Monday, August 31, 2020

BUAH HATIKU 28

 BUAH HATIKU  28

(Tien Kumalasari)


Surti tertegun.  Tapi kemudian kakinya gemetar.  Bibirnya bergetar, tubuhnya bergetar. Ingin berteriak tapi tak mampu mengeluarkan suara.

“Surti, aku minta ma’af..  aku minta ma’af ya..” laki-laki itu  berkata. Surti tak mau menatapnya. Sekilas dia sudah tahu siapa dia, dan rasa jijik mnggumpal di kerongkongannya. Ingin ia muntah,  ingin ia meludahi wajah laki-laki jahanam itu.

Tapi Surti tetap tak bisa berkata-kata, wajahnya pucat,  air mata mengambang dipelupuknya. Laki-laki itu tiba-tiba ingin turun dari motornya, tapi dilihatnya sebuah sepeda motor menuju kearahnya. Ia segera menstarter motornya dan kabur dengan secepat kilat.

Tikno turun dari sepeda motor, bingung apa yang terjadi. Dilihatnya Surti limbung, berpegang pada jeruji pagar. Tikno yang ingin mengejar laki-laki itu mengurungkan niatnya.  Ia menghampiri isterinya yang kemudian terkulai pingsan.

***

Pak Mul yang tak kalah bingung hanya mondar mandir didalam kamar, dimana Surti terbaring dengan mata tertutup.

“Ada apa sebenarnya? Siapa laki-laki itu? Apa dia yang datang beberapa hari yang lalu dan menanyakan ini rumah siapa? Ada apa? Apa maksudnya?”

“Bapak duduk saja dan tenang ya, tidak terjadi apa-apa. Biarkan Surti tersadar lebih dulu,” kata Tikno sambil menggosok-gosok tangan dan kaki Surti dengan minyak hangat, dan sesekali menciumkannya dihidung .

“Surti..  bangun Surti...”

Tikno menepuk-nepuk pipi Surti.

Pak Mul walau mau disuruh duduk, tapi kegelisahan masih tampak pada wajahnya. Siapa laki-laki itu? Mau merampok atau mencuri? Mengapa sasarannya dirumah kecil sederhana yang mungkin saja tak banyak memiliki barang berharga ?

“Mas...” tiba-tiba didengarnya Surti mengeluh. Pak Mul berdiri disamping Tikno yang masih saja mengelus tangan isterinya.

“Tenang Surti, kamu tidak apa-apa.. tenang ya.”

Tikno mengambilkan minum, lalu mengangkat kepala Surti untuk disuruhnya minum.

Surti memejamkan matanya. Bibirnya bergumam lirih.

“Untung mas segera datang..”

“Ada apa to nduk...?” tanya pak Mul yang masih saja merasa cemas..

“Orang.. jahat.. aku.. takut...”

“Tenang Surti, kamu tidak apa-apa.. orang jahat itu sudah pergi..”

“Apa dia mau merampok ?” tanya pak Mul.

“Mungkin bapak,” kata Tikno yang tiba-tiba merasa khawatir, karena lambat laun rahasia yang disimpannya rapat akhirnya akan tercium juga oleh mertuanya.

“Mengapa rumah sederhana seperti ini diincar pencuri? “

“Mungkin karena melihat Surti sendirian.”

‘Ya sudah nduk, tidak terjadi apa-apa, kok nak Tikno seperti merasa bahwa akan ada bahaya, sehingga memasang pagar besi dengan gembok besar disana.”

“Mari bapak, kita keluar dulu saja, biar Surti merasa tenang, “ ujar Tikno sambil menggandeng tangan mertuauya.

“Mas...” panggil Surti. Tikno berbalik dan mendekati Surti.

“Ada apa ? Apa dia mengatakan sesuatu?” tanya Tikno dengan berbisik, takut mertuanya mendengar.

Surti menggeleng.

“Dia hanya bilang minta ma’af.. aku jijik melihat wajahnya.. aku ketakutan mas..”

“Kamu sudah aman disini, aku akan melaporkannya pada polisi. Dia buronan dari napi yang kabur beberapa minggu yang lalu. Tenang ya, kalau kamu tidak kemana-mana sendirian, kamu akan aman. Semoga polisi segera bisa menangkapnya.”

Surti mengangguk.

***

“Ada apa mas Tikno?” tanya Indra ketika Tikno menelpon malam itu.

“Orang gila itu sekarang berkeliaran dengan sepeda motor. Saya sudah melaporkannya pada polisi.”

“Mas Tikno melihatnya dimana?”

“Tampaknya dia sudah tahu dimana Surti tinggal. Dua kali dia menyatroni rumah saya pak.”

“Darimana dia tahu rumah mas Tikno?”

“Itulah yang saya tidak mengerti pak Indra. Yang pertama Cuma ketemu bapak, tapi menanyakan rumah ini rumah siapa.  Saya sampai membuat pagar besi dan membelikan gembok besar agar tak mudah orang memasukinya. Tapi tadi dia datang lagi ketika Surti sedang ada didepan pagar, sedangkan saya dan bapak pergi membeli cat untuk pagar itu. Surti sampai pingsan ketakutan.”

“Jadi mas Tikno melihatnya?”

“Ya, tapi begitu saya datang dia kabur. Saya ingin mengejar tapi melihat Surti sudah limbung, dan jatuh pingsan begitu saya ada didekatnya.”

“Heran saya, dia bisa tahu dimana Surti berada.”

“Rupanya memang dia benar-benar penjahat yang tahu caranya menemukan sesuatu dan faham caranya kabur dari kejaran polisi.”

“Ya sudah mas, mulai sekarang harus benar-benar bisa menjaga Surti.  Jangan biarkan dia pergi kemana mana tanpa seorangpun yang menemaninya.”

“Ya pak, yang saya bingung, kalau nanti bapak bertanya siapa dia dan mengapa mengejar Surti.  Rahasia itu pasti akan terungkap.”

“Begini saja mas, daripada suatu hari tiba-tiba pak Mul tahu dan terkejut karena tidak menduganya, lebih baik mas ceritakan semuanya pelan-pelan. Toh semuanya sudah berlalu dan Surti sudah punya pelindung yang handal, yaitu mas Tikno. Pak Mul pasti tak akan begitu sedih.”

“Akan saya coba pak Indra. Terimakasih banyak.”

***

Malam itu Tikno mengajak pak Mul duduk-duduk diteras. Tikno tau bahwa pak Mul masih dipenuhi tanda tanya oleh kedatangan laki-laki misterius yang membuat Surti pingsan. Ia sedang menata kata-kata tentang kejadian yang dialami Surti beberapa bulan lalu, agar pak Mul tidak terlalu panik.

“Surti tidak apa-apa?” tanya pak Mul.

