Tuesday, January 31, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 07

 

SETANGKAI BUNGAKU  07

(Tien Kumalasari)

 

“Toloong,” Pratiwi berteriak lagi. Bu Kasnah berhenti melangkah.

“Ada apa?” tanyanya kebingungan.

“Jambret bu, tas punya Tiwi dijambret …”

“Waduh, isinya apa?”

 “Isinya uang Bu, uang buat belanja besok, uang dari ibu siang tadi, dan uang dari pak Luminto.,” kata Pratiwi setengah terisak.

Sementara itu Roy dan Ardian yang hampir sampai ke rumah, melihat bu Kasnah dan Pratiwi, serta mendengar Pratiwi berteriak-teriak.

“Toloong, jambreeeet.”

“Jambret?”

Ardian segera memutar mobilnya, memacunya kencang. Jalanan tampak lurus, tapi sudah agak sepi. Ada pengendara sepeda motor berlari kencang, dan ada yang meneriakinya.

“Itu. Pasti itu jambretnya.”

“Waduh, bisa tersusul nggak nih, dia sudah jauh. Belum lagi kalau dia belok,” keluh Ardian.

Tapi Ardian terus memacu mobilnya, sambil membunyikan klaksonnya panjang-panjang, berharap si jambret panik.

Dan itu benar, ketika di sebuah belokan dia ingin ke kiri, tiba-tiba sepeda motornya oleng dan terjatuh.

Ardian semakin dekat. Pengendara sepeda motor itu berusaha bangkit lagi, tapi keburu mobil Ardian sudah sampai di depannya. Roy melompat turun.

“Kamu jambret kan?”

“Buk ..bukan … bukan … tadi ke sana, aku melihatnya,” katanya mencoba mengelak, lalu berusaha naik ke atas sepeda motor yang mesinnya masih hidup. Tapi Roy segera menariknya, sehingga si jambret terjerembab jatuh. Dan tas kecil yang semula disembunyikan di balik baju kaosnya, terlempar. Ardian mengambilnya.

“Ini punya siapa?” hardik Ardian.

Roy tak sabar, segera menghajar jambret itu sehingga jatuh tersungkur.

“Ampuun, maafkan saya. Saya … terpaksa melakukannya.”

“Terpaksa Terpaksa menjadi jambret? Maling? Lalu apa lagi?”

“Tidak, baru sekali ini, itu karena anak saya sakit, saya tidak bisa membeli obatnya. Tolong maafkan saya,” katanya menghiba.

“Bohong!!” bentak Roy sambil menempeleng wajahnya lagi.

“Auggh, tolong lepaskan saya, istri saya menunggu. Sungguh, saya berani sumpah. Rumah saya tidak jauh dari sini, sampeyan boleh melihatnya. Anak saya … butuh obat …” rintihnya.

“Baiklah, kamu boleh pulang, aku akan mengikuti kamu. Kalau sampai kamu bohong, maka aku tidak hanya akan menghajarmu, tapi juga menghabisimu!” ancam Roy dengan bengis.

“Baik, baiklah …. “

Laki-laki itu masih muda, kalau dia bilang anak dan istri, pastinya belum lama menikah dan anaknya masih kecil. Ardian mengikutinya, lalu laki-laki itu masuk ke halaman kecil, dan rumah sederhana yang pintunya tertutup.

“Laki-laki itu mengetuk pintunya, seorang wanita muda keluar sambil menggendong bayi yang merintih-rintih.”

“Bagaimana Mas? Kita ke dokter? Badannya semakin panas,” keluh istrinya yang tidak melihat betapa wajah suaminya lebam-lebam.

“Aku … tidak berhasil mendapatkan uang,” keluhnya lemah, sambil meminta anaknya dari gendongan istrinya.

“Panas sekali.”

“Lalu bagaimana ini?” sang istri mulai menangis.

Tiba-tiba Ardian dan Roy mendekat.

“Bu, bawa anaknya masuk ke mobil, saya akan mengantarkan ke rumah sakit,” kata Ardian.

“Apa? Anda siapa?”

“Sudahlah, nanti tanyakan pada suami Ibu, siapa saya. Yang penting anak Ibu harus segera mendapat penanganan.”

“Tapi … kami tak punya uang,” isak sang istri.

“Sudahlah, nanti kami akan membayar semua biayanya.”

“Ayo Bu, kita menurut saja,” kata suaminya lemah, yang mau tidak mau menuruti kemauan kedua orang yang baru saja menghajarnya, tapi kemudian ingin menolongnya.

Sang istri mengangguk. Ia mengikuti suaminya yang sudah masuk ke mobil terlebih dulu. Tak terpikirkan apa yang nanti akan terjadi, yang penting anaknya segera mendapat pengobatan.

Di sepanjang perjalanan, terdengar si bayi meringik-ringik, dan sang ibu berusaha menenangkannya.

Ardian menghentikan mobilnya di halaman rumah sakit, lalu meminta petugas untuk membawa si anak ke ruang IGD.

Roy menuju ke pendaftaran, setelah menanyakan nama laki-laki itu dan bayinya. Ia meninggalkan sejumlah uang, dan juga kartu namanya.

“Rawat bayi itu sampai sembuh. Kalau ada kekurangan, telpon saya,” pesan Roy.

Laki-laki itu duduk di samping istrinya dengan wajah pucat. Rupanya sang istri baru melihat wajah suaminya yang lebam matang biru, kemudian sang suami menerangkan apa yang terjadi. Perasaan malu mendera sang istri, yang kemudian mendekati Ardian dan bersimpuh di hadapannya.

“Hei, apa yang Ibu lakukan?”

“Mohon maafkanlah suami saya,” isaknya.

“Berdiri lah, kami sudah melupakannya. Lain kali kami harap suami ibu melakukan hal yang baik walaupun keadaan memaksa,” pesan Ardian.

“Iya, saya bingung, saya khilaf,” kata laki-laki itu yang kemudian ikut berlutut.

“Sudah, sudah … berdirilah, saya sudah membayar semua biaya, kalian tidak usah khawatir. Sekarang kami akan pulang untuk mengembalikan dompet ini,” kata Ardian sambil memberikan beberapa lembar uang ratusan kepada laki-laki tersebut, yang tentu saja tidak ditolaknya karena mereka membutuhkannya. Mereka kembali membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih.

“Ternyata Bapak-Bapak adalah orang yang berhati mulia, terima kasih Pak, terima kasih.”

***

Pratiwi terisak di sebuah kursi tua, sementara yu Kasnah duduk di depannya.

“Ya sudah, mengapa kamu menangis? Barang yang sudah hilang ya sudah, ikhlaskan saja.”

“Nano minta uang untuk membayar sekolah, saya janji besok pagi. Dan uang itu ada di tas kecil yang dijambret. Semuanya. Besok kita tidak bisa jualan Bu,”

“Sebuah cobaan tidak harus membuat kita jatuh dan tak mampu bangkit lagi. Percayalah bahwa Allah pasti akan memberi jalan untuk kita. Hentikan tangismu, nanti adikmu mendengar, lalu dia mogok tidak mau sekolah seperti beberapa waktu yang lalu. Tahu kita tak punya uang waktu dia meminta, lalu dia memilih berhenti sekolah. Jangan sampai hal itu terjadi. Hentikan tangismu.”

“Lalu apa yang harus kita lakukan? Kita juga belum bayar sewa rumah, dua hari lagi pasti ditagih.

“Masih ada uang sedikit di bawah bantal ibu. Entah berapa, cukup atau tidak untuk bayar sekolah Nano.”

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

“Aduh, siapa lagi itu, jangan dibuka, ini sudah malam, jangan-jangan orang jahat,” kata yu Kasnah khawatir.

“Tiwi … buka pintunya Tiwi …”

“Suara siapa itu? Seperti suara putranya pak Luminto?” kata yu Kasnah yang kemudian memberi isyarat agar Pratiwi membukakan pintu.

“Ada apa malam-malam kemari?” gerutu Pratiwi sambil menuju ke arah pintu dan membukanya.

“Mas Roy? Mas Ardian? Ada apa malam-malam datang kemari?” tegur Pratiwi.

“Aku mau mengembalikan ini,” kata Ardian sambil menyerahkan tas kecil milik Pratiwi. Tentu saja Pratiwi terkejut.

“Ini? Ini tas saya?”

