Friday, February 28, 2020

LASTRI 37

LASTRI  37

(Tien Kumalasari)

Lastri mengangkat kepalanya, terpana, dilihatnya Bayu masih memegangi kepalanya, dan lirih memanggil namanya.

Lastri mengucek kedua matanya, menatap tubuh yang semula diam itu membuka matanya, dan sedang mengelus kepalanya.

"Mas Bayu.." kata Lastri pelan, bergetar penuh keharuan.

Bayu melepas alat penyalur oksigen yang menutupi mulutnya sehingga membuat suaranya tidak jelas.

"Kamu Lastri bukan?"

"Aku Lastri mas, aku Lastri..." kata Lastri sambil menggoyang-goyangkan tangan Bayu.

"Lastri,,, " rona bahagia itu menghiasi wajah bercambang yang semula membuat Lastri ragu-ragu.

"Kamu jelek sekali mas, wajahmu serem," goda Lastri sambil menatap bahagia kekasihnya dan mengelus cambang lebat diwajahnya.  Bercambangpun tidak buruk kok, pikir Lastri.

Bibir tipis itu tersenyum. Senyum yang seperti dulu, yang selalu menggetarkan hatinya. Lastri memeluknya dan menangis didada bidang itu.

Bayu mengelus kepalanya.

"Aku dimana ?"

"Mas, kamu itu sakit, membuat semua orang sedih, membuat aku menangis tak henti-hentinya."

"Kamu Lastri bukan?" kembali Bayu mengulang pertanyaannya.

"Mas Bayu, tatap mataku, pandangi wajahku, dari tadi kamu belum yakin kalau aku Lastri?" kata Lastri sambil mengangkat kepalanya.

Bayu menatap wajah yang tak jauh dari wajahnya sendiri. Menatapnya lekat,  lalu dielusnya pipi Lastri dengan sebelah tangannya.Hal yang belum pernah dilakukannya sejak dia jatuh cinta kepada perempuan dusun nan rupawan ini. Mana mau Lastri disentuhnya? Mengapa sekarang menyerah? Takut aku mati?Atau benar-benar ingin menyerahkan cintanya untukku? Pikir Bayu. Namun Bayu tak butuh jawaban. Apa yang dilakukan Lastri ini sudah mengatakan semuanya. 

"Lastri, jangan pergi... " bisik Bayu sambil terus menatap Lastri.Ada kekhawatiran kalau Lastri akan meninggalkannya lagi.

"Aku tidak akan pergi, aku akan selalu ada disisimu."

"Itu benar Bayu, Lastri akan selalu ada didekatmu.."

Tiba-tiba suara itu mengejutkannya. Seorang laki-laki setengah tua sudah berdiri disamping Lastri. Lastri menoleh dan tersipu. Ia berdiri dan mempersilahkan pak Marsudi duduk.

"Bapak.."

"Anakku, bapak tak ingin kehilangan kamu. Kamu anakku satu-satunya. Bapak hanya ingin kamu bahagia. Kalau bahagiaanmu bersama Lastri, bapak akan merestuinya," dan mata tua itu berkaca-kaca, kemudian dipeluknya Bayu.

Dokter yang kemudian datang, memeriksa kembali keadaan Bayu.

"Bapak, kalau keadaan ini stabil, mas Bayu boleh dipindahkan keruang inap, tapi kami akan terus memantau kesehatannya."

"Terimakasih dokter, terimakasih banyak," kata pak Marsudi terharu.

 ***

Pak Marsudi yang baru saja menemui dokter dengan bersemangat memilihkan kamar terbaik bagi Bayu.

"Kata dokter, kalau sehari ini normal, Bayu akan segera dipindahkan ke kamar inap. Kamu harus pulang dan mengambil baju-baju untuk Bayu. Biar aku menunggu disini dulu." kata pak Marsudi dengan kegembiraan yang meluap.

Bu Marsudi bersiap untuk pulang, Timan bersedia  mengantarkannya.

Tapi sebelum pulang pak Marssudi menghampirinya.

"Bu, jangan lupa mampir ke toko, belikan baju ganti untuk Lastri, dan semua keperluannya selama disini. Dia kan tidak membawa apapun ketika datang dari desa."

Bu Marsudi mengangguk. Bahagia mendengar suaminya mulai perhatian kepada Lastri.

"Kalau keadaan mas Bayu sudah baik, saya juga akan mengambil mobil saya yang saya tinggalkan dirumah pak lurah. Nanti saya juga akan mengambil baju-baju Lastri dan barang-barang yang masih tertinggal disana," kata Timan.

 "Lastri  bagaimana aku bisa mengambil barang-barangmu?" tanya Timan kepada Lastri yang kebetulan ada diluar karena Bayu masih diperiksa dokter.

"Barang-barang Lastri apa saja sih? Nanti baju dan sebagainya beli saja lagi disini. Nanti kalau Bayu sudah sembuh biar diambilnya sendiri," kata pak Marsudi.

"Jadi merepotkan pak, " kata Lastri.

"Tidak, mengapa kamu bilang begitu? Kamu itu kan calon menantuku, yang juga akan menjadi anakku. Mana ada orang tua merasa repot meenuhi kebutuhan anaknya?"

"Tapi dompet saya hilang entah kemana. Semua surat-surat ATM dan uang tak seberapa..."

"Sudah, nanti diurus, gampang, sekarang rawatlah calon suamimu. Begitu Bayu sembuh, kalian akan menikah." kata pak Marsudi bersungguh-sungguh.

Lstri tertunduk, terharu. Badai di keluarga Marsudi telah berlalu. Bu Marsudi menatap Lastri dan tersenyum bahagia.

"Terimakasih bapak," bisik Lastri sambil terisak. Duuh, mengapa Lastri gampang sekali menangis sih? Tapi sungguh Lastri tak bisa menahannya, ketika sedih, ketika bahagia, air matanya tak mau berhenti mengalir.. Cengengkah Lastri? Tidak, Lastri adalah seorang perempuan perkasa yang tak takut menghadapi apapun. Rela berkorban untuk siapapun, manis budi dan karenanya disukai banyak orang.

***

Malam itu mBah Kliwon sedang menitipkan semua uang penjualan sayur kepada bu lurah Marni, ketika Timan datang.

Melihar wajah yang berseri, mereka yakin bahwa Timan pasti membawa kabar baik.

"Bagaimana Lastri dan kekasihnya mas?" tanya Marni tak sabar lagi.

"Baik, bu lurah, mas Bayu juga sudah sadar walau belum banyak bicara."

Semua yang hadir menarik nafas lega. 

"Benar-benar luar biasa Lastri itu,  dia juga bisa menyembuhkan seorang kekasih yang sakit parah. " kata Marni sambil tersenyum senang.

"Bilang sama Lastri, rumahnya mbah Kliwon yang ngurusin, jangan memikirkan apapun. Semuanya beres," kata mbah Kliwon bersemangat.

"Baiklah pak, nanti saya sampaikan, yang jelas Lastri tampak bahagia, nungguin Bayu tanpa mau beranjak dari sampingnya," ujar Timan lagi.

"Itu kan cinta yang dipendam selama setahun, tapi kami bersyukur, Semoga bapaknya mas Bayu bisa menerima Lastri.

"Syukurlah bapaknya mas Bayu menerima Lastri dengan sangat baik. Ketika saya ingin mengmbilkan baju-baju Lastri, beliau bilang bahwa tak usah diambil, beli disana saja berikut semua kebutuhan Lastri."

"Ah, syukurlah mas, senang mendengarnya."

"Oh ya mas, bukankah ada yang menemukan dompet Lastri? Sampai lupa aku, sebentar," bu lurah Mrni bergegas masuk kedalam dan menyerahkan dompet Lastri kepada Timan.

"Tadi sebelum pergi Lastri juga bilang kalau dompetnya hilang. Nanti saya kabari dia supaya tidak memikirkannya lagi." kata Timan.

"Mas Timan mau menginap lagi dirumah Lastri?" tanya mbah Kliwon.

"Saya kira tidak pak, terimakasih banyak, saya harus kembali, karena saya juga punya pekerjaan disana."

"Baiklah mas, yang penting semuanya sudah baik, kami hanya ikut berdo'a semoga mas Bayu segera pulih."

"Aamiin, pak lurah."

Pak Kliwon yang juga berpamit, ditegur oleh Timan.

"Pak, kalau mau pulang mari saya antar sekaliyan."

"Nggak usah nak, saya sama cucu saya kok."

Ketika sampai diluar, Timn melihat seorang gadis sedang duduk disebuah bangku yang kemudian berdiri begitu melihat mbah Kliwon keluar.

"Ini nak, ini cucu saya, si Sri, saya suruh ikut karena dialah yang mencatat semua barang yang datang dan uang yang keluar masuk sejak kemarin. Lha saya kan buta hurup nak."  katanya sambil terus melangkah sambil menggandeng si Sri.

"Nggak apa-apa pak, mobil saya cukup untuk duduk bertiga kok. Nggak mungkin bapak saya suruh duduk di belakang," kata Timan sambil membukakan pintu mobil.

"Nak Timan, berjalan sebetulnya nggak apa-apa.."

"Sudahlah, kan saya sekalian pulang. Ayo dik, masuklah."

Pak Kliwon menyuruh si Sri masuk lebih dulu, baru dirinya, kemudian Timan duduk dibelakang kemudi. Pak lurah dan Marni melambaikan tangan ketika mobil Timan keluar dari halaman.

"Untung ada bapak yang bisa mengurus semuanya ketika Lastri tak ada."

"Iya nak, sudah biasa membantu. Kalau kerepotan ya si Sri ini saya suruh bantu.

Gadis bernama si Sri, entah siapa lanjutannya, tampak diam dan sedikit kikuk. Sebentar sebentar tangannya tersenggol tangan Timan yang mengoper kopling. Ia menggeser duduknya agak kekiri karena sungkan seakan mengganggu Timan.

"Nggak apa-apa dik," kata Timan sambil melirik kearah gadis disampingnya. Suasana remang membuat Timan tak bisa menatap gadis itu. Tapi sekilas didepan rumah pak lurah tadi,  Timan sempat mrliriknya, dan dalam hati mengatakan, manis. Kulitnya sedikit hitam, rambutnya dikucir kebelakang, panjangnya sepinggang. Timan memaki dirinya sendiri karena membayangkan gadis itu lagi..

Ketika sampai dirumah Lastri, Timan menghentikan mobilnya. mBah Kliwon dan si Sri turun. Tapi Timan ikutan turun. Lampu diteras rumah Lastri sudah menyala. Disitu Timan menatapnya lagi. Gadis itu tersipu. Ketika berpamit, Timan sempat menyalaminya dengan erat.

"Kita belum kenalan kan? Namaku Timan."

Si Sri hanya tertunduk malu. Ia tak perlu mengucapkan namanya karena kakeknya tadi sudah berkali-kali menyebut namanya.

"Pak, lain kali saya boleh kan main kesini lagi?" tanya Timan yang kemudian menysali ucapannya karena kelihatan sekali dia ingin datang, dan pastinya karena si Sri.

"Pasti nak, silahkan setiap sa'at datang, nanti saya akan merebuskan lagi ketela buat nak Timan," canda mbah Kliwon sambil tertawa.

"Bukankah dik Sri selalu membantu disini?" nah, pertanyaan itu juga disesalinya.  Jangan-jangan mbah Kliwon merasa kalau dirinya tertarik pada cucunya karena ucapan-ucapannya itu.

"Ya nak, dia selalu ada disini, nak Timan belum melihatnya karena waktu itu sudah sore dan si Sri sudah pulang kerumahnya."

"Oh.."

Dan sepanjang perjalanan pulang itu Timan senyum-senyum sendiri. 

"Aku sudah gila, apakah aku tertarik pada si Sri? Nanti aku harus minta tolong Lastri agar mengenalkan aku dan dia lebih dekat," gumamnya.

***

Bayu sudah dipindahkan ke ruang inap. Keadaannya semakin membaik. Lastri selalu mendampingi, menyuapkan makan dan melayaninya setiap kali dia membutuhkan sesuatu.

Pagi harinya Timan datang, membawa dompet Lastri yang ditemukan warga dan diserahkan kepada lurah Mardi.

"Syukurlah mas, terimakasih banyak telah membawakan dompetku,"kata Lastri senang.

"Periksa saja isinya, barangkali ada yang tercecer." kata Timan.

"Nggak ada mas, masih lengkap, dan uangnya juga masih utuh," kata Lastri ketika selesai membuka dompetnya.

"Siapa yang menemukannya mas?"

"Karena tadi pak lurah ingatnya tentang dompet ini ketika aku sudah hampir pulang, jadi aku lupa menanyakan siapa yang menemukannya."

"Nanti kalau aku pulang kesana, aku akan menanyakannya dan mengucapkan terimakasih."

"Apa kamu mau pulang ke desa?" tiba-tiba Bayu bertanya, khawatir.

"Iya mas, tapi nanti, kalau mas Bayu sudah sembuh."

"Tapi kembali lagi kemari kan?"

"Iya mas, aku pasti akan kembali. Sudah, jangan difikirkan, aku kan cuma berangan-angan."

"Iya, mas Bayu khawatir amat. Atau besok kalau Lastri pulang, mas Bayu bisa ikut kan?"

"Iya benar," kata Bayu pelan.

Timan segera berpamit karena sudah dua hari meninggalkan rumah.

"Terimakasih, mas Timan, kalau bukan karena mas Timan, saya tak bisa ketemu Lastri lagi," kata Bayu lirih.

"Kalau Tuhan sudah menjodohkan seseorang, biar keujung dunia sekalipun, pasti bisa ketemu. Dan jalan itu pasti ada. Cepatlah sembuh ya mas, lalu main kerumah saya lagi." Kata Timan sambil menyalami Bayu. 

Ketika Lastri mengantarnya sampai keluar, Timan ingat akan menanyakan sesuatu.

"Tri, kamu kenal si Sri?" tanyanya pelan.

"Haa, si Sri itu yang suka membantu aku, cucunya mbah Kliwon. Memangnya kenapa? Mas Timan ketemu dia?"

Semalam dari rumah pak lurah aku mengantar mbah Kliwon sama cucunya itu."

"O.. mas Timan tertarik ya?" goda Lastri.

"Baru ditanya saja langsung menuduh," sungut Timan.

"Bukan menuduh, pertanyaan itu kan menunjukkan bahwa kamu tertarik Tapi si Sri gadis yang baik, aku suka kalau mas Timan mau mendekati dia."

"Pokoknya nanti kalau kamu pulang harus mengabari aku. Aku mau ikut."

Lastri tertawa. Ia melambaikan tangan ketika Timan melangkah keluar dari rumah sakit itu.

***

Seminggu lamanya Bayu dirawat, tapi tekanan darahnya belum normal benar. Cuma saja Bayu sudah mulai bosan.

"Aku ingin pulang,"  

"Sabar dulu mas, kalau dokternya sudah mengijinkan, baru mas Bayu boleh pulang."

"Tapi aku sudah sehat, sudah makan banyak, sudah tidak pusing, aku capek,Bolehkah aku duduk?"

"Sebentar,. Tunggu dokternya dulu lah mas."

Ketika sa'atnya dokter visite,  Lastri merasa lega karena Bayu boleh rawat jalan.

"Cuma makan harus diatur. Selalu yang bergizzi tinggi, dan jangan terlalu capai," pesan dokter.

Hari itu juga Bayu pulang, dijemput bapak dan ibunya dengan suka cita.

