Tuesday, May 31, 2022

ADUHAI AH 35

 

ADUHAI AH  35

(Tien Kumalasari)

 

“Kapan nenek saya meninggal?” tanya Hesti lemas. Walau dia tidak terlalu dekat dengan neneknya, tapi karena dia adalah neneknya, ibu dari ayahnya, maka mendengar bahwa nenek sudah meninggal, hati Hesti juga terasa sakit. Miris karena tidak ada yang mengabarinya. Ibunya sekalipun tidak.

“Baru tiga hari yang lalu Nak,” kata bapak setengah tua itu.

“Baru tiga hari? Dimana makam nenek ?”

“Tidak jauh dari sini Nak, kalau  mau, akan saya antarkan. Jalan kaki juga sampai.”

“Baiklah. Bapak tinggal di dekat sini?” tanya Sarman yang sedari tadi diam saja.

“Iya Nak, rumah saya di depan situ, dan kebetulan saya juga ketua RT di sini.”

“Oh, pak RT rupanya.”

“Saya juga membawa kunci rumah, karena salah seorang kerabat menitipkan rumah ini, sampai jelas siapa yang akan mewarisinya. Saya juga bertugas membersihkannya, setiap minggu dua kali, nantinya,” terang pak RT sambil berjalan mengantarkan Hesti dan Sarman ke pemakaman, yang letaknya memang tak begitu jauh dari perkampungan itu.

“Siapa saja kerabat dari nenek saya?” tanya Hesti.

“Almarhumah bu Mintarsih hanya memiliki seorang anak laki-laki. Kalau Anda bilang bahwa Anda adalah cucunya, berarti Anda itu putrinya pak Johan almarhum.”

“Iya, pak Johan itu ayah saya. Sudah meninggal ketika saya belum masuk sekolah SMA.”

“Tapi mengapa Anda sampai tidak mendengar bahwa nenek Anda meninggal?”

“Saya sekolah di Solo, sama sekali tidak ada yang memberi tahu bahwa nenek sudah meninggal,” kata Hesti sedih.

“Kasihan sekali Nak. Tapi kabarnya pak Johan itu menikah lagi, apa isterinya yang kemarin datang lalu memeriksa kamar almarhumah, dan entah apa yang dibawanya, saya kurang paham, karena dia mengatakan bahwa dia adalah menantunya.”

Hesti yakin, bahwa itu adalah ibunya, eh bukan, ibu tirinya. Mengapa dia tak mau mengatakan bahwa neneknya meninggal? Bukankah dirinya adalah keturunannya langsung?

“Itu Nak, kita sudah sampai di pemakaman.” Lalu pak RT menunjukkan sebuah gundukan tanah yang masih basah, dan diatasnya dipenuhi bunga-bunga tabur yang menutupi hampir seluruh gundukan tanah itu.

Hesti dan Sarman duduk di sebuah batu, yang kebetulan ada di depan makam yang masih baru itu. Ada tulisan agak besar di ujung pemakaman, yang bertuliskan nama neneknya dan kapan dia dilahirkan serta  kapan dia meninggal.

“Nenek, sudah lama Hesti tidak mengunjungi nenek, apakah nenek lupa sama Hesti? Hesti ingat setiap kali datang bersama bapak, Nenek selalu memberi Hesti uang jajan buat Hesti, dan setelah Bapak meninggal, ibu jarang sekali mengajak Hesti bertemu Nenek,” bisik Hesti sambil berlinang air mata.

Lalu Hesti dan Sarman khusyuk berdoa, pak RT mengikuti membaca doa dari belakang kedua remaja itu.

Tempat pemakaman itu tidak begitu terasa panas, karena banyak pohon besar tersebar di sekitar area pemakaman. Hesti dan Sarman masih duduk termangu.

“Pak RT … “ Hesti memecah kesunyian itu dengan suaranya yang pelan.

“Ya Nak.”

“Apakah Bapak tahu, dimana ibu saya dimakamkan?”

Pak RT menatap Hesti dengan heran.

“Jadi … Nak_”

“Maaf saya belum memperkenalkan diri, nama saya Hesti, dan ini sahabat saya, mas Sarman.”

“Oh, iya Nak, jadi Nak Hesti ini apa bayi yang dulu dirawat oleh almarhumah, kemudian di minta oleh pak Johan ketika pak Johan menikah lagi?”

“Iya Pak, itu yang saya dengar, karena saat itu saya masih bayi, jadi tidak tahu bahwa saya dirawat oleh ayah saya bersama ibu tiri saya.”

“Saya tahu benar keluarga bu Mintarsih, karena bu Mintarsih sering bercakap-cakap sama isteri saya, dan menceritakan perihal keluarganya.”

“Iya Pak, jadi apakah pak RT tahu di mana ibu kandung saya dimakamkan?”

“Itu nak, di bawah makam bu Mintarsih itu, makamnya bu Maryuni, isteri pak Johan yang meninggal tidak lama setelah melahirkan.”

“Oh, itu makam ibu saya?” kata Hesti sambil beranjak, mendekati sebuah nisan yang ditunjukkan pak RT.

Hesti membaca nama ibunya yang katanya bernama Maryuni, Benar, di nisan itu tertulis namanya, dan tahun meninggalnya sama seperti tahun ketika dia dilahirkan, hanya tanggalnya terpaut dua hari.

“Bu Maryuni mengalami perdarahan saat melahirkan, dan tidak tertolong karena penanganan yang agak terlambat,” kata pak RT, yang tampaknya juga menyesali kepergian ibunya tak lama setelah melahirkan dirinya.

Hesti meraba nisan itu, Sarman diam dan ikut berjongkok di sampingnya.

“Ibu, tahukah Ibu bahwa aku adalah anak Ibu? Lihatlah Bu, Hesti sudah dewasa, dan baru kali ini Hesti menziarahi makam Ibu, karena tak seorangpun memberi tahu bahwa aku adalah putri Ibu. Tahukan Ibu bahwa Hesti sangat menderita? Cinta kasih yang diberikan Ibu Sriani ternyata tidak benar-benar tulus. Ketika Hesti tidak bisa mewujudkan keinginannya, terbukalah sifat aslinya, dan kemudian Hesti menyadari bahwa ibu Sriani tidak  menyayangi Hesti seperti seorang ibu mencintai anaknya. Mengapa dulu Ibu tidak mengajakku serta?” isaknya. Tapi kemudian Sarman menyentuhnya pelan, karena Hesti tidak pantas mengucapkan itu, Hesti melirik ke arah Sarman, kemudian mengangguk pelan, sebagai isyarat bahwa dia mengerti bahwa ucapannya salah.

