikuti isterinya.

"Aku ingin tau keadaan Mirna. Kenapa dia?"

Walau sebenarnya tak ingin ikut campur, tapi Raka dan Dinda mengikuti Ayud menuju ruang operasi. Dinda memegangi tangan kakaknya erat ketika melihat Aji. Raka yang pernah melihat sikap Aji terhadap isterinya memandang tajam Aji, mungkin bersiap menonjokkan kepalan tangannya kalau Aji bersikap kurangajar terjadap isterinya.

Dan walau kurang senang melihat sikap Aji beberapa waktu lalu, Ayud terpaksa bertanya.

"Ma'af, ada apa dengan Mirna?" tanya Ayud.

Aji kali itu tampak pucat, Ayud mengira ia mencemaskan keadaan isterinya.

"Keguguran," jawab Aji singkat. Mata nyalang itu tak ada lagi, ada kecemasan yang ditahannya, dan membuatnya lemas.

"Jatuh ya?"

Aji menggeleng, lalu ia berjalan menjauh dari Ayud, rupanya tak ingin mendengar petanyaan-pertanyaan Ayud lagi. Banyak yang dipikirkannya, dan membuatnya bingung, juga takut. Ancaman hukuman itu. Bagaimana kalau Mirna tak bisa memberinya keterangan? Besok ia harus kembali ke kantor polisi. Apa ia harus kabur? Berjuta pikiran memenuhi benaknya. Pikiran yang membuat kepalanya terasa berat. Ada sesal memenuhi dadanya ketika ia terpaksa melakukan kejahatan itu.

Tiba-tiba telephone berdering, Aji mengangkat ponselnya. Dari pamannya, saudara ayahnya yang telah membayar penangguhan penahanan atas dirinya.

"Hallo om, iya.. sudah ketemu, bisa.. tapi sial om... iya.. dia tiba-tiba pingsan.. sekarang sedang dioperasi... keguguran om.. saya lagi menungguinya. Belum tau, entahlah om, tolonglah saya. Bagaimana lagi, saya juga bingung.. baiklah, besok saya akan ke sana dengan membawa surat keterangan dari rumah sakit ... baik om. Tidak... bukan saya... saya sedang ingin membuktikan bahwa bukan saya pelakunya. Baiklah.."

Ayud dan Raka mendengar sedikit pembicaraan itu, tapi tidak mengerti apa maksudnya. Tapi mereka melihat bahwa Aji sangat cemas.

"Ia sangat mencemaskan isterinya, lihat wajahnya pucat," kata Ayud.

"Kita pulang saja dulu, besok kita mencari keterangan tentang keadaan Mirna."

Ayud keberatan, tapi Raka mendesaknya. 

"Baiklah, besok kita cari keterangan."

***

Tapi keesokan harinya, ketika Ayud kerumah sakit itu lagi, didapatnya keterangan yang membuatnya heran.

"Pasien Mirna dipindahkan ke rumah sakit lain atas permintaan suaminya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Monday, November 25, 2019

DALAM BENING MATAMU 53

DALAM BENING MATAMU 53

(Tien Kumalasari)

Mirna ingin terus melangkah tapi Aji memegangi lengannya. 

"Mirna, ayo naiklah ke mobil, aku ingin bicara," kata Aji tanpa mau melepaskan pegangannya.

"Tolong lepaskan tanganku," pinta Mirna dengan wajah muram.

"Baiklah, maukan masuk ke mobil sebentar, ada yang ingin aku bicarakan, nggak enak bicara dipinggir jalan begini."

Mirna ragu-ragu. Ia tak segera meng iyakan.

"Tolong Mirna, kamu kan isteriku, masa kamu tak mau bicara sebentar saja, ini penting," pinta Aji, dan Mirna heran, Aji tampak memelas. Tak ada wajah muram apalagi garang ketika ia mengucapkan itu. Tiba-tiba Mirna ingin mempertemukan Aji dengan Dewi. Sepertinya Aji harus tau bahwa Mirna telah mengetahui kebohongann yang dia lakukan ketika meminangnya.

"Mirna..."

"Mas, ini aku sedang mau bekerja, baiklah kita bicara, tapi ayo ditempat kerja aku saja."

"Dimana ?"

"Nggak jauh dari sini, kita hampir sampai."

"Ayo naik mobil saja," kata Aji sambil menunjuk kearah mobilnya.

"Nggak usah, hanya sampai di perempatan itu lalu belok kekiri. Kalau mau ya ayo, kalau nggak mau ya sudah, pekerjaan ini penting bagiku." kata Mirna tandas.

"Baiklah.," akhirnya kaya Aji, yang kemudian mengikuti langkah Mirna.

"Aku minta ma'af, karena tidak sempat menghubungi kamu, sehingga tidak tau kamu pindah kemana," kata Aji sambil berjalan. Kata-kata yang tidak pada tematnya. Mana mungkin seorang suami tidak menanyakan dimana isterinya berada, bagaimana keadaannya. Tapi Mirna tak perduli. Baginya perhatian Aji itu tidak penting. Justru lebih baik terlepas dari tanggung jawab Aji sehingga dia bebas melakukan apa yang diingininya.

"Kamu sama bapak pindah dimana? Mengapa tidak mengabari aku juga?" tanyanya sok perhatian. 

Mirna tak menjawab, ia tau kata-kata itu hanya basa basi. Barangkli Aji membutuhkan sesuatu dari dirinya, entah apa, sehingga sikapnya tampak baik, tapi terasa... baiknya adalah baik yang di buat-buat.

"Masih jauhkah tempat kamu bekerja? Ini sudah sampai perempatan."

"Kekiri sedikit."

Dan kira=kira seratus meter dari perempatan itu, tampaklah sebuah halaman yang tidak begtu luas, ada roling door yaang masih tertutup. Memang hari masih pagi, belum sa'atnya toko dibuka.

Lalu Mirna melangkah memasuki sebuah halaman toko. Ia masuk melalui sampng, dan Aji menunggu diluar.

"Mas tunggu disini dulu, aku harus bilang kepada pemilik toko bahwa aku harus menemui tamu sebentar," kata Mirna sebelum masuk.

Aji mengangguk. Ada bangku panjang disamping toko, lalu dia duduk disitu. Sungguh dalam hati ia tak perduli Mirna bekerja dimana, ia butuh pertolongan dari Mirna. Tampaknya ia sedang dalam kesulitan.

Tiba-tiba terdengar pintu terbuka dibelakangnya, Aji menoleh, dan dilihatnya seseorang yang dikenalnya, manatapnya dengan penuh kemarahan.

"Dewi ?" bisiknya pelan.

"Rupanya kamu masih ingat namaku ?"

"Ka..kamu... disini ?" gagap Aji menghadapi perempuan yang ber tahun-tahun dilupakannya.

"Rupanya Tuhan menuntun orang-orang yang kamu tipu agar bersatu, kemudian bertemu kamu untuk menunjukkan semua kebusukan kamu Aji," hardik Dewi tajam.

"Ma'af Dewi, waktu itu aku benar-benar belum siap dan...."

"Dan apa... dan sibuk mempermainkan setiap perempuan, yang kamu tinggalkan setelah dia mengandung anak kamu."

"Benar, aku menyesal, dimana sekarang anakku?"

"Tidak, kamu tidak berhak mengetahui anak itu, anak yang kamu terlantarkan dan membiarkan aku membesarkannya sendiri."

"Dewi, aku minta ma'af.." kata Aji terbata.

"Lalu bagaimana dengan Mirna? Kamu mengaku bujang, kamu mengaku punya rumah mewah.. yang ternyata rumah kontrakan..lalu kamu biarkan dia dan bapaknya pergi tanpa kamu perduli.. "

"Dewi, aku minta ma'af.."

"Tidak, aku akan melaporkan kamu ke polisi karena penipuan yang kamu lakukan."

"Dewi, aku mohon..."

"Karena kebohongan yang kamu tebarkan..! Kamu mata keranjang yang tak bermartabat. Sok kaya padahal miskin. Kamu mengaku jadi pengusaha padahal pengangguran yang hanya bisa menghabiskan harta orang tua untuk ber foya-foya. Sekarang kamu tak punya apa-apa, mobilpun bukan milik kamu, iya kan? Aku mencari kamu ketika mendengar kamu mau menikah, aku ingin mempermalukan kamu didepan banyak orang, tapi  ternyata kamu menikah diam-diam, dan aku bertemu wanita yang kamu tipu habis-habisan itu, dan  mendengar semua kebusukan kamu. Kasihan dia, gadis baik-baik dengan bapaknya yang lugu."

"Dewi... mana Mirna?"

"Mirna tidak sudi keluar untuk kamu. Sekarang enyahlah dari sini atau aku akan memanggil polisi supaya menangkap kamu."

"Biarkan aku ketemu Mirna, sebentar saja."

"Tidak, Mirna sudah bilang tidak mau, jadi lebih baik kamu pergi. cepat sebelum aku berubah pikiran !!"

"Aku mau bicara sebentar sama Mirna."

"Tidak... tidak... dan tidak... !!

Kata Dewi setengah berteriak sambil menunjuk kearak jalan keluar halaman tokonya. 

Aji , seandainya ia  tidak sedang membutuhkan sesuatu, pasti lebih baik tidak menemui Mirna, apalagi Dewi. Tapi ia sedang membutuhkannya, sebuah pertolongan, sebuah alibi, karena ia sedang dalam urusan polisi. 

***

"Dia sudah pergi," kata Dewi sambil memberikan kunci roling door kepada pembantunya. Dia mengajak Mirna duduk disebuah kursi dibelakang toko itu.

"Biarkan saya membantu membereskan toko mbak," kata Mirna melihat kesibukan dua orang pembantu ketika membuka toko.

"Tidak, biarkan mereka melakukannya. "

"Nantu mbak katakan apa yang harus saya lakukan."

"Ya, jangan khawatir, sekarang minumlah tehmu, agar hatimu tenang. Aku sudah menyiapkannya dari tadi."

