SETANGKAI BUNGAKU
05
(Tien Kumalasari)
“Itu kan mas Roy sama mas Ardian? Aduh, aku keluar nggak ya, nanti dikira
sombong. Ya sudah, lebih baik aku keluar saja,” gumam Pratiwi.
Bondan sudah mendekati mereka, bermaksud membantu, dan kedua anak muda itu belum menjawab pertanyaannya, karena masih berkutat dengan alat yang akan dipergunakan untuk mencopot ban nya.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya Bondan lagi.
Barulah Roy dan Ardian menoleh.
“Oh, tidak, hanya akan mengganti ban kami yang
tiba-tiba kempes, terima kasih,” jawab Ardian ramah.
Tapi Joy kemudian melihat Pratiwi datang mendekat.
Seketika rasa kesalnya muncul. Tadi ditawari untuk diajak bareng menolak, lalu
sekarang bersama laki-laki muda gagah yang belum dikenalnya. Apakah itu pacar
Pratiwi, lalu karena sungkan kemudian Pratiwi mengatakan bahwa dia naik sepeda,
ketika keduanya menawarkan bareng?
Wajahnya muram seketika. Ia berdiri dan mendekati
Bondan dan menatapnya dengan pandangan marah.
“Kami sudah bisa melakukannya, jadi Anda jangan sok
baik hati ingin membantu,” katanya ketus, tanpa ada hujan dan angin menerpa.
Bondan tentu saja heran, melihat laki-laki didepannya
tiba-tiba memandangnya marah.
“Mas, Anda bicara apa? Saya benar-benar ingin
membantu, kalau barangkali ada yang bisa saya lakukan.”
“Benarkah? Bukan karena ingin pamer karena_”
“Mas Roy, kenapa Mas marah-marah?” tegur Pratiwi yang
sudah ada di dekat mereka.
“Roy, ayo lanjutkan, ngapain kamu ?” Ardian juga
menegurnya.
“Ayo kita pergi Mas,” kata Pratiwi sambil membalikkan
tubuhnya untuk pergi, Bondan mengikutinya dengan heran. Tak tahu alasan laki-laki
itu marah-marah, padahal dia sebenarnya ingin membantu.
Bondan menjalankan mobilnya pelan.
“Kamu kenal dia, Tiwi?”
“Dia tetangga aku. Tetangga jauh sih, tapi ibunya
sering belanja di warung sayurku.”
“Kenapa dia marah ya?”
“Nggak tahu aku. Apa karena dia marah melihat aku ya?”
“Kenapa marah? Dia suka sama kamu?”
“Bukan,” Pratiwi tersenyum, tersipu.
“Kalau bukan kenapa dia marah-marah?”
“Itu mungkin dia kesal sama akau, tanpa mengetahui
penyebab yang sebenarnya.”
“Aku tidak mengerti.”
“Tadi mereka menawari aku untuk diajak pulang bersama,
aku menolak karena aku bawa sepeda kan, dan itu benar. Siapa tahu sepeda aku
ternyata gembos lalu ketemu mas Bondan dan inilah yang terjadi.”
“O, dia tidak tahu apa yang terjadi, dia mengira kamu
memilih bersama aku dari pada bersama dia?”
“Ya, pasti itu penyebabnya.”
“Kenapa tidak lebih baik bertanya saja? Dan tiba-tiba
marah?”
“Namanya orang kan macam-macam, Mas, ada yang sabar,
ada yang tidak.”
“Tadi tuh namanya siapa?”
“Yang mendekati mas Bondan tadi, mas Roy, yang
satunya, mas Ardian. Mereka itu kakak adik, seringnya kemana-mana selalu
berdua.”
“Kakak adik? Satunya santun dan baik, satunya pemarah.”
“Dua-duanya sebenarnya baik kok, hanya bawaannya
beda-beda.”
Bondan diam, tapi sebenarnya dia mencatat nama Roy.
Almarhumah adiknya sering menyebut nama Roy.
