ADUHAI AH 35
(Tien Kumalasari)
“Kapan nenek saya meninggal?” tanya Hesti lemas. Walau
dia tidak terlalu dekat dengan neneknya, tapi karena dia adalah neneknya, ibu
dari ayahnya, maka mendengar bahwa nenek sudah meninggal, hati Hesti juga
terasa sakit. Miris karena tidak ada yang mengabarinya. Ibunya sekalipun tidak.
“Baru tiga hari yang lalu Nak,” kata bapak setengah
tua itu.
“Baru tiga hari? Dimana makam nenek ?”
“Tidak jauh dari sini Nak, kalau mau, akan saya
antarkan. Jalan kaki juga sampai.”
“Baiklah. Bapak tinggal di dekat sini?” tanya Sarman
yang sedari tadi diam saja.
“Iya Nak, rumah saya di depan situ, dan kebetulan saya
juga ketua RT di sini.”
“Oh, pak RT rupanya.”
“Saya juga membawa kunci rumah, karena salah seorang
kerabat menitipkan rumah ini, sampai jelas siapa yang akan mewarisinya. Saya
juga bertugas membersihkannya, setiap minggu dua kali, nantinya,” terang pak RT sambil
berjalan mengantarkan Hesti dan Sarman ke pemakaman, yang letaknya memang tak
begitu jauh dari perkampungan itu.
“Siapa saja kerabat dari nenek saya?” tanya Hesti.
“Almarhumah bu Mintarsih hanya memiliki seorang anak
laki-laki. Kalau Anda bilang bahwa Anda adalah cucunya, berarti Anda itu
putrinya pak Johan almarhum.”
“Iya, pak Johan itu ayah saya. Sudah meninggal ketika
saya belum masuk sekolah SMA.”
“Tapi mengapa Anda sampai tidak mendengar bahwa nenek
Anda meninggal?”
“Saya sekolah di Solo, sama sekali tidak ada yang
memberi tahu bahwa nenek sudah meninggal,” kata Hesti sedih.
“Kasihan sekali Nak. Tapi kabarnya pak Johan itu
menikah lagi, apa isterinya yang kemarin datang lalu memeriksa kamar
almarhumah, dan entah apa yang dibawanya, saya kurang paham, karena dia mengatakan
bahwa dia adalah menantunya.”
Hesti yakin, bahwa itu adalah ibunya, eh bukan, ibu
tirinya. Mengapa dia tak mau mengatakan bahwa neneknya meninggal? Bukankah
dirinya adalah keturunannya langsung?
“Itu Nak, kita sudah sampai di pemakaman.” Lalu pak RT
menunjukkan sebuah gundukan tanah yang masih basah, dan diatasnya dipenuhi
bunga-bunga tabur yang menutupi hampir seluruh gundukan tanah itu.
Hesti dan Sarman duduk di sebuah batu, yang kebetulan
ada di depan makam yang masih baru itu. Ada tulisan agak besar di ujung pemakaman,
yang bertuliskan nama neneknya dan kapan dia dilahirkan serta kapan dia meninggal.
“Nenek, sudah lama Hesti tidak mengunjungi nenek,
apakah nenek lupa sama Hesti? Hesti ingat setiap kali datang bersama bapak,
Nenek selalu memberi Hesti uang jajan buat Hesti, dan setelah Bapak meninggal,
ibu jarang sekali mengajak Hesti bertemu Nenek,” bisik Hesti sambil berlinang
air mata.
Lalu Hesti dan Sarman khusyuk berdoa, pak RT mengikuti
membaca doa dari belakang kedua remaja itu.
Tempat pemakaman itu tidak begitu terasa panas, karena
banyak pohon besar tersebar di sekitar area pemakaman. Hesti dan Sarman masih
duduk termangu.
“Pak RT … “ Hesti memecah kesunyian itu dengan
suaranya yang pelan.
“Ya Nak.”
“Apakah Bapak tahu, dimana ibu saya dimakamkan?”
Pak RT menatap Hesti dengan heran.
“Jadi … Nak_”
“Maaf saya belum memperkenalkan diri, nama saya Hesti, dan
ini sahabat saya, mas Sarman.”
“Oh, iya Nak, jadi Nak Hesti ini apa bayi yang dulu
dirawat oleh almarhumah, kemudian di minta oleh pak Johan ketika pak Johan
menikah lagi?”
“Iya Pak, itu yang saya dengar, karena saat itu saya
masih bayi, jadi tidak tahu bahwa saya dirawat oleh ayah saya bersama ibu tiri
saya.”