Walau masih terasa lemas, tapi Bayu selalu bersemangat karena Lastri selalu ada disampingnya.

Pagi itu Bayu sudah makan sendiri.Kesehatannya semakin membaik,  bukan hanya karena obat yang harus diminumnya, tapi karena bahagia bisa bertemu kembali dengan kekasih hatinya.

Setelah makan Bayu minta agar Lastri menemaninya duduk diteras depan.

"Aku kan sudah sembuh ya?"

"Iya, mas Bayu sudah sembuh. Tapi belum pulih benar. Kalau obatnya habis harus kontrol lagi ke dokter."

"Aku terkadang mikir, kamu itu aneh."

"Aneh bagaimana mas?"

"Kamu mau kembali kemari, mengakui bahwa kamu mencintai aku, , tapi syaratnya aku harus sakit dulu. Ya kan?"

"Bukan begitu mas, itu bukan syarat, tapi jalan yang harus kita lalui memang begini ini. Mas Bayu bahagia sekarang?"

"Aku ingin kesehatanku segera pulih, lalu kita akan menikah."

Lastri tertunduk malu. Semua ini seperti mimpi baginya.

"Kok diam, apa kamu tidak suka?"

"Aku tidak akan mengatakannya, karena kalau aku mengatakannya nanti pasti aku akan menangis. Menangis bahagia."

"Lastri, tapi aku ingin kamu mengatakannya bahwa kamu mencintai aku."

"Apakah cinta harus diucapkan? Bukankah ini cukup menjadi jawaban?"

"Katakan, aku ingin mendengarnya."

Lastri menghela nafas. Kalau memang cinta, haruskah malu mengatakannya?

"Aku sangat mencintai kamu mas."

Bayu memeluknya, tapi Lastri segera mendorngnya pelan.

"Jangan dulu mas."

"Kamu curang. Waktu aku sakit kamu memeluk-meluk aku seenaknya, mengapa sekarang aku tidak boleh memeluk kamu?"

"Aku tidak sadar waktu itu, aku takut kehilangan kamu."

"Sekarang aku juga takut kehilangan kamu."

"Iih, jangan cari alasan. Tunggulah nanti kalau sudah sa'atnya. Tapi apakah mas Bayu akan terus bercambang seperti itu?"

"Aku jelek ya kalau bercambang begini?"

"Nggak jelek sih, masih tetap ganteng kok."

"Kalau begitu biarlah begini."

"Tapi aku tidak suka rambut gondrong ini."

"Nanti aku potong saja, tapi biar brewok begini ya?"

"Iiih, serem deh."

"Serem atau seneng? Kan kamu bilang aku tetep ganteng."

"Baru sehat sedikit saja sudah genit deh."

Tiba-tiba terdengar mobil berhenti dihalaman. Seseorang turun dari mobil itu, bersama seorang gadis cantik. Begitu dekat, Sapto langsung berteriak.

"Lastri, kamu sudah kembali?" katanya sambil berusaha memeluk Lastri. Tapi belum sampai menyentuhnya, Bayu menghardiknya.

"Eeiit.. jangan main peluk ya, aku saja belum pernah, enak aja."

Tapi Sapto hanya tertawa, digandengnya gadis cantik yang datang bersamanya. Bayu tersenyum. Itu Reni  yang dulu mau dikenalkan dengan dirinya oleh ayahnya.

"Ini Reni, kamu masih ingat kan, Hei, apa yang terjadi dengan wajahmu? Jelek amat, apa ini mode wajah yang dipesan oleh Lastri?" ledek Sapto sambil menarik calon isterinya untuk duduk. Bayu melotot marah, tapi Sapto tak perduli.

"Bayu menyalami Reni. 

"Lastri, ini Reni, calon isteriku. Bulan depan kami akan menikah," kata Sapto.

Lastri menyalami Reni dengan ramah. Dalam hati ia berkata, bahwa gadis ini sangat cantik. Inikah yang dulu mau dijodohkan dengan Bayu? Hm, Lastri merasa dirinya kalah jauh dibandingkan dengan Reni. Reni yang modis, dengan rambut ikal sebahu,  bibir tipis dan hidung mancung, mata bening, hm.. apalagi kekurangannya? Toh Bayu menolaknya. 

"Kamu nggak bilang kalau kamu sakit. O aku tau, sakit rindu kan, dan ketika Lastri datang lalu kamu sembuh, hmh, akal-akalan kamu ini kan?" Ledek Sapto seenaknya. Sayang Sapto tidak duduk didepannya, kalau ya, pasti dia sudah menyepak kakinya keras-keras.

***

Dipesta pernikahan Sapto itu, Bayu datang berdua dengan Lastri. Lastri yang sederhana, dengan rambut digelung seperti biasanya, gaun pesta berwarna hijau lumut, dan sepatu dengan hak yang tidak begitu tinggi, justru menarik sebagian tamu yang hadir. Lastri melingkarkan tangannya dilengan Bayu, dan berjalan dengan langkah-langkah manis, seperti mengikuti alunan musik romantis yang menggema dipesta itu. Mereka seperti melihat seorang pangeran yang sedikit bercambang, gagah, ganteng, dan   disampingnya adalah puteri dari kerajaan antah berantah yang cantik dan anggun. Sebagia besar adalah teman-teman sekolahnya juga, tapi kebanyakan dari mereka tidak mengenali Bayu karena penampilannya yang berbeda. Baru ketika Bayu menyapa mereka, barulah mereka berteriak-teriak heboh sambil menyalaminya.

Didepan mempelai, Bayu berbisik pelan kepada sahabatnya.

"AKU AKAN SEGERA MENYUSUL KAMU"

*************************T A M A T****************************************

besok lagi di kisah yang lain ya

 

 

 

 

 

 

"

 

Thursday, February 27, 2020

LASTRI 36

LASTRI  36

(Tien Kumalasari)

Timan tertegun, langkahnya terhenti dan kakinya terpaku dalam getar-getar ketakutan.

"Bag..gaimana bu?" tanyanya gugup.

"Tekanan darahnya ngedrop terus, dokter sedang menanganinya."

"Sabar bu, sabar, saya akan segera kembali kemari. Semoga bisa membawa Lastri."

"Mana dia, bisakah aku bicara?"

"Ya bu, tunggu..."

Timan masuk kedalam ruangan, dilihatnya Lastri sedang bercanda dengan pak lurah dan bu lurah Marni.

"Lastri, ini telephone buat kamu," kata Timan seraya mengulurkan ponselnya.

"Hallo," sapa Lastri.

"Lastriiii... ini kamu?" bu Marsudi langsung menangis keras, meledak-ledak.

"Ibu, iya.. ini Lastri, bagaimana kabar ibu?"

"Bayu kritis, segera datang nduk... "

Gemetar tangan Lastri, ponsel itu diulurkannya kepada Timan, dan sebelah tangannya berusaha mencabut jarum infus yang masih menancap ditangannya. Mardi terkejur, dan menangkap tangan Lastri.

"Jangan Lastri, tunggu sebentar. Nanti darahmu akan mengucur keluar."

"Aku mau pulang, aku harus ke Solo, aku mau ketemu mas Bayu," katanya dengan berlinangan air mata.

Marni memanggil perawat karena Lastri meronta-ronta ingin melepas jarum infusnya. Mardi memegangi tangan itu dengan kencang.

Timan menjauh, karena bu Marsudi masih belum menutup ponselnya.

"Bu, ibu sabar ya, tampaknya Lastri ingin segera datang kemari. Bisikkan ditelinga mas Bayu bahwa Lastri dalam perjalanan kemari."

"Baiklah nak, aku membuat Lastri panik bukan? Aku mendengar dia menangis dan berteriak-teriak."

"Benar bu, dia langsung minta pulang. Bu lurah sedang memanggil dokternya."

"Ya nak, segera datang dan membawa Lastri ya," kata bu Marsudi masih dengan isaknya.

"Baik bu, bersabar dan terus berdo'a ya bu."

Timan mundur karena dia sedang berdiri didepan pintu, sementara dokter dan perawat masuk melalui pintu itu.

"Bagaimana, mbak Lastri?" tanya dokter muda itu ramah.

"Dokter, lepas infusnya, saya mau pulang," tangis Lastri. Mardi masih memegangi sebelah tangannya.

"Sudah mas, nggak apa-apa, biar perawat melepasnya,"kata dokter yang kemudin memeriksa Lastri. 

"Masih pusing?"

Lastri menggeleng.

"Masih merasakan apa? Sakit? Mual?"

Lastri menggeleng lagi. Ia melihat laporan tekanan darah Lastri, baik dan normal. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Baiklah, mbak Lastri boleh pulang sekarang."

Lastri hampir bersorak kegirangan. Ia langsung duduk.

"Pelan-pelan ya, jangan langsung berdiri dan berjalan, nanti pusing lagi," kata pak dokter.

 Lastri turun dari ranjang, berdiri dan diam sebentar.

"Pusing?"

Lastri menggeleng. 

"Mas Timan, ayo antarkan aku," rengek Lastri tanpa malu-malu."

"Tapi mobilku dirumah pak lurah."

"Mas Timan bawa mobil saya saja, biar cepat. Nanti kalau keadaan sudah tenang baru mas Tman bisa mengambil mobilnya kembali.

"Termakasih banyak pak lurah, Tapi pak lurah pulang naik apa?"  kata Timan sambil memegang lengan Lastri.

"Itu gampang, saya bisa menyuruh orang menjemput kemari. Sekarang saya mau menyelesaikan administrasinya dulu. "

"Ini kunci mobil saya pak lurah, terimakasih banyak, saya mau pergi sekarang."

"Lastri, kamu harus mengganti bajumu lebih dulu. Itu daster rumahan. Dan kamu nggak pake sepatu atau sendal. Aku bawakan baju yang lebih pantas, dan sendal juga." kata Marni sambil memberikan bungkusan baju ganti dan sendal yang dibawanya dari rumah.

"Iya, berganti pakaian dulu sebentar, supaya lebih pantas. Masa mau ketemu pacar penampilan jelek seperti itu." sambung Timan menggoda.

Lastri menurut, berganti pakaian milik Marni yang dibawakannya, dan mengenakan sendal yang kebetulan pas dikakinya. 

"Terimakasih yu, Lastri memeluk Marni setelah berganti pakaian, dan menarik tangan Timan agar segera berangkat.

***

Timan membawa Lastri pulang ke rumah keluarga pak Marsudi. Sepanjang jalan Lastri tersedu, dia tak mengira Bayu memikirkannya sampai sekarang. Lastri merasa berdosa mengira Bayu sudah mendapatkan gadis lain.

"Masih pusing?" tanya Timan yang masih merasa khawatir.

"Nggak mas, aku sangat sehat. Aku hanya ingin segera sampai."

"Sabar ya..."

"Bagaimana kalau terjadi apa-apa atas mas Bayu? "

"Jangan berfikiran buruk Lastri, berdo'a demi kesembuhannya ya?"

"Apa yang terjadi dengan mas Bayu setelah aku pergi ?"

"Dia seperti orang bingung. Setiap kali sedang sedih dia pasti datang kerumah. Suatu ketika pak Marsudi ingin mengenalkannya dengan salah seorang anak temannya, gadis itu cantik,  tapi mas Bayu menolak mentah-mentah. Sekarang gadis itu menjadi pacarnya mas Sapto."

"Kasihan mas Bayu, aku merasa bersalah."

"Kamu tidak bersalah Lastri. Kamu pergi karena menghindari kemarahan pak Marsudi."

Banyak cerita Timan tentang Bayu, yang semuanya membuat hatinya teriris pedih.Serasa ingin terbang agar segera bisa menemui kekasih hatinya.

***

 "Sudah bu, jangan menangis lagi, sabar, dokter sudah menanganinya, Bayu pasti akan tertolong."kata pak Marsudi yang berusaha menenangkan hati isterinya.

"Mengapa Lastri belum datang juga?"

"Mestinya sedang dalam perjalanan, sabarlah bu."

"Bapak harus berjanji, nanti kalau Lastri datang bapak harus bersikap manis pada Lastri."

"Iya, aku janji."

"Bukankah bapak akan mengambil Lastri sebagai menantu?"

"Iya, aku janji."

Bu Marsudi berdiri dan masuk kedalam ruang ICU. Dilihatnya Bayu masih terbaring lunglai. Beberapa alat terpasang ditubuhnya. Seorang perawat menunggui dan terus melihat perkembangannya.

"Bagaimana anak saya, suster?"

"Sudah lebih tenang bu," jawab perawat sambil menepuk-nepuk tangan bu Marsudi.

Bu Marsudi mendekat. Digenggamnya tangan Bayu erat-erat, kemudian dibisikkannya sesuatu ditelinga Bayu.

"Bayu, anakku, kamu harus sembuh. Lastri akan segera datang," itu kata-kata yang selalu dibisikkannya ketelinga Bayu setiap sa'at.

"Ma'af bu, mohon ibu keluar dulu, saya akan mengganti infusnya dan menyuntikkan obat kedalamnya. Diharapkan ini adalah obat terakhir yang bisa menlongnya."

Bu Marsudi keluar sambil mengusap air matanya. Hatinya bergetar mendengar kata-kata suster itu. Obat terakhir? Jadi kalau itu tak menolong maka anaknya akan mati?

"Sudah bu, sabar dan tenangkan hati ibu. Duduklah saja disini," kata pak Marsudi.

Sepasang orang tua yang penuh duka itu duduk dikursi tunggu,  bersandar seakan tanpa daya. Mulutnya berkomat-kamit melantunkan do'a. 

Tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki, setengah berlari, mengejutkan keduanya. Seorang gadis dengan rambut digelung , dan wajah pucat menghampiri mereka/

"Lastri!!" teriak bu Marsudi.

Lastri bersimpuh dihadapan kedua orang tua Bayu, menciumi tangan mereka satu persatu sambil air matanya bercucuran.

"Kemana saja kamu nduk?" tanya bu Marsudi sambil memeluk Lastri.

"Aku bersalah sama kamu Lastri, ma'afkan aku ya,"kata pak Marsudi penuh penyesalan.

"Nggak apa-apa pak, Lastri sudah melupakannya. Mana mas Bayu? Mana mas Bayu?" isaknya sambil melepaskan pelukan bu Marsudi.

"Dia ada didalam, masuklah dan katakan bahwa kamu telah datang."

Lastri berdiri dan berjalan memasuki ruang ICU.

Bu Marsudi tampak sedikit lega. Ada sejuta harapan dengan datangnya Lastri. Semoga ada keajaiban, karena bukankah derita yang disandang Bayu adalah karena kehilangan Lastri."

"Selamat siang bu, pak," Timan muncul tak lama kemudian.

"Oh, jadi Lastri sama nak Timan? Aku sampai lupa menanyakannya tadi."

"Iya bu, bukankah saya telah berjanji? Mana Lastri?"

"Sudah masuk keruang ICU."

Tapi tiba-tiba Lastri keluar sambil menangis. Hampir copot jantung bu Marsudi melihatnya.

"Ada apa Tri? Bayu kenapa?"

"Mana mas Bayu, saya tidak menemukan mas Bayu." tangisnya.

"Dia ada diruang 3. Bukankah ada suster yang menjaganya? "

"Tidak ada bu, mana dia?"

Bu Marsudi berdiri lalu menggandeng Lastri masuk kembali. Disebuah ruang bu Marsudi berhenti.

"Itu Bayu.."

Lastri tercengang. Laki-laki brewok berambut gondrong itu Bayu?

