Wednesday, June 1, 2022

ADUHAI AH 36

 

ADUHAI AH  36

(Tien Kumalasari)

 

Hesti menatap nanar siapa yang datang dan berdiri dipintu. Ibu tirinya, dengan mata bengis menatapnya, dan juga menatap semua orang yang ada di ruangan itu.

“Apa yang kalian lakukan?” hardiknya keras.

Hesti seakan tak mengenali lagi seorang Sriani yang dulu dianggapnya sebagai ibu kandungnya. Ia melihat mata iblis memancar dari kedua bola matanya. Ia berdiri mematung, dan bulu kuduknya berdiri.

“Kenapa diam saja? Kalian mau maling? Dan Pak RT, bukankah saya sudah menitipkan rumah ini dan semua isinya pada Pak RT? Bagaimana kalian bisa masuk ke dalam kamar ini yang sebelumnya saya kunci? Apa maksud kalian sebenarnya?” katanya dengan kekasaran bak raksasa kelaparan.

“Sebentar Bu, tahan kata-kata kasar Anda. Ini, Hesti Nurani, adalah cucu dari almarhumah ibu Mintarsih, dia berhak atas semua peninggalan neneknya. Ada masalah?” kata Sarman yang tak tahan dengan perlakuan Sriani yang datang bagai polisi menemukan maling.

“Kamu siapa?”

“Nama saya Sarman,  bukan siapa-siapa, saya hanya ingin menunjukkan kebenaran yang Ibu juga harus memahaminya,” kata Sarman tegas, tanpa takut, sementara Hesti hanya menundukkan wajahnya,

“Oh, saya sepertinya pernah mendengar nama itu, nama seseorang yang tidak berkelas,” katanya sinis.

Sarman mengepalkan kedua tangannya. Kalau yang berada di hadapannya bukan seorang perempuan, dia pasti sudah menghajarnya.

“Saya memang tidak berkelas. Lalu bagaimana dengan Ibu? Berdandan ala perempuan terhormat, tapi tak bisa menata kata-katanya. Sangat kasar dan tidak sopan, seperti orang tak berpendidikan,” sengit Sarman.

“Apa katamu? Aku orang tak berpendidikan? Rupanya kamu belum mengenal aku,” katanya masih dengan menghardik.

“Barangkali Ibu berpendidikan tinggi, tapi kelakuan Ibu sama sekali tidak menunjukkan itu.”

“Kamu bukan siapa-siapa disini, menyingkirlah. Aku sedang berurusan dengan orang-orang yang tidak bertanggung jawab ini.

“Tunggu Bu Sriani, apa maksudnya anda mengatakan itu? Benar apa yang dikatakan nak Sarman, bahwa nak Hesti adalah pewaris tunggal dari Bu Mintarsih almarhumah.  Jadi apa salahnya kalau dia memasuki rumah ini, apalagi kamarnya? Dia merasa heran karena melihat kamar ini acak-acakan, dan banyak harta yang hilang di sini.”

“Pak RT, apa sampeyan sudah lupa pesan saya sebelum pergi? Sampeyan bertanggung jawab atas rumah dan isinya karena saya menitipkannya, bukan?”

“Benar Bu, tapi saya mempersilakan seseorang masuk, karena dia berhak. Apa Ibu lupa?”

“Siapa? Maksud sampeyan gadis ini?” katanya sambil menunjuk ke arah Hesti yang diam saja.

“Betul Bu.”

Tiba-tiba Sriani tertawa. Hesti menatapnya karena tawa itu terdengar seperti datang dari awang sana, nyaring dan membuatnya merinding.

“Anak itu, memang benar cucunya bu Mintarsih, tapi sejak bayi aku yang merawatnya. Almarhum mertua aku ini sudah menyerahkan semua hartanya sama aku, karena aku merawat anak dan cucunya dengan baik.”

“Benarkah? Adakah bukti tentang penyerahan harta itu?” sergah Sarman.

“Tentu saja ada. Bahkan Hesti sudah tahu tentang hal itu.”

“Hesti sudah tahu?”

“Ya, dan untuk itu Hesti sudah menandatangani suratnya kok,” kata Sriani dengan congkaknya, sambil menatap Hesti tajam.

“Haa, surat? Surat yang Ibu paksa agar ditandatangani Hesti tanpa mengijinkan dia membacanya?”

