Saturday, July 30, 2022

KEMBANG CANTIKKU 35

 

KEMBANG CANTIKKU  35

(Tien Kumalasari)

 

“Uugh… apa-apaan ini?” Sartono bangkit sambil memegangi keningnya yang benjol.

“Ibu, ada apa ?”

“Laki-laki brengsek ini telah mendorong ibu kamu sampai terjatuh, bahkan sampai dua kali,” kata Wahyudi dengan sikap bersiap kalau-kalau Sartono membalasnya.

“Ibuuu … ibu tidak apa-apa?” kata Murti dan Murni yang kemudian bersamaan merangkul ibunya, diajaknya masuk ke dalam.

“Tidak Nduk, tidak apa-apa, kepalaku hanya terantuk kursi itu.”

“Kamu berani menentang aku?” hardik Sartono sambil berkali-kali mengelus keningnya. Ia sedikit limbung karena pukulan di tengkukknya lumayan keras.

“Mengapa tidak berani? Kamu seorang laki-laki, tanpa tahu malu telah  menyakiti seorang wanita, apalagi wanita yang sudah setengah tua?”

“Dia menghina aku, meremehkan aku.”

“Barangkali memang kelakuan kamu yang remeh.”

“Awas kamu ya,” ancamnya.

“Awas apa? Selesaikan saja sekarang urusannya. Kamu tidak terima? Kamu memilih aku melaporkan kamu ke polisi karena telah menganiaya wanita tua?” Wahyudi balas mengancamnya.

“Tidak usah bilang, laporkan saja langsung,” sambung Nano yang juga geram melihat kelakuannya.

“Kamu telah merusak semuanya. Merusak hubunganku dengan Murni.”

“Siapa merusak? Aku tidak melakukan apa-apa. Kamu sendiri yang merusaknya dengan kelakuan kamu yang kasar. Aku tidak tahu, bagaimana seseorang yang menginginkan seorang gadis tapi melakukan hal yang tidak terpuji kepada orang tuanya.”

“Aku tidak punya hubungan apa-apa sama dia,” kata Murni yang kemudian keluar dengan marah.”

“Murni, maafkan aku, tadi aku terlalu emosi dan kesal karena ibu kamu_”

“Tidak ada maaf untuk kamu. Aku tidak sudi berkawan sama kamu, apalagi menjalin hubungan lebih daripada berkawan. Jangan sekali-sekali menginjakkan kaki kamu di rumah ini lagi, pergi !” kata Murni tandas.

“Aku minta maaf. Sungguh aku tadi sebenarnya tidak ingin mendorongnya, aku tidak sengaja. Sungguh.”

“Lebih baik kamu pulang. Pemilik rumah sudah mengusir kamu,” kata Nano sambil memberi jalan keluar untuk Sartono.

“Atau masih tidak terima karena aku telah memukul kamu?” kata Wahyudi.

Sartono mendelik. Sesungguhnya dia memang sombong, tapi penakut. Menghadapi seorang Wahyudi saja belum tentu dia menang, apalagi ada Nano calon suami Murti.

“Awas kamu!” katanya sambil melangkah turun dari teras.

“Awas apa? Apa kamu akan mencari teman untuk melawan aku?” hardik Wahyudi.

Sartono tak menjawab, ia melangkah lebih cepat menuju mobilnya yang diparkir dihalaman. Semula ia ingin memamerkan mobil itu kepada ibunya Murni, agar diperkenankan membawa anaknya setelah mengetahui bahwa dia punya mobil bagus. Tapi ternyata iming-iming itu tidak menarik bagi bu Lasminah.

“Dia itu banyak teman, bagaimana kalau dia mengeroyok kalian?” kata Murni khawatir.

Tapi Nano lebih menghawatirkan keselamatan keluarga bu Lasminah setelah mereka pulang nanti.

“Aku akan melaporkan kejadian ini ke kelurahan lebih dulu. Paling tidak ada petugas keamanan di mana aku akan meminta tolong agar menjaga rumah ini. Soal melapor ke polisi, nanti kalau dia melakukan hal yang mengganggu, pihak kelurahan yang akan mengurusnya.”

“Benar, lebih-lebih dia juga mengancam tadi.”

“Bagaimana keadaan ibu?” tanya Nano.

“Ibu tidak apa-apa, ada sedikit benjol di kepalanya, tapi katanya tidak begitu sakit,” kata Murni.

“Benarkah?”

“Ibu tidak apa-apa Nak, jangan khawatir. Tadi ibu sudah membuatkan minum untuk kalian, minumlah.”

“Baiklah Bu. Murti, kalau ada apa-apa kabari aku. Sekarang aku mau pamit dulu. Mau mampir ke kelurahan dulu,” kata Nano.

***

Urusan yang sesungguhnya sepele itu memang membuat Wahyudi dan Nano khawatir. Tapi mereka sudah menyerahkan semuanya ke kelurahan setempat. Paling tidak keselamatan keluarga Lasminah akan terjaga. Keduanya segera langsung pulang karena hari mulai malam. Nano juga merasa tidak enak karena membawa mobil pak Kartiko.

Sesampai di rumah, Nano dan Wahyudi meminta maaf atas keterlambatan kepulangan mereka, karena ada sedikit masalah.

“Tidak apa-apa. Toh mobil itu juga tidak dipergunakan karena kamu libur, jadi jangan dipikirkan. Ceritakan saja bagaimana pembicaraan kamu dengan calon mertua kamu itu No,” kata pak Kartiko.

“Saya sudah mengatakan bahwa bulan depan akan melamar bersama keluarga saya, dan secepatnya kami akan menikah.”

“Syukurlah No, aku senang mendengarnya,” kata pak Kartiko.

“Kalau nanti istrinya mau, ajak dia tinggal di sini saja, supaya kamu tidak capek kalau harus  bolak balik pulang kerumah,” sambung bu Kartiko.

“Setelah Nano, nanti Wahyudi. Kapan kira-kira Wahyudi menikah?” kata pak Kartiko lagi.

“Baru mendekati seorang gadis Pak,” jawab Nano. Wahyudi hanya tersenyum.

“Mohon doanya ya Pak.”

“Tentu, aku doakan kalian bisa mendapatkan istri yang cantik. Bukan hanya cantik wajahnya, tapi juga hatinya.”

“Terima kasih, Bapak.

Wahyudi hanya sebentar singgah di rumah pak Kartiko, ia harus segera pulang.

***

Begitu datang, Wahyudi langsung pergi ke rumah Wuri. Ia baru ingat kalau berjanji akan mengantarkan Wuri sore tadi. Tapi dia tidak menemukan Wuri di rumah. Hanya ada ibunya yang sedang sibuk menata barang dagangan.

"Bu, mana Wuri?"

"Ya ampun nak, kaget ibu."

"Maaf, saya dari depan langsung masuk. Saya memanggil-manggil Wuri kok tidak ada jawaban.

“Iya Nak, Wuri sedang keluar.”

“Saya sudah berjanji mau mengantarnya tadi.”

“Perginya diantar nak Budiono,” terang bu Mantri sambil mengantarkan Wahyudi duduk di ruang tengah.

“Oh, sudah dengan mas Budiono? Syukurlah kalau begitu.”

“Tadi menunggu nak Wahyudi, tapi tiba-tiba nak Budiono datang.”

“Iya Bu, saya sebenarnya janji mau mengantarkan, tapi karena masih ada urusan, jadi tidak bisa pulang lebih sore.”

“Tidak apa-apa Nak, Wuri itu kan selalu merepotkan Nak Wahyudi.”

“Kalau saya sedang tidak ada pekerjaan ya bukan masalah itu Bu, kami kan sudah seperti saudara.”

“Iya sih Nak, tapi kalau Wuri terlalu tergantung nak Wahyudi ya ibu marahin dia. Kan Nak Wahyudi juga punya pekerjaan.”

“Nanti kalau Wuri sudah ikut suaminya kan tidak lagi bergantung sama saya Bu. Tapi saya senang, Wuri mendapatkan suami yang baik.”

“Sebenarnya ibu juga agak ragu-ragu Nak, kan nak Budi itu anak orang kaya, sedangkan Wuri itu hanya anak pedagang nasi. Tapi melihat kesungguhan nak Budi, ibu jadi yakin, kalau nak Budi akan bisa membahagiakan Wuri, tanpa mengingat Wuri itu anak siapa.”