“Saya tahu benar keluarga bu Mintarsih, karena bu Mintarsih
sering bercakap-cakap sama isteri saya, dan menceritakan perihal keluarganya.”
“Iya Pak, jadi apakah pak RT tahu di mana ibu kandung
saya dimakamkan?”
“Itu nak, di bawah makam bu Mintarsih itu, makamnya bu
Maryuni, isteri pak Johan yang meninggal tidak lama setelah melahirkan.”
“Oh, itu makam ibu saya?” kata Hesti sambil beranjak,
mendekati sebuah nisan yang ditunjukkan pak RT.
Hesti membaca nama ibunya yang katanya bernama Maryuni,
Benar, di nisan itu tertulis namanya, dan tahun meninggalnya sama seperti tahun
ketika dia dilahirkan, hanya tanggalnya terpaut dua hari.
“Bu Maryuni mengalami perdarahan saat melahirkan, dan
tidak tertolong karena penanganan yang agak terlambat,” kata pak RT, yang
tampaknya juga menyesali kepergian ibunya tak lama setelah melahirkan dirinya.
Hesti meraba nisan itu, Sarman diam dan ikut
berjongkok di sampingnya.
“Ibu, tahukah Ibu bahwa aku adalah anak Ibu? Lihatlah Bu, Hesti sudah dewasa, dan baru kali ini Hesti menziarahi makam Ibu, karena tak seorangpun memberi tahu bahwa aku adalah putri Ibu. Tahukan Ibu bahwa Hesti sangat menderita? Cinta kasih yang diberikan Ibu Sriani ternyata tidak benar-benar tulus. Ketika Hesti tidak bisa mewujudkan keinginannya, terbukalah sifat aslinya, dan kemudian Hesti menyadari bahwa ibu Sriani tidak menyayangi Hesti seperti seorang ibu mencintai anaknya. Mengapa dulu Ibu tidak mengajakku serta?” isaknya. Tapi kemudian Sarman menyentuhnya pelan, karena Hesti tidak pantas mengucapkan itu, Hesti melirik ke arah Sarman, kemudian mengangguk pelan, sebagai isyarat bahwa dia mengerti bahwa ucapannya salah.
Lalu Hesti dan Sarman berdoa juga di depan makam bu
Maryuni.
***
“Saya heran,” kata pak RT ketika sudah mempersilakan
Hesti dan Sarman masuk kedalam rumah nenek Mintarsih dan menyuguhinya dengan
minuman dan camilan, yang diantarkan bu RT dari rumahnya, “bagaimana Anda
sebagai cucu tunggalnya sampai tidak tahu bahwa ibu Mintarsih meninggal.”
“Saya kan sudah
bilang bahwa saya ada di Solo, Pak.”
“Tapi kan ibu Anda, mm … atau ibu tiri Anda harusnya
mengabari Anda kan Nak?”
Hesti menghela napas panjang, sedih dan miris menemui
keadaan demi keadaan yang didengarnya, mulai dari saat bu Sriani bilang bahwa dia
tidak ingin mengakuinya lagi sebagai anak, lalu membaca sebuah surat yang
mengatakan bahwa bu Sriani mandul dan dirinya hanyalah anak tirinya, lalu
mendapati neneknya meninggal tiga hari lalu. Tapi ada yang disyukuri, bahwa dia
menemukan makam ibu kandungnya.
“Saya tidak tahu Pak. Bahkan saya juga baru saja tahu
bahwa saya hanyalah anak tirinya bu Sriani, isteri kedua dari ayah saya.”
“Menurut saya, keadaan ini akan menjadi sangat rumit.
Ada hal-hal buruk yang akan terjadi setelah meninggalnya ibu Mintarsih.”
“Mengapa Bapak berpikir demikian?” tanya Sarman.
“Pertama, mengapa bu Sriani tidak mengabari nak Hesti
yang keturunan langsung bu Mintarsih. Kedua, dia seperti menguasai semua harta
bu Mintarsih. Maaf, mungkin dugaan saya salah, tapi saya dan istri saya melihat
bagaimana bu Sriani membawa barang-barang dari kamar bu Mintarsih. Kami tidak
tahu barang-barang apakah itu, yang pastinya harus nak Hesti yang mengurusnya.”
“Nah, tercium niat jahat bu Sriani kan? Apa kamu mau
diam saja?” kata Sarman sambil menatap Hesti yang tampak kebingungan.
“Bu Mintarsih itu bukan orang miskin. Saya tahu
almarhumah memiliki barang-barang berharga berupa perhiasan emas atau lainnya,
karena kami tahu bu Mintarsih selalu memakai perhiasan setiap kali datang ke
undangan.”
