Thursday, March 31, 2022

BUKAN MILIKKU 26

BUKAN MILIKKU  26

(Tien Kumalasari)

 

Pak Kartomo tertegun. Tak percaya akan apa yang dikatakan Semi kekasihnya.

“Mi, kamu mengatakan apa? Benarkah kamu menolak seandainya aku tinggal disini bersamamu?”

“Iya Mas. Maaf.”

“Mengapa Mi, apa kamu tidak sayang sama aku? Bukankah aku sangat menyayangi kamu, dan selalu memberikan apa yang menjadi permintaanmu?”

“Bukan aku yang meminta. Sampeyan yang menawarkan. Tentu saja aku mau.”

“Kamu sayang sama aku tidak Mi? Mengapa tiba-tiba kamu berubah?”

“Karena sampeyan membohongi aku Mas.”

“Aku bohong apa sih? Aku tidak pernah mengecewakan kamu bukan?”

“Sampeyan bilang kalau punya ATM, tapi isteri sampeyan sendiri bilang bahwa sampeyan tidak punya uang di bank. Sampeyan bohong tentang ATM yang hilang.”

“Owalah Mi, kok kamu percaya sama omongan orang yang sedang cemburu. Tentu saja dia bicara yang tidak-tidak untuk menjatuhkan aku, supaya aku putus sama kamu.”

“Jadi dia itu bohong?”

“Ya bohong lah, percaya saja sama aku. Ya. Mulai malam ini aku akan tinggal bersama kamu disini.”

“Tidak. Semalam sampeyan sudah tidur disini, aku biarkan karena kita pulang kemalaman. Tapi sekarang tidak.”

“Kenapa Mi? Kamu benar-benar tidak kasihan sama aku? Aku sudah tidak kerasan tinggal bersama isteriku. Dia kelewat cerewet dan bawel. Aku tidak betah, aku merasa nyaman disini.”

“Kita bukan siapa-siapa. Kalau sampeyan tinggal disini, bisa ditangkap hansip.”

“Kita akan menikah Mi. Besok aku akan mengurus perceraian sama isteri aku, lalu aku menikahi kamu. Kita akan bahagia.”

“Tidak.”

“Mi, apa kamu tidak sayang lagi sama aku?”

“Tidak.”

“Mi, tega sekali kamu mengatakan itu.”

“Sekarang sampeyan pulang saja, dan jangan lagi datang kemari.”

“Mi… kok gitu sih Mi, kalau aku bunuh diri bagaimana?”

“Sampeyan itu tidak usah bunuh diri, lama-lama juga pasti akan mati.”

“Astaga Mi. Tega kamu mengutuk aku?”

“Mas, pergi sana Mas, sebentar lagi akan banyak pembeli, aku tidak mau sampeyan ada disini ketika mereka datang.”

“Bener Mi?”

“Bener Mas. Aku tahu sampeyan bohong.”

“Bohong apa sih Mi?”

“Kok tanya lagi sih Mas, ini jadi muter-muter tidak karuan. Aku yakin sampeyan tidak punya uang. Aku ini, terus terang saja, hanya ingin bersenang-senang dengan uang sampeyan, kalau wajah … sampeyan itu nol … gak ada ganteng-gantengnya. Jadi karena aku yakin bahwa sampeyan tidak punya uang, kita bubar saja. Dan jangan membuat aku bicara berulang-ulang tentang hal itu.”

“Kok kamu tidak percaya sih Mi. Aku tuh punya uang. Ini lagi kena halangan.”

“Oh ya, kalau begitu ayo, aku antar sampeyan ke bank sekarang, dan kita buktikan omongan sampeyan itu.”

“Ya jangan begitu. Ini sudah siang, banyak orang berjubel di bank.”

“Halah, itu bukan alasan. Sudah … sudah. Tuh, sudah ada yang datang kemari, pergilah.”

Pak Kartomo keluar dari warung yu Semi dengan langkah gontai dan wajah yang murung. Tadi dia bersombong ria kepada isterinya bahwa dia tak ingin pulang, dengan harapan Semi mau menerimanya. Tapi ternyata dia ditolak. Sekarang dia yakin bahwa Semi hanya suka uangnya. Pak Kartomo berjalan tak tentu arah. Tapi akhirnya dengan melupakan rasa malu, dia melangkah menuju rumah.

***

Retno sedang duduk di teras, ditemani ibunya, sambil menunggu Budi yang akan menjemputnya.

“Ibu jangan sedih. Bapak sedang khilaf. Suatu hari nanti pasti akan sadar dan kembali ke rumah. Ibu harus selalu mendoakannya,” kata Retno yang merasa iba mengetahui keadaan rumah tangga orang tuanya.

“Iya, ibu bukannya takut kehilangan ayah kamu. Ibu hanya sedih melihat kelakuannya yang sangat tidak terpuji. Ia merasa bangga bisa memiliki menantu kaya raya, dan menunjukkannya kepada setiap orang dengan menghamburkan uang yang entah dari mana datangnya agar kelihatan seperti orang kaya. Tapi lama-lama dia mengambil uang Ibu yang ada dalam simpanan. Lalu, kalau uang Ibu sudah habis, dia akan melakukan apa? Ibu sangat takut Ret, bagaimana kalau dia kemudian melakukan hal lain yang tidak terpuji,” kata bu Kartomo sendu.

“Maka dari itu Bu, mari kita doakan agar Bapak segera menemukan jalan yang baik bagi hidupnya, dan menyadari kekeliruannya.”

“Iya, hanya itu yang bisa kita lakukan.”

Mereka terdiam ketika melihat pak Kartomo memasuki halaman.

Pak Kartomo sudah sampai di teras, dan melihat Retno masih ada dirumah. Ia duduk diantara mereka.

“Mau mengambil baju-baju dan barang yang akan  bapak bawa ke rumah perempuan itu?” tanya bu Kartomo tanpa mengandung rasa marah.

Pak Kartomo menggelengkan kepala dengan lemah.

“Aku tidak akan ke sana lagi.”

“Maksudnya apa? Hubungan Bapak sudah putus? Dia tidak mau lagi sama Bapak karena uang Bapak sudah menipis? Atau Bapak mau mengambil lagi uang simpananku untuk meredam rasa kecewa dia?”

“Kamu kan bilang bahwa tidak punya uang. Kenapa ribut kehilangan uang?” kata pak Kartomo tanpa merasa bersalah.

“Aku punya uang, tapi bukan untuk dihambur-hamburkan. Aku bilang tidak punya karena tidak tahu dengan jelas, untuk apa uang yang bapak minta itu.”

Pak Kartomo masuk ke dalam rumah dengan wajah  masih tampak kusut. Ia langsung masuk ke dalam kamarnya.

“Bu, apa Retno kasih saja uang buat Bapak ya,” kata Retno yang merasa kasihan melihat wajah kusut ayahnya.

“Jangan. Uang dipergunakan hanya untuk sesuatu yang jelas. Untuk makan, untuk membantu orang lain atau bersedekah, untuk berobat, atau untuk hal-hal lain yang ada nilainya. Tapi kalau tidak untuk tujuan jelas, lebih baik tidak usah diberikan,” kata bu Kartomo tandas.

Retno mengangguk, mengerti.

“Semoga segalanya akan menjadi baik. Kita harus bersabar menerima semua cobaan ya Bu.”

“Anakku … kasihan kamu yang sedang hamil terpaksa ikut memikul beban keluarga. Bukan beban berupa harta, tapi beban rasa.”

“Mengapa Ibu berkata begitu? Kalau Ibu sedih, maka Retno juga akan merasa sedih. Tapi rasa itu bukannya beban bagi Retno. Ibu tidak usah memikirkannya. Ya,” kata Retno sambil merangkul ibunya.”

“Baiklah. Ayahmu nanti akan pergi atau tetap disini, ibu akan membiarkannya. Ibu hanya berharap, ada peringatan dari Allah yang akan membuatnya sadar.”

“Aamiin.”

***

Bu Kartomo terkejut, ketika sore hari itu pak RT datang ke rumah.

“Selamat sore Bu,” sapa pak RT.

“Sore, pak RT, silakan masuk, tumben nih, ada yang penting ya?”

“Bukan, hanya mau ketemu pak Kartomo saja.”

“O, baiklah, akan saya panggilkan, silakan duduk dulu,” kata bu Kartomo sambil beranjak masuk. Dilihatnya kamar suaminya tertutup rapat. Bu Kartomo mengetuknya pelan.

“Pak, ada yang ingin bertemu Bapak,” kata bu Kartomo agak keras.

“Siapa?” suara pak Kartomo dari dalam.

“Pak RT.”

“Aduh, bilang kalau aku sedang masuk angin, tidak bisa menemui.”

“Memangnya kenapa? Tadi Bapak baik-baik saja kan?”

“Bilang saja kalau aku sakit, bawel amat.”

“Memangnya ada apa? Bapak ngutang sama pak RT?”

“Tidak. Aduh, kenapa kamu selalu menilai aku buruk? Pokoknya bilang aku tidak bisa menemui karena sakit. Titik,” kata pak Kartomo sambil membuka sedikit pintunya.

