Wednesday, November 29, 2023

SIAPAKAH AKU

 SIAPAKAH AKU?


(Tien Kumalasari)


 


Selendang hatiku, menari dengan jari-jari lentik


Melukis asa dalam taburan mega  putih diantara hamparan langit Biru.


Menepis belaian angin dalam hembusan yang menghentak


Jangan hentikan, saat genggaman tangan masih kosong oleh jiwa yang gersang.


Kutunggu awan turunkan hujan pembasah nurani kering tanpa rasa


Kutunggu matahari penghangat alam dalam resah dan gelisah


Kutunggu rembulan penghias hati penuh angan dan mimpi.


Kutunggu kerdip kejora saat rahina mulai menapak


Saat dia datang, kusambut dengan wangi melati dalam taman hati.


Tak ada sesal, saat sakit menghimpit menunggu jeritan nyaring sang kecil membelah alam


Tak ada sesal saat buku-buku jari membiru oleh lelah dan letih          


Siapakah aku?


Aku adalah api yang menjilat kaki langit dengan lidahku.


Aku adalah air yang mengguyur sekujur jiwa dari gelegak darah penuh amarah


Aku adalah angin yang mengelus jiwa sakit oleh rasa pedih perih.


Aku adalah ibumu,


Yang menari dengan selendang hatiku


Yang berdendang bersama kidung-kidung dari surga.


 


Surakarta, untuk 22 Desember 2022

Tuesday, November 28, 2023

Poisi sore hariku

 Hai hari soreku

apa kabarmu hari ini

udara dingin memelukku dengan manis

bunga dan dedaunan kuyup bermandikan embun 

bukankah akan kau biarkan mentari tersenyum hangat?

agar jiwakupun hangat

tubuhku hangat

langkahku juga hangat

heiiii..indahnya....

selamat sore.


----,Hujan pertama mengguyur bumiku

Menghalau kerontang pengering rerumputan

Deru angin mengoyak rasa

Membawa butiran air membasahi wajah dan tubuhku

Sejenak aku terpana

Lihat betapa aku tak berdaya

Terpaku lunglai diantara deru tanpa debu

Ya اَللَّـهُ, lindungi aku dan anak cucuku lindungi orang2 yg aku cintai saudara2 dan sahabat2ku

Aamiin

Monday, November 27, 2023

Sepenggal langkahku

 Sejengkal langkahku

sehela nafasku

sekejap pandangan mataku

adalah hidupku

yang penuh rintik2 keindahan

yang sarat kepedihan

namun sujud dan sembahku padaNya

adalah kekuatanku

sehingga kedua kakiku tegap melangkah

heiiiiiDalam rindunYa aku, burung sampaikan rinduku melalui kicaumu

Dalam sayangnya aku, angin sampaikan cintaku melalui bisik lembutmu

Agar ketika terbangun pagi ini, aku bisa mncium wangi  cinta dari taman hatiku

Selamat sore semuaaaaa.... ..selamat sore..

Friday, November 24, 2023

BUNGA UNTUK IBUKU 06

 BUNGA UNTUK IBUKU  06

(Tien Kumalasari)

 

Bu Rusmi mencubit lengan Baskoro, dengan cubitan mesra, membuat Baskoro seperti sedang melayang diudara.

“Kamu ke sini mau ngapain?” tanya bu Rusmi.

“Saya mau menyerahkan KTP pak Raharjo, tadi dompetnya ketinggalan di kantor.”

“Mengapa bukan KTP ku yang dipakai?”

“Nggak tahu saya Bu, sebentar, saya serahkan ini dulu. Soalnya sudah ditunggu.”

“Pakai ini saja. KTP aku.”

“Wah, saya nggak berani Bu, pak Raharjo menyuruh menyerahkan ini.”

“Berarti bukan milikku dong, mobilnya.”

“Mengapa ibu permasalahkan kepemilikan mobil itu, yang penting ibu bisa mengendarainya setiap saat. Kan ini mobil untuk Ibu,” kata Baskoro sambil ngeloyor masuk untuk menyerahkan KTP nya kepada petugas, kemudian segera keluar lagi.

Bu Rusmi tampak merengut. Ada rasa kecewa karena sang suami tampaknya kurang mempercayainya. Buktinya beli mobil untuk dirinya, tapi mengatas namakan dirinya sendiri.

“Ayo naik, apa Ibu mau berdiri saja di situ?”

Baskoro membuka mobil untuk Rusmi, sambil tersenyum senang. Pasti dia tidak menduga akan ketemu ibu bos di tempat itu.

“Ibu mau ke kantor bapak?”

“Tidak, aku bisa kena marah kalau ke kantornya.”

“Lalu kita mau ke mana?”

“Ayuk bersenang-senang dulu,” kata bu Rusmi enteng.

Baskoro terkejut. Bersenang-senang yang dimaksud sang ibu bos ini adalah mencari kesenangan berdua. Ada langganan hotel yang setiap saat mereka datangi. Baskoro sih senang sekali, tapi kalau dia pergi kelamaan, pasti pak bos akan marah. Bagaimana ini?

“Hei, kenapa diam? Kamu nggak suka? Sudah bosan sama aku?”

“Tidak … tidak …” Baskoro menjawab dengan cepat.

"Kenapa seperti orang bingung begitu?”

“Bagaimana kalau saya kembalinya ke kantor kelamaan?”

Bersenang-senang yang mereka maksudkan pasti memerlukan waktu ber jam-jam. Biasanya juga begitu. Baskoro senang, tapi resikonya itu ….

“Sebentar saja Bas, sekedar melepaskan kepenatan. Kamu pasti punya alasan kalau nanti bapak menanyakan tentang kepergian kamu yang lama.”

“Iya sih.”

“Kalau begitu tunggu apa lagi?”

Baskoro mengemudikan mobilnya ke tempat yang biasa mereka datangi. Baiklah, kalau hanya sebentar, pikir Baskoro sambil mereka-reka jawaban apa nanti yang akan diberikannya kalau pak Raharjo menanyakannya.

***

Di kantor sedang sibuk. Banyak barang datang, dan kepala gudang sedang tidak di tempat. Raharjo yang mengetahui hal itu segera menelpon Baskoro. Tapi tidak dijawab. Apa dia harus menunggu jadinya surat-surat mobil itu?  Raharjp pun segera menelpon ke dealer, tapi jawabnya membuat pak Raharjo kesal.

“Pak Baskoro sudah lebih dari sejam yang lalu memberikan KTP bapak.”

Pak Raharjo kesal bukan alang kepalang.

“Sudah sejam lebih dan dia belum juga kembali ke kantor? Ponselnya mati pula. Kemana dia?” gumamnya sambil berkali-kali mencoba menelpon.

Setelah dua jam lebih, Baskoro baru muncul. Wajahnya kucel, pakaiannya kusut.

Pak Raharjo menatapnya tajam, dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

“Apa yang terjadi?”

“Maaf Pak, seribu kali maaf. Tadi ban gembos, harus menunggu tukang bengkel datang, padahal jalanan sangat ramai, nyaris macet,” katanya berapi-api, tampaknya kalimat yang diucapkannya sudah tersusun sangat rapi.

“Sekarang sudah beres? Wajahmu sampai tidak karu-karuan begitu. Seperti tukang perbaikan jalan yang baru mengecor aspal.”

“Maaf Pak, saya mau membersihkan diri dulu,”katanya sambil berlalu.

“Hei, tunggu dulu.”

Baskoro berhenti di depan pintu, membalikkan badannya ke arah sang atasan.

“Tampaknya anak buah kamu kerepotan karena banyak barang datang, segera bereskan semuanya. Salah aku tadi, menyuruhmu kembali ke dealer. Hei, sebentar, mana KTP ku?”

Baskoro kembali lagi, lalu merogoh sakunya dan mengambil KTP yang tadi sudah di copy di tempat dealer.

“Ada baiknya kamu mandi. Keringatmu bau asem,” kata pak Raharjo terus terang.

“Mm … maaf Pak, harap maklum, udara sangat panas.”

“Ya sudah, sana.”

Pak Raharjo kembali menatap laptopnya, mengamati file-file yang harus diteliti semuanya. Agak kesal karena berhenti beberapa saat karena menuruti kemauan sang istri.

***

Wijan dan Nilam sudah selesai makan, dan duduk santai di samping rumah, di dekat kolam ikan dimana ikan-ikan koi berseliweran cantik dan menenangkan hati. Wijan memang sedikit merasa tenang, karena Hasti yang mengomelinya sudah pergi lagi, tidak lama setelah dirinya dan Nilam masuk ke rumah.

