Wednesday, January 30, 2019

SEPENGGAL KISAH 151 {TAMAT}

SEPENGGAL KISAH  151

(Tien Kumalasari)

 

Ketika semuanya mencari, Asri dan anak serta suami dan ayahnya sedang bersantai, disebuah villa kecil dipinggir kota, bersenang senang penuh bahagia.

Mereka terkejut ketika tiba2 Pandu nyeletuk.

"Bapak, tadi malam Pandu ketemu bapak2 itu lho."

"Bapak2 siapa?"

"Itu, yang datang kerumah kita.. terus nangis2.. terus Pandu juga melihat dirumah Nancy."

"Oh, Damar.. ?" sahuta Bowo.

?Iya, itu namanya kan?"

"Tadi malam ketemu dimana?"

"Kasihan deh pak, dia sedang menangis lagi, lalu Pandu tanya dia, kenapa menangis? Pandu kira dia lapar, tapi dia bilang mau ketemu ibu."

Asri terkejut. Bowo memandangi Asri penuh curiga.

"Semalam ketemu dimana ?"

"Pas Pandu tidur.."

"Oh, mimpi ?"

"Pandi terbangun, tapi bapak2 itu nggak ada.."

"Ya, itu namanya mimpi. Kok bisa mimpi seperti itu? Apakah kamu juga mimpi Asri?"

Asri terkejut, apakah Bowo masih menyimpan perasaan curiga terhadapnya? 

"Nggak, aku tidur nyenyak dan nggak mimpi apapun."

"Terkadang mimpi itu seperti sebuah isyarat. Kalau bisa mengupasnya, hebat. Tapi aku bisa mengupas mimpi Pandu itu.

"Brarti mas hebat," sahuta Asri sekenanya, karena sebenarnya diapun sedang memikirkan mimpi Pandu itu.

"Ya, itu kan mudah mengupasnya, sesuatu yang benderang, jelas, seseorang sedang menangis dan mengatakan ingin bertemu dengan kamu."

"Sudahlah mas, nanti mas bicara yang tidak2 lagi, aku sedih mas, tampaknya mas Bowo masih mencurigai aku, tidak mempercayai aku.." Asri cemberut.

"Bukan.. jangan salah sangka. Sesungguhnya aku memahami perasaan Damar. Kasihan dia.. dia sangat menderita. "

Asri terdiam. itu juga perasaan yang dirasakannya.

"Kalau kita pulang nanti, kita akan menjenguknya dirumah sakit."

Asri memandangi suaminya, tapi ia melihat ketulusan pada matanya. Asri hanya mengangguk.

Setiap kali memandangi Damar, hati Ongky sangat pedih. Batinnya bagai teriris, benarkah Damar akan meninggalkan dia? Mengapa orang sebaik Damar mengalami nasib seburuk itu. Sejak kecil ditinggal kedua orang tuanya yang ternyata dibunuh oleh sahabatnya. Kemudian dia dipungut oleh keluarga pembunuh itu, dan dipaksa melakukan hal yang tidk disukainya, kemudian dia harus ditinggalkan wanita yang dicintainya. Mungkin sampai akhir hayatnya. Begitu menyakitkan perjalanan hidupnya. Tapi mengapa Damar tak kuat menerimanya? Sebegitu berat penderitaannya, tapi Damar gagal mengatasinya.

"Maas.." tiba2 Damar membuka matanya dan berbisik lirih.

"Ya, Damar? Kamu ingin makan sesuatu? Minum ?" 

"Mana Asri..."

"Ya ampun Damar, aku sudah menelpon mereka belum nyambung juga. Kemarin Nancy kerumahnya dan melihat gerbang rumahnya di gembok. Mungkin pergi keluar kota."

"Mereka.. masih marahan?"

"Mungkin tidak, Bowo sudah aku beri tau semuanya." jawab Ongky walau sebenarnya dia tak tau apa yang terjadi dengan keluarga Bowo.

Damar kembali memejamkan matanya.

Ongky mengusap titik air matanya dan berbisik lembut.

"Aku akan mencarinya lagi. Kamu harus kuat Damar, bangkit ya.. kamu laki2 hebat, bertahanlah untuk hidup lebih lama."

Damar mengangguk pelan.

Ongky meninggalkan kamar itu dengan air mata masih mengambang dipipinya. Dipintu ia bertemu Nancy yang belum juga tau dimana Bowo dan Asri berada.

"Om mau kemana?"

"Aku akan mencoba lagi mencari kerumahnya, siapa tau mereka sudah kembali."

"Baiklah om."

"Jaga papa kamu ya."

Nancy mengangguk, lalu masuk kedalam kamar.

"Dewi heran, kemana mereka pergi, aku menghubungi tanpa berhasil. Masa mematikan telephone sampai ber hari2." celetuk Dewi dirumahnya, sambil memegangi ponsel yang sebentar2 dipakainya untuk menghubungi Bowo atau Asri.

"Kamu sudah kerumahnya?"

"Rumah itu terkunci, bahkan dari gerbang rumahnya. "

"Berarti mereka pergi agak lama."

"Mungkin. Tapi aku kasihan sama pak Damar. Dia itu sangat mencintai Asri dan tampaknya dia itu sudah mau meninggal lho bu. Itu sebabnya kita harus menuruti semua keinginannya, supaya ia bisa meninggal dengan tenang"

"Hush, kamu itu Dewi, jangan suka bicara sembarangan."

"Sakitnya parah bu, Dewi tak melihat ada sinar dimatanya. "

"Tapi jangan mengatai orang mau meninggal, nggak baik itu. Itu namanya mendahului kehendak Yang Maha Kuasa."

"Iya bu, ma'af.."

Pandu makan siang dengan sepotong ayam goreng kesukaannya. Tapi setiap makan ayam goreng dimanapun , ia selalu teringat ayam goreng buatan neneknya.

"Bapak, ayam goreng nenek itu nggak ada yang sama lho."

"Maksudnya..?"

"Ya nggak ada ayam goreng seenak ayam gorengnya nenek. Nanti habis makan Pandu mau menelpon nenek. Boleh kan pak?"

"Ya, tapi habiskan dulu makananmu itu."

Dan setelah makan itu Pandu benar2 ingin menelpon neneknya.

"Bapak, boleh pinjam ponselnya?"

"Punya ibu itu saja, ponsel bapak mati."

"Ibu.. pinjam ponselnya, Pandu mau menelpon nenek."

Asri mengulurkan ponselnya. Ia tau Panu sudah bisa menelpon dan mencari sendiri nomor siapapun yang ingin ditelponnya.

"Kok mati bu."

"Oh iya, beberapa hari ibu matiin. Kan bapak yang minta. Sebentar.. nih sudah bisa. Waduuh.. banyak telpon yang masuk mas.." kata Asri sambil mengulurkan ponselnya kearah Pandu.

"Nanti saja kalau pulang kita melihat siapa2 yang menelpon dan apa keperluannya."

"Hallo, nenek... ini Pandu... iya nenek, lagi main sama bapak sama ibu sama kakek. Nggak libur.. bapak yang ngajakin main. Iya nenek.. Pandu kangen saya ayam gorengnya nenek.. baiklah, nanti kalau pulang Pandu kesini ya nek? Terimakasih nenek.."

Pandu menutup pembicaraan itu, dan serta merta telephone berdering.

"Ada telpon bu.. " Pandu meberikan ponsel itu kepada bapaknya karena letak duduk Asri lebih jauh .

"Dari Dewi? Mau apa dia?"

"Coba mas terima."

"Hallo.. Dewi.."

"Ini mas Bowo ya? 

"Ya, ada apa?"

"Dewi menelpon sudah dua hari ini nggak nyambung juga. "

"Memangnya ada apa?"

"Damar ada dirumah sakit, dia ingin ketemu Asri. Jangan marah dulu, menurut Dewi itu permintaannya yang terakhir."

"Apa? Darimana kamu tau?"

"Dewi kebetulan ada dirumah sakit itu, ketemu om Ongky dan sempat menjenguk dia. Kasihan mas.. Dewi merasa berdosa juga sama dia. Dewi ingin Asri benar2 menemuinya."

Telephone itu ditutup.

"Asri, ayo kita pulang sekarang."

"Lho.. kok pulang, kata bapak sampai hari Minggu." protes Pandu.

"Ada hal penting, kita harus pulang, bilang sama kakek supaya bersiap siap."

Pandu berlari menemui kakeknya.

"Ada apa mas?" tanya Asri yang juga keheranan melihat sikap Bowo yang tiba2 mengajak mereka pulang.

"Ayo pulang saja, nanti ngomongnya di mobil.

Dan ketika pulang itu mereka mendapati Ongky masih memarkir mobilnya dipinggir jalan didepan rumahnya. Ongky lega karena dimobil Bowo ia juga melihat Asri dan Pandu, berarti kemelut itu sudah berakhir.

"Bowo, aku ingin bicara." kata Ongky sambil turun dari mobilnya.

"Ya, aku sudah tau, aku hanya akan menurunkan Pandu dan bapak, lalu kerumah sakit."

"Ongky heran sepertinya Bowo sudah tau maksud kedatangannya.

 

Merekaa bersama sama memasuki ruang dimana Damar terbaring.

Asri hampir menangis melihatnya. Wajah itu tertutup oleh alat penghantar oksigen dan selang2 masih memenuhi tubuhnya.

Bowo mendekat sambil menggandeng tangan Asri.

"Damar, " bisiknya pelan.

Damar segera membuka matanya. Dipandanginya satu persatu orang2 yang ada disekelilingnya. Ia lalu membuka alat penghantar oksigin yang menutupi hidung dan mulutnya.

"Damar, disekelilingmu adalah orang2 yang menyayangi kamu. Kamu harus bersemangat, kuat dan bertahan sampai sembuh." kata Ongky sambil menepok nepuk tangan Damar, hal yang selalu dilakukannya setiap kowo menjenguk sahabatnya.

Bowo melihat mata cekung itu, dan tak ada sinar didalamnya. Batinnya ikut teriris.

"Mas Bowo..ma'afkan aku.." bisik Damar..

Bowo mengangguk angguk, sambil menepuk nepuk tangan Damar yang satunya. Air mata mulai mengambang dipelupuknya. Itu sebuah isyarat bahwa dia mema'afkannya, dan Damar mengerti.

"Kamu harus kuat.. harus sembuh." Bisik Bowo bergetar.

Damar memandangi Asri

"Aku, di sa'at terakhirku, hanya ingin melihat Asri."

Bowo menarik Asri agar mendekat. Asri mengusap air matanya.

"Mengapa kamu menangis, Asri? Sekarang aku tau, bahwa.... bahagiamu adalah bahagiaku... " Damar tersengal sengal.

"Damar, jangan banyak bicara. " kata Ongky

"Tak banyak waktu... Asri, sampai akhir hayatku.. aku masih mencintai kamu."

