Saturday, January 28, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 05

 

SETANGKAI BUNGAKU  05

(Tien Kumalasari)

 

“Itu kan mas Roy sama mas Ardian?  Aduh, aku keluar nggak ya, nanti dikira sombong. Ya sudah, lebih baik aku keluar saja,” gumam Pratiwi.

Bondan sudah mendekati mereka, bermaksud membantu, dan kedua anak muda itu belum menjawab pertanyaannya, karena masih berkutat dengan alat yang akan dipergunakan untuk mencopot ban nya.

“Ada yang bisa dibantu?” tanya Bondan lagi.

Barulah Roy dan Ardian menoleh.

“Oh, tidak, hanya akan mengganti ban kami yang tiba-tiba kempes, terima kasih,” jawab Ardian ramah.

Tapi Joy kemudian melihat Pratiwi datang mendekat. Seketika rasa kesalnya muncul. Tadi ditawari untuk diajak bareng menolak, lalu sekarang bersama laki-laki muda gagah yang belum dikenalnya. Apakah itu pacar Pratiwi, lalu karena sungkan kemudian Pratiwi mengatakan bahwa dia naik sepeda, ketika keduanya menawarkan bareng?

Wajahnya muram seketika. Ia berdiri dan mendekati Bondan dan menatapnya dengan pandangan marah.

“Kami sudah bisa melakukannya, jadi Anda jangan sok baik hati ingin membantu,” katanya  ketus, tanpa ada hujan dan angin menerpa.

Bondan tentu saja heran, melihat laki-laki didepannya tiba-tiba memandangnya marah.

“Mas, Anda bicara apa? Saya benar-benar ingin membantu, kalau barangkali ada yang bisa saya lakukan.”

“Benarkah? Bukan karena ingin pamer karena_”

“Mas Roy, kenapa Mas marah-marah?” tegur Pratiwi yang sudah ada di dekat mereka.

“Roy, ayo lanjutkan, ngapain kamu ?” Ardian juga menegurnya.

“Ayo kita pergi Mas,” kata Pratiwi sambil membalikkan tubuhnya untuk pergi, Bondan mengikutinya dengan heran. Tak tahu alasan laki-laki itu marah-marah, padahal dia sebenarnya ingin membantu.

Bondan menjalankan mobilnya pelan.

“Kamu kenal dia, Tiwi?”

“Dia tetangga aku. Tetangga jauh sih, tapi ibunya sering belanja di warung sayurku.”

“Kenapa dia marah ya?”

“Nggak tahu aku. Apa karena dia marah melihat aku ya?”

“Kenapa marah? Dia suka sama kamu?”

“Bukan,” Pratiwi tersenyum, tersipu.

“Kalau bukan kenapa dia marah-marah?”

“Itu mungkin dia kesal sama akau, tanpa mengetahui penyebab yang sebenarnya.”

“Aku tidak mengerti.”

“Tadi mereka menawari aku untuk diajak pulang bersama, aku menolak karena aku bawa sepeda kan, dan itu benar. Siapa tahu sepeda aku ternyata gembos lalu ketemu mas Bondan dan inilah yang terjadi.”

“O, dia tidak tahu apa yang terjadi, dia mengira kamu memilih bersama aku dari pada bersama dia?”

“Ya, pasti itu penyebabnya.”

“Kenapa tidak lebih baik bertanya saja? Dan tiba-tiba marah?”

“Namanya orang kan macam-macam, Mas, ada yang sabar, ada yang tidak.”

“Tadi tuh namanya siapa?”

“Yang mendekati mas Bondan tadi, mas Roy, yang satunya, mas Ardian. Mereka itu kakak adik, seringnya kemana-mana selalu berdua.”

“Kakak adik? Satunya santun dan baik, satunya pemarah.”

“Dua-duanya sebenarnya baik kok, hanya bawaannya beda-beda.”

Bondan diam, tapi sebenarnya dia mencatat nama Roy. Almarhumah adiknya sering menyebut nama Roy.

