KEMBANG CANTIKKU
35
(Tien Kumalasari)
“Uugh… apa-apaan ini?” Sartono bangkit sambil
memegangi keningnya yang benjol.
“Ibu, ada apa ?”
“Laki-laki brengsek ini telah mendorong ibu kamu
sampai terjatuh, bahkan sampai dua kali,” kata Wahyudi dengan sikap bersiap
kalau-kalau Sartono membalasnya.
“Ibuuu … ibu tidak apa-apa?” kata Murti dan Murni yang
kemudian bersamaan merangkul ibunya, diajaknya masuk ke dalam.
“Tidak Nduk, tidak apa-apa, kepalaku hanya terantuk
kursi itu.”
“Kamu berani menentang aku?” hardik Sartono sambil
berkali-kali mengelus keningnya. Ia sedikit limbung karena pukulan di tengkukknya lumayan keras.
“Mengapa tidak berani? Kamu seorang laki-laki, tanpa tahu malu telah menyakiti seorang wanita, apalagi wanita yang sudah setengah tua?”
“Dia menghina aku, meremehkan aku.”
“Barangkali memang kelakuan kamu yang remeh.”
“Awas kamu ya,” ancamnya.
“Awas apa? Selesaikan saja sekarang urusannya. Kamu
tidak terima? Kamu memilih aku melaporkan kamu ke polisi karena telah
menganiaya wanita tua?” Wahyudi balas mengancamnya.
“Tidak usah bilang, laporkan saja langsung,” sambung Nano
yang juga geram melihat kelakuannya.
“Kamu telah merusak semuanya. Merusak hubunganku
dengan Murni.”
“Siapa merusak? Aku tidak melakukan apa-apa. Kamu
sendiri yang merusaknya dengan kelakuan kamu yang kasar. Aku tidak tahu,
bagaimana seseorang yang menginginkan seorang gadis tapi melakukan hal yang
tidak terpuji kepada orang tuanya.”
“Aku tidak punya hubungan apa-apa sama dia,” kata
Murni yang kemudian keluar dengan marah.”
“Murni, maafkan aku, tadi aku terlalu emosi dan kesal
karena ibu kamu_”
“Tidak ada maaf untuk kamu. Aku tidak sudi berkawan
sama kamu, apalagi menjalin hubungan lebih daripada berkawan. Jangan
sekali-sekali menginjakkan kaki kamu di rumah ini lagi, pergi !” kata Murni tandas.
“Aku minta maaf. Sungguh aku tadi sebenarnya tidak
ingin mendorongnya, aku tidak sengaja. Sungguh.”
“Lebih baik kamu pulang. Pemilik rumah sudah mengusir
kamu,” kata Nano sambil memberi jalan keluar untuk Sartono.
“Atau masih tidak terima karena aku telah memukul
kamu?” kata Wahyudi.
Sartono mendelik. Sesungguhnya dia memang sombong,
tapi penakut. Menghadapi seorang Wahyudi saja belum tentu dia menang, apalagi
ada Nano calon suami Murti.
“Awas kamu!” katanya sambil melangkah turun dari
teras.
“Awas apa? Apa kamu akan mencari teman untuk melawan
aku?” hardik Wahyudi.
Sartono tak menjawab, ia melangkah lebih cepat menuju
mobilnya yang diparkir dihalaman. Semula ia ingin memamerkan mobil itu kepada
ibunya Murni, agar diperkenankan membawa anaknya setelah mengetahui bahwa dia
punya mobil bagus. Tapi ternyata iming-iming itu tidak menarik bagi bu
Lasminah.
“Dia itu banyak teman, bagaimana kalau dia mengeroyok
kalian?” kata Murni khawatir.
Tapi Nano lebih menghawatirkan keselamatan keluarga bu
Lasminah setelah mereka pulang nanti.
“Aku akan melaporkan kejadian ini ke kelurahan lebih
dulu. Paling tidak ada petugas keamanan di mana aku akan meminta tolong agar
menjaga rumah ini. Soal melapor ke polisi, nanti kalau dia melakukan hal yang
mengganggu, pihak kelurahan yang akan mengurusnya.”
“Benar, lebih-lebih dia juga mengancam tadi.”
“Bagaimana keadaan ibu?” tanya Nano.
“Ibu tidak apa-apa, ada sedikit benjol di kepalanya,
tapi katanya tidak begitu sakit,” kata Murni.
