Friday, January 31, 2020

LASTRI 11

LASTRI  11

(Tien Kumalasari)

Lastri memandangi mobil yang berhenti persis disampingnya. Lalu ketika kaca mobil dibuka, terlihatlah wajah seorang laki-laki yang dikenalnya. Teman Bayu, Sapto. Karena gugup Lastri lalu menerima uang kembalian yang diberikan Timan , kemudian melanjutkan langkahnya untuk pulang.

"Oh ya mas, terimakasih ya," teriaknya sambil berlalu  kepada Timan yang bengong seperti sapi ompong.

Sapto yang penasaran karena Lastri pergi begitu saja, langsung turun dari mobil dan mengejarnya.

"Lastri...  Lastri," teriak Sapto mengejarnya.

Aduuh, Lastri kesal sekali, tapi kalau dia tidak berhenti maka pasti dia akan menjadi tontonan banyak orang, jadi akhirnya dia memilih untuk berhenti.

"Lastri, aduuh, hampir putus nafasku karena mengejar kamu," kata Sapto sedikit terengah engah.

"Ada apa sih mas, saya lagi tergesa-gesa," jawab Lastri dengan wajah masam.

"Jangan begitu Lastri, aku kebetulan ada tugas keluar, lalu tiba-tiba melihat kamu dikejar laki-laki itu, jadi aku berhenti, takutnya ada yang gangguin kamu."

"Nggak, itu penjual buah mau memberikan kembalian,"

"Kayak maksa, gitu.."

"Nggak kok, saya yang lupa, dan sedang tergesa-gesa. Ma'af mas," kata Lastri kemudian meneruskan langkahnya.

"Eit, Lastri, tunggu dulu, bawaanmu berat amat, kelihatannya kamu harus dibantu, sini, aku antar sampai kerumah."

"Ngak usah, terimakasih," dan Lastri terus melangkah.

"Lastri...gimana sih, dibantuin kok Nah, ini biar aku yang bawa, ayo.. " tiba-tiba saja Sapo sudah merebut tas berisi jeruk yang tampak berat ditangan Lastri, kemudian sebelah tangannya menarik Lastri, diajaknya masuk kemobil. Lastri tak bisa menolak. Walau kesal dia mengikuti Sapto yang kemudian membukakan pintu mobil untuknya.

Lastri duduk terpaku, tak sepatah katapun keluar dari mulutnya.

"Cemberut gitu kok masih tetap cantik ya," goda Sapto.

Lastri memalingkan wajahnya, melihat keluar jendela, memandangi lalu lalang kendaraan yang hiruk pikuk pada jam-jam sibuk seperti sa'at itu, sementara mobil Sapto terus melaju kearah rumah keluarga Marsudi. 

Tadinya Sapto tidak tertarik lagi pada Lastri setelah mengetahui dia itu siapa. Tapi melihat penolakan-penolakan Lastri dan sikap menjauh yang diperlihatkan Lastri, Sapto merasa penasaran. Tiba-tiba ia merasa tertantang untuk bisa menaklukkan Lastri. Cuma pembantu saja, jual mahal amat sih, batin Sapto penasaran. Masa pria ganteng seperti dirinya, mapan, memiliki mobil mewah, sama sekali tidak membuatnya tertarik? Awas kamu Lastri, aku akan terus mengejarmu,.

Lastri turun dari mobil Sapto begitu sampai didepan  gerbang rumah keluarga Marsudi. Ia mengambil semua belanjaannya.

"Terimakasih banyak sudah memberikan tumpangan," kata Lastri yang kemudian melangkah memasuki halaman.

Sapto memukul setir mobilnya.

"Sombong amat Lastri !!" Umpatnya sambil menstarter mobilnya lalu memacunya kencang. Rasa penasaran itu membakar hatinya.

***

"Lastri, beli jeruknya banyak sekali? Tapi bagus-bagus.. " kata bu Marsudi ketika  Lastri menata belanjaannya dimeja dapur. Ia tak akan mengatakan bahwa tadi menumpang mobil Sapto karena dipaksa. Lastri sungguh kurang suka pada teman Bayu yang satu itu. Matanya kelewat nakal, dan ia membencinya.

"Hm, tapi manis nih, seger, pinter kamu milihnya.." lanjut bu Marsudi sambil mencicipi jeruknya.

"Bu, itu tadi mas Timan, saya bilang beli sekilo, dikasih begitu banyak. Udah gitu saya kasih uang seratus ribu, dikembalikan yang limapuluh ribu, maksa-maksa lagi, saya jadi bingung bu."

"Walaah, dikasih murah terus sama dia, jadi nggak enak."

"Saya sudah melarangnya bu, dia nekat.. sudah saya tinggalkan dia supaya mau mnerima pembayaran saya, tapi dia nekat. Dibayar mau, tapi dikasihnya barang sebanyak itu."

"Jangan-jangan dia suka sama kamu Tri." 

Lastri meletakkan panci yang disiapkannya untuk merebus sayur..

"Ibu ada-ada saja. Kami kan berteman sejak saya masih buta hurup bu. Ini persahabatan, nggak ada itu cinta."

"Siapa tau Tri."

"Ah, ibu..."

"Kalau benar dia suka sama kamu, apa kamu mau menolaknya?"

"Iya lah.. "

"Dia itu kan ganteng, juragan buah yang sukses."

"Nggak bu, Lastri cuma menganggap mas Timan itu sahabat, atau kakak. Nggak lebih dari itu."

"Apa kamu sudah punya seseorang yang kamu cintai?"

"Ibu pertanyaannya aneh-aneh saja."

"Kamu kan juga punya teman-teman, mungkin waktu kamu sekolah..."

"Nggak ada bu..Lastri nggak punya cinta," jawab Lastri sambil memotong-motong kacang panjang."

"Masa sih, orang nggak punya cinta?"

"Maksud Lastri, nggak ada yang Lastri cintai."

"Kamu itu sudah dewasa lho Tri.. kalau ada yang melamar kamu, nanti aku yang akan menikahkan kamu."

"Lastri itu siapa bu, hanya orang dusun yang semula buta hurup. Mana ada yang suka sama Lastri."

"Jangan begitu Tri..apakah orang dusun itu hina? Kamu itu cantik, pintar, banyak yang akan suka sama kamu."

Lastri tersenyum. Tiba-tiba terbayang wajah majikan ganteng yang selalu memberinya senyuman manis. Senyuman yang selalu mengetarkan hatinya, dan membuat dia jatuh cinta. Tapi cinta itu akan dipendamnya dalam2 didasar lubuk hatinya. Cinta yang tak mungkin terbalas. Cinta yang tak akan bisa membuatnya bersatu. Tapi dia ikhlas. Sudah cukup baginya walau hanya mengabdi. Lalu senyum itu membayang kembali, dan.

"Aauuww..." Lastri tiba-tiba menjerit kecil, Tangannya teriris pisau, dan darah mengucur mmenodai bajunya.

Bu Marsudi terkejut.

"Lastri, mengapa kamu itu? Mengiris kacang kok jadi mengiris jarimu sendiri."

Lastri berlari ke almari obat.

"Pasti melamun anak itu," gumam bu Marsudi pelan.

  ***

Siang itu setelah ketika sa'at istirahat .. Lastri ingin merebahkan tubuhnya sejenak; Tiba-tiba ponselnya berdering. Lastri melirik ponselnya, barangkali dari Bayu, karena sehari ini Bayu tidak menelpone. Bahkan dia tidak makan siang dirumah dan tanpa memberi kabar seperti biasanya. Ternyata bukan Bayu yang menelpone, tapi Timan.

"Hallo.." sapa Lastri.

"Masih sibuk Tri?" tanya Tman dari seberang sana.

Timan selalu mengerti, kapan sa'at Lastri tidak sedang mengerjakan sesuatu. Maklum hanya pembantu pasti banyak yang harus dikerjakan. Takutnya mengganggu.

"Nggak mas, baru selesai mencuci piring didapur."

"Aku nggak mengganggu kan?"

"Nggak, ini lagi istirahat. Ada apa mas?"

"Cuma mau nanya, tadi pagi itu, yang ketemu kamu pas kamu keluar dari pasar, siapa?"

"O, itu mas Sapto, temannya mas Bayu."

"O, jadi kamu sudah kenal?"

"Sudah mas. Ada apa ya?"

"Nggak apa-apa, aku khawatir saja , kelihatannya kamu nggak suka, takutnya dia mengganggu kamu."

"Iya, aku kurang suka, tapi nggak apa-apa, aku diemin saja. Dia memaksa mengantar aku sampai kerumah."

"Oh, gitu, tapi kamu nggak di apa-apain kan?"

"Ya enggak mas, mana berani dia" kata Lastri sambil tertawa.

"Ya sudah Tri, istirahat saja, aku mau ke kebun dulu, besok aku panen jambu."

"Kebunnnya didekat rumah itu kan?"

"Ya, lumayan nggak usah beli, tapi besok harus ditungguin, mungkin aku kepasar agak siang. Ini baru mau nyari orang yang mau bantuin memanen."

"Wah, seger ya mas, udara panas begini makan jambu. Jambu apa tuh mas?"

"Jambu air, memang seger, besok aku bawain."

"Nggak lagi mas, aku nggak mau gratis."

"Ini bukan dari beli, tapi dari kebun sendiri, jadi nggak apa-apa kalau gratis."

"Huh, nggak apa-apa terus.." gerutu Lastri. Tapi dia senang Timan memperhatikannya. Bahkan ketika Sapto mengejarnya pagi tadi, Timan juga melihatnya dan menghawatirkannya.

"Ya udah selamat istirahat Lastri," kata Timan sebelum menutup ponselnya.

Lastri menaruh ponsel disampingnya, lalu dipejamkannya matanya. Ada sesuatu yang diharapkannya hari itu, mengapa Bayu tidak menelponnya, bahkan tidak memberi tau kalau tidak bisa makan siang dirumah. Diraihnya ponselnya, dan didekapnya didadanya. Ada rindu yang menghentak dadanya. Aduuh, baru tidak ditelpon sesiang saja mengapa rasa rindu menyelimuti hatinya? Padahal pagi tadi masih melayaninya, mengantrnya ke mobil dan mendapatkan senyum manisnya. Didekapnya ponsel itu seperti memeluk kekasih hatinya.

Tiba-tiba ponsel itu berdering, menggetarkan dada dan bahkan seluruh isi jantungnya, begitu mengetahui siapa yang menelpone. Lastri mengangkatnya, segera, secepat kilat.

"Hallo mas," jawabnya lembut.

"Lastri, kamu tidur ya?"

"Nggak tuh.."

"Kok suaranya seperti orang bangun tidur?"

"Nggak mas, hanya tiduran, menunggu tipun dari mas Bayu," kata Lastri yang kemudian terkejut oleh kata-katanya sendiri, yang seperti telah lama mengharapkan tilpunnya.

"Jadi kamu menunggu telepone dari aku?"

"Maksudnya mengabari mengapa tadi tidak pulang makan siang dirumah," kata Lastri memberi alasan. Tapi Bayu sudah terlanjur menangkap kerinduan dari kata-katanya. Mungkin Bayu hanya mengarang. Tapi tak apa, yang penting sekarang sudah mendengar suaranya. Masa sih aku salah mengira? Kata batin Bayu.

"Ada apa mas?"

"Cuma mau bilang, tadi ada tamu sampai sa'at ini baru saja pulag, jadi aku nggak bisa pulang."

"Oh, nggak apa-apa kok mas, pasti mas Bayu sibuk, tadi ibu juga bertanya begitu."

"Aku mau menyelesaikan pekerjaan dulu, baru bisa pulang."

"Ya mas, selamat bertugas, " kata Lastri menyembunyikan rasa bahagianya karena ternyata Bayu masih mengingatnya.

Itu benar, semua harus disembunyikan. Cintanya, bahagianya,kerinduannya. Bukankah dia tak berhak menerima semuanya karena dia hanya seorang pembantu? Apa kata dunia kalau ada pembantu mengharapkan cinta majikannya. Ahaii... tapi salahnya si cinta, dia menghinggapi siapa saja tanpa pandang bulu. Dan salahnya juga salah satu dari pemilik bulu itu adalah dirinya. Si miskin yang tak memiliki derajat maupun pangkat. Sedihkah? Tidak bagi Lastri. Manis dan pahitnya kehidupan telah dirasakannya sejak dia masih kanak-kanak. Tak mengenal siapa orang tuanya, hidup bersama neneknya yang renta bernama mbah Surip, yang bisa makan hanya apabila sayur yang tumbuh diladangnya laku untuk dijual, yang kemudian ketika neneknya itu meninggal, dia terlunta-lunta sebatang kara. Untunglah keluarga Marsudi segera mengangkatnya dari lembah penuh derita itu, lalu menjadikannya seorang Lastri yang elok dipandang, terpelajar dan pintar. Tapi kini ia harus menahan derita yang lain, derita cinta. Derita karena cinta yang hanya bisa dipendamnya. Tapi Lastri akan terus bertahan dan yakin akan bisa.

***

 "Bu, kemarin kan belum jadi ke bank, hari ini Bayu akan pulang siang untuk mengantar Lastri dan ibu," kata Bayu sebelum berangkat ke kantor. Pak Marsudi selalu berangkat lebih dulu karena kantornya sangat jauh dipinggiran kota.

"Apa tidak mengganggu kamu Yu, ibu kan bisa naik taksi," jawab bu Marsudi.

 "Nggak apa-apa bu, hari ini banyak waktu luang."

"Baiklah, nanti setelah masak kami akan ber siap-siap. Bukankah kamu pulangnya sekalian makan siang dirumah?"

"Nggak bu, setelah dari bank saja Bayu makan dirumah."

"Kalau begitu biar Lastri berangkat ke pasar pagi-pagi, jadi selesainya tidak kesiangan."

"Biar Lastri berangkat kepasar sekalian saja bersama Bayu."

"Nggak tau Lastri sudah siap atau belum, kayaknya masih sibuk didapur. Nanti ke kantornya kamu bisa kesiangan.

"Coba Bayu lihat kebelakang dulu," kata Bayu yang segera berjalan ke belakang.Sebeetulnya Bayu hanya mencari alasan untuk bertemu dengan Lastri. Ia kan tau kalau Lastri pasti belum selesai dengan pekerjaannya.

"Lastri."

"Eh .. ya mas?" jawab Lastri terkejut karena tak mengira Bayu akan masuk lagi ke dapur.

"Kamu kepasar sekarang? Bareng aku saja yuk."

"Wah, nggak bisa mas, saya belum selesai cuci piring, dan juga belum mandi.Nanti mas Bayu kesiangan. Biar nanti Lastri jalan kaki saja, kan pasarnya nggak begitu jauh."

