Monday, April 29, 2024

M E L A T I 31

 M E L A T I    31

(Tien Kumalasari)

 

Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? Jadi kelak, ketika Anjani menikah, dia akan menjadi pengiring pengantin, berdampingan dengan Nurina? Apa Daniel yakin dengan ucapannya? Ketika merebahkan tubuhnya kembali sambil memeluk guling, wajahnya tampak berubah resah. Mengapa Nurin? Harusnya dia menyebut nama Melati. O tidak, Melati sudah menolaknya, jadi sudah benar kalau dia mengajak Nurin berpasangan dengan dirinya.

Daniel memejamkan matanya, berharap bisa tidur tanpa membawa Melati ke dalam mimpinya. Tapi yang masuk ke dalam ingatannya adalah Anjani. Dulu Daniel pernah sangat mengagumi Anjani, saat ia merawat ayah Anjani setelah operasi. Tapi cinta itu tak terbalas, karena Anjani sudah punya calon suami. Sekarang, Daniel kembali membawa hatinya yang patah, karena penolakan Melati. Sudahlah, Daniel ingin melupakan semuanya, dan tak ingin jatuh cinta lagi. Nurin bukan siapa-siapa. Ia hanyalah seorang gadis cantik kaya raya yang tertarik padanya. Tapi cinta itu sudah tak ada.

***

Seperti biasa, kalau Daniel terbangun di pagi hari, selalu sudah ada minuman hangat di meja makan. Daniel duduk, sambil menunggu Baskoro keluar dari kamarnya.

“Nak Daniel sudah mandi, rupanya?” kata Baskoro yang kemudian duduk di depannya.

“Sudah sejak habis subuhan Pak.”

“Belum mau masuk kerja kan?”

“Belum, masih besok. Nggak enak juga lama-lama menganggur di rumah.”

“Kalau belum kuat benar, lebih baik minta diperpanjang cutinya. Saya khawatir ketika nak Daniel demam semalam.”

“Sudah lebih baik. Kalau kelamaan sendirian di rumah, malah kebanyakan ngelamun.”

“Oh, ya … jadi ingat. Kemarin nak Nurin makan di warung kita lho Nak,” kata Baskoro sambil menyeruput kopinya.

“Oh ya?”

“Dia datang ketika warung hampir tutup. Sama itu … Melati, benarkah nak Daniel pernah bercerita tentang Melati? Saya itu sudah tua, sering lupa. Ketika mendengar nak Nurin memanggil nama Melati, saya sibuk mengingat-ingat nama itu. Nak Daniel pernah menceritakannya?”

“Saya juga lupa Pak. Mungkin pernah,” jawab Daniel enteng. Ia ingin melupakan nama itu, jadi tak ingin membicarakannya lebih banyak.

“Dia hanya membeli sebungkus soto untuk dibawa pulang, tapi nak Nurin mengajaknya makan terlebih dulu. Nak Nurin sangat cantik. Saya selalu mendorong agar kalian bisa bersatu,” kata Baskoro.

Daniel tak menanggapi, hanya tersenyum-senyum saja. Entah apa yang ada di dalam senyuman itu. Tapi itu bukan senyuman bahagia. Hanya saja Baskoro mana mungkin mengetahuinya? Menolak seorang gadis cantik ? Alangkah bodohnya. Tapi Baskoro lupa, Daniel bukan anak muda seperti dirinya di waktu muda, yang gampang tertarik perempuan cantik.

“Ini pak Bas beli pecel?” tanya Daniel mengalihkan pembicaraan.

“Oh, tidak sepenuhnya. Saya hanya beli sambal pecel, lalu merebus sayurnya sendiri, lalu saya tambahin telur ceplok. Bagaimana? Tidak cocok?”

“Oh, ini cocok sekali, luar biasa. Ayo kita sarapan, tiba-tiba saya lapar,” kata Daniel yang sebenarnya ingin mengalihkan pembicaraan tentang Nurin.

“Baguslah, kalau nak Daniel suka. Ayo kita sarapan, saya juga harus segera berangkat ke warung. Tapi saya ingatkan, nak Daniel jangan ke mana-mana dulu, ingat, nak Daniel belum sembuh benar, nanti panas seperti semalam.”

“Iya.” jawaban singkat Daniel, sambil menghabiskan sarapannya.

Begitu selesai sarapan, Baskoro langsung pergi ke warung. Ia tak ingin kesiangan, sementara anak buahnya pasti sudah menunggu.

Daniel membersihkan meja makan dan mencuci semua peralatan makan yang kotor, kemudian duduk di ruang tengah.

Semalam dia mengatakan bahwa Nurinlah yang akan menjadi pasangannya pada perhelatan pernikahan Anjani, tapi ia belum mengatakan apapun pada Nurin. Ia harus mengabarinya.

Ada enggan yang menahan lengannya, tapi ia tetap melakukannya. Terdengar teriakan nyaring begitu ia mengontaknya.

“Mas Daniel? Menelponku ada apa? Sebentar lagi saya meeting dengan staf saya.”

“Maaf mengganggu.”

“Tidak apa-apa, masih ada sedikit waktu.”

“Ada sebuah perhelatan seorang kerabat, tapi masih bulan depan.”

“Aku diundang?” potong Nurin.

“Tidak, aku diminta menjadi pendamping pengantin, maukah kamu menjadi pasangan aku?”

“Apa? Pasangan mas Daniel? Tentu saja saya mau. Kapan? Aku harus berpakaian seperti apa?” tiba-tiba Nurin memekik-mekik, sangat bersemangat. Betapa tidak, berpasangan dengan Daniel? Laki-laki yang disukainya? Nurin bahkan tak pernah memimpikannya.

“Bagaimana Mas?” tanya Nurin ketika tak  terdengar suara Daniel menjawabnya.

“Itu … mereka yang mengaturnya. Aku hanya memilih pasangan saya, dan sudah aku sampaikan ke sana. Maaf baru memberitahu kamu.”

“Tidak apa-apa, aku senang sekali. Eh, mengapa mas Daniel memilih aku sebagai pasangan? Aku merasa tersanjung, tahu.”

“Nurin, bukankah kamu akan segera mengadakan meeting dengan staf kamu?  Mengapa kamu begitu banyak bicara?”

Nurin tertawa.

“Aku senang sekali, tahu. Baiklah. Memang benar, aku sedang ditunggu, tapi aku akan menghubungi Mas lagi nanti.”

Daniel tak menjawab. Ia hanya ingin mengatakan tentang pendamping pengantin itu, bukan ingin berbincang terlalu lama. Karenanya ia segera mematikan ponselnya.

***

Nilam terkejut, ketika sedang menyusukan bayinya, seseorang muncul. Untunglah hanya Nurina, yang mendekat sambil tersenyum cerah.

“Nurin, kamu membuat aku terkejut saja.”

“Hei, kamu menyusui bayi kamu sendiri?”

“Iya, memangnya kenapa?”

“Banyak dijual susu formula berkwalitas, kamu tidak perlu susah-susah menyusui.”

“Memangnya kalau menyusui kenapa?”

“Nanti payudara kamu akan kendor, kamu menjadi tidak menarik di mata suami. Awas saja nanti kalau suami kamu mencari yang lain, yang masih kencang dan montok.”

Nilam terkekeh keras, sampai bayi yang disusuinya melepaskan putingnya karena terkejut. Nilam segera menenangkannya, dan membuatnya kembali menetek, dan tertidur.

“Kamu sih,” gerutu Nilam.

“Yang aku katakan itu benar. Kamu masih muda dan cantik, jangan sampai kamu kehilangan kecantikan kamu gara-gara terlalu fokus pada bayimu.”

“Kamu itu omong apa. Ini anakku, tentu saja aku harus merawatnya dengan segenap jiwaku. Tak peduli akan menjadi jelek, tidak seksi lagi atau apapun. Kamu tahu, ASI jauh lebih baik dari susu formula, semahal atau sebaik apapun yang dijual di pasaran, jadi aku tetap akan memberikan ASI padanya.”

“Kamu tidak takut?”

“Seperti yang kamu katakan tadi? Suami aku meninggalkan aku?”

“Ya, kamu harus sadar itu Nilam.”

“Suami aku sangat mencintai aku.”