Lalu Hesti dan Sarman berdoa juga di depan makam bu Maryuni.

***

“Saya heran,” kata pak RT ketika sudah mempersilakan Hesti dan Sarman masuk kedalam rumah nenek Mintarsih dan menyuguhinya dengan minuman dan camilan, yang diantarkan bu RT dari rumahnya, “bagaimana Anda sebagai cucu tunggalnya sampai tidak tahu bahwa ibu Mintarsih meninggal.”

 “Saya kan sudah bilang bahwa saya ada di Solo, Pak.”

“Tapi kan ibu Anda, mm … atau ibu tiri Anda harusnya mengabari Anda kan Nak?”

Hesti menghela napas panjang, sedih dan miris menemui keadaan demi keadaan yang didengarnya, mulai dari saat bu Sriani bilang bahwa dia tidak ingin mengakuinya lagi sebagai anak, lalu membaca sebuah surat yang mengatakan bahwa bu Sriani mandul dan dirinya hanyalah anak tirinya, lalu mendapati neneknya meninggal tiga hari lalu. Tapi ada yang disyukuri, bahwa dia menemukan makam ibu kandungnya.

“Saya tidak tahu Pak. Bahkan saya juga baru saja tahu bahwa saya hanyalah anak tirinya bu Sriani, isteri kedua dari ayah saya.”

“Menurut saya, keadaan ini akan menjadi sangat rumit. Ada hal-hal buruk yang akan terjadi setelah meninggalnya ibu Mintarsih.”

“Mengapa Bapak berpikir demikian?” tanya Sarman.

“Pertama, mengapa bu Sriani tidak mengabari nak Hesti yang keturunan langsung bu Mintarsih. Kedua, dia seperti menguasai semua harta bu Mintarsih. Maaf, mungkin dugaan saya salah, tapi saya dan istri saya melihat bagaimana bu Sriani membawa barang-barang dari kamar bu Mintarsih. Kami tidak tahu barang-barang apakah itu, yang pastinya harus nak Hesti yang mengurusnya.”

“Nah, tercium niat jahat bu Sriani kan? Apa kamu mau diam saja?” kata Sarman sambil menatap Hesti yang tampak kebingungan.

“Bu Mintarsih itu bukan orang miskin. Saya tahu almarhumah memiliki barang-barang berharga berupa perhiasan emas atau lainnya, karena kami tahu bu Mintarsih selalu memakai perhiasan setiap kali datang ke undangan.”

“Menurut aku Pak, sebaiknya cucu ibu Mintarsih ini dipersilakan melihat-lihat kamar pribadinya,” kata bu RT yang tiba-tiba muncul.

“Itu benar, nak Hesti ini keturunan langsung, jadi lebih berhak. Mari saya antarkan masuk untuk melihat-lihat,” kata pak RT. Sarman dan Hesti kemudian berdiri, mengikutinya. Bu RT pun ikut mengantar mereka.

Rumah bu Mintarsih memang tampak seperti rumah kuno, tapi lumayan luas. Halamannya bukan hanya yang tampak di depan rumah, tapi di belakang juga ada, dan banyak ditumbuhi pohon buah-buahan. Hesti ingat, dulu setiap kali datang ke rumah itu, saat musim buah apapun, ia puas memakannya, bahkan banyak dibawa pulang.

Ada beberapa kamar di rumah itu, yang ketika Hesti menjenguknya, tampak kosong tapi tertata bersih dan rapi. Tapi ada sebuah kamar yang terkunci.

“Mengapa ini terkunci?” tanya Hesti.

“Ini kamarnya bu Mintarsih, Nak,” kata bu RT.

“Mungkin banyak benda berharga di dalamnya,” kata pak RT.

Tiba-tiba dilihatnya seseorang masuk ke dalam, seorang wanita paruh baya,  memakai kain dan kebaya.

“Lhaa, ini bu Sukini, pembantu Bu Mintarsih,” seru bu RT.

Bu Sukini menatap Hesti tak berkedip, kemudian tiba-tiba memeluknya.

Ya ampuuun, ini neng Hesti bukan?”

“Hesti lupa-lupa ingat, tapi kemudian ia tersenyum, setiap kali dia datang, bu Sukini yang melayaninya. Menyuguhkan minuman, memasak makanan.

“Neng Hesti ini ketika masih bayi, saya yang merawatnya. Ibunya meninggal setelah melahirkan, dan pak Johan menitipkannya disini sampai berumur hampir setahun. Lalu pak Johan menikah lagi dengan bu Sriani, dan neng Hesti ini dirawat di sana,” bu Sukini menerangkannya panjang lebar, hampir sama dengan apa yang di ceritakan pak RT sebelumnya.

“Apa bu Sukini tahu di mana kunci kamar bu Mintarsih? Pastinya tidak ada yang bisa melarang nak Hesti ini seandainya ingin memasuki kamar neneknya bukan?”

“Kunci kamar itu dibawa sama bu Sriani. Tapi sebenarnya saya membawa serepnya, karena dulu almarhumah itu sering lupa menaruh kunci setelah bepergian, jadi saya diberikan kunci serepnya, supaya kalau lupa, saya selalu bisa membukakannya. Sebentar, akan saya ambil di rumah, untung ketika itu saya lupa bilang kepada bu Sriani bahwa saya mempunyai kunci serepnya."

“Sekarang nak Hesti dan nak Sarman istirahat saja dulu, biar bu Sukini mengambil kuncinya. Begitu kan bu Sukini?”

“Ya, betul Pak RT, saya pulang dulu sebentar,” kata bu Sukini sambil berlalu, sementara bu RT mempersilakan Hesti dan Sarman beristirahat di ruang tamu, dengan ditemani pak RT.

“Ibu sudah selesai memasak bukan? Nanti hidangkan juga untuk tamu-tamu ini,” pesan pak RT ketika istrinya akan berlalu.

“Iya, aku memang mau membawa makanan kemari, kan sudah waktunya makan siang.”

“Wah, kami jadi merepotkan nih, pak RT,” kata Sarman dan Hesti hampir bersamaan. Mereka sangat sungkan menghadapi keramahan sikap pak RT dan isterinya, juga bekas pembantu bu Mintarsih yang tampaknya juga penuh perhatian. Keduanya tak tahu, bahwa sikap mereka itu dipicu oleh rasa ketidak senangan mereka terhadap sikap bu Sriani yang tampak seperti menjadi yang berkuasa setelah bu Mintarsih meninggal.

***

Sementara itu di dalam keluarga Haryo mulai tampak banyak kesibukan. Dua bulan lagi akan ada pernikahan, yaitu Desy Ambarsari dan Danarto.