“Coba lihat, punya kamu atau bukan, kalau bukan, akan aku kembalikan sama penjambret itu,” goda Ardian.

“Ini, memamg punya saya.”

“Ada apa, suruh mereka masuk,” kata yu Kasnah.

“Masuklah Mas, aduh, bagaimana Mas bisa mengambil kembali tas saya?”

“Tas kamu kembali Wi?”

“Iya Bu, ini, isinya masih utuh.  Entah bagaimana mas Ardian bisa membawanya kembali.”

“Bagaimana pula nak Ardian dan nak Roy bisa tahu kalau tas Pratiwi dijambret?”

Pratiwi mempersilakan keduanya duduk.

“Kami baru pulang dari pengajian di rumah Aira, lalu kebetulan melihat peristiwa itu.”

“Oh, jadi Mas melihatnya? Lalu mengejarnya?”

“Iya benar. Tapi kasihan benar. Jambret itu ternyata melakukannya dengan terpaksa, karena anaknya sakit.”

“Apa? Menjambret dengan alasan anaknya sakit?”

Lalu Ardian menceritakan semua yang terjadi, sampai dia mengantarkan anak si jambret tersebut ke rumah sakit.

“Ya ampun, kasihan bener kalau begitu. Tahu begitu kenapa nggak minta saja, aku tidak keberatan memberi sebagian uangku,” gumam Pratiwi.

“Kami sudah membawanya ke rumah sakit, dan membayar semua biayanya.”

“Syukurlah kalau begitu. Mendengar kisahnya kok ya jadi kasihan ya Bu.”

“Iya, biarpun kita tak punya, kalau memang harus berbagi, mengapa tidak?” sambung yu Kasnah yang sudah merasa lega, uangnya tak jadi hilang.

***

Pagi hari itu, sebelum berangkat ke kantor, Roy bercerita dengan heboh tentang petualangannya bersama Ardian, semalam. Bukannya senang, Ratna justru khawatir.

“Kamu itu jangan suka nekat begitu Roy, melawan jambret tidak sekedar menangkap kemudian memukulinya. Kadang-kadang dia membawa senjata. Kalau melawan, bagaimana?”

“Tidak Bu, jambret itu bukan jambret profesional,” jawab Roy sambil tertawa.

“Apa maksudmu?” tanya Sasmi.

“Dia menjambret karena butuh uang, anaknya sakit.”

“Itu kan alasannya?”

“Tidak. Kami mengikutinya sampai di rumahnya, dan ternyata benar, anaknya sakit, istrinya sampai nangis-nangis.”

“Lalu kamu beri mereka uang?” tanya ayahnya.

“Kami mengantarkan mereka ke rumah sakit, tampaknya anaknya butuh perawatan.”

“Biayanya?”

“Sudah, Bapak jangan khawatir. Kami sudah menyelesaikannya,” sambung Ardian.

“Syukurlah. Betul begitu, menolong orang jangan setengah-setengah. Apa lagi dia memang butuh pertolongan.”

“Kami kan putra Bapak, jadi kami melakukan apa yang selalu Bapak lakukan, ya kan Ar?”  kata Roy. Ardian hanya mengangguk.

“Kasihan kalau tas Pratiwi benar-benar hilang, mereka kan dari sini, sudah agak malam juga,” kata Sasmi.

“Oh iya, yu Kasnah memijit Bapak semalam kan?”

“Itu sebabnya Pratiwi tidak bisa datang di acara pengajian, semalam.”

“O, itu sebabnya?” tukas Ardian.

“Pantesan Bondan nggak datang bersama Pratiwi, rupanya Pratiwi menolak.”

“Siapa Bondan?”

“Bondan itu kakaknya Aira.”

“Kalian juga kenal?”

“Baru saja kenalnya, sebelum ini kan Aira tidak pernah memperkenalkan kakaknya.”

“Ya sudah, ayo kita berangkat, nanti kesiangan sampai di kantor,” kata pak Luminto.

***

Ketika pulang dari sekolah, Nano memberikan kartu pembayaran sekolah yang sudah dibayarkan.

“Bagus No, alhamdulillah sudah terbayar. Kamu belajar yang rajin ya, sebentar lagi kenaikan kelas.”

“Tapi Mbak, tadi ada pengumuman, bahwa nanti akan ada pendaftaran ulang, sebelum masuk ke kelas baru.”

“Pendaftaran ulang? Seperti tahun-tahun sebelumnya ya?”

Pratiwi ingat, bahkan bukan untuk Nano, tapi dirinya sendiri juga, bahwa setiap memasuki tahun ajaran baru harus melakukan daftar ulang, yang bagi keluarga yu Kasnah, pembayaran itu cukup berat. Tapi Pratiwi selalu bisa menyisihkannya untuk itu. Hanya saja, kali ini berbarengan dengan saat harus bayar sewa rumah.

“Bagaimana Mbak?”

“Apa?” Pratiwi terkejut karena sedang melamun.”

“Itu, uang daftar ulang.”

“Oh iya, apa harus dibayar sekarang?”

“Katanya paling lambat Minggu depan.”

“Baiklah, berarti masih ada waktu untuk mengumpulkan uang lagi. Kamu jangan khawatir. Yang penting, tugas kamu harus belajar dan berhasil. Ya No.”

Nano mengangguk senang kemudian meninggalkan kakaknya yang sedang menata sisa dagangannya di dapur, sambil melamun.

“Dagangan sedang sepi, karena ada pesaing. Tidak apa-apa sih sebenarnya, kan rejeki yang mengatur dari Atas Sana. Tapi kalau kebutuhan menumpuk, bagaimana? Sementara penghasilan ibu memijit juga tidak bisa terlalu diharapkan, apalagi ibu kan sudah tua, kalau terlalu sering memijit juga pasti kecapekan. Kalau aku harus mencari pekerjaan lain, kemana yang bisa menghasilkan uang lebih banyak? Lulusan SMA tidak bisa berharap mendapat penghasilan lebih. Paling juga sama dengan penghasilan aku jualan, atau bahkan lebih sedikit.”

“Tiwi,” suara ibunya dari arah depan.

Pratiwi segera mendekat.

“Ya Bu.”

“Barusan tetangga sebelah bilang, ada saudaranya yang datang dari luar kota, minta dipijit malam nanti.”

“Oh, dekat kan, rumah bu Mirna?”

“Bukan di situ, saudaranya menginap di hotel.”

“Hotal mana?”

“Agak jauh katanya, tapi dia bersedia mengantar.”

“Sebaiknya tidak usah saja Bu, Ibu sudah memijit terus selama tiga malam ini. Kalau nanti memijit lagi, nanti ibu kecapekan.”

“Tapi aku sudah bilang bersedia tuh.”

“Jangan Bu, jaga kesehatan Ibu. Nanti kalau Ibu kecapekan, lalu sakit, malah tidak bisa memijit lagi.”

“Tapi ibu sudah berjanji.”

“Nanti Tiwi yang bilang, bahwa Ibu harus istirahat, gitu.”

“Katanya Nano butuh uang.”

“Benar, tapi bukan dengan memeras keringat, bagi ibu itu berat. Bukankah memijit itu mengeluarkan tenaga besar?”

“Iya sih. Ya sudah, terserah kamu saja. Asal kamu bilang baik-baik, jangan sampai membuat orang tersinggung.”

“Iya Bu, Tiwi mengerti.

***

Pagi hari itu Tiwi baru saja membersihkan tempat dia berjualan, karena sudah sepi pembeli. Tiba-tiba, bu Margono pemilik rumah datang mendekat.

“Tiwi, kamu kan tidak lupa, bahwa sekarang saatnya membayar sewa rumah?”

“Oh iya Bu, saya ingat kok.”

“Tapi begini Wi, karena aku sedang butuh uang, aku minta untuk kali ini dibayar dobel dua tahun ya?”

“Dua tahun?”

***

Besok lagi ya.

Monday, January 30, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 06

 

SETANGKAI BUNGAKU  06

(Tien Kumalasari)

 

Langkah Roy terhenti seketika. Tangannya mengepal. Ia harus mengatur napasnya supaya tidak tersengal menahan kemarahannya. Ketika selangkah lagi kakinya melangkah, Ardian menariknya dari belakang.

“Mau apa kamu?” tegurnya.

“Bukankah kita mau mengajaknya pergi bersama?”