“Mas Budi orangnya sangat baik. Dia juga sangat mencintai Wuri. Saya ikut bahagia Bu.”

“Harapan orang tua itu kan sama Nak, seperti klise kedengarannya, yang penting anaknya hidup bahagia. Tapi itu kan kenyataan sih Nak, bukan sekedar klise.”

“Benar Bu, saya sangat percaya itu.”

“Tapi Nak Wahyudi juga harus segera memikirkan diri sendiri, segeralah menikah. Ibu juga akan sangat bahagia kalau Nak Yudi juga segera bisa menemukan wanita yang bisa mendampingi selamanya.”

“Doakan saya ya Bu.”

“Tentu Nak, Ibu pasti akan selalu mendoakan, karena nak Wahyudi ini kan juga sudah seperti anak Ibu sendiri.”

“Terima kasih banyak ya Bu. Saya terharu menerima segala kebaikan Ibu. Saya kan sudah tidak punya siapa-siapa, jadi kalau ada yang menganggap saya sebagai anak, saya sangat terharu dan tentu saja bahagia.”

“Nak Yudi orang baik, siapapun menyukai nak Yudi, dan pasti senang memiliki anak seperti nak Yudi.”

“Ibu bisa saja. Ya sudah Bu, kalau begitu saya pamit dulu, seharian saya tidak pulang.”

“Tidak makan dulu Nak, ibu sudah mencicil masakan untuk dijual besok pagi.”

“Tidak usah Bu, terima kasih. Tadi sudah makan bersama teman.”

“Oh, ya sudah. Istirahatlah Nak. Pasti capek seharian bepergian.”

***

Sejak ke rumah Murni bersama Nano, setiap Minggu Wahyudi pergi sendiri menemui gadis yang menarik hatinya itu. Kedatangannya yang penuh santun itu sangat menarik hati bu Lasminah yang sangat menjaga kedua anak gadisnya. Sebagai seorang janda dengan dua anak gadis, dia tak keberatan dibilang kolot. Ia tidak pernah mengijinkan anaknya pergi malam hari, ia selalu menjaga dengan siapa anak-anaknya bergaul. Itu sebabnya ia sangat marah ketika Sartono datang dan mencela cara dia menjaga anaknya. Sartono tidak tahu, bahkan Nano yang sudah hampir menjadi menantunya saja sangat jarang mengajak anaknya pergi. Mereka pergi berdua hanya kalau ada kepentingan saja. Misalnya, berbelanja untuk persiapan pernikahan mereka nanti, atau memang ibunya yang memintanya untuk suatu keperluan.

Demikian juga Wahyudi. Ia hanya menemui Murni di rumahnya, berbincang dengan ibunya dan hanya duduk bercanda atau makan bersama seperti sebuah keluarga.

Murni yang tadinya merasa bahwa Wahyudi terlalu tua untuknya, kemudian ia seperti menemukan seorang ayah, yang sangat menjaganya.

“Apakah setelah lulus, kamu mau meneruskan kuliah?” tanya Wahyudi pada suatu hari.

“Tidak, kuliah itu kan mahal, ibuku hanya hidup dari uang pensiun almarhum ayahku, mana bisa menyekolahkan aku.”

Tiba-tiba Wahyudi teringat Retno. Saat itu orang tuanya juga tak mampu menyekolahkannya, tapi Wahyudi dengan segala kesungguhan membantunya agar Retno bisa melanjutkan kuliah. Bahkan sampai selesai. Namun apa daya, nasib menentukan lain. Sebelum memetik buah yang ditanamnya, orang lain telah memetiknya dengan paksa, demi orang tua Retno yang sangat menginginkan hartanya. Wahyudi akhirnya menyerah pada nasib. Duka derita yang dialaminya, sempat membuatnya limbung, melangkah tak tentu arah. Segenap mimpi, segenap harap, tak sempat membuatnya mengukir dan memahat sebuah rumah tangga penuh bahagia. Tapi Wahyudi kemudian merasa bersyukur, akhirnya Retno menemukan kebahagiaan di samping suami yang semula tak diharapkannya.

“Apakah kamu mau, aku membantu membiayai kuliah kamu?”

“Apa? Membiayai sekolah aku? Mana mungkin ibuku mengijinkan. Kecuali itu aku juga tak mau.”

“Mengapa?”

“Ibuku sangat tinggi hati. Dalam artian bahwa ibuku tak pernah mau merepotkan orang lain.”

“Tapi aku tidak repot tuh.”

“Tidak, apapun alasannya, jawabnya adalah tidak.  Aku ingin bekerja setelah lulus. Supaya aku bisa meringankan beban ibuku, bukan malah memberatkannya.”

Wahyudi mengangguk kagum. Murni yang tampak kekanak-kanakan, ternyata bisa berpikiran sangat bijak. Dengan alasan yang sederhana, dia memilih tidak menyusahkan orang lain, seperti keinginan ibunya. Wahyudi tersenyum senang.

“Tidak ingin segera menikah saja, menyusul kakak kamu?” pancing Wahyudi, yang membuat Murni tertawa. Wahyudi berdebar. Gadis sederhana yang manis ini, baik sedang tersenyum, sedang marah ataupun tertawa, tetap saja kelihatan menarik.

“Apa pertanyaanku lucu?”

“Tidak, bukan lucu.”

“Mengapa kamu tertawa?”

“Apa mas Wahyudi mau melamar aku?” tanya Murni terus terang. Pertanyaan itu membuat Wahyudi tertegun. Gadis ini kalau bicara selalu ceplas ceplos, tanpa sungkan, bahkan tanpa takut ditertawakan.

“Aku ingin, tapi bukankah aku terlalu tua untuk kamu?”

“Mm … kasih tahu nggak ya … “

Wahyudi sangat gemas. Ia sudah mengira, Murni pasti akan mengatakan ‘iya, kamu kan sudah tua’. Tapi jawabannya berbeda.

“Aku memang perjaka tua. Tidak laku-laku. Apa aku terlalu jelek ya? Biasanya gadis-gadis kan suka yang wajahnya ganteng, gagah, menawan … “

“Masa sih?”

“Kamu kan gadis, benar tidak apa yang aku bilang tadi?”

“Iya sih.”

“Ya sudah, aku menyerah dong.”

“Memangnya mas Wahyudi mau sama aku?”

Lagi-lagi Murni berkata begitu lugas dan lugu. Karena itu lebih baik Wahyudi berterus terang. Perkara nanti dia ditolak gara-gara dirinya perjaka tua, itu adalah nasib.

“Kalau iya, bagaimana?”

“Ibuku pasti melarang.”

Wahyudi surut dalam pengharapan. Wajahnya muram tiba-tiba.

“Aku tidak termasuk dalam kriteria pilihan calon mertua ya?”

“Bukan begitu, soalnya kan mbak Murti baru mau menikah.”

“Ooo … ?” Wahyudi bahkan lama membulatkan bibirnya karena jawaban Murni sangat membuatnya benar-benar melongo.

“Berarti setelahnya dibolehin dong.”

“Tanya saja sama ibuku, jangan sama aku. Harusnya aku malu dong ngomongin soal itu, aku kan baru saja lulus sehari yang lalu.”

“Eh, aku memalukan ya?” lanjutnya sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

“Mengapa merasa begitu?”

“Aku suka bicara terus terang, ceplas-ceplos, kalau mbak Murti mendengar pasti aku diomelin habis-habisan.”

Wahyudi tersenyum, dan dalam hati Murni sebenarnya mengatakan, bahwa senyuman Wahyudi sangat menawan. Soal umur? Itu kan hanya candaan dia saja. Memang dia ganteng sih. Nggak nolak kok. Lalu Murni memarahi dirinya sendiri dalam hati. Norak ya, perempuan diam-diam mengagumi wajah ganteng seseorang?

“Tapi aku tidak kaya, tidak punya mobil seperti Sartono,” ternyata Wahyudi masih menyambung ucapannya terdahulu.

“Punya mobil kalau orangnya kasar, mana menarik? Keluargaku bukan orang yang gila harta.”

Jauh ya bedanya dengan pak Kartomo, ayahnya Retno. Lagi-lagi Wahyudi teringat kelakuan ayahnya Retno. Ah, sudahlah, nggak perlu diingat lagi, kata batin Wahyudi.

“Aku akan langsung bilang pada ibumu nanti, setelah Murti menikah,” kata Wahyudi terus terang, mengimbangi ceplas-ceplosnya Murni.

