Thursday, July 28, 2022

KEMBANG CANTIKKU 33

 

KEMBANG CANTIKKU  33

(Tien Kumalasari)

 

“Aku tidak mengira, kamu masih selalu mengenang aku,” katanya sambil berusaha menyentuh wajah Wahyudi. Wahyudi mundur selangkah. Menatap wanita di depannya dengan tatapan tak suka.

“Yudi …”

Wahyudi berteriak memanggil Qila.

“Qilaaa … aku tahu kamu di mana … “ katanya sambil langsung mendekati pohon di mana Qila bersembunyi, karena memang dia sudah tahu.

Qila kecil terkekeh senang ketika Wahyudi menangkap dan menggendongnya.

“Yudi, dia siapa?” tanya Aqila sambil mendekat.

“Namanya Qila, Asyaqila. Mengapa Anda ada di sini?”

“Aku sedang mencari angin dan menenangkan diri di taman ini. Terkejut ketika mendengar ada orang memanggil namaku. Ternyata kamu.”

“Saya memanggil anak ini, bukan Anda. Saya mohon jangan lagi mengganggu saya. Anda sudah cukup merepotkan saya,” kata Wahyudi kesal.

Tiba-tiba Qila menutup wajahnya dan menangis.

"Yudi, tak bolehkah seseorang jatuh cinta? Bukankah cinta itu tidak dosa?”

“Cinta tidak dosa. Yang berdosa adalah orang yang meletakkan cinta itu tidak pada tempatnya. Anda seorang istri, tapi Anda melakukan hal yang tidak pantas, dan dianggap rendah bagi seorang istri,” kata Wahyudi sambil menjauh, tanpa peduli pada Aqila. Qila kecil masih ada di dalam gendongannya.

“Yudi … “

Aqila mengejarnya.

“Aku sungguh mencintai kamu.”

“Pergilah, dan jangan mengganggu saya lagi,” kata Wahyudi sambil terus melangkah menjauhi Aqila.

Tapi langkah Aqila terhenti, ketika melihat sepasang laki-laki dan wanita datang mendekati Wahyudi sambil berteriak.

“Qila tidak boleh nakal,” teriak Retno yang memang datang bersama Sapto.

Tiba-tiba Aqila menyadari, bahwa dia telah salah sangka. Bahkan sejak masih di rumah mertuanya, saat dia mendengar Wahyudi mengigau memanggil nama Qila, ternyata yang dimaksud bukan dirinya. Ia terus menatap punggung Wahyudi yang masih menggendong Qila, beriringan dengan sepasang suami isteri yang tampak sangat bahagia.

Hati Aqila luruh, ia benar-benar merasa tak punya siapa-siapa.

***

Hari itu masih pagi, ketika Wahyudi datang ke rumah keluarga Kartiko, seperti janjinya kepada Nano saat hari Minggu waktu Nano kebetulan libur. Ketika dia datang, Nano sudah siap menunggu.

“Aku kira kamu lupa,” kata Nano setelah mempersilakan Wahyudi duduk.

“Tidak, masa aku lupa?”

“Baiklah, tapi aku senang kamu tertarik untuk menemui Murni. Semoga harapanku akan menjadi kenyataan.”

“Terpikir olehku juga, untuk segera menikah. Tapi aku ini walaupun bujangan, tapi kan bujang lapuk. Sudah tua nggak laku-laku juga.”

“Apakah karena kamu belum bisa membuka hati kamu setelah putus dengan Retno?”

“Bukan begitu. Memang aku belum menemukan seseorang yang bisa mengena di hati.”

“Tidak tertutup kemungkinan untuk menemukannya kan?”

“Terus terang, aku tertarik pada Murni. Tapi nanti aku pasti ditertawakan.”

“Siapa mentertawakan?”

“Murni sendiri lah. Kan dulu dia selalu mengatai aku sudah tua?”

