Tuesday, May 31, 2022

ADUHAI AH 35

 

ADUHAI AH  35

(Tien Kumalasari)

 

“Kapan nenek saya meninggal?” tanya Hesti lemas. Walau dia tidak terlalu dekat dengan neneknya, tapi karena dia adalah neneknya, ibu dari ayahnya, maka mendengar bahwa nenek sudah meninggal, hati Hesti juga terasa sakit. Miris karena tidak ada yang mengabarinya. Ibunya sekalipun tidak.

“Baru tiga hari yang lalu Nak,” kata bapak setengah tua itu.

“Baru tiga hari? Dimana makam nenek ?”

“Tidak jauh dari sini Nak, kalau  mau, akan saya antarkan. Jalan kaki juga sampai.”

“Baiklah. Bapak tinggal di dekat sini?” tanya Sarman yang sedari tadi diam saja.

“Iya Nak, rumah saya di depan situ, dan kebetulan saya juga ketua RT di sini.”

“Oh, pak RT rupanya.”

“Saya juga membawa kunci rumah, karena salah seorang kerabat menitipkan rumah ini, sampai jelas siapa yang akan mewarisinya. Saya juga bertugas membersihkannya, setiap minggu dua kali, nantinya,” terang pak RT sambil berjalan mengantarkan Hesti dan Sarman ke pemakaman, yang letaknya memang tak begitu jauh dari perkampungan itu.

“Siapa saja kerabat dari nenek saya?” tanya Hesti.

“Almarhumah bu Mintarsih hanya memiliki seorang anak laki-laki. Kalau Anda bilang bahwa Anda adalah cucunya, berarti Anda itu putrinya pak Johan almarhum.”

“Iya, pak Johan itu ayah saya. Sudah meninggal ketika saya belum masuk sekolah SMA.”

“Tapi mengapa Anda sampai tidak mendengar bahwa nenek Anda meninggal?”

“Saya sekolah di Solo, sama sekali tidak ada yang memberi tahu bahwa nenek sudah meninggal,” kata Hesti sedih.

“Kasihan sekali Nak. Tapi kabarnya pak Johan itu menikah lagi, apa isterinya yang kemarin datang lalu memeriksa kamar almarhumah, dan entah apa yang dibawanya, saya kurang paham, karena dia mengatakan bahwa dia adalah menantunya.”

Hesti yakin, bahwa itu adalah ibunya, eh bukan, ibu tirinya. Mengapa dia tak mau mengatakan bahwa neneknya meninggal? Bukankah dirinya adalah keturunannya langsung?

“Itu Nak, kita sudah sampai di pemakaman.” Lalu pak RT menunjukkan sebuah gundukan tanah yang masih basah, dan diatasnya dipenuhi bunga-bunga tabur yang menutupi hampir seluruh gundukan tanah itu.

Hesti dan Sarman duduk di sebuah batu, yang kebetulan ada di depan makam yang masih baru itu. Ada tulisan agak besar di ujung pemakaman, yang bertuliskan nama neneknya dan kapan dia dilahirkan serta  kapan dia meninggal.

“Nenek, sudah lama Hesti tidak mengunjungi nenek, apakah nenek lupa sama Hesti? Hesti ingat setiap kali datang bersama bapak, Nenek selalu memberi Hesti uang jajan buat Hesti, dan setelah Bapak meninggal, ibu jarang sekali mengajak Hesti bertemu Nenek,” bisik Hesti sambil berlinang air mata.

Lalu Hesti dan Sarman khusyuk berdoa, pak RT mengikuti membaca doa dari belakang kedua remaja itu.

Tempat pemakaman itu tidak begitu terasa panas, karena banyak pohon besar tersebar di sekitar area pemakaman. Hesti dan Sarman masih duduk termangu.

“Pak RT … “ Hesti memecah kesunyian itu dengan suaranya yang pelan.

“Ya Nak.”

“Apakah Bapak tahu, dimana ibu saya dimakamkan?”