Tiba-tiba terdengar langkah seseorang dari luar. Murni dan Wahyudi menoleh, terkejut melihat Sartono sudah berdiri di depan teras.

***

Besok lagi ya.

Friday, July 29, 2022

KEMBANG CANTIKKU 34

 

KEMBANG CANTIKKU 34

(Tien Kumalasari)

 

“Mas, ini temannya mas Nano, namanya mas Wahyudi. Salaman dong,” kata Murni memperkenalkan.

Laki-laki itu akhirnya mengulurkan tangannya, dan seperti hanya menyentuhkan ujung jarinya ke tangan Wahyudi. Wahyudi hanya tersenyum tipis.

“Ayo duduk Mas, duduklah, aku panggilkan mbak Murti dulu ya,” kata Murni ramah.

Nano dan Wahyudi duduk, tapi laki-laki itu tidak, dia menyentuh lengan Murni yang membuat Murni mengundurkan tubuhnya.

“Aku pulang saja dulu, nanti sore aku samperin kamu. Katanya kamu seneng nonton wayang?”

“Oh, aku harus bilang sama ibu dulu, boleh tidak aku keluar malam,” kata Murni.

“Nanti aku yang bilang sama ibumu, aku akan bawa mobil, supaya kamu tidak kedinginan di jalan,” katanya sambil berlalu, tanpa pamit kepada kedua tamu yang baru saja datang.

Murni sudah masuk ke dalam rumah. Nano saling pandang dengan Wahyudi, lalu keduanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Maksudnya siapa sih laki-laki itu? Sangat sok dan sombong sekali.

“Sepertinya kamu dapat saingan,” kata Nano sambil tersenyum.

“Selama belum ada janur melengkung, kenapa tidak?”

“Dia hanya menang muda,” kata Nano pelan, yang disambut tawa kecil Wahyudi.

“Kalau aku, menang apa? Menang tua kan?”

“Kamu menang dalam sopan-santun atau tata krama. Sikapnya menyebalkan,” gerutu Nano.

Wahyudi hanya menanggapi sambil berdebar. Sesungguhnya ada rasa khawatir karena tampaknya Murni sudah punya pilihan, yang pastinya lebih muda.

“Ini, oleh-oleh kok nggak dikasih ke Murni ?” kata Wahyudi mengingatkan.

“Oh, iya, biar aku bawa masuk saja,” kata Nano sambil membawa bungkusan makanan itu ke dalam. Ditengah ruangan ia bertemu Murti.

“Mas, kok lama nggak ke sini?”

“Panjang ceritanya. Ini, terima dulu, oleh-oleh buat ibu,” kata Nano sambil mengulurkan bungkusan.

“Selalu repot sih Mas. Sayangnya ibu lagi ke tempat tetangga, ada yang mau punya kerja, jadi ikut repot. Ya begini ini tradisi di kampung Mas, kalau ada yang punya kerja seluruh kampung ikut repot, terutama ibu-ibu. Ayo duduk dulu, Murni sedang membuatkan minum.”

“Yang bersama Murni tadi siapa?”

“O, tamunya itu? Itu temannya Murni, tepatnya kakak kelasnya, lulus dua tahun lalu.”

“Pacarnya?”

“Bukaan. Dia yang suka. Nggak tahu kalau Murni. Aku sih nggak suka sama dia. Sombong, mentang-mentang anak orang kaya.”

“Oo, gitu?”

Ketika Murni membawa nampan berisi suguhan minuman, Wahyudi menatapnya tak berkedip. Ada perasaan aneh dihatinya, yang membuat Wahyudi heran sendiri.

“Ada apa aku ini. Tertarik pada gadis ingusan? Lalu laki-laki tadi siapanya Murni?” kata batin Wahyudi sambil terus menatap Murni.

“Silakan diminum Mas,” katanya sambil meletakkan minuman di meja.

“Terima kasih Murni,” kata Nano.

“Mas Nano bawa mobil? Sudah punya mobil sekarang?” tanya Murni tanpa sungkan.

“Bukan, itu mobil majikan yang disuruh memakai tadi.”

“Oo,”

“Apa kamu suka laki-laki yang punya mobil?” tanya Nano.

“Ah, nggak juga.”

“Suka yang bagaimana?” tanya Nano mulai memancing-mancing.

“Yang baik lah.”

“Lalu ….”

“Yang sayang sama aku, ya kan Mbak? Katanya sambil menatap kakaknya. Murti mengangguk sambil tersenyum.

“Yang tadi itu pacar kamu?” tanya Nano terus terang.

“Tadi? Itu namanya Sartono.”

“Aku nggak tanya nama. Apa dia pacar kamu?”

“Ih, mau tahu aja,” jawab Murni sambil tersenyum dan jawaban itu membuat Wahyudi ketir-ketir.

“Iya dong, aku kan calon kakak ipar kamu. Jadi harus tahu seperti apa pilihan kamu.”

“Dia bukan siapa-siapa. Suka aja main ke sini.”

Wahyudi menghela napas lega.

“Tampaknya dia suka,” kata Nano sok tahu.

“Nggak tahu aku. Kalau dia suka, ya biarin saja.”

“Bagaimana dengan kamu?”

“Mas Nano sukanya mancing-mancing ya. Kalau aku suka bagaiman, kalau tidak bagaimana,” jawab Murni enteng.

“Aku hanya ingin yang terbaik untuk adik ipar aku. Eh, calon adik ipar aku.”

“Tidak baikkah dia, menurut Mas?”

“Aku kan baru ketemu tadi.”

“Apakah dia baik? Biarpun baru ketemu kan kelihatan, dia itu baik atau tidak.”

“Kalau boleh berterus terang, aku melihatnya, dia itu kurang baik untuk kamu.”

“Dari mana Mas melihatnya?”

“Hanya sekilas sih, tapi sikap seseorang, apalagi menghadapi orang lain, harusnya lebih santun. Baru itu yang aku lihat.”

Murni mengerucutkan bibirnya.

“Kenapa? Kamu tersinggung?”

Murni menggelengkan kepalanya.

“Dia juga terkadang kasar. Apalagi kalau kemauannya tidak dituruti.”

“Nah.”

“Dia itu anak orang kaya Mas, sawahnya berhektar-hektar. Pantas saja dia sombong,” sambung Murti.

“Mbak Murti sangat tidak suka kalau dia datang,” kata Murni lagi.

Wahyudi meneguk teh dalam gelas yang dihidangkan di hadapannya.

“Hm, manis ….” Katanya sambil meletakkan gelas setelah dia meneguknya beberapa teguk.

“Terlalu manis ya?” tanya Murni.

“Tidak.”

“Mas Yudi suka yang manis ya?” tanya Murti.

“Iya lah, masa suka yang pahit. Jamu dong,” canda Nano yang mengerti arah kata-kata Wahyudi. Bisa jadi yang manis adalah wajah Murni, atau sikap Murni dan kakaknya yang tidak suka pada laki-laki itu. Yang jelas terasa manis dan menyenangkan.

Murti dan Murni tertawa kecil.

“Nanti makan siang di sini ya, tadi aku sama Murni masak lho.”

“Benarkah? Pasti enak dong,” kata Wahyudi.

“Tapi ya masakan orang desa lho Mas, cuma sayur gudeg, sambal terasi sama ikan asin.”

“Waah, itu cocok, aku suka,” kata Wahyudi.

“Bohong. Orang kota mana suka masakan orang desa?”

“Kata siapa? Masakan kampung itu nikmat lho, dan ngangenin,” kata Wahyudi sambil meneguk lagi minumannya.

“Terutama sama yang masak,” sambung Nano. Wahyudi tersedak, karena sebelumnya dia bilang kangen sama Murni.

“Eh, Mas, hati-hati minumnya.”

“Biar aku tata dulu makan siangnya ya,” kata Murni sambil masuk ke dalam rumah.

“Murni itu terkadang masih seperti anak-anak," kata Murti.

“Memang dia masih kanak-kanak kan?”

“Minggu depan dia ujian. Nggak tahu apa dia ingin melanjutkan sekolahnya atau tidak.”

“Wahyudi mau melamar Murni,” kata Nano tiba-tiba. Wahyudi memukul bahu Nano dan memelototinya. Murti tertawa melihatnya.

“Tidak apa-apa Mas, kalau mau sama gadis desa,” kata Murti.

