Sunday, May 31, 2020

LESTARI PUNYA MIMPI 09

LESTARI PUNYA MIMPI  09

(Tien Kumalasari)

 

Sore itu Asty berkemas-kemas. Sore ini mertuanya mengajaknya kembali ke Magelang. Orang tua sering begitu, tidak pernah kerasan tinggal lama dirumah anaknya. Lebih suka berada dirumahnya sendiri. Bagi Asty itu tidak masalah. Dia sudah tau bagaimana sikap Nugroho, bagaimana isi hatinya.Baginya apa yang dilakukannya adalah baktinya kepada orang tuanya. Bahwa ternyata cintanya kandas dibatu keras, itu sudah disadarinya dan sudah dirasakannya sejak awal pernikahannya. Dan dia bisa menerimanya. Hidupnya adalah hidup Astari anak kandungnya, belahan jiwanya. Nugroho hanyalah orang yang kebetulan hidup bersama-sama. Bukankah cinta tidak harus memiliki? Menderitakah Asty? Tidak. Derita itu sudah perlahan dihapusnya bersama bergulungnya hari demi hari  yang sudah dilaluinya.

Asty menitipkan anaknya dipangkuan metuanya ketika ia menata barang-barang yang akan dibawanya. Lalu membawa sebuah kopor besar berisi perlengkapan bayi dan pakaiannya sendiri   kedepan. Dilihatnya Nugroho duduk diteras sendirian, mengotak atik ponsel entah sedang melakukan apa.

Ketika Asty mau melangkah kebelakang, Nugroho memanggilnya.

"Asty, kemari sebentar."

Asty mendekat lalu duduk didepan suaminya, karena suaminya memberi isyarat dengan tangannya agar dia duduk.   

"Aku ingin bicara sama kamu."

"Ya mas.."

"Ini hal yang mungkin membuat kamu kecewa. Sebelumnya aku minta ma'af."

Asty menatap suaminya dengan hati berdebar. Apakah dia akan menceraikan aku? Bisik batinnya.Tapi Asty sudah menata hatiya. Diceraikan atau tidak, adakah bedanya? Toh dia juga tidak bisa memiliki Nugroho sepenuhnya. Hati Asty kokoh bagai tembok berkerangka besi. Tak ada rasa khawatir walau jantungnya berdebar kencang.

"Asty, aku ingin menikahi gadis itu," kata Nugroho pelan, sambil menatap Asti lekat. Bagaimanapun ia merasa bersalah dan berat harus mengucapkan itu. 

Tapi tanpa diduga Asty mengembangkan sebuah senyuman. Senyuman begitu manis yang tak pernah disadari Nugroho sebagai miliknya.

"Mas Imam Nugroho, aku isteri yang mencintai suamiku. Kalau suamiku tidak bahagia, akupun juga tidak.bahagia. Jadi lakukanlah apa yang terbaik menurut mas, dan yang bisa membuat mas bahagia."

Kata-kata itu begitu tulus, muncul meluncur lancar dari bibir tipisnya. Nugroho terpana. Ia mencari air mata yang pasti akan mengambang, mewakili rasa sakit hati dan luka. Tapi air mata itu tak ada. Mata bening berbinar indah, menatapnya dengan senyum tersungging, begitu tulus.

Lalu tiba-tiba  Nugroho merasa bahwa Asty telah menghempaskannya jatuh dari ketinggihan, ngilu dan  sakit.

"Mengapa menatapku seperti itu mas? Tidak mempercayai kata-kataku? Apakah nada suaraku tidak menunjukkan bahwa aku tulus mengucapkannya? Tulus sampai ke dasar hatiku?"

"Asty...aku minta ma'af," kata Nuhroho dengan suara bergetar.

"Apa yang harus dima'afkan? Aku senang mas Nugroho sudah mengatakannya sejak awal pernikahan kita sehingga aku segera bisa menata batin. Aku merasa bahwa kita hidup bersama-sama, seperti aku hidup bersama orang lainnya. Ada status suami isteri tapi tidak dengan rasa apapun dihati kita."

"Kamu sangat baik.."

"Ah... bukan karena aku baik, aku melakukannya karena baktiku kepada orang tua."

"Asty, apakah kamu tau siapa gadis yang aku maksud?"

"Apakah aku perlu tau? Siapapun dia kalau itu membuat mas bahagia, lakukanlah," kata Asty sambil berdiri. Ia mendengar rengek Astari. Sa'atnya menyusukan, sebelum berangkat pulang ke Magelang.

Nugroho tercenung dikursinya. Sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa gadis itu adalah Tari, sahabat Asty, tapi urung dikatakannya karena Asty tampak tak perduli. Ia heran Asty begitu tegar mendengar suaminya ingin menikah lagi. Tak tampak luka atau sakit hati, justru senyumnya mengembang dan itu membuat Nugroho seperti terpuruk dalam angan-angannya sendiri.

 

***

 

Sore hari itu Tari sudah berada dirumah orang tuanya. Tak usah menunggu Minggu supaya bisa tidur bersama adik-adiknya. 

Suasana ramai dan begitu hingat bingar, karena malam Minggu tak ada acara untuk belajar. Canda ceria memenuhi rumah kecil sederhana tapi yang penuh kasih sayang itu. Sejenak Tari melupakan kegelisahannya atas permintaan Nugroho beberapa hari yang lalu.

Tapi malam sebelum tidu r sebuah pesan singkat mengusiknya. 

"TARI, BOLEHKAH AKU BICARA?"

Berdebar hati Tari. Tapi dijawabnya pesan itu.

"TIDAK BOLEH, AKU SEDANG BERADA DIRUMAH ORANG TUAKU."

Lalu dimatikannya ponselnya.

Tari menarik selimutnya, meringkuk disamping Suci yang sudah terlelap sejak tadi. Sesungguhnya hatinya memang benar-benar terusik. Ia hampir bisa mengobati sakit hatinya ketika tiba-tiba Nugroho muncul lagi dan merayunya. Aduhai.

Tiba-tiba terdengar suara ibunya yang melongok kearah kamar.

"Tari, kamu sudah tidur?"

Tari membalikkan tubuhnya.

"Belum bu, ada apa?"

"Keluarlah sebentar, ibu mau bicara."

Tari melemparkan selimutnya dan turun dari pembaringan, menghampiri ibunya yang duduk sendirian diruang tengah. Tampaknya bapaknya sudah tertidur, lelah sehabis bekerja seharian.

"Duduklah dulu."

"Ya bu, ada apa, tampaknya penting sekali?" tanya Tari sambil duduk didepan ibunya.

"Ibu tuh mikirin kamu, bekerja keras sendiri untuk membantu orang tua."

"Tidak apa-apa bu, Tari senang melakukannya. Mengapa ibu  memikirkan Tari?"

"Ibu ingin kamu segera menikah."

Tari tersenyum.

"Iya bu, nanti kalau sudah ada yang mau sama Tari."

"Ini ada yang mau lho nduk."

Tari terkejut.

"Apa?"

"Kemarin ibu ketemu bu Yana. Itu,, yang rumahnya disudut kampung, kamu tau kan?"

 "Ya, sudah tua sekali ya bu, bu Yana itu? Tapi masih tampak sehat."

"Benar. Anaknya bu Yana yang sulung itu kan belum menikah."

"O, mas Hartono?"

"Iya, dia sudah mapan, jadi pegawai negri pula. Bu Yana bermaksud mengambilmu sebagai menantu. Bagaimana ?"

Tari kenal sama mas Hartono. Umurnya jauh diatasnya, mungkin terpaut sampai belasan tahun. Tapi orangnya tampak cuek, tak pernah bersikap ramah kepada siapapun juga. Mungkin itu salah satu sebab mengapa dia jadi perjaka tua.

"Bagaimana Tari? Cuma saja, dia bekerjanya bukan disini, jauh dikota lain, ibu belum menanyakannya dimana."

Tari menghela nafas. 

"Bolehkah Tari memikirkannya dulu? Sepertinya Tari kurang suka sama dia.""

"Kamu boleh memikirkannya, dan ibu juga tidak memaksa. Ibu cuma menyampaikan saja pesan bu Yana. Kalau tidak mau menerima ya tidak apa-apa."

"Ya bu, Tari akan memikirkannya. Cuma sebenarnya Tari belum memikirkan untuk berumah tangga."

"Kamu kan sudah dewasa."

"Belum dulu ya bu.. tapi Tari akan memikirkannya, " kata Tari sambil berdiri. 

Ibunya menghela nafas panjang. Jawaban Tari menyuratkan  jawaban tidak menerima, walau katanya ingin memikirkannya.

"Ya sudah, barangkali belum jodohnya," gumam ibunya lirih.

***

Pagi hari itu Tari ingin mengajak Suci kepasar. Tari ingin memasak buat bapak ibu dan adik-adiknya. Ia menunggu diteras karena Suci baru mandi.

Tiba-tiba ibunya keluar sambil membawa ponselnya yang masih mengeluarkan bunyi berdering.

"Ada telpon nduk."

Tari menerima ponselnya dan melihat siapa yang menelpon. Rupanya Asty. Tari mengangkatnya.

"Selamat pagi nyah," sapa Tari ramah.

"Tari, kamu dimana?"

"Saya dikampung, dirumah orang tuaku. Kamu masih di Solo?"

"Tidak, kemarin sore sudah bertolak ke Magelang, kan aku sudah bilang sama kamu."

"Jadi ini dirumah Magelang?"

"Malam tadi baru nyampe. Ini aku habis menidurkan anakku, lalu ingin omong-omong sama kamu."

"Oh, iya.. bicaralah, ada apa?"

"Kamu tau nggak, kemarin sore, sebelum berangkat pulang, suamiku mengajakku bicara. Dia bilang ingin menikahi gadis yang dia cintai itu."

Tari terkejut. Bahkan Nugroho sampai berterus terang mengenai hal itu pada isterinya? Sungguh keterlaluan. Pasti Asty sangat sedih.

"Asty, aku ikut prihatin ya, kamu sedih sekali pastinya."

"Tidak, aku baik-baik saja."

"Apa? Baik-baik saja? Suami minta ijin mau menikah lagi dan kamu bilang baik-baik saja?"

"Tari, aku itu sama suamiku sudah sejak awal hanya sebagai teman hidup saja. Hidup bertetangga malah, karena dia jarang menemui aku sebagai seorang suami. Jadi perasaanku biasa saja. Sungguh."

"Lalu kamu bilang apa?"

"Aku bilang sesukamu .. gitu saja. Pokoknya yang terbaik bagi dia, yang bisa membuatnya bahagia, aku persilahkan dia melakukannya."

Tari geleng-geleng kepala.

"Kamu luar biasa Asty. Sungguh suamimu sangat keterlaluan."

"Tidak apa-apa Tari, aku menelponmu bukan karena aku ingin berkeluh, tapi hanya ingin berbagi cerita saja."

"Aku ikut prihatin Asty."

"Jangan, aku baik-baik saja kok."

"Ayo mbak, aku sudah selesai," tiba-tiba Suci muncul dan sudah rapi.

"Ya, sebentar."

"Tari, kamu mau bepergian?" tanya Asty karena mendengar suara Suci.

"Cuma mau kepasar, aku ingin memasak untuk keluargaku."

"Oh, bagus Tari. Baiklah, pergilah kepasar dan masak yang enak ya, aku juga mau menyiapkan makan pagi untuk mertuaku."

"Suamimu ada kan?"

"Tidak, kami pulang bersama sopir."

"Oh.."

 

***

 

Disepanjang perjalanan kepasar itu Tari terus memikirkan pembicaraannya dengan Asty di telpon. Ia merasa Nugroho sangat keterlaluan. Ia selalu menyakiti hati isterinya. Dan itu yang Tari tidak suka. Asty sahabatnya yang sangat baik, yang diharapkannya akan hidup bahagia disamping suaminya, ternyata tidak.Tari sudah merelakannya dan hampir berhasil memupus sakit hatinya. Tapi sekarang Nugroho mengusiknya lagi.

 Lalu Tari teringat kata-kata Janto, untuk menghindari Nugroho, jalan terbaik adalah segera menikah. Aduhai. Menikah dengan siapa? Ia juga teringat pembicaraannya dengan ibunya semalam, ada yang mau mengambilnya sebagai menantu. Tapi sungguh Tari tidak suka. Hartono terlalu tua untuknya. Bukan itu saja, laki-laki itu sangat aneh dan sukar bertegur sapa dengan siapapun juga. Tidak, Tari tidak mau.

"mBak, kita beli apa dulu, mengapa terus kesana, pasarnya belok kekanan," tegur Suci karena kakaknya seperti berjalan tanpa arah.

"Oh.. iya.."

"mBak Tari melamun ya ?"

"Ah, cuma memikirkan mau masak apa.."

"Katanya mau bikin ca sayur, sama goreng ayam. Kita beli sayur dulu kesana."

"Oh iya, mbak lupa."

"Mbak seperti sedang memikirkan sesuatu. Ingat sama mas Nugroho ya?" goda Suci.

"Ih, kamu ada-ada saja.."

"Ibu kemarin bulang, bu Yana mau mengambil menantu mbak Tari."

"Oh, kamu juga tau?"

"Tau, ngomongnya sama bapak, aku mendengarnya."

"Kamu nguping ya? Nggak bagus itu, nguping pembicaraan orang tua."

"Suci bukannya nguping, kebetulan lewat dan mendengar. mBak mau jadi isterinya pak Hartono?"

"Bagaimana menurutmu?"

"Jangan mbak, dia itu orang aneh, nggak pernah bertegur sapa walau ketemu tetangga. Eh mbak, cari suami yang ganteng dong, kayak mas Nugroho."

Tari hanya tersenyum.

"Ayo beli sayur dulu, itu ada brokoli segar-segar."

***

 

Makan siang dirumah terasa nikmat, dan juga heboh, karena adik-adik Tari dengan gembira menyantap masakan kakaknya.