"Baiklah kalau begitu, nanti setelah masak aku akan pulang untuk mengantar kamu ke bank, sama ibu."

Lastri hanya mengangguk.  Bayu meninggalkan dapur setelah meninggalkan senyuman yeng membuat Lastri ingin bersenandung. Lagu cinta barangkali. Ia melanjutkan mencuci piring dan benar-benar bersenandung. 

***

Lastri pulang dari pasar dengan membawa oleh-oleh jambu air yang segar. 

"Pasti pemberian Timan? Atau beli?" tanya bu Marsudi.

" Dari mas Timan bu, katanya memanen kebun sendiri."

"Hm, kelihatannya segar dan manis. Aku cobain ya?"

Lastri tersenyum. Bu Marsudi mengambil sebuah jambu yang sudh dicucinya dan diletakkannya di pinggan wadah buah.

"Hm, manis Tri.. cobalah.."

"Nanti saja bu, ini Lastri tangannya sudah terlanjur memegang bumbu."

"Ya sudah, selesaikan saja dulu. Oh ya, kemarin kamu kayaknya beli cabe ya Tri?"

"Iya bu, sudah saya masukkan kulkas, tapi masih ada didalam plastik bu, belum saya tempatkan di wadahnya."

"Baiklah, aku mau buat sambel, pesanan Bayu tadi."

Bu Marsudi membuka kulkas, dan mengambil sebuah bungkusan plastik. 

"Cabe lagi mahal ya Tri?"

"Mahal bu, kemarin beli seperempat kilo limabelas ribu rupiah."

"Mau bagaimana lagi Tri, kita yang butuh, jadi ya harus menurut apa kata penjualnya."

Bu Marsudi membuka bungkusan plastik itu, tapi betapa terkejutnya ketika ia menemukan sesuatu disana.

"Lho, didalam kresek cabe ini Tri, lihat.. kok ada kaca mata hitam ini punya siapa?" kata bu Marsudi sambil mengacungkan sebuah kaca mata.

Lastri terkejut. Itu bukan miliknya. 

"Apa punya mas Sapto ya?"

"Sapto? Kok bisa kacamata Sapto masuk kedalam bungkusan cabe?"

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Wednesday, January 29, 2020

LASTRI 10

LASTRI  10

(Tien Kumalasari)

Pak Marsudi melongok keluar jendela, mencari siapa yang memanggilnya. Benarkah dirinya yang dipanggil? Suara itu seperti pernah dikenalnya. Selang tiga mobil dibelakangnya, seseorang melambaikan tangannya. Pak Marsudi mengingat-ingat, siapa dia, seorang laki-laki memakai kacamata besar, hampir selebar wajahnya. Ketika ia  membuka kacamatanya,  pak Marsudi langsung mengenalinya.

"Nak Sapto ?" Teriaknya. Yang dipanggil melambaikan tangannya.

Pak Marsudi ingin menghampiri. Ia seperti mendapat ide cemerlang. Tapi mobilnya masih berada dalam antrian. Baiklah, baru maju lagi selangkah. Pak Marsudi akan lebih dulu  keluar dari antrian itu.

"Aku mau bicara, disitu !!" kata pak Marsudi sambil menunjuk kearah jalan, agak ketepi, setelah keluar dari antrian pastinya.

Dilihatnya Sapto mengangguk. Pak Marsudi tampak berseri. Ia berfikir akan menemukan jalan yang dicarinya. Harapannya adalah, agar Sapto mau menerima sarannya. Mudah-mudahan, pikirnya.

Tapi bagaimana kalau Sapto menolak seperti Timan? Harus ada tawaran yang menarik. Tapi apa ya. Pak Marsudi masih terus berfikir sampai ketika tiba gilirannya mengisi bahan bakar.

Pak Marsudi mencari tempat agak ke pinggir, menunggu Sapto keluar dari antrian. Ia belum menemukan kata-kata yang pas supaya Sapto tertarik pada tawarannya.

Tak lama kemudian mobil Sapto sudah ada dibelakang pak Marsudi. Sapto keluar, lalu berjalan mendekati.

"Mau kemana pak, mengapa mengisi bahan bakar sendiri?" sapa Sapto setelah dekat.

"Iya nak, kemarin lupa menyuruh sopir kantor untuk mengisi. Tunggu nak, masuklah, bapak mau bicara," kata pak Marsudi sambil mempersilahkan Sapto masuk ke mobilnya. Sapto duduk disebelah kemudi, agak heran melihat pak Marsudi tampak ingin sekali berbicara dengannya.

"Bapak mau kemana?"

"Cuma mau jalan-jalan saja, habisnya dirumah sendirian, semua pada pergi belanja. Nak Sapto mau kemana?"

"Saya juga cuma mau jalan-jalan pak."

"Kok lama nggak main kerumah? Ada yang nyari tuh," pancing pak Marsudi.

"Siapa ya pak?"

"Siapa lagi, Lastri ..."

Sapto tertawa.

"Masa sih pak?"

"Iya bener, kapan itu nak Sapto kan kerumah, ngajakin Lastri jalan, mengapa nggak pernah lagi kerumah?"

"Nggak pak, lagi sibuk."

"Oh ya, dulu bapak mengira nak Sapto tertarik sama Lastri."

Sapto tertawa. 

"Iya kan?"

"Sebentar pak, saya boleh bertanya? Lastri itu bukan anak bapak kan?"

"O, bukan, dia hanya pembantu yang kami sekolahkan sampai lulus SMA, kami tawarkan kuliah dia nggak mau."

"Oh, kirain dulu itu dia adiknya Bayu."

"Ah, bukan nak. Anak bapak cuma satu, ya Bayu itu."

"Iya, Bayu kalau ditanya selalu bilang bahwa Lastri itu adiknya. Kemudian saya kebetulan mendengar dia bicara dengan seseorang, ternyata dia hanya seorang pembantu."

"Bayu memang begitu, saya khawatir dia suka sama Lastri."

"Masa dia suka sama pembantu? Tadinya saya sih suka, dia tuh kelihatannya kan cantik, sederhana, dan itu gadis seperti yang saya impikan. Tapi setelah tau bahwa dia pembantu, saya memilih mundur pak."

"Jadi nak Sapto nggak suka karena dia pembantu?"

"Ma'af pak, bukan karena saya merendahkan derajat seorang pembantu, tapi rasanya saya harus mencari isteri yang sepadan dengan kedudukan saya."

Pak Marsudi mengangguk-angguk. Rupanya Sapto nggak pernah lagi datang karena tau bahwa Lastri hanya seorang pembantu. Sama dengan dirinya yang tak ingin puteranya menyukai seorang pembantu.

"Iya sih, apa nanti kata orang kalau nak Sapto punya isteri seorang gadis yang tak punya derajat."

"Kalau untuk main-main sih, boleh saja," kata Sapto yang kemudian diikuti dengan tawa ngakak berkepanjangan. 

"Ma'af pak, ma'af, saya kan masih muda, jadi saya merasa bahwa masa muda saya harus saya habiskan dengan memenuhi semua kesenangan saya."

"Betul, harusnya memang begitu. Jadi besok kalau punya isteri, tinggal baik-baiknya saja ya nak."

"Iya pak. Tapi ngomong-ngomong, mengapa bapak memanggil saya hanya untuk membicarakan Lastri?"

"Nggak apa-apa nak, Lastri itu kan sudah dewasa, bapak  ingin menikahkan dia, lalu bapak teringat dulu kayaknya nak Sapto suka, tapi ya nggak apa-apa kalau ternyata nggak cocog sama nak Sapto."

Pak Marsudi kehabisan akal untuk mencarikan jodoh bagi Lastri, karena ternyata Sapto juga menolaknya.

"Ya sudah nak, bapak minta ma'af, bukan maksud bapak merendahkan nak Sapto lho, saya pikir.. Lastri itu kan cantik. Sekali lagi ma'af."

"Nggak apa-apa pak, cuma kurang pas saja, tapi kalau Lastri mau diajak ber senang-senang saja ya nggak apa-apa," kata Sapto lalu tertawa lagi.

"Ma'af pak, ma'af, saya cuma bercanda," lanjut Sapto.

"Nggak apa-apa nak," kata pak Marssudi karena kehabisan kata-kata.

"Baiklah pak, kalau nggak ada lagi yang ingin bapak katakan, saya mohon diri.,"kata Sapto sambil bersiap untuk keluar.

"Silahkan nak, tapi sering-seringlah kerumah ya."

Pak Marsudi membiarkan  Sapto pergi dengan perasaan kecewa. Ia merasa salah sasaran lagi. Kemudian distarternya mobilnya untuk pergi, tapi tiba-tiba terpateri kata-kata Sapto... kalau untuk main-main ya nggak apa-apa...  Dan tiba-tiba juga kalimat itu menumbuhkan sebuah ide dihati pak Marsudi.

***

"Lastri kok makan cuma sedikit ?" tanya bu Marsudi ketika dirumah makan itu dilihatnya Lastri tidak menghabiskan makanannya.

"Sudah kenyang bu, porsinya sangat banyak."

"Bukan bu, Lastri takut gemuk.Padahal biar gemuk, Lastri itu kan tetap cantik ya bu?"sambung Bayu.

Lastri tertunduk malu. 

"Cantik itu, cantik lahirnya, juga cantik batinnya," jawab bu Marsudi.

"Kalau menurut ibu, Lastri itu cantik luar dalam nggak?"

"Lastri itu begini," jawab bu Marsudi sambil mengacungkan jempolnya.

"Ibu, bisa saja," Lastri melirik kearah Bayu, majikan tampan itu tersenyum, dan senyum itu selalu membuat darah ditubuh Lastri semakin cepat mengalir. Wajahnya kemerahan, lalu ditundukkannya lagi . Ya Tuhan, anugerah ini janganlah berlalu, walau aku hanya pembantu, aku akan tetap mengabdi dan mencintai dalam hati. Bisik batin Lastri, karena memiliki hanyalah mimpi.

"Oh ya Yu, besok biar ibu saja yang mengantar Lastri ke bank."

"Nggak apa-apa, yang penting uang Lastri aman. Bukan begitu Lastri?"

"Saya berterimakasih karena mendapat perhatian begitu besar dari keluarga ini. Tapi sebenarnya saya kecewa. Yang memecahkan vas kan saya, mengapa mas Bayu yang harus mengganti?"

"Lastri, kamu itu jangan bawel ya, kamu memecahkan kan tidak sengaja, kalau sengaja ya kamu yang aku minta untuk mengganti."

"Mana mungkin saya sengaja,"

"Itulah, jangan diulang -ulang lagi.kata-kata itu. Pokoknya uang kamu harus kamu simpan dengan aman."

"Iya, besok ibu juga punya keperluan ke bank, jadi sekalian saja."

Setelah makan itu mereka langsung pulang kerumah. Dilihatnya pak Marsudi belum ada. Bayu segera memasang vas yang dibelinya ditempatnya semula. Vas itu mirip sekali dengan yang pecah, bahkan lebih bagus dan artistik. Bu Marsudi senang barang kesayangannya mendapat ganti. Memang sih, yang pecah adalah kenang-kenangan yang tak mungkin tergantikan, tapi apa mau dikata, keadaan mengharuskannya demikian. 

"Bu, Bayu mau bicara."

Bu Marsudi yang sedang mengamati vas barunya terkejut karena Bayu menariknya duduk dikursi tamu, lalu Bayu duduk disampingnya sambil memegangi tangannya.

"Ada apa?"

"Salahkah kalau Bayu suka sama Lastri?"

Bu Marsudi terkejut. Ia menoleh kebelakang, takutnya Lastri mendengar perkataan Bayu. Ternyata tidak, mereka hanya berdua.

"Bayu serius bu."

Bu Marsudi memelototi anaknya.

"Apa kamu tau bapakmu tak akan suka ini?"

"Bayu tau bu, bantulah meluluhkan hati bapak. Lastri itu juga manusia. Kalau terjadi perbedaan derajad diantara Bayu dan dia, itu hanya penilaian manusia, sesungguhnya kita ini sama dimata Tuhan, bukan?"

 "Kamu betul, tapi itu kan katamu. Mungkin ibu sependapat, tapi tidak dengan bapakmu. Yakinlah akan terjadi huru hara kalau kamu melanjutkan keinginanmu."

Bayu menghela nafas, wajahnya tampak sedih. Bu Marsudi memegang tangannya dan menepuknya lembut.

"Kamu kan punya teman banyak, cantik-cantik.. atau.. bapak katanya pernah menawarkan anaknya teman ibu, apa kamu tak sedikitpun tertarik?"

"Cinta itu beda bu. Biar cantik kalaau Bayu ntak cinta?"

"Tapi itu sulit Bayu. Lastri belum tentu bersedia, dan bapakmu sudah jelas akan menentangnya."

"Lastri nggak mau? Aku melihat sorot matanya, dia tidak menolak, tapi dia takut. Lastri tau diri, Bayu mengerti itu."

"Bagaimana dengan bapak?"

"Bantulah Bayu bu," kata Bayu sambil menjatuhkan kepalanya dipangkuan ibunya, seperti anak kecil merengek untuk dibelikan balon warna warni. 

Bu Marsudi mengelus kepala anaknya, lembut. Trenyuh merasakan derita cinta yang kemungkinan besar akan kandas.

"Kamu kan tau bapakmu itu seperti apa?"

"Bantulah Bayu, ibu pasti bisa."

"Ibu nggak janji... sepertinya sulit Yu, kamu harus bersiap untuk itu."

"Bayu tak akan sanggup bu."

"Jangan begitu Yu, kamu laki-laki, harus tegar."

"Ini masalah  hidup Bayu, tolong bu..."

Bu Marsudi semakin trenyuh, ini bukan rengekan untuk minta dibelikan mainan. Uang tak akan bisa menghapus kesedihannya.

Bayu masih tetap menenggelamkan kepalanya dipangkuan ibunya, sampai kemudian pak Marsudi datang, dan melihat aadegan mengherankan itu.

"Ada apa ini?" tanyanya.

Bu Marsudi masih tetap duduk.

"Nggak apa-apa, sepertinya agak pusing."

Lalu bu Marsudi memijit-mijit kepala Bayu.

"Mengapa tidak tiduran dikamar saja?"

"Iya, mau aku suruh tiduran dikamar, supaya Lastri mengerokinya," kata bu Marsudi memancing.

"Apa? Jangan melakukan hal-hal yang tak pantas !" hardik pak Marsudi sambil terus berjalan kekamarnya.

"Tuh, kamu dengar kan, ibu baru memancing, tapi teriakannya sudah terdengar sampai ke  langit," bu Marsudi berbisik ditelinga Bayu.