"Terimakasih mbak."

"Apa kamu mencintai dia?"

"Tidak sama sekali. Saya menikah karena bapak. Bapak mengira dia laki-laki yang baik, karena kata-katanya begitu manis. Bapak mengira hidup anaknya akan bahagia bersama dia."

"Setelah kamu mengandung, tetap tak ada cinta yang tumbuh dihati kamu?"

"Saya heran pada perasaan saya. Sama sekali saya tak pernah measa jatuh cinta. Kata bapak cinta bisa tumbuh dengan berjalannya waktu, tapi ternyata tidak. Saya minta ma'af, sungguh saya tidak mengerti kalau mas Aji masih berstatus suami mbak Dewi."

"Siapa perduli? Aku marah bukan karena aku merasa dikhianati, lak-laki seperti dia sangat tak berharga untuk dipertahankan. Aku sebenarnya hanya ingin mempermalukannya, lalu aku akan mengurus surat cerai. Ikatan pernikahan ini harus berakhir. Apa kamu ingin mempertahankannya?" 

"Saya sudah bilang sama bapak, setelah bayi ini lahir aku harus bercerai resmi dengan dia. Tapi dengan penipuan itu, apakah pernikahan saya ini sah?"

"Entahlah, mungkin sah menurut agama, tapi tidak menurut hukum. Nanti aku akan bertanya kepada yang lebih mengerti. Sekarang minum tehmu, lalu marilah kita bekerja."

"Terimakasih mbak."

"Tunggu, apa kamu sudah minum obat yang seharusnya kamu minum?"

"Sudah mbak," jawab Mirna lalu meneguk teh hangatnya. Dalam hati ia bersyukur bertemu Dewi yang ternyata sangat baik kepadanya.

***

 Hari menjelang sore ketika Mirna keluar dari toko Dewi. Ia menolak ketika Dewi ingin mengantarnya. Sungguh Mirna tak ingin selalu menjadi beban bagi Dewi. Apa yang diberikan Dewi padanya sudah membuatnya sangat bersyukur.

Jalanan yang panas sudah lebih berkurang karena matahari telah condong ke barat. Walau begitu Mirna tetap membawa payung untuk melindungu kepalanya.

Ada penjual gorengan dipinggir jalan, tampaknya masih hangat. Tampak ubi goreng, tahu atau apapun yang dijualnya, tampak bertumpuk dan menebarkan aroma gurih yang menggelitik. Pasti ayahnya akan suka.

Mirna berhenti, menutupkan payungnya lalu membeli beberapa macam gorengan. Hanya sepuluh ribu, tapi Mirna yakin tak akan habis dimakan berdua.

Tas kresek putih berisi gorengan itu masih terasa panas. Mirna menentengnya lalu melanjutkan perjalanannya. Payungnya tak perlu dimegarkan lagi, ia bahkan mempergunakannya sebagai penyangga tubuhnya ketika berjalan.

Ada sebuah pohon waru dipinggir jalan itu, dan ada bangku berjajar yang kosong, tampaknya ada warung penjual makanan disitu. Tapi tidak, bangku itu tidak kosong, ada seorang laki-laki duduk disana, menatapnya dan membuatnya cemas.

"Mirna," sapa laki-laki itu yang ternyata adalah Aji.

Mirna ingin terus melangkah, tapi kembali seperti pagi tadi, Aji menahan lengannya. Mirna menyesal tadi menolak ketika Dewi ingin mengantarnya.

"Ada apa mas? Sudahlah, lepaskan aku, aku sudah tau siapa diri mas Aji."

"Ma'af Mirna, nanti aku akan ceritakan hubungan pernikahanku dengan Dewi yang tidak serasi, karena..."

"Sudahlah mas..." potong Mirna.

"Mirna, aku mohon, ijinkan aku mengatakan sesuatu. Aku kan masih suami kamu, dan kamu pasti tak keberatan untuk menolong aku bukan?" pinta Aji yang kemudian mengajak Mirna duduk dibangku kosong disebelahnya.

Mirna menurut bukan karena ingin menurut, ia malu bersitegang dipinggir jalan karena beberapa orang lewat mulai memperhatikannya.

"Ada apa sebenarnya?"

"Mirna, tolonglah aku," pinta Aji sambil meremas jari tangan Mirna, tapi yang kemudian ditepiskannya.

"Jangan begitu, ini dijalan umum," kata Mirna sebel.

"Tapi kamu kan masih isteriku, apa salah aku memegang tanganmu?"

"Sudahlah mas, hentikan sandiwara ini. Segera katakan apa keinginan mas Aji, karena aku harus segera sampai dirumah.

"Nanti aku akan mengantar kamu, atau kita bicara didalam mobil saja?"

"Tidak, katakan sekarang disini apa yang ingin mas katakan."

"Aku sedang dalam kesulitan," katanya lalu berhenti sejenak."

Mirna terdiam dan berfikir tentang bentuk kesulitan itu. Apakah Aji kebahisan uang dan ingin meminjam darinya? Darimana Mirna punya uang banyak? Beberapa uang tabungannya sudah berkurang untuk makan dan semua kebutuhannya bersama ayahnya.

"Aku sedang berurusan dengan polisi."

Mirna terkejut. Polisi?

"Itu benar, polisi menuduh aku telah melakukan kejahatan," lanjut Aji.

Mirna masih diam, ia menunggu apa yang dikatakan Aji. Apakah Dewi melaporkannya pada polisi? Pasti tidak, dia hanya mengancamnya tadi dan Mirna juga mendengarnya

"Ada seorang perempuan meninggal didalam mobil, dan polisi menduga itu korban pembunuhan."

Mirna lebih terkejut sekarang. Ia ingat ketika membaca berita koran yang dibawa ayahnya. Bu Sukiman jatuh kesungai bersama mobilnya, dan luka parah, diperkirakan nyawanya tidak tertolong.

"Bu Sukiman?" celetuk Mirna pelan. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.

"Kamu tau? Darimana kamu tau?"

"Aku membaca berita di koran."

"Ya, ada di koran berita itu, tapi polisi menuduh aku."

"Mas Aji kelihatan takut, mengapa takut kalau memang tak bersalah?"

"Kamu kan tau bagaimana polisi menekan orang yang dituduh melakukan kejahatan?"

"Lalu mengapa mas Aji mengatakannya padaku? Apa yang harus aku lakukan?"

"Aku hanya butuh alibi."

"Alibi , Apa maksudnya?"

"Mirna, nanti kalau polisi bertanya, katakan bahwa pada hari itu aku sedang bersama kamu."

Mirna terkejut. Ia langsung berdiri dan menjauh dari Aji.

"Tidak, mengapa mas Aji melibatkan aku? Tidak, aku tidak mau ... aku ingin hidupku tenteram."

"Mirna, aku kan suamimu? Kamu wajib menolong aku Mirna."

"Wajib? Apa mas juga tau apa kewajiban seorang suami? Aku tidak menyesal kalau mas tidak memperhatikan aku, tidak, bagi Mirna.. mas Aji itu tidak penting. Semua yang Mirna lakukan sudah cukup. Pengorbanan Mirna juga sudah lebih dari cukup. Sekarang menjauhlah dari aku."

"Mirna, kamu harus menuruti apa kataku... Kamu hanya harus mengatakan bahwa ketika kejadian, kamu sedang bersama aku, itu cukup." kata Aji dengan nada tinggi.

"Tidak mas, Mirna tidak mau terlibat."

"Tapi kalau kamu tidak mau menurut apa kataku,ayah kamu tidak akan selamat." kata yang terakhir in adalah sebuah ancaman. Mirna merasa lemas, dan terduduk dibangku itu kembali.

"Aaap..pa... yang mas lakukan?"

"Ayahmu ada dalam tanganku !!"

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Saturday, November 23, 2019

DALAM BENING MATAMU 52

DALAM BENING MATAMU  52


(Tien Kumalasari)



Karena kasihan mendengar nasib Mirna yang miirp kisah hidupnya, Dewi meminta Mirna agar membantu di tokonya.

"Tapi mbak, saya ini kayak orang sakit-sakitan,, kadang merasa sehat, kadang lemas mual..  itu kan sangat mengganggu, mana bisa saya bekerja dengan baik?" bantah Mirna dengan rasa sungkan.

"Nggak apa-apa Mirna, toko itu kan dekat rumah, ada kamar kosong dibelakang, dimana kamu bisa istirahat sa'at merasa nggak enak. Aku tau itu pembawaan orang yang lagi hamil."

"Tapi mbak..."

"Sdahlah Mirna, lagi pula suamimu nggak akan perduli sama kamu, Dengan bekerja kamu bisa punya penghasilan, palagi menjelang kamu melahirkan nanti pasti butuh beaya yang tidak sedikit. Memang sih aku nggak bisa memberi gaji sebanyak yang Adhit pernah berikan, tapi mungkin ada gunanya walau tak seberapa."

" Bukan gaji itu mbak, cuma Mirna merasa sungkan kalau nggak bisa bekerja maksimal."

"Biasanya orang mengandung itu merasa seperti orang sakit ketika usia kandungan sampai tiga.. empat.. atau paling lama lima bulan saja, selebihnya pasti baik-baik saja.

"Kalau memag mbak Dewi mengijinkan, saya sangat berterim akasih mbak, semoga semua kebaikan mbak Dewi mendapat balasan yang melimpah."

"Ah, sudahlah, aku membantu dengan tulus, lupakan tentang balasan itu. Yang aku inginkan sa'at ini adalam balasan sakit hatiku pada Aji. "

"Biarlah mbak, lebih baik kita lupakan saja, bukankah siapa yang menanam dia akan menuai?"

"Kamu sungguh baik Mirna, sayang sekali kamu terjerumus pada keadaan yang menyakitkn setelah bertemu Aji."

"Bukankah semua yang terjadi pada kita adalah garis yang sudah ditorehkan oleh Yang Maha Kuasa? Saya ingin bisa menjalaninya dengan ikhlas."