“Kalau Murni ingin melanjutkan kuliah, dia sanggup menunggu kok.”

Lagi-lagi Wahyudi ingin memprotes karena Nano membuatnya tersipu.

“Tidak apa-apa, lebih dulu berterus terang kepada kakaknya, supaya dia bisa membantu membujuk adiknya,” sambung Nano seenaknya.

Murti mengangguk.

“Aku ingin Murni mendapatkan suami yang baik, yang bisa berpikiran dewasa.”

“Ayo silakan makan, semua sudah siap,” tiba-tiba Murni muncul dari belakang.

“Tidak menunggu ibu dulu?”

“O, ibu pasti pulang sore Mas, selalu begitu kalau sedang ada yang punya kerja.”

“Baiklah, nanti kalau ibu pulang aku mau bicara tentang hubungan kita. Kamu siap menjadi istriku?” tanya Nano.

Murti tersipu, wajahnya bersemu merah.

“Bagaimana nanti kata ibu saja. Bicaralah Mas sama ibu,” kata Murti yang kemudian berdiri, mempersilakan tamunya untuk makan.

***

Keluarga bu Mantri juga sedang sibuk, menjelang pernikahan Wuri dan Budiono yang sudah tinggal beberapa minggu lagi. Wuri bolak balik ke rumah Wahyudi, tapi dia selalu pulang dengan wajah kesal karena hari sudah sore, tapi Wahyudi belum tampak pulang.

“Kemana sih tuh orang? Berangkat pagi-pagi, jam segini belum juga pulang,” gerutunya.

“Ada apa sih, sejak tadi kamu uring-uringan terus?”

“Itu lho Bu, sudah jam segini, mas Yudi belum juga pulang.”

“Memangnya kenapa? Dia kan juga butuh hiburan, tidak selalu ada di rumah biarpun ini hari minggu.”

“Aku tuh kemarin sudah minta mas Yudi untuk mengantarkan belanja untuk kebutuhan aku. Dia sudah bilang ‘iya’, tapi mana buktinya. Pasti dia lupa. Apa kumat lagi lupa ingatannya?”

“Hush, kamu tuh bicara sembarangan. Ya jangan begitu. Ingat, nak Yudi itu sebenarnya bukan siapa-siapa kamu, nggak boleh dong terlalu tergantung sama dia.”

“Wuri tuh sama mas Yudi kan sudah seperti saudara.”

“Seperti kan? Seperti itu bukan beneran. Jangan begitu dong nduk, kasihan nak Yudi.”

“Ada apa dengan mas Yudi?” bu Mantri dan Wuri terkejut, Budiono tiba-tiba sudah ada di dalam rumah.

“Nak Budi, kok nggak dengar nak Budi datang?”

“Iya tuh, seperti siluman saja, tiba-tiba muncul.”

“Eh, masa sih, ngatain ‘siluman’ sama calon suami?” omel Budi.

Wuri terkekeh, sambil mengajak Budi ke ruang tengah.

“Maaf deh, habis mas Budi ngagetin saja.”

“Aku sudah ngucapin salam di depan, sampai berkali-kali, nggak ada yang dengar, ya sudah aku masuk saja.”

“Iya, lagi ngomongin mas Yudi, pergi dari pagi sampai sore belum pulang juga.”

“Ketemu pacarnya, barangkali.”

“Oh ya? Seneng dong kalau mas Yudi benar-benar punya pacar.”

“Barangkali kok, siapa tahu benar.”

“Nanti aku mau nanya deh. Semoga benar, jadi besok mereka bisa menjadi pendamping kita saat menikah.”

“Iya juga ya.”

“Mas Budi lagi repot nggak?”

“Repot kenapa?”

“Aku mau belanja sedikit, tadinya nungguin mas Yudi karena sudah janji mau nganterin.”

“Aku antar saja deh.”

“Baiklah, terima kasih ya, aku sudah siap sebenarnya, aku pamit ibu dulu.”

Budiono sangat bahagia. Akhirnya hari yang ditunggu akan segera tiba. Sudah lama dia ingin mempersunting Wuri, dan Wuri menolaknya karena Wahyudi belum ketahuan dimana rimbanya.

***

Wahyudi memang belum pulang, karena Nano kemudian mengajak jalan-jalan sampai sore. Sang ibu yang sedang menyiapkan minum yang baru dan diletakkan di meja depan, terkejut ketika seseorang menyapanya.

“Selamat sore Bu.”

“O, nak Sartono?”

“Iya Bu, Murni ada?”

“Murni sedang jalan-jalan sama kakaknya dan calon kakak iparnya.”

“Dan sama salah seorang yang bernama Wahyudi?” tanyanya dengan wajah kesal.

“Iya Nak, tadi kan datangnya sama-sama Marno, jadi ya mereka pergi bersama-sama. Ada perlu apa Nak, nanti kalau Murni sudah pulang akan saya sampaikan.”

“Tadi sudah janjian mau nonton wayang di kelurahan Bu.”

“Wah, kalau malam-malam mana bisa mengajak Murni pergi? Saya melarang anak gadis saya bepergian malam-malam.”

“Memangnya kenapa kalau pergi malam? Kan tidak sendirian perginya. Lagipula saya membawa mobil.”

“Sendirian atau ada temannya, saya melarang anak saya pergi malam-malam. Kecuali kalau ada perlu, dan itu harus bersama saya.”

“Ibu ini bagaimana? Sekarang Murni sedang pergi bersama laki-laki lain yang tidak jelas siapa, mengapa ibu ijinkan?”

“Perginya kan siang. Lagipula  dia bersama calon kakak iparnya kok.”

“Kalau begitu biar saya menunggu dia saja di sini. Kan kami sudah janjian.”

“Tidak mungkin Murni berjanji sebelum minta ijin sama saya Nak. Tolong jangan memaksa. Nak Sartono boleh main ke sini kalau siang. Tapi tidak boleh mengajaknya ke mana-mana.”

“Ibu ini sangat kolot ya, biarpun tinggal di desa ya jangan terlalu kolot lah, jamannya sudah maju nih Bu, kalau terlalu dikekang, anak Ibu bisa menjadi perawan tua lho.”

Bu Lasminah sangat tersinggung mendengar Sartono seperti mengguruinya.

“Nak Sartono, boleh jadi sampeyan pintar, anak orang kaya, dan saya hanya perempuan dusun yang bodoh dan tidak berpendidikan. Saya tidak peduli dunia luar yang penuh kemajuan itu seperti apa, tapi saya punya aturan bagi keluarga saya. Saya seorang janda, memiliki dua anak gadis yang harus saya jaga seperti saya menjaga mutiara. Saya melarang anak saya pergi dengan sembarang orang, apalagi dengan orang yang tidak sopan seperti sampeyan,” katanya sambil sesekali menuding ke arah wajah Sartono.

“Jadi ibu mengatai saya sebagai orang sembarangan? Ibu tidak mengenal siapa orang tua saya?” kata Sartono berteriak karena sangat marah merasa ada orang berani merendahkannya.

“Sampeyan memang bukan sembarang orang karena orang tua sampeyan punya nama di desa ini. Nama karena kekayaan yang dimiliki, tapi sikap sampeyan yang melecehkan orang miskin seperti saya ini  membuat penilaian saya terhadap sampeyan menjadi sangat rendah, dan saya menganggap sampeyan adalah sembarang orang,” kata bu Lasminah dengan berani.

Tiba-tiba Sartono maju selangkah dan dengan keras mendorong tubuh bu Lasminah sehingga perempuan setengah tua itu jatuh terjengkang.

“Addduuuhhh..”  jeritnya kesakitan, karena kepalanya terantuk kursi.

“Ini hanyalah pelajaran awal bagi sampeyan, lain kali saya akan memberikan pelajaran yang lebih keras. Jangan coba-coba meremehkan saya,” ancamnya dengan mata melotot.

Bu Lasminah memegangi kepalanya, dan berusaha bangun, tapi Sartono kembali mendorongnya.

“Aduuh….!”

Tiba-tiba sebuah pukulan menghantam tengkuk Sartono, membuat laki-laki congkak itu terhuyung ke depan. Beruntung bu Lasminah sudah berhasil bangkit, kalau tidak pasti tubuh kekar itu sudah menindih tubuhnya. Tapi dahi si sombong itu kemudian terantuk dudukan kursi.