Lastri mendekat, mengawasi dengan seksama.

"Ya Tuhan, benar dia, bibir itu, hidung itu, mata itu, milik mas Bayu," kata batinnya yang kemudian menubruknya dan menangis sesenggukan.

"Mas Bayu.. mas Bayu.. bangun mas, aku Lastri.. aku Lastri sudah datang unuk mas Bayu.. bangun mas.. jangan begini. Kalau kamu mati aku juga akan mati bersama kamu mas.." 

Bu Marsudi tak bisa menahan air matanya. Ia meninggalkan Lastri dan membiarkannya melampiaskan kerinduan diantara keduanya. Apakah Bayu bisa merasakannya?

"Dengar mas, aku juga menderita tanpa mas Bayu, aku menangis setiap hari mas. Mengapa kamu begini? Bukankah banyak gadis cantik ada disekelilingmu? Aku hanya gadis desa, tak punya pangkat dan derajat, mengapa bisa membuatmu begini? Bangun mas, jangan begini.. jangan biarkan aku terus menangisimu mas... banguun.."

Lastri terus menciumi tangan Bayu, keningnya, lalu terus menerus membisikkan kata-kata penuh rindu yang keluar dari bibirnya. 

"Lihat aku mas, aku kemari tanpa membawa apapun demi kamu. Selmbar pakaian yang aku bawa adalah pakaian yu Marni, isteri lurah desa, yang juga sahabatku. Sendal yang aku pakai juga milik yu Marni. Aku ingin segera melihat kamu mas, ketemu kamu dan memeluk kamu. Bangun maaas.. kasihanilah aku.. Aku akan terus mengabdi dan melayani kamu, aku akan selalu ada disamping kamu mas. Aku Lastri, tidakkah mas Bayu mengenali suaraku. Maaas, buka matamu dan pandang aku, berikan senyum kamu yang selalu membuat hatiku bergetar, yang kemudian menumbuhkan cinta yang terpendam. Bangun mas.. jangan pergi.. kalau kamu pergi aku harus ikut bersamamu. Biarlah kita mati bersama mas."

Lastri masih meremas telapak tangan Bayu, air matanya terus mengucur. Sesekali ditempelkannya tangan itu dipipinya.

Tiba-tiba Lastri seperti merasakan sesuatu. Jari yang digenggamnya seperti bergerak pelan. Lastri melepaskan genggamannya dan mengamati jari-jarinya. 

Itu benar, jari tangan itu bergerak-gerak. 

"Dokteeeer," Lastri berteriak.

Seorang perawat datang. Lastri tak bisa mengucap apapun, ia menunjuk kearah jari tangan Bayu yang terkadang bergerak-gerak.

Perawat lari memanggil dokter. Lastri mundur ketika dokter itu datang. Bajunya basah oleh air mata yang membasahinya.

Dokter yang datang segera memriksa keadaan Bayu. Lalu entah apa lagi yang dilakukannya, Lastri tak henti-hentinya berdo'a.

Tiba-tiba dokter menoleh kearahnya sambil tersenyum.

"Dia akan sadar, dan sembuh. Tekanan darahnya mendekati normal."

Entah karena obat pamungkas yang disuntikkan beberapa sa'at lalu, atau karena kedatangan Lastrilah maka keadaan Bayu jadi membaik. Wallahualam.  Kenyataannya hal membahagiakan itulah yang kemudian didengar oleh telinga Lastri.

Lastri ingin bersorak, tapi justru air matanya yang mengucur lagi. Tak sadar dipeluknya dokter muda itu. Lalu kemudian dia tersipu ketika menyadari sikapnya.

"Ma'af.. aku.. saya.. minta ma'af."kata Lastri tersipu.

"Ibu isterinya?"

Lastri bingung menjawabnya, tapi dia menggeleng malu.

"Calon, barangkali." kata dokter sambil tersenyum, kemudian beranjak pergi, sambil memberi instruksi kepada perawat yang menjaganya.

Lastri kembali mendekati Bayu. Mata itu masih terpejam, tapi wajahnya tak sepucat tadi. Lastri terus menggenggam tangannya, terkadang meremasnya.

Timan yang kemudian ikut masik, melihat Lastri tidak lagi menangis, Melihat Timan, Lastri melambaikan tangannya. 

"Mas Bayu membaik mas, tadi tangannya sudah bergerak-gerak," kata Lastri sambil tersenyum/

"Alhamdulillah. Itu berkat kamu Tri. Dia sungguh-sungguh membutuhkan kamu."

Lastri tersenyum. Ia duduk disebuah kursi yang ada disitu, sambil tangannya tetap menggenggam tangan Bayu.

"Ya sudah, aku akan mengabarkan keadaan ini kepada bapak dan ibu Marsudi." katanya setelah melihat keadaan Bayu.

***

Lastri meletakkan kepalanya pada pinggiran kasur, sambil tangannya terus memegangi tangan Bayu. Ia merasa sangat letih. Semalam dia juga tak bisa tidur, dan hari ini situasi sangat membuat jiwanya lelah. Tak terasa kantuk menyerangnya dan dia tertidur.

Bu Marsudi dan pak Marsudi yang menjenguk kedalam, kemudian tersenyum lalu meninggalkannya. Tentu saja mereka sudah bisa tersenyum, karena Timan sudah mengatakan kalau keadaan Bayu membaik.

Mereka tetap menunggu diluar.

Lastri terlelap, dan bermimpi sedang berlarian disebuah taman bunga bersama Bayu. Lastri bersembunyi dibalik serumpun bunga, dan Bayu tak berhasil menemukannya.

"Lastri.... Lastri..." panggil Bayu. Tapi Lastri tak menjawab, ia sedang menggoda Bayu agar bingung mencarinya.

"Lastri... " tapi kemudian Lastri terkejut. Seseorang memegang kepalanya. Lastri membuka matanya. Mimpi itu telah berakhir.

***

besok lagi ya




















Wednesday, February 26, 2020

LASTRI 35

LASTRI  35

(Tien Kumalasari)

Pak lurah lari kearah kelurahan, diikuti oleh peronda yang kebetulan sudah pada datang.Diteras kantor kelurahan, sesosok tubuh terbaring disebuah bangku panjang, diam. Beberapa orang mengelilinginya, dan seorang ibu sedang menggosokkan minyak hangat ke tubuhnya.

"Lastri ?" pekik pak lurah Mardi. 

"Iya pak lurah, ini Lastri." kata ibu-ibu yang menggosokkan minyak ketubuh Lastri.

Segera bawa dia kerumah sakit. Aku ambil mobilku dulu

Paklurah Mardi bergegas pulang, Sambil berjalan dia menelpon Timan, mengatakan keadaan Lastri.

"Pak... pak, Lastri sudah ketemu," katanya kepada mbah Kliwon yang sudah setengah tidur.

mBah Kliwon bangun dan segera duduk.

"Mana dia?"

"Ayo cepat, kita ke kelurahan. Pak lurah akan membawanya kerumah sakit."

"Memangnya dia kenapa?" tanya mbah Kliwon sambil mengikuti Timan naik ke mobilnya.

"Ditemukan pingsan dikuburan," kata Timan yang memacu mobilnya.

"Berarti tadi itu dia kemakan neneknya dan ayah ibunya. Tapi mengapa sampai pingsan?"

"Kita lihat saja nanti."

Ketika sampai di kelurahan, seseorang sedang mengusung Lastri ke mobil pak lurah. Timan melompat turun dan mendekat.

"Lastri," bisiknya trenyuh. Tubuh itu masih diam tak bergerak.

"Ayo naik mas, pakai mobil saya saja," kata pak lurah Mardi sambil duduk dibelakang kemudi.

Lastri dibaringkan di jok belakang. Timan menemaninya, duduk agak miring karena jok panjang itu hampir penuh oleh tubuh Lastri. Dipandanginya wajah pucat itu dengan perasaan haru yang meng aduk-aduk hatinya. Perempuan luar biasa ini sedang terbaring tak berdaya. Apa yang membuatnya jadi begini?

Timan mengelus kepala Lastri.

"Lastri, Lastri.. sadarlah Lastri," bisiknya berkali-kali, sambil menggosok gosok kedua telapak tangan Lastri/

Tubuh itu sudah tak sedingin tadi, 

"Lastri... sadarlah, mas Bayu menunggu kamu.. Lastri..,"

Tiba-tiba Lastri membuka matanya.

"Lastri. Alhamdulillah, kamu sudah sadar Lastri."

"Aku... kenapa?"

"Lastri, kami sedang membawa kamu ke rumah sakit, kamu tadi ditemukan warga dalam keadaan tak sadar ditepi kuburan."

"Mas Bayu ?"

Timan tersenyum.

"Ada yang menyebut nama mas Bayu," bisiknya lirih.

"Mas Bayu sedang sakit dirumah sakit.Kamu harus kuat dan segera menemui mas Bayu."

Lastri memejamkan matanya. Keadaan didalam mobil agak gelap, dia tak bisa melihat siapa yang ada didekatnya. Kepala Lastri terasa pusing. Mungkin dia juga tak mendengar kata-kata Timan tentang Bayu.

Tapi Mardi dan Timan merasa lega karena Lastri telah sadar.

 Sesampai dirumah sakit Lastri langsung dibawa ke UGD.

Harap-harap cemas Timan dan Mardi menunggu hasil pemeriksaan dokter. Timan ingin mengabarkan keadaan Lastri ke bu Marsudi, tapi hari sudah jam 10 malam. Semula ia ragu-ragu, tapi mengingat pentingnya berita ini, maka Timan nekat menelponnya.

Tapi pnggilan itu tidak tersambung, tampaknya ponselnya mati. Mungkinkan bu Marsudi tertidur? Atau jangan-jangan ada sesuatu dengan Bayu? Timan merasa tidak tenang. 

Mardi yang mendampingi Timan menepuk bahunya untuk menenangkannya.

"Sabar mas.." kata Mardi pelan.

Ketika pemeriksaan selesai, diagnose dokter mengatakan bahwa Lastri dehidrasi. Ia mendapat infus, dan diharapkan menginap untuk pemeriksaan lebih cermat. Tak lama setelah itu Lastri dipindahkan kekamar. Hari menjelang pagi waktu itu.

Mardi dan Timan mendekat keranjang Lastri.  Mereka lega karena Lastri sudah tersadar. Tapi masih tampak bingung. Ia memandangi Mardi dan Timan berganti-ganti.

"Lastri," sapa Timan sambil tersenyum.

Seperti mimpi Lastri melihat Timan didekatnya.

"Kamu ingat ini siapa Tri?" tanya Mardi.

"Apakah aku bermimpi?"

"Kamu tidak bermimpi, ayo katakan dia ini siapa.."

"Mas Timan?"

Timan tersenyum. 

"Iya, aku Timan."

"Bagaimana ini, aku bingung.."

"Kamu ditemukan warga pingsan ditepi kuburan. Apa yang kamu lakukan Lastri?"

Lastri termenung, dia pingsan ditepi kuburan.  Ya benar, Lastri tadi menziarahi makam nenek dan kedua orang tuanya. Ia merasa risau. Antara bunyi iklan itu dan keadaan Bayu yang tidak diketahuinya. Ia ingin bertemu Bayu, tapi apakah yang akan dilakukannya itu benar? Bagaimana kalau ketika dia kembali lalu ternyata Bayu sudah ada pendampingnya? Sebenarnya tidak apa-apa, Lastri ingin Bayu bahagia, namun Lastri tak ingin melihatnya. Ia akan terluka.

Siang itu dari puskesmas tempat Marni memeriksakan keadaannya, Lastri langsung pergi ke makam nenek dan kedua orang tuanya. Ia menangis sepuasnya disana. 

"Simbah, apa yang harus Lastri lakukan? Lastri tergoda oleh bunyi iklan setahun lalu, tapi Lastri takut kalau nanti ternyata keadaan akan lebih menyakiti Lastri.," keluhnya sambil terisak.

"Tapi Lastri merindukan dia mbah, tak bisa ingkar, Lastri selalu mencintai dia."

Lastri merangkul batu besar bertuliskan nama neneknya. Ketika ia memunyai sedikit uang, ia membuat makam nenek dan kedua orang tuanya menjadi lebih rapi. Sekeliling makan itu dipagari semen yang berbentuk kotak-kotak. Ia meninggikan tanahnya, dan meletakkan batu-batu besar bertuliskan nama mereka, sehingga Lastri tak usah susah mencari letaknya.

"Nenek, katakan apa yang harus Lastri lakukan."

Lastri duduk disana sambil menumpahkan semua isi hatinya. Walau nisan yang bisu tak memberi jawaban, tapi hati Lastri merasa lebih tenang. Ia merasa tak ada tempat mengadu kecuali ditempat itu. Hari sudah sore, dan remang senja mulai menyelimuti lam sekitar Lastri berdiri dan ingin beranjak pulang.  Tapi tubuhnya terasa lemas. Ia lupa makan sejak pagi, apalagi minum, sementara panas terik menyengat tubuhnya tanpa dirasa sejak siang.  Namun ia terus melangkah. Tertatih langkahnya, Tak seorangpun ada diarea pemakaman itu, ia terus melangkah, sementara tubuhnya semakin lemah. Pada suatu ketika, hampir keluar dari area itu, Lastri roboh, dan tak ingat sesuatupun.

Lastri sadar ketika ada didalam mobil, dan seseorang ada didekatnya. Tapi kepalanya terasa pusing dan tubuhnya lemah tak bertenaga.

"Lastri, kamu sudah mengingat semuanya?" tanya Timan sambil menyentuh lengan Lastri.

"Mas Timan? Bagaimana mas Timan bisa ada disini?"

"Aku mencarimu Lastri."

"Kok bisa ?"

"Sebisa yang aku lakukan, aku harus menemukan kamu, nanti kalau kamu sembuh, aku akan mengajakmu pulang."

"Tidak mas, biar Lastri disini saja," jawabnya sendu.

"Tapi Lastri, mas Bayu sedang sakit keras dirumah sakit."

Lastri terkejut. Didalam mobil tadi sayup ada kata-kata seperti itu, yang dianggapnya mimpi. Ternyata benar.

"Sakit apa? Bagaimana dengan isterinya?" tanya Lastri pilu.

Timan tertawa.

"Isteri apa. Mas Bayu sakit karena kamu."

Lastri menatap Timan tak percaya.

"Itu benar, dia sakit-sakitan semenjak kamu pergi. Mana mau dia berpaling kepada gadis lain? Dia hanya mencintai kamu Lastri."

Lastri terdiam. Ia merasa seperti melayang disebuah ketinggian yang membuat kepalanya berdesing. Dengan sebelah tangannya ia memegangi kepalanya. Kata-kata Timan sangat diluar dugaannya.

"Pusing?" tanya Mardi.

"Kepalaku seperti berputar-putar."

"Ya sudah mas Timan, sepertinya Lastri harus beristirahat. Apa kita tinggalkan dulu Lastri dan besok pagi kita kembali?"

Timan mengangguk.

"Lastri, kamu harus beristirahat. Kami pulang dulu, kamu membawa ponsel?"

Lastri menggeleng lemah. Tadi dia tidak membawa apapun.

"Ya sudah, besok aku kembali."

***

Padahal hari sudah menjelang pagi. Tapi Mardi menganjurkan Timan agar tidur barang sejenak, supaya ketika terbangun merasa lebih segar. Timan kembali kerumah Lastri, ia menolak ketika lurah Mardi menawarkan agar menginap dirumahnya. Ketika sampai dirumah, dilihatnya mbah Kliwon masih menunggu, berbaring di tikar yang sejak sore digelarnya, tapi matanya tak bisa terpejam.

