Thursday, March 19, 2020

SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA 50



SEKEPING CINTA MENUNGGU PURNAMA  50

(Tien Kumalasari)

Pak Broto dan Bu Broto terkejut. Galang mengangkat tubuh isterinya dan membawanya kedalam kamar. Putri tergolek lemah, bibirnya pucat... Galang menciumnya lembut. Putri bukannya tak sadar, mata indahnya mengerjap-kerjap. Dipandanginya wajah suaminya yang tampak khawatir.

"Kenapa dia?"

"Biar ibumu panggil dokter saja,"

Bu Broto dan suaminya ikut-ikutan panik. Tapi ketika melihat Putri sudah tersadar, mereka lega.

"Kenapa nduk?"

"Nggak apa-apa, hanya pusing," jawab Putri lemah.

"Bu, panggil dokter cepat," seru pak Broto ..

Bu Broto segera menelpon dokter langganannya, sementara simbok membawakan teh hangat sambil menggendong Adhit.

"Ya ampun Adhit, sini sama bapak, hati-hati mbok, itu kan air panas,: tegur Galang yang segera mengambil Adhit dari gendongan simbok.

"Ma'af pak, simbok panik begitu melihat jeng Putri pingsan. Diminum dulu tehnya jeng," kata simbok sambil mengangkat kepala Putri, supaya bisa minum dengan enak.

Putri meneguk tehnya.

"Aku nggak apa=apa. Mas, segera berangkat, nanti ketinggalan pesawat," kata Putri lirih.

"Masih dua jam an lagi, kamu tak apa-apa?"

"Pergilah, aku nggak apa-apa mas," kata Putri sambil memegang lengan suaminya.

"Jangan khawatir, aku akan segera menjemput kamu,"

Putri hanya mengangguk.Sesungguhnya ia tak mengerti mengapa suaminya kembali ke Jakarta begitu cepat. Hatinya bagai teriris ketika merasakan keraguan didalam sikap Galang terhadap dirinya.

"Banar, nanti kamu terlambat, ibumu sudah memanggil dokter, pasti semuanya baik-baik saja," kata pak Broto menimpali.

"Benar Galang, sini, Adhit biar sama eyang."

Adhit merengek, lalu menangis keras. Tampaknya ia tau bahwa orang yang sangat mengasihinya akan pergi.

"O, sayang, bapak pergi hanya sebentar, jangan menangis le.." kata Galang yang merasa berat meninggalkan Adhitama.

Ia menyerahkan Adhit kepada isterinya, tapi Adhit  terus saja menoleh kearah Galang sambil terus menangis.  Putri sedih, ia segera mendekap Adhit, maksudnya mau disusuinya, tapi Adhit menolak. Ia menangis semakin keras.

"Ada apa ngger, cah bagus.."

Galang tak tega, kembali mendekati Putri dan mengangkat Adhitama, yang begitu Galang menggendongnya langsung menghentikan tangisnya.

"Anak pinter, sudah bisa *klayu* sama bapaknya," kata bu Broto yang mengikuti Galang membawa Adhit keluar kamar.

Putri menitikkan air mata yang kemudian cepat-cepat diusapnya.  Kepergian Galang bukan hanya menyakiti hatinya, tapi juga hati Adhit. Walau bukan darah dagingnya, tapi kedekatannya sejak masih dalam kandungan, menciptakan benang kasih sayang yang melebihi apapun, seperti kepada orang tuanya sendiri.

"Sayang, bapak hanya ingin menenangkan diri, ma'afkan bapak ya, nanti bapak akan menjemput Adhit, sama ibu, bapak janji," bisik Galang ditelinga Adhit, yang seakan mengerti apa yang diucapkan ayahnya, Adhit menatap wajah laki-laki ganteng yang sedang menggendongnya.

"Kamu mengerti kan nak?" bisik Galang lagi sambil mencium kedua pipi Adhit, ber kali-kali. Setitik air mata Galang menetes dipipi Adhit, yang segera diusapnya.

"Mobil sudah siap pak," kata Sarno tiba-tiba.

"Oh ya, terimakasih pak Sarno," jawab Galang.

"Adhit, dengar kata bapak ya, jangan rewel, bapak janji akan menjemput kalian, secepatnya," bisik Galang lagi ditelinga Adhit. Adhit mengangkat tangannya, memegangi wajah Galang, membuat Galang kembali berurai air mata. Kembali diciumnya Adhit berkali=kali.

"Sudah Galang, mari, Adhit biar sama eyang, nggak boleh nangis ya?" Bu Broto mengulurkan tangannya untuk mengambil Adhit dari tangan Galang.

Bayi mungil itu mengangkat angkat kepalanya, agar bisa melihat kepergian ayahnya.

"Galang pamit pakde, bude," diciumnya tangan kedua mertuanya, tapi tak tahan Galang kembali berlari kearah kamar, dimana dilihatnya isterinya tengah mengusap air matanya.

"Putri.." Galang mendekap wajah Putri dan diciumnya sepuas puasnya.

"Pergilah mas," bisik Putri.

Galang melepaskan pelukannya, lalu keluar dari dalam kamar itu.

***

Teguh Raharjo sudah kembali dari rumah Retno, ibunya menunggu untuk pergi kerumah Naning bersama-sama. Naning yang sudah berhias cantik berjingkrak jingkrak melihat Raharjo ada didepannya. Naning langsung bangkit dari duduknya dan merangkul Teguh sampai anak muda itu gelagapan.

"Heeiii.... kamu itu calon pengantin.. nanti kalau calon suami kamu tau kamu memeluk-meluk orang ganteng bagaimana?" kata bu Marsih berseloroh.

Naning  melepaskan pelukannya, wajahnya yang sudah dipoles make up tebal tampak lebih cantik, walau badannya sedikit gemuk.

Naning terkekeh.

"Orang ganteng ini kan mantan aku bu," kata Nanging tanpa malu-malu. Tapi ketika melihat wajah Teguh tampak lesu, Naning heran.

"Mas Teguh sakit?"

"Nggak, aku biasa-biasa saja," kata Teguh sambil duduk disebuah bangku yang ada dikamar pengantin itu.

"Tapi mas Teguh kelihatan lesu deh, apa mas Teguh sedih karena Naning mau menikah?" tanya Naning masih tetap tanpa malu.

"Mas, dari dulu kan Naning menunggu mas Teguh, tapi mas Teguh nggak perduli, sekarang giliran Naning mau menikah mas Teguh sedih, Naning jadi menyesal mau menikah besok pagi," kata Naning sambil merengut lucu.

Teguh tertawa.

"Apa kamu sudah gila? Mengapa aku harus sedih melihat kamu mau menikah? Aku senang, kamu cocog sama Pulung, pasangan yang pas, sama-sama gendut seperti bola," kata Teguh mencoba bercanda.

"Aaah.... mas Teguh..."

"Mas Teguhmu ini baru datang tadi, trus pergi kerumah temannya karena ada titipan, trus kesini, jadi kalau wajahnya kelihatan lesu itu ya karena capek Ning," kata Bu Marsih.

"Hm, kirain patah hati mendengar Naning mau menikah," kata Naning masih dengan mulut manyun..

"Kamu sukanya berpikiran aneh-aneh Ning. Oh ya, jam berapa besok ijab kabulnya?"

"Ijab kabul pagi jam 9, baru sorenya resepsi. Mas Teguh masih disini kan?"

"Nggak Ning, aku hanya akan menunggui kamu pas ijab saja, sorenya harus sudah kembali ke Jakarta."

"Mmm.., mas Teguh kok gitu, kenapa nggak nungguin resepsinya juga?"

"Mas Teguh kan kerja Ning, jadi nggak bisa ijin lama-lama, Senin nya sudah harus masuk." kata bu Marsih menimpali.

"Kamu sudah harus berterimakasih aku datang menyaksikan kamu menikah."

"Aku bilang sama bu Marsih, kalau mas Teguh nggak datang aku nggak mau menikah."

"Iya, aku datang karena ingin kamu menikah. Aku senang kamu mendapat jodoh yang baik. Besok kalau sudah menikah, sudah jadi isteri, kamu harus merubah sifat kamu yang kadang seperti anak kecil, tau!"

"Ya mas, aku tau. Aku juga mau berdo'a untuk mas Teguh, supaya segera menikah dengan gadis cantik, baik, seperti aku."

"Moooh..." teriak Teguh.

"Kok emoh?" Naning merengut lagi.

"Kalau seperti kamu, gendut kaya bola... aku nggak mau.. gerah !"

Dan Naning terkekeh senang. Sungguh bahagia akhirnya laki-laki yang dicintainya sejak awal mau menungguinya menikah seperti yang diinginkannya.

Ketika Teguh akan pulang, tiba-tiba Naning menarik tangannya.

"Ada apa?" tanya Teguh yang merasa khawatir Naning akan melakukan hal yang macam-macam.

"Mas, aku minta ma'af, dulu sekali, seorang wanita menelpon mas, aku mengatakan bahwa aku calon isterimu, itu aku sudah pernah mengatakan sama kamu kan mas? Sekarang aku sadar, aku salah, aku minta ma'af ya. Sekarang bagaimana dia, apa menganggap mas Teguh benar-benar menjadi suamiku? Mas Teguh tau siapa dia? Aku lupa menanyakan namanya," kata Naning panjang lebar. Teguh jadi teringat kembali, ketika ia marah-marah pada Naning gara-gara ditelepon mengaku calon isterinya. Ya Tuhan, apakah itu benar telepone dari Putri, yang kemudian mengnggap dirinya sudah punya calon isteri, dan itukah sebabnya maka dia menikah dengan Galang? Beribu pertanyaan berkecamuk dibenak Teguh, bahkan ketika ia sudah merebahkan dirinya ditempat tidur malam itu.

***

Ketika dokter datang memasuki kamar Putri, Putri sudah duduk memangku anaknya yang sudah tertidur. Putri baru saja menyusukan anaknya, setelah rewel karena kepergian ayahnya.

"Hallo Putri, " sapa dokter Frans, dokter pribadi keluarga Broto.

"Hallo dokter,"

"Kami masih cantik seperti dulu. Ini anakmu?"

"Ya dokter."

"Hm, cakep, dan sehat," kata dokter Frans sambil duduk dikursi yang disediakan. Simbok datang untuk mengambil Adhitama dari pangkuan Putri, karena bu Broto menyiapkan kamar tidur khusus untuk cucunya.

"Apa yang kamu rasakan, katanya tadi kamu pingsan.." dokter Frans mengambil stetoskop dari dalam tas dan dikenakannya.

"Berbaringlah, biar aku periksa."

Putri berbaring, dibelakang dokter Frans, pak Broto dan bu Broto menunggui dengan wajah khawatir.

"Dia itu sebenarnya lemah dok, sakit sedikit saja pingsan," kata bu Broto.

"Ya, aku tau, tapi nggak apa-apa, dia baik-baik saja." kata dokter Frans setelah memeriksa Putri.

"Apa kamu sedang memikirkan sesuatu yang berat?" tanya dokter sambil memandangi Putri yang masih terbaring.

"Tekanan darahmu sangat rendah," sambung dokter Frans lagi.

"Oke, saya akan beri kamu resep. Dan periksa darah ke laborat ya,"

Dokter setengah tua itu menuliskan sesuatu di sebuah kertas, satu untuk membeli obatnya, dan satu lagi untuk periksa ke laborat.

"Apa ada yang sangat menghawatirkan?" tanya pak Broto.

"Nggak ada, baik kok, jangan khawatir ya pak. Oh ya, mana suami Putri?" dokter Frans melihat ke sekeliling.

"Baru tadi kembali ke Jakarta dok."

"O, itu sebabnya Putri sakit," kata dokter Frans sambil terkekeh.

Putri tertunduk, tersipu, benarkah? Tapi Putri merasa perasaannya tertekan. Ia yakin suaminya belum bisa menerima pertemuannya dengan Teguh, yang ternyata bekas kekasih Putri. Apapun yang dikatakannya belum membuatnya tenang, dan Putripun merasa gundah atas sikap suaminya itu. Itukah sebabnya dia limbung dan merasa sakit?

***

Galang sudah sampai di Jakarta, sudah berbaring dikamar tidurnya yang dingin dan senyap.

Ia menoleh kearah box bayi yang memenuhi kamar tidurnya yang kecil, melongok kesana dan kosong karena Adhitama berada jauh dikota Solo lalu ditinggalkannya.Lalu jiwanya juga merasa kosong, dan semuanya menjadi tanpa makna. Mengapa semua itu terjadi,  mengapa bertemu Raharjo, bersahabat, dan kemudian ternyata dia adalah bekas kekasih isterinya, yang ternyata masih mencintainya, aduhai...

Terngiang kembali isak isterinya, mas, aku mencintai kamu, sangat mencintai kamu mas... Dan Galang kemudian menarik guling disampingnya, dipeluknya erat-erat.

Jo, apakah kamu masih mencintai bekas kekasihmu itu? tanyanya pada suatu hari, rasa itu ssudah digulung hari dan masa, cintaku tinggal sekeping mas. Tapi kan rasa itu masih ada? Lalu Retno juga mengatakan bahwa Raharjo masih mencintai kekasihnya yang hilang setahun lebih yang lalu. Ya Tuhan, ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan?

Malam telah larut, tapi Galang belum bisa memejamkan matanya. Ia nanap memandang kearah ponselnya ketika tiba-tiba telepone berdering. Siapa menelponnya ditengah malam buta seperti ini? Galang meraih ponselnya, dan membaca siapa penelpun dimalam larut itu.