Asri terisak. Damar memejamkan matanya. Dan tangan itu terkulai.

Nafas Damar tinggal satu2.. Asri tak tahan lagi. Ia berbisik ditelinga Damar:" Damar, aku menyayangi kamu."

Dan raga itu terdiam, nafaspun tak lagi tampak tersengal, lalu hilang semuanya. 

Asri mendekap Bowo dan menangis terisak. Bowo mengelus punggung isterinya dengan penuh rasa sayang.

Sebuah kehidupan telah berakhir..  sempurna.. meninggalkan kesan2 pilu, meninggalkan sa'at2 yang pernah manis .. meninggalkan derita yang pernah disandangnya. Alam yang senyap, seperti masih mengumandangkan bisikan lembut Asri.. DAMAR, AKU MENYAYANGI KAMU.

############################### T A M A T ####################################  

 

 

Bagaimana dengan sebuah kisah yang lain?

SA'AT HATI BICARA 

segera hadir.

Tuesday, January 29, 2019

SEPENGGAL KISAH 150

SEPENGGAL KISAH  150

Tien Kumalasari)

Ongky dan Nancy berjalan beriringan kedalam ruangan. Beribu pertanyaan memenuhi benak mereka. Biasanya diruangan itu tak boleh ada yang masuk, walau keluarga, kecuali kalau ada sesuatu yang sangat penting. 

Ketika sampai didalam, dilihatnya Damar terbujur lemah, matanya terpejam, dengan selang2 yang entah apa saja , tersambung ke tubuhnya. Ongky mendekat,  Nancy ada disampingnya. 

"Papa... ini Nancy, sama om Ongky." bisik Nancy.

Damar membuka matanya. Ia membuka saluran oksigen yang menuutupi mulut dan hidungnya.

"Nancy, mas Ongky.."

Ongky memegang tangan Damar dan ditepuk tepuknya.

"Semangat Damar, kamu harus kuat. Jangan patahkan hati sahabat2mu, dan orang2 yang mengasihimu."

"Tolong...mas.. "

"Ya... apa yang harus aku lakukan untuk kamu Damar.."

"Aku ingin... Asri.."

"Damar...?"

Dalam keadaan seperti itu Damar masih menginginkan Asri, Ongky benar2 bingung. Tapi ia tak sampai hati memarahi sahabatnya yang tampak sedang kesakitan itu. Ia terus memegangi tangan Damar dan menepuk nepuknya.

"Mas... " lanjut Damar pelan..

"Apa kamu tidak sebaiknya istirahat saja Damar? Kalau kamu banyak bicara, kamu akan lelah."

"Aku titip, separo penghasilanku.. setiap bulan, berikan kepada anak2 yatim, separo lagi untuk Nancy. Berikan setiap bulan.. untuk mereka.."

"Tidak.. tidak.. Nancy tidak mau.. Nancy ingin papa sembuh.. tidak mau harta itu.." Nancy merebahkan kepalanya kedada Damar, dan menangis terisak.

"Nancy, anak baik... anakku.." sebelah tangan Damar merangkul Nancy.

Bergetar hati Nancy mendengar Damar memanggilnya anakku. Hal yang dirindukannya setelah dulu pernah tidak mau mengakuinya.

"Jangan menangis, papa tidak apa2.."

"Sembuhlah papa.. sembuhlah.."

Damar mengelus kepala Nancy.

"Mas, sekarang... aku mau Asri.."

"Apa maksudmu Damar? Apa aku harus membawa Asri kemari?

Damar mengangguk.

Akhirnya Ongky merasa bahwa apapun permintaan Damar harus diturutinya. Dengan sedih keduanya keluar dari ruangan itu, karena dokter yang akan memeriksa Damar menyuruh mereka tidak mengganggunya lagi.

Ongky duduk dibangku diluar ruangan itu, lalu menelpon Bowo. Ia akan meminta Bowo agar mengijinkan Asri datang kemari. Namun berkali kali mencoba, telephone Bowo ternyata tidak aktif. Kemudian Ongky mencoba menelphone Asri, tapi sama seperti Bowo ponsel Asriun juga sedang tidak aktif. Dan telephone rumah barangkali?Itupun juga  tak ada yang mengangkatnya, Tentu saja karena mereka perempat kan sedang berlibur.

Nancy melihat kekecewaan dimata Ongky.

"Tidak ada semua?"

"Ponsel keduanya mati, telephone rumah nggak ada yang mangangkat." geritu Ongky.

"Kalau begitu biarlah Nancy pergi mencari mereka."

"Kemana kamu akan mencarinya?""Kerumahnya dulu saja om, sekaliyan mau menjemput grandma. Pasti grandma juga ingin bertemu papa."

"Baiklah, hati2 Nancy."

Namun dirumah Bowo tk dirtemukannya siapapun. Gerbang rumahpun digembok dengan gembok yang besar, berarti penghuninya pergi, dan pastinya agak lama. Nancy heran, bukan hari libur, mengapa pergi sekeluarga?

Akhirnya Nancy mengabari Ongky tentang keadaan rumah Bowo itu, yang diterima Ongky dengan penuh tanda tanya.

"Apa yang terjadi dengan keluarga itu? Ya Tuhan, jangan2 mereka tercerai berai. Bowo masih marah, dan Asri membawa anak serta ayahnya entah kemana. Aduh, bagaimana aku harus menemukan mereka?"

Ongky menelpon kekantor Bowo, 

"Ma'af pak, pak Bowo cuti selama 1 minggu sejak dua hari yang lalu." jawab sekretarisnya.

"Cuti 1 minggu? Kemana dia?" tanya Ongky.

"Kami tidak tau pak, katanya acara keluarga, begitu."

"Acara keluarga?"

Ongky menutup ponselnya. Tak ada jawaban seperti yang diharapkannya. Justru memenuhi benaknya dengan banyak pertanyaan. Ongky mengira kemarahan Bowo belum bisa dipadamkan walau dirinya telah banyak bicara. Ongky merasa kesal.

"Dasar keras kepala." umpatnya.

Tapi ia teringat keinginan Damar, ia harus memenuhinya.Tapi kemana mencari Asri ?

Tiba2 seseorang menyapanya.

"Mas Ongky.."

Ongky terkejut. Siapa wanita yang menyapanya ini.

"Mas lupa ya, saya Dewi."

"Dewi..Dewi...Dewi..." Ongky mengingat ingat... 

"Saya temannya mas Bowo. Lupa ?"

Ongky teringat nama Dewi, gadis yang berpenampilan seksi dan sedikit seronok, dan terus merayu Bowo.... "Haaaa... kamu?" Ongky memandanginya dengan heran. Penampilannya jauh berbeda, dulu begitu menarik, tapi sekarang tampak lugas dan sederhana. Dunia mana yang telah membaliknya? Pikir Ongky.

"Ya mas, ini aku, siapa yang sakit?"

"Damar, sahabat aku."

"Oh, pak Damar? Masih sakit dia? Bolehkah aku melihatnya?Aku pernah melakukan kesalahan besar, dan aku menyesalinya. Damar dan Asri..."

Dewi menemui perawat dan minta ijin untuk masuk. Semula perawat itu melarangnya, tapi dengan segala upaya Dewi mohon agar dijinkannya, dan dia berhasil. Dewi memasuki ruangan itu, dan melihat Bowo terbaring dengan selang2 melingkupinya.

Dewi mendekat, memegang tangan Damar yang dingin ..

Damar membuka matanya.

"Asri?" bisiknya

"Saya bukan Asri pak, saya Dewi. Bapak lupa? Kita pernah bertemu , juga dirumah sakit ini, ketika saya mengantarkan ibu saya, dan bapak juga dirawat disini."

Damar tak menjawab.  Ia memang agak lupa, tapi baginya itu tidak penting. Ia hanya mengharapkan Asri.

"Sekali lagi saya ingin minta ma'af, karena pernah mempergunakan foto bapak untuk menghancurkan rumah tangga Asri."

Itupun tak dijawab oleh Damar.

"Aku.. mau bertemu Asri.."

Tiba2 Dewi merasa, bahwa hidup laki2 dihadapannya itu akan tidak lama lagi.

Ketika ia melangkah keluar, ia berjanji dalam hati bahwa ia akan mempertemukan Asri dengan Damar, demi menebus semua kesalahannya.

#adalanjutannyaya#

 

 


Monday, January 28, 2019

SEPENGGAL KISAH 149

SEPENGGAL KISAH  149

(Tien KUmalasari)

 

Dirumah bu Surya, Nancy barun saja datang. Ia harus mengambil baju2 bersih yang akan dibawanya kerumah sakit. Dilihatnya neneknya sedang sendirian, tampak sedih.

"Grandma, mengapa grandma duduk disini sendirian? Mama mana ?"

"Mamamu sedang belanja, sebentar lagi pulang. Kamu bawa apa saja itu Nancy?"

"Ini baju2 Nancy, yang kotor Nancy tinggalin dirumah, sudah Nancy masukkan ke mesin cuci."

Sudah kamu tinggal aja, nanti biar mamamu yang menyelesaikan.Kamu janlama2 meninggalkan papamu.Nannti kalau dia membutuhkan sesuatu bagaimana?"

"Tadi Nancy sudah pamit, sebentar saja kok. Ini Nancy sudah mau kembali kesana. "

"Apakah papa kamu keadaannya lebih baik?"

"Ya.. kadang2 kelihatan baik, tapi kadang2 seperti kesakitan, gitu greandma. Tapi mudah2an menjadi semakin baik."

"Besok pagi saja grandma kesana, mamamu juga belum pulang dari belanja."

 "Baiklah, grandma jangan sedih ya, kita akan sama2 berdo'a untuk kesembuhan papa Damar."

Bu Surya mengangguk. Bagaimanapun ia merasa sedih, karena ia merasa bahwa sakit Damar tidak akan bisa disembuhkan. Ia masih teringat kata2 dokter yang memeriksanya, bahwa Damar tak akan bertahan lebih dari 6 bulan. Ketika berobat keluar negeri ternyata juga tidak menngurangi penyakitnya. Mereka semua hanya menunggu keajaiban, dan mujizat yang akan diberikan oleh Tuhan atas kesembuhan Damar.

"Grandma, aku pergi dulu." Nancy berpamit, tapi kemudian bu Surya teringat sesuatu.

"Tunggu Nancy, grandma tadi membuat puding buah, bawalah barangkali papamu mau memakannya."

"Baiklah grandma."

Damar memakan puding buatan bu Surya, walau cuma beberapa suap. Tampaknya Damar ingin menyenangkan bu Surya yang telah bersusah payah membuatkan puding untuknya. 

"Bilang pada nenek kamu, bahwa puding buatannya sangat enak, nanti aku akan menghabiskannya."

"Ya papa, nanti Nancy bilang.

"Sekarang saja, biar nenek kamu senang."

"Baiklah, Nancy telephone, papa bilang sendiri ya?"

