Friday, July 29, 2022

KEMBANG CANTIKKU 34

 

KEMBANG CANTIKKU 34

(Tien Kumalasari)

 

“Mas, ini temannya mas Nano, namanya mas Wahyudi. Salaman dong,” kata Murni memperkenalkan.

Laki-laki itu akhirnya mengulurkan tangannya, dan seperti hanya menyentuhkan ujung jarinya ke tangan Wahyudi. Wahyudi hanya tersenyum tipis.

“Ayo duduk Mas, duduklah, aku panggilkan mbak Murti dulu ya,” kata Murni ramah.

Nano dan Wahyudi duduk, tapi laki-laki itu tidak, dia menyentuh lengan Murni yang membuat Murni mengundurkan tubuhnya.

“Aku pulang saja dulu, nanti sore aku samperin kamu. Katanya kamu seneng nonton wayang?”

“Oh, aku harus bilang sama ibu dulu, boleh tidak aku keluar malam,” kata Murni.

“Nanti aku yang bilang sama ibumu, aku akan bawa mobil, supaya kamu tidak kedinginan di jalan,” katanya sambil berlalu, tanpa pamit kepada kedua tamu yang baru saja datang.

Murni sudah masuk ke dalam rumah. Nano saling pandang dengan Wahyudi, lalu keduanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Maksudnya siapa sih laki-laki itu? Sangat sok dan sombong sekali.

“Sepertinya kamu dapat saingan,” kata Nano sambil tersenyum.

“Selama belum ada janur melengkung, kenapa tidak?”

“Dia hanya menang muda,” kata Nano pelan, yang disambut tawa kecil Wahyudi.

“Kalau aku, menang apa? Menang tua kan?”

“Kamu menang dalam sopan-santun atau tata krama. Sikapnya menyebalkan,” gerutu Nano.

Wahyudi hanya menanggapi sambil berdebar. Sesungguhnya ada rasa khawatir karena tampaknya Murni sudah punya pilihan, yang pastinya lebih muda.

“Ini, oleh-oleh kok nggak dikasih ke Murni ?” kata Wahyudi mengingatkan.

“Oh, iya, biar aku bawa masuk saja,” kata Nano sambil membawa bungkusan makanan itu ke dalam. Ditengah ruangan ia bertemu Murti.

“Mas, kok lama nggak ke sini?”

“Panjang ceritanya. Ini, terima dulu, oleh-oleh buat ibu,” kata Nano sambil mengulurkan bungkusan.

“Selalu repot sih Mas. Sayangnya ibu lagi ke tempat tetangga, ada yang mau punya kerja, jadi ikut repot. Ya begini ini tradisi di kampung Mas, kalau ada yang punya kerja seluruh kampung ikut repot, terutama ibu-ibu. Ayo duduk dulu, Murni sedang membuatkan minum.”

“Yang bersama Murni tadi siapa?”

“O, tamunya itu? Itu temannya Murni, tepatnya kakak kelasnya, lulus dua tahun lalu.”

“Pacarnya?”

“Bukaan. Dia yang suka. Nggak tahu kalau Murni. Aku sih nggak suka sama dia. Sombong, mentang-mentang anak orang kaya.”

“Oo, gitu?”

Ketika Murni membawa nampan berisi suguhan minuman, Wahyudi menatapnya tak berkedip. Ada perasaan aneh dihatinya, yang membuat Wahyudi heran sendiri.

“Ada apa aku ini. Tertarik pada gadis ingusan? Lalu laki-laki tadi siapanya Murni?” kata batin Wahyudi sambil terus menatap Murni.

“Silakan diminum Mas,” katanya sambil meletakkan minuman di meja.

“Terima kasih Murni,” kata Nano.

“Mas Nano bawa mobil? Sudah punya mobil sekarang?” tanya Murni tanpa sungkan.

“Bukan, itu mobil majikan yang disuruh memakai tadi.”

“Oo,”

“Apa kamu suka laki-laki yang punya mobil?” tanya Nano.

“Ah, nggak juga.”

“Suka yang bagaimana?” tanya Nano mulai memancing-mancing.