Mereka harus memesan gedung dan catering, juga menyusun siapa saja yang akan diundang. Danis yang sudah ngebet ingin mendekati Tutut, selalu terlibat dalam kesibukan itu. Ia mendapat tugas memesan gedung, atas permintaan Danarto.

“Gedungnya yang di tempat kamu menikah itu saja Danis,” usul Danarto.

“Tidak. Gedung itu membawa sial.”

“Apa maksudmu?”

“Buktinya, aku menikah disitu, dan pernikahan aku buyar sebelum setahun, bukan?”

Danarto terbahak.

“Apa itu karena gedungnya? Ngaco kamu, jaman sekarang masih percaya hal-hal yang berbau mistik seperti itu,” gerutu Danarto.

“Pokoknya aku nggak mau gedung itu, yang lain saja. Serahkan sama aku, pasti tidak akan mengecewakan.”

“Kamu sudah menemukannya?”

“Sudah, agak mepet waktunya, katanya ada barengannya, tapi mereka pesan pagi, kita kan malam.”

“Aduh, apa nggak repot itu nanti? Sementara masih dipakai orang, lalu gantian kita memakainya. Bagaimana menata dekorasi, menata semuanya. Gedung mana itu, cari yang lain saja.”

“Baiklah, ada beberapa alternatif kok. Yang satu ini sekaligus ada layanan rias pengantin, cateringnya sekaligus juga bisa, juga dekorasinya sekalian.”

“Hm, kelihatannya menarik. Tapi kamu juga harus minta persetujuan pak Haryo dan ibu.”

“Iya, aku menghubungi gedungnya dulu. Ini agak repot, karena waktu dua bulan itu sangat mepet, apalagi ini musim orang menikah.”

“Masa sih?”

“Iya. Nggak percaya? Kebanyakan pasangan lebih suka menikah di musim penghujan seperti ini,” kata Danis cengengesan.

Danarto selalu terbahak mendengar setiap ulasan Danis tentang apapun juga.

“Asal deh.”

“Kamu tuh kalau dikasih tahu orang tua jangan ngeyel.”

“Kamu, orang tua? Umur kita sama, tahu.”

“Benar, tapi aku sudah duda, kamu masih perjaka, jadi kalau itung-itungan, lebih tuaan aku daripada kamu.”

“Dasar duda ngawur.” Omel Danarto, tapi tetap saja dia tertawa.

“Dan satu lagi Danar, tolong rekomendasikan aku untuk menjadi pendamping pengantin, bersama Tutut.”

“Danarto tertawa semakin keras.

“Istilahmu itu terlalu formil tahu, pakai kata rekomendasi segala.”

“Aku serius, sobat.”

“Jangan bilang sama aku, bilang sama keluarga pak Haryo, kan mereka yang punya gawe, bukan aku.”

“Ya ampun Danar, kamu kan juga boleh usul.”

“Iya, nanti gampang, aduh, sudah ngebet sekali rupanya kamu nih.”

“Aduh, jangan keberatan menolong sesama Danar, menolong itu ada pahalanya.”

Dan tawa keduanya semakin riuh, membuat siapapun yang lewat terpaksa menoleh ke dalam ruangan Danarto yang sengaja terbuka lebar siang itu.

***

Sarman dan Hesti sudah selesai makan jamuan yang dihidangkan bu RT, ketika bu Sukini datang.

“Ini Neng, kuncinya sudah saya bawa. Mari silakan, kalau mau melihat kamar almarhumah ibu Mintarsih.

Sarman dan Hesti bangkit berdiri, lalu mengikuti bu Sukini menuju ke kamar bu Mintarsih. Pak RT juga melangkah di belakang mereka.

Semuanya terkejut ketika melihat kamar bu Mintarsih berantakan. Almari yang tidak sepenuhnya tertutup, menampakkan baju-baju yang tampak tidak teratur. Ada lagi satu almari yang tertutup, tapi tidak terkunci. Hesti membukanya. Tak ada barang berharga ataupun kotak yang biasanya dipakai untuk menyimpan perhiasan.

“Ini almari dimana bu Mintarsih selalu menguncinya. Semua perhiasan disimpan disini. Juga surat2 penting. Kok tidak ada apa-apanya? Pasti wanita itu sudah membawa semuanya,” omel bu Sukini yang ikut melihat-lihat isi almari itu.

“Nah, laci ini mengapa juga kosong?” pekik bu Sukini lagi.

Tiba- tiba mereka semua menoleh ke arah pintu, karena mendengar suara lantang dari sana.

“Apa yang kalian lakukan disini? Maling?”

***

Besok lagi ya.

 

Monday, May 30, 2022

ADUHAI AH 34

 

ADUHAI AH  34

(Tien Kumalasari}       

 

Danarto tiba di tempat kost Hesti saat Sarman sudah memberikan obat yang dibelinya, lalu oleh Desy segera diminumkannya pada Hesti.

“Kenapa lagi dia?”

Sarman menceritakan sekilas yang diketahuinya dan didengarnya tadi dari Sita, gadis yang sekarang duduk diluar pintu, diam karena merasa sungkan kepada tamu-tamunya Hesti.

Danarto duduk ditepi pembaringan Hesti, bersebelahan dengan sisi di mana Desy dan Sarman duduk.

“Hesti … “ panggil Danarto.

Hesti membuka matanya yang terlihat sembab. Gurat kesedihan tampak pada wajah pucatnya.

“Maaf, saya merepotkan …” bisiknya lirih.

“Tidak ada yang repot. Kami prihatin karena kamu kembali sakit.”

“Aku ingin mati saja,” lirihnya lagi.

“Mengapa kamu mengulangi kata-kata itu lagi?” tegur Desy.

“Maaf …”

“Kamu bukan pemilik kehidupan ini. Kamu hanya manusia seperti juga kami yang ada di sekitarmu ini. Kami menjalani hari demi hari, dalam gulungan peristiwa demi peristiwa, cobaan demi cobaan, juga segala suka serta bahagia. Apa yang bisa kami lakukan? Mensyukuri semuanya, bukan menentangnya karena memang kita tak akan mampu merubah garis kehidupan yang sudah tersirat dalam suratan nasib kita,” lanjut Desy yang merasa heran dirinya bisa berucap panjang lebar seperti itu.

Aku sudah ketularan ibu dan mbak Lala, kata batin Desy. Dan memang benar, Desy yang keras, sedikit galak, tegas, terkadang menghawatirkan Lala dan juga ibunya, karena pada suatu saat, Desy bisa tak terkendali. Tapi seiring berjalannya waktu, setiap kata bijak kakak dan ibunya ternyata mengendap dalam sanubarinya, kemudian bisa ditularkannya seperti saat ini, bak kata-kata seorang ibu kepada anaknya.