"Pak, kok masih terjaga?" tanya Timan karena ketika membuka pintu dilihatnya mbah Kliwon masih terjaga.

"Nggak bisa tidur nak, bagaimana keadaan Lastri?"

"Harus opname pak, tapi tadi sudah sadar dan bisa bicara agak banyak."

"Oh, syukurlah. Rupanya tadi dia kemakam nenek dan orang tuanya."

"Sekarang tidurlah mbah, saya juga mau berbaring sebentar," kata Timan yang segera membaringkan tubuhnya dikursi bambu. Ia merasa sangat lelah, lahir batin. Tapi merasa sedikit lega karena sudah bisa bertemu Lastri. Dipejamkannya matanya, agar segera terlelap.

Tapi mbah Kliwon pergi kearah dapur, menjerang air untuk membuat minuman hangat. Ada ketela rambat  yang belum sempat dimasak Lastri, ia juga segera merebusnya. Kemudian sambil menunggu iapun ikut berbaring di tikar. Perasaan lega membuat kantuknya tiba-tiba menyerang. Sementara suara-suara para menyetor sayur dan buah sepertinya sudah berdatangan. mBah Kliwon urung mengikuti rasa kantuknya. Ia melipat tikar dan menunggu air yang dimasaknya mendidih, membuat wedang buat Timan, baru keluar menemui para penyetor sayur.

***

Bayu masih dirawat di ICU. Bu Marsudi tak ingin pulang, ia harus selalu menunggui anaknya dan mendengar tentang perkembangan kesehatannya. Pak Marsudi membawakan tikar, agar bu Marsudi dan dirinya  bisa beristirahat.

Pagi masih buta ketika bu Marsudi membuka matanya. Ponsel milik Bayu mati karena seharian tidak di cas. 

"Jangan-jangan nak Timan menelpon dan mengabari tentang Lastri," gumam bu Marsudi.

Pak Marsudi yang berbaring disampingnya mengambil ponsel itu, lalu bangkit mencari colokan agar bisa menghidupkan ponselnya.

Bu Marsudi memasuki ruang ICU. pasokan darah rupanya sudah dihentikan. Kata perawat yang menjaga, hb nya sudah normal. Tapi tekanan darahnya masih ngedrop. Tapi mereka sedikit lega karena dokter mengatakan bahwa masa kritisnya sudah lewat.

Bu Marsudi mendekati ranjang anaknya. Mata Bayu masih terpejam, wajahnya juga masih tampak pucat. Bu Marsudi mengelus kepala Bayu lembut.

"Bayu, bangunlah nak, jangan membuat ibu sedih.." katanya disertai isak.

Ia terus mengelus kepala Bayu.

"Nak Timan sedang menjemput Lastri,  cepat sembuh ya nak."

Tiba-tiba pak Marsudi menguakkan pintu ICU. Bu Marsudi menoleh ketika pak Marsudi memanggilnya pelan. Dilihatnya suaminya melambaikan tangan. Bu Marsudi keluar dari ruang ICU itu.

"Ada apa?"

"Tampaknya semalam nak Timan menghubungi kita."

"Oh ya, bapak menelpon dia?"

"Belum, ibu saja."

Bu Marsudi memutar nomor Timan. Agak lama baru terdengar jawaban.

"Hallo," terdengar suara berat dari seberang, rupanya Timan masih mengantuk.

"Nak Timan?"

Timan baru sadar kalau bu Marsudi menelponnya. Ia duduk dan mengucek kedua matanya.

"Ma;af bu, baru bangun."

"Nak Timan ada dimana?"

"Masih didusunnya Lastri bu, semalam Timan menelpon ibu tapi tidak tersambung."

"Ponselnya mati, baru pagi ini bisa membukanya. Ada berita apa?"

"Saya sudah bertemu Lastri bu."

"Ya Tuhan, segera ajak dia kemari nak, kasihan Bayu."

"Pasti bu, tapi sa'at ini dia juga sedang dirawat."

"Maksud nak Timan di rumah sakit?"

"Iya bu, semalam tiba-tiba pingsan."

"Bagaimana keadaannya?"

"Sudah mendapat perawatan dan sudah sadar."

"Syukurlah nak."

"Bagaimana mas Bayu ?"

"Tranfusi darah sudah dihentikan. HB nya sudah normal. Tapi tekanan darahnya masih rendah."

"Sudah sadar?"

"Belum nak, sedih ibu ini."

"Tenanglah bu, sabar, nanti Lastri akan segera saya bawa kemari, begitu dokter mengijinkan dia pulang. Tadi malam itu dia hanya dehidrasi. Seharian dikuburan neneknya, belum makan dan minum apapun sejak pagi, sementara udara lumayan panas."

"Oh, saya lega mendengarnya nak, segera bawa dia kemari."

Bu Marsudi menutup ponsel itu karena pak Marsudi harus kembali mengecasnya.

"Bagaimana Lastri?"

"Nak Timan sudah ketemu Lastri, tapi Lastri sedang dirawat di rumah sakit juga."

"Sakit apa dia?"

"Kemarin tiba-tiba pingsan, tapi tadi malam sudah sadar. Nak Timan berjanji akan segera membawa Lastri kemari."

"Syukurlah, semoga kedatangan Lastri akan membawa kesembuhan bagi Bayu."

***

Timan sedang menikmati wedang jahe buatan mbah Kliwon, dan mengupas sepotong ketela rambat yang masih hangat, ketika tiba-tiba terdengar mobil mendekat.

Diluar terdengar ramai para petani sayur membawa keranjang dagangannya, yang diterima mbah Kliwon dan pembantunya. Beberapa yang sudah selesai dicatat kemudian diangkatnya keatas pick up kuning telur yang sudah menunggu. Jam enam pagi semuanya sudah berangkat. Sepi sekelilingnya, tinggal mbah Kliwon membersihkan ruangan samping yang kotor karena ceceran sayur.

Timan sangat takjub. Ini semua sepak terjang Lastri.

Ketika jam menunjukkan pukul delapan pagi, pak lurah Mardi menelponnya.

"Mas Timan mau kerumah sakit jam berapa?"

"Kalau bisa secepatnya, pak lurah."

"Kalau begitu bisakah mas Timan datang kemari terlebih dulu? Nanti kita kerumah sakit bersama-sama."

"Baik pak lurah."

Mardi memasukkan sepotong ketela yang terssisa, kemudian menghabiskan minuman yang sudah mulai dingin.

"Pak, saya mau kerumah sakit dulu ya."

"Sama pak lurah?"

"Iya, bapak mau ikut?"

"Nggak usah nak, saya harus bersih-bersih dulu. Semoga Lastri segera bisa dibawa pulang ya nak."

"Aamin pak, saya berangkat dulu."

Ternyata dirumah pak lurah Timan diminta untuk makan pagi dulu. Marni sudah menyiapkannya sejak tadi, karena dia ingin ikut kerumah sakit.

"Kamu benar nggak apa=apa? Nanti dijalan kamu muntah-muntah lagi," tegur pak lurah menghawatirkan isterinya.

"Aku sudah minum obatnya, sudah baikan kok, nggak mual. Lagian aku harus ketemu Lastri. Kalau tidak nanti aku akan terus menerus merasa khawatir. Lagian aku harus membawa beberapa bajuku untuk ganti, bukankah semalam belum ada yang mengirimkan ganti?""

***

Lastri terjaga, ketika perawat membangunkannya  untuk membersihkan tubuhnya.Selang infus masih mengucurkan cairan melalui tangannya.

"Tidak membawa ganti mbak?"

Lastri menggeleng. Ia bingung, tak ada yang memikirkan ganti  baju untuk dirinya. 

"Padahal baju mbak sangat kotor, kami lupa berpesan kepada yang mengantar mbak kemarin."

"Saya ingin pulang."

"Nanti dulu mbak, bukankah semalam masih pusing?"

"Sekarang tidak lagi.

"Nanti dokter akan memeriksa keadaan mbak, kalau memang oke ya pastinya boleh pulang."

Tiba-tiba seseorang nyelonong masuk.

"Lastri, kamu kenapa?"

Yang datang adalah Marni. Dengan terharu dia memeluk Lastri.

"Ma'afkan mas Mardi ya Tri?"

"Mengapa yu? Mas Mardi tidak apa-apa."

"Pasti karena iklan itu kamu terluka."

"Tidak yu. Aku tidak menganggap kang Mardi bersalah, inin sudah takdir, aku menerimanya dengan ikhlas."

Marni mencium pipi Lastri, dan mengelus kepalanya.

"Apa ibu membawa ganti untuk mbak Lastri?"

"Oh iya, saya membawanya sus. "

"Saya sudah menyeka tubuhnya tinggal bajunya, biar saya menggantinya?"

"Jangan sus, biar saya saja."

Suster itu mengangguk dan keluar.

"Yu, ini bajumu kan?"

"Iya, tak ada yang memikirkan baju pengganti, aku lalu membawakannya," kata Marni yang kemudian menggantikan baju Lastri. Lastri menoleh kearah pintu, khawatir ada yang melihat tubuhnya yang terbuka.

"Tak ada siapa-siapa, aku melarang mas Mardi dan mas Timan masuk, karena aku harus mengganti dulu baju kamu."

"Terimakasih yu."

\"Sebenarnya kamu itu kenapa?"

"Aku nggak apa-apa, hanya pergi ke makan simbah. Mungkin aku belum kemasukan air ataupun makanan, sementara udara agak panas, sehingga aku pingsan."

"Aku mengira kamu kecewa karena iklan itu. Memang mas Mardi yang salah."

"Sudah yu, jangan diulang-ulang lagi. Tentang iklan itu bukan apa-apa. Justru karena itu aku bisa membantu kang Mardi memajukan dusun kita. Memang jalannya harus begitu kan yu?"

Marni segera memberi isyarat pada Mardi dan Timan agar masuk setelah Lasti berganti pakaian bersih milik Marni.

Tapi Timan mengurungkan niatnya melangkah ke pintu, ketika ponselnya berdering. Ternyata dari bu Marsudi.

"Hallo bu, ini saya sedang mau menemui Lastri."

"Nak Timan, cepat kemari, Bayu kritis lagi," kata bu Marsudi sambil menangis.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

Tuesday, February 25, 2020

LASTRI 34

LASTRI  34

(Tien Kumalasari)

 

mBah Kliwon membuatkan minuman untuk tamunya, dan menceritakan sepak terjang Lastri sejak dia pulang ke desanya. Dan sepak terjang yang luar biasa itu dibantu oleh pak lurah dan sahabatnya yang sekarang menjadi isteri lurah. 

"Karena ulah mereka maka dusun ini maju. Anak-anak harus mengenyam bangku sekolah, ada balai kesehatan, dan sekarang para petani hidup lebih nyaman karena Lastri membeli semua hasil panen untu dijualkan dikota, tanpa kami harus mengusung sendiri hasil panen kami.Dan sudah banyak yang memasang listrik disini, termasuk rumah saya juga dikasih setrum oleh Lastri sehingga tidak perlu menyalakan lampu pinyak etiap malam."

Timan berdecak kagum. Kepulangan Lastri memeberi berkah bagi dusunnya.

"Ini hebat dan luar biasa pak."

Timan menengok jam tangannya. Dan hari menjelang senja, mengapa Lastri belum pulang juga?

"Kok belum pulang ya pak."

"Iya nak, tak biasanya Lastri pergi lama. Tadi juga para pengirim sayur itu menitipkan uangnya sama saya karena mereka tak bisa menemui Lastri.

"Apakah mobil Lastri tidak ditaruh disini?"

"Tidak nak, dititipkan dirumah pak lurah, yang pekarangannya luas."

"Kemana saya harus meencari Lastri ya pak?" kata Timan yang mulai gelisah.

"Heran juga saya, biasanya dia tak pernh pergi sampai senja begini. Tunggu nak, saya akan mencoba mencarinya di pak lurah."

"Sebentar pak, bapak tau nomor kontaknya Lastri?"

"Waduh, nggak tau nak, lha kalau sampeyan temannya masa nggak tau nomornya?"

"Nomor yang saya tau tidak aktif lagi pak, rupanya dia sudah menggantinya."

" Ya sudah, nak tunggu disini saja, saya akan coba mencarinya dirumah pak lurah. Biasanya dia kesana, tapi biasanya juga.. nggak sampai sesore ini."

"Jauhkah rumah pak lurah?" 

"Nggak begitu jauh sih.."

"Mari saya antar saja pak, biar lebih cepat."

mBah Kliwon menurut, dia naik ke mobil Timan yang mengantarkannya ke rumah pak lurah Mardi. Tapi ternyata kedatangan mereka justru membuat bingung Mardi dan isterinya, karena mereka berpisah di puskesmas sejak ketika Marni memeriksakannya kesana.

"Aduh, kemana dia?" 

"Jangan-jangan kerumah ibu mas," sela Marni.

"Saya tilpun ibu saya dulu ya mbah, silahkan duduk mas," Mardi kemudian mempersilahkan keduanya duduk. Marni menduga duga, inikah kekasih Lastri?"

"Hallo bu," sapa Mardi 

"Ini Mardi?"

"Ya bu, Mardi, apakah Lastri ada disini bu?" 

"Lho, tadi pagi Lastri kesini, cuma memberikan uang sama ibu, lalu pergi, Katanya mau menyusul kamu waktu ke puskesmas."

"Lho, kemana lagi dia?"

"Dia pergi?" 

"Ya bu, ada yang mencarinya dari Solo. Ya sudah bu, terimakasih."

"Nggak ada ya pak?" tanya Timan yang sudah mendengar sedikit percakapan itu.

"Nggak ada tuh, kemana dia?"

"Ada nomor kontak yang bisa dihubungi?"

"Ada, sebentar."

Mardi memutar nomor kontak Lastri, tapi rupanya ponselnya tidak aktif.

"Tidak aktif," kata Mardi putus asa.

Timan gelisah bukan alang kepalang. Kenapa dia pergi dan mengapa tak seorangpun mengetahui?

"Ma'af, apakah ini mas  Bayu?" tanya Mardi yang jug menduga Timan adalah kekasihnya Lastri.

"Bukan pak lurah, saya Timan, sahabatnya mas Bayu. Justru saya datang kemari karena mas Bayu sakit keras. Saya harap bisa menemukan Lastri agar menjadi obat bagi sakitnya mas Bayu."

"Oh, ya Tuhan, jadi yang namanya Bayu masih memikirkan Lastri?"

"Sampai sakit-sakitan pak, kasihan saya. Dulu katanya pernah mencari kemari dan katanya Lastri tidak pulang kemari," sesal Timan.

"Oh iya, saya waktu itu yang menemui orang-orang dari Solo, mengendarai mobil, mencari Lastri. Tapi ketika itu Lastri belum pulang. Baru keesokan harinya Lastri datang. Tapi rupanjya dia ingin tinggal didesanya kembali."

"Mas, jangan-jangan Lastri pergi karena iklan itu.," sela Marni.

"Iklan apa ya bu?" tanya Timan.

"Wah, saya merasa berdosa sama Lastri."

Lalu Mardi mencerterakan perihal iklan setahun lalu itu, yang baru saja terbaca oleh Lastri, padahal sesungguhnya  dia tau sejak iklan itu diterbitkan, tapi karena sesuatu hal lupa mengatakannya pada Lastri.