“Yang baik lah.”

“Lalu ….”

“Yang sayang sama aku, ya kan Mbak? Katanya sambil menatap kakaknya. Murti mengangguk sambil tersenyum.

“Yang tadi itu pacar kamu?” tanya Nano terus terang.

“Tadi? Itu namanya Sartono.”

“Aku nggak tanya nama. Apa dia pacar kamu?”

“Ih, mau tahu aja,” jawab Murni sambil tersenyum dan jawaban itu membuat Wahyudi ketir-ketir.

“Iya dong, aku kan calon kakak ipar kamu. Jadi harus tahu seperti apa pilihan kamu.”

“Dia bukan siapa-siapa. Suka aja main ke sini.”

Wahyudi menghela napas lega.

“Tampaknya dia suka,” kata Nano sok tahu.

“Nggak tahu aku. Kalau dia suka, ya biarin saja.”

“Bagaimana dengan kamu?”

“Mas Nano sukanya mancing-mancing ya. Kalau aku suka bagaiman, kalau tidak bagaimana,” jawab Murni enteng.

“Aku hanya ingin yang terbaik untuk adik ipar aku. Eh, calon adik ipar aku.”

“Tidak baikkah dia, menurut Mas?”

“Aku kan baru ketemu tadi.”

“Apakah dia baik? Biarpun baru ketemu kan kelihatan, dia itu baik atau tidak.”

“Kalau boleh berterus terang, aku melihatnya, dia itu kurang baik untuk kamu.”

“Dari mana Mas melihatnya?”

“Hanya sekilas sih, tapi sikap seseorang, apalagi menghadapi orang lain, harusnya lebih santun. Baru itu yang aku lihat.”

Murni mengerucutkan bibirnya.

“Kenapa? Kamu tersinggung?”

Murni menggelengkan kepalanya.

“Dia juga terkadang kasar. Apalagi kalau kemauannya tidak dituruti.”

“Nah.”

“Dia itu anak orang kaya Mas, sawahnya berhektar-hektar. Pantas saja dia sombong,” sambung Murti.

“Mbak Murti sangat tidak suka kalau dia datang,” kata Murni lagi.

Wahyudi meneguk teh dalam gelas yang dihidangkan di hadapannya.

“Hm, manis ….” Katanya sambil meletakkan gelas setelah dia meneguknya beberapa teguk.

“Terlalu manis ya?” tanya Murni.

“Tidak.”

“Mas Yudi suka yang manis ya?” tanya Murti.

“Iya lah, masa suka yang pahit. Jamu dong,” canda Nano yang mengerti arah kata-kata Wahyudi. Bisa jadi yang manis adalah wajah Murni, atau sikap Murni dan kakaknya yang tidak suka pada laki-laki itu. Yang jelas terasa manis dan menyenangkan.

Murti dan Murni tertawa kecil.

“Nanti makan siang di sini ya, tadi aku sama Murni masak lho.”

“Benarkah? Pasti enak dong,” kata Wahyudi.

“Tapi ya masakan orang desa lho Mas, cuma sayur gudeg, sambal terasi sama ikan asin.”

“Waah, itu cocok, aku suka,” kata Wahyudi.

“Bohong. Orang kota mana suka masakan orang desa?”

“Kata siapa? Masakan kampung itu nikmat lho, dan ngangenin,” kata Wahyudi sambil meneguk lagi minumannya.

“Terutama sama yang masak,” sambung Nano. Wahyudi tersedak, karena sebelumnya dia bilang kangen sama Murni.

“Eh, Mas, hati-hati minumnya.”

“Biar aku tata dulu makan siangnya ya,” kata Murni sambil masuk ke dalam rumah.

“Murni itu terkadang masih seperti anak-anak," kata Murti.

“Memang dia masih kanak-kanak kan?”

“Minggu depan dia ujian. Nggak tahu apa dia ingin melanjutkan sekolahnya atau tidak.”

“Wahyudi mau melamar Murni,” kata Nano tiba-tiba. Wahyudi memukul bahu Nano dan memelototinya. Murti tertawa melihatnya.