“Sudah ada yang mengajaknya, jadi hentikan langkahmu. Aku tahu apa yang akan kamu lakukan. Itu tidak benar,” kata Ardian sambil terus menariknya menjauh, lalu mengajaknya memasuki mobil.

Wajah Roy muram bagai langit tertutup mendung, tapi dia tak mengatakan apapun. Ia sebenarnya sadar, Ardian tidak salah. Dirinya yang bersalah, tapi dia selalu tak bisa mengendalikan dirinya. Tapi bagusnya, Roy memiliki rasa patuh kepada kakaknya, walau amarah menyelimutinya.

“Berangkat sendiri saja, lebih nyaman. Mengapa ribut karena seorang gadis?” kata Ardian yang kali itu memegang kemudi, menuju ke rumah Aira.

“Mengapa dia selalu menjadi penghalang?”

“Apa kamu menyukai Pratiwi?”

“Apa? Suka bagaimana maksudmu? Ini masalah ingin mengajak dan kedahuluan. Kesal, tahu?”

“Mengapa juga harus kesal?”

“Kesal saja. Ingat nggak, ketika kita main mobil-mobilan, lalu aku merebutnya, kemudian kamu marah-marah?”

Ardian terkekeh mendengar jawaban adiknya.

“Itu kan dulu, ketika kita masih kecil, ketika belum bisa mengatur hati dan rasa. Sekarang ini kita sudah dewasa, malah sudah hampir dibilang perjaka tua, masa masih harus bersikap seperti anak kecil?”

“Hanya perbandingan saja.”

“Mana bisa orang dewasa dibandingkan dengan anak kecil?”

“Rasa itu kan sama.”

“Sama sih, tapi kan tergantung kita bisa mengendalikan rasa itu, atau tidak. Kendalikan apa yang bergejolak dalam hati kamu, jangan sampai terjadi, kamu melakukan hal yang tercela.”

“Tercela itu apa?”

“Tercela, misalnya karena kamu marah, kemudian berantem untuk sesuatu yang tak penting. Lalu dilihat orang, malu kan?”

Roy terdiam, dia heran, apa yang dikatakan Ardian selalu ada benarnya.

"Bagaimana kalau setelah pulang, kita makan di warung bakso?” kata Ardian berusaha mengendapkan perasaan adiknya.

“Kamu  itu pecinta bakso? Setiap saat hanya warung bakso saja yang kamu ingat,” gerutu Roy.

“Memang kamu nggak suka? Biasanya, biar aku yang ngajak, lalu kamu menggerutu, tapi kamu menghabiskan lebih banyak dari aku,” protes Ardian. Dan itu membuat Roy akhirnya tertawa terbahak.

***

Bondan masih berdiri di depan rumah sederhana, yang lampu terasnya begitu redup. Ia mencari-cari, apakah ada bel tamu di pintu, atau di tembok depan, tapi ternyata tidak ada. Ia mengetuk pintu perlahan, sambil mengucapkan salam.

“Wa’alaikum salam,” sahut suara berat perempuan dari arah dalam.

Tapi yang kemudian keluar adalah Pratiwi.

“Lhoh, mas Bondan? Kenapa malam-malam datang kemari?”

“Malam ini ada pengajian di rumah, Ratih berpesan agar aku menjemput kamu. Mau kan kamu datang untuk ikut mendoakan Aira?”

Pratiwi tampak terdiam.

“Sebenarnya … saya ingin sekali Mas, tapi ….”

“Tapi kenapa? Aku jemput kamu, lalu aku nanti pasti juga akan mengantarkan kamu.”

“Bukan itu. Malam ini aku harus mengantarkan ibu.”

“Kemana?”

“Kemana lagi? Kalau ibu bepergian, pasti karena ada pelanggan yang mau dipijit, dan tentu saja aku harus mengantarkannya.”

“Jauh ya?”

“Tidak sih, tapi sedekat apapun, aku tak bisa membiarkan ibu berangkat sendiri.”

“Oh, begitu ya? Baiklah, aku mengerti.”

“Doa itu bisa dilantunkan di mana saja. Aku pasti akan selalu ikut mendoakan sahabat aku yang sudah  menghadap Sang Khaliq. Aku janji dan pasti akan aku tepati.”

“Ya sudah, tapi ngomong-ngomong, apakah tempatnya jauh?”

“Tidak sih, tapi walau dekat kan ibu harus diantar.”

“Iya, aku mengerti, kalau sudah siap, sekalian aku antar dan aku turunkan di tempat tujuan kamu. Nggak apa-apa kan?”

“Sebenarnya sudah siap, tapi mengapa harus merepotkan sih?”

“Tidak repot, kan sekalian jalan?”

“Baiklah, aku ajak ibu dulu,” kata Pratiwi sambil masuk ke dalam, kemudian tak lama lagi sudah keluar bersama ibunya.

Bondan menggantikan menuntun bu Kasnah, sementara Pratiwi mengunci pintu rumahnya.

“Sebenarnya rumah keluarga Luminto tidak jauh dari sini, pakai diantar segala,” gerutu bu Kasnah ketika Bondan membantunya naik ke atas mobil.

“Tidak apa-apa Bu, sekalian jalan.”

***

“Ketika Pratiwi menuntun ibunya memasuki halaman keluarga Luminto, dilihatnya pak Luminto sedang duduk di teras bersama kedua istrinya.

“Lho, itu yu Kasnah kemari,” teriak Ratna.

“Bukannya Pratiwi ke rumah temannya yang mengadakan pengajian?”

“Selamat malam Pak, Bu ….” sapa bu Kasnah.

“Malam Yu. Pratiwi bukannya pergi ke rumah Aira?” sapa bu Sasmi.

“Tidak Bu, kan ibu sudah janji mau memijit pak Luminto?” kata Pratiwi.

“Iya sih, tapi karena ada acara itu, jadi kami kira yu Kasnah membatalkannya.”

“Tidak Bu, saya sudah sanggup, berarti saya harus berangkat. Kalau Tiwi pergi, saya pasti akan berangkat sendiri.”

“Dan Tiwi rupanya tidak tega sama ibunya bukan?” sambung pak Luminto.

“Iya Pak,” kata Pratiwi sambil membantu ibunya menaiki teras.

“Ya sudah, ayo masuk saja Yu, tuh … pak Luminto sudah siap,” kata Ratna yang kemudian mengikuti suaminya ke kamar, untuk membantunya bersiap dipijit.

“Kamu menunggu di sini saja Wi, sama aku, tidak usah pulang.”

“Iya Bu,” kata Tiwi sambil duduk di depan Sasmi.

“Tadi anak-anak datang nyamperin kamu kan?” tanya Sasmi.

“Anak-anak … siapa Bu?”

“Anak-anakku, Roy sama Ardian. Ya kan?”

“Sepertinya tidak Bu.”

“O, tidak ke rumah kamu? Soalnya tadi bilang mau ngajak kamu pengajian di rumah Aira.”

“Tapi tidak ke sana Bu, yang datang nyamperin malah mas Bondan. Kakaknya Aira.”

“O, Aira punya kakak?”

“Punya kakak laki-laki bernama Bondan, dan punya adik perempuan bernama Ratih. Wajahnya mirip Aira. Cantik.”

“O, lalu kenapa kamu tidak berangkat, kan sudah disamperin?”

“Ya karena saya harus mengantar ibu kemari itulah, maka saya tidak berangkat ke pengajian. Saya kan bisa mendoakannya dari rumah.”

“Anak baik, selalu lebih memilih menjaga orang tuanya.”

“Ibu, semua orang pasti melakukan hal yang sama.”

“Kamu tunggu sebentar, aku buatkan minum dulu.”

“Tidak Bu, tidak usah. Seperti tamu saja, kalau haus biar saya membuatnya sendiri,” kata Pratiwi yang merasa sungkan.

“Tidak usah, ini sudah aku buatkan,” tiba-tiba Ratna keluar sambil membawa segelas teh hangat.

“Ya ampun, Bu Ratna kok saya jadi seperti tamu.”

“Tidak apa-apa Wi, malam ini kamu jadi tamu. Yang untuk ibu kamu sudah aku taruh di kamar, tempat dia memijit.”

“Terima kasih banyak Bu.”

“Minumlah,” kata Sasmi.