"Kemarin mbak Tari gajihan ya, makanya beli ayam begini banyak?" tanya adiknya yang nomer tiga.

"Kalau ada rejeki banyak, pasti mbak Tari akan memasak yang enak buat kalian, yang paling kalian sukai. Ayam pada suka kan?" tanya Tari.

"Suka mbak, apalagi yang ada kremesnya seperti ini."

"Benar, aku juga suka," teriak yang lainnya.

"Besok-besok beli ikan ya mbak. Ikan bakar juga enak.."

"Baiklah, baiklah, semua keinginan kalian akan mbak catat semua. Nanti kalau mbak pulang lagi pasti akan mbak belikan."

"Yang enak yang dimasak mbak Tari atau ibu. Kalau mbak Suci pasti keasinan."

Adik-adik yang lain tertawa, tapi Suci mengerucutkan bibirnya, kesal.

"Tidak, masakan mbak Suci juga enak kok, Hanya saja karena kamu nggak suka asin, jadi merasa keasinan. Tapi mbak Tari suka tuh. Ya kan bu?"

"Iya, ibu juga suka."

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.

Tari berdiri mengintip dari balik korden. Dan Tari sangat terkejut. Ia melihat Nugroho berdiri didepan pintu. Tari kembali dan mendekati ibunya.

"Ibu, tolong ibu keluar dan bilang kalau Tari tidak pulang ya bu?" bisik Tari cemas.

"Mengapa?"

"Tolong bu," kata Tari sambil menelangkupkan kedua telapak tangannya, memohon.

Sang ibu berdiri dan melangkah keluar. Tari menyuruh adik-adiknya diam, dan tidak ada yang keluar atau bersuara. Tari lupa bahwa rumahnya tidak begitu besar, jadi suara gaduh dari dalam pasti terdengar.

"Eeh, nak Nugroho ya ?" 

"Iya ibu, lama tidak bertemu," kata Nugroho sambil mencium tangan ibunya Tari.

"Silahkan duduk nak, tapi dirumah sedang tidak ada orang."

"Oh, Tari tidak pulang?"

"Tidak nak."

"Tadi saya ketempat kostnya, tapi pintunya terkunci, saya kira Tari pulang."

Tapi Nugroho tidak lupa, semalam Tari mengatakan kalau Tari berada dirumah orang tuanya, jadi dia tau bahwa ibunya Tari berbohong. Pasti Tari yang memintanya.

"Tidak nak."

"Dimana Suci dan adik-adiknya?"

"Main barangkali, ibu tidak tau kemana. Bapak sedang tidur."

"Oh, ma'af saya mengganggu. Kalau begitu saya pamit saja bu, ini sekedar oleh-oleh untuk Suci dan adik-adiknya," kata Nugroho sambil mengulurkan satu tas besar berisi oleh-oleh.

"Tidak duduk dulu nak?"

"Terimakasih bu, lain kali saya akan bertandang lebih lama."

"Terimakasih juga sudah repot-repot membawa oleh-oleh untuk anak-anak."

Nugroho berlalu. Setelah suara mobil menjauh, barulah Tari dan adik-adiknya keluar.

"Aduh nduk, gara-gara kamu ibu harus berbohong." keluh sang ibu.

"Ma'af bu, saya memang sedang menghindari dia. Dia kan sudah menikah, tidak baik kalau masih sering menemui saya."

"Ya nduk, ibu juga setuju. Nanti kalau isterinya tau kamu akan dikira mengganggu rumah tangganya."

 

***

 

Sore sepulang kantor seperti biasa Tari ikut bersama mobil Janto. Tapi ketika mobil itu akan keluar, Tari melihat Nugroho berdiri menghadang.

Janto terpaksa menghentikan mobilnya.

"Tari, aku ingin bicara."

Aduh, nekat sekali Nugroho ini. Menemui di kost atau dirumah tak berhasil, dia nekat mencegatnya di kantor sa'at pulang kerja.

Tari memandangi Janto, seakan minta pendapat.

"Temui saja dia, maunya apa," kata Janto pelan lalu membukakan pintu otomatis untuk Tari. Tari keluar dengan hati berdebar. Nugroho menatapnya lekat.

"Ada apa mas?"

"Tari, ma'af, karena susah menemui kamu, jadi aku nekat mencegatmu disini. Di kost tdak ada, dirumah kamu sembunyi dan tidak mau menemui aku."

"Mas.."

"Kemarin aku kerumah, mendengar suara ramai adik-adikmu, dan aku juga mendengar suara kamu, tapi kamu tidak mau keluar. Jadi ma'af, aku menempuh cara ini."

"Mau apa lagi sih mas?" tanya Tari tanpa berani menatap wajah Nugroho. Si  tampan ini masih memiliki tatapan memukau, dan Tari tak ingin tergoda.

"Ayo ikut bersamaku Tari, aku ingin bicara."

"Mas itu bagaimana, apa mas lupa kalau mas sudah beristeri?"

"Tari, dengar, aku sudah bicara sama Asty.."

"Tidak mas, aku sudah mau menikah."

Nugroho tercengang. 

"Itu benar mas, dia calon suamiku," katanya sambil menunjuk kearah Janto yang sudah meminggirkan mobilnya.

 

***

 

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

Saturday, May 30, 2020

LESTARI PUNYA MIMPI 08

LESTARI PUNYA MIMPI  08

(Tien Kumalasari)

 

"Tari, senang sekali aku. Kangennyaaa... , sudah setahun lebih kita tidak bertemu Tari," kata Asty bersemangat, sambil memeluk Tari dan menciuminya bertubi-tubi.

"Heiii... anakmu gelagapan nih.." kata Tari sambil mendorong Asty pelan. Bayi mungil itu kemudian digendongnya masuk kekamar.

"Anakmu cantik, kata Tari sambil mencium pipi  bayi mungil yang dipangkunya.

"Iya, aku namakan dia Astari, dan bapaknya tidak keberatan. Dia justru suka nama itu."

"Apa artinya Astari? Mengapa mirip dengan namaku?"

"Supaya aku bisa selalu mengingat kamu."

Tari tersenyum.

"Ini bayi masih lembut begini, mengapa sore-sore kamu ajak kemari?"

"Aku dari dokter anak, sekalian mampir."

"Sakit?"

"Tidak, hanya konsultasi saja. Aku kan baru sekali punya anak, banyak yang harus aku tanyakan."

"Kamu sudah lama disini?"

"Tidak, baru seminggu. Aku tidak jadi ikut tinggal disini karena harus menemani mertua di Magelang.  Sampai aku melahirkan disana."

Ini juga bersama mertua. Aku senang mertuaku sudah kembali sehat. Tapi beliau bilang tidak ingin lama-lama disini. Padahal aku kan lebih suka tinggal disini, dekat suami."

"Aku senang kamu bahagia Asty."

"Entahlah, aku tau bahwa suamiku sebenarnya tidak mencintai aku."

Tari tertegun, tapi ia tak mengucapkan apa-apa.

"Dulu ketika malam pertama, dia bilang bahwa dia mencintai orang lain. Hanya karena ibunya maka dia menikahi aku."

Tari membelalakkan matanya.

"Dia menyakiti kamu Asty."

"Tidak. Aku menerimanya dengan ikhlas. Memang pernikahan kami kan karena orang tua. Tapi aku sangat mencintai suamiku ."

"Sudah setahun lebih berjalan, dan sudah punya anak begini cantik, pasti cinta suamimu sudah tumbuh subur."

"Entahlah. Dia suka sama anaknya, tapi tidak suka sama ibunya."

"Kamu menganggapnya begitu? "

"Bagaimana sikap seorang yang mencintai, dan tidak itu kan kelihatan. Ia tidak pernah mengatakan cinta, tidak pernah bersikap mesra."

"Masa sih? Nyatanya kalian punya anak begini cantik."

"Barangkali dia membayangkannya dengan gadis yang katanya dicintai itu.," kata Asty sendu.

Tiba-tiba Tari merasa iba terhadap Asty. Dia mendapatkan tubuhnya, tapi tidak mendapatkan hatinya. Betapa itu menyakitkan.Tari merangkul Asty dengan sebelah tangannya.

"Pada suatu hari nanti cinta suamimu pasti akan tumbuh." hiburnya.

"Sudah setahun. Apalagi kami jarang bersama. Dia hanya sekali sebulan datang ke rumah ibunya di Magelang, dan ketika itulah kami bertemu. Dan walau sebulan tak ketemu, tak pernah dia tampak rindu sama aku. Dia datang, lalu aku mencium tangannya, kemudian ketika kami sudah punya anak, dia mendekati anaknya, menggendongnya. Aku bukan apa-apa. Tugasku hanya melayani dia makan, menyiapkan semua kebutuhannya, tapi kami tidak tidur bersama."

"Apa?"

"Itu benar Tari. Dia tidur diruang tamu, dan kalau ibunya menegur, katanya takut mengganggu anaknya. Ketika aku hamil, juga dia bilang takut mengganggu isteri yang sedang hamil."

Asty menghela nafas, tapi dia tetap mencoba untuk tersenyum. 

Ada rasa iba dihati Tari. Si ganteng yang diimpikannya ternyata tidak bisa membuatnya bahagia. Tari yakin Asty menangis dalam hati. Lalu dibayangkannya, mana yang lebih sakit, mencintai tidak bisa memiliki, atau memiliki tapi tidak dicintai?

"Tari, aku sebenarnya sudah lama ingin ketemu kamu. Tapi kalau pergi selalu harus bersama ibu mertuaku. Kami jarang kemari karena mas Nug lah yang datang ke Magelang."

"Kamu harus sabar Asty, bahagia itu pasti datang nanti."

Titik air mata Asty mendengar kata-kata penghibur dari Tari.

"Aku ikhlas menerimanya, demi orang tua kami Tari. Apalagi mertuaku sangat menyayangi aku. Itu cukup bagiku."

Tari terharu. Benarkah Nugroho masih mencintainya? Tapi alangkah tega dia mengatakannya terus terang kepada isterinya. Pasti sangat sakit mendengarnya.Dan Asty tampaknya tak tau bahwa gadis yang dimaksud Nugroho itu dirinya.  Apa yang terjadi apabila Asty mengetahuinya?

Tiba-tiba ponsel Asty berdering.

Asty mengambilnya.

"Dari ibu mertuaku.." bisiknya 

"Ya ibu... sudah.. saya sedang dirumah teman. Oh ya, sebentar lagi. Astari baik-baik saja. Iya, kami segera pulang."

Asty menghela nafas sambil memasukkan kembali ponselnya kedalam tas.

Bayi Asty merengek... Tari mengayunkannya sambil berdiri.

"Haus nih kayaknya, susukan sebentar dong, kasihan."

Asty menerima bayinya dan menyusukannya dengan mata berbinar. Bahagianya adalah ketika dekat dengan bayinya.

"Tari, jangan lupa kamu beri aku nomor kontakmu ya."

 

*** 

Malam itu Tari melamun sendiri dikamarnya. Ia mengira Asty hidup bahagia disamping laki-laki yang menjadi idamannya, ternyata tidak. Ia lebih sakit dari dirinya. Mencintai seseorang yang sama sekali tak pemperdulikannya walau menjadi suaminya.

Selama ini Tari iri padanya, iri akan kebahagiaanya. Ternyata tidak. Sekarang ia justru kasihan pada Asty yang merasa tersakiti.

Tari hampir memejamkan matanya ketika ponselnya berdering. Ia tak kenal nomor itu, jadi diacuhkannya. Ia meraih guling dan didekapnya. Rasanya kantuk sudah menyerangnya. Namun ponsel itu terus-menerus berdering. Dengan mata setengah terpejam diangkatnya.

"Hallo,"

"Selamat malam Tari," sapa itu datang dari seberang, sangat lembut dan sangat dikenalnya. Kantuk itu lenyap seketika. Itu suara Nugroho.

"Lestari Rahayu ?" Nugroho memanggilnya dengan nama lengkap. 

"Mas Nugroho ?"

"Senang kamu masih mengingat aku Tari."

"Darimana mas bisa tau nomor ini?"

"Tadi Asty dari sini bukan? Aku tau dia temanmu, dan kalau dia kemari pasti dia meminta nomor kontakmu. Aku mencarinya di ponsel dia ketika dia tidur dan ketemu. Syukurlah."

"Oh,  gitu mas, tapi aku senang mas menelpon. Aku ingin bicara sama mas."

"Ya aku tau, pasti kamu kangen sama aku, seperti juga aku."

"Mas, kata-kata itu sungguh tidak pantas. Aku senang mas menelpon karena aku ingin memarahi mas."

"Ingin memarahi aku? Iya silahkan Tari, aku memang bersalah. Aku menikah demi orang tuaku, tapi sumpah demi langit, aku masih tetap mencintai kamu."

"Mas Imam Nugroho, kamu telah melakukan kesalahan yang sangat besar."

"Tari..."

"Kamu memang menikah tanpa dasar cinta mas, tapi kamu tidak bisa melukai isteri kamu dengan mengatakan bahwa mas masih mencintai  gadis lain. Itu tidak benar, itu sangat kejam mas. Kalau mas sudah bersedia menikahi dia, maka mas harus mencintainya, melindunginya, menyayanginya, bukan justru membuatnya menderita."

"Tari...tapi aku tidak ingin berpura-pura. Aku ingin dia tau bagaimana perasaanku yang sesungguhnya."

"Mas sudah punya anak, bayi cantik yang menggemaskan."

"Bayi itu seharusnya lahir dari rahim kamu."

Tari tercenung. Sore tadi begitu melihat bayi itu, batinnya juga membisikkan kata-kata yang mirip dengan apa yang dikatakan Nugroho barusan.

'Bayi yang seharusnya aku lahirkan'

"Tari, apakah kamu masih sendiri?"

"Aku harus menekuni pekerjaanku, demi keluargaku."

"Aku ingin menikahi kamu Tari."

Tari terkejut bukan alang kepalang. Ponsel yang digenggamnya sampai terjatuh disamping bantal.