“Tidak apa-apa, tua tapi ganteng,” kata Nano sambil masuk ke kamarnya.

Wahyudi tertawa.

“Benarkah aku ganteng?” gumamnya sambil meraba wajahnya.

“Pak Udiiii ….”

Nah, itu kan teriakan Mila. Gadis kecil itu lari-lari kecil mendekatinya, yang kemudian disambut Wahyudi dengan menggendongnya.

“Pak Udiiii .. ayo maiinn…” pekiknya sambil menunjuk ke arah taman.

“Mainnya besok saja ya, pak Udi mau pergi dulu sama pak Nano,” kata Wayudi yang menunjuk ke arah Nano yang sudah keluar dari kamarnya.

“Ituuuttt…”

“Hahaa, ikut? Tapi perginya jauh, nanti Mila capek. Kepanasan juga.”

“O, Wahyudi sudah datang rupanya,” kata pak Kartiko yang keluar dari pintu belakang, berjalan sendiri dengan tongkat.

“Bapak …” sambut Wahyudi setelah menurunkan Mila, kemudian mendekati pak Kartiko lalu mencium tangannya.

“Jadi mau pergi sama Nano?”

“Iya Pak, sekalian mampir ke rumah pak Tukiyo, penolong saya juga.”

“Bagus, aku senang mendengar anak muda sudah mengerti tentang kebaikan. Sampaikan salam saya, biarpun kami belum pernah bertemu.”

“Akan saya sampaikan.”

“Kakeeeek Mila ituutt ... “ sela Mila sambil menggoyang goyang tangan kakeknya.

“Lho, mau ikut siapa?”

“Pak Udiii …”

“Kamu nanti merepotkan.”

“Lain kali kita jalan-jalan ya, kali ini pak Udi perginya jauh, di jalan panaas, nanti Mila sakit, ya.” Bujuk Wahyudi.

“Nano, bawa saja mobilku,” kata pak Kartiko.

“Tidak usah Pak, kami boncengan saja,” jawab Wahyudi sungkan.

“Mila ituuut … teriak Mila lagi.”

“Kalau naik mobil, merepotkan tidak ya membawa Mila?” gumam pak Kartiko.

“Jangan Pak, meskipun naik mobil, nggak usah ikut. Mila itu banyak maunya, nanti merepotkan. Nano kan mau berbincang juga dengan calon mertuanya,” kata bu Kartiko yang ikut datang mendekati mereka.

“Iya benar. Nanti Mila ikut jalan-jalan sama bapak, ini hari Minggu, pasti ayahmu datang kesini,” kata pak Kartiko.

Mendengar itu, wajah Mila berseri.

“Nanti ada bapak?”

“Iya, nanti ajak bapak jalan-jalan ya.”

Mila melonjak-lonjak senang.

“Nano, ambil kunci mobil, bawa saja mobilku.”

“Tapi … “

“Sudah, jangan membantah. Kalau terlalu  lama kena panas, nanti kulit calon pengantin akan berubah menjadi legam,” goda pak Kartiko.

Nano saling pandang dengan Wahyudi.

“Sudaaah, nanti kesiangan,” kata bu Kartiko sambil menggandeng suaminya ke arah rumah.

“Tidak usah mengisi bensin, karena kemarin Nano sudah mengisinya penuh,” pesan pak Kartiko sambil menoleh ke arah Wahyudi.

***

Biarpun merasa tidak enak, tapi Wahyudi dan Nano bersyukur, mendapat perhatian dari keluarga Kartiko. Jadilah mereka pergi dengan mobil sang majikan.

Setelah membeli oleh-oleh, akhirnya Wahyudi meminta untuk mampir dulu ke rumah pak Tukiyo, karena kalau mau ke rumah calon istrinya, memang melewati rumah pak Tukiyo.

“Benar, kita ke sana lebih dulu, daripada nanti kesorean mampirnya ke sana.