“Oh … bukan main anak ini. Alangkah pintarnya berbohong. Aku tidak memaksanya. Dia membacanya kok. Benar kan Hesti? Kamu sudah tahu apa isi surat yang kamu tanda tangani itu?” Sriani menatap Hesti dengan pandangan bengis. Sungguh Hesti merasa ketakutan, dan tanpa sadar menganggukkan kepala.

“Nah, sampeyan semua melihat kan?”

Semuanya saling berpandangan, sedangkan Hesti menundukkan wajahnya.

“Baiklah, terserah kalian mau apa, nanti pengadilan yang akan menentukannya.”

Tiba-tiba Sriani membalikkan tubuhnya dan berlalu dengan cepat. Sebuah mobil menunggunya dihalaman, yang segera meluncur pergi ketika Sriani sudah memasukinya.

***

Hesti duduk di sebuah kursi di ruang tamu. Wajahnya kusut, tampak sekali dia bingung dan sangat gelisah.

“Apa benar nak Hesti sudah mengetahui ini semua? Bahwa barang peninggalan bu Mintarsih sudah diserahkan kepada bu Sriani?” tanya pak RT.

“Saya sangat bingung,” keluhnya sambil memegang kepalanya dengan kedua belah tangannya. Ia selalu begitu kalau sedang gelisah.

“Hesti, dengar aku dan tenanglah. Kami semua ada dipihak kamu. Kami tahu bahwa dia berbohong.”

“Aku tidak membacanya,” katanya lirih.

“Nah, mengapa tadi kamu mengangguk?” tegur Sarman.

“Aku bingung, aku takut. Biarlah semua diambil oleh dia, aku tak peduli,” kata Hesti ketakutan.

“Tidak Hesti, kamu tidak  boleh menyerah. Kamu ditipu oleh dia,” kata Sarman.

“Benar Nak Hesti, kebenaran harus ditegakkan.”

“Aku takut menghadapi pengadilan. Aku tidak mau harta ini, biarlah diambil oleh dia, aku tidak mau,” lalu Hesti menangis.

Sarman menatapnya iba. Hesti sangat rapuh. Tekanan sedikit saja membuatnya sakit.

“Kalau Nak Hesti takut menghadapi, kita cari pengacara, bukankah sebaiknya begitu, Nak Sarman?”

“Betul. Kalau Hesti tidak mau harta neneknya, tidak apa-apa, tapi jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat. Kamu mengerti Hesti? Jangan takut, banyak yang akan membela kamu,” kata Sarman menguatkan.

“Apakah Nak Hesti dan Nak Sarman akan menginap di sini?”

“Sepertinya tidak Pak RT, besok saya ujian. Hari ini menyempatkan mengantarkan Hesti karena tidak tega dia pergi sendiri. Dan nyatanya ada masalah kan? Untunglah ada saya dan pak RT. Kalau tidak, pasti Hesti sudah dibantainya habis-habisan,” kata Sarman.

“Baiklah, saya mengerti. Tampaknya bu Sriani akan membawa kasus ini ke pengadilan, sungguh berani dia. Harusnya nak Hesti yang melapor ke yang berwajib. Mengapa dia?”

“Kelihatan bodohnya,” gumam bu RT yang sedari tadi hanya mendengarkan, duduk agak jauh di samping bu Sukini


“Orang jahat merasa benar, kasihan sekali,” sahut bu Sukini.

Hari itu Sarman mengajak Hesti pulang, karena besok dia harus maju ujian. Masalah bu Sriani akan dipikirkan setelahnya.

***

Desy menerima telpon dari Sarman saat mau pulang dari bertugas.

“Ada apa Mas? Bagaimana kabarnya Hesti?”

“Ruwet,” jawab Sarman dari seberang sana.

“Ruwet bagaimana?”

“Ceritanya panjang. Nanti kalau aku sudah sampai rumah akan bicara lebih jelas.”

“Sekarang Mas lagi di mana?”

“Di jalan. Sudah hampir masuk Solo. Tapi aku mau bilang, bagaimana kalau Hesti aku bawa ke rumah saja?”

“Tidak apa-apa Mas, kan sudah sejak kemarin-kemarin dipersilakan?”

“Masalahnya dia kembali terpukul, ketika di sana ketemu ibu tirinya itu.”

“Oh, rame dong? Masalah surat itu dibicarakan bukan?”