"Jangan gila mas."

"Aku memag gila Tari, aku tak bisa hidup tanpa kamu. Kalau kamu bersedia, aku akan bicara sama Asty. Aku sudah bilang bahwa aku mencintai orang lain," kata Nuroho enteng.

 Tari menutup ponselnya, dan mematikannya agar Nugroho tak lagi menghubunginya.

Permintaan Nugroho sungguh diluar akal warasnya. Ia sebenarnya sangat lelah, tapi sang kantuk hilang entah kemana. Hampir pagi barulah ia memejamkan matanya.

 

***

 

Tari terkejut ketika mendengar ketukan pintu kamarnya. Ia bangkit dan mengucek matanya. Lalu dilihatnya jam beker yang ada diatas meja.

"Astaghfirullah.. jam 8?"

Sementar itu ketukan dipintu terdengar semakin gencar. Tari merasa kesal. Pasti pengetuk pintu itu habis sarapan sepiring besar nasi sehingga bisa mengetuk pintunya begitu keras.

Ia membenahi baju dan rambutnya, lalu membuka pintu. Astaga, Janto berdiri diluar dengan mata melotot.

"Mas Janto?"

"Tari? Kamu baru bangun? Atau kamu sakit?"

"Tidak mas, ya.. baiklah, aku baru bangun. Tungguin sebentar."

Tari menutupkan kembali pintu kamarnya. Menyambar handuk dan lari kekamar mandi. Menyabun tubuh nya sekenanya lalu mengguyurnya beberapa gayung. Disambarnya lagi handuknya. Eit.. ia lupa menggosok gigi. Masuk kembali kekamar mandi dan menggosok gigi semuanya dengan tergesa-gesa.  Lalu masih dengan berbalut handuk Tari setengah berlari keluar dari kamar mandi. Menyambar  pakaian seragam kerjanya mengenakan sekenanya, dan juga berdandan sekenanya. Untunglah Tari tidak suka bersolek. Nah, selesai, lalu ia membuka pintu. Janto masih duduk menunggu. Ia menutup dan mengunci pintu kamarnya, lalu memasukkannya kedalam tas tangannya.

"Sudah siap?"

"Ayo mas, telat aku... aduuuh..."

"Kamu mau ke kantor pakai sandal jepit?"

Tari berhenti melangkah.

"Aduuh..." Tari membalikkan badannya lalu berlari kedepan kamar sambil merogoh kunci kamarnya.

***

Tari menghela nafas panjang ketika sudah duduk didalam mobil.

Janto menatapnya sambil tersenyum.

"Aku tadi sampai dikantor, tak melihatmu, lalu aku menelponmu, Ponselmu mati, aku khawatir kamu sakit, lalu aku ketempat kostmu, ee.. kamu masih tidur..."" gerutu Janto

"Ma'af mas.. aduh.. padahal pekerjaan menumpuk," keluh Tari.

"Kamu tidur jam berapa?"

"Hampir tidak tidur, menjelang pagi mungkin aku baru terlelap."

"Memangnya lagi mikirin apa?"

"Gila benar."

"Kamu memaki aku gila?"

"Bukan kamu, tapi dia."

"Dia siapa lagi?"

"Iman Nugroho menelpon aku."

"Haaa.. cinta lama bersemi kembali."

"Jangan bercanda mas, aku sedih sekali."

"Memangnya kenapa?"

"Sudahlah, nanti saja sa'at istirahat aku cerita. Ini sudah hampir sampai di kantor, nanti ceritanya belum selesai jadi terputus."

"Hm, baiklah."

"Mas, coba lihat, dandananku ini bener tidak sih? Tadi dandan sambil lari."

Jnto menatap Tari dan tersenyum.

"Cantik kok. Memangnya kamu biasanya dandan? Tidak kan?"

"Takutnya bedaknya berlepotan."

"Nggak ada, sudah cantik."

Tari tersenyum, sementara mobil Janto sudah memasuki halaman kantor.

"Aduuh, pasti kartu absenku merah nih," kelu Tari sambil turun dari mobil.

"Jangan khawatir, aku sudah memasukkan kartu kamu sebelum jam kerja."

"Ya ampun, manager personalia kok curang," ejek Tari, tapi dia senang Janto membantunya.

"Demi kamu," kata Janto sambil melangkah masuk kekantor, diikuti Tari dibelakangnya.

 

*** 

Selama bekerja di kantor itu Tari terganggu dengan panggilan pesan tingkat yang berbunyi berulang kali. Tari mendiamkannya karena dia masih sibuk bekerja. Baru ketika sa'at istirahat dia membacanya.

"Semuanya dari mas Nugroho, hanya satu dari Asty yang mengatakan bahwa sore nanti dia akan kembali ke Magelang bersama ibunya.  Tari membalasnya dengan banyak pesan yang diharapkan bisa menguatkan Asty.

Tapi pesan dari Nugroho membuatnya merinding. Ia mengulang kata-katanya semalam, bahwa dia benar-benar ingin menikahinya.  Pesan itu diulangnya berkali-kali. 

Tari menghela nafas, tapi kemudian dia mematikan ponselnya, karena khawatir Nugroho akan menelponnya sa'at istirahat tiba.

"Sudah siap makan siang?" tiba-tiba Janto muncul didepan pintu.

"Siap bos," kata Tari sambil membenahi mejanya yang masih berantakan.

***

Diantara makan siang itu Tari menceritakan pertemuannya dengan Asty, dan telpon dari Nugroho yang membuatnya tak bisa tidur. Janto mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Kamu mau dijadikan isteri muda?"

"Ya enggaklah, enak aja. Bukan karena apa-apa, tapi Asty itu kan sahabatku, mana aku sampai hati merebut suaminya."

"Bagaimana kalau dia terus mengejar kamu? Tampaknya Nugroho itu orang yang nekat. Ia sudah berterus terang kepada isterinya bahwa dia mencintai gadis lain. Pasti lain kali dia akan bilang bahwa isterinya harus rela kalau dia menikahi gadis itu."

"Tidak, aku tetap tidak mau."

"Kisah kamu itu sungguh unik. Dua orang sahabat terlibat percintaan dengan seorang laki-laki ganteng, tapi keduanya tidak mendapatkan apapun yang diinginkannya."

"Maksudnya..?"

"Yang satu mencintai tapi tidak bisa memiliki, satunya lagi memiliki tapi tidak dicintai."

"Aku juga merasa seperti itu."

"Apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku justru minta pendapatmu, apa yang harus aku lakukan."

Janto dan Tari belum menyentuh makanan yang dipesannya direstoran itu. Mereka masih berbicara tentang Nugroho.

"Kita makan dulu saja, keburu dingin nasi rawonnya."

Tari menarik mangkuk nasi rawon didepannya, menyendoknya perlahan. Tapi pikirannya kembali kearah Nugroho. Bahagianya dicintai, tapi tidak begini caranya. Apalagi Asty adalah sahabatnya. Kasihan Asty, tidak tau bahwa yang dimaksud suaminya adalah dirinya. Kalau Asty tau, pasti dia akan sangat membencinya. Sejak awal perkenalan dengan Nugroho, Tari tak pernah berterus terang tentang Nugroho. Tapi begitu ketemu Asty, Nugroho sudah tau bahwa Asty mengenal Tari. Dan sama seperti Tari, ia juga merahasiakan hubungannya dengan Tari.

"Kasihan Asty," cetusnya pelan.

"Rupanya kamu masih memikirkan dia? Makan saja dulu, nanti kita bicara lagi."

Tari menyendok nasi rawon yang mulai dingin. Lemak yang mulai mengental membuat kuahnya kurang nikmat. Tari hanya memakannya separo kemudian minum teh didepannya yang kebetulan masih panas.

"Hm, sudah kuduga kamu tidak menghabiskannya."

"Kenyang."

Tari justru menghabiskan teh panasnya untuk menghilangkan rasa tak enak dimulutnya.

"Sebenarnya enak."

"Suasananya yang nggak enak."

"Baiklah, aku sudah selesai makan. Ayo kita lanjutkan pembicaraan kita."

"Ah, melanjutkan apanya, aku justru bingung bagaimana harus menghadapi dia."

"Aku boleh usul?"

"Katakan saja."

"Hanya satu yang bisa menghalangi dia, Tari, yaitu apabila kamu menikah."

Tari membuka lebar matanya, menatap Janto tanpa berkedip.

 

***

 

besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Friday, May 29, 2020

LESTARI PUNYA MIMPI 07

LESTARI PUNYA MIMPI

(Tien Kumalasari)

 

Ketika Janto masuk, Tari masih menggenggam ponsel itu. Matanya nanap mengawasi foto laki-laki ganteng yang dikirimkan Asty. Tanpa dosa Asty mengirimkannya. Tanpa rasa Asty menyakitinya. Bukan salah Asty bukan salah semesta ini kalau luka yang ingin dibalutnya kemudian terkuak dan mengalirkan darah. Aduhai.. 

Janto mendekat dan ikut menatap foto lelaki yang terpampang diponsel Tari.

"Wouuwww... ganteng sekali.."

Tari mematikan ponselnya, menatap Janto dengan air mata mengambang.

"Haaai... senyuman, kemana perginya kamu setelah pagi tadi aku melihatmu?" candanya dengan pandangan lucu. Tapi Tari justru menitikkan air mata.

"Mas Janto, berikan bahu kamu, biarkan aku bersandar.." isak Tari.

"Tari? "

"Aku ingin menangis keras mas Janto, aku ingin menjerit sehingga langit mendengarnya.."

"Lestari...."

Janto menutupkan pintu ruang kerja Tari dan mendekap Tari erat. Kali ini Janto melihat gelimang duka melingkupi seluruh wajah cantik yang berurai air mata.

"Aku rela dia pergi, tapi mengapa dia.. justru sahabatku sendiri..."

"Sahabatmu merebutnya dari kamu?"

"Tidak.."

"Tidak?"

Janto menarik kursi dan duduk dihadapan Tari. Menatap wajah Tari yang mulai mengusap air matanya.

"Ayo kita keluar saja, kalau ada yang melihat jadi nggak enak."

Tari mengambil tissue dan mengangguk.Ketika itu ponselnya berdering, dari Nugroho. Tari mematikannya. Ia tak ingin lagi berhubungan dengan Nugroho. Hari itu juga dia mengganti nomor ponselnya.

 

***

 

Tari merasa bahwa adanya teman sangat membantu meringankan beban yang disandangnya. Dan teman itu adalah Janto, yang bisa menghiburnya, menenangkannya dan banyak memberinya petuah.

"Terkadang semua yang terjadi bukan seperti harapan dan impian kita. Jangan terlalu tenggelam dalam rasa sedih dan kecewa, karena itu akan membuat luka bertambah menganga. Pelan tapi pasti lepaskan semua beban. Hari-hari yang bergulung akan melenyapkan semuanya."kata Janto.

"Begitu gampangkah menghilangkan cinta?"

"Tidak gampang memang, bahkan mungkin selamanya akan berbekas dalam sanubari. Tapi bahwa cinta itu membuatmu luka... no way Tari. Hadapi hari-harimu yang masih panjang, dan melangkah kedepan tanpa beban."

Tari mengangguk, terharu bahwa Janto selalu menguatkannya. Janto selalu menyediakan bahunya untuk bersandar.

 

***

 

Tapi ketika Tari pulang dan bapak ibunya  bicara lagi tentang Nugroho, Tari gelagapan. Ia sudah berusaha untuk tegar dan tak ingin memperlihatkan kesedihannya karena kehilangan Nugroho, tapi pertanyaan itu sungguh berat dijawabnya.

"Apa kamu sudah bicara sama nak Nugroho?" tanya ayahnya.

"Iya nduk,  tidak baik berlama-lama jalan berdua tanpa ikatan. Apa kata tetangga kita nanti," sambung ibunya.

"Nanti dulu bapak, ibu.. Tari belum bicara."

"Kamu tidak usah bicara, ajak saja dia kesini, nanti bapak yang akan bicara."

"Benar, lebih baik bapakmu yang bicara."

"Iya bu.."

"Tapi sepertinya nak Nugroho sudah lama tidak datang kemari ya bu."

"Ibu juga ingin bertanya, mengapa nak Nugroho lama tidak datang kemari. Masih pulang ke Magelang? Apa tidak bekerja? Hampir sebulan ya pak."

"Ya, hampir sebulan tidak kelihatan. Sibukkah dia nduk?"

Tari hanya bisa menunduk, tapi ibunya menangkap ada sesuatu yang difikirkan anaknya.

"Apa yang terjadi? Kok tiba-tiba kamu seperti sedih begitu ?"

"Sebenarnya, kami sudah putus.."

Bapak dan ibunya Tari terkejut. Sejenak mereka tak bisa berkata-kata. Nugroho sudah demikian baik pada keluarganya. Membelikan mesin jahit dan membiayai sekolah adik-adiknya Tari, tapi mengapa tiba-tiba putus? 

"Apa kamu banyak menuntut, Tari?" tanya bapaknya.

"Tidak pak, Tari tidak pernah meminta apa-apa, dia yang suka memberi sendiri, kalau ditolak marah-marah."

"Lalu.. mengapa hubungan kalian bisa putus?"

"Bukan salah Tari dan juga bukan salah mas Nug. Orang tuanya menjodohkannya dengan gadis lain."

"Ooh..."

"Ya sudah, berarti dia bukan jodohmu nduk, tidak usah disesali."

"Ya pak, Tari bisa menerimanya kok. Tari tidak akan memikirkannya lagi."

Dan itu benar. Sudah sebulan Tari mengganti nomor kontaknya,sehingga Nugroho tidak lagi bisa menghubunginya. 

"Nanti bapak carikan jodoh yang baik untuk kamu," kata bapaknya.

Tari tersenyum. 

"Tidak usah pak, jodoh itu konon akan datang sendiri kalau sudah sa'atnya."

"Itu benar. Tapi kamu sudah cukup dewasa. Sa'atnya menikah. Jangan sampai jadi perawan tua." sambung ibunya.

