Friday, January 27, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 04

 

SETANGKAI BUNGAKU  04

(Tien Kumalasari)

 

Sepeninggal Pratiwi, Ratna dan Sasmi segera mengambil sayur-sayur tersebut dan dipetiknya bersama-sama.

“Sayang sekali, Pratiwi menolak keinginan kita,” kata Ratna.

“Padahal kelihatan sekali bahwa Pratiwi itu anak pintar. Keinginan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi itu kan sudah pasti.”

“Rupanya dia sungkan.”

“Ya, sangat sungkan, mengingat biaya kuliah kan mahal, dan harus orang lain yang membiayainya.”

“Dasarnya memang tak mau berhutang budi. Anak baik.”

“Tapi tadi saya dengar dia mendapat berita bahwa temannya meninggal? Sepertinya kecelakaan. Kok sama dengan cerita anak-anak kemarin,” kata Sasmi mengingat kepergian Pratiwi dengan tergesa-gesa tadi, adalah karena ditelpon temannya.

“Temannya Roy dan Ardian itu kan punya mobil, jadi pasti dia anak orang kaya.”

“Maksud Mbak, karena dia orang kaya, maka tak mungkin temannya Pratiwi?” protes Sasmi.

“Bukan merendahkan sih, tapi sekolah Pratiwi kan ya sekolah biasa-biasa saja, sedangkan temannya Roy itu pastinya sekolah di sekolah-sekolah favorit yang mahal. Maaf, bukan merendahkan Pratiwi sih. Tapi ya nggak tahu juga sih, aku jadi seperti merendahkan ya?” sesal Ratna.

“Kemungkinan itu ada, entahlah. Ayo Mbak lanjutin ya, aku mau meracik bumbu,” kata Sasmi sambil berdiri dan mengambil tempat bumbu.

“Anak muda sekarang, banyak yang kurang hati-hati dalam menjalani pergaulan. Seharusnya bukan asal senang, tapi juga harus melihat, teman bergaulnya seperti apa,” gumam Ratna yang rupanya masih teringat tentang kecelakaan yang menimpa teman anaknya.

“Kita beruntung, anak-anak kita tidak larut dalam kesenangan itu. Semoga kejadian yang menimpa Aira bisa membuka mata mereka, bahwa mabuk-mabukan bisa menghilangkan kesehatan nurani,” sahut Sasmi.

“Menghilangkan akal sehat,” sambung Ratna.

“Apa itu pacarnya Roy ya?”

“Bukan, mereka bilang bukan pacar dari keduanya. Mereka hanya berteman.”

“Tapi tampaknya dia mengejar-ngejar Roy. Apa Roy akan merasa terganggu dengan kejadian itu ya?”

“Ya tidak lah Sas. Kalau tidak ada rasa apa-apa ya tidak akan terganggu. Yang ada adalah rasa sesal dan berduka.”

“Kalau itu pasti lah. Kehilangan teman juga menyedihkan, apalagi dengan cara yang sangat tragis.”

“Iya, benar.”

***

Pelayat yang mengantarkan jenazah Aira memenuhi area pemakaman keluarga yang ditata apik dan rapi. Tak ada wajah cerah diantara mereka. Semuanya muram, bahkan ada yang berurai air mata.

Di dekat peti, berdiri pak Juwono dan istri, kedua orang tua Aira, lalu Ratih, adik Aira, dan seorang laki-laki gagah. Laki-laki itu Bondan, kakak tertua Aira yang bekerja di luar kota, dan baru saja datang.

Dari sekian banyak pelayat, seorang gadis cantik berpenampilan sederhana, melangkah perlahan mendekati keluarga Aira. Dia adalah Pratiwi, teman Aira semasa SMP.

“Saya ikut berduka cita Pak,” kata Pratiwi lembut, lalu mencium tangan pak Juwana. Demikian juga dilakukannya untuk ibu Juwana. Kemudian Pratiwi mendekati Ratih, memeluknya, dan ikut meneteskan air mata ketika Ratih memeluknya sambil terisak.

“Aku ikut berduka ya Tih, Aira teman baik aku.”

“Iya Mbak, terima kasih banyak.”

“Ini teman Aira juga kan? Aku seperti tak asing melihatnya,” kata bu Juwana sambil menunjuk ke arah Pratiwi.