“Sudah lebih tenang pak. Dia hanya ketakutan karena sedang sendirian dirumah, tiba-tiba ada laki-laki asing yang mendekatinya.”

“Kalau itu laki-laki yang sama dengan yang ketemu aku beberapa hari yang lalu,  lalu apa sebenarnya maksudnya? Kalau ingin merampok atau mencuri, mengapa harus kedalam rumah yang sederhana dan diragukan apakah memiliki benda  berharga yang tersimpan.”

“Entah apa maksudnya bapak, tapi saya sudah melaporkannya kepada polisi. Saya berharap sekitar rumah ini akan terus diawasi.”

“Saya heran, Surti sampai pingsan begitu, apa dia mengancamnya?”

Tikno ingin sekali segera mengatakan tentang kejadian itu, tapi lagi-lagi ia kesulitan mengawali kata-katanya.

“Sesungguhnya Surti itu kan penakut, pak,”  kata Tikno sekenanya.

“Dulu waktu masih kecil dia pemberani lho..  ketika ada topeng monyet, anak-anak kecil pada takut, dia malah  mendekat dan memegang-megang monyetnya.”

“Oh ya pak?” lalu Tikno tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Mungkin besok, kalau ada waktu,  ia harus berhati-hati, menghadapi orang tua yang pastinya sangat rapuh.

“Bapak kalau ingin jalan-jalan ajak Surti ya? Supaya bapak ada temannya, dan Surti juga tidak sendirian dirumah.”

“Ya nak, dan menggembok pagar itu sangat penting.”

Tikno  mengangguk, lalu bangkit berdiri, mengajak mertuanya masuk kerumah.

“Sudah malam, bapak harus beristirahat, ya.”

***

“Tidurlah Surti, kok nggak tidur-tidur juga?”

“Mas, bagaimana kalau dia datang lagi ?”

“Aku sudah melapor ke polisi, rumah ini akan diawasi. Kalau ada orang mencurigakan pasti ditangkap. Jadi kamu tenang ya?”

“Apa yang bapak pikirkan mas? Lama-lama rahasia itu pasti akan terungkap. Aku tak ingin bapak bersedih.”

“Aku akan mengatakannya terus terang.”

“Mas akan mengatakannya?”

“Daripada dia mendengar dari orang lain, aku akan mengatakannya pelan-pelan dan hati-hati. Sedianya tadi, ketika sedang duduk berdua diteras, tapi aku kok belum menemukan kata yang pas untuk mengawalinya. “

Surti menghela nafas. Bapak pasti sedih.

“Bapak tidak akan sedih kalau kamu hidup bahagia disamping aku. Apa kamu bahagia?”

“Aku bahagia menemukanmu mas, aku merasa hidup kembali.”

Tikno memeluk isterinya.

“Jadi kamu harus kuat, demi anak kita yang ada didalam kandungan kamu.”

Surti merasa tenang dalam dekapan suaminya. Ia memejamkan matanya dan terlelap tak lama kemudian.

***

Pagi hari itu tiba-tiba Seruni datang dengan mengajak bayinya. Ia juga membawa mbak Darmi. Indra menurunkan mereka sebelum masuk kekantor.

“Kok pagarnya digembok ya ?” seru Seruni sambil memukul-mukul pintu besinya.

“Apa mereka pergi ya bu?” tanya mbak Darmi.

“Surtiiii !! Surtiii!!”

Tak lama kemudian pak Mul muncul dan mengambil kunci serta mendekati pintu dengan tergopoh-gopoh.

“Surtiii, ada bu Indra tuh,” teriaknya sambil  bergegas kedepan.

“Ternyata bu Indra.”

“Sekarang pintunya digembok ya pak Mul?”

“Iya bu, sejak ada laki-laki aneh yang tampaknya berniat jahat,” kata pak Mul yang sudah berhasil membuka gembok dan mempersilahkan  masuk, tapi kembali menggembok pagarnya, seperti pesan Tikno setiap kali mau berangkat bekerja.

Surti berdiri di teras, lalu turun menyambut bekas majikannya dengan wajah berseri.

“Bu Indra, sama siapa ?”

“Tadi bareng sama mas Indra, kangen sama kamu.”

“Saya juga kangen. Ayo silahkan masuk bu Indra.”

Seruni duduk, mengamati wajah Surti yang sedikit pucat. Indra sudah mengatakan apa yang terjadi sehingga membuat Surti pingsan.

“Kamu baik-baik saja kan Surti?”

“Iya bu. Cuma kemarin itu sempat ketakutan .”

“Saya heran dia bisa tahu tempat ini.”

“Itulah bu Indra, saya jadi terkejut dan cemas.”

“Kamu harus hati-hati. Ooh, itu sebabnya mas Tikno menggembok  pagarnya ya?”

“Iya bu. Langsung membuat pagar besi kemarin itu.”

“Bagus Surti, dan kamu jangan sampai keluar rumah sendiri. Bahkan mendekati pagar sendiripun jangan pernah.”

“Iya bu..”

“Kandungan kamu sudah semakin besar ya Sur, kata dokter Melani bagaimana? Kapan kira-kira melahirkan?”

“Kira-kira tiga bulan lagi bu..”

“Hati-hati menjaga kandungan kamu ya Sur, dan ingat, suasana hati kamu berpengaruh pada bayi yang kamu kandung, jadi jangan sedih, jangan cemas.”

“Iya.. oh ya, sebentar saya akan buatkan minum dulu.”

“Ini, sudah bapak buatkan Surti,” kata pak Mul tiba-tiba sambil membawa nampan berisi beberapa cawan teh hangat.

“Lho... pak Mul kok tiba-tiba sudah membuat minum.. terimakasih ya pak Mul.”

“Sudah biasa membuat minum, jadi ya tidak apa-apa, bu Indra. Silahkan, mbak Darmi juga. Duuh.. ini putranya tidur nyenyak sekali. Namanya siapa bu Indra?”

“Namanya Nayaka, pak Mul..”

“Wah, nama yang bagus. Artinya seorang pemimpin prajurit. Hebat.. pas dengan wajahnya yang ganteng seperti mas Indra.”

“Terimakasih pak Mul.”

“Lama tidak ketemu, tahu-tahu mas Naya sudah besar ya?” kata Surti sambil mengambil Naya dari gendongan Darmi.

“Hm.. benar-benar ganteng. Bu Indra, silahkan diminum, mbak Darmi juga..”

“Iya Surti. Itu tadi mbak Darmi membawa buah-buahan untuk kamu Surti, banyak makan sayur dan buah supaya kamu dan bayi kamu sehat.”

“Terimkasih  bu Indra.”

“Saya mau menyiram tanaman dulu bu Indra, kemarin terlupa.”

“Iya pak Mul, kasihan tanamannya, udara panas begini.”

“Saya senang bu Indra datang, apalagi bersama mas Naya ini. Saya benar-benar terhibur, seperti terlepas beban saya.”