“Menurut aku Pak, sebaiknya cucu ibu Mintarsih ini dipersilakan
melihat-lihat kamar pribadinya,” kata bu RT yang tiba-tiba muncul.
“Itu benar, nak Hesti ini keturunan langsung, jadi lebih
berhak. Mari saya antarkan masuk untuk melihat-lihat,” kata pak RT. Sarman dan
Hesti kemudian berdiri, mengikutinya. Bu RT pun ikut mengantar mereka.
Rumah bu Mintarsih memang tampak seperti rumah kuno, tapi lumayan luas. Halamannya bukan hanya yang tampak di depan rumah, tapi di
belakang juga ada, dan banyak ditumbuhi pohon buah-buahan. Hesti ingat, dulu setiap
kali datang ke rumah itu, saat musim buah apapun, ia puas memakannya, bahkan
banyak dibawa pulang.
Ada beberapa kamar di rumah itu, yang ketika Hesti
menjenguknya, tampak kosong tapi tertata bersih dan rapi. Tapi ada sebuah kamar
yang terkunci.
“Mengapa ini terkunci?” tanya Hesti.
“Ini kamarnya bu Mintarsih, Nak,” kata bu RT.
“Mungkin banyak benda berharga di dalamnya,” kata pak
RT.
Tiba-tiba dilihatnya seseorang masuk ke dalam, seorang
wanita paruh baya, memakai kain dan
kebaya.
“Lhaa, ini bu Sukini, pembantu Bu Mintarsih,” seru bu
RT.
Bu Sukini menatap Hesti tak berkedip, kemudian
tiba-tiba memeluknya.
Ya ampuuun, ini neng Hesti bukan?”
“Hesti lupa-lupa ingat, tapi kemudian ia tersenyum,
setiap kali dia datang, bu Sukini yang melayaninya. Menyuguhkan minuman,
memasak makanan.
“Neng Hesti ini ketika masih bayi, saya yang
merawatnya. Ibunya meninggal setelah melahirkan, dan pak Johan menitipkannya
disini sampai berumur hampir setahun. Lalu pak Johan menikah lagi dengan bu
Sriani, dan neng Hesti ini dirawat di sana,” bu Sukini menerangkannya panjang
lebar, hampir sama dengan apa yang di ceritakan pak RT sebelumnya.
“Apa bu Sukini tahu di mana kunci kamar bu Mintarsih?
Pastinya tidak ada yang bisa melarang nak Hesti ini seandainya ingin memasuki
kamar neneknya bukan?”
“Kunci kamar itu dibawa sama bu Sriani. Tapi
sebenarnya saya membawa serepnya, karena dulu almarhumah itu sering lupa menaruh
kunci setelah bepergian, jadi saya diberikan kunci serepnya, supaya kalau lupa,
saya selalu bisa membukakannya. Sebentar, akan saya ambil di rumah, untung
ketika itu saya lupa bilang kepada bu Sriani bahwa saya mempunyai kunci
serepnya."
“Sekarang nak Hesti dan nak Sarman istirahat saja
dulu, biar bu Sukini mengambil kuncinya. Begitu kan bu Sukini?”
“Ya, betul Pak RT, saya pulang dulu sebentar,” kata bu
Sukini sambil berlalu, sementara bu RT mempersilakan Hesti dan Sarman
beristirahat di ruang tamu, dengan ditemani pak RT.
“Ibu sudah selesai memasak bukan? Nanti hidangkan juga
untuk tamu-tamu ini,” pesan pak RT ketika istrinya akan berlalu.
“Iya, aku memang mau membawa makanan kemari, kan sudah
waktunya makan siang.”
“Wah, kami jadi merepotkan nih, pak RT,” kata Sarman
dan Hesti hampir bersamaan. Mereka sangat sungkan menghadapi keramahan sikap
pak RT dan isterinya, juga bekas pembantu bu Mintarsih yang tampaknya juga
penuh perhatian. Keduanya tak tahu, bahwa sikap mereka itu dipicu oleh rasa
ketidak senangan mereka terhadap sikap bu Sriani yang tampak seperti menjadi
yang berkuasa setelah bu Mintarsih meninggal.
***
Sementara itu di dalam keluarga Haryo mulai tampak
banyak kesibukan. Dua bulan lagi akan ada pernikahan, yaitu Desy Ambarsari dan
Danarto.