Damar mengangguk.

Nancy menelpon neneknya atas permintaan Damar. 

"Hallo Nancy, ada apa?" suara bu Surya dari seberang.

"Grandma, ini papa Damar mau bicara sama grandma."

"Oh ya, baiklah.. mana dia?"

"Hallo tante."

"Sayang, bagaimana keadaanmu?"

"Baik, Damar cuma mau bilang, puding buatan tante sangat enak."

"Oh ya, kamu sudah mencicipinya nak?"

"Sudah tante, itu sebabnya Damar bilang enak."

"Baiklah sayang, kalau kamu suka besok akan tante buatkan lagi."

"Terimakasih tante."

Ponsel diserahkan kepada Nancy.

"Sudah pa?" Damar hanya mengangguk. Kalau bicara terlalu banyak dadanya terasa sesak.

"Sudah grandma, papa mau istirahat." kata Nancy kepada neneknya.

"Baiklah, suruh papamu banyak istirahat dan jangan boleh memikirkan apa2."

 

Bowo mengajak anak isterinya dan juga mertuanya berjalan jalan sampai keluar kota. Pandu sangat senang. Beda dengan perjalanan yang kemarin bersama ayahnya, yang membuat dia menangis karena pergi tanpa ibunya.

"Bapak, ini sudah malam, apakah kita akan menginap disini?"

"Kita akan menginap disini beberapa hari, dan kamu boleh bersenang senang sepuasnya."

"Horeee..." Pandu berjingkrak kegirangan., lalu berlari mencari kakeknya yang duduk sendirian dibawah sebuah pohon rindang.

"Tapi mas, Pandu kan nggak libur, bagaimana mungkin kita mengajaknya sampai berhari hari?" kata Asri .

"Kita akan menelpon gurunya dan memintakan dia ijin beberapa hari."

"Kok gitu, apa alasannya?"

"Bilang saja ada uruan keluarga.:

"Waah, mas Bowo, kok ngajarin mbolos sama anaknya. Nanti Pandu keterusan, sering2 minta mbolos bagaimana?"

"Nggak, ini hari istimewa, dimana aku mendapatkan kembali anak isteriku, aku akan merayakan sepuasnya. Ma'af kalau aku minta agar Pandu nggak sekolah dulu beberapa hari."

"Maaas..." Asri meprotes. tapi Bowo tak mau dihalangi.

"Aku mohon, jangan protes, untuk kali ini saja."

Akhirnya Asri tak bisa apa2 selain menurut. Hari ini memang Asri sungguh merasa bahagia, setelah berhari hari tersiksa oleh kemarahan suaminya.

"Dan aku minta agar kamu mema'afkan aku karena telah meninggalkan rumah selama ber hari2, dan menyiksa perasaanmu sehingga kamu menangis ber hari2 juga."

"Aku yang minta ma'af mas, karena telah melakukan sesuatu tanpa seijin mas, Asri menyesal mas. "

"Sudahlah, kita lupakan saja yang telah lalu, semoga tak akan terjadi lagi kemelut dihati kita masing2

Bowo memeluk Asri yang duduk disampingnya, dan Asri menyandarkan kepalanya dibahu suaminya. Bukankah hidup ini indah?

Beberapa hari kemudian Ongky baru menjenguk sahabatnya dirumah sakit, karena tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.

Namun hari itu Damar harus dibawa keruang perawatan khusus karena kondisinya menurun. Nancy menangis melihat kedatangan Ongky.

"Papa om, semalam nggak bisa tidur, barusan merasa sesak nafas, lalu dokter membawanya keruang perawatan khusus.

Hati Ongky tiba2 menjadi ciut. Kalau saja pantas ia pasti juga sudah menangis seperti Nancy. Ongky hanya menepuk nepuk tangan Nancy, agar Nancy merasa kuat.

"Tenanglah Nancy , dan terus berdo'a untuk papa kamu ya?"

Nancy mengusap air matanya, namun tak bisa menghapus kesedihannya. Damar sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri, walau pernah suatu ketika Damar menolaknya. Ia seperti juga neneknya sangat mengasihi Damar, dan pastinya tak ingin melihat Damar menderita.

Tiba2 seorang perawat keluar dari ruangan itu dan tampak mencari cari.

"Ada keluarga pak Damar?"

Ongky dan Nancy berdiri serentak.

"Saya..." mereka menjawab hampir bersamaan.

"Pak Damar ingin bicara, silahkan masuk untuk menemuinya." kata perawat itu lagi.

Hati Ongky dan Nancy berdebar debar. 

#ada lanjutannyaya#

 

 



SEPENGGAL KISAH 148

SEPENGGAL KISAH  148

(Tien Kumalasari)

 

Bowo termenung.. ia memandangi Ongky, mencari kebenaran kata2nya dari sorot mata tajam yang seakan menuduhnya sebagai orang tak berperasaan. 

"Kamu bukan orang jahat. Kamu hanya dibakar cemburu buta. Kamu tidak bisa berpikir jernih karena hatimu diamuk rasa cemburu."

Bowo tak menjawab. Ia tak ingin membantah kata2 sahabatnya, ia mencoba mencari penyebab dia marah2 kepada Asri, dan Bowo menyadari, mungkin dia memang cemburu.

"Asri sangat menderita. " lanjut Ongky.

Ongky berdiri lalu beranjak untuk pergi.

"Aku tak memiliki banyak waktu, aku akan ke rumah sakit sebentar lalu kembali ke pekerjaanku. Semua terserah kamu. Apa yang harus aku katakan sudah aku katakan."

Dan Ongky membalikkan tubuhnya lalu melangkah kearah pintu.

"Ongky...." Bowo memanggilnya.

Ongky menoleh.

"Terimakasih..." hanya  itu yang diucapkan Bowo. Ongky mengangguk lalu meneruskan langkahnya.

Bowo terpaku dikursinya. Mengupas semua kata2 yang diucapkan Ongky, mengingat ingat wajah Asri yang penuh linangan air mata, bahkan bersimpuh dihadapannya, mengingat wajah Pandu yang menangis pilu meneriaki ibunya.... dan ia juga sempat membentakknya, lalu terbayang wajah laki2 dengan raut muka menahan sakit, pucat tak bertenaga... dan lirih mengatakan permintaan ma'af, yang diterimanya dengan salah sangka.

  Bowo menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.  Hanya sebentar, kemudian dia berdiridan melangkah keluar dari ruangan kantornya.

"Ibuuu...  apakah hari ini bapak akan pulang?" kata Pandu ketika sedang makan siang setelah pulang  sekolah.

"Ya sayang, setelah selesai tugasnya, " Asri masih saja menutupi penyebab perginya Bowo dengan mengatakan sedang bertugas. Sedih hatinya.

"Ibu.. ibu tau tidak, kemarin itu Pandu dibelikan makan oleh bapak, pakai ayam goreng. Tapi ayamnya nggak enak ."

"Masa...?"

"Iya, Pandu kangen ayam goreng buatan  nenek lho.."

"Oh, iya.. ayam gorengnya nenek sangat enak ya, ibu juga suka tuh..."

"Boleh tidak Pandu menelpon nenek, minta supaya dibuatkan ayam goreng lagi?"

"Boleh Pandu, tapi habiskan dulu makannya.."

"Masakan ibu juga enak..."

Asri terharu, anak kesayangannya ini selalu pinar menyenangkan hati ibunya.

"Ibu.. dengar, bukankah itu suara mobil bapak?"

Pandu merosot turun dari kursinya dan berlari keluar. Ikatan antara anak dan orang tua, tak membuat Pandu membenci ayahnya walau seharian merasa sedih karena perlakukannya. Hati Asri berdebar. Itu memang suara mobil suaminya, apalagi yang akan dilakukannya?

Asri melangkah keluar mengikuti Pandu yang sudah mendekati mobil ayahnya. Dilihatnya Bowo keluar lalu menggendong dan menciumi Pandu . Asri berdiri tegak dipintu, tak tau harus mengucapkan apa.

Bowo berjalan mendekatinya sambil masih  menggendong Pandu .Asri masih berdiri kaku, tak ingin mengucapkan apapun, sampai kemudian dirasakannya Bowo memeluknya erat. Asri terkejut.Tapi kemudian hatinya berdebar senang. Apakah artinya bahwa kemelut sudah berakhir? Erat sekali pelukan itu, dan tanpa sadar Asri membalasnya. Mereka terkejut dan melepaskan pelukan ketika tiba2 Pandu berteriak.

"Adduuuh... bapaaak... sakiit nihhh.." Rupanya Pandu yang terjepit diantara dua kekuatan merasa kesakitan.

Bowo memandangi Asri lekat2, dan Asri berlinangan air mata.

Pandu merosot turun.

"Apakah bapak akan mengajak Pandu pergi lagi ?Pandu tidak mauu !!"

Bowo tersenyum. 

"Ya, hari ini kita akan pergi berempat."

"Haaa... Pandu.. bapak.. ibu.. sama kakek kan?" teriak Pandu gembira.

Bowo mengangguk. Lalu Pandu berlari kebelakang memanggil kakeknya.

"Kakeeek... kita akan pergi berempaaatt.."

Bowo tersenyum, lalu dipeluknya lagi Asri.

"Aku sudah pulang," bisik Bowo ditelinga isterinya.

Ongky masih berada dikamar Damar yang masih tergolek diatas ranjangnya dirumah sakit itu. Ongky sedih melihat keadaan Damar yang tampak lemah dan layu.

"Damar, mengapa kamu menyerah. Lawan penyakitmu, dan sehatlah !!"

"Aku titipkan semuanya, pada kamu mas.."

"Kamu jangan omong sembarangan. Aku bilang, semangatlah, dan lawan penyakitmu, jangan menyerah. Kamu bisa menemukan kebahagiaan yang lain, yaitu dicintai banyak sahabat kamu. Dan kamu masih bisa kok menemukan wanita lain yang baik, sebaik Asri, atau bahkan melebihinya"

"Aku hanya ingin satu.."

"Stop, jangan teruskan, aku sudah tau apa yang akan kamu ucapkan, dan itu membuat kamu lemah.Masa kamu tidak bisa menerima kenyataan Damar, aku dulu juga sangat mencintai Asri, tapi aku bahagia melihat Asri bahagia. Aku ikhlas dia berada disamping lelaki baik seperti Bowo. Mengapa kamu tidak bisa melakukannya?"

"Aku bukan orang baik."

"Damar, kamu baik.. sesungguhnya kamu tuh baik, cuma kamu lemah, kamu selalu meratapi nasib dan tidak bersedia bangkit untuk hidup kamu, kebahagiaan kamu. Bangkit Damar, yang lalu biarlah berlalu, perbaiki hidup kamu!!"

Banyak sekali nasehat yang dikatakan Ongky siang itu. Mungkin Damar merasakannya, tapi mungkin semuanya sudah terlambat. Entahlah.