Bu Kartomo kembali ke depan.

“Aduh Pak RT, mohon maaf, bapaknya Retno sedang masuk angin, tidak bisa menemui.”

“Memangnya sakit apa, Bu?”

“Cuma masuk angin sih, tapi tidak bisa bangun. Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya sama suami saya? Apa dia berhutang sama Pak RT?”

“O, tidak Bu, masa sih pak Kartomo yang duitnya banyak kok berhutang sama saya,” kata pak RT sambil tertawa.

“Syukurlah,” kata bu Kartomo lega.

“Begini Bu, beberapa hari yang lalu, pak Kartomo bilang mau mengajak piknik warga di kampung ini. Katanya, akan menyewa bus dan pak Kartomo yang akan membayarnya. Saya disuruh mendata siapa saja yang mau ikut, kalau cukup satu bus, ya satu saja, kalau harus dua bus juga tidak apa-apa. Begitu kata pak Kartomo Bu. Kita mau jalan-jalan ke pantai.”

Bu Kartomo menghela napas panjang. Ia merasa sesak karena kesal. Menyewa bus itu tidak murah. Ya kalau satu, kalau dua? Aduhai, bener-bener ya pak Kartomo.

“Apa Ibu bisa menyampaikannya nanti kepada pak Kartomo? Ini yang daftar sudah ada enampuluh satu orang.”

“Ya Allah,” keluh bu Kartomo.

“Saya kira acara itu lebih baik dibatalkan saja dulu Pak RT,” katanya kemudian.

“Dibatalkan Bu?”

“Soalnya suami saya sedang sakit, dan saat ini sepertinya belum punya uang sebanyak itu. Jadi mohon maaf, saya mendahului suami saya, bahwa acara piknik ke pantai itu lebih baik dibatalkan saja dulu.”

“Waduh, pasti semua orang akan kecewa.”

“Lebih baik saya berterus terang Pak, supaya Bapak mengerti keadaan keuangan suami saya.”

“Iya Bu, kalau memang pak Kartomo berterus terang, pasti saya dan warga lainnya akan mengerti. Tapi pak Kartomo selalu bilang bahwa dia banyak uang.”

Bu Kartomo tersenyum tipis.

“Saya mohon maaf ya Pak RT? Nanti kalau barangkali Allah memberi kami rizki yang besar, kami akan senang kalau bisa mengajak rekan-rekan dan tetangga kami untuk bersenang-senang.”

Pak RT mengangguk tanda mengerti.

“Baiklah Bu, kalau begitu saya permisi.”

“Sekali lagi saya mohon maaf ya Pak.”

“Iya Bu, tidak apa-apa,” kata pak RT yang kemudian berlalu.

Bu Kartomo masuk ke rumah dengan kesal.

“Kamu bilang apa sama pak RT?”

“Batal,” kata bu Kartomo sambil berlalu ke arah belakang.

“Apa yang batal?” pak Kartomo mengikutinya.

“Acara piknik atas kesombongan Bapak itu.”

“Kamu membatalkannya? Mengapa tidak bilang dulu sama aku?”

“Tidak harus bilang. Sudah jelas itu acara yang nggak mungkin dilaksanakan. Sombong amat Bapak mau mengajak warga kampung piknik ke pantai. Peminatnya sudah lebih dari 60 orang. Semuanya tidak mungkin dilakukan, mengapa marah ketika aku membatalkannya?”

“Lancang.” Kesalnya tanpa sadar diri.

“Dengan apa Bapak mau membayar sewa bis yang tidak cukup hanya satu itu?”

“Aku kan bisa berusaha,” katanya ngeyel.

“Ya sudah ah, terserah Bapak saja. Aku tidak mau ikutan. Kalau memang bisa melakukan,  mengapa tadi tidak keluar?".

***

“Mas mau kemana?” kata Kori ketika sore hari itu melihat suaminya berdandan rapi.

“Ke Solo.”

“Ke Solo? Mendadak sekali?”

“Aku ingin mengantarkan Retno periksa ke dokter kandungan.”

“Apa? Mas bersusah payah datang kesana hanya karena ingin mengantarkannya ke dokter kandungan?”

“Iya, kandungannya sudah semakin besar, dan aku ingin melihat anakku saat di USG.”

“Berlebihan.”

“Apa maksudmu berlebihan?”

“Bayi di USG mana kelihatan seperti bayi? Aku pernah mengalaminya.”

“Pokoknya aku ingin melihatnya.”

“Aku ikut.”

“Tidak,” sergah Sapto kesal.

“Kenapa? Masa aku tak boleh ikut suami aku?”

“Tidak, kamu hanya akan membuat heboh, bicaramu selalu menyakiti dia.”

“Jadi ceritanya nih, Mas sudah benar-benar jatuh cinta sama dia?”

Sapto tak menjawab. Ia menenteng tas yang sudah disiapkannya, dan keluar dari rumah karena rupanya taksi sudah menunggu.

“Mas Sapto keterlaluan!” teriak Kori dengan marah.

***

Pak Siswanto masih ada di luar kota untuk mengawasi cabang yang baru dikelolanya. Ia ingin beristirahat ketika ponselnya berdering. Dari Kori.

“Hallo Kori, ada apa?” sapa pak Kartomo.

“Bapak ….” Lalu Kori menangis terisak-isak.

“Lhoh, ada apa ini? Bertengkar dengan suami kamu?”

“Mas Sapto pergi ke Solo sore ini.”

“Ada apa? Mendadak sekali? Dia tidak harus mengurusi usaha yang di Solo, itu milik Budi.”

“Bukan urusan pekerjaan Pak, dia ingin ketemu Retno.”

“Ingin ketemu Retno?”

“Iya Pak, katanya ingin mengantarkan Retno ke dokter kandungan. Kori sedih Pak, sakit rasanya. Mas Sapto ternyata menyukai Retno, mengingkari janji yang sudah diucapkan yang katanya akan menceraikan Retno ketika dia sudah melahirkan.”

“Pasti itu pengaruh dari ibunya,” geram pak Siswanto.

“Kori ingin ikut, tapi dia melarang. Kori sedih sekali Pak, cegah mas Sapto untuk mendekati Retno ya Pak.”

“Ya sudah, Bapak akan pulang sekarang. Semoga masih ada penerbangan sore ini sehingga aku bisa secepatnya sampai di Solo.”

***

“Retno, kamu sudah siap?”

“Sudah Bu, tinggal menunggu Budi, masih belum turun tampaknya.”

“Sebentar lagi pasti turun, tapi ibu minta maaf ya Ret, kali ini tidak bisa mengantarkan ke dokter, badan ibu kok terasa kurang enak.”

“Mengapa Ibu harus meminta maaf? Ini kan bukan kewajiban Ibu. Saya justru merasa tidak enak karena selalu merepotkan Ibu.”

“Tidak repot, ini untuk cucu Ibu, tentu saja Ibu juga punya kewajiban untuk menjaganya.”

“Baiklah Ibu, tapi kalau ibu berhalangan atau kurang enak badan, ibu juga harus istirahat.”

“Ayo kita berangkat sekarang Mbak,” kata Budi sambil turun dari tangga.

“Aku yang akan mengantarnya kontrol ke dokter,” tiba-tiba sebuah suara mengejutkan mereka. Sapto sudah berada didalam rumah.

“Sapto?” pekik bu Siswanto kaget. Sementara wajah Retno menjadi muram. Ia tahu pasti akan terjadi keributan karena kedatangan Sapto pasti akan diiringi kedatangan Kori juga.

“Iya Bu, saya datang karena ingat bahwa hari ini Retno harus kontrol ke dokter. Biar saya mengantarkannya.”

“Baiklah kalau begitu, tapi harus segera berangkat, kalau kemalaman pasiennya akan semakin banyak, nanti isteri kamu kecapekan. Kamu bersama Kori?”

“Tidak Bu, Sapto sendiri. Ayo Ret, biar aku yang mengantar kali ini,” kata Sapto yang kemudian menarik lengan Retno. Retno ingin menepiskannya, tapi sungkan kepada ibu mertuanya. Ia berdiri, dan mengikuti langkah suaminya keluar dari rumah.

Budi mengikutinya, dengan wajah yang kecewa. Tapi apa yang bisa diperbuatnya? Sapto kan suaminya?

Sapto sudah membukakan mobil, ketika sebuah taksi tampak memasuki halaman, dan pak Siswanto keluar dari dalam taksi itu.

“Kamu kemana kamu Sap?”

“Mengantarkan Retno kontrol ke dokter kandungan Pak.”

“Tidak usah kamu, biarkan Budi mengantarnya.”

“Tapi ….”

