ADUHAI AH 36
(Tien Kumalasari)
Hesti menatap nanar siapa yang datang dan berdiri
dipintu. Ibu tirinya, dengan mata bengis menatapnya, dan juga menatap semua
orang yang ada di ruangan itu.
“Apa yang kalian lakukan?” hardiknya keras.
Hesti seakan tak mengenali lagi seorang Sriani yang
dulu dianggapnya sebagai ibu kandungnya. Ia melihat mata iblis memancar dari
kedua bola matanya. Ia berdiri mematung, dan bulu kuduknya berdiri.
“Kenapa diam saja? Kalian mau maling? Dan Pak RT,
bukankah saya sudah menitipkan rumah ini dan semua isinya pada Pak RT?
Bagaimana kalian bisa masuk ke dalam kamar ini yang sebelumnya saya kunci? Apa
maksud kalian sebenarnya?” katanya dengan kekasaran bak raksasa kelaparan.
“Sebentar Bu, tahan kata-kata kasar Anda. Ini, Hesti Nurani,
adalah cucu dari almarhumah ibu Mintarsih, dia berhak atas semua peninggalan
neneknya. Ada masalah?” kata Sarman yang tak tahan dengan perlakuan Sriani yang
datang bagai polisi menemukan maling.
“Kamu siapa?”
“Nama saya Sarman,
bukan siapa-siapa, saya hanya ingin menunjukkan kebenaran yang Ibu juga
harus memahaminya,” kata Sarman tegas, tanpa takut, sementara Hesti hanya
menundukkan wajahnya,
“Oh, saya sepertinya pernah mendengar nama itu, nama
seseorang yang tidak berkelas,” katanya sinis.
Sarman mengepalkan kedua tangannya. Kalau yang berada
di hadapannya bukan seorang perempuan, dia pasti sudah menghajarnya.
“Saya memang tidak berkelas. Lalu bagaimana dengan
Ibu? Berdandan ala perempuan terhormat, tapi tak bisa menata kata-katanya.
Sangat kasar dan tidak sopan, seperti orang tak berpendidikan,” sengit Sarman.
“Apa katamu? Aku orang tak berpendidikan? Rupanya kamu
belum mengenal aku,” katanya masih dengan menghardik.
“Barangkali Ibu berpendidikan tinggi, tapi kelakuan
Ibu sama sekali tidak menunjukkan itu.”
“Kamu bukan siapa-siapa disini, menyingkirlah. Aku
sedang berurusan dengan orang-orang yang tidak bertanggung jawab ini.
“Tunggu Bu Sriani, apa maksudnya anda mengatakan itu?
Benar apa yang dikatakan nak Sarman, bahwa nak Hesti adalah pewaris tunggal
dari Bu Mintarsih almarhumah. Jadi apa
salahnya kalau dia memasuki rumah ini, apalagi kamarnya? Dia merasa
heran karena melihat kamar ini acak-acakan, dan banyak harta yang hilang di
sini.”
“Pak RT, apa sampeyan sudah lupa pesan saya sebelum pergi?
Sampeyan bertanggung jawab atas rumah dan isinya karena saya menitipkannya,
bukan?”
“Benar Bu, tapi saya mempersilakan seseorang masuk,
karena dia berhak. Apa Ibu lupa?”
“Siapa? Maksud sampeyan gadis ini?” katanya sambil
menunjuk ke arah Hesti yang diam saja.
“Betul Bu.”
Tiba-tiba Sriani tertawa. Hesti menatapnya karena tawa
itu terdengar seperti datang dari awang sana, nyaring dan membuatnya merinding.
“Anak itu, memang benar cucunya bu Mintarsih, tapi
sejak bayi aku yang merawatnya. Almarhum mertua aku ini sudah menyerahkan semua
hartanya sama aku, karena aku merawat anak dan cucunya dengan baik.”
“Benarkah? Adakah bukti tentang penyerahan harta itu?”
sergah Sarman.
“Tentu saja ada. Bahkan Hesti sudah tahu tentang hal
itu.”
“Hesti sudah tahu?”
“Ya, dan untuk itu Hesti sudah menandatangani suratnya
kok,” kata Sriani dengan congkaknya, sambil menatap Hesti tajam.
“Haa, surat? Surat yang Ibu paksa agar ditandatangani
Hesti tanpa mengijinkan dia membacanya?”
“Oh … bukan main anak ini. Alangkah pintarnya berbohong.