“Surti, kamu bersama mas Tikno yang sangat melindungi kamu, rasanya tak ada yang harus kamu khawatirkan.”

“Iya bu Indra.”

“Apa pak Mul sudah diberi tahu tentang peristiwa itu?”

“Tidak.. eh.. belum. Mas Tikno juga merasa bahwa lebih baik bapak diberi tahu, tapi belum punya cukup keberanian. Katanya harus menata kata-katanya supaya bapak tidak terkejut.”

“Benar Surti. Harus hati-hati, cuma saja hal itu harus dikatakannya. Karena sepintar-pintarnya menyimpan bau, akhirnya pasti juga akan tercium. Jadi lebih baik pelan-pelan dikatakan.”

“Dulu saya berfikir, setelah saya menemukan mas Tikno, semuanya akan terkubur bersama waktu. Tapi ternyata dia muncul dan membuat hati saya resah.”

“Tapi belum tentu juga dia ingin berbuat jahat sama kamu. Siapa tahu dia hanya ingin meminta ma’af.”

“Benar bu, dia memang mengucapkan itu, tapi saya tidak sudi menatap wajahnya. Mungkin ketika itu dia akan mendekati saya, kalau saja mas Tikno tidak keburu datang.”

“Semoga semuanya akan baik-baik ya Surti.”

“Aamiin, terimakasih bu Indra. Oh ya, apakah bu Pras sudah kembali ke Surabaya?”

“Sudah Sur, sebenarnya sih ibu bilang berat, tapi kasihan bapak sendirian disana. Kalau pak Mul biar saja disini sampai anak kamu lahir.”

“Iya bu, senang ada bapak disini.”

***

Beberapa hari, bahkan bulan telah berlalu, tak ada tanda-tanda laki-laki itu berkeliaran disekitar rumah Tikno. Mungkin ia sudah merasa cukup ketika mengucapkan ‘ma’af’, atau mungkin karena sering kali beberapa polisi berkeliaran didaerah itu.

Surti merasa tenang. Tapi tetap saja dia tak berani keluar rumah sendirian. Belanjapun dia harus mengajak ayahnya, dan pak Mul senang melakukannya.

“Kota Solo ini menyenangkan ya nduk.. bapak kok kerasan tinggal lama disini.”

“Itu bukan karena kotanya pak, tapi karena bapak dekat dengan Surti.”

“Oh, iya benar,” kata pak Mul sambil tertawa.

“Kemarin itu dokter bilang kandungan kamu sudah sa’atnya? “ tiba-tiba kata pak Mul.

“Iya bapak.”

“Kamu itu menikah bulan apa, kalau bapak hitung-hitung kan seperti masih dua bulanan, kok dokter bilang  bulan depan, salah hitung ‘kali?”

“Terkadang kan perhitungan dokter itu bisa meleset,” jawab Surti sekenanya.

“Maka dari itu, tapi ya tidak apa-apa, terkadang bayi lahir lebih awal.” Dan Surti merasa lega dengan jawaban ayahnya.

“Yang penting lahir sehat dan selamat,” lanjut pak Mul.

“Do’akan ya pak,” kata Surti sambil bersandar pada bahu ayahnya.

“Orang tua itu kan do’anya selalu untuk anaknya to nduk.”

“Terimakasih bapak. Tapi apakah bapak senang punya menantu seperti mas Tikno?” tiba-tiba terbersit dihati Surti untuk berterus terang saja kepada bapaknya. Tak tahan rasanya menyimpan rahasia itu terus  menerus.

“Dia itu laki-laki baik, mencintai kamu dan sangat menganggap bapak seperti orang tuanya sendiri. Bapak bahagia, dan bersyukur atas semuanya.”

“Pak, ada yang ingin Surti katakan, tapi bapak jangan marah ya?”

“Ya, katakan saja, mengapa bapak harus marah?”

“Hidup Surti ini sangat beruntung, bisa menemukan mas Tikno yang sangat mencintai Surti.”

Pak Mul mengelus kepala Surti.

“Sebenarnya Surti ingin merahasiakan semua ini pada bapak, tapi Surti tak sampai hati melakukannya. Apapun yang terjadi, bapak harus mengetahuinya.”

“Ada apa sebenarnya, bapak jadi berdebar-debar nih.”

“Tapi bapak janji ya, jangan marah, jangan terkejut, dan jangan memarahi Surti.”

“Kamu itu lho nduk, kalau mau ngomong ya ngomong saja.. jangan kelamaan.”

Surti menata batinnya. Menghembuskan nafas panjang, lalu menggenggam tangan bapaknya erat.

“Bapak ingat kejadian beberapa bulan lalu ketika Surti dirampok?”

“Ya, tentu saja bapak ingat.”

“Sebenarnya bapak ... Surti bukan hanya dirampok.”

“Apa?”

“Penjahat itu juga... memperkosa Surti pak..” kata Surti yang kali ini diselingi isak.

Pak Mul terkejut bukan alang kepalang. Dipandanginya Surti dengan tatapan iba. Bagaimana harus marah mengetahui nasib anak semata wayangnya seperti itu?.

“Kamu... kamu...”

“Tapi Tuhan mengirimkan mas Tikno untuk Surti, dan mengambil  Surti sebagai isterinya.”

“O alah nduk.. seberat  itu penderitaanmu.” Bisik pak Mul pilu.

“Bapak tidak usah bersedih,  karena Surti sudah menemukan mas Tikno, yang bersedia mengakui bayi yang Surti kandung ini sebagai anaknya.”

Pak Mul membelalakkan matanya.

“Jadi.. jadi.. bayi yang kamu kandung ini adalah darah daging si laknat itu?” kata pak Mul sedikit berteriak.

Surti merangkul bapaknya.  Tapi tiba-tiba  Surti merasa bahwa bapaknya terkulai lemas.

“Bapaaak...!” Surti menggoyang tubuh bapaknya.

***

Besok lagi ya

Sunday, August 30, 2020

BUAH HATIKU 27

 BUAH HATIKU  27

(Tien Kumalasari)

 

Tikno memasuki pagar rumahnya dan masih memarkir sepeda motornya di halaman. Seorang laki-laki yang tadi mengikutinya, mengawasinya sejenak, lalu pergi dari sana.

“Surti...!” Tikno memasuki rumah sambil berteriak memanggil isterinya. Surti bergegas keluar, tersenyum senang melihat suaminya datang. Diraihnya tangan Tikno, dan diciumnya seperti kebiasaan sehari-harinya ketika sang suami datang dan pergi.

“Mana bapak?”

“Masih dikamarnya, baru selesai mandi,” kata Surti sambil meminta tas yang dibawa suaminya untuk dibawa kekamarnya.

“Ini apa mas?”