***

besok lagi ya






































Tuesday, March 10, 2020

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 08

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU  08

(Tien Kumalasari)

Aryo masih termenung diteras, ketika Ratih keluar diikuti bu Nastiti. 

"Pak Aryo, saya mau pulang dulu, Angga sudah tidur," kata Ratih

"Eit, tunggu, biar aku antar," kata Aryo sambil berdiri dan tanpa menunggu jawaban Ratih langsung mengambil kunci mobilnya.

"Tapi...."

"Nggak apa-apa nak Ratih, biar saja. Aryo merasa nggak enak karena selalu merepotkan nak Ratih, jadi biar dia melakukan sesuatu untuk nak Ratih. Tidak seberapa, tapi dia kan tidak kecewa."

Ratih terpaksa menerimanya.

"Ayu bu Ratih, biar saya antar."

Ratih mencium tangan bu Nastiti, kemudian berjalan mengikuti Aryo ke mobilnya. Aryo membukakan pintu, kemudian mempersilahkan Ratih naik.

Merinding Ratih ketika akan menutupkan pintu, tangannya bersentuhan dengan tangan yang sedikit berbulu. Hiih.. kenapa juga aku ini, batin Ratih yang kemudian menata duduknya. Ia terkejut ketika Aryo membuka lagi pintu mobilnya.

"Ma'af, gaunnya kejepit pintu," kata Aryo sambil menunjuk kearah gaunnya yang sebagian masih keluar.

"Eh, iya, ma'af.." kata Ratih sambil menarik gaunnya kedalam.

Lalu Aryo menutupkan lagi pintu itu dan duduk dibelakang kemudi.

Bu Nastiti melambaikan tangannya kearah Ratih, ketika mobil itu berlalu. Lalu masuk kedalam, menjenguk kearah kamar Angga. Dilihatnya Angga masih pulas, Tidur sambil memeluk gulingnya. Bu Nastiti mengusap setitik air matanya ketika menatap cucunya. 

"Semoga ibumu segera kembali ..." lalu setitik lagi air matanya menetes dan segera dihapusnya.

***

Aryo berhenti disebuah gang ketika Ratih memintanya.

"Yang mana rumahnya?"

"Masuk kesitu pak, sudah, disini saja."

"Lhoh, kok disini, nggak boleh begitu, masa mengantar kok menurunkannya dijalan."

"Nggak apa-apa pak, terimakasih banyak," kata Ratih sambil membuka pintu mobil dan keluar, dan berjalan memasuki gang.

Aryo mengikutinya turun, lalu berjalan dibelakang Ratih.

Ratih menoleh dan terkejut melihat Aryo mengikutinya.

"Aduh pak Aryo, sudah sampai disini saja."

"Nggak bisa bu Ratih, nanti kalau ternyata bu Ratih nggak pulang kan saya yang dimarahin ayahnya," kata Aryo bercanda.

"Rumah saya jelek," katanya setelah berjalan berdampingan.

"Itu tidak penting, yang penting orangnya cantik," meluncur begitu saja kata-kata Aryo, membuat Ratih deg-degan. Pujian itu cukup membuat hatinya berbunga.

Ratih tak menjawab, menyimpan kebahagiaan itu dibalik senyum tipis yang disunggingkannya.

Disebuah halaman yang tak begitu luas, Ratih berhenti.

"Ini rumah saya, terimakasih banyak."

"Saya harus ketemu bapak."

"Tapi..."

"Saya harus menyerahkan puterinya dalam keadaan utuh kepada bapak."

Ratih tersenyum. Rupanya Aryo suka bercanda. Ia melangkah menuju rumah, Aryo mengikutinya. 

Rumah sederhana yang tertata rapi itu tampak sedap dipandang. Ada pot-pot kecil tanaman hias berjajar disepanjang pagar teras yang tak begitu tinggi. Ada bunga-bunga mawar yang beberapa sedang mekar.

"Mengapa kesukaan akan bunga diantara mereka sama? Ratih dan Arum.. bagaimana Tuhan menciptakan kesamaan yang sangat mirip, baik wajah maupun perilakunya? Apakah Tuhan mengirimkan Ratih sebagai pengganti Arum? Tidaaak.. Aryo menampik perasaannya sendiri.

"Sudah pulang Tih?" suara berat seorang lelaki tua terdengar dan Aryo menoleh kearah rumah.

Dilihatnya Ratih sedang mencium tangan laki-laki itu. Laki-laki yang tampak masih tegap dan berpenampilan rapi dengan sarung batik melingkar ditubuhnya.

Aryo mendekat dan menyalami lalu mencium tangannya.

"Ini siapa?" tanya pak Pardi, ayah Ratih.

"Bapak, ini pak Aryo, ayahnya Angga, kata Ratih memperkenalkanAryo.

"Ya bapak, saya Aryo.Mohon ma'af kalau selalu merepotkan bu Ratih."

"O, tidak apa-apa nak, Ratih bilang bahwa dia senang melakukannya. Mari silahkan masuk."

"Ma'af pak, lain kali saya akan berkunjung lebih lama. Ma'af, saya belum mandi juga," kata Aryo tersipu.

"Baiklah, lain kali bapak tunggu nak Aryo main kemari. Tapi ya seperti inilah gubugnya Ratih, tidak seperti rumah nak Aryo yang pastinya sangat bagus dan mewah."

"Oh, tidak kok pak, bagi saya yang penting bukan rumahnya, tapi penghuninya. Sekarang saya mohon pamit, senang bisa berkenalan dengan bapak."

"Terimakasih telah mengantarkan Ratih nak."

"Sama-sama pak, dan saya sekalian mohon ijin untuk bu Ratih, barangkali Angga banyak merepotkan bu Ratih, sehingga harus pulang sampai sore."

"Tidak apa-apa nak, silahkan saja, kasihan anak sekecil itu kehilangan ibunya. Mudah-mudahan isteri nak Aryo segera pulang."

"Terimakasih banyak bapak." kata Aryo sambil mencium tangan pak Pardi.

"Bu Ratih, saya pulang dulu," kata Aryo sambil menatap Ratih, tatapan yang membuatnya gugup.

"Ter..terimakasih, pak Aryo.

*** 

Bu Nastiti sedang membuat teh panas untuk dirinya sendiri dan Aryo, ketika tiba-tiba didengarnya Angga menangis.

Bu Nastiti setengah berlari menuju kekamar Aryo.. Dalam setiap langkahnya, bu Nastiti berfikir, jawaban apa yang akan diberikannya apabila Angga menanyakan dimana ibunya.Dilihatnya Angga sudah duduk sambil menangis,

"Mana ibu? Mana ibu...?"

Tuh kan.

"O, cucu eyang yang ganteng, ibu tadi tidur bersama Angga, tapi tiba-tiba .. tiba-tiba.. ibu ingat kalau ada yang terlupa. Kunci sekolah terbawa, jadi.. besok kalau yang tukang bersih-bersih ruang sekolah mau bekerja, bingung deh. Karenanya... ibu sekarang mengantarkan kunci itu."

"Nanti ibu kemari ?"

"Mm.. kalau nanti bisa ketemu tukang bersih-bersih.. pastinya kemari. Kalau tidak ya harus menunggu. Ayuk, sekarang Angga mandi dulu."

"Sama ibu..."

"Lho, kalau ibu sampai malam perginya.. ?"

"Angga mau sama ibu.."

"Angga... kan Angga anak pintar. Bukankah kalau anak pintar itu harus menurut apa kata orang tua? Ayo mandi sama eyang, nanti eyang buatkan susu. Ya."

Angga diam, tapi tak beranjak dari tempatnya duduk. Wajahnya muram. Bibir tipisnya cemberut. 

"Angga, nanti setelah minum susu, naik mobil lagi. Angga lupa ya kalau punya mobil baru ?"

Mendengar itu Angga bangkit dan turun dari atas pembaringan.

"Angga mau pipis dulu," katanya masih dengan wajah muram.

"Baiklah, pipis, sekalian mandi ya. Angga nanti boleh pilih sendiri baju yang Angga suka."

Ingatan akan mobil itu sedikit meredakan rasa kecewa Angga karena Ratih tak ada disisinya.

"Eyang jangan sampai menyiram lutut Angga ini, masih sakit."

"Baiklah tuan muda, eyang akan hati-hati," kata bu Nastiti sambil menggandeng Angga kekamar mandi.

Selesai mandi dan ganti baju, Angga berlari kedepan mendekati mobilnya.

Bu Nastiti membawakan segelas susu.Sejak tidak lagi minum ASI, Angga dibiasakan minum susu dari gelas. Ia tidak suka minum pakai botol, Karenanya gigi Angga tampak rapi dan tidak menonjol seperti anak kecil yang gemar minum dari botol.

"Diminum dulu susunya."

"Eyang tanya dulu sama ibu, ngasih kuncinya lama tidak."

Bu Nastiti bingung. Tapi ia kemudian mengambil ponselnya, lalu menelpon Ratih, barangkali Ratih bisa menenangkan Angga.

"Hallo bu," sapa Ratih dari seberang.

"Nak Ratih, Angga rewel. Ibu bingung harus menjawab apa ketika dia menenyakan nak Ratih. Tadi ibu jawab sekenanya. Ibu bilang nak Ratih sedang mengantarkan kunci sekolah yang terbawa pulang. Tapi dia tampaknya terus berharap nak Ratih datang. Apa sebaiknya yang ibu katakan?"

"Biarkan saya bicara sama Angga bu."

Bu Nastiti menyerahkan ponselnya kepada Angga.

"Angga, ini ibu mau bicara.."

Angga menerimanya dengan wajah berseri.

"Hallo ibu.."

"Hallo Angga, sudah mandikah anak ibu yang ganteng?"

"Sudah, ini baru mau minum susu."

"Bagus, habiskan dulu susunya sayang."

"Ibu sudah ketemu tukang bersih-bersih sekolah?"

"Oh, belum nak, dengar, Angga tidak usah menunggu ibu, karena ibu harus menyiapkan apa-apa yang besok bisa kita buat untuk bermain."

"Ibu tidak pulang?"

"Angga, besok pagi-pagi sekali ibu akan datang kemari, lalu kita berangkat bersama-sama kesekolah. Bagaimana?"

"Ibu kerumah besok pagi? Angga nggak mau mandi, besok nungguin ibu saja mandinya."

"Oh, baguslah, ibu akan datang pagi-pagi. Sekarang minum susunya, dan jangan rewel ya."

Angga mengangguk. Bu Nastiti tersenyum sambil menerima kembali ponselnya. Angga meneguk susunya sampai habis.

Bu Nastiti menghela nafas lega. Bersyukur karena Ratih ternyata bisa menjadi pengganti Arum.

*** 

Setelah mengantarkan Ratih, Aryo tidak segera pulang kerumah. Ia berputar-putar disekitar kota, barangkali dia bisa melihat Arum. Ia teringat kata Rini, dia bilang melihat Arum. Walau ragu akan kebenarannya, tapi Aryo akan mencoba mencarinya dikota ini. Tapi kalau benar, mengapa Arum tidak mau segera pulang? Kalau dia begitu marah pada suaminya, apa tidak rindu pada anak semata wayangnya?"

"Arum, ingat anakmu Arum..."

Tiba-tiba dia teringat lagi apa yang dikatakan Rini.Katanya ia melihat Arum dirumah sakit pusat. Bisakah menanyakan ke rumah sakit tentang seseorang yang pernah berobat? Dibagian apa? Penyakit dalam, umum, atau apa. Bisakah menanyakannya?

Aryo memacu mobilnya kearah rumah sakit. Barangkali ada yang bisa memberitahu tentang isterinya yang pernah berobat. Kalau apa yang dikatakan Rini benar. Tapi kalau hanya meng ada-ada?

Apapun yang terjadi Aryo harus menanyakannya. 

"Bisa nggak ya?" gumamnya ketika sudah memasuki halaman rumah sakit.

Dengan perasaan ragu dia berjalan menuju kedalam. Aryo tidak tau kemana sebaiknya bertanya. Tapi melihat loket pendaftaran, dia menuju kesana.

"Selamat sore," sapanya.

"Selamat sore bapak, ada yang bisa saya bantu?"

"Bisakah saya menanyakan mmm.. seseorang yang pernah berobat kemari?"

"Maksud bapak?" 

"Saya sedang mencari..mm.. salah seorang saudara saya, apakah benar dia berobat kemari pada kira-kira tiga atau empat hari yang lalu."

Penjaga itu saling pandang dengan teman kerjanya.

"Susah ya ? Namanya Arum. Arumsari," lanjut Aryo.

"Tapi... iya pak, memang susah. Coba bapak tanya ke bagian rekam medis, barangkali bisa membantu bapak."

"Bagian rekam medis? Dimana itu mbak?"

"Kalau sore begini tutup pak, coba besok pagi."

"Oh, gitu ya."

Aryo tampak termenung. Ada harapan untuk bertanya, artinya tidak tertutup kemungkinan dia bisa menemukan keterangan disini,sekali lagi kalau apa yang dikatakan Rini itu benar.

"Ya sudah mbak, terimakasih banyak, selamat sore."

"Selamat sore bapak."

Aryo melangkah keluar. 

"Semoga besok ada keterangan yang jelas tentang Arum. Kata Rini wajahnya pucat, apa dia sakit? Ya Tuhan, ijinkan hamba bisa menemukan dia," bisiknya perlahan sambil masuk kedalam mobil.