Pak RT menatap Hesti dengan heran.

“Jadi … Nak_”

“Maaf saya belum memperkenalkan diri, nama saya Hesti, dan ini sahabat saya, mas Sarman.”

“Oh, iya Nak, jadi Nak Hesti ini apa bayi yang dulu dirawat oleh almarhumah, kemudian di minta oleh pak Johan ketika pak Johan menikah lagi?”

“Iya Pak, itu yang saya dengar, karena saat itu saya masih bayi, jadi tidak tahu bahwa saya dirawat oleh ayah saya bersama ibu tiri saya.”

“Saya tahu benar keluarga bu Mintarsih, karena bu Mintarsih sering bercakap-cakap sama isteri saya, dan menceritakan perihal keluarganya.”

“Iya Pak, jadi apakah pak RT tahu di mana ibu kandung saya dimakamkan?”

“Itu nak, di bawah makam bu Mintarsih itu, makamnya bu Maryuni, isteri pak Johan yang meninggal tidak lama setelah melahirkan.”

“Oh, itu makam ibu saya?” kata Hesti sambil beranjak, mendekati sebuah nisan yang ditunjukkan pak RT.

Hesti membaca nama ibunya yang katanya bernama Maryuni, Benar, di nisan itu tertulis namanya, dan tahun meninggalnya sama seperti tahun ketika dia dilahirkan, hanya tanggalnya terpaut dua hari.

“Bu Maryuni mengalami perdarahan saat melahirkan, dan tidak tertolong karena penanganan yang agak terlambat,” kata pak RT, yang tampaknya juga menyesali kepergian ibunya tak lama setelah melahirkan dirinya.

Hesti meraba nisan itu, Sarman diam dan ikut berjongkok di sampingnya.

“Ibu, tahukah Ibu bahwa aku adalah anak Ibu? Lihatlah Bu, Hesti sudah dewasa, dan baru kali ini Hesti menziarahi makam Ibu, karena tak seorangpun memberi tahu bahwa aku adalah putri Ibu. Tahukan Ibu bahwa Hesti sangat menderita? Cinta kasih yang diberikan Ibu Sriani ternyata tidak benar-benar tulus. Ketika Hesti tidak bisa mewujudkan keinginannya, terbukalah sifat aslinya, dan kemudian Hesti menyadari bahwa ibu Sriani tidak  menyayangi Hesti seperti seorang ibu mencintai anaknya. Mengapa dulu Ibu tidak mengajakku serta?” isaknya. Tapi kemudian Sarman menyentuhnya pelan, karena Hesti tidak pantas mengucapkan itu, Hesti melirik ke arah Sarman, kemudian mengangguk pelan, sebagai isyarat bahwa dia mengerti bahwa ucapannya salah.

Lalu Hesti dan Sarman berdoa juga di depan makam bu Maryuni.

***

“Saya heran,” kata pak RT ketika sudah mempersilakan Hesti dan Sarman masuk kedalam rumah nenek Mintarsih dan menyuguhinya dengan minuman dan camilan, yang diantarkan bu RT dari rumahnya, “bagaimana Anda sebagai cucu tunggalnya sampai tidak tahu bahwa ibu Mintarsih meninggal.”

 “Saya kan sudah bilang bahwa saya ada di Solo, Pak.”

“Tapi kan ibu Anda, mm … atau ibu tiri Anda harusnya mengabari Anda kan Nak?”

Hesti menghela napas panjang, sedih dan miris menemui keadaan demi keadaan yang didengarnya, mulai dari saat bu Sriani bilang bahwa dia tidak ingin mengakuinya lagi sebagai anak, lalu membaca sebuah surat yang mengatakan bahwa bu Sriani mandul dan dirinya hanyalah anak tirinya, lalu mendapati neneknya meninggal tiga hari lalu. Tapi ada yang disyukuri, bahwa dia menemukan makam ibu kandungnya.