“Iya, saya Pratiwi, teman Aira ketika SMP. Dulu sering main ke rumah,” jawab Pratiwi sambil tersenyum dibalik wajah duka nya.

“O, Pratiwi ya? Aku tadi sedang mengingat-ingat, seperti pernah mengenal, ternyata Pratiwi,” kata Bondan yang berdiri di samping Ratih.

“Iya. Ini Mas Bondan kan?”

“Bagus sekali, senang kamu masih mengingat aku.”

“Mas Bondan tidak berubah sejak dulu,” kata Pratiwi.

“Tetap tampan ya?” godanya.

Pratiwi hanya tersenyum, kemudian berusaha menjauh. Tapi Ratih kemudian mengikutinya.

“Lama sekali nggak ketemu, Mbak Tiwi sekarang di mana?”

“Aku masih di rumah yang dulu, peninggalan almarhum ayahku.”

“Seringlah main ke rumah. Setelah mbak Aira meninggal, aku tak punya teman.”

“Bukankah kamu kuliah?”

“Aku malas kuliah lagi.”

“Kenapa?”

“Biasanya aku selalu bersama Mbak Aira. Sekarang jadi malas, seringlah datang ke rumah aku ya?”

“Baiklah, setelah selesai berjualan, aku akan ke rumah kamu.”

“Jualan apa?”

“Aku meneruskan usaha ibuku, jualan sayur, setelah ibu tidak bisa melihat.”

“Tidak bisa melihat? Maksudnya apa?”

“Ibuku buta karena mengalami kecelakaan.”

“Ya Tuhan, banyak cerita terlewatkan setelah lama kita tidak bertemu. Dulu Mbak Tiwi sering datang ke rumah.”

“Iya, waktu sekolah, dan aku belum punya pekerjaan. Selepas SMA aku di rumah, membantu ibu jualan sayur.”

“Mbak, aku juga pengin main ke rumah Mbak Tiwi. Ketemu ibu. Kan dulu aku sering ikut Mbak Aira main ke sana.”

“Iya Tih, datanglah ke rumah. Ibu pasti senang, dan masih ingat kok. Tadi juga nangis ketika aku pamit mau melayat kemari."

“Aku balik ke sana dulu, ibu mencari-cari aku, dan tampaknya sudah saatnya mau dikuburkan, aku harus ikut berdoa.”

“Ya, aku juga akan berdoa untuk sahabat lama aku.”

Ratih sekali lagi memeluk Pratiwi, kemudian meninggalkannya.

Dulu semasa SMP, Aira dan Pratiwi bersahabat. Karena kalau Aira kurang mengerti tentang pelajaran sekolah, pasti selalu main ke rumah Pratiwi untuk bertanya. Pratiwi anak pintar, dan Aira tak bisa lepas dari sahabatnya ini. Hanya saja ketika SMA, kemudian mereka jarang atau bahkan tak pernah bertemu, karena mereka melanjutkan di sekolah yang berbeda. Pratiwi memilih SMA sore, karena harus membantu ibunya.

Kabar meninggalnya Aira sangat membuatnya berduka. Entah mengapa sampai terjadi kecelakaan itu, Pratiwi belum sepenuhnya tahu. Ratih hanya saling berkabar dengan dirinya di saat sebelum Aira dimakamkan.

Tapi kemudian ada salah seorang temannya lagi yang mendekatinya, menceritakan semuanya.

Pratiwi sangat terkejut mendengar Aira meninggal dalam keadaan mabuk.

“Bagaimana mungkin, gadis sebaik Aira kemudian menjadi pemabuk?” tanya Pratiwi pada Rahayu, temannya.

“Dia kan anak orang kaya, kemudian salah pergaulan, ya itulah jadinya,” kata Rahayu.

“Kasihan sekali Aira, beberapa tahun tidak bertemu, ketika melihatnya, sudah dalam keadaan seperti itu.”

Pratiwi tak tahan untuk tidak mengusap air matanya.

***

Pratiwi masih berjalan di area pemakaman itu sambil terus menyesali kepergian sahabat lamanya. Sesekali ia mengusap air matanya, ketika mengingat, betapa dekatnya mereka waktu itu. Lalu keadaan memisahkan mereka. Aira melenggang ke sekolah yang lebih bergengsi, dan dirinya melanjutkan sekolah yang bisa dijalaninya sambil bekerja.