*** 

Udara mulai remang, Aryo teringat akan anaknya. Apakah Angga rewel ketika tidak menemukan Ratih disampingnya? Begitu risaunya hati Arya memikirkan anak semata wayangnya.

"Arum, apa kamu tega melihat anakmu seperti ini? Dia masih membutuhkan kamu Arum," bisiknya sepanjang menjalankan mobilnya.

Karena khawatir akan anaknya, Aryo menelpon ibunya.

"Ya Aryo, kamu dimana, lama sekali?"tegur bu Nastiti.

"Aryo masih dijalan. Apa Angga rewel?"

"Ya, tadi rewel, tapi kemudian aku minta nak Ratih bicara sama dia, sekarang sudah tenang. Lagi main mobil-mobilan."

"Ah ya, syukurlah, Aryo segera pulang bu, cuma muter-muter saja."

Aryo menghela nafas lega. Berkali-kali Ratih bisa menenangkan anaknya. Bisa menghiburnya, menyenangkannya, menjadi ibunya. Ya Tuhan, menjadi ibunya? Hati Aryo berdebar kencang. Kalau Ratih menjadi ibunya... tidak... jauhkanlah pikiranku dari dia.. pikir Aryo.

Aryo menjalankan mobilnya sangat pelan, karena pikirannya benar-benar kacau. Tapi ada sebersit harapan, rumah sakit itu. Besok dia harus kesana, barangkali nama Arum ditemukan disana sehingga dia bisa melacak keberaadannya.

Tiba-tiba Aryo merasa kepalanya berdenyut-denyut. 

"Aduh, kenapa pula kepalaku ini," keluhnya.

Aryo ingin segera sampai dirumah, tapi dia ingat, obat sakit kepala dirumah sepertinya habis. Dia harus membelinya. Lalu dicarinya apotik.

Aryo hampir saja memarkir mobilnya ditepi, ketika dua orang wanita melintas dihadapannya. Aryo menginjak rem dengan kaget. Dilihatnya salah seorang wanita itu terjatuh.

Aro membuka mobilnya, tapi wanita yang satunya sudah menolong yang tadi terjatuh, kemudian berjalan kearah depan. Aryo ingin mengikutinya untuk meminta ma'af,  tapi keduanya keburu masuk kedalam mobil. Aryo menutup mobilnya, lalu berjalan kearah apotik.

Salah satu perempuan tadi, melihat kebelakang, kearah mobil Aryo.

"Ada apa?" tanya yang lebih tua.

"Saya seperti mengenali mobil itu."

" Oh, kalau pengemudinya, kenal tidak?"

"Entahlah, wajahnya nggak jelas." 

Kemudian mobil itu berlalu. Kalau saja Aryo tau siapa perempuan yang nyaris ditabraknya.

***

besok lagi ya

 


 

 


Saturday, March 7, 2020

DALAM BENIBG MATAMU 73

DALAM BENING MATAMU  73


(Tien Kumalasari)

Adhit terkejut. Tak percaya apa yang didengarnya, kemudian ia meminggirkan mobilnya. Dipandanginya Anggi yang menatap lurus kedepan.
Wajah Mirna terbayang. Adhit kemudian sadar akan perasaannya. Tapi mana mungkin ia menuruti kemauan Anggi?
Adhit teringat dongeng bu Broto  ketika ia masih remaja. Dongeng tentang wayang. Katanya, Arjuna dan dewi Banowati itu saling mencintai, tapi tak bisa saling memiliki karena Banowati kemudian menikah dengan Duryudono, raja Astinapura. Namun cinta itu tetap terpendam dalam hati masing-masing, selamanya. Apakah dia Arjuna itu.. dan Mirna adalah Banowati? Ah.. kebalik ya.. Adhit yang sudah menikah.. sedangkan Mirna..  Tapi apakah Mirna mencintai dirinya? Adhit berbicara sendiri dengan batinnya, sejenak lupa bahwa Anggi ada disampingnya.

"Anggi...."

Anggi menoleh kearah suaminya. Sesa'at mereka bertatapan. Lalu Anggi kembali menatap kearah depan.

"Aku serius mas," katanya tanpa menatap suaminya.

"Tidak, kamu bercanda. Kamu tau bahwa aku tak mungkin melakukannya," kata Adhit pelan. Mungkin tak yakin akan apa yang diucapkannya.

"Aku serius... " ulang Anggi..

"Ma'afkan aku.. aku janji.. bahwa... "

"Jangan berjanji apapun..." potong Mirna.

Adhit memegang lengan Anggi, tapi dengan satu tangannya ia melepaskannya.

"Aku sangat mencintai mas. Aku tak ingin melihat mas menderita."

"Tidak.. aku tidak menderita .. tolong Anggi... aku... "

"Mas menderita. Mas menginginkan sesuatu tapi tak bisa mencapainya. Mas mencintai seseorang tapi tak bisa memilikinya. Aku mas.. aku akan melakukan sesuatu agar mas bahagia."

"Apa maksudmu Anggi... "

"Penuhilah permintaanku. Aku rela berbagi asal mas bahagia."

"Anggi... "

"Antarkan aku pulang. Bukankah sa'atnya mas pergi kekantor?"

"Anggi... "

"Ups... salah mas..turunkan aku dipasar saja. Aku kan tadi pamitnya jalan-jalan  kepasar ? Aku mau belanja untuk masak bersama eyang."

Adhit tak tau apa yang harus dilakukannya. Ia menjalankan mobilnya dan menurunkan Anggi dipasar seperti yang di inginkannya, lalu dia langsung pergi ke kantor.

***

Namun Adhit tak bisa melakukan apapun. Kata-kata Anggi terngiang ditelinganya. Bayangan Mirna juga me nari-nari dipelupuk matanya. Benarkah dia mencintai Mirna. Mengapa semalam terlontar bisikan itu.. nama itu.. dan sudah pastilah Anggi marah. Tapi mengapa kemudian Anggi menyuruhnya menikahi Mirna? Mirna nggak mungkin mau.. tapi kalau Mirna mau....  Aduh.. Adhit memijit kepalanya yang terasa pusing.

"Mas. Tumben tadi berangkat pagi-pagi.."

Adhit terkejut. Ayud sudah.ada didepannya.

"Mas sakit?Kok kepalanya di pijit-pijit?" tanya Ayud khawatir.

"Sedikit pusing.. nggak apa-apa kok. Ada apa kemari?"

"Cuma mau nanya. Tadi mas berangkat pagi-pagi.. Ananda men-cari-cari tadi."

Mendengar nama Ananda wajah Adhit langsung berseri. Benar, dia berangkat sebelum Ananda datang. Setiap pagi sebelum berangkat pasti Adhit bermain sebentar sama Ananda. Tapi tidak pagi tadi. Ada kemelut dirumah tangganya, gara-gara ulahnya.

"Iya. Tadi Anggi kepasar pagi-pagi. Aku menyusulnya langsung ke kantor," jawab Adhit menyembunyikan kejadian sebenarnya.

"Ooh.. rajin ya mas, isterimu?"

Adhit tersenyum. Tapi senyum itu sama sekali tak tampak manis. Ayud melihat ada mendung menggantung disana. Ayud juga ingat, bu Broto juga mengatakan bahwa pagi itu terasa lain.

"Mas nggak apa-apa kan?"

"Nggak.. aku baik-baik saja."

Tapi ketika Ayud pergi dari ruangannya, Adhit kembali termenung. Ada yang ingin dilakukannya, tapi ia tak tau apa. Adhit kemudian berdiri dan keluar dari ruangannya, menuju mobilnya. Tak nyaman rasanya melamun di kantor. Adhit membawa mobilnya keluar, tak tentu arah.

***

Tapi ditengah keramaian itu ia melihat Mirna. Tampaknya habis berbelanja. Ada bungkusan besar ditentengnya.

"Ya Tuhan... kenapa bertemu dia?"

Adhit menghentikan mobilnya didekat Mirna berdiri. Tiba-tiba debar jantung Adhit berdetak lebih kencang. Ada apa ini, tak biasanya aku merasa seperti ini. Keluh Adhit dalam hati. Ia tak segera turun dari mobilnya, sesa'at menata batinnya. Tapi ketika dilihatnya Mirna berjalan menjauh Adhit segera keluar dan mengejarnya.

"Mirna, tunggu Mirna.." katanya setengah berteriak.

Mirna menghentikan langkahnya. Suara itu sangat dikenalnya dan tak mungkin dilupakannya. Berdebar ketika terdengar langkah cepat menghampiri.

"Mirna.. lagi nyari taksi ya?"

"Pp.. pak Adhit.." gagap Mirna menyapanya.

"Ayo aku antar.."

"Tidak.. jangan pak.."

Tapi Adhit segera mengambil tas besar yang ditentengnya, lalu menarik tangan Mirna menuju mobilnya.

Mirna tertegun, ada rasa nyaman ketika tangannya digenggam bos gantengnya. Aduhai.. apa aku bermimpi? Bisik batinnya. Adhit membuka pintu mobil dan menyuruh Mirna masuk. Tak ada yang bisa dilakukan Mirna karena kemudian Adhit membawa belanjaannya lalu memasukkannya ke bagasi.

Mirna masih gemetaran ketika Adhit menjalankan mobilnya.

"Ke toko kan?"

"Ya, mbak Dewi.. menyuruh.. menyuruh saya.. belanja.."

" Sudah.kuduga.."

"Mengapa bapak antar ss.. saya?"

"Nggak apa-apa.. lagi nggak ada kerjaan," jawab Adhit sambil menoleh kearah Mirna. Entah mengapa hati Adhit merasa tenang. Kegelisahan sejak pagi sirna tiba-tiba.

"Apa aku sudah gila?"desisnya perlahan.

Mirna menoleh kearahnya, mengira Adhit mengajaknya bicara.

"Ya... pak," tanyanya ragu.

"Apa?" Adhit terkejut sendiri. Apa Mirna mendengarnya?

"Apa?" Adhit balik bertanya.

"Saya kk..kira bapak bicara sama saya."

"Mirna, bagaimana kalau manggilnya tidak bapak?"

"Ssa.. saya?"

"Iya, kamu.. aku ini bukan atasan kamu lagi, jadi kita boleh berteman kan? Panggil aku mas."

"Aapp.. pa?"

"Mas Adhit. Bukankah itu lebih manis?"

Mirna meremas tangannya sendiri yang basah oleh keringat dingin. Seandainya Adhit belum punya isteri.. alangkah membahagiakan kata-kata itu.

"Maukah ?"

"Nggak... jangan.. saya nggak berani.."

"Nggak berani kenapa?"

"Nanti bu Anggi marah," jawab Mirna pedih.

Tiba-tiba Adhit teringat peristiwa antara dirinya dan Anggi sejak semalam. Ketika dia membisikkan nama Mirna sa'at bercinta dengannya. Lalu Anggi menyuruhnya menikahi Mirna. Ya Tuhan, mengapa juga siang ini dia dipertemukan..

Adhit terdiam sampai mobil itu berhenti didepan toko Dewi. Adhit turun lebih dulu, membukakan pintu mobil untuk Mirna, kemudian mengambil belanjaan di bagasi.

Mirna meminta tas belanjaan itu tapi Adhit melarangnya.

"Biar aku saja Mirna.."

"Jangan pak.."

" Kok pak lagi.."

Sejenak mereka berpandangan. Mirna terpesona memandangi senyuman bos gantengnya. Itu senyuman yang sangat digandrunginya dan sekarang diarahkannya padanya? Mirna tak ingin melepaskan pandangan itu. Terbuai dan terbuai sehingga ia lupa melepaskan tangannya yang bersentuhan dengan tangan bos ganteng ketika berebut membawa tas itu.

Adhitpun terpesona. Ada rasa menyesal mengapa wajah cantik itu baru sekarang merasuki hatinya.

"Mirna... " itu bisikan yang nadanya mirip dengan bisikan semalam yang....

"Lho.. kok nak Adhit?"

Tiba-tiba keduanya terkejut mendengar suara itu. Mirna melepaskan pegangannya pada tas belanjaannya.

Bu Susan berjalan mendekati mereka.

***

besok lagi ya

Thursday, March 5, 2020

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 04

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU  04

(Tien Kumalasari)


"Arum ?"

"Saya bukan Arum..." kata Ratih, gemetar, terlebih mata si ganteng yang menatap tak berkedip.

"Kamu...bukan Arum?"

"Aryo... kamu salah Aryo.." bu Nastiti yang tadi berada didalam kamar terkejut mendengar suara Aryo. Ia merasa terlambat datang untuk memberi tau Aryo lebih dulu, sehingga telah terjadi salah sangka didepan pintu dapur.

"Ibu, Aryo bingung..."

"Itu namanya Ratih, gurunya Aryo, memang mirip sekali dengan isterimu. Bahkan Angga menganggapnya ibunya.

Aryo menatap lagi perempuan disebelahnya. Adakah perbedaannya?

"Isterimu tak punya tahi lalat diatas bibirnya, lihat baik-baik." kata bu Nastiti lagi.

"Iya benar, ma'af ya... ma'af.." kata Aryo sambil terus menatap Ratih. 

"Saya mohon pamit, sudah sore," kata Ratih yang sudah menemukan tasnya diatas meja dapur. Ia harus cepat-cepat menghindar dari tatapan menggetarkan itu.

"Ss..saya antar?" kata Aryo agak gugup. Bagaimanapun peremuan itu membuatnya merasa aneh. 