“Dia kah orangnya? Aira pernah mengaku suka sama Roy,
walau tidak dijelaskannya secara rinci, makna suka itu. Apa mereka pernah
dekat? Atau bahkan pacaran? Mengapa lebih suka Roy, bukan kakaknya yang kalm
itu saja?” kata batin Bondan.
“Tiwi, tahukah kamu, sejauh apa hubungan Aira dengan
Roy?”
“Wah, nggak tahu Mas, bahkan aku juga tidak tahu kalau
mereka kenal. Tahunya ya setelah sama-sama melayat itu tadi.”
“Kamu tidak dekat dengan keluarganya Roy?”
“Ibunya sering belanja sayur di tempat aku, dan juga
sering minta dipijit oleh ibu. Ibu kan punya pekerjaan jadi tukang pijit juga?”
“Tapi kamu tidak dekat dengan anak-anaknya?”
“Ya kenal biasa saja Mas, karena keluarga mereka itu
orang-orang baik dan dermawan. Bukan hanya kepada aku, tapi kepada semua orang.”
***
Ardian dan Roy sudah selesai memasang ban serepnya
setelah mencopot ban nya yang gembos, lalu mereka kembali ke kantor. Ardian
kesal karena Roy tiba-tiba tampak uring-uringan. Ardian juga tak suka pada
sikap Roy tadi.
“Kenapa kamu tadi marah-marah sama dia sih Roy?”
“Dia itu kan sombong. Kamu tidak melihatnya?”
“Sombong bagaimana? Dia menyapa dengan baik-baik kok.”
“Sudah tahu sedang mengganti ban, dan bukan karena
mobil rusak? Mengapa dia berhenti dan sok baik dengan menawarkan bantuan,”
gerutu Joy.
“Dia tidak bermaksud buruk, kamu menuduhnya yang
bukan-bukan.”
“Kamu tidak ingat, tadi Pratiwi kita ajak pulang
bersama, tapi dia menolak. Lalu tiba-tiba bareng dengan laki-laki itu, yang
entah siapa. Siapa yang tidak kesal, coba?”
Ardian mentertawakan tingkah adiknya yang dianggapnya
aneh dan kekanak-kanakan.
“Hanya karena itu, kamu marah. Biarin saja. Pasti ada
alasannya. Kamu tidak usah marah.”
Roy terdiam. Memang dia tidak harus marah, kenapa
marah? Kalau Pratiwi memilih laki-laki itu, apa dia berhak marah? Tapi entah
kenapa, Roy selalu tak bisa mengendalikan sikapnya.
“Sudah, kalau kamu masih marah, mana, biar aku yang
pegang kemudi. Jalanan ramai, jangan sampai kamu menabrak pengendara lain.”
“Siapa yang marah, aku tidak marah.”
“Sikapmu terhadap pria itu juga tampak aneh, dia
bermaksud baik, kamu menuduhnya yang bukan-bukan.”
“Maaf,” akhirnya kata Roy.
“Minta maaflah sama dia, kenapa sama aku?”
Roy terdiam, tapi ia mengendarai mobilnya dengan lebih
tenang. Jalanan memang sedang ramai. Saatnya anak sekolah pulang pula.
***
“Ya ampun, ini Nak Bondan? Yang dulu sering menjemput
Aira?” kata bu Kasnah ketika Bondan sampai di rumah Pratiwi.
“Iya Bu. Saya prihatin melihat keadaan ibu sekarang,”
kata Bondan dengan raut muka sedih.
“Terima kasih Nak, tapi ibu tidak apa-apa. Terkadang
apa yang terjadi, bukan lah yang kita harapkan. Tapi bahwa manusia memiliki
garis takdirnya masing-masing, itu harus kita fahami dan kita syukuri. Selalu
ada jalan untuk melangkah lebih baik, bukan?”
“Bu Kasnah sungguh bijak. Syukurlah kalau bisa
menerima semua dengan ikhlas. Bu Kasnah
harus bersyukur, memiliki putri sebaik Pratiwi, yang bisa memikul semua
kebutuhan keluarga, dengan segala keikhlasan yang dia miliki.”