“Tadi aku beli makanan, hidangkan untuk bapak, barangkali suka.”

“Waah, baunya enak.. aku taruh di piring dulu ya.”

Pak Mul sudah selesai mandi, dan berganti pakaian. Surti menunggunya duduk diruang tengah.

“Bapak, ini mas Tikno beli makanan untuk bapak.”

“Wah.. nak Tikno repot-repot nih..”

“Tidak pak, mas Tikno sering begitu, dia lewat di penjual makanan lalu mampir untuk beli sesuatu untuk cemilan.”

“Ini apa, bapak belum pernah tahu.”

“Itu disini namanya ledre bapak, bahannya dari ketan.. dilipat.. isinya pisang. Cobain deh pak.”

Pak Mul mencomot sebuah ledre.. mengecapnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Enak. Kelihatan seperti gosong, tapi empuk.”

“Kalau Surti suka yang ini...”

“Kalau itu bapak tahu, namanya sosis. Di Surabaya banyak.”

“Bapak suka?” tanya Tikno yang sudah muncul setelah selesai mandi.

“Suka, ledre ini rasanya unik.. bapak sudah ambil dua.”

“Dihabiskan saja kalau bapak suka.”

“Kalau yang ijo ini apa?”

“Itu dadar gulung pak, isinya enten-enten. Enten-enten itu kelapa parut yang dimasak dengan gula dan vanili, harum, enak.”

“Bapak cobain ya. Tapi nanti bapak pasti nggak doyan makan. Habisnya kekenyangan setelah makan ini semua.”

“Tidak apa-apa pak, makannya bisa agak nanti, setelah makanan yang kita makan sekarang sudah melorot kebawah.” Seloroh Tikno.

“Bapak senang sekali. Ini keluarga yang utuh. Ada suami, ada isteri, ada calon anak.”

“Dan ada bapak..” sambung Surti.

“Seandainya ibumu masih ada, pasti dia juga akan bahagia,” kata pak Mul sendu.

“Kalau ibu bisa melihatnya, pastilah ibu juga akan bahagia,” kata Surti sambil menepuk tangan bapaknya.

“Ayo bapak, dadar gulungnya masih ada,” kata Tikno untuk menghilangkan suasana sendu itu.

“Oh ya pak, kabarnya besok pak Pras akan kembali ke Surabaya,” kata Surti.

“Lho, kok bapak tidak diberi tahu? Apa bapak tidak diajak pulang ya?”

“Mungkin pak Pras ingin agar bapak puas ketemuan sama Surti, sehingga pak Pras pulang sendiri.”

“Iya, kabarnya bu Pras juga masih disini kok.”

“Kalau begitu besok pagi bapak mau kesana.”

“Iya, nanti bareng Tikno ya pak, saya antarkan kerumah pak Indra.”

“Iya nak, begitu juga boleh.”

***

Tapi masih pagi ketika itu, tiba-tiba pak Pras muncul bersama Indra. Pak Mul tergopoh-gopoh menyambut.

“Saya baru mau kesana bareng sama nak Tikno, bapak sudah sampai sini.”

“Tadi jalan-jalan sama Indra, lalu pengin tahu rumahnya Surti, jadi Indra mengantar aku kemari.”

“Bu Pras tidak ikut?”

“O, dia kalau sudah menggendong cucunya nggak bisa diganggu gugat.”

“Walaah... mari pak.. mas Indra.. silahkan masuk...”

Pak Mul sibuk mempersilahkan masuk, memintanya duduk didalam tapi pak Pras memilih duduk diteras.

“Surti... nak Tikno... ada tamu nih..” teriak pak Mul.”

“Enak rumah ini, sederhana tapi ditata apik, banyak bunga- cantik, pasti ini Surti yang menanam.”

“Biasanya perempuan memang suka bunga,” kata Indra.

“Lho.. pak Pras dan pak Indra sudah sampai disini? Sedianya bapak mau kesana bareng sama Tikno  sa’at berangkat kekantor.”

“Tadi jalan-jalan sama Indra, lalu ingin melihat rumahnya Surti. Bagus ya Tikno rumahmu..”

“Waduh, ini gubug sederhana sekedar intuk berteduh dari panas dan hujan pak.”

“Ini rumah yang nyaman. Surti pintar mengatur  rumah..”

“Teh  hangat.. silahkan bapak..bapak..” kata Surti yang membawa nampan berisi cawan-cawan teh untuk tamu-tamunya.”

“Terima kasih Surti, senang kamu sudah hidup nyaman,” kata pak Pras sambil menghirup tehnya, diikuti Indra.

“Kabarnya pak Pras mau kembali ke Surabaya hari ini?”

“Iya, agak siang Mul, paginya masih ingin jalan-jalan disini. Tadi makan soto didaerah Gading sana, enak.. soto disini dan di Surabaya berbeda.”

“Setiap kota punya soto dengan aneka bumbu ya pak.”

“Tapi Soto Solo paling segar, tidak eneg.. kuahnya bening..”

“Apa pak Pras pulang sendiri nanti?”

“Iya Mul, pulang sendiri saja, karena masih ada yang harus aku kerjakan dan belum selesai. Ibunya Indra masih suka menimang cucunya, sedangkan kamu pasti masih kangen sama anakmu. Ya kan?”

“Iya pak, benar. Terimakasih sudah membawa saya kemari. Kalau tidak ada bapak, entah kapan saya bisa sampai dirumah anak saya.”

“Ya kalau kamu ingin bisa saja sewaktu-waktu berangkat sendiri Mul. Naik kereta  tidak sampai seharian seperti kalau ke Jakarta.”

“Iya sih pak. Tapi mencari waktunya yang agak susah. Saya juga tidak bisa meninggalkan tugas dirumah bapak terlalu lama.”

“Lho.. Mul, aku kan sudah bilang, bekerja dirumahku itu semampu kamu saja. Kamu itu tidak muda lagi, dan punya penyakit darah tinggi yang sewaktu-waktu bisa kumat. Apalagi kalau terlalu capek, jadi aku tidak akan memaksa kamu untuk terus bekerja. Kerjakan yang enteng-enteng saja, dan istirahat kalau kamu lelah.”

“Terimakasih banyak pak.”

“Kamu disini lebih lama juga tidak apa-apa Mul, pasti anakmu lebih suka kalau nanti sa’at melahirkan kamu bisa menungguinya.”

“Benarkah ?” mata pak Mul berbinar karena tanpa memintanya pak Pras sudah memberinya ijin.

“Mengapa tidak Mul? Aku juga seorang ayah.”

“Terimakasih pak, terimakasih banyak,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

***

Pak Mul senang sekali karena akan lebih  lama bisa  berkumpul dengan anak semata wayangnya bersama suami yang tampak sangat mencintai isterinya, dan menghormati mertuanya.