Bayu melingkarkan kedua tangannya dipinggang sang ibu.

***

"Mas Timan, aku beli jeruknya sekilo, pilihkan yang bagus ya," kata Lastri ketika berada dipasar pagi itu.

"Waduh, sudah selesai belanjanya?"

"Iya, tinggal beli buah. Tapi aku nggak mau kalau dikasih, nanti aku dimarahi sama ibu ," kata Lastri.

"Sekali-sekali gratis kan nggak apa-apa?"

"Sekali-sekali apa, sudah berkali-kali, tau?! Sudah,  pilihkan yang bagus dan manis, nggak mau gratis," kata Lastri tandas. 

Timan tertawa, lalu memilih-milih buah jeruk yang dianggapnya bagus, lalu dimasukkan kedalam kantong plastik.

"Ini.."

"Kok nggak ditimbang sih? Sekilo saja, kok segini banyak?"

"Iya itu sekilo, sudahlah."

"Jangan bohong kamu mas, ini lebih dari sekilo, mana timbangannya, biar aku timbang sendiri."

"Nggak boleh, mana ada pebeli menimbang sendiri."

"Mas Timan gitu ya," kata Lastri cemberut, lalu menyerahkan uang ratusan ribu, setelah itu Lastri berlalu.

"Eeeh, tunggu.. kembaliannya belum."

Tapi Lastri tetap berlalu. Timan mengejarnya.

"Lastri jangan begitu, ini kebanyakan, sekilo cuma duapuluh lima ribu."

"Tapi ini lebih dari sekilo. Kalau begini caranya naanti aku dimarahi ibu, dikira aku ngerayu tukang buah."

"Ya sudah, tapi tetap ada kembaliannya nih, kata Timan sambil menyerahkan uang limapuluhan ribu.

"Ogah, ini ada kalau empat kilo, banyaknya segini, besar-besar lagi."

Lastri tetap melangkah sambil cemberut.  

"Nggak ada empat kilo Lastri, ini terima saja."

Keduanya terlihat seperti kejar-kejaran dipasar itu. Orang-orang yang mengenal Timan memandangi mereka sambil berbisik-bisik.

"Itu pacarnya Timan."

"Masa? "

"Iya, perjaka tua yang ganteng, rupanya sudah menemukan gadis yang cocog."

Tapi keduanya tak mendengar gunjingan itu.

Lastri sudah sampai dijalan, dan Timan terus mengikutinya.

"Lastri, kalau kamu tak mau menerimanya, aku akan mengantarkan kembalian ini kerumah," ancam Timan.

Lastri langsung berhenti, dan melotot marah kearah Timan. Timan tertawa melihat mata bulat cantik itu  memelototi dirinya

"Kamu kalau marah bertambah cantik lho Tri," canda Timan.

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti didekat Lastri. Lastri terkejut.

***

besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 












Tuesday, January 28, 2020

LASTRI 09

LASTRI  09

(Tien Kumalasari)

 

Timan mengangsurkan gelas minum pak Marsudi.

"Pelan-pelan pak, silahkan diminum dulu."

"Oh, ah.. baiklah, bagaimana aku ini.. " lalu pak Marsudi terbatuk-batuk.

Timan menunggu sampai pak Marsudi kembali tenang, dan menenggak lagi sisa teh hangatnya.

"Pak, sore ini saya akan  mengambil barang dagangan di Tawangmangu, jadi kalau sudah tidak ada lagi yang akan bapak katakan, saya mohon pamit. Saya akan membayar harga makan dan minum kita ini.

"Oh, jangan, biar aku saja, karena aku yang mengundang kamu," kata pak Marsudi sambil melambaikan tangannya kearah pelayan.

Timan mengangguk, lalu berdiri. Semangkuk nasi timlo masih utuh belum tersentuh. Ada rasa enggan menyantapnya, entah karena memang dia tidak merasa lapar, atau karena merasa kurang nyaman mendengar permintaan aneh pak Marsudi.

Ia melangkah cepat kearah mobil yang masih berisi beberapa macam buah, yang baru saja diambilnya pada seorang tengkulak, setelah mengirim beberapa pesanan tadi.

Pak Marsudi duduk termangu. Uang kembalian setelah diaa membayarnya masih tergeletak dimeja. Ia merasa seperti jatuh daari sebuah ketinggian. Seorang Timan, hanya tukang buah, menolak tawarannya untuk dinikahkan dengan Lastri, pembantunya yang cantik. pintar dan membuat anaknya tergila-gila. Sungguh menyakitkan. Ini tak pernah diduganya. Ketika ia berdiri lalu melangkah pergi, uang kembalian itu tak diambilnya. Ia tak perduli uang yang tak seberapa baginya, ia butuh sesuatu yang bisa mengobati sakit hatinya.

***

Dalam perjalanan pulang itu Timan merasa tak enak. Mengapa sampai pak Marsudi seakan 'melamar' dirinya agak mau menikahi Lastri. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada Lastri? Tapi bukankah Lastri belum lama menelpone dirinya dan seperti tak ada apa-apa yang terjadi? Timan mencoba menelpone Lastri .

"Hallo mas, ada apa?"

"Kamu lagi sibuk ? Apakah aku mengganggu?"

"Nggak, aku baru mau bersih-bersih rumah. Ada apa mas?" 

"Apa kamu baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja, memangnya ada apa sih, pertanyaanmu kok aneh."

"Sungguh?"

"Ya sungguh lah mas. Gimana sih..?"

"Ya sudah, cuma mau nanya itu."

"Kenapa tiba-tiba mas bertanya seperti itu?"

Nggak apa-apa, nggak tau nih, perasaanku kok jadi kurang enak, mungin karena aku mimpi buruk semalam," jawab Timan sekenanya, habisnya nggak bisa menemukan alasan mengapa tiba-tiba dia mempertanyakan keadaan Lastri.

"Wah, mimpi apa mas?" tanya Lastri penasaran.

Waduh.. Timan terlanjur nyeritain mimpi, padahal dia sama sekali tidak pernah bermimpi buruk tentang Lastri.

"Mimpi apa mas? Jadi pengin tau aku?"  tanya Lastri mendesak.

"Nggak apa-apa sih, cuma...itu.. mendengar suara kamu memanggil-manggil," Timan menjawab ngawur.

"Cuma gitu aja, bukan mimpi buruk lah," kata Lastri tertawa.

"Ya sudah, aku sudah sampai rumah nih, capeknya bukan alang kepalang."

"Ya sudah mas, istirahat saja dulu, aku mau bersih-bersih nih."

Timan merasa lega karena Lastri baik-baik saja. Tapi ia tetap merasa aneh atas sikap pak Marsudi tadi.

***

Pak Marsudi langsung pulang kerumah, tidak kembali lagi kekantornya. Hatinya merasa sakit karena seorang tukang buah berani menolak tawarannya. Ketika memasuki rumah itu dilihatnya Lastri sedang mengelap meja dan kursi tamu.

"Mengapa jam segini baru bersih-bersih?" tegur pak Marsudi dengan wajah kusut.

Lastri terkejut. Ia merasa tak ada yang salah dngan pekerjaannya. Biasanya sebelum jam empat dia memang baru bersih-bersih.

"Ma'af pak, saya nggak tau kalau bapak pulang lebih awal." jawab Lastri sambil meneruskan pekerjaannya. Tinggal satu meja disudut itu, lalu ia akan segera kebelakang untuk menyiapkan teh panas bagi majikannya.

"Bukan masalah kepulangan aku. Harusnya kamu bekerja lebih awal, dan jam segini semuanya harus sudah bersih."

"Baik pak, mulai besok saya akan melakukannya lebih awal," kata Lastri dengan hati kecut. Ia tak tau mengapa tiba-tiba pak Marsudi marah-marah seperti tanpa alasan. 

Pak Marsudi sudah langsung berjalan kebelakang, ketika didengarnya sesuatu pecah. Rupanya karena gugup, Lastri kurang hati-hati dan membuat vas bunga kesayangan bu Marsudi pecah berantakan.

"Ya Tuhan.." Keluh Lastri cemas. Dilihatnya pak Marsudi kembali kearahnya, dan bu Marsudipun muncul dari arah belakang.

"Ya ampun, apa kamu bekerja tanpa memakai mata?" hardik pak Marsudi. 

Bukan hanya Lastri yang terkejut mendengar kata kasar pak Marsudi. Bu Marsudi juga terkejut. Tak pernah selama ini pak Marsudi berkata sekasar itu.

"Ma'af pak, ma'af bu..." Lastri terisak sambil memungut pecahan vas kristal yang terburai dilantai.

"Itu vas yang mahal. Mengapa kamu tidak berhati-hati?"

Lastri tak menjawab, bunyi gemericik pecahan kaca terasa bagai menyayat hatinya. 

"Sudah pak, namanya juga nggak sengaja," kata bu Marsudi pelan. Walau ada rasa sayang karena vas itu termasuk benda kesayangannya, tapi ia tak sampai hati menghardik Lastri. Ia bahkan ikut berjongkok membantu Lastri mengumpulkan pecahan itu.

"Bekerja sembarangan, bikin rugi saja," omel pak Marsudi sambil menjauh.

"Bu, saya minta ma'af, karena melihat bapak sudah pulang, saya lalu terburu-buru ingin segera menyelesaikan pekerjaan saya bersih-bersih meja. Saya kurang hati-hati."

"Ya sudah, nggak apa-apa."

"Apakah vas ini sangat mahal? Bagaimana saya bisa menggantinya?"

"Jangan pikirkan itu, sudahlah, nanti kalau ada rejeki aku akan membelinya lagi."

"Saya punya sedikit tabungan, dari uang saku yang selalu ibu berikan, nanti akan saya hitung, kalau masih kurang saya akan mengumpulkannya lagi." kata Lastr masih dengan terisak.

"Sudah, nanti gampang, jangan pikirkan. Ini kaca yang besar-besar sudah terkumpul. Kamu harus mengambil sapu untuk membersihkannya. Juga lap basah, kaca kecil-kecil terkadng tidak bisa kita lihat jadi harus dengan lap basah untuk membersihkannya."

"Baik bu,"

"Lastri.. mana minumku?" tiba-tiba terdengar teriakan pak Marsudi dari ruang tengah. Lastri terkejut, bingung mana yang harus dikerjakan lebih dulu.

"Biar kamu yang membuat teh untuk bapak, kalau enggak nanti marah lagi dia. Biar aku lanjutkan membersihkan ini ya Tri," kata bu Marsudi.

"Baik bu."

Lastri bergegas kebelakang, langsung ke dapur untuk membuatkan teh untuk pak Marsudi. Untunglah tadi dia sudah menyeduhnya, sehingga tinggal menuang kedalam cangkir dan menyiapkan gula diwadah yang sudah disediakannya.

Lastri membawa nampan dan melangkah dengan hati-hati mendekat kearah meja dimana pak Marsudi duduk didepannya.

"Silahkan pak," katanya pelan.

"Akhir-akhir ini kerjamu kurang bagus. Aku kecewa."

"Saya minta ma'af." kata Lastri kemudian berlalu.

Ia melanjutkan membersihkan pecahan kaca bersama bu Marsudi. Dalam hati ia bertanya, mengapa akhir-akhir ini pak Marsudi kelihatan sangat membencinya? Kesalahan sedikit saja wajahnya sudah nggak enak dipandang, apalagi tadi dia memecahkan vas kristal yang pasti mahal harganya. Tapi bu Marsudi selalu baik padanya. Hanya dia yang membuatnya nyaman. Dan mas Bayu tentunya. Lastri tiba-tiba teringat Bayu yang belum pulang dari kantor. Berdebar membayangkan kembali sikap dan senyuman yang dianggapnya sangat manis dan selalu membuat hatinya bergetar. 

Ketika Lastri membuang sampah pecahan vas itu kedepan, dilihatnya mobil Bayu memasuki halaman. Klakson berbunyi, menurutnya bunyi klakson itu sangat merdu, membuatnya tersenyum lebar, sejenak menghilangkan rasa pedih karena hentakan kata-kata kasar pak Marsudi.

"Lastri," sapa Bayu setelah turun dari mobil.

"Baru pulang mas?"

"Iya, tumben sore-sore begini kamu membuang sampah?"

"Iya mas, tadi saya memecahkan vas kesayangan ibu," kata Lastri sendu. Senyumnya mendadak hilang entah kemana.

"Kamu?"

"Saya kurang hati-hati mas."

"Apa ibu marah?"

"Nggak, ibu nggak marah. Tapi saya sedih, mengapa bisa memecahkannya."

"Itu namnya kecelakaan, masa sih kamu akan sengaja melakukannya?"

"Tapi saya sedih," keluh Lastri tanpa ingin mengatakan bahwa pak Marsudilah yang marah besar.

"Jangan sedih. Besok atau kapan-kapan kita akan belanja dan beli vas baru untuk ibu," kata Bayu sambil masuk kedalam.  Bayu ingin mengelus kepala Lastri untuk menghiburnya, tapi diurungkannya. Ia khawatir orang tuanya, terutama bapaknya melihatnya, lalu menegurnya dengan marah. Ia hanya memberikan senyuman yang sangat disukai Lastri, dan membuatnya selalu bergetar, lalu terus masuk kedalam rumah. Lastri membawakan tas kerjanya dan melangkah dibelakangnya.

***

"Bu, ini kan hari Minggu, apa ibu akan menyuruh Lastri memasak?" tanya Bayu kepada ibunya.

"Ibu tak pernah menyuruh Lastri memasak, dia sendiri yang selalu ingin melakukannya. Memangnya ada apa?"

"Bayu akan mengajaknya belanja."

"Ya sudah terserah kamu saja, hari ini ibu hanya memasak sayur bening dan menggoreng nila. Sebentar juga selesai. Dan bapakmu tadi bilang akan keluar, ada perlu, paling nggak akan makan dirumah."

"Kalau begitu hari ini nggak usah masak saja, nanti Bayu sama Lastri juga akan makan diluar."

"Apa? Siapa yang akan makan diluar?" Tiba-tiba pak Marsudi sudah ada didekat mereka, dan mendengar pembicaraan mereka.

"Saya akan mengajak Lastri belanja, dan melarang ibu memasak. Bukankah bapak juga mau pergi?"

"Mengapa kamu belanja pake mengajak Lastri segala? Apa tidak bisa belanja sendiri? Lastri kan punya banyak pekerjaan dirumah."

"Pak, Lastri sudah menyelesaikan semua tugasnya kok," sela bu Marsudi.

"Jadi ibu mengijinkannya?"