“Aku ingin bicara penting sama kamu sekarang, waktuku tidak banyak.”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 


Wednesday, March 30, 2022

BUKAN MILIKKU 25

 

BUKAN MILIKKU  25

(Tien Kumalasari)

 

Bu Kartomo mengembalikan kotak uang ke dalam almari, lalu keluar dari kamarnya. Ia mencari suaminya ke seluruh rumah, tapi tidak ditemukannya. Ia masuk ke dapur, mencari segelas air dingin untuk menenangkan hatinya. Ditariknya napas dalam-dalam, mencoba bersabar dalam menerima cobaan demi cobaan. Kata-kata tetangga yang membantunya kemarin kembali terngiang di telinganya. Suaminya pacaran dengan yu Semi penjual makanan itu? Lalu dia mengambil uang yang ada didalam kotak simpanannya, untuk bersenang-senang dengan perempuan itu? Sejak kapan suaminya mengetahui bahwa dia menyimpan uang di kotak itu?

Bu Kartomo kembali meneguk segelas air dingin.

“Setiap pagi dia pergi. Terkadang mentraktir tetangga-tetangga untuk menunjukkan bahwa dirinya ber uang, sejak menjadi besan pengusaha kayu yang terkenal. Apakah dia sering meminta uang kepada pak Siswanto? Pura-pura rumah bagian mana lagi yang bocor, atau apa? Lalu ketika uangnya habis lalu mengambil uang simpananku? Tidak, aku tidak rela,  karena  uang itu hanya untuk bersenang-senang, apalagi dengan perempuan lain.

Bu Kartomo keluar rumah, menuju warung yu Semi yang letaknya di gang sebelah. Saat itu pembeli masih sepi. Biasanya rame saat makan siang, lebih-lebih karena yu Semi membuka warungnya didekat pabrik batik yang pada saat istirahat para karyawannya pasti makan di situ. Bu Kartomo mendekat, yu Semi menyambutnya dengan wajah cerah.

“Ya ampun, kaget saya, bu Kartomo. Kok tumben nih, mau makan apa?” tanyanya ramah, memperlihatkan gigi emas yang berkilat saat mulutnya terbuka.

“Apa saja, gorengan barangkali,” jawab bu Kartomo sekenanya.

“Gorengan apa? Tahu, tempe, lele? Ini juga ada pisang goreng.”

“Pisang goreng saja. Dua.”

“Sudah? Lainnya apa Bu?”

“Sudah, cukup.”

Bu Kartomo mengulurkan uangnya.

“Pak Kartomo baru saja dari sini, mentraktir pak RT sama isterinya saat sarapan pagi.

“Oh ya? Bagus lah,” kata bu Kartomo dingin.

“Ini pisangnya, dan ini kembaliannya Bu.”

“Terima kasih. Tapi ada satu yang ingin saya katakan ya Yu Semi, bahwa uang yang dihambur-hamburkan suami saya itu adalah uang saya,” kata bu Kartomo yang kemudian berlalu.

Yu Semi tertegun. Ia tak mengira bu Kartomo akan bersikap dingin dan mengutarakan kata-kata yang membuatnya terkejut.

“Apa ya maksudnya? Apa dia tahu kalau pak Kartomo sering memberi aku uang dan membelikan aku pakaian juga?” gumamnya.

Hal itu ditanyakannya ketika pada sore harinya, setelah warungnya tutup, dan seperti biasa pak Kartomo pasti datang dan mengajaknya jalan-jalan.

“Kok belum siap?” tanya pak Kartomo ketika melihat yu Semi belum juga mandi apalagi berganti pakaian.

“Nanti dulu Mas, aku mau tanya sama sampeyan.”

“Tanya soal apa? Katanya sore ini kamu mau beli sandal baru untuk ke kondangan besok Minggu?”

“Iya, tapi aku mau ngomong dulu.”

“Baiklah, ngomong saja.”

“Tadi isterimu datang kemari.”

“Isteriku?”

“Iya.”

“Beli sesuatu?”

“Hanya beli pisang goreng dua biji.”

“Kok tumben.”

“Ya itulah yang aku pikirkan. Tapi bukan pisang goreng itu yang mengganjal pikiranku. Sebelum pergi, dia bilang, katanya uang yang mas pakai itu uangnya dia. Maksudnya ya uang yang mas pakai untuk aku itu .. ya kan? Pasti itu.”

“Apa? Dia bilang begitu?”

“Iya, hanya bilang begitu, lalu pergi. Aku jadi nggak enak. Tampaknya dia sudah curiga tentang hubungan kita.”

“Apa Wahyudi ya yang bilang?”

“Wahyudi siapa?”

“Yang ketemu pas kita jalan-jalan di taman itu. Tapi kapan dia ketemu Wahyudi?”

“Kalau dia tahu tentang hubungan kita, aku nggak masalah mas, tapi tentang uang yang mas pakai, yang katanya uangnya dia, itu yang jadi pikiran aku,” sungut yu Semi.

“Owalah Mi, kamu itu kok gampang sekali dibohongi. Isteriku itu suka bicara ngawur. Mosok aku memakai uangnya dia, sedangkan besanku selalu memberi aku uang yang buanyaaaak. Sudah, nggak usah dipikirkan. Nanti akan aku marahi dia.”

“Jadi apa yang dia bilang itu tidak benar?”

“Ya tidak dong Mi, yang bener saja. Aku itu punya uang sendiri, dan itu hanya untuk kamu, Semi yang cantik, yang molek,” rayu pak Kartomo sambil menowel pipi yu Semi.

“Bener ?”

“Isteriku ngomong begitu itu kan karena cemburu saja. Entah dari mana dia tahu tentang hubungan kita, yang penting kita harus jalan terus. Aku sangat sayang lho Mi, sama kamu. Kamu itu cantik dan tidak ada duanya didunia ini.”

Dipuji begitu senyum yu Semi merekah, dan lagi-lagi menampakkan gigi emasnya yang hanya sebiji. Dan senyum berhiaskan gigi emas itu yang membuat Kartomo tergila-gila.

“Ya sudah, cepat dandan, aku tunggu disini.”

Yu Semi mengangguk, lalu bergegas masuk ke rumah dan mandi.

Pak Kartomo menyandarkan tubuhnya di kursi, agak kesal dengan kelakuan isterinya yang mengatakan bahwa uang yang dipakai adalah uangnya dia.

“Dasar perempuan, aku cuma mengambil beberapa ratus saja. Lagian salah dia, kenapa punya uang disembunyikan,” gumamnya tanpa merasa bersalah.

Tapi sesungguhnya duit pak Kartomo memang sudah menipis. Sambil menunggu,  ia mencari jalan agar bisa merogoh kantong pak Siswanto dengan sebuah alasan yang sedang dipikirkannya.

***

“Budi, aku ingin ke rumah Ibu, bolehkah aku ikut bersamamu?” tanya Retno ketika Budi bersiap akan ke kantor.

“Boleh Mbak, kemana saja Mbak mau, akan saya antarkan. Tapi Mbak tidak lupa bukan, bahwa nanti sore saatnya kontrol kandungan?”

“Iya aku ingat, nanti aku pulang agak siangan.”

“Mbak tunggu aku saja, nanti aku jemput.”

“Terima kasih Budi, baiklah, sekarang aku ganti pakaian sebentar, lalu pamit sama Ibu.”

“Aku tunggu di depan ya Mbak,” kata Budi sambil melangkah ke depan, lalu duduk menunggu di teras.

Budi selalu ingat kapan Retno harus periksa ke dokter. Dan dia juga selalu dengan setia menemaninya.

“Selamat pagi, nak Budi.”

Budi terkejut, tiba-tiba pak Kartomo sudah berdiri diteras.

“Selamat pagi. Masuk Pak. Mau ketemu Mbak Retno?”

“Tidak, saya mau ketemu bapak.”

“Sayang sekali, bapak sedang ke luar kota. Mungkin beberapa hari.”

“Oh, gitu ya,” jawab pak Kartomo kecewa.

“Tapi Mbak Retno ada, sebentar saya panggilkan, Bapak duduklah dulu,” kata Budi sambil berdiri.

“Ada apa?” tiba-tiba Retno sudah muncul di teras, siap berangkat bersama Budi.

“Retno,” sapa pak Kartomo.

“Pagi-pagi sekali Bapak sudah sampai di sini?” kata Retno

“Iya, sebenarnya … aku mau ketemu pak Siswanto.

“O, Pak Siswanto tidak ada di rumah, dan sekarang Retno mau ketemu Ibu.”

“Bagus, kalau begitu ayo sama Bapak sekalian. Kamu mau naik apa?”

“Mau bareng Budi, sekalian mau ke kantor.”

“Kebetulan kalau begitu, saya boleh ikut sekalian bukan?”

“Boleh saja Bapak, kalau begitu ayo sekarang saja kita berangkat.”

Retno mengangguk. Entah mengapa rasa kesal terhadap ayahnya belum juga hilang sampai sekarang. Ia menduga ayahnya ingin ketemu pak Siswanto pasti karena uang.

Ia diam dan tak banyak bicara di sepanjang perjalanan. Tapi tiba-tiba ditengah jalan pak Kartomo minta berhenti.

“Nak, tolong aku berhenti disini saja.”

Budi menghentikan mobilnya.

“Disini Pak? Kan sudah dekat rumah?”