“Kamu harus tegar menghadapi semuanya, bukan meratapinya terus menerus dan membuat sakit bukan hanya jiwamu, tapi juga ragamu,” lanjutnya.

Danarto menahan senyum bangga nya saat mendengar calon isterinya berkata-kata. Desy yang terkadang galak, bisa berucap sangat manis dan lembut.

Hesti tampak menatap Desy dengan tatapan sendu.

Desy mengambil kompres di dahi Hesti, panasnya sudah berkurang, barangkali juga karena pengaruh obat yang sudah diminumnya.

“Kamu mengerti apa yang dikatakannya, Hesti?” tanya Danarto setelah Desy berhenti bicara.

Hesti mengangguk pelan.

“Aku ingin mengatakan sesuatu. Entah kamu sudah mengetahuinya atau belum, tapi sebelumnya aku ingin bertanya, apakah bu Sriani itu ibu kandung kamu?” lanjut Danarto.

Hesti mengangguk.

“Benar, menurutmu dia ibu kandung kamu?”

“Tentu saja Mas,” jawabnya lirih.

“Ternyata itu tidak benar. Kamu bukan anak kandungnya.”

Hesti terbelalak, menatap Danarto dengan rasa tak percaya.

“Karena dia berlaku kejam sama aku?”

“Bukan.”

“Lalu … ?”

“Aku menemukan bukti bahwa kamu bukan anak kandungnya. Bukti nyata.”

“Mas bohong kan?”

Bacalah surat ini baik-baik. Ini surat yang aku temukan ketika sedang bersih-bersih almari mendiang ibuku.

Danarto mengulurkan amplop kumal yang sudah berwarna kecoklatan kepada Hesti.

Desy dan Sarman menatapnya heran. Apa sebenarnya isi surat itu.

Hesti perlahan mengeluarkan surat itu, lalu membacanya dengan tangan gemetar.

Desy menatap Danarto, seakan membutuhkan jawaban segera, tapi Danarto memberi isyarat, sampai Hesti selesai membacanya.

Tiba-tiba tangan Hesti terkulai, dan kertas surat yang dibacanya terjatuh di kasur.

“Jadi … jadi … aku anak tiri?”

“Itu yang tertulis dalam surat yang kamu baca bukan?”

Desy dan Sarman terpaku di tempatnya duduk. Semuanya tak pernah dibayangkan. Pantas saja perlakuannya sangat tidak manusiawi, ternyata Hesti hanyalah anak tiri, yang ketika dewasa akan diperalatnya untuk mendapatkan keuntungan.

“Apa Mas tahu, tadi ibunya meminta Hesti untuk menanda tangani sebuah surat?” kata Sarman, sementara Desy mengambil surat itu kemudian membacanya.

“Surat apa?”

“Hesti tidak membacanya karena ibunya … eh … ibu tirinya terburu-buru.”

“Waduh, itu bahaya Hesti. Kamu terlalu sembrono.”

“Aku terlalu bingung,” katanya sambil memegangi kepalanya dengan kedua belah tangannya.

“Tenanglah Hesti, jadi menurut surat ini, ketika masih bayi kamu dirawat oleh nenek kamu. Kamu mengenal nenek kamu itu?”

“Ya Mbak, saya mengenalnya, karena saat bapak masih ada, sering diajak ke sana. Tapi setelah bapak meninggal, ibu jarang mengajak saya ke sana.”

“Kalau kamu sudah merasa kuat, temuilah nenek kamu itu. Dimana beliau tinggal?”

“Di Surabaya juga, tapi agak jauh dari rumah ibu.”

“Ada baiknya kamu menemui nenek kamu, barangkali kamu akan mendapatkan banyak cerita dari nenek. Tentang adanya kamu, bahkan tentang ibu kandungmu yang pastinya kamu belum mengetahuinya.”

Hesti mengangguk.

“Kamu tidak perlu sedih Hesti, ternyata kamu masih punya kerabat. Lupakan orang yang mengakuimu sebegai anaknya, tapi justru menyakitimu. Jangan menyesal kehilangan seorang jahat seperti dia,” kata Sarman.

Hesti merasa, kehangatan merayapi sekujur tubuhnya, hatinya, jiwanya. Banyak orang-orang baik disekelilingnya, yang memperhatikannya, bahkan mendukungnya. Ia mencoba mengulaskan senyuman, walau terasa pahit. Pahit karena menyadari bahwa ternyata dirinya adalah yatim piatu.

“Hesti, lebih baik kamu pindah ke rumah kami saja, bukankah ibuku sudah memintanya?” kata Desy.

“Takut menyusahkan. Mau cari tempat kost yang murah saja,” katanya pelan.

“Di rumah aku, bukan hanya murah, tapi gratis,” sambung Desy.

“Benar Hesti, disana kamu tidak akan kesepian. Agak jauh dari kampus sih, tapi kan kamu punya motor, dan bisa bareng Tutut juga.”

“Aku tidak bisa membayangkan kampus, sepertinya lebih baik aku tidak kuliah, tapi bekerja.”

“Baiklah, itu bisa dipikirkan nanti, yang penting sekarang kamu harus kuat dan sehat,” sambung Danarto.

Diluar pintu, ada yang merasa kecewa. Kalau Hesti pindah, berarti tak ada peluang untuk bertemu Sarman dong.

***

“Kasihan anak itu,” gumam Tindy ketika Desy menceritakan tentang Hesti yang kembali sakit.

“Iya Bu, Desy juga tidak mengira.”

“Segera suruh pindah kemari saja. Boleh satu kamar sendiri, atau berdua sama Tutut. Kan ada beberapa kamar kosong disini.”

“Saya sudah bilang, tapi tampaknya dia baru akan memikirkannya.”

“Ya sudah, barangkali ia belum merasa tenang. Rasa sungkan, pastinya ada, mengingat kalian belum lama kenal sama dia.”

“Benar Bu. Itu juga yang Desy pikirkan.

“Sekarang ibu mau tanya, ada apa dengan Danis?”

“Maksud Ibu apa sih?”

“Tampaknya dia suka sama Tutut. Apa itu benar?”

“Desy belum tahu pasti, tapi Desy melihat Danis punya usaha untuk mendekati Tutut. Seandainya iya, apakah Ibu keberatan?”

“Menurutmu Danis itu bagaimana?”

“Dia itu baik kok, Cuma nasibnya yang tidak begitu baik.”

“Tidak begitu baik, mengapa?”