Lalu Ratna duduk di dekat Sasmi. Pratiwi heran. Menurut yang dia dengar, madu itu pastilah tidak bisa rukun. Bisa berantem, atau bahkan tidak ada yang mau dimadu. Tapi Ratna dan Sasmi adalah madu yang berbeda. Mereka selalu rukun, bahkan tampak saling menjaga dan menyayangi. Kedua anaknya juga kompak, seperti saudara kandung saja. Diam-diam Pratiwi berpikir, kalau aku ditawarin suami, maukah kamu dimadu, sudah pasti aku akan menjawab tidak. Belum tentu seorang madu memiliki hati bersih dan bisa saling mengerti.

“Mengapa diam saja, Wi?”

“Ibu Sasmi dan ibu Ratna sangat baik kepada saya,” kata Pratiwi.

“Lhoh, kamu anak baik, mengapa kami tidak boleh bersikap baik?”

“Ibu bisa saja.”

“Jam berapa kamu bangun setiap pagi?”

“Jam tiga sudah bangun, setelah subuh sudah harus ke pasar membeli sayur dan lain-lainnya untuk dijual.”

“Kamu juga rajin,” kata Ratna.

“Kata ibu saya, semua yang ingin didapat harus dilakukan dengan penuh tekat. Soalnya kami orang tidak punya. Jadi walau berat, tak akan terasa berat karena kami punya niat untuk berhasil.”

“Cukupkah penghasilan kamu berjualan untuk menghidupi keluarga? Bukankah ada adikmu juga?” tanya Ratna.

“Ya cukup lah Bu. Maksudnya dicukup-cukupin.”

“Membiayai sekolah adik kamu juga kan?”

“Iya, ibu saya ingin agar Nano bisa sekolah, paling tidak seperti saya.”

“Yu Kasnah memang hebat, punya semangat untuk anak-anaknya agar bisa menjadi orang,” kata Sasmi.

Mereka berbincang, sampai yu Kasnah selesai memijit. Ada dua jam dan selama itu pula yu Kasnah selalu memijit pelanggannya. Ratna dan Sasmi senang berbincang, karena Pratiwi memang benar-benar anak baik yang sangat berbakti kepada orang tua.

***

“Mana mbak Tiwi?” tanya Ratih ketika mendekati Bondan yang sudah berbaur dengan tamu lainnya.

“Tidak bisa datang.”

“Kenapa?”

“Dia harus mengantar ibunya, ada yang minta dipijit malam ini.”

“Oh, kasihan.”

“Tadi aku juga mengantarkan mereka ketempat pelanggannya itu.”

“Jauhkah rumahnya?”

“Tidak begitu jauh. Sepertinya itu rumah Roy. Bukanlah Roy putra keluarga Luminto?”

“Iya, sepertinya, aku tidak begitu mengenal mereka.”

Ketika pengajian berlangsung, keluarga Juwono menyalami semua tamu-tamunya dengan ramah.

“Terima kasih banyak ya, terima kasih perhatiannya, terima kasih telah ikut mendoakan Aira,” itulah kata-kata yang diucapkan mereka.

Ketika giliran Ardian dan Roy bersalaman, mereka terkejut mendengar bahwa laki-laki yang membuat Roy kesal adalah Bondan, kakak Aira.

“Tidak mengira kita bertemu lagi, terima kasih ya,” sapa Bondan ramah.

“Ternyata  Mas Bondan adalah kakak Aira,” kata Ardian, sementara mata Roy mencari-cari, dimana keberadaan Pratiwi, dan dia tak menemukannya.

“Iya benar, saya Bondan kakaknya, dan ini Ratih, adik  bungsu saya.”

“Sepertinya aku sudah mengenal mereka,” kata Ratih.

“Sudah beberapa kali kita bertemu bukan?” kata Atdian.

“Teryata ini yang namanya Roy?” sapa Bondan.

“Ya, aku Roy. Maaf atas yang tadi …” kata Roy yang akhirnya meminta maaf sambil mengulurkan tangan lalu menggenggamnya erat.

“Ah, lupakan. Senang bisa bertemu. Almarhumah sering bercerita tentang seorang laki-laki yang dia kagumi yaitu Anda.”

Roy tersenyum hangat.  Dengan tak terlihatnya Pratiwi, hatinya merasa lebih nyaman. Ia ingin bertanya mengapa Pratiwi tidak ada, tapi diurungkannya.

“Hallo, Ratih, sapanya kemudian kepada Ratih.”

“Selamat bertemu lagi,” jawab Ratih sambil tersenyum. Diam-diam Roy merasa bahwa wajah Ratih tak jauh berbeda dengan Aira, hanya saja Ratih tidak terlihat manja. Dia lebih tampak dewasa dan lebih anggun.

“Mas, besok Mas harus bisa mengajak Mbak Tiwi datang lhoh,” tiba-tiba kata Ratih kepada kakaknya.

“Maksudnya Pratiwi?” tanya Roy.

“Iya, dia sahabat kakakku Aira.”

“Nanti aku akan nyamperin dia,” janji Roy.

“Kamu tahu rumahnya?”

“Rumah kami dekat, hampir ketemu setiap hari,” kata Roy sedikit sombong.

“Oh, bagus kalau begitu. Terima kasih sebelumnya, Mas Roy.”

***

“Kamu ternyata sudah mengenal Roy?” kata Bondan ketika menjelang saat istirahat mereka.

“Pernah ikut mbak Aira ketemu teman-temannya, hanya beberapa kali,  nggak suka aku.”

“Kenapa?”

“Nggak tahu. Teman-teman mbak Aira kalau tertawa keras sekali, aku terkejut mendengar tawa seperti itu. Tapi kenapa ya mbak Aira suka? Aku juga heran, mbak Aira suka yang namanya Roy.”

“Kamu nggak suka?”

“Aku lebih suka satunya, yang namanya Ardian.”

“Suka ya, suka apa cinta?” ledek kakaknya.

“Cinta? Masa baru ketemu beberapa kali langsung jatuh cinta?”

“Bukankah cinta pada pandangan pertama itu bisa saja, dan banyak. Sedangkan kamu sudah beberapa kali.”

“Nggak tahu lah, aku lagi tidak mau memikirkan itu. Aku sedih tidak ada mbak Aira lagi diantara kita.”

“Iya, tentu saja. Aku juga merasakan hal yang sama.”

“Semoga besok mbak Tiwi bisa datang.”

“Bukankah Roy sudah berjanji akan membawanya kemari?”

“Iya, semoga saja besok bisa. Kasihan ya, malam-malam, ibu mbak Tiwi masih juga harus bekerja.”

“Tukang pijit biasanya malam, saat orang mau istirahat. Kalau siang, gerah dong.”

“Ibu mbak Tiwi itu dulu manis, walau tidak muda lagi. Mirip mbak Tiwi. Apa sekarang masih manis?”

“Dia semakin tua, ditambah matanya buta. Tentu saja kecantikannya sudah hilang.”

“Kasihan ya. Suatu hari aku mau main ke sana, ketemu sama ibunya juga.”

“Dia masih ingat aku. Dan masih ramah seperti dulu.”

“Ya sudah Mas, aku mau istirahat ya? Entah bisa tidur atau tidak, aku kan harus istirahat.”

“Iya dong Tih, kan sudah dari tadi aku meminta kamu agar segera istirahat, ini sudah malam.”

***

Malam itu Pratiwi sedang menuntun ibunya, setelah memijit pak Luminto. Mereka berjalan perlahan, karena Pratiwi takut ibunya terantuk batu atau apapun, sehingga jatuh seperti kemarin di halaman rumah pak Luminto.

“Kenapa pak Luminto memberi uang banyak ya Bu,” kata Pratiwi.

“Ibu juga sungkan, mereka sangat baik kepada kita. Apa kamu sudah menyimpan uangnya Wi?”

“Sudah Bu, ini, di dalam tas yang Tiwi bawa.”

“Hati-hati, sudah malam ini.”

Beberapa langkah lagi mereka sudah sampai di gang masuk ke arah rumah bu Kasnah, tapi tiba-tiba sebuah sepeda motor lewat, sambil menarik tas yang dibawa Pratiwi.

Pratiwi sangat terkejut, dan berteriak-teriak.

“Toloooong.”

***

Besok lagi ya.

Saturday, January 28, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 05

 

SETANGKAI BUNGAKU  05

(Tien Kumalasari)

 

“Itu kan mas Roy sama mas Ardian?  Aduh, aku keluar nggak ya, nanti dikira sombong. Ya sudah, lebih baik aku keluar saja,” gumam Pratiwi.