“Ya, ketika kamu cantik. Nanti … kalau kamu sudah tidak lagi cantik?”

“Aku akan tetap cantik, menjadi ibu cantik yang tak akan ditinggalkan suami aku. Kamu harus belajar lebih banyak mengenai ‘menjadi seorang ibu’, Nurin. Ketakutan ditinggalkan suami itu sama sekali tidak beralasan. Sebuah rumah tangga yang kokoh tidak akan mudah tergoyahkan. Yang mudah goyah adalah saat kita tidak bisa menjaga mahligai cinta itu dengan baik.”

“Rumit sekali.”

“Sebentar, anakku sudah tertidur, aku tidurkan di boxnya dulu ya, kamu tidak ingin menggendongnya?”

“Tidak … tidak … “ Nurin undur ke belakang beberapa langkah, menghindari Nilam yang sedang menggendong bayinya, dan siap menidurkannya di dalam box.

Nilam mengajak Nurin duduk di sofa.

“Kamu belum siap menjadi ibu.”

“Tapi aku sudah siap menikah.”

“Tidak, kamu juga belum siap untuk itu. Banyak hal yang harus kamu mengerti untuk menjadi istri, apalagi menjadi ibu.”

“Dengar Nilam, aku masih belum bisa memahami jalan pikiran kamu. Lain kali aku akan belajar deh. Tapi kedatanganku kali ini, ingin mengatakan padamu, bahwa mas Daniel mengajak aku menjadi pasangannya.”

“Pasangan apa?”

“Pasangan pendamping pengantin. Katanya ada kerabatnya yang mau menikah, dia mengajak aku menjadi pendampingnya.”

“Oo, Anjani ya? Benar, Anjani mau menikah bulan depan. Apa katamu tadi, mas Daniel mengajak kamu menjadi pendamping pengantin?”

“Iya, bukankah ini berita baik? Rupanya mas Daniel mulai menyukai aku.”

Nilam menatap Nurin tak berkedip. Ia tak mengira Daniel akan mengajak Nurin. Benarkah, atau Nurin hanya berkhayal?

“Nilam, kenapa menatap aku seperti itu? Aku tidak bohong.”

“Tak percaya saja, soalnya mas Daniel itu orangnya susah.”

“Sesusah apapun, melihat aku yang sangat perhatian pada dia, tapi aku juga tidak tampak mengejarnya, akhirnya hatinya luluh juga. Bukankah kamu yang mengajari aku agar aku merebut cintanya dengan cara terhormat? Aku tidak mengejar-ngejarnya kok. Aku bahkan menjaga agar aku tidak tampak menyukainya. Ee, dia malah jatuh hati setelahnya,” kata Nurin riang.

Nilam hanya tersenyum. Nurin bukan gadis yang baik. Baik untuk menjadi istri, maupun untuk menjadi ibu. Bahkan melihat bayi yang bagi semua orang pasti menggemaskan, sama sekali Nurin tidak tertarik. Tak mungkin Daniel menyukainya. Nurin hanya mengejar kesenangan, dan itu bukan tipe Daniel. Pasti ada sesuatu yang membuat Daniel melakukannya.

Seorang perawat mengambil bayi yang sudah selesai disusui ibunya, untuk dikembalikannya ke ruang bayi.

“Aku menelponnya seharian, tapi ponselnya mati. Apa dia sudah masuk kerja ya?” sambung Nurin lagi.

“Entahlah, tapi aku kira belum. Cutinya belum habis.”

“Apa aku ke rumahnya saja ya? Pembicaraan tentang pendamping pengantin itu belum selesai.”

“Mas Daniel harus banyak istirahat setelah pulang dari rumah sakit. Aku sarankan agar kamu tidak mengganggunya.”

“Oh, begitu ya. Baiklah, mungkin aku akan menelponnya saja, nanti kalau ponselnya sudah aktif.”

Sampai kemudian Nurin pulang, Nilam masih belum percaya kalau Daniel benar-benar mengajak Nurin untuk menjadi pasangannya. Nilam mencoba menelpon kakaknya, tapi memang benar, ponselnya tidak aktif.

***

Nugi sangat bersemangat, ketika siang hari itu ibunya mengajak menengok adik bayi di rumah sakit. Begitu sampai, dia langsung berlari ke arah kamar bayi, karena dua hari yang lalu dia pernah diajak sang ibu untuk melongok melalui jendela ruang bayi, demi ingin melihat si adik.

Kali ini dia juga kembali melongok-longok.

“Mana adik Nugi? Kenapa tidak kelihatan?

“Itu, yang sedang tidur,” kata Suri.

“Siapa nama adik bayi?”

“Kemarin sudah diberi tahu kan, hayo, ingat nggak namanya?”

“Panjang, Nugi lupa dong.”

“Ndaru Satria Utama. Ya kan?”

“Oh iya, mbak Nilam bilang, dipanggil Ndaru.”

“Benar.”

“Bolehkah Nugi menggendong adik Ndaru?”

“Belum boleh, adiknya masih sangat kecil. Ayo sekarang kita temui mbak Nilam.”
Nugi berlari-lari mendahului, karena dia sudah tahu di mana kamar Nilam. Tapi tiba-tiba Nugi menabrak seseorang.

“Ehh! Anak siapa nih, kok nggak hati-hati sih? Mata tuh dipakai untuk melihat,” pekiknya marah.

“Maaf … maaf ya Mbak,” kata Nugi, tapi wanita itu tetap berlalu.

“Nugi, makanya jangan lari-lari, tuh, mbaknya marah-marah kan?” tegur Suri yang berjalan di belakang Nugi.

“Bu, mbaknya itu, seperti temannya om Daniel ya? Ibu nggak ingat?”

“Oh iya, galak amat. Cuma ditabrak anak kecil saja marah,” kesal Suri yang baru ingat bahwa dia adalah Nurin, ketika sama-sama membezoek Daniel di rumah sakit.

“Iya, padahal Nugi sudah minta maaf, lhoh.”

“Ya sudah, jangan hiraukan.”

Begitu memasuki ruangan Nilam, Nugi segera mengadu.

“Tadi ada temannya om Daniel, marah-marah sama Nugi.”

“Nugi, kamu itu ngomong apa, datang-datang ngomong nggak jelas. Ibu, silakan duduk,” kata Nilam yang kemudian mempersilakan ‘ibunya’.

“Itu, tadi Nugi menabrak seorang wanita,” kata Suri sambil duduk.

“Temannya om Daniel? Marah-marah, karena kamu menabrak dia?”

“Iya, kan Nugi sudah minta maaf, dia nggak jawab langsung pergi begitu saja.”

“Oh, apa itu Nurin? Dia baru dari sini tadi.”

“Benar, namanya Nurin, ibu ingat. Nggak nyangka lho, cantik-cantik bisa bicara kasar begitu sama anak kecil.”

”Lain kali Nugi kalau jalan harus hati-hati.”

“Bagaimana keadaan kamu?”

“Baik Bu, besok sudah boleh pulang.”

“Syukurlah. Kamu sudah merasa sehat kan? Bagaimana ASI nya, sudah lancar?”

“Lancar Bu, alhamdulillah. Mas Wijan ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan kalau saya sudah pulang.”

“Ibu setuju, nanti ibu masakin?”

“Jangan Bu, nanti ibu kecapekan, Nilam mau pesan saja di katering langganan.”

“Baiklah, itu juga bagus, masakannya enak.”

“Ibu, aku mau melihat adik bayi lagi, siapa tahu dia sudah bangun,” kata Nugi yang terus saja berlari keluar.

Suri dan Nilam tersenyum melihat ulah Nugi.

***

Melati terkejut, ketika tiba-tiba Nurin muncul di depannya dengan wajah berseri-seri.

“Melati, kamu masih ingat, kemarin itu aku kan mau pesan, menu yang aku pilih paket yang mana ya?” katanya sambil langsung duduk.

“Sebentar saya lihat. O.. mbak Nurin pesan yang paket A.”

“Ya, paket A, aku pesan untuk 200 porsi ya, itu kebetulan hari ulang tahun saya. Harinya, Sabtu, tanggal 20. Bisa kan?”

Melati tampak melihat catatan, lalu mengangguk.