“Baru setahun menikah sudah cerai.”

“Nah, itulah yang Ibu khawatirkan. Apakah dia benar-benar seorang suami yang baik untuk Tutut.”

“Bukan salah Danis. Isterinya yang meninggalkannya, pergi dengan bekas pacarnya.”

“Ya Tuhan, mengapa pernikahan dibuat mainan?”

“Danis hanya korban. Korban pelarian bagi isterinya, yang waktu itu ditinggal pacarnya. Maksudnya menolong, malah dikhianati. Tapi tampaknya mereka memang tidak saling mencintai.”

“Itulah maksud ibu, pernikahan dibuat mainan.”

“Tapi Danis itu baik Bu, dulu pernah mendekati Desy, tapi kan Desy sudah dekat sama mas Danarto. Tapi belum jelas juga, apakah dia benar-benar suka sama Tutut atau tidak. Tutut sendiri kan masih seperti anak kecil.”

“Rupanya kamu mempromosikan Danis supaya ibu suka sama dia ya?” canda Tindy.

Desy tertawa.

“Ibu kan bertanya, ya Desy jawab dong.”

“Ya sudah, harapan ibu, anak-anak ibu semuanya bisa menemukan hidup berbahagia.”

“Aamiin.”

“Lha itu dia datang,” teriak Desy ketika melihat mobil Danis memasuki halaman.

“Danis?”

“Iya, panjang umur nih, baru dibicarakan orangnya datang,” kata Desy sambil berdiri.

“Selamat malam Bu,” sapa Danis setelah Desy membawanya naik ke teras.

“Selamat malam nak,” sambut Tindy ramah.

Danis mencium tangan Tindy.

“Duduklah nak, ibu ke dalam dulu,” kata Tindy yang kemudian masuk ke dalam rumah.

“Terima kasih Bu,” katanya sambil duduk.

“Kamu bukan sedang mencari aku kan?”

“Memang tidak, aku mencari simbok,” canda Danis.

Desy tertawa.

“Benar nih? Mbooook,” teriak Desy.

“Eh, ya ampun Des, kamu nih …”

“Kan kamu bilang mencari simbok?”

“Ada apa Mbak?” simbok tiba-tiba muncul.

“Ini, dicari dokter Danis.”

Simbok menatap Danis dengan heran.

“Mbok, maukah mengambilkan segelas air putih dingin untuk saya?” kata Danis sambil tersenyum.

“Oh, tentu pak dokter, sebentar, simbok ambilkan,” kata simbok sambil berlalu.

Desy menutup mulutnya sambil terkekeh.

“Desy, kamu jangan cengengesan dong.”

“Kan kamu sendiri yang bilang bahwa kamu mencari simbok?”

“Sudah, jangan bercanda. Tutut mana?”

“Dia lagi belajar, besok mau ujian.”

“Oh, maaf kalau begitu. Sebenarnya pengin nyulik dia.”

“O, jadi kamu tuh penculik?”

“Kalau yang diculik mau sih.”

“Jangan malam ini, culik aku saja, aku sedang pengin makan di luar nih.”

“Oh, baiklah, siapa takut? Kalau Danarto sekalipun tahu, aku juga tidak takut kok. Ayo bersiaplah, ini lebih baik daripada mengganggu yang lagi mau ujian.”

“Baiklah, aku ganti baju dulu ya, sambil pamit sama ibu dan bapak,” kata Desy sambil beranjak masuk.

“Pak dokter, ini minumnya,” kata simbok sambil membawa nampan berisi segelas air putih.

“Terima kasih Mbok,” kata Danis yang segera meraih gelas dan meminumnya.

Simbok tersenyum dan berlalu.

***

Sebenarnya Desy bukan sungguh-sungguh pengin makan di luar. Ia ingin mengorek isi hati Danis terhadap Tutut, adiknya. Seperti juga ibunya, ia berharap Tutut mendapatkan pria yang baik untuk hidupnya, bukan yang hanya ingin mempermainkannya.

“Kamu serius, suka sama Tutut?” tanya Desy sambil menikmati gado-gado yang dipesannya.

“Eh,  boleh ya?” kata Danis dengan mata berbinar.

“Yeee, siapa bilang boleh? Aku kan baru bertanya?”

“Nggak tahu kenapa, aku suka sama gadis cilik itu.”

“Tutut bukan gadis cilik, tahu.”

“Iya, dulu aku mengenalnya sebagai gadis cilik, sekarang, melihatnya tumbuh dewasa, rasanya aku jatuh cinta.”

“Kalau kamu memiliki wanita lain, apakah tidak akan ada masalah dengan bekas isteri kamu?”

“Masalah apa? Kami sudah bercerai, dan dia sudah memilih pria yang dia cintai. Selesai kan? Tak ada ikatan apapun antara aku dan dia, apalagi anak itu bukan darah dagingku.”

Biarpun dia pernah mendengarnya dari Danarto tentang anak itu, tetap saja Desy menampakkan wajah terkejut.

“Kamu itu berarti dewa penolong bagi dia.”

“Entahlah, waktu itu aku hanya merasa kasihan. Mm … apakah kira-kira bapak sama ibu kamu keberatan punya menantu seorang  duda?”

“Entahlah, tapi yang terpenting, jangan sampai ada yang tersakiti. Orang tua kan selalu berharap agar anaknya hidup bahagia?”

“Iya benar. Aku akan selalu membahagiakannya.”

“Tapi aku juga tidak tahu bagaimana Tutut. Dia sedang sibuk menghadapi kuliahnya yang tak kunjung selesai. Dia itu kan seenaknya.”

“Baiklah, aku tidak akan mengganggunya sampai dia menyelesaikan kuliahnya. Tapi mengajaknya jalan kan tidak apa-apa, sesekali saja. Bukan mengajaknya pacaran lho.”

“Silakan saja, sekaligus saling menjajaki hati masing-masing, soalnya Tutut itu terkadang masih kekanak-kanakan, manjanya bukan main.”

“Iya aku tahu.”

“Aunty !!”

Sebuah teriakan nyaring terdengar, membuat Danis dan Desy menoleh kearah datangnya suara. Wajah Desy berseri ketika melihat dua anak kecil berlarian mendekatinya.

“Sayang, kamu sudah sehat?” tanya Desy sambil memeluk dan mencium pipi Bunga.

“Sudah, Aunty.”

“Aunty!” si kecil Azka tak mau kalah, menarik-narik baju Desy karena merasa tidak diperhatikan.

“Oh, sayangku, apa kabar?” lalu Desy menciumi pipinya juga. Tapi ketika kemudian dia melihat kedua anak itu bersama siapa, ia menatapnya heran. Demikian juga Danis.