Damar memejamkan matanya ketika Ongky berpamit untuk kembali ke Jogya, dan didengarnya pesan Ongky lagi.:" Aku besok akan kembali, dan sa'at aku kembali kemari, aku harus melihat kamu lebih baik."

Damar menganggukkan kepalanya, namun setetes air mata meleleh, membasahi pipinya.

#adalanjutannyaya#


Saturday, January 26, 2019

SEPENGGAL KISAH 147

SEPENGGAL KISAH  147

(Tien Kumalasari)

 

Asri berlari mendekati mobil, yang kemudian terbuka, lalu dia menggendong Pandu sambil menciumi sepuas puasnya.

"Anakku, sayangku.. cintaku.. Pandu... "

"Ibu jangan menangis lagi, Pandu sudah pulang." Kata Pandu sambil mempererat pelukannya pada ibunya.

Mereka berjalan keteras rumah, dimana pak Marsam sudah menunggu, dan disudut sofa itu Damar mengamatinya dengan wajah sayu.

Bowo tak lama juga turun, kemudian di mobil satunya lagi Ongki juga turun dan bersama memsuki rumah.

Bowo dan Ongky tertegun, melihat Damar ada diteras itu. Seketika kemarahan Bowo yang sudah teredamkan, kembali meluap.

"O, dia ada disini ? Apa kamu ingin menagih janji isteriku?" katanya sambil duduk menyilangkan kakinya dihadapan Damar.

Ongky yang kemudian duduk didekat Bowo menepuk nepuk punggung Bowo untuk menenangkannya.

Damar tak menjawab, matanya yang sayu memandangi Bwo tanpa berkedip. Asri sudah masuk kedalam, membasuk kaki tangan Pandu dan menggantikan bajunya yang dari pagi masih juga dipakai.

"Benarkah? Mau menagih janji?"  Bowo melanjutkan kata2nya.

"Aku minta ma'af..." lirih suara Damar.

"Ya, pasti, sudah lama aku mema'afkan kamu, dan aku juga sudah merelakan isteriku." kata Bowo sengit.

"Tidak.. bukan itu."

Tapi Bowo kemudian membalikkan tubuhnya, naik keatas mobilnya dan keluar dari sana. Ia tak perduli walau Ongky berteriak memanggil manggil, sambil mengejar.

"Bowooo, dengar dulu Bowooo !!"

Mobil Bowo telah menghilang . Ongky membanting banting kakinya karena kesal.

"Heran, mengapa dia jadi keras kepala begitu?" keluhnya sambil kembali masuk ke teras. Dilihatnya Asri sudah keluar lagi, dan terkejut mendengar Ongky berteriak teriak.

"Ada apa mas?" Mana mas Bowo?" tanyanya sambil melihat lihat, dan tak ada lagi mobil suaminya dihalaman.

"Dia pergi lagi?"

"Dia itu kepala batu! Keras kepala!" 

Damar tertunduk diam. Perasaannya semakin tersiksa melihat Bowo tak bisa menerima permintaan ma'afnya dan masih saja salah terima.

"Aku hanya ingin minta ma'af, tidak ada selain itu." ujar Damar lemah. 

Tiba2 Ongky menyadari, betapa pucatnya wajah Damar. Ia ingat pagi tadi masih berbicara dengan lancar, dan bersemangat memajukan perusahaan yang dikelolanya bersama. Mengapa tiba2 ada disini dalam keadaan lesu lelah dan tampak kesakitan.

"Tunggu Damar, bagaimana kamu tiba2 ada disini?"

Ponsel Ongky berdering, dari seberang didengarnya suara Nancy.

"Hallo om.."

"Nancy, ada apa?"

"Om, papa lari dari rumah sakit tempat dia dirawat sejak siang tadi. " kata Nancy sambil menangis.

"Dirawat? Jadi papa kamu dirawat dirumah sakit, lalu lari atau pergi tanpa pamit, begitu ?"

"Om, tadi pagi papa Damar memaksa pergi ke Solo. Ia ingin menemui ibu Asri, tapi dijlan tiba2 pingsan, dan Nancy membawanya kerumah sakit. "

"Astaga, sampai begitu ?" Lalu kamu kemana sampai tidak tau dia pergi?"

"Nancy baru keluar untuk membeli sesuatu,Nancy kira papa Damar tidur. Ketika kembali dia sudah tidak ada, dan Nancy mencari kemana mana tidak ketemu. Dia juga tidak pulang kerumah grandma"

"Tenanglah Nancy, dia bersama aku."

"Benarkah?" suara Nancy gembira.

"Ya, sekarang juga aku akan mengantarnya kerumah sakit, tunggu saja disitu, oke?"

"Baiklah om, terimakasih."

Ongky memandangi Damar yang masih tertunduk.

"Damar, intinya aku sudah tau apa yang kamu maksud, hal yang belum pernah tercetus dari bibir kamu didepan keluaga ini, sekarang sudah jelas, kalau ada yang belum jelas aku yang akan mengatakannya. Yang penting sekarang aku harus membawamu kembali kerumah sakit."

Ongky mendekati Damar, membantunya berdiri dan memapahnya berjalan kearah mobilnya.

"Asri, Damar kesini mau minta ma'af, ia merasa berdosa karena telah memaaksamu untuk menjanjikan sesuatu yang sesungguhnya bukan keinginanmu. Bukankah begitu Damar? " Ongky berbicara kepada Asri kemudian menoleh kearah Damar.

Damar mengangguk sambil mengikuti langkah Ongky. Ketika melewati tempat dimana Asri berdiri, ia mengulurkan tangannya, yang disambut Asri dengan rasa memelas, lalu dibiarkannya Damar mencium tangannya.

Keduanya berlalu, menaiki mbil dan menghilang dibalik pagar rumah Asri.

Mata Asri ber kaca2, sesungguhnya dia merasa iba, tapi itu bukan cinta. Mengharu biru menyaksikan keadaan tubuh Damar yang tadinya gagah dan mempesona, sekarang tampak layu, kuyu, tanpa semangat. Tampak tua, lebih tua puluhan tahun dari usia yang sebenarnya.

"Semoga kamu bisa sembuh Damar." bisiknya lirih, sambil mengusap air matanya. 

Namun Asri masih merasa sedih karena suaminya masih salah paham atas kedatangan Damar.

 

Diperjalanan kerumah sakit, Damar berpesan pada Ongky.

"Tolong mas, temukan Bowo, dan katakan seperti katamu tadi.."

"Bahwa kamu merasa bersalah dan tidak berkeinginan seperti janji Asri waktu itu?"

"Ya mas.."

Setelah mengantarkan kembali Damar kerumah sakit, dan wanti2 agar Damar benar2 istirahat menenangkan hati, juga selalu menuruti nasihat dokter, kemudian Ongky mencari Bowo, tapi ia tak tau Bowo pergi kemana. Dihotel tempatnya tadi pergi bersama Pandu juga tak ada. Sambil menjalankan mobilnya pelan2, matanya mencari cari, barangkali Bowo sedang makan disuatu rumah makan, atau di cafe tempat orang minum2. Tapi bayangan sahabatnya tak juga ditemukan.

"Dasar kepala batu. Keras kepala.!! Ongky mengumpat umpat.

Ia juga mencari kerumah orang tua Bowo, tapi juga tak ada. Namun pagi harinya Ongky menemukannya dikantor Bowo. Masih dengan pakaian yang kemarin, tampak lusuh, dan tak ada sedikitpun berkas diatas mejanya. Pertanda bahwa Bowo tidak sedang mengerjakan apapun. Dilihatnya sahabatnya itu bertopang dagu, danntampak tak bersemangat.

"Bowo, kamu jangan salah sangka."

"Apa maksudmu Ongky? Kamu itu temannya, sahabatnya, sudah selayaknya kalau kamu membela dia."

"Bowo, tidakkah kamu melihat keadaannya>? Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang kurus kering dan tak bersemangat? Apakah kamu merasa bahwa dia sehat?"

Bowo terdiam.

" Begini, sudah sejak lama Damar merasa menyesal, bahkan merasa berdosa karena telah meminta hal yang tak pantas pada Asri. Ia sering mengatakan itu. Bahkan karena merasa berdosa dia tak ingin disembuhkan, memaksa pulang."

"Dia pulang bukan karena sembuh ?" 

"Dia memaksa pulang karena tak ingin sembuh. Dia berkali kali mengatakan bahwa dia memilih mati dari pada mengoyak kebahagiaan Asri dan kamu."

#adalanjutannyaya#

 

Friday, January 25, 2019

SEPENGGAL KISAH 146

SEPENGGAL KISAH  146

(Tien Kumalasari)

 

Nancy terkejut, tergopoh ia menahan tubuh Damar yang nyaris terjatuh.

"Papa jangan nekat, kan harus istirahat total?"

"Ini gara2 aku, aku harus bisa mengatakan semuanya pada Bowo.. tolong biarkan aku Nancy, lepaskan tanganmu." 

"Papa jangan begitu, oke, katakan saja pada Nancy, apa yang akan papa katakan pada mereka, nanti Nancy akan sampaikan."

"Itu tidak sama Nancy.."

"Sama papa.. Nancy akan katakan ini pesan dari papa.. Ok, rebahan kembali ya, nanti kalau dokter datang dan melihat papa seperti ini dokter  akan meminta  papa lebih lama tinggal disini."

Damar memang merasa sangat lemah. Bukan karena menurut pada anjuran Nancy kalau kemudian dia kembali merebahkan tubuhnya, tapi karena memang tubuhnya merasa lemah. Ia memejamkan matanya. Ia juga enggan berkata kata lagi..

Nancy duduk disampingnya dan merasa sedih. Ia belum mengabarkan apapun pada nenek dan mamanya. Ia tak ingin neneknya kemudian bingung lalu buru2 datang ke rumah sakit, sementara hari mulai sore.

Dilihatnya Damar tertidur, lalu Nancy melangkah keluar. Ia berpamit pada perawat akan keluar sebentar, dan menitipkan papa Damarnya kepada perawat.

 

 Pandu meronta ketika melihat mobil ayahya bukan berhenti dirumah. 

"Pandu mau pulang.. Pandu mau ibu.."

"Dengar Pandu, disini tidak boleh menangis, nanti dilihat orang, malu kan. Ayo kita masuk dulu. Kita belum makan kan?" 

Bowo mrnggrndong Pandu sambil mambawa bungkusan makanan. Tapi didalam kamar Pandu sama sekali tidak mau menyentuh makanan itu.

"Pandu...kalau Pandu tidak mau makan nanti dibawa bapak  ke dokter lagi, trus Pandu tangannya disuntik pakai jarum, disambung sama cairan infus, tadi Pandu melihat tidak disamping Pandu berbaring ada yang sedang di infus. Itu karena dia nggak mau makan sama sekali."