“Pratiwi! Itu Pratiwi kan?” teriak Roy yang beriringan dengan Ardian.

“Sssh, jangan berteriak. Ini bukan di rumah kamu,” tegur Ardian, yang kemudian ikut bergegas mengiringi langkah Roy.

“Tiwi!” teriak Roy lagi saat sudah dekat.

Pratiwi yang masih berjalan di samping Rahayu, kemudian berhenti.

“Mas Ardian? Mas Roy?”

“Ternyata kamu juga melayat kemari,” sapa Ardian.

“Iya, Aira teman sekolah saya. Mas juga kenal?”

“Iya, kami berteman. Kalau tahu kamu juga melayat, pasti tadi aku samperin,” kata Roy seenaknya, lupa bahwa saat melayat ke pemakaman tadi berangkatnya dari kantor, bukan dari rumah yang berdekatan dengan rumah Pratiwi.

“Nggak apa-apa.”

“Ayo pulangnya bareng,” ajak Ardian.

“Tidak, terima kasih.”

“Kenapa tidak? Kita sejalan kan?” nekat Roy.

“Tidak usah, saya membawa sepeda.”

“Sepeda motor?”

“Sepeda biasa. Mana saya punya sepeda motor?”

“Ah, sayang sekali,” kata Roy kecewa.

“Sudah Mas duluan sana, saya harus mengambil sepeda di penitipan.”

“Ya sudah, kamu hati-hati ya Wi,” pesan Ardian.

“Ya Mas, terima kasih.”

Mereka menuju ke tempat parkiran mobil, dan Pratiwi menuju ke arah dimana sepedanya ditinggalkan, sementara Rahayu sudah pergi duluan ketika temannya disapa oleh dua orang pemuda tampan.

Pratiwi mengambil sepedanya, lalu bersiap menaikinya. Tapi tiba-tiba disadarinya, bahwa sepedanya gembos. Pratiwi kebingungan. Menoleh ke sana-kemari, mencari di mana ada tukang reparasi sepeda yang biasanya bisa meminjamkan pompa.

Ia masih berjalan sambil menuntun sepedanya, ketika sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya, membuatnya hampir terjatuh karena terkejut.

“Hiih, kenapa sih, mobil jalannya minggir banget begitu?” gerutunya sambil cemberut. Tapi tak di sangka, pengemudi mobil itu turun dan mendekatinya.

Pratiwi masih terus menuntun sepedanya.

“Tiwi! Kenapa sepeda kamu?”

Pratiwi terkejut. Melihat ke arah siapa yang menyapanya.

“Oh, Mas Bondan?”

“Sepeda kamu kenapa?”

“Nggak tahu nih, gembos. Bocor barangkali.”

Bondan menoleh ke kiri dan ke kanan. Tampaknya juga mencari tukang tambal ban. Tapi di sekitar tempat itu tak ada.

“Di sekitar tempat ini tak ada tukang tambal ban Wi, ayo aku antar saja.”

“Mana mungkin, saya kan bawa sepeda. Nggak apa-apa, biar saya bawa saja, di depan sana pasti ada.”

“Jangan, jauh, tahu.”

“Nggak apa-apa Mas, biar saja,” kata Pratiwi yang sungkan karena Bondan terus mengikutinya.

“Begini saja. Tolong berhentilah dulu. Jangan pergi ke mana-mana,” kata Bondan sambil bergegas menuju ke arah pemakaman kembali.

Pratiwi bingung, tak tahu apa yang akan dilakukan Bondan, tapi untuk terus berjalan, dia sungkan, karena Bondan memintanya untuk tidak pergi ke mana-mana. Iapun menunggu, barangkali Bondan akan meminjam pompa sepeda dari entah siapa.

Tapi ketika Bondan kembali, ia tidak sendiri. Ia datang bersama seorang laki-laki setengah tua yang masih tampak gagah, memakai celana kombor pendek sebatas lutut.

“Tiwi, biar sepedamu dibawa pak Jogo.”

Pratiwi membiarkan laki-laki yang dipanggil pak Jogo itu. Ia merasa lega, karena rupanya pak Jogo tahu, di mana tempat tukang tambal ban.

“Ayo, kamu ikut aku saja,” kata Bondan.

