SETANGKAI BUNGAKU
07
(Tien Kumalasari)
“Toloong,” Pratiwi berteriak lagi. Bu Kasnah berhenti
melangkah.
“Ada apa?” tanyanya kebingungan.
“Jambret bu, tas punya Tiwi dijambret …”
“Waduh, isinya apa?”
“Isinya uang
Bu, uang buat belanja besok, uang dari ibu siang tadi, dan uang dari pak Luminto.,”
kata Pratiwi setengah terisak.
Sementara itu Roy dan Ardian yang hampir sampai ke
rumah, melihat bu Kasnah dan Pratiwi, serta mendengar Pratiwi berteriak-teriak.
“Toloong, jambreeeet.”
“Jambret?”
Ardian segera memutar mobilnya, memacunya kencang.
Jalanan tampak lurus, tapi sudah agak sepi. Ada pengendara sepeda motor berlari
kencang, dan ada yang meneriakinya.
“Itu. Pasti itu jambretnya.”
“Waduh, bisa tersusul nggak nih, dia sudah jauh. Belum
lagi kalau dia belok,” keluh Ardian.
Tapi Ardian terus memacu mobilnya, sambil membunyikan
klaksonnya panjang-panjang, berharap si jambret panik.
Dan itu benar, ketika di sebuah belokan dia ingin ke
kiri, tiba-tiba sepeda motornya oleng dan terjatuh.
Ardian semakin dekat. Pengendara sepeda motor itu
berusaha bangkit lagi, tapi keburu mobil Ardian sudah sampai di depannya. Roy
melompat turun.
“Kamu jambret kan?”
“Buk ..bukan … bukan … tadi ke sana, aku melihatnya,”
katanya mencoba mengelak, lalu berusaha naik ke atas sepeda motor yang mesinnya masih hidup. Tapi Roy segera menariknya, sehingga si jambret terjerembab jatuh. Dan
tas kecil yang semula disembunyikan di balik baju kaosnya, terlempar. Ardian
mengambilnya.
“Ini punya siapa?” hardik Ardian.
Roy tak sabar, segera menghajar jambret itu sehingga jatuh
tersungkur.
“Ampuun, maafkan saya. Saya … terpaksa melakukannya.”
“Terpaksa Terpaksa menjadi jambret? Maling? Lalu apa
lagi?”
“Tidak, baru sekali ini, itu karena anak saya sakit,
saya tidak bisa membeli obatnya. Tolong maafkan saya,” katanya menghiba.
“Bohong!!” bentak Roy sambil menempeleng wajahnya
lagi.
“Auggh, tolong lepaskan saya, istri saya menunggu.
Sungguh, saya berani sumpah. Rumah saya tidak jauh dari sini, sampeyan boleh
melihatnya. Anak saya … butuh obat …” rintihnya.
“Baiklah, kamu boleh pulang, aku akan mengikuti kamu.
Kalau sampai kamu bohong, maka aku tidak hanya akan menghajarmu, tapi juga
menghabisimu!” ancam Roy dengan bengis.
“Baik, baiklah …. “
Laki-laki itu masih muda, kalau dia bilang anak dan
istri, pastinya belum lama menikah dan anaknya masih kecil. Ardian
mengikutinya, lalu laki-laki itu masuk ke halaman kecil, dan rumah sederhana
yang pintunya tertutup.
“Laki-laki itu mengetuk pintunya, seorang wanita muda
keluar sambil menggendong bayi yang merintih-rintih.”
“Bagaimana Mas? Kita ke dokter? Badannya semakin panas,”
keluh istrinya yang tidak melihat betapa wajah suaminya lebam-lebam.
“Aku … tidak berhasil mendapatkan uang,” keluhnya
lemah, sambil meminta anaknya dari gendongan istrinya.
“Panas sekali.”
“Lalu bagaimana ini?” sang istri mulai menangis.
Tiba-tiba Ardian dan Roy mendekat.
“Bu, bawa anaknya masuk ke mobil, saya akan
mengantarkan ke rumah sakit,” kata Ardian.
“Apa? Anda siapa?”
“Sudahlah, nanti tanyakan pada suami Ibu, siapa saya.