Pandu terdiam. Bowo hampir putus asa. ketika tiba2 seseorang mengetuk pintunya. Ternyata Ongky. Dengan wajah cemberut Bowo mempersilahkannya masuk.

"Hai, Pandu.. mm.. anak baik.. kenapa menangis?"

Ongy mendekati Pandu, lalu mengambil sapu tangan disakunya, dan dipakinya untuk menyapu sisa air mata dipipi Pandu.

"Pandu mau ibu... Pandu mau pulang.." 

"Oh.. baiklah, tapi.. ya ampuun.. ada makanan seenak ini,  ayamnya gedeee banget, pasti enak nih, kenapa nggak dimakan ?" Kata Ongky ketika melihat bungkusan nasi yang sudah terbuka, diletakkan dedepan Pandu."

Pandu menggeleng.

"Wouw.. kasihan ayamnya, sudah cape2 datang kesini kok dibiarin begitu saja...O.. harus ditemenin bapak ya?"

"Pandu mau ibu.. makan sama ibuuuu..." rengek Pandu lagi.

"O.. mau makan sama ibu, tapi ibu kan sedang nggak ada disini, sedangkan perutnya Pandu.. lihat.. kok kempes begini.. lapar ini namanya.. Menurut om Ongky, sebaiknya Pandu makan dulu.. nanti kita akan sama2 pulang kerumah, ketemu ibu." kata Ongky lembut, sambil mengelus perut Pandu.

"Benar ?" Pandu menatap Ongky yang kemudian mengangguk.

"Ayo sekarang makan, om sama ayah kamu mau bicara disana. Habiskan nasi dan ayamnya ya?"

Pandu memegangi paha ayam dan menggigitnya sedikit. Memang sesungguhnya Pandu lapar. Tapi kesedihannya karena berpisah dengan ibunya mengalahkan rasa lapar itu.

Ongky mendekati Bowo yang sudah lebih dulu duduk di sofa, agak jauh dari tempat Pandu makan.

"Apa2an kamu ini Bowo? " Ongky memandangi sahabatnya dengan kesal.

"Lihat, kamu menyiksa anakmu sendiri. Kamu menyakitinya Bowo. " lanjut Ongky.

"Ini semua gara2 Asri, aku juga sedih Ongky.."

Ternyata Bowo mampu mengeluarkan air mata. Kemudian ia mengusapnya dengan lengan bajunya. Sedikit jorok, tapi Ongky membiarkannya.

"Kamu juga merasa sedih, mengapa kamu menempuh jalan ini?Kenapa kamu menyalahkan Asri tanpa mendengar apa alasan dia melakukan itu."

"Aku tidak suka cara dia berbohong, akibatnya akan sangat buruk. Aku tidak suka Ongky."

"Kamu cemburu. Cemburu buta."" tuduh Ongky sekenanya. Tapi Bowo tidak membantahnya. Ia cemburu mengetahui isterinya rela berbohong demi meminta Damar supaya bersedia berobat keluar negri.

"Ini tidak ada hubungannya dengan cinta. Isterimu itu menginginkan temannya sembuh, apapun caranya. Mungkin dia salah dalam melangkah, tapi kamu harus bisa memakluminya. Kalau dia ingin jahat sama kamu, tak mungkin kemudian dia mau berterus terang sama kamu."

Ongky juga berbohong pada perasaannya. Ia menuduh Asri memang masih mencintai Damar, tapi dihadapan Bowo ia membelanya dan menutupinya. Entahlah, itu kan hanya dugaan Ongky, yang sesungguhnya hanya Asri yang tau.

Bowo terdiam, ia sungguh bingung. 

"Asri sangat mencintai kamu Bowo, ia pernah mengeluh padaku, bahwa ia melakukan itu karena mau supaya Damar sembuh. Yang dicintainya hanya kamu. "

"Bapaaak... Pandu sudah selesai, ayo kita pulang.." tiba2 Pandu berteriak.Bowo memandangi  Ongky, dan Ongky mengangguk.

"Ma'afkanlah isterimu, dia sangat menderita. Pandu juga menderita, kau telah menyiksanya seharian, ia tak berdosa Bowo."

"Bapaaaak... Pandu mau pulaang.. Pandu mau ibuuu..." Pandu merengek agak keras.

Tiba2 Bowo merasa trenyuh, Benar kata Ongky, dia telah menyiksa seharian..Ia sakit, seharian tidak makan, terus menangis dan mengatakan dirinya jahat. Betapa sedihnya ia. Didekatinya Pandu, kemudian dipeluknya erat2.

"Ma'afkan bapak, Pandu... ma'af ya.." bisiknya ditelinga Pandu.

"Kita akan pulang bukan?"

"Ya, kita akan pulang.."

"Bapak tidak bohong?"

"Kita pulang sekarang." 

Asri duduk diteras rumahnya, hari mulai gelap, angin dingin yang menerpa kulitnya membuatnya menggigil. Tapi Asri tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia harus menunggu dan menunggu.

Pak Marsam keluar dengan membawa secangkir teh panas. 

"Diluar sangat dingin, lebih baik kamu masuk kedalam nduk. " kata pak Marsam sambil menyodorkan secangkir teh yang dibawanya. 

Asri menggeleng, tapi diterimanya cangkir yang diulurkan ayahnya, kemudian menghirupnya sedikit demi sedikit.

"Masuk saja nduk, anginnya keras sekali, dan dingin, nanti kamu masuk angin." 

"Ya bapak, sebentar lagi."

Pak Marsu masuk kedalam, membawa cangkir yang kosong karena Asri telah meminumnya habis.

Tiba2 dilihatnya sesosok bayangan masuk kedalam pekarangan rumahnya. Asri mengamati bayangan itu, agak tersaruk langkahnya, seperti orang mabuk. Asri berdiri dan mengamatinya dengan seksama. Namun remang lampu teras itu tak mampu menembus kegelapan yang menutupi wajah sosok yang ternyata seorang laki2 itu.

"Asri.." lirih bayangan itu menyapanya. Dan Asri terkejut.

"Damar ?"

Bayangan itu terjatuh didepan tangga naik keteras rumah. Dan Asri menjerit perlahan.

"Oh... !!" Lalu Asri meneriaki pak Marsam.

"Bapaaak, tolong bapaaak..."

Pak Marsam tergopoh gopoh keluar, dan bersama Asri memapah Damar keteras dan membaringkannya di kursi panjang diteras itu. Tapi tak lama Damar segera bangkit. 

"Nak, kamu ini kan lagi sakit, mengapa malam2 datang kemari?" 

"Bapak, tolong ambilkan minum dulu untuk Damar."

"Ya..ya.. tunggu sebentar nak.." Pak Marsam berjalan kebelakang. Asri memandangi wajah Damar dengan  iba.

"Mengapa malam2 begini kamu kemari Damar? Kamu belum sehat benar.."

"Ini untukkamu... Asri.."

Asri berdebar, apa maksud kata2 Damar?

Namun sebelum ia menemukan jawabannya, sebuah mobil masuk kepekarangan, diikuti oleh sebuah mobil lagi . Dan dari jauh didengarnya teriakan.

"Ibuuuuu...."

Asri hampir melonjak kegirangan.

#adalanjutannyaya#

SEPENGGAL KISAH 145

SEPENGGAL KISAH  145

(Tien Kumalasari)

 

Bowo mengangkat Pandu yang tergolek di jok belakang. Bowo terkejut, badan Pandu panas. Bergegas Bowo memesan sebuah kamar, dan membawa anaknya kekamar itu lalu menidurkannya.

"Pandu.. Pandu, kamu sakit?" Kata Bowo cemas.

"Aku mau ibu.."" mulut kecil itu berbisik lirih

Bowo kebingungan, ia tak punya persediaan obat untuk Pandu. Badan Pandu panas sekali. Ia berlari keluar, bingung harus melakukan apa. Ia sadar, rupanya tak mudah menjaga anak kecil. Biasanya Asri yang melakukannya. Bowo masuk kembali kekamar, dan dilihatnya Pandu masih memejamkan mata. Diam tak bergerak.  Ia lari lagi keluar menanyakan kepada penjaga apakah punya obat panas untuk anak kecil, tapi tidak ada. Bowo kembali masuk kekamar, digendongnya Pandu, lalu dibawanya ke mobil Satu2nya jalan  adalah membawa Pandu kerumah sakit.

Pandu tak bergerak, Bowo sangat panik. Ia merasa tak berdaya. Mengapa semua menjadi seperti ini? Bowo mencari cari, apa yang salah dalam langkahnya. Sesungguhnya hatinya dibakar cemburu. Dan semuanya menjadi gelap, dan semuanya berjalan seperti tanpa arah. Ia juga bingung bagaimana menghadapi anaknya yang rewel dan hanya mau bersama ibunya. Masa ia harus membawanya pulang? Semuanya serba membingungkan.

Begitu sampai dirumah sakit Bowo segera membawa Pandu keruang pemeriksaan. Ia menunggu dengan perasaan gelisah. Berjam jam menunggu, dan dokter mengatakan bahwa Pandu sudah sadarkan diri. Bowo masuk kedalam, dilihatnya Pandu tergolek lemah, tapi begitu melihat ayahnya Pandu langsung memalingkan muka.

"Pandu, kamu tidak apa2?" Kata Bowo sambil memegangi kepala anaknya. Sudah tidak sepanas tadi.

"Aku mau ibu.." hanya itu yang diucapkannya.

Tiba2 seorang gadis cantik masuk kedalam ruangan itu, menemui salah seorang perawat dan berbicara sesuati. Bowo merasa pernah melihat gadis itu, tapi agak lupa. Namun Pandu tiba2 berteriak.

"Nancy .."

Gadis itu menoleh, dan setengah berlari mendekati Pandu.

"Pandu... Pandu.. kamu sakit apa? Pak Bowo.. kenapa dia? tanya Nancy ..

""Hanya panas sedikit, kata dokter nggak apa2."

"Nancy.. antarkan aku pulang... aku mau ibu.." bisik Pandu lirih.

Nancy agak heran mendengar kata2 Pandu. Namun Bowo yang enggan mengatakan hal yang sebenarnya, balik bertanya.

"Kamu sakit, Nancy?"

"Bukan, papa Damar masuk rumah sakit lagi. Ia harus dirawat untuk beberapa hari."

"Oh, aku ikut prihatin." hanya itu yang diucapkan Bowo.

"Ma'af pak Bowo, Nancy akan mengambil obat dulu untuk papa Damar, so'alnya harus segera diberikan."

"Silahkan Nancy."

"Nancy..." Pandu memanggilnya sambil tangannya melambai kearah Nancy. Nancy berbalik dan mendekati Pandu.

"Pandu sayang, Nancy harus mengurus obatnya papa Nancy dulu ya, nanti Nancy kesini lagi."

Nancy mencium kening Pandu dan berlalu.