Dewi mendengarkan dengan perasaan penuh haru. Hidupnya sengsara tapi Mirna bisa menjalaninya dengan ikhlas, bisa mengeluarkan kata-kata bijak yang sempat menyentuh lubuh hatinya yang paling dalam. Dan ibu membuatnya untuk berhenti mengejar Aji. Mirna benar, siapa menabur maka dia akan menuai..

"Baiklah mbak, kapan saya boleh mulai bekerja?" akhirnya Mirna menyanggupi.

"Sekarangpun boleh kok. Mulailah.."

"Besok saja ya mbak, karena saya juga harus bicara pada bapak. Untunglah kami tinggal tak jauh dari sini. Jam berapa saya mulai bekerja?"

"Datanglah jam 8 pagi, nanti jam dua atau tiga kamu boleh pulang dan beristirahat. Minggu bolek libur, biarpun toko itu tak pernah tutup."

"Baiklah mbak, terimakasih banyak."

***

Pak Kadir gembira Mirna boleh bekerja ditoko Dewi. Sungguh tak disangka, Bertemu dengan seorang perempuan korban Aji yang sangt baik kepada Mirna.

"Syukurlah kalau nak Dewi bisa menerima kamu bekerja dengn kedaanmu sepert yang sekarang ini. Semoga bisa membuat hatimu lebih terhibur ya nduk." katanya sore itu ketika pulang dari bekerja.

"Iya pak... dan tidak kesepian ketika bapak bekerja."

Bapak mau mandi dulu. Oh ya ini koran hari ini, beli di tukang jaja koran, kasihan.. bapak beli saja."

"Koran baru, ada berita apa nih? Ya sudah bapak mandi dulu, Mirna sudah buatkan teh dan goreng pisang buat bapak," kata Mirna sambil membalik balik lembar koran yang diletakkan ayahnya di meja.

"Wah, kok dapat pisang goreng nduk?"

"Tadi beli pas ada tukang sayur .. masih hangat lho pak, tapi bagusnya bapak mandi dulu. Tuh bajunya kotor."

"Iya lah, namanya buruh bangunan mana bisa bajunya bersih," kata pak Kadir sambil menuju kamar mandi.

Mirna masih membalik balik korannya, lalu tiba-tiba terkejut melihat berita di koran.

SEORANG PEREMPUAN PENGUSAHA MENGALAMI KECELAKAAN SERIUS. MOBIL YANG DITUMPANGINYA TERCEBUR DISEBUAH KALI. IA MENDERITA LUKA CUKUP PARAH DAN DIRAWAT DIRUMH SAKIT UMUM DAERAH. DIPERKIRAKAN NYAWANYA TAK TERTOLONG.

Miris hati Mirna, tapi ia terkejut melihat wajah KTP korban yang dipampang di koran itu.

"Bukankah ini bu Sukiman? Ya ampun, baru kemarin terjadinya. Kasihan, sudah setengah tua, tapi ke mana-mana menyetir mobilnya sendiri." gumam Mirna pelan.

Ketika pak Kadir selesai mandi dan sudah duduk dikursi menghadapi teh hangat dan pisang gorengnya, dilihatnya Mirna masih memegangi koran dan membacanya penuh pehatian.

"Ada berita apa nduk, kok serius amat ?" tanyanya sambil menghirup teh hangatnya dan mengambil sebuah pisang goreng yang juga masih hangat.

"Ini lho pak ada berita mengejutkn, korban kecelakaan mobil masuk kali, ini Mirna tau, dia bu Sukiman pak."

"Bu Sukiman... itu bukannya pemilik rumah yang dulu menagih uang kontrakan itu?"

"Iya pak, kemarin mengalami kecelakaan. Kasihan... tertolong nggak ya pak, katanya luka parah nih."

"Oh ya, lha kok bisa itu apa menghindari tabrakan?"

"Belum tau peristiwanya pak, seseorang melihatnya lalu melaporkannya kepada yang berwajib."

"Semoga baik-baik saja."

"Bu Sukiman itu kan sudah tidak muda lagi, tapi ke mana-mana membawa mobil sendiri. "

"Namanya orang kalau lagi apes nduk, siapa yang bisa menghindarinya."

"Iya pak. Enak nggak pisang gorengnya?"

"Enak, berbeda dengan pisang goreng yang dijual di penjual gorengan di pinggir jalan."

"Iya lah pak, itu digoreng pakai tepung, pakai telur, dikasih gula sedikit dan vanili."

"Mm.. ya, pantesan ada harum-harumnya gitu, anakku pinter bener," puji pak Kadir sambil mencomot lagi pisang gorengnya.

"Habiskan saja pak, memang itu untuk bapak."

"Wah, ya nggak sekarang... nanti kekenyangan malah nggak doyan makan, itu bapak beli nasi bungkus lho nduk, sampai lupa ngomong."

"Oh iya, tadi Mirna mau bertanya sama bapak, itu bungkusan apa, tapi kemudian tertarik baca berita jadi lupa. Saya taruh dipiring ya pak." kata Mirna sambil bangkit mengambil bungkusan yang ditaruh ayahnya diatas meja.

"Ya, tapi kamu harus minum obatmu dulu, supaya nggak mual atau muntah lagi."

"Iya pak, sudah Mirna minum barusan. Lagian sudah berkurang rasa mual-mualnya, nggak seperti kemarin-kemarin."

"Syukurlah, kata orang-orang tua, memang begitu bawaan bayi. Biasanya setelah tiga bulan, paling lama lima bulan pasti kamu akan merasa sehat. Lalu doyan makan banyak."

"Iya pak."

"Kapan kamu mulai bekerja di tokonya nak Dewi?"

"Besok sudah mulai bekerja pak, pagi jam delapan, nanti sore sekitar jam tiga sudah bisa pulang."

"Baguslah nduk, tapi jangan lupa obatmu selalu dibawa."

"Iya pak."

"Apa selama kita pindah ini nak Aji pernah menghubungi kamu?"

"Nggak pernah pak. Biar saja, ini justru membuat perasaan Mirna jadi lebih ringan, tidak terbebani. Karena dialah yang menelantarkan Mirna, bukan Mirna mengabaikan kewajiban Mirna sebagai isteri."

"Kalau mengingat kegagalan kamu berumah tangga ini, sungguh bapak merasa menyesal."

"Sudahlah pak, nggak ada yang perlu disesali. Memang harus begini jalan hidup Mirna, dan Mirna bisa menerimanya kok. Demikian juga bapak ya. Kita tetap bersama, dan bahagia bukan?"

"Ya, begitulah nduk, kamu adalah milik bapak yang paling berharga, kalau kamu bahagia, bapak juga pasti bahagia."

"Setelah anak ini lahir, Mirna sebaiknya minta cerai saja kan pak?"

"Itu lebih baik nak.Supaya kamu bisa terlepas dari ikatan yang sangat menyedihkan ini."

"Baiklah pak, saya jadi menyesal dulu pernah ingin menggugurkan kandungan ini."

"Lha itu yang bapak dulu pernah marah sama kamu, bayi yang tidak berdosa, mengapa harus dilenyapkan? Nanti kalau dia lahir, kamu baru tau betapa indahnya karunia memiliki anak. Dulu waktu bapak ketakutan lalu lari meninggalkan kamu, hanya kamu yang bapak pikirkan. Bapak bersyukur karena akhirnya bisa menemukan kamu."

Mirna tersenyum dan memeluk bapaknya.

***

Ada apa sebenarnya mas Galang ini ya pak, sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan sama bapak," kata Retno ketika Raharjo pada suatu sore.

"Iya, mungkin dua hari lagi aku akan ke Jakarta. Ibu mau ikut?"

"Apa aku harus ikut?"

"Bukan masalah harus atau tidak, kalau ibu pengin ikut ya ayo.. aku senang kalau kita bisa pergi berdua."

"Tapi kayaknya cuma bapak yang akan diajak bicara."

"Bapak sama ibu itu kan nggak ada bedanya. Kalau mau bicara sama bapak, ibu kan juga akan tau apa yang dibicarakan."

"Tapi kalau memang ibu juga diharapkan datangnya, pasti Putri juga menelpon aku. Nyatanya kan tidak, cuma bapak yang diajak bicara. Mas Galang juga nggak bilang kalau bapak harus datang sama ibu kan?"

"Ya nggak apa-apa, mengapa tergantung mereka mengundang atau tidak. Yang diundang bapak ya ibu juga wajib untuk ikut."

"Ya belum tentu pak, rasanya kok lebih baik bapak berangkat sendiri saja."

"Ibu kok gitu."

"Ibu merasa lebih baik begitu kok. Nanti kalau pembicaraan yang entah apa itu sudah selesai, bapak kabari ibu, nanti ibu akan menyusul."

"Baiklah kalau begitu. Sebenarnya sih masih banyak pekerjaan yang harus bapak selesaikan, tapi kok mas Galang kayaknya mendesak sekali, dan pastinya Adhit juga menunggu."

"Jadi bapak berangkat kapan?"

"Dua hari lagi saja, besok bapak baru mau pesen tiketnya."

"Kemarin Putri menanyakan apakah Adhit kembali kemari, lalu kemana ya anak itu?"

"Pastilah orang tuanya bingung, karena di Solo nggak ada, disini juga nggak ada. Semoga masalah ini cepat selesai, aku uga bingung, ada apa sebenarnya antara Adhit dan kedua orang tuanya lalu melibatkan kita.Sementara ini uga ada hubungannya dengan Dinda."

 "Nggak tau lah pak, rumit amat, tapi kok perasaanku jadi nggak enak ya."

"Sebentar, kayaknya ada pesan WA dari Adhit.."

"Pasti menanyakan hasil pertemuannya dengan ayahnya,, coba baca pak."

"Iya benar, dikiranya bapak sudah kesana."

"DUA HARI LAGI OM BARU MAU KE JAKARTA, SECEPATNYA OM KABARI, JANGAN MATIKAN PONSEL KAMU."