Yang penting anak Ibu harus segera mendapat penanganan.”
“Tapi … kami tak punya uang,” isak sang istri.
“Sudahlah, nanti kami akan membayar semua biayanya.”
“Ayo Bu, kita menurut saja,” kata suaminya lemah, yang
mau tidak mau menuruti kemauan kedua orang yang baru saja menghajarnya, tapi
kemudian ingin menolongnya.
Sang istri mengangguk. Ia mengikuti suaminya yang
sudah masuk ke mobil terlebih dulu. Tak terpikirkan apa yang nanti akan
terjadi, yang penting anaknya segera mendapat pengobatan.
Di sepanjang perjalanan, terdengar si bayi
meringik-ringik, dan sang ibu berusaha menenangkannya.
Ardian menghentikan mobilnya di halaman rumah sakit,
lalu meminta petugas untuk membawa si anak ke ruang IGD.
Roy menuju ke pendaftaran, setelah menanyakan nama
laki-laki itu dan bayinya. Ia meninggalkan sejumlah uang, dan juga kartu
namanya.
“Rawat bayi itu sampai sembuh. Kalau ada kekurangan,
telpon saya,” pesan Roy.
Laki-laki itu duduk di samping istrinya dengan wajah
pucat. Rupanya sang istri baru melihat wajah suaminya yang lebam matang biru,
kemudian sang suami menerangkan apa yang terjadi. Perasaan malu mendera sang
istri, yang kemudian mendekati Ardian dan bersimpuh di hadapannya.
“Hei, apa yang Ibu lakukan?”
“Mohon maafkanlah suami saya,” isaknya.
“Berdiri lah, kami sudah melupakannya. Lain kali kami
harap suami ibu melakukan hal yang baik walaupun keadaan memaksa,” pesan
Ardian.
“Iya, saya bingung, saya khilaf,” kata laki-laki itu
yang kemudian ikut berlutut.
“Sudah, sudah … berdirilah, saya sudah membayar semua
biaya, kalian tidak usah khawatir. Sekarang kami akan pulang untuk mengembalikan
dompet ini,” kata Ardian sambil memberikan beberapa lembar uang ratusan kepada
laki-laki tersebut, yang tentu saja tidak ditolaknya karena mereka membutuhkannya.
Mereka kembali membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih.
“Ternyata Bapak-Bapak adalah orang yang berhati mulia,
terima kasih Pak, terima kasih.”
***
Pratiwi terisak di sebuah kursi tua, sementara yu
Kasnah duduk di depannya.
“Ya sudah, mengapa kamu menangis? Barang yang sudah
hilang ya sudah, ikhlaskan saja.”
“Nano minta uang untuk membayar sekolah, saya janji
besok pagi. Dan uang itu ada di tas kecil yang dijambret. Semuanya. Besok kita
tidak bisa jualan Bu,”
“Sebuah cobaan tidak harus membuat kita jatuh dan tak
mampu bangkit lagi. Percayalah bahwa Allah pasti akan memberi jalan untuk kita.
Hentikan tangismu, nanti adikmu mendengar, lalu dia mogok tidak mau sekolah
seperti beberapa waktu yang lalu. Tahu kita tak punya uang waktu dia meminta,
lalu dia memilih berhenti sekolah. Jangan sampai hal itu terjadi. Hentikan
tangismu.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita juga belum
bayar sewa rumah, dua hari lagi pasti ditagih.
“Masih ada uang sedikit di bawah bantal ibu. Entah
berapa, cukup atau tidak untuk bayar sekolah Nano.”
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
“Aduh, siapa lagi itu, jangan dibuka, ini sudah malam,
jangan-jangan orang jahat,” kata yu Kasnah khawatir.
“Tiwi … buka pintunya Tiwi …”
“Suara siapa itu? Seperti suara putranya pak Luminto?”
kata yu Kasnah yang kemudian memberi isyarat agar Pratiwi membukakan pintu.
“Ada apa malam-malam kemari?” gerutu Pratiwi sambil
menuju ke arah pintu dan membukanya.
“Mas Roy? Mas Ardian? Ada apa malam-malam datang
kemari?” tegur Pratiwi.