Sa’at Surti  memasak, pak Mul ikut merawat tanaman-tanaman yang ada dikebun kecil depan rumah. Dan bahagia itu membuatnya sehat.

Ketika pak Mul sedang membersihkan daun-daun kering dikebun, dilihatnya seorang pengendara sepeda motor berhenti didepan pagar.

Karena laki-laki itu melongok-longok kehalaman, maka pak Mul mendekatinya.

“Mau mencari siapa nak ?”

“Oh, ma’af pak.. saya hanya ingin tahu.. ini sebenarnya rumah siapa ya?”

“Ini rumah menantu saya, Tikno, sedangkan  isterinya Surti, adalah anak saya. Anda kenal dengan salah satunya?”

“Oh, tidak pak.. ma’af.. mungkin saya salah. Terimakasih pak,” kata laki-laki itu sambil terus berlalu.

Pak Mul sama sekali tidak curiga, ia kembali memunguti daun-daun kering yang ada disekitar pelataran.

“Siapa bapak ?” tiba-tiba Surti melihat sebuah motor berlalu setelah berhenti didepan pagar, tapi tak jelas siapa orangnya.

“Oh, orang mencari alamat seseorang sepertinya.”

“Mencari rumah siapa pak, barangkali Surti kenal.”

“Dia sudah pergi, dan tidak mengatakan untuk mencari siapa-siapa.”

“Lha tadi dia bilang apa?“

“Cuma tanya ini rumah siapa, dan sudah saya jawab lengkap. Rumah Tikno menantu saya, dan Surti anak perempuan saya. Bapak pikir dia mengenal kamu atau suami kamu.”

Surti mengerutkan keningnya.

“Setelah itu dia bilang..  ma’af pak, mungkin saya salah... Cuma gitu lalu pergi.”

“Orang itu laki-laki?”

“Laki-laki, ada cambang diwajahnya.”

Tiba-tiba Surti merasa bulu kuduknya merinding. Ia merasa bahwa orang itu sedang mengawasi rumahnya, dan khususnya dirinya. Surti bergegas kebelakang, tak ingin menampakkan wajah cemas yang tiba-tiba membayang dimukanya.

“Ya Tuhan, mungkinkah jahanam itu? Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Aku jadi takut sekali, takut akan apa yang ingin dilakukannya.”

Tiba-tiba pak Mul muncul dan heran melihat Surti duduk di kursi dapur, dan wajahnya tampak pucat.

“Surti, kamu kenapa? Sakit ?”

“Oh, tidak pak.. Surti hanya kegerahan.. “

“Minumlah .. memang udara sangat panas. Tapi kok wajahmu pucat?”

“Masa sih pak? Surti tidak apa-apa. Bapak mau makan sekarang?”

“Tidak nduk,  bapak cuma ingin minum, memang udara sangat panas.”

“Saya ambilkan pak.”

“Tidak usah, biar aku ambil sendiri saja..”

“Kalau bapak ingin makan, Surti sudah selesai masak kok.”

“Nanti saja, bukankah sebentar lagi suami kamu pulang?”

“Iya pak.. sudah waktunya mas Tikno pulang makan. Surti siapkan dulu makanannya dimeja ya pak.”

***

“Mas, sini sebentar, aku mau bicara..” kata Surti setelah makan siang. Ia menarik tangan suaminya kedalam kamar, tak ingin ayahnya mendengar apa yang dikatakannya.

“Ada apa? Kamu kok tampak ketakutan seperti itu?”

“Mas tau nggak, tadi ada seorang laki-laki bersepeda motor, berhenti didepan rumah.”

“Siapa dia?”

“Aku tidak tahu mas, tapi sikapnya mencurigakan. Aku masih didalam ketika bapak berbicara sama dia, dan pas aku keluar motornya sudah berlalu, aku tak sempat melihat wajahnya.”

“Mengapa dengan laki-laki itu?”

“Dia... ciri-cirinya.. seperti laki-laki jahanam itu. Dia bertanya pada bapak, ini rumah siapa, dan bapak mengatakannya, lalu dia berlalu begitu saja.”

Tikno mengerutkan alisnya.

“Mungkinkah dia?”

“Bukankah mas mengatakan bahwa dia kabur dari penjara?”

“Ya, tadinya dia menjadi sopir taksi, tapi begitu polisi menyelidiki setiap pengemudi taksi, dia keluar, dan entah berada dimana, polisi sedang memburunya. Mungkinkah dia?”

“Aku takut sekali mas, tampaknya dia sudah tahu bahwa aku ada disini.”

“Darimana ya dia bisa tahu?”

“Gimana mas, kalau mas kebetulan pergi lalu dia datang kemari?”

“Ya sudah, besok aku akan memanggil tukang, agar mengganti pitu pagar itu dari besi, dan kamu harus  menutupnya dengan gembok.”

“Baiklah mas, terimakasih banyak mas.”

“Satu lagi, jangan sekali-sekali kamu keluar rumah sendiri. Kalau kamu ingin, ajaklah bapak, supaya secara tidak langsung bisa melindungi kamu.”

“Iya mas, aku juga takut  kalau ketemu dia.”

“Semoga isteri dan bayiku baik-baik saja,” kata Tikno sambil mencium kening isterinya, kemudian berpamit untuk kembali ke kantor.

***

“Nak Tikno, Cuma membetulkan pagar saja mengapa harus mendatangkan orang, bapak kan bisa.” Kata pak Mul pada sore hari itu ketika Tikno pulang, sedangkan dua orang tukang sedang memasang pintu besi dan sudah hampir selesai.

“Bapak, itu dari besi, pakai mengelas segala. Kasihan kalau bapak yang mengerjakannya.”

“Iya sih, tapi sebenarnya dari kayu saja sudah bagus lho.”

“Biar kuat bapak.”

“Apa disini  banyak maling?”

“Kalau dikampung sini aman bapak. Nggak apa-apa, hanya untuk coba berhati-hati saja. Lagipula pagar besi itu saya dapat dari teman, dengan harga murah, jadi nggak apa-apalah, saya beli,” kata Tikno berbohong.

“Ya sudah kalau  begitu.”

“Baguskah bapak?”

“Bagus, nanti ,kalau sudah selesai biar bapak yang mengecatnya.”

“Ah, bapak.. “

“Nggak apa-apa  nak, bapak itu biasa bekerja, kalau tidak mengerjakan sesuatu rasanya kok badan malah pegal semua.”

“Baiklah,   besok saja mengecatnya, ini kan sudah sore.”

“Nak Tikno beli saja catnya.  Biar bapak yang mengecat.”

“Bagusnya warna apa ya pak?”

“Bagaimana kalau abu-abu,?”

“Baiklah, sekarang saja Tikno belikan, disebelah sana ada toko  besi yang tutupnya agak sorean.”

“Aku boleh ikut nak?”