"Ibu akan ikut belanja, karena banyak keperluan dapur yang habis," kata bu Marsudi mengejutkan Bayu. Tadi ibunya tidak bilang kalau mau ikut. Diliriknya ibunya, yang kemudian mengedipkan sebelah matanya padanya. Bayu tersenyum lalu meninggalkan keduanya.

"Bu, saya ingatkan lagi, jangan memberi kesempatan bagi mereka untuk berdua," kata pak Marsudi pelan, setelah Bayu tak ada lagi diantara mereka.

"Apa maksud bapak?" bu Marsudi pura-pura tak tau.

"Ibu ini bagaimana sih, ibu kan tau kalau bapak nggak suka kalau Bayu dekat-dekat sama Lastri? Itu bahaya bu."

Bu Marsudi tak menjawab. Ia menyimpan belanjaan yang tadi dibeli kedalam kulkas, karena hari ini ia tak akan memasak. Mungkin nanti sore. Yang jelas ia terpaksa pergi bersama Bayu dan Lastri untuk meredam kemarahan suaminya. Kemudian ia menghampiri Lastri dikamarnya.

"Lastri,"

"Ya bu," jawab Lastri yang kemudian mendekati bu Marsudi. Ia siap membantu memasak.

"Ganti bajumu, ikut kami belanja."

"Sekarang?" tanya Lastri heran.

"Ya, kita nggak usah masak pagi ini.Bayu mengajak kita belanja."

Lastri hampir menyunggingkan senyumnya mendengar Bagyu yang mengajaknya, tapi ditahannya karena ia tak ingin bu Marsudi melihat perubahan diwajahnya.

"Ayo cepatlah, kok malah bengong."

"Oh, baik bu."

Bu Marsudi meninggalkan Lastri, yang kemudian melepaskan senyuman bahagianya karena akan pergi bersama Bayu. Kemarin Bayu sudah bilang akan mengajaknya belanja untuk membelikan vas ibunya yang dipecahkannya. Lastri kemudian membuka kotak kecil berisi tabungannya dari dalam almari. Ia harus memberikan uang itu karena ia yang telah memecahkan vasnya, Setelah menyimpan semua uang di tas kecilnya, barulah ia berganti pakaian.

Ketika mau berangkat itu, dilihatnya pak Marsudi juga sudah bersiap untuk bepergian entah kemana.

"Bawa saja kuncinya, barangkali aku akan lama," kata pak Marsudi dengan wajah masam.

***

Ditoko yang dituju, Bayu selalu ingin berjalan dekat-dekat dengan Lastri, tapi Lastri selalu menjauh. Bagaimanapun besar rasa cintanya... ia tau diri. Ia tau siapa dirinya dan siapa Bayu. Biarlah cinta itu mengendap didasar hati, Tak mungkin bisa bersatu, itu hanyalah mimpi. Apakah itu cinta? Lastri meralat kata hatinya.  Bukan, hanya senang didekati, senang diberi senyuman, senang melayani, masa cinta sih? Entah itu namanya, tapi didekatnya selalu membuat hatinya bahagia.

Lastri selalu berada disamping bu Marsudi, membawa roli dan mengambil barang-barang yang dipilih majikannya yang baik hati.

"Kamu butuh apa Lastri?"

"Nggak bu, semua sudah cukup."

"Lastri, ayo kita cari vas yang disukai ibu," kata Bayu sambil menggandeng tangan Lastri, tapi dengan halus Lastri melepaskannya. Bayu tersenyum, melihat Lastri mengalihkan pandangannya pada bu Marssudi.

"O, jadi kalian akan membelikan vas itu?" kata bu Marsudi sambil tersenyum. 

"Sebetulnya nggak usah." lanjut bu Marsudi.

"Ya nggak bisa bu, meja itu jadi kosong, dan Lastri akan selalu membayangkan kesalahannya setiap membersihkan ruangan itu."

"Baiklah, terserah kamu saja. Tapi itu harganya mahal lho. Itu hadiah dari sepupu ibu, waktu ulang tahun perkawinan kami."

"Nggak ada yang mahal untuk ibu, nanti ibu tinggal memilih, Bayu yang membayarnya."

"Jangan, Lastr yang membayarnya." kata Lastri sambil mengacungkan dompetnya.

"Lastri, apa maksudmu?"

"Saya punya tabungan, sungguh, ini sudah saya bawa. Apakah harganya lebih dari sejuta?" 

"Lastri, tidak. Simpan uang kamu. Besok aku antar kamu ke bank, dan simpan saja uang itu di bank. Siapa tau baeangkali pada suatu hari kamu memerlukannya untuk kamu senndiri," kata Bayu sambil menatap tajam Lastri. Lagi-lagi Lastri kelimpungan. Darimana mas Bayu punya mata dan senyuman semenarik itu? 

"Lastri, sini, ibu saja yang menyimpan uang kamu, besok uang ini harus kamu simpan di bank, Bayu atau aku bisa mengantar kamu," timpal bu Marsudi.

Lastri tak bisa berkutik. Sampai vas yang dipilih bu Marsudi itu dibeli, Lastri masih terbayang bagaimana Bayu dan bu Marsudi menjaganya dengan kata-kata yang sangat membuatnya terharu. Ya Tuhan, hanya karena kedua orang ini aku bertahan, aku sudah ingin lari ketika pak Marsudi menampakkan pandangan benci kepadaku. Mengeluarkan kata-kata pedas untukku. Bisik batin Lastri.

  ***

Pak Marsudi kesal sekali, kemarin tidak menyuruh sopir kantor untuk mengisi bensin. Jadi sebelum pergi ia harus ke POM dulu untuk mengisinya. Antriannya cukup panjang, mungkin karena hari libur dan banyak yang akan pergi ber rekreasi.

Pak Marsudi menghela nafas. Ia itu tak sabaran, dan antrian panjang membuatnya mengeluh tak habis-habisnya. Pikirannya sedang kacau, dilihatnya Bayu semakin lengket dengan Lastri, ia harus cepat bertindak. Mencarikan jodoh untuk Lastri atau mencari alasan untuk mengusirnya. Alasan itu belum ditemukannya. Ia akan mencari tempat yang nyaman untuk berfikir. Harus segera ada jalan keluar. Tak sudi dia bermenantukan Lastri, yang nggak jelas asal usulnya.

Mobilnya maju selangkah, tapi masih banyak yang didepannya. Pak Marsudi membuka jendela kaca mobilnya, lalu menyandarkan kepalanya. Ia terkejut ketika tiba-tiba seseorang memanggilnya.

"Bapak..!!"

*** 

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Monday, January 27, 2020

LASTRI 08

LASTRI  08

(Tien Kumalasari)

Lastri bergegas pulang, ia heran mengapa pak Marsudi ada dipasar itu. Sesampai dirumah ia menanyakannya pada bu Marsudi.

"Bu, apakah bapak baru saja pulang kerumah?"

"Nggak tuh, dari pagi sudah berangkat ke kantor, memangnya kenapa?"

"Tadi saya melihat bapak didepan pasar, seperti mencari sesuatu."

"Didepan pasar? Kamu ketemu?"

"Nggak ketemu bu, hanya melihatnya. Saya keluar dari pintu yang lain."

"Mau ngapain bapak ke pasar. Apa mau beli sesuatu? Mengapa nggak bilang saja sama ibu ya."

"Mungkin tadi lupa bilang sama ibu, lalu beli senndiri,"kata Lastri sambil menata belanjaannya di meja.

Tapi bu Marsudi berfikir lain. Kemarin suaminya bilang mau mnjodohkan Lastri dengan penjual buah, mungkinkah tadi dia ingin menemui penjual buah itu? Bagaimana bisa menemukan seorang penjual buah dipasar sebegitu besar?
Ah, entahlah, keluh bu Marsudi dalam hati. Ia tak ingin membahasnya. Bagi dia yang terbaik adalah kebahagiaan anaknya, bukan menuruti kemauannya.

"Ibu, saya cuci ayamnya dulu, ibu buat bumbunya ya?"

"Ya, ayamnya di presto saja Tri, bapak itu maunya kan yang empuk-empuk. Kalau direbus biasa masih kurang empuk katanya."

"Baiklah bu."

"Kamu masih ingat nggak, bumbu opor itu apa?"

"Ingat bu, bawang merah bawang putih, jahe, kunyit, salam laos, sereh, daun jeruk, kemiri, tumbar sedikit merica.. lalu apa lagi bu?"

"Kamu memang pintar. Kali lain kamu yang harus bikin bumbunya ya."

"Baik bu."

Bu Marsudi selalu baik terhadap Lastri. Semua perilakunya tak ada yang mengecewakan. Kalau dianggap pembantu, dia pembantu yang sempurna. Kalau diangap anak dia anak yang sangat berbakti, kalau... menantu...? Bagus sih... tapi itu kan tidak mungkin, suaminya pasti akan menentangnya sembilanratus persen. Bu Marsudi menghela nafas, kemudian menyiapkan bumbu-bumbu yang akan ditumisnya.

***

Pak Marsudi memasuki pasar itu. Agak menarik perhatian para penjual karena seorang laki-laki berpakaian perlente memasuki sebuah pasar. Ia melihat kesana kemari. Lalu seorang penjual sayur bertanya karena tampak laki-laki asing itu sedang men cari-cari.

"Mau beli apa pak?"

"Oh.. mm.. dimana ya letak kios penjual buah?"

"Oh, itu pak, sudah dekat, yang jual alat-alat rumah tangga dari kayu itu, belok kekiri. Mau cari buah apa sih pak?"

"Saya cuma mencari penjual buah bernama Timan."

"Lhooh, Timan? Itu kiosnya paling ujung, bapak kenal ?"

"Ya, saya ingin bicara sama dia."

"Tadi saya lihat dia keluar, biasanya mengirim buah ke warung-warung atau rumah makan. Tapi agak siang sih. Coba bapak kesana, barangkali penjual yang berdekatan tau tentang dia."

"Terimakasih banyak ya," kata pak Marsudi sambil berlalu. Ia merogoh saputangan disaku celananya dan menutup mulut serta hidungnya dengan sapu tangan itu. Bau sayuran busuk, berbaur dengan aroma ikan asin, membuat perutnya mual. Tapi dia terus melangkah, kearah yang ditunjuk tukang sayur tadi. Didepannya berderet penjual buah, katanya kios Timan ada di ujung, berarti dia sudah sampai. Ada kios yang setengah tertutup. Pak Marsudi berdiri disitu. Seorang penjual buah bertanya karena pak Marsudi hanya berdiri sambil menoleh kekiri dan kekanan.

"Bapak mau beli apa?"

"Saya mencari tukang buah yang namanya Timan."

"Oh, Timan lagi keluar pak, ada pesanan buah yang harus diantar pagi."

"Oh, keluar ya?"

Pak Marsudi terdiam. Kalau menunggu entah akan berapa lama, kalau harus kembali nanti atau besok, dia harus siap dengan bau-bau tak sedap yang menyengat.

"Kalau menunggu mungkin lama, dia belum lama perginya," lanjut penjual buah yang seorang perempuan setengah baya.

"Mau tanya bu, Timan itu apa sudah punya isteri?"

"Belum pak, masih bujang. Nggak tau itu, susah amat disuruh cari isteri, padahal dia itu kan ganteng, tabungannya sudah lumayan. Dulu saya juga ingin mengambilnya sebagai menantu pak, tapi dia nggak mau, padahal anak saya cantik lho," kata penjual buah lagi.

"Oh, begitu ya?"

"Ma'af pak, apa Timan punya hutang sama bapak?" tanya ibu penjual buah itu curiga.

"Oh, nggak.. nggak.. saya cuma ingin ketemu saja."

"Apa ada masalah yang membuat bapak marah sama dia?"

Pak Marsudi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak... nggak ada masalah apapun."

"Oh, syukurlah."

"Begini saja bu, sebentar, saya akan mencatatkan nomor tilpun saya," kata pak Marsudi sambil mengambil secarik kertas entah dari catatan apa, yang kemudian ditulisnya disitu nomor kontaknya.

"Ini bu, saya mohon titip, nanti kalau Timan datang, suruh dia menghubungi nomor tilpun saya ini ya,"kata pak Marsudi sambil mengangsurkan secarik kertas berisi catatan nomor kontaknya.

"Oh, ya pak, nanti akan saya sampaikan." 

"Apa ibu punya nomor kontaknya dia?"

"Waduh, nggak punya tuh pak, nggak pernah kontak-kontakan."

"Ya sudah bu, berikan saja nomor saya itu, biar dia menghubungi saya."

"Baiklah pak."

"Terimakasih ya bu, kata pak Marsudi sambbil membalikkan badannya.

Pak Marsudi keluar dari pasar itu, sambil terus menutupi hidungnya dengan sapu tangan.

***

Timan heran ketika tetangga kiosnya memberikan secarik kertas berisi nomor kontak seseorang.

"Dari siapa ini yu?"

"Nggak tau namanya Man, aku nggak nanya. Kayaknya orang kaya. Pakaiannya bagus, pakai dasi, baunya wangi."

"Masih muda?" 

"Sudah setengah tua, tapi masih guanteng lho Man..." kata ibu penjual buah itu sambil tersenyum genit.

"Siapa ya?"

"Ya  sudah nomornya itu saja kamu hubungi, nanti kan kamu tau siapa dia."

"Iya yu, tapi nanti saja, aku mau beresin barang-barang yang mau aku kirim siang ini dulu."

"Nanti kalau penting bagaimana?"

"Gak apa-apa... cuma beberapa jam saja," jawab Timan sambil menata lagi barang-barang yang akan dikirim siang itu. 

Tapi karena penasaran, setelah mengepak barangnya, sebelum berangkat mengantar Timan mencoba memutar nomor yang tadi diterimanya.

"Hallo, jawaban dari seberang sana.

"Hallo selamat siang," sapa Timan.

"Ini siapa ya?"

"Ma'af, saya yang harus bertanya, bapak ini siapa? Tadi bapak memberikan nomor kontak melalui tetangga saya."

"Oo... ya, kamu penjual buah yang bernama Timan?"

"Benar sekali, bapak siapa ya?"

"Begini, saya ingin ketemu dengan kamu, disebuah rumah makan saja, supaya enak ngomongnya."

"Rumah makan?"

"Ya, didekat pasar itu agak keutara kan ada rumah makan. Yang jual  Timlo, tau kan? Nah, ketemuan disana sekarang ya, ada yang ingin aku bicarakan."

"Tidak bisa sekarang pak, saya mau mengirim pesanan terlebih dulu."

"Waduh, tadi kan sudah?"

"Ada beberapa tempat pak."

"Hm. jadi bisanya jam berapa ya?"

"Kira-kira jam dua atau tiga pak.."