"Jadi kemungkinannya dia pergi ke Solo?" tanya Timan penuh harap.

"Jangan-jangan iya," kata Mardi.

Lalu Mardi memutar nomor tilpun Bayu yang dipegang bu Marsudi.

"Hallo,ini nak Timan?" sapa bu Marsudi dari seberang.

"Ya bu, saya Timan."

"Nak Timan sudah ketemu Lastri?"

Pertanyaan itu membuyarkan harapan Timan bahwa Lastri telah kembali.

"Bagaimana nak ?"

"Saya sudah sampai didesanya Lastri, tapi belum bertemu Lastri."

"Tapi Lastri ada didesanya kan? Itu benar kan?"

"Iya bu, ada, cuma dia pergi, tidak ada yang tau kemana perginya. Perkiraan saya dia ke Solo, kaena baru saja membaca iklan yang dipasang pak Marsudi setahun lalu."

"Ohbaru saja tau ? Tapi kok belum kemari. Jangan-jangan kerumah, karena kan tidak tau kalau kami dirumah sakit. Oh tunggu, tapi ini bapak sedang dirumah untuk mengambil baju-baju Bayu. Tunggu sebentar saya menelpon bapaknya Bayu ya."

"Baiklah bu. Tapi bagaimana keadaan mas Bayu? Ada perkembangan?"

"Masih belum sadar nak, sedih ibu," isak bu Marsudi.

"Sabar ya bu, tetaplah berharap dan berdo'a untuk kesembuhan mas Bayu."

"Iya nak, semoga kedatangan Lastri benar-benar menjadi obat untuk Bayu."

"Aamiin, bu."

Bu Marsudi segera menelpone suaminya.

Tapi ternyata pak Marsudi juga mengatakan bahwa Lastri tidak pulang.

"Kalau begitu bapak dirumah saja dulu. Tampaknya Lastri pulang ke Solo, mungkin belum sampai, kalau pulang pasti kerumah, karena tidak tau kalau Bayu disumah sakit."

Kemudian bu Marsudi menghubungi Timan lagi, dan mengatakan bahwa Lastri  belum sampai.

"Nanti kalau Lastri sampai, nak Timan akan saya beri  kabar."

"Terimakasih bu, saya belum akan pulang kalau Lastri belum jelas keberadaannya."

Hari mulai gelap. 

"Bagaimana kalau kita menunggu dirumahnya Lastri saja, siapa tahu juga Lastri sudah pulang kerumah." kata mbah Kliwon.

"Iya mas Timan, segala kemungkinan pasti bisa terjadi. Kalau ada apa-apa, tolong hubungi saya ya mas, ini nomor kontak saya, oh ya, sekaliyan nomor kontaknya Lastri ya."

Timan bersama mbah Kliwon kembali kerumah Lastri setelah mencatat nomor-nomor kontak itu. Namun disana belum ada tanda-tanda Lastri pulang. Gelap gulita menyelimuti  rumah Lastri karena lampu belum dinyalakan.

mBah Kliwon meraba-raba tombol lampu teras sehingga teras itu terang benderang. Namun pintu rumah tetap terkunci, dan dari kaca jendela yang kordennya terkuak, terlihat kegelapan juga menyelimuti dalam rumah Lastri.

mBah Kliwon pulang kerumah, dan menyalakan juga lampu rumahnya. Dia juga membawa kunci serep rumah Lastri yang dititipkannya padanya, untuk berjaga-jaga kalau dia kehilangan kunci dijalan atau apa, kata Lastri waktu itu.

"Ini saya membawa kunci rumahnya nak," kata mbah Kliwon yang kemudian membuka rumah Lastri dan menyalakan setiap ruang yang masih gelap.

Timan mengikuti masuk kedalam. Memandangi rumah sederhana tapi bersih. Ada seperangkat kursi tamu yang terbuat dari bambu , disebelahnya ada ruangan yang pintunya tembus keluar, untuk mengumpulkan sayur dan buah yang disetorkan sa'at pagi buta. Ada kamar yang tertutup, kata mbah Kliwon itu kamarnya Lastri, lalu dibelakang ada dapur dengan peralatan yang sederhana. Sepasang kompor gas, rak piring yang hanya berisi satu dua piring dan gelas serta sendok, lalu meja kecil dengan satu kursi, yang tampaknya seperti meja makan, karena ada tudung saji kecil tengkurap disana. Ketika mbah Kliwon membukanya, ada piring berisi tahu goreng dua potong. Mbah Kliwon menutupkannya lagi. Lalu ada  kamar mandi disudut dapur. 

Timan kembali kedepan. Hari sudah malam, mbah Kliwon manemani Timan duduk, kali ini didalam rumah, di kursi bambu yang tertata rapi.

Beberapa sa'at kemudian ponsel Timan berdering, semoga dari bu Marsudi yang menerima kedatangan Lastri. Tapi bukan, dari lurah Mardi yang menanyakan apakah sudah ada berita dari Lastri.

"Belum ada pak, saya juga belum mau pulang sebelum berita tentang Lastri itu jelas."

"Berita dari Solo juga belum ada?"

"Belum ada pak lurah, padahal seharusnya kalau dia berangkat siang, sebelum sore pasti sudah sampai disana."

"Baiklah mas, kalau ada apa-apa jangan lupa menghubungi saya," pesan pak lurah.

mBah Kliwon menjerang air, lalu membuat wedang jahe untuk Timan. 

"Udara dinginn nak, minuman ini bisa menghangatkan."

"Terimakasih pak."

Tapi tiba-tiba ada orang suruhan pak lurah membawakan makan malam untuk Timan. Pak Kliwon tergopoh gopoh menerimanya dan meletakkan nasi beserta lauknya dimeja didepan Timan. Ia kemudian mengambil piring dan sendok dibelakang. Sebetulnya Timan tidak lapar, padahal sejak pagi dia belum makan apapun. Rasa gelisahnya karena memikirkan Lastri membuatnya melupakan rasa lapaenya. Tapi kemudian melihat semangkuk nasi dan ikan goreng membuat perutnya tiba-tiba mengingatkannya bahwa ia belum diisi sejak pagi.

"Silahkan nak, pak lurah memang baik, dia sangat perhatian akan keadaan warganya."

Tak urung Timan menyendok nasi kedalam piring dan memakannya perlahan. Ikan yang seharusnya nikmat dilidah, terasa hambar bagi Timan.Jadi ia sekedar mengisi perut agar tak merasa lemas dalam penantiannya.

"Mari pak, bapak juga harus menemani saya."

mBah Kliwon menyendok sedikit nati, demi menemani Timan makan.

 Setelah makan itu Timan menunggu berita dari bu Marsudi yang belum mengabarkan tentang Lastri.

Timan yang kemudian menghubungi, mendapat keterangan kalau sampai sa'at ini Lastri belum tampak datang.

Timan mulai panik.

"Pak, tadi jan berapa Lastri berangkat?" tanya Timan.

"Pagi tadi pamit kerumah bu lurah, tapi sampai sekarang belum kembali."

Kalau dia ke Solo sejak pagi atau katakanlah siang, pasti sudah sampai dirumah keluarga Marsudi. Tapi mengapa belum sampai juga?

mBah Kliwon yang ikutan panik, sebentar-sebentar melongok keluar rumah. 

"Tak biasanya dia begini," gumam mbah Kliwon sambil berjalan keluar masuk rumah.

Timan mencoba menghubungu nomor kontak Lastri yang tadi diberikan pak lurah. Tapi nomor itu tidak aktif. Berkali-kali dicobanya tapi tidak berhasil.

"Kemana kita harus mencarinya mbah?" tanya Timan yang juga ikutan keluar masuk rumah dan melongok kearah kiri kanan rumah.

"Nak, saya ambilkan bantal ya," kata mbah Kliwon yang merasa yakin bahwa Timan sangat letih, dan tanpa menunggu jawaban Timan mbah Kliwon pulang kerumah yang ada disamping Lastri, lalu datang kembali membawa bantal. 

"Ini nak, silahkan sambil tiduran, ini biarpun kumal tapi bersih, saya baru saja mengganti sarungnya," kata mbah Kliwon sambil mengulurkan bantalnya.

"Terimakasih pak," kata Timan sambil menerima bantal itu tapi kemudian memeluknya.

"Berbaringlah dikursi panjang itu nak, saya mau tiduran di lincak saja sambil menunggu Lastri."

"Ya pak, gampang, bapak saja yang istirahat, tapi jangan diluar, udaranya sangat dingin."

"Bapak sudah biasa udara dingin nak, nggak apa-apa."

"Jangan pak, disini saja, sambil menemani saya."

mBah Kliwon mengalah, ia mengambil tikar dan melipatnya menjadi dua agar agak tebal, lalu dibentangkannya disamping kursi bambu.

"Nah, saya berbaring disini, nak Timan dikursi itu."

Timan mengalah, ia membuarkan mbah Kliwon berbaring di tikar. Pasti bapak tua itu juga penat, pikirnya.

Timan mencoba membaringkan juga tubuhnya di kursi bambu panjang, tapi sedikitpun matanya tak bisa terpejam. Pikiran tentang Lastri membuatnya gelisah, dan panik.

***

 "Mas, kok belum tidur?" tanya Marni kepada suaminya.ketika melihat suaminya termenung dikursi tamu.

"Ya sudah kamu itu tidurlah, nanti muntah-muntah lagi."

"Tapi mas Mardi tampak tidak tenang begitu, Marni jadi ikutan bingung.."

"Ya sudah, tidur dikursi panjang itu saja, aku ini sedang memikirkan Lastri."

"Iya mas, aku juga khawatir, mengapa Lastri tiba-tiba pergi?"

"Benarkah itu karena iklan yang dibacanya?"

"Mungkin mas, aku juga tidak mengira kalau mas menyimpan rahasia itu."

"Dulu itu ibu mlarang aku mengatakannya pada Lastri, karena kan kamu tau sendiri ibu ingin mengambil Lastri sebagai menantu?"

"Iya, aku tau, tapi mengapa mas Mardi tidak mengatakannya juga walau sudah tau bahwa Lastri tidak mau jadi menantunya?"

"Sungguh aku merasa bersalah. Karena kesibukan-kesibukan aku, yang juga dalam kaitannya membantu Lastri, sehingga aku melupakan iklan itu."

"Tapi kalau Lastri pergi karena iklan itu, pastinya dia pulang ke Solo, mengapa tidak?"

"Mungkinkah belum sampai?"

"Ini sudah malam. Lastri pastinya pergi dari siang."

"Mengapa dia juga tidak pamit sama mbah Kliwon?"

"Aku jadi khawatir, bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Lastri?"

"Aduh mas, perutku mendadak mules," keluh Marni.

"Obatnya sudah diminum?"

"Sudah mas, tapi kok tiba-tiba mules."

"Kmu jangan ikut memikirkan Lastri, pikirkan bayimu."

"\Bagaimana tidak mikir mas, Lastri itu kan sahabat kita."

"Iya, biar aku saja yang mikir. Sekaang kamu tidur saja, aku mau ke gardu menemui yang ronda malam."

"Masih sore, apakah sudah ada yang datang?"

"Entahlah, barangkali ada yang bisa aku lakukan disana."

"Jacketnya dipakai ms,dingin."

"Ya, kamu tidur saja, apa sekarang  masih mules ?" tanya Mardi sambil mengelus perut Marni.

"Nggak, sudah berkurang, aku mau tiduan dulu."

***

Lurah Mardi keluar, menuju gardu peronda. Ada seorang warga yang kemudian datang sambil membawa baki berisi lima gelas kopi.

"Belum ada yang datang kang?"

"Mungkin sebentar lagi pak lurah, tadi sudah pada siap-siap didepan rumah masing-masing."

"Ya sudah, aku monta kopinya satu, boleh?"

"Silahkan pak lurah."

Mardi menghirup kopi yang masih hanyat. 

"Tadi ada yang melihat Lastri?"

"Kalau saya nggak liat tuh pak, sesiang ini tadi di kebun, sore baru pulang."

"Kemana dia?"

"Memangnya Lastri pergi?"

"Iya, sampai sekarang belum pulang kerumahnya."

"Mbah Kliwon barangkali tau."

"Dia juga mencari-cari. malah ada temannya dari Solo kebetulan datang sore tadi, ee.. Lastrinya malah hilang entah kemana."

"Kok aneh, biasanya kan mbah Kliwon yang tau Lastri pergi kemana."

Mardi menghirup lagi kopinya. Ia hampir tersedak ketika tiba-tiba terdengar teriakan dari jauh.

"Pak lurah ada disitu?"

Mardi berdiri. Dua orang laki-laki membawa obor datang mendekat.

"Ada orang mati didekat kuburan pak !!"

"Orang mati?"

"Nggak tau mati atau hidup, pokoknya tubuhnya dingin dan tidak bergerak."

"Mana dia?"

"Dibawa ke kelurahan pak"

 ***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


LASTRI 33

LASTRI  33

(Tien Kumalasari)

Hari itu Timan tidak berjualan. Bayangan tentang Lastri semakin tampak jelas. Tinggi semampai, kulit putih bersih, cantik, baik hati, tinggal didaerah Sarangan. Itu Lastri yang aku cari, Lastrinya mas Bayu. 

Timan mengambil mobilnya lan lari kerumah sakit. Berita ini harus segera disampaikan kepada Bayu agar bisa lebih bersemangat hidup. Ini pasti membahagiakan, karena akan bertemu dengan kakasih hatinya  yang hampir tiba didepan mata. 

Timan tersenyum disepanjang perjalanan. Hari masih pagi tapi jalanan sudah sangat ramai. Anak-anak berangkat kesekolah, mendominasi jalanan yang masih belum begitu siang. Timan menyibak keraaian itu dengan hati penuh suka. Andai bisa tersampai, Timan ingin berteriak sekuat tenaga, agar Bayu mendengarnya. Ia tak mungkin menelpon karena Bayu sedang dirawat dan ketika ditinggalkan semalam dalam keadaan setengah sadar.

Timan sudah sampai dirumah sakit itu, ia melompat dan seperti ingin terbang ke ruang UGD. Tapi ditengah jalan dia berpapasan dengan pak Marsudi. Wajahnya pucat penuh raa khawatir.

"Pak Marsudi, mau kemana ?" tanya Timan

"Keadaan Bayu kritis, suara pak Marsudi bergetar.

"Apa ?"

"Tekanan darahnya menurun. Hb nya juga ngedrop. Aku akan mencari donor karena persediaan dirumah sakit tidak mencukupi."

"Ya Tuhan, apa golongan darahnya ?"

"O, nak.. aku sudah diambil, kemungkinan masih kurang, tapi golongan darah ibunya tidak sama. Aku harus mencari segera."

"Pak, tunggu pak, golongan darah saya sama, mari kita kesana."

"Oh, baiklah, terimakasih nak, tapi aku akan mencoba mengontak orang-oraag kantor, untuk bersiap siap apabila diperlukan."

"Ya pak, silahkan.

Timan berlari kearah ruang ICU, dilihatnya bu Mrsudi duduk di sebuah kursi, menyandarkan kepalanya, Timan mendekat.

"Bu..."

Bu Marsudi mengangkat kepalanya., tangisnya meledak ketika melihat Timan. Timan merangkulnya .

"Sabar bu, mas Bayu pasti sembuh. Ini saya akan mendonorkan darah saya, tadi ketemu pak Marsudi diluar, sedang menelpon teman-temannya."