Mereka harus memesan gedung dan catering, juga
menyusun siapa saja yang akan diundang. Danis yang sudah ngebet ingin mendekati
Tutut, selalu terlibat dalam kesibukan itu. Ia mendapat tugas memesan gedung,
atas permintaan Danarto.
“Gedungnya yang di tempat kamu menikah itu saja Danis,”
usul Danarto.
“Tidak. Gedung itu membawa sial.”
“Apa maksudmu?”
“Buktinya, aku menikah disitu, dan pernikahan aku
buyar sebelum setahun, bukan?”
Danarto terbahak.
“Apa itu karena gedungnya? Ngaco kamu, jaman sekarang
masih percaya hal-hal yang berbau mistik seperti itu,” gerutu Danarto.
“Pokoknya aku nggak mau gedung itu, yang lain saja. Serahkan sama aku, pasti tidak akan mengecewakan.”
“Kamu sudah menemukannya?”
“Sudah, agak mepet waktunya, katanya ada barengannya,
tapi mereka pesan pagi, kita kan malam.”
“Aduh, apa nggak repot itu nanti? Sementara masih
dipakai orang, lalu gantian kita memakainya. Bagaimana menata dekorasi, menata
semuanya. Gedung mana itu, cari yang lain saja.”
“Baiklah, ada beberapa alternatif kok. Yang satu ini
sekaligus ada layanan rias pengantin, cateringnya sekaligus juga bisa, juga
dekorasinya sekalian.”
“Hm, kelihatannya menarik. Tapi kamu juga harus minta
persetujuan pak Haryo dan ibu.”
“Iya, aku menghubungi gedungnya dulu. Ini agak repot,
karena waktu dua bulan itu sangat mepet, apalagi ini musim orang menikah.”
“Masa sih?”
“Iya. Nggak percaya? Kebanyakan pasangan lebih suka
menikah di musim penghujan seperti ini,” kata Danis cengengesan.
Danarto selalu terbahak mendengar setiap ulasan Danis
tentang apapun juga.
“Asal deh.”
“Kamu tuh kalau dikasih tahu orang tua jangan ngeyel.”
“Kamu, orang tua? Umur kita sama, tahu.”
“Benar, tapi aku sudah duda, kamu masih perjaka, jadi
kalau itung-itungan, lebih tuaan aku daripada kamu.”
“Dasar duda ngawur.” Omel Danarto, tapi tetap saja dia
tertawa.
“Dan satu lagi Danar, tolong rekomendasikan aku untuk
menjadi pendamping pengantin, bersama Tutut.”
“Danarto tertawa semakin keras.
“Istilahmu itu terlalu formil tahu, pakai kata
rekomendasi segala.”
“Aku serius, sobat.”
“Jangan bilang sama aku, bilang sama keluarga pak
Haryo, kan mereka yang punya gawe, bukan aku.”
“Ya ampun Danar, kamu kan juga boleh usul.”
“Iya, nanti gampang, aduh, sudah ngebet sekali rupanya
kamu nih.”
“Aduh, jangan keberatan menolong sesama Danar,
menolong itu ada pahalanya.”
Dan tawa keduanya semakin riuh, membuat siapapun yang
lewat terpaksa menoleh ke dalam ruangan Danarto yang sengaja terbuka lebar
siang itu.
***
Sarman dan Hesti sudah selesai makan jamuan yang
dihidangkan bu RT, ketika bu Sukini datang.
“Ini Neng, kuncinya sudah saya bawa. Mari silakan, kalau mau melihat kamar almarhumah ibu Mintarsih.
Sarman dan Hesti bangkit berdiri, lalu mengikuti bu
Sukini menuju ke kamar bu Mintarsih. Pak RT juga melangkah di belakang mereka.
Semuanya terkejut ketika melihat kamar bu Mintarsih
berantakan. Almari yang tidak sepenuhnya tertutup, menampakkan baju-baju yang
tampak tidak teratur. Ada lagi satu almari yang tertutup, tapi tidak terkunci.
Hesti membukanya. Tak ada barang berharga ataupun kotak yang biasanya dipakai
untuk menyimpan perhiasan.
“Ini almari dimana bu Mintarsih selalu menguncinya. Semua
perhiasan disimpan disini. Juga surat2 penting. Kok tidak ada apa-apanya? Pasti wanita itu sudah
membawa semuanya,” omel bu Sukini yang ikut melihat-lihat isi almari itu.
“Nah, laci ini mengapa juga kosong?” pekik bu Sukini
lagi.
Tiba- tiba mereka semua menoleh ke arah pintu, karena
mendengar suara lantang dari sana.
“Apa yang kalian lakukan disini? Maling?”
***
Besok lagi ya.