“Nanti saja ceritanya. Yang penting aku pulang dengan membawa Hesti, agar dia merasa lebih tenang. Kalau di tempat kost, temannya hanya Sita, yang tidak begitu paham permasalahannya. Lagi pula dia bekerja, tadi tidak bisa sepenuhnya menemani Hesti. Keadaan Hesti sangat tidak baik.”

“Baiklah Mas, bawa pulang saja dia. Aku juga mau segera pulang ini.”

“Terima kasih, Desy.”

“Ih, formal amat sih, sama adiknya sendiri.”

Sarman tertawa. 

"Sebuah kebaikan kan harus disambut dengan ucapan terima kasih.”

“Iya deh, cepatlah pulang, bukankah besok Mas ujian?”

“Iya, itu sebabnya kami pulang hari ini juga.”

***

“Ya nak Danis, kami setuju, pilihan nak Danis sudah tepat, jadi kami tidak harus memikirkan yang lainnya,” kata Tindy ketika Danis melaporkan hasil temuannya tentang gedung yang tidak terpakai di hari yang akan dipergunakan untuk acara resepsi pernikahan Danarto dan Desy.

“Tadinya agak sulit Bu, karena waktunya sudah mepet, dan di bulan-bulan seperti itu banyak orang “punya gawe.”

“Kami maklum kok Nak, waktunya memang sangat mepet,” sambung Haryo.

“Soalnya calon pengantin pria nya kan sudah ngebet, Pak,” canda Danis, yang disambut tawa Haryo dan isterinya.

“Kecuali itu kami juga ingin agar hubungan mereka segera sampai pada ujungnya. Bertahun kami menunggu kesediaan mereka.”

“Iya Pak, kalau sudah menikah kan sudah tidak menjadi beban pikiran lagi.”

“Lalu kapan nak Danis menyusul? Masa mau sendirian terus?” tanya Haryo.

“Iya Pak, mohon restunya, supaya segera bisa menemukan yang cocok.”

“Oh iya Pak, tentang pendamping pengantin itu, bagusnya siapa ya?” tanya Tindy.

Danis mengeluh dalam hati.

“Bagaimana sih Danarto, kok belum merekomendasikan aku? Aduh, kalau aku ngomong sendiri ya malu dong,” gerutu Danis dalam hati. Ia mengetuk-ngetukkan ball point yang tadi dibuatnya untuk membuat laporan dan catatan tentang gedung yang akan disewa dan fasilitasnya.

“Bagaimana kalau Sarman … “ usul Haryo, yang membuat hati Danis mencelos.

“Aduuuh…” keluhnya lirih dan tanpa sadar keluar dari mulutnya.

“Ada apa nak? Kok mengaduh?” tanya Tindy heran.

“Oh … eh … ini … ada yang terlupa …” jawabnya gugup.

“Apa yang terlupa itu?”

“Ini … aduh … gimana aku ini?” Danis bingung mau jawab apa.

“Gimana sih nak?”

“Anu Bu, saya … saya … lupa mencatat nomor telpon nya.”

“Nomor telpon siapa?”

“Itu, gedung nya.”

“Lhah ini, yang di brosurnya kan ada sih Nak?” kata Haryo.

“Oh, iya … ya ampun, kenapa aku bingung.”

“Nak Danis kecapekan ya, bingung mencari gedung?”

“Oh, tidak … tidak bu, masa cuma begitu saja capek.  Tadinya kan hanya browsing di internet, lalu setelah oke baru saya datang ke kantor pemasarannya.”

“Baiklah, kalau kecapekan ya jangan dipaksa lho,” kata Tindy.

“Tidak Bu, sungguh … “

Tiba-tiba mobil Desy memasuki halaman, heran melihat Danis sudah ada di rumahnya.

“Danis ? Kok sudah ada di sini?”

“Aku dari rumah sakit langsung kemari, soalnya masalah gedung ini kalau tidak cepat-cepat diselesaikan keburu diambil orang.

“O, baguslah,” kata Desy sambil duduk.”

“Ibu dan bapak sudah setuju gedung pilihan nak Danis,” kata Tindy.

“Oh, syukurlah.”

“Tadi kami sedang bicara tentang pendamping pengantin, bagaimana kalau Sarman?” tanya Haryo mencari dukungan.