Bibik membawakan jus tomat yang segar kepada keduanya, diletakkan di bangku kolam itu. Dengan cepat Nilam segera meraih gelasnya dan menyedotnya dengan nikmat.

“Mas, ayo diminum dulu. Hm, segar sekali diudara yang panas begini Mas.”

Wijan tersenyum. Menaburkan pakan ikan ke dalam kolam, dan melihat ikan-ikan berebut memangsanya.

“Diminum dulu, Mas.”

“Iya, baiklah.”

Wijan berdiri, mendekati Nilam, lalu meraih gelas yang satunya, serta menghirupnya pelan.

“Enak kan? Segar kan. Kecuali itu, tomat juga buah yang sehat,” kata Nilam kemayu, merasa bahwa dirinya sangat pintar.

Wijan tertawa.

“Anak pintar,” katanya memuji, membuat Nilam sangat senang.

Wijan kembali meneguknya, tapi kemudian dia tersedak, ketika sebuah teriakan memekakkan telinganya.

“Wijan! Enak sekali kamu, duduk santai di situ!” itu suara ibu tirinya. Entah kapan dia datang, baik Wijan maupun Nilam tak mendengarnya.

Wijan masih terbatuk-batuk, dan Nilam dengan lembut menepuk-nepuk punggungnya.

“Pelan-pelan Mas.”

“Nilam! Sini !”

Nilam berdiri dan berjalan ke arah ibunya dengan wajah cemberut. Wijan mengambil gelas yang sudah kosong, dan membawanya ke dapur. Bibik menatapnya dengan iba. Hanya bersantai sambil minum, apa salahnya? Lagipula Wijan itu kan juga anak majikannya. Bahkan asli anaknya, sedangkan Hasti dan Nilam hanyalah anak yang dibawanya. Walau begitu mereka benar-benar tak tahu diri. Yang baik dari ketiga pendatang itu hanyalah Nilam. Mengapa wataknya bisa berbeda? Barangkali Nilam meniru watak bapaknya, pikir bibik.

“Kamu jangan mengajari Wijan untuk duduk bersantai. Dia itu sudah besar, harus bisa meringankan pekerjaan rumah tangga. Masa semuanya diserahkan kepada bibik? Dasar anak malas, kamu malah mendukungnya,” omel sang ibu, sementara Nilam hanya berdiam. Terhadap ibunya, Nilam tidak begitu berani menentang. Ia menundukkan wajahnya, kemudian masuk ke dalam kamar.

“Hei, dengar dulu, ibu belum selesai bicara.”

Nilam berhenti melangkah, menatap ke arah ibunya.

“Besok, kalau mobilnya sudah datang, setiap pagi ibu yang akan mengantarkan kamu sekolah.”

Nilam tertegun. Mobil siapa yang datang?

“Jangan melongo. Ibu tidak suka kamu membonceng sepeda. Nanti kulitmu jadi hitam, dan wajah serta rambutmu akan berdebu.”

“Mobil apa?”

“Oh ya, kamu belum tahu ya. Besok akan ada mobil baru. Mobil ibu. Jadi ibu tidak harus berebut mobil dengan kakakmu setiap ibu ingin bepergian,” katanya dengan senyuman. Nilam masih tidak mengerti. Ia belum juga masuk ke kamarnya.

“Ibu beli mobil?”

“Iya.”

“Untuk apa beli mobil? Kan sudah ada mobil yang dipakai mbak Hasti?”

“Ibu nggak mau berebut sama kakak kamu setiap kali mau memakai mobil. Jadi ibu beli mobil sendiri.”

“Ibu beli mobil? Ibu punya uang?”

“Uang ayahmu dong Nil, masa ibu beli sendiri, pakai uang siapa? Yang punya uang itu bapak.”

Nilam tak berkomentar. Beli mobil bukan hal yang menyenangkan baginya. Diantar pakai mobil, juga tidak membuatnya bangga. Ia lebih suka membonceng sepeda kakaknya, sambil ngobrol di sepanjang jalan. Wijan laki-laki baik yang ditindas oleh ibu dan kakaknya, itu sebabnya Nilam selalu dekat dengannya. Bukan karena merasa iba, tapi juga karena Wijan sangat baik dan lembut hati. Selalu berkata manis, tak pernah menyakiti. Bagi Nilam, Wijan adalah kakak yang luar biasa.

***

Di dalam kamat, bu Rusmi segera menelpon Hasti. Hasti yang mengira ibunya meminta segera pulang karena akan mempergunakan mobilnya, belum-belum sudah menjawab sengit.

“Ada apa sih Bu, Hasti sedang belajar bersama teman Hasti, tidak bisa kalau ibu menyuruh Hasti segera pulang. Tolong ibu naik taksi saja. Lagian mau kemana, ini sudah sore, sebentar lagi bapak pulang. Kalau bapak pulang dan ibu tidak ada di rumah, apa bapak tidak akan marah?”

“Kamu itu omong apa? Ibu belum sempat ngomong, kamu sudah nerocos seperti gendang ditabuh dari neraka.”

“Memangnya ibu mau ngomong apa? Mobil kan? Hasti sudah tahu, setiap kali menelpon, pasti tentang mobil.”

“Hei, dengar. Memang benar, ini tentang mobil. Tapi bukan ibu mau pinjam mobil kamu. Ibu sudah punya mobil sendiri.”

“Apa? Ibu punya mobil sendiri?”

“Bapak membelikannya, tapi baru datang besok. Ibu menelpon kamu, hanya untuk memberi tahu bahwa mulai besok ibu tak akan meminjam mobil kamu lagi,” kesal bu Rusmi karena sikap Hasti yang begitu mau menang sendiri.

“Benarkah?” sekarang nadanya jadi lebih rendah.

“ Mobil seperti apa Bu? Apa harganya mahal?” lanjutnya

“Nggak usah nanya, ibu nggak jadi cerita saja.”

Bu Rusmi menutup ponselnya dengan kesal, lalu membaringkan tubuhnya, memeluk guling, sambil menyebut nama Baskoro berkali-kali dengan wajah yang tak tahu malu.

***

Malam hari itu saat tidur, Bu Rusmi berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada suaminya. Ia memijit kakinya dengan lembut, meskipun rasa kantuk sudah menggayuti matanya.

“Aku senang, Bapak mau mendengarkan aku. Itu tandanya Bapak benar-benar mencintai aku. Aku bahagia sekali.”

“Kamu itu sudah mengantuk, tidak usah memaksakan diri untuk menunjukkan rasa terima kasih kamu. Tidurlah.”

“Iya, tapi kalau belum memijit kaki Bapak, rasanya belum puas. Kalaupun Bapak menginginkan lebih, aku juga siap kok.”

“Kamu itu ngomong apa. Mata kamu sudah kelihatan redup, pijitan kamu juga tidak terasa, kadang berhenti, kadang mulai lagi. Yang kamu katakan siap itu apa?”

Bu Rusmi mencoba tersenyum manis, tapi sesungguhnya memang dia hanya berbasa basi. Setelah bergaul dengan Baskoro, menikmati kesenangan bersama Baskoro, keinginannya untuk melayani sang suami sudah pudar. Kalaupun ia melakukannya, maka apa yang dilakukan tampak sangat terpaksa. Beruntung bahwa pak Raharjo tidak terlalu memikirkan hubungan yang khusus dengan istri. barangkali karena capek bekerja, atau karena tiba-tiba minat itu berkurang entah karena apa. Dan itulah kesalahannya. Pertemuan sang istri dengan Baskoro serasa menghidupkan kembali nyala yang hampir padam di jiwa bu Rusmi. Ia sekarang seperti kelinci terlepas dari kandangnya.

***

Pagi hari itu Nilam kembali merengek minta kesekolah dengan membonceng Wijan. Wijan sudah ikut membujuknya agar naik mobil bersama kakaknya saja, tapi Nilam tidak mau mendengarkan. Ia sudah merasa nyaman di boncengan kakaknya, terlebih dia masih kesal pada sikap kakak perempuannya yang dianggapnya jahat dan semena-mena.

Hasti segera berangkat pergi tanpa mau memaksa lagi agar adiknya mau ikut bersamanya. Ia ingin marah, tapi sungkan karena ada ayahnya, yang mendukung keinginan sang adik.

“Kamu benar-benar lebih suka membonceng kakakmu, Nilam?” tanya sang ayah.

“Iya Pak, setiap hari Nilam mau membonceng mas Wijan saja.”

“Nanti kalau mobil ibu sudah ada, kamu diantar ibu ya,” kata bu Rusmi dengan wajah berseri.