Aku tidak memaksanya. Dia membacanya kok. Benar kan Hesti? Kamu sudah tahu apa
isi surat yang kamu tanda tangani itu?” Sriani menatap Hesti dengan pandangan
bengis. Sungguh Hesti merasa ketakutan, dan tanpa sadar menganggukkan kepala.
“Nah, sampeyan semua melihat kan?”
Semuanya saling berpandangan, sedangkan Hesti
menundukkan wajahnya.
“Baiklah, terserah kalian mau apa, nanti pengadilan
yang akan menentukannya.”
Tiba-tiba Sriani membalikkan tubuhnya dan berlalu
dengan cepat. Sebuah mobil menunggunya dihalaman, yang segera meluncur pergi
ketika Sriani sudah memasukinya.
***
Hesti duduk di sebuah kursi di ruang tamu. Wajahnya
kusut, tampak sekali dia bingung dan sangat gelisah.
“Apa benar nak Hesti sudah mengetahui ini semua? Bahwa
barang peninggalan bu Mintarsih sudah diserahkan kepada bu Sriani?” tanya pak
RT.
“Saya sangat bingung,” keluhnya sambil memegang kepalanya dengan kedua belah tangannya. Ia selalu begitu kalau sedang gelisah.
“Hesti, dengar aku dan tenanglah. Kami semua ada
dipihak kamu. Kami tahu bahwa dia berbohong.”
“Aku tidak membacanya,” katanya lirih.
“Nah, mengapa tadi kamu mengangguk?” tegur Sarman.
“Aku bingung, aku takut. Biarlah semua diambil oleh
dia, aku tak peduli,” kata Hesti ketakutan.
“Tidak Hesti, kamu tidak boleh menyerah. Kamu ditipu oleh dia,” kata
Sarman.
“Benar Nak Hesti, kebenaran harus ditegakkan.”
“Aku takut menghadapi pengadilan. Aku tidak mau harta
ini, biarlah diambil oleh dia, aku tidak mau,” lalu Hesti menangis.
Sarman menatapnya iba. Hesti sangat rapuh. Tekanan
sedikit saja membuatnya sakit.
“Kalau Nak Hesti takut menghadapi, kita cari
pengacara, bukankah sebaiknya begitu, Nak Sarman?”
“Betul. Kalau Hesti tidak mau harta neneknya, tidak
apa-apa, tapi jangan sampai jatuh ke tangan orang jahat. Kamu mengerti Hesti?
Jangan takut, banyak yang akan membela kamu,” kata Sarman menguatkan.
“Apakah Nak Hesti dan Nak Sarman akan menginap di sini?”
“Sepertinya tidak Pak RT, besok saya ujian. Hari ini
menyempatkan mengantarkan Hesti karena tidak tega dia pergi sendiri. Dan
nyatanya ada masalah kan? Untunglah ada saya dan pak RT. Kalau tidak, pasti
Hesti sudah dibantainya habis-habisan,” kata Sarman.
“Baiklah, saya mengerti. Tampaknya bu Sriani akan
membawa kasus ini ke pengadilan, sungguh berani dia. Harusnya nak Hesti yang
melapor ke yang berwajib. Mengapa dia?”
“Kelihatan bodohnya,” gumam bu RT yang sedari tadi
hanya mendengarkan, duduk agak jauh di samping bu Sukini
“Orang jahat merasa benar, kasihan sekali,” sahut bu
Sukini.
Hari itu Sarman mengajak Hesti pulang, karena besok
dia harus maju ujian. Masalah bu Sriani akan dipikirkan setelahnya.
***
Desy menerima telpon dari Sarman saat mau pulang dari
bertugas.
“Ada apa Mas? Bagaimana kabarnya Hesti?”
“Ruwet,” jawab Sarman dari seberang sana.
“Ruwet bagaimana?”
“Ceritanya panjang. Nanti kalau aku sudah sampai rumah
akan bicara lebih jelas.”
“Sekarang Mas lagi di mana?”
“Di jalan. Sudah hampir masuk Solo. Tapi aku mau bilang, bagaimana kalau Hesti
aku bawa ke rumah saja?”
“Tidak apa-apa Mas, kan sudah sejak kemarin-kemarin
dipersilakan?”
“Masalahnya dia kembali terpukul, ketika di sana
ketemu ibu tirinya itu.”
“Oh, rame dong? Masalah surat itu dibicarakan bukan?”