“Iya, Bapak mau beli sesuatu. Terima kasih ya nak.”

Pak Kartomo turun, lalu Budi melanjutkan menjalankan mobilnya.

“Kenapa Bapak turun disitu ya?”

“Entahlah, mungkin ada perlu.”

“Mbak Retno kok kelihatan nggak suka sama ayah sendiri? Masih kesal karena dipaksa menikah dengan mas Sapto?”

Retno menghela napas.

“Banyak hal yang membuat aku kecewa sama bapak.”

“Tapi nggak boleh begitu sama orang tua, Sejelek apapun kan dia juga ayahnya Mbak Retno. Jadi Mbak Retno harus bisa memaafkan kesalahan yang sudah diperbuatnya.”

Retno terdiam, banyak hal yang membuatnya kecewa terhadap ayahnya. Ayahnya sesekali datang ke rumah pak Siswanto, dan itu membuat Retno malu. Sepertinya ayahnya tidak punya rasa sungkan untuk mengatakan bahwa dia butuh uang, entah untuk apa. Ia juga tahu ketika ayahnya datang dan berbincang agak lama dengan pak Siswanto. Ia tahu saat itu pak Siswanto keluar dari kamarnya dan membawa segenggam uang. Saat itu Retno baru mau masuk ke kamarnya setelah membantu yu Asih di dapur. Retno menyimpan rasa malunya dengan bersembunyi di kamar. Lalu ketika dia pergi menemui ibunya, bu Siswanto juga bercerita bahwa paginya ayahnya juga datang menemui pak Siswanto. Pasti juga karena uang.

“Mbak Retno mengerti bukan apa yang aku katakan tadi? Bahwa seorang anak tidak boleh dendam kepada orang tuanya?" lanjut Budi ketika melihat Retno hanya terdiam.

“Ya, tentu aku mengerti. Tapi ada banyak hal yang membuat aku malu. Bapak sering datang dan pak Siswanto pasti memberinya uang.”

“Pasti karena bapak butuh uang.”

“Entahlah.”

Retno menghela napas.

“Aku mengerti apa yang Mbak Retno rasakan. Tapi jangan sampai membenci orang tua sendiri ya. Aku juga banyak merasa kecewa atas sikap bapak, tapi aku tidak bisa membencinya. Aku hanya berdoa agar pada suatu hari nanti bapak sadar akan kesalahannya. Aku harap demikian juga untuk Mbak Retno.”

Retno mengangguk. Budi memang lebih tua dari padanya, dan tutur katanya selalu tampak matang dan dewasa.

Ketika akhirnya Budi harus menghentikan mobilnya karena sudah sampai di depan rumah Retno, Retno masih tampak terdiam. Tapi ketika saatnya Retno turun dari mobil, diucapkannya kata terima kasih untuk adik iparnya yang baik itu,

“Terima kasih Budi,” katanya sambil tersenyum.

“Maaf kalau aku terlalu lancang dengan memberi nasehat untuk kakak iparku.”

“Aku harus berterima kasih Bud, kamu tidak perlu minta maaf. Kamu benar.”

***

Retno melangkah perlahan ke arah rumah. Ia langsung masuk karena pintunya tidak dikunci. Tapi Retno tertegun melihat ibunya tampak melamun di ruang tengah.

“Ibu,” sapanya lembut.

Bu Kartomo terkejut, tapi kemudian senyumnya mengembang ketika melihat siapa yang datang.

“Retno?”

Keduanya berpelukan sangat erat, Retno heran melihat ibunya berlinang air mata saat pelukan itu terurai.

Retno duduk disamping ibunya.’

“Ada apa Bu? Ibu tampak sedih.”

“Ibu tak ingin membawa kesedihan ini untuk kamu,” katanya pelan.

“Tidak Bu, Ibu harus mengatakan apa yang terjadi. Kesedihan itu adalah kesedihan Retno juga,” kata Retno sambil mengelus punggung ibunya.

Bu Kartomo menghela napas panjang, lalu menceritakan apa yang terjadi. Tentu saja Retno sangat terkejut. Baru saja Budi menasehatinya agar dia bisa memaafkan kesalahan ayahnya, sekarang ia mendengar kelakuan ayahnya yang dianggapnya sangat keterlaluan. Berselingkuh dan malah berani mencuri uang ibunya?

“Ya Allah,” keluh Retno.

“Bapakmu dari kemarin malah tidak pulang,” sambung bu Kartomo.

“Tidak pulang? Tadi malah Retno bareng bapak.”

“Bareng bagaimana maksudnya?”

“Bapak ke rumah pak Siswanto, saat Retno mau berangkat kemari dengan diantar Budi. Tapi pak Siswanto tidak ada di rumah, jadi tadi bersama Retno juga, tapi nggak tahu kenapa, bapak minta diturunkan di jalan, katanya mau beli sesuatu.”

“Mungkin yu Semi sudah mengatakan pada ayahmu bahwa aku datang ke warungnya. Tapi nggak apa-apa kalau bapakmu nggak mau pulang, aku merasa lebih tenang.”

“Doakan saja agar bapak segera bisa menyadari kesalahannya ya Bu,” kata Retno sedikit mengutip petuah Budi saat dalam perjalanan tadi.

Bu Kartomo mengangguk.

“Retno beri Ibu uang lagi, tapi disimpan baik-baik, jangan sampai bapak bisa mengambilnya lagi.”

“Tidak usah Ret, ibu masih punya, dan ibu juga tidak butuh apa-apa.”

“Nggak apa-apa Bu, ini, simpan saja. Atau ibu mau saya antarkan ke bank? Ibu simpan uang ibu di bank, ya?”

“Nggak usah Ret, nanti kalau ibu butuh malah susah mengambilnya. Ibu itu orang bodoh, tidak pernah berurusan dengan bank. Jadi kalau menyimpan uang ya di rumah saja.

“Ya sudah, terserah ibu saja. Tapi jangan menolak pemberian Retno, agar Retno lega bisa memberi sesuatu untuk Ibu.”

“Baiklah, akan Ibu simpan lebih baik.”

***

“Mas tadi pergi kemana? Katanya mau mengambil uang di bank, kok malah kembali dengan lesu?” tanya Semi ketika pak Kartomo datang. Sudah sejak kemarin dia tidak pulang ke rumah.

“Aku lupa, kartu ATM ku hilang,” kata pak Kartomo berbohong.

“Kalau hilang kok tidak segera di urus, nanti tidak bisa belanja-belanja dong.”

“Besok saja aku urus ke bank,” bohong lagi dia.

“Bank apa? Memangnya dia punya uang di bank?” sebuah suara mengejutkan keduanya.

Pak Kartomo terkejut, demikian juga yu Semi. Di depan warung, bu Kartomo dan Retno berdiri dan mengawasi mereka.

“Bu Kartomo?” sapa Semi dengan terkejut.

Pak Kartomo memandang bengong ke arah isteri dan anaknya.

“Aku menunggu Bapak, kok lama tidak segera sampai di rumah, lalu mengajak Ibu mencari. Ternyata Bapak ada disini,” kata Retno.

“Iya nak, baru mau makan siang, tapi masih menunggu, lauk yang dipilih belum matang,” jawab yu Semi.

“Ya sudah, ayo kita pulang Ret, sudah ketahuan orangnya dimana, jadi kita tidak perlu mencari lagi,” kata bu Kartomo sambil menggandeng lengan Retno.

“Ya sudah, pulang sana, memangnya aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan? Dengar, aku tidak akan pulang ke rumah,” kata pak Kartomo keras-keras.

Bu Kartomo terus berlalu bersama Retno.

“Mas, mengapa sampeyan bilang kalau tidak mau pulang?

“Aku kesal sama mereka. Aku disini lebih senang dan nyaman, jadi biarkan aku tinggal disini terus ya Mi.”

“Tidak mas, aku tidak mau kamu tinggal disini terus.”

***

Besok lagi ya.

Tuesday, March 29, 2022

BUKAN MILIKKU 24

 

BUKAN MILIKKU  24

(Tien Kumalasari) 

 

“Apa itu isterinya?” tanya Wuri, agak keras.

Wahyudi menggeleng.

“Ssst, jangan keras-keras,” bisik Wahyudi.

Tapi terlambat. Perempuan yang digandeng pak Kartomo rupanya mendengar, lalu menoleh.

“Eh, tuh mulut jangan usil. Memangnya apa urusan kamu?” kata perempuan itu sambil berhenti melangkah.

“Siapa yang usil? Aku kan hanya bertanya. Kalau mau ya jawab saja. Gitu saja kok repot,” kata Wuri dengan masih tetap mengunyah kacang rebusnya.

“Ssst, Wuri.”

Pak Kartomo menarik tangan perempuan itu, diajaknya menjauh. Tapi ketika matanya menatap kearah Wahyudi, dia terkejut. Apa lagi ketika Wahyudi menganggukkan kepala kepadanya.

Pak Kartomo segera menarik tangan perempuan itu dan diajaknya menjauh dengan cepat.