“Hanya dia satu-satunya yang bisa ibu harapkan.”
“Ya sudah bu, saya tidak bisa lama-lama, karena di
rumah masih banyak tamu,” kata Bondan sambil berdiri.
“Iya Nak, kok ya pakai mengantarkan Pratiwi segala, kan masih dalam suasana berkabung.”
“Kebetulan melihat Pratiwi jalan, dan sepedanya
gembos, tapi nanti pasti ada yang mengantarkannya kemari.”
“Iya nak, terima kasih banyak, dan sekali lagi ibu
ikut berduka cita, atas meninggalnya nak Aira. Dulu sering datang kemari, dan
sangat dekat dengan Pratiwi. Tadi ketika Pratiwi mengabari, ibu sempat
menangis. Dia masih sangat muda.”
“Iya Bu, dan seperti tadi ibu katakan, bahwa sebuah
garis nasib terkadang berbeda dengan harapan kita.”
“Mari kita doakan agar nak Aira diterima disisiNya,
dan mendapatkan sorga mulia ya Nak.”
“Terima kasih Bu.”
Pratiwi mengantarkan sampai ke depan, dan berkali-kali
mengucapkan terima kasih kepada Bondan yang telah menolongnya.
“Sudah, nanti kamu kehabisan ucapan terima kasih
karena sudah berkali-kali mengucapkannya,” kata Bondan sambil mendekati
mobilnya.
“Salam buat Ratih ya, kapan-kapan aku akan datang
menemui dia.”
“Iya Wi, kasihan Ratih. Biasanya kemana-mana selalu
berdua.”
“Semoga aku akan bisa menghiburnya.”
***
“Tih, kemana kakakmu, sejak dari pemakaman tadi kok
ibu tidak melihatnya,” kata bu Juwono kepada Ratih.
“Tadi kan pulang belakangan, tidak bareng Ratih.”
“Ibu kira dia semobil sama kamu.”
“Tidak Bu, dari bandara dia ambil mobil ke rumah,
langsung ke pemakaman, jadi dia membawa mobil sendiri.”
“Kemana anak itu. Kamu nggak menelponnya?
"Ponselnya
tidak dibawa, tuh, ditinggal di kamarnya. Jadi tadi sepulang dari bandara,
meletakkan bawaan dan langsung berangkat. Ponselnya ada di tas pinggang yang diletakkan
di atas kasur."
“Anak itu, kemana saja.”
“Tuh dia datang,” kata pak Juwono yang ada di depan bersama
tamu-tamunya.
Bondan memberi salam kepada tamu-tamu ayahnya,
kemudian langsung masuk ke dalam.
“Kamu kemana saja sih Bon?” tanya ibunya.
“Mengantarkan Pratiwi pulang. Tapi cuma mengantarkan,
lalu Bondan langsung pulang. Lama ya?”
“Kenapa harus mengantarkan Pratiwi? Tadi banyak tamu
yang menanyakan kamu.”
“Ketika Bondan mau pulang, Bondan melihat Pratiwi
sedang jalan sambil menuntun sepedanya. Rupanya sepedanya gembos. Bondan
kasihan, lalu mengantarkannya pulang.”
“Lalu sepeda mbak Tiwi ditinggalkan di mana?” tanya
Ratih.
“Aku suruh pak Jogo menambalkannya, lalu
mengantarkannya ke rumah Pratiwi.”
“Bukannya rumah Pratiwi itu lumayan jauh? Kalau dari
pemakaman tadi, maksud ibu.”
“Iya Bu, mau bagaimana lagi.”
“Pak Jogo harus kamu beri uang transport dong.”
“Sudah, ibu tidak usah khawatir.”
“Mas Bondan akan lama di sini bukan?”
“Aku hanya cuti tiga hari.”
“Ratih nggak punya teman,” kata Ratih, sedih.