“Tidak apa-apa Mas, kalau mau sama gadis desa,” kata Murti.

“Kalau Murni ingin melanjutkan kuliah, dia sanggup menunggu kok.”

Lagi-lagi Wahyudi ingin memprotes karena Nano membuatnya tersipu.

“Tidak apa-apa, lebih dulu berterus terang kepada kakaknya, supaya dia bisa membantu membujuk adiknya,” sambung Nano seenaknya.

Murti mengangguk.

“Aku ingin Murni mendapatkan suami yang baik, yang bisa berpikiran dewasa.”

“Ayo silakan makan, semua sudah siap,” tiba-tiba Murni muncul dari belakang.

“Tidak menunggu ibu dulu?”

“O, ibu pasti pulang sore Mas, selalu begitu kalau sedang ada yang punya kerja.”

“Baiklah, nanti kalau ibu pulang aku mau bicara tentang hubungan kita. Kamu siap menjadi istriku?” tanya Nano.

Murti tersipu, wajahnya bersemu merah.

“Bagaimana nanti kata ibu saja. Bicaralah Mas sama ibu,” kata Murti yang kemudian berdiri, mempersilakan tamunya untuk makan.

***

Keluarga bu Mantri juga sedang sibuk, menjelang pernikahan Wuri dan Budiono yang sudah tinggal beberapa minggu lagi. Wuri bolak balik ke rumah Wahyudi, tapi dia selalu pulang dengan wajah kesal karena hari sudah sore, tapi Wahyudi belum tampak pulang.

“Kemana sih tuh orang? Berangkat pagi-pagi, jam segini belum juga pulang,” gerutunya.

“Ada apa sih, sejak tadi kamu uring-uringan terus?”

“Itu lho Bu, sudah jam segini, mas Yudi belum juga pulang.”

“Memangnya kenapa? Dia kan juga butuh hiburan, tidak selalu ada di rumah biarpun ini hari minggu.”

“Aku tuh kemarin sudah minta mas Yudi untuk mengantarkan belanja untuk kebutuhan aku. Dia sudah bilang ‘iya’, tapi mana buktinya. Pasti dia lupa. Apa kumat lagi lupa ingatannya?”

“Hush, kamu tuh bicara sembarangan. Ya jangan begitu. Ingat, nak Yudi itu sebenarnya bukan siapa-siapa kamu, nggak boleh dong terlalu tergantung sama dia.”

“Wuri tuh sama mas Yudi kan sudah seperti saudara.”

“Seperti kan? Seperti itu bukan beneran. Jangan begitu dong nduk, kasihan nak Yudi.”

“Ada apa dengan mas Yudi?” bu Mantri dan Wuri terkejut, Budiono tiba-tiba sudah ada di dalam rumah.

“Nak Budi, kok nggak dengar nak Budi datang?”

“Iya tuh, seperti siluman saja, tiba-tiba muncul.”

“Eh, masa sih, ngatain ‘siluman’ sama calon suami?” omel Budi.

Wuri terkekeh, sambil mengajak Budi ke ruang tengah.

“Maaf deh, habis mas Budi ngagetin saja.”

“Aku sudah ngucapin salam di depan, sampai berkali-kali, nggak ada yang dengar, ya sudah aku masuk saja.”

“Iya, lagi ngomongin mas Yudi, pergi dari pagi sampai sore belum pulang juga.”

“Ketemu pacarnya, barangkali.”

“Oh ya? Seneng dong kalau mas Yudi benar-benar punya pacar.”

“Barangkali kok, siapa tahu benar.”

“Nanti aku mau nanya deh. Semoga benar, jadi besok mereka bisa menjadi pendamping kita saat menikah.”

“Iya juga ya.”

“Mas Budi lagi repot nggak?”

“Repot kenapa?”

“Aku mau belanja sedikit, tadinya nungguin mas Yudi karena sudah janji mau nganterin.”

“Aku antar saja deh.”

“Baiklah, terima kasih ya, aku sudah siap sebenarnya, aku pamit ibu dulu.”