“Benarkah?”
“Ibu tidak apa-apa Nak, jangan khawatir. Tadi ibu
sudah membuatkan minum untuk kalian, minumlah.”
“Baiklah Bu. Murti, kalau ada apa-apa kabari aku.
Sekarang aku mau pamit dulu. Mau mampir ke kelurahan dulu,” kata Nano.
***
Urusan yang sesungguhnya sepele itu memang membuat
Wahyudi dan Nano khawatir. Tapi mereka sudah menyerahkan semuanya ke kelurahan
setempat. Paling tidak keselamatan keluarga Lasminah akan terjaga. Keduanya
segera langsung pulang karena hari mulai malam. Nano juga merasa tidak enak
karena membawa mobil pak Kartiko.
Sesampai di rumah, Nano dan Wahyudi meminta maaf atas
keterlambatan kepulangan mereka, karena ada sedikit masalah.
“Tidak apa-apa. Toh mobil itu juga tidak dipergunakan
karena kamu libur, jadi jangan dipikirkan. Ceritakan saja bagaimana pembicaraan
kamu dengan calon mertua kamu itu No,” kata pak Kartiko.
“Saya sudah mengatakan bahwa bulan depan akan melamar
bersama keluarga saya, dan secepatnya kami akan menikah.”
“Syukurlah No, aku senang mendengarnya,” kata pak
Kartiko.
“Kalau nanti istrinya mau, ajak dia tinggal di sini
saja, supaya kamu tidak capek kalau harus bolak balik pulang kerumah,” sambung bu
Kartiko.
“Setelah Nano, nanti Wahyudi. Kapan kira-kira Wahyudi
menikah?” kata pak Kartiko lagi.
“Baru mendekati seorang gadis Pak,” jawab Nano.
Wahyudi hanya tersenyum.
“Mohon doanya ya Pak.”
“Tentu, aku doakan kalian bisa mendapatkan istri yang
cantik. Bukan hanya cantik wajahnya, tapi juga hatinya.”
“Terima kasih, Bapak.
Wahyudi hanya sebentar singgah di rumah pak Kartiko,
ia harus segera pulang.
***
Begitu datang, Wahyudi langsung pergi ke rumah Wuri. Ia baru ingat kalau berjanji akan mengantarkan Wuri sore tadi. Tapi dia tidak menemukan Wuri di rumah. Hanya ada ibunya yang sedang sibuk menata barang dagangan.
"Bu, mana Wuri?"
"Ya ampun nak, kaget ibu."
"Maaf, saya dari depan langsung masuk. Saya memanggil-manggil Wuri kok tidak ada jawaban.
“Iya Nak, Wuri sedang keluar.”
“Saya sudah berjanji mau mengantarnya tadi.”
“Perginya diantar nak Budiono,” terang bu Mantri
sambil mengantarkan Wahyudi duduk di ruang tengah.
“Oh, sudah dengan mas Budiono? Syukurlah kalau begitu.”
“Tadi menunggu nak Wahyudi, tapi tiba-tiba nak Budiono
datang.”
“Iya Bu, saya sebenarnya janji mau mengantarkan, tapi
karena masih ada urusan, jadi tidak bisa pulang lebih sore.”
“Tidak apa-apa Nak, Wuri itu kan selalu merepotkan Nak
Wahyudi.”
“Kalau saya sedang tidak ada pekerjaan ya bukan
masalah itu Bu, kami kan sudah seperti saudara.”
“Iya sih Nak, tapi kalau Wuri terlalu tergantung nak
Wahyudi ya ibu marahin dia. Kan Nak Wahyudi juga punya pekerjaan.”
“Nanti kalau Wuri sudah ikut suaminya kan tidak lagi
bergantung sama saya Bu. Tapi saya senang, Wuri mendapatkan suami yang baik.”
“Sebenarnya ibu juga agak ragu-ragu Nak, kan nak Budi
itu anak orang kaya, sedangkan Wuri itu hanya anak pedagang nasi. Tapi melihat
kesungguhan nak Budi, ibu jadi yakin, kalau nak Budi akan bisa membahagiakan
Wuri, tanpa mengingat Wuri itu anak siapa.”
“Mas Budi orangnya sangat baik. Dia juga sangat
mencintai Wuri. Saya ikut bahagia Bu.”