"Iya bu, do'akan saja agar Tari bisa mendapatkan jodoh yang baik."

 

***

 

Berbulan telah berlalu, ingatan akan Nugroho semakin tipis,  dan Tari terus saja menekuni pekerjaannya. 

Sudah lama Asty tak menghubunginya. Oh ya, tentu saja, Asty tak tau bahwa nomor kontaknya telah berganti. Tapi siang itu sa'at istirahat, Asty menelpon nomor kantornya.

"Ya ampun Tari, menghubungi kamu seperti menghubungi pejabat saja. Berbulan-bulan aku tak pernah bisa ngomong sama kamu."

"Ma'af, ponselku hilang, semua kontak juga hilang," jawab Tari berbohong.

"Oh, bagaimana bisa hilang?"

"Ya, bisa saja Asty, sesuatu yang merasa kita miliki kadang-kadang juga bisa hilang," kata Tari seperti mengisyaratkan keadaan dirinya.

"Baiklah, sebenarnya aku tuh penasaran ketika kamu bilang patah hati. Jadi kamu sudah putus sama .. siapa itu.. aku lupa namanya.. yang kamu kenalan lewat biro jodoh itu?"

"Iya.."

"Ya sudah jangan disesali Tari, kan asal muasalnya juga cuma iseng. Suatu hari nanti kamu pasti mendapatkan yang lebih baik."

"Aamiin."

"Tari, sebentar lagi aku mau menikah."

Bagai dipukul palu godam dada Tari. Hal yang sudah diduganya, tapi tetap saja membuatnya bergetar ketika mendengarnya. 

"Tari, kamu mendengar aku bicara?"

"Oh ya, ma'af, ini sambil meneliti surat-surat. Iya.. bagaimana Asty, kapan kamu menikah?"

"Akhir bulan ini Tari, kamu datang ya ?"

"Dimana kamu menikahnya?"

"Di Wonosobo Tari, tapi hanya sederhana saja. Mas Nug, calonku itu.. tidak mau ada pesta meriah, alasannya karena ibunya sedang sakit. Kamu tau Tari, kami ini dijodohkan tanpa sadar. Ibuku, dan ibunya mas  Nug itu bersahabat sejak lama, lalu ketika masing-masing punya anak tunggal, kami dijodohkan. Aku baru tau ketika ibu memanggilku pulang. Kami akan segera dinikahkan, dan ini dilakukan karena ibunya mas Nug sakit keras dan ibuku juga sakit-sakitan. Tadinya aku menolak karena belum saling kenal, tapi kemudian aku menerimanya  karena calon suamiku tidak mengecewakan, Dan kamu tau, begitu aku dan mas Nug bersedia dinikahkan, ibunya mas Nug berangsur sembuh dari sakitnya," kata Asty renyah seperti kerupuk baru digoreng.

"Oh, syukurlah Asty, aku ikut senang."

"Kamu bisa datang Tari?"

"Ma'af Asty, aku hanya akan mendo'akan kamu dari jauh, tapi tidak bisa datang."

"Ya sudah tidak apa-apa Tari, apalagi besok kalau sudah menikah mas Nug juga akan membawaku ke Solo."

Berdegup lagi dada Tari.  Jadi dia bakal sekota dengan orang yang telah merebut kecintaannya?

"Kita akan sering bertemu Tari, nanti kalau sudah disini aku akan memperkenalkan kamu dengan suamiku."

"Ya Asty, terimakasih."

"Tari, mengapa kelihatannya kamu tidak bersemangat?"

"Aduh, ma'af Asty, ini aku juga sambil mengerjakan tugas kantor."

"Bukankah ini sa'at istirahat?"

"Betul, tapi aku harus menyelesaikannya dulu, keburu dikirim Asty."

"Oh ya, baiklah, nanti aku menelpon kamu lagi. Oh ya, nomor kamu yang baru berapa?"

"Waduh, aku belum sempat beli ponsel Asty. ma'af ya."

"Aduh, baiklah, besok aku menelpon sa'at kamu istirahat saja."

Tari meletakkan gagang telponnya, dan menghela nafas berat.Sempurnalah rasa kehilangan itu. Sempurna karena sebentar lagi Nugroho akan memiliki isteri, gadis lain, sahabatnya sendiri. Apakah Tari membenci Asty? Tidak, Asty tidak bersalah. Dia tidak merebut Nugroho darinya. Dia tidak tau  bahwa pernikahan itu melukai sahabatnya.

Tari kembali menghela nafas, agar sesak didadanya berkurang.

Sekarang dia siap meninggalkan meja kerjanya untuk makan siang di kantin. Tumben Janto tidak tampak sepagi tadi, apa dia tidak masuk kerja? Jangan-jangan dia sakit. Sambil berjalan kearah kantin Tari memutar nomor ponsel Janto. Lama baru dijawab.

"Tari? Ada apa?  Kangen ya sama aku?"

"Iih, enggak deh.. ngapain kangen sama kamu mas."

"Buktinya kamu menelpon aku."

"Kamu dimana sih? Dari pagi aku nggak nglihat kamu.."

"Aku nggak masuk hari ini."

"Kamu sakit?"

"Sakit berat Tari."

"Sakit berat? Sakit apa?"

"Sakit cinta nih."

Tari terbahak.

"Nggak sembuh-sembuh ya penyakit bercandanya. Sudah ke dokter?"

"Belum, badanku panas dingin nih."

"Mengapa tidak ke dokter ?"

"Anterin dong..."

"Ih.. manja deh. Baiklah, nanti pulang dari kantor aku kerumah ."

Tari merasa prihatin. Janto sakit. Laki-laki baik yang sangat dekat dengannya akhir-akhir ini. Terkadang terpikir oleh Tari, apakah Janto bisa menjadi pengganti Nugroho? Tidak, Tari tidak mencintai Janto. Dia hanya menganggapnya sebagai kakak, tak lebih.

 

***

 

Sore itu Tari mengantarkan Janto ke dokter. Tari melakukannya karena tau bahwa Janto hidup sendiri. Kedua orang tuanya ada di Jakarta.  Janto sudah sangat baik kepada dirinya, dan Tari tak sampai hati membiarkan Janto ke dokter sendirian. Mereka naik taksi karena Janto tak bisa menyetir mobilnya. Badannya panas sekali.

Tapi Tari sedikit lega karena  Janto hanya terkena flu berat. Setelah diberikannya resep, maka Janto boleh pulang. 

Mereka kembali naik taksi, tapi Tari minta sekalian mampir ke apotik, agar Janto bisa segera minum obat.

Tari turun dari taksi, dan menyuruh Janto menunggu dimobil.

Setelah menyerahkan resep, Tari duduk disebuah bangku untuk menunggu.

"Agak lama ya mbak, so'alnya obatnya ramuan," kata petugas apotik tadi.

Namun ketika menunggu itu tiba-tiba Tari dikejutkan oleh sebuah suara yang menyapanya.

"Tari."

Tari mengangkat wajahnya, dan berdebar ketika melihat Nugroho tiba-tiba duduk disampingnya.

"Siapa yang sakit Tari?"

"Temanku," jawab Tari singkat.

Bagaimanapun pertemuan itu sangat mendebarkan jantungnya. 

,"Tari, aku akan menikah Minggu depan." kata Nugroho tiba-tiba.

Tari mengangguk, tapi tak mengatakan bahwa dia sudah tau..

"Selamat," katanya datar, mencoba bersikap biasa.

"Aku minta ma'af."

"Tidak ada yang perlu dima'afkan, sudahlah."

"Tari, aku masih mencintaimu," bisik Nugroho pilu.

Tari menatap Nugroho, saling pandang dengan perasaan yang tak menentu.

"Dan akan selalu mencintai kamu," lanjut Nugroho.

Ya Tuhan, mengapa dia mengatakan itu. Dan tak urung hati Tari pun bergetar. Ia juga ingin mengatakan, bahwa iapun masih mencintainya. Tapi diurungkannya.

Kemudian Tari diam, menata batinnya yang terasa mengharu biru.  

"Tapi aku tidak akan membawa isteriku kemari."

"Mengapa?"

"Biar dia bersama ibuku di Magelang. Itu kemauan ibuku. Tadinya dia ingin ikut tinggal disini."

Diam-diam Tari merasa lega, tak harus sering bertemu Asty yang pasti juga akan mempertemukannya dengan Nugroho.

"Aku sedang membeli obat untuk ibu. Besok pagi aku pulang," kata Nugroho tanpa ditanya.

"Bagaimana keadaan ibu?" tanya Tari yang merasa tak enak kalau seakan tak perduli pada ibunya Nugroho.

"Kesehatan ibu berangsur membaik. Tadi ibu berpesan agar aku membelikan obatnya disini karena di Magelang susah dicari."

"Oh..."

"Kebetulan besok aku pulang. Dan syukurlah disini obatnya ada."

"Syukurlah."

Tari sudah tau bahwa kesehatan ibunya Nugroho berangsur membaik. Itu setelah Nugroho bersedia menikah dengan Asty.  Tadi Asty mengatakannya.

"Bapak Harjanto..!" karyawan apotik memanggil nama Janto. Tari berdiri dan mendekat.

Nugroho menatap punggung Tari yang sedang mendengarkan keterangan dari petugas apotik itu. Dalam hati dia bertanya-tanya. Siapakah Harjanto? Apakah laki-laki sekantor yang dulu pernah disebut Tari sebagai atasannya? Yang sering mengantarkan Tari sepulang dari kantor?

Ketika Tari  beranjak pergi, Nugroho berdiri mengejarnya.

"Tari, siapa yang sakit?"

"Kan aku sudah bilang, dia temanku."

"Yang dulu kamu bilang  bos kamu?"

"Ya... sudah ya mas, kasihan dia kelamaan menunggu di taksi." kata Tari sambil berlalu.

Nugroho terus menatap Tari sampai dia naik keatas taksi. Dilihatnya seorang laki-laki duduk menunggu sambil menyandarkan kepalanya. Tampak sakit. Batin Nugroho terasa teriris.Apakah laki-laki itu sudah menggantikan tempatku dihati Tari? kata batin Nugroho.

"Tari.. aku masih mencintai kamu..." bisiknya, kemudian kembali duduk di kursi tunggu, karena obat yang dipesannya belum selesai dikerjakan. Lalu Nugroho merasa ada yang dilupakannya, ia tidak mengatakan bahwa calon isterinya adalah temannya Tari yang dulu bertemu di sebuah toko. Nugroho tak tau bahwa Tari sudah mengetahuinya.


***



"Lama sekali sih?" keluh Janto dalam perjalanan pulang.

"Obatnya ramuan, jadi agak lama."

"Kamu tadi ketemu siapa, bicara asyik sekali."

"Lagi sakit juga memperhatikan yang didalam apotik. Lagian suaramu seperti orang teler begitu. Sudah jangan banyak bicara."

"Kamu lama sekali, lalu aku melihat kearah apotik, dan melihat kamu sedang bicara dengan seseorang."

"Lamanya itu bukan karena aku bicara sama seseorang, tapi karena obatmu itu ramuan."

"Kamu kenal dia?"

"Ada apa sih nanya-nanya?"

"Aku seperti pernah melihat orang itu."

"Dia mas Nugroho.."

"Oh, pantas.."

"Pantas apanya?"

"Asyik bener."

"Dia mau menikah minggu depan."

"Kamu diundang?"

"Tidak. Sudah diam, lagi sakit banyak ngomong kamu itu. Lihat badan kamu masih panas. Dan suara kamu lemah seperti tak bertenaga begitu.  Nanti sampai dirumah kamu harus makan, lalu minum obatnya. Setelah itu aku pulang."

"Mengapa tidak tidur dirumahku saja?"

"Apa? Enak saja. Masa aku harus menginap dirumah seorang laki-laki,  yang hidup sendirian pula. Bisa ditangkap hansip aku."

"Aku ingin tertawa, tapi badanku lemas."

"Jangan tertawa, memangnya aku pelawak ?

***

Hari-hari terus berjalan, berganti bulan, dan setahun lebih Tari tak mendengar tentang Nugroho dan Asty. Mungkin Asty ingin menghubunginya tapi tak tau nomor kontaknya..

Sore itu Tari sehabis mandi duduk sendirian dikursi tamu depan kamar kostnya. Memandangi kembang-kembang mawar yang sedang bermekaran dikebun depan kamarnya. Pemilik rumah kost ini seorang yang menyukai keindahan. Tari kerasan karena suasananya asri dan selalu bersih.

Ia ingin mengambil gelas minuman berisi teh hangat yang tadi disedunya ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Tari berdebar, ia ingat itu mobil Nugroho. Aduh, sudah setahun lebih ia tak melihatnya, mengapa tiba-tiba datang kemari?

Tapi yang duduk dibelakang kemudi itu bukan Nugroho. Tari melihat seorang laki-laki turun dan membukakan pintu belakang, lalu seorang wanita turun, dengan menggendong seorang bayi.

Tari terpana, bukankah itu Asty ? 

Tari turun kehalaman.

"Tariii..." teriak Asti sambil mendekat.

Tari menatap bayi dalam gendongan Asty. Bayi mungil yang mungkin belum genap sebulan umurnya.

"Tari, ini anakku.." kata Asty riang.

Tari menerima bayi itu  ketika Asty mengulurkannya.  Bayi yang menyenangkan dan menggemaskan. Namun dalam hati Tari berkata..

"Bayi yang seharusnya aku lahirkan."

 

***

 

besok lagi ya



 


Thursday, May 28, 2020

LESTARI PUNYA MIMPI 06

LESTARI PUNYA MIMPI  06

(Tien Kumalasari)

 

Wajah Tari muram. Untuk apa Nugroho menemuinya? Minta ma'af? Pamitan ?  Aduuh... lebih baik nggak usah ketemu saja. Daripada tambah sakit.

"Langsung pulang atau mau mampir-mampir?" tanya Janto.