“Bisa mbak, jam berapa ya?”

“Siang saja, sekitar jam 10 sudah siap ya.”

“Baik. Akan saya bayar sebagian sekarang,” sambungnya sambil membuka tas mahal yang dibawanya.

“Oh ya, aku ingin memberi tahu kamu. Bulan depan, aku sama mas Daniel akan menjadi pendamping pengantin lhoh. Mereka pesan di sini nggak ya.”

Melati pura-pura mengambil sesuatu dari dalam almari, untuk menyembunyikan hatinya yang bergetar.

***

Besok lagi ya.

Saturday, April 27, 2024

M E L A T I 30

 M E L A T I    30

(Tien Kumalasari)

 

Melati terkejut, ketika melihat Nurin ada di sana. Nurin melambaikan tangannya, dan Melati merasa tidak enak kalau tidak menurutinya.

“Sini, duduk di depanku.” sapa Nurin ramah.

“Saya cuma mau beli soto untuk dibawa pulang,” kata Melati yang mau tak mau kemudian duduk di depan Nurin.

“Pak, sotonya dua ya, saya sama sahabat saya ini,” teriak Nurin.

“Tapi … saya tidak makan … masih kenyang. Saya mau beli buat ibu di rumah.”

“Jangan begitu, temani aku makan dong, senang sekali, tadinya sendirian, dan sekarang ada teman makan. Nggak lama, ibu pasti akan sabar menunggu.”

Melihat keramahan Nurin, Melati terpaksa tak bisa menolaknya. Agak sungkan karena tiba-tiba diajak makan.

Seorang pelayan menyajikan hidangan di depan mereka.

“Oh ya, mau minum apa? Aku es jeruk saja ya?” pesannya kepada pelayan.

“Saya, jeruk panas,” kata Melati, agak sungkan.

Pelayan mengangguk dan berlalu.

“Ayo dimakan. Sudah sering kemari?” tanya Nurin.

“Beberapa kali, tapi selalu dibawa pulang.”

“Hm, enak. Pantas warungnya rame,” puji Nurin terus terang, setelah menyendok makanannya.

Baskoro tersenyum.

“Terima kasih, nak Nurin. Terima kasih juga kemarin sudah mengantarkan nak Daniel sampai ke rumah.”

“Sama-sama. Saya hanya mewakili Nilam.”

“Tapi nak Nurin sangat cocok lhoh.”

“Cocok apanya?” tanya Nurin

“Cocok kalau seandainya nanti bisa benar-benar hidup berdampingan,” kata Baskoro tanpa merasa berdosa, bahwa ucapannya sudah menyakiti Melati, yang diam-diam batinnya terasa nyeri.

Nurin tertawa lepas.

“Pak Baskoro bisa saja. Kami hanya berteman.”

“Awalnya teman biasa, lama-lama jadi teman hidup, siapa tahu.”

“Nggak lah Pak, jangan mengada-ada,” kata Nurin sambil melirik ke arah Melati yang menundukkan muka, seperti sedang menikmati makanannya.

Nurin bukannya tidak tahu, bahwa Daniel menyukai Melati. Tapi dia pura-pura tidak tahu, dan tak punya keinginan untuk menyangkal, dan berucap seakan apa yang dikatakan Baskoro adalah benar. Penolakan yang diucapkannya hanyalah pembenaran yang tersamar.

“Pokoknya saya doakan, agar kelak nak Nurin bisa jadian sama nak Daniel. Nak Daniel itu memang laki-laki sederhana, tidak punya mobil bagus seperti nak Nurin, tapi hatinya baik. Bener lhoh. Dia tuh penuh kasih sayang. Nak Nurin tahu nggak, dulu saya ini adalah orang yang hidup dijalanan, dan kadang-kadang juga menjadi peminta-minta.”

Nurin dan Melati mengangkat wajahnya. Ucapan Baskoro yang sangat berterus terang membuatnya terkejut. Antara percaya dan tidak, keduanya bertanya-tanya.

“Itu benar.  Pada suatu hari saya sakit, nak Daniel membawa saya ke rumah sakit, kemudian membawa saya pulang ke rumahnya, memberi baju-baju bersih serta membuang pakaian kumal saya.”

Nurin dan Melati masih terpaku. Melati belum pernah mendengar bahwa penjual soto langganannya ternyata ada hubungannya dengan Daniel. Sejak tadi dia bertanya-tanya, mengapa sang penjual soto menyebut nama Daniel dengan sangat akrab. Ternyata ada ceritanya. Nurin yang kemarin juga bertanya tentang hubungan Baskoro dan Daniel juga belum terjawab, atau memang Daniel enggan menjawabnya. Sekarang dia mendengar dari Baskoro bagaimana mereka bisa hidup serumah.

“Awalnya saya mencoba memasak untuk membantu nak Daniel agar bisa makan di rumah dengan teratur. Lalu nak Daniel mendukung ketika saya bilang mau jualan soto. Nah, keluhuran budi nak Daniel terlihat lagi. Dia bersusah payah menyewa tempat ini, dan jadilah warung soto Baskoro.”

“O, begitu ceritanya?”

“Saya bercerita, hanya untuk mengatakan bahwa nak Daniel adalah seorang laki-laki yang baik. Dia tidak berlimpah harta, tapi berlimpah budi mulia yang tak ada bandingnya, untuk saya.”

Baskoro tampak sedang mempromosikan segala kebaikan Daniel, agar Nurin tertarik. Sama sekali tidak merasa bahwa hal itu seperti mencubit-cubit perasaan Melati  tanpa ampun. Ia hanya diam, sementara Nurin tersenyum, sampai ia menghabiskan makanannya, kemudian menghabiskan minumannya.

“Ceritanya sungguh menarik.”

“Apa nak Nurin tertarik?”

“Sudahlah, pak Bas ini ada-ada saja. Malu jadinya didengar orang lain,” katanya sambil melirik ke arah Melati.

“Melati, apakah kamu masih mau nambah makannya?” tanya Nurin yang melihat Melati juga sudah menyelesaikan makan.

“Tidak, Mbak. Terima kasih banyak. Saya benar-benar sudah kenyang.”

“Nurin mengeluarkan selembar uang ratusan ribu, diberikannya kepada pak Baskoro.

“Tidak usah Nak, kenapa bayar? Nak Nurin sudah saya anggap sebagai orang baik yang sangat memperhatikan nak Daniel.”

“Tidak, jangan begitu. Terimalah, sekalian sama pesanan Melati yang akan dibawa pulang.”

“Tidak, biar saya bayar sendiri saja.”

“Tadi pesen berapa porsi?”

“Satu saja Pak.”

“Ya sudah, ini sudah siap.”

Melati menerima bungkusan soto yang diberikan, tapi ketika ia akan membayarnya, Nurin segera menariknya untuk keluar dari dalam warung.

“Jangan menolak, aku sudah membayarnya,” kata Nurin.

“Kalau begitu terima kembaliannya, Nak,” teriak Baskoro ketika melihat Nurin sudah mendekati mobilnya. Tapi sambil tersenyum, Nurin melambaikan tangannya, kemudian masuk ke dalam mobil.

“Melati, aku duluan,” pamitnya kepada Melati.

Melati tersenyum dan mengucapkan terima kasih, tapi entahlah, Nurin mendengarnya atau tidak, karena dia sudah langsung menjalankan mobilnya.

Baskoro menatap Melati tak berkedip. Berkali-kali ia mendengar nama Melati disebut Nurin. Baskoro sedang mengingat-ingat, apakah dia pernah mendengar nama itu? Tapi dia belum menemukan jawabannya, sampai ketika warungnya sudah tutup, dan dia berjalan ke arah rumah Daniel.

***

Melati mengayuh sepedanya dengan wajah murung. Biarpun berkali-kali ia mengatakan bahwa dia tahu diri, merasa tak pantas, atau bahkan lebih baik melupakan Daniel, tapi mendengar perkataan Baskoro kepada Nurin, tetap saja batinnya terasa seperti dirajang-rajang.

“Ya Allah, berarti aku belum ikhlas dengan semua yang pernah aku katakan. Bahwa aku masih berharap akan dia, bahwa ada rasa cinta yang berambisi ingin memilikinya. Tidak, aku tidak boleh sakit hati, bukankah aku tidak pantas untuknya?