“Nggak mau, aku membonceng mas Wijan saja. Ayo Mas, kita berangkat,” kata Nilam yang segera mendekati sepeda Wijan.

Keduanya mencium tangan ayah dan ibunya, dan Bu Rusmi menjawab Wijan dengan manis, bahkan sambil mengelus kepalanya lembut.

“Hati-hati, Wijan, jalanan ramai kalau saatnya orang berangkat ke sekolah.”

Wijan hanya mengangguk. Ucapan palsu itu sudah sering didengarnya. Ia segera berangkat, memboncengkan Nilam dibelakangnya, yang kemudian sebelum menghilang di balik gerbang, Nilam menoleh sambil melambaikan tangan.

“Nilam sangat menyayangi kakaknya,” gumam pak Raharjo sambil menghirup sisa kopinya di atas meja.

“Keduanya saling menyayangi. Wijan anak yang sangat baik dan rajin,” kata palsu bu Rusmi dikumandangkan lagi.

“Tapi kamu harus melarang Wijan terlalu bekerja keras. Sudah saatnya kenaikan kelas, pasti ia harus menekuni pelajaran sekolahnya.”

“Tentu saja Pak, ibu setiap hari mengingatkan dia kok.”

“Syukurlah. Aku senang mandapat istri yang bisa mencintai anakku seperti anak kandungnya sendiri.

“Mengapa tidak? Wijan anak baik, ibu sangat menyayanginya.” Bibik mencibir sambil berlalu, setelah mengambil gelas dan cangkir kosong dari atas meja.

“Oh ya, jam berapa mobilnya di kirim?”

“Kalau sudah selesai, pasti segera dikirim, tidak usah terburu-buru,” kata pak Raharjo sambil meraih tas kerjanya, bersiap berjalan ke arah mobilnya.

Bu Rusmi mengantarkannya, mencium tangannya sebelum sang suami masuk ke dalam mobil.

Tapi begitu mobil suaminya lenyap dari pandangan, ditelponnya Baskoro.

***

Besok lagi ya,

 

 

Thursday, November 23, 2023

BUNGA UNTUK IBUKU 05

 BUNGA UNTUK IBUKU  05

(Tien Kumalasari)

 

Pak Raharjo menatap bawahannya, yang sedang mengamati mobil berwarna hijau lumut itu, dan rasa curiga mulai merayapinya.

“Ini bagus Pak, warnanya menumbuhkan rasa teduh.”

“Ini warna kesukaan istriku? Dari mana kamu tahu bahwa istriku menyukai warna seperti ini?”

“Lho, Pak … Bapak harus tahu bahwa wanita suka warna yang adem-adem seperti ini. Bener lho Pak.”

“Dari mana kamu tahu?”

“Soalnya istri saya juga suka warna hijau lumut. Jadi saya kira istri Bapak pun pasti juga suka. Sama-sama wanita, masa berbeda Pak,” jawab Baskoro yang sebenarnya bingung untuk menjawabnya, karena tadi ia terpeleset mengatakan warna yang disukai bu Rusmi.

“O, jadi karena istri kamu suka warna hijau lumut, lalu istriku juga pasti suka warna itu, begitu kah?”

“Memangnya tidak, Pak?” Baskoro pura-pura bodoh.

Diam-diam pak Raharjo merasa lega, karena ternyata dugaannya salah. Dia mengira Baskoro lebih mengenal istrinya, tidak hanya sekedar istri atasannya, tapi lebih dekat lagi.

“Namanya manusia itu, walau sama-sama perempuan, pasti kesukaan warnanya juga berbeda. Masak semua perempuan suka warna hijau lumut?”

“Enggak ya Pak?” Baskoro malah kelihatan cengengesan.

“Ya enggak. Ngawur, kamu itu.”

“Tapi ini warnanya bagus lho Pak. Hijau lumut.”

“Itu karena kamu membayangkan warna kesukaan istri kamu.”

Baskoro tertawa keras. Tapi sesungguhnya ia sudah tahu warna yang diinginkan bu Rusmi, yang sudah beberapa hari ini dekat dengan dirinya. Baskoro teringat, ketika dia sedang keluar makan, lalu melihat bu Rusmi juga sedang makan bersama teman-temannya. Baskoro menyapanya dengan ramah, sambil mengagumi kecantikan istri bos yang tidak kelihatan tua karena tampaknya wajah dan tubuhnya dirawat dengan sangat baik.

“Selamat siang Bu.”

“Eh, ini kan Baskoro? Kamu lagi makan juga?”

“Sudah selesai Bu.”

Bu Rusmi menatap Baskoro tak berkedip. Bawahan suaminya yang bernama Baskoro itu tampak sangat gagah, dengan berewok tipis di wajahnya, dengan mata tajamnya, dan tubuh gempalnya yang menurutnya sangat menawan. Diam-diam bu Rusmi membayangkan suaminya sendiri, yang sudah setengah tua, dan terlalu sibuk bekerja, sehingga terkadang membuatnya kesal karena setiap kali ia menemaninya tidur, sang suami lebih suka tidur terlebih dulu, dan susah dibangunkan. Alangkah menyenangkan punya suami seperti Baskoro.

“Bu, saya pamit dulu, mau balik ke kantor.”

“Oh ya, sebentar, aku juga mau pulang. Bareng saja yuk,” kata bu Rusmi sambil pamit kepada teman-temannya, dan langsung mengajak Baskoro keluar bersama-sama dari rumah makan itu.

“Tapi …  ini, Bu … saya hanya naik sepeda motor.”

“Kamu tidak punya mobil?”

“Ya ampun Bu, saya kan hanya bawahan pak Raharjo, mana bisa punya mobil?”

“Nggak apa-apa deh, sekali-sekali bonceng sepeda motor.”

“Bener, Bu? Ibu mau membonceng sepeda motor saya?”

“Iya, gimana sih kamu? Mana sepeda motornya?”

“Itu, akan saya ambil dulu, ibu menunggu di sini ya?”

Dan sejak hari itu, mereka sering bepergian berdua. Ketemuan saat makan siang, dan bahkan bepergian seharian saat pak Raharjo sedang ke luar kota.

“Hijau lumut?”

Baskoro terkejut, itu suara pak Raharjo yang sedang bertelpon dengan istrinya. Rupanya pak Raharjo bertanya kepada sang istri, tentang pilihan warna mobil. Dan kebetulan mobil dengan merk yang dipilihnya, adanya hanya warna abu-abu silver dan hijau lumut.

“Nggak usah, ngapain ke sini? Aku sudah mau balik ke kantor,” kata pak Raharjo sambil menutup ponselnya.

“Ya sudah, bilang pada petugasnya, aku pilih yang hijau lumut," katanya kemudian kepada Baskoro.

Baskoro hampir bersorak girang, karena ternyata pak Raharjo menuruti keinginan istrinya dengan memilih warna hijau lumut.

Hari itu juga transaksi pembelian mobil sudah selesai. Mobil itu atas nama Raharjo, bukan istrinya. Baskoro agak kecewa, tapi lumayanlah. Dengan demikian dia bisa naik mobil setiap kali berkencan dengan ibu bosnya.

***

Hari itu Nilam juga tidak mau dijemput kakaknya. Begitu keluar dari kelas, dia langsung pulang berjalan kaki bersama teman-temannya yang rumahnya dekat, sehingga tidak usah menunggu jemputan.

Nilam berharap bisa bertemu Wijan, karena pagi tadi ketika membonceng, dia sudah berpesan kalau pulangnya juga mau bersama Wijan.

Dan benar saja, begitu sampai di sekolah Wijan yang memang tak jauh dari sekolahnya sendiri, dia melihat Wijan menuntun sepedanya keluar dari halaman.

“Mas Wijan!” teriak Nilam girang.

“Beneran, kamu mau membonceng sepeda lagi?”

“Iya. Kan tadi aku sudah bilang?”

“Apa mbak Hasti tidak menjemput?”

“Nggak tahu, aku lagi kesel sama dia. Kalaupun dijemput aku nggak mau ikut,” sungutnya.

“Eh, nggak baik marahan sama saudara sendiri.”

“Biar saja. Aku nggak suka mbak Hasti. Dia jahat sama mas Wijan.”

“Kata siapa mbak Hasti jahat sama aku? Nggak kok,” Wijan yang baik selalu berusaha menutupi keburukan orang lain, apalagi dia adalah kakak tirinya.

“Iih, Mas Wijan nih, dijahatin kok nggak ngerasa. Ayo kita pulang,” kata Nilam yang langsung bersiap naik ke boncengan.