Harun berjalan masuk agak di belakang anak-anak itu, tapi dia tidak sendiri. Ada dokter Nisa bersamanya.

Desy menjabat erat tangan keduanya.

Dan Danis juga menyalaminya kemudian, tapi dia berbisik ditelinga dokter Nisa.

“Selamat ya,” bisiknya sambil tersenyum menggoda.

“Eh, selamat apa?” pekik dokter Nisa. Saat Danis membisikkannya pelan, dokter Nisa malah menyambutnya dengan teriakan.

“Selamat … selamat bertemu,” kata Danis sambil tertawa.

“Silahan duduk,” sambut Desy sambil menggendong Azka.

Dalam hati Desy bersyukur, tampaknya Harun dan dokter Nisa semakin dekat. Semoga dokter cantik itu benar-benar bisa menjadi ibu yang mengasihi kedua anak yang haus kasih sayang seorang ibu.

“Aku mau es krim,” tiba-tiba pekik Bunga setelah duduk.

“Es klim!” Azka berteriak tak mau kalah.

“Sayang, kita makan dulu, setelah itu baru makan es krim, ya?” kata dokter Nisa lembut.

Bunga mengangguk patuh. Lalu mereka terlibat dalam sebuah perbincangan yang santai, yang terkadang diselingi celoteh lucu kedua anak Harun.

***

Dua hari sudah berlalu. Hesti kemudian pergi ke Surabaya, diantarkan Sarman yang tidak tega melepaskan Hesti sendirian.

“Masih ingat rumah nenek ya?” tanya Sarman ketika mereka sudah turun dari taksi, lalu berjalan memasuki sebuah halaman yang cukup luas.

Ada sebuah rumah kuna yang pintunya tertutup. Sepi di sekelilingnya. Keduanya terus mendekati rumah, lalu mengetuk pintunya. Agak lama, tak ada sahutan.

“Nenekmu bepergian, rupanya.”

Tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekat, Sarman dan Hesti menoleh. Seorang laki-laki setengah tua mendekat.

“Mencari siapa Nak?” tanyanya.

“Mencari nenek, apa nenek bepergian?”

“Maksudnya, bu Mintarsih?”

“Iya Pak, dia kan nenek saya.”

“Owalah, kalau Nak ini cucunya, mengapa tidak tahu kalau beliau sudah meninggal?”

Hesti terpaku di tempatnya berdiri.

***

Besok lagi ya.




Saturday, May 28, 2022

ADUHAI AH 33

 

ADUHAI AH  33

(Tien Kumalasari)

 

Melihat Hesti tampak tertegun, Sita menatap juga ke arah wanita yang datang mendekat.

“Itu kan ….”

“Ibuku … “ kata Hesti sambil tersenyum. Tampaknya ada harapan baik dihatinya. Apa ibu menyesal telah membuangku? Kata batinnya.

“Oh, baiklah, aku balik ke kamarku dulu ya,” kata Sita sambil melangkah pergi.

Hesti berdiri menyambut ibunya.

“Ibu …” sambut Hesti tetap dengan  senyuman, dan berusaha memeluk ibunya. Tapi bu Sriani menghindar, menepiskan tangan Hesti yang sudah terulur.

Hesti mundur selangkah, merasakan batinnya sangat teriris.

Lalu tanpa dipersilakan, bu Sriani duduk di kursi tamu.

“Ibu, Hesti sangat menyayangi ibu,” kata Hesti pelan, pilu.

“Sudah, tak usah berbasa basi. Aku datang kemari mau mengambil tas aku yang tidak juga kamu kirimkan sejak aku kembali ke Surabaya.”

Hesti terkejut. Ia buru-buru masuk ke kamarnya, dan ternyata tas kulit berisi pakaian atau entah apa milik ibunya tergeletak di samping almari dan tertutup kursi, Sita yang meletakkan kursi itu saat dia sakit. Itu sebabnya dia tak melihatnya, sehingga tak juga mengirimkannya kepada ibunya.

“Ini Bu, maaf saya lupa,” kata Hesti sambil menenteng tas itu, lalu di serahkannya kepada ibunya.

“Baiklah, sekarang aku mau kamu tanda tangan disini,” kata bu Sriani yang membawa selembar kertas bermeterai, dan diulurkannya kepada Hesti.

“Ini surat apa Bu?”

“Jangan kelamaan, segera tanda tangani.”

“Tap_pi ….”

“Itu surat bahwa aku bukan lagi orang tuamu. Cepat tanda tangani, nggak usah pakai dibaca segala, aku sedang terburu-buru.”

“Bu …”

Hesti masih ragu, ia ingin membaca surat itu, tapi ibunya segera menyodorkan sebuah ballpoint, langsung di selipkan ke jari Hesti.

“Cepat, aku ditunggu taksi, dan aku sudah beli tiket untuk kembali, jangan sampai membuatku ketinggalan kereta. Cepaaat,” hardik Sriani dengan mata membulat bengis.

Hesti merasa takut melihat mata itu. Dengan gemetar dia tanda tangani surat yang entah isinya apa karena dia tak sempat membacanya.

“Bagus, dan terima kasih karena telah membuat aku tidak terlambat,” katanya sambil berdiri, kemudian membalikkan tubuhnya, mengambil tasnya yang ketinggalan dan pergi meninggalkan Hesti yang menatapnya pilu

“Ibu, bukankah aku anakmu? Mengapa Ibu tega sekali Bu, aku sangat menyayangimu, Bu,” lalu berderailah air matanya.

Tiba-tiba Sita yang melihat wanita itu pergi, kemudian kembali ke kamar Hesti. Ia heran melihat Hesti menangis.

“Hesti, ada apa? Apa ibumu memarahi kamu?”

Hesti merangkul Sita erat, dan terguguk di pundak sahabatnya.

“Ibumu memarahi kamu lagi?”

“Ibu benar-benar tidak sayang sama aku. Aku ingin memeluknya, dia menampiknya. Dia benar-benar ingin membuang aku,” isaknya.

“Sudah, kamu tenang ya. Bukankah bahwa ibumu tidak lagi menganggapmu anak itu kamu sudah tahu? Kamu sakit karena itu, bukan? Lalu mengapa kamu masih menangisinya lagi?”

“Tadi aku mengira ibu menyesalinya, ternyata tidak.”

“Kalau begitu lupakan saja, nanti kamu sakit lagi Hesti, jangan lagi menangisinya, ya.”