“Saya tidak tahu Pak. Bahkan saya juga baru saja tahu bahwa saya hanyalah anak tirinya bu Sriani, isteri kedua dari ayah saya.”

“Menurut saya, keadaan ini akan menjadi sangat rumit. Ada hal-hal buruk yang akan terjadi setelah meninggalnya ibu Mintarsih.”

“Mengapa Bapak berpikir demikian?” tanya Sarman.

“Pertama, mengapa bu Sriani tidak mengabari nak Hesti yang keturunan langsung bu Mintarsih. Kedua, dia seperti menguasai semua harta bu Mintarsih. Maaf, mungkin dugaan saya salah, tapi saya dan istri saya melihat bagaimana bu Sriani membawa barang-barang dari kamar bu Mintarsih. Kami tidak tahu barang-barang apakah itu, yang pastinya harus nak Hesti yang mengurusnya.”

“Nah, tercium niat jahat bu Sriani kan? Apa kamu mau diam saja?” kata Sarman sambil menatap Hesti yang tampak kebingungan.

“Bu Mintarsih itu bukan orang miskin. Saya tahu almarhumah memiliki barang-barang berharga berupa perhiasan emas atau lainnya, karena kami tahu bu Mintarsih selalu memakai perhiasan setiap kali datang ke undangan.”

“Menurut aku Pak, sebaiknya cucu ibu Mintarsih ini dipersilakan melihat-lihat kamar pribadinya,” kata bu RT yang tiba-tiba muncul.

“Itu benar, nak Hesti ini keturunan langsung, jadi lebih berhak. Mari saya antarkan masuk untuk melihat-lihat,” kata pak RT. Sarman dan Hesti kemudian berdiri, mengikutinya. Bu RT pun ikut mengantar mereka.

Rumah bu Mintarsih memang tampak seperti rumah kuno, tapi lumayan luas. Halamannya bukan hanya yang tampak di depan rumah, tapi di belakang juga ada, dan banyak ditumbuhi pohon buah-buahan. Hesti ingat, dulu setiap kali datang ke rumah itu, saat musim buah apapun, ia puas memakannya, bahkan banyak dibawa pulang.

Ada beberapa kamar di rumah itu, yang ketika Hesti menjenguknya, tampak kosong tapi tertata bersih dan rapi. Tapi ada sebuah kamar yang terkunci.

“Mengapa ini terkunci?” tanya Hesti.

“Ini kamarnya bu Mintarsih, Nak,” kata bu RT.

“Mungkin banyak benda berharga di dalamnya,” kata pak RT.

Tiba-tiba dilihatnya seseorang masuk ke dalam, seorang wanita paruh baya,  memakai kain dan kebaya.

“Lhaa, ini bu Sukini, pembantu Bu Mintarsih,” seru bu RT.

Bu Sukini menatap Hesti tak berkedip, kemudian tiba-tiba memeluknya.

Ya ampuuun, ini neng Hesti bukan?”

“Hesti lupa-lupa ingat, tapi kemudian ia tersenyum, setiap kali dia datang, bu Sukini yang melayaninya. Menyuguhkan minuman, memasak makanan.

“Neng Hesti ini ketika masih bayi, saya yang merawatnya. Ibunya meninggal setelah melahirkan, dan pak Johan menitipkannya disini sampai berumur hampir setahun. Lalu pak Johan menikah lagi dengan bu Sriani, dan neng Hesti ini dirawat di sana,” bu Sukini menerangkannya panjang lebar, hampir sama dengan apa yang di ceritakan pak RT sebelumnya.

“Apa bu Sukini tahu di mana kunci kamar bu Mintarsih? Pastinya tidak ada yang bisa melarang nak Hesti ini seandainya ingin memasuki kamar neneknya bukan?”

“Kunci kamar itu dibawa sama bu Sriani. Tapi sebenarnya saya membawa serepnya, karena dulu almarhumah itu sering lupa menaruh kunci setelah bepergian, jadi saya diberikan kunci serepnya, supaya kalau lupa, saya selalu bisa membukakannya. Sebentar, akan saya ambil di rumah, untung ketika itu saya lupa bilang kepada bu Sriani bahwa saya mempunyai kunci serepnya."