***

Besok lagi ya.

Thursday, July 28, 2022

KEMBANG CANTIKKU 33

 

KEMBANG CANTIKKU  33

(Tien Kumalasari)

 

“Aku tidak mengira, kamu masih selalu mengenang aku,” katanya sambil berusaha menyentuh wajah Wahyudi. Wahyudi mundur selangkah. Menatap wanita di depannya dengan tatapan tak suka.

“Yudi …”

Wahyudi berteriak memanggil Qila.

“Qilaaa … aku tahu kamu di mana … “ katanya sambil langsung mendekati pohon di mana Qila bersembunyi, karena memang dia sudah tahu.

Qila kecil terkekeh senang ketika Wahyudi menangkap dan menggendongnya.

“Yudi, dia siapa?” tanya Aqila sambil mendekat.

“Namanya Qila, Asyaqila. Mengapa Anda ada di sini?”

“Aku sedang mencari angin dan menenangkan diri di taman ini. Terkejut ketika mendengar ada orang memanggil namaku. Ternyata kamu.”

“Saya memanggil anak ini, bukan Anda. Saya mohon jangan lagi mengganggu saya. Anda sudah cukup merepotkan saya,” kata Wahyudi kesal.

Tiba-tiba Qila menutup wajahnya dan menangis.

"Yudi, tak bolehkah seseorang jatuh cinta? Bukankah cinta itu tidak dosa?”

“Cinta tidak dosa. Yang berdosa adalah orang yang meletakkan cinta itu tidak pada tempatnya. Anda seorang istri, tapi Anda melakukan hal yang tidak pantas, dan dianggap rendah bagi seorang istri,” kata Wahyudi sambil menjauh, tanpa peduli pada Aqila. Qila kecil masih ada di dalam gendongannya.

“Yudi … “

Aqila mengejarnya.

“Aku sungguh mencintai kamu.”

“Pergilah, dan jangan mengganggu saya lagi,” kata Wahyudi sambil terus melangkah menjauhi Aqila.

Tapi langkah Aqila terhenti, ketika melihat sepasang laki-laki dan wanita datang mendekati Wahyudi sambil berteriak.

“Qila tidak boleh nakal,” teriak Retno yang memang datang bersama Sapto.

Tiba-tiba Aqila menyadari, bahwa dia telah salah sangka. Bahkan sejak masih di rumah mertuanya, saat dia mendengar Wahyudi mengigau memanggil nama Qila, ternyata yang dimaksud bukan dirinya. Ia terus menatap punggung Wahyudi yang masih menggendong Qila, beriringan dengan sepasang suami isteri yang tampak sangat bahagia.

Hati Aqila luruh, ia benar-benar merasa tak punya siapa-siapa.

***

Hari itu masih pagi, ketika Wahyudi datang ke rumah keluarga Kartiko, seperti janjinya kepada Nano saat hari Minggu waktu Nano kebetulan libur. Ketika dia datang, Nano sudah siap menunggu.

“Aku kira kamu lupa,” kata Nano setelah mempersilakan Wahyudi duduk.

“Tidak, masa aku lupa?”

“Baiklah, tapi aku senang kamu tertarik untuk menemui Murni. Semoga harapanku akan menjadi kenyataan.”

“Terpikir olehku juga, untuk segera menikah. Tapi aku ini walaupun bujangan, tapi kan bujang lapuk. Sudah tua nggak laku-laku juga.”

“Apakah karena kamu belum bisa membuka hati kamu setelah putus dengan Retno?”

“Bukan begitu. Memang aku belum menemukan seseorang yang bisa mengena di hati.”

“Tidak tertutup kemungkinan untuk menemukannya kan?”

“Terus terang, aku tertarik pada Murni. Tapi nanti aku pasti ditertawakan.”

“Siapa mentertawakan?”

“Murni sendiri lah. Kan dulu dia selalu mengatai aku sudah tua?”

“Tidak apa-apa, tua tapi ganteng,” kata Nano sambil masuk ke kamarnya.

Wahyudi tertawa.

“Benarkah aku ganteng?” gumamnya sambil meraba wajahnya.

“Pak Udiiii ….”

Nah, itu kan teriakan Mila. Gadis kecil itu lari-lari kecil mendekatinya, yang kemudian disambut Wahyudi dengan menggendongnya.

“Pak Udiiii .. ayo maiinn…” pekiknya sambil menunjuk ke arah taman.

“Mainnya besok saja ya, pak Udi mau pergi dulu sama pak Nano,” kata Wayudi yang menunjuk ke arah Nano yang sudah keluar dari kamarnya.

“Ituuuttt…”

“Hahaa, ikut? Tapi perginya jauh, nanti Mila capek. Kepanasan juga.”

“O, Wahyudi sudah datang rupanya,” kata pak Kartiko yang keluar dari pintu belakang, berjalan sendiri dengan tongkat.

“Bapak …” sambut Wahyudi setelah menurunkan Mila, kemudian mendekati pak Kartiko lalu mencium tangannya.

“Jadi mau pergi sama Nano?”

“Iya Pak, sekalian mampir ke rumah pak Tukiyo, penolong saya juga.”

“Bagus, aku senang mendengar anak muda sudah mengerti tentang kebaikan. Sampaikan salam saya, biarpun kami belum pernah bertemu.”

“Akan saya sampaikan.”

“Kakeeeek Mila ituutt ... “ sela Mila sambil menggoyang goyang tangan kakeknya.

“Lho, mau ikut siapa?”

“Pak Udiii …”

“Kamu nanti merepotkan.”

“Lain kali kita jalan-jalan ya, kali ini pak Udi perginya jauh, di jalan panaas, nanti Mila sakit, ya.” Bujuk Wahyudi.

“Nano, bawa saja mobilku,” kata pak Kartiko.

“Tidak usah Pak, kami boncengan saja,” jawab Wahyudi sungkan.

“Mila ituuut … teriak Mila lagi.”

“Kalau naik mobil, merepotkan tidak ya membawa Mila?” gumam pak Kartiko.

“Jangan Pak, meskipun naik mobil, nggak usah ikut. Mila itu banyak maunya, nanti merepotkan. Nano kan mau berbincang juga dengan calon mertuanya,” kata bu Kartiko yang ikut datang mendekati mereka.

“Iya benar. Nanti Mila ikut jalan-jalan sama bapak, ini hari Minggu, pasti ayahmu datang kesini,” kata pak Kartiko.

Mendengar itu, wajah Mila berseri.

“Nanti ada bapak?”

“Iya, nanti ajak bapak jalan-jalan ya.”

Mila melonjak-lonjak senang.

“Nano, ambil kunci mobil, bawa saja mobilku.”

“Tapi … “

“Sudah, jangan membantah. Kalau terlalu  lama kena panas, nanti kulit calon pengantin akan berubah menjadi legam,” goda pak Kartiko.

Nano saling pandang dengan Wahyudi.

“Sudaaah, nanti kesiangan,” kata bu Kartiko sambil menggandeng suaminya ke arah rumah.

“Tidak usah mengisi bensin, karena kemarin Nano sudah mengisinya penuh,” pesan pak Kartiko sambil menoleh ke arah Wahyudi.

***

Biarpun merasa tidak enak, tapi Wahyudi dan Nano bersyukur, mendapat perhatian dari keluarga Kartiko. Jadilah mereka pergi dengan mobil sang majikan.

Setelah membeli oleh-oleh, akhirnya Wahyudi meminta untuk mampir dulu ke rumah pak Tukiyo, karena kalau mau ke rumah calon istrinya, memang melewati rumah pak Tukiyo.

“Benar, kita ke sana lebih dulu, daripada nanti kesorean mampirnya ke sana.

Ketika kemudian menemukan rumah Tukiyo, mereka terkejut karena ada kesibukan di rumah itu. Ada janur kuning melengkung, ada orang-orang menata kursi.

“Apakah hari ini Sunthi menikah?” gumam Wahyudi.

Keduanya turun, disambut pandangan heran dari orang-orang yang sedang bekerja. Di dusun itu tidak ada orang yang memiliki mobil, dan melihat mobil berhenti, mereka menatapnya takjub, bahkan anak-anak kecil mendekat lalu meraba-raba mobil itu seperti mendapat mainan bagus.

Tukiyo dan istrinya keluar, menatap tajam kedua laki-laki yang mendekati rumahnya.