“Aku mau mengembalikan ini,” kata Ardian sambil
menyerahkan tas kecil milik Pratiwi. Tentu saja Pratiwi terkejut.
“Ini? Ini tas saya?”
“Coba lihat, punya kamu atau bukan, kalau bukan, akan
aku kembalikan sama penjambret itu,” goda Ardian.
“Ini, memamg punya saya.”
“Ada apa, suruh mereka masuk,” kata yu Kasnah.
“Masuklah Mas, aduh, bagaimana Mas bisa mengambil
kembali tas saya?”
“Tas kamu kembali Wi?”
“Iya Bu, ini, isinya masih utuh. Entah bagaimana mas Ardian bisa membawanya
kembali.”
“Bagaimana pula nak Ardian dan nak Roy bisa tahu kalau
tas Pratiwi dijambret?”
Pratiwi mempersilakan keduanya duduk.
“Kami baru pulang dari pengajian di rumah Aira, lalu
kebetulan melihat peristiwa itu.”
“Oh, jadi Mas melihatnya? Lalu mengejarnya?”
“Iya benar. Tapi kasihan benar. Jambret itu ternyata
melakukannya dengan terpaksa, karena anaknya sakit.”
“Apa? Menjambret dengan alasan anaknya sakit?”
Lalu Ardian menceritakan semua yang terjadi, sampai
dia mengantarkan anak si jambret tersebut ke rumah sakit.
“Ya ampun, kasihan bener kalau begitu. Tahu begitu
kenapa nggak minta saja, aku tidak keberatan memberi sebagian uangku,” gumam
Pratiwi.
“Kami sudah membawanya ke rumah sakit, dan membayar
semua biayanya.”
“Syukurlah kalau begitu. Mendengar kisahnya kok ya
jadi kasihan ya Bu.”
“Iya, biarpun kita tak punya, kalau memang harus
berbagi, mengapa tidak?” sambung yu Kasnah yang sudah merasa lega, uangnya tak
jadi hilang.
***
Pagi hari itu, sebelum berangkat ke kantor, Roy
bercerita dengan heboh tentang petualangannya bersama Ardian, semalam. Bukannya
senang, Ratna justru khawatir.
“Kamu itu jangan suka nekat begitu Roy, melawan
jambret tidak sekedar menangkap kemudian memukulinya. Kadang-kadang dia membawa
senjata. Kalau melawan, bagaimana?”
“Tidak Bu, jambret itu bukan jambret profesional,”
jawab Roy sambil tertawa.
“Apa maksudmu?” tanya Sasmi.
“Dia menjambret karena butuh uang, anaknya sakit.”
“Itu kan alasannya?”
“Tidak. Kami mengikutinya sampai di rumahnya, dan
ternyata benar, anaknya sakit, istrinya sampai nangis-nangis.”
“Lalu kamu beri mereka uang?” tanya ayahnya.
“Kami mengantarkan mereka ke rumah sakit, tampaknya
anaknya butuh perawatan.”
“Biayanya?”
“Sudah, Bapak jangan khawatir. Kami sudah menyelesaikannya,”
sambung Ardian.
“Syukurlah. Betul begitu, menolong orang jangan setengah-setengah.
Apa lagi dia memang butuh pertolongan.”
“Kami kan putra Bapak, jadi kami melakukan apa yang
selalu Bapak lakukan, ya kan Ar?” kata
Roy. Ardian hanya mengangguk.
“Kasihan kalau tas Pratiwi benar-benar hilang, mereka
kan dari sini, sudah agak malam juga,” kata Sasmi.
“Oh iya, yu Kasnah memijit Bapak semalam kan?”
“Itu sebabnya Pratiwi tidak bisa datang di acara pengajian,
semalam.”
“O, itu sebabnya?” tukas Ardian.
“Pantesan Bondan nggak datang bersama Pratiwi, rupanya
Pratiwi menolak.”
“Siapa Bondan?”
“Bondan itu kakaknya Aira.”
“Kalian juga kenal?”
“Baru saja kenalnya, sebelum ini kan Aira tidak pernah
memperkenalkan kakaknya.”
“Ya sudah, ayo kita berangkat, nanti kesiangan sampai
di kantor,” kata pak Luminto.