“Nanti saja ceritanya. Yang penting aku pulang dengan
membawa Hesti, agar dia merasa lebih tenang. Kalau di tempat kost, temannya
hanya Sita, yang tidak begitu paham permasalahannya. Lagi pula dia bekerja,
tadi tidak bisa sepenuhnya menemani Hesti. Keadaan Hesti sangat tidak baik.”
“Baiklah Mas, bawa pulang saja dia. Aku juga mau segera
pulang ini.”
“Terima kasih, Desy.”
“Ih, formal amat sih, sama adiknya sendiri.”
Sarman tertawa.
"Sebuah kebaikan kan harus disambut
dengan ucapan terima kasih.”
“Iya deh, cepatlah pulang, bukankah besok Mas ujian?”
“Iya, itu sebabnya kami pulang hari ini juga.”
***
“Ya nak Danis, kami setuju, pilihan nak Danis sudah
tepat, jadi kami tidak harus memikirkan yang lainnya,” kata Tindy ketika Danis
melaporkan hasil temuannya tentang gedung yang tidak terpakai di hari yang akan
dipergunakan untuk acara resepsi pernikahan Danarto dan Desy.
“Tadinya agak sulit Bu, karena waktunya sudah
mepet, dan di bulan-bulan seperti itu banyak orang “punya gawe.”
“Kami maklum kok Nak, waktunya memang sangat mepet,”
sambung Haryo.
“Soalnya calon pengantin pria nya kan sudah ngebet,
Pak,” canda Danis, yang disambut tawa Haryo dan isterinya.
“Kecuali itu kami juga ingin agar hubungan mereka
segera sampai pada ujungnya. Bertahun kami menunggu kesediaan mereka.”
“Iya Pak, kalau sudah menikah kan sudah tidak menjadi
beban pikiran lagi.”
“Lalu kapan nak Danis menyusul? Masa mau sendirian
terus?” tanya Haryo.
“Iya Pak, mohon restunya, supaya segera bisa menemukan
yang cocok.”
“Oh iya Pak, tentang pendamping pengantin itu,
bagusnya siapa ya?” tanya Tindy.
Danis mengeluh dalam hati.
“Bagaimana sih Danarto, kok belum merekomendasikan
aku? Aduh, kalau aku ngomong sendiri ya malu dong,” gerutu Danis dalam hati. Ia
mengetuk-ngetukkan ball point yang tadi dibuatnya untuk membuat laporan dan
catatan tentang gedung yang akan disewa dan fasilitasnya.
“Bagaimana kalau Sarman … “ usul Haryo, yang membuat
hati Danis mencelos.
“Aduuuh…” keluhnya lirih dan tanpa sadar keluar dari
mulutnya.
“Ada apa nak? Kok mengaduh?” tanya Tindy heran.
“Oh … eh … ini … ada yang terlupa …” jawabnya gugup.
“Apa yang terlupa itu?”
“Ini … aduh … gimana aku ini?” Danis bingung mau jawab
apa.
“Gimana sih nak?”
“Anu Bu, saya … saya … lupa mencatat nomor telpon nya.”
“Nomor telpon siapa?”
“Itu, gedung nya.”
“Lhah ini, yang di brosurnya kan ada sih Nak?” kata
Haryo.
“Oh, iya … ya ampun, kenapa aku bingung.”
“Nak Danis kecapekan ya, bingung mencari gedung?”
“Oh, tidak … tidak bu, masa cuma begitu saja capek. Tadinya kan hanya browsing di internet, lalu
setelah oke baru saya datang ke kantor pemasarannya.”
“Baiklah, kalau kecapekan ya jangan dipaksa lho,” kata
Tindy.
“Tidak Bu, sungguh … “
Tiba-tiba mobil Desy memasuki halaman, heran melihat
Danis sudah ada di rumahnya.
“Danis ? Kok sudah ada di sini?”
“Aku dari rumah sakit langsung kemari, soalnya masalah
gedung ini kalau tidak cepat-cepat diselesaikan keburu diambil orang.
“O, baguslah,” kata Desy sambil duduk.”
“Ibu dan bapak sudah setuju gedung pilihan nak Danis,”
kata Tindy.
“Oh, syukurlah.”
“Tadi kami sedang bicara tentang pendamping pengantin,
bagaimana kalau Sarman?” tanya Haryo mencari dukungan.
“Bagus Pak, mas Sarman saja.”