“Sekarang nak Hesti dan nak Sarman istirahat saja dulu, biar bu Sukini mengambil kuncinya. Begitu kan bu Sukini?”

“Ya, betul Pak RT, saya pulang dulu sebentar,” kata bu Sukini sambil berlalu, sementara bu RT mempersilakan Hesti dan Sarman beristirahat di ruang tamu, dengan ditemani pak RT.

“Ibu sudah selesai memasak bukan? Nanti hidangkan juga untuk tamu-tamu ini,” pesan pak RT ketika istrinya akan berlalu.

“Iya, aku memang mau membawa makanan kemari, kan sudah waktunya makan siang.”

“Wah, kami jadi merepotkan nih, pak RT,” kata Sarman dan Hesti hampir bersamaan. Mereka sangat sungkan menghadapi keramahan sikap pak RT dan isterinya, juga bekas pembantu bu Mintarsih yang tampaknya juga penuh perhatian. Keduanya tak tahu, bahwa sikap mereka itu dipicu oleh rasa ketidak senangan mereka terhadap sikap bu Sriani yang tampak seperti menjadi yang berkuasa setelah bu Mintarsih meninggal.

***

Sementara itu di dalam keluarga Haryo mulai tampak banyak kesibukan. Dua bulan lagi akan ada pernikahan, yaitu Desy Ambarsari dan Danarto.

Mereka harus memesan gedung dan catering, juga menyusun siapa saja yang akan diundang. Danis yang sudah ngebet ingin mendekati Tutut, selalu terlibat dalam kesibukan itu. Ia mendapat tugas memesan gedung, atas permintaan Danarto.

“Gedungnya yang di tempat kamu menikah itu saja Danis,” usul Danarto.

“Tidak. Gedung itu membawa sial.”

“Apa maksudmu?”

“Buktinya, aku menikah disitu, dan pernikahan aku buyar sebelum setahun, bukan?”

Danarto terbahak.

“Apa itu karena gedungnya? Ngaco kamu, jaman sekarang masih percaya hal-hal yang berbau mistik seperti itu,” gerutu Danarto.

“Pokoknya aku nggak mau gedung itu, yang lain saja. Serahkan sama aku, pasti tidak akan mengecewakan.”

“Kamu sudah menemukannya?”

“Sudah, agak mepet waktunya, katanya ada barengannya, tapi mereka pesan pagi, kita kan malam.”

“Aduh, apa nggak repot itu nanti? Sementara masih dipakai orang, lalu gantian kita memakainya. Bagaimana menata dekorasi, menata semuanya. Gedung mana itu, cari yang lain saja.”

“Baiklah, ada beberapa alternatif kok. Yang satu ini sekaligus ada layanan rias pengantin, cateringnya sekaligus juga bisa, juga dekorasinya sekalian.”

“Hm, kelihatannya menarik. Tapi kamu juga harus minta persetujuan pak Haryo dan ibu.”

“Iya, aku menghubungi gedungnya dulu. Ini agak repot, karena waktu dua bulan itu sangat mepet, apalagi ini musim orang menikah.”

“Masa sih?”

“Iya. Nggak percaya? Kebanyakan pasangan lebih suka menikah di musim penghujan seperti ini,” kata Danis cengengesan.

Danarto selalu terbahak mendengar setiap ulasan Danis tentang apapun juga.

“Asal deh.”

“Kamu tuh kalau dikasih tahu orang tua jangan ngeyel.”

“Kamu, orang tua? Umur kita sama, tahu.”

“Benar, tapi aku sudah duda, kamu masih perjaka, jadi kalau itung-itungan, lebih tuaan aku daripada kamu.”

“Dasar duda ngawur.” Omel Danarto, tapi tetap saja dia tertawa.