Lalu Sita mengajaknya masuk ke dalam kamar, mencoba menenangkan hati Hesti dengan segala cara. Tidak mudah memang, pasti sakit sekali rasanya menjadi anak yang dibuang dari orang tuanya. Tapi setidaknya Sita bisa membuat tangis Hesti berhenti.

“Lalu apa yang dilakukan ibumu tadi ?”

“Ibu menyuruh aku menanda tangani sebuah surat.”

“Surat apa?”

“Entahlah, aku tidak membacanya.”

“Bodoh sekali kamu. Mengapa kamu mau menanda tanganinya kalau kamu tidak tahu isi surat itu apa?”

“Dia memaksaku segera tanda tangan, karena buru-buru dan takut ketinggalan kereta. Taksinya juga masih menunggu.”

“Tapi itu bisa saja membahayakan kamu Hesti. Kamu sembrono sekali.”

“Bagaimanapun aku kan anaknya, tak mungkin dia mencelakaiku,” kata Hesti begitu yakin.

“Nyatanya dia tega membuang kamu, kan?”

Hesti terdiam, tapi bukan tanda tangan itu yang di sesalinya. Sikap ibunya yang tampak sangat kejam dan tanpa ada sedikitpun sikap yang menunjukkan bahwa dia mencintainya. Hesti merasa dianggap seperti bukan siapa-siapa nya.

***

 Siang itu Desy dan dokter Nisa memang makan diluar. Mereka memasuki sebuah rumah makan dan duduk dengan santai di sana.

“Apa kabarnya Bunga?” tanya dokter Nisa ketika mereka sudah memesan makanan mereka.

“Saya belum tahu Dok. Sejak diijinkan pulang, saya belum ketemu mereka, dan tampaknya Bunga juga tidak begitu rewel seperti saat sakit.

“Ya, mudah-mudahan begitu.”

“Pak Harun bilang bahwa saatnya kontrol nanti akan datang ke tempat praktek Dokter yang di rumah, bukan ke rumah sakit.”

“Iya benar, pak Harun juga bilang begitu.”

“Anak itu lucu, dan menggemaskan.”

“Benar Dok. Dokter belum lama mengenalnya, tapi tampaknya dokter sudah merasa sayang bukan?”

“Kalau aku tidak keguguran, maka pasti anakku juga sebesar Bunga,” kata dokter Nisa pilu.

“Oh, Dokter pernah keguguran?”

“Saat itu aku belum menjadi dokter.”

“Oh.”

“Kami menikah muda. Lalu suamiku meninggal karena kecelakaan.”

“Oh,” Desy menatap wajah cantik yang tampak sendu itu dengan perasaan iba. Ia tak mengira dokter Nisa juga seorang janda.

“Aku sedang mengandung muda waktu itu, dan karena terlalu sedih lalu aku keguguran.”

“Dokter, saya tidak mengira.”

“Aku melanjutkan kuliah di kedokteran. Dan menjadi spesialis anak sampai sekarang.”

Pelayan menyajikan pesanan mereka.

“Ah, sudahlah, itu kan perjalanan hidup aku. Aku sudah melupakannya. Bagaimanapun hidup harus berlanjut, bukan?”

Desy mengangguk, lalu mendekatkan piring makanan ke depan dokter Nisa.

“Aku senang mendengar kamu akan segera menikah.”

Desy tersenyum.

“Dokter tahu darimana?”

“Danarto tadi cerita sama aku.”

Desy tertunduk malu.

“Semoga kalian berbahagia.”

“Terima kasih Dok. Tapi saya juga berharap, dokter juga akan menemukan seseorang yang Dokter cintai.”

“Yang terpenting adalah dicintai. Mencintai itu belum tentu dicintai bukan?”

“Berarti kalimatnya harus begini, ‘mencintai dan dicintai’,” kata Desy sambil tertawa.

“Itu benar,” sahut dokter Nisa sambil menghirup es kopyor yang dipesannya.

“Dokter Nisa dan dokter Desy?” sebuah suara mengejutkan mereka.

“Pak Harun?” seru kedua dokter cantik itu.

“Kok bisa ada disini semuanya?”

“Saatnya istirahat Pak Harun, ayo silakan duduk. Sendirian?” sapa dokter Nisa.

“Iya lah dok, kan memang saya ini orang  yang sedang sendiri?” jawab Harun sambil duduk diantara mereka.

Harun melambai ke arah pelayan dan memesan makanan dan minuman untuk dirinya sendiri, karena dilihatnya kedua dokter cantik itu sudah menikmati makanannya.

“Setiap hari saya makan siang di sini.”

“Oh ya, ini baru pertama kalinya kami makan di sini, ternyata enak,” kata Desy menimpali.

“Lumayan, saya suka, masakannya lumayan enak,” kata Harun lagi.

“Bagaimana Bunga?”

“Oh ya Dok, nanti sore kami mau ke tempat praktek Dokter, karena obat jalan yang Dokter berikan itu sudah habis.”

“Oh ya, silakan Pak Harun. Tapi sudah tidak rewel lagi kan?” tanya dokter Nisa lagi.

“Tidak. Dulu dia rewel karena badannya sakit, yang dia ingat hanya dokter Desy, karena sudah lama dia mengenalnya, dan selalu memanggil aunty.”

Mereka tertawa, teringat bagaimana ketika awal mula datang, lalu Bunga begitu rewel dan hanya Desy yang bisa menenangkannya.

“Dia butuh seorang ibu, Pak Harun,” kata Desy.

Harun tersipu. Didepannya ada dua wanita cantik yang sangat baik dan penyayang. Yang dekat dengan anak-anaknya adalah Desy, tapi dia tahu bahwa dokter Desy sudah memiliki calon suami. Dia tahu itu ketika Desy sedang ‘membual’ dihadapan seorang wanita yang menjadi tamunya waktu itu. Harun tersenyum sendiri ketika mengingat bahwa Desy mengakuinya sebagai calon suaminya. Ahaa, seandainya saja itu benar.

Lalu dia melirik ke arah dokter Nisa. Apakah dokter Nisa masih sendirian?

***

“Bagus Danar, aku suka rumah itu. Dan harganya juga masih terjangkau oleh aku. Walau sesungguhnya untuk seorang lajang seperti aku, kelihatan agak kebesaran ya?” kata Danis ketika Danarto mengajaknya melihat rumah yang ingin dibelinya.

“Kamu kan tidak selamanya sendirian Danis, suatu hari pasti kamu butuh istri. Lalu kamu akan punya anak, jadi lumayanlah rumah segitu. Kamu juga bisa praktek di rumah itu, bukan?”

Danis tersenyum.

“Semoga aku segera laku,” gumamnya sambil tersenyum kecut.