Rupanya dokter tidak menyuruh Pandu untuk opname dirumah sakit. Pandu hanya mendapatkan obat yang harus diminumnya dirumah.

Bowo menerima resep dari dokter dan diambilnya di apotik. Setelah menyelesaikan semuanya, Bowo menggendong Pandu untuk diajaknya pulang. Lebih tepatnya diajaknya kembali ke hotel.

Pandu terus merengek memanggil manggil ibunya. "Oh ya, kita belum makan, makan dulu ya, di restoran yang ada es krim nya.."

"Aku mau sama ibu.."

"Baiklah, bapak aka membeli makanan saja dan kita makan bersama dihotel.  Kamu suka ayam goreng kan?"Bowo berhenti disebuah rumah makan, ia keluar, mengunci mobilnya dan berjalan kearah rumah makan.

Pandu kecil berbaring di jok belakang,Ia hanya diam, dan bingung menghadapi keadan seperti itu. Ia tak tau mengapa ayahnya tak mau mengajak ibunya serta. 

Tiba2 seseorang mengetuk kaca mobilnya dari luar. Pandu bangkit dan dusuk, ia mengenali laki2 yang ada diluar mobil.

"Om Ongky !!"

Ongky berusaha membuka pintu mobil tapi memang erkunci. Ia menoleh kesana kemari, dn melihat Bowo sedang menenteng tas berisi bungkusan.

Bowo terkejut melihat Ongky.

"Apa yang kamu lakukan Bowo?"

Bowo tak menjawab, ia membuka pintu mobil dan meletakkan bungkusan itu diatas jok depan. 

"Bowo, mau kemana kamu? Aku mencari kamu.."

Bowo tak menjawab. Ia naik keatas mobilnya dan menjalankannya.

Ongky berlari kearah mobilnya dan mengikuti kemana Bowo pergi.

Asri duduk termangu dissofa kamar tamuya. Ia berharap Pandu akan kembali. Tpi sampai menjelang sore tak ada berita tentang Pandu. Pak Marsam duduk didepannya, keduanya terdiam, tak tau apa yang akan dibicarakannya. Mereka hanya menunggu. Menunggu keajaiban, menunggu terbukanya hati Bowo, menunggu belas kasihan dari Allah sesembahan meraka agar segala kemelut segera berakhir.

Tiba2 ponsel berdering, Asri segera mengangkatnya, dari Ongky.

"Hallo mas,"

"Asri, aku menemukan Bowo dan anakmu," kata Ongky dari seberang sana.

"Oh ya mas, mas Ongky sudah berbicara? Bagaimana mas Bowo? Maukah kembali pulang mas? Katakan mas.." jawab Asri bersemangat.

"Aku baru mengikuti mobilnya. Tadi mereka membeli makanan.. belum bicara sama dia, dia langsung mengendarai mobilnya, sekarang aku mengikutinya."

"Dimana mas, aku boleh menyusul?"

"Jangan Asri, biar aku saja yang berbicara nanti. Sudahlah, tenangkan hatimu, Bowo tak akan tahan mendengar rengekan anakmu."

"Selalu kabari aku ya mas?"

"Jangan khawatir Asri."

Asri merasa agak lega mendengar Ongky sudah tahu dimana Bowo membawa Pandu. 

 

Sore itu Nancy masih dirumah sakit. Damar sesungguhnya ingin pulang tapi dokter melarangnya . Nancy juga wanti2 agar papa Damarnya bersabar untuk beberapa hari.

"Tapi aku ingin kerumah Asri terlebih dulu."

"Nanti kalau papa sudah baik Nancy akan antar papa kesana. Papa tau? Tadi Nancy ketemu pak Bowo di klinik."

Damar terkejut.

"Dia mengantar Pandu yang lagi sakit. Nancy heran, Pandu merengek minta diantr pulang oleh Nancy. Mengapa dia bilang begitu sama Nancy ya pa? Sepertinya pak Bowo memaksa Pandu untuk ikut bersamanya. Nancy kasihan sama Pandu, dia tampak sedih."

Damar semakin miris, tampaknya seperti yang didengarnya ditelpon pagi tadi, Bowo sudah berhasil membawa Pandu pergi.

"Aku mau pulang sekarang." kata Damar sambil bangkit dari ranjangnya."

#adalanjutannyaya#

Thursday, January 24, 2019

SEPENGGAL KISAH 144

SEPENGGAL KISAH  144

(Tien Kumalasari)

 

Namun Bowo seakan tak perduli. setelah mengunci mobil dia kembali mendekati Asri yang menangis sambil bersimpuh ditanah.

"Apa kamu sudah menyiapkan barang2 Pandu?"

"Maas... jangan maaas... jangan mas...

Asri lari kearah mobil yang terkunci... dilihatnya Pandu menangis keras sambil menggedor gedor kaca mobil...

"Ibu... ibu...aku mau ibu..."

"Anakku... diamlah nak... jangan menangis nak... jangan menangis.. diam sayang... anak ibu.. cinta ibu.. kesayangan ibu...diamlah nak..." tangis Asri sambil memegangi kaca  yang sama, dimana tangan Pandu menggapai gapai..

Sementara itu Bowo berjalan kearah belakang, dilihatnya pak Marsam. Bowo mendekati, lalu memegang tangan pak Marsam, lalu diciumnya, seperti yang selalu dia lakukan setiap kali mau berangkat kerja atau sepulang kerja. Rupanya Bowo belum kehilangan rasa hormatnya kepada mertuanya, dan itu membuat pak Marsam berani menegurnya.

"Apa yang terjadi nak, mengapa rumah tangga yang dibangun begitu indah dan apik, menjadi seperti ini? Dimana kesabaranmu nak? Dimana rasa sayangmu yang selama ini kamu curahkan untuk anak dan isterimu?"

"Ma'afkan Bowo, bapak.. ma'afkan Bowo, keadaanlah yang memaksa Bowo melakukan semua ini..." ujar Bowo pelan. Kemudian ia meninggalkan mertuanya lalu masuk kedalam kamar Pandu anaknya.

Ia membuka almari Pandu, mengambil kopor yang ada diatas almari, lalu memasuk masukkan baju anaknya kedalam koper itu. Pak Marsam yang mengikutinya merasa sedih, ia tau tampaknya Bowo tidak sepenuhnya menginginkan hal itu. Ia melihat dari mata menantunya, ada kesedihan yang tersirat disana.

"Nak Bowo, apa semuanya sudah nak Bowo pikirkan? Lihar dan dengar Pandu menangis keras, tidakkah itu memilukan?" 

"Bowo terpaksa melakukannya pak, Asri yang membuat jadi begini."

"Ini kesalah pahaman yang nak Bowo telan mentah2 nak, ini bukan keinginan kalian, nak Bowo harus mengerti. Cobalah redakan dulu rasa panas dihati yang membakar seluruh sanubari. Dengar kata2 orng tua ini nak.:

"Tidak bapak, bapak harus mema;afkan Bowo. Bowo sangat menyayangi Asri, Pandu, juga bapak sendiri. Tapi Bowo harus melakukannya."

"Dengar nak..." pak Marsam ingin melanjutkan kata2nya, tapi Bowo sudah selesai mengepak pakaian Pandu sekenanya, lalu enutup koper itu dan mengangkatnya. Dengan sebelah tangannya ia menyalami lagi mertuanya, dan juga menciumnya lagi. 

"Nak, dengar nak.." pak Marsam mengikutinya dari belakang.

"Ma'afkan Bowo , bapak..." 

Bowo terus melangkah, dilihatnya Asri masih menangis sambil memegangi kaca mobil, dan Pandu juga menangis memilukan.

Bowo menguatkan hatinya, ia membuka mobil, meletakkan koper kedalamnya, lalu naik kemobil itu dan menjalankannya menjauhi rumah.

Asri berlari mengikuti sambil berteriak teriak.

"Mas, kamu kejam mas... kamu kejaam mas ..."

Pak Marsam merangkul anaknya, dan menepuk nepuk bahunya. Tampak air mata juga mengambang dipelupuk mata lelaki tua yang merasa pilu menyaksikan ratap pilu anak dan cucunya,

"Sudahlah, sabar nduk, suamimu sedang panas hatinya, dan tidak bisa menimbang baik dan buruk dari keadaan ini. Sebaiknya kamu bersabar, dan menenangkan hatimu, suatu sa'at nanti suamimu pasti akan sadar dan bisa mengerti semuanya.

Pak Marsam memapah Asri yang lunglai, masuk kedalam rumah. Ketika itulah mobil Ongky masuk kepekarangan. Ongky sudah melihat keadaan itu, dan yakin bahwa Bowo pasti sudah membawa pergi anaknya. Bergegas ia turun dari mobil dan menghampiri Asri dan pak Marsam.

"Dia sudah pergi?"

"Mas Ongky, bagaimana kamu ini mas... lama sekali baru datang...Mas Bowo sudah membawa Pandu pergi mas... aku bagaimana mas..." tangis Asri pilu.

"Pergi kemana dia?"

"Mana aku tau mas.. dia membawa pergi, tak perduli Pandu berteriak teriak menangis."

"Mari duduk dulu nak, berbicara didalam saja." ajak pak Marsam sambil masuk kedalam rumah,

Asri terkulai lemah, duduk bersandarkan sandaran sofa, air matanya terus menerus mengalir.

"Keterlaluan Bowo."

Ongky mengambil ponselnya dan berusaha menelpon, tapi rupanya Bowo mematikan ponselnya. :"Entah kemana dia pergi." desis Ongky.

"Kenapa kamu lama sekali mas, kami tidak berdaya, kata2 bapak juga tak didengarnya."

"Ma'af, jalanan macet Asri, aku juga terburu buru berangkatnya tadi. Tapi tenanglah dulu, pasti akan ada cara untuk menaklukkan hari Bowo. Ada sa'at dimana kemarahannya sudah reda, dan pasti kalian akan bersatu lagi."

"Aku tak pernah melihat dia semarah itu mas, aku tidak bohong padanya, aku bilang bahwa aku hanya mencintai dia, tapi dia tak mau dengar."

"Ya, aku bisa mengerti. Aku akan mencari dia sampai ketemu dan akan berbicara dengannya."

Sementara itu dimobil Pandu terus meronta ronta, ia memukuli punggung ayahnya yang terus melarikan mobilnya entah kemana.

"Bapak jahat.. bapak jahatt !!

"Pandu, kita akan bersenang senang berdua. Pergi keempat bermain, beli es krim.. ya, bukankah Pandu suka es krim?"

"Tidak.. tidak.. Pandu hanya mau ibu... Pandu mau ibu."

"Pandu nggak boleh membantah kata2 ayah ya, ayo diam, nanti ayah marah lho." kata Bowo bernada ancaman, seperti kalau ia memarahi Pandu setiap kali Pandu nakal. Tapi kali itu Pandu tidak perduli. Sekarang ia malah menarik narik baju ayahnya, sambil tak henti hentinya minta agar ibunya ikut bersama mereka.