“Baiklah, pegangan ya, yang kenceng.”

“Jangan ngebut.”

Wijan terkekeh. Adik tirinya ini sangat menggemaskan. Tapi Wijan senang, karena Nilam selalu menyayanginya. Berbeda dengan kakaknya yang sangat membencinya. Wijan sendiri tak tahu, kenapa Hasti, apalagi ibunya, sangat membencinya.  Padahal dia selalu bersikap baik pada mereka.

“Mas, kamu lapar nggak?” tiba-tiba Nilam bertanya, saat Wijan sedang mengayuh sepedanya pelan.

“Nggak tuh. Apa kamu lapar?”

“Lapar.”

“Kamu tadi dibawain bekal kan?”

“Aku lupa memakannya.”

“Ya sudah, kita berhenti dulu, kamu makan bekalmu ya, kita cari tempat  yang teduh.”

“Nggak asyik, ayo makan di warung.”

“Apa? Kita sebentar lagi sampai rumah, kenapa makan di warung?”

“Aku pengin ….”

“Nggak mau, nanti ibu marah kalau kita pulang terlambat.”

“Sebentar saja. Di depan situ kan ada warung soto.”

“Kenapa beli soto? Bibik sudah sering masak soto.”

“Di situ ada es cincau, enak deh. Aku pengin cincaunya.”

“Kalau begitu beli es cincau saja, kita minum di rumah.”

“Nggak mau nanti ibu marah. Minum di situ saja.”

“Hanya minum ya, habis itu pulang.”

Karena terus merengek, Wijan menghentikan sepedanya di depan warung itu. Nilam segera berlari masuk, dan langsung memesan dua gelas es cincau. Wijan hanya geleng-geleng kepala.

“Minum cepat, dan segera pulang,” kata Wijan sambil mengeluarkan dompet kecil dari dalam sakunya.

“Eh, biar aku yang bayar. Aku juga punya uang kok.”

“Biar aku saja, sudah, jangan cerewet,” kesal Wijan.

“Cepat minumnya,” Wijan mengingatkannya lagi.

“Tersedak dong. Kan makan sama minum itu tidak boleh tergesa-gesa,” jawab Nilam enteng. Tapi bagi Wijan, apa yang mereka lakukan itu akan mengundang kemarahan ibu tirinya. Pulang terlambat, bonceng sepeda pula.

“Jangan marah dong Mas, sedang aku habiskan nih.”

“Nggak, siapa yang marah.”

“Itu, Mas Wijan cemberut.”

“Mas Wijan hanya takut kalau ibu marah.”

“Ibu nggak akan tahu. Bukankah setiap hari ibu bepergian? Pulangnya sore?”

Wijan segera teringat laki-laki brewok yang memasuki rumah makan bersama ibu tirinya. Agak risih membayangkan bagaimana sang ibu tiri bergelayut di lengan laki-laki itu.

“Mas, aku sudah selesai. Mas malah belum,” seru Nilam membuyarkan lamunannya.

Wijan terkejut, ia melamun terlalu lama. Segera diteguknya es di gelasnya, sampai habis, karena sesungguhnya dia juga haus.

Wijan membayar dua gelas es yang mereka minum, kemudian kembali mengayuh sepedanya, pulang.

“Mas punya uang banyak?” tanya Nilam dalam perjalanan pulang.

“Tidak banyak, ini uang dari bapak setiap hari. Mas nggak pernah jajan.”

“Oh, kalau begitu Nilam juga akan menabung uang jajan yang diberikan ibu. Biasanya, di sekolah Nilam juga beli es sirup, atau es krim di warung sebelah sekolah.

“Jangan suka jajan es sembarangan. Terkadang gulanya bukan gula asli. Itu menyebabkan batuk.”

 “Masa?”

“Kalau dikasih tahu orang tua tuh harus menurut. Karena orang tua kalau memberi tahu, pasti ada alasannya. Jangan begini, nanti apa … jangan begitu … nanti apa … dan seterusnya.”

Nilam terkekeh geli.

“Dikasih tahu kok malah tertawa sih?”

“Mas tahu nggak, kalau Mas ngomong begitu, Mas tuh benar-benar seperti orang tua deh.”

“Memang sih, Mas ini sudah tua. Kamu pikir masih anak-anak seperti kamu?”

“Tuh kan, pasti ngatain Nilam kayak anak kecil. Nilam kan sudah hampir lulus, lalu SMA, sama dengan Mas dong.”

“Kalau kamu SMA, mas juga sudah hampir lulus. Kecuali kalau Mas tinggal kelas. Tapi jangan ah. Masa tinggal kelas, menua di sekolah dong.”

Mengayuh sambil omong-omong, Wijan merasa bahwa inilah hidup yang menyenangkan. Bisa bicara bebas, tertawa bebas, menghirup udara bebas, bersama adik yang menyayanginya pula. Tapi mata Wijan menjadi redup seketika, ketika sepeda yang dikayuhnya sudah memasuki halaman. Apalagi ketika ia melihat mobil Hasti sudah diparkir di halaman.

Dan benar saja, suasana gelap segera menerpa, ketika sebuah semprotan tajam mengguyurnya sampai kuyup.

“Apa maksudmu menjemput Nilam ke sekolah? Apa kamu bangga sudah memiliki sepeda butut yang menjijikkan itu?” Hasti menatap keduanya dengan tatapan mata bengis seperti iblis. Nilam maju ke depan, menatap kakaknya dengan berani.

“Heh, orang jahat. Bukan mas Wijan yang menjemput aku, tapi aku yang menjemput ke sekolahnya.”

“Apa maksudmu menjemput dia? Kamu datang ke sekolah Wijan, gitu?”

“Ya, dan jangan menyalahkan mas Wijan karena dia memang tidak bersalah.”

“Anak kecil kurangajar kamu ya. Kamu sudah mulai berani pada kakak kamu sendiri? Siapa yang mengajari? Dia?”

“Menentang orang jahat tidak perlu belajar.”

“Hei, kamu membuat aku kecewa karena setelah menjemput ternyata kamu tidak ada lagi di sana! Itu sebabnya aku marah.”

“Mulai sekarang jangan mengantar dan jangan menjemput aku lagi. Aku nggak mau,” sentaknya sambil berlalu ke belakang.

Wijan menuntun sepedanya, ketika melewati Hasti, dia meminta maaf.

“Maaf, Mbak. Saya salah karena menuruti kemauan Nilam.”

“Huhh!”

Bukannya menjawab, Hasti malah membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam rumah. Kesal hatinya karena adik satu-satunya berani menentangnya.

Wijan mengangkat bahu, lalu melanjutkan menuntun sepedanya ke garasi belakang. Beruntung bu Rusmi tak ada di rumah, karena kalau ada, pasti keributan akan semakin membahana.

***

Rusmi sedang memasuki dealer mobil, dimana sang suami mengatakan bahwa sudah melakukan transaksi pembelian satu unit mobil. Rupanya Rusmi tak tahan lagi untuk bersabar menunggu di rumah, ingin segera bisa melihat mobil yang dibeli untuk dirinya.

Begitu memasuki ruangan dealer, seorang pramuniaga langsung menyambutnya dengan ramah.

“Ibu, selamat datang.”

“Saya ibu Raharjo. Benarkah suami saya tadi membeli mobil di tempat ini?”

“Oh, pak Raharjo. Benar Ibu, tapi  mobilnya baru dipersiapkan, bersama surat-suratnya. Barangkali besok baru bisa saya kirim ke rumah. Pak Raharjo sudah setuju.”

“Mengapa besok, dan tidak sekarang saja?”

“Tidak bisa Bu, harus menunggu surat-suratnya juga.”

“Hm. Mana mobilnya sih?”

Pramuniaga segera menunjukkan mobil yang dipilih pak Raharjo. Bu Rusmi mendekatinya dengan senyuman lebar. Memang bukan mobil mewah yang sangat mahal, tapi lumayan bagus. Mungil tapi manis. Cukup menyenangkan kalau dipergunakan untuk jalan-jalan. Bersama … Baskoro tentunya. Senyuman bu Rusmi melebar. Kedekatannya dengan Baskoro membuat hidupnya lebih penuh warna. Gaya seorang ibu kalau berada di rumah, berubah menjadi gaya gadis belasan tahun kalau sedang bersama Baskoro. Baskoro bukan laki-laki kaya, tapi dia sangat menyenangkan. Bukan hanya fisiknya, tapi permainannya dikala bercinta, tak ada yang mengalahkannya. Rusmi sadar dia salah, tapi bukankah dosa itu nikmat?