Bondan sudah mendekati mereka, bermaksud membantu, dan kedua anak muda itu belum menjawab pertanyaannya, karena masih berkutat dengan alat yang akan dipergunakan untuk mencopot ban nya.

“Ada yang bisa dibantu?” tanya Bondan lagi.

Barulah Roy dan Ardian menoleh.

“Oh, tidak, hanya akan mengganti ban kami yang tiba-tiba kempes, terima kasih,” jawab Ardian ramah.

Tapi Joy kemudian melihat Pratiwi datang mendekat. Seketika rasa kesalnya muncul. Tadi ditawari untuk diajak bareng menolak, lalu sekarang bersama laki-laki muda gagah yang belum dikenalnya. Apakah itu pacar Pratiwi, lalu karena sungkan kemudian Pratiwi mengatakan bahwa dia naik sepeda, ketika keduanya menawarkan bareng?

Wajahnya muram seketika. Ia berdiri dan mendekati Bondan dan menatapnya dengan pandangan marah.

“Kami sudah bisa melakukannya, jadi Anda jangan sok baik hati ingin membantu,” katanya  ketus, tanpa ada hujan dan angin menerpa.

Bondan tentu saja heran, melihat laki-laki didepannya tiba-tiba memandangnya marah.

“Mas, Anda bicara apa? Saya benar-benar ingin membantu, kalau barangkali ada yang bisa saya lakukan.”

“Benarkah? Bukan karena ingin pamer karena_”

“Mas Roy, kenapa Mas marah-marah?” tegur Pratiwi yang sudah ada di dekat mereka.

“Roy, ayo lanjutkan, ngapain kamu ?” Ardian juga menegurnya.

“Ayo kita pergi Mas,” kata Pratiwi sambil membalikkan tubuhnya untuk pergi, Bondan mengikutinya dengan heran. Tak tahu alasan laki-laki itu marah-marah, padahal dia sebenarnya ingin membantu.

Bondan menjalankan mobilnya pelan.

“Kamu kenal dia, Tiwi?”

“Dia tetangga aku. Tetangga jauh sih, tapi ibunya sering belanja di warung sayurku.”

“Kenapa dia marah ya?”

“Nggak tahu aku. Apa karena dia marah melihat aku ya?”

“Kenapa marah? Dia suka sama kamu?”

“Bukan,” Pratiwi tersenyum, tersipu.

“Kalau bukan kenapa dia marah-marah?”

“Itu mungkin dia kesal sama akau, tanpa mengetahui penyebab yang sebenarnya.”

“Aku tidak mengerti.”

“Tadi mereka menawari aku untuk diajak pulang bersama, aku menolak karena aku bawa sepeda kan, dan itu benar. Siapa tahu sepeda aku ternyata gembos lalu ketemu mas Bondan dan inilah yang terjadi.”

“O, dia tidak tahu apa yang terjadi, dia mengira kamu memilih bersama aku dari pada bersama dia?”

“Ya, pasti itu penyebabnya.”

“Kenapa tidak lebih baik bertanya saja? Dan tiba-tiba marah?”

“Namanya orang kan macam-macam, Mas, ada yang sabar, ada yang tidak.”

“Tadi tuh namanya siapa?”

“Yang mendekati mas Bondan tadi, mas Roy, yang satunya, mas Ardian. Mereka itu kakak adik, seringnya kemana-mana selalu berdua.”

“Kakak adik? Satunya santun dan baik, satunya pemarah.”

“Dua-duanya sebenarnya baik kok, hanya bawaannya beda-beda.”

Bondan diam, tapi sebenarnya dia mencatat nama Roy. Almarhumah adiknya sering menyebut nama Roy.

“Dia kah orangnya? Aira pernah mengaku suka sama Roy, walau tidak dijelaskannya secara rinci, makna suka itu. Apa mereka pernah dekat? Atau bahkan pacaran? Mengapa lebih suka Roy, bukan kakaknya yang kalm itu saja?” kata batin Bondan.

“Tiwi, tahukah kamu, sejauh apa hubungan Aira dengan Roy?”

“Wah, nggak tahu Mas, bahkan aku juga tidak tahu kalau mereka kenal. Tahunya ya setelah sama-sama melayat itu tadi.”

“Kamu tidak dekat dengan keluarganya Roy?”

“Ibunya sering belanja sayur di tempat aku, dan juga sering minta dipijit oleh ibu. Ibu kan punya pekerjaan jadi tukang pijit juga?”

“Tapi kamu tidak dekat dengan anak-anaknya?”

“Ya kenal biasa saja Mas, karena keluarga mereka itu orang-orang baik dan dermawan. Bukan hanya kepada aku, tapi kepada semua orang.”

***

Ardian dan Roy sudah selesai memasang ban serepnya setelah mencopot ban nya yang gembos, lalu mereka kembali ke kantor. Ardian kesal karena Roy tiba-tiba tampak uring-uringan. Ardian juga tak suka pada sikap Roy tadi.

“Kenapa kamu tadi marah-marah sama dia sih Roy?”

“Dia itu kan sombong. Kamu tidak melihatnya?”

“Sombong bagaimana? Dia menyapa dengan baik-baik kok.”

“Sudah tahu sedang mengganti ban, dan bukan karena mobil rusak? Mengapa dia berhenti dan sok baik dengan menawarkan bantuan,” gerutu Joy.

“Dia tidak bermaksud buruk, kamu menuduhnya yang bukan-bukan.”

“Kamu tidak ingat, tadi Pratiwi kita ajak pulang bersama, tapi dia menolak. Lalu tiba-tiba bareng dengan laki-laki itu, yang entah siapa. Siapa yang tidak kesal, coba?”

Ardian mentertawakan tingkah adiknya yang dianggapnya aneh dan kekanak-kanakan.

“Hanya karena itu, kamu marah. Biarin saja. Pasti ada alasannya. Kamu tidak usah marah.”

Roy terdiam. Memang dia tidak harus marah, kenapa marah? Kalau Pratiwi memilih laki-laki itu, apa dia berhak marah? Tapi entah kenapa, Roy selalu tak bisa mengendalikan sikapnya.

“Sudah, kalau kamu masih marah, mana, biar aku yang pegang kemudi. Jalanan ramai, jangan sampai kamu menabrak pengendara lain.”

“Siapa yang marah, aku tidak marah.”

“Sikapmu terhadap pria itu juga tampak aneh, dia bermaksud baik, kamu menuduhnya yang bukan-bukan.”

“Maaf,” akhirnya kata Roy.

“Minta maaflah sama dia, kenapa sama aku?”

Roy terdiam, tapi ia mengendarai mobilnya dengan lebih tenang. Jalanan memang sedang ramai. Saatnya anak sekolah pulang pula.

***

“Ya ampun, ini Nak Bondan? Yang dulu sering menjemput Aira?” kata bu Kasnah ketika Bondan sampai di rumah Pratiwi.

“Iya Bu. Saya prihatin melihat keadaan ibu sekarang,” kata Bondan dengan raut muka sedih.

“Terima kasih Nak, tapi ibu tidak apa-apa. Terkadang apa yang terjadi, bukan lah yang kita harapkan. Tapi bahwa manusia memiliki garis takdirnya masing-masing, itu harus kita fahami dan kita syukuri. Selalu ada jalan untuk melangkah lebih baik, bukan?”

“Bu Kasnah sungguh bijak. Syukurlah kalau bisa menerima semua  dengan ikhlas. Bu Kasnah harus bersyukur, memiliki putri sebaik Pratiwi, yang bisa memikul semua kebutuhan keluarga, dengan segala keikhlasan yang dia miliki.”

“Hanya dia satu-satunya yang bisa ibu harapkan.”

“Ya sudah bu, saya tidak bisa lama-lama, karena di rumah masih banyak tamu,” kata Bondan sambil berdiri.

“Iya Nak, kok ya pakai mengantarkan Pratiwi segala,  kan masih dalam suasana berkabung.”

“Kebetulan melihat Pratiwi jalan, dan sepedanya gembos, tapi nanti pasti ada yang mengantarkannya kemari.”