Pratiwi terkejut. Tak tahu apa yang dimaksud Bondan.

“Bagaimana sih Mas, aku tak bisa meninggalkan sepeda aku begitu saja. Kan aku setiap pagi harus ke pasar.”

“Iya, aku tahu, tapi pak Jogo juga harus mencari dulu tukang tambal ban yang tempatnya jauh dari sini. Jadi ayo ikut aku saja.”

“Tap … ppi…,”

“Ayo, ikut saja, aku sudah tahu di mana rumah kamu,” katanya sambil membukakan pintu depan mobil.

“Aku … maaf, tidak bisa. Sepeda itu sangat aku butuhkan saat_”

“Ya aku tahu, nanti pak Jogo yang mengurusnya. Kamu tidak perlu khawatir, aku sudah memberi tahu alamat kamu, nanti entah bagaimana caranya, pak Jogo pasti akan mengantarkan sepeda kamu sampai di rumah.”

Pratiwi masih ragu-ragu, tapi perlahan ia memasuki mobil Bondan.

“Siapa pak Jogo?” tanya Pratiwi yang masih menghawatirkan sepedanya.

“Pak Jogo itu, orang yang bertugas menjaga makam keluargaku, mulai dari kakek buyut, nenek buyut, nanti sampai kalau aku juga meninggal,” terang Bondan sambil menjalankan mobilnya.

Pratiwi menoleh ke arah Bondan, perkataannya yang terakhir membuatnya merinding. Teringat olehnya Aira yang baru saja dimakamkan.

“Sekarang kamu percaya?”

“Merepotkan saja.”

“Tidak, kenapa merepotkan?”

“Dan aku belum memberinya uang untuk ongkos menambal.”

“Jangan khawatir. Kamu tidak usah memikirkannya.”

Pratiwi diam. Dibayangkannya kalau dia harus berjalan entah berapa kilometer untuk menemukan tukang tambal ban, sementara makam keluarga Juwana berada di pinggiran kota.

“Terima kasih.”

“Kalau pagi kamu punya kesibukan apa?”

“Aku membantu ibuku berjualan sayur.”

“Di pasar?”

“Tidak. Aku membelinya di pasar, kemudian menjualnya di dekat rumah.”

“Lama sekali tidak mendengar tentang kamu, sejak Aira lulus dari SMP.

“Ya, karena aku harus sekolah sambil jualan. Ibuku sudah tak bisa melakukannya.”

“Ibu kamu sudah tua?”

“Sebetulnya belum sangat tua, masih sehat secara fisik. Tapi dia buta.”

“Apa? Ibu kamu … buta? Dulu kami kan pernah bertemu saat aku menjemput Aira yang sedang belajar bersama kamu?”

Karena kecelakaan. Mata ibu terkena pecahan kaca, menyebabkannya menjadi buta.”

“Ibumu tertabrak mobil?”

“Iya. Mobil orang mabuk. Setelah menyerempet ibuku, mobilnya menabrak pohon. Pecahan kaca mengenai kedua mata ibuku,” kata Pratiwi sedih.

Bondan sangat terkejut, bukan hanya karena mendengar kisah pilu yang dialami bu Kasnah, tapi juga mendengar bahwa penabraknya adalah orang mabuk. Ingatannya melayang ke arah Aira, yang karena salah pergaulan, maka mengalami kecelakaan dalam keadaan mabuk, yang berakibat merenggut nyawanya.

Bondan menghela napas berat, lalu mengusap wajahnya kasar.

“Aku prihatin tentang Aira.”

“Setelah aku bekerja di luar kota, tak ada yang mengawasinya. Dulu kemana-mana aku selalu mengantarnya. Bapak dan ibu sangat memanjakannya, tanpa sadar dengan siapa Aira bergaul. Tapi ya sudahlah, semuanya sudah terjadi.”

Pratiwi diam, kedesihan kembali melingkupi hatinya.

“Waduh, kenapa pula mobil itu?” kata Bondan tiba-tiba, ketika melihat mobil berhenti di tepi jalan, dan dua orang laki-laki sedang berusaha mencopot ban belakangnya.

Serta merta Bondan menghentikan mobilnya.

“Perlu bantuan Mas?” kata Bondan sambil turun.

Tapi Pratiwi terkejut melihat siapa mereka.