Ketika Rusmi beranjak pulang dengan mencoba bersabar sampai keesokan harinya, di tengah pintu dia bertemu Baskoro. Ia baru saja turun dari mobil. Mobil suaminya. Rusmi sudah berdebar dan ketakutan, kalau sampai suaminya masih menunggu di dalam mobil.

Senyumnya merekah.

“Ibu mencari siapa?” tanya Baskoro sambil memegang tangannya.

Rusmi gemetar. Baru tangannya dipegang, dia sudah merasa gemetar. Aliran darahnya bergerak bagai kilat, ketika Baskoro semakin meremasnya. Pandangannya itu lhoh. Rusmi benar-benar jatuh hati.

“Aku kira sama bapak.”

“Ada, bapak di dalam mobil.”

Rusmi segera melepaskan genggaman Baskoro, dan wajahnya berubah pucat. Sementara Baskoro tertawa terbahak melihat nyonya cantik yang membuatnya terlena itu panik dan ketakutan. Mana mungkin sih, kalau ada pak bos dia berani pegang-pegang tangan istrinya?

***

Besok lagi ya.

Wednesday, November 22, 2023

BUNGA UNTUK IBUKU 04

 BUNGA UNTUK IBUKU  04

(Tien Kumalasari)

 

Pak Raharjo tertegun. Memang benar, itu adalah suara istrinya, bukan? Masa dia tak mengenali suara istrinya sendiri. Tapi bagaimanapun dia tak begitu yakin. Masa istrinya sedang bersama Baskoro dan bicara seakrab itu?

“Apakah Bapak menginginkan sesuatu?” tanya Baskoro ketika untuk beberapa saat lamanya sang atasan itu diam saja.”

“Oh, iya … tentu saja, aku sedang memikirkan untuk menanyakan sesuatu tentang pekerjaan, yang seharusnya aku tanyakan dari tadi saat jam kantor.”

“Mohon maaf Pak, saya tidak ketemu Bapak sejak siang, karena_”

“Karena istri kamu sakit?”

“Iya benar Pak, karena itulah saya harus meninggalkan kantor, agak lama.”

“Yang tadi ngomong tadi siapa?”

“Yang mana Pak?”

“Yang tadi, terdengar oleh saya, suara perempuan, seperti sedang memilih sesuatu.”

“Oh, itu istri saya Pak?”

“Bukankah istri kamu sedang sakit? Suaranya begitu segar, seperti baik-baik saja.”

“Ini Pak, tadi sudah saya bawa ke dokter, dan sekarang sudah baik. Jadi besok saya bisa bekerja dengan tanpa hambatan.”

Pak Raharjo bicara agak lama, tentang pekerjaan dan kondisi cabang yang baru dibukanya. Beberapa saat ketika masih bicara itu, istrinya masuk ke dalam rumah.

“Bapak, maaf aku terlambat pulang,” katanya dengan sikap manis, lalu duduk menggelendot di samping suaminya. Pak Raharjo mendorong tubuhnya karena ia masih bicara.

“Ya sudah Bas, besok ketemu di kantor, dan bicara lebih banyak.”

“Baik Pak, besok akan saya laporkan semuanya.”

“Bapak bicara sama siapa? Kelihatannya asyik.”

“Bicara soal pekerjaan, tentu saja dengan orang kantor. Aku menelpon dia sejak siang, tapi dia tidak ada di tempat, katanya istrinya sakit.”

“Siapa Pak?”

“Baskoro.”

“Oh, istrinya sakit apa? Kasihan.”

“Katanya sekarang sudah baikan. Kamu dari mana?”

“Ya ampun Pak, arisan, yang menerima bu Mukti, rumahnya jauh di luar kota, mana jalanan macet pula. Jadi deh, sampai di rumah saat Bapak sudah pulang. Sudah lama Bapak sampai di rumah?”

“Lumayan, sempat mandi juga.”

“Ya ampuun, maaf ya Pak,” katanya sambil mencium tangan suaminya, tentu dengan sikap yang sangat manis.

“Sudah sana, mandi juga, tubuhmu bau keringat,, nggak enak banget,” kata pak Raharjo dengan wajah muram. Bagaimanapun ia kesal, istrinya pergi seharian, dan belum ada di rumah saat dia sudah sampai di rumah.

Ketika masuk ke kamarnya, didengarnya Rusmi berteriak.

“Hasti juga belum pulang?”

“Belum Bu,” terdengar jawaban bibik dari dapur.

***

Wijan sedang menyirami tanaman, ketika tiba-tiba Nilam mendekat, sambil membawa sepiring kecil pisang goreng. Ada empat biji di atasnya, lalu diletakkannya di bangku yang ada di bawah pohon belimbing.

“Mas Wijaaan ….”

Wijan menoleh, lalu melihat Nilam mengacungkan piring kecil itu ke arahnya.

“Pisang goreng, masih anget. Ayo, makan dulu, sini,” teriaknya riang.

“Nanti saja, tanganku kotor.”

“Cuci sebentar kenapa, kan ada kran air di situ?” Nilam memaksa.

“Sebentar lagi.”

“Maaas, keburu dingin, nggak enak.”

Wijan terpaksa mendekat, soalnya Nilam sudah berteriak-teriak. Ia mencuci tangannya, lalu duduk di dekat Nilam.

“Ini, cepat dimakan, kalau dingin nggak enak.”

“Nggak ada bedanya,” sahut Wijan sambil mencomot sepotong.

“Beda dong, enakan kalau panas begini.”

“Wijan tak menjawab, asyik mengunyah pisang kepok goreng buatan bibik. Bagi Wijan, makanan seperti tidak ada bedanya, yang dingin atau yang panas, sama saja. Yang penting adalah suasana hati. Kalau hati senang, makanan yang bagaimanapun pasti enak. Tapi kalau hati sedang kusut, makanan enakpun terasa sekam. Pisang goreng ditangan Wijan tinggal satu gigitan. Ia akan menghabiskannya setelah mengunyah dan menelan gigitan sebelumnya, ketika tiba-tiba terdengar bentakan. Tidak begitu keras, tapi serasa tersayat mendengarnya.

“Hm, enak ya. Saat bekerja, enak-enak makan di bawah pohon, seperti tuan besar saja,” itu kata Hasti yang baru pulang, dan memasukkan mobilnya ke garasi, lalu langsung ke arah belakang rumah. Kesal hatinya melihat sang adik sedang bercengkerama bersama Wijan sambil makan pisang goreng.

Wijan segera berdiri, tak mempedulikan sepotong pisangnya yang terjatuh. Ia menghampiri selang, dan kembali melanjutkan menyiram tanaman.

“Mbak Hasti jahat!” pekik Nilam mendengar kata-kata kakaknya, yang kemudian tanpa malu mengambil sisa pisang yang masih ada di piring.

“Ini saatnya Wijan bekerja, bukan duduk santai seperti juragan,” katanya sambil berlalu. Nilam membanting-banting kakinya dengan marah.

“Orang jahat!! Aku benci orang jahat!!” teriaknya.

Hasti berhenti melangkah, menoleh ke arah adiknya.

“Apa kamu bilang? Kamu benci orang jahat? Setiap pagi kamu berangkat sekolah, siapa yang mengantar, siapa pula yang menjemput? Ayo bilang benci, bilang!”

“Aku benci!!”

“Awas kamu, besok berangkat sendiri, jangan harap aku mau mengantar, apalagi menjemput kamu!”

“Aku bilang sama bapak!!” Nilam tak mau kalah.

“Apa? Bapak?” Hasti masuk ke rumah sambil mencibir. Tampaknya dengan mendengar nama ‘bapak’, Hasti tak perlu takut. Hasti lupa bahwa semua yang dinikmatinya adalah pemberian ayah tirinya. Ayah Wijan yang ditindasnya.

“Mas Wijaaan, aku ambilkan lagi ke dapur ya,” kata Nilam sambil berlari ke dapur.

“Tidak usah Nilam, yang tadi sudah cukup,” teriak Wijan, tapi Nilam sudah memasuki dapur, melihat bibik masih menggoreng pisang.

“Bibik, aku mau lagi dong. Buat aku, sama mas Wijan.”

“Mbak Nilam, nanti makan pisang di ruang tengah saja, sama ibu, sama bapak. Mas Wijan biar bibik yang menyiapkannya di meja dapur,” kata bibik yang sudah tahu peristiwa pisang direbut Hasti yang baru saja terjadi. Dapur itu kan dekat kebun. Ia melihat semuanya dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Aku mau makan pisangnya sama mas Wijan,” Nilam masih ngeyel.