“Iya nak, terima kasih banyak, dan sekali lagi ibu ikut berduka cita, atas meninggalnya nak Aira. Dulu sering datang kemari, dan sangat dekat dengan Pratiwi. Tadi ketika Pratiwi mengabari, ibu sempat menangis. Dia masih sangat muda.”

“Iya Bu, dan seperti tadi ibu katakan, bahwa sebuah garis nasib terkadang berbeda dengan harapan kita.”

“Mari kita doakan agar nak Aira diterima disisiNya, dan mendapatkan sorga mulia ya Nak.”

“Terima kasih Bu.”

Pratiwi mengantarkan sampai ke depan, dan berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Bondan yang telah menolongnya.

“Sudah, nanti kamu kehabisan ucapan terima kasih karena sudah berkali-kali mengucapkannya,” kata Bondan sambil mendekati mobilnya.

“Salam buat Ratih ya, kapan-kapan aku akan datang menemui dia.”

“Iya Wi, kasihan Ratih. Biasanya kemana-mana selalu berdua.”

“Semoga aku akan bisa menghiburnya.”

***

“Tih, kemana kakakmu, sejak dari pemakaman tadi kok ibu tidak melihatnya,” kata bu Juwono kepada Ratih.

“Tadi kan pulang belakangan, tidak bareng Ratih.”

“Ibu kira dia semobil sama kamu.”

“Tidak Bu, dari bandara dia ambil mobil ke rumah, langsung ke pemakaman, jadi dia membawa mobil sendiri.”

“Kemana anak itu. Kamu nggak menelponnya? 

"Ponselnya tidak dibawa, tuh, ditinggal di kamarnya. Jadi tadi sepulang dari bandara, meletakkan bawaan dan langsung berangkat. Ponselnya ada di tas pinggang yang diletakkan di atas kasur."

“Anak itu, kemana saja.”

“Tuh dia datang,” kata pak Juwono yang ada di depan bersama tamu-tamunya.

Bondan memberi salam kepada tamu-tamu ayahnya, kemudian langsung masuk ke dalam.

“Kamu kemana saja sih Bon?” tanya ibunya.

“Mengantarkan Pratiwi pulang. Tapi cuma mengantarkan, lalu Bondan langsung pulang. Lama ya?”

“Kenapa harus mengantarkan Pratiwi? Tadi banyak tamu yang menanyakan kamu.”

“Ketika Bondan mau pulang, Bondan melihat Pratiwi sedang jalan sambil menuntun sepedanya. Rupanya sepedanya gembos. Bondan kasihan, lalu mengantarkannya pulang.”

“Lalu sepeda mbak Tiwi ditinggalkan di mana?” tanya Ratih.

“Aku suruh pak Jogo menambalkannya, lalu mengantarkannya ke rumah Pratiwi.”

“Bukannya rumah Pratiwi itu lumayan jauh? Kalau dari pemakaman tadi, maksud ibu.”

“Iya Bu, mau bagaimana lagi.”

“Pak Jogo harus kamu beri uang transport dong.”

“Sudah, ibu tidak usah khawatir.”

“Mas Bondan akan lama di sini bukan?”

“Aku hanya cuti tiga hari.”

“Ratih nggak punya teman,” kata Ratih, sedih.

“Seringlah main ke rumah Pratiwi. Dia ada di rumah setelah berjualan.” Tadi dia juga bilang akan sering menemani kamu,” hibur Bondan.

“Iya, aku tadi juga minta agar dia sering datang kemari. Setelah mbak Aira masuk SMA, mereka kan tidak lagi satu sekolahan.”

“Setelah lulus SMA, Pratiwi berjualan sayur.”

“Di pasar?” tanya ibunya.

“Di rumah.”

“Orang tuanya masih ada kan?”

“Yang ada hanya ibunya. Bapaknya sudah meninggal. Dan ibunya buta.

“Buta?”

“Iya Bu, kasihan sekali. Karena kecelakaan.”

“Tadi mbak Tiwi juga cerita sedikit tentang ibunya. Kasihan juga.”

“Ya sudah Bon, kamu istirahat saja. Atau temani ayahmu menemui tamu-tamunya. Ibu juga mau istirahat, dari semalam tidak tidur,” kata Bu Juwono.

“Sebaiknya ibu beristirahat. Bondan mau minta agar ayah beristirahat juga, nanti kecapekan dan jatuh sakit,” kata Bondan.

“Mas, nanti malam ajak mbak Tiwi datang kemari dong.”

“Tadi aku sempat minta nomor ponselnya, nanti aku kabari dia.”

“Biar aku jemput saja, kasihan kalau dia harus naik sepeda,” kata Ratih.

“Biar aku saja yang menjemput. Kamu sama ibu istirahat saja sana, nanti malam masih ada acara pengajian di rumah.”

“Iya Mas.”

***

Ketika sedang minum teh di sore hari itu, Roy dan Ardian bercerita tentang Aira.  Mereka juga menyatakan keheranannya karena Pratiwi juga melayat ke pemakaman.

“Tuh benar kan Mbak, tadi yang dimaksud Pratiwi adalah Aira,” kata Sasmi.

“Iya, ternyata. Mereka berteman?”

“Tampaknya begitu. Ratih, adik Aira berbincang akrab tadi.”

“Ketika temannya menelpon tentang meninggalnya Aira, Pratiwi sedang ada di sini,” kata Ratna.

“Ibu hanya menduga-duga, apakah yang dimaksud itu Aira, soalnya Pratiwi bilang, mau melayat temannya yang meninggal karena kecelakaan.”

“Tahu begitu kita bisa sama-sama,” kata Roy.

“Bukankah Pratiwi sudah bersama pria ganteng itu tadi?”

“Mungkinkah mereka datang bersama-sama? Siapa sih pria itu?”

“Aku tidak tahu, tapi dia sepertinya keluarga dekat, soalnya berdiri diantara orang tua Aira. Apa Aira punya kakak?” tanya Ardian.

“Dia tidak pernah cerita tentang keluarganya. Yang aku tahu, Ratih adiknya, karena penah diajaknya pada suatu waktu. Entah acara apa, aku lupa.”

“Apa adiknya juga ikut bergaul dengan anak-anak muda teman Aira itu?” tanya sang ayah yang sedari tadi diam.

“Saya kira tidak, Pak. Aira selalu datang sendiri,” jawab Roy.

“Semoga dia tidak ketularan kakaknya, dan bergaul dengan anak-anak baik.”

“Aamiin.”

“Ar, nanti malam di rumah Aira ada pengajian. Itu kata teman-teman tadi. Kita ke sana?” kata Roy.

“Nggak apa-apa, ikut mendoakan.”

“Samperin Pratiwi yuk, pasti dia juga mau mendoakan temannya yang sudah almarhumah.”

“Dia tuh susah, paling juga nggak akan mau.”

“Pratiwi itu takut sama kalian. Kalian tampak sangat bernafsu begitu,” tukas sang ayah.

“Bapak tuh, orang kami tidak pernah mengganggu, lagi pula baru-baru ini saja kami memperhatikan Pratiwi, jarang ketemu sih,” kata Roy.

“Iya, pas Pratiwi jatuh malam-malam itu kan?”

“Ya sudah, bapak cuma bilang sedikit, jawabnya panjang banget,” kata pak Luminto sambil tersenyum.

“Jam berapa nanti kita ke rumah Aira?” tanya Ardian.

“Pengajian setelah Isya, nanti aku coba ngajak Pratiwi, barangkali mau.”

“Pastinya mau, kan Aira temannya. Kalau dia sendiri, nggak mungkin, harus ada yang nemenin, baru yu Kasnah mengijinkan,” kata Ratna.

***

Jam tujuh malam Ardian dan Roy sudah  sampai di rumah yu Kasnah. Roy menghentikan mobilnya agak jauh dari pagar rumah yu Kasnah, maksudnya mau memberi kejutan, karena kalau mereka mendengar suara mobil, pasti tidak akan terkejut.

Tapi kali ini yang terkejut bukan keluarga yu Kasnah. Justru Roy yang terkejut, karena melihat mobil yang baru datang, tiba-tiba parkir tepat di depan pagar.

“Dia lagi?” pekik Roy.

***

Besok lagi ya.

 

Friday, January 27, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 04

 

SETANGKAI BUNGAKU  04

(Tien Kumalasari)

 

Sepeninggal Pratiwi, Ratna dan Sasmi segera mengambil sayur-sayur tersebut dan dipetiknya bersama-sama.