“Dia kah orangnya? Aira pernah mengaku suka sama Roy, walau tidak dijelaskannya secara rinci, makna suka itu. Apa mereka pernah dekat? Atau bahkan pacaran? Mengapa lebih suka Roy, bukan kakaknya yang kalm itu saja?” kata batin Bondan.

“Tiwi, tahukah kamu, sejauh apa hubungan Aira dengan Roy?”

“Wah, nggak tahu Mas, bahkan aku juga tidak tahu kalau mereka kenal. Tahunya ya setelah sama-sama melayat itu tadi.”

“Kamu tidak dekat dengan keluarganya Roy?”

“Ibunya sering belanja sayur di tempat aku, dan juga sering minta dipijit oleh ibu. Ibu kan punya pekerjaan jadi tukang pijit juga?”

“Tapi kamu tidak dekat dengan anak-anaknya?”

“Ya kenal biasa saja Mas, karena keluarga mereka itu orang-orang baik dan dermawan. Bukan hanya kepada aku, tapi kepada semua orang.”

***

Ardian dan Roy sudah selesai memasang ban serepnya setelah mencopot ban nya yang gembos, lalu mereka kembali ke kantor. Ardian kesal karena Roy tiba-tiba tampak uring-uringan. Ardian juga tak suka pada sikap Roy tadi.

“Kenapa kamu tadi marah-marah sama dia sih Roy?”

“Dia itu kan sombong. Kamu tidak melihatnya?”

“Sombong bagaimana? Dia menyapa dengan baik-baik kok.”

“Sudah tahu sedang mengganti ban, dan bukan karena mobil rusak? Mengapa dia berhenti dan sok baik dengan menawarkan bantuan,” gerutu Joy.

“Dia tidak bermaksud buruk, kamu menuduhnya yang bukan-bukan.”

“Kamu tidak ingat, tadi Pratiwi kita ajak pulang bersama, tapi dia menolak. Lalu tiba-tiba bareng dengan laki-laki itu, yang entah siapa. Siapa yang tidak kesal, coba?”

Ardian mentertawakan tingkah adiknya yang dianggapnya aneh dan kekanak-kanakan.

“Hanya karena itu, kamu marah. Biarin saja. Pasti ada alasannya. Kamu tidak usah marah.”

Roy terdiam. Memang dia tidak harus marah, kenapa marah? Kalau Pratiwi memilih laki-laki itu, apa dia berhak marah? Tapi entah kenapa, Roy selalu tak bisa mengendalikan sikapnya.

“Sudah, kalau kamu masih marah, mana, biar aku yang pegang kemudi. Jalanan ramai, jangan sampai kamu menabrak pengendara lain.”

“Siapa yang marah, aku tidak marah.”

“Sikapmu terhadap pria itu juga tampak aneh, dia bermaksud baik, kamu menuduhnya yang bukan-bukan.”

“Maaf,” akhirnya kata Roy.

“Minta maaflah sama dia, kenapa sama aku?”

Roy terdiam, tapi ia mengendarai mobilnya dengan lebih tenang. Jalanan memang sedang ramai. Saatnya anak sekolah pulang pula.

***

“Ya ampun, ini Nak Bondan? Yang dulu sering menjemput Aira?” kata bu Kasnah ketika Bondan sampai di rumah Pratiwi.

“Iya Bu. Saya prihatin melihat keadaan ibu sekarang,” kata Bondan dengan raut muka sedih.

“Terima kasih Nak, tapi ibu tidak apa-apa. Terkadang apa yang terjadi, bukan lah yang kita harapkan. Tapi bahwa manusia memiliki garis takdirnya masing-masing, itu harus kita fahami dan kita syukuri. Selalu ada jalan untuk melangkah lebih baik, bukan?”

“Bu Kasnah sungguh bijak. Syukurlah kalau bisa menerima semua  dengan ikhlas. Bu Kasnah harus bersyukur, memiliki putri sebaik Pratiwi, yang bisa memikul semua kebutuhan keluarga, dengan segala keikhlasan yang dia miliki.”