“Laku lah, kamu kan cakep, pintar. Maksudku … pintar merayu.”

Danis menonjok lengan sahabatnya.

“Bagaimana kalau aku suka sama Tutut. Eh tapi jangan dulu bilang sama Desy. Dia bisa memaki-maki aku.”

Danarto tertawa.

“Masa sih, dia memaki-maki kamu?”

“Iya, belum tentu dia suka punya ipar duda. Lagi pula Tutut masih kuliah.”

“Tungguin dong, nanti kan juga selesai.”

“Semoga dia mau.”

“Kamu benar-benar cinta sama Tutut?”

“Aku merasa nyaman sama dia.”

“Apa tidak aneh, baru saja bercerai, kamu sudah jatuh cinta lagi?”

“Aneh? Aku sudah lama menyadari bahwa aku tidak mencintai isteriku. Aku hanya kasihan padanya karena ditinggalkan kekasihnya saat dia hamil. Aku sudah berusaha menjadi suami yang baik, dan tetap mencintai bayi yang dilahirkannya seperti darah dagingku sendiri. Tapi ketika Nungki bertemu lagi dengan kekasih lamanya, ternyata dia memilih kembali sama dia. Aku tidak sedih. Sama sekali tidak,” kata Danis gusar.

“Tapi kamu terluka.”

“Tidak juga. Aku hanya marah.”

“Apakah itu berbeda?”

“Berbeda. Terluka, bisa karena merasa kehilangan. Marah, lebih karena merasa ditipu dan dibohongi. Tapi itu tidak lama. Ini hidup yang harus aku jalani. Yang penting aku merasa telah berbuat kebaikan dengan menutupi aib seseorang.”

“Aku kagum sama kamu Danis. Kamu bisa menjalani semua itu tanpa seorangpun tahu bahwa sesungguhnya kamu tidak bahagia.”

“Sekarang aku justru bahagia Danar, bahagia karena merasa terlepas dari himpitan kepalsuan dan kepura-puraan.”

“Syukurlah, aku harap kamu tetap bahagia, dan segera menemukan seseorang yang kamu cintai.”

“Dan mencintai aku, bukan cinta palsu.”

“Aamiin.”

***

Desy dan dokter Nisa masih asyik berbincang saat makan siang itu, ketika tiba-tiba ponselnya berdering.

“Maaf ya, saya terima telpon dulu, dari kakak saya,” kata Desy sambil berdiri dan agak menjauh.

Harun dan dokter Nisa mengangguk mengerti.

“Ada apa Mas?” Desy menjawab telpon dari Sarman.

“Tolong, bisakah kamu datang sekarang?”

“Datang … kemana ?”

“Aku sedang di rumah kost Hesti.”

“Ada apa memangnya?”

“Hesti sakit lagi. Badannya tiba-tiba panas. Mual dan muntah-muntah.”

“Oh, ya ampun, kenapa pula? Salah makan barangkali?”

“Entahlah, bisakah kamu datang?”

“Baiklah, aku akan segera ke sana.”

Desy menutup ponselnya, lalu mendekati meja di mana dokter Nisa dan Harun masih duduk menunggu. Mereka sudah selesai makan.

“Dok, mm … bagaimana ya, ada kerabat saya yang sakit, dan saya harus ke sana.”

“Nggak apa-apa Des, aku bisa pulang sendiri,” kata dokter Nisa. Mereka berdua memang keluar dengan mengendarai mobil Desy.

“Bagaimana kalau saya yang mengantar Dokter?” kata Harun menawarkan diri.

“Aduh, jangan merepotkan Pak Harun, saya bisa naik taksi. Tadi memang kami keluar dengan memakai mobilnya dokter Desy.”

“Tidak repot, kan sekalian saya kembali ke kantor.”

“Benar, tidak repot nih?”

“Benar Dok, masa saya bohong. Senang bisa mengantarkan dokter. Sungguh.”

“Baiklah Pak Harun, maaf jadi merepotkan Pak Harun,” sambung Desy.

“Tidak. Saya tidak merasa di repotkan kok.”

“Dokter Nisa, saya minta maaf ya.”

“Nggak apa-apa Des, segera temui saudara kamu, siapa tahu sakitnya serius.”

“Terima kasih Dok.”

***

“Apa yang terjadi? kata Desy ketika memeriksa tubuh Hesti.

Dilihatnya Hesti berbaring, didahinya ada kompres yang masih menempel.

“Kata temannya, tadi ibunya datang kemari,” jawab Sarman tampak khawatir.

“Lhoh, bukannya senang ibunya datang?”

“Kalau ibu biasa, ya senang. Itu kan ibu yang luar biasa?”

“Dia masih datang dan marah-marah?”

“Dia datang dan memaksa Hesti menanda tangani sebuah surat.”

“Surat apa?”

“Hesti tidak tahu isinya, hanya tanda tangan saja.”

“Lhoh, kenapa dia mau?”

“Pastinya dipaksa, entahlah, dia belum banyak cerita, temannya yang bernama Sita itu tadi yang bercerita.”

“Mana dia sekarang?”

“Baru kembali ke kamarnya, katanya dia punya obat panas.”

“Saya buatkan resep seperti yang diberikan mas Danarto itu saja ya Mas, tolong Mas belikan di apotek. Nanti kalau tidak berkurang, kita bawa ke rumah sakit saja.”

“Baiklah.”

Desy menuliskan resep, lalu Sarman berlalu untuk pergi membelikan obatnya. Kemudian Desy menggantikan kompres di dahi Hesti. Hesti masih memejamkan mata.

“Dokter … “ bisik Hesti pelan.

“Hei, lupa ya, panggil aku mbak. Sudah terbiasa ‘mbak’ kok ganti lagi?”

“Mbak … saya pengin mati saja.”

“Haaaa? Mati? Memangnya kamu siapa bisa menentukan hidup dan mati?”

“Saya …”

“Hentikan ucapan itu. Tetaplah bersemangat dan jalani hidup. Jangan putus asa. Berjuanglah untuk terlepas dari belenggu yang menjeratmu, entah apa bentuknya belenggu itu.”

Hesti meremas tangan Desy yang dari tadi memeganginya.

Tiba-tiba ponsel Desy berdering.

“Desy …” suara Danarto dari seberang.

“Ya Mas.”

“Kamu di mana?”

“Di tempat kost Hesti, dia jatuh sakit lagi.”

“Sakit lagi?”

“Ibunya belum lama datang dan tampaknya berulah lagi.”

“Oh ya, baiklah, aku segera kesana. Tampaknya ada yang harus Hesti ketahui.”

***

Besok lagi ya.



M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...