“Seringlah main ke rumah Pratiwi. Dia ada di rumah
setelah berjualan.” Tadi dia juga bilang akan sering menemani kamu,” hibur
Bondan.
“Iya, aku tadi juga minta agar dia sering datang
kemari. Setelah mbak Aira masuk SMA, mereka kan tidak lagi satu sekolahan.”
“Setelah lulus SMA, Pratiwi berjualan sayur.”
“Di pasar?” tanya ibunya.
“Di rumah.”
“Orang tuanya masih ada kan?”
“Yang ada hanya ibunya. Bapaknya sudah meninggal. Dan
ibunya buta.
“Buta?”
“Iya Bu, kasihan sekali. Karena kecelakaan.”
“Tadi mbak Tiwi juga cerita sedikit tentang ibunya.
Kasihan juga.”
“Ya sudah Bon, kamu istirahat saja. Atau temani ayahmu
menemui tamu-tamunya. Ibu juga mau istirahat, dari semalam tidak tidur,” kata
Bu Juwono.
“Sebaiknya ibu beristirahat. Bondan mau minta agar
ayah beristirahat juga, nanti kecapekan dan jatuh sakit,” kata Bondan.
“Mas, nanti malam ajak mbak Tiwi datang kemari dong.”
“Tadi aku sempat minta nomor ponselnya, nanti aku
kabari dia.”
“Biar aku jemput saja, kasihan kalau dia harus naik
sepeda,” kata Ratih.
“Biar aku saja yang menjemput. Kamu sama ibu istirahat
saja sana, nanti malam masih ada acara pengajian di rumah.”
“Iya Mas.”
***
Ketika sedang minum teh di sore hari itu, Roy dan Ardian
bercerita tentang Aira. Mereka juga
menyatakan keheranannya karena Pratiwi juga melayat ke pemakaman.
“Tuh benar kan Mbak, tadi yang dimaksud Pratiwi adalah
Aira,” kata Sasmi.
“Iya, ternyata. Mereka berteman?”
“Tampaknya begitu. Ratih, adik Aira berbincang akrab
tadi.”
“Ketika temannya menelpon tentang meninggalnya Aira,
Pratiwi sedang ada di sini,” kata Ratna.
“Ibu hanya menduga-duga, apakah yang dimaksud itu
Aira, soalnya Pratiwi bilang, mau melayat temannya yang meninggal karena
kecelakaan.”
“Tahu begitu kita bisa sama-sama,” kata Roy.
“Bukankah Pratiwi sudah bersama pria ganteng itu tadi?”
“Mungkinkah mereka datang bersama-sama? Siapa sih pria
itu?”
“Aku tidak tahu, tapi dia sepertinya keluarga dekat,
soalnya berdiri diantara orang tua Aira. Apa Aira punya kakak?” tanya Ardian.
“Dia tidak pernah cerita tentang keluarganya. Yang aku
tahu, Ratih adiknya, karena penah diajaknya pada suatu waktu. Entah acara apa,
aku lupa.”
“Apa adiknya juga ikut bergaul dengan anak-anak muda
teman Aira itu?” tanya sang ayah yang sedari tadi diam.
“Saya kira tidak, Pak. Aira selalu datang sendiri,”
jawab Roy.
“Semoga dia tidak ketularan kakaknya, dan bergaul
dengan anak-anak baik.”
“Aamiin.”
“Ar, nanti malam di rumah Aira ada pengajian. Itu kata
teman-teman tadi. Kita ke sana?” kata Roy.
“Nggak apa-apa, ikut mendoakan.”
“Samperin Pratiwi yuk, pasti dia juga mau mendoakan
temannya yang sudah almarhumah.”
“Dia tuh susah, paling juga nggak akan mau.”
“Pratiwi itu takut sama kalian. Kalian tampak sangat
bernafsu begitu,” tukas sang ayah.
“Bapak tuh, orang kami tidak pernah mengganggu, lagi
pula baru-baru ini saja kami memperhatikan Pratiwi, jarang ketemu sih,” kata
Roy.