“Sayang sekali, Pratiwi menolak keinginan kita,” kata Ratna.

“Padahal kelihatan sekali bahwa Pratiwi itu anak pintar. Keinginan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi itu kan sudah pasti.”

“Rupanya dia sungkan.”

“Ya, sangat sungkan, mengingat biaya kuliah kan mahal, dan harus orang lain yang membiayainya.”

“Dasarnya memang tak mau berhutang budi. Anak baik.”

“Tapi tadi saya dengar dia mendapat berita bahwa temannya meninggal? Sepertinya kecelakaan. Kok sama dengan cerita anak-anak kemarin,” kata Sasmi mengingat kepergian Pratiwi dengan tergesa-gesa tadi, adalah karena ditelpon temannya.

“Temannya Roy dan Ardian itu kan punya mobil, jadi pasti dia anak orang kaya.”

“Maksud Mbak, karena dia orang kaya, maka tak mungkin temannya Pratiwi?” protes Sasmi.

“Bukan merendahkan sih, tapi sekolah Pratiwi kan ya sekolah biasa-biasa saja, sedangkan temannya Roy itu pastinya sekolah di sekolah-sekolah favorit yang mahal. Maaf, bukan merendahkan Pratiwi sih. Tapi ya nggak tahu juga sih, aku jadi seperti merendahkan ya?” sesal Ratna.

“Kemungkinan itu ada, entahlah. Ayo Mbak lanjutin ya, aku mau meracik bumbu,” kata Sasmi sambil berdiri dan mengambil tempat bumbu.

“Anak muda sekarang, banyak yang kurang hati-hati dalam menjalani pergaulan. Seharusnya bukan asal senang, tapi juga harus melihat, teman bergaulnya seperti apa,” gumam Ratna yang rupanya masih teringat tentang kecelakaan yang menimpa teman anaknya.

“Kita beruntung, anak-anak kita tidak larut dalam kesenangan itu. Semoga kejadian yang menimpa Aira bisa membuka mata mereka, bahwa mabuk-mabukan bisa menghilangkan kesehatan nurani,” sahut Sasmi.

“Menghilangkan akal sehat,” sambung Ratna.

“Apa itu pacarnya Roy ya?”

“Bukan, mereka bilang bukan pacar dari keduanya. Mereka hanya berteman.”

“Tapi tampaknya dia mengejar-ngejar Roy. Apa Roy akan merasa terganggu dengan kejadian itu ya?”

“Ya tidak lah Sas. Kalau tidak ada rasa apa-apa ya tidak akan terganggu. Yang ada adalah rasa sesal dan berduka.”

“Kalau itu pasti lah. Kehilangan teman juga menyedihkan, apalagi dengan cara yang sangat tragis.”

“Iya, benar.”

***

Pelayat yang mengantarkan jenazah Aira memenuhi area pemakaman keluarga yang ditata apik dan rapi. Tak ada wajah cerah diantara mereka. Semuanya muram, bahkan ada yang berurai air mata.

Di dekat peti, berdiri pak Juwono dan istri, kedua orang tua Aira, lalu Ratih, adik Aira, dan seorang laki-laki gagah. Laki-laki itu Bondan, kakak tertua Aira yang bekerja di luar kota, dan baru saja datang.

Dari sekian banyak pelayat, seorang gadis cantik berpenampilan sederhana, melangkah perlahan mendekati keluarga Aira. Dia adalah Pratiwi, teman Aira semasa SMP.

“Saya ikut berduka cita Pak,” kata Pratiwi lembut, lalu mencium tangan pak Juwana. Demikian juga dilakukannya untuk ibu Juwana. Kemudian Pratiwi mendekati Ratih, memeluknya, dan ikut meneteskan air mata ketika Ratih memeluknya sambil terisak.

“Aku ikut berduka ya Tih, Aira teman baik aku.”

“Iya Mbak, terima kasih banyak.”

“Ini teman Aira juga kan? Aku seperti tak asing melihatnya,” kata bu Juwana sambil menunjuk ke arah Pratiwi.

“Iya, saya Pratiwi, teman Aira ketika SMP. Dulu sering main ke rumah,” jawab Pratiwi sambil tersenyum dibalik wajah duka nya.

“O, Pratiwi ya? Aku tadi sedang mengingat-ingat, seperti pernah mengenal, ternyata Pratiwi,” kata Bondan yang berdiri di samping Ratih.

“Iya. Ini Mas Bondan kan?”

“Bagus sekali, senang kamu masih mengingat aku.”

“Mas Bondan tidak berubah sejak dulu,” kata Pratiwi.

“Tetap tampan ya?” godanya.

Pratiwi hanya tersenyum, kemudian berusaha menjauh. Tapi Ratih kemudian mengikutinya.

“Lama sekali nggak ketemu, Mbak Tiwi sekarang di mana?”

“Aku masih di rumah yang dulu, peninggalan almarhum ayahku.”

“Seringlah main ke rumah. Setelah mbak Aira meninggal, aku tak punya teman.”

“Bukankah kamu kuliah?”

“Aku malas kuliah lagi.”

“Kenapa?”

“Biasanya aku selalu bersama Mbak Aira. Sekarang jadi malas, seringlah datang ke rumah aku ya?”

“Baiklah, setelah selesai berjualan, aku akan ke rumah kamu.”

“Jualan apa?”

“Aku meneruskan usaha ibuku, jualan sayur, setelah ibu tidak bisa melihat.”

“Tidak bisa melihat? Maksudnya apa?”

“Ibuku buta karena mengalami kecelakaan.”

“Ya Tuhan, banyak cerita terlewatkan setelah lama kita tidak bertemu. Dulu Mbak Tiwi sering datang ke rumah.”

“Iya, waktu sekolah, dan aku belum punya pekerjaan. Selepas SMA aku di rumah, membantu ibu jualan sayur.”

“Mbak, aku juga pengin main ke rumah Mbak Tiwi. Ketemu ibu. Kan dulu aku sering ikut Mbak Aira main ke sana.”

“Iya Tih, datanglah ke rumah. Ibu pasti senang, dan masih ingat kok. Tadi juga nangis ketika aku pamit mau melayat kemari."

“Aku balik ke sana dulu, ibu mencari-cari aku, dan tampaknya sudah saatnya mau dikuburkan, aku harus ikut berdoa.”

“Ya, aku juga akan berdoa untuk sahabat lama aku.”

Ratih sekali lagi memeluk Pratiwi, kemudian meninggalkannya.

Dulu semasa SMP, Aira dan Pratiwi bersahabat. Karena kalau Aira kurang mengerti tentang pelajaran sekolah, pasti selalu main ke rumah Pratiwi untuk bertanya. Pratiwi anak pintar, dan Aira tak bisa lepas dari sahabatnya ini. Hanya saja ketika SMA, kemudian mereka jarang atau bahkan tak pernah bertemu, karena mereka melanjutkan di sekolah yang berbeda. Pratiwi memilih SMA sore, karena harus membantu ibunya.

Kabar meninggalnya Aira sangat membuatnya berduka. Entah mengapa sampai terjadi kecelakaan itu, Pratiwi belum sepenuhnya tahu. Ratih hanya saling berkabar dengan dirinya di saat sebelum Aira dimakamkan.

Tapi kemudian ada salah seorang temannya lagi yang mendekatinya, menceritakan semuanya.

Pratiwi sangat terkejut mendengar Aira meninggal dalam keadaan mabuk.

“Bagaimana mungkin, gadis sebaik Aira kemudian menjadi pemabuk?” tanya Pratiwi pada Rahayu, temannya.

“Dia kan anak orang kaya, kemudian salah pergaulan, ya itulah jadinya,” kata Rahayu.

“Kasihan sekali Aira, beberapa tahun tidak bertemu, ketika melihatnya, sudah dalam keadaan seperti itu.”

Pratiwi tak tahan untuk tidak mengusap air matanya.

***

Pratiwi masih berjalan di area pemakaman itu sambil terus menyesali kepergian sahabat lamanya. Sesekali ia mengusap air matanya, ketika mengingat, betapa dekatnya mereka waktu itu. Lalu keadaan memisahkan mereka. Aira melenggang ke sekolah yang lebih bergengsi, dan dirinya melanjutkan sekolah yang bisa dijalaninya sambil bekerja.

“Pratiwi! Itu Pratiwi kan?” teriak Roy yang beriringan dengan Ardian.