“Harapan orang tua itu kan sama Nak, seperti klise
kedengarannya, yang penting anaknya hidup bahagia. Tapi itu kan kenyataan sih
Nak, bukan sekedar klise.”
“Benar Bu, saya sangat percaya itu.”
“Tapi Nak Wahyudi juga harus segera memikirkan diri
sendiri, segeralah menikah. Ibu juga akan sangat bahagia kalau Nak Yudi juga
segera bisa menemukan wanita yang bisa mendampingi selamanya.”
“Doakan saya ya Bu.”
“Tentu Nak, Ibu pasti akan selalu mendoakan, karena nak
Wahyudi ini kan juga sudah seperti anak Ibu sendiri.”
“Terima kasih banyak ya Bu. Saya terharu menerima
segala kebaikan Ibu. Saya kan sudah tidak punya siapa-siapa, jadi kalau ada
yang menganggap saya sebagai anak, saya sangat terharu dan tentu saja bahagia.”
“Nak Yudi orang baik, siapapun menyukai nak Yudi, dan pasti
senang memiliki anak seperti nak Yudi.”
“Ibu bisa saja. Ya sudah Bu, kalau begitu saya pamit
dulu, seharian saya tidak pulang.”
“Tidak makan dulu Nak, ibu sudah mencicil masakan
untuk dijual besok pagi.”
“Tidak usah Bu, terima kasih. Tadi sudah makan bersama
teman.”
“Oh, ya sudah. Istirahatlah Nak. Pasti capek seharian bepergian.”
***
Sejak ke rumah Murni bersama Nano, setiap Minggu
Wahyudi pergi sendiri menemui gadis yang menarik hatinya itu. Kedatangannya
yang penuh santun itu sangat menarik hati bu Lasminah yang sangat menjaga kedua
anak gadisnya. Sebagai seorang janda dengan dua anak gadis, dia tak keberatan
dibilang kolot. Ia tidak pernah mengijinkan anaknya pergi malam hari, ia selalu
menjaga dengan siapa anak-anaknya bergaul. Itu sebabnya ia sangat marah ketika
Sartono datang dan mencela cara dia menjaga anaknya. Sartono tidak tahu, bahkan
Nano yang sudah hampir menjadi menantunya saja sangat jarang mengajak anaknya
pergi. Mereka pergi berdua hanya kalau ada kepentingan saja. Misalnya,
berbelanja untuk persiapan pernikahan mereka nanti, atau memang ibunya yang
memintanya untuk suatu keperluan.
Demikian juga Wahyudi. Ia hanya menemui Murni di
rumahnya, berbincang dengan ibunya dan hanya duduk bercanda atau makan bersama
seperti sebuah keluarga.
Murni yang tadinya merasa bahwa Wahyudi terlalu tua
untuknya, kemudian ia seperti menemukan seorang ayah, yang sangat menjaganya.
“Apakah setelah lulus, kamu mau meneruskan
kuliah?” tanya Wahyudi pada suatu hari.
“Tidak, kuliah itu kan mahal, ibuku hanya hidup dari
uang pensiun almarhum ayahku, mana bisa menyekolahkan aku.”
Tiba-tiba Wahyudi teringat Retno. Saat itu orang
tuanya juga tak mampu menyekolahkannya, tapi Wahyudi dengan segala kesungguhan
membantunya agar Retno bisa melanjutkan kuliah. Bahkan sampai selesai. Namun
apa daya, nasib menentukan lain. Sebelum memetik buah yang ditanamnya, orang
lain telah memetiknya dengan paksa, demi orang tua Retno yang sangat
menginginkan hartanya. Wahyudi akhirnya menyerah pada nasib. Duka derita yang
dialaminya, sempat membuatnya limbung, melangkah tak tentu arah. Segenap mimpi,
segenap harap, tak sempat membuatnya mengukir dan memahat sebuah rumah tangga
penuh bahagia. Tapi Wahyudi kemudian merasa bersyukur, akhirnya Retno menemukan
kebahagiaan di samping suami yang semula tak diharapkannya.
“Apakah kamu mau, aku membantu membiayai kuliah kamu?”
“Apa? Membiayai sekolah aku? Mana mungkin ibuku
mengijinkan. Kecuali itu aku juga tak mau.”
“Mengapa?”
“Ibuku sangat tinggi hati. Dalam artian bahwa ibuku
tak pernah mau merepotkan orang lain.”