Ketika kemudian menemukan rumah Tukiyo, mereka terkejut karena ada kesibukan di rumah itu. Ada janur kuning melengkung, ada orang-orang menata kursi.

“Apakah hari ini Sunthi menikah?” gumam Wahyudi.

Keduanya turun, disambut pandangan heran dari orang-orang yang sedang bekerja. Di dusun itu tidak ada orang yang memiliki mobil, dan melihat mobil berhenti, mereka menatapnya takjub, bahkan anak-anak kecil mendekat lalu meraba-raba mobil itu seperti mendapat mainan bagus.

Tukiyo dan istrinya keluar, menatap tajam kedua laki-laki yang mendekati rumahnya.

Wahyudi lebih dulu mendekat dan mencium tangan Tukiyo dan istrinya, yang disambut dengan kaget oleh mereka.

“Ini siapa ya?”

“Ini … wajahnya seperti Wahyudi … tapi bukan … Eh, bukan apa iya ?” kata mbok Tukiy1o bingung.

“Saya memang Wahyudi mbok,” kata Wahyudi.

“Benarkah?” sahut keduanya sambil terus menatapnya.

“Dan ini, Marno, teman saya,” kata Wahyudi memperkenalkan Nano, yang kemudian juga menyalami Tukiyo dan istrinya.

“Ya ampuun … apakah nak Wahyudi sudah sehat ingatannya?” tanya Tukiyo lugu.

“Alhamdulillah Pak, perlahan saya sudah ingat semuanya.”

“Ya ampun mbokne, ayo persilakan tamu-tamu ini duduk,” kata Tukiyo.

“Ayo nak, ayo duduklah di dalam. Ini kami mau mantu, kecil-kecilan saja, yang penting sah,” kata mbok Tukiyo sambil melangkah masuk ke rumah, diikuti suami dan kedua tamunya.

“Sunthi mau menikah?”

“Iya nak, maaf kalau dulu dia pernah mengganggu nak Wahyudi,” kata mbok Tukiyo.

“Tidak apa-apa Mbok. Tapi maaf, kami tidak bisa lama, karena sedang mengantarkan teman saya ini.”

“Memangnya mau kemana?”

“Mau ke Matesih, Pak. Teman saya ini juga mau menikah.”

“O, iya. Matesih tidak begitu jauh dari sini, tapi mbok ya minum-minum dulu, itu, mboknya Sunthi sudah menyiapkan.

“Tapi sebentar saja ya Pak. Sunthi mana?”

“Sunthi sudah mau menikah, tidak boleh keluar dari kamarnya,” kata Tukiyo.

Wahyudi mengangguk mengerti. Memang sih, ada adat seperti itu, dimana pengantin wanita sepekan sebelum menikah tidak boleh keluar dari kamar. Tapi dasar Sunthi, dia mengintip dari lobang dinding kamarnya yang terbuat dari anyaman bambu, tanpa sepengetahuan mereka.

“Ya ampuun, mas Wahyudi sekarang semakin ganteng saja. Upps … nggak boleh … nggak boleh … bukankah mas Tino juga ganteng?” gumamnya, sambil menghentikan keasyikannya mengintip.

Pada kesempatan itu, Wahyudi menyerahkan amplop berisi uang kepada Tukiyo, yang diterima Tukiyo dengan linangan airmata.

***

Hari itu Wisnu benar-benar datang, lalu mengajak Mila jalan-jalan. Bahkan pak Kartiko dan bu Kartiko ikut bersamanya.

Mila sangat senang, karena dengan adanya ayahnya, dia melupakan keinginannya untuk pergi bersama Wahyudi.

“Kamu benar-benar sudah mengurus perceraian kamu?” tanya pak Kartiko kepada Wisnu, saat dalam perjalanan.

“Sudah Pak, besok akan ada sidang, tapi Wisnu menyerahkan semuanya pada pengacara.”

“Sudah yakin akan menceraikan Qila?”