"Waduh, salah satu saja, dua atau tiga, gitu."

"Tiga pak, supaya saya bisa menyelesaikan tugas saya tanpa terburu-buru."

"Biklah, di rumah makan Timlo itu, jam tiga. Oke."

"Nanti dulu pak, sudah bicara banyak tapi saya belum tau siapa bapak."

"Oh ya, aku pak Marsudi. Kita pernah ketemu ketika kamu mengantarkan Lastri pulang, dan membawakan selirang pisang ambon."

Timan tertegun. Itu majikannya Lastri? Ada apa ya?

"Oke, jam tiga ya."

Pak Marsudi langsung menutup ponselnya, membiarkan Timan termangu sambil memegangi ponselnya. Ada apa ya? Baiklah, jawabannya adalah nanti jam tiga. Tapi sepanjang mengantarkan barang pesanan itu hati Timan terasa tidak tenang.

***

"Bapak tadi ke pasar?"  tanya bu Marsudi setelah makan siang.

"Nggak, kata siapa?"

"Lastri tadi melihat bapak."

"Ah, masa sih, salah lihat barangkali."

"Katanya benar-benar melihat bapak kok. Mau beli apa kepasar?"

"Aku nggak ke pasar, ngapain aku ke pasar. Mungkin ada orang yang mirip aku, lalu dikira aku. Ada-ada saja."

Bu Mrsudi diam, tapi dia kurang percaya pada apa yang dikatakan suaminya. 

"Aku mau balik ke kantor, sudah jam dua."

"Lha bapak pulang makan juga sudah siang sih. Lagian tadi makannya juga cuma sedikit. Sudah makan di kantor ya?"

"Lagi nggak selera aku, perutku sedikit mual, tapi sudah minum obat," kata pak Marsudi berbohong.

"Bapak kecapean barangkali."

"Iya, lagi banyak kerjaan, tapi nggak apa-apa kok," kata pak Marsudi sambil berdiri dan langsung menghampiri mobilnya.

Bu Marsudi merasa aneh dengan sikap suaminya. Ia lebih percaya pada laporan Lastri pagi tadi, bahwa suaminya ke pasar. Mungkinkah mencari tukang buah itu? Begitu nekatnya dia, hanya untuk memisahkan Bayu dan Lastri? Semuanya belum jelas. Harusnya Bayu ditanya dulu, benarkah dia suka pada Lastri, atau hanya perkiraan pak Marsudi, atau bahkan juga perkiraan dirinya. Tapi kalau 'iya' bagaimana? Dia bingung harus bersikap apa, tapi kalau harus membenci Lastri, bu Marsudi benar-benar tak sanggup. Bocah baik dan polos, siapa mampu membencinya?

Siang itu hanya pak Marsudi saja yang pulang makan, walau hanya sedikit seperti tak berselera,sedangkan Bayu tidak . Lastri bilang, Bayu sudah mengatakan tak akan makan siang karena ada meeting dengan para stafnya siang itu. 

"Sekarang selalu pada Lastri Bayu mengabarkan pulang atau tidaknya sa'at makan siang," gumam bu Marsudi pelan. Banyak tanda-tanda mengarah kesana bukan? Bu Marsudi menghela nafas.Ia ingin beristirahat siang itu, kalau bisa tidur, supaya terlepas semua beban tentang keadaan keluarganya yang membuatnya pusing.

***

Jam belum menunjukkan pukul tiga, tapi Timan sudah duduk dirumah makan itu. Dia baru memesan minuman, segelas teh lemon, makanan baru akan dipesannya ketika pak Marsudi datang.

Tiba-tiba telephone berdering. Dari Lastri? Timan buru-buru mengangkatnya.

"Hallo, Lastri?"

"Ini mas Timan ya?"

"Iya, ada apa?"

"Nggak, cuma nyobain ponselku saja, kan mas Timan baru menuliskan nomor kontaknya dulu itu, dan aku belum mencobanya."

"Oh, iya, syukurlah kalau nggak ada apa-apa."

"Mas Timan masih di pasar atau sudah pulang?"

"Sudah mau pulang .. ini sedang....."

Timan menghentikan kata-katanya. Ia ingin mengatakan bahwa sedang janji ketemuan dengan pak Marsudi, tapi diurungkannya. Ia belum tahu maksud pak Marsudi, jadi lebih baik ia tak usah mengatakan apa-apa.

"Ini sedang apa? Kok nggak dilanjutin ngomongnya?"

"Sedang siap-siap mau pulang, kan hampir jam tiga, biasanya sudah tadi-tadi aku pulang."

"Laris ya mas, syukurlah."

Tiba-tiba Timan melihat pak Marsudi baru memasuki rumah makan.

"Sudah dulu ya, pasar sudah sepi nih."

"Ya mas, aku juga mau istirahat."

Ponsel ditutup, persis ketika pak Marsudi sampai didepannya.

"Timan ya? Agak pangling aku."

"Ya pak, saya Timan, silahkan duduk, saya sudah memesan minum duluan," kata Timan.

"Nggak apa-apa, kita pesan makan saja sekalian." 

Pak Marsudi memesan makanan dan minum. Timan diam menunggu.

"Kamu heran ya, saya ingin menemui kamu?"

"Sangat heran pak, saya tidak mengerti apa maksud bapak."

"Ini tentang Lastri."

Timan terkejut. Ditatapnya pak Marsudi tanpa berkedip. Apakah pak Marsudi akan melarang dirinya mendekati Lastri? Pikirnya.

"Apa saya membuat kesalahan?" akhirnya Timan bertanya.

"Oh, tidak.. tidak. Begini, Lastri itu kan sudah puluhan tahun ikut saja. Sejak belum mengenal huruf, sampai sekarang lulus SMA."

Timan mengangguk. Lastri sudah pernah menceritakan semuanya, semua kebaikan majikannya, dan yang menganggapnya seperti keluarga sendiri.

"Sekarang Lastri sudah dewasa, sudah sa'atnya punya suami, ya kan?"

"Lhoh, kok ngomongnya sama saya? Bisik batin Timan yang semula ingin diucapkannya.

"Aku melihat kamu sudah lama mengenalnya,"

Timan diam terpaku, apa yang dikatakan pak Marsudi terasa aneh.

"Terus terang aku suka sama kamu."

Makan dan minuman yang dipesan pak Marsudi telah dihidangkan dimeja.

"Ayo sambil makan," kata pak Marsudi sambil menghirup teh panas yang dipesannya.

Masudi juga menghirup sisa lemon tea nya, lalu mendekatkan mangkok berisi nasi timlo yang masih panas mengebul. Ia belum menyuapnya ketika pak Marsudi melanjutkan kata-katanya.

"Bagaimana kalau saya minta kamu menikahi Lastri?"

Timan berhenti mengaduk-aduk makanannya. Seperti mimpi ia mendengar kata-kata pak Marsudi. Timan bukan anak kecil lagi, dia lebih berfikir bahwa sikap pak Marsudi ini sangat aneh. Susah-susah mencarinya hanya untuk menyuruhnya menikahi pembantunya? Begitu sayangkah pak Marsudi terhadap Lastri, atau sebaliknya? Timan yakin, pasti ada sesuatu dibalik semua ini. 

"Aku bersungguh-sungguh. Bukankah Lastri itu cantik? Aneh kalau kamu menolaknya."

Yang aneh adalah karena pak Marsudi seperti memaksanya. Tidak, Timan bukan orang bodoh. Ia memang hanya seorang penjual buah, tapi dia sudah lebih dari dewasa. Segala sesuatu yang akan dilakukannya, adalah yang sudah difikirkannya masak-masak. Memang benar Lastri cantik, memang benar dirinya tertarik, siapa yang nggak mau punya isteri cantik? Tapi kalau harus disuruh-suruh, sangat menggebu-gebu pula, Timan yakin ia tak harus menerimanya. 

"Bagaimana Timan?" tanya pak Marsudi yang sudah memasukkan beberapa kali suapan ke mulutnya. Timan belum menyentuhnya. Ia memainkan sendok didalam mangkok, seperti menunggu dingin, tapi pikirannya bukan ke arah semangkok timlo dihadapannya.

"Ayo sambil dimakan Man, keburu dingin."

"Sebetulnya saya tidak lapar, dan sedang terburu-buru."

"Tapi bagaimana dengan tawaranku tadi?"

"Ma'af pak, bukan saya menolak kebaikan bapak, tapi terus terang saja saya mengatakan bahwa saya tidak bersedia."

Pak Marsudi tersedak lalu terbatuk-batuk  dengan keras

***

besok lagi ya

 

 

 

















Sunday, January 26, 2020

LASTRI 07

LASTRI  07

(Tien Kumalasari)

Bayu menoleh kebelakang, sebuah mobil berhenti, mobil pick up dengan jok terbuka.

"Itu kan mas Timan ?" kata Lastri sambil melongok keluar melalui kaca.

"Siapa ?"

"Mas Timan, yang jual buah."

"Ngapain dia kemari?"

"Entahlah," kata Lastri yang melongok lagi melalui kaca, dan sa'at itu Timan sedang turun dari mobilnya.

"Mas Timan !!" teriak Lastri.

Timan menoleh, heran melihat Lastri ternyata ada didalam mobil didepannya. Ia melangkah mendekati.

"Lastri? Kok ada disini ?" Lalu Timan menoleh kearah laki-laki tampan yang duduk didepan kemudi. Timan mengangguk, dibalas dengan anggukan oleh Bayu.

"Ini mas Bayu, majikanku, kata Lastri memperkenalkan."

Timan mengitari mobil Bayu, mendekat kearah jendela disamping kemudi. Bayu membuka pintunya. Dengan santun Timan menyalami Bayu.

"Saya Timan mas, penjual buah dipasar dekat rumah keluarga mas."

"Saya Bayu, kakaknya Lastri."

Timan heran mendengarnya. Majikan Lastri mengatakan bahwa dia kakaknya. Lastri tersenyum dan menggoyang-goyangkan tangannya, maksudnya tak setuju dengan kata-kata Bayu. Tapi Timan maklum, ia tau bahwa keluarga Bayu menganggap Lastri seperti keluarga.

"Ini mau kemana, kok berhenti disini?"

"Hanya mencari tempat teduh," jawab Bayu seekenanya.

"Mas Timan kok sampai disini?" tanya Lastri.

"Lha itu rumahku," jawab Timan sambil menunjuk kearah rumah sederhana yang ada disebelah kiri dimana tadi Timan menghentikan mobilnya. Mobil Timan tak bisa belok masuk kehalaman rumahnya karena Bayu menghentikan mobilnya sedikit menutupi pintu pagar.

"Oh, ma'af, saya membuat mas Timan nggak bisa masuk ya?"

"Nggak apa-apa, mari singgah kegubug saya," katanya ramah.

"Trimakasih , saya mau kekantor juga. Ini tadi barusan mengantar Lastri melihat pengumuman ujian."

"Oh ya, gimana Tri, lulus kan?"

"Atas do'amu mas.."

"Syukurlah, aku ikut senang. Jadi nggak mau mampir nih mas?"

"Lain kali saja, terimakasih," kata Bayu sambil menstarter mobilnya.

"Kalau mau balik muter dari rumah saya saja mas, biar saya undurkan gerobag saya," kata Timan yang kemudian mengundurkan mobilnya sehingga mobil Bayu bisa berputar arah.

Ada pertanyaan dibatin Timan, mengapa tadi Bayu membawa Lastri kegang kecil yang dekat dengan rumahnya.

***

"Lastri, kamu kelihatan akrab sekali sama Timan," kata Bayu dalam perjalanan menuju pulang.

"Iya mas, sudah sejak Lastri baru saja menginjak pasar, sudah kenal sama dia. Waktu itu Lastri belum sekolah dan belum bisa membaca."

"Dia mengajari kamu membaca? Makanya kamu cepat bisa?"

"Bukan mas, ketika itu ibu memberi saya catatan belanjaan, padahal saya tidak bisa membaca. Ketika saya kebingungan, mas Timan membantu membacakan catatan belanjaan itu. "

"O, jadi itu sebabnya kalian sangat akrab."

"Begitulah mas."

"Kemarin juga dia bela-belain mengantar kamu dan mengirimi kamu pisang ambon yang segede aku."

Lastri menatap laki-laki ganteng disebelahnya. Ia menangkap nada kurang suka ketika ia bercerita tentang Timan.

Ketika hampir sampai dirumah, Lastri mengangsurkan ponsel yang tadi diberikan Bayu.

"Ini mas, Lastri nggak berani menerimanya. Ini kan mahal. Lebih mahal dari baju yang dulu juga mas berikan pada Lastri."

"Lastri, kalau kamu menolak, aku akan sangat marah, dan sedih. Itu pemberian aku sebagai hadiah kelulusan kamu. Pasti kamu membutuhkannya."

Lastri tercengang. Ponsel itu ditariknya kembali dan diletakkannya dalam pangkuannya. 

"Disitu sudah ada nomor aku, dan aku sudah mencatat nomor kamu. Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi aku."

Lastri hanya terdiam. Bingung mau mengatakan apa. sementara mobilnya sudah sampai didepan gerbang rumahnya.

"Simpan ponsel itu di tas kamu, dan turunlah, aku mau ke kantor dulu."

Lastri mengangguk, kemudian segera turun dari mobil. Sebelum berlalu, Bayu melambaikan tangannya kearah Lastri, dan tersenyum manis. Tiba-tiba Lastri merasa, setiap senyuman Bayu selalu membuat hatinya bergetar. Perasaan apa ini? tanyanya dalam hati.

Diteras, dilihatnya bu Marsudi telah menunggu.

"Gimana Tri?"

"Atas do'a ibu, Lastri lulus bu," kata Lastri sambil mencium tangan bu Marsudi.

"Syukurlah Tri, aku ikut senang. Tidak sia-sia aku menyekolahkan kamu."

"Terimakasih banyak bu, mulai hari ini Lastri tidak akan memikirkan pelajaran sekolah lagi, sepenuhnya akan mengabdi pada keluarga ini," kata Lastri yang kemudian melangkah ke belakang, menuju kekamarnya untuk mengganti baju.

Bu Masudi sudah selesai masak, ia mau menata meja makan ketika Lastri sudah mengganti bajunya dengan baju rumahan.

"Biar saya saja bu," kata Lastri.

"Baiklah, saya akan menuang sayurnya kedalam basi."

"Tadi ibu kepasar sendiri?"

"Nggak kepasar, tadi masak sayur yang bahannya ada di kulkas saja. Kemarin kan kamu sudah belanja. Ini ca kangkung, ayam goreng sama sup."

"Baunya sedap sekali."

"Apa kamu sudah lapar? Makan dulu saja nggak apa-apa."