"Tidak.. tidak.. terimakasih, ibu, saya pamit," katanya kemudian kepada bu Nastiti. Ia mencium tangannya kemudian berlalu.

"Aryo pernah bertemu dia bu.."

"Oh ya?"

"Aryo pulang dari kerja, melihat dia sedang berjalan, lalu Aryo kejar dia, tapi dia marah-marah. Mungkin mengira aku meng-ada-ada."

"Angga langsung bereriak ketika melihat dia. Dia lari menghampirinya dan langsung didudukkan dipangkuan Ratih. Pagi tadi.. begitu masuk sekolah."

"Jadi dia guru ?"

Bu Nastiti menceritakan semua yang terjadi begitu Angga masuk sekolah.sampai kemudian Angga minta Ratih memasak, dan tertidur. 

"Lihat, dia merapikan almari anakmu," kata bu Nastiti sambil menggandeng Aryo agar masuk kekamar Angga.

Aryo tertegun. Kamar Angga tampak bersih, dan ketika membuka almari, semuanya tertata rapi. Alas tidur dan sarung bantal semuanya baru. Dan yang kotor telah dimasukkan ke karanjang yang tersedia disudut kamar.

Benar-benar seperti isterinya yang biasa mengatur rumah sedemikian rapi.

"Ibu tadi sedang berada dikamar kamu Yo, untuk mengumpulkan baju-baju kotor kamu yang berserakan, sehingga tidak tau kalau kamu datang."

"Aryo tadi kerumah ibu, tapi pintunya terkunci, jadi aku pulang saja, nggak taunya ada Arum.. eh.. maksud Aryo ada gadis yang mirip Arum dirumah ini."

Tiba-tiba terdenger rengekan Angga. Arya dan bu Nastiti lari kekamar Angga. Dilihatnya Angga sedang duduk sambil melihat kekiri dan kekanan.

"Mana ibu ?" tanyanya.

"Ibu?"

"Ibu tadi tidur disini bersama Angga, mana ibu.." Angga mulai menangis.

Aryo mendekat dan memeluk Angga.

"Ibu sudah pergi Ngga, kan tadi sudah bilang kalau ibu pergi karena bekerja?" kata bu Nastiti.

"Sekarang ada bapak, seneng nggak kalau bapak ada didekat Angga?" kata Aryo sambil mendekap Aryo kedadanya.

"Oh ya, apa Angga lupa? Besok sekolah, dan Angga akan ketemu ibu lagi," kata bu Nastiti mengingatkan.

"O.. gitu ya yang? Besok ketemu ibu lagi?" kata Aryo pura-pura bertanya.

"Iya, besok ketemu ibu lagi."

Angga terdiam. Merangkul leher ayahnya, lalu Aryo mengajaknya berdiri, dan menggendongnya keluar dari kamar,

:"Mau dibuatkan susu?"

Angga mengangguk. Diturunkannya Angga, lalu ia berjalan kearah dapur. Aryo melihat tudung saji tertutup diatas meja. Rasa ingin taunya membuat ia kemudian membuka tudung saji itu.

"Wah, ada ayam goreng, sup yang sudah dingin.. dan .. hm.. baunya enak, Rupanya tadi gadis itu sempat memasak untuk Angga," gumam Aryo sambil menutupkan lagi tudung saji itu.

Ada perasaan yang tiba-tiba nyaman. Entah mengapa. Mungkin karena Angga merasa telah menemukan ibunya, atau mungkin ada yang lain, entahlah. Aryo mengambil kaleng susu dan membukanya sambil mengulaskan senyum dibibirnya.

"Sayang dia bukan Arum," gumamnya lagi setelah selesai membuat susu dan membawanya kedepan. Aryo sedang duduk dipangkuan neneknya.

"Ini susu buat Angga.. "

Angga menerima gelas yang diulurkan ayahnya, lalu meminumnya.

"Tadi ibu masak sup buat Arya," katanya setelah menghabiskan susunya.

"Oh ya? Enakkah masakan ibu?"

"Enak bapak, nanti Angga mau makan lagi. Bolehkah disuapin?"

"Lho, kan Angga sudah sekolah, masa makan harus disuapin?"

Angga meleletkan lidahnya.

"Angga tadi disekolah belajar apa?"

"Belajar mainan."

"Yaa... belajar mainan?"

"Tadi Angga duduk di ayunan, lalu diayun sama ibu."

"Hm, senengnya...."

"Bapak, tadi Angga melihat mobil-mobilan besar. Kata eyang kalau beli harus bilang dulu sama bapak."

"Lho, mobil lagi? Kan sudah punya banyak?"

"Yang itu besar, Angga bisa naik kedalamnya."

"Wouw.. kalau begitu naik mobilnya bapak saja," canda Aryo.

Angga terkekeh.

"Angga masih kecil, mobilnya harus kecil.."

"Anak bapak memang pinter. Iya deh, nanti kalau bapak libur, kita beli."

"Sama ibu juga kan belinya?"

"Lho.. kok sama ibu juga."

"Iya, tadi aku sudah bilang."

"Apa ibu mau?"

"Mau tidak eyang?" tanya Angga kepada neneknya.

"Mungkin mau, kalau tidak sedang bekerja."

"Jadi beli kalau ibu libur. Besok Angga mau tanya sama ibu, kapan ibu libur."

Aryo memegangi kepalanya. Ternyata tidak cukup hanya bertemu,dan dibuatkan masakan yang dia mau,dan dikelonin ketika tidur siang, sekarang minta agar pergi beli mainan bersama ibu juga. Bagaimana kalau Ratih menolak? Ini kan permintaan yang keterlaluan? Dia bukan siapa-siapanya Angga.

"Iya kan eyang?"

Bu Nastiti hanya mengangguk.

"Ayo Angga mandi dulu." kata bu Nastiti mengalihkan pembicaraan.

***

"Bapak tadi beli gado-gado didepan situ, Ratih, habisnya kamu nggak pulang-pulang." kata pak Pardi ketika Ratih menyiapkan teh sore hari itu.

"Iya bapak, ma'af, tadi ada murid yang rewel, minta Ratih masak sup buat dia."

"Aneh, masa gurunya disuruh masak?"

"Ceritanya panjang. Kasihan anak itu."

"Tidak punya orang tua?"

"Punya. Tapi ibunya pergi sudah sebulan."

"Kok bisa seorang ibu meninggalkan anaknya begitu saja, sampai sebulan lagi.."

"Ya karena perselisihan apalah pak, mungkin si isteri sangat marah, lalu pergi."

"Tapi ya semarah-marahnya seseorang, harusnya tidak sampai hati mennggalkan anaknya."

"Iya juga sih pak, nggak tau lah bagaimana permasalahannya. Yang jelas Ratih kasihan melihat anak itu. Tiba=tiba di berterak memanggil Ratih 'ibu'.. lalu minta dimasakin sup sama ayam goreng, terharu rasanya melihat dia sangat kehilangan."

"Mengapa dia mengira kamu ibunya?"

"Wajah Ratih katanya mirip sekali dengan ibunya. Bahkan neneknya yang mengantar ke sekolah juga tadinya mengira Ratih ini menantunya yang pergi."

"Oh ya?"

"Kok bisa ya, ada orang wajahnya mirip sekali. Kan Ratih tidak terlahir kembar. Ya kan pak?"

"Iya sih..."

"Bapak tidak apa-apa kan, kalau Ratih pulang terlambat? Takutnya besok Angga masih minta supaya Ratih masak lagi buat dia, lalu menemaninya tidur siang. Aduuh.. nggak sampai hati Ratih menlaknya. Kasihan.." kata Ratih pilu.

"Nggak apa-apa nduk, menolong orang itu kan perbuatan mulia."

"Mulai besok, Ratih akan masak pagi-pagi, untuk makan pagi dan siang seandainya Ratih pulang terlambat. "

"Apa kamu tidak repot? Kalau masalah makan bapak bisa beli diwarung depan."

"Nggak apa-apa pak, Kasihan kalau bapak sampai kelaparan dan beli sendiri. Cuma masak sebentar. Nanti Ratih beli sayur diwarung dekat-dekat situ. Masak yang gampang-gampang saja."

"Iya Tih, lauknya juga nggak perlu yang aneh-aneh. Pokoknya ada tahu, bapak sudah cukup senang."

"Iya, Ratih sudah tau kalau bapak sukanya tahu."

*** 

Pagi itu Angga bersiap masuk sekolah dengan semangat tinggi. Masih pagi sudah bangun, minta mandi, minta makan dan minum susu, lalu terburu-buru minta agar segera berangkat  kesekolah. Bu Nastiti yang malam itu menginap dirumah anaknya.meladeni semua keperluan cucunya.

"Lihat tuh, anakmu sudah minta berangkat sekolah, sementara kamu masih belum mandi," gerutu bu Nastiti ketika melihat Aryo duduk termangu diruang tengah.

"Nggak apa-apa Aryo mengantar sekolah dulu baru pulang lagi dan mandi."

"Huh, dasar kamu itu."

Aryo hanya tertawa. 

"Bu, bagaimana kalau ibu tinggal disini saja selama Arum belum kembali?"

"Lha rumah ibu bagaimana?"

"Sesekali saja ibu pulang kerumah, toh ibu juga sendirian disana."

"Nggak apa-apa. Nanti ibu ambil baju-baju ibu dulu kerumah."

"Bagaimana kalau kita cari pembantu? Repot juga kalau nggak ada pembantu."

"Cari pembantu itu tidak mudah. Jaman sekarang banyak yang lebih suka bekerja di pabrik-pabrik, atau jadi pelayan toko. Lagi pula belum tentu seandainya nanti dapat, lalu bisa dipercaya. Menurut ibu biarlah begini saja. Gampang kalau nanti ada yang cocog. Kita cuma tiga orang saja, ibu kira nggak terlalu repot."

"Bapaaaak, ayo kita berangkat! Kok bapak belum mandi sih?" omel Angga kesal melihat ayahnya masih duduk berbincang dengan neneknya."

"Oh, iya... baiklah, ayo kita berangkat sekarang," kata Aryo sambil berdiri.

"Kan bapak belum mandi?"

"Mandi nanti saja setelah mengantar Angga ke sekolah," jawab Aryo sambil masuk kedalam kamar.

Aryo hanya memakai celana pendek dan kaos yang juga berlengan pendek, keluar dari kamar dengan membawa kunci mobil

"Ayo kita berangkat, tuan muda," canda Aryo.

"Idih.. bapak bau," ejek Angga sambil berlari mendahului.

***

Begitu tiba disekolah, Angga segera turun dari mobil dan berlari kedalam. Aryo geleng-geleng kepala. 

"Aryo, kamu boleh pergi, " kata bu Nastiti sambil turun.

"Ibu nggak pulang dulu, kan ibu belum ganti baju?"

"Nanti kalau ibu sudah menitipkan Angga pada nak Ratih, ibu baru pulang, sendiri juga nggak apa-apa." kata bu Nastiti.

"Nggak bu, biar Aryo menunggu disini, ibu menemui Ratih dan bisa meninggalkan Angga kan? Nantti Aryo antar ibu sampai kerumah, baru Aryo pulang dan mandi. Dan jangan lupa, nanti Aryo akan menjemput Annga."

"Apa kamu tidak bekerja?"

"Jam berapa Angga pulang?"

"Biasanya jam sepuluh."

"Nanti sebelum jam sepuluh Aryo sudah ada disini, nggak apa-apa meninggalkan pekerjaan sebentar."

"Bu Nastiti mengangguk. Ia melangkah kedalam, langsung memasuki ruang guru. Dilihatnya Angga sudah duduk dipangkuan Ratih.

"Angga kok begitu, teman-temannya bermain tuh.. Kok Angga malah ngrepotin ibu?" tegur bu Nastiti."

"Nggak apa-apa bu, biar sesuka dia saja."

"Aku nanti bermain sama ibu," kata Angga.

"Gimana tuh nak Ratih, ngrepotin kan?"

"Nggak apa-apa bu, Angga tidak nakal kok."

"Ya sudah, kalau begitu titip Angga dulu sebentar ya nak, ibu mau pulang ganti baju, ini dari kemarin nggak ganti karena tidur dirumahnya Aryo."

"Oh, iya bu?"

"Iya, semalam juga ibu memakai baju tidur punya Arum."

"Ya bu, biar Angga disini sama saya."

"Angga, nggak boleh nakal ya?" pesan bu Nastiti.

"Nggak eyang." kata Angga sambil menarik tangan Ratih agar menemaninya bermain.

Bu Nastiti keluar dari halaman sekolah, mendekati mobil Aryo yang masih menunggu didepan pintu.

"Kok berhenti didepan pintu sih, bukannya agak maju sedikit."

"Ingin melihat Aryo sama 'ibunya',"

Bu Nastiti masuk kedalam mobil.. Aryo terpaku melihat Angga menarik narik tangan Ratih, mengajaknya bermain ayunan. Ada debar aneh memukul-mukul dadanya.

"Ya Tuhan, Aryo, itu bukan Arum. " kata batin Aryo yang segera menstarter mobilnya menjauh dari sana.

Ratih melihat kearah mobil itu karena Angga melambaikan tangannya, melihat ayahnya pergi. Ratih ingin melihat sosok berkumis tipis itu tersenyum, tapi terhalang oleh kaca mobil yang hitam dan sudah ditutupnya begitu mobil itu berlalu.

***

Jam sepuluh kurang lima menit, Angga sudah memarkir mobilnya didepan sekolah Angga. Perlahan Aryo turun, dan menunggu dibawah sebuah pohon trembesi yang berdaun rindang didekat pagar.