"Pandu mau ibu.. Pandu mau main sama ibu juga... berhenti bapak.. berhenti.. Pandu mau sama ibu, Pandu nggak mau sama bapak."

"Pandu !!" Bowo sedikit membentak anaknya. Pandu terkejut dan melepaskan pegangannya pada baju ayahnya..

"Pandu, jangan begitu, bapak sedang ingin main sama Pandu, kita berdua saja. Ya?" Agak melemah suara Bowo ketika melihat anaknya seperti ketakutan.

"Pandu, Pandu mengerti tidak, bapak sangat sayang sama Pandu."

"Bapak bohooong!!" teriak Pandu sambil merebahkan tubuhnya di jok belakang.

"Bapak jahat... Pandu benci bapak.. " suara Pandu melemah, mungkin lelah, mungkin putus asa, dan Bowo tak lagi mendengar suara apapun. 

Bowo menoleh kebelakang, dilihatnya pandu tergolek sambil memejamkan matanya. Bowo sedikit lega, mungkin Pandu tertidur karena capek berteriak teriak.

Bowo melarikan mobilnya dan memasuki sebuah hotel.

Didalam mobil yang lain, Nancy sedang mengendarai mobil Damar. Damar duduk disampingnya, tampak lesu tak bersemangat.

"Sebenarnya papa Damar mau kemana ?" tanya Nancy.

"Bawa aku kerumah Asri." kata Damar perlahan.

"Mau apa papa kesana?"

"Ada yang ingin aku lakukan. Aku ini orang yang berdosa, aku sadar, umurku tak akan lama lagi, aku ingin menebus kesalahan aku itu.

"Papa nggak boleh bilang begitu. Bukankah papa sudah sehat sekarang?"

"Aku tidak merasa seperti itu.Cinta ini.. membawa sebuah derita.. bagi orang yang papa cintai."

Damar terdiam, suaranya melemah. Nancy menoleh kearahnya dan terkejut melihat Damar terkulai disandaran kursi, dan tangannya tergantung begitu saja disamping jok yang didudukinya.

"Papa... paa..." panggil Nancy, tapi Damar tak menjawab. Nancy menghentikan mobilnya ditepi jalan. Dipegangnya tangan Damar.

"Ya Tuhan, kita harus kerumah sakit papa."

Nancy memacu kembali mobilnya, menuju rumah sakit terdekat.

#adalanjutannyaya#

Wednesday, January 23, 2019

SEPENGGAL KISAH 143

SEPENGGAL KISAH  143

(Tien Kumalasari)

 

Asri terkulai lemas, Bowo telah mematikan telphone nya. 

"Tidaaak... tak mungkin aku berpisah dengan anakku.. " tangisnya seorang diri. Ia berlari kebelakang, menuju kamar anaknya. Hatinya nagai teriris iris. Bocah kecil tampan itu, buah hatinya, sedang tergolek nyenyak, sambil memeluk guling kecilnya. Asri mendekatinya perlahan, menciumi pipinya sambil berlinangan air mata.

"Jangan pergi.. jangan pergi meninggalkan aku... aku tak mampu hidup tanpa kamu..." bisiknya diantara tangis.

 Pandu menggeliat, : " Ibu... " bisiknya pelan ketika merasa bahwa yang berada didekatnya adalah ibunya.

 Asri kemudian menepuk nepuk pahanya, agar Pandu kembali terlelap dan tidak melihat keadaannya yang berurai tangis.

"Sssh..shh..shhh.." dan itu menenangkan Pandu yang kembali terlelap.I merasa nyaman dalam dekapan ibunya. 

Asri mendekapnya, menciuminya dan menangisinya.

"Tidak nak, tak akan aku biarkan ayahmu membawa kamu, kamu milikku, kamu adalah darah dagingku. Kalau ayahmu menginginkan berpisah dengan ibu ini, memang dia tadinya bukan apa2ku, tapi kamu.. ditubuhmu mengalir darahku, dijiwamu mengalir cintaku. Jangan pergi..."

Pagi harinya pak Marsam terkejut melihat Asri tertidur dikamar Pandu. Ia ingin membangunkan tapi tidurnya tampak nyenyak. Ia juga membiarkan Pandu masih terlelap dalam dekapan ibunya, karena hari itu adalah hari Minggu.  Pak Marsam keluar dan menuju kekebun depan. Dalam hati ia bertanya. Beberapa hari ini keadaan Asri memang tak seperti biasanya. Ia juga tak mengatakan mengapa Bowo tidak pulang selama ber hari2. Bahkan pak Marsam juga bisa menangkap kesedian yang terpantul dari wajah anak perempuannya.  Pak Marsam merasa bahwa rumah tangga anaknya bukan menjadi urusannya lagi. Ia berharap mereka bisa menyelesaikan seandainya ada kemelut diantara mereka. Tak enak rasanya ikut campur, kecuali mereka mengatakannya.

Asri terbangun dengan bingung. Seperti mimpi ketika mendapati dirinya tidur dikamar Pandu yang tampak masih tertidur nyenyak. Tiba2 Asri sadar bahwa suaminya akan membawa Pandu pagi hari ini, atau hari ini. Asri panik. Ia keluar kamar dan menelpon Ongky. Barangkali dia satu2nya yang bisa mendengar sesambatnya, atau bahkan menolongnya.

Ketika telpn berdering Ongky ternyata berada dirumah Damar. Semalam mereka menyelesaikan suatu pembicaraan penting tentang usaha mereka. Ongky tidak mau Damar berlama2 dikantor jadi ia mengalah untuk tidur dirumah Damar.

"Hallo, Asri ?"

Damar menoleh dari tempat duduknya mendengar suara Asri disebut.

"Mas Ongky, tolong aku.. tolong aku.." suara tangis Asri dari seberang..

"Ada apa? Diam, dan tenanglah.. Ada apa"

"Mas Bowo tidak pulang sampai sekarang, semalam dia menelpon, aku disuruh menyiapkan barang2 Pandu karena hari ini ia akan membawa Pandu pergi.. tolong aku mas, lebih baik aku mati..."

"Asri, nggak baik bicara seperti itu, tenanglah, mari kita pecahkan masalah ini dengan kepala dingin." 

"Bagaimana aku bisa tenang Mas, aku lebih baik mati saja.. "

"Kan kamu bilang segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya?"\

"Tapi jalan keluar itu aku tak menemukannya. Mas... ayolah mas, tolong aku.. apa aku bawa Pandu lari saja dari rumah?"

"Jangan Asri, itu akan memperuncing keadaan.."

"Lalu aku harus bagaimana mas? Aku nggak mau dipisahkan dari anakku... aku lebih baik mati mas.. bunuh saja aku.."

"{Asri, mati hidup itu bukan kamu yang menentukannya. Okey.. okey.. kamu tenang.. tunggu aku dirumah..aku akan kesana sekarang."

"Bener ya mas, cepat.. sekarang, sebelum mas Bowo datang mas.."

"Iya.. iya... aku siap berangkat sekarang."

Telephone ditutup, Damar mendengarkan pembicaraan itu dengan seksama. Persoalannya Damar tidak jelas mengerti, tapi bahwa Asri sedang bingung.. ingin mati.. Damar mendengarnya.

"Ada apa mas?"

"Ini gara2 kamu."

"Aku ?"

"Kamu dulu meminta Asri untuk meninggalkan Bowo supaya kamu mau berobat keluar negri, dan sekarang Bowo meninggalkan Asri. Bener2 meninggalkan Asri dan hari ini ia akan menjemput anaknya.Kamu senang? Kamu akan mendekati Asri dan menagih janjimu?" Kesal Ongky ketika mengucapkan itu, dan Damar tampak tertunduk lesu.

Ongky tak perduli, ia mengenakan jacketnya dan langsung pergi keluar, meniki mobilnya dan pergi.

Tak urung pak Marsam menanyakannya ketika dilihatnya anaknya menangis dikamar. Masa ia tetap harus berdiam diri melihat anaknya seperti itu?

"Tolong kunci pintunya supaya Pandu tidak masuk kemari , bapak."

Pak Marsam mengunci pintu kamar anaknya, dan menunggu Asri menceriterakan semuanya. Pak Marsam yang semula tidak tau banyak tentang kejadian sejak Damar berangkat keluar negri, terkejut mendengar ceritera Asri. Sebegitu berat beban anak perempuannya dan dia sama sekali tak mengetahuinya.

"Yang paling membuat Asri sedih ialah ketika mas Bowo akan mengajak Pandu pergi. Aku tidak mau berpisah dengan Pandu, bapak, lebih baik aku mati,"

"Sssh.. jangan ngomong begitu nduk, nggak baik itu. "

"Asri harus bagaimana pak?"

"Tenangkan dulu pikirmu, nanti kalau nak Bowo datang kita akan bicara baik2. Nanti bapak juga akan ikut bicara."

"Mungkinkah kita bisa menghalangi keinginan mas Bowo itu?"

"Kita coba saja nanti, dan selalu memohon kepada Tuhan agar semuanya baik2 saja."

Asri mengusap air matanya, ada beban sedikit berkurang mendengar kata2 ayahnya. 

"Ma'afkan Asri yang telah  membuat ayah ikut sedih ya.."

"Mengapa harus meminta ma'af nduk? Kesedihan anaknya juga kesedihan orang tuanya. Kebahagiaan anak adalah juga kebahagiaan orang tuanya. Sudah, sekarang mandi dan berpakaian rapi, supaya nanti kalau anakmu terbangun tidak berpikiran macam2 melihat ibunya seperti ini.

 

"Horeeee... bapak sudah pulaaang..." teriakan Pandu penuh gembira itu bagai palu godam yang memukul dada Asri. 

Dengan ketakutan Asri memburu keluar, takut kalau2 Bowo tiba2 saja mengajak Pandu pergi.

"Bapak..mengapa perginya lama sekali? Bapak juga nggak bilang sama Pandu kalau mau pergi lama kan?"

"Ya sayang, bapak lupa." Boo menggendong Pandu dan mengangkatnya tinggi2. Selalu begitu kalau ia baru pulang dari kantornya.

"Tapi ibu bilang, Pandu harus mendo'akan bapak supaya bapak sehat, dan selalu baik2 saja." kata Pandu, dan Bowopun menoleh kearah Asri yang memandangi mereka dengan perasaan tak menentu. Namun hanya sekilas, dan itu menyakitkan Asri.

"Pandu sudah bersiap? Kita akan pergi hari ini.." kata Bowo tiba2.

"Horeeee... kita akan jalan2 ya bapak? Ibuuu.. kita akan jalan2.." Pandu merosot turun dari gendongan ayahnya dan merangkul ibunya.

Hati Asri teriris pedih.

"Kita hanya berdua saja Pandu, ibu tidak bersama kita. Ujar Bowo tiba2, membuat Pandu kemudian menoleh kearah ayahnya. Seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. 