Perempuan itu menoleh ke arah Wuri dengan tatapan mata marah.

Tapi dengan konyolnya Wuri meleletkan lidahnya, sehingga Wahyudi terpaksa menepuk lengannya keras.

“Aduuhh. Mas Yudi kenapa sih, sakit, tahu!”

“Kamu seperti anak kecil saja, suka membuat keributan.”

“Siapa membuat keributan? Aku ngapain coba, cuma bertanya kan? Lha kok dia marah-marah. Bingung dia, nggak tahu bagaimana caranya menyembunyikan dosanya.”

“Ya sudah, kalau tadi pak Krtomo tidak langsung menariknya untuk pergi, pasti akan menjadi lebih heboh lagi.”

“Tapi aku heran deh, pak Kartomo itu sudah bukan anak muda lagi, kok gayanya seperti anak muda saja. Jalan-jalan berdua di taman, sama bukan isterinya pula. Kasihan sekali ibunya mbak Retno ya Mas. Kalau sampai tahu akan perbuatan suaminya, pasti terjadi perang itu nanti.”

“Pastinya. Tapi kalau ketahuan, kalau enggak … ya tenang-tenang saja. Bu Kartomo itu orangnya baik, sabar, lembut hati.”

“Aku ingin sekali ketemu bu Kartomo dan menceritakan semua itu.”

“Eh, jangan Wuri. Apa-apaan sih kamu?”

“Kasihan dong kalau tidak diberi tahu.”

“Perbuatan yang tidak benar itu pasti nanti akan ketahuan juga. Tapi jangan kamu yang mengatakannya. Allah akan menunjukkan jalannya.”

“Hm, aku nggak sabar.”

“Kamu harus belajar sabar. Ingat, kamu itu bukan anak kecil lagi. Sudah pantas punya suami, jadi harus belajar menjadi lebih dewasa. Lebih sabar, lebih pengertian. Tapi kamu itu sebenarnya sudah baik. Pengertian dan baik hati. Hanya cerewetnya itu.”

“Aku itu kalau nggak cerewet nggak rame dong, dunia menjadi sepi. Eh tadi Mas bilang apa? Aku sudah pantas punya suami? Benarkah?”

“Benar dong, sudah punya pacar belum?”

“Mana bisa aku punya pacar. Kemana-mana aku seringnya sama Mas Yudi, pasti banyak yang mengira aku pacar Mas Yudi.”

“Memangnya nggak mau jadi pacar aku?”

“Ya enggak lah.”

“Awas ya, jangan bilang aku sudah tua lagi, aku jewer telinga kamu nanti.”

“Nggak, aku lagi nggak pengin bilang begitu. Aku tuh kalau punya pacar, penginnya yang seperti adik iparnya Mbak Retno itu.”

“Apa?”

“Dia itu, sudah ganteng, baik hati, murah senyum.”

“Jangan-jangan kamu jatuh cinta sama dia.”

“Bukan. Mana berani aku jatuh cinta sama orang kaya? Mimpi ‘kali. Aku cuma bilang yang seperti dia.”

“Memangnya nggak boleh jatuh cinta sama orang kaya?”

“Bukannya nggak boleh, cuma nggak berani saja.”

“Tapi cinta itu kan datang semaunya tanpa diundang. Siapa yang menyalahkan seseorang yang jatuh cinta walau tidak sederajat?”

“Tidak ada yang menyalahkan memang, tapi kalau salah menempatkan cinta itu, bisa-bisa akan sakit nantinya. Sakit kalau ditolak, paling tidak.”

“Kan orang jatuh cinta itu harus siap patah hati?”

“Hm, ngomong itu gampang. Buktinya, mas Yudi juga merasakan sakit ketika putus cinta kan?”

“Jadi kamu tahut patah hati?”

“Takut. Aku melihat mas Yudi jatuh bangun seperti itu saat kehilangan orang yang dicintai. Lalu aku berjanji akan hati-hati dalam menjaga perasaan aku.”

“Kejadian yang menimpa aku itu, bukan karena aku tidak hati-hati. Tapi karena takdir. Siapa sangka, rencana menikah yang sudah hampir sampai pada titiknya, tiba-tiba hancur begitu saja.”

“Ya, benar. Takdir.”

Wahyudi diam, menatap langit diujung barat yang memerah jingga, menghantarkan sang matahari ke peraduannya di senja itu. Alam disekelilingnya menjadi semakin redup, karena kegelapan mulai merangkak menyelimuti bumi. Dilangit sana, hanya tersisa secercah sisa merah, yang tak mampu membuat alam menjadi cerah. Dulu bersama Retno, ia selalu menikmati senja yang terasa indah, lalu berjalan menyusuri keramaian kota, menuju pulang dengan berjalan pelan, tanpa merasa lelah. Wahyudi menghela napas, berharap semuanya adalah mimpi, tapi kemudian dia sadar bahwa ini adalah nyata. Takdir yang harus diterimanya, dan dijalaninya. Mengayuh hidup tanpa bisa merengkuh cintanya, tanpa jawab, apa yang menunggunya di muara sana.

“Hei, sudah mulai gelap, ayo pulang,” tiba-tiba Wuri berdiri dan berjalan ke arah tong sampah yang ada didekatnya, untuk membuang kulit-kulit kacang yang sudah habis disantapnya.

Wahyudi tersadar, iapun berdiri dengan rasa lelah, lalu melangkah kearah dimana sepeda motornya diparkir, lalu menuju pulang dengan Wuri di boncengan.

Wuri tak mau mengganggu. Ia tahu Wahyudi belum sepenuhnya bisa melupakan Retno. Pembicaraan yang menyinggung nama Retno, selalu membuatnya sedih.

“Besok aku kembali ke Jakarta,” kata Wahyudi ketika mengantarkan Wuri pulang.

“Ya, selamat jalan, aku tak bisa mengantarkan Mas, karena pagi-pagi harus membantu ibu.”

“Tidak apa-apa. Aku terbiasa sendirian,” katanya sendu.

“Jangan sedih, nanti akan ada Retno lain yang akan menghibur Mas,” kata Wuri bersungguh-sungguh.

“Aamiin,” Wahyudi tersenyum kemudian berlalu. Wuri menatapnya iba. Wahyudi sudah seperti kakak kandungnya. Kesedihan Wahyudi, membuatnya merasa sedih juga.

***

Dan di senja itu pula, pak Kartomo juga sudah kembali ke rumah. Dia pergi sejak pagi, dan bu Kartomo selalu membiarkannya. Kebiasaan baru pak Kartomo ialah pergi entah kemana, dan pulang entah kapan. Ia juga jarang makan masakan isterinya, yang setiap ditanya selalu mengatakan bahwa ia sudah makan di warung.

“Setiap hari makan di warung, apakah bukan pemborosan?” tegur bu Kartomo.

“Tidak seberapa. Boleh dong, sesekali bosan makan masakan rumah,” jawabnya enteng.

“Dari mana Bapak mendapatkan uang? Bapak bukan hanya sering makan di warung, tapi juga suka merokok.”

“Kamu tidak perlu bertanya dari mana uang yang aku dapatkan. Yang penting itu uang halal, bukan dari hasil mencuri atau menipu.”

“Ibu hanya heran.”

“Kamu itu kurang pergaulan, sedikit-sedikit heran.”

“Ya sudah sana, aku mulai pusing, bau rokok.”

“Kamu itu tidak tahu ya, laki-laki kalau merokok itu kelihatan gagah.”

“Gagah apanya. Badannya kurus ceking begitu, siapa bilang gagah.”

“O, menghina ya kamu Bu. Aku ini jelek-jelek begini masih digandrungi perempuan, tahu,” kata pak Kartomo sambil melangkah pergi.

Bu Kartomo menutup mulutnya dengan sebelah tangan manahan tawa mendengar kesombongan suaminya. Geli saja membayangkan suaminya digandrungi perempuan. Perempuan mana yang gandrung sama laki-laki kurus kering yang tidak pernah rapi dalam berdandan.

Dan pak Kartomo yang kebetulan menoleh, melihat isterinya cekikikan yang ditahan.

“O, belum tahu dia,” gumam pak Kartomo sambil masuk ke dalam kamarnya.

Tentu saja bu Kartomo tidak tahu, bahwa dia bisa memikat perempuan dengan uangnya. Entah apa jadinya kalau uangnya nanti habis, tapi pak Kartomo kan tidak pernah kehilangan akal? Akal bulus, maksudnya.

***

Hari itu bu Kartomo mendapat pesanan makanan untuk sebuah tasyakuran. Lumayan banyak sih, ada seratus kotak nasi dan lauknya. Bu Kartomo harus meminta tetangga untuk membantunya kalau pesanannya banyak. Tapi dia selalu belanja sendiri untuk semua keperluannya.

Pagi-pagi sekali bu Kartomo sudah berangkat ke pasar. Ia harus membeli daging dan sayuran untuk keperluan itu. Karena belanjaannya terlalu banyak, bu Kartomo harus mencari becak. Ia menenteng belanjaan yang lumayan berat sebelum mendapatkan becak. Ia juga harus membeli beberapa kilo beras.