“Cuma dekat saja kok pak.”

“Iya, biar bapak tahu. Nggak usah ganti baju kan?”

“Nggak usah, Saya juga nggak perlu ganti baju.”

Surti yang keluar rumah tiba-tiba sudah melihat suaminya dan bapaknya berboncengan keluar.

“Kemana ya bapak tadi?” tanyanya kepada salah seorang pekerja yang membenahi  peralatannya.

“Sepertinya mau beli cat bu.”

“Kok tidak bilang sih, mas Tikno,” gerutu Surti’

“Tokonya dekat kok bu, tidak ada seratus meter dari sini.”

“Oh,  dekat ya?”tanya Surti sambil membalikkan badan.

Tak lama kemudian Surti keluar sambil membawakan dua gelas teh panas.

“Pak, nanti sebelum pulang tehnya diminum dulu ya.”

“Ya bu, terimakasih.

Kedua pekerja itu sudah selesai mengerjakan pekerjaannya. Ia membuka dan menutup gerbang itu untuk meyakinkan bahwa pekerjaannya sudah beres.

“Cukup ya mas..” kata satunya.

“Sudah oke, kita bisa pulang. Oh ya, bu Tikno  meminta kita minum tehnya dulu. Sayang kalau tidak diminum.”

“Keduanya berjalan kearah rumah setelah mengemasi semua peralatan yang dimasukkan kedalam tas besarnya.

“Semuanya sudah selesai bu.” Katanya kepada Surti yang kembali keluar, mungkin untuk melihat suaminya.

“Oh ya, terimakasih pak.”

“Ini gemboknya bu, nanti bisa dicoba.”

“Baiklah, habiskan dulu tehnya.”

“Ini sudah habis bu, kami mau pamit dulu, kalau ada yang masih kurang, biar p Tikno  menghubungi saya.”

“Baiklah,” kata Surti sambil mengambil gembok dan kuncinya, sementara kedua pekerja itu juga berjalan kearah motornya lalu pergi.

Surti mendekati pintu dan mencoba  menggembok pintu.

“Gemboknya besar sekali,  uuh.. berat rupanya,” keluh Surti sambil berkutat mencoba gemboknya.

Tiba-tiba sebuah sepeda motor  berhenti didepan pagar. Surti mengira suaminya yang datang, ternyata  bukan.

***

Besok lagi ya

Friday, August 28, 2020

BUAH HATIKU 26

 BUAH HATIKU  26

(Tien Kumalasari)


Surti merasa bumi yang dipijaknya bergoyang, ia ingin lari tapi kakinya terasa gemetar. Ia mengatur nafasnya,  maju sedikit kejalan, dan melambaikan tangannya meminta jalan agar kendaraan memperlambat lajunya.

“Surti !!”

Panggilan itu membuat langkahnya semakin cepat,  dan terus melangkah tak tentu arah. Yang penting jauh dari laki-laki yang sejak tadi memanggil-manggil namanya.

“Aku minta ma’af Surti !!” teriakan itu sangat keras, tanpa sungkan semua orang menoleh kearahnya dengan heran.

Surti terus melangkah seperti dikejar setan. Sesekali ia menoleh kebelakang, takut laki-laki itu mengikutinya.  Tak tampak ada yang mengikuti, tapi Surti masih saja ketakutan. Ia terus melangkah tak tentu arah. Kemudian ketika kelelahan menderanya, ia jatuh terduduk disebuah pinggiran toko. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat.

“Surti !”

Surti hampir pingsan mendengarnya, ia bangkit dan berusaha berlari, tapi sebuah tangan kekar mendekapnya dari belakang.

Surti meronta ingin melepaskan diri,  tubuhnya gemetar.

“Surti, kamu kenapa, ini aku !!”

Surti mendongakkan kepalanya , dan terkulai dalam dada laki-laki yang mendekapnya.

“Kamu kenapa Surti?”

Surti terisak didadanya. Hatinya mulai tenang ketika berada didalam dekapan suaminya.

“Mas... aku takut sekali mas..”

Tikno menggandeng tangan Surti mengajaknya masuk kedalam warung. Ia butuh air minum untuk menenangkan isterinya.

Ketika segelas teh hangat membasahi kerongkongannya, Surti merasa lebih tenang.

“Mas, untunglah ketemu kamu mas.”

“Ada apa sebenarnya ?”

“Makan ya..?”

Surti menggeleng.

“Habiskan minumnya, tenangkan hati kamu.”

Surti meneguk lagi minumnya, lalu tangannya menggenggam tangan suaminya erat-erat.

“Untunglah ada kamu mas, kalau tidak.. aku bisa mati ketakutan.”

“Kamu itu jangan bicara yang tidak-tidak, kamu kecopetan?”

Surti menggeleng keras.

“Dia.. aku melihat dia..”

“Dia siapa?” kata Tikno sambil menggoyang-goyang tangan isterinya.

“Laki-laki jahanam itu mas, aku takut sekali.”

“Laki-laki yang...”

“Iya, laki-laki  jahanam itu, dia mengemudi taksi, memanggil-manggil namaku..”

“Dia ada disini ? Bukankah dia dipenjara ?”

“Entahlah mas, aku tidak tahu.. dan mengapa juga dia memanggil namaku.. aku tidak sudi melihat dia, tidak sudi bertemu dia.”

“Ya sudah, tenangkan hati kamu. Tapi bukankah tadi kamu turun dirumah sakit? Kok bisa ada disini? Ini jauh dari rumah sakit lho.”

“Aku berjalan terus, pokoknya jauh dari dia. Tak sadar sudah berjalan jauh.”

“Sebenarnya kamu mau kemana?”

“Bu Indra minta agar aku membelikan sabun mandi.  Toko yang ada dirumah sakit tidak ada, lalu aku keluar, dan berjalan agak jauh untuk menemukan sebuah toko. Tapi tiba-tiba sebuah taksi berhenti didekatku, pengemudinya membuka jendela mobil dan memanggil namaku. Aku hampir pingsan mas, aku terus berlari tak  tentu arah, takut dia mengikuti aku.”

Tikno menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak mengerti bagaimana laki-laki itu bisa berada di Solo sementara tadinya dipenjara di Ngawi sana.

“Ya sudah, kamu sudah beli sabunnya?”

“Belum mas.”

“Ayo aku antar, aku ambil sepeda  motornya dulu. Untunglah aku sedang berada diluar dan melihat kamu.”

“Kamu penyelamatku mas..” bisiknya lirih.

Surti masih duduk dimeja didalam warung itu, ketika suaminya sudah memarkir motornya didepan warung.

“Ayo, kamu sudah lebih tenang?” katanya sambil menggandeng tangan isterinya setelah membayar minumannya.

Surti mengangguk.