"Sudah bapak balas.Dan bapak suruh jangan matikan ponselnya, karena ber kali-kali dihubungi bapak ibunya ponselnya nggak pernah aktif."

"Mungkin itu wujud sebuah protes dari Adhit karena harapannya belum terpenuhi."

"Iya, mungkin juga."

***

Pagi hari itu pak Kadir mau berangkat bekerja. Tapi Mirna mengatakan akan berangkat nanti sebelum jam delapan karena rumah atau toko Dewi tak jauh dari rumah kontrakannya.

"Bapak berangkat saja dulu, Mirna berangkat sebentar lagi, setelah membereskan rumah, toh ini baru jam tujuh."

"Kamu bisa naik angkot dari sini nanti, tapi jangan lupa obat-obatmu Mirna, jangan sampai nanti merepotkan nak Dewi karena kamu lupa membawa obatmu."

"Iya, sudah Mirna masukkan kedalam tas, bapak nggak usah khawatir."

Mirna memang merasa lebih sehat, rasa mualnya sudah jarang terjadi, dan itu membuat tubuhnya terasa lebih kuat, karena bisa makan lebih banyak.

Pagi itu Mirna memutuskan untuk pergi ke toko Dewi dengan berjalan kaki saja. Kecuali lebih irit, ia merasa sudah kuat berjalan agak jauh. Jalanan sudah tampak ramai pagi itu. Lalu lalang kendaraan sa'at orang berangkat kekantor mewarnai hiruk pikuk suasana dipagi itu.

Setelah tiba diperempatan jalan didepan, Mirna harus menyeberang. Tapi sebelum perempatan itu tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Mirna ingin terus melangkah, tapi seseorang yang melompat dari mobil itu memanggilnya.

"Mirna !!"

Mirna menoleh lalu berhenti. Dilihatnya Aji melangkah mendekatinya.

***

besok lagi ya

Thursday, November 21, 2019

DALAM BENING MATAMU 51


DALAM BENING MATAMU  51
(Tien Kumalasari)
 
Mirna heran melihat siapa yang datang. Seorang anak kecil melompat dari tempat duduk disamping kemudi. Langsung menyalami Mirna.
"Tante.." sapanya.
"Hallo.... kamu kan... mm... aduh tante lupa namamu..," jawab Mirna sambil membungkuk untuk mencium ubun-ubun si bocah.
"Bima..." kata anak kecil itu.
"Aduh, ya ampun tante lupa. Iya Bima, anak cakep..."
Mirna memandangi perempuan yang datang, dia adalah Dewi.
"mBak Dewi ya?"
"Kok ada disini, aku tadi sudah meluncur kearah depan, seperti melihatmu berdiri disana, lalu aku berhenti dan mengundurkan mobilku."
"Iya mbak, beberapa sa'at lamanya saya tinggal disini, tapi ini sudah mau pergi lagi," jawab Mirna tersipu.

 
"Mengapa pergi? Aduh kamu sudah mengandung, berapa bulan?"
Wajah Mirna meredup, pertanyaan tentang kehamilannya membuatnya sedih, teringat akan nasibnya yang kurang beruntung.
"Hei, benar kan kamu sudah mengandung ?"
"Ya mbak, sudh berjalan tiga bulan ini, ayo kita masuk dulu sebentar, sambil menunggu taksi. Saya baru akan memesannya."
"Sebenarnya mau kemana? Aku antar sekalian saja, aku habis belanja. "
"Merepotkan mbak, biar saya panggil taksi saja."
"Mau kemana sebenarnya?"
"Ini mau ketempat kontrakan baru nak," kata pak Kadir yang mendekati mereka sambil mengusung kopornya."
"Ini bapak saya mbak.." kata Mirna memperkenalkan ayahnya."
"Saya pak Kadir nak, bapaknya Mirna," kata pak Kadir sambil mengulurkan tangannya.
"Saya Dewi, ah ya... waktu itu kita sama-sama ke undangan pesta nikahnya Ayud kan?"
"Iya benar."
"Tunggu, mana suami kamu Mirna?"
Mirna terdiam, sungkan menjawabnya, dan juga enggan.
"Jangan tanyakan mana suaminya nak, ini isteri yang di sia-siakan suaminya. Itulah sebabnya kami mau pindah dari sini."
"Oh, ini rumah suami kamu Mirna?"
"Bukan nak, suaminya mengontrak rumah ini, ngakunya rumah miliknya, beberapa hari yang lalu pemiliknya menagih uang kontrakan, dan kami terkejut karena nggak mengira kalau ini rumah kontrakan."
"Oh, kayaknya belum lama Mirna menikah ya?"
"Ceritanya panjang nak, saua yang memaksa Mirna menikah sama dia, karena janji-janjinya yang muluk=muluk, nggak taunya begitu dia hamil, perhatiannya langsung lenyap, dan nggak ada perdulinya sama sekali."
"Sudahlah pak, mengapa menceritakan masalah kita kepada orang lain. Ma'af mbak Dewi, mungkin bapak sudah terlalu kesal."

 
Dewi terdiam, kisah Mirna ini mirip sekali dengn dirinya, yang tak diperdulikan Aji sa'at mengandung, bahkan ditinggalkan sampai sekarang.
"Nggak apa-apa Mirna, kisah itu mirip dengan kisahku.Suamiku lebih jahat lagi, ia menghamili aku lalu kabur, untung ada Adhit sahabat aku yang membantu sehingga dia mau menikahi aku, tapi ya itu, hanya menikahi lalu kabu sampai sekarang. Ya Tuhan, aku sebenarnya sedang mencari Aji yang kabarnya sudah menikah lagi."
Pak Kadir dan Mirna terkejut mendengar nama Aji disebut. 
"Nama suami nak Dewi itu Aji? Aji Sasongko?" kata pak Kadir agak keras.
"Iya benar, bapak kenal?"
"Ya Tuhan... dia itulah yang menikahi Mirna nak.. "
Mirna terkejut, dipegangnya kedua lengan Mirna erat-erat.
"Kamu? Jadi yang ak dengar bahwa Aji menikah itu ternyata dengan kamu? Iya, aku dengar memang nama isterinya Mirna, tapi nggak nyangka bahwa itu kamu. " kata Dewi sambil mengguncang guncang tubuh Mirna.
Mirna terisak.
"Ma'af mbak, saya tidak tau. Saya juga tidak pernah mencintai dia.:
"Ayo naik ke mobil, saya akan antar kamu dan bapak kemanapun, kita akan bicara lebih banyak, ini kejadian yang sungguh luar biasa, laki-laki laknat itu harus diberi pelajaran," kata Dewi sambil menarik Dewi kedalam mobilnya, dan meminta pak Kadir agar mengusung semua bawaannya kedalam mobil.
***
"Ya sudah kalau capek istirhat saja, jangan mentang-mentang merasa kuat lalu kamu lupa istirahat," kata Raka melihat isterinya masih sibuk mem buka-buka laptop. 
"Sebentar mas, ini lho, mas Adhit sudah mulai mengerjakan tapi belum selesai. Curang dia itu, pergi seenaknya, aku yang harus mengurus semuanya," jawab Ayud menggerutu.
"Benar, tapi ingat istirahat dong, ini si kecil yang ada didalam perut juga pengin liat kamu istirahat," kata Raka sambil mengelus perut isterinya yang mulai membuncit.
"Iya bapak, ini sebentar lagi selesai."
Tiba-tiba telephone yud berdering. 
"Pasti dari mas Adhit, tolong angkat mas," pinta Ayud karena sedang menyelesaikan pekerjaannya.
"Bukan, bukan dari mas Adhit, ini dari Dewi," kata Raka sambil mengangsurkan ponsel isterinya.
"Oh ya? Tumben.... Hallo mbak... " sapanya.
"Ayud, ma'af malam-malam mengganggu."
"Nggak apa-apa, lagi santai nih mbak, ada apa nih, tumben.."
"Mau nanya nih, Adhit tuh kemana ya, sejak beberapa hari ini ilang-ilangan terus, di WA gak dibaca, ditilpun juga nggak pernah aktif."

 
"Oh, iya mbak, mas Adhit tuh lagi bertapa 'kali, beberapa hari nggak ke kantor, lagi ada urusan yang harus dia selesaikan, nggak bisa diganggu biar oleh adiknya juga."
"Oh, gitu ya.. "
"Ada yang penting mbak? Kadang-kadang kalau dia yang butuh, pasti menelpon ke kantor, nanti kalau pas dia menelpone bisa aku sampaikan."
"Penting nggak penting sih, ingin kasih tau saja. Barusan mbak ketemu Mirna."
"Mirna? Mirna bekas sekretarisnya mas Adhit ?"
"Lhoh, itu bekas sekretarisnya Adhit? Aku ketemunya ketika pesta pernikahan kamu itu. Tapi kok Adhit juga nggak bilang kalau dia bekas sekretarisnya?"
"Ada sesuatu 'kali mbak."
"Sekarang sesuatu itu aku sudah tau. Rupanya Adhit menutupi peristiwa pernikahan Mirna dan Aji, mungkin untuk menjaga perasaan Mirna juga."
"Oh, mbak sudah tau ?"
"Iya, kan dia ketemu aku, dan cerita banyak tentang pernikahannya. Si Aji itu memang kurangajar, Mirna juga ditelantarkannya tuh."
"Ya ampun mbak, bagaimana ceritanya?"
"Ini cerita di telephone kok nggak enak, besok aku mau mampir ke kantor kamu setelah mengantar Bimo ke sekolah. Kamu ada waktu? So'alnya aku mau minta tolong Adhit juga tentang kejadian-kejadian yang menimpa aku dan Mirna. Si brengsek itu harus diberi pelajaran."
"Nggak apa-apa mbak, besok silahkan mampir ke kantor saja."
Ketika pembicaraan itu berhenti, Ayud tampak meng geleng-gelengkan kepala.
"Ada apa?"
"Kasihan Mirna. Sayang sekali mas Adhit nggak sempat memperingatkan sebelum ia menikah dengan Aji. Habisnya Mirna nggak mau berterus terang sih."
***
 Ketika beberapa hari kemudin Aji datang kerumah kontrakan itu, dilihatnya pintu tertutup rapat. Ada penjual gorengan yang mangkal didepan rumah, ber lari-lari mendekat untuk menyerahkan kunci rumah.
"Pak, ini pak, kunci rumah dititipkan ke saya oleh ibu," katanya sambil memberikan kunci.
"Oh, ya.. kapan dia pergi?"
"Sudah tiga atau empt hari lalu pak."
"Baiklah, terimakasih ya."
Penjual gorengan itu pergi dan  Aji segera membuka pintu rumah. Rumah yang kosong, sepi karena tak berpenghuni. Aji mengitari seisi rumah, semuanya masih seperti sebelumnya. Hanya almari pakaian Mirna yang kosong, juga pakaian-pakaian pak Kadir sudah nggak ada. 
"Rupanya mereka memang benar-benar minggat dari rumah ini," omelnya kemudian duduk disofa panjang, menyelonjorkan kakinya seperti biasa dilakukannya setiap pulang.