Danis mengatupkan mulutnya agar keluhannya tidak
keluar dari mulutnya.
“Sial amat sih, mengapa Desy tidak ingat aku? Ini Des,
aku di sebelah kamu,” katanya dalam hati sambil mengatupkan mulutnya
rapat-rapat.
“Tapi kalau Mas Sarman, sama siapa Pak?” Desy meralat
persetujuannya.
Danis komat kamit melantunkan doa. Berharap dirinya
yang akan dipilihnya kemudian. Eh bukan komat kamit, dia masih menutup mulutnya
rapat-rapat, jadi doa itu juga hanya dilantunkan dalam hati.
“Sama gadis itu dong, siapa namanya?” tanya Haryo.
“Hesti?” sambung Tindy.
“Nah, dia itu.”
“Hesti masih kekanak-kanakan Pak, belum tentu dia mau.
Banyak malunya pasti,” kata Desy.
Danis masih terus melantunkan doa dalam hati, kali ini
sambil memejamkan matanya.
“Nak Danis ngantuk?” seru Tindy.
Danis terkejut, lalu membuka matanya.
“Tidak Bu, hanya sedang mendengarkan perbincangan,
sama sekali tidak mengantuk kok, sergah Danis yang hampir saja tertawa,
mentertawai dirinya yang bersikap sangat konyol.
“Mengapa tidak Danis saja pendamping pengantinnya?”
kata Desy tiba-tiba, membuat Danis hampir terlonjak mendengarnya.
“Aduuh … doaku didengarkan oleh Yang Maha Kuasa,” katanya
yang kali ini juga dalam hati, karena mulutnya sudah dikuncinya rapat-rapat.
“Haaa, mengapa tadi tidak ingat, ada duda ganteng
didepan kita? Seru Tindy sambil tertawa.
Danis tersenyum tipis. Kata ‘ganteng’ itu
menyenangkan, tapi mengapa pakai embel-embel ‘duda’ ?
“Eh, maaf lho Nak, ibu hanya bercanda,” kata Tindy meralat ucapannya.
“Tidak apa-apa Bu, kan memang saya ini duda,” kata
Danis sambil tersenyum, tapi sebenarnya ia menunggu, siapa ya yang akan jadi
pasangannya? Semoga Tutut … semoga Tutut… Lagi-lagi kata batinnya.
“Kok aku sih Des, masa aku pantas?”
“Ya pantas lah, sudah, diam. Nanti kamu berpasangan
sama Tutut,” kata Desy ini seperti letusan gunung berapi yang sudah sejak tadi
memuntahkan hawa panas.
Danis terpana, dan tak sengaja mulutnya menganga.
“Hei, awas ada lalat masuk ke mulut kamu,” seru Desy.
“Mengapa aku?” ah, kalau ini sih pura-pura.
“Nggak mau? Ayo bilang nggak mau,” tantang Desy.
“Bukan begitu, aku_”
“Nak Danis harus dandan dengan pakaian Jawa, pasti
tambah ganteng,” kata Tindy.
“Mau kan Nak?” sambung Haryo.
“Mau Pak, pasti mau, nanti Desy yang memaksanya,” kata
Desy. “tapi kenapa ya Mas Sarman sama Hesti belum sampai juga?”
“Dia sudah mau pulang?” tanya Haryo.
“Iya pak, kan besok mas Sarman mau ujian? Tapi tadi
bilang mau mengajak Hesti kemari, tampaknya keadaan gadis itu sangat buruk.”
Tiba-tiba ponsel Desy berdering.
“Lho, ini mas Sarman malah menelpon,” kata Desy sambil
mengangkat ponselnya.
“Mas, sampai mana? Masih jauh ya?”
“Ini aku di rumah sakit, Hesti pingsan begitu turun
dari bus. Aku bawa langsung ke rumah sakit, daripada kepikiran terus.”
“Haa, kenapa pula anak itu?” seru Desy.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMtnuwun Mb Tien....🙏🙏
Selamat buat Uti Nani Sragen, di episode ke 36 ADUHAI AH JUARA 1
DeleteSemoga yang teriak making sadar, bahwa sebenarnya "dialah" malingnya.
Kamsia, matur nuwun, bu Tien.
Selamat malam.
Tetap ADUHAI....AH.
Horeee
ReplyDeleteTerima kasih bunda
ReplyDeleteHore mb Nan juara 1 lagi
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien ..