Tiba-tiba seseorang berteriak.

“Bu … bu, ada yang jatuh.”

Bu Kartomo berhenti melangkah, menurunkan keranjang belanjaannya yang terasa berat, lalu menoleh ke belakang. Seorang gadis bergegas mendekatinya sambil menenteng sebuah bungkusan.

“Ini Bu, jatuh didekat penjual tahu tadi,” kata gadis itu.

“Ya ampun, terima kasih ya nak. Itu bungkusan daging,” kata bu Kartomo sambil menerima bungkusan daging yang lumayan banyak. Tapi bu Kartomo terkejut, ia seperti mengenal gadis itu.

“Bu Kartomo ya?” rupanya gadis itu lebih dulu mengenalinya.

“Lhoh, ini kan nak … siapa ya … duh, ibu lupa. Tetangganya nak Wahyudi kan?”

“Iya Bu, saya Wuri.”

“Ya … ya, Nak Wuri. Namanya orang tua, banyak lupanya.”

“Ibu belanja banyak sekali?”

“Iya nak, kebetulan ada pesanan besok pagi, jadi harus siap-siap hari ini.”

“Ibu naik apa?”

“Nanti sampai di luar Ibu mau mencari becak saja.”

“Mari saya bantu membawa sebagian belanjaannya Bu.”

“Sudah Nak, merepotkan saja.”

“Tidak apa-apa Bu, kan sudah hampir sampai di luar,” kata Wuri sambil menjinjing salah satu tas belanjaan bu Kartomo.

“Terima kasih lho nak, Ibu jadi merepotkan,” lata bu Kartomo setelah sampai di luar pasar.

“Tidak Bu, sungguh tidak merepotkan.”

“Nak Wuri mana belanjaannya?”

“Saya sudah pesan Bu, tinggal ambil. Ibu saya kan jualan masakan matang, biasanya pesan bahan belanjaan melalui  WA bu, lalu saya tinggal ambil.”

“Oh, praktis ya Nak, tidak perlu muter-muter.”

“Iya Bu. Kalau Ibu perlu, bisa minta nomor kontak langganan ibu yang jualannya lengkap, jadi Ibu tinggal ambil seperti saya.”

“Tidak bisa begitu Nak, Ibu kan tidak setiap hari dapat pesanan. Biasanya tidak belanja kemari, tapi di pasar dekat rumah saja. Ini karena agak banyak, dan disini kan kabarnya murah.”

“Memang murah Bu, karena pasar ini tempat para penjual sayur kulakan.”

“Iya nak, sayangnya tidak setiap hari harus belanja banyak. Nah, itu ada becak,” kata bu Kartomo yang segera melambai ke arah salah seorang tukang becak, maksudnya biar membantu membawa belanjaannya ke atas becaknya.

“Ibu pamit dulu ya nak.”

“Hati-hati ya Bu.”

Wuri menatap bu Kartomo yang mengangkat salah satu tas belanjaannya, sementara dua tas lagi diangkat oleh si tukang becak.

“Isterinya bekerja begitu berat, sempat-sempatnya suaminya main perempuan. Banyak duit barangkali,” gumam Wuri sambil kembali masuk ke pasar untuk mengambil  belanjaannya.

Wuri sudah hampir membuka mulutnya tadi,  untuk mengatakan apa yang dilihatnya tentang ketemunya dengan pak Kartomo, tapi diurungkannya karena teringat pesan Wahyudi yang melarangnya membicarakan hal itu kepada bu Kartomo seandainya bertemu. Dan ini tanpa sengaja bertemu, tapi Wuri harus menutup mulutnya.

***

“Ada pesenan banyak Bu?” tanya pak Kartomo ketika melihat ada kesibukan di dapur.

“Ya, bu Samirin syukuran, puteranya habis khitan.”

“Banyak dong duit Ibu.”

“Banyak lah, tapi ini bener-bener duit halal, dari hasil kerja dan tetesan keringat aku.”

“Wah, boleh dong bagi-bagi.”

“Bukankah Bapak sudah bisa mencari sendiri? Bukan dari mencuri, menipu atau berjudi? Berarti jatuh dari langit dong. Mana bisa orang nggak bekerja bisa punya uang?”

“Kamu tahu apa. Ya sudah, nggak jadi minta, aku masih punya uang,” katanya sambil ngeloyor pergi.

Bu Kartomo membiarkannya. Ia kembali ke dapur dan melanjutkan memasak, dibantu salah seorang tetangganya yang memang sering mambantu saat bu Kartomo sedang repot.

“Dagingnya sudah empuk Bu, santannya dimasukkan ya,” kata bu Rus tetangga yang membantu.

“Iya bu, masukkah saja, tapi jangan lupa harus sering diaduk agar santannya tidak pecah.”

“Setelah ini kentang yang untuk sambal goreng digoreng dulu kan?”

“Benar bu, ini saya potong-potong dulu kentangnya.”

“Masakan Bu Kartomo ini enak sekali lho.”

“Ah, masa sih Bu Rus, namanya memasak kalau bumbunya sama juga akan sama enaknya.”

“Tidak begitu Bu Kartomo, walau bumbunya sama kalau tangan yang memasaknya berbeda, rasanya juga akan berbeda.”

“Oh ya?”

“Ibu-ibu di kampung kita sering membicarakan masakan Ibu lho. Mereka bilang enak, lebih enak dari makanan yang dijual yu Semi.”

“Masa? Yu Semi kan sudah terkenal. Tukang jualan makanan matang sejak lama.”

“Akhir-akhir ini kata orang, rasanya berbeda.”

“Masa ?  Saya sih jarang beli makanan di yu Semi, lebih suka masak sendiri, lebih irit.”

“Tapi pak Kartomo suka makan diwarungnya yu Semi lho.”

“Oh ya?”

“Ibu tidak tahu ya, banyak gosip beredar, kabarnya … eh, tapi maaf ya bu … kabarnya yu Semi itu pacaran sama … sama … eh … maaf ya bu, sungguh saya kelepasan bicara.”

“Bu Rus ini mau ngomong apa sih? Ngomong saja, mengapa ragu-ragu?”

“Nggak Bu, takut saya. Nanti saya dikira mengadu.”

Bu Kartomo semakin penasaran karena bu Rus seperti sudah kelepasan bicara, tapi kemudian menyembunyikan sesuatu.”

“Kalau tadi Bu Rus tidak ngomong apa-apa, saya tidak apa-apa. Tapi kan tadi sudah kelepasan bicara, mengapa tidak di lanjutkan? Yu Semi pacaran sama suami saya?” kata Bu Kartomo menebak-nebak.

Bu Rus mengaduk aduk santan di wajan, mencegah agar santannya tidak pecah dan itu mengurangi kelezatannya.

“Benar ya Bu?” bu Kartomo mendesak.

“Tapi sungguh ya Bu, saya minta maaf.”

“Jadi benar?”

“Kabarnya sih begitu. Setelah tutup warung di sore hari, mereka sering jalan berdua. Dan pak Kartomo itu sangat royal lho bu.”

Bu Kartomo menghela napas, menahan nyeri yang menyesak dadanya. Tapi dia menahan perasaannya, melanjutkan memasak karena besok pagi harus sudah siap.

“Besok pagi Bu Rus masih membantu saya kan? Menata lauk di kardus-kardus,” katanya seakan tak merasakan apapun mendengar suaminya selingkuh.

“Iya Bu, pasti saya datang pagi-pagi. Setelah subuh saya sudah ada disini Bu. Tapi benar ya, Bu Kartomo tidak marah sama saya? Sungguh saya tadi kelepasan bicara.”

“Tidak apa-apa Bu, jangan dipikirkan. Ini kentangnya sudah selesai, Bu Rus tinggal menggoreng, saya akan membuat bumbunya.”

“Baiklah Bu.

***

Bu Kartomo menghitung pembayaran uang setelah mengirimkan pesanannya, lalu menyisihkannya untuk belanja harian, dan menyimpan keuntungannya di suatu tempat, dijadikan satu dengan pemberian uang belanja dari Retno beberapa minggu yang lalu.

Ia membuka almari, dan membuka kotak bekas roti yang dipergunakan untuk menyimpan uangnya. Tapi tiba-tiba bu Kartomo terkejut, uangnya berkurang banyak. Lebih separonya.

Ia mengambil kotak uang itu dan kembali menghitungnya diatas kasur. Wajahnya memerah menahan marah.

***

Besok lagi ya.

 

 

Monday, March 28, 2022

BUKAN MILIKKU 23

 

BUKAN MILIKKU  23

(Tien Kumalasari)

 

“Apa kabarmu ?” suara itu begitu lembut terdengar.

Retno bangkit lalu duduk di tepi ranjang.

“Kamu sehat? Bayi kamu sehat?”  lanjutnya.

Retno diam terpaku. Bagaimana mungkin Sapto melakukannya sementara isterinya ada disini? Apa Kori tidak melihat kedatangan suaminya?