Budiono sangat bahagia. Akhirnya hari yang ditunggu akan segera tiba. Sudah lama dia ingin mempersunting Wuri, dan Wuri menolaknya karena Wahyudi belum ketahuan dimana rimbanya.

***

Wahyudi memang belum pulang, karena Nano kemudian mengajak jalan-jalan sampai sore. Sang ibu yang sedang menyiapkan minum yang baru dan diletakkan di meja depan, terkejut ketika seseorang menyapanya.

“Selamat sore Bu.”

“O, nak Sartono?”

“Iya Bu, Murni ada?”

“Murni sedang jalan-jalan sama kakaknya dan calon kakak iparnya.”

“Dan sama salah seorang yang bernama Wahyudi?” tanyanya dengan wajah kesal.

“Iya Nak, tadi kan datangnya sama-sama Marno, jadi ya mereka pergi bersama-sama. Ada perlu apa Nak, nanti kalau Murni sudah pulang akan saya sampaikan.”

“Tadi sudah janjian mau nonton wayang di kelurahan Bu.”

“Wah, kalau malam-malam mana bisa mengajak Murni pergi? Saya melarang anak gadis saya bepergian malam-malam.”

“Memangnya kenapa kalau pergi malam? Kan tidak sendirian perginya. Lagipula saya membawa mobil.”

“Sendirian atau ada temannya, saya melarang anak saya pergi malam-malam. Kecuali kalau ada perlu, dan itu harus bersama saya.”

“Ibu ini bagaimana? Sekarang Murni sedang pergi bersama laki-laki lain yang tidak jelas siapa, mengapa ibu ijinkan?”

“Perginya kan siang. Lagipula  dia bersama calon kakak iparnya kok.”

“Kalau begitu biar saya menunggu dia saja di sini. Kan kami sudah janjian.”

“Tidak mungkin Murni berjanji sebelum minta ijin sama saya Nak. Tolong jangan memaksa. Nak Sartono boleh main ke sini kalau siang. Tapi tidak boleh mengajaknya ke mana-mana.”

“Ibu ini sangat kolot ya, biarpun tinggal di desa ya jangan terlalu kolot lah, jamannya sudah maju nih Bu, kalau terlalu dikekang, anak Ibu bisa menjadi perawan tua lho.”

Bu Lasminah sangat tersinggung mendengar Sartono seperti mengguruinya.

“Nak Sartono, boleh jadi sampeyan pintar, anak orang kaya, dan saya hanya perempuan dusun yang bodoh dan tidak berpendidikan. Saya tidak peduli dunia luar yang penuh kemajuan itu seperti apa, tapi saya punya aturan bagi keluarga saya. Saya seorang janda, memiliki dua anak gadis yang harus saya jaga seperti saya menjaga mutiara. Saya melarang anak saya pergi dengan sembarang orang, apalagi dengan orang yang tidak sopan seperti sampeyan,” katanya sambil sesekali menuding ke arah wajah Sartono.

“Jadi ibu mengatai saya sebagai orang sembarangan? Ibu tidak mengenal siapa orang tua saya?” kata Sartono berteriak karena sangat marah merasa ada orang berani merendahkannya.

“Sampeyan memang bukan sembarang orang karena orang tua sampeyan punya nama di desa ini. Nama karena kekayaan yang dimiliki, tapi sikap sampeyan yang melecehkan orang miskin seperti saya ini  membuat penilaian saya terhadap sampeyan menjadi sangat rendah, dan saya menganggap sampeyan adalah sembarang orang,” kata bu Lasminah dengan berani.

Tiba-tiba Sartono maju selangkah dan dengan keras mendorong tubuh bu Lasminah sehingga perempuan setengah tua itu jatuh terjengkang.

“Addduuuhhh..”  jeritnya kesakitan, karena kepalanya terantuk kursi.

“Ini hanyalah pelajaran awal bagi sampeyan, lain kali saya akan memberikan pelajaran yang lebih keras. Jangan coba-coba meremehkan saya,” ancamnya dengan mata melotot.