"Sykurlah nak, ibu juga tak mengerti, mengapa tiba-tiba dia begitu."

"Nggak apa-apa bu, saya membawa kabar baik tentang Lastri, semoga bisa menjadi obat mujarab untuk mas Bayu."

Bu Marsudi memegang kedua bahu Timan. Matanya masih basah, tapi ada harapan terlukis disana.

"Benarkah, nak Timan ketemu dia ?"

"Belum bu, baru mendapat kabar yang hampir meyakinkan saya bahwa itu Lastri. "

"Dimana dia ?"

"Didesa asalnya, saya baru mau kesana, tapi maksud saya akan mengabarkan berita ini dulu pada mas Bayu."

"Dia belum sadar nak, nanti akan ibu katakan."

"Sekarang saya mau bilang ke dokternya dulu bahwa darah saya siap didonorkan, karena golongan darah kami sama."

"Baiklah nak, terimakasih banyak, semoga berita ini bisa menjadi obat bagi Bayu."

***

Pagi itu Lastri kerumah bu lurah untuk mengembalikan sebagian uang bu lurah yang telah dipergunakannya untuk membeli bahan-bahan bangunan.

Bu lurah tidak menolaknya, karena takut Lastri tersinggung. Bu lurah masih teringat ketika Lastri marah-marah ketika dia melakukan itu.

"Terimakkasih bu, baru beberapa, masih kurang banyak bukan?"

"Tidak nak, ini cukup."

"Mana mungkin bu, saya mempunyai catatannya."

"Lastri, tolong jangan memikirkan itu. Ibu tau bahwa ibu bersalah, ibu  sudah minta ma'af, dan ibu sudah menerima ini, sudah cukup nak. "

"Tapi bu.."

"Kalau kamu memaksa juga, berarti kamu tidak menganggap kami sebagai keluarga."

Lastri tak berdaya. Bu lurah memeluk Lastri erat.

"Terimakasih banyak bu, kebaikan ini tak ternilai."

"Jangan menilainya sebagai kebaikan. Kita bukan orang lain."

"Baiklah bu, sekarang saya mau ke bu lurah Mardi dulu ya bu.."

"Oh, dia baru ke uskesmas , kayaknya dia ngidam. Muntah-muntah terus dari pagi."

"Aduuuh, benarkah ? Senengnya ya bu, segera punya cucu..." 

"Iya, seneng sekali. Semoga Lastri segera menyusul ya?"

Lastri tersenyum, sendu. Bisakah itu terjadi?

Ketika Lastri mau beranjak pergi, bu lurah menghentikannya.

"Tunggu Lastri, aku mau nitip buat Marni. 

Bu lurah mengambil bungkusan plastik dimeja. Ini manisan cerme, seger, manis-manis asem, pasti orang ngidam suka. Sebentar, aku ambil koran buat bungkus, masa kelihatan begitu. Bu lurah mengambil koran selembar dikamar lalu dibungkusnya manisan itu.

"Ini Tri, dan suruh dia hati-hati. Sebenarnya ibu pengin mereka tinggal disini, agar aku bisa menjaganya, tapi mereka ingin rumah sendiri, ya sudah, nggak apa-apa, asal selalu saling mengabarkan saja."

"Benar bu, biar belajar mandiri, tidak selalu tergantung pada ibunya."

"Semoga mereka baik-baik saja."

***

Karena penasaran Lastri menyusul ke puskesmas. Dilihatnya Marni masih ada diruang tunggu, Mardi mendampinginya. Kepala Marni terkulai diundak Mardi.

"Yu Marni.. ," panggil Lastri.

 Marni dan Mardi menoleh, Lastri mengulurkan tangannya kearah Marni.

"Selamat ya yu,"

"Lastri, belum diperiksa," jawab Marni. Lastri melihat, wajah Marni pucat.

"Kata bu lurah kamu ngidam. Aku tadi mampir kesana."

"Baru perkiraan. Ini lagi mau periksa."

"Semoga benar hamil yu, sudah kepengin punya keponakan nih, kata Lastri sambil duduk didekat Marni.

"Rasanya badan ku nggak karuan Tri."

"Itu bawaan bayi yu, sabar."

"Kamu dari mana, kok tau kami ada disini?" kata Mardi.

"Lha tadi kan aku bilang mampir kerumah bu lurah, jadi bu lurah yang kasih tau bahwa kalian ada disini. Oh ya, ini, bu lurah menitipkan sesuatu untuk yu Marni," kata Lastri sambil mengulurkan bungkusan yang diberikan bu lurah.

"Apa ini?"

"Makanlah, katanya manisan cerme, rasanya manis-manis asem. Cobalah."

Marni tak sabar membuka bungkusan itu, ingin segera mencicipi manisan itu, tampaknya menarik, manis-manis asem. Kertas koran itu dilepasnya dan jatuh dilantai, lalu Marni segera membuka plastiknya dan mengambil sebutir.

"Hm, benar, enak, aku suka," katanya lalu mengambilnya lagi, sementara Lastri memungut selembar koran bungkus yang tercecer.

Tiba-tiba ada sekilas tulisan yang menarik hatinya, ada nama Lastri tertulis disana. Lastri membuka lembaran itu lebih lebar. SEGERA PULANG LASTRI, KAMI BENAR BENAR MENUNGGU KAMU. AKU MINTA MA'AF, AKU BERSALAH PADAMU LASTRI. AKU MENYESAL.  MARSUDI.

Lastri terpana, ini adalah sobekan koran pembungkus sepatunya. Jadi yang memasang iklan ini bukan Bayu, tapi pak Marsudi. Gemetar tangannya. Ini sudah setahun..

Mardi yang memperhatikan Lastri membaca, lalu meminta koran itu. Tiba-tiba Mardi sadar akan kesalahannya. Ia lupa tentang iklan itu, dan juga lupa mengabarkannya pada Lastri. Ketika itu bu lurah melarangnya mengabarkannya pada Lastri karena bu lurah mengharapkan Lastri tidak kembali kekota.

"Aduh.. aku kok bisa lupa.." keluh Mardi perlahan.

"Apa mas ?" tanya Marni dan Lastri hampir bersamaan.

"Lastri.." Mardi memegang tangan Lastri erat.

Lasri yang sedang memikirkan iklan itu menatap Mardi.

"Aku minta ma'af, sungguh ma'afkanlah aku."

"Kenapa?"

"Sesungguhnya ketika koran itu terbit, aku sudah membaca iklan itu."

"Apa?" Lastri terkejut.

"Ma'af Lastri ketik itu ibu melarangnya, karena ibu ingin kamu tetap tinggal disini. Setelah itu aku lupa tentang iklan itu, baru sekarang teringat kembali."

"Ya Tuhan.." keluh Lastri.

"Kalau kamu ingin kesana, aku akan mengantarmu, kapan saja."

"Mas Mardi kok bisa lupa sih, kasihan Lastri, dia urung kembali karena mengira mereka tak bisa menerima Lastri," tegur Marni.

"Iya, sungguh aku minta ma'af."

Ketika itu Marni sudah dipanggil, ia berdiri diikuti Mardi.

"Lastri, nanti kita bicara lagi ya, sebentar." kata Mardi sambil membawa Marni masuk kedalam.

Tapi Lastri langsung meninggalkan puskesmas itu. Sobekan koran itu dibawanya serta.

***

Lastri pulang dan menangis dikamarnya. Ada sedih yang mengharu biru perasaannya. Pak Marsudi merasa bersalah dan meminta ma'af, sangat diluar dugaannya. Tapi ia merasa lega. Lebih lega lagi ketika mereka mengharap dia kembali. Tapi itu sudah setahunan lalu, apakah semuanya belum berubah? Setahun adalah wktu yang cukup lama. Barangkali Bayu sudah melupakannya dan menemukan kekasih baru, atau bahkan sudah menikah. Lagipula Lastri juga belum tau, meminta dia kembali bukan berarti akan diterima sebagai menantu. Itu hal yang mustahil meenurut Lastri. Dan kalau dia kembali, dia akan tetap memendam cinta dihatinya, dan tersiksa sepanjang hari. Apalagi setiap bertemu dan bertatap muka dengan Bayu.

Lastri mengusap air matanya, lalu mengambil koran yang kembali dipergunakan untuk membungkus sepatunya. Ia memang tidak membuangnya. Lalu ia membukanya dan menyatukannya dengan koran pembungkus manisan itu. Tuhan mengatur hidupnya sedemikian rupa. Iklan yang terpisah bersatu kembali, jelas terbaca secara lengkap. 

Kembali air matanya berlinang. Apakah kalau sejak koran itu terbit, lalu dia kembali kepada keluarga Marsudi, akan bahagia hidupnya? 

Lalu ia teringat kata-kata Mardi bahwa kalau ia ingin kembali maka Mardi akan mengantarkannya. Begitu mudahkah ia kembali? Bagaimana kalau dilihatnya Bayu sudah berdua, lalu dia tetap menjadi pembantu di keluarga itu, dan menangkap setiap kemesraan antara Bayu dan isterinya. Aduhai... tidak..  Lastri tidak ingin kembali.

Ini adalah hidupku, aku akan tetap disini, mengenangmu setiap sa'at adalah lebih indah daripada melihatmu sudah berdua dengan yang lain.

Lastri menghela nafas.

"Aku harus kuat. Ini pilihan hidupku," bisik Lastri pelan.

***

Timan iingin segera berangkat ke Sarangan, tapi ia harus melihat keadaan perkembangan Bayu yang tampak menghawatirkan. Setelah mendonorkan darahnya, ia mendekati Bayu dan berbisik ditelinganya.

"Mas Bayu, saya akan menjemput Lastri."

Tapi Bayu diam tak bergerak. Timan merasa takut. Mengapa tiba-tiba seperti ini? 

"Apakah kehilangan Lastri membuat mas Bayu jadi begini? Sadarlah mas.. sekarang juga saya akan membawa Lastri untuk mas Bayu."

Timan menghela nafas. Sedih melihat sahabatnya tergolek tak berdaya. Selang berisi cairan darah masuk melalui urat nadinya.  Entah sudah berapa flacon masuk kedalam tubuhnya.

Diluar ruang ICU bu Marsudi masih menunggu. Wajahnya sembab dan pucat.

"Bu, saya pergi dulu," katanya sambil mencium tangan bu Marsudi. 

"Jadi ke Sarangan?"

"Ya bu, do'akan agar bisa bertemu Lastri ya?"

"Iya nak, barangkali hanya itu obat untuk Bayu."

"Mana bapak, bu?"

"Sedang mengambil obat nak, nanti saya pamitkan."

"Ibu harus kuat ya, mas Bayu akan sembuh, percayalah bu," hibur Timan.

Bu Marsudi hanya bisa mengangguk, air matanya kembali mengambang, yang kemudian diusapnya.

***

Timan memacu mobilnya kearah Sarangan. Bertumpuk harapan yang membakar semangatnya. Ia ingin Bayu sembuh, dan Lastri berbahagia. Alangkah mulia hati Timan, sang penjual buah.

Hari sudah menjelang sore ketika Timan  tiba disana. Keterangan dimana rumah Lastri tak lama segera didapatnya karena nama Lastri tak asing lagi bagi masyarakan disana.

 Timan menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah bercat kuning muda. Pintu rumah itu tertutup. Sedang tidurkah Lastri?

Timan turun dan langsung menuju rumah itu kemudian mengetuk pintunya. Tak ada jawaban.

Timan mengitari rumah itu, barangkali karena ada dibelakang maka Lastri tak mendengar ketukan pintunya.

Tapi pintu belakang juga terkunci.

Timan melihat jendela rumah juga tertutup rapat.

"Lastri, Lastri.." sekarang Timan memanggil-manggil.

Tak ada jawaban. Lalu Timan duduk diatas lincak yang ada didepan rumah itu.

"Kemana perginya Lastri? Apakah sedang ke kebun? " gumam Timan.

Timan melongok kesana kemari, pick up bertuliskan Lastri itu tak tampak. Mungkin  belum kembali dari mengirim sayur. Apakah Lastri ikut bersama mereka? Atau bukan disini mobil itu diletakkan? Apakah dia mendapatkan keterangan yang salah? Ini bukan Lastri yang dicarinya?

"Aku akan menunggu disini, sampai pemilik rumah ini kembali," gumam Timan.

"Mencari siapa nak?" tiba-tiba terdengar suara serak dari arah samping, dan seorang lelaki tua muncul.

"Permisi pak, saya ingin bertemu Lastri. Benarkah dia tinggal disini ?" 

"Yang tinggal disini memang namanya Lastri. Anak dari mana?"

"Saya dari Solo pak, saya sahabatnya Lastri waktu dia di Solo. Benar bukan Lastri lama tingal di Solo? Dia dibawa oleh keluarga kaya waktu masih berumur belasan tahun," kata Timan panjang lebar untuk meyakinkah apakah benar Lastri pemilik rumah ini adalah Lastri yang dicarinya.

Pak Tua yang ternyata mbah Kliwon itu mengangguk angguk.

"Saya tidak salah kan pak?"

"Tidak nak, ini memang Lastri. Tapi Lastri pergi sejak pagi dan belum kembali."\

"Saya akan menunggu."

Tapi dalam hati mbah Kliwon juga bertanya-tanya, kemana Lastri pergi sehingga sampai sekarang belum kembali?

***

 

Saturday, February 22, 2020

LASTRI 32

LASTRI  32

(Tien Kumalasari)

Timan terus menunggu, satu mobil lagi, dan pick up bertuliskan LASTRI itu akan mendapat gilirannya.  Timan terus mengawasinya dari kaca spion. 

"Penasaran sekali aku. Dipasar orang berbicara Lastri, pick up lucu, tulisannya Lastri. Apakah mereka mengejek aku karena tau aku sedang mencari Lastri untuk sahabatku?" gumam Timan.

Haa... pick up kuning telur itu sudah selesai, dan berjalan hampir sampai didekatnya. Timan melongokkan kepalanya dijendela.

"Mas, mas... tunggu mas," teriaknya.

Pengemudi pick up itu menoleh sejenak, tapi tak mau berhenti. Ia langsung keluar dari arena pengisian bahan bakar itu, dan memacu mobilnya. Rupanya dia sedang tergesa-gesa dan mengira Timan salah memanggil orang, karena dia sama sekali tak mengenal Timan.

"O, wong eddan !!" Timan mengumpat karena kesal. Dia menstarter mobilnya dan mengejar pick up kuning itu. 

"Mana dia? Kok tiba-tiba menghilang? Siluman barangkali," gerutu Timan sambil matanya melongok kesana kemari. 

"Mungkinkah dia masuk ke gang disana tadi?"

Karena perkiraan itulah maka Timan memutar mobilnya, lalu memasuki gang  masuk sepuluhan meter setelah pom itu.

Tapi mobil itu tak diketemukannya, barangkali sudah sampai dijalan besar didepan sana lalu belok entah kemana, nyatanya ketika Timan sampai dijalan besar itu, pick up kuning itu tak kelihatan lagi buntutnya. Dengan mengomel panjang pendek Timan memacu mobilnya, pulang.

***

Sore itu bu Marsudi kembali mengomel karena rambut dan cambang Bayu sudah kelewatan panjangnya. Bayu sedang duduk bersandar disofa, tampak lesu dan tak bertenaga.

"Bayu, ayo ibu antar, rambut dan cambang itu harus dirapikan."

"Males bu, biarin begini saja."

"Kamu tuh jelek, tau ?!"