"Mampir saja.." jawab Tari sekenanya. Yang penting menghindari Nugroho.

"Mampir kemana ? Bakso lagi ?"

"Nggak mas, aku mau beli lauk saja buat makan nanti malam."

"Baiklah, sekalian makan ya?"

"Aduh, kan perutku masih kenyang. Tapi kalau mas Janto mau makan, nggak apa-apa aku temenin."

"Bener?"

"Iya.."

"Nggak doyan makan karena tadi ada yang menjemput tapi nggak mau ikut kan?"

Tari menoleh kearah Janto. Rupanya Janto tau ada mobilnya Nugroho didepan pagar halaman kantor.

"Iya kan ?"

"Sok tau.."

"Memang aku tau, dan itu juga yang membuat kamu sedih, muram,nangis..?"

Tari menggelengkan kepalanya.

"Tapi mobil itu mengikuti kita lho."

Tari terkejut, ia melihat kearah spion, dan hatinya berdebar-debar. Nugroho mengikutinya.

"Ngebut mas, ngebut.." pinta Tari.

"Enak aja, jalanan ramai begini ngebut? Lihat tuh, ini bubaran kantor, bubaran orang pulang sehabis kerja.. hampir macet begini."

"Aduuh.."

"Tari.. tenang saja.. mengapa kamu tampak ketakutan? Apa dia akan menggigit kamu?"

"Mas Janto..." Tari merengut.

Tiba-tiba ponsel Tari berdering. Tari mengambil ponselnya, tapi kemudian dia justru mematikannya.

"Kok nggak dijawab ?"

"Nggak perlu jawaban dia, cuma miscall saja kok."

"Bohong."

"Mas, mau makan dimana? 

"Nanti dia ikut makan.."

"Biarin saja, mas Janto pura-pura jadi pacarku ya?"

"Apa? Moh aku kalau pura-pura..."

"Lho, mas Janto itu gimana, supaya dia nggak ngejar aku terus mas."

"Mengapa nggak mau dikejar. Orangnya tajir lho. Mobilnya saja jauh lebih bagus dari mobil tua ku ini.."

"Justru orang kaya itu suka menyepelekan orang miskin."

"Masa?"

"Masih mengikuti mas ?"

"Masih, tuh.. mobil hitam.. dibelakang... Sebenarnya ada apa sih? Masa marahan sama pacar sampai segitunya."

"Ini bukan cuma marahan.. "

"Lalu apa?" 

"Sudah agak sepi mas, ayo tancap !"

"Lha kita ini mau kemana, katanya mau cari lauk buat makan malam, sambil nemenin aku makan."

"Mas Janto mau makan dimana, tapi kabur dulu deh dari mobil hitam itu."

"Tadi bilang biarin ikut makan.."

"Habisnya, mas Janto ngak mau pura-pura jadi pacarku."

"Nggak mau aku pura-pura.. kalau beneran aku mau," canda Janto.

"Mas Janto tuh... "

Dan beruntung disebuah perempatan mobil hitam Nugroho berhenti karena lampu merah, sementara mobil Janto bisa terus melaju. Tari bersorak senang.

"Ayo mas, cepet cari belokan lagi, biar dia bingung.. kalau perlu cari jalan kearah kantor lagi saja."

Janto tertawa lucu.

"Ini kok malah ngajarin aku main kucing-kucingan ?"

"Tolong mas.."

"Baiklah.. kasihan juga, lebih baik aku turutin saja, dari pada nangis, nanti aku harus nyanyi lagi."

 

***


Setelah menemani Janto makan dan beli lauk untuk dirinya sendiri, Tari minta diantarkan pulang. Sejak Janto melihatnya sedih dan murung, Tari merasa dekat dengan Janto. Mungkin karena Janto selalu memperhatikannya atau karena tak ada teman untuk berkeluh selain Janto. 

"Sudah sampai nih, mau pulang atau masih mau muter-muter lagi?"

Tari tertawa.

"Sudah mas, kasihan mas Janto. Ma'af ya mas.. aku kok jadi ngrepotin mas Janto terus."

"Tidak apa-apa Tari, aku mau melakukan apa saja untuk kamu, asal jangan sampai kamu minta agar aku pura-pura jadi pacar kamu."

"Lhoh..kok?"

"Kalau jadi pacar beneran aku mau.." canda Janto, tapi tampak seperti serius.

Tari tersenyum dan menurut Janto senyum Tari kali itu begitu manis.

"Mas Janto itu kan kakakku, masa sih kakak bisa jadi pacar?" kata Tari sambil membuka pintu mobil.

"Terimakasih ya mas, dan ma'af.."

Janto mengacungkan jempolnya dan menatapnya lekat. Sampai Tari memasuki halaman dan masuk kekamar kostnya, Janto masih menatap punggungnya. Janto menghela nafas, entah mengapa ia sangat kasihan pada Tari.

Ia baru pergi ketika Tari sudah tak tampak lagi.

Tari memasuki kamarnya, dan tiba-tiba rasa sepi menyeruak memenuhi batinnya. Tiba-tiba juga ia merasa sendiri dan beban yang menyakitinya kembali terasa meremas jantungnya. Ia belum bisa melupakan Nugroho sepenuhnya. Cinta begitu cepat datang, tapi lambat untuk menghilangkannya. 

Ia melemparkan tas tangannya ke ranjang, dan duduk melamun ditepinya. Setetes air matanya segera diusapnya dengan telapak tangannya. 

"Begitu berhargakah Nugroho sehingga aku rela menangisinya setiap mengingatnya?"

Tapi air mata itu semakin deras mengalir.

Tari terkejut ketika mendengar ketukan dipintu. Ia mengusap lagi air matanya lalu membukakan pintu. 

Tari terpana ketika melihat siapa yang datang. Nugroho, tiba-tiba saja merengkuhnya dan mendekapnya erat.

Lestari meronta. Tak ada rona bahagia dipeluk orang tercinta. Didorongnya tubuh Nugroho. Menurutnya Nugroho telah menghianati cintanya. Apa yang dilakukannya hanyalah palsu belaka.

"Tari..."

Wajah Tari masam. 

"Tari boleh aku duduk?"

Dan tanpa dipersilahkan Nugroho pun duduk.

Tari ikut duduk, anehnya begitu bertemu Nugroho air matanya tak lagi ingin mengalir. Justru kemarahan yang kini memenuhi dadanya. Ingin segera kata-kata pedas bisa diucapkannya.

"Tari, aku minta ma'af kalau beberapa waktu tak menghubungi kamu."

"Iya aku tau, karena sudah ada gadis pengganti aku yang lebih cantik, lebih punya derajat dan lebih pantas menjadi pendamping kamu, bukan gadis kampung yang hanya menyusahkan dan membuatmu repot dan..."

"Hentikan Tari, biar aku bicara dulu."

"Aku sudah tau dan tak ingin mendengar bicaramu mas."

"Tari... sungguh aku mencintai kamu."

"Mas, sudahlah.. jangan ngegombal lagi. Aku sudah tau dan aku bisa menerimanya kok. Aku tau diri dong mas, aku ini siapa."

"Tidak begitu Lestari... dengar dulu penjelasanku."

"Tidak perlu mas."

"Tidak seperti yang kamu duga Tari, tolong dengarkan aku."

"Aku sudah tau, sudah melihat dengan mata kepala sendiri ketika mas bersama wanita itu, dan aku sudah bisa menerimanya kok. Sudahlah mas."

Tiba-tiba Nugroho bangkit lalu bersimpuh dihadapan Tari, meletakkan kepalanya dipangkuan Tari, dan itu membuat Tari gelagapan.

"Mas.. mas... sudah mas.. aduh, mengapa begini mas, aku tidak pantas diperlakukan seperti ini mas.. berdiri mas.. jangan begini," kata Tari sambil mengangkat kepala Nugroho lalu menariknya berdiri.

"Dengar aku Tari, dengar aku dulu, aku tak akan berdiri dan akan tetap bersimpuh disini sampai kamu mau mendengarkan aku."

Tari menghela nafas. Iba meliat Nugroho meminta-minta seperti itu. Luluh semua pertahanannya, sirna semua kemarahan yang hampir membeludag di ubun-ubunnya.

Nugroho mengangkat wajahnya, menatap Tari dengan wajah pucat dan memelas. Ada air mata mengambang disana. Tari hampir merengkuhnya dan memeluknya erat. Betapa memelas wajah tampan itu, betapa meluluhkan hatinya, dan betapa juga dia sesungguhnya sangat dicintainya.

"Baiklah mas, berdirilah, aku akan mendengarkan," kata Tari dengan suara bergetar. Sesungguhnya, kemarahannya telah buyar. Melihat air mata dipelupuk mata yang biasanya memandangnya dengan pandangan teduh dan menghanyutkan, terasa bagai prahara yang menyapu semua bara amarah yang hampir meledak.

Aduhai, ternyata aku begitu rapuh.. jerit batin Tari.

"Tari, aku melihatmu ketika kamu hampir masuk ke warung bakso itu. Aku ingin mengejar kamu..."

"Tapi mas takut pada gadis yang duduk didepan mas itu kan? Takut kehilangan dia?"

"Bukan Tari, bukan itu. "

"Baiklah, aku tak akan memperso'alkan tentang gadis itu, aku juga sebenarnya tak mau tau."

"Tari, aku tidak tau, bahwa ibuku telah menjodohkan aku dengan anak sahabatnya. Sejak kami masih kecil. Aku menentangnya habis-habisan, tapi sa'at ini ibu sakit keras, ibu gadis itu juga sudah sakit-sakitan. Ada pesan yang tak bisa aku ingkari, yaitu aku harus menikahi gadis itu."

Sesak dada Tari mendengarnya. Menatap priya pujaannya terpekur kelu dan nyaris menumpahkan tangis, membuatnya tak berdaya. 

"Aku tak tau harus bagaimana Tari?"

Tari menguatkan hatinya. Ia tak harus larut dalam kemarahan dan sakit hatinya. Nugroho sudah mengatakan bahwa dia terpaksa melakukannya. Demi sang ibu yang sedang jatuh sakit. Demi sang ibu yang terikat perjanjian dengan sahabatnya. Adakah yang lebih mulia dari bakti seorang anak kepada ibunya?

Tari menghela nafas, menata batinnya.

"Ya sudah mas, berbakti pada orang tua adalah perbuatan mulia. Jalani apa yang menjadi kehendaknya. Aku ikhlas melepaskan kamu mas," tak urung ada nada sendu dalam suaranya. Tak mudah melepaskan cinta, tapi bahwa cinta harus rela berkorban, sekarang dirasakannya. 

Nugroho bangkit dan memeluk Tari erat-erat.

"Tari, aku mencintai kamu, aku hanya cinta kamu.." bisiknya ditelinga Tari.

Tak urung menitiklah air mata Tari yang ditahannya sejak tadi. Dibalasnya pelukan Nugroho, erat dan lama. Gemuruh dalam dada masing-masing seperti berpacu dalam gelombang duka yang melanda. Apa boleh buat. Mimpi tak harus menjadi nyata.

 

***

 

Malam itu Tari tenggelam dalam tangis yang meledak-ledak. Kemarahan itu telah sirna, yang ada hanyalah duka karena kehilangan cinta. Ini harus terjadi. Dan ia harus merelakannya. Aduhai, betapa sepi hidupnya. Apalagi dia hanya sendirian dikamar ini. Ketika Asty pergi, ia bermaksud mencari teman lain agar beban sewa kost bisa lebih ringan. Tapi kala itu Nugroho melarangnya.

"Jangan Tari, lebih baik kamu tetap sendiri, agar kalau aku telpon malam-malam kamu bisa bebas menerimanya."

Tapi siapa yang akan menelponnya malam-malam? Senyap itu terkadang menyakitkan. Atau karena memang hatinya sedang sakit?

Lalu Tari bersenandung dengan air mata berlinang.. 

"I'am strong, when I'am on your soulders.. " 

"Akulah yang harus menyanyikannya mas Janto, bukan kamu," bisik Tari pilu. Tiba-tiba ia ingin sekali bertemu Janto,  Ingin bersandar dibahunya agar batinnya kuat.

Ketika ponselnya berdering, Tari membiarkannya. Ia tak ingin bicara dalam suasana seperti ini. Suaranya pasti terdengar sengau, lalu si penelpon akan bertaanya, kamu kenapa? Sakit? Habis menangis?

Tari teringat bahwa dia belum mandi. Ia baru saja datang ketika Nugroho mengetuk pintu.

Tari bangkit, menyiapkan handuk dan baju bersih, lalu menuju kamar mandi. Ia ingin mengguyur tubuhnya, mengguyur sedu sedan yang menderanya.

 

***

 

Pagi hari itu ponsel Tari berdering, dilihatnya siapa yang menelpon, ternyata ibunya.

"Hallo ibu..."

"Tari, bagaimana keadaan kamu? Semalam ibu menelpone tapi kamu tidak mau mengangkatnya."

"Oh iya bu?"

"Masih sore, apa kamu sudah tidur sehingga tidak mendengar ibu menelpon?"

"Iya ibu, Tari lelah sekali sehingga masih sore sudah tidur."

"Kamu sudah sehat?"

"Sudah ibu, Tari sudah siap berangkat kekantor sekarang."

"Syukurlah kalau begitu. Hati-hati,  jaga kesehatan ya nduk."

"Baik ibu. Ibu jangan khawatir. Ibu juga sehat kan? Bapak juga?"

"Kami baik-baik saja Tari. Ya sudah kalau mau berangkat kerja. Hati-hati menjaga kesehatan," pesannya berulang-ulang.

"Ya bu, salam buat bapak dan adik-adik."

Tari menghela nafas. Dia belum melihat ponselnya, rupanya semalam yang menelpon adalah ibunya. 

Sekarang sudah waktunya berkemas, ia harus bekerja. Tari menguatkan batinnya. Mimpi tak harus menjadi nyata. Jatuh cinta harus siap patah hati. Lalu teringat lagi olehnya, Janto.Jantolah yang mengatakan itu. Dan itu benar adanya.