 
Ada rasa sepi yang tiba-tiba menyentak, ada rasa kehilangan, yang kemudian ditepiskannya. Selamanya ia tak pernah mencintai dengan sepenuh hatinya. Ia lebih suka ber ganti-ganti pasangan. Tapi entak kenapa kali ini ia merasa sepi. Sedih, sakit. 
"Sial benar, ada apa aku ini?"
Aji berjalan kebelakang, mengangambil gelas yang masih tersisa, lalu membuka almari es. Beruntung masih ada sebotol air dingin. Ia menuangnya ke gelas itu dan menenggaknya habis, lalu kembali kearah sofa dan duduk bersandar seperti tadi.
Tiba-tiba didengarnya sebuah mobil berhenti dihalaman. Dengan enggan ia bangkit  dan berjalan keluar. Seorang wanita turun, ia bu Sukiman, si pemilik rumah.
Aji ingin mnghindar atau bersembunyi, tapi sudah kepalang tanggung. Bu Sukiman sudah melihatnya ketika ia membuka pintu, jadi kemudian ia keluar menuggu tamunya di teras.
"Beruntung bisa bertamu kamu mas, aku tunggu-tunggu nggak segera menelpon, apa isterimu lupa menyampaikan pesanku ?" omel bu Sukiman sambil nyelonong masuk dan duduk begitu saja dikursi yang ada di teras rumah.
"Sudah menyampaikan, sudah.."
"Jadi kamu mau meneruskan kontraknya atau enggak?"
"Kayaknya enggak bu, dia mau mencari kontrakan lain."
"Kamu kan punya rumah di kota, mengapa memilih ngontrak? Apa sekarang isteri kamu tinggal dirumah kamu?"
"Enggak bu, dia nggak suka."
"Baiklah, kalau begitu aku minta dibayar yang kelebihan dua bulan itu saja. Malah lebih seminggu nih sudah, tapi nggak apa-apa, bayar dua bulannya saja."
"Memangnya bu Sukiman belum ketemu dia lagi?"
"Dia siapa?"
"Isteri saya lah bu... siapa lagi."
"Belum, baru sekali itu aku ketemu isteri kamu, terus hari ini kemari lagi ketemu kamu."
"Waduh, bagaimana ini... " Aji tampak meng garuk-garuk kepalanya.
"Apanya yang bagaimana ?" 
"Kan uangnya sudah saya serahkan kepada isteri saya untuk dibayarkan sama ibu."
"Aku belum ketemu lagi sama isteri kamu. Mengapa dititipkan isteri kamu ?Biasanya kan kamu transfer atau ketemu aku dirumah."
"Saya belum sempat ketemu ibu, jadi saya titipkan ke dia."
"Kalau begitu coba tanyakan sama dia, dan kasih tau supaya mentransfer uangnya ke rekening aku, kan kamu sudah tau? Coba lihat, ini sudah aku buatkan catatannya,  kalau kamu hanya membayar dua bulan saja. Kontrak setahun aku bagi enam, harusnya nilai kontraknya sudah naik, tapi nggak apa-apa aku hitung sama dengan dulu saja."
Aji mengambil ponselnya, pura-pura memutar nomor tilpun Mirna. Tapi mana mungkin, Aji kan cuma berbohong ?'
"Waduh, ponselnya nggak aktif bu."
"Memangnya isteri kamu pergi kenana?"
"Dia ... sedang bersama orang tuanya, bagaimana kalau besok ibu kemari lagi?"
"Nggak bisa, waktuku sangat sempit, biar aku tunggu saja disini sampai isteri kamu kembali. Atau.. apa kamu nggak bisa kasih uang kamu saja, daripada harus menunggu yang sudah dibawa isteri kamu."
"Saya lagi nggak ada uang bu, ibu kan tau, saya lagi bangkrut."
"Waduh, tapi ma'af, aku nggak bisa kasih toleransi lagi, banyak yang menanyakan rumah ini, untuk dikontrak, jadi hari ini juga harus selesai."
Aji kebingungan. Ada terbersit niyat jahat yang tiba-tiba melintas dibenaknya.
 ***
besok lagi ya

DALAM BENING MATAMU 50

DALAM BENING MATAMU  50


(Tien Kumalasari)


Perempuan setengah baya itu duduk. Ada tatapan angkuh yang ditangkap Mirna ketika wanita itu memandangnya. Orang berada yang hanya memandang sebelah mata kepada lawan bicaranya.


"Mohon ma'af bu, bolehkah ibu memperkenalkan diri?"


"Oh ya, ma'af saya lupa.. saya ini bu Sukiman."


"Oh, bu Sukiman, ada yang bisa saya bantu?"


"Ya, pastinya.. karena saya tidak bisa menemui mas Aji, jadi saya minta anda yang menyampaikannya."


Mirna diam menunggu. Wanita bernama bu Sukiman itu memandangi halaman dan sekelilingnya. Kepalanya meng angguk-angguk. Lalu tersenyum senang.


"Rupanya anda merawat rumah dan kebun ini dengan baik."


Mirna tak mengerti. Bu Sukiman menilai bagaimana ia merawat rumah ini. Ada apa?


"Saya pemilik rumah ini."


Mirna kaget. Jadi ini bukan rumah Aji? Dilihatnya bu Sukiman   masih memandang kearah halaman. Melihat bunga-bunga melati yang sedang berbunga lebat dan aroma wanginya tercium sampai ke teras.


"Saya senang halaman ini terawat bagus. Saya senang tanaman-tanaman bunganya. Tapi tolong anda bilang kepada suami anda.. apakah kontrak rumah akan diteruskan atau tidak."


Mirna masih diam. Pikirannya lari jauh ke mana-mana. Kalau harus pindah dari sini apakah dia akan terus mengikuti suaminya? Lalu bisakah ia menjauh dari Aji untuk hidup sendiri? Terbersit keinginan untuk bercerai, tapi bukankah dia sedang mengandung?


"Tolong juga bilang, sudah hampir dua bulan harusnya kontrak dlperbarui. Tapi kok belum ada beritanya."


Bu Sukiman  membuka tasnya dan mengeluarkan lembaran-lembaran kertas.


"Ini surat perjanjian kontraknya. Kalau memang mau diteruskan ya mari buat perjanjian baru. Tapi saya akan  menaikkan harga kontraknya. Dan kalau tidak, saya minta mas Aji membayar sisa dua bulan yang belum terbayar."


Mirna tak menjawab apapun. Surat kontrak yang disodorkan bu Sukiman juga tak disentuhnya. Ia tak ingin membacanya.


"Baiklah bu, nanti semua ini akan saya sampaikan pada mas Aji."


"Tolong dia suruh menghubungi saya. dia tau kok nomor kontak saya," kata bu Sukiman sambil berdiri.


***


Ketika pak Kadir sampai dirumah, dilihatnya Mirna duduk termangu di teras.


"Bapak... " sapa Mirna sambil berdiri.


"Ma'af tadi ada urusan pekerjaan, jadi agak terlambat pulang. Jadi ke dokter? Bapak mandi sebentar ya. Bau nih badan," kata pak Kadir sambil terus berjalan kebelakang, tapi Mirna menghentikannya.


"Sebentar pak, Mirna ngomong sebentar."


"Ada apa?"


"Tadi ada tamu."


"Oh, siapa?"


"Pemilik rumah ini. "


Pak Kadir tertegun. Ia duduk di kursi dihadapan Mirna dengan pandangan bingung. Apa karena Mirna segan menyebut nama suaminya sehingga menyebutnya begitu? Tapi kenapa disebut juga tamu?


"Rumah ini bukan milik mas Aji."


"Oh.. bukan?"


"Kontrak rumah ini sudah habis dua bulan lalu. Pemiliknya menagih uang perpanjangan kontrak, atau pembayaran sewa kelebihan dua bulan ini."


"Kamu sudah menghubungi suamimu?"


Mirna menggeleng. Ia segan berbicara dengan suaminya.


"Harusnya dia diberi tau. Nanti kamu disalahkan."


"Bapak saja kirim pesan lewat WA. ya pak."


"Baiklah. Sekarang bapak mandi dulu. Bukankah kamu harus ke dokter?"


"Ya pak, sambil jalan nanti kita pikirkan langkah yang akan kita ambil. Sepertinya kita tak harus tinggal disini lebih lama."


***


"Ayud.. mas mu masih di kantor? Katanya dia sudah kembali ke Solo," tanya Galang ketika menelpon Ayud.


"Kemarin ke kantor, hanya menyelesaikan urusannya. Lalu pergi lagi."


"Kemana lagi dia? Ke Medan ?"


"Mas Adhit nggak bilang kemana dia pergi. Malah dia membuat surat kuasa bahwa selama dia pergi Ayud yang akan menangani semua urusannya."