Melati masih ingat, betapa wajah Nurin berseri-seri, ketika Baskoro mengatakan harapannya agar Nurin mau berdampingan dengan Baskoro. Ketika itu Melati merasa ada sebagian hatinya yang hilang. Tangannya menggapai ke arah langit, tapi tak sampai.

“Wahai hati, mengertilah. Aku tak ingin memikirkannya, aku tak mau … aku tak mau … matikan perasaan cinta ini, aku benciiiii!” tanpa terasa air mata menetes dari pelupuk mata, membasahi pipinya. Melati mengusapnya dengan ujung baju, sambil terus mengayuh sepeda bututnya.

Ia meyakinkan dirinya bahwa harus kuat, seberat apapun beban yang dipikulnya. Beban hutang saja akan dijalaninya, apalagi beban cinta. Duuuh, mana yang lebih berat sih, beban hutang atau beban cinta?

Melati memasuki halaman rumahnya, dan terkejut ketika melihat seseorang duduk di teras, ditemani ibunya.

Gemetar kaki Melati, seakan tak mampu melangkah.

“Melati, lihatlah, nak Daniel sudah menunggu kamu,” kata ibunya, membuat Melati melangkah pelan.

“Baru pulang?” kata Daniel sambil menatap tajam Melati. Tatapan itu lhoh, yang membuatnya selalu gemetar.

“Iya.”

“Duduklah, biar ibu buatkan minum untuk kalian. Nak Daniel juga belum lama datang.”

Melati mengangguk, kemudian duduk di depan Daniel, menampakkan senyuman kaku, seperti dibuat-buat.

“Kenapa kamu tampak murung?”

“Masa? Mungkin hanya lelah. Mengapa Mas kemari?” pertanyaan Melati ini tampak menyinggung perasaan Daniel. Seakan-akan ia mengatakan bahwa kalau tak ada perlu, janganlah kemari. Benarkah begitu?

Daniel mengerutkan keningnya.

“Kamu tak suka aku datang menemui kamu?”

“Bukankah Mas sedang sakit?”

“Aku sudah sembuh.”

“Tapi belum pulih kan?”

“Aku sudah baik-baik saja.”

“Senang mendengarnya. Tadi naik apa?” tanya Melati, karena ia tak melihat sepeda motor Daniel diparkir di halaman.

“Naik ojol. Belum berani naik sepeda motor.”

“Tuh kan, berarti belum pulih benar.”

“Tapi aku merasakan sakit yang lain.”

“Oh ya, sakit apa?”

Karti keluar membawa nampan berisi dua gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng.

“Silakan diminum, dan silakan dinikmati pisang gorengnya, masih hangat lho Nak.”

“Baik Bu, terima kasih banyak.”

“Sampaikan ngobrolnya. Ibu belum mandi,” kata Karti yang langsung masuk ke dalam.

“Mas tadi bilang sakit yang lain, apa lagi? Masih pusing?” tanya Melati yang sesungguhnya merasa khawatir.

“Sakit aneh.”

“Sakit aneh bagaimana?”

“Sakit cinta,” kata Daniel sambil tersenyum, sementara Melati memalingkan wajahnya yang memerah.

“Bagaimana? Kamu bisa mengobatinya?”

“Apa sih, Mas?”

“Melati. Kamu selalu menghindar setiap kali aku mengatakan itu. Apa aku tidak pantas untuk kamu? Karena aku seorang duda?”

Melati menatap Daniel lalu menggelengkan kepalanya.

“Bukan itu. Aku yang tidak pantas.”

“Mengapa kamu mengatakan itu? Kalau kamu menolak karena kamu sudah punya pacar, katakanlah.”

“Tidak, aku tidak punya.”

“Karena aku duda?”

“Bukan.”

“Karena aku tidak kaya?”

“Bukaaan,” Melati menggelengkan kepalanya semakin keras.

“Katakan alasannya. Aku tahu bagaimana perasaanmu, mengapa kamu bohong?”

“Mas, lihatlah siapa aku. Lihatlah bagaimana keluargaku.”

“Aku tidak jauh berbeda dengan keluarga ini.”

“Tapi kamu punya keluarga yang terpandang, mana mungkin aku bisa diterima di keluarga kamu?”

“Tidak diterima karena apa? Yang mau punya istri itu aku, bukan orang lain, dan aku hanya memilihmu.”

“Ada yang sudah memilihkan istri yang lebih pantas untuk Mas.”

“Omong kosong apa itu?”

“Mas, aku ingin bicara terus terang. Nurin lebih pantas untuk Mas. Bukan aku.”

“Aku akan memilih Nurin, kalau kamu mengatakan bahwa kamu tidak mencintai aku. Katakan dengan jujur. Katakan melalui ucapan, yang berasal dari dasar hatimu. Jangan bohong. Aku menunggu keputusanmu.”

Melati menatap Daniel dengan air mata berlinang. Sesungguhnyalah bahwa dia mencintai Daniel, tapi bahwa dia meminta agar Daniel memilih Nurin, adalah keinginannya agar Daniel mendapatkan yang lebih pantas. Bukankah cinta tidak harus memiliki?

“Aku takut kamu akan menyesal Mas. Aku tidak berharga untuk kamu.”

“Pertanyaanku adalah, kamu mencintai aku, atau tidak. Jawaban kamu akan menentukan kemana aku harus melangkah,” kata Daniel, serius.

Melati bimbang, tak tahu mana yang harus dia ucapkan. Tapi bukan Melati kalau kemudian hatinya luluh lalu mengatakan apa yang dirasakannya. Harapan dari penjual soto yang ternyata keluarga Daniel, terngiang terus di telinganya.

Hatinya sudah bulat, ingin melihat Daniel bersanding dengan gadis yang lebih pantas. Karena itulah kemudian dia menggelengkan kepalanya.

“Apa jawabmu, katakan,” kata Daniel dengan tandas.

“Maaf Mas, aku tidak mencintai Mas.”

Separuh jiwa Daniel melayang, dan separuhnya lagi menunggui raganya yang luluh lantak.

***

Baskoro heran, ketika ia habis mandi, dilihatnya Daniel yang belum lama meninggalkan rumah, sudah berada di kamarnya, berbaring sambil menutupkan matanya.

“Nak Daniel? Kok sudah pulang? Nak Daniel dari mana sih?”

Daniel tak menjawab. Barangkali tak kuasa mengucapkan apapun, saat hatinya merasa lunglai.

Baskoro mendekat dengan perasaan khawatir. Dipegangnya dahi Daniel, yang terasa panas.

“Nak Daniel sakit? Sebenarnya saya melarang nak Daniel pergi ke mana-mana sebelum sehat benar. Sekarang bagaimana? Sakit lagi kan? Apa obatnya sudah diminum?”

Baskoro bergegas ke ruang makan, di mana Daniel meletakkan obatnya di sebuah kotak kecil, agar tidak lupa meminumnya setiap habis makan.

Baskoro membawa kotak itu ke kamar Daniel.

“Nak Daniel sudah meminum obat yang harus diminum siang tadi?”

Daniel akhirnya membuka matanya.

“Obatnya sudah diminum?”

“Sudah.”

“Mulai sekarang jangan pergi kemana-mana dulu, sampai benar-benar sembuh. Bukan apa-apa, saya hanya ingin nak Daniel benar-benar sehat.”

“Ya.”

“Rasanya bagaimana? Lengannya masih sakit? Mengapa tubuh nak Daniel panas? Apa ada penurun panas di sini?” Baskoro menunjuk ke arah kotak yang masih dibawanya.

“Tidak apa-apa, saya akan beristirahat sebentar, nanti pasti sembuh. Mungkin saya hanya merasa lelah.”

“Baiklah kalau begitu, akan saya buatkan minuman hangat,” kata Baskoro sambil berlalu.

Daniel kembali memejamkan matanya. Bukan badannya yang sakit, tapi hatinya.

***

Daniel terbangun ketika mendengar dering ponselnya. Ia berharap Melati menelponnya dan meralat pernyataannya. Sungguh dia tak percaya Melati tidak mencintainya. Melati berbohong. Melati terlalu merasa rendah diri. Ia meraih ponselnya, dan melihat nomor tak dikenal. Biarpun tak mengenal nomor kontak siapa, Daniel tetap mengangkatnya.