"Oh, nggak bu, tadi kan saya sudah sarapan, jadi masih kenyang."

"Ya sudah, kita menunggu bapak pulang makan saja."

***

Ketika masuk kekamarnya, didengarnya ponselnya berdering. Lastri menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Diangkatnya ponselnya. Beruntung disekolah dia sering melihat temannya cara mempergunakan ponsel, dan belajar dari mereka, sehingga ia tak perlu meminta tolong Bayu untuk mengajarinya.

"Hallo," suara Bayu dari seberang, karena Lastri tak segera menjawabnya.

"Ya, ada apa?"

"Nggak apa-apa, cuma mencoba menelpon kamu saja. Kamu lagi ngapain?"

"Baru saja selesai membantu ibu menata meja untuk makan siang. Mas Bayu pulang kan?"

"Ya, aku mau pulang."

"Kalau mau pulang mengapa harus menelpon dulu?"

"Ya nggak apa-apa ta Tri, aku ingin mendengar suara kamu."

Lastri berdebar. Mengapa Bayu selalu bersikap seolah mengobrak abrik perasaannya? Dari tidak punya perasaan apa-apa, sampai kemudian merasa berdebar setiap kali dipandang, diberinya senyum, apalagi disentuh, dan sekarang mendengar suaranya. Aduhai..

"Lastri ! Kamu masih disitu?"

"Ya, ada apa lagi?"

"Kok diam, aku kira kamu ketiduran."

Lastri tertawa.

"Ya sudah, ini aku siap-siap mau pulang."

Ketika Lastri menutup pembicaraan itu, tiba-tiba bu Marsudi mengetuk pintunya.

"Lastri.."

Lastri buru-buru membuka pintu kamarnya.

"Aku mendengar kamu bicara, benarkah?" 

Lastri terkejut. Tadi dia tidak bilang bahwa Bayu memberinya hadiah ponsel.

"Ini bu.." kata Lastri sambil menunjukkan ponsel yang masih digenggamnya.

"Kamu punya ponsel?"

"Ma'af, saya belum memberitahu ibu, tadi mas Bayu memberi saya ini, saya sudah menolaknya tapi dipaksa juga, katanya hadiah kelulusan saya." kata Lastri sedikit khawatir, kalau-kalau bu Marsudi marah.

"Oh, baguslah, jaman sekarang memang ponsel itu sangat perlu, untuk memudahkan komunikasi. Jadi kalau kamu misalnya sedang dipasar, lalu aku lupa memesan sesuatu, bisa langsung memesan melalui ponsel kamu."

Lastri merasa lega, rupanya bu Marsudi tidak marah. 

"Ibu memerlukan sesuatu ?"

"Nggak, aku lewat, lalu mendengar kamu seperti bicara. Masak sih bicara sendiri.. lalu aku ketuk pintu kamu. Ya sudah nggak apa-apa. Tadi ngomong sama siapa?"

"Mas Bayu mencoba menelpon saya, mungkin dikiranya saya belum bisa mengoperasikan ponsel ini."

"Nyatanya kamu sudah bisa. Bayu mengajari kamu?"

"Nggak bu, sudah lama Lastri belajar, dari teman-teman sekolah yang punya ponsel."

"Syukurlah. Ya sudah, istrahatlah dulu, nanti aku panggil kalau bapak sama Bayu sudah pulang untuk makan."

Lastri mengangguk. Ia kembali masuk kekamarnya, sementara bu Marsudi pergi keteras depan menunggu suaminya pulang. Ada rasa aneh juga ketika tau bahwa Bayu memberi ponsel untuk Lastri. Rasanya agak berlebihan. Benarkah perkiraan pak Marsudi bahwa Bayu suka pada Lastri? Tapi bu Marsudi berjanji tak akan menceritakan perihal ponsel itu kepada suaminya. Ia khawatir suaminya akan marah-marah seperti ketika ia mengatakan perihal baju pemberian Bayu untuk Lastri, Ia lebih berfikir, kalau benar Bayu suka sama Lastri, bagaimana ia harus bersikap? Lastri memang cantik, ia tak kelihatan seperti anak desa ketika pertama kali ditemukannya. Bahkan banyak orang mengira Lastri adalah anaknya. Tapi menjadikannya menantu? Suaminya saja sudah mencak-mencak tidak karuan begitu mendengar kedekatan Bayu dan Lastri.

***

Tapi malam itu pak Marsudi kembali berbicara tentang Lastri.

"Ibu merasa lega, Lastri sudah lulus," kata bu Marsudi.

"Kamu kan tidak menjanjikannya untuk melanjutkan kuliah?"

"Enggak pak, Lastri sendiri tidak mau. Sudah banyak membebani kita, katanya. Dia memang gadis yang baik."

"Memang dia baik tapi tak seharusnya Bayu terlalu dekat dengan dia. Sekali-sekali ibu harus mengingatkan Bayu tentang hal itu."

"Mengingatkan bagaimana, ibu bingung caranya. Orang nggak ngapain-ngapain kok disurung mengingatkan."

"Ibu itu kalau dikasih tau kok ngeyel ya. Ya sudah kalau begitu suruh saja Lastri pergi dari sini."

Bu Marsudi terkejut.

"Kok disuruh pergi bagaimana ta pak? Orang nggak punya salah apa-apa kok disuruh pergi. Dia itu sudah seperti keluarga kita sendiri, puluhan tahun kita merawatnya, menyekolahkannya. Memang dia itu pintar, dan juga rajin. Kalau Bayu dekat ya biarkan saja, kan seperti saudara?"

"Bohong itu. Pasti bukan sekedar saudara. Itu yang membuat bapak khawatir. Dengar, apakah ibu kenal dengan si tukang buah itu?"

"Nggak kenal, memangnya kenapa?"

"Dekati dia, suruh dia menikah sama Lastri."

"Bapak ?"

"Atau temannya Bayu itu, kok lama nggak kesini ya?"

"Bapak ini kok seperti memelihara kambing atau sapi saja, dikawinkan sama sini.. sama sana. Lastri itu manusia, mana mau dia diatur tentang siapa yang harus menjadi suaminya."

"Bapak khawatir bu, sungguh."

"Nggak usah khawatir pak, jodoh itu Tuhan yang menentukan."

"Jadi ibu setuu?"

"Setuju apanya, itu kan baru perkiraan bapak saja, belum-belum sudah berfikir yang enggak-enggak."

"Ibu ini kalau diajak bicara kok nggak pernah kompak sama bapak."

"Bapak aneh sih. Sudah, ibu sudah mengantuk." 

***

"Bapak, ini kopinya," kata Lastri sambil meletakkan secangkir kopi dimeja dimana pak Marsudi sedang duduk sambil membaca koran.

"Ya, taruh disitu saja," jawab pak Marudi tanpa melepaskan keasyikannya membaca.

Akhir-akhir ini Lastri merasa bahwa sikap pak Marsudi sedikit berbeda. Lebh dingin, dan tak pernah mengajaknya bicara kalau bukan Lastri yang memulainya. Mungkin menanyakan sesuatu, atau membutuhkan sesuatu. Lastri kemudian sibuk mencari-cari, apakah dia pernah melakukan kesalahan. Tidak, rasanya tidak.

Seperti kemarin siang, ketika keluarga itu sedang makan, lalu Bayu mengajaknya makan bersama dimeja itu, pak Marsudi menatap Bayu dengan pandangan tak suka.

"Sudahlah, biarkan saja Lastri makan didapur atau dimana dia suka, jangan dipaksa untuk makan bersama kita," tegur pak Marssudi.

Kadang-kadang Lastri memang ikut makan bersama mereka, itupun karena bu Marsudi ikut memaksanya. Tapi kali itu sebenarnya Lastri ingin menolak karena terngat sikap pak Marsudi yang berubah. Mendengar kata-kata pak Marsudi Lastri kemudian membalikkan tubuhnya dan masuk kedalam dapur. Ada rasa sedih yang mengiris hatinya. Dicarinya lagi apa kesalahannya, tapi tak juga ditemukannya.

"Lastri, nanti kamu ke pasar ya," kata bu Marsudi membuyarkan lamunannya.

"Oh, ya bu.. saya sudah siap, sekarang saja."

"Baiklah, beli ayam kampung ya, pilih yang muda, nanti kita akan memasak opor."

"Baik bu."

"Lihat perlengkapan atau bumbu didapur, mana yang habis dan harus dibeli."

"Baiklah."

Sekarang setiap kali belanja bu Marsudi tak harus mendekte apa yang harus dibeli. Bu Marsudi hanya mengatakan ingin memasak apa, lalu Lastri sudah tau apa yang harus dibelinya.

***

"Mas Timan, kok masih pagi sudah mau tutup?" sapa Lastri ketika melihat Timan membenahi dagangannya seperti mau pergi.

"Bukan tutup, mau nganter pesanan buah, dimintanya pagi-pagi, ya sudah dagangan pasar terpaksa ditinggal dulu."

"Wah, seneng ngedengarnya, laris ya mas."

"Lumayan Tri, bisa nabung untuk sangu kawin, eh.. nikah," kata Timan sambil tertawa.

"Lho, mas Timan mau menikah?"

"Ya mau lah, tapi bukan sekarang, belum ada yang mau."

"Masa sih mas."

"Ya sudah, aku pergi dulu, kamu butuh buah apa?"

"Besok saja mas, kemarin ibu sudah beli anggur sama apel."

"Ya sudah."

"Eh mas, aku boleh minta nomor kontakmu kan?"

"Haa.. ada, kamu sudah punya ponsel?"

"Punya, beberapa hari yang lalu mas Bayu memberi ini, hadiah ketika aku lulus," kata Lastri sambil menunjukkan ponselnya."

"Baguslah, sini, biar aku catatkan nomorku," kata Timan yang terpaksa berhenti untuk mencatatkan nomor kontaknya di ponsel Lastri.

"Sudah nih, sebenarnya aku mau menanyakan sesuatu, tapi karena lagi terburu-buru, besok saja kalau kamu ke pasar lagi," kata Timan sambil berlalu, meninggalkan Lastri yang memandangi punggungnya penuh tanda tanya.

Lastri sudah selesai belanja. Tak begitu banyak belanjaannya kali ini, karena bumbu-bumbu didapur masih cukup. 

Namun ketika dia keluar dari pasar itu, dilihatnya pak Marsudi sedang berdiri didepan pasar, seperti menunggu sesuatu. Lastri membalikkan tubuhnya. Ia tak ingin berpapasan dengan pak Marsudi. Ia keluar dengan melewati pintu pasar yang lain.

Ada apa pak Marsudi berdiri didepan pasar?

*** 

besok lagi ya

 


Saturday, January 25, 2020

LASTRI 06

LASTRI  06

(Tien Kumalasari)

"Ya sudah, sana.. selamat makan ya, senang melihat majikan kamu sangat baik terhadap pembantunya," kata Timan yang kemudian melangkah kebelakang restoran. Lastri membalikkan tubuhnya, tapi bertabrakan dengan Sapto yang kemudian memeluknya tanpa sengaja. Lastri meronta dan menatap kesal pada Sapto, kemudian ia berjalan kedalam rumah makan itu lagi, lalu duduk dikursi, dihadapan Bayu yang menatapnya tanpa berkedip. Sapto mengikutinya. Ia ingin bertanya tapi diurungkannya. Jadi Bayu itu majikannya? Lastri bukan adiknya? Apakah karena wajahnya cantik, kemudian diakuinya sebagai adik? Lalu Sapto teringat cara Bayu memandang Lastri, terasa aneh, dan itu bukan pandangan seorang kakak. Apakah Bayu juga mencintai Lastri? Itu sebabnya dia selalu menghalanginya"

"Itu penjual buah yang tadi mengantar kamu pulang?" tanya Bayu dengan menatap tajam wajah Lastri.

"Iya mas, dia itu sering mengirim buah-buahan ke beberapa restoran dikota ini."

"Hm, banyak dong duitnya."

"Ya nggak tau mas, banyak atau tidak...Tapi sedikit atau banyak, yang namanya rejeki kan harus disyukuri. Banyak atau sedikit yang penting bekerja, bukan dari minta-minta. Ya kan?"

"Benar Lastri, pintar kamu."

"Lastri memang hebat."

Pesanan yang sudah disajikan, disantap ketiganya dengan nikmat. Sapto tak banyak bicara dan itu mengherankan Bayu.

"Kamu kekenyangan ya? Kok tiba-tiba jadi pendiam?"

"Bukan pendiam, lagi menikmati makanan enak, kalau banyak bicara nanti nikmatnya hilang dong," jawab Sapto sambil mengelap mulutnya. Lalu diteguknya jus yang dipesannya.

"Mas, habis ini kita pulang kan?" tanya Lastri tiba-tiba.

"Ya, tapi habiskan dulu makanan kamu, tuh masih belum habis."

"Iya, pasti nanti Lastri habiskan."

Bayu terus menatap Lastri, senang melihat Lastri makan dengan lahap.

"Kamu lapar ya? Tadi pagi belum sarapan?" tanya Bayu.

"Iya belum, habis bersih-bersih dapur terus ke pasar, terus mau ngebantuin ibu masak, diajak pergi."

"Mau nambah lagi?" Sapto menawarkan.

"Oh, ya enggak. Terimakasih, sudah kenyang nih," jawab Lastri sambil tersenyum, tapi tanpa memandang kearah Sapto. Lastri memasukkan suapan terakhir kemulutnya, lalu meneguk es kopyornya.

"Sapto, setelah ini aku sama Lastri nggak usah kamu antar pulang." kata Bayu.

"Lho, tadi aku yang nyamperin, masa nggak boleh ngantar pulang."

"Bukan begitu, aku sama Lastri mau mampir-mampir, sekalian belanja kebutuhan aku sendiri. Atau mungkin Lastri juga membutuhkan sesuatu."

"Gitu ya, tapi aku juga mau ngantar kok. Bagaimana?"

"Nggak usah, terimakasih, takutnya kami akan lama, kasihan kamu kan?"

"Lalu kalian mau naik apa?"

"Gampang, banyak taksi..  dan terimakasih telah diajak jalan-jalan ya."

"Kebetulan kita libur, dan lagi nggak ada acara." jawab Sapto datar. Sedikit mengherankan perubahan sikap Sapto ini, tapi Bayu dan Lastri tak memperdulikannya.

***

"Sebetulnya kita mau kemana?" tanya Lastri yang sedari tadi diajak jalan dan digandeng tangannya oleh Bayu.

"Jalan-jalan saja. Didepan itu ada mal, aku mau beli sabun dan apa ya yang habis dirumah?"

"Shampo mas juga tinggal sedikit."

"Oh ya, rupanya kamu juga memperhatikan keperluanku ya?"