“Iya, pas Pratiwi jatuh malam-malam itu kan?”
“Ya sudah, bapak cuma bilang sedikit, jawabnya panjang
banget,” kata pak Luminto sambil tersenyum.
“Jam berapa nanti kita ke rumah Aira?” tanya Ardian.
“Pengajian setelah Isya, nanti aku coba ngajak
Pratiwi, barangkali mau.”
“Pastinya mau, kan Aira temannya. Kalau dia sendiri,
nggak mungkin, harus ada yang nemenin, baru yu Kasnah mengijinkan,” kata Ratna.
***
Jam tujuh malam Ardian dan Roy sudah sampai di rumah yu Kasnah. Roy menghentikan mobilnya agak jauh dari pagar rumah yu Kasnah, maksudnya mau memberi kejutan, karena kalau mereka mendengar suara mobil, pasti tidak akan terkejut.
Tapi kali ini yang terkejut bukan keluarga yu Kasnah. Justru Roy yang terkejut, karena melihat mobil yang baru datang, tiba-tiba parkir tepat di depan pagar.
“Dia lagi?” pekik Roy.
***
Besok lagi ya.
Yeess
ReplyDeleteManusang bu Tien
DeleteYees
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~05 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
🦋🪷🍃🪷🍃🪷🍃🦋
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 05 telah
hadir. Matur nuwun Bunda
Tien. Semoga sehat selalu
dan tetap smangaaats...
Salam Aduhai...
🦋🪷🍃🪷🍃🪷🍃🦋
Matur nuwun bu Tien....
ReplyDeleteeSBeKa 05 sdh tayang ..... maafkan daku....
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien, mugi tansah sehat nggih Bun
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHehe...ibu Tien...kok "besok lagi ya"nya dua kali? Padahal besok Minggu biasanya ga tayang...😅😚
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku,SB5 tayang.
ReplyDeleteSetangkai Bunga diperebutkan oleh tiga kumbang... pasti ramai.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulilah sdh hadir yg ditungu2..suwun bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat .....
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeletematur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSg enjang bu Tien, salam seroja, salam kejora pagi....maturnuwun.
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien...
Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien Cerbung Sekuntum Bungaku episode 05 sudah tayang hampir tengah malam.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat njih..
Alhamdulilah SB 05 sdh tayang tengah malam ...salam sehat bu tien
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun, sehat wal’afiat dan bahagia selalu Bunda Tien . .
Seneng kalau ada ketakutan kehilangan berarti punya keinginan memiliki, kalah langkah dan posisi sama Bondan, kan sudah dianggap 'kakak', belum tau dia, kalau Bondan kakak Aira, seperti ada sesuatu yang ada pada Tiwi yang ingin direngkuhnya; biasa kalau perantau lagi pulang kampung, lihat kuncup bunga mulai bermekaran saling berebut mewarnai indah desanya, hm kembang desa kata orang, apalagi tahu Pratiwi anak cerdas.
ReplyDeleteNggak kebayang kekesalan Roy, bisa bisa nggak jadi ikut pengajian bersama, uh emosi dipiara, ya harus, kan bag pemasaran, ada greget capai target gitu.
Tuh bisa nggak ngedeketin Tiwi, padahal kemana mana selalu ditemani Ardian, berarti kurang berani donk
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke lima sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Hatur nuhun bunda .salam seroja sll dri sukabumi🙏🥰🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 05 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Terimakasih Bu Tien SETANGKAI BUNGAKU (SB) 05 telah tayang, sehat2 selalu ya Bu...salam aduuhaaaiiii
ReplyDeleteAlhamdulillah pengganti hari Jum'at tayang di hari Ahad
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien, semoga sehat selalu
Wah wah wah sabtu tayang malam nih
ReplyDeleteRatih datang dikira Bondan...
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
Terina kasih Mba, saya baru ikut serta di komentar, saya tunggu lanjutannya, salam buat penggemar cerbung senuanya
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun
ReplyDelete