“Kalau sekarang mbak Nilam membawa lagi pisang goreng ke kebun, nanti mas Wijan kena marah. Biar nanti setelah mandi mas Wijan makan di meja dapur. Itu lebih aman.”

“Kalau begitu siapkan untuk aku juga di meja dapur.”

“Nanti mbak Nilam kena marah.”

“Biar saja, masa makan pisang dimarahin. Aku mau mandi dulu, sepertinya mas Wijan juga hampir selesai,” kata Nilam sambil beranjak ke kamarnya.

Bibik tersenyum tipis. Bibik tahu, Nilam sangat menyukai kakak tirinya, dan selalu membelanya setiap kali Wijan dibentak-bentak.

Tak lama kemudian Wijan sudah selesai membersihkan kebun. Ia beranjak ke kamar, tapi bertemu pak Raharjo yang baru keluar dari kamarnya.

“Kamu dari mana?”

“Mas Wijan dari menyiram tanaman dan membersihkan kebun, Pak,” Nilam lah yang menjawab, saat dia juga mau masuk ke kamarnya.

“Mengapa kamu? Bukan bibik saja yang mengerjakannya?”

“Yang menyuruh-” Nilam ingin menjawab, tapi Wijan memotongnya.

“Wijan suka kebun, suka bunga-bunga. Itu sebabnya Wijan yang memelihara semua tanaman itu,” jawab Wijan.

“Apa kamu tidak capek? Pulang dari sekolah yang lumayan jauh, bersepeda pula, harusnya beristirahat saja.”

“Tidak Pak, kan Wijan sudah bilang bahwa Wijan menyukainya,” kata Wijan sambil melanjutkan langkahnya.

Pak Raharjo tersenyum. Mana tahu bahwa apa yang dilakukan Wijan adalah perintah dari sang istri yang sangat membenci Wijan. Beruntung, Wijan adalah anak muda yang baik, dan selalu menjaga ketenangan di dalam rumah, sehingga dia tak pernah mengadu kepada sang ayah tentang perilaku ibu dan kakak tirinya.

***

 Pagi itu wajah Nilam cemberut. Sang kakak yang marah sejak sore harinya, tak peduli padanya. Ia sudah mengatakan tak akan mau mengantarkannya ke sekolah. Nilam diam saja. Ia juga tak akan mengadu pada ayahnya kalau kakaknya tak mau mengantar. Tapi pak Raharjo heran, ketika Hasti sudah siap di depan, Nilam masih enak-enak memakai sepatunya, itupun tidak tampak tergesa-gesa.

“Nilam, kamu kok enak-enak begitu, itu kakakmu sudah menunggu,” tegur ibunya.

“Nilam nggak bareng sama mbak Hasti.”

“Apa? Lalu kamu mau naik apa? Kalau bareng bapak, nanti kesiangan.”

“Nilam mau mbonceng mas Wijan.”

“Apa?” bu Rusmi sampai berteriak karena kaget. Masa gadis kecilnya mau sekolah diboncengin sepeda?

“Tidak boleh Nilam. Cepetan, itu ditunggu kakakmu,” hardik sang ibu, tapi Nilam bergeming.

“Mas Wijaaaan, boncengin aku mas Wijan, boleh kan?” teriaknya kepada Wijan, yang baru keluar dari dapur, tapi sudah menggendong tas sekolahnya. Rupanya bibik memberikan lagi bekal untuk momongan kesayangannya.

“Tidak boleh!” bentak ibunya lagi.

“Ada apa, pagi-pagi sudah teriak-teriak?” pak Raharjo yang masih duduk di ruang tengah kaget mendengar teriakan istrinya.

“Itu, Nilam nggak mau bareng kakaknya.”

“Kenapa Nilam?”

“Nggak mau Pak, mbak Hasti jahat. Nilam mau bareng mas Wijan saja.”

“Kalau bareng mas Wijan itu nanti kepanasan lho, nggak biasa kan kamu bonceng sepeda?”

“Nggak apa-apa Pak, ayo Mas, boncengin aku,” kata Nilam yang sudah menyiapkan tas sekolahnya, lalu mengikuti Wijan keluar.

“Nilam!!”

“Ya sudah, anaknya mau bonceng kakaknya, kenapa kamu berteriak-teriak?”

Bu Rusmi menyurutkan rasa marahnya. Ia lupa bahwa suaminya ada. Hampir saja dia menghardik Wijan yang disangkanya membujuk Nilam agar ikut bersamanya.

Nilam mencium tangan ibunya dengan merengut, kemudian mencium tangan ayahnya.

“Hati-hati Wijan,” pesan sang ayah kepada Wijan, ketika Nilam sudah duduk di boncengan. Sebenarnya Wijan tak mau, tapi karena ada sang ayah yang mendukungnya, jadi dengan suka cita dia memboncengkan adiknya.

“Bagaimana kalau dia sakit? Kan tidak biasa panas-panas begitu,” gerutu bu Rusmi yang sebenarnya tak rela anak gadisnya membonceng sepeda. Di halaman, dilihatnya Hasti sudah keluar dari halaman dengan mobilnya.

“Bapak berangkat siang?”

“Hari ini tidak keluar kota, ada urusan di kantor.”

Bu Rusmi teringat keinginannya memiliki mobil. Ia duduk di dekat suaminya, dan menggelendot manja. Pak Raharjo masih asik mengutak atik ponselnya.

“Bapak …. “ rengeknya merayu.

“Hm …”

“Bagaimana tentang pembicaraan kemarin?”

“Pembicaraan apa?”

“Itu, ibu kan minta mobil.”

“Apa itu sangat perlu?”

“Perlu dong Pak. Kalau ibu bawa mobil sendiri, kalau bepergian tidak usah tergantung taksi. Hasti sudah lebih padat acaranya.”

“Acara main?”

“Acara di kampusnya. Dia sedang belajar lebih keras, supaya segera selesai, ibu tak mau mengganggu. Nggak apa-apa kan Pak, ibu janji nggak akan pergi kalau tidak sangat perlu.”

“Buktinya ibu tiap hari pergi.”

“Ibu banyak kegiatan juga Pak. Ibu nggak mau menjadi tua tanpa melihat dunia luar. Ada teman-teman ibu yang banyak melakukan kegiatan sosial juga, dan ibu sungkan kalau setiap kali harus menumpang. Pulang dan pergi tergantung orang lain, kan nggak enak.”

Pak Raharjo masih mengutak atik ponselnya.

“Bagaimana Pak?” kali ini bu Rusmi mengelus punggungnya, dadanya, sambil mengulaskan senyum menawan.

“Ya sudah, nanti bapak lihat dulu mobil di tempat langganan bapak.”

“Ibu ikut ya.”

“Kenapa harus ikut? Yang penting ada mobil kan?”

“Barangkali ibu bisa memilih warna, atau modelnya.”

“Bukan mobil yang mahal-mahal. Yang penting bisa digunakan.”

“Jangan yang murahan dong Pak.”

Pak Raharjo diam. Ia meletakkan ponselnya ke dalam tas kerja yang sudah disiapkannya. Tak tahan mendengar rengekan istrinya, sesampainya di kantor, setelah menyelesaikan berkas-berkas yang harus ditanda tanganinya, ia segera memanggil Baskoro.

Baskoro memang kepala gudang, tapi dia adalah orang kepercayaan pak Raharjo, karena dia selalu bisa menjalankan tugas yang diberikan dengan baik.

“Ya Pak,” katanya setelah Baskoro masuk ke dalam ruangannya.

“Antarkan aku,” katanya sambil berdiri.

“Ke mana? Apa Bapak ada janji?”

“Ke dealer mobil.”

“Haa, Bapak ingin membeli mobil baru?”

“Bukan untuk aku. Untuk istriku.”

“Waah, bukan main. Ternyata Bapak sangat menyayangi istri Bapak.”

“Bukan karena sayang. Merengek-rengek terus seperti anak kecil,” gerutunya sambil menyerahkan kunci mobil, dan meminta Baskoro mengemudikannya.

Baskoro tersenyum lebar. Entah mengapa, dia merasa senang mengantarkan sang bos ke dealer mobil.

Mereka memilih-milih. Tapi memang pak Raharjo tidak ingin beli yang mahal. Yang penting pantas digunakan.

“Apa ibu Raharjo pasti senang dengan pilihan Bapak?”

“Yang penting bagus. Aku suka warna silver ini.”

“Sepertinya ibu suka yang hijau. Hijau lumut.”