Tiba-tiba timbul niat nakal di hati Retno. Ia ingin ber akrab-akrab dengan Sapto untuk memanasi hati Kori. Mulutnya tersenyum. Sapto terpana melihat senyum itu. Senyum yang tidak pernah dilihatnya selama ia menjadi suami Retno.

“Aku baik-baik saja,” jawabnya pelan.

“Selalu kontrol tepat waktu kan?”

“Ya, tentu.”

“Bagus. Aku senang kamu sangat memperhatikan bayi kita.

Retno tersenyum, tapi dalam hati ia merasa miris.

“Bayi kita? Berarti juga bayiku? Bukankah kamu akan mengambilnya dan memberikannya kepada Kori?” kata batin Retno.

“Mengapa senyummu hilang? Tadi kamu tersenyum, aku suka melihatnya.”

“Kamu ingat bukan, bahwa aku tidak mencintai kamu?”

“Ya, aku tahu. Memangnya kenapa? Bayi yang kamu kandung itu akan menautkan hati kita,” kata Sapto sambil menyentuh perut Retno.

Kata-kata yang terucap itu terasa sangat menyentuh. Tapi Retno merasa bahwa itu hanyalah palsu. Pada suatu hari nanti laki-laki yang bermanis-manis didepannya ini akan menyakitinya, bersama dengan ayahnya yang sok kuasa itu.

“Kamu kan punya isteri?”

“Aku punya kamu juga. Dan bayi yang kamu kandung itu sangat berharga untuk aku.”

“Tentu saja,” kata Retno tersenyum, sinis.

Tapi kemudian Retno teringat akan keinginan nakalnya.

“Senyummu kok aneh. Apa kamu mengejek aku?”

“Tidak, siapa mengejek kamu? Kamu memang benar, bayi ini sangat berharga untuk aku.”

“Dan untuk aku.”

“Baiklah, apa kamu sudah makan?”

“Belum, aku memang lapar. Maukah kamu menemani aku makan?”

“Tentu saja, akan aku siapkan,” kata Retno sambil berdiri, kamudian melangkah ke arah pintu.

“Retno.”

Retno berhenti melangkah.

“Tersenyumlah lagi, seperti tadi.”

Retno tersenyum. Benar-benar tersenyum, mengingat kenakalan yang akan dia lakukan.

“Terimakasih. Maukah selalu tersenyum untukku?”

Retno hanya tersenyum, lalu keluar dari kamarnya, menuju dapur. Ia menata meja untuk makan siang suaminya. Tulus atau tidak, ia melakukannya seperti seorang isteri melayani suami. Lagi pula dia sedikit merasa nyaman mendengar suara lembut suaminya.

“Bu Retno mau makan lagi?” tanya Yu Asih yang heran melihat Retno menghangatkan sayur kare yang tadi dibuatnya,

Retno meletakkan jari telunjuknya dimulut, meminta agar Asih diam saja.

Asihpun diam, tapi dia membantu Retno yang sibuk menyiapkan semuanya. Retno heran tak melihat Kori di ruang tengah. Tampaknya sudah masuk ke dalam kamarnya, sehingga tak tahu bahwa suaminya datang. Bu Siswanto juga tak terlihat disana.

Lalu Retno masuk kedalam kamarnya. Dilihatnya Sapto berbaring di atas ranjang sambil  memejamkan mata.

“Makan sudah siap,” katanya dari depan pintu.

Sapto diam. Barangkali juga pura-pura tidur, agar Retno mendekat.

Dan Retno memang mendekat.

“Makan sudah siap Mas.”

Sapto membuka matanya, menatap isterinya yang berdiri agak jauh di samping tempat tidur.

“Mas.”

“Mendekat dong, masa sih memanggil suaminya dari kejauhan begitu,” bujuk Sapto.

Retno menghela napas. Ia tak pernah berbaik-baik dengan suaminya, Tapi kali ini ia merasa lain. Perlahan dia mendekat.

“Jadi makan tidak?”

“Jadi dong. Tapi mendekatlah.”

“Ada apa? Sayurnya keburu dingin.”

“Maukah memeluk aku sebentar saja?”

Retno terkejut. Walaupun ingin berbaik-baik tapi dia tak mau melakukannya. Ia berdiri mematung.

“Retno.”

“Aku ingin muntah,” katanya sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

Dan ulahnya itu berhasil membuat Sapto khawatir.

“Baiklah … baiklah … tidak usah. Aku tidak tahu kalau kamu masih suka muntah setiap kali dekat denganku,” katanya sambil bangkit, lalu meraih tangan Retno tapi kemudian ditepiskannya.

Sapto mencoba mengerti. Ia cukup senang dengan sikap Retno siang itu. Ia tersenyum tipis, lalu melangkah ke arah meja makan. Retno mengikutinya, sambil menoleh ke arah kamar Kori yang tertutup. Agak kecewa melihat kamar itu masih tertutup. Lalu Retno berpikir, apa yang harus dilakukan supaya Kori melihatnya sedang bersama Sapto di ruang makan.

“Yuu, buatkan jus jambu buat Mas Sapto yaa,” tiba-tiba Retno berteriak dari arah ruang tengah, berharap Kori bisa mendengarnya.

Lalu Retno melangkah ke ruang makan dimana Sapto sudah lebih dulu duduk.

“Bu Retno tadi minta apa?” tanya Asih yang mendekat karena mendengar teriakan Retno.

“O, itu Yu, tolong buatkan jus untuk mas Sapto, tapi letakkan di ruang tengah saja,” kata Retno sambil menyendokkan nasi untuk Sapto.

“Baiklah Bu, saya malah tidak tahu kalau Pak Sapto datang.”

Retno tersenyum. Yu Asih pun tersenyum. Ia senang melihat kedekatan sepasang suami isteri yang tampak damai dan nyaman.

Benar-benar bagai bumi dan langit kalau dibandingkan dengan Kori saat meladeni suaminya. Banyak bicara, tapi lebih banyak marah-marahnya.

“Kamu tidak makan?”

“Aku hanya ingin menemani, tadi sudah makan bersama Ibu.”

“Tapi tidak apa-apa makan sedikit lagi. Hanya supaya aku bisa menyuap makanan ini lebih nikmat.

“Baiklah, aku makan sedikit saja.”

“Bagus, menyenangkan suami itu kan berpahala,” kata Sapto tersenyum.

“Sayur ini enak sekali. Yu Asih selalu bisa menyenangkan lidah penghuni rumah ini,” lanjut Sapto.

“Itu yang masak Bu Retno,” kata Asih yang kebetulan  melintas sambil membawa jus jambu pesanan Retno. Yu Asih juga heran mendengar Sapto memujinya. Selamanya Sapto selalu bersikap dingin, jarang sekali bicara dengannya kalau tidak sangat perlu.

“Oh ya? Kamu yang memasak?”

“Yu Asih yang mengajari aku.”

Sementara itu Asih meletakkan dua gelas jus jambu seperti yang dipesan Retno, di ruang tengah.

“Siapa yang tadi berteriak?” tanya Kori yang tiba-tiba keluar dari kamarnya. Asih tak menjawab, ia sudah membalikkan tubuhnya untuk kembali ke dapur ketika Kori kembali bicara.

“Ini jus jambu ya Yu?”

“Iya, kalau bu Kori mau, akan saya buatkan lagi.”

“Lha ini buat siapa?”

“Bu Retno yang memesan. Untuk bu Retno dan Pak Sapto.”

“Apa? Mas Sapto ada disini?”

“Sedang makan di ruang makan Bu,” kata Asih yang bergegas ke dapur karena enggan mendengarkan suara-suara kasar yang akan terdengar.

Kori merasa dadanya panas oleh gemuruh kemarahan. Ia melangkah ke arah ruang makan seperti terbang, lalu matanya melotot melihat Retno melayani suaminya. Retno sengaja mengambilkan sepotong ayam goreng ke piring Sapto tanpa Sapto memintanya, begitu mendengar suara Kori dari ruang tengah.

“Mas !!” pekiknya seperti menggetarkan ruangan dimana Sapto sedang asyik makan.

Sapto terkejut. Ia sama sekali tak mengira Kori ada dirumah.

“Kamu disini?”

“Huh, kamu kira aku ini bodoh? Kamu bilang tidak akan mampir ke Solo, tapi aku tidak percaya. Dan benar kan? Kamu mampir ke rumah? Kamu sudah tidak tahan menahan kerinduan kamu kepada perempuan itu kan?”

“Diam, Kori ! Kamu itu tidak pernah bisa bicara pelan ya?”

“Siapa yang tidak marah melihat suaminya selingkuh?” suara Kori semakin meninggi.

“Siapa selingkuh? Aku mendatangi isteri sah aku,” kata Sapto sambil menatap Retno yang sudah selesai makan.

“Kok sudah selesai makannya?” tanyanya kepada Retno.

“Kan aku bilang bahwa tadi sudah makan bersama ibu.”

“Ya sudah kamu beristirahat saja dulu,” kata Sapto lembut.