“Dan satu lagi Danar, tolong rekomendasikan aku untuk menjadi pendamping pengantin, bersama Tutut.”

“Danarto tertawa semakin keras.

“Istilahmu itu terlalu formil tahu, pakai kata rekomendasi segala.”

“Aku serius, sobat.”

“Jangan bilang sama aku, bilang sama keluarga pak Haryo, kan mereka yang punya gawe, bukan aku.”

“Ya ampun Danar, kamu kan juga boleh usul.”

“Iya, nanti gampang, aduh, sudah ngebet sekali rupanya kamu nih.”

“Aduh, jangan keberatan menolong sesama Danar, menolong itu ada pahalanya.”

Dan tawa keduanya semakin riuh, membuat siapapun yang lewat terpaksa menoleh ke dalam ruangan Danarto yang sengaja terbuka lebar siang itu.

***

Sarman dan Hesti sudah selesai makan jamuan yang dihidangkan bu RT, ketika bu Sukini datang.

“Ini Neng, kuncinya sudah saya bawa. Mari silakan, kalau mau melihat kamar almarhumah ibu Mintarsih.

Sarman dan Hesti bangkit berdiri, lalu mengikuti bu Sukini menuju ke kamar bu Mintarsih. Pak RT juga melangkah di belakang mereka.

Semuanya terkejut ketika melihat kamar bu Mintarsih berantakan. Almari yang tidak sepenuhnya tertutup, menampakkan baju-baju yang tampak tidak teratur. Ada lagi satu almari yang tertutup, tapi tidak terkunci. Hesti membukanya. Tak ada barang berharga ataupun kotak yang biasanya dipakai untuk menyimpan perhiasan.

“Ini almari dimana bu Mintarsih selalu menguncinya. Semua perhiasan disimpan disini. Juga surat2 penting. Kok tidak ada apa-apanya? Pasti wanita itu sudah membawa semuanya,” omel bu Sukini yang ikut melihat-lihat isi almari itu.

“Nah, laci ini mengapa juga kosong?” pekik bu Sukini lagi.

Tiba- tiba mereka semua menoleh ke arah pintu, karena mendengar suara lantang dari sana.

“Apa yang kalian lakukan disini? Maling?”

***

Besok lagi ya.

 

44 comments:

  1. Replies
    1. Manusang bu Tien , AA sdh tayang

      Delete
    2. Selamat buat Noordiana HP, malam ini di episode_35 JUARA 1

      Matur nuwun bu Tien.....
      Tetap aduhai

      Delete
  2. Alhamdulillah
    Mtnuwun mbk Tien....🙏🙏

    ReplyDelete
  3. Makasih Bunda , met malam dan met istirahat

    ReplyDelete
  4. Alhamdulullah sdh hadir
    Matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah ADUHAI-AH 35 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun, bu Tien. Untuk sangu malam liburan

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, matur nuwun bunda, salam aduhai dari Pasuruan

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun bu Tien tayang gasik

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah AA sdh tayang..
    Terimakasih bunda Tien..
    Salam sehat selalu..
    Selamat beristirahat bunda..
    dan salam ter Aduhai..utk bunda..

    ReplyDelete
  10. Wow.... Maling teriak maling...
    😀😀😀😀
    Ternyata benar dugaanku, harta yg diincarnya.

    ReplyDelete
  11. Woow ... ternyata sdh ada ... Trimakasih bu Tien .... semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah...
    Matur nuwun bu Tien..
    Salam sehat dan Aduhai..
    Bam's Bantul

    ReplyDelete
  13. Makin aduhaaaaai trs ceritanya.... terima kasih Mbu Tien... sehat² selalu.......

    ReplyDelete
  14. Terimakasih bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah,matursuwun buTien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  16. Matur nuwun mbak Tien-ku ADUHAI AH sudah tayang.
    Harta hanya titipan, tidak usah ngoyo memburunya, Narimo ing Pandum saja. Apa lagi sampai keluar Serakahnya.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  17. Bu sriati kah yg datang? Kok kayak siluman tiba2 muncul

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ehhh...bukan Sriati kali...Sriani...kalu Sriati kan anggota WAG PCTK meskipun sama2 domisili di Surabaya...😂😂🙏

      Delete
  18. Terima kasih mbak Tien. Salam sehat selalu.