"Nggak apa-apa jelek, Memangnya kalau ganteng mau ngapain?"

"Bayu, jangan gittu dong Yu, kamu bekerja, apa nggak ditegur sama atasan kamu?"

"Bayu ganti penampilan bu, biarlah begini saja. Bayu juga nggak minat bekerja lagi, jadi kalau dikeluarin gara-gara penampilan ini ya nggak apa-apa." kata Bayu yang bicaranya semakin melemah.

"Bicaramu ngelantur."

"Bayu sudah patah semangat. Semangat untuk apapun sudah tak ada lagi." tiba-tiba tubuh Bayu lunglai.

Bu Marsudi memeluk Bayu dengan sedih. Ia tak tau harus melakukan apa. Hiburan apapun untuk Bayu tak bisa membuatnya senang, apalagi bahagia.

"Kalau begini terus kamu bisa sakit Yu, kasihanilah dirimu."

"Bayu sudah lama sakit bu."

"Jangan begitu. Ibu tidak punya siapa-siapa Yu, anak ibu hanya kamu. Kamu jangan begini ya nak." bu Marssudi sedikit cemas menyaksikan anaknya tampak lemas.

"Aku ingin pergi mencari Lastri bu."

"Kemana lagi kamu akan mencarinya?"

"Kemana saja bu, asalkan Bayu bisa menemukan Lastri."

Bayu terkulai dalam pelukan ibunya. Pak Marsudi belum pulang dari kantornya. Kalaupun pulang Bayu tak begitu dekat dengan bapaknya. Bayu masih belum bisa mema'afkan perbuatan ayahnya yang membuat Lastri pergi. Sesal yang dikemukakan pak Marsudi tak bisa mengubah semuanya. Lastri sudah pergi. 

"Cara Lastri pergi itu sungguh membuat Bayu sedih. Dia pergi dengan hati terluka bu, " rintih Bayu.

Ponsel Bayu berdering, tapi Bayu tak ingin mengangkatnya. Bu Marsudi meraihnya.

"Ini dari nak Sapto. Angkatlah."

Bayu menggeleng. Bu Marsudi mengalah, mengangkat panggilan itu.

"Hallo Yu, kemana saja kamu?"

"Nak Sapto, ini ibu. Bayu lagi tidur. Ada apa ya?"

"Ini bu, Sapto mau mengundang Bayu di pesta pernikahan Sapto."

"Oh, nak Sapto mau menikah ?"

Masih bulan depan sih bu, tapi Sapto mau minta Bayu untuk ikut bantu-bantu, gitu,  saya mengundang Bayu sore ini dirumah. Kami sedang berbicara dengan keluarga."

"Oh, tapi sa'at ini kayaknya Bayu lagi kurang enak badan. Bagaimana kalau besok saja biar dia menemui nak Sapto?"

"Oh, sakit dia? Masih memikirkan Lastri?"

"Ah, ya itulah nak. Oh ya, nak Sapto jadi menkah dengan Reni?"

"Benar bu, Sapto sudah capek melajang. Sudah sa'atnya memikirkan rumah tangga."

"Itu benar nak, ibu ikut senang akhirnya nak Sapto sudah menemukan jodohnya. Tapi kok bapaknya Bayu belum cerita ya? Ayahya Reni kan rekan kerja pak Marsudi dikantornya.

"Mungkin belum bu."

"Baiklah nak, ma'af ya, sore ini Bayu belum bisa kemana mana, jadi biar besok saja dia menemui nak Sapto ya?"

"Nggak apa-apa bu, kalau perlu besok Sapto saja yang datang kemari."

Bayu bisa menangkap percakapan ibunya dan Sapto, tapi dia tak berreaksi. Ia tiduran di sofa dengan meletakkan kepalanya dipangkuan ibunya.

"Nak Sapto mau menikah Yu, sore ini sebenarnya kamu ditunggu dirumahnya."

"Hm..." hanya dengusan yang terdengar dari mulutnya. Bayu memejamkan matanya.

Bu Marsudi mengelus kepala Bayu dengan lembut.

Pak Marsudi tiba-tiba datang dan langsung duduk di depan isterinya, memandangi Bayu yang terbaring disana.

"Kenapa dia?"

"Nggak apa-apa, hanya ingin bermanja sama ibunya."

"Akhirnya Reni akan menikah dengan Sapto."

"Iya, ibu sudah tau, barusan nak Sapto menelpon."

"Harusnya dia menjadi isteri Bayu," kata pak Marsudi.

"Sssssh...!" Bu Marsudi meletakkan jari telunjuknya di bibir, pertanda melarang suaminya melanjutkn kata-katanya.

Pak Marsudi berdiri dan pergi kebelakang dengan bersungut-sungut.

"Teh hangat sudah ada dimeja pak," kata bu Marsudi agak keras tanpa beranjak dari tempat duduknya, karena Bayu masih terbaring dipangkuannya dan enggan ditinggalkannya.

***

Malam baru saja turun, temaram senja telah hilang, meninggalkan kegelapan yang senyap. Timan duduk diteras rumhahnya. Didepannya tampak gelas kosong bekas wedang jahe yang habis diminumnya. Rengginang setoples juga tinggal separo. Demikianlah malam demi malam dilalui Timan dengan sepi yang terkadang menyengat, sejak kedua orang tuanya meninggal tuga tahun silam. Timan menyesal tak bisa memenuhi keinginan mereka untuk memberikan seorang cucupun ketika mereka masih bersamanya. Tapi bagaimana lagi, jodoh itu belum juga ditemukan. Ketika cinta hampir kuncup, tiba-tiba disadarinya bahwa mimpinya terbatas hanyalah mimpi, karena gadis yang dicintainya ternyata mencintai laki-laki lain. Tapi Timan tak pernah merasa sakit hati. Kedewasaan membuatnya lebih bisa mengendapkan rasa dan gejolak yang terkadang memprakpandakan hatinya. Timan bahagia ketika Lastri mencintai laki-laki yang baik, yang mencintainya dengan sepenuh jiwa dan raga. 

Timan teringat ketika pada suatu hari bertemu Bayu,  didepan sebuah toko. Entah belanja apa, Bayu tampak letih dan tak bersemangat. Timan hampir tak mengenalinya kalau Bayu tidak menyapanya. Rambutnya sedikit gondrong, cambang hampir memenuhi seluruh wajahnya.

"Mas Bayu, apa-apaan mas Bayu ini?"

"Apa kabar mas Timan?" sapa Bayu tanpa memperdulikan reaksi Timan ketika memandangi wajahnya.

"Baik mas Bayu, tapi.. saya hampir tak mengenali mas Bayu. Mengapa berpenampilan seperti ini?"

"Bukankah saya ganteng?" canda Bayu sambil tertawa.

"Iya sih, gantengnya tetap, tapi...."

"Tapi apa mas ?"

"Sedikit serem."

Lalu keduanya terbahak bahak.

Sekarang Tiamn melamun sendirian didepan rumah. Akhir-akhir ini Bayu jarang datang. Barangkali karena dirumah ini tak juga ditemukannya berita tentang Lastri.

Tiba-tiba Timan teringat pick up kuning itu.

"Mengapa aku tertarik pada colt kuning itu? Apa karena ada tulisan Lastri dipintunya? Tapi pengemudi pick up itu sungguh keterlaluan. Aku  memintanya berhenti,mengapa tidak mau, malah menghilang entah kemana, gumam Timan kesal.

Tiba-tiba juga Timan ingin menelpon Bayu, dan ingin berbincang tentang colt kuning itu. Mungkinkah Bayu akan tertarik? Diputarnya nomor Bayu.

 ***

Ketika ponselnya berdering itu, Bayu masih berbaring dipangkuan ibunya, barangkali juga ketiduraan karena sudah lama dia berbaring dan posisinya tidak juga berubah.  Bu Marsudi mengambil ponsel itu dan membaca pengirimnya.

"Dari nak Timan .. Bayu, apa kamu mau menerimanya?"

Bayu menggeleng lemah. Bu Marsudi terpaksa menerimanya.

"Hallo,"

"Lho, ini ibu? Mas Bayu ada bu?"

"Ada sih nak, tapi sepertinya agak kurang enak badan. Dari tadi maunya tidur melulu."

"Sakit bu? Kalau begitu biar saya kesitu ya bu."

"Bayu, nak Timan  mau kesini. Kamu tidur dikamar saja yuk, biar lebih enak. Ibu mau melayani bapak dulu.

Bayu tak mnjawab. Bu Marsudi mengambil bantal sofa dan meletakkan kepala Bayu disitu. 

Bu Marsudi mendekati suaminya yang sudah menghabiskan tehnya dan makan beberapa cemilan yang dihidangkannya.

"Pak, ibu kok khawatir pada keadaan Bayu."

"Memangnya dia kenapa?"

"Sejak pulang dari bekerja tadi kok langsung tiduran disana dan kelihatannya badannya lemas. Ibu suruh pindah kekamarnya dia menggeleng."

"Apa dia sakit? Badannya panas?"

"Nggak panas pak, keringatan malah. Tapi kok kayak lemas begitu."

"Dibawa kerumah sakit saja apa gimana?" tanya pak Marsudi khawatir.

"Coba bapak tanya, apa yang dirasakannya."

Pak Marsudi mendekati Bayu yang masih berbaring dan memejamkan mata. Ia memegang kening anaknya.

"Bayu, kamu sakit?"

Bayu tak menjawab.

"Sudah makan kamu?"

"Tadi siang malah nggak makan dirumah, jangan-jangan dikantor juga nggak makan dia," ujar bu Marsudi.

"Makan ya le?"

Bayu menggeleng.

"Panggil Darmo bu, supaya dia bisa membantu membawa Bayu kerumah sakit," kata pak Marsudi.

Bu Marsudi mengambil ponselnya. Tapi tiba-tiba didengarnya ketukan di pintu.

"Itu pasti nak Timan," kata bu Marsudi yang langsung melangkah kedepan.

"Selamat malam bu," sapa tamu itu yang memang Timan adanya.

"Malam nak. Itu Bayu tiduran disitu. Badannya kok lemas begitu, seperti tak bertenaga," kata bu Marsudi sambil mengajak Timan masuk.

Timan mengikuti bu Marsudi, dan meletakkan sebuah bungkusan berisi jeruk segar dimeja didekat Bayu berbaring.

"Mas Bayu, sakit apa ?"

"Kita mau membawanya ke rumah sakit saja. Baru mau memanggil Darmo untuk membantu. Badan segede itu mana bapak sama ibunya kuat menggendong, orang dianya lemas begitu," kata pak Marsudi."

"Biar saya saja yang menggendong pak," kata Timan mendekati Bayu.

Pak Marsudi kedepan mempersiapkan mobil, sedangkan bu Marsudi kekamar untuk berganti baju.

"Mas Bayu, kita kerumah sakit ya?" bisik Timan.

Bayu membuka matanya begitu mendengar suara Timan.

"Kerumah sakit ya, mari saya bantu."

Tapi Bayu menggelengkan kepalanya.

"Jangan, biar begini saja," kata Bayu lemah. 

"Jangan begitu mas Bayu, bapak dan ibu sangat khawatir. Ayo semangat mas, nanti kalau Lastri kembali pasti sedih melihat mas Bayu seperti ini," buuk Timan.

"Lastri.. tak akan kembali.." lemah Bayu berujar.

"Jangan patah semangat, Oh ya, dengar mas, tadi saya melihat sebuah colt kuning, yang pintunya bertuliskan LASTRI."

Bayu membuka matanya.

"Mana Lastri?"

"Saya belum berhasil bertemu pemilik mobil ibu.  Tapi besok saya akan memburunya. Siapa tau ada hubungannya dengan Lastri."

"Benarkah?"

"Nggak tau mas, saya kok merasa bahwa Lastri sudah dekat dengan kita," kata Timan memberi semangat.

Bu Marsudi sudah selesai berganti pakaian.

"Bagaimana Yu, ayo kerumah sakit, bapak sudah menunggu didepan," kata bu Marsudi.

"Aku hanya mau Lastri," bisiknya pelan sambil bangkit.

"Aku berjanji akan memburu Lastri. Tapi mas Bayu harus tetap semangat dan sembuh," kata Timan lagi.

"Saya gendong?" kata Timan sambil membungkuk.

Bayu menggeleng. Ia mencoba berdiri tapi badannya terhuyung. Timan menangkapnya kemudian memapahnya ke mobil.

Disepanjang perjalanan kerumah sakit itu Timan berfikir, bagaimana kalau Lastri si pemilik pick up itu bukan Lastri yang dicarinya? Timan menghela nafas, yang penting Bayu mau dibawa kerumah sakit.

***

Pagi itu Timan berdiri didepan pasar. Ia tau bahwa pemasok sayur dan buah itu akan datang setiap hari. Ia harus bertanya, siapakah Lastri sang pengirim sayur, adakah hubungannya dengan pick up kuning telur yang dilihatnya?

Bayu terbaring dirumah sakit, dokter mengatakan bahwa penyakitnya lumayan parah. Tekanan darah rendah sekali, hb nya juga sangat rendah.

Timan tak memperdulikan dagangan buahnya. LASTRI yang terkenal dipasar itu siapa, dan pemilik pick up kiuninh telur itu juga siapa. Keterangannya ditunggu Bayu, dan itu adalah janjinya. Bagaimana kalau itu Lastri yang lain?

Timan tak beranjak dari depan pasar, berdiri diantara lalu lalang pedagang yang baru datang dan para pembelanja yang mulai berdatangan.

Mana pengirim sayur itu? Apakah perempuan yang pernah dilihatnya sedikit gemuk tapi manis? Apakah dia bernama Lastri ? Dari tak perduli akan nama itu, kemudian Timan menjadi sangat bersemangat untuk bertanya-tanya. Mudah-mudahan perempuan itu datang. Tapi tiba-tiba...

"Haa.. itu pick up yang kemarin !!" seru Timan sambil berjalan mendekat.Pick up kuning itu berhenti, seorang laki-laki menurunlkan keranjang keranjang berisi kubis dan bayam.

Laki-laki itu segera mengusung keranjang kedalam. Timan mencari sopirnya. Sopir, mana sopir? Aduh, baru saja datang sudah menghilang? Ya ampun, ternyata sang pengemudi pick up itu sedang duduk didepan penjual wedang.

Timan mendekat.

"Mas, kemarin kita ketemu di POM kan ?"

Pengemudi itu menatap Timan, seperti meng ingat-ingat.

"Saya panggil sampeyan, tapi nggak mau berhenti."

"Oh, itu ? Iya ma'af mas, kemarin saya mendapat tugas menagih, orang itu bilang harus segera datang karena keburu mau pergi. Jadi saya terburu-buru,"

"Oh, gitu ya?"

"Ada apa ya mas ?"

"Mau tanya mas, pengusaha sayur ini siapa ya?"

"Ini? Pak lurah mas."

"Pak lurah ?"

"Iya, tapi yang mengatur semuanya mbak Lastri."

Timan berdebar-debar.

"Lastri itu yang suka mengirim kemari ya?"

 "Iya mas, dulu, waktu mobilnya masih satu, dan saya belum bekerja disana."

 "Orangnya hitam manis, sedikit gemuk tapi manis?"

"Oh, bukan mas, itu sekarang menjadi isteri pak lurah. Lastri itu orangnya cantik, kulitnya putih, tinggi semampai, baik hati. Pokoknya gini mas," katanya sambil mengacungkan jempolnya.

"Dari mana sayur ini dikirim?"