“Hijau?” tiba-tiba pak Raharjo teringat kata-kata ‘hijau’ yang dia dengar dari seorang perempuan, ketika dirinya sedang bertelpon dengan Baskoro.

Entah mengapa, perasaan pak Raharjo tiba-tiba menjadi tidak nyaman. Bagaimana Baskoro tahu kalau istrinya suka warna hijau?

***

Besok lagi ya.

 

 

Tuesday, November 21, 2023

BUNGA UNTUK IBUKU 03

 BUNGA UNTUK IBUKU  03

(Tien Kumalasari)

 

Wijan menarik tubuhnya agak ke belakang, supaya seandainya bu Rusmi menoleh, tak akan melihat dirinya. Kecuali itu ia juga bisa mengawasi apa yang mereka lakukan. Ada perasaan tak enak di hati Wijan. Kenapa ibu tirinya bisa bergayut lekat di lengan orang yang bukan suaminya. Saudara kandungnya kah? Tidak, setahunya, dia tak punya saudara kandung, dan itu sikapnya sangat berlebihan dan terus terang Wijan menjadi muak.

Lalu dilihatnya mereka memasuki sebuah rumah makan, sambil tak melepaskan dirinya antara satu dan lainnya. Seperti sepasang kekasih yang baru dimabuk cinta, pikir Wijan yang sama sekali belum pernah jatuh cinta.

Wijan mengangkat bahunya, lalu tiba-tiba petugas bengkel sudah selesai merakit kembali sepedanya setelah kedua ban nya dilepas.

“Sudah selesai mas.”

“Oh, baiklah, terima kasih," jawab Wijan sambil mengamati sepedanya, dengan ban yang baru dan juga standart yang baru pula.

“Nanti kalau ada yang dirasa kurang pas, Mas bisa kembali lagi ke sini.”

Wijan tersenyum dan mengangguk. Dia meletakkan tas sekolahnya di keranjang yang ada di depan sepedanya, kemudian menaikinya dan membawanya pulang. Rasanya lebih nyaman. Barangkali petugas bengkel juga sekalian menservis sepedanya, dengan memberi minyak agar jalannya lebih ringan.

Wijan memasuki halaman rumah, dan melihat Nilam duduk sendirian di teras. Nilam langsung berlari mendekati begitu melihat Wijan.

“Ada yang baru nih?” pekik Nilam sambil mengamati sepeda kakaknya.

“Iya, Nilam, ban nya yang baru, dan standartnya ini.”

“Waah, bagus banget, seperti sepeda baru saja. Bisa distandartkan tanpa harus mencari sandaran ya Mas?”

“Iya. Biar aku masukkan ke garasi belakang sekalian,” kata Wijan sambil menuntun sepedanya. Nilam mengikutinya sambil memegangi boncengan sepeda itu.

“Mas, aku tuh nggak bisa naik sepeda, besok Minggu ajarin ya?”

“Nggak ah, takut jatuh,” jawab Wijan.

“Namanya juga belajar, jatuh itu wajar kan?”

“Nanti mas Wijan kena marah dong.”

“Nggak apa-apa, kita nanti jalan-jalan, ditempat sepi, Mas ajarin Nilam. Ya Mas?” Nilam terus saja merengek.

Dari dapur, bibik berteriak.

“Mbak Nilam katanya mau makan, kok malah ditinggal ke mana-mana.”

“Aku nungguin mas Wijan, nggak enak makan sendiri,” kata Nilam.

“Ya sudah, duluan sana, Mas mau cuci tangan cuci kaki, lalu ganti baju dulu,” kata Wijan sambil menstandartkan sepedanya. Senang rasanya, tidak usah mencari sandaran untuk membuat sepedanya tetap tegak berdiri.

“Ayo, cepat Mas, aku tungguin.”

Wijan mengangguk, lalu berjalan ke arah kamarnya. Di rumah sepi. Tentu saja ibunya tidak ada, karena tadi sedang bersama seorang laki-laki yang entah siapa. Hasti juga tidak ada, rupanya setelah menjemput adiknya dan mengantarkannya ke rumah, lalu dia pergi lagi. Tak apa, rumah jadi lebih tenang, bukan?

Wijan sudah mengganti bajunya, dan menyusul Nilam ke ruang makan.

Sebenarnya Wijan belum lapar benar, karena bibik menyisipkan bekal makan  siang di dalam tasnya. Tapi kasihan Nilam kalau tidak ditemani, nanti dia berteriak sambil merengek-rengek. Dasar anak manja, gumam Wijan dalam hati.

***

“Bibiik, memangnya ibu pergi ke mana?” tanya Nilam tiba-tiba.

“Sudah dari pagi Non, bibik tidak tahu,” jawab bibik sambil membersihkan meja makan, setelah keduanya makan. Wijan pun makan dengan nikmat karena tidak ada yang mengganggunya, baik dengan kata menyakitkan, maupun dengan cara menyomot lauk yang akan diambil Wijan.

“Kenapa ibu akhir-akhir ini sering bepergian sih? Kalau aku pulang sekolah, jarang sekali ibu ada di rumah.”

"Namanya orang tua itu pasti banyak urusannya, mbak Nilam kan masih kecil, jadi nggak punya urusan.”

Wijan hanya terdiam. Dia tahu ibu tirinya pergi bersama seseorang, tapi dia merasa tak perlu mengatakan apapun. Bisa gawat nanti. Bukan hanya seisi rumah akan ribut, tapi dirinya juga pasti akan disiksa sampai tak bisa bangun.

“Mas Wijan, aku mau tidur dulu, mas Wijan juga harus istirahat. Jangan lupa besok Minggu sepedaan sama Nilam ya,” katanya sambil berlalu.

Wijan tak menjawab. Mungkin saja bisa, kalau ayahnya ada di rumah, tapi kalau hari itu karena suatu keperluan maka ayahnya harus pergi, maka mana mungkin dia bisa jalan-jalan dengan sepeda, bersantai ria dengan adiknya? Nggak mungkin lah, sudah sering terjadi, dia malah mendapat pekerjaan yang lebih berat. Membersihkan rumah, menyetrika pakaian, padahal bibik sudah melarangnya.

“Mas Wijan kok bengong, sana , istirahat sana. Mumpung nyonya tidak ada, pergunakan untuk istirahat, kalau tidak pasti akan disuruh-suruh sampai capek,” kata bibik.

“Mau belajar sebentar saja bik, tak lama lagi kenaikan kelas.”

“Benar Mas, belajar yang rajin, biar nilainya bagus, pintar.”

“Terima kasih Bik.”

“Ini, jus mangga diminum dulu.”

“Tapi ….” Wijan ragu-ragu, karena biasanya bibik dilarang memberikan minuman yang enak-enak untuk Wijan.

“Ayolah, diminum saja. Nggak ada siapa-siapa, jangan takut. Besok pagi bibik buatkan lagi bekal makan untuk mas Wijan. Yang tadi enak tidak?”

“Enak Bik, nasi sama ayam goreng.”

“Besok bibik bawakan lele goreng sama lalapan. Pokoknya bibik akan melakukan yang terbaik untuk Mas Wijan. Bibik tidak pernah melupakan almarhumah ibu, yang sangat baik pada bibik, seperti kepada keluarga sendiri,” kata bibik sendu, sambil menepuk bahu Wijan lembut.

Mata Wijan berkaca-kaca, tiba-tiba iapun teringat pada almarhumah ibunya.

“Dulu tidak pernah ada kata kasar di rumah ini. Ibu begitu lembut dan baik hati. Rupanya Mas Wijan mewarisi watak ibu. Lembutnya, baik hatinya.”

“Sudahlah Bik, ada-ada saja Bibik ini. Wijan ke kamar dulu ya.”

“Ya, Mas. Istirahat saja dulu, belajar nanti malam, ditemani bibik.”

Wijan tersenyum, kemudian berlalu.

Bibik menatap punggungnya dengan haru yang memuncak. Ingatan tentang nyonya majikan yang telah tiada, membuatnya tiba-tiba menjadi sedih.

Bibik kemudian melanjutkan bersih-bersih. Tapi kemudian didengarnya mobil memasuki halaman.

Bibik mengira Hasti yang datang bersama ibunya, tapi kemudian terdengar langkah-langkah berat memasuki rumah. Bibik beranjak ke depan, melihat tuannya yang datang.

“Bapak sudah pulang?”

“Iya Bik, dari luar kota, capek sekali. Kok sepi, pada ke mana?”

“Mbak Nilam di kamarnya, mas Wijan juga. Tapi ibu sama mbak Hasti belum pulang. Saya ambilkan minum Pak, ada jus mangga?”