“Assalamu’alaikum,” sapanya.

“Wa’alaikumussalam.”

“Mas Daniel ya? Saya Anjani.”

“Oh, Anjani?”

“Mas masih ingat? Syukurlah.”

“Tumben menelpon malam-malam?”

“Maaf, Mas. Sebenarnya saya mau minta tolong. Bulan depan saya mau menikah. Mbak Nilam mengusulkan pendamping pengantin priya adalah mas Daniel. Apa Mas bersedia?”

“Oh, begitu ya, baiklah, tidak apa-apa.”

“Apa Mas punya pasangan yang sekiranya cocok?”

“Oh, ada … ada.”

“Tolong katakan namanya, biar segera bisa dicatat di buku acara.”

“Nurina.” kata Daniel tanpa berpikir panjang.

***

Besok lagi ya.

 

Friday, April 26, 2024

M E L A T I 29

 M E L A T I    29

(Tien Kumalasari)

 

Dering ponsel terus bergema, Melati ragu menerimanya, bukan karena marah. Ia hanya tak ingin memberikan sesuatu yang nantinya hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Tangannya sudah memegang ponsel itu, matanya menatap pada gambar laki-laki tampan yang matanya seakan menyorotnya tajam. Melati memalingkan wajahnya. Dering itu tak mau berhenti. Ia ingin mengabaikannya, tapi tak sampai hati. Ingin mengangkatnya, tapi tak tahu apa yang akan dikatakannya. Melati menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangkat.

“Assalamu’alaikum,” sapa Melati pelan.

“Wa’alaikumussalam. Melati, apa kamu sudah tidur? Apa aku mengganggu?” sederet pertanyaan berdenging, karena ia menempelkan ponsel itu begitu dekat di telinganya.

“Hampir. Ada apa Mas?”

“Maaf, ini sudah malam, tapi aku ingin mendengar suaramu.”

Melati berdebar. Selalu saja Daniel mengatakan sesuatu yang membuatnya berdebar. Bukan perkataan biasa, dan pasti ada makna yang terselip di dalamnya.

“Ada apa?”

“Aku sudah ada di rumah, agak pagi pulang dari rumah sakit.”

“Aku ikut senang. Syukurlah.”

“Kapan kita bisa bertemu?”

Melati kembali menghela napas.

“Mas kan baru pulang dari rumah sakit, jadi harus banyak istirahat untuk benar-benar menjadi pulih.”

“Aku baik-baik saja.”

“Jangan terburu-buru merasa sehat. Luka Mas cukup parah.”

“Aku sudah seminggu di rumah sakit, dan benar-benar merasa sehat.”

“Tapi kan masih harus istirahat beberapa hari lagi.”

“Kamu keberatan bertemu aku, Mel?”

Melati tertegun. Bertemu laki-laki yang dikagumi, bukankah sesuatu yang menyenangkan? Tapi ketika bayangan Nurin yang sedang mengambil barang-barang di rumah Daniel kembali terbayang. Mereka kelihatan rukun, serasi. Siapa Melati yang hanya anak seorang penjahit? Hanya pegawai perusahaan katering?

“Melati, kamu masih di situ?”

“Oh, eh … iya Mas, bagaimana?”

“Kamu diajak ngomong … ternyata ngelamun. Memikirkan apa sih?”

Melati tertawa lirih.

“Maaf, sebenarnya saya … sangat mengantuk.”

“Ah, yaa … aku mengerti, aku yang salah. Ini sudah malam, sudah saatnya tidur, dan aku mengajakmu berbincang. Baiklah, Mel. Tidurlah, besok saja kita bicara lagi.”

“Maaf ya Mas,”

“Tidak apa-apa, aku mengerti.”

Melati menutup ponselnya ketika tak lagi terdengar suara. Ada sesal karena telah bersikap yang berlawanan dengan hatinya. Mengapa sih, Daniel masih saja bersikap seperti sangat mengharapkannya, sementara ada Nurin yang lebih pantas berada di sampingnya? Melati kembali menutupi wajahnya dengan bantal, mencoba mengibaskan bayangan laki-laki yang selalu menggodanya, sampai kemudian kantuk menjemputnya.

***

Sementara itu Daniel merasa tak nyaman dengan sikap Melati. Mengapa gadis itu seperti enggan berbicara dengannya? Karena kantuk? Sepertinya tak mungkin. Malam belum larut benar. Daniel menatap ke arah jam di meja samping tempat tidurnya. Baru jam sembilan lewat lima menit. Terlalu larutkah saat itu untuk sekedar melepaskan rindu? Haa, rindu. Sesungguhnya Daniel memang sangat merindukan Melati. Kurang apa dirinya sehingga Melati tidak tampak antusias ketika tahu bahwa dirinya tertarik padanya? Sudah punya pacar? Tampaknya tidak. Oo, karena dia seorang duda? Daniel tak pernah merasa kekurangan di wajahnya. Beberapa teman wanita tertarik padanya, bahkan tidak peduli walau tahu dirinya duda. Beberapa diantara mereka banyak yang mengatakan dirinya ganteng. Tapi Melati tidak tertarik? Daniel bangkit dari tidurnya, dan berdiri di depan cermin  yang ada di almari pakaiannya. Seperti seorang peragawan dia berputar-putar di depannya, tersenyum-senyum sendirian.

“Aku sudah gila? Mana ada peragawan memakai sarung?”

Daniel terkekeh, kemudian menghempaskan tubuhnya di atas kasur.

“Melati, kamu membuatku tak bisa tidur malam ini.”

Seperti Melati, Daniel menutupi wajahnya dengan bantal. Ia berharap bisa terlelap membawa Melati kedalam mimpinya.

***

Nilam terbaring lemah di atas ranjang, dalam ruang rawat inap yang sejak siang dihuninya. Ia telah melahirkan bayi montok yang menggemaskan, yang menebarkan kebahagiaan dalam keluarga Raharjo, dan tentu saja Suri.

Wijan yang tak pernah beranjak di sampingnya, menatap penuh haru pada wajah lelah yang sedikit kepucatan. Tapi rona bahagia pada sinar matanya, tak bisa disembunyikannya. Wijan tak merasa lelah walau sudah berjam-jam menemani sang istri, sejak dia dipindahkan dari ruang operasi, ke dalam ruang rawat inap yang sejak awal sudah dipesannya.

“Mas, tidurlah. Apa Mas tidak capek?”

Wijan tersenyum, mengelus rambut sang istri dengan lembut.

“Tidurlah, mana bisa aku capek? Kamu itu pastinya yang capek.”

“Iya, aku sangat mengantuk. Mas sudah melihat bayinya?”

“Ya sudah dong, dia ganteng seperti aku. Tapi mulutnya seperti kamu. Yang suka manyun tapi menggemaskan.”

Nilam tersenyum. Dicubitnya tangan suaminya yang tak pernah melepaskan pegangannya.

“Tidurlah, aku akan menunggui kamu sampai kamu terlelap.”

“Jangan Mas, Mas harus tidur juga. Ini sudah malam. Besok Mas kan harus bekerja.”

“Nggak apa-apa, aku biasa tidur malam, tapi bangunnya pagi kok.”

“Kamu selalu begitu sih Mas, keras kepala.”

“Ibu … jangan galak-galak dong, nanti anak kita kamu galakin juga, bagaimana?” goda Wijan.

“Kamu itu ngeyel, jadi harus digalakin,” kata Nilam tandas, tapi masih kelihatan lemah. Barangkali karena masih ada pengaruh bius dan dia masih terbawa oleh efek bius itu.

Wijan tertawa. Dia mencium tangan Nilam, kemudian membetulkan letak selimutnya, lalu pergi ke sofa yang disediakannya untuk tidur.

“Besok biar bibik saja yang menemani di sini, Mas kan harus bekerja,” masih dengan pesannya ketika melihat suaminya merebahkan dirinya.

“Iya, gampang.”

Tak lama kemudian keduanya terlelap dalam rasa bahagia.