“Sangat yakin.”

“Dulu kamu bilang sangat mencintai dia,” sela bu Kartiko.

“Dia tidak bisa memelihara keutuhan rumah tangga kami. Dia ternyata juga tidak mencintai Wisnu.”

“Beberapa hari yang lalu dia datang ke rumah, lalu bilang akan menemui kamu di kantor.”

“Iya, dia sudah datang ke kantor. Tapi Wisnu tidak bisa lagi menerimanya. Tidak ada kebaikan tergambar dari semua yang dilakukan Qila. Di kantor dia juga melakukan hal yang kasar kepada Lasmi.”

“Lasmi itu sekretaris baru kamu?”

“Iya Pak.”

“Apa dia baik?”

“Sejauh ini dia baik. Dia juga cekatan dan pintar.”

“Syukurlah. Kapan-kapan Bapak mau melihat kantor. Kangen juga sama suasana kantor.”

“Iya Pak, sekali-sekali Bapak tentu bisa datang ke kantor, melihat seperti apa keadaan perusahaan Bapak. Saya kan hanya meneruskan.”

“Tapi bapak kan sudah tua. Dan bapak lihat kamu sudah bisa mengendalikannya dengan baik. Bapak bangga sama kamu.”

“Semua kan karena Bapak.”

“Kalau hatimu sudah tenang, carilah istri,” sambung pak Kartiko.

Wisnu hanya tersenyum.

“Cari istri jangan asal cantik. Karena kecantikan lahiriah belum tentu bisa membuat keluarga menjadi bahagia.”

“Iya Bu, Wisnu tahu. Tapi untuk saat ini Wisnu belum memikirkannya.”

“Hati-hati juga kalau mencari istri lagi. Yang utama adalah, dia bisa menyayangi Karmila seperti seorang ibu.”

Mereka berhenti di sebuiah mal, karena bu Kartiko sekalian ingin belanja.

“Kalau bapak lelah, menunggu di mobil saja, ibu hanya sebentar. Biar Wisnu menemani,” kata bu Kartiko sebelum turun.

“Tidak, aku ingin turun dan jalan-jalan juga,” kata pak Kartiko sambil berusaha turun.

Karmila ikut melompat turun dan menarik-narik tangan Tinah untuk diajaknya masuk.

“Nanti dulu Mila, nunggu nenek dulu ya,” kata Tinah.

Begitu memasuki area mal, tiba-tiba Mila berteriak.

“Ituuuu … ada mbaaak … ada mbaaak …” teriak Mila yang kemudian lari mendekati anak kecil sebaya yang dikenalanya.

Anak kecil itu adalah Asyaqila, yang juga sedang mengikuti ayah ibunya berbelanja.

Sapto dan Retno berhenti melangkah, melihat anak mereka berbicara yang entah apa, tidak jelas yang diucapkannya, sambil saling berpegangan tangan.

Retno dan Sapto tersenyum, kemudian mereka melihat ke arah beberepa orang di belakang Mila. Retno mengenali mereka saat bertemu Wahyudi pertama kali di rumah sakit.

“Mas, ini pak Kartiko dan bu Kartiko, yang aku pernah cerita waktu itu.”

“Oh, iya?” lalu Sapto juga menyalami mereka, setelah Retno melakukannya.

“Ini Wisnu, anak kami, ayahnya Mila.”

“Oh, ya ampuun, kita orang tuanya belum saling kenal, sementara anak-anak sudah tampak bersahabat,” kata Sapto sambil menyalami Wisnu.

Lalu pertemuan itu menjadi sebuah pertemuan yang ramah karena  kemudian mereka mengajak makan bersama di sebuah restoran.

Pak Kartiko terkejut ketika Sapto mengatakan bahwa ayahnya bernama Siswanto, seorang pengusaha mebel terkenal.