***

Besok lagi ya.

36 comments:

  1. Alhamdulillah .....
    eSBeKa eps 5;sdh tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya..... kesusu
      Yang benar eSBeKa episode 04, Jum'at 27 Januari 2023
      Maaf...... matur nuwun mas Nna Yang koreksine....

      Delete
    2. manusang bu Tien, bu Tien pancen hebat tamu pulang langsung nulis seperti air mengalir terus selesai kemudian tayang. piawai dlm menulis dan menetaskan ide.

      Delete
  2. Matur nuwun mbakyu, sugeng dalu, ugi salam kagem kangmas Tom Widayat

    ReplyDelete
  3. Lho kok? Keren bu Tien ngebut...katanya ada tamu ga sempat nulis...😀👍👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tamune ko Semarang (kanca sekolah) kundor langsung ngebut ngetik nang laptopnya..... Alhamdulillah beres trus tayang.
      Terima kasih bu Tien..... demi para penyemangatnya, gak peduli capek tetep nyerat

      Delete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku, SB04 telah tayang.

    ReplyDelete
  5. Ini dia ada orang ketiga, Roy dan Ardian tidak boleh ngiri. Maka ceritanya makin tambah asik.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah SB04 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  7. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto, Wirosobokemislegi, Trie Cahyo Wibowo,

    ReplyDelete
  8. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto, Wirosobokemislegi, Trie Cahyo Wibowo,

    ReplyDelete
  9. Walah nasib mu Wi Tiwi, nggak mau dianter dua cowok ganteng malah semobil sama Bondan, tapi kan pas sepedanya gembos hé hé hé hé.
    Ih kaya apa sewotnya dua anak Luminto, kok mau tuh semobil sama Bondan, Adrian dan Roy kemana mana berdua, takut hilang ngkali, repot donk kalau naksir gadis terus salah satu harus mengalah gitu kaya pesan ibu mereka.
    Waduh rupanya kena ranjau paku rupanya, tuh sepeda Tiwi juga; jadi terpaksa diantar Bondan, jangan jangan Roy nggak tahu Bondan itu kakak Aira; pakai njenggureng semu nesu malah kåyå unta, nganggo ndingkluk sithik.
    Dipisah Wi, jangan sampai ribut kasih tahu kalau itu kakak almarhumah, masalahnya sama sama cari jodoh tuh orang, kalau Tiwi mau disuruh kuliah lagi kan ditawari sama Bu Ratna tadi.
    Jadi klething kuning nih critané; iyå tapi kan nggak mambu bêsêngèk.
    Cah saiki ora ngêrti klêthing kuning, ngêrtiné Cinderella, åpå putri salju; kalau deket bikin adem ayem ya.
    Kuwi nini Sadem jare simbah, deket deket si dia bikin adem.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke empat sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  10. Makasih mba Tien.
    Sehat dan selalu semangat. Aduhai

    ReplyDelete

  11. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~04 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien Kumalasari cerbung SB episode 04 sampun tayang. Salam sehat tuwin Salam taklim kagem keluargo .

    ReplyDelete
  13. Trims Bu Tien....salam sehat selalu Bu tien

    ReplyDelete
  14. Terima kasih bunda cerbungnya..semoga bunda sht selalu dan tetap semangat .slm seroja dri skbmi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  15. Loooo ternyata tayang katanya ada tamu ,,tak tinggal tidur,,,,weeellaa ,,,aku bangun pagi sdh siap saji ,,hebat jeng Tien ngebut,,,salam sehat selalu

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah
    Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat dan aduhai selalu

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal'afiat, bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  18. Terima kasih bu tien.. alhamdulilah sb 4 sdh tayang
    Nungguin sampe ketiduran ...semoga bu tien sll sehat dan dalam lindungan Allah SWT aamiin yra

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah , terlambat ternyata kmrn tayang baru sempat buka , Terima kasih bu tien semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  20. Alhamdulilah, mbakyu,Tienkumalasari sudah sehat kembali, matur nuwun SB epsd 4 inggih, salam aduhaai dan kangen dari Cibubur ya

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 04 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  22. Sudah jam setengah dua belas eSBeKa_05 kok blm tayang ya ???
    Semoga bunda Tien Kumalasari sehat wal afiat.

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...