“Hanya dia satu-satunya yang bisa ibu harapkan.”

“Ya sudah bu, saya tidak bisa lama-lama, karena di rumah masih banyak tamu,” kata Bondan sambil berdiri.

“Iya Nak, kok ya pakai mengantarkan Pratiwi segala,  kan masih dalam suasana berkabung.”

“Kebetulan melihat Pratiwi jalan, dan sepedanya gembos, tapi nanti pasti ada yang mengantarkannya kemari.”

“Iya nak, terima kasih banyak, dan sekali lagi ibu ikut berduka cita, atas meninggalnya nak Aira. Dulu sering datang kemari, dan sangat dekat dengan Pratiwi. Tadi ketika Pratiwi mengabari, ibu sempat menangis. Dia masih sangat muda.”

“Iya Bu, dan seperti tadi ibu katakan, bahwa sebuah garis nasib terkadang berbeda dengan harapan kita.”

“Mari kita doakan agar nak Aira diterima disisiNya, dan mendapatkan sorga mulia ya Nak.”

“Terima kasih Bu.”

Pratiwi mengantarkan sampai ke depan, dan berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Bondan yang telah menolongnya.

“Sudah, nanti kamu kehabisan ucapan terima kasih karena sudah berkali-kali mengucapkannya,” kata Bondan sambil mendekati mobilnya.

“Salam buat Ratih ya, kapan-kapan aku akan datang menemui dia.”

“Iya Wi, kasihan Ratih. Biasanya kemana-mana selalu berdua.”

“Semoga aku akan bisa menghiburnya.”

***

“Tih, kemana kakakmu, sejak dari pemakaman tadi kok ibu tidak melihatnya,” kata bu Juwono kepada Ratih.

“Tadi kan pulang belakangan, tidak bareng Ratih.”

“Ibu kira dia semobil sama kamu.”

“Tidak Bu, dari bandara dia ambil mobil ke rumah, langsung ke pemakaman, jadi dia membawa mobil sendiri.”

“Kemana anak itu. Kamu nggak menelponnya? 

"Ponselnya tidak dibawa, tuh, ditinggal di kamarnya. Jadi tadi sepulang dari bandara, meletakkan bawaan dan langsung berangkat. Ponselnya ada di tas pinggang yang diletakkan di atas kasur."

“Anak itu, kemana saja.”

“Tuh dia datang,” kata pak Juwono yang ada di depan bersama tamu-tamunya.

Bondan memberi salam kepada tamu-tamu ayahnya, kemudian langsung masuk ke dalam.

“Kamu kemana saja sih Bon?” tanya ibunya.

“Mengantarkan Pratiwi pulang. Tapi cuma mengantarkan, lalu Bondan langsung pulang. Lama ya?”

“Kenapa harus mengantarkan Pratiwi? Tadi banyak tamu yang menanyakan kamu.”

“Ketika Bondan mau pulang, Bondan melihat Pratiwi sedang jalan sambil menuntun sepedanya. Rupanya sepedanya gembos. Bondan kasihan, lalu mengantarkannya pulang.”

“Lalu sepeda mbak Tiwi ditinggalkan di mana?” tanya Ratih.

“Aku suruh pak Jogo menambalkannya, lalu mengantarkannya ke rumah Pratiwi.”

“Bukannya rumah Pratiwi itu lumayan jauh? Kalau dari pemakaman tadi, maksud ibu.”

“Iya Bu, mau bagaimana lagi.”

“Pak Jogo harus kamu beri uang transport dong.”

“Sudah, ibu tidak usah khawatir.”

“Mas Bondan akan lama di sini bukan?”

“Aku hanya cuti tiga hari.”

“Ratih nggak punya teman,” kata Ratih, sedih.

“Seringlah main ke rumah Pratiwi. Dia ada di rumah setelah berjualan.” Tadi dia juga bilang akan sering menemani kamu,” hibur Bondan.