Didengarnya anak-anak sekolah bernyanyi 'sayonara' lalu para orang tua yang menjemput mendekat kearah pintu kelas agar ketika bubaran mereka langsung melihat bahwa orang tua mereka sudah menunggu. Bu Nastiti ada diantara mereka. Tapi sampai mereka pulang, Angga belum juga keluar. Aryo melongok kearah ibunya, tapi bu Nastiti masih menunggu didepan pintu.

Tak lama kemudian Angga kelihatan keluar dari pintu itu, sambil menggandeng tangan Ratih. Ada haru yang menyesak dadanya melihat pemandangan itu. Angga benar-benar merindukan ibunya, dan bahagia ketika merasa bahwa ibunya sudah kembali.

Melihat ayahnya, Angga segera berlari mendahului.

"Bapak, Angga sudah bilang sama ibu kalau kita mau membeli mobil-mobilan."

"Angga, ini bapak masih harus kembali ke kantor."

"Iya, kalau libur kan?Tapi ibu bilang, bapak yang harus minta pada ibu," kata Angga sambil menarik tangan bapaknya untuk diajak menghampiri Ratih yang sedang berbincang dengan bu Nastiti.

"Minta bagaimana?" tanya Aryo bingung.

"Minta supaya ibu mau diajak bapak mengantarkan Angga beli mobil itu."

Aryo dan Angga sudah sampai dihadapan Ratih. Terpaku dengan debar jantung yang kencang memukul dadanya, Ratih  menerima tangan Aryo yang menyalaminya, dan menggenggamnya erat.

 "Ayo, bapak bilang dong sama ibu..!" rengek Angga.

***

besok lagi ya

Wednesday, March 4, 2020

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 03

SETANGKAI MAWAR BUAT IBU 03

(Tien Kumalasari)

 

Angga melepaskan pegangan neneknya dan berlari kearah sudut ruangan, dimana seorang wanita duduk menghadapi sebuah laptop.

"Ibuuu..." 

Bu Nastiti menatap kearah wanita dimana Angga berlari mendekatinya, lalu berbisik lirih.

"Arum ?"

Wanita itu terkejut ketika Angga menubruk pangkuannya sambil memanggilnya ibu. Rasa trenyuh tiba-tiba menghinggapi perasaannya. Diangkatnya tubuh Angga dan diletakkannya diatas pangkuannya.

"Ibuu..."

Wanita itu menggeleng pelan.

"Mengapa ibu tidak pulang?"

Kejadian itu membuat beberapa orang guru yang ada diruangan itu menatap mereka dengan heran.

Bu Nastiti mendekati wanita itu.

"Kamu Arum?"

Wanita itu tersenyum ramah dan menggeleng.

"Bukan ibu, saya Ratih," jawabnya sambil masih memangku Angga.

Bu Nastiti mengamati wajah cantik dihadapannya.Ini sebuah bukti kebesaran Allah Yang Maha Kuasa. Ada orang begitu mirip. Apakah Arum punya saudara kembar? Sepertinya tidak. Dulu ketika melamar, orang tua Arum hanya punya seorang anak gadis, seperti bu Nastiti sendiri yang hanya punya seorang anak laki-laki. Bu Nastiti terus mengamati wajah itu.. lalu ditemukannya perbedaan antara Arum dan wanita bernama Ratih ini. Ada tahi lalat kecil diatas bibir disebelah kiri. Tapi penampilan pada dandanannyapun hampir sama.

"Mirip sekali," gumam bu Nastiti.

"Mengapa ibu tidak pulang?" tanya Angga tiba-tiba.

Bu Nastiti mengedipkan matanya kearah Ratih.  Ia minta agar Ratih jangan menyangkal dipanggil ibu.

"Ibu... sedang bekerja sayang.. jadi tidak bisa pulang."

"Tapi bapak mencari ibu setiap hari."

"Angga, karena ibu bekerja disini, jadi tidak bisa pulang. Sekarang turunlah, katanya mau sekolah," kata bu Nastiti lembut.

Angga merosot turun, membiarkan neneknya menggandeng tangannya untuk mendaftarkannya disekolah.

"Nanti ibu pulang ya?" kata Angga sambil menoleh kearah Ratih.

Ratih mengangguk, masih diliputi tanda tanya. Ia teringat beberapa hari yang lalu, ketika seorang laki-laki mengejarnya, dan memanggilnya Arum. Ia ingat laki-laki itu. Gagah dan tampan, dengan kumis tipis dibibirnya. Ahaa... mengapa baru sekarang Ratih sadar bahwa laki=laki itu begitu tampan dan mempesona?

Ketika Angga sudah berbaur dengan anak-anak lainnya, bu Nastiti mendekati Ratih.

"Ma'af ya nak, Angga sangat merindukan ibunya."

"Memangnya kemana ibunya Angga?"

"Pergi dan sudah sebulan lebih tidak kembali."

"Mengapa bu?"

"Ah, biasa, selisih dalam rumah tangga. Kasihan Angga dan suaminya."

Lalu wajah laki-laki kebingungan yang nekat memanggilnya Arum itu terbayang lagi. Tapi kemudian Ratih merasa kesal pada dirinya sendiri.  Dulu marah-marah, kok sekarang ngebayangin lagi?Tapi sungguh, laki-laki itu sangat gagah dan tampan. Aduhai..

 "Nak, maukah nanti ikut pulang bersama kami?" kata bu Nastiti membuyarkan lamunan Ratih.

"Ikut pulang?" Ratih terkejut.

"Sebentar saja, kerumah Angga, supaya dia merasa ibunya ada. Setelah itu nak Ratih boleh pergi."

Ratih tampak berfikir. Ia kasihan pada Angga, yang tiba-tiba menubruknya. Bagaimana reaksinya kalau dia mengatakan bahwa dirinya bukan ibunya? Pasti akan kecewa.

"Baiklah bu, sebentar saja."

Ketika Ratih keluar dari ruangan dan menemui anak-anak kecil yang asik bermain ayunan, Angga berteriak kepada temannya.

"Itu ibuku..."

Dan teman-teman mainnya itupun menatap ibu guru Ratih, yang tersenyum kearah mereka.

"Ibu.. aku mau naik ayunan.. sama ibu ya?" teriak Angga gembira.

Ratih tak sampai hati mengecewakan Angga. Anak kecil berambut sedikit keriting, bermata tajam berbibir tipis, dengan pipi yang agak gembul itu sangat menggemaskan. Tapi mata Angga mengingatkan kembali pada wajah laki-laki itu. Ratih menghela nafas.

"Ayo bu..," Ratih tersadar dari lamunan ketika Angga menarik tangannya. Ratih mengikutinya, menaikkan Angga keatas ayunan, dan dia mengayunkannya perlahan dari belakang. 

Bu Nastiti terharu melihat Angga tampak gembira. Setitik air matanya menetes, yang kemudian diusapnya dengan sapu tangan yang dibawanya.

***

Begitu sekolah usai, bu Nastiti mengajak Ratih kerumah Aryo, dengan sebuah taksi. Angga gembira bukan alang kepalang. Disepanjang perjalanan kepalanya disandarkan di lengan Ratih. sambil memegangi tangan Ratih erat-erat. Betapa terharu Ratih menyaksikan semua ini. Bagaimana kalau kemudian dia tau bahwa aku bukan ibunya? Pikir Ratih. Tak sampai hai rasanya mengatakan hal yang sebenarnya.

"Ibu, nanti sampai dirumah, Angga mau makan sama sup ayam."

"Oh.. ya? Mm.. ibu lupa, apakah dirumah ada ayam ya?" katanya sambil melirik bu Nastiti yang duduk disampingnya.

"Begini saja, kita mampir ke supermarket sebentar untuk membeli bahan-bahannya, bagaimana?" ujar bu Nastiti.

Ratih mengangguk. Tak sampai hati rasanya mengecewakan Angga. Ada peraan aneh ketika tiba-tiba ia harus menjadi seorang ibu.

Bu Nastitipun meminta driver taksi agar mampir untuk belanja disebuah supermarket.

Angga berjingkrak jingkrak ketika melewat sebuah gerai mainan. 

"Aku mau mobil itu ya bu."

"Angga, kita belanja saja dulu, supaya ibu bisa segera memasak, nanti lain waktu kita beli mainan, ya. Bukankah kamu sudah punya banyak mobil-mobilan?" kata bu Nastiti.

"Angga ingin yang besar eyang."

"Iya, nanti bilang sama bapak ya, lain kali beli mobil-mobilan yang besar."

"Kita beli sama ibu juga?"

Wadhuh. Keduanya tak bisa menjawabnya, baik bu Nastiti maupun Ratih. Kalau mereka bilang 'ya', pasti suatu hari akan dimintanya agar ayahnya dan Ratih mengantarnya ke toko mainan.

"Oh, disana rupanya banyak sayuran. Ayo.. ayo.. belanja dulu. Angga mau sup ayam sama apa?" tanya bu Nastiti mengalihkan pembicaraan.

"Sama, krupuk.. sama.. ayam goreng. Ya bu?"

Ratih tersenyum dan mengangguk. Mereka hanya belanja untuk keperluan memasak yang diminta Angga, lalu segera pulang.

Ratih masuk ke dapur dengan perasaan kikuk. Dimana wajan, dimana panci.. adduuh.. ia mencari-cari seperti oang bodoh. Untunglah bu Nastiti membantunya.

Angga menunggu dikamar sambil bermain-main. Ketika aroma sup tercium oleh hidungnya, iapun berteriak.

"Ibuu... aku mau makan."

"Sabar Angga, ibu baru menggoreng ayam. Agak lama, jadi kamu jangan mengganggunya ya." kata bu Nastiti.

Ratih menyelesaikan acara masak memasak itu dengan senang hati. Betapa tidak, seorang anak kecil yang menganggapnya ibu minta agar dia memasak unuknya. Hal yang jarang dilakukannya meskipun dia bisa. Ditempat kontrakannya, jarang sekali dia memasak. Kecuali kalau sedang sangat ingin memasak, Selebihnya  ia membeli sayur didepan rumah kost, dan makan seadanya bersama ayahnya. Ah ya, ia harus memberi tau ayahnya kalau dia pulang terlambat. 

Ratih mengambil ponselnya, dan mengatakan kepada ayahnya bahwa karena ada urusan maka dia akan pulang terlambat.

"Ibu menelpon bapak ?" tanya Angga tiba-tiba.

Ratih kebingungan menjawabnya. Tapi dia mengangguk pelan.

"Sebetulnya tadi Angga ingin bilang kalau bapak harus segera pulang, karena dirumah ada ibu." celotehnya sambil menatap Ratih .

Ratih tak mampu menjawabnya. 

"Ayo, cepat makan, sini, ibu ambilkan nasinya."

"Ibu, aku mau disupanin."

"Angga kan sudah sekolah, sudah bisa makan sendiri, jadi nggak boleh minta disuapin,." kata bu Nastiti.

"Masakan ibu enak sekali."katanya sambil menyendok makanannya.

Ratih menatapnya dengan perasaan yang mengharu biru. Anak sekecil itu, kehilangan kasih sayang ibunya, alangkah menyedihkan.]

"Nak Ratih, ayo kita makan saja sekalian. Ini kan sudah waktunya makan siang,"ajak bu Nastiti.

"Enggak ah bu, jadi nggak enak."

"Mengapa begitu nak, ayolah, ini kan nak Ratih sendiri yang masak, ibu ingin mencicipinya, tapi nak Ratih harus menemani."

Tak urung Ratih menurut apa permintaan bu Nastiti. Mereka makan bersama-sama, seperti sebuah keluarga.. 

Ratih membersihkan semua sisa makanan dan mencucinya, setelah menutupi sisa masakannya dengan sebuah tudung saji. 

"Sudah nak, jangan dicuci sendiri, biar ibu saja."

"Nggak apa-apa bu, cuma sedikit."

"Ibuuuu..." Angga berteriak lagi dari dalam kamarnya.

Ratih yang sudah selesai membersihkan dapur segera menghampirinya.

"Ada apa Angga?"

"Lihat bu,  ini mobil-mobilan Angga yang baru, ibu belum melihatnya kan?"

"Hm, bagus sekali Angga."

"Angga mau ganti baju dulu ibu, tadi lupa belum ganti baju," kata Angga sambil menarik-narik bajunya sendiri. Mungkin merasa kegerahan.

"Oh iya, ayo sini ibu lepas. Dimana baju gantinya?" aduh Ratih bagaimana, masa tidak tau dimana letak baju anaknya. Dan sekali lagi ada bu Nastiti yang selalu mengikutinya.

"Ini kan almari Angga."

Lalu bu Nastiti membukanya.

"Astaga, mengapa baju Angga berantakan begini?" kata bu Nastiti setelah membuka almarinya.

Ratih menggeleng gelengkan kepalanya. Kasihan, seorang laki-laki, hidup sendirian, merawat anak kecil.

"Sebentar, ibu bereskan dulu baju-baju kamu ya?" kata Ratih sambil mengeluarkan semua baju dan celana, kemudian menatanya dengan rapi.

"Nah, sekarang Angga mau baju yang mana?"

"Yang... biru, gambar Micky Mouse !!

Dengan sabar Ratih meladeninya.

"Ma'af ya nak Ratih," bu Nastiti berbisik ditelinga Ratih.