“Iya Bik, aku mau,” kata sang tuan majikan sambil duduk di atas sofa.

Ketika dia membungkuk akan membuka sepatunya, tiba-tiba Nilam muncul dari dalam kamarnya.

“Bapak sudah pulang? Kirain ibu,” katanya sambil berjongkok, kemudian membantu mencopot sepatu ayah tirinya, lalu meletakkannya di rak sepatu.

Pak Raharjo tersenyum senang. Ketika Nilam kembali mendekatinya, pak Raharjo mengelus kepalanya dengan kasih sayang.

“Anak baik, anak pintar.”

Nilam tersenyum, lalu duduk di sampingnya.

“Mengapa ibu akhir-akhir ini sering bepergian?” sungutnya.

“Benarkah?”

“Iya. Tapi biasanya sebelum Bapak pulang, ibu sudah sampai di rumah. Kok ini belum. MBak Hasti juga begitu.”

“Ya sudah, biarkan saja. Mereka pergi, pasti karena punya keperluan. Kakakmu belum pulang?”

“Mas Wijan? Sudah kok. Tadi pulang, sepedanya baru. Eh, ban sepedanya baru, standartnya juga baru, bagus. Besok Minggu boleh kan, Nilam jalan-jalan pakai sepeda dengan mas Wijan?”

“Boleh. Mana sekarang dia?”

“Di kamarnya, Nilam panggil ya,” kata Nilam sambil beranjak, dan setengah berlari menuju kamar kakaknya. Tapi dilihatnya Wijan berbaring sambil memeluk buku. Rupanya tadi dia belajar, kemudian ketiduran. Karenanya dia menutup kembali pintunya perlahan. Tapi suara yang pelan itu membuat Wijan terbangun. Mungkin sudah terbiasa, ketika lagi enak-enak tidur lalu ibu tirinya membangunkannya.

“Siapa? Ibu?” Wijan terbangun, lalu dengan cepat menuju pintu. Takutnya ibunya marah kalau dia terlambat datang menemuinya. Tapi ketika pintu dibuka, Nilam ternyata masih ada di depan pintu, sehingga tubuhnya terdorong ke depan dan jatuh di atas tubuh kakaknya.

“Aauuuwww, mas Wijaaan!”

Wijan dengan cepat membangunkan Nilam, lalu keduanya duduk terkekeh berdua, merasa lucu jatuh saling timpa di depan pintu.

“Ada apa?” pak Raharjo yang mendengar teriakan Nilam segera berbebas menghampiri. Merasa aneh melihat keduanya terkekeh lucu.

“Ada apa kalian ini?”

“Ini pak, mas Wijan, Nilam masih ada di depan pintu, dia membuka pintunya. Jatuh dong Nilam, menimpa tubuh mas Wijan,” katanya sambil bangkit.

“Kamu itu ada-ada saja. Kirain ada apa,” gerutu pak Raharjo sambil berjalan kembali ke ruang tengah. Bibik sedang meletakkan segelas jus mangga ke atas meja. Dia tahu kedua majikan mudanya saling jatuh di depan pintu, dan hanya merasa lucu, karenanya dia terus saja berlalu.

“Mbak Nilam, mas Wijan, mau lagi, jus mangganya?” bibik menawarkan.

Nilam berteriak senang.

“Mauuuu.”

“Mas Wijan?” tanya bibik sambil menatap Wijan.

“Aku nggak Bik, tadi kan sudah.”

“Lagi nggak apa-apa kan Mas, buah itu kan sehat? Ambilkan saja Bik, mas Wijan ini kalau nggak dipaksa, nggak akan mau,” perintah si kecil. Bibik tersenyum, kemudian beranjak ke belakang.

“Tadi kamu mau membangunkan aku?” tanya Wijan kepada Nilam.

“Tadinya, iya. Tapi melihat mas Wijan tidur sambil menutupkan buku di wajah, Nilam nggak tega. Tapi ketika Nilam mau pergi diam-diam, malah Mas Wijan bangun.”

“Kamu sedang belajar, Wijan.”

“Maksudnya iya, Pak. Tapi ketiduran.”

“Pasti kamu sangat lelah. Sepeda kamu sudah beres?”

“Sudah Pak,” jawab Wijan yang sangat khawatir dan bingung menjawabnya, kalau sang ayah bertanya tentang uangnya. Tak mungkin dia mengatakan apa yang telah dilakukan ibunya.

“Uangnya kurang?”

“Mm, tidak Pak … tidak kurang saya minum jusnya dulu ya Pak,” kata Wijan yang ingin mengalihkan perhatian sang ayah tentang uang itu. Kebetulan bibik sedang meletakkan dua gelas jus di depannya.

“Kalau kurang, bilang saja kurang, kamu nombok dengan uang saku kamu kan?”

“Tidak Pak.”

“Kok kamu kelihatan bingung?”

“Haus Pak,” jawab Wijan sekenanya.

Ketiganya menghirup jus buatan bibik dengan nikmat.

“Bapak mau makan sekarang?”

“Tidak Bik, aku sudah makan di kantor tadi.”

Bibik beranjak ke belakang. Ada senyuman senang ketika melihat keakraban ketiganya. Bibik juga senang melihat Nilam sangat menyayangi Wijan, dan juga menghormati sang ayah, seperti keluarganya sendiri. Satu-satunya orang baru yang berhati baik, hanyalah Nilam.

“Sekolahmu bagaimana?”

“Baik Pak.”

“Kalau tidak salah, mau kenaikan kelas ya?”

“Iya Pak.”

“Belajar yang rajin, setelah lulus kamu harus kuliah., Nanti setelah kamu selesai kuliah, kamu harus menggantikan bapak mengemudikan perusahaan bapak ini.”

“Apa Wijan mampu?”

“Kamu harus mampu. Kamu satu-satunya anak laki-laki di rumah ini, jadi kamulah yang harus mewarisi dan mewakili apa yang menjadi tugas bapak sepeninggal ibumu. Kamu tahu, perusahaan ini semula adalah milik ibumu, yang diwarisi dari almarhum kakek kamu. Jadi sudah sewajarnya kalau nanti kamu yang akan mengendalikan perusahaan ini.”

“Mengendalikan itu bagamana Pak?” tanya Nilam yang sedari tadi hanya mendengarkan.

“Kamu tahu delman? Delman itu kan ada kudanya? Nah, kuda itu berjalan sesuai dengan perintah kusirnya. Harus ke kiri, harus ke kanan, jangan sampai nabrak kalau di depan ada kendaraan, dan sebagainya. Nah tugas sang kusir mengatur jalannya kuda itu, namanya mengendalikan.”

“Jadi, nanti mas Wijan akan jadi kusir dong.”

“Yah, semacam itulah, cuma … bukan kusir delman, tapi kusir perusahaan. Kamu bisa mengerti?”

“Mengerti dong Pak. Nanti Nilam juga mau membantu mas Wijan di kantornya Bapak. Boleh kan?”

“Tentu saja boleh. Usaha ini akan maju dan berkembang, di tangan anak-anak pintar seperti kalian.”

Nilam menatap kakaknya yang menunduk tanpa mengucapkan sepatah katapun. Benarkah dia bisa menjalani apa yang dikatakan sang ayah, sementara ibu tirinya sangat berkuasa di rumah ini?

***

Hari sudah hampir gelap, tapi bu Rusmi belum juga pulang ke rumah. Pak Raharjo sudah mandi dan duduk di ruang tengah sendirian. Ia teringat pembantunya di kantor, yang bertanggung jawab atas barang yang keluar masuk setiap harinya. Sejak pagi dia menelpon, tapi dia tidak ada di tempat. Sore ini dia akan menegurnya.

“Ya Pak, selamat sore,” suara dari seberang ketika pak Raharjo menelponnya.

“Baskoro, kamu ke mana saja?”

“Saya di kantor Pak, cuma maaf, ponsel saya mati, lupa ngecas karena sibuk dengan pekerjaan.”

“Yang benar saja. Aku menelpon ke kantor dan orang kantor bilang bahwa kamu keluar sejak pagi.”

“Oh, anu Pak … itu, saya sedang keluar sebentar, karena istri saya … sakit.”

“Istri kamu sakit?’

Tiba-tiba terdengar suara mendekat, suara seorang wanita.

“Bas, yang warna hijau saja ya? Lihat, buk_”

Baskoro sepertinya menghentikan ucapan wanita itu, tapi pak Raharjo keburu mendengarnya. Itu seperti suara istrinya, benarkah? Batinnya.

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...