ReplyDeleteAlhamdulillah ..... yg ditunggu2 sdh muncul. Trimakasih bu Tien salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah dah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah, AH sudah tayang....suwun Bu Tien....
ReplyDeleteSalam sehat selalu.....😊🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah AD...AH_36 sdh tayang.
ReplyDeleteSelamat malam bu Tien terima kasih
tumbenmasihsoredahtayangaja
ReplyDeleteAlhamdulillah ADUHAI AH Episode 36 sudah tayang, matur nuwun mbak Tien Kamalasari.
ReplyDeleteSemoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal Alamiin.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu
Lah Danis Danis bikin dagelan aja sampai merapal doa..,trims Bu tien
ReplyDeleteAA dah tayang ...
ReplyDeleteTerima kasih bu tien cerbungnya
ReplyDeleteAh.... Bu Tien pasti tahu cara menghukum penjahatnya, dan kebenaran pasti akan selalu keluar menjadi pemenang.
ReplyDeleteSehat selalu Bu Tien, terimakasih untuk setiap episode ceritanya, yang selalu aku tunggu.... 😘😘😘
Salam sehat selalu bu Tien
ReplyDeleteMatursuwun AA 36nya. Alhamdulillah
Matur nuwun mbak Tien-ku, ADUHAI AH sudah tayang.
ReplyDeletePerkara harta silakan diambil, tetapi kebenaran harus ditegakkan.
Selamat berjuang Hesti.
Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI AH.
Alhamdulillah ADUHAI-AH 36 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah .. semakin happy
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ,semoga kita sehat semua Aamiin 🌹🌹🌹🌹🌹
Alhamdulillah.. Terima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSemoga sehat selalu..
Salam *ADUHAI AH*
🙏🙏🙏
ReplyDeleteMakasih bu Tien🙏❤
ReplyDeleteSalam sayang yang aduhai❤
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan selalu aduhai
Horeee...
ReplyDeleteMatursuwun mbak Tien AA dah tayang sehingga aku bisa menikmati 🙏
Sebuah pukulan psikis harian yang bila salah sedikit kênå dampratan membabi-buta berupa omelan, bahkan sampai pukulan fisik itu yang terjadi selama ini diterima Hesti dari Sriani.
ReplyDeleteBetapa hidupnya selama ini sungguh menderita. Dan bila menemui kesulitan walau tahu itu tidak benar tidak bisa dengan tegas menolak nya.
Rasa percaya dirinya luntur perlu waktu untuk mengumpulkan tenaga, suport dari orang² yang ada disekitarnya.
Aduh berat bagi Hesti bener² down kalau ngadepi; Sarpåkenåkå raseksi dari Alengka, dalam wujud Sriani.
Itu kalau kata orang merusak karakter.
Ora biså dikecapi yå karaké,
ora biså..
ora énak thå yå..
énak ora énak yå diganyang waé wong ngêlih..
Perlu kesabaran lebih mendampingi, dan terus memupuk semangat berdasarkan rasa percaya diri, hais nggak usah panjang², 'spiritualitas' wis ngono waé lah, malah mumêt mengko.
Anggêr éntuk tekanan åpå manèh såkå Sriani, wis terus drop short kåyå cêmèsan batminton pokoké.
Danis kåyå éntuk hadiah, lha cuma jadi pengiring pengantin wis seneng nya bukan kepalang.
Syukurlah ada Desy yang merekomendasikan.
Bisakah Hesti tegar dan meluruskan perkara yang dihadapi, dengan berada di antara mereka yang perhatian dan menyayangi dapat mengatasi semuanya
Semoga.
Terimakasih Bu Tien,
ADUHAI AH yang ke tiga puluh enam sudah tayang.
Sehat sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteYa ya nuhun bu Tien ..wah ini dekat2 selesai kayaknyaaaa
ReplyDeleteAduh...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Slmt pgii bunda Tien..terima ksih AA 36 nya..iih bikin gemes tuh sm ibu tirinya Hesti..makin penasaran..slm sht sll dan aduhai dri 🌹 🙏🥰
ReplyDeleteWah..makin menggemaskan ceritanya. Emang mba Tien paling juara mengaduk hati pembaca. Makasih mbak Tien, semoga sehat selalu
ReplyDeleteSebenarnya sarman kuliah jurusan/fakultas apa ya
ReplyDeleteMudah2an ngambil Hukum
Bs jd pengacaranya Hesti
Paling idak punya teman yg jd pengacara