Wahyudi lebih dulu mendekat dan mencium tangan Tukiyo dan istrinya, yang disambut dengan kaget oleh mereka.

“Ini siapa ya?”

“Ini … wajahnya seperti Wahyudi … tapi bukan … Eh, bukan apa iya ?” kata mbok Tukiy1o bingung.

“Saya memang Wahyudi mbok,” kata Wahyudi.

“Benarkah?” sahut keduanya sambil terus menatapnya.

“Dan ini, Marno, teman saya,” kata Wahyudi memperkenalkan Nano, yang kemudian juga menyalami Tukiyo dan istrinya.

“Ya ampuun … apakah nak Wahyudi sudah sehat ingatannya?” tanya Tukiyo lugu.

“Alhamdulillah Pak, perlahan saya sudah ingat semuanya.”

“Ya ampun mbokne, ayo persilakan tamu-tamu ini duduk,” kata Tukiyo.

“Ayo nak, ayo duduklah di dalam. Ini kami mau mantu, kecil-kecilan saja, yang penting sah,” kata mbok Tukiyo sambil melangkah masuk ke rumah, diikuti suami dan kedua tamunya.

“Sunthi mau menikah?”

“Iya nak, maaf kalau dulu dia pernah mengganggu nak Wahyudi,” kata mbok Tukiyo.

“Tidak apa-apa Mbok. Tapi maaf, kami tidak bisa lama, karena sedang mengantarkan teman saya ini.”

“Memangnya mau kemana?”

“Mau ke Matesih, Pak. Teman saya ini juga mau menikah.”

“O, iya. Matesih tidak begitu jauh dari sini, tapi mbok ya minum-minum dulu, itu, mboknya Sunthi sudah menyiapkan.

“Tapi sebentar saja ya Pak. Sunthi mana?”

“Sunthi sudah mau menikah, tidak boleh keluar dari kamarnya,” kata Tukiyo.

Wahyudi mengangguk mengerti. Memang sih, ada adat seperti itu, dimana pengantin wanita sepekan sebelum menikah tidak boleh keluar dari kamar. Tapi dasar Sunthi, dia mengintip dari lobang dinding kamarnya yang terbuat dari anyaman bambu, tanpa sepengetahuan mereka.

“Ya ampuun, mas Wahyudi sekarang semakin ganteng saja. Upps … nggak boleh … nggak boleh … bukankah mas Tino juga ganteng?” gumamnya, sambil menghentikan keasyikannya mengintip.

Pada kesempatan itu, Wahyudi menyerahkan amplop berisi uang kepada Tukiyo, yang diterima Tukiyo dengan linangan airmata.

***

Hari itu Wisnu benar-benar datang, lalu mengajak Mila jalan-jalan. Bahkan pak Kartiko dan bu Kartiko ikut bersamanya.

Mila sangat senang, karena dengan adanya ayahnya, dia melupakan keinginannya untuk pergi bersama Wahyudi.

“Kamu benar-benar sudah mengurus perceraian kamu?” tanya pak Kartiko kepada Wisnu, saat dalam perjalanan.

“Sudah Pak, besok akan ada sidang, tapi Wisnu menyerahkan semuanya pada pengacara.”

“Sudah yakin akan menceraikan Qila?”

“Sangat yakin.”

“Dulu kamu bilang sangat mencintai dia,” sela bu Kartiko.

“Dia tidak bisa memelihara keutuhan rumah tangga kami. Dia ternyata juga tidak mencintai Wisnu.”

“Beberapa hari yang lalu dia datang ke rumah, lalu bilang akan menemui kamu di kantor.”

“Iya, dia sudah datang ke kantor. Tapi Wisnu tidak bisa lagi menerimanya. Tidak ada kebaikan tergambar dari semua yang dilakukan Qila. Di kantor dia juga melakukan hal yang kasar kepada Lasmi.”

“Lasmi itu sekretaris baru kamu?”

“Iya Pak.”

“Apa dia baik?”

“Sejauh ini dia baik. Dia juga cekatan dan pintar.”

“Syukurlah. Kapan-kapan Bapak mau melihat kantor. Kangen juga sama suasana kantor.”

“Iya Pak, sekali-sekali Bapak tentu bisa datang ke kantor, melihat seperti apa keadaan perusahaan Bapak. Saya kan hanya meneruskan.”

“Tapi bapak kan sudah tua. Dan bapak lihat kamu sudah bisa mengendalikannya dengan baik. Bapak bangga sama kamu.”

“Semua kan karena Bapak.”

“Kalau hatimu sudah tenang, carilah istri,” sambung pak Kartiko.

Wisnu hanya tersenyum.

“Cari istri jangan asal cantik. Karena kecantikan lahiriah belum tentu bisa membuat keluarga menjadi bahagia.”

“Iya Bu, Wisnu tahu. Tapi untuk saat ini Wisnu belum memikirkannya.”

“Hati-hati juga kalau mencari istri lagi. Yang utama adalah, dia bisa menyayangi Karmila seperti seorang ibu.”

Mereka berhenti di sebuiah mal, karena bu Kartiko sekalian ingin belanja.

“Kalau bapak lelah, menunggu di mobil saja, ibu hanya sebentar. Biar Wisnu menemani,” kata bu Kartiko sebelum turun.

“Tidak, aku ingin turun dan jalan-jalan juga,” kata pak Kartiko sambil berusaha turun.

Karmila ikut melompat turun dan menarik-narik tangan Tinah untuk diajaknya masuk.

“Nanti dulu Mila, nunggu nenek dulu ya,” kata Tinah.

Begitu memasuki area mal, tiba-tiba Mila berteriak.

“Ituuuu … ada mbaaak … ada mbaaak …” teriak Mila yang kemudian lari mendekati anak kecil sebaya yang dikenalanya.

Anak kecil itu adalah Asyaqila, yang juga sedang mengikuti ayah ibunya berbelanja.

Sapto dan Retno berhenti melangkah, melihat anak mereka berbicara yang entah apa, tidak jelas yang diucapkannya, sambil saling berpegangan tangan.

Retno dan Sapto tersenyum, kemudian mereka melihat ke arah beberepa orang di belakang Mila. Retno mengenali mereka saat bertemu Wahyudi pertama kali di rumah sakit.

“Mas, ini pak Kartiko dan bu Kartiko, yang aku pernah cerita waktu itu.”

“Oh, iya?” lalu Sapto juga menyalami mereka, setelah Retno melakukannya.

“Ini Wisnu, anak kami, ayahnya Mila.”

“Oh, ya ampuun, kita orang tuanya belum saling kenal, sementara anak-anak sudah tampak bersahabat,” kata Sapto sambil menyalami Wisnu.

Lalu pertemuan itu menjadi sebuah pertemuan yang ramah karena  kemudian mereka mengajak makan bersama di sebuah restoran.

Pak Kartiko terkejut ketika Sapto mengatakan bahwa ayahnya bernama Siswanto, seorang pengusaha mebel terkenal.

“Tentu saja aku mengenalnya. Lama tidak muncul dia. Kami dulu sering bekerja sama, tapi kemudian aku merasa tua dan menyerahkan semuanya kepada Wisnu ini.”

Sapto senang karena pertemuan itu kemudian menjadikan terjalinnya sebuah hubungan bisnis yang menjanjikan.

“Saya akan menemui pak Siswanto pada suatu hari nanti, bersama Wisnu,” kata pak Kartiko bersemangat.

“Pasti bapak akan senang nanti, Pak. Seperti juga Bapak, bapak saya juga merasa lelah dan menyerahkan usahanya kepada kami. Yang di sini, di pegang adik saya Budiono, saya di Jakarta.”

“Bukan main. Pak Siswanto memiliki jagoan-jagoan hebat yang mampu mengendalikan perusahaannya dengan baik,” puji pak Kartiko.

***

Siang itu Nano dan Wahyudi sudah sampai di kediaman orang tua Murni. Tapi ketika mereka sampai di teras rumah , dilihatnya Murni sedang menemui seorang laki-laki muda. Mereka berbincang akrab, sampai tidak melihat ketika Nano dan Wahyudi sudah berdiri di depan teras.

“Assalamu’alaikum,” sapa Nano.