“Sssh, jangan berteriak. Ini bukan di rumah kamu,” tegur Ardian, yang kemudian ikut bergegas mengiringi langkah Roy.

“Tiwi!” teriak Roy lagi saat sudah dekat.

Pratiwi yang masih berjalan di samping Rahayu, kemudian berhenti.

“Mas Ardian? Mas Roy?”

“Ternyata kamu juga melayat kemari,” sapa Ardian.

“Iya, Aira teman sekolah saya. Mas juga kenal?”

“Iya, kami berteman. Kalau tahu kamu juga melayat, pasti tadi aku samperin,” kata Roy seenaknya, lupa bahwa saat melayat ke pemakaman tadi berangkatnya dari kantor, bukan dari rumah yang berdekatan dengan rumah Pratiwi.

“Nggak apa-apa.”

“Ayo pulangnya bareng,” ajak Ardian.

“Tidak, terima kasih.”

“Kenapa tidak? Kita sejalan kan?” nekat Roy.

“Tidak usah, saya membawa sepeda.”

“Sepeda motor?”

“Sepeda biasa. Mana saya punya sepeda motor?”

“Ah, sayang sekali,” kata Roy kecewa.

“Sudah Mas duluan sana, saya harus mengambil sepeda di penitipan.”

“Ya sudah, kamu hati-hati ya Wi,” pesan Ardian.

“Ya Mas, terima kasih.”

Mereka menuju ke tempat parkiran mobil, dan Pratiwi menuju ke arah dimana sepedanya ditinggalkan, sementara Rahayu sudah pergi duluan ketika temannya disapa oleh dua orang pemuda tampan.

Pratiwi mengambil sepedanya, lalu bersiap menaikinya. Tapi tiba-tiba disadarinya, bahwa sepedanya gembos. Pratiwi kebingungan. Menoleh ke sana-kemari, mencari di mana ada tukang reparasi sepeda yang biasanya bisa meminjamkan pompa.

Ia masih berjalan sambil menuntun sepedanya, ketika sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya, membuatnya hampir terjatuh karena terkejut.

“Hiih, kenapa sih, mobil jalannya minggir banget begitu?” gerutunya sambil cemberut. Tapi tak di sangka, pengemudi mobil itu turun dan mendekatinya.

Pratiwi masih terus menuntun sepedanya.

“Tiwi! Kenapa sepeda kamu?”

Pratiwi terkejut. Melihat ke arah siapa yang menyapanya.

“Oh, Mas Bondan?”

“Sepeda kamu kenapa?”

“Nggak tahu nih, gembos. Bocor barangkali.”

Bondan menoleh ke kiri dan ke kanan. Tampaknya juga mencari tukang tambal ban. Tapi di sekitar tempat itu tak ada.

“Di sekitar tempat ini tak ada tukang tambal ban Wi, ayo aku antar saja.”

“Mana mungkin, saya kan bawa sepeda. Nggak apa-apa, biar saya bawa saja, di depan sana pasti ada.”

“Jangan, jauh, tahu.”

“Nggak apa-apa Mas, biar saja,” kata Pratiwi yang sungkan karena Bondan terus mengikutinya.

“Begini saja. Tolong berhentilah dulu. Jangan pergi ke mana-mana,” kata Bondan sambil bergegas menuju ke arah pemakaman kembali.

Pratiwi bingung, tak tahu apa yang akan dilakukan Bondan, tapi untuk terus berjalan, dia sungkan, karena Bondan memintanya untuk tidak pergi ke mana-mana. Iapun menunggu, barangkali Bondan akan meminjam pompa sepeda dari entah siapa.

Tapi ketika Bondan kembali, ia tidak sendiri. Ia datang bersama seorang laki-laki setengah tua yang masih tampak gagah, memakai celana kombor pendek sebatas lutut.

“Tiwi, biar sepedamu dibawa pak Jogo.”

Pratiwi membiarkan laki-laki yang dipanggil pak Jogo itu. Ia merasa lega, karena rupanya pak Jogo tahu, di mana tempat tukang tambal ban.

“Ayo, kamu ikut aku saja,” kata Bondan.

Pratiwi terkejut. Tak tahu apa yang dimaksud Bondan.

“Bagaimana sih Mas, aku tak bisa meninggalkan sepeda aku begitu saja. Kan aku setiap pagi harus ke pasar.”

“Iya, aku tahu, tapi pak Jogo juga harus mencari dulu tukang tambal ban yang tempatnya jauh dari sini. Jadi ayo ikut aku saja.”

“Tap … ppi…,”

“Ayo, ikut saja, aku sudah tahu di mana rumah kamu,” katanya sambil membukakan pintu depan mobil.

“Aku … maaf, tidak bisa. Sepeda itu sangat aku butuhkan saat_”

“Ya aku tahu, nanti pak Jogo yang mengurusnya. Kamu tidak perlu khawatir, aku sudah memberi tahu alamat kamu, nanti entah bagaimana caranya, pak Jogo pasti akan mengantarkan sepeda kamu sampai di rumah.”

Pratiwi masih ragu-ragu, tapi perlahan ia memasuki mobil Bondan.

“Siapa pak Jogo?” tanya Pratiwi yang masih menghawatirkan sepedanya.

“Pak Jogo itu, orang yang bertugas menjaga makam keluargaku, mulai dari kakek buyut, nenek buyut, nanti sampai kalau aku juga meninggal,” terang Bondan sambil menjalankan mobilnya.

Pratiwi menoleh ke arah Bondan, perkataannya yang terakhir membuatnya merinding. Teringat olehnya Aira yang baru saja dimakamkan.

“Sekarang kamu percaya?”

“Merepotkan saja.”

“Tidak, kenapa merepotkan?”

“Dan aku belum memberinya uang untuk ongkos menambal.”

“Jangan khawatir. Kamu tidak usah memikirkannya.”

Pratiwi diam. Dibayangkannya kalau dia harus berjalan entah berapa kilometer untuk menemukan tukang tambal ban, sementara makam keluarga Juwana berada di pinggiran kota.

“Terima kasih.”

“Kalau pagi kamu punya kesibukan apa?”

“Aku membantu ibuku berjualan sayur.”

“Di pasar?”

“Tidak. Aku membelinya di pasar, kemudian menjualnya di dekat rumah.”

“Lama sekali tidak mendengar tentang kamu, sejak Aira lulus dari SMP.

“Ya, karena aku harus sekolah sambil jualan. Ibuku sudah tak bisa melakukannya.”

“Ibu kamu sudah tua?”

“Sebetulnya belum sangat tua, masih sehat secara fisik. Tapi dia buta.”

“Apa? Ibu kamu … buta? Dulu kami kan pernah bertemu saat aku menjemput Aira yang sedang belajar bersama kamu?”

Karena kecelakaan. Mata ibu terkena pecahan kaca, menyebabkannya menjadi buta.”

“Ibumu tertabrak mobil?”

“Iya. Mobil orang mabuk. Setelah menyerempet ibuku, mobilnya menabrak pohon. Pecahan kaca mengenai kedua mata ibuku,” kata Pratiwi sedih.

Bondan sangat terkejut, bukan hanya karena mendengar kisah pilu yang dialami bu Kasnah, tapi juga mendengar bahwa penabraknya adalah orang mabuk. Ingatannya melayang ke arah Aira, yang karena salah pergaulan, maka mengalami kecelakaan dalam keadaan mabuk, yang berakibat merenggut nyawanya.

Bondan menghela napas berat, lalu mengusap wajahnya kasar.

“Aku prihatin tentang Aira.”

“Setelah aku bekerja di luar kota, tak ada yang mengawasinya. Dulu kemana-mana aku selalu mengantarnya. Bapak dan ibu sangat memanjakannya, tanpa sadar dengan siapa Aira bergaul. Tapi ya sudahlah, semuanya sudah terjadi.”

Pratiwi diam, kedesihan kembali melingkupi hatinya.

“Waduh, kenapa pula mobil itu?” kata Bondan tiba-tiba, ketika melihat mobil berhenti di tepi jalan, dan dua orang laki-laki sedang berusaha mencopot ban belakangnya.

Serta merta Bondan menghentikan mobilnya.

“Perlu bantuan Mas?” kata Bondan sambil turun.

Tapi Pratiwi terkejut melihat siapa mereka.

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...