***

Ketika mengantar Surti kembali dari rumah sakit, Tikno bertemu Indra yang sudah selesai mengantarkan pak Prastowo dan pak Mul kedalam. Sedianya Indra mau kembali ke kantor. Setelah Surti masuk kedalam, Tikno memerlukan menemui Indra yang hampir masuk kedalam mobilnya.

“Pak Indra..”

“Lho,  mas Tikno kok bisa ada disini ?”

Lalu Tikno menceritakan perihal Surti yang ketakutan karena melihat Sardiman yang menjadi pengemudi taksi.

“Jadi dia ada disini? “

“Iya mas, bukankah dia dipenjara?”

“Mas Tikno tidak membaca berita beberapa waktu yang lalu?”

“Berita apa pak ?”

“Bahwa beberapa napi di LP Ngawi kabur?”

“Jadi dia salah satu dari orang yang kabur ?”

“Kelihatannya begitu mas, karena disebutkan bahwa salah satu yang kabur adalah tersangka pemerkosaan.”

“Dia ada disini, menjadi pengemudi taksi. Tadi memanggil-manggil Surti, dan membuatnya ketakutan. Untunglah ketika itu saya melihatnya.”

“Saya heran, mas Tikno selalu menjadi penyelamat Surti.”

“Saya juga tidak tahu pak, tadi itu dia sangat ketakutan.”

“Kalau begitu ayo lapor saja ke polisi mas, biar dia bisa ditangkap kembali.”

“Sayangnya Surti pasti tidak mengenali nomor polisi taksi itu. Baru melihat orangnya saja dia sudah ketakutan.”

“Tidak apa-apa mas, nanti semua taksi pasti akan diperiksa siapa-siapa pengemudinya.”

“Baiklah, saya akan melaporkannya sekarang juga.”

***

“Surti... kamu kesasar ya?” teriak Seruni begitu melihat Surti masuk kekamarnya.

“Ma’af  bu Indra. Ini sabunnya, agak jauh saya belinya,” kata Surti sambil mengulurkan sabun yang tadi dibelinya bersama Tikno.

“Terimakasih Surti. Bagus sekali, mas Indra juga lupa lagi membawanya.”

Surti langsung menyalami pak Prastowo yang sudah ada disitu, dan juga bapaknya. Benar-benar membahagiakan, ketika setelah merasa panik dan cemas kemudian bertemu bapaknya.

“Kamu sehat nduk?”

“Alhamdulillah sehat pak, bapak juga kelihatan sehat,” Surti memeluk bapaknya untuk lebih menenangkan jiwanya. Tapi ia tak ingin mengatakan apapun tentang kejadian itu. Bukankah bapaknya tak tahu apa-apa?.

“Senang karena pak Pras mengajak bapak kemari, sehingga bisa bertemu kamu. Perutmu sudah tampak membuncit..”

“Iya bapak.”

“Jaga kesehatan baik-baik, dirimu dan juga bayimu.”

“Iya bapak. Tadi mas Tikno mengantar Surti kemari, belum bisa menemui bapak karena harus bekerja, tapi kamar untuk bapak sudah disiapkan oleh mas Tikno.”

“Iya.. iya, terimakasih ya nduk.”

“Tadi ketemu mas Tikno? Pantesan lama,” sela Seruni.

“Iya bu, ma’af,” hanya itu yang dikatakan Surti. Ia tak ingin menceritakan apa yang terjadi sehingga membuatnya ketakutan.”

“Nggak apa-apa. Tadi sudah mandi dengan sabun seadanya.”

“Ma’af. Mana bu Pras ?”

“Sedang kekamar bayi, tuh bapak juga sudah ikut kesana.”

“Iya, pasti tidak akan bosan menatap mahluk mungil yang tampan dan lucu menggemaskan.”

“Sebentar lagi kamu akan memilikinya Surti.”

“Iya bu Indra, apakah sudah diberi nama?”

“Nanti mas Indra akan berembug sama bapak, kalau mas Indra sendiri nanti bapak kecewa.”

“Benar bu, bagusnya diberikan bersama-sama, mana yang terbagus.”

“Nasi liwet dari kamu sudah aku habiskan lho Sur.”

“Syukurlah bu Indra.”

“Kamu tidak apa-apa Surti ?”

“Tidak, memangnya kenapa bu?”

“Wajahmu sedikit pucat.”

“Udara diluar panas sekali.”

“Benar Surti. Kamu jangan sampai lelah ya, jaga kesehatan kamu, dan juga bayi kamu, seperti pesan pak Mul tadi.”

“Iya bu Indra.. Oh, rupanya bapak juga ikutan kekamar bayi,” kata Surti ketika tak lagi melihat bapaknya ada didekatnya.

“Benar, tadi bersama-sama kesana. Setelah minum ASI lalu suster mambawanya kembali kekamar bayi, jadi yang kepengin melihat ya cuma melongok dari jendela  kaca.”

“Kapan boleh pulang?”

“Mungkin besok,  atau sehari lagi. Kata dokter saya dan bayinya sehat, jadi tidak perlu berlama-lama dirumah sakit.”

“Syukurlah  bu Indra, jadi  bisa lebih bebas melihatnya, atau bahkan menggendongnya..”

“Istirahatlah dulu disofa Surti, kamu seperti sangat letih.”

“Baiklah, sambil menunggu bapak, nanti bapak akan saya ajak pulang kerumah.”

“Iya Surti.”

***

Pak Mul senang melihat rumah anaknya tampak rapi walau tidak semewah rumah Indra. Ia merasa kehidupan Surti tidak kekurangan, dan itu sangat membahagiakan.

“Bapak disini merepotkan ya nak Tikno?”

“Tidak, mengapa bapak berkata begitu ?” Kami sangat senang ada bapak disini. Kalau bapak mau, bapak tidak usah kembali ke Surabaya, biar tinggal disini saja. Bukankah begitu Surti?”

“Iya benar, mau kan bapak?”

“Tampaknya menyenangkan. Tapi aku harus bilang dulu sama pak Prastowo. Kan selama ini bapak tinggal bersama pak Prastowo, diberi makan minum cukup, bahkan diberikan pakaian, dan uang yang membuat bapak tidak kekurangan. Bapak sakitpun pak Prastowo yang membiayainya. Jadi kalau tiba-tiba bapak pergi dari sana, rasanya kok kurang enak.”

“Itu benar. Tapi bapak  bisa bicara pelan-pelan nanti,” kata Tikno.

“Rumah bapak sesekali saja kalau kebetulan pulang dib ersihkan.”

“Rumah itu kan sudah disewa orang nduk.”

“Oh, disewa orang ?”

“Baru seminggu ini. Pak Pras yang menyuruh. Jadi beberapa waktu yang lalu bapak membenahi rumah dan mengecatnya sehingga kelihatan bersih, ternyata ada yang mau mengontrak untuk dua tahun ini.”