"Nggak apa-apa bu, saya mulai senang meladeni Angga," jawab Ratih sambil melepas baju Angga, kemudian diajaknya ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangannya. Harusnya tadi begitu sampai rumah dia melakukannya. Habisnya Ratih gugup ketika tiba-tiba harus menjadi ibu yang diharuskan memasak buat anaknya.

Sementara Ratih menemani Angga bermain, bu Nastiti membersihkan semua perabot yang kotor berdebu. Menyedihkan ketika seorang lelaki dengan satu anak harus mengurus rumah dan anaknya sekaligus. Bu Nastiti juga membersihkan kamar Aryo, yang melipat selimutpun dia tak sempat.

Dan hari itu rumah Aryo telah disulap menjadi rumah yang benar-benar bersih.

Hari hampir sore. Setelah bu Nastiti menemani makan siang bersama Ratih, maka diajaknya Angga kembali kerumahnya.

"Angga, ayuk kembali ke rumah eyang."

"Angga mau disini saja sama ibu."

"Tapi ibu harus bekerja Angga, tidak bisa berlama-lama disini."

"Sebentar lagi eyang," lalu Angga tampak menguap.

"Haa, Angga lupa tidur siang karena asyik bermain bersama ibu." kata bu Nastiti.

"Angga tidur disini saja." 

Dan Angga pun menjatuhkan tubuhnya diatas kasurnya yang sudah rapi karena seprei dan sarung bantal sudah diganti semua oleh Ratih. 

Entah mengapa Ratih sangat senang melakukannya. 

"Ibu, Angga mau dikelonin ibu."

Ratih tersenyum, lalu berbaring disisi  Angga. Matanya nanap memandangi sekeliling kamar. Ada sebuah almari kecil, dandiatasnya tampak foto sepasang suami isteri bersama seorang anak kecil. Ratih bangkit dan mendekati foto itu. Benar, ini dia laki-laki gagah yang mengejarnya dan mengira dia isterinya. Disampingnya seorang wanita, ahaa.. apakah itu aku? Pikir Ratih. Ia terpaku memandangi foto itu. Seakan dirinyalah yang sedang berdiri disamping si ganteng itu, dan anak kecil itu pastilah Angga. Hati Rati berdebar, seandainya benar-benar dia yang ada disampingnya...

"Ibu... tidur sini."

Rengek Angga menyadarkannya dari angan yang membubung ke langit tingkat limabelas.

Ratih berbaring disamping Angga, dan menepuk nepuk pahanya dengan lembut. Matanya tak pernah terlepas dari foto itu. Seperti mimpi dia menyadari bahwa ada seorang perempuan yang wajahnya sangat mirip dengan dirinya. Kekesalan karena kenekatan Aryo ketika memnggilnya dengan nama Arum, sirna sudah. Ia bisa mengerti, pasti banyak orang akan keliru. Mengapa ini bisa terjadi?

Ketika Angga terlelap, Ratih keluar dari kamar, ia berjalan kedepan, dilihatnya semua perabotan sudah bersih. Tadi dia melihat sebuah gelas kosong diatas meja diruang tengah, tapi gelas itu tak ada lagi. Pasti bu Nastiti yang melakukannya.Tiba-tiba disudut ruangan itu dilihatnya sebuah potret berbingkai yang lumayan besar.  Itu si ganteng bersama dirinya, eh bukaan.. itu isterinya, ralatnya atas pikiran yang mengaduk aduk hatinya. 

Ratih menatap foto itu tak berkedip, dan entah mengapa hatinya berdebar kencang.

Si ganteng itu seperti membalas tatapannya, tersenyum manis dan menggetarkan hatinya.

"Nak Ratih,  itu Aryo dan Arum isterinya, nak Ratih seperti sedang melihat wajah nak Ratih sendiri kan?"

Ratih membalikkan tubuhnya, dilihatnya  bu Nastiti sedang mengawasinya.

"Iya bu, kok bisa ya," ujar Ratih sambil tersenyum.

"Angga sudah tertidur?"

"Sudah bu, saya mau pamit saja."

"Saya minta ma'af yang sebesar-besarnya lho nak, ini suatu permintaan yang sangat merepotkan bukan? Tapi saya kasihan pada Angga," kata bu Nastiti sambil menahan tangis.

Ratih merangkulnya.

"Ibu jangan sungkan, saya senang melakukannya. Sungguh, Angga adalah anak yang manis. Dia akan menjadi murid kesayangan saya."

"Nanti apa jawab saya kalau dia bangun?"

"Katakan saja bahwa ibunya sedang bekerja, begitu bu."

"Baiklah, tapi kalau sewaktu-waktu Angga rewel lagi, apakah nak Ratih masih bersedia melayaninya?"

"Saya senang melakukannya bu, tak apa, semoga nanti kalau Angga terbangun tidak akan rewel mencari saya." 

"Mudah-mudahan bapaknya segera pulang. "

"Saya mengambil tas saya dibelakang bu."

"Ibu panggilkan taksi dulu nak."

"Nanti gampang bu, sambil jalan," kata Ratih sambil melangkah kebelakang.

Tapi Ratih lupa dimana tadi dia meletakkan tasnya. Didapur barangkali, dan Ratih melangkah kedapur.

Tapi tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang. 

"Akhirnya kamu pulang Arum,"

Gemetar Ratih dibuatnya.

***

besok lagi ya.

 

 


Tuesday, March 3, 2020

SETANGKAI MAWAR UNTUK IBU 02

SETANGKAI MAWAR UNTUK IBU  02

(Tien Kumalasari)

Angga merosot turun dari gendongan ayahnya, langsung merangkul Rini. Tapi Aryo melotot marah. Ditariknya Angga lalu digendongnya lagi.

Rini menegakkan tubuhnya, mengucek matanya.

"Ma'af, saya ketiduran."

"Mau apa kamu datang kemari? Aku sudah mengusir kamu. Kamu pembuat berantakan keluargaku."

"Mengapa bapak selalu menyalahkan saya? Bukan saya saja yang melakukannya, bapak juga menikmatinya." katanya sambil menatap Aryo dengan berani. Sesa'at tak bisa menjawab. Memang dia juga bersalah. Tapi jangan sampai perempuan dihadapannya muncul di kehidupannya lagi.

"Baiklah, aku juga bersalah, tapi lebih baik kamu tidak usah datang kemari lagi.Kamu tau, gara-gara itu isteriku pergi dan belum pulang sampai sekarang.

"Saya baru kembali dari rumah sakit. Hari sudah sore, saya mohon ijinkan saya menginap disini semalam ini saja, besok pagi-pagi saya akan pergi."

"Tidak, lebih baik kamu menginap disebuah losmen," tegas kata Ayo.

"Tapi saya tak punya uang untuk membayar penginapan."

 "Ini, aku beri kamu uang," kata Aryo sambil mengambil dompet disakunya, dan memberikan beberapa lembar ratusan ribu yang kemudian diberikannya kepada Rini.

"Ingat, jangan pernah menginjakkan kakimu dirumah ini lagi."

Lalu Aryo membuka pintu rumahnya, masuk kedalam dan menguncinya lagi.

Angga merengek, minta bertemu Rini, tapi Aryo terus membawanya kebelakang, agar Rni tak mendengar tangisan Angga yang akan membuatnya merasa menang.

"Aku mau Rinii.. bapak.. aku mau Rini... Bapak jangan marah sama Rini..." rengek Angga.

"Tidak sayang, Rini harus pergi, karena orang tuanya menunggu. Kamu mau minum susu?"

"Aku mau Rinii.."

"Tidak ada, Rini sudah pergi.."

Dan Rini memang sudah pergi, dengan senyum manis karena membawa beberapa lembar uang ratusan ribu yang diberikan Aryo. Ia bukan mencari penginapan tapi menumpang dirumah salah seorang kawannya. 

***

Tapi semalam Angga rewel, menanyakan Rini dan juga menanyakan ibunya. Aryo bisa menghadapi seorang anak, memberikan apa saja yang dia minta, tapi bukan dalam keadaan rewel. Kalau sudah rewel, Aryo selalu kebingungan menghiburnya.

"Angga, ayuk kita jalan-jalan saja, mencari ibu... mau?"

Mendengar kata-kata mencari ibu itu Angga terdiam dari tangisnya. Langsung dipegangnya tangan ayahnya dan ditariknya keluar rumah.

"Sebentar, bapak ambil kunci mobilnya dulu ya," kata Aryo sedikit lega. Lelah seharian bekerja dan pusing mencari isterinya, tak dirasakannya asalkan Angga jangan lagi menangis.

"Kita akan ketemu ibu?" tanya Angga ketika mobil sudah berada dijalanan, diantara lalu lalang lalu lintas yang masih tampak ramai karena hari belum terlalu malam.

"Iya, mudah-mudahan ketemu ya Ngga?"

Angga tertidur karena letih, lalu Aryo membawanya pulang. Lega bisa menidurkan Angga, sehingga rengekan tak lagi mengiris iris hatinya.

***

"Yo, Angga tampaknya ingin sekolah."kata bu Nastiti pada suatu hari.

"Iya benar, kalau melihat anak-anak sekolah selalu dia bilang ingin sekolah."

"Ada play group didekat rumah, biar ibu antar saja kesitu. Barangkali dengan banyak teman dia akan melupakan Rini dan tidak merengek-rengek terus untuk mencari ibunya."

"Ibu benar. Terserah ibu saja. Aryo tidak biasa mengasuh anak, agak bingung setiap kali dia rewel."

Angga yang kebetulan baru keluar dari dalam tampak gembira mendengar dia mau sekolah.

"Angga mau sekolah.. Angga mau sekolah."

Aryo merengkuhnya, menciumi kepalanya dengan gemas.

"Besok Angga sekolah bersama eyang. Ya?"

"Apa eyang juga mau sekolah?"

"Tidak sayang, itu sekolah untuk anak-anak kecil." jawab Aryo sambil tertawa.

Malam itu Angga terlelap dalam tidurnya. Mungkin dia bermimpi bersekolah, mempunyai teman banyak dan bermain dengan mereka sepuasnya.

Aryo masih duduk disofa sambil menyandarkan kepalanya. Hari-hari yang dilaluinya terasa amat menyiksa. Ia merindukan isterinya, ia ingin bersujud dihadapannya dan meminta ma'af.

"Arum, aku akan melakukan apa saja asalkan kamu mau kembali dan mema'afkan aku," bisiknya lirih dan pilu. Sebelah tangannya meraih bantal yang kemudian dirangkulnya erat, seakan bantal itu adalah isterinya.

"Ma'afkan aku, ma'afkan aku.. aku khilaf... ma'af Arum.." Lalu setetes air mata menitik.. lalu beribu rasa penuh sesal menyesak didadanya. 

"Malam itu benar-benar malam jahanam !! Aku gila.. aku gilaaa!!" Tak henti-henti Aryo memaki dirinya sendiri.

Tiba-tiba terdengar tangisan Angga. Aryo melompat kearah kamar anaknya. Dilihatnya Angga sudah duduk sambil menangis.

"Angga, sayang, ada apa?"

"Mana ibu... mana ibu... aku mau sekolah sama ibu.." tangisnya.

Aduhai, ini lagi. Aryo merengkuh anaknya dan menggendongnya sambil menepuk nepuk punggungnya.

"Ssh.. diam Angga, tidur dikamar bapak saja ya?"

Angga merintih pelan, barangkali dia bermimpi bersekolah diantar ibunya. Aryo menepuk nepuk punggungnya, dan berjalan kesana kemari sampai Angga tertidur kembali. 

Aryo membawa Angga kekamarnya, dan ditidurkannya disana. Aryo berbaring disisinya setelah menyelimutinya, lalu menepuk-nepuk pahanya sampai Angga terlelap kembali. Barangkali lebih baik Angga tidur bersamanya, sehingga kalau menangis sewaktu-waktu Aryo siap menidurkannya kembali.

"Aryo, biar Angga bersama ibu saja, agar kamu tidak repot merawatnya, sementara kamu kan lelah bekerja seharian," itu kata-kata ibunya pada suatu kali ketika dia menjemput Angga.

"Jangan bu, Aryo tidak bisa jauh dari Angga. Nggak apa-apa kalau lelah sedikit saja, asalkan ada Angga didekat Aryo." jawabnya ketika itu.

Bu Nastiti tak bisa apa-apa. Rasa prihatin seorang ibu, ketika menyaksikan rumah tangga anaknya berantakan, ditahannya. Untunglah Angga tidak begitu rewel asalkan tidak sedang teringat ibunya.

***

Malam itu disebuah kamar Rini sedang berbincang dengan Wuri, temannya ketika masih bersekolah perawat. Mereka berhasil lulus dan Wuri bekerja disebuah rumah sakit, tapi Rini merasa senang menjadi baby sitter. Dia sering mengatakan bahwa bekerja dirumah Aryo sangat menyenangkan.

"Tau nggak sih, yang namanya pak Aryo itu ganteng bangeeett... " katanya ketika itu.

"Kamu itu bilang menyukai pekerjaan kamu, karena ada bos ganteng, atau karena sayang anak?"

"Aku tuh sayang anaknya, tapi juga sayang bapaknya," katanya cengengesan.

"Gila !"

"Aduh, kamu bilang begitu karena belum pernah melihat yang namanya pak Aryo sih."

"Seperti apa sih ?"

"Besok aku fotoin dia ya, aku tunjukin nanti ke kamu, tapi awas ya, jangan sampai kamu jatuh cinta, dia itu milikku."

"Apa? Bukankah dia punya isteri?"