Tari sudah siap untuk berangkat, seragam kerja, sepatu, siap semuanya, Kemudian dia keluar dan mengunci kamarnya. Tapi sebelum turun ke halaman, sebuah pesan singkat terdengar masuk.

Aduh, dari Asty, sudah berkali-kali dia menolak untuk bicara.

"TARI, KAMU SIBUK SEKALI SIH, KATAKAN KAPAN AKU BISA BICARA SAMA KAMU? SEMALAM KAMU JUGA TAK MENJAWAB TELPONKU"

Rupanya semalam Tari juga menelpon.

"ASTY, MA'AF, AKU AGAK KURANG ENAK BADAN, INI AKU SEDANG DALAM PERJALANAN KE KANTOR. BANYAK YANG HARUS AKU CERITAKAN, TAPI AKU LAGI ENGGAN NGOMONG. AKU LAGI PATAH HATI. JANGAN DULU MENGGANGGU AKU YA, NANTI AKU MENELPON KAMU"

Begitu selesai membalas pesan Asty, Tari bergegas kejalan. Ia sedang tak ingin berbincang dengan siapapun.

Deru kendaraan pagi itu sangat bising. Tari menunggu bis kota yang biasa membawanya kekantor.

Ketika bis kota yang ditunggunya lewat, Tari melihat sebuah mobil dibelakangnya, kencang membunyikan klaksonnya. Tari menoleh sejenak, tapi tetap naik kedalam bis itu. Itu mobil Nugroho, Tari tak ingin menemuinya lagi. Kali ini bukan karena marah, tapi karena tak ingin lebih sakit lagi.

 

***

 

Begitu duduk didepan meja kerjanya, Janto sudah mendatanginya.

"Tari..."

"Pagi mas Janto," Tari menyapa dengan senyum.

"Tadi aku ingin menjemput kamu, tapi aku bangun kesiangan. Ma'af ya."

"Mengapa harus minta ma'af, biasanya Tari juga berangkat sendiri kan?"

"Tapi sesungguhn ya aku masih menghawatirkan kamu."

"Tidak mas Janto, tidak ada yang harus dikhawatirkan, aku baik-baik saja. Apakah aku kelihatan sedih pagi ini ?"

"Tapi matamu sembab. Kamu menangis semalaman ?"

"Tidak mas, percayalah aku baik-baik saja."

"Matamu sembab, tapi kamu sudah bisa tersenyum manis. Itu melegakan. Aku senang kamu baik-baik saja."

"Ya, tentu, apakah nanti siang kita akan makan bersama?"

"Hm, ini tantangan yang menyenangkan. Biasanya kamu harus dipaksa-paksa kalau diajak makan siang."

"Nanti aku menceritakan semuanya pada mas Janto."

"Baiklah, sekarang selamat bekerja, aku akan kembali keruangku."

"Selamat bekerja juga mas."

Lestari tersenyum mengiringi kepergian Janto. Mulai hari ini Lestari akan selalu tersenyum. Kehilangan cinta tidak harus ditangisinya setiap sa'at. 

"Semangat, Lestari Rahayu !!" bisiknya sambil mengeluarkan laptop dari dalam laci. 

***

Lestari menutup laptopnya ketika sa'at istirahat tiba. Ia menunggu Janto menjemputnya untuk makan siang. Namun tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk. Tari membukanya.

"TARI, AKU AKAN MEMBERI TAU KAMU SIAPA CALON SUAMI AKU. KAMU INGAT KETIKA KITA KETOKO LALU MELIHAT LAKI-LAKI GANTENG YANG MENARIK ITU? HANYA KUASA TUHAN YANG MEMPERTEMUKAN KAMI LAGI TARI, DIALAH YANG MENJADI JODOHKU, INI AKU KIRIMKAN FOTONYA."

Gemetar Tari memegang ponselnya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 


Wednesday, May 27, 2020

LESTARI PUNYA MIMPI 05

LESTARI PUNYA MIMPI  05

(Tien Kumalasari)

Janto heran, tapi mengikuti langkah Tari yang mengajaknya kembali ke mobil.

"Tari, ada apa?"

"Ayo kita cari bakso yang lain."

Janto membuka pintu mobil,Tari masuk lalu terduduk lemas disana.

Mobil Janto berjalan perlahan.

"Tari, ada apa?"

"Tidak ada apa-apa mas, ayo pulang saja."

"Kok pulang? Cari warung bakso yang lain saja ya, di Pasar Kembang?"

Tanpa menunggu jawaban Lestari Janto membawa mobilnya kearah Pasar Kembang. Ada warung bakso disana.

Tari diam saja, tidak sepatah katapun terucap karena dia sedang menahan jatuh air matanya.

Janto memarkir mobilnya lalu dibukakan pintu samping untuk Tari. Dituntunnya Tari masuk kedalam, karena gadis itu tampak lemas. Janto berfikir, tampaknya ada sesuatu yang luar biasa disana tadi.

Janto menarik sebuah kursi dan meminta Tari duduk, lalu Janto duduk dihadapannya.

Wajah Tari tampak pucat.

Janto memesan teh panas dan bakso untuk mereka berdua.

"Lestari.."

Tari mengangkat wajahnya. Ada air mata mengambang, dan membuat Janto iba. Diambilnya selembar tissue dan diulurkannya pada Tari.

"Ma'af ya mas," kata Tari bergetar, sambil mengusap air matanya.

"Apa yang harus dima'afkan? Aku justru minta ma'af, apa aku salah mengajakmu ke warung itu? Tapi kan tadinya kamu tidak menolak?Ada seseorang disana yang membuatmu takut ?"

Tari mengusap lagi air matanya yang nyaris meleleh. Sebisa mungkin ia menahan agar jangan menangis diwarung itu. Sesungguhnya ia ingin menjerit, ingin mengatakan pada dunia bahwa ia telah disakiti. Betapa kejam perlakuan terhadapnya. Apa salahku, apa dosaku? Itu jerit batinnya yang tak mampu keluar dari bibir tipisnya.

"Tari.. kalau kamu ingin berkeluh, aku siap membiarkan bahuku untuk kamu bersandar.." bisik Janto pelan. Itu kan sama seperti lirik sebuah lagu yang didendangkan dengan manis.  I'm strong, when I'm on your soulders. Lestari semakin ingin menangis keras.

"Ma'af mas.." isaknya.

"Tahan tangismu, pesanan kita sudah datang," Janto meraih lagi selembar tissue, Tari menerimanya untuk menutupi seluruh wajahnya.

Pelayan meletakkan pesanan mereka. Janto mendekatkan gelas teh hangat kehadapan Tari. 

"Minumlah dulu, Tari."

Tari meraih gelasnya, dan meneguknya perlahan. Rasa hangat menelusuri tenggorokannya yang terasa kering. Ia meneguknya lagi perlahan.  Janto menatapnya dengan iba. Ingin ia merengkuhnya dan menyandarkan kepalanya didadanya yang bidang.

"Ma'af ya mas," Tari mengucapkannya lagi, tapi ini tampak lebih tenang.

"Jangan ucapkan lagi kata ma'af itu, aku tidak apa-apa, aku justru takut bahwa akulah penyebabnya."

Tari menggeleng pelan, meneguk lagi minumannya.

"Mas, maukah mas Janto mengantarkan aku pulang?"

"Iya, pasti aku akan mengantarkan kamu pulang, masa aku biarkan kamu pulang sendiri?"

"Maksudku, pulang ke kampung."

"Kartosuro ?"

"Maukah mas?"

"Aku akan mengantarkan kamu, tenang saja. Tapi makan dulu baksonya ya? Aku masih ingat dulu waktu sekolah kamu suka sekali makan bakso diwarungnya pak Slamet."

Ingatan akan sekolah membuatnya tersenyum tipis. Masa itu, tak pernah ada beban menderanya, tak ada air mata terurai karena disakiti. Yang ada hanya belajar dan bersuka ria bersama teman. 

"Makan dulu Tari, keburu dingin."

Tari menarik mangkuknya agar lebih dekat, dan menyeruput kuahnya. Enak, tapi batinnya yang sakit membuatnya enggan memakan bakso yang sebenarnya adalah makanan favoritnya.

"Dimakan Tari, lupakan semua yang membuat kamu sakit. Kamu itu kuat, kamu jangan menyerah pada rasa sakit yang mendera kamu. Hadapi dia, kalahkan dia."

Tari lagi-lagi tersenyum tipis. Janto menyemangatinya seperti dia sedang menghadapi sebuah pertarungan. Eh ya, apa ini bukan pertarungan? Pertarungan antara melupakan dia atau merebutnya dari siapapun juga. Oh ya, siapa sebenarnya wanita itu? Berhari-hari Nugroho melupakan dia, tak memperdulikan dia walau berkali menghubunginya. Karena wanita itu? Kemudian Tari menyadari, dia hanya gadis kampung yang mungkin tak ada harganya dibandingkan wanita itu. Lalu ada lagi air mata setitik yang langsung diusapnya. Tari menghela nafas, berusaha melawan siksa batinnya.

"Enak baksonya, cobalah ," kata Janto yang sudah mulai mengunyah makanannya.

Tari memotong bakso yang dirasanya terlalu besar, kemudian menyendoknya. Barangkali bakso itu akan terasa nikmat kalau saja tak ada pikiran yang mengganggunya. Tari mengunyahnya perlahan, mencoba melawan sakit hatinya seperti saran Janto.

***

Bapak dan ibu Tari agak heran, melihat Lestari pulang malam itu. 

"Sama siapa nduk?" tanya ibunya.

"Saya bu, mengantarkan Lestari," kata Janto yang kemudian turun dari mobil.

"Lho.. ini kan... aduh bu.. ibu ingat nggak.. seperti pernah mengenal dia kan bu?" kata bapaknya.

"Sebentar, iya.. rasanya pernah kenal.."

"Saya Janto ibu, Harjanto.. dulu kakak kelasnya Lestari waktu masih SMA." kata Janto.

"Lhaaa.. iya.. nak Janto," kata bapak dan ibunya Tari hampir bersamaan.

"Iya bu.."

"Ayo masuk nak.."

"Terimakasih pak, tapi Janto belum pulang sejak pagi, ini mengantarkan Lestari karena tampaknya agak kurang enak badan."

"Lho, kamu sakit to nduk?"

"Cuma masuk angin."

 "Terimakasih sudah mengantarkan nak."

"Terimakasih ya mas," kata Tari.

"Segera istirahat Tari, semoga besok sudah segar kembali."

Tari mengangguk, lalu bergegas masuk.

Begitu Janto sudah pergi, ibunya mengejar Tari yang sudah ada dikamarnya. 

"Kamu sakit ?" tanyanya khawatir.

"Tidak bu, barangkali lelah, dikantor banyak pekerjaan." jawab Tari sambil berbaring diranjang Suci.

"Kalau begitu cuci kaki tangan dulu dan ganti baju, baru beristirahat. Tidak bagus dari bepergian langsung tiduran begitu."

Tari bangkit, dan berjalan kekamar mandi. Dilihatnya adik-adiknya sedang belajar. Mereka menyapa dengan riang.

"mBak Tari pulang? Apa libur?"

"Tidak dik, hanya ingin pulang saja, besok harus masuk kerja. Sudah, lanjutin belajarnya." katanya sambil terus melangkah ke kamar mandi.

Dikamar mandi Tari menumpahkan tangisnya. Ia tak ingin ibu bapaknya tau bahwa dia sedang bersedih. Kemudian dia menyesal mengapa harus pulang. Bagaimana kalau bapak atau ibunya tau bahwa dia habis menangis? Pasti kelihatan karena matanya merah. Lalu Tari mengguyur tubuhnya berkali-kali, seperti ingin menghilangkan desah resah yang meremas-remas batinnya. Tak urung mata merah itu kelihatan, buktinya ibunya sempat bertanya.

"Kamu kenapa? Matamu merah begitu?"

"Kemasukan air bu, tidak apa-apa, mungkin Tari mau flu. Pilek sih." jawabnya sambil kembali masuk kekamar dan berganti pakaian.

"Sudah minum obat?" tanya ibunya sambil menjenguk kedalam kamar.

"Sudah bu."

Ketika ia merebahkan tubuhnya diranjang, ia mendengar dering pesan singkat masuk. Tari meraih ponsel dari dalam tasnya. Rupanya beberapa pesan masuk dan dia tidak mendengarnya. Tak ada pesan dari Nugroho yang sebenarnya diharapkannya. Tari menghela nafas berat. Tapi tertarik pada pesan dari Asty.

"TARI, SEBENARNYA AKU ADA DI SOLO, BERSAMA BAPAK DAN IBU, TADI   MAMPIR KE TEMPAT KOST, TERNYATA KAMU NGGAK ADA. LAGI DIRUMAH YA? BANYAK YANG INGIN AKU CERITAKAN, TAPI LAIN KALI SAJA. MALAM INI AKU PULANG KE WONOSOBO."

Hm, sudah pulang, mau diapain. Tari enggan membalasnya. Juga dari Janto, hanya menanyakan keadaannya. Ah, sudahlah, Tari meletakkan ponselnya setelah mematikannya. Lalu mencoba memejamkan matanya.

***

Mau tak mau Tari harus bangun pagi karena harus masuk kekantor. Matanya masih sembab. 

"Kamu masih sakit Tari, bagaimana kalau tidak masuk kerja dulu?" tegur ibunya.

"Tidak bu, sudah agak mendingan. Di kantor sedang banyak pekerjaan."

"Benar, tidak apa-apa?"

Tari mengangguk lalu mencium tangan ibu dan bapaknya. Adik-adiknya sudah berangkat kesekolah karena jam tujuh pelajaran harus dimulai.

Dijalan ia sedang menunggu bis kota, ketika tiba-tiba sebuah mobil berhenti dihadapannya.

"Lestari.."

Tari tertegun. Tiba-tiba Janto sudah ada didepannya.

"Mas Janto?"