***

Baskoro bangun pagi-pagi, dan sudah menyiapkan minum hangat serta makan pagi untuk Daniel. Ia sudah rapi dan siap pergi ke warung untuk mulai memasak dagangannya, ketika Daniel keluar dari kamarnya. Tampaknya dia sudah selesai sholat subuh. Ia ingin pergi ke dapur, ketika melihat sudah tersaji nasi liwet dan minuman hangat di ruang makan.

“Pak Bas … masih pagi, dan sudah menyiapkan ini semua?” kata Daniel ketika melihat Baskoro mendekat.

“Soalnya saya mau ke warung pagi-pagi. Beberapa pelanggan minta agar warung buka lebih pagi.”

“Kalau begitu pak Bas tidak usah repot-repot untuk saya. Saya kan bisa mengurus diri saya sendiri. Nanti pak Bas jadi kerepotan.”

“Tidak, mengapa repot? Ini kan sekalian membuat minum untuk saya sendiri, sekalian sarapan juga untuk saya sendiri.”

Keduanya duduk berhadapan di meja makan, meneguk kopi hangat kemudian menikmati nasi liwet yang juga masih hangat.

“Pak Bas juga sempat membeli nasi liwet juga?”

“Kan penjualnya nggak jauh dari rumah? Saya tinggal menyeberang, sampai deh.”

“Baiklah, terima kasih pak Bas. Saya jadi merasa menemukan keluarga, dengan adanya pak Baskoro di sini.”

“Jangan begitu Nak, sayalah yang merasa menemukan keluarga setelah sendirian selama bertahun-tahun.”

“Baiklah, jadi kita sekarang keluarga kan Pak? Kita tidak akan kesepian.”

“Bagaimana dengan calon istri?”

Mereka berbincang sambil menikmati nasi liwet, dan Baskoro kembali menyinggung masalah istri untuk Daniel.

Daniel hanya tertawa.

“Masih susah kayaknya Pak. Mungkin karena saya duda, susah cari yang mau sama saya,” keluh Daniel, tapi disertai tawa yang renyah.

“Duda tapi keren. Orang-orang menyebut duren. Mana mungkin ada yang menolak nak Daniel, kalau memang nak Daniel mau. Oh ya, saya jadi ingat yang kemarin itu. Siapa nak? Mmm… Nurin … nah, gadis itu cantiknya bukan main lhoh. Tampaknya dia juga menaruh perhatian sama nak Daniel.”

“Pak Bas bisa saja. Dia itu hanya temannya Nilam.”

“Teman Nilam atau teman siapa, kalau memang dia suka, bagaimana?”

“Nggak, bukan begitu Pak. Maksud saya, karena dia teman Nilam, jadi juga menjadi teman saya.”

“Teman hidup, barangkali.”

Daniel ngakak. Ia jadi ingat, bagaimana ketusnya dia saat menghadapi Nurin sebelum ini. Pasti Nurin masih sakit hati, dan sampai sekarang Daniel masih merasa bersalah. Bagaimana cara menebus kesalahannya itu?

“Nah, sekarang melamun kan? Ayolah, mau cari yang bagaimana lagi?” Baskoro masih terus-terusan menggoda.

“Bukan dia Pak.”

“Oh ya? Ada yang lain?”

“Pak Bas tinggal mendoakan saja, semoga saya berhasil.”

“Saya lupa-lupa ingat, sepertinya nak Daniel pernah menceritakan mengenai seorang gadis ya?”

“Ya, itu dia. Tapi dia belum kelihatan seperti mengimbangi perasaan saya.”

“Pasti gadis itu akan menyesal kalau benar-benar menolak nak Daniel,” kata Baskoro sambil berdiri. Dia sudah menyelesaikan makan paginya.

“Pokoknya doakan saja.”

“Baiklah, pasti saya doakan. Saya berangkat sekarang ya? Pasti anak-anak sudah menunggu.”

“Baiklah. Saya mau ke rumah sakit, melihat anak Nilam, kemarin belum sempat kesana, hanya menelpon mas Wijan.”

“Baiklah, saya nitip ucapan selamat atas kelahiran bayinya,” kata Baskoro sambil berlalu. Tapi kemudian dia menoleh lagi.

"Sepeda motor ada di garasi, tapi saya sarankan, kalau nak Daniel mau pergi-pergi, jangan dulu naik motor. Lengan nak Daniel belum benar-benar sembuh.”

Daniel hanya mengangguk, kemudian berdiri setelah meneguk habis minumannya, lalu membersihkan meja dan mencuci gelas-gelas dan piring kotor.

Ia masih memiliki libur selama tiga hari, sebelum cuti yang diberikan habis. Ia harus membersihkan rumah dan mengumpulkan pakaian kotor yang lebih baik dibawa saja ke laundry, karena sesungguhnya memang dia belum merasa kuat benar. Apalagi lengannya yang terluka, masih terasa ngilu. Baskoro benar, dia bahkan belum bisa naik motor, jadi nanti ke rumah sakit dia akan naik ojol saja.

***

Karti sedang duduk bersama Melati untuk sarapan, sebelum Melati berangkat bekerja. Pagi-pagi Melati sudah memasak, oseng kangkung dan tempe goreng tepung.

“Jam berapa kamu bangun? Kok sempat memasak juga. Padahal ibu ingin beli soto di seberang.”

“Bangun seperti biasanya kok Bu, Ibu saja yang bangun kesiangan. Ibu lembur semalaman?”

“Pesanan bu Nikmah mau diambil pagi ini, jadi ibu menyelesaikannya semalam.”

“Ibu kenapa tidak menyuruh Melati membantu?”

“Kamu kan juga capek, lagian tinggal memasang kancing dan menjahit bagian bawahnya. Semalam ada yang menelpon kamu?”

“Ibu mendengarnya?”

“Kan ibu masih terjaga.”

“Iya, hanya saling mengabarkan saja, dari mas Daniel.”

“Bagaimana hubungan kamu dengan dia?”

“Biasa saja. Lagipula hanya sebentar. Melati sudah ngantuk berat.”

“Ya sudah, kalau kamu memang menolaknya, ya tolaklah dengan cara yang baik, jangan sampai saling menyakiti.”

“Iya Bu. Oh ya, Ibu tadi bilang mau beli soto? Ibu ingin soto?”

“Ya sudah enggak lagi, kan kamu sudah memasak. Oseng kangkung ini cukup untuk makan sampai siang nanti.”

“Tapi kalau Ibu mau, nanti Melati akan beli soto setelah pulang dari bekerja. Sotonya enak kan?”

“O, yang kamu pernah beli, ketika ibu merasa agak sakit itu?”

“Iya. Ibu bilang enak kan? Nanti Melati belikan deh. Tapi sepulang kerja. Mudah-mudahan belum tutup.”

“Kalau sudah tutup ya sudah, biarkan saja. Nanti ibu bisa masak sendiri kok.”

“Kalau jahitan Ibu banyak, lebih baik tidak usah memasak. Kalau sempat, Melati yang akan memasak, kalau tidak bisa, ya beli lauk matang, kan kita hanya berdua.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Memang akhir-akhir ini jahitan agak banyak. Mungkin mendekati lebaran, banyak yang ingin membuat baju baru.”

Melati berdiri, kemudian mengangkut perabot kotor dari meja makan, membawanya ke dapur.

Diam-diam Karti memikirkan perkataan Melati, yang tampaknya tidak terlalu berharap untuk melanjutkan hubungannya dengan Daniel, kearah hubungan yang lebih serius. Melati terlalu perasa dan rendah diri, tapi Karti bisa mamakluminya. Melati sudah dewasa, ia sudah tahu mana hal terbaik yang harus dilakukannya.

***

Hari itu warung Baskoro tutup agak sore. Karena ada liburan di sekolah di depannya, entah karena apa, jadi pelanggannya berkurang. Tapi mengingat anak buahnya yang pastinya sudah capek, Baskoro memintanya untuk bersiap menutup warung. Namun tiba-tiba sebuah mobil berhenti.

Baskoro heran, apakah ada yang mau beli soto di saat sore seperti ini?

Tapi ketika melihat siapa yang turun dari mobil, Baskoro tersenyum. Dia mengenalnya, ketika menjemput Daniel  kemarin.

“Selamat sore,” sapa Nurin dengan wajah ceria.

“Nak Nurin?”

“Pengin makan nih, masih adakah? Kok sudah sepi?”