"Punya sih, cantik, sabar, hm.. terlalu sabar itu kurang menyenangkan. Siapa tau pak Aryo lebih suka gadis yang ganas seperti aku." lalu Rini terkekeh senang.

"Dasar wong eddan !" sungut Wuri. Sebenarnya mereka bersahabat, tapi Wuri kurang suka pada sifat Rini yang genit. Dan ketika Rini keluar dari pekerjaannya, Wuri menduga, pasti Rini telah melakukan kesalahan.

Malam itu sebelum tidur Wuri menanyakannya.

"Sebenarnya mengapa kamu keluar dari pekerjaan kamu. Katanya kamu suka bekerja disana."

"Iya, isterinya itu pencemburu. Ia cemburu sama aku, jadi aku diusirnya," bual Rini sambil matanya menerawang menataplangit-langit rumah.

"Kalau seorang isteri cemburu pada perempuan lain, pasti karena perempuan itu terlalu genit pada suaminya, atau justru menggoda suaminya," tuduh Wuri.

"Bukan Wuri, pak Aryo yang suka sama aku."

"Oh ya? Bagaimana mungkin seorang laki-laki beristeri cantik, suka sama perawat anaknya?"

"Kamu itu belum tau ya, bagaimana seorang laki-laki. Menurut aku, laki-laki itu seperti kucing."

"Maksudnya?"

"Kucing itu, sudah dikasih makanan enak, tapi melihat ikan asin juga dia masih rakur kok."

"Ikan asinnya kamu?"

Rini terbahak bahak.

"Rini, aku kasih tau ya, jangan suka mengganggu laki-laki yang sudah beristeri. Nggak bagus itu. Buktinya kamu kehilangan pekerjaan gara-gara kamu genit sama majikan."

"Aduh, aku sama dia itu saling mengganggu, tau!"

"Gimana sih saling mengganggu?"

"Dia suka nyuri-nyuri pandang gitu sama aku, dan aku juga tergoda oleh gantengnya, sorot matanya, kumisnya, eh.. kumisnya yang tipis itu sangat menambah manis wajahnya lho. Aduh, seandainya aku bisa menjadi isterinya.."

"Mimpi 'kali."

"Bagaimana kalau aku berhasil?"

"Mimpi !!"

"Taruhan?!"

"Paling menang aku. Mana mungkin kamu bisa merebut suami orang."

"Bagaimana kalau bisa?"

"Aku akan membenci kamu seumur hidup!" ancam Wuri.

"Yah, jangan gitu Wuri, masa sahabatnya punya cita-cita kok nggak didukung."

"Cita-cita edan, siapa yang mau mendukung?"

Rini kembali terbahak.

"Oh iya Wuri, kamu jadi nyariin aku pekerjaan kan?"

"Ada, merawat kakek-kakek tua, dan sakit-sakitan. Kalau mau aku kasih tau alamatnya."

"Apa? Merawat kakek-kakek tua, sakit-sakitan? Ogah !!"

"Pekerjaan yang lagi ditawarkan cuma itu. Kamu itu perawat pake milih-milih pekerjaan."

"Iya dong, masa mencari pekerjaan yang aku nggak suka menjalaninya. Coba carikan lagi dong Wuri. Merawat cowwok ganteng, yang manja, yang royal kasih uang.. dan.."

"Nggak ada."

"Kok gitu."

"Ya nggak ada, mana ada cowok ganteng butuh perawat. Memangnya nggak bisa merawat dirinya sendiri?"

Rini tertawa keras.

"Ya sudah Wuri, carikan, asal jangan merawat kakek-kakek. Bisa ketularan tua aku nanti."

"Ya sudah besok coba aku tanya ke teman-teman. Sekarang aku mau tidur, jangan berisik !"

"Aku juga mau tidur, semoga mimpi ketemu pak Aryo yang ganteng."

"Dibilang jangan berisik !!"

***

Pagi itu Aryo bangun pagi sekali. Dilihatnya Angga masih terlelap disampingnya.  Aryo ingin membangunkan tapi merasa sayang. Ia memilih keluar kamar dan membuatkan susu untuk Angga, diletakkan dimeja kamar, kemudian dia mengambil handuk lalu mandi.

Hari ini ibunya berjanji akan mengantarkan Angga ke sekolah, jadi harus berangkat pagi-pagi. 

Tapi ketika dikamar mandi itu didengarnya Angga menangis.

"Ibu... mau susu.." tangis Angga.

Aryo menyambar handuk dan membuka  kamar mandi.

Aryo berhenti menangis melihat ayahya mendekat. Tapi kemudian dia berteriak.

"Bapaaaak, malu... !!"

Aryo terkejut, ia baru sadar lilitan handuknya terlalu tinggi. Ia membenarkannya, lalu menyambar piyama yang sudah disiapkannya diatas kasur.

"Ma'af ya.. Angga mau susu? Tuh sudah bapak siapkan. Diminum ya."

"Mana ibu.."

"Angga mau sekolah kan hari ini?"

"Sekolah sama ibu ?" tanya Angga sambil turun dari tempat tidur.

"Susunya diminum dulu ya, terus mandi sama bapak, terus kerumah eyang, lalu sekolah bersama eyang." kata Aryo sambil mengulurkan gelas berisi susu.

Angga menerimanya, lalu meneguknya habis. Aryo tersenyum.

"Angga mau pipis," 

"Baiklah, ayo bapak antar kekamar mandi, sekalian mandi ya?"

Aryo meladeni semua keinginan Angga dengan bersemangat. Ia berharap kerewelan Angga akan berkurang dengan adanya teman-teman bermain disekolah nanti.

"Aku mau makan sama telur ceplok bapak." kata Angga setelah berpakaian rapi dan memakai sepatu.

 "Aduh mau makan ya?"

Aryo kebingungan, telur ada didalam kulkas, tapi nasi? Semalam dia lupa menanak nasi, karena mereka sudah makan dirumah ibunya.

"Angga, bagaimana kalau makannya dirumah eyang saja?"

"Tapi Angga mau sekarang."

"Mm.. Angga, dengar, kalau Angga tidak segera berangkat, nanti ketinggalan sekolah. Jadi sebaiknya kita berangkat dulu, lalu makan dirumah eyang, dan Angga siap kesekolah. Bagaimana?"

Karena iming-iming sekolah itulah Angga mengangguk.

Aryo menelpone ibunya.

"Ibu, Angga minta sarapan pakai telur ceplok, Aryo lupa menanak nasi."

"Walaah.. iya , ibu bikinin sekarang." kata bu Nastiti dari seberang.

Aryo tersenyum. 

"Ibu pasti maklum lah kalau aku sampai lupa menanak nasi, aku kan duda.. eh jangan.. aku kan lagi sendirian," gumamnya sambil memakai sepatunya.

***

Begitu sampai dirumah ibunya, dilihatnya dimeja sudah siap nasi dan telur ceplok pesanan Angga.

"Nah, ini sarapan buat Angga," kata bu Nastiti.

"Angga mau disuapin bapak?"

"Angga mau makan sendiri," kata Angga sambil duduk dikursi makan.

"Untuk kamu Aryo, nasi goreng."

"Terimakasih bu, Aryo selalu menyusahkan ibu."

"Tidak Yo, yang membuat ibu susah adalah rumah tangga kamu itu," kata bu Nastiti sedih.

"Ma'af bu, Aryo akan selalu berusaha mencari Arum."

"Benar Yo, bina kembali rumah tangga kamu kalau ketemu nanti. Ibu selalu berharap kalian bisa selalu bersama sampai kakek nenek. Sampai maut memisahkan. Seperti ibu ini. Setia bersama bapakmu sampai bapakmu meninggalkan ibu."

"Mohon do'anya ya bu."

"Pastilah, seorang ibu akan selalu berdo'a demi kebahagiaan anak cucunya."

"Terimakasih bu."

"Ya sudah makanlah dulu sarapannya sebelum berangkat bekerja."

Aryo melirik Angga yang dengan lahap makan dengan telur ceplok pesanannya. Aryo tersenyum lalu menyendokkan nasi goreng ke piringnya.

"Apakah itu pedas?" tanya Angga.

"Sangat pedas. Angga mau mencoba?"

Angga menggeleng. Ia tampak agak susah memotong telur ceploknya. Bu Nastiti menghampiri, lalu membantu memotong motongnya agar Angga bisa langsung menyendoknya.

***

Bu Nastiti menggandeng cucunya masuk kehalaman sekolah itu. Banyak anak-anak kecil berlarian, dan Angga melihatnya tanpa berkedip.

"Angga mau bermain disana," kata Angga.

"Sebentar, kita bilang dulu sama ibu guru, ya?"

Bu Nastiti menggandeng Angga masuk kesebuah ruangan dengan tulisan Ruang Guru.

"Selamat pagi," bu Nastiti mengucapkan salam.

"Selamat pagi ibu," seorang guru berdiri dan menyambut bu Nastiti.

Tiba-tiba Angga berteriak. 

"Itu ibuuuu."

***

besok lagi ya


Monday, March 2, 2020

SETANGKAI MAWAR UNTUK IBU 01

SETANGKAI MAWAR UNTUK IBU  01

(Tien Kumalssari)


Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-gesa. Bayangan perempuan yang tadi dilihatnya harus terkejar olehnya. Sudah lama dia menunggu untuk bertemu. 

"Arum... Arum... tunggu Arum.." pangggilnya berkali-kali.

Perempuan tinggi semampai berbaju biru kembang-kembang itu hampir terkejar olehnya.

"Arum...!!"

Perempuan itu menoleh. Aryo melompat kedepannya dan menghentkan langkahnya.

Perempuan itu terbelalak, marah.

"Arum, jangan pergi, sudah lama aku menunggu bisa bertemu denganmu, Aku minta ma'af Arum, aku khilaf. Jangan pergi."

"Anda salah orang," jawabnya dengan pandangan kesal.

"Jangan begitu Arum, aku tau itu kamu."

"Saya bukan Arum," katanya sambil menghindar. 

"Arum, tunggu Arum, kamu tidak kangen sama anakmu? Angga sudah mau masuk sekolah sekarang, ia kangen sama ibunya," kata Aryo sambil memegangi tangannya.

Perempuan itu cantik, kulitnya putih bersih, pandangan matanya tajam, mulutnya yang tipis pasti akan bertambah manis kalau tersenyum, tapi senyum itu tak ada disana. Ia mengibaskan tangannya dan berjalan cepat meninggalkan Aryo kebingungan. Sebuah taksi lewat, si cantik melambaikan tangannya. Lalu masuk kedalamnya dan berlalu. 

Aryo termenung ditepi jalan. Ada sebuah bangku yang mungkin milik pedagang apalah, yang teronggok disana, lalu Aryo duduk sambil memandangi lalu lintas yang hiruk pikuk karena sa'atnya orang pergi bekerja.

"Mengapa dia pergi ? Aku yakin dia Arum. Mengapa tak mengakuinya? Begitu bencikah dia padaku sehingga tidak mau mengakui bahwa dirinya adalah  Arum?"

Aryo memegangi kepalanya yang terasa pusing.

Terbayang kejadian setahun lalu, ketika sang isteri sedang pamit untuk mengunjungi temannya yang sedang sakit. Ia dirumah hanya bersama Angga dan Rini perawatnya. Sebenarnya Arum tidak suka pada Rini. Gadis itu terlalu pesolek dan sedikit genit. Namun dia pintar merawat anak keil, dan rajin, sehingga Arum terpaksa menerimanya.

Malam itu hujan sangat deras.  Memang baru pukul delapan ketika itu, namun tiba-tiba lampu padam. Aryo mencari korek api dan menyalakan lilin. Ia pergi kekamar Angga, dengan membawa lilin yang masih menyala. Tak terdengar suara karena Rini tadi sudah mengatakan bahwa Angga sudah tidur. Ia meletakkan lilin diatas meja, agar kalau terbangun nanti Anga tidak menjerit jerit ketakutan seperti biasa kalau tiba-tiba kamarnya gelap.

Remang didalam kamar itu, sepertinya Angga harus menyalakan satu buah lilin lagi. Tiba-tiba tertangkap olehnya pemandangan yang membuatnya terpana. Rini tergolek diranjang, disebelah Angga tertidur. Walau udara dingin, tapi Rini tidur tanpa selimut, dengan pakaian yang tak pantas dilihat mata, apalagi mata lelaki seperti dirinya.

Aryo melangkah keluar dengan debar yang tak diketahui apa penyebabnya. Ia meraba -raba keatas meja dan mengambil lagi sebuah lilin.

Ketika ia memasukkan lagi lilin kedalam kamar, dilihatnya Rini menggeliat, lalu turun dari atas ranjang. 

"Pak Aryo, kepala saya tiba-tiba pusing," kata Rini.

"Ambil saja obat di almari, kamu kan tau tempatnya, kata Aryo sambil berjalan kearah ruang tengah. Hanya satu buah lilin menyala disana. Aryo ingin menelpon isterinya karena tak kunjung pulang ketika tiba-tiba Rini mendekat lalu duduk disebelahnya. Masih dengan pakaian minim yang sesungguhnya tidak pantas dilakukannya, apalagi ketika sedang mendekati seorang laki-laki yang bukan apa-apanya.

"Ada aoa?"

"Pak, tolonglah, saya harus menggosokkan minyak gosok ini ke leher saya. Tolong pak, pusing sekali rasanya," kata Rini sambil mengulurkan sebotol minyak gosok.

Aryo bingung. Mau dilakukan, rasanya kok tidak pantas, tapi kalau tidak dilakukan, masa sih, ada orang kesakitan minta tolong tidak mau menolongnya? 