“Oh, syukurlah kalau begitu.”

“Ini, uangnya aku berikan kepada kalian, bapak tidak butuh uang banyak,” kata pak Mul sambil mengambil sebuah amplop tebal berisi uang.

“Tidak bapak, jangan, disimpan bapak saja, barangkali bapak memerlukan sesuatu,” kata Tikno.

“Bapak sudah punya cukup uang, bapak tidak kekurangan.”

“Itu benar, tapi kan lebih  baik disimpan bapak saja. Nanti kalau suatu sa’at Surti membutuhkan, Surti akan minta kepada bapak,” kata Surti sambil memeluk ayahnya.

“Untuk apa bapak uang sebanyak ini? Ini ada limabelas juta, rumah kecil dan sederhana, lumayan bisa laku.”

“Bapak kan punya rekening. Besok akan saya masukkan saja ke rekening bapak,” sambung Tikno.

“Lalu untuk apa bapak uang sebanyak itu.”

“Ya untuk simpanan, barangkali bapak butuh sesuatu.”

Pak Mul tampak kecewa, dan Surti tidak sampai hati mengecewakan ayahnya. Barangkali pemberian yang ditolak itu agak menyakitkan. Dan pastinya pak Mul memberikannya agar Surti senang.

“Begini saja pak, uang ini.. Surti minta yang lima juta, sedangkan yang sepuluh juta, biar oleh mas Tikno dimasukkan ke tabungan bapak.”

“Betul kata Surti bapak.”

“Baiklah, terserah kamu saja.”

“Kalau kurang, Surti pasti akan minta pada bapak.”

Pak Mul mengangguk, sedikit lega karena setidakn ya uang itu tidak semuanya ditolak oleh anaknya. Barangkali pak Mul ingin memberikan sesuatu kepada anaknya, agar ada sedikit kepuasan batin karena bisa membantu anaknya.

“Ya sudah, ini uangnya, kamu yang mengaturnya, dan bukankah milik bapak juga milik kalian juga?”

Tikno menerima uang itu, dan minta nomor rekening bapak mertuanya.

“Aku tidak hafal, ini bukunya ada.” Kata pak Mul sambil mengulurkan sebuah buku tabungan yang disimpan didalam tasnya.

***

Seruni dan bayinya sudah ada dirumah. Bu Pras terus menerus memangku cucunya, yang dipandanginya tanpa ada bosan-bosannya.

“Bu, sudahlah.. tidurkan saja, apa kamu nggak capek menggendong dan memangkunya terus?”

“Iya pak, sebentar lagi, tidurnya belum nyenyak, nanti terbangun lagi,” kata bu Pras memberi alasan. Padahal setiap selesai minum ASI  sang bayi pasti langsung pulas.

Indra dan Seruni hanya tersenyum.

Mereka tahu, bahwa pak Pras sebenarnya  juga ingin menggendong tapi takut.

“Bapak masih lama disini kan ?” tanya Indra kepada bapaknya.

“Tidak bisa Ndra, bapak besok harus kembali ke Surabaya, so’alnya urusan pekerjaan belum selesai. Kemarin itu bapak menunda semua acara kantor yang harus bapak  tangani.”

“Tidak bersama ibu kan?”

“Terserah ibumu mau ikut pulang atau tidak, tapi aku kira dia masih suka berada disini menimang cucunya.”

“Tapi saya kira pak Mul juga masih ingin tinggal dirumah anaknya,” sambung Seruni.

“Tidak apa-apa kalau Mulyadi masih ingin tinggal, aku bisa mengerti , kan jarang ada kesempatan  bisa bertemu anaknya. Aku buru-buru pulang karena pekerjaan.”

“Jadi bapak pulang sendiri?”

“Iya, tolong pesankan ticketnya, tidak usah yang pagi juga tidak apa-apa, bapak masih ingin jalan-jalan pagi disini besok.”

“Baiklah pak.”

“Mas, ada telpon diponselmu lho,” kata Seruni ketika mendengar dering ponsel dari arah kamar.

“Iya benar,” kata Indra sambil berlari kekamar.

“Hallo, mas Tikno?”

“Iya pak  Indra, saya mendengar berita dari kantor polisi tentang pesakitan yang kabur dan bernama Sardiman.”

“Sudah tertangkap?”

“Tidak pak, rupanya ketika polisi mendata semua pengemudi taksi, dia sudah mencium gelagat yang tidak baik.”

“Kabur lagi?”

“Salah seorang pengemudi taksi keluar sejak kemarin.”

“Waduh... kabur kemana lagi dia?”

“Polisi seda ng memburunya.”

“Mas Tikno harus hati-hati, jangan membiarkan Surti dijalanan sendiri, saya khawatir dia akan melakukan sesuatu pada Surti.”

“Saya tidak tahu apa rencananya, tapi yang jelas dengan adanya dia dikota ini membuat Surti sangat ketakutan.”

“Semoga dia segera tertangkap. Apapun maunya, itu sangat meresahkan. Saya heran mengapa dia seperti ingin mendekati Surti.”

“Ya sudah pak Indra, saya cuma ingin memberi tahu so’al itu.”

“Terimakasih , kabari saya kalau ada apa-apa.”

“Baik, pak Indra.”

“Ada apa mas? Dari mas Tikno?” tanya Seruni sambil mendekati suaminya.

“Iya..”

“Kenapa dengan Surti?”

“Bukan so’al Surti, Surti tidak apa-apa.”

“Lalu...”

“Nanti saja aku ceritakan. Aku tidak ingin bapak atau ibu mendengarnya.”

***

Sore hari itu Tikno mampir kesebuah toko cemilan. Ia ingin membeli makanan untuk mertuanya. Banyak pilihan, jadi Tikno bingung.

“Kalau orang tua kan sukanya yang empuk-empuk. Jadi.. apa ya..?’ pikir Tikno sambil mencari-cari.

Lalu Tikno memutuskan untuk membeli sosis, lalu dadar gulung, dan sus isi ragout..

“Pasti bapak suka.” Pikirnya.

Lalu ia mendekat kearah seorang penjual.

” mBak.. makanan ini baru atau sudah sejak pagi?”

“Ini baru dikirim sore pak, yang dari pagi sudah habis.”

“Baiklah, ini saya minta per macam tiga ya, ini apa mbak?”

“Itu ledre namanya pak, ketan dilipat, isinya pisang raja.”

“Baiklah, tambah ledre tiga. Semuanya berapa?”

“Silahkan di kasir ya pak.”

Tikno membayar makanan yang dibelinya, lalu menuju kearah motornya diparkir.  Tikno tak sadar, ketika tukang parkir bercambang menatapnya tajam. Kemudian ketika Tikno sudah mengendarai motornya untuk pulang, tukang parkir itu mengikutinya .

***

Besok lagi ya

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...