“Bagus Pak, mas Sarman saja.”

Danis mengatupkan mulutnya agar keluhannya tidak keluar dari mulutnya.

“Sial amat sih, mengapa Desy tidak ingat aku? Ini Des, aku di sebelah kamu,” katanya dalam hati sambil mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

“Tapi kalau Mas Sarman, sama siapa Pak?” Desy meralat persetujuannya.

Danis komat kamit melantunkan doa. Berharap dirinya yang akan dipilihnya kemudian. Eh bukan komat kamit, dia masih menutup mulutnya rapat-rapat, jadi doa itu juga hanya dilantunkan dalam hati.

“Sama gadis itu dong, siapa namanya?” tanya Haryo.

“Hesti?” sambung Tindy.

“Nah, dia itu.”

“Hesti masih kekanak-kanakan Pak, belum tentu dia mau. Banyak malunya pasti,”  kata Desy.

Danis masih terus melantunkan doa dalam hati, kali ini sambil memejamkan matanya.

“Nak Danis ngantuk?” seru Tindy.

Danis terkejut, lalu membuka matanya.

“Tidak Bu, hanya sedang mendengarkan perbincangan, sama sekali tidak mengantuk kok, sergah Danis yang hampir saja tertawa, mentertawai dirinya yang bersikap sangat konyol.

“Mengapa tidak Danis saja pendamping pengantinnya?” kata Desy tiba-tiba, membuat Danis hampir terlonjak mendengarnya.

“Aduuh … doaku didengarkan oleh Yang Maha Kuasa,” katanya yang kali ini juga dalam hati, karena mulutnya sudah dikuncinya rapat-rapat.

“Haaa, mengapa tadi tidak ingat, ada duda ganteng didepan kita? Seru Tindy sambil tertawa.

Danis tersenyum tipis. Kata ‘ganteng’ itu menyenangkan, tapi mengapa pakai embel-embel ‘duda’ ?

“Eh, maaf lho Nak, ibu hanya bercanda,” kata Tindy meralat ucapannya.

“Tidak apa-apa Bu, kan memang saya ini duda,” kata Danis sambil tersenyum, tapi sebenarnya ia menunggu, siapa ya yang akan jadi pasangannya? Semoga Tutut … semoga Tutut… Lagi-lagi kata batinnya.

“Kok aku sih Des, masa aku pantas?”

“Ya pantas lah, sudah, diam. Nanti kamu berpasangan sama Tutut,” kata Desy ini seperti letusan gunung berapi yang sudah sejak tadi memuntahkan hawa panas.

Danis terpana, dan tak sengaja mulutnya menganga.

“Hei, awas ada lalat masuk ke mulut kamu,” seru Desy.

“Mengapa aku?” ah, kalau ini sih pura-pura.

“Nggak mau? Ayo bilang nggak mau,” tantang Desy.

“Bukan begitu, aku_”

“Nak Danis harus dandan dengan pakaian Jawa, pasti tambah ganteng,” kata Tindy.

“Mau kan Nak?” sambung Haryo.

“Mau Pak, pasti mau, nanti Desy yang memaksanya,” kata Desy. “tapi kenapa ya Mas Sarman sama Hesti belum sampai juga?”

“Dia sudah mau pulang?” tanya Haryo.

“Iya pak, kan besok mas Sarman mau ujian? Tapi tadi bilang mau mengajak Hesti kemari, tampaknya keadaan gadis itu sangat buruk.”

Tiba-tiba ponsel Desy berdering.

“Lho, ini mas Sarman malah menelpon,” kata Desy sambil mengangkat ponselnya.

“Mas, sampai mana? Masih jauh ya?”

“Ini aku di rumah sakit, Hesti pingsan begitu turun dari bus. Aku bawa langsung ke rumah sakit, daripada kepikiran terus.”

“Haa, kenapa pula anak itu?” seru Desy.

***

 Besok lagi ya.



 

 

 

35 comments:

  1. Replies
    1. Selamat buat Uti Nani Sragen, di episode ke 36 ADUHAI AH JUARA 1

      Semoga yang teriak making sadar, bahwa sebenarnya "dialah" malingnya.

      Kamsia, matur nuwun, bu Tien.
      Selamat malam.
      Tetap ADUHAI....AH.

      Delete
  2. Terima kasih bunda

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien ..