"Kan baru pagi tadi mas berteriak dari kamar mandi, bilang bahwa shamponya hampir habis."

"Iya.. iya, pintar kamu. Itu benar."

Bayu mengajak Lastri mengitari mal itu, apa yang dibutuhkannya sudah dibelinya. Dan ketika masuk ke ruang tempat baju-baju dijual, Bayu menarik Lastri agar mendekat.

"Ada apa?" 

"Baju ini bagus ya, aku suka warnanya. Salem itu teduh untuk dipandang."

"Lho, mas itu laki-laki, mengapa mau beli gaun?" tanya Lastri sambil menutup mulutnya karena geli.

"Bukan buat aku.."

"O, buat pacar mas Bayu?"

"Hush! Pacar apa... ini buat kamu."

"Buat aku?" Lastri terkejut.Baju itu sangat mahal untuk ukurn dia. Harganya ratusan ribu. Lastri pergi menjauh dari tempat itu, melihat lihat baju-baju lain yang tergntung disana sini. Tapi tiba-tiba Bayu menariknya kembali ketempat baju yang tadi ditunjukkannya.

"Lastri... gimana sih?"

"Apa ta mas?"

"Ini, baju ini bagus bukan?"

"Ya bagus lah, harganya juga bagus."

"Kamu suka?"

"Nggak suka."

"Lastri, aku mau beli baju ini untuk kamu."

"Jangan mas, aku ini siapa, mana pantas memakai baju seindah itu?" Ayo kita pulang, kita perginya sudah lama."

"Lastri.. aku serius."

"Aku juga serius. Mas jangan begitu,saya jadi nggak enak. Saya tau saya ini siapa. Jadi jangan berlebihan," kata Lastri sambil menjauh.

"Tidak Lastri, kamu harus menerimanya. Menolak rejeki itu tidak baik."

"Rejeki yang berlebihan juga tidak baik."

Tapi Bayu nekat mengambilnya, dan membawanya ke kasir. Ukuran baju hanya dikira-kira saja, menurut Bayu pasti pas.

Mereka pulang dengan naik taksi. Bayu tersenyum-senyum melihat wajah Lastri yang cemberut. Pemberian itu justru membuat perasaan Lastri sangat tidak enak. Tapi melihat senyuman Bayu, Lastri jadi teringat ketika bertabrakan dipintu. Bayu memeluknya erat, tidak sengaja tapi depeluknya lama. Lastri jadi ketakutan akan perasaan hatinya. Senyuman Bayu kali ini persis seperti senyuman Bayu ketika dia meronta dari pelukannya, dan itu membuat jantungnya berdebar. Lastri bukan anak kecil. Ia merasa ini tidak wajar. Tapi bagaimana melepaskan diri dari perasaan aneh yang menyergapnya?

***

Sore hari itu, ketika sedang berdua menyiapkan makan malam, Lastri mendekati bu Marsudi dengan membawa bungkusan besar. Itu bungkusan baju yang dibelikan Bayu siang tadi.

"Bu.."

"Ada apa Tri? Apa ini?" tanya bu Marsudi karena Lastri mengangsurkan sebuah bungkusan.

"Bu, saya merasa tidak enak sekali. Siang tadi mas Bayu membelikan saya ini,"

Bu Marsudi membuka bungkusan itu, dan melihat sebuah gaun indah berwarna salem, dengan sulaman-sulaman cantik didadanya.

"Indah sekali."

"Ibu simpan saja, saya merasa tidak pantas bu.."

"Lho, Bayu membelikan baju ini untuk kamu, mengapa ibu yang harus menyimpannya? Sudak disimpan saja sana, bisa kamu pakai kalau kamu pergi kepesta.. " bu Marsudi memberikan bungkusan itu lagi kepada Lastri.

"Kepesta bu, Lastri kan tidak pernah ke pesta?"

"Ya siapa tau pada suatu hari nanti. Sudahlah Tri, simpan saja."

Lastri tak bisa menolak, ia masuk kekamarnya dan menyimpan gaun itu didalam almari. Senyuman Bayu kembali melintas dimatanya. Ya Tuhan, ini tidak boleh, aku ini siapa, tidaak, bisik batinnya. Kemudian ia kembali ke dapur untuk membantu bu Marsudi.

"Lastri, kamu kan mau ujian. Mulai besok jangan dulu bantu-bantu pekerjaan. Fokus pada pelajaran kamu, supaya hasil ujianmu bagus."

"Iya bu, tapi kan Lastri tidak harus terus-terusan memegangi buku. Kalau hanya ditinggal bantu-bantu ibu kan tidak apa-apa."

"Lastri, jangan bandel. Pokoknya mulai besok sampai ujian selesai kamu hanya boleh belajar dan bukan yang lainnya.

***

Tapi malam itu pak Marsudi marah sekali. Ketika sedang santai di teras rumah, bu Marsudi mengatakan bahwa Bayu membelikan baju untuk Lastri.

"Aku bilang apa, ini sebuah tanda-tanda yang tidak baik," katanya sengit.

"Tidak baik bagaimana ta pak?"

"Untuk apa Bayu membelikan baju untuk Lastri coba? Kalau dia tidak punya perasaan apa-apa, mana mungkin dia melakukannya?"

"Pak, Lastri itu ikut bersama kita sudah puluhan tahun, dan tak ada perilakunya yang mengecewakan kita. Apa salahnya Bayu memberikan hadiah?"

"Salah bu. Salah !!"

"Ya enggak pak, itu kan ungkapan terimakasih."

"Aku kan sudah bilang, aku melihat tanda-tanda yang tidak wajar pada Bayu. Dia mnyukai Lastri, dan itu tidak boleh terjadi."

"Pak, kok bapak bilang begitu?"

"Kita ini dari keluarga terpandang bu, masa akan mempunyai menantu seorang pembantu, yang tidak jelas siapa orang tuanya, asal usulnya.."

"Bapak bicara terlalu jauh, hanya karena baju, dan bapak memikirnya sudah kemana-mana."

"Seandainya itu terjadi, dan benar Bayu suka sama dia, apa ibu bisa menerimanya?"

"Kalau Lastri adalah seorang yatim piatu, berasal dari desa, apakah itu salahnya Lastri?"

"Apa maksud ibu ?"

"Yang ibu tau adalah, bahwa Lastri cantik, pintar, jujur, dan kelakuannya baik, tidak ada cacat celanya."

"Jadi ibu suka?"

"Jodoh itu bukan kita yang menentukannya."

"Waduh, ibu ini sangat keterlaluan. Pokoknya begini bu, kita harus berusaha supaya Bayu jauh dari dia."

"Bagaimana caranya?"

"Carikan jodoh untuk Lastri."

"Apa?"

"Nanti kalau Lastri sudah lulus, kita sudah harus menyiapkan jodoh untuk dia. Mungkin nak Sapto, karena bapak lihat dia itu suka, mungkin juga si tukang buah itu."

"Nggak tau lah pak, ibu nggak mau ikut-ikut.." kata bu Marsudi sambil berdiri, kemudian masuk kedalam rumah."

Pak Marsudi sangat kesal karena isternya tidak sependapat dengan dirinya. Ia ingin memarahi Bayu malam itu juga, tapi diurungkannya. Ia harus menemukan jalan untuk bicara sama Sapto, atau si tukang buah itu lebih dulu.

***

Hari-hari berjalan sangat cepat. Tak ada yang mengganggu Lastri sa'at Lastri ujian, sampai kemudian ada pengumuman tentang kelulusan.

Hari sudah siang tapi Bayu belum juga berangkat kerja.

"Ini sudah siang, mengapa kamu belum berangkat kerja Yu, padahal pakaian kerja sudah rapi begitu."

"Bayu mau mengantar Lastri dulu bu."

"Mengantar kemana? Hari ini Lastri akan melihat pengumuman ujian di sekolahnya."

"Iya, Bayu akan mengantar ke sekolahnya, nanti kalau Lastri lulus dengan nilai bagus, Bayu akan memberinya hadiah."

"Bayu, ibu hanya memperingatkan, jaga jarak antara kamu dan Lastri. Tampaknya bapak tidak suka."

"Ya, Bayu tau, tapi kan Lastri yang mau melihat pengumuman hasil ujian harus ada yang mendukungnya. Dia itu sebatang kara bu, Bayu hanya berusaha supaya dia tidak merasa sendiri."

Bu Marsudi setuju dengan alasan Bayu, sehingga dia tidak bisa melarangnya. Ketika dilihatnya Lastri sudah siap mau berangkat, Bayu menahannya.

"Ayo aku mau mengantar kamu."

"Lho, Lastri cuma mau ke sekolah, mengapa diantar ?"

"Iya, kamu kan mau melihat hasil ujian?"

"Iya."

"Itu sebabnya aku harus mengantar kamu."

"Kayak anak kecil saja, pake diantar segala. Nggak usah mas, Lastri biasanya juga sendiri kok."

"Tapi ini kan tidak biasa, kamu mau melihat pengumuman ujian kamu. Kalau kamu tiba-tiba pingsan siapa yang akan menolong kamu?"

"Mengapa saya pingsan?"

"Namanya melihat pegumuman, bisa saja pengumuman itu hasilnya bagus, kamu lulus. Lha kalau tidak, lalu kamu tiba-tiba pingsan?"

"Ah mas Bayu meng ada-ada, sudah, Lastri berangkat sendiri saja," kata Lastri sambil terus melangkah, tapi Bayu menahannya dengan memegang lengannya erat.

"Jangan begitu mas."

"Jangan bandel, ayo ikut aku." kata Bayu sambil menarik tangan Lastri kearah mobil, dan memaksanya naik. Bu Marsudi yang mengantar sampai ke pintu hanya geleng-geleng kepala. Sesungguhnya Lastri gadis yang baik. Tidak aneh kalau banyak yang menyukai dia, termasuk Bayu anaknya. Tapi bu Marsudi ketakutan sendiri. Kalau hal itu terjadi, maka pasti akan terjadi guncangan dirumah ini. 

***

Sorak gemuruh bagi yang berhasil masih terdengar, sayup semakin jauh, karena Lastri sudah berada dimobil Bayu dan dibawanya pergi. Pastilah Lastri lulus, karena dia anak pintar. Sejak SD dia selalu juara. Dan Lastri merasa puas karena tidak mengecewakan keluarga yang telah membeayainya. Wajah manisnya berbinar, senyumnya terus mengembang. Senyum itukah yang membuat Bayu tergila-gila? Entahlah, tapi mungkin witing tresna jalaran saka kulina itu yang membuatnya. Ia teringat sikap ayahnya, dan tentulah akan ada penolakan seandainya benar dia mencintai Lastri.

"Lho mas, kok kesini? Bukan kearah pulang?" kata Lastri ketika mobilnya berjalan kearah yang berlawanan dari rumah.

"Sebentar, aku mau mampir ke suatu tempat."

"Aduh mas, bukankah mas Bayu sudah harus pergi ke kantor?"

"Aku sudah ijin, sebentar saja. Hanya mencari tempat yang sepi."

"Apa ?"

Lastri berdebar-debar tidak karuan. Mencari tempat sepi untuk apa?

Tapi Bayu memang menghentikan mobilnya disebuah tempat sepi. Agak masuk kesebuah jalan kecil, yang kiri kanannya adalah persawahan. Bayu membuka kaca mobilnya. Semilir angin sejuk menerpa wajah-wajah mereka. Benar-benar angin segar, jauh dari polusi karena hiruk pikuknya kendaraan di jalan raya.

"Mau apa ta mas.."

"Ini... buat kamu."

"Ini apa? Aduuh mas, jangan begitu.. saya sudah cukup mendapat perhatian dari keluarga mas Bayu, itu lebih dari cukup, dan jangan memberi saya apapun lagi."

"Buka dulu, jangan cerewet," tegur Bayu sambil memencet hidung Lastri yang mancung ."

Lastri membukanya dengan gemetar. Bukan karena hadiah yang entah apa isinya, tapi karena sentuhan jari Bayu diwajahnya.

Bayu membantu membuka bungkusan itu, karena Lastri melakukannya lama sekali, kecuali itu Bayu ingin menggeser tubuhnya agar lebih dekat dengan Lastri.

"Haa.. ponsel," pekik Lastri.

"Kamu membutuhkannya. Supaya bisa berkomunikasi dengan siapapun dengan baik. Itu penting kamu miliki."

"Tt..tapi.. mengapa ini semua mas Bayu? Lastri benar-benar takut.."

"Jangan takut," jemari Bayu menyentuh pipi Lastri.

Tapi tiba-tiba didengarnya mobil berhenti dibelakang mereka, lalu klakson yang bertalu-talu terdengar memekakkan telinga.

***

besok lagi ya

LASTRI 05

LASTRI  05

(Tien Kumalasari)

 

"Lastri... Lastri.."

Lastri yang sedang menata belanjaannya menoleh kearah Bayu, yang memanggilnya dengan bertubi-tubi.

"Ada apa mas ?

"Kamu tadi diantar oleh siapa?"

"O, tadi itu, namanya mas Timan, penjual buah dipasar."

"Apa biasanya dia juga mengantar kamu sehabis belanja?"

"Enggak mas, baru kali ini, karena dia memberi selirang pisang ambon dan saya nggak bisa membawanya. Itu mas, dimeja."

"Iya Yu, itu pisangnya, enak, ini.. ibu sudah mengambilnya satu, belum habis , lha besarnya se lengan ibu sih." kata bu Marsudi menimpali.

Bayu melihat ke arah meja makan.

"Cobalah Yu, dan bawakan juga untuk bapak."

"Ah, Bayu nggak suka pisang ambon," kata Bayu sedikit tak acuh. Ada rasa kurang senang ketika mengetahui si penjual buah mengantar Lastri, terus memberi selirang buah pisang pula.

"Masa nggak suka, biasanya kamu suka pisang ambon kan?"

"Iya, tapi nggak suka yang besar-besar begitu. Makan satu saja bisa kekenyangan."

"Ya ambil separo, gitu aja kok repot," omel bu Marsudi.

Bayu mengambil basi berisi pisang dan dibawanya keteras, diletakkan dimeja dihadapan ayahnya.

"Ini pak.."

"Apa itu?"

"Pisang, bapak suka kan ?"

"Lastri membelinya? O.. bukan, ini dikasih si penjual buah itu tadi."

"Iya, ibu bilang enak, kayaknya matang pohon."

"Besar-besar sekali pisangnya," kata pak Marsudi lalu mengambil sebuah.

"Aku separo saja, yang separo lagi buat kamu ya."