“Iya, aku tadi juga minta agar dia sering datang kemari. Setelah mbak Aira masuk SMA, mereka kan tidak lagi satu sekolahan.”

“Setelah lulus SMA, Pratiwi berjualan sayur.”

“Di pasar?” tanya ibunya.

“Di rumah.”

“Orang tuanya masih ada kan?”

“Yang ada hanya ibunya. Bapaknya sudah meninggal. Dan ibunya buta.

“Buta?”

“Iya Bu, kasihan sekali. Karena kecelakaan.”

“Tadi mbak Tiwi juga cerita sedikit tentang ibunya. Kasihan juga.”

“Ya sudah Bon, kamu istirahat saja. Atau temani ayahmu menemui tamu-tamunya. Ibu juga mau istirahat, dari semalam tidak tidur,” kata Bu Juwono.

“Sebaiknya ibu beristirahat. Bondan mau minta agar ayah beristirahat juga, nanti kecapekan dan jatuh sakit,” kata Bondan.

“Mas, nanti malam ajak mbak Tiwi datang kemari dong.”

“Tadi aku sempat minta nomor ponselnya, nanti aku kabari dia.”

“Biar aku jemput saja, kasihan kalau dia harus naik sepeda,” kata Ratih.

“Biar aku saja yang menjemput. Kamu sama ibu istirahat saja sana, nanti malam masih ada acara pengajian di rumah.”

“Iya Mas.”

***

Ketika sedang minum teh di sore hari itu, Roy dan Ardian bercerita tentang Aira.  Mereka juga menyatakan keheranannya karena Pratiwi juga melayat ke pemakaman.

“Tuh benar kan Mbak, tadi yang dimaksud Pratiwi adalah Aira,” kata Sasmi.

“Iya, ternyata. Mereka berteman?”

“Tampaknya begitu. Ratih, adik Aira berbincang akrab tadi.”

“Ketika temannya menelpon tentang meninggalnya Aira, Pratiwi sedang ada di sini,” kata Ratna.

“Ibu hanya menduga-duga, apakah yang dimaksud itu Aira, soalnya Pratiwi bilang, mau melayat temannya yang meninggal karena kecelakaan.”

“Tahu begitu kita bisa sama-sama,” kata Roy.

“Bukankah Pratiwi sudah bersama pria ganteng itu tadi?”

“Mungkinkah mereka datang bersama-sama? Siapa sih pria itu?”

“Aku tidak tahu, tapi dia sepertinya keluarga dekat, soalnya berdiri diantara orang tua Aira. Apa Aira punya kakak?” tanya Ardian.

“Dia tidak pernah cerita tentang keluarganya. Yang aku tahu, Ratih adiknya, karena penah diajaknya pada suatu waktu. Entah acara apa, aku lupa.”

“Apa adiknya juga ikut bergaul dengan anak-anak muda teman Aira itu?” tanya sang ayah yang sedari tadi diam.

“Saya kira tidak, Pak. Aira selalu datang sendiri,” jawab Roy.

“Semoga dia tidak ketularan kakaknya, dan bergaul dengan anak-anak baik.”

“Aamiin.”

“Ar, nanti malam di rumah Aira ada pengajian. Itu kata teman-teman tadi. Kita ke sana?” kata Roy.

“Nggak apa-apa, ikut mendoakan.”

“Samperin Pratiwi yuk, pasti dia juga mau mendoakan temannya yang sudah almarhumah.”

“Dia tuh susah, paling juga nggak akan mau.”

“Pratiwi itu takut sama kalian. Kalian tampak sangat bernafsu begitu,” tukas sang ayah.

“Bapak tuh, orang kami tidak pernah mengganggu, lagi pula baru-baru ini saja kami memperhatikan Pratiwi, jarang ketemu sih,” kata Roy.

“Iya, pas Pratiwi jatuh malam-malam itu kan?”

“Ya sudah, bapak cuma bilang sedikit, jawabnya panjang banget,” kata pak Luminto sambil tersenyum.