“Wa’alaikum salam," balas Murni yang kemudian berteriak, “mas Nano…”

Murni berdiri menyambut, laki-laki itu menyalami Nano, tapi kemudian menatap tak acuh pada Wahyudi, bahkan menolak ketika Wahyudi mengulurkan tangan.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, July 27, 2022

KEMBANG CANTIKKU 32

 

KEMBANG CANTIKKU  32

(Tien Kumalasari)

 

“Ada apa? Harso hari ini tidak masuk, belum jelas apa alasannya, tapi kerabatnya bilang bahwa dia sakit.”

“Dia … dia …”

Lalu peristiwa yang sudah berlalu itu kembali terbayang. Begitu jelas.

Wahyudi sedang dalam perjalanan ke arah bank, untuk melakukan transaksi atas pembelian suatu bahan untuk kepentingan kantor. Ia membawa uang puluhan juta yang akan disetorkan ke bank itu. Tapi sebelum berbelok ke arah bank, seseorang menghadangnya di tepi jalan..

“Pak Yudi, tolonglah saya,” kata orang itu.

“Ada apa Harso? Kok kamu ada di sini?”

“Saya tadi minta ijin pulang awal, karena mendapat berita istri saya sakit keras.”

“Lalu mengapa kamu berhenti disini? Kamu naik apa?”

“Saya naik angkot, tapi istri saya ada di desa. Tidak terjangkau angkutan umum. Tolonglah saya Pak,” kata Harso dengan wajah memelas.

“Apa yang harus aku lakukan?”

“Maukah Bapak mengantarkan saya? Istri saya kritis, saya harus segera pulang.”

“Di mana istri kamu?”

“Di desa Pak, saya sudah berusaha mencari angkutan umum, tapi tidak ada yang mau mengantarkan saya. Tolonglah Pak, istri saya butuh pertolongan.”

Wahyudi menatap wajah satpam perusahaan itu dengan rasa iba. Ia melupakan semuanya, yang penting dia harus menolongnya, barangkali istri Harso sedang menunggu pertolongan karena katanya kritis. Entah karena sakit apa, Wahyudi tidak peduli. Rasa kemanusiaan mendorongnya untuk menolong Harso.

“Pak … nyawa istri saya … nyawa istri saya …”

“Baiklah Harso, aku antarkan kamu lebih dulu. Wahyudi memutar balik kendaraannya, dan mempersilakan Harso duduk di boncengan.

“Terima kasih Pak, saya tahu Bapak orang baik, terima kasih …”

“Tolong bawakan tasku ini Harso,” kata Wahyudi sambil mengulurkan tas berisi uang di dalamnya.

Wahyudi mengendarai sepeda motornya, seperti arahan Harso yang duduk di bocengan. Perjalanan itu sudah jauh melampaui batas kota. Lalu masuk ke sebuah gang kecil yang sangat sepi.

“Masih jauhkah rumahmu Harso?”

“Rumah saya ada di kota, tapi istri saya sedang ada di rumah orang tuanya. Masih agak ke depan Pak. Maaf, menyusahkan.”

“Tidak apa-apa Harso, semoga istri kamu tertolong.”

Harso terus mengarahkan arah laju kendaraan Wahyudi, lalu memintanya berhenti ketika di sekitar tempat itu yang ada hanya pepohonan, karena mereka tiba di sebuah hutan.

“Mengapa berhenti di sini Harso?”

“Sebentar Pak.”

Harso turun dari boncengan, sambil merangkul tas besar yang tadi dititipkan Wahyudi.

“Di mana rumah mertua kamu?” tanya Wahyudi heran.

“Mohon turun dulu Pak, harus memasuki hutan ini. Susah kalau membawa kendaraan,” kata Harso yang mendahului melangkah. Mau tak mau Wahyudi mengikutinya, walau merasa heran melihat suasana di sekeliling tempat itu yang sangat sepi. Agak jauh di depan, ada sebuah tebing, dengan jurang di bawahnya. Wahyudi merasa bahwa Harso bisa pulang sendiri setelah dia mengantarnya. Toh jalan itu tidak bisa di lewati kendaraan.

“Masih jauhkah? Kalau begitu kamu bisa pulang sendiri kan Harso, karena aku harus segera kembali. Aku janjian dengan sebuah perusahaan siang ini. Jadi maaf kalau tidak bisa mengantarmu lagi, toh kendaraan tidak bisa melewat tempat ini.”

“Oh iya Pak, maaf. Baiklah. Silakan kalau Bapak mau kembali. Terima kasih karena sudah mengantarkan saya ke tempat ini.”

“Tolong kembalikan tas itu,” kata Wahyudi yang melihat Harso masih memeluk tas yang dititipkan tadi di dadanya.

“Oh iya, saya lupa,” katanya sambil mendekat ke arah Wahyudi.

Tapi sesampai di depan Wahyudi, Harso menyerahkan tas itu dengan mendorongkannya keras, sehingga Wahyudi terjengkang ke belakang.

“Harso, apa maksudmu?” tanya Wahyudi yang merasa kesakitan karena kepalanya terantuk batu.

“Saya sedang butuh uang. Jadi biarkan tas ini saya yang membawanya,” katanya sambil tetap memeluk tas yang dibawanya.

Wahyudi terbelalak. Ia baru sadar bahwa Harso bermaksud jahat. Susah payah dia bangkit, tapi dengan satu tendangan, membuat Wahyudi kembali terkapar.

“Harso!!”

Harso meletakkan tas yang dibawanya, lalu berkacak pinggang di depan Wahyudi yang belum sempat bangun. Kepalanya terasa sakit. Darah mulai mengucur membasahi bajunya. Ia merasa tak mampu bangun karena kepalanya terasa pening. Dengan satu kali tendangan lagi, membuat Wahyudi tak ingat apa-apa lagi.

Barjo menatap Wahyudi yang tiba-tiba memegangi kepalanya.

“Bapak sakit? Merasa pusing?”

“Aku sudah ingat semuanya. Aku ingat semuanya. Harso pelakunya. Dia merampok aku, dan mencelakai aku,” katanya pelan sambil terus memegangi kepalanya.

“Harso ?”

“Benar, semalam dia memasuki rumahku, pasti dia bermaksud membunuhku.”

***

Hari itu Qila datang ke kantor suaminya. Tak ada yang menghalangi ketika dia langsung menuju ke ruang kerja Wisnu, karena mereka tidak tahu tentang apa yang terjadi pada keluarga atasannya. Tidak banyak yang tahu bahwa Wisnu sedang menggugat cerai sang istri yang dianggapnya tidak setia.

Qila memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu, dan terkejut melihat seorang gadis duduk di depan meja yang sebelumnya menjadi meja kerjanya. Wisnu tak kelihatan di situ. Wajahnya langsung gelap melihat gadis cantik yang terkejut melihat kedatangannya.

“Anda siapa? Mengapa tidak mengetuk pintu?” tanya gadis cantik yang adalah sekretaris baru Wisnu.

Qila mendelik, mendekati meja gadis itu dan menggebraknya keras, membuat gadis itu terkejut.

“Kamu tidak tahu siapa aku? Buka matamu lebar-lebar, aku adalah istri pemilik perusahaan ini,” hardiknya.

Gadis itu terkejut untuk kesekian kalinya, lalu menatap Qila tak berkedip.

“Ooh, maaf Ibu, ss … ssayya … tidak tahu … saya … baru di sini …” katanya gugup sambil merangkapkan kedua tangannya.

“Orang baru yang tidak tahu aturan. Siapa namamu?” katanya masih dengan nada kasar.

“Saya Lasmi. Lasmiati.”

“Nama kampungan. Bagaimana suamiku bisa menerima gadis kampungan seperti kamu?”

Tiba-tiba pintu terbuka, Wisnu muncul, dan menatap Qila dengan marah.

“Ada apa kamu datang kemari?” tanyanya dingin.

“Mas, aku ingin bicara sama kamu,” katanya yang tiba-tiba berubah manis.

“Tidak ada yang perlu dibicarakan.”

“Mas, bisakah sekretaris baru itu keluar sebentar? Sungguh aku ingin bicara.”

“Tidak. Dia sedang banyak pekerjaan. Lagipula kita sudah tidak perlu bicara apa-apa lagi. Semuanya sudah jelas. Surat cerai untuk kamu sedang diproses. Apakah kamu belum menerima surat panggilan dari pengadilan agama? Pasti alamatnya tertuju ke alamat lama kamu.”

“Mas, kamu kejam.”

“Pergilah, di kantor ini hanya ada pembicaraan masalah pekerjaan. Jadi lebih baik kamu keluar, atau aku perintahkan kepada satpam agar menyeret kamu keluar?” ancam Wisnu.