“Tentu saja aku mengenalnya. Lama tidak muncul dia. Kami dulu sering bekerja sama, tapi kemudian aku merasa tua dan menyerahkan semuanya kepada Wisnu ini.”

Sapto senang karena pertemuan itu kemudian menjadikan terjalinnya sebuah hubungan bisnis yang menjanjikan.

“Saya akan menemui pak Siswanto pada suatu hari nanti, bersama Wisnu,” kata pak Kartiko bersemangat.

“Pasti bapak akan senang nanti, Pak. Seperti juga Bapak, bapak saya juga merasa lelah dan menyerahkan usahanya kepada kami. Yang di sini, di pegang adik saya Budiono, saya di Jakarta.”

“Bukan main. Pak Siswanto memiliki jagoan-jagoan hebat yang mampu mengendalikan perusahaannya dengan baik,” puji pak Kartiko.

***

Siang itu Nano dan Wahyudi sudah sampai di kediaman orang tua Murni. Tapi ketika mereka sampai di teras rumah , dilihatnya Murni sedang menemui seorang laki-laki muda. Mereka berbincang akrab, sampai tidak melihat ketika Nano dan Wahyudi sudah berdiri di depan teras.

“Assalamu’alaikum,” sapa Nano.

“Wa’alaikum salam," balas Murni yang kemudian berteriak, “mas Nano…”

Murni berdiri menyambut, laki-laki itu menyalami Nano, tapi kemudian menatap tak acuh pada Wahyudi, bahkan menolak ketika Wahyudi mengulurkan tangan.

***

Besok lagi ya.

45 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah untuk kesekian kalinya di bulan Juli ini, si cantik gesit menjuarai lagi balapan komen di blog bu Tien Kumalasari.....
      Selamat ya.
      .

      Delete
    2. Terima kasih, Ibu Tien cantiik.... Salam sehat sekeluarga, yaa...

      Delete
    3. horee bu iin jawara lagi, Manusang bu Tien, KCku tambah menarik. lanjut...slm Aduhai

      Delete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah berkunjung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lagi lagi Wahyudi tak dihiraukan, tapi tak apa kalau jodoh mau kemana.
      Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

      Delete
  3. Matur nuwun bunda Tien-ku.
    Kembang Cantikku eps 33 sudah tayang gasik lagi.
    Sugeng dalu salam ADUHAI

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU~33 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah KC 33 sudah hadir ,terimakasih bunda sayaaang

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  8. Sugeng daluuu.... Mb Tien... Whuaah gasik

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah
    Gasik
    Matur nuwun bu...
    Mugi mugi sehat selalu

    ReplyDelete
  10. Hooooreee..... makin asyiiik... makin gasik bunda Tien mmng aduhai....sehat selalu bunda

    ReplyDelete
  11. 🆂🅸🅸🅸🅸🅸🅿...🅺🅲13 🆂🅳🅷 🆃🅰🆈🅰🅽🅶...🆂🅰🅻🅰🅼 🆂🅴🅷🅰🆃 🆄🆃🅺 🅱🆄 🆃🅸🅴🅽 ..🙏🙏🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ana2 wae pak Indriyanto, bagus tulisannya. Gawene piye

      Delete
  12. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Wahyudi jgn kecewa ya,,,,

    Salam sehat wal'afiat bu 🤗🥰

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun, kembang Cantikku sudah tayang.
    Salaam sehat dan bahagia selalu bersama keluarga tercinta untuk bunda Tien sayang ❤😘❤

    ReplyDelete
  14. Terimakasih Bu Tien, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  15. Aahh, kecewa deh mas Wahyudi. Gayung nya ngga bersambut..... 😆😆😆
    Jadi, bakal sama siapa kah dia berjodoh??
    Hanya Bu Tien yang tahu jawabannya.

    Sehat selalu Bu, salam dari Bandung.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo neng, gabung yukkkk ke WAG PCTK, seru lho disana Gudangnya Cerbung.