“Jam berapa nanti kita ke rumah Aira?” tanya Ardian.

“Pengajian setelah Isya, nanti aku coba ngajak Pratiwi, barangkali mau.”

“Pastinya mau, kan Aira temannya. Kalau dia sendiri, nggak mungkin, harus ada yang nemenin, baru yu Kasnah mengijinkan,” kata Ratna.

***

Jam tujuh malam Ardian dan Roy sudah  sampai di rumah yu Kasnah. Roy menghentikan mobilnya agak jauh dari pagar rumah yu Kasnah, maksudnya mau memberi kejutan, karena kalau mereka mendengar suara mobil, pasti tidak akan terkejut.

Tapi kali ini yang terkejut bukan keluarga yu Kasnah. Justru Roy yang terkejut, karena melihat mobil yang baru datang, tiba-tiba parkir tepat di depan pagar.

“Dia lagi?” pekik Roy.

***

Besok lagi ya.

 

32 comments:


  1. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~05 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  2. 🦋🪷🍃🪷🍃🪷🍃🦋
    Alhamdulillah SB 05 telah
    hadir. Matur nuwun Bunda
    Tien. Semoga sehat selalu
    dan tetap smangaaats...
    Salam Aduhai...
    🦋🪷🍃🪷🍃🪷🍃🦋

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun bu Tien....
    eSBeKa 05 sdh tayang ..... maafkan daku....

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien, mugi tansah sehat nggih Bun

    ReplyDelete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  6. Hehe...ibu Tien...kok "besok lagi ya"nya dua kali? Padahal besok Minggu biasanya ga tayang...😅😚

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun mbak Tien-ku,SB5 tayang.

    ReplyDelete
  8. Setangkai Bunga diperebutkan oleh tiga kumbang... pasti ramai.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah sdh hadir yg ditungu2..suwun bunda Tien

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh datang...
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat .....

    ReplyDelete
  11. Sg enjang bu Tien, salam seroja, salam kejora pagi....maturnuwun.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah...
    Maturnuwun bu Tien...

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien Cerbung Sekuntum Bungaku episode 05 sudah tayang hampir tengah malam.
    Salam sehat dan salam hangat njih..

    ReplyDelete
  14. Alhamdulilah SB 05 sdh tayang tengah malam ...salam sehat bu tien

    ReplyDelete

  15. Alhamdulillah, matur nuwun, sehat wal’afiat dan bahagia selalu Bunda Tien . .

    ReplyDelete
  16. Seneng kalau ada ketakutan kehilangan berarti punya keinginan memiliki, kalah langkah dan posisi sama Bondan, kan sudah dianggap 'kakak', belum tau dia, kalau Bondan kakak Aira, seperti ada sesuatu yang ada pada Tiwi yang ingin direngkuhnya; biasa kalau perantau lagi pulang kampung, lihat kuncup bunga mulai bermekaran saling berebut mewarnai indah desanya, hm kembang desa kata orang, apalagi tahu Pratiwi anak cerdas.
    Nggak kebayang kekesalan Roy, bisa bisa nggak jadi ikut pengajian bersama, uh emosi dipiara, ya harus, kan bag pemasaran, ada greget capai target gitu.
    Tuh bisa nggak ngedeketin Tiwi, padahal kemana mana selalu ditemani Ardian, berarti kurang berani donk
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke lima sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  17. Hatur nuhun bunda .salam seroja sll dri sukabumi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 05 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  19. Terimakasih Bu Tien SETANGKAI BUNGAKU (SB) 05 telah tayang, sehat2 selalu ya Bu...salam aduuhaaaiiii

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah pengganti hari Jum'at tayang di hari Ahad
    Terimakasih bunda Tien, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  21. Ratih datang dikira Bondan...
    Terima kasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  22. Terina kasih Mba, saya baru ikut serta di komentar, saya tunggu lanjutannya, salam buat penggemar cerbung senuanya

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...