"Dari Sarangan mas."

Timan hampir melonjak kegirangan.

***

besok lagi ya

 

 

 


Friday, February 21, 2020

LASTRI 31

LASTRI  31

(Tien Kumalasari)

 

Hati Lastri terasa teriris, sudah lebih setengah tahun lalu ada iklan ini. Pasti Bayu yang memasangnya. Ia tak pernah membaca koran, tentu saja tak membaca iklan ini. Lagipula kalau Bayu memintanya pulang, apakah dia juga akan menurutinya? Tidak, ayahnya membenci dia, merendahkan dia, kalau dia kembali pasti akan menjadi bahan umpatan pak Marsudi. Toh dia mendengar sendiri bahwa pak Marsudi ingin agar dia pergi.

"Ma'af mas Bayu, ma'af ya...,Walau tak bia memiliki, aku akan tetap mencintai kamu, kamu tak tergantikan mas, aku cinta kamu," isaknya perlahan. Bergulir air matanya, tak mampu ditahannya.

Itu sudah lama sekali. Barangkali sekarang Bayu sudah menemukan gadis lain yang lebih cantik, berpendidikan, berkedudukan dan tentu saja kaya.Hal-hal yang juga dimiliki keluarga Marsudi.

Lastri mengusap air matanya dan kembali menyapu wajahnya dengan bedak. Marni tak boleh melihat dia menangis. Bekas tangis itu harus sudah lenyap.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

Lastri melihat wajahnya sekali lagi di cermin. Mata merah sudah tak tampak, tapi sedikit sembab, tak apa. Lastri kemudian bergegas keluar. Dilihatnya lurah Mardi berdiri didepan pintu.

"Haa, Lastri, cantik benar kamu," seru Mardi sambil terus menatap wajah Lastri.

"Kenapa kemari kang? Bukankah kamu mau melamar yu Marni?"

"Iya, tapi aku minta kamu menjadi bagian dari keluargaku, jadi aku samperin kamu. Tuh, ada ibu dan beberapa saudara di mobil."

"Aduh kang, nggak enak aku, biar aku berangkat sendiri saja."

"Jangan Tri, kamu kan bagian dari keluargaku, jadi harus berangkat bersamaku."

Lastri tak bisa menolak, ia pakai sepatunya dan mengambil tas kecil yang kemudian diikatkan dibahunya.

"Kamu habis menangis?" tiba-tiba kata Mardi.

"Enggak.. eh.. keliatan seperti itu ya?"

"Kelihatan dong."

"Tapi aku tadi mengantuk sekali, tak heran mataku merah."

"Benarkah? Biasanya kalau lagi rindu kamu pasti menangis," goda Mardi.

"Bisa aja sih," jawab Lastri tersipu.

Lastri berjalan mengikuti Mardi ke mobil yang berhenti didepan rumahnya. 

"Kamu didepan sama aku Lastri," kata Mardi sambil membukakan pintu depan.

Lastri masuk kedalam, lalu mengangguk kepada beberapa saudara Mardi yang duduk dibelakang.

"Ibu, ma'af saya didepan ya," sapa Lastri.

"Lastri, kamu cantik sekali,"puji bu lurah.

"Ah, ibu bisa aja, nanti calon menantu ibu pasti juga jauh lebih cantik lho."

"Benarkah ?"

"Benar bu. Ya kan kang?"

"Iya benar bu," jawab Mardi yang kemudian disambut ketawa oleh saudara-saudaranya dibelakang.

Mardi memacu mobilnya, karena Marni sudah mengontak bahwa mereka sedang ditunggu.

Acara lamaran itu berjalan lancar. Lastri merasa lega karena akhirnya Marni akan segera menjadi isteri lurah Mardi. Marni lega karena Mardi memenuhi janjinya. Tiga bulan lagi mereka menikah.

Begitu membahagiakan.

***

Hari itu Marni dan Lastri tetap mengantarkan dagangannya kekota. Kemarin salah seorang pelanggannya di pasar menanyakan, apakah Lastri mau mengirim dagangannya ke Solo?

"Gimana Tri, harus bisa ya, namanya cari uang, biar keujung dunia juga harus kita kejar."

Mendengar nama kota itu hati Lastri bergetar. Kekasih hatinya ada disana.

"Mengapa kamu tampak ragu ? Kamu takut ketemu kekasihmu> Kalau aku sih malah kebetulan, bisa melepas rindu dong !"

"Ah, kamu yu, kamu itu nggak tau ya, kalau aku melarikan diri dari dia?  Ya pastilah aku enggan ketemu. Apalagi aku juga belum tau keadaannya seperti apa. Siapa tau dia sudah punya isteri. .Aku sudah lama meninggalkannya, hampir setahun yu."

"Tapi kamu ya nggak usah ketakutan begitu lah, Solo itu kan luas, penduduknya juga banyak, apa kalau ke Solo lalu pasti bisa ketemu?"

"Nggak juga, lagian alamat yang diberikan itu jauh dari rumahnya."

"Ya sudah, aku jawab pesannya bahwa kita bersedia ya? Ini kesempatan untuk mengembangkan sayap. Lebih banyak pelanggan kan lebih banyak peluang untuk menjual lebih banyak. Kita untung, saudara-saudara kita di desa juga senang."

"Ya sudah yu, terserah kamu saja, aku kan hanya kenek," canda Lastri.

"Oke kenek, siap ya, nggak tau apa yang dipesannya, mudah-mudahan kita siap. Kalau begitu tolong tulis nih, Ada di nomor bu Sinah."

Lastri menerima ponsel Marni dan mencari nomor yang dimaksud. Intinya adalah mereka siap merambah kota Solo.

Siang itu Marni tidak langsung pulang. Ia duduk sebentar dirumah  Lastri karena tadi membeli dawet dijalanan. Mereka asyik meminum dawet tadi setelah memberikannya sebungkus untuk mbah Kliwon.

"Minum dawet jadi kebayang kalau kamu nikah nanti yu,"kata Lastri .

"Lho, apa hubungannya dawet sama pernikahanku?"

"Kalau pengantin di Solo, ada yang namanya upacara siraman. Siraman itu penganten dimandikan, lalu ibunya pengantin perempuan  menjual dawet untuk tamu-tamunya, tapi uangnya bukan uang beneran lho yu."

"Uang palsu?"

"Uangnya pake wingka, wingka itu pecahan genting, tau kan?"

"Oh ya? Aduuh, tinggal dua bulanan lagi aku nikah, rasanya kok deg-degan ya Tri?"

"Ya nggak tau lah aku, orang aku belum pernah nikah."

"Iya bener, deg-degan aku Tri, membayangkan bagaimanaaa gitu."

"Pokoknya nanti kamu akan bahagia yu, aku juga akan ikut bahagia," kta Lastri sendu. Tak terbayang dibenaknya dia akan menikah. Tidak, menikah dengan siapa? Mimpinya tersangkut di awang sana. Jauh untuk dijangkau. Ketika hati rindu maka ia  hanya bisa melambaikan tangan kepada bintang, agar sang bintang menyampaikannya pada kekasih hati. Dan pasti ada air mata berderai, ada perih merebak didada.  Hm, romantis yang memilukan.

***

Bu Marsudi kesal melihat penampilan Bayu. Sudah berbulan bulan dibiarkannya wajahnya bercambang. Menurut bu Marsudi, itu buruk sekali, kelihatan dekil dan tak terawat. Rambutnya juga jarang dicukur. Ia melakukannya kalau ibunya menegur, tapi hanya rambutnya, cambangnya dibiarkan lebat, hampir menutupi seluruh wajahnya.

"Nggak apa-apa bu,  Bayu masih ganteng kok."

"Ganteng apanya. Lebih ganteng kalau wajah kamu itu bersih. Terkadang ibu pangling melihat wajah kamu. Benarkah kamu anakku, atau anak orang lain?"

Bayu tertawa. Ia memang malas mengurus rambutnya, wajahnya. Baginya semangat untuk melakukan apapun itu sudah tak ada. Dunia begitu suram, hatinya selalu muram.

"Nanti kalau tiba-tiba ketemu Lastri, pasti dia tak mau kamu dekati," goda bu Marsudi.

"Nggak mungkin bu, kan baunya lain?"

"Baunya kamu itu juga asem, so'alnya kamu juga jarang mandi. Kalau bukan mau berangkat kerja, malas mandi. Benar lho Yu, Lastri tak akan mau kenal sama kamu."

Bayu menghela nafas berat.

"Kapankah Bayu bisa ketemu Lastri? Hampir setahun dia menghilang, dan tak perduli lagi sama Bayu," kata Bayu sendu.

"Jangan putus asa, biar sepuluh tahun, kalau memang dia jodohmu, pasti akan ketemu," hibur ibunya.

"Kalau sepuluh tahun lagi, bukankah aku sudah tua bu?"

"Teruslah berharap Yu, dan berdo'a, ibu akan membantumu."

"Terimakasih bu, ibu selalu mendukung Bayu."

"Kalau kamu sedih ibu juga sedih. Jadi jangan patah semangat, ya."

Bayu memeluk ibunya erat.

"Bayu rindu sekali bu," rintihnya dibahu ibunya.

"Sabar Yu, Lastrimu pasti akan kembali."

***

Sudah hampir sebulan Timan mendengar hal yang mengherankannya. Para penjual sayur bilang bahwa sekarang lebih suka mengambil sayur dari seorang pengusaha bernama Lastri.  Tapi ketka Timan melihat seorang wanita yang mengirim sayuran itu, ternyata bukan Lastri yang dikenalnya. Memangnya cuma satu nama Lastri didunia ini? Kemudian Timan tak perduli.

Lastri sebenarnya segan, karena bukan hanya kerabat yu Sinah yang minta dikirim, tapi juga temannya lagi yang berjualan di Pasar Gede. Ia sangat mengenal pasar itu karena ada mas Timan yang sangat dikenalnya. Kalau dia tau bahwa pengirim sayur itu dirinya, maka pasti dia akan mengatakannya pada Bayu. Hal yang sangat ditakutinya. Tapi karena Marni bersedia, maka Lastri menyerah, dengan janji, Lastri tak mau turun kepasar itu. 

Sudah sebulan dilakoninya mengirim ke Pasar Gede, dan tak pernah sekalipun Lastri turun untuk mengurusnya.

***

"Hm, curang kamu Tri." kata Marni pada suatu siang dirumah Lastri.

"Aku kan sudah bilang bahwa aku tak mau kesitu."

"Penjual sayur mana sih yang namanya Timan?"

"Dia nggak jualan sayur, tapi buah. Tapi jangan sekali-sekali kamu menawari dia. Bisa kacau semuanya."

"Baiklah, baiklah. Tapi sekarang aku mau ngomong. Kalau begini caranya, tidak akan terkejar semua langganan kita. Semua minta pagi, jangkauannya jauh semua, mana mungkin?"

"Aku jua sedang memikirkan itu. Lalu apa yang harus kita lakukan? Hentikan saja pengiriman ke Solo."

"Jangan Tri, sayang kalau dihentikan."

"Lalu bagaimana? Kita sudah berkali-kali ditegur langganan karena mengirim kesiangan." 

"Harus ada satu mobil lagi, Dan kamu yang harus membawanya."

"Apa? Aku menyetir ?Tidak yu, aku tidak berani."

"Kamu harus belajar, masa sih, aku bisa kok kamu tidak bisa?"

"Ngeri aku, jalanan begitu ramai."

"Mulai besok sepulang dari bekerja aku akan mengajari kamu."

"Tunggu dulu, mengenai tambahan mobil itu kan harus segera, mana bisa menunggu aku bisa menyetir? Ayo cari mobil lagi, nggak usah baru, yang penting bagus, dan terjangkau oleh kita. Lalu kita cari sopir."

"Nanti aku bicara sama mas Mardi."

"Nanti kita hitung uang kita, kalau perlu kredit mobil."

"Jangan berhutang lagi, kalau mau berhutang, sama aku saja atau mas Mardi."

"Aduh, aku sungkan. Kalau begitu cari mobil seharga uang kita. "

" Kamu itu diamlah, biar aku yang mengurusnya."

***

Waktu terus berjalan. Lastri benar-benar menjadi pengusaha yang berhasil. Marni sudah menikah, dan berbahagia. Ada dua  mobil pengirim buah dan sayur dengan warna yang sama, dan tulisan yang sama dikedua pintunya. LASTRI. Lastri sudah menolaknya, tapi Mardi dan Marni tak menggubrisnya. Katanya nama Lastri ternyata membawa berkah. Aduhai, Lastri merasa lucu mendengar alasan mereka. Tapi sekarang pengemudi mobil itu adalah benar-benar sopir, bukan Lastri ataupun Marni. 

Lastri dan Marni hanya duduk manis dirumah dan ada orang kepercayaan yang bisa menyelesaikan semuanya.Tapi Lastri tidak berdiam diri. Ia berbincang dengan Mardi mengenai dusun mereka yang tertinggal.  Beberapa orang dusun yang semula meganggur, harus dipekerjakan.. Anak-anak yang tidak sekolah, dipaksanya agar sekolah. Dusun itu harus maju, bukan karena terpencil lalu menjadi  terbelakang, Mardi berterimakasih karena usulan-usulan  Lastri sangat membantu. Dan ternyata kemajuan dusun itu juga menjadi perhatian pemerintah. Jalan mulai diperbaiki, pendidikan diperhatikan dengan didirikannya sekolah-sekolah. Tapi Lastri enggan kalau itu dikaitkan dengan dirinya. Lastri hanya memberi masukan dan Mardi yang melaksanakannya. Kalau ada lurah teladan yang berhasil membangkitkan desanya menjadi desa yang bermartabat, maka dia adalah  lurah Sumardi. 

"Jangan ada nama Lastri, kalau kang Mardi melakukannya maka aku akan pergi dari sini," ancam Lastri.

Tak perlu ada sanjungan, tak perlu ada ukiran nama tertulis disana, karena pengabdian adalah perbuatan mulia yang tak berharap balas. Kepuasan batin lebih berharga daripada kepuasan lahiriah karena dipuja dimana-mana. Lastri adalah Lastri, gadis dusun sederhana, yang tak punya pangkat dan derajat, yang tersingkir karena merasa dihujat. Tapi Lastri memiliki sejagat minat, sejagat hasrat dan memiliki sejagat berkat, dengan menyaksikan mimpinya menjadi nyata.

***

Sore itu Timan baru saja mengambil dagangan di Tawangmangu. Ia singgah disebuah Pom Bensin untuk mengisi bahan bakar.

Antrian sangat panjang dan panas terasa menyengat hari itu. Timan membuka kaca mobilnya dan melihat kesekeliling. Ia ingin membeli sebotol air mineral karena bekal minum yang tadi dibawanya telah habis diperjalanan. Tiba-tiba kira-kira tiga atau empat mobil dibelakangnya dilihatnya sebuah mobil colt terbuka yang menurutnya menarik. Warna mobil itu kuning telur, pintunya ada lukisan bunga-bunga dan ada tulisan besar, LASTRI.

Timan melongok kebelakang, benarkah apa yang dibacanya? Walau banyak nama Lastri didunia ini, tapi entah mengapa Timan tertarik untuk mengetahui siapa pemilik mobil itu. 

Begitu selesai mengisi bahan bakar. Timan menunggu sampai mobil bertulisan LASTRI itu lewat disampingnya. Timan memarkir mobilnya agak ketemu dan terus mengawasinya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

:

 

 

 

 

 

 

 


M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...