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 35 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  20. Bu Sriani datang?
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah.. Terima kasih Bu Tien..
    Semoga sehat selalu..

    ReplyDelete
  22. Uhhh ketahuan belang nya eee nih cucu keturunannya ..pasti mantu jahat nyolong maling triak maling😄🤭🤭🤭gebukin aja ni bu Sri

    ReplyDelete
  23. 𝐖𝐨𝐮𝐰𝐰𝐰 𝐦𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐢𝐚𝐤 𝐦𝐚𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐝𝐚𝐬𝐚𝐫 𝐒𝐫𝐢𝐚𝐧𝐢....😄😄😄

    𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐬𝐞𝐦𝐨𝐠𝐚 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚...🙏🙏🙏

    ReplyDelete
  24. Ha ini yg DTG mesti sriani maling Alok maling.....
    Trims Bu tien

    ReplyDelete
  25. Bisakah dan tegakah Hesti sama Sriani yang beneran sangat kejam, seperti pak èrté tadi mengatakan banyak barang barang yang di angkut olèh Sriani dan semua surat² penting raib semua..
    Perhiasan hilang nggak tentu rimbanya..

    Hesti harus terus mengurus kembalinya peninggalan nenek mu.
    Karena kamu pewaris tunggal, sangat kuat posisimu dimata hukum.
    Apalagi ada pak èrté juga tetangga yang menyaksikan ulah Sriani yang sok kuasa, padahal tetangga nenek Mintarsih mengenalmu, terlebih pengasuhmu.

    Nah sudah ketahuan belangnya kan, pewaris tunggal di singkirkan paksa.

    Begitu terencana kemungkinan waktu nenek Mintarsih sakit Sriani sudah tahu kemudian, justru dijauhkan cucu ke luar kota dan disibukan masalah yang dibuat buat; menyibukkan Hesti, sampai mentok ada perlawanan dan itu melelahkan justru dibuat penekanan lebih dengan memaksa Hesti tanda tangan diatas kertas bermeterai.

    Geliat persiapan perhelatan di keluarga Haryo sudah di mulai beberapa persiapan, yang membuat Sarman harus kembali ke kotanya.

    Ternyata ini hasilnya kamu memaksa aku menandatangani kertas bermeterai kamu yang merampok aku, banyak saksi disini, ayo mas Sarman kita ke kantor polisi.
    Dia mencurangi aku dan menghilangkan identitas ku dengan memaksa tanda tangan.

    Kadang harta membuat buta mata dan meninggikan keangkuhan


    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke tiga puluh lima sudah tayang,
    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta.
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju...ayo kita seret Sriani ke penjara...ibu tiri lebih kejam dari pembunuhan

      Delete
  26. Aduhai Ah 35 luar biasa , makin membuat dadaku ikut bergemuruh..

    ReplyDelete
  27. Aduhai.....padahal dia sendiri malingnya...maling teriak maling...dia penjahat kelas kakap yg sdh memaksa merebut warisan Hesti dengan memaksa Hesti utk ttd surat pernyataan yg Hesti tak boleh membaca isinya....please mbak Tien...kasihan Hesti...tolong dikasih jalan Hesti utk mengambil kembali haknya.....

    Maturnuwun uda menyajikan episode yg bikin gregetan ini...

    Salam sehat dan sayang dr Situbondo

    ReplyDelete
  28. Nuwun bu Tien. Cerita makin seru karena bu Sriani datang. Ternyata bu Sriani ibu tiri yang jahat. Nuwun kakek Habi, kebetulan sebelum tidur buka blog..eh bisa masuk pertama.

    ReplyDelete
  29. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat semua ya bu Tien,,🤗🥰

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...