“Masih ada, silakan duduk, akan saya siapkan.”

Nurin tersenyum, ia mengangkat makanan yang tertutup tudung. Ada pekedel yang langsung dicomotnya.

Tapi sebelum selesai menghabiskan perkedel itu, terdengar seseorang dari luar warung.

“Pak, sotonya masih ada?”

“Melati?” pekik Nurin.

***

Besok lagi ya.

 

Thursday, April 25, 2024

M E L A T I 28

 M E L A T I    28

(Tien Kumalasari)

 

Akhirnya Daniel bersedia mengikuti Nurin. Tiba-tiba ia merasa sangat jahat kepada Nurin, yang selalu menaruh perhatian kepadanya. Kalau Nurin suka, apakah salah? Sebuah rasa bukan salah. Kalau dirinya menolak, ya tidak usah menanggapi. Tapi tidak harus bersikap kasar dan berwajah masam. Bukankah begitu. Lalu Daniel memaksa bibirnya untuk mengulaskan senyum. Daniel bukan laki-laki jahat yang memiliki kesombongan. Kemudian diapun tersenyum, ketika Nurin mempersilakannya masuk ke dalam mobil.

“Bapak, karena lebih tua, duduk di belakang ya?” katanya kepada Baskoro.

“Iya, Nak. Terima kasih.”

“Mas Daniel di depan. Mau kan? Supaya aku tidak tampak seperti sopir?” ucapan Nurin ini sedikit pedas. Seperti mencela seandainya Daniel tidak mau duduk di sampingnya.

Tapi Daniel kemudian segera duduk tanpa disuruh dua kali. Ia juga tak meninggalkan senyumannya.

“Apa aku saja yang mengemudi?” kata Daniel.

Nurin menatapnya sebelum masuk untuk duduk di belakang kemudi.

“Aku sudah sering mengemudi mobil rumah sakit, bahkan mobil ambulans, ketika sopir berhalangan di jalan.”

Nurin tersenyum.

“Biar aku saja Mas, kan mas Daniel baru sembuh dari sakit, dan belum sembuh sempurna,” katanya sambil duduk di belakang kemudi, tanpa menatapnya.

“Terima kasih karena sudah bersusah payah menjemput,” kata Daniel setelah mobil Nurin melaju.

“Aku tidak akan melakukannya kalau Nilam tidak menelpon. Eh, tadinya aku yang menelpon, karena akan menanyakan kaca mataku yang mungkin tertinggal di rumah Nilam, tapi dia malah mengeluh perutnya sakit dan mengira dirinya akan melahirkan, padahal sudah janji mau menjemput Mas. Jadi aku menawarkan untuk menjemputnya. Semoga mas Daniel tidak kecewa.”

“Mengapa kecewa? Aku justru harus berterima kasih. Ini kan hari sibuk, tapi kamu justru meluangkan waktu untuk menjemput aku.”

“Tidak apa-apa. Ini untuk Nilam.”

Daniel menoleh ke arah samping. Nurin tampak sangat serius mengemudi, tak sedikitpun menoleh ke arahnya. Daniel jadi semakin merasa bersalah, karena merasa bahwa Nurin pasti tersakiti oleh sikapnya yang sedikit kasar.

“Kamu sudah tahu rumahku?”

“Nilam sudah memberi ancar-ancar tadi.”

“Owh. Jadi tidak perlu takut kamu nyasar,” Daniel mencoba bercanda. Nurin sedang bersamanya, masa akan nyasar?

Daniel melihat Nurin hanya tersenyum tipis.

“Nak Daniel, karena nak Daniel sudah ada yang mengantar, bolehkah saya turun di warung saja?” tiba-tiba kata Baskoro.

“Oh, Bapak mau turun di mana?” sahut Nurin.

“Di warung tempat saya berjualan.”

“Baiklah, saya antarkan dulu Bapak ke sana. Di mana tempatnya?”

“Setelah perempatan itu belok ke kiri. Nanti ada sekolahan, nah warung saya di depannya.”

“Bapak jualan apa?”

“Saya jualan soto. Kapan-kapan nak … eh… namanya siapa tadi, kita kan belum berkenalan, tadi saya hanya mendengar nak Daniel memanggil … Nurin ya?”

“Saya Nurina, Pak, dipanggil Nurin. Bapak siapa?” kata Nurin sambil tertawa.

“Saya Baskoro. Kapan-kapan mampirlah ke warung saya. Tapi hanya warung biasa, bukan restoran mewah lhoh.”

“Kapan-kapan saya pasti mampir, kalau sudah tahu tempatnya.”

“Nah, di depan itu kan ada sekolahan. Saya berhenti di situ saja, biar saya menyeberang sendiri.”

“Jangan Pak, saya akan menurunkan Bapak di depan warung.”

Nurin benar-benar menyeberangkan mobilnya ketika sudah sampai di dekat warungnya, dan berhenti tepat di warung Baskoro.

“Wah, warungnya ramai sekali,” kata Nurin.

“Terima kasih sekali, nak Nurin. Nak Daniel tidak apa-apa kan, saya tidak mengantar sampai ke rumah? Kamar sudah saya bersihkan, biarkan pakaian kotor di keranjang, nanti saya cuci.”

“Terima kasih Pak, tidak apa-apa, nanti saya ke laundry saja.”

“Baiklah kalau begitu.”

Baskoro melambaikan tangan sebelum masuk ke warung, lalu Nurin kembali memacu mobilnya.

“Warung pak Baskoro ramai sekali ya?” kata Nurin.

“Ya, lumayan ramai. Tadi dia meluangkan waktu untuk menjemput saya, padahal warungnya ramai, dan dia selalu menangani sendiri semuanya.”

“Ada pembantu kan?”

“Ada, beberapa. Tapi yang masak pak Baskoro sendiri.”

“Oh ya? Hebat, seorang laki-laki memasak. Mas Daniel kenal sudah lama?”

“Kami tinggal satu rumah.”

“Tinggal satu rumah? Masih saudara?”

“Tiba-tiba menjadi saudara.”

“Gimana sih, ceritanya. Jadi tadinya orang lain, lalu menjadi saudara?”

“Ceritanya panjang. Tak cukup sehari.”

Nurin tertawa pelan, tapi ia tak menoleh ke arah Daniel. Sikap Nurin yang tiba-tiba tidak begitu ramah kepadanya,  diam-diam membuat Daniel penasaran. Aneh sekali. Saat dia mendekat, dirinya acuh. Ketika dia terlihat acuh, dirinya menjadi penasaran.

“Yang mana Mas, di daerah sini kan?”

“Di depan, yang ada mobil parkir warna putih, depannya lagi.”

Nurin menghentikan mobilnya persis di depan rumah kecil sederhana, lalu memasukkan mobilnya ke halaman yang tidak begitu luas.

Daniel turun lebih dulu setelah Nurin membuka kunci pintunya.

Ada beberapa barang yang diturunkan. Dan tanpa diminta Nurin membantunya.

Ketika itulah seorang gadis sedang mengayuh sepeda dan menoleh ke sana.

Rupanya setiap akan berangkat bekerja, Melati selalu melewati rumah itu. Hari itu Melati berangkat agak siang, karena akan ada pesanan malam nanti, jadi ia harus ikut mengawasi semua yang dipesan, dan yakin bahwa semuanya sudah sesuai serta tidak mengecewakan. Tanpa diduga ia melihat Nurin yang sedang membantu Daniel menurunkan barang-barang.

Melati mengayuh sepedanya lebih kencang, berusaha mengendapkan perasaannya yang agak terguncang.

***

Kesibukan Daniel yang baru saja pulang dari rumah sakit masih berlanjut. Beberapa barang harus diturunkan.

Ada tas ransel, ada tas berisi perlengkapan makan, dan rantang serta keresek berisi pakaian kotor.

“Letakkan saja di situ. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membantu,” kata Daniel sambil tersenyum.

“Banyak waktu luang saya, tidak usah sungkan,” katanya sambil meletakkan sebuah tas keresek di atas meja teras.

“Inilah rumah aku, kecil, sederhana,” katanya sambil membuka pintu dengan kunci yang dibawanya.

“Aku bawa masuk ya?” kata Nurin.