      Delete
  16. Yeeee..alhamdullilah sdh tayang KC nya..hatur nuhun bunda..slm seroja dri skbmi..slmt mlm n slmt istrht🙏😘😍🌹

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, Kembang Cantikku 33 sudah tayang.
    Terimakasih mbak Tien Kumalasari, semoga kita semua tetap sehat, bahagia, dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillaah dah tayang makasih bunda

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, salam sehat bund

    ReplyDelete
  20. Trims Bu Tien sudah menghibur salam sehat Bu tien

    ReplyDelete
  21. Wahyudiiii..... terima kasih Mbu Tien.... sehat² trs

    ReplyDelete
  22. Terimakasih mbak Tien, salam sehat selalu dan salam "aduhai".🙏

    ReplyDelete
  23. Murni berdiri menyambut, laki-laki itu menyalami Nano, tapi kemudian menatap tak acuh pada Wahyudi, bahkan menolak ketika Wahyudi mengulurkan tangan.

    Kasihan dech, Wahyudi...... jauh-2 dari kota ingin ketemu gadis idamannya, tapi ternyata....... Sudah ada cowok lain yang mendekatinya. Bagaimana kelanjutan harapan Wahyudi ?
    Yuk kita tunggu, besok malam ya.... kami sabar menunggu bunda.
    Selamat malam dan selamat beristirahat.
    Salam SEROJA dan tetap ADUHAI.......

    ReplyDelete
  24. Waw Murni meluapkan keberatannya untuk menggandeng om Wahyudi yang di nyatakan dengan memêlèngoskan diri,
    kuwi åpå lho kan pancèn wis om om tå.
    Biarpun Wahyudi ngganthêng tapi kan sudah kakak tuwa.
    Masak kalah sama kak Murti dapat yang muda, adiknya dapat om om, sorry law yau.
    Iya dèh namanya cita cita bolehlah.
    Èh belum tahu dia siapa itu Wahyudi sebenarnya.

    Asyik juga anak kecil bahkan belum paud bisa mempertemukan dua pebisnis warisan; yang berusaha saling bantu untuk memekarkan kerajaan bisnis mereka.

    Ada yang tidak takut timbilên yang takjub kegantengan Wahyudi yang kini sudah bênêr² waras, ya Sunthi yang pernah ngaku-ngaku calon istri Wahyudi, sampai Tino njêthathut, cemburu berat, untung Wahyudi menyatakan merasa lega dengan pengakuan Sunthi; karena pernyataan nya hanya menggoda tidak yang laèn, pilihan ada pada juragan bakso yang menguasai pasar.
    Pasar krêmpyêng juga pasarkan?!
    ngêyèk; lho ora yå, pancèn pasaré awan sithik sing blånjå wis arang-arang. terus masaké kapan cobå.
    Étung étung dodol nang ngarepé sekolahan ngono waé lah.

    Kan Retno sempat lihat dan mengira Qila kecil ngganggu tante Qila, yang menderu-deru rasa sukanya, sampai bingung belum dapat juga terminal induk buat parkir.

    Masih ada hari esok yang menjanjikan Yud.
    Nggak jadi iparnya Marno nggak apa-apa, siapa tahu ada perubahan sikap.


    Terimakasih Bu Tien,

    Kembang cantikku yang ke tiga puluh tiga sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta.
    🙏

    ReplyDelete
  25. Kasihan banget Wahyudi nya...

    Terima kasih bunda Tien...selamat malam ..salam Aduhai

    ReplyDelete
  26. Waduh kasian Wahyudi...

    Matur nuwun bu Tien...semoga selalu sehat, amin!

    ReplyDelete
  27. Terima kasih bunda Tien, salam sehat selalu, aduhai..

    ReplyDelete
  28. Wah Yudi kalah cepat..Trima kasih bu Tien

    ReplyDelete
  29. Kok Wahyudi di-ospek terus sih?..
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  30. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 33 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...