"Anak itu, benar-benar keras kepala."


"Tapi bapak, mengapa bapak tidak segera memberikan alasannya supaya mas Adhit bisa menerima?"


"Bapak sama ibu akan menjelaskannya tapi dia keburu pergi. Bapak nggak pernah bisa menghubungi."


"Nanti Ayud akan mencoba menelpon mas Adhit."


"Baiklah, tapi sebelumnya bapak akan bicara dulu sama om Raharjo."


"Mengapa om Raharjo?"


"Mas mu minta tolong dia untuk bicara sama bapak. Tapi dia bisanya ke Jakarta masih besok Minggu depan. Tolong kalau bisa menghibungi katakan kalau bapak menunggu. Soalnya bapak kirim pesan ke WA nya juga nggak pernah dibaca."


"Baiklah bapak, nanti akan Ayud sampaikan."


***


Ketika pak Kadir akhirnya menelpon Aji, tanggapan Aji ternyata tak seperti yang diharapkannya. Ibaratnya dia berhutang dan ditagih oleh pemiliknya harusnya dia ter buru-buru membayarnya. Tapi tidak.


"Biarkan saja perempuan cerewet itu. Kebiasaan dia me nagih-nagih."


"Kalau begitu nak Aji hubungi saja dia supaya dia tak datang-datang lagi."


"Itu urusan saya pak. Bapak nggak usah ikut-ikutan."


"Begini nak, sebenarnya saya berharap nak Aji pulang karena ada yang ingin saya bicarakan," kata pak Kadir sambil menahan emosinya mendengar kata-kata Aji.


"Sa'at ini saya belum bisa pulang karena saya masih banyak urusan. Kalau sudah selesai saya baru bisa pulang."


"Kalau begitu saya utarakan saja sekalian disini apa yang ingin saya katakan nak."


"Oh, baiklah. Itu lebih bagus."


"Saya dan Mirna akan mencari kontrakan lain saja, supaya tidak terlalu memberatkan nak Aji."


"Oh, jadi bapak mengira saya merasa berat membayar kpntrakan rumah itu? Bapak meremehkan saya?"nada suara Aji mulai meninggi.


"Ma'af nak. Bukan maksud saya meremehkan nak Aji. Menurut saya rumah ini terlalu bagus dan terlalu besar untuk kami. Apalagi nak Aji kan jarang-jarang pulang.. jadi...."


"Ya sudah.. terserah bapak saja. Kan itu kemauan bapak dan pastinya juga Mirna,"kata Aji memotong pembicaraan itu, lalu dimatikannya ponselnya.


Pak Kadir menghela nafas panjang. Kesal dan marah bercampur aduk menjadi satu.


"Bagaimana pak?"


"Besok bapak akan mencari kontrakan itu. Tak ada gunanya bicara lagi dengan dia. "


"Mirna juga ingin lebih cepat pergi pak, biarlah kita hidup miskin asal hati kita bahagia."


"Ma'afkan bapak ya nduk,"kata pak Kadir sendu.


"Bapak kok bilang begitu lagi. Nggak ada yang harus dima'afkan. Bapak adalah ayah terbaik untuk Mirna," kata Mirna sambil memeluk ayahnya.


"Sekarang minum obatmu lalu kita makan dan kamu harus beristirahat. Mudah-mudahan besok pagi bapak sudah mendapatkan rumah itu."


***


Dua hari kemudian pak Kadir sudah mendapatkannya. Rumah kecil sederhana yang boleh disewa setiap bulan sehingga tidak terlalu memberatkan.


Sore itu Mirna dan ayahnya sudah berkemas. Dua buah kopor besar berisi pakaian dan semua milik mereka telah disiapkan didepan rumah. Mirna sedang mau mengontak taksi online ketika tiba-tiba sebuah mobil behenti didepan pagar rumah. Seseorang turun dari mobil dan menyapanya dengan heran.


"Mirna ?"


Mirna terkejut. Ia berjalan kearah pagar untuk menyambut.


***

besok lagi ya

Tuesday, November 19, 2019

DALAM BENING MATAMU 49

DALAM BENING MATAMU  49


(Tien Kumalasari)

"Adhit ada di Medan. Barusan Raharjo menelpon," kata Galang pada isterinya sore hari sepulang kantor.

"Ya ampun, apa yang dilakukan anak itu disana? Bicara tentang Dinda ?"

"Pastinya ya. Raharjo bilang bahwa Adhit tak akan pulang kalau belum mendapat jawaban."

"Lalu mas bilang apa?"

"Aku suruh Raharjo datang ke Jakarta."

"Mas nggah nyuruh Adhit juga datang lagi kemari? Dia masih di Medan ?

"Aku nggak nanya. Kalau dia belum mau pulang itu berati masih di Medan atau dimana,"

"Mengapa mas nggak tanya?"

"Iya.. ma'af.. aku begitu kaget ketika dia menelpon dan bicara tentang Adhit. Sehingga aku hanya minta agar dia segera datang ke Jakarta untuk bicara."

"Kalau begitu telepone dia supaya datang bersama Adhit."

"Baiklah.."

Tapi ketika Galang menelpone Raharjo sore itu, dia mendapat jawaban mengecewakan.

"Ma'af mas, sebenarnya aku juga mau mengajak Adhit ke Jakarta."

"Adhit nggak mau?"

"Bukan.. Tadi Ayud menelpon, katanya ada urusan kantor yang harus segera diselesaikan dan itu penting."

"Jadi Adhit sudah  kembali ke Solo?"

"Ya mas, belum lama. Tapi dia wanti2 agar segera dikabari tentang hal yang akan kita bicarakan di Jakarta nanti."

"Yang ini kita bicara saja sendiri nanti Adhit biar aku atau ibunya yang bicara.

Tak urung Raharjo yang penuh penasaran ingin segera tau jawaban atas semuanya.

"Sayang aku baru bisa datang Minggu depan mas.. tak bisa meninggalkan pekerjaan karena ada pembicaraan dengan klient yang harus aku tangani sendiri. Dan Adhit juga bilang bahwa dia akan ke Solo hanya untuk urusan yang dikatakan Ayud. Setelahnya dia akan pergi lagi sampai dia dapatkan jawaban dari mas Galang."

Dan Galangpun harus bersabar sampai segala yang membuat keluarganya tertekan segera terurai.

***

Galang benar-benar hanya mengurusi pekerjaan yang hanya dia sendiri yang menanganinya. Setelah itu dia berpamit untuk pergi lagi.

"Kalau perlu aku akan membuat surat kuasa agar kamu bisa menyelesaikan semua urusan tanpa aku."katanya sebelum pergi.

"Sebenarnya ada apa sih mas? Mas lagi marah sama bapak sama ibu?" tanya Ayud yang berusaha menahan kakaknya tapi tak berhasil.

"Bukan lagi marah."

"Lalu ? Mengapa mas harus pergi?"

"Aku sudah bilang, tak akan kembali sebelum mendapatkan jawabannya."

"Mas, bukankah mas bisa menanti disini? Bukankah menurut kata mas.. om Raharjo akan membantu?"

"Bapak sama ibu tak akan bergeming kalau aku diam menunggu."

"Lalu .. mas akan pergi kemana?"

"Entahlah, jangan menghawatirkan mas. Mas bukan anak kecil lagi," jawab Adhit sambil memeluk adiknya. Tak urung berlinang air mata Ayud karena kepergian Adhit kali ini membawa hati yang penuh kecewa.

"Jaga baik-baik keponakanku," kata Adhit sambil mengelus perut adiknya yang mulai membuncit.

Terburai air mata Ayud, membasahi pundak Adhitama.

***

Pagi hari itu Mirna sedang duduk diteras depan bersama ayahnya. Seperti biasa Aji tak menemani mereka karena sudah 3 hari tidak pulang kerumah.

Pak Kadir yang mulai kecewa menyaksikan sikap Aji mencoba menghibur anaknya.

"Kamu harus bersabar nduk, yang penting semua kebutuhan kamu tercukupi. Bukankah nak Aji selalu memberi kamu uang belanja?"

"Sudah sebulan ini Mirna mengambil uang tabungan Mirna untuk mencukupi semua kebutuhan kita."

"Apa ?"kata pak Kadir sambil mengangkat kepalanya yang semula bersandar di kursi.

"Itu benar bapak, tapi bapak tak usah khawatir. Mirna sedang berusaha mencari pekerjaan lagi."

"Apa ?"mata pak Kadir terbelalak.

Semua yang didengarnya sungguh tak pernah dibayangkannya. Ini seperti mimpi buruk. Kebahagiaan anaknya yang selalu diharapkannya ternyata meleset dari angan-angannya. Air mata pak Kadir berlinang. Dipeluknya tubuh Mirna dan menangis tersedulah dia.

"Ma'afkan bapak nduk, ma'afkan bapak. Bapak silau oleh iming-iming gemerlap yang dipamerkannya. Iming-iming janji kasih sayang yang diucapkannya. Ma'afkan bapak ya nduk."

Mirna me nepuk-nepuk punggung bapaknya.

"Bapak jangan sedih. Tak perlu menyesali diri sampai menangis begini. Bukankah tidak semua impian bisa menjadi nyata? Mirna bukan sedih karena pilihan bapak. Mirna merasa bapak memilihkan sesuatu terbaik untuk Mirna, dan kalau semua menjadi salah.. tak perlu menyesalinya. Kegagalan ini akan kita pikul bersama. Ayo bangkit bapak, jangan menangis lagi. Mirna juga tak akan menangis. Lihat mata Mirna. Masih adaj semangat menyala disini," kata Mirna sambil tersenyum. Didorongnya tubuh ayahnya lalu diusapnya air matanya dengan jemarinya. Mata tua itu tampak sayu. Tak bisa dipercaya anaknya akan setegar itu.

"Ma'afkan bapak.. ," bisiknya pilu.

"Bapak tidak bersalah. Bapak ingin memberi Mirna kebahagiaan. Dan itu impian mulia seorang tua. Bahwa kemudian mimpi tak bisa menjadi nyata.. maka tak boleh ada sesal itu."