Aryo menerima botol itu, membukanya dan menggosokkannya di leher Rini.

Rini membungkukan badannya, dan aroma parfum kemudian berbaur dengan aroma minyak gosok yang dibalurkan ketubuh Rini.. 

Setan sibuk mengipasi hati manusia, dan mengatakan bahwa dosa itu nikmat. tergodalah iman iman yang lemah, dan dengan nyaman menjilat maksiat.

Tak terasa oleh mereka hujan telah berhenti, dan tiba-tiba seseorang muncul disana. Arum.

Terbelalak matanya melihat pemandangan tak pantas diatas sofa.

Menggelegak darah  disekujur tubuhnya, dan menyalalah api sampai keujung kepalanya.

Rini berlari kebelakang, Aryo terpaku diatas sofa.

Arum tak mengucapkan kata sepatahpun. Apa yang dilihatnya cukup mengatakan apa yang terjadi, dan itu tidak terma'afkan. Ucapan tak akan merubah segalanya, dan apa yang terjadi tak bisa diputar ulangnya kembali. Arum membalikkan tubuhnya dan langsung keluar dari rumah. Hujan telah berhenti, tapi gerimis masih rajin meneteskan air. 

"Arum tunggu Arum, ma'afkan aku Arum.. aku khilaf.. Arum  !!" teriak Aryo sambil mengejar keluar.

Tapi Arum terus saja melangkah, menembus dinginnya alam dan gelapnya malam, entah kemana.

"Aruuum, tunggu Arum !!"

Aryo berlari keluar, mengejar sampai kejalan, tapi bayangan isterinya tak tampak lagi. Hilang ditelan kegelapan.

Aryo melangkah kerumah dengan lunglai. Inilah nikmat sesa'at yang akan menjadi petaka. Ia sudah mencoba menelpon tapi tidak diangkat, mencari kerumah orang tuanya tjuga tidak ada. 

Aryo memasuki kamar anaknya, bocah mungil itu masih terlelap. Didengarnya isak tertahan dikamar itu, tapi Aryo tak perduli.

Ketika setan bersorak penuh kemenangan, maka amarah dan penyesalanlah  yang menyelimuti hati  dan jiwanya.

Malam itu juga Aryo mengusir Rini.

Rini menangis terisak sambil memegangi kakinya.

"Jangan mencoba merayu aku lagi," hardik Aryo. 

"Bukankah bapak juga mengingininya?" sanggahnya tanpa malu-malu.

"Pokoknya lebih baik kamu pergi dan jangan pernah menampakkan wajahmu didepanku lagi," kata Aryo sambil memalingkan muka, tak ingin melihat wajah memelas yang diperlihatkan Rini.

***

Tapi celakanya Angga rewel pada keesokan harinya, karena tak melihat Rini didekatnya. Tertarih berjalan keluar, dan menemui ayahnya yang sedang termenung didepan kamar.

"Bapak..." panggil Angga sambil menangis.

Aryo terkejut dan menoleh. Karena hatinya kacau ia sampai tak melihat ketika Angga menangis didalam kamarnya.

"Oh, kamu sudah bangun ?" katanya sambil menggendong Angga dan diajaknya kedepan.

"Mana Rini..."

  "Rini pergi nak, jangan menangis ya.."

"Mana Rini... ?"

"Rini sudah pergi, ayo mencari ibu saja ya?"

"Mana ibu..." Anga masih menangis. 

"Tungu, mandi dulu minum susu lalu mencari ibu ya.."

Aryo membawa Angga ke kamar mandi, dan memandikannya dengan air hangat. Agak kikuk karena tak biasa melakukannya. Ia mengambilkan baju sekenanya yang diprotes Angga.

"Bukan ini celananya.." katanya sambil melemparkan celana yang akan dipakaikannya. Aeyo bingung, kaos merah dengan gambar pesepak bola kesayangannya itu memang harus dipadu dengan celama merah. Ia mengaduk aduk semua pakaian Angga.

"Ituuu.. bapaak." teriak Angga ketika melihat celana yang dimaksud."

"Oh, iya, ma'af bapak lupa."

"Belum pakai bedak dan minyak !" Angga berteriak lagi.

Adduh... rupanya tidak gampang merawat anak. Aryo mengambil bedak, membedaki tubuh Arya dan menggosokkan minyak telon ketubuhnya. Aroma sedap menebar kedalam ruangan itu.  

"Kemana ibumu pergi?" bissik Aryo sedih.

"Kemana ibu pergi?" Kata Angga menirukan kata-kata ayahnya.

Arya menggendong anaknya dan mendudukkannya dikursi. Ia bersiap membuat susu untuk Angga. Aduh.. berapa ukurannya. Aryo sibuk membaca aturan minum pada kaleng itu, baru bisa membuatnya lalu menyerahkannya pada Angga.

"Mana Rini?" astaga.. Angga bertanya lagi. Aryo tak menjawab. Rasa sesal memenuhi dadanya. Ini bukan sepenuhnya kesalahan Rini. Kalau Rini menggoda, apa salahnya kalau dia menghindar? Atau mengusirnya pergi menjauh. Tapi setan berkata bahwa dosa itu nikmat, dan Aryo menjilat dosa itu. Sesal kemudiann tak ada gunanya. Itu benar bukan?

Sekarang dia merasakan betapa susah nya hidup merawat anak tanpa perempuan.

 Berhari-hari lamanya sampai melupakan pekerjaannya, Aryo mencari Arum, tapi isterinya benar-benar  menjauh darinya. Ia tak pulang kerumah orang tua, tak menumpang dirumah saudara atau teman.

"Kemana dia?" Aryo masih termenung diatas bangku dipinggir jalan raya itu. Angga dititipkan dirumah orang tuanya, dan dijemput ketika sore hari ketika dia pulang bekerja,

Mendung tampak menggantung, pertanda sebentar lagi hujan akan turun. Aryo berdiri, lalu menyeberang jalan untuk mengambil mobilnya. Ia baru saja naik keatas mobil dan belum sempat menutup pintunya ketika tiba-tiba seseorang menghampiri.

"Pak Aryo.."

Aryo menoleh, dan kemarahannya memuncak. Rini berdiri dan memegangi pintu mobil erat-erat, takut Aryo memaksa menutupnya.

"Apa maksudmu? Lepaskan tangan itu," hardik Aryo.

"Jangan begitu pak, ijinkan saya menumpang sampai ke terminal, saya mau pulang kerumah orang tua saya."

Aryo ingin mendorong Rini supaya menjauh, ketika gelegar guntur terdengar memekakkan telinga. Lalu hujanpun tiba-tiba turun bagai tercurah dari langit.

"Tolong pak," rengek Rini sambil berlinang air mata.

Aryo menyerah, hujan yang turun sudah membasahkan baju Rini. Keterlaluan kalau dia tak mau menolongnya. Ia membukakan pintu samping dari belakang kemudi, lalu Rini berlari lalu naik keatas.

Aryo menjalankan mobilnya, tanpa menoleh kesamping. Ia tak perduli Rini basah kuyup dan seperti menggigil disampingnya.

Suasana hujan mengingatkannya kembali kepada malam kelam yang membuatnya terjerumus kedalam kubangan dosa. Wajahnya muram.

"Dingin sekali pak," kata Rini sambil menggigil.

Aryo tak bergeming. Ia terus menjalankan mobilnya kearah terminal seperti tadi dikatakan Rini.

"Rasanya badan saya panas," bisiknya lagi.

Tak sepatah katapun Aryo menjawabnya. Sebentar lagi akan sampai di terminal.

"Saya butuh obat pak, bapak punya?"

"Tidak." jawab Aryo singkat.

  Terdengar suara lemah, menggigil kedinginan. Aryo masih tak perduli. Mobil itu sudah sampai di terminal. Aryo meminggirkannya, ketempat yang dekat dengan emperan sebuah toko.

"Sudah sampai terminal, sekarang turunlah," perintahnya tanpa menoleh.

"Bapak tega..." bisik Rini menggigil, lalu membuka pintu mobil dan turun. 

Aryo meraih pintu sebelah kiri dengan tangannya dan menutupkannya karena Rini membiarkannya terbuka dan tas yang tadi dibawanya tertinggal di jok yang tadi didudukinya.

Ketika mobil akan dijalankan, tiba-tiba terdengar teriakan orang.

"Mas !! Mas..! mBaknya terjatuh !!"

Aryo terkejut, urung menjalankan mobilnya. Ia menggeser duduknya kesamping dan melongok keluar. Dilihatnya Rini tergolek disana.

"Ya Tuhan, apa lagi ini," keluh Aryo yang segera turun.

Mana mungkin membiarkan seseorang terbaring tanpa daya ditengah hujan seperti ini? Semarah apapun hati Aryo, tetap tak tega membarkannya. Ia turun dan mengangkat tubuh Rini, lalu dibawanya masuk kembali kemobilnya.

Satu-satunya jalan adalah membawanya kerumah sakit.

Disepanjang jalan itu Rini terkulai lemah, matanya terpejam. Aryo memegang keningnya, terasa panas. 

"Rini.." panggil Aryo.

Tapi Rini tak menjawab sepatah katapun.

Aryo memacu mobilnya terus kerumah sakit, dan menurunkannya disana. Seorang petugas membawanya dengan brankar, keruang IGD. Aryo pergi ketempat pendaftaran, meninggalkan sejumlah uang.

Ia beranya kepada dokter yang merawatnya, tentang seberat apa penyakitnya. Dokter mengatakan bahwa Rini kena radang karena penyakit flu yang dideritanya.

"Biarkan dia beristirahat selama satu dua hari, kemungkinan dia sudah baik."kata dokter.

"Saya menemukan dia dijalan, tapi saya sudah meninggalkan sejumlah uang untuk perawatannya. Kalau uang itu sisa, berikan saja padanya. Kalau kurang ini ada nomor tilpun saya," kata Aryo kepada perawat.

Tak ada yang perlu dikhawatirkannya. Setelah menitipkan tas Rini yang tadi dibawanya keperawat, Aryo pergi meninggalkannya.

  ***

Ketika sampai dirumah orang tuanya, dilihatnya Angga dan neneknya sudah menunggu di teras. Hujan mulai reda. Angga berlari menyambut ayahnya.

"Bapak, sudah ketemu ibu?" itu pertanyaan yang selalu dilontarkannya setiapa kali Aryo menjemputnya.

"Belum nak," kata Aryo sambil mengangkat tubuh Angga, lalu direngkuhnya erat kedadanya.

Trenyuh hatinya menyaksikan sikap Angga yang tampak sangat rindu pada ibunya.

"Bapak ketemu Rini?"

"Tidak nak, Rini tidak akan kembali, sudah kedesa bersama orang tuanya" jawab Aryo sambil membawanya masuk.

"Hujan sangat deras tadi," ujar bu Nastiti  ibunya Arya.

"Iya bu, Angga tidak hujan-hujanan kan?"

"Enggak bapak, Angga tidak nakal kok, ya kan eyang?"

"Betul, Angga anak baik dan pintar," kata bu Nastiti.

" Ayo kita pulang.."

"Tidak makan saja dulu Aryo, Angga tadi juga sudah makan kok."

"Iya bu, sebenarnya Aryo juga lapar."

"Kalau begitu ayo makan dulu, sudah ibu tata dimeja. Angga mau makan lagi?"

"Nggak, Angga mau minum susu saja."

"Baiklah, sementara bapak makan, eyang buatkan susu dulu buat Angga."

Bu Nastiti masuk kedalam. Sedih sebenarnya memikirkan keadaan rumah tangga anaknya seperti itu. Aryo sudah mengatakan semuanya, dan mengakui kekhilafannya. 

"Semoga Arum segera bisa ditemukan," gumamnya sambil mengaduk susu dalam gelas."

***

Setiaphari sepulang dari kantor Aryo selalu berputar putar mengelilingi setiap sudut kota, barangkali bisa melihat Arum. Ia lebih mengawasi jalan dimana dia pernah melihat wanita cantik yang menurutnya Arum, tapi tidak mau mengakuinya. Tapi tak pernah lagi dia bertemu si cantik itu. 

Sore hari ketika membawa pulang Angga, selalu dengan perasaan yang mengiris dadanya. Lebih-lebih kalau Angga bertanya :" Sudah ketemu ibu?" 

Aduhai, kemana perginya Arum? Apakah kata ma'af tetap tak bisa meluluhkan hatinya? Aryo tau, dosanya terlalu besar. Mungkin tak terma'afkan, tapi tak adakah rasa rindu kepada anak semata wayangnya?

Sore itu Aryo menggendong Angga turun dari mobil karena dia tertidur, ketika sudah sampai dirumah. Tiba-tiba diteras rumah dilihatnya seorang wanita, duduk membelakangi halaman, sambil menyandarkan tubuhnya kesandaran kursi yang didudukinya.

Aryo hampir bersorak karena mengira dia Arum. Ia melangkah cepat dan menaki teras dengan wajah berseri. Ia akan meletakkan tubuh Angga kepangkuannya agar tersentuh hatinya bertemu anaknya. Tapi sebelum itu dilakukannya, Angga terbangun. Aryo menuding kearah wanita yang sepertinya tertidur itu, sambil tangannya diletakkan dibibir, sebagai isyarat agar Angga tak berisik. Aryo hampir meletakkan Angga ke pangkuannya ketika tiba-tiba Angga berteriak.

"Rini !!"

***

besok lagi ya













M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...