“Aku ingin bicara Mas, hentikan semuanya, aku bisa memperbaiki semuanya.”

“Tidak mungkin. Aku tidak yakin.”

“Percayalah, aku akan bersumpah.”

“Jangan bermain dengan sumpah. Sudahlah, pergi sekarang atau aku memanggil satpam?”

Qila menahan air matanya yang nyaris jatuh terburai. Wisnu memalingkan muka. Pengkhianatan wanita yang sangat dicintainya ini sangat melukai perasaannya, dan ia tak bisa memaafkannya.

Wisnu menekan interkom.

“Satpam akan segera datang,” ancamnya.

Qila tak menjawab. Ia membalikkan tubuhnya dan bergegas keluar dari ruangan sambil membanting pintunya keras.

Wisnu menghempaskan pantatnya di kursi kerjanya.

“Saya minta maaf, tidak tahu kalau_” kata Lasmi takut-takut, tapi kemudian Wisnu memotongnya.

“Tidak apa-apa, sebentar lagi dia bukan istriku lagi.”

Lasmi menatap tak percaya, biarpun dia sudah mendengar pembicaraan antara pimpinan dan istrinya. Tapi dia diam, dan memang lebih baik diam karena tak ingin mencampuri urusan yang bukan urusannya.

***

Penjahat yang telah mencelakai Wahyudi sudah tertangkap. Pak Tukiyo yang menemukan Wahyudi dalam keadaan pingsan dan luka parah juga didatangi polisi untuk dimintai keterangan tentang kejadian itu.  Semuanya sudah terkuak, dan Wahyudi semakin banyak mengingat masa lalunya.

Bahkan ketika mengunjungi Retno dengan diantar Budiono, ia sudah merasa tak asing dengan suasana di sekitar rumahnya, juga di taman dekat rumah di mana dia sering bermain bersama Qila kecil.

Wahyudi sudah mulai bekerja kembali di kantornya, walau tertatih tapi segera bisa mengikuti semua yang sudah tertinggal karena beberapa bulan dirinya menghilang.

Pimpinan perusahaan tidak menuntut apapun atas uang puluhan juta yang raib dirampok karyawannya sendiri, karena Harso sudah mendapatkan hukuman atas keserakahan dan kekejamannya.

***

Sore hari itu, sepulang dari kantor, Wahyudi dengan mengendarai motor baru datang mengunjungi keluarga pak Kartiko. Ketika dia datang, bu Kartiko yang menyambutnya.

“Wahyudi? Apa kabar Nak?” sambutnya ramah.

“Baik Ibu, atas doa Ibu dan Bapak di sini,” jawab Wahyudi sambil mencium tangan bu Kartiko.

“Aku senang mendengar bahwa kamu sudah mengingat semuanya Nak,” kata bu Kartiko yang merubah panggilannya kepada Wahyudi.

“Ibu, panggil saya seperti biasanya saja,  sangat tidak nyaman mendengar Ibu merubah panggilan itu. Saya menjadi seperti orang asing,” protes Wahyudi.

“Aku kan tidak enak, kamu bukan lagi_”

“Saya masih seperti dulu. Saya akan sering datang kemari untuk bapak. Dimana bapak?”

“Bapak sedang di taman, berjalan-jalan ditemani Nano.”

“Saya akan ke sana ya Bu?”

“Temuilah bapak, dia pasti senang.”

Wahyudi melangkah ke belakang rumah. Di taman dia melihat Mila sedang bermain ditemani Tinah. Mila berteriak begitu melihat Wahyudi.

“Pak Udiiiii ….” Teriaknya sambil berlari mendekati Wahyudi, yang kemudian menggendongnya.

“Pak Udi udah cembuh?” katanya sambil mempermainkan rambut ikal Wahyudi.

“Sudah sayang.”

Pak Kartiko menghentikan langkahnya mendengar teriakan Mila. Wahyudi menurunkan Mila, lalu berjalan mendekati pak Kartiko yang tersenyum lebar. Nano lebih dulu menyalaminya.

“Selamat Pak Wahyudi,” sapa Nano sambil memeluk Wahyudi.

“Hei, siapa pak Wahyudi. Panggil aku seperti biasanya. Nggak mau aku,” kata Wahyudi sambil menepuk bahu Nano.

“Pak Wahyudi kan_”

“Tidak, aku masih Wahyudi yang dulu. Kapan ketemu Murti? Aku kangen sama Murni,” bisiknya kemudian di telinga.

“Besok Minggu. Benarkah kangen?”

Wahyudi hanya tertawa kecil, kemudian bergegas mendekati pak Kartiko yang masih berdiri dan bertumpu pada tongkatnya.

“Bapak, senang melihat Bapak sudah bisa berjalan-jalan.”

“Iya Nak, setelah kamu tidak ada, aku kemudian bertekat untuk tidak bergantung lagi pada orang lain. Soalnya kamu itu tak tergantikan,” kata pak Kartiko sambil menepuk bahu Wahyudi.

“Sungguh Bapak ini luar biasa. Saya akan sering datang kemari, di sela-sela kesibukan saya bekerja.”

“Benarkah?”

“Tentu saja benar. Dan saya mohon Pak, panggil saya seperti biasanya. Saya masih Wahyudi yang dulu.”

“Masa orang punya jabatan saya memanggil seenaknya?”

“Jabatan hanyalah pekerjaan saya yang sebenarnya, saya masih Wahyudi yang dulu, saya mohon semuanya jangan berubah Pak. Sungguh, saya mohon,” kata Wahyudi sambil merangkapkan lagi kedua tangannya.

“Baiklah, kalau aku panggil kamu Wahyudi, berarti kamu adalah anakku bukan?” kata pak Kartiko dengan wajah sumringah.

“Ya Tuhan, ini anugerah buat saya Pak, saya sudah tidak punya orang tua. Kalau Bapak bersedia menjadi orang tua saya, seorang sederhana seperti saya, ini benar-benar anugerah bagi saya,” kata Wahyudi terharu, sambil mencium tangan pak Kartiko.

“Bapak, saatnya makan, semuanya sudah disiapkan. Wahyudi dan Nano, ayo kita makan bersama-sama, Wisnu juga sudah datang tuh,” teriak bu Kartiko dari arah belakang rumah.

“Saya makan di belakang saja Bu,” kata Nano.

“Tidak, mulai hari ini kita adalah keluarga. Kamu tidak boleh membantah. Bukankah bahagia punya tiga orang anak laki-laki?” kata bu Kartiko sambil menggandeng lengan suaminya.

“Kamu benar Bu, kita tidak akan kesepian karena punya anak lebih dari satu,” kata pak Kartiko dengan gembira.

Setelah selesai makan dan bersiap pulang, Wahyudi kembali bicara sambil berbisik dengan Nano.

“Jangan lupa, hari Minggu aku akan ikut bersamamu.”

“Iya, aku akan menunggu kamu, jangan terlalu siang ya,” kata Nano.

“Iya, kita akan belanja dulu untuk membeli oleh-oleh. Sepulang dari sana kita akan mampir ke rumah pak Tukiyo. Aku ingin memberikan sesuatu sebagai rasa terima kasih untuk mereka.”

Nano mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.

***

Hari Sabtu siang itu, Wahyudi datang ke rumah Sapto. Tidak enak rasanya kalau dia sering datang saat Sapto tidak ada di rumah, dan Sabtu itu Sapto memang pulang seperti janjinya kepada istrinya. Wahyudi mengajak Qila bermain di taman. Senang sekali Qila, karena sudah lama tidak bermain bersama Om Udi.

“Om Udi … ayo lali-lali…”

“Baiklah, kita main petak umpet ya?” sambut Wahyudi gembira.

“Aku cembunyi yaa… “ kata Qila sambil berlari lari lalu sembunyi di balik sebuah pohon.

Wahyudi tertawa, masa sih, sembunyi tapi saat dia melihatnya?”

“Qilaaa … aku cari kamu Qilaaaa ….” teriak Wahyudi sambil pura-pura mencari.

Tapi tiba-tiba seseorang muncul dan menepuk bahu Wahyudi dari belakang.

“Ternyata kamu masih merindukan aku, Yudi?”

Wahyudi terkejut, ketika menoleh kebelakang, dilihatnya seseorang yang sudah tidak asing baginya.

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...