Pak Kadir memandangi wajah Mirna lekat-lekat. Sungguh tak percaya rasanya Mirna juga bisa mengucapkan semua itu. Rasanya ia seperti seorang kanak-kanak yang diberi petuah oleh orang tuanya. kembali air matanya berlinang.

"Lho.. bapak kok menangis lagi?"

"Sungguh menyesal bapak ini.."

"Sudahlah pak, sekarang ayo kita melakukan sesuatu. Mirna sudah mencoba melamar ke beberapa perusahaan... dan.. "

"Tidak nduk, kamu sedang hamil.Suasana perempuan hamil itu tak menentu. Kadang kamu merasa sehat. Tapi sering merasa lemas.. mual.. muntah.. Mana bisa kamu bekerja? Bapak akan menghibungi Sukir. Dia pasti bisa membantu. Jadi bapaklah yang akan bekerja."

"Bapak ? Tapi bapak seharusnya tidak bekerja," protes Mirna.

"Ahaa.. jangan menyepelekan bapakmu, lihat.. bapak masih perkasa..," kata pak Kadir sambil mengangkat kedua lengannya dan menampakkan ototnya yang masih tampak perkasa.

Mirna memeluk bapaknya.

"Jangan lagi ada tangis dan sesal diantara kita," bisik Mirna sambil tersenyum.

"Bapak akan menelpon Sukir sekarang," kata pak Kadir sambil meraih ponselnya.

"Nanti kalau anak Mirna sudah lahir, Mirna juga akan bekerja."

Tak ada yang bisa dilakukan Mirna kecuali menurut apa kata bapaknya. Memang kehamilannya terkadang membuatnya bingung. Mual dan muntah hampir tiap hari dirasakannya. Padahal kandungannya sudah memasuki usia ke 3 bulan. Memang sudah tidak sesering pada awal-awalnya, tapi terkadang rasa mual itu masih selalu menyiksanya.

***

Siang itu Mirna sedang berada di kamar. Sudah sejak pagi dia terbaring saja karena perutnya mual dan nggak doyan makan. Sementara itu pak Kadir sudah mulai bekerja sejak tiga hari yang lalu. Pak Kadir menyuruh Mirna nggak usah memasak. Untuk makan pagi dan siang pak Kadir sudah membelikan makanan di warung. Nanti sepulang kerja dia akan membawa lagi makanan untuk makan malam mereka. Tapi sejak sarapan yang hanya beberapa suap, Mirna belum lagi menyentuh makanannya. Obat anti muntahnya ternyata sudah habis. Mirna bermaksud memeriksakan lagi kandungannya sore nanti.

Tiba-tiba tanpa diduga Aji datang. Ia marah-marah melihat Mirna tiduran dan tak segera mengambilkan minum.

"Itulah perempuan. Kalau lagi hamil bawaannya malas-malasan,"omel Aji sambil berdiri didepan pintu kamar.

Mirna tak menjawab. Tapi ia berusaha bangkit. Lalu turun perlahan dari ranjang. Tubuhnya memang lemas. Dengan tertatih ia melangkah menuju pintu. Sedikit terhuyung sampai ia berhasil memegang daun pintu. Namun Aji justru meninggalkan kamar dengan wajah muram, lalu duduk sambilmenyelonjorkan kakinya di sofa panjang, seperti biasanya.

Mirna merambati pintu dan melangkah sambil berpegangan apa saja yang bisa dipegangnya. Menuju dapur dan menuangkan air putih kedalam  gelas. Lalu ia membawanya kedepan tapi begitu sampai didepan Aji, Mirna terhuyung dan air dalam gelas itu tumpah membasahi baju dan celana Aji.

"Apa kamu tidak memiliki mata?"hardiknya.

Aduhai.. begitu keras dan kasar kata-kata itu. Mirna menyandarkan tubuhnya sebentar pada sandaran sofa, tak menjawab sepatah katapun atas umpatan kasar suaminya. Dilihatnya Aji bangkit dan berjalan kearah kamar. Mungkin untuk mengganti baju dan celananya yang basah.

"Mana pak Kadir? Mana ayahmu?hardiknya lagi tak kurang kasar.

Mirna tak menjawab. Ia berjalan tertatih kebelakang. Rasa mualnya telah berganti rasa ingin muntah. Agak cepat langkahnya sambil berpegangan apa saja yang bisa dipegangnya. Dan beruntung muntahan itu tumpah ketika ia tiba di kamar mandi.

Lemas dan masih terhuyung ketika ia berjalan kearah kamarnya. Tapi dilihatnya Aji sudah tak ada disana. Deru mobil terdengar menjauh dari halaman.
Mirna menghela nafas panjang. Air tumpahan dari gelas yang tadi dihidangkan untuk suaminya masih bergelimang di lantai. Mirna belum ingin membersihkannya. Ia memungut gelas yang jatuh tergeletak disofa basah lalu mengisinya lagi dengan air setelah bisa mencapai dapur.
Setelah muntah perutnya terasa sedikit lega. Dibukanya tudung saji lalu ia menyendok beberapa suap nasi sisa pagi tadi.

***

Sore harinya Mirna sudah mandi dan berdandan. Ia menunggu ayahnya untuk diajaknya memeriksa kandungan.
Ketika itu dilihatnya mobil memasuki halaman. Tapi itu bukan mobil Aji. Ada tamu rupanya. Seorang wanita setengah baya turun dari mobil itu.
Mirna berdiri menyambut.

"Selamat sore.." sapa wanita itu.

"Selamat sore ibu,"jawab Mirna ramah

"Bisa ketemu mas Aji?"

Mirna tertegun.

"Dia ada kan?"

"Tidak ada bu, mas Aji sedang keluar,"jawab Mirna.


"Anda isterinya?"

Mirna mengangguk walau srbutan isteri membuatnya kurang nyaman.

"Boleh saya duduk? Saya ingin bicara."

"Oh, silahkan ibu."

Mirna mempersilahkan tamunya duduk dan sejuta pertanyaan membuatnya gelisah. Pandang wanita setengah tua itulah yang membuatnya rak enak.

***

besok lagi ya

Monday, November 18, 2019

DALAM BENING MATAMU 48

DALAM BENING MATAMU  48

(Tien Kumalasari)

Galang berdiri dan setengah berlari kearah kamar Adhit. Dilihatnya Putri berdiri  termangu didepan pintu, berlinang air matanya. Galang merangkulnya.

"Aku baru saja ingin mengatakan semuanya," isak Putri.

"Tenanglah, Adhit bukan anak kecil. Dia tak akan ke mana=mana."

"Coba mas telpone dia..."

Dalang mengambil ponselnya dan mencoba menelon Adhit, namun ternyata tidak aktif. Galang menuntun Putri, mengajaknya duduk disofa. Acara makan pagi menjadi tidak lagi nikmat. Mereka kehilangan nafsu makannya.

"Mungkin dia sudah kembali ke Solo, dan mungkin sekarang baru di pesawat. Sebentar lagi aku akan mencoba menelponnya lagi."

"Anak itu, ya ampuun.. kalau sudah punya kemauan, sulit dihentikan. Itu sudah sejak dia masih kecil dulu bukan mas?"

"Benar, dibalik hatinya yang lembut, penuh kasih sayang, dia selalu punya keinginan yang sulit dihentikan. Tapi dalam hal ini kita harus bisa memakluminya, kita melarangnya tanpa mengatakan alasannya kenapa. Pasti dia penasaran."

"Kita yang salah mas. Kita selalu ketakitan untuk membuka rahasia itu. Aku, lebih-lebih aku.. merasa malu membuka aibku.. ini akibatnya. Bukankah se pintar-pintar kita menyimpan bangkai akhirnya akan tercium juga bau busuknya?" kata Putri pilu.

"Putri, dalam hidup terkadang kita harus melalui liku-liku, banyak bunga kehidupan yang terkadang menyakitkan, kita sudah bisa menjalani selama berpuluh tahun, kamu dan aku tetap kuat menerimanya. Tapi Tuhan ingin agar semua terbuka, karena masalah darah daging adalah masalah yang tak bisa disembunyikan. Jangan ingkar kalau Adhit itu memang darah dagingnya Raharjo.Dan Raharjo juga harus tau masalah ini."

Putri mengusap sisa air matanya dan mengangguk perlahan.

"Ayo kita lanjutkan makan paginya, setelah itu aku akan mencoba menelponnya lagi."

Dan makan pagi itu dilalui dengan saling diam. Mereka berbicara dengan hati mereka masing-masing. Walah bibir mengatakan siap membuka rahasia itu, tapi hati tetap merasa ragu, juga pilu, dan pasti ada rasa malu.

Namun setelah selesai sarapan, bahkan beberapa jam kemudian, ponsel Adhit belum juga aktif. Ketika menelpon kerumah, bu Broto bu Broto malah bingung karena mengira Adhit masih di Jakarta.

"Memangnya ada apa? Apa kalian memarahinya?" tegur bu Broto.

"Enggak bu, cuma dia tadi pulang ter gesa-gesa. Mm.. maksudnya... nggak pamit dulu sama kita." kata Putri yang semula ingin menutupi kepulangan Adhit yang tiba-tiba.

"Ibu sudah menduga, pasti karena Dinda kan?"

"Malam tadi kami sudah sepakat mau membuka rahasia itu bu, supaya Adhit tidak penasaran berkepanjangan dan bisa memaklumi mengapa kita melarangnya, tapi pagi tadi tiba-tiba dia pergi tanpa -pamit." kata Putri yang akhirnya harus berterus terang perihal kepergian Adhit.

"Sudah menelpon dia?"

"Ber kali-kali bu, tapi rupanya dia mematikan ponselnya. Kami mengira dia sudah sampai dirumah."