Bu Lasminah memegangi kepalanya, dan berusaha bangun, tapi Sartono kembali mendorongnya.

“Aduuh….!”

Tiba-tiba sebuah pukulan menghantam tengkuk Sartono, membuat laki-laki congkak itu terhuyung ke depan. Beruntung bu Lasminah sudah berhasil bangkit, kalau tidak pasti tubuh kekar itu sudah menindih tubuhnya. Tapi dahi si sombong itu kemudian terantuk dudukan kursi.

***

Besok lagi ya.

40 comments:

  1. Trimakasih Kembang Cantikku 34 sdh tayang
    Mojok dulu ah...

    ReplyDelete
  2. Makasih Bunda untuk cerbungnya.Sehat selalu dan met beristirahat

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah Uti Nani number one

    Sugeng dalu bunda Tien
    Matur nuwun
    Tetap sehat dan ADUHAI

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh muncul.
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu...

    ReplyDelete
  5. Alhamdulilah matur nuwun mbak Tienkumalasari sayang salam aduhaai dari Lampung

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU~34 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  8. Alhamdullilah..KC 34 sdh tayang..terima msih bunda tien🙏slmr mlm dan slm istrht..lamdusel n lamseroja dri skbmi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  9. alhamdulilah...KC dah hadir...suwun bunda Tien

    ReplyDelete
  10. Loh loh kok kasar sama orang tua.....trims Bu Tien udah menghibur

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun mbak Tien-ku, Kembang Cantikku sudah tayang.
    Waduh... terjadi baku hantam lagi. Tapi biarlah yang salah segera seleh.
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  13. Untung ada yang nolong, semoga baik² saja.

    Wah kalau itu anak kesasar tenan, jian nontonaké polahé sing kesasar.

    Bawa saja ke Polsek tuduh penganiayaan beres.
    Baru di bilang Marno; èh bênêr kejadian, orang punya perilaku nggabênêr gitu.

    Kalau nggak di proses; kesombongannya nambah, bakalan jumawa, persoalan bisa panjang nich.


    Terimakasih Bu Tien,

    Kembang cantikku yang ke tiga puluh empat sudah tayang, sehat-sehat selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 34 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, terima kasih bunda Tien, salam sehat dan semangat💪💪

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, matursuwun. Salam sehat selalu bu Tien

    ReplyDelete
  17. Tiba-tiba sebuah pukulan menghantam tengkuk Sartono, membuat laki-laki congkak itu terhuyung ke depan. Beruntung bu Lasminah sudah berhasil bangkit, kalau tidak pasti tubuh kekar itu sudah menindih tubuhnya. Tapi dahi si sombong itu kemudian terantuk dudukan kursi.

    Rasain.... tahu rasa loe Sartono.....
    Orang sombong, pengin jadi menantu kok sikapnya sama calon mertua begitu ??
    Bukannya merayu "Camernya" supaya diijinin anaknya dibawa jalan-jalan....

    ReplyDelete
  18. Puji Tuhan, ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip sehingga KC 34 hadir bagi kami para penggandrungnya.

    Syukur juga karakter kurang baik Sartono ketahuan dini. Semoga membuatnya sadar dari sombong dan kasarnya. Semoga peristiwa ini berhikmah kelancaran hubungan Murti - Marno maupun Wahyudi - Murni.

    Matur nuwun, Berkah Dalem.

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah,, Matur nuwun bu Tien
    Waduh ,,,tambah penasaran,,,

    Salam sehat wal'afiat untuk semua ya bu 🤗🥰

    ReplyDelete
  20. Makasih mba Tien.
    Salam sehat selalu , aduhai

    ReplyDelete
  21. Terimakasih bunda Tien... Selamat tahun baru, mugi semakin sukses dan lancar... Sehat selalu...

    ReplyDelete
  22. Nano datang...
    Terima kasih mbak Tien...

    ReplyDelete
  23. Terimakasih bu Tien, semoga bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  24. Keterlaluan anak muda berani menyakiti wanita tua.....

    ReplyDelete
  25. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga selalu sehat penuh barakah, aamiin...

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...