***
Ketika pulang dari sekolah, Nano memberikan kartu
pembayaran sekolah yang sudah dibayarkan.
“Bagus No, alhamdulillah sudah terbayar. Kamu belajar
yang rajin ya, sebentar lagi kenaikan kelas.”
“Tapi Mbak, tadi ada pengumuman, bahwa nanti akan ada
pendaftaran ulang, sebelum masuk ke kelas baru.”
“Pendaftaran ulang? Seperti tahun-tahun sebelumnya ya?”
Pratiwi ingat, bahkan bukan untuk Nano, tapi dirinya sendiri
juga, bahwa setiap memasuki tahun ajaran baru harus melakukan daftar ulang,
yang bagi keluarga yu Kasnah, pembayaran itu cukup berat. Tapi Pratiwi selalu
bisa menyisihkannya untuk itu. Hanya saja, kali ini berbarengan dengan saat
harus bayar sewa rumah.
“Bagaimana Mbak?”
“Apa?” Pratiwi terkejut karena sedang melamun.”
“Itu, uang daftar ulang.”
“Oh iya, apa harus dibayar sekarang?”
“Katanya paling lambat Minggu depan.”
“Baiklah, berarti masih ada waktu untuk mengumpulkan
uang lagi. Kamu jangan khawatir. Yang penting, tugas kamu harus belajar dan
berhasil. Ya No.”
Nano mengangguk senang kemudian meninggalkan kakaknya
yang sedang menata sisa dagangannya di dapur, sambil melamun.
“Dagangan sedang sepi, karena ada pesaing. Tidak
apa-apa sih sebenarnya, kan rejeki yang mengatur dari Atas Sana. Tapi kalau
kebutuhan menumpuk, bagaimana? Sementara penghasilan ibu memijit juga tidak
bisa terlalu diharapkan, apalagi ibu kan sudah tua, kalau terlalu sering
memijit juga pasti kecapekan. Kalau aku harus mencari pekerjaan lain, kemana
yang bisa menghasilkan uang lebih banyak? Lulusan SMA tidak bisa berharap
mendapat penghasilan lebih. Paling juga sama dengan penghasilan aku jualan,
atau bahkan lebih sedikit.”
“Tiwi,” suara ibunya dari arah depan.
Pratiwi segera mendekat.
“Ya Bu.”
“Barusan tetangga sebelah bilang, ada saudaranya yang
datang dari luar kota, minta dipijit malam nanti.”
“Oh, dekat kan, rumah bu Mirna?”
“Bukan di situ, saudaranya menginap di hotel.”
“Hotal mana?”
“Agak jauh katanya, tapi dia bersedia mengantar.”
“Sebaiknya tidak usah saja Bu, Ibu sudah memijit terus
selama tiga malam ini. Kalau nanti memijit lagi, nanti ibu kecapekan.”
“Tapi aku sudah bilang bersedia tuh.”
“Jangan Bu, jaga kesehatan Ibu. Nanti kalau Ibu
kecapekan, lalu sakit, malah tidak bisa memijit lagi.”
“Tapi ibu sudah berjanji.”
“Nanti Tiwi yang bilang, bahwa Ibu harus istirahat, gitu.”
“Katanya Nano butuh uang.”
“Benar, tapi bukan dengan memeras keringat, bagi ibu
itu berat. Bukankah memijit itu mengeluarkan tenaga besar?”
“Iya sih. Ya sudah, terserah kamu saja. Asal kamu
bilang baik-baik, jangan sampai membuat orang tersinggung.”
“Iya Bu, Tiwi mengerti.
***
Pagi hari itu Tiwi baru saja membersihkan tempat dia
berjualan, karena sudah sepi pembeli. Tiba-tiba, bu Margono pemilik rumah
datang mendekat.
“Tiwi, kamu kan tidak lupa, bahwa sekarang saatnya
membayar sewa rumah?”
“Oh iya Bu, saya ingat kok.”
“Tapi begini Wi, karena aku sedang butuh uang, aku
minta untuk kali ini dibayar dobel dua tahun ya?”
“Dua tahun?”
***
Besok lagi ya.