"Belum tuh, tapi ya sudah nggak apa-apa, ibu tungguin saja, nanti ibu suruh dia kembali ke Jakarta kalau kalian mau mengatakan hal yang sebenarnya. Ibu nggak mau mengatakannya, harus kalian sendiri."

"Baiklah bu, kabari Putri kalau Adhit sudah sampai dirumah."

***

Siang itu Dinda muncul dikantor, tapi langsung menemui Ayud karena tak melihat Adhit di ruangannya. Kata sekretaris barunya, Adhit nggak datang hari itu.

"mBak Ayus, memangnya mas Adhit kemana?"

"Nggak tau, sejak dua hari lalu menghilang," jawab Ayud sekenanya.

"Lhah, kok bisa menghilang?"

"Dia ke Jakarta, ada apa sih, kangen ya?"

"Iya kangen... ," kata Dinda sambil tertawa. Heran, kalau deket sebel, kalau jauh kangen aku sama dia."

"Hm, itu namanya cinta," goda Ayud.

"Enak aja, ogah aku jatuh cinta sama orang tua."

"Enak aja, kakakku biar tua tapi ganteng lho."

"Iya, percaya, idiih deh, nggak kakaknya nggak adiknya kalau ketemu topiknya itu-itu aja."

"Topik apaan sh?"

"Itu, tentang cinta, Dinda sih belum ingin jatuh cinta, kata ibu harus sekolah dulu, ya kan?"

"Anak pinter. Oh ya, ada apa kau kemari, cuma ingin ketemu mas Adhit?"

"Nggak mbak, tadi cuma nengok aja keruangannya, tapi kata sekretarisnya dia nggak ada. Aku langsung kemari deh."

"Oh, aku tau.. bapak mengirimi kamu uang, tapi ada di rekening mas Raka. Kamu butuh sekarang?"

"Iya sih, aku telpone mas Raka dulu deh, biar diambilin uangnya."

"Nggak usah, nanti mbak yang bilang, biar mbak kasih dulu sekarang."

"Nggak enak ah, nanti aku dimarahin mas Raka."

"Lho mas Raka itu kan suami aku, apa menurut kamu beda antara mbak Ayud sama mas Raka?"

"Nggak sih, tapi terkadang mas Raka suka ngomel kalau so'al uang."

"Nggak apa-apa,  ini.. mbak kasih dulu, nanti kalau kurang karu bilang sama mas Raka," kata Ayud sambil memberikan sejumlah uang.

"Terimakasih mbak, nanti aku bilang sama mas Raka kalau sudah dikasih mbak Ayud."

"Ya, bilang aja."

Tiba-tiba ponsel Ayud berdering. Ternyata dari Adhit.

"Hallo mas, lagi dimana? Iya aku tau, sudah beres semuanya... apa? Belum mau pulang? Enak aja semua urusan Ayud yang harus urus. Ada apa sih? Mas masih di Jakarta? Lama bener, sampai kapan? Waduuh.. jangan galak-galak dong, ada Dinda disini tuh.. iya.. tuh .. mau ngomong? Nggak? Tumben, nggak kangen sama Dinda? Dinda aja kangen tuh, bener, barusan dia bilang.Oh ya, baiklah, ya nantiAyud bilang sama eyang. Yaaa... salam buat Dinda? Salam apa dong.. Oke mas" Dan Ayud meletakkan ponselnya sambil masih ter tawa-tawa.

"Ada apa sih? Lucu ya?" 

"Itu mas Adhit, kangen sama kamu, tapi cuma nitip salam aja."

"Masih di Jakarta?"

"Tau tuh, ada uusan apa .. nggak bilang apa-apa, minta dilamarin barangkali."

"Oh, mau nglamar? Siapa dong, besok kalau mas Adhit nikah aku mau jadi patahnya."

Ayud tertawa keras.

"Kalau patah segede kamu, bisa-bisa dikira pengantin perempuannya kamu."

"Sama siapa sih, putri Solo? Kok nggak pernah dikenalin ya aku."

"Kamu itu, mbak Ayud cuma bercanda, nggak tau tuh ada urusan apa di Jakarta, ini semua pekerjaan jadi mbak Ayud yang ngurusin."

"Ya udah, Dinda mau pulang sekarang, nanti mbak Ayud terganggu."

"Ayo .. mbak Ayud antar aja sekarang, sekalian makan siang."

"Waah, enak dong.. nanti sekalian diantar ke kampus kan,  Dinda mau langusng ke kampus."

"Oke, tunggu sebentar ya."

***

Tapi Putri bingung ketika Ayud menelpon dan mengatakan bahwa Adhit masih ada di Jakarta. 

"Jakarta nya dimana?"

"Memangnya nggak dirumah bu?"

"Enggak, cuma semalam dirumah lalu dia pergi lagi."

"O, lagi bingung mas Adhit tuh."

"Iya bingung."

"So'al apa bu?"

"Ah, so'al yang kemarin-kemarin itu juga," jawab Putri seakan mengeluh.

"So'al Dinda?"

"Iya, sedih ibu nduk."

"Memangnya kenapa bapak sama ibu melarang mas Adhit menyukai Dinda?"

"Nanti bapak sama ibu mau mengatakannya, tapi mas mu keburu pergi. Ditelpone juga nggak diangkat, atau dimatikan sekalian ponselnya. Tampaknya dia marah sama bapak ibumu."

"Padahal Dinda sendiri seperti nggak ngerasain perasaan seperti perasaan mas Adhit lho."

"Kamu yakin?"

"Yakin lah bu, dia itu sama mas Adhit cuma bersikap seperti seorangg adik terhadap kakaknya. Tapi kayaknya ms Adhit berharap suatu hari Dinda pasti akan mencintai dia."

"Itu yang benar."

"Yang benar bagaimana bu?"

"Mm... maksud itu, menyukai sebagai seorang kakak, itu lebih bagus," kata Putri buru=buru, karena ia belum ingin membuka rahasia itu sekarang.

"Bingung ya bu.."

"Oh ya, bagaimana kehamilan kamu nduk?"

"Baik bu, Ayud sehat, dan nggak ngerasain ngidam. Apa saja Ayud makan. Besok anaknya Ayud rakus 'kali ya?" kata Ayud sambil tertawa.

"Syukurlah nduk, itu bagus, memang orang ngidam itu yang dirasakannya ber macam-macam, ada yang terus muntah-muntah, ada yang banyak keinginannya, ada yang tidak bersasakan apa-apa seperti kamu ini. Tapi kamu harus hatu-hati menjaga kehamilan kamu ya? Meski tidak merasakan apapun, tapi jaga terus, jangan kecapaian, jangan mengangkat yang berat-berat."

"Iya bu, Ayud tau.Do'akan Ayud ya bu.."

"Pasti lah nduk, ibu dan bapak akan selalu berdo'a yang baik-baik untuk anak-anaknya.

"Nanti ibu kabari kalau masmu kembali lagi kerumah."

"Baiklah ibu."

***

Tapi Raharjo  terkejut ketika tiba-tiba Adhit muncul lagi dihadapannya. Kali itu ia datang ke kantornya.

"Adhit, kamu jadi mau buka cabang di kota ini?" tanya Raharjo.

"Belum tau om, baru meng hitung-hitung untung ruginya, dan kemungkinan menjalankannya."

"Ya, harus begitu, jangan asaln memiliki perusahaan banyak tapi tidak bisa cara mngelolanya dengan baik."

"Sebetulnya ada hal lain yang ingin Adhit sampaikan," kata Adhit sedikit ragu-ragu.

"Oh ya, ada apa nih? 

"Adhit dari Jakarta kemarin om."

"Oh ya, kamu membawa pesan dari bapak?"

"Nggak juga..."

Raharjo sedikit bingung. Dipandanginya Adhit lekat-lekat, dan ia menemukan kesedihan disana.

"Ada apa sebenarnya ?"

 "Ini so'al perasaan saya."

"Haaa... perasaan? Coba jelaskan Dhit, om jadi bingung.."

"Adhit menyukai Dinda om." 

Raharjo terkejut. Sedikit banyak ada terbersit keinginan untuk bermenantukan Adhit, tapi Raharjo merasa sepertinya Galang tidak suka. Apakah Adhit juga tau tentang penolakan ayahnya?

"Lalu... bagaimana? Dinda kan masih sekolah?" hanya alasan itu yang Raharjo bisa jawab. Tapi itu kan bukan penolakan keras?

"Bapak sama ibu menolak keras, Adhit ingin tau tau alasannya," kata Adhit pelas.

"Iya.. iya, om tau dan merasakannya."

"Apa om tau alasannya? Hanya itu yang Adhit ingin tau."

"NGgak, om nggak tau alasannya, tapi bahwa ayah kamu menolak, om sudah tau."

Adhit diam, tak seorangpun bisa memberi jawaban. Itu membuatnya semakin kacau. Ia tak ingin cintanya kandas tanpa tau penyebabnya. Cinta yang dipendamnya serasa semakin besar dirasakannya, dan semakin ia ingin mengejarnya. Sampai dapat.

"Apakah om juga akan menolaknya seandainya pada suatu hari nanti Adhit melamarnya?"

Entah darimana datangnya semua keberanian itu, Adhit sendiri tak tau. Mungkin rasa penasaran yang terus menghantuinya membuat Adhit lupa akan rasa malu dan sungkan terhadap Raharjo yang sejak lama dianggapnya sebagai keluarga dekat sejak dirinya masih kanak-kanak.

"Tidak, om suka itu, tapi bagaimana lagi kalau orang tuamu menolaknya?"

"Maukah om menolong Adhit?"

"Apa yang harus om lakukan?"

"Tolong tanyakan pada bapak sama ibu, mengapa mereka menolak. Adhit tak akan pulang ke Solo atau[un ke Jakarta kalau belum mendapat jawaban.

Raharjo terkejut. Ini sebuah kenekatan .. dan tiba-tiba dirinya juga merasa penasaran.

Tapi ketika dia menelpon Galang, jawabannya adalah bahwa dia harus datang ke Jakarta.

***

besok lagi ya

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...