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah ..... yg ditunggu2 sdh muncul. Trimakasih bu Tien salam sehat selalu

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, AH sudah tayang....suwun Bu Tien....
    Salam sehat selalu.....😊🙏

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah AD...AH_36 sdh tayang.
    Selamat malam bu Tien terima kasih

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah ADUHAI AH Episode 36 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
    Semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  9. Lah Danis Danis bikin dagelan aja sampai merapal doa..,trims Bu tien

    ReplyDelete
  10. Ah.... Bu Tien pasti tahu cara menghukum penjahatnya, dan kebenaran pasti akan selalu keluar menjadi pemenang.

    Sehat selalu Bu Tien, terimakasih untuk setiap episode ceritanya, yang selalu aku tunggu.... 😘😘😘

    ReplyDelete
  11. Salam sehat selalu bu Tien
    Matursuwun AA 36nya. Alhamdulillah

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun mbak Tien-ku, ADUHAI AH sudah tayang.
    Perkara harta silakan diambil, tetapi kebenaran harus ditegakkan.
    Selamat berjuang Hesti.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah ADUHAI-AH 36 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah .. semakin happy
    Syukron nggih Mbak Tien ,semoga kita sehat semua Aamiin 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah.. Terima kasih Bu Tien
    Semoga sehat selalu..
    Salam *ADUHAI AH*

    ReplyDelete
  16. Makasih bu Tien🙏❤
    Salam sayang yang aduhai❤

    ReplyDelete
  17. Makasih mba Tien.
    Salam sehat dan selalu aduhai

    ReplyDelete
  18. Horeee...
    Matursuwun mbak Tien AA dah tayang sehingga aku bisa menikmati 🙏

    ReplyDelete
  19. Sebuah pukulan psikis harian yang bila salah sedikit kênå dampratan membabi-buta berupa omelan, bahkan sampai pukulan fisik itu yang terjadi selama ini diterima Hesti dari Sriani.

    Betapa hidupnya selama ini sungguh menderita. Dan bila menemui kesulitan walau tahu itu tidak benar tidak bisa dengan tegas menolak nya.
    Rasa percaya dirinya luntur perlu waktu untuk mengumpulkan tenaga, suport dari orang² yang ada disekitarnya.
    Aduh berat bagi Hesti bener² down kalau ngadepi; Sarpåkenåkå raseksi dari Alengka, dalam wujud Sriani.
    Itu kalau kata orang merusak karakter.

    Ora biså dikecapi yå karaké,
    ora biså..
    ora énak thå yå..
    énak ora énak yå diganyang waé wong ngêlih..

    Perlu kesabaran lebih mendampingi, dan terus memupuk semangat berdasarkan rasa percaya diri, hais nggak usah panjang², 'spiritualitas' wis ngono waé lah, malah mumêt mengko.
    Anggêr éntuk tekanan åpå manèh såkå Sriani, wis terus drop short kåyå cêmèsan batminton pokoké.

    Danis kåyå éntuk hadiah, lha cuma jadi pengiring pengantin wis seneng nya bukan kepalang.
    Syukurlah ada Desy yang merekomendasikan.

    Bisakah Hesti tegar dan meluruskan perkara yang dihadapi, dengan berada di antara mereka yang perhatian dan menyayangi dapat mengatasi semuanya
    Semoga.


    Terimakasih Bu Tien,
    ADUHAI AH yang ke tiga puluh enam sudah tayang.
    Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  20. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  21. Ya ya nuhun bu Tien ..wah ini dekat2 selesai kayaknyaaaa

    ReplyDelete
  22. Aduh...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  23. Slmt pgii bunda Tien..terima ksih AA 36 nya..iih bikin gemes tuh sm ibu tirinya Hesti..makin penasaran..slm sht sll dan aduhai dri 🌹 🙏🥰

    ReplyDelete
  24. Wah..makin menggemaskan ceritanya. Emang mba Tien paling juara mengaduk hati pembaca. Makasih mbak Tien, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  25. Sebenarnya sarman kuliah jurusan/fakultas apa ya
    Mudah2an ngambil Hukum
    Bs jd pengacaranya Hesti
    Paling idak punya teman yg jd pengacara

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 04

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  04 (Tien Kumalasari Widayat)   Sejenak Satria tertegun, melihat Sinah tiba-tiba duduk di sampingnya dan ik...