"Aku tau kamu pasti nekat masuk."

"Darimana mas Janto tau?"

"Kamu kan rajin , jadi tidak mungkin mengabaikan pekerjaan kamu dikantor."

Tari tersenyum. Ia menurut ketika Janto menuntunnya masuk kemobilnya.

"Kok mas Janto susah-susah sampai disini?" tanya Tari ketika mobil Janto sudah berjalan.

"Sesungguhnya aku menghawatirkan kamu."

"Aku tidak apa-apa.."

"Kamu bohong kan?"

Lalu Janto mendendangkan sebaris lirik lagu You raise me up.. I'am strong, when I'am on your soulders.. you raise me up, to more than I can be..  sambil mengangguk angguk..

Tak urung Tari tersenyum lebih lebar.

"Suaramu bagus mas.."

"Aku senang melihat kamu tersenyum. Apa aku harus nyanyi terus ?"

"Nyanyilah mas, biar aku ketiduran..."

"Wwee... ya jangan.. kalau kamu ketiduran aku harus gendong kamu ke ruang kerja kamu dong."

Dan Tari benar-benar bisa tertawa. Bagaimana membayangkan dirinya turun dari mobil dengan digendong masuk keruang kerja, dalam keadaan terlelap pula.

Tari jadi teringat, dulu pernah bermimpi menjadi pengantin , lalu digendong dari pelaminan kekamar pengantin. Tapi sa'at itu Tari tidak melihat siapa pengantin prianya. Ia hanya merasa bahagia, dibaringkan diranjang pengantin. tapi  sosok pengantin pria itu tiba-tiba seperti tertutup kabut. Tari yakin  bukan Nugroho. 

Ah,  itu hanya sebuah mimpi, tapi terbukti sekarang, Nugroho tak akan menjadi pengantin pria bagi dirinya,  karena Nugroho sudah menemukan wanita lain,   seperti yang dilihatnya kemarin sore di warung bakso itu. Lalu tawa Tari tiba-tiba lenyap.. dan wajahnya kembali muram.

"I'am strong.. when I'am on your soulders...." dendang itu terdengar lagi.. 

Tari mencoba tersenyum. Janto benar-benar bisa menghibur.. 

 

*** 

Namun di kantor dia tidak bisa sepenuhnya menekuni pekerjaannya. Bayangan Nugroho duduk berhadapan dengan seorang wanita selalu menghantuinya. Jadi itu sebabnya ia mengacuhkan semua pesannya? Tak mau menerima telponnya, bahkan mematikan ponselnya? 

Tari merasa dikhianati. Rayuan-rayuan manis Nugroho ternyata hanya ada dibibir saja. Tari sudah menduga sebetulnya.

"Apalah aku ini bagimu.. hanya gadis kampung yang tak pantas bersanding dengan dirimu. Tapi mengapa kamu selalu memberi harapan atas mimpi-mimpiku?" bisiknya lirih. Air matanya kembali menetes.

"Apa dosaku mas, apa salahku sehingga kamu permainkan perasaanku? Apa artinya semua sikap manis yang kamu tujukan kepadaku?"

Ponsel berdering, dari Asty?  Tari sedang malas bertelpon, apalagi ini jam kerja. Tumben Asty menelpon sa'at jam kerja. Tari menjawabnya dengan pesan singkat.

"MA'AF ASTY, AKU LAGI BANYAK PEKERJAAN , NANTI SAJA TELPONNYA YA"

Ingin rasanya Tari berbincang dengan Asty, mengatakan semua yang dialaminya, tapi Tari ingat, dia tak pernah memberi tau Asty tentang Nugroho. Pasti nanti Asti justru malah mentertawakannya karena sebuah keisengan dilayani dengan serius. Ah, Asty tak tau, bagaimana sikap Nugroho waktu itu.

"I'am strong, when I'am on your sloulder..." dendang itu mengejutkannya. Janto tiba-tiba sudah ada didepannya dengan dendang yang itu-itu juga.

"Hapus air matamu itu Tari.." kata Janto yang melihat air mata Tari mengambang.

  Tari mengusapnya dan tersenyum.

"Tampaknya kamu sangat menderita? Jangan dong Tari, begitu berhargakah dia sehingga kamu mengorbankan banyak air mata yang harusnya kamu simpan untuk hari bahagiamu nanti?"

Tari tertegun. Begitu berhargakah Nugroho sehingga dia menangisinya siang malam? Ditatapnya Janto dengan pandangan terimakasih.

"Baiklah, dia tidak berharga," cetus Tari yang entah sadar atau tidak, meluncur dari bibirnya.

"Oke, sudah sa'atnya makan siang. Mau makan di kantin, atau diluar?"

Tari tak menjawab, ia tak ingin makan apapun, tadi dirumah dia sudah sarapan, nasi gudeg buatan ibunya. Enak. Itu berbeda karena dimasak dengan kasih sayang, dinikmati dengan rasa terimakasih. Tapi dikantinn atau di restoran... sungguh Tari tak berselera.

"Ayo makan diluar saja, sambil melihat lihat suasana yang mungkin bisa membuat kamu lebih baik."

Tari menurut, tapi sebelum beranjak, sebuah pesan singkat masuk lagi.

"TARI, DENGAR, SEDIKIT SAJA DULU. AKU TAK TAHAN INGIN SEGERA MENGATAKANNYA SAMA KAMU. DAN INI ADALAH DO'AMU. TERNYATA PRIA YANG DIJODOHKAN SAMA AKU ITU BENAR-BENAR GANTHEEEEENG... SEKALI."

Tari menutup ponselnya, lalu berdiri mengikuti Janto keluar dari ruangan. Entah mengapa sa'at ini dia enggan berbincang sama siapapun juga.

***

 

 "Bolehkah aku bertanya sesuatu ?" tanya Janto ketika sama-sama makan diluar.

"Tanya so'al apa?"

"Yang dulu sering menjemput itu pacar kamu?"

Tari diam. Sejak dulupun dia tidak berani menganggapnya pacar, biar Nugroho sering mengatakan suka, bahkan pernah menganggapnya calon isteri sekalipun. Tapi bahwa kemudian Tari jatuh cinta sama dia, itu benar. Dan sekarang cinta itu meremas remas jiwanya sehingga hancur ber-keping-keping.

"Kalau keberatan menjawab ya tidak apa-apa."

"Bukan, dia bukan pacarku."

"Oh.. "

"Siapakah aku ini maka ada yang mau mengambilku sebagai pacar?"

"Mengapa bilang begitu ?"

"Aku hanya orang kampung. Bapak ibuku juga orang kampung. Kami tak punya apa-apa yang pantas dibanggakan. Siapa yang mau?"

"Terkadang orang kampung justru menarik."

"Masa?"

"Orang kota sering banyak tingkah. suka mengikuti mode, merasa pintar.."

"Tidak semua kan ?"

"Kebanyakan .."

"O. mas Janto pernah dilukai orang kota ya?"

"Masa sih orang setua aku belum pernah pacaran? Sudah, sudah pernah dan aku memang merasakan bagaimana sakitnya dikhianati."

Tari menatap Janto lekat-lekat. Janto orang baik, lumayan tampan, punya kedudukan, sudah mapan, siapa tega menyakitinya?"

"Terkadang yang terjadi bukan yang kita impi-impikan."

"Benar..."

"Ketika kita jatuh cinta, maka kita harus bersiap untuk patah hati."

Tari mengeluh. Apakah dia tidak bersiap untuk patah hati? Bukankah dulu dia sering meragukan semua kata-kata Nugroho? Dan itu harusnya membuatnya bersiap untuk patah hati. Tapi siap atau tidak, patah hati itu memang menyakitkan.

"Apa kamu lagi patah hati?" tanya Janto membuatnya terkejut.

"Entahlah. "

Janto terdiam. Baru beberapa hari ini Janto dekat dengan Tari, awalnya adalah ketika melihat Tari tampak muram, lalu diajaknya jalan. 

Semula ia tak peduli karena mengira Tari sudah punya pacar. Lalu bagaimana kalau ternyata Tari lagi patah hati? Ada keinginan untuk mendekati Tari, tapi kan Tari sedang bersedih. Apakah ini kesempatan untuk merebut hatinya? Banyak pertanyaan berkecamuk dihati Janto.

"Jawaban 'entahlah' itu sudah menunjukkan 50% kebenaran. Kalau tidak, jawabnya pasti tidak." 

Tari tak menjawab.

"Ya sudahlah, jangan memikirkan yang sedih-sedih, makan yang banyak. Dulu kalau lagi sedih aku justru makan banyak, semua-semua ingin aku makan. Bahkan kalau waktu itu ada kamu didekatku, juga akan aku makan sekalian."

Tari tertawa keras.

Bersama Janto semuanya tampak menyenangkan, banyak canda, banyak tawa. Dan senangnya adalah bahwa Janto suka menyanyi, lagi pula suaranya bagus. Itu membuatnya terhibur.

Adakah bedanya dengan Nugroho? Nugroho juga sedikit kocak, tapi lebih banyak merayu, dan dia itu romantis banget. Dan.. tidaak, Tari tak ingin mengingatnya lagi, apalagi membandingkannya dengan Janto. Ini berbeda,  Sahabat dan kecintaan. Sudahlah, makan tuh  cinta. Tari tak akan perduli lagi.

"Ayo makan saja."

"Baiklah," dan Tari memang kemudian makan dengan lahap.

"Hm, begitu dong."

"Awas mas, jangan dekat dekat aku, nanti aku makan kamu sekalian," canda Tari.

Janto pun tertawa keras mendengar Tari menirukan candaannya tadi.

 

***

 

Ketika pulang kantor tak segan-segan Tari bersedia ketika Janto mengajaknya pulang bersama. Ini hal terbaik yang akan dilakukannya, bahkan setiap hari. Dianggapnya Janto selalu menghiburnya dan membuat beban dukanya menjadi lebih ringan. 

"Sangat berhargakah dia sehingga aku merelakan air mataku mengucur tak henti-hentinya?" Kata-kata itu selalu diingatnya dan menguatkannya.

"Tari, ayo naiklah, kok melamun disitu," teriak Janto ketika Tari masih berdiri termangu ketika pulang sore itu.

"Oh, iya mas."

Lalu setengah berlari Tari mendekati mobil Janto.

Ketika ia hampir masuk ke mobil, didengarnya suara klakson didepan pagar. Tari terkejut, ia mengenali suara klakson itu. Dari jauh dilihatnya Nugroho membuka jendela mobil dan melambaikan tangannya. Tapi Tari langsung masuk kedalam mobil Janto.

"Sudah?" tanya Janto.

"Sudah, ayo mas, jalan."

Mobil Janto meluncur, melewati mobil Nugroho yang diparkir agak mundur dari jalan keluar. Tari tak bergeming, Menolehpun tidak.

 

***

 

besok lagi ya

 

 


Tuesday, May 26, 2020

LESTARI PUNYA MIMPI 04

LESTARI PUNYA MIMPI  04

(Tien Kumalasari)

"Tidak bu, jangan begitu, baiklah.. nanti kalau senggang saya pasti pulang. Ma'af ini sedang di jalan bu, nanti saya telpon ibu."

Lalu Nugroho menutup ponselnya, memacu lagi mobilnya, dengan wajah muram.

"Ada apa mas?"

"Tidak ada apa-apa.. ibu menyuruh aku pulang."

"Mungkin ibu kangen sama mas."

"Minggu kemarin aku sudah pulang."

"Apa salahnya setiap liburan menemui orang tua?"

"Iya sih, tapi terkadang kan kita juga butuh yang lain. Kalau terhadap orang tua sih kita tak mungkin melupakan atau tak memperhatikan. Bagiku orang tua tetap nomor satu."

"Bagus lah mas, kalau begitu mas harus segera menemui ibu..  supaya ibu tidak merasa dikesampingkan."

"Iya.. aduuh.. yang calon ibu nih.."

"Itu benar mas, aku sendiri kalau sudah ibu yang berpesan, nggak sampai hati untuk tidak memenuhi. Bukankah seorang ibu juga punya beban untuk membesarkan dan mendidik anaknya? Biasanya seorang bapak terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan seakan menyerahkan semua beban kepada ibu. Beban mencukupi kebutuhan, beban membesarkan anak. Coba saja kalau si anak itu salah langkah, kebanyakan sang ibu lah yang disalahkan. Iya kan? Jadi jangan sampai kita menyakiti hati ibu."

Nugroho menatap Tari dengan tersenyum manis. 

Tari mengalihkan pandangannya kedepan, senyuman itu selalu seperti pisau menancap diulu hatinya, tajam dan menggetarkan. 

"Kamu calon ibu yang baik, itulah sebabnya aku menyukainya."

Tari berdehem. 

"Itu benar."

"Terimakasih.. "

"Kok cuma terimakasih?"

"Habisnya aku harus bagaimana dong?"

Nugroho menepuk-nepuk pipinya, seperti ada sebuah permohonan dengan sikap itu.

"Nggak mau. Bukan muhrim !!" 

Nugroho tertawa.

"Anak baik... syukurlah, memang gadis seperti inilah yang aku cari."

Tari tak menjawab. Tapi ada senyum merekah, ada bahagia membuncah. Benarkah Nugroho menyukainya? Mencintainya?  Tari masih merasa ragu. Perasaan itu harus dikendalikannya supaya tidak terlalu sakit apabila semua tak sesuai harap dan mimpinya.

 

***

 

 Hari-hari Lestari selalu terisi dengan rona-rona bahagia. Ini sungguh diluar dugaan. Keisengannya bersama Asty membuatnya menemukan laki-laki yang sangat menarik dan juga baik. Ada mimpi-mimpi terukir disana, mimpi tentang kehidupan yang penuh warna-warna indah bersama Nugroho. Tari semakin yakin, inilah cintanya. 

Pada suatu hari Tari menerima telepon dari ibunya.

"Ya ibu, ada apa? Ibu sehat kan?"