“Jus jambu ada di ruang tengah,” kata Retno sambil tersenyum, mengacuhkan madu nya yang berdiri di dekat suaminya dengan wajah merah padam.

“Terima kasih Retno,” kata Sapto sambil melanjutkan makannya.

“Mas!”

“Kecilkan suaramu,” kata Sapto sambil mencomot ayam gpreng dan melahapnya dengan nikmat.

“Yu, aku sudah Yu,” teriak Sapto sambil meletakkan tulang ayam yang dagingnya bersih disantapnya.

Asih mendekat, melihat pemandangan yang membuatnya ngeri. Sang suami duduk makan, dan isterinya berkacak pinggang sambil berdiri di dekatnya.

“Aku sudah Yu, masakan Retno enak sekali,” kata Sapto sambil berdiri, menuju ke arah wastafel untuk mencuci tangannya. Setelah itu ia berjalan ke ruang tengah untuk minum jus yang disiapkan Asih.

Kori semakin marah melihat suaminya mengacuhkannya. Ia mengejarnya dan menarik tangannya, tapi Sapto mengibaskannya.

“Mas !”

“Jangan bicara kalau kamu tidak bisa bersikap lebih halus.”

“Aku sedang marah karena kamu membohongi aku. Bagaimana mungkin orang marah bicara halus?”

Sapto duduk di sofa, lalu meminum jus nya perlahan.

“Katakan, mengapa Mas membohongi aku. Katanya tidak mau ke Solo, nyatanya bagaimana?”

“Aku tidak perlu mencari alasan apapun ketika aku ingin mendekati isteriku.”

“Kenapa bohong?”

“Tiba-tiba saja ingin pulang kemari.”

“Kangen sama perempuan itu?”

“Perempuan itu bernama Retno. Dan kalau iya, apakah aku salah?”

“Aku benci kamu Mas.”

“Ada apa ini? Lho, kamu Sap?” tiba tiba bu Siswanto sudah berada diantara mereka.

“Iya Bu, dari Semarang, mampir ke Solo dulu.”

“Syukurlah, sudah lama kamu tidak menjenguk isterimu.”

“Iya Bu, tidak bisa meninggalkan pekerjaan.”

“Ada apa ini, suaminya datang malah ribut?”

“Mas Sapto membohongi saya Bu, katanya tidak akan mampir ke Solo, ternyata mampir, tentu saja saya marah.”

“Kalau Sapto mampir ke Solo, itu tidak salah, bahkan sudah seharusnya mampir, karena dia juga punya kewajiban untuk menafkahi isterinya disini.”

“Aku benci Mas. Aku juga benci Retno. Mas juga berjanji akan menceraikan dia kan setelah anaknya lahir? Tapi sikap Mas tidak menunjukkan ke arah itu. Mas malah memperlihatkan bahwa Mas suka sama dia,” omel Kori tanpa sungkan kepada ibu mertuanya.

“Siapa yang akan bercerai? Menikah itu, sekali untuk selamanya, tidak sembarangan bercerai, apalagi sudah punya anak," kata bu Siswanto.

“Itu janji Mas Sapto sendiri Bu,” protes Kori.

“Tidak, lupakan janji itu.”

“Mas ingkar. Mas bohong.”

“Bu, ini tadi Sapto hanya mampir sebentar dan makan. Sore ini juga Sapto akan kembali ke Jakarta.

“Lho, secepat itu?”

“Iya bu, besok harus kembali bekerja.”

***

Di dalam kamarnya, Retno benar-benar menyesali kenakalannya. Ia hanya iseng, tapi ternyata kemudian  ia sedih mendengar keributan yang terjadi.

Retno lupa bahwa Kori tak akan pernah bisa menahan amarah di mana-mana.

“Ampunkan hamba, Ya Allah,” bisiknya penuh sesal.

Retno masih duduk di sofa di dalam kamarnya ketika pintu kamarnya terbuka, dan Sapto  muncul sambil tersenyum.

“Kenapa kemari? Isteri Mas marah-marah dan akan semakin marah nanti."

“Biarkan saja,” kata Sapto enteng.

“Maafkan aku,” kata Retno lirih.

“Mengapa minta maaf? Kamu tidak salah apa-apa.”

Retno diam.

“Aku mau kembali ke Jakarta,” katanya sambil duduk di dekat Retno.

Retno menatapnya.

“Jaga anak kita baik-baik, dan jangan lupa kontrol kalau sudah saatnya,” pesan Sapto.

Retno mengangguk.

“Benar-benar tak ingin aku menyentuhmu?”

Retno menutup mulutnya dengan tangan. Sapto berdiri menjauh.

“Baiklah, jangan sampai aku membuat kamu muntah. Aku pergi ya.”

Retno mengangguk.

“Bolehkah aku menelpon kamu sesekali?”

“Tidak usah, aku ingin merasa lebih tenang.”

“Memangnya kenapa?”

“Jangan membuat isteri Mas marah.”

“Maaas!” suara teriakan dari luar terdengar. Retno mengelus dadanya.

Sapto keluar, menutupkan pintu kamar pelan, tapi tak menjawab teriakan Kori.

Saat itu juga mereka pulang ke Jakarta, dan Retno merasa lega.

***

“Budi, kamu masih di kantor?” tanya pak Siswanto ketika menelpon Budiono.

“Ya Pak, pulang sebentar lagi.”

“Apa Kori menelpon kamu?”

“Kori? Mbak Kori?”

“Iya, siapa lagi?”

“Tidak.”

“Tidak? Tadi dia bilang mau belanja, lalu aku minta agar kamu pulang agak awal untuk menemaninya.”

“Tapi Mbak Kori tidak menelpon saya.”

“Baiklah, kamu cepat pulang  sekarang. Kasihan dia tidak ada temannya.”

“Bapak akan pulang jam berapa?”

“Ini belum selesai, mungkin sore nanti. Tiba di rumah agak malam pastinya. Cepat kamu pulang ya. Kasihan dia.”

“Baiklah.”

Budi mengemasi berkas-berkas di mejanya, lalu beranjak pulang. Ada rasa enggan ketika ayahnya memintanya agar menemani Kori belanja.

***

Dengan mulut cemberut Budi masuk ke dalam rumah. Tapi sebelum menaiki tangga, bu Siswanto menyapanya.

“Budi, masih sore kok sudah pulang, tumben.”

“Bapak menyuruh Budi pulang cepat.”

“Ayahmu?”

“Kata bapak, Budi harus mengantarkan mbak Kori. Dimana dia sekarang?”

“Sudah pulang.”

“Pulang ke rumahnya yang disini?”

“Pulang ke Jakarta.”

“Kok pulang? Tumben ke rumah hanya sebentar,” tukas Budi yang merasa lega.

“Kakakmu Sapto datang dari Semarang, mereka ribut, lalu kakakmu memutuskan pulang sore ini.”

“Mbak Kori ikut pulang jadinya?”

“Ya. Begitulah .”

“Syukurlah. Budi senang tidak harus mengantarkannya jalan-jalan.”

“Bapakmu sangat perhatian sama menantunya yang satu itu,”

“Ya sudah Bu, Budi istirahat dulu.”

***

Wahyudi sudah seminggu berada di Solo. Tapi dia harus kembali ke Jakarta karena pimpinannya tidak ingin Wahyudi terlalu lama meninggalkan tugasnya.

Sore hari itu Wahyudi mengajak Wuri jalan-jalan, sebelum esok harinya kembali ke Jakarta.

“Mas Yudi dulu pernah cerita kalau ada teman mas Yudi yang mau mengenalkan seseorang agar menjadi pacar Mas,” kata Wuri sambil ngemil kacang rebus yang dibelinya di pinggir jalan ketika mereka istirahat di sebuah taman.

“Dia itu bohong.”

“Bohong bagaimana sih?”

“Ya bohong. Katanya mau mencarikan aku pacar, lalu kami bertamu ke rumah gadis itu. Eeh, beberapa hari kemudian gadis itu malah dipacari sendiri oleh dia.”

“Oh ya?” kata Wuri sambil tertawa.

“Kok malah tertawa sih? Kamu senang ya melihat aku kecewa?”

“Bukan senang, Lucu sekali sih. Bisa-bisanya dibohongi teman.”

“Bukan dibohongi, gadis itu yang memilih teman aku, bukan aku yang dipilihnya.”

“O, kenapa? Kalah ganteng pasti.”

“Kalah dalam merayu.”

“Ya sudah, bukan jodoh, barangkali. Eh mas, lihat!” tiba-tiba Wuri berteriak.

“Ada apa sih?”

“Lihat itu, orang yang menggandeng perempuan itu.”

“Iya kenapa? Orang dia tidak menggandeng tangan kamu, kok kamu yang ribut?”

“Yee, mas Yudi kok gitu, Laki-laki itu, bukankah yang kita pernah ketemu dulu itu? Bapaknya Mbak Retno, ya kan?”

Wahyudi terkejut. Itu memang pak Kartomo, bersama perempuan lain, bukan ibunya Retno.

***

Besok lagi ya.

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...