“Tapi aku tidak repot tuh.”
“Tidak, apapun alasannya, jawabnya adalah tidak. Aku ingin bekerja setelah lulus. Supaya aku
bisa meringankan beban ibuku, bukan malah memberatkannya.”
Wahyudi mengangguk kagum. Murni yang tampak
kekanak-kanakan, ternyata bisa berpikiran sangat bijak. Dengan alasan yang
sederhana, dia memilih tidak menyusahkan orang lain, seperti keinginan ibunya.
Wahyudi tersenyum senang.
“Tidak ingin segera menikah saja, menyusul kakak kamu?”
pancing Wahyudi, yang membuat Murni tertawa. Wahyudi berdebar. Gadis sederhana
yang manis ini, baik sedang tersenyum, sedang marah ataupun tertawa, tetap saja
kelihatan menarik.
“Apa pertanyaanku lucu?”
“Tidak, bukan lucu.”
“Mengapa kamu tertawa?”
“Apa mas Wahyudi mau melamar aku?” tanya Murni terus terang. Pertanyaan itu membuat Wahyudi tertegun. Gadis ini kalau bicara selalu ceplas ceplos, tanpa sungkan, bahkan tanpa takut ditertawakan.
“Aku ingin, tapi bukankah aku terlalu tua untuk kamu?”
“Mm … kasih tahu nggak ya … “
Wahyudi sangat gemas. Ia sudah mengira, Murni pasti
akan mengatakan ‘iya, kamu kan sudah tua’. Tapi jawabannya berbeda.
“Aku memang perjaka tua. Tidak laku-laku. Apa aku terlalu
jelek ya? Biasanya gadis-gadis kan suka yang wajahnya ganteng, gagah, menawan …
“
“Masa sih?”
“Kamu kan gadis, benar tidak apa yang aku bilang tadi?”
“Iya sih.”
“Ya sudah, aku menyerah dong.”
“Memangnya mas Wahyudi mau sama aku?”
Lagi-lagi Murni berkata begitu lugas dan lugu. Karena
itu lebih baik Wahyudi berterus terang. Perkara nanti dia ditolak gara-gara dirinya
perjaka tua, itu adalah nasib.
“Kalau iya, bagaimana?”
“Ibuku pasti melarang.”
Wahyudi surut dalam pengharapan. Wajahnya muram
tiba-tiba.
“Aku tidak termasuk dalam kriteria pilihan calon
mertua ya?”
“Bukan begitu, soalnya kan mbak Murti baru mau
menikah.”
“Ooo … ?” Wahyudi bahkan lama membulatkan bibirnya
karena jawaban Murni sangat membuatnya benar-benar melongo.
“Berarti setelahnya dibolehin dong.”
“Tanya saja sama ibuku, jangan sama aku. Harusnya aku malu dong ngomongin soal itu, aku kan baru saja lulus sehari yang lalu.”
“Eh, aku memalukan ya?” lanjutnya sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
“Mengapa merasa begitu?”
“Aku suka bicara terus terang, ceplas-ceplos, kalau
mbak Murti mendengar pasti aku diomelin habis-habisan.”
Wahyudi tersenyum, dan dalam hati Murni sebenarnya
mengatakan, bahwa senyuman Wahyudi sangat menawan. Soal umur? Itu kan hanya
candaan dia saja. Memang dia ganteng sih. Nggak nolak kok. Lalu Murni memarahi dirinya
sendiri dalam hati. Norak ya, perempuan diam-diam mengagumi wajah ganteng
seseorang?
“Tapi aku tidak kaya, tidak punya mobil seperti
Sartono,” ternyata Wahyudi masih menyambung ucapannya terdahulu.
“Punya mobil kalau orangnya kasar, mana menarik?
Keluargaku bukan orang yang gila harta.”
Jauh ya bedanya dengan pak Kartomo, ayahnya Retno.
Lagi-lagi Wahyudi teringat kelakuan ayahnya Retno. Ah, sudahlah, nggak perlu
diingat lagi, kata batin Wahyudi.
“Aku akan langsung bilang pada ibumu nanti, setelah
Murti menikah,” kata Wahyudi terus terang, mengimbangi ceplas-ceplosnya Murni.
Tiba-tiba terdengar langkah seseorang dari luar. Murni
dan Wahyudi menoleh, terkejut melihat Sartono sudah berdiri di depan teras.
***
Besok lagi ya.