"Ternyata enak," kata Bayu setelah mengunyah satu gigitan pisangnya. Tapi tiba-tiba diletakkannya sisa pisang itu dimeja ketika teringat bahwa pisang itu pemberian si tukang buah untuk Lastri. Kenapa aku ini? Cemburu? Ya Tuhan, tidak.. lalu witing trena itu muncul lagi dibenaknya.

"Lastri itu kan sudah mau ujian sekolah," tiba-tiba kata pak Marsudi.

"Ada apa? Bapak mau menyruhnya kuliah?"

"Tidak, tidak.. ibumu pernah bicara so'al itu, tapi aku tidak setuju."

"Bapak keberatan membiayai kuliahnya?"

"Bukan keberatan, bapak punya uang tapi bapak kira itu sudah cukup buat Lastri."

"Bagaimana kalau Bayu saja yang membiayainya?"

"Apa? Tidak Bayu, bapak tidak setuju, lebih baik carikan jodoh untuk Lastri."

Bayu terkejut. Dipandanginya ayahnya lekat-lekat.

"Ada apa denganmu Yu? Kamu tidak setuju ?"

"Ini bukan jamannya menjodoh-jodohkan orang pak. Kasihan Lastri."

"Kasihan bagaimana maksudmu?"

"Biarkan dia memilih apa yang dia suka, siapa yang dia suka, kasihan kalau kita mengatur hidupnya."

"Bapak kan memilihkan yang terbaik untuk Lastri? Dia itu umurnya sudah sekitar duapuluhan lebih, kalau dulu dia datang kemari umurnya sebelasan tahun, sekarang sudah duapuluh tiga tahun. Didesa, gadis seumur itu sudah disebut perawan tua."

"Ini bukan didesa pak, mengapa harus ikut-ikutan tradisi desa?"

"Kenapa juga kamu menentangnya?" pak Marsudi menatap curiga.

Bayu memalingkan mukanya. 

"Tukang buah yang mengantar Lastri tadi pagi itu cocog untuk Lastri."

"Apa?" Bayu kembali memandangi ayahnya. Ada rasa kesal mendengar keinginan ayahnya.

"Bapak kok gitu. Bagaimana kalau tukang buah itu sudah punya isteri?"

"Ya nanti kita tanya lah, kalau cocog ya bagus, bapak yang akan membiayai pernikahan Lastri nanti."

"Jangan pak."

"Mengapa kamu seperti tidak suka?"

"Bukan tidak suka, Bayu kurang suka kalau kita mengatur hidupnya Lastri, termasuk jodohnya juga."

"Bapak kan mau menanyakannya dulu, kalau cocog ya oke lah, kalau nggak ya nggak akan memaksa, tapi melihat gelagatnya kok cocog."

"Bapak mengarang."

Tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman. Bayu mengerutkan keningnya karena tau siapa yang datang.

"Tamu siapa dia?"

"Teman Bayu pak," kata Bayu yang kemudian berdiri menyambut.

Tamu itu memang Sapto, ia turun dari mubil dengan penampilan yang menurut Bayu agak berlebihan. Pakai celana jean dan kaos lengan pendek yang bergambar-gambar, pakai kacamata hitam besar, pokoknya semua membuat Bayu kesal.

"Hallo bro. Hari Minggu kok dirumah saja," katanya begitu sampai dihadapan Bayu. Tapi matanya nyelonong kedalam rumah, barangkali ada Lastri disana. Tapi yang ada malah pak Marsudi, yang memandangnya seperti orang tak kenal.

Melihat pak Marsudi, Sapto mencopot kacamatanya dan mengangguk hormat.

"Selamat siang om," sapanya sambil mendekat lalu mencium tangan pak Marsudi.

"Aku kok agak pangling ya.. ini siapa?"

"Saya Sapto om. Om lupa ya?"

"O.. iya, Sapto temannya Bayu SMA?"

"Iya, tuh om masih ingat."

"Iya, sudah lama nggak main kesini. Ayo silahkan duduk, om mau kebelakang."

"Ya om, ma'af kalau mengganggu."

"Nggak aoa-apa. Silahkan," kata pak Marsudi sambil melangkah kebelakang, sedangkan Sapto kemudian duduk dengan santai.

"Kamu ini kayak remaja saja, pakai kaos kayak begitu." tegur Bayu sambil duduk dihadapan Sapto.

"Memangnya aku sudah tua? Eh, mana Lastri?"

"Nggak ada."

"Aduh, jangan gitu dong Yu, aku mau mengajaknya jalan-jalan, sama kamu sekalian juga nggak apa-apa."

"Dia harus belajar. Minggu depan mau ujian."

"Ini hari libur, jangan dipakai buat mikir terus, nanti bisa stress.."

"Ya enggak.. masa belajar saja bisa membuat orang stress."

Tiba-tiba pak Marsudi muncul kembali. Maksudnya mau mengambil pisang yang tadi masih tertinggal. Ternyata makan separo masih kurang.

"Ada apa nak? Siapa yang stress?" tanya pak Marsudi.

"Itu om, Lastri, katanya belajar terus karena mau ujian. Bukankah ada baiknya istirahat sejenak, menenangkan pikir sambil jalan-jalan?"

"Nak Sapto mau mengajaknya jalan?"

"Sebenarnya begitu om, tapi dilarang sama Bayu, katanya lagi belajar."

"Ah, biarin saja kalau hanya jalan-jalan sebentar. Biar om suruh Lastri bersiap," kata pak Marsudi sambil mengambil sebuah pisang lalu melangkah ke belakang.

"Tuh, bapak kamu mengijinkan, mengapa kamu melarang?"

"Dasar kamu yang pinter ngomng. Oke kalau begitu, aku juga harus ikut," kata Bayu sambil bangkit lalu meninggalkan Sapto cengar cengir kesenangan.

***

 "Bu..bu... mana Lastri?" teriak pak Marsudi sambil menuju kearah dapur.

"Ini pak, lagi mbantuin ibu didapur," kata bu Marsudi sambil menggiling bumbu. Dilihat oleh pak Marsudi Lastri sedang mencuci daging.

"Sudah selesai itu Tri?" tanya pak Marsudi kepada Lastri..

"Sudah pak, ibu suruh masukkan ke panci presto."

"Ya sudah, kamu pergi sana. Cuci tanganmu dan ganti baju yang bagus."

"Ada apa to pak?" tanya bu Marsudi sambil menumis bumbu.  

"Wah, ibu mau memasak rawon kan? Hm.. harumnya."

"Ini Lastri mau disuruh kemana to pak?"

"Ada temannya Bayu mau mengajak Lastri pergi. Biarkan saja, Lastri kan tidak harus terus-terusan bekerja. Biar dia senang. Lastri, kok masih berdiri disitu? Cepat ganti baju, ditungguin tuh."

"Tapi saya masih membantu ibu, biar saya disini saja."

"Tidak Lastri, jangan membantah, cepat ganti bajumu !!"

Lastri tertegun. Kata-kata pak Marsudi seperti sebuah perintah yang tak bisa dibantah. Matanya tajam menatap Lastri, membuat Lastri surut kebelakang, lalu menuruti apa kata pak Marsudi.

Sesungguhnya pak Marsudi kecewa, karena ketika Lastri keluar, dilihatnya Bayu juga sudah ganti pakaian, siap untuk berangkat bersama Sapto.Tapi tak ada alasan bagi pak Marsudi untuk melarang Bayu pergi.  Lastri yang enggan pergi,  agak lega melihat Bayu ikut.Tapi ia heran mengapa pak Marsudi memaksanya pergi.

***

 "Mengapa sih pak, bapak memaksa Lastri pergi. Dari beberapa hari yang lalu, nak Sapto itu mencari-cari Lastri terus. " kata bu Marsudi ketika mereka sudah berpamit untuk pergi. Pak Marsudi duduk dimeja dapur, menungguin isterinya memasak.

"Sebetulnya bapak itu khawatir bu."

"Khawatir apa  pak?"

"Menurut pengamatan bapak, Bayu itu kok sepertinya suka sama Lastri. Dan temannya Bayu itu sepertinya juga suka sama Lastri, lalu bapak dorong saja supaya nak Sapto sama Lastri bisa dekat dan siapa tau berjodoh. Tapi sebenarnya bapak kecewa kenapa tadi Bayu ikut-ikutan pergi. Mau bapak larang kok alasannya nggak ada."

"Ah, bapak ada-ada saja."

"Iya bu, benar itu. Orang suka itu kan kelihatan."

"Bapak jangan meng ada-ada."

"Ibu dikasih tau kok nggak percaya. Dengar, beberapa hari yang lalu, bapak bilang sama Bayu, supaya segera menikah. Umurnya sudah cukup, tapi dia menolak. Katanya mau cari sendiri kalau sudah sa'atnya nanti. Tadi bapak bilang mau mencarikan jodoh untuk Lastri, eh dia juga menolak keras. Bapak benar-benar khawatir."

"Dia menolak itu alasannya apa, kalau alasannya jelas ya nggak usah difikirkan, anak jaman sekarang memang nggak mau di jodoh-jodohin, biarkan saja."

"Nanti kalau sudah kejadian, ada hal-hal yang tidak kita inginkan, ibu jangan salahkan bapak lho ya."

"Sudah pak, bapak jangan memikirkan ulah anak-anak muda itu, mereka sudah dewasa, pasti sudah tau mana yang terbaik bagi diri mereka. Kalau Bayu ikut, ya syukurlah, biar dia bisa menjagga Lastri, ibu kok nggak percaya sama temannya Bayu itu."

"Kenapa nggak percaya" Dia itu ganteng, sudah mapan, Beruntung kalau dia suka sama Lastri."

"Bukan gantengnya atau mapannya, tapi nggak tau lah, ibu takut salah. Semoga yang terbaik saja untuk Lastri. Dia itu sejak kecil kan sudah kita anggap sebagai keluarga, jadi kalau dia mendapatkan kehidupan yang baik, kita harus mensyukurinya. Tapi ada baiknya kita ikut menjaga, seperti menjaga keluarga kita sendiri."

Bau rawon itu semakin menyengat, bu Marsudi hampir menyelesaikan masakannya. Ia sudah menggoreng perkedel, membuat sambal dan menyiapkan segela perlengkapan dimeja dapur. Pak Marsudi menopang kepalanya dengan kedua tangannya, seperti memikirkaan sebuah perso'alan yang berat. Dan bau rawon yang biasanya menjadi kesukaannya itu seakan tidak mengusiknya.

"Bapak mau makan disini atau dimeja makan, kita nggak usak menunggu mereka, pasti mereka sudah makan diluar."

"Disini saja lah bu, sudah terlanjur duduk," katanya tak bersemangat.

***

Setelah mengajaknya keliling kota, Sapto mengajaknya makan disebuah restoran. Wajah Bayu tampak kesal, sementara Lastri tak banyak bicara. Ia bersedia pergi karena pak Marsudi seperti 'memerintahnya'

"Sebenarnya kamu tuh maunya apa sih Sap? Jalan-jalan nggak jelas," gerutu Bayu setelah mereka duduk disebuah meja dirumah makan itu.

"Bayu, kamu itu kan sudah tau apa mauku. Masih tanya lagi," kata Sapto sambil melirik kearah Lastri.

"Aku sudah bilang 'tidak' !!"

"Itu kan kamu, bagaimana yang bersangkutan dong, Ayo mau pesan apa Lastri?"

"Terserah mas Bayu saja," jawab Lastri pelan.

"Tuh kan, dia itu selalu terserah aku. Semuanya," kata Bayu sambil tersenyum.

"Makan yang ringan-ringan saja mas, tadi ibu kan masak rawon," kata Lastri mengingatkan.

"Oh iya, aku lupa."

"Nanti sampai dirumah makan lagi, gitu saja kok repot," kata Sapto sambil memanggil pelayan. 

"Aku mau minum jus mangga. Kamu Yu?"

"Aku es kopyor, dua sama Lastri, ya kan?" jawab Bayu sambil menatap Lastri. Lastri mengangguk sambil tersenyum. Bayu sedikit berdebar melihat senyum itu. Alangkah manisnya 'adikku' itu, pikirnya.

"Baiklah, Mau makan apa? Aku mau steak ah.. sirloin steak.. "

"Aku sama Lastri gado-gado saja, supaya sampai dirumah nanti sudah lapar lagi dan bisa makan rawon bikinan ibu," kata Bayu menimpali.

Lagi-lagi Lastri mengangguk sambil tersenyum. Sapto agak kesal melihat senyuman Lastri yang ditujukan pada Bayu. Hm, aku yang nraktir, mengapa yang dikasih senyum Bayu? Pikirnya konyol. Tapi ia melihat senyuman Bayu yang dirasanya sedikit aneh. Apakah itu senyuman seorang kakak terhadap adiknya?

"Lastri mau ujian kapan sih?" tanya Sapto mencoba menarik hati Lastri, dan juga mencoba menarik senyuman Lasri.

"Masih Minggu depan mas," jawab Lastri. Tapi jawaban itu tanpa senyum. Sapto menghela nafas.

"Tadi ketika aku kesana Lastri lagi belajar ya?"

"Lagi masak, bantuin ibu," senyum itu belum nampak.

"Lhoh, kata Bayu lagi belajar," kata Sapto sambil memandangi Bayu. Bayu tersenyum.

"Belajar lah, belajar memasak sama ibu, ya kan Tri?"

Dan kali ini Lastri tersenyum. Tapi senyum itu ditujukan lagi pada Bayu.

Aduuh, susah ya orang jatuh cinta? Tapi ini kan baru sekali, Sapto berjanji akan lebih bisa menark hati Lastri pada kali yang lain.

Tiba-tiba...

"Lastri....?"

Sebenarnya itu bukan panggilan tapi sebuah ucapan terkejut, ketika melihat seseorang yang dikenalnya. Tapi karena Bayu, Sapto dan Lastri duduknya dimeja depan dan agak ketepi, bisa mendengar suara itu. Ketiganya menoleh kearah seorang laki-laki yang membawa kotak buah-buahan, tapi kemudian berhenti disamping rumah makan itu karena melihat Lastri.

"Mas Timan !!" pekik Lastri yang kemudian berdiri dan menghampirinya.

Bayu dan Sapto heran, melihat Lastri begitu perhatian pada laki-laki muda itu.

"Lagi ngapain mas?" sapa Lastri setelah dekat.

Sapto lebih dulu keluar dan mendekat.

"Biasa Tri, aku kan setiap siang mengirim buah-buahan pada beberapa rumah makan," jawab Timan.

"Oh, syukurlah laris mas."

"Lagi sama majikan kamu?" tanya Timan, dan itu mengejutkan Sapto yang sudah berada didekat mereka. Kata 'majikan' itu membuat Sapto bertanya-tanya.

***

besok lagi ya

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...