"Sehat sekali Tari. Ibu berterimakasih sekali, kamu sudah mengirimkan mesin jahit yang baru buat ibu."

Tari terkejut. Mengirimkan mesin jahit? Mesin jahit itu kan tidak murah, bisa jutaan, bagaimana bisa dia membelikan ibu mesin jahit?

"Itu mesin jahit yang bagus, ibu tidak lelah selalu menggerak-gerakkan kaki, karena semuanya bisa berjalan dengan listrik. Terimakasih banyak Tari, pasti itu mahal bukan?"

"Ibu..."

"Sebenarnya ibu akan melarang seandainya kamu bilang dulu pada ibu bahwa kamu akan membelikannya. Sayang uang kamu, bukankah kamu juga punya kebutuhan? Kamu juga harus bisa menabung Tari, tidak semua penghasilan kamu untuk keluarga kamu."

Tari tetap tertegun. Pikirannya melayang kepada Nugroho. Pasti dia yang membelikannya.

"Tari, sekarang ibu bisa menjahit lebih cepat dari biasanya, dan bisa mengurangi lelah ibu. Terimakasih banyak ya nduk."

"Semoga ibu selalu sehat ya," akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Tari. 

Begitu selesai bebincang dengan ibunya, ia langsung menelpon Nugroho.

"Ada apa nih, tumben siang-siang menelpon? Sudah kangen sekali ya sama masmu yang ganteng ini?"

"Mas, mas Nug belikan ibu mesin jahit ya ?"

"Oh, ibu bilang begitu ?"

"Ibu mengira aku yang membelikannya. Aku bingung dan aku belum menjawabnya. Dari mas Nug kan ?"

"Tari, ibu itu sudah lelah, dengan mesin jahit yang baru, beban ibu akan lebih ringan."

"Ya ampun mas, itu kan mahal.. bagaimana aku harus menggantinya?"

"Siapa yang minta ganti? Memangnya aku jualan ?"

"Mas jangan bercanda.."

"Aku tidak bercanda. Dengar Tari, perhatian aku sama ibu kamu adalah bentuk perhatian dan rasa sayang aku sama kamu. Biar saja ibu menganggap itu pemberian dari kamu, agar ibu punya kebanggaan atas kamu."

"Itu kebanggaan semu." 

"Tari, apa kamu menganggap aku sebagai orang lain?"

"Entahlah mas.. aku kesel sama mas."

"Aduuh, gimana sih kamu Tari. Orang begini gantengnya kok bisa buat kamu kesel."

"Mas jangan bercanda."

"Tari, mulai sekarang, beban kamu adalah beban aku."

"Memangnya mas itu siapanya aku?"

"Aku ini calon suami kamu.,"

Tari terdiam. Seriuskah apa yang dikatakan Nugroho? Dia kan suka bercanda?


***


Hari itu Suci harus mendaftar ke sekolah SMA pilihannya. Tari menyempatkan diri menelpon adiknya.

"Suci, mbak senang kamu sudah mendaftar kesekolah negri, sudah tau berapa kamu harus bayar? Diterima kan? Kamu anak pintar, pasti diterima. mBak harus dikabari supaya bisa siap-siap."

"mBak Tari tidak usah memikirkan so'al biaya itu," jawab Suci enteng.

"Apa maksudmu ? Kamu dapat bea siswa?"

"Bukan, Suci sudah punya uangnya."

"Sudah punya dari mana? Ibu, bapak? Jangan mengganggu bapak sama ibu, ada kebutuhan lain untuk sekolah adik-adik kamu. Mereka juga butuh biaya."

"Tidak mbak, aku sudah punya sendiri."

"Apa ?"

"Mas Nugroho yang memberi."

Tari kembali tertegun. Beberapa hari yang lalu membeli mesin jahit untuk ibu, dan sekarang memberi uang untuk sekolah Suci.

"Apa mbak akan pulang Minggu ini ?"

"Mm.. apa? Belum bisa ngomong, kalau tidak ada pekerjaan lain mbak pasti pulang."

"Ya sudah mbak, saya mau membantu ibu dulu."

Tari menutup pembicaraan itu dengan perasaan tak menentu.Ia harus marah pada  Nugroho? Harus berterimakasih atau harus apa? Ini sungguh membuatnya risau. Apa yang dilakukan  Nugroho membuatnya merasa berhutang, dan itu beban yang berat baginya. 

Tapi ketika dia bertemu Nugroho dan ingin memprotes apa yang telah dilakukannya, Nugroho menutup bibirnya dengan jari telunjuk.

"Jangan protes dan jangan bicara apapun, oke?"

"Mas..."

"Aku sudah tau apa yang akan kamu bicarakan dan aku tak mau mendengar."

"Mas Nugroho kok gitu.."

"Terkadang gitu, terkadang gini..." candanya

"Jelek !!"

"Lho, orang ganteng kayak begini dibilang jelek ?"

"Emang jelek !"

"Oh... kasihan aku ini..." katanya sambil pura-pura mewek, dan kali ini Tari benar-benar mencubit lengannya.

"Aaauuuww.... sakit tau.."

"Biarin !"

Apa yang harus dikatakannya? Itu kemauan Nugroho, bukan dia yang minta. Walau tak enak perasanannya Nugroho selalu berdalih bahwa ia harus ikut memikul bebannya karena dia adalah calon isterinya. Aduhai, seperti indah kata-kata itu. Tapi kan Nugroho belum pernah melamarnya? Tari tetap saja merasa ragu. Uang, mungkin bagi Nugroho bukan hal yang berarti, karena dia anak keluarga kaya dan memiliki kedudukan disebuah perusahaan. Tapi cinta, benarkah dia memiliki cinta tulus seperti selalu dikatakannya? Entah mengapa masih saja ada keraguan dihati Lestari. 

Tapi hari-hari yang dijalaninya sangat terasa indah. Tari benar-benar mencintai Nugroho. Pria ganteng yang baik hati dan penuh pengertian. Ini adalah anugerah, dan Tari menikmatinya dengan rasa syukur.

 

***

 

"Jadi mesin jahit ibu bukan kamu yang membelikan?"

"Bukan bu, Tari mana punya uang sebanyak itu?"

"Kamu belum lama kenal sama dia kan?"

"Belum setahun bu."

"Mengapa dia begitu baik sama kita?"

"Tari sudah berkali-kali menolak pemberiannya, tapi dia selalu memaksa. Ya sudahlah bu, diterima saja."

"Tapi kamu harus hati-hati lho nduk, jaga diri baik-baik. Kamu seorang wanita, jangan sampai gugur pertahanan kamu hanya karena sebuah kebaikan yang bertubi-tubi."

"Iya bu, Tari tau bagaimana harus menjaga diri."

 "Berhutang kebaikan itu sungguh berat. Tapi kalau memang nak Nugroho benar-benar mencintai kamu, ibu harap dia segera melamar kamu."

"Ya itu benar, tak baik jalan kesana kemari belum juga ada ikatan," sambung bapaknya Tari.

"Sebaiknya kamu segera bicara sama nak Nugroho. Dari pada nanti terjadi pergunjingan diantara para tetangga."

"Iya bu, nanti Tari akan  bicara. Tapi hari ini dia sedang pulang kerumah orang tuanya. Berbulan-bulan dia tidak pulang."

"Memangnya orang tua nak Nugroho itu dimana rumahnya?"

"Di Magelang bu."

"Oo.. lumayan jauh ya.."

"Makanya dia jarang pulang, sampai terkadang ditegur sama ibunya. Maklum bu, dia itu anak tunggal."

"Dia memang baik, selama ini selalu memperhatikan keluarga kita, bahkan membiayai sekolah adik-adikmu. Tapi tetap saja tidak baik kalau tidak segera ada ikatan diantara kalian."

"Atau begini saja, besok kamu ajak dia kemari, biar bapak sama ibu yang bicara sama dia."

"Iya pak, nanti kalau dia sudah pulang Tari bicara sama dia."

 

***

 

Namun berhari-hari lamanya Tari tak bisa menemui Nugroho. Hari Senin setelah Tari bertemu keluarganya di kampung, Tari sudah menghubungi Nugroho, tapi Nugroho hanya menjawab singkat, "Ma'af Tari, ini lagi banyak pekerjaan. Nanti aku hubungi kamu."

Baiklah, Tari menunggu dan menunggu, tapi Nugroho belum juga menghubungi sampai sehari berikutnya. Tari  masih menunggu, dan kemudian karena tak sabar Tari mencoba menghubungi lagi. Jawabannya.. 'nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan' 

Tari merasa kesal dan putus asa.

Siang hari itu sa'at istirahat siang, Tari menghubungi lagi Nugroho, tapi jawabannya tetap sama. Sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan.  

Tari pergi ke kantin dan makan siang disana. Wajahnya kusut dan muram. Beribu pertanyaan memenuhi benaknya. Ada apa dengan Nugroho? Sudah bosankah sama dirinya? Atau menyesalkah dia karena harus mengeluarkan banyak uang untuk keluarganya? Tari menumpukan kepalanya pada kedua tangan yang diletakkannya diatas meja. Ia belum memesan apapun.

"Boleh aku temani?"

Sapaan itu mengejutkannya. Tari mendongak, menatap siapa yang menyapa.

"Mas Janto ?"

"Aku temani ya?"

"Silahkan mas."

"Sudah pesan ?"

"Belum."

"Mau pesan apa?"

"Aku nasi soto saja, sama es jeruk."

"Aku sama.." kata Janto yang kemudian melambaikan tangannya kepada pelayan, lalu memesan apa yang mereka inginkan.

"Kamu lagi sakit?"

"Tidak."

"Tapi wajahmu kusut begitu?"

"Lelah mas.."

"Lagi banyak pekerjaan ? Iya sih, akhir-akhir ini banyak pesanan dan kamu sibuk membuat surat-surat perjanjian dan transaksi.."

"Iya."

"Tapi kayaknya beda deh, ini bukan karena pekerjaan. Kamu lagi sedih? Marahan sama pacar?"

"Ih, mas Janto ada-ada saja."

"Aku sudah tau, pacarmu  yang sering menjemput kamu itu kan?"

"Bukan, hanya teman."

"Teman tapi mesra?"

"Ada-ada saja ah."

Sementara itu pesanan mereka sudah datang. Mereka sibuk melahap nasi soto yang menghangatkan.

"Sebenarnya nggak bagus lho, makan panas begini, lalu minumnya pakai es." kata Janto.

"Ya nggak apa-apa, sekali-sekali."

Tiba-tiba saja Tari sadar bahwa sedang menirukan kata-kata Nugroho ketika minta ampela ati sa'at makan nasi liwet. 'Awas kolesterol lho mas'. Jawabnya, 'nggak apa-apa sekali-sekali'

Mengapa ia  harus mengucapkan itu, membuatnya teringat saja sama dia, padahal hatinya lagi kesal. Dan wajah Tari kembali bersungut.

"Tapi segar bukan?"

"Mm.. ya.. segar."

"Biasanya yang dilarang itu justru enak."

Tari tersenyum, meneguk es jeruk yang menurutnya segar, walau hatinya sedang gerah.

"Tampaknya lagi ada sesuatu nih, sama pacar," Janto kembali menebak-nebak.

"Nggak mas, lagi capek, bener kok."

"Ya sudah, barangkali kamu butuh hiburan, nanti pulangnya bareng aku yuk, kita jalan-jalan."

"Capek pulang kerja mau jalan-jalan?"

"Terkadang kita butuh sesuatu yang lain. Pulang kerja, masuk mal, biar tidak beli sesuatu tapi melihat yang indah, yang bagus, perasaan kita jadi lebih enteng."

Tari tidak setuju dengan pendapat itu.

"Pulang kerja, mandi, tidur, itu yang benar. Bukan jalan-jalan."

"Teorinya memang begitu, tapi yuk kita coba."

"Dan tiba-tiba Tari termakan oleh kata-kata Janto. 

***

Sore itu Tari benar-benar ikut dimobil Janto, mengelilingi kota Solo sa'at petang, melihat hiruk pikuk keramaian dan menikmatinya sambil bicara tentang hal-hal enteng. Seperti ketika mereka sekolah disekolah yang sama, dan kenakalan-kenakalan Janto yang suka mengganggu dirinya.

"Aku tidak mengira mas Janto bisa menjadi orang hebat seperti sekarang."

"Orang hebat? Hebat apanya, aku juga hanya buruh perusahaan."

"Yang punya kedudukan."

"Apa artinya kedudukan ? Terkadaang aku bosan dengan rutinitas yang sama, yang tak pernah selesai karena selalu saja ada yang harus dilakukan."

"Kalau begitu mas Janto harus sering refreshing supaya tidak jenuh pada pekerjaan."

"Malesnya aku itu.. karena tidak ada yang menemani."

"Mengapa tidak mencari yang mau menemani?"

"Aku tuh orangnya susah."

"Susah bagaimana ?"

"Terkadang aku ingin sekali menyukai seseorang, tapi belum pernah ada yang cocog."

"Nanti kalau sudah sa'atnya pasti ketemu mas."

Beberapa sa'at lamanya mereka terdiam, karena Janto seperti tak menanggapi apa yang dikatakan Tari.

"Tiba-tiba lapar lagi aku."

"Ini masih sore lho."

"Ayo ke warung bakso saja. Tidak begitu mengenyangkan."

Dan Taripun menuruti apa keinginan Janto. Memang benar, jalan-jalan sore membuatnya sedikit melupakan kekesalannya. Bakso? Itu kan kesukaannya?.

Mobil Janto sudah diparkir, mereka berjalan memasuki warung yang masih agak sepi. Ada beberapa pengunjung sedang duduk disana. Tari mengikuti langkah Janto, tapi dia tertegun, ketika tiba-tiba dilihatnya Nugroho ada disana. Tari berhenti dan menarik tangan Janto agar urung masuk kedalam. Nugroho tidak sendiri, ada seorang gadis bersamanya, yang tak sempat dilihat wajahnya karena membelakangi pintu.

***

besok lagi ya

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...