“Biar disitu, nanti aku yang membereskannya.”

“Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu ya,” kata Nurin yang kemudian membalikkan tubuhnya.

“Sekali lagi terima kasih.”

Nurin hanya mengangguk, kemudian masuk ke dalam mobilnya dan berlalu.

Daniel menghela napas, dan merasa aneh dengan perasaannya. Mengapa kecewa karena Nurin tidak terlihat ramah seperti biasanya?

“Nurin berubah karena melihat rumahku yang sederhana? Tapi sikap dinginnya sudah terlihat sejak dari rumah sakit tadi, jadi bukan karena rumah ini.”

Beberapa saat lamanya Daniel berdiri kaku, tapi kemudian sadar ketika barang bawaannya masih ada di teras.  Ia segera membawanya ke belakang, dan mengibaskan perasaan aneh yang melandanya.

“Aku terlalu sombong. Pasti sikapku menyakiti. Aku akan menebusnya nanti,” gumamnya sambil membawa barang-barangnya masuk ke dalam rumah.

***

Nilam sedang diperiksa, Wijan menunggu di luar dengan gelisah. Memang sih waktu yang diperkirakan dokter masih bulan depan, yaitu sekitar kurang dari dua minggu. Tapi mengapa Nilam sudah merasa sangat kesakitan?

Ia sudah menelpon Suri yang sudah dianggap ibu oleh Nilam, karena ia tak sanggup gelisah seorang diri tanpa ada yang menemani.

Ketika kemudian salah seorang perawat keluar, Wijan menghambur mendekatinya.

“Bagaimana istri saya?”

“Bapak suami ibu Nilam? Dokter ingin bicara, silakan masuk ke ruangannya,” kata perawat itu.

“Apakah istri saya dalam bahaya?”

“Tidak, istri Bapak sudah saatnya melahirkan, silakan ketemu dokternya.”

Wijan masuk mengikuti perawat itu.

Ketika itulah seorang gadis terburu-buru datang, dan terpaku diluar pintu. Dia adalah Nurin, yang setelah mengantarkan Daniel, lalu langsung ke rumah sakit untuk melihat keadaan Nilam.

“Apa bu Nilam sudah ada di dalam?” tanyanya kepada perawat yang kebetulan keluar dari ruangan itu.

“Bu Nilam sedang ditangani, suaminya sedang bersama dokter. Silakan menunggu,” kata perawat yang kemudian berlalu dengan terburu-buru.

“Mbak sedang menunggui anak saya, Nilam?” tiba-tiba seorang wanita mendekat.

“Saya temannya Nilam.”

”Saya ibunya.”

“Ah, iya … bu Suri kan? Saya hampir lupa, karena lama tidak ketemu. Dulu saya sering pergi main ke rumah dan makan ayam bakar di sana.”

Suri tertawa pelan, kemudian ia ingat Nurin, temannya Nilam, yang anak seorang pengusaha kaya.

“Aduh, nak Nurin ya, ibu lupa, soalnya lama tidak ketemu. Semakin cantik saja. Bagaimana Nilam? Apa sudah melahirkan?”

“Kelihatannya belum, Bu. Saya sedang menunggu. Mas Wijan ada di dalam, entah kenapa. Saya kok jadi berdebar-debar,” kata Nurin.

“Apa? Sebenarnya kenapa? Apa ada masalah?” kata Suri yang tiba-tiba merasa cemas.

Ketika itulah tiba-tiba Wijan keluar.

“Nak Wijan? Bagaimana keadaan Nilam?”

“Nilam harus dioperasi, tadi saya diminta untuk menandatangani surat persetujuan operasi.”

“Mengapa harus operasi?”

“Sudah saatnya melahirkan, tapi pembukaan masih sedikit. Dia juga berteriak-teriak kesakitan, saya tidak tahan, Bu.”

“Ya Tuhan … selamatkan anak hamba,” desis Suri dengan linangan air mata.

“Ibu tenang saja, kata dokter tidak ada yang perlu dicemaskan. Nilam akan segera dioperasi, sekarang sedang dipersiapkan,” kata Wijan untuk menenangkan ‘ibu mertuanya’, sementara dirinya sendiri juga sedang merasa cemas.

“Mungkin Nilam kecapekan,” gumam Nurin yang sejak tadi diam saja.

Ketika pintu terbuka dan Nilam terbaring lemas diatas brankar, Wijan segera memburunya, diikuti Suri dan Nurin.

“Ibu …. “ bisik Nilam lemah, sementara Wijan menggenggam tangannya erat sambil mengikuti jalannya brankar.

“Nilam, ibu di sini, menunggui kamu. Kamu kuat, kamu akan melahirkan cucu ibu yang ganteng, jangan cemas ya,” kata Suri sambil memegangi tangan Nilam yang satunya.

“Doakan ya Bu….”

“Tentu saja ibu doakan, semoga semua lancar, dan kamu serta bayimu sehat.”

“Mas, sakiit ….” rintihnya sambil meremas tangan suaminya.

“Sebentar lagi tidak akan sakit, kamu ibu yang kuat. Jangan lupa, sebentar lagi kita akan menggendong si kecil dengan bahagia,” kata Wijan.

Mereka saling melepaskan genggaman ketika brankar sudah memasuki ruang operasi. Wijan menatap nanar pintu ruang itu, seakan ingin menembus ke dalamnya. Suri menarik tangannya, dan mengajaknya duduk.

“Beberapa hari yang lalu, dia bilang masih bulan depan,” kata Suri.

“Iya Bu, entahlah. Barangkali salah perhitungan, atau barangkali memang harus dilahirkan sekarang.”

“Keburu ingin melihat wajah ayahnya,” kata Nurin sambil tersenyum.

“Benar,” sambung Suri.

Wijan mengangkat ponselnya ketika ponsel itu berdering. Dari Daniel.

“Ya Mas. Mas sudah pulang? Nilam bilang hari ini."

“Aku sudah di rumah, teman Nilam yang menjemput aku. Bagaimana Nilam? Katanya sudah ada di rumah sakit? Aku baru bisa mengabarkan, setelah membenahi barang-barangku.”

“Nilam masih ada di ruang operasi.”

“Operasi?”

“Harus dioperasi, karena … ah, aku tidak bisa menceritakan secara detail. Pokoknya harus dioperasi untuk keselamatan ibu dan bayinya.”

“Keadaannya bagaimana? Apa aku harus ke rumah sakit?”

“Tidak Mas, kita tunggu saja. Mas kan baru sembuh dan belum pulih benar. Nanti aku akan mengabari. Doakan saja agar semuanya lancar dan baik-baik saja.”

“Baiklah, tentu aku doakan. Kabari kalau keponakanku sudah lahir.”

***

Melati sudah disibukkan dengan pekerjaannya. Pesanan nanti malam tidak begitu banyak, tapi selalu membuatnya sibuk, karena Melati sangat teliti dalam mencermati setiap hidangan yang akan disuguhkan. Itu sebabnya pemilik katering memilih Melati sebagai koordinator yang mengurus segalanya. Karena capek itulah ia melupakan bayangan Nurin yang sedang membantu Daniel menurunkan barang-barang dari atas mobilnya.

Tapi ketika semuanya selesai, dan Melati sudah sampai di rumahnya kembali, lalu beristirahat di kamarnya, bayangan itu kembali muncul. Darimana datangnya rasa sakit itu, sementara dia sudah berjanji akan ‘tahu diri’ tentang hubungannya dengan Daniel?

Melati mengelus dadanya, mencoba menghentikan detak rasa sakit yang mengiris. Melati baru sadar bahwa dia memang mencintai Daniel. Tapi ia selalu merasa tak pantas.

“Aku jadi menyesal, mengapa aku harus menoleh ke arah kiri dan melihat pemandangan itu? Aku sadar, dia lebih pantas berdampingan dengan gadis itu. Aku tak harus sakit hati. Aku harus menghentikannya,” gumamnya sambil menutupi wajahnya dengan bantal, dan mencoba meredam rasa sakit yang menghimpit.

Ketika itulah ponselnya berdering. Melati meraih ponselnya, dan menatap wajah tampan yang terpampang di layarnya.

Apakah Melati harus mengabaikannya?

***

Besok lagi ya.

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...