"Kita berdua saja? Pandu dan bapak?"

Bowo mengangguk.

"Mengapa bapak? Pandu tidak mau pergi tanpa ibu."

"Pandu harus menurut kata ayah. Kali ini kita tidak akan pergi bersama ibu."

"Kemana bapak?"

"Kesuatu tempat yang sangat indah."

"Jalan2 kan yah? Tapi Pandu mau sama ibu juga. Ya  kan bu?"

Air mata mulai mengambang dipelupuk mata Asri. Bowo mengangkat tubuh Pandu dan dinaikkan ke mobilnya. Padu meronta, tapi apa daya seorang anak sekecil Pandu ketika kedua lengan kuat merengkuhnya?

Asri menangis keras. Dan Pandu semakin bingung melihat ibunya menangis. Ia meronta dan menggedor gedor kaca jendela mobil yang tekunci.

"Aku mau ibu... aku mau ibu....." tangis Asri

"Jangaan mass... jangaaan.."

#adalanjutannyaya#

Tuesday, January 22, 2019

SEPENGGAL KISAH 142

SEPENGGAL KISAH 142

(Tien Kumalasari)

 

Ongky bingung, ia belum sempat bicara banyak, tapi Bowo langsung menutup ponselnya. Ia memanggilnya ulang tapi Bowo mematikannya.

Ongky menarik nafas panjang. Tak ada jalan lain kecuali menunggu sampai dia pulang nanti. Nancy yang melihat Ongky tampak gelisah segera mendekati.

"Ada apa om?"

"Bukan apa2, cuma telephone dari Bowo, terputus."

"Oh, mungkin signalnya buruk. "

"Mungkin.."

"Oh ya om, apa om sudah bicara sama papa Damar?"

"Tentang apa?"

"Keinginannya segera pulang."

"Ya, aku janji mau bicara dulu sama dokternya. Kalau dokternya mengijinkan, dan bisa dilakukan pengobatan di Indonesia, ya kita bawa dia pulang."

"Menurut Nancy sebaiknya dituntaskan disini ya om, supaya hasilnya lebih baik."

"Entahlah, tergantung nanti dokternya bagaimana."

Tapi diluar perkiraan mereka, rupanya dokter mengijinkan Damar pulang. Dan Damar begitu gembira menerima berita itu.

"Memang keadaannya membaik, tapi ia harus ekstra hati2. Banyak pantangan yang tidak boleh diterjangnya. " kata Ongky kepada Nancy.

"Mengapa dokter mengijinkan? Perasaan saya sungguh nggak enak om."

"Mengapa , Nancy."

"Entahlah, Nancy nggak berani mengatakannya."

Memang ada 2 kemungkinan, yang itu juga dirasakan Nancy. Pertama, memang Damar sudah bisa dilepas dari pengobatan, kedua, ada tanda2 bahwa mereka tak akan bisa menyembuhknnya, jadi lebih baik mengijinkannya  pulang. Nancy tak berani mengatakannya.

Sudah 3 hari Bowo tidak pulang kerumah, dan 3 hari pula Asri tergolek diranjang tanpa daya. Pak Marsam sangat sedih, karena Asri juga tak mau makan. Akhirnya dokter yang memeriksa memintanya untuk opname dirumah sakit. Asri harus diinfus untuk memberi asupan makan dan cairan ketubuhnya. Asri sedih, ia menolaknya, tapi dokter memaksanya. Namun Asri melarang ayahnya untuk mengabarkannya kepada mertuanya.

"Asri, karena kamu nggak mau makan dan minum maka kamu harus diinfus disini. Kamu semakin lemah, dan itu berbahaya nduk."

"Asri merasa sudah kenyang bapak, nggak ingin makan lagi."

"Ya nggak mungkin kenyang, kamu makan apa, sesendok bubur dan seteguk air tidak akan memberimu kekuatan. Jadi kamu harus bersemngat, makan yang banyak supaya bisa segera pulang."

Dua hari dirawat, Asri sudah boleh pulang. Ia terpaksa menuruti apa kata dokter karena kasihan sama Pandu yang lama menunggu dirumah.Ia juga tak ingin berlama lama dirumah sakit. Siang itu  dengan terkejut didapatinya Ongky sudah ada diteras ketika ia sampai dirumah dijemput ayah dan anaknya. Tak ada tanda2 Bowo pulang kerumah, dan itu membuat hati Asri semakin sedih.

"Kamu sakit? Ya ampun, aku menelpon kamu ngak pernah nyambung ternyata kamu dirumah sakit?"

"Hanya istirahat dua hari dirumah sakit nak, soalnya susah makan susah minum."

Asri duduk disofa, dan Pandu duduk disampingnya, bersandar pada lengan ibunya. 

"Ibu nggak boleh sakit lagi, nanti Pandu sedih.." kata Pandu pelan sambil memandangi ibunya.

"Ya sayang," Asri mengelus kepala anaknya penuh sayang.

"Sebenarnya kamu sakit apa?"

Asri tidak menjawab, ia menepuk punggung anaknya dan menyuruhnya masuk kedalam.

"Pandu cuci kaki tangan dulu dan ganti bajunya ya?"

Pandu berdiri, lalu berlari kebelakang diikuti kakeknya.

"Apa yang terjadi? Badanmu sangat kurus. Bowo pergi?"

"Sudah lima hari ini dia pergi, dia sangat marah."

"Aku sudah menelponnya waktu dari sana, tapi dia tak mau mendengarku dan justru mematikan ponselnya."

Asri terdiam. Adakah jalan keluar untuk lepas dari kemelut ini?

"Oh ya Asri, Damar sudah kembali."

Asri terkejut.

"Jadi mas Ongky pulang bersama dia?"

"Kami semua kembali, karena dokter mengijinkan."

"Dia sembuh?"

"Tampaknya lebih baik, tapi ia harus benyak beristirahat. Dia ingin kembali ke Jogya dan mulai bekerja."

"Oh...syukurlah."

Asri kembali terdiam. Ia ingin mengucapkan sesuatu tapi diurungkannya. Ongky tau, pasti Asri ingin membicarakan mengenai janjinya dulu itu.

"Damar tidak bicara apa2. Dia justru ingin pergi dari kota ini."

Asri memandangi wajah Ongky lekat2. Tak ada tanda2 Ongky mengatakan bahwa Damar menagih janji. Tapi Asri tetap merasa terbebani.

 "Kamu takut sesuatu?"

"Sesuatu yang aku takutkan itu sudah terjadi." katanya lirih.

"Kita akan cari jalan keluarnya bukan? Apa dulu kamu bilang? Kalau dosa biarlah aku yang menanggungnya, kalau itu membuatku sengsara pasti akan ada jalan keluarnya. Sekarang ayo kita cari jalan keluar itu."

Damar memang enggan pulang kerumah bu Surya, bu Surya yang merasa keberatan, menyuruh Nancy menemaninya di Jogya.

"Kamu mau kan Nancy?" tanya bu Surya

"Nancy mau grandma, tapi papa Damar belum tentu mau."

"Nanti grandma akan bicara sama dia. Dia itu kan belum bisa dilepas begitu saja. Grandma liat matanya masih tampak cowong dan wajahnya juga menampakkan bahwa dia belum sehat benar."

"Ya grandma, nanti grandma bicara saja sama papa Damar."

Ternyata Damar tidak keberatan Nancy ikut tinggal bersamanya, melayani semua kebutuhannya.

"Tapi aku kasihan sama kamu Nancy, apa kamu tidak capek melayani orang sakit?"

"Papa kan sudah sehat, itu juga kata papa kan?" canda Nancy.

"Sebenarnya grandma keberatan kalau papa langsung bekerja kembali dikantor. Grandma khawatir nanti papa Damar kecapean. Kan dokter melarang papa sampai lelah, memikirkan hal yang berat2... "

"Papa cuma sebentar2 saja dikantor. Kan ada om Ongky yang membantu papa. Kalau diam dirumah saja pasti akan lebih sakit rasanya." bantah Damar.

Memang, walau hanya sebentar, Damar memang sudah pergi kantornya, melihat lihat perkembangan selama ini setelah ditinggalkan berbulan bulan. Damar senang Ongky benar2 menjadi sahabat dan saudara yang selalu menjaganya.

Malam hari itu Asri duduk termenung sendirian. Tak ada berita tentang Damar, dan Damar juga tak pernah menghubunginya. Hatinya berdebar debar, mengapa Damar diam dan tidak menanyakan janjinya . Tapi kalau dia menagihnya, apa yang harus dikatakannya? Sungguh Asri tidak ingin melakukannya, tapi harus ada cara menjawabnya. Sejauh ini Asri belum menemukan caranya.

Tiba2 ponselnya berdering. Asri berdebar, dari Bowo. Mudah2an suaminya sudah tidak marah lagi. Asri menata hatinya sebelum menjawab.

"Mas Bowo, mengapa tidak pulang mas? Asri dan Pandu menunggu mas pulang."

"Asri, aku menelpon ini untuk mengatakan sesuatu. Malam ini juga kamu siapkan barang2 Pandu, karena besok aku akan mengajaknya."

"Oh, kita mau jalan2 mas?" tanya Asri penuh harap.

"Tidak, aku hanya akan mengajak Pandu, agar dia tidak mengganggumu."

"Maaaas..." Asri berteriak histeris.

#adalanjutannyaya#

Monday, January 21, 2019

SEPENGGAL KISAH 141

SEPENGGAL KISAH  141

(Tien Kumalasari)

 

Bowo berdiri, tetap dengan wajah kaku. Membiarkan Asri bersimpuh dan menangis sambil memegangi kedua kakinya.

"Jangan mas, jangan begitu, Asri mana bisa hidup tanpa mas Bowo? Tidak mas.. jangan bersikap seperti itu. Asri tidak bersungguh sungguh.." tangisnya memilukan.

"Keputusanku sudah bulat Asri. Aku tahu, barangkali masih ada cinta yang tersisa, dan aku tak mau terlalu lama menyiksa batinmu."

"Tidak mas, bohong mas, aku hanya mencintaimu.. aku hanya mencintaimu mas... jangan pergi.. "

"Aku sangat mencintai kamu Asri, tak ada wanita didunia ini yang aku cintai selain dirimu. Sungguh, tapi aku tak ingin kamu jadi pendusta. Aku tak ingin kamu mengingkari janji yang telah kamu buat sendiri. Jadi tepatilah, lakukan seperti apa yang pernah kamu ucapkan."

"Tidak mas, aku tidak mau... maaas... aku tidak bisa hidup tanpa dirimu.. aku lebih baik mati mas, bunuh saja aku..."

"Kamu berdosa mengatakan itu, mati dan hidup bukan kamu yang menentukan. Sudahlah Asri, lepaskan aku, aku yakin kamu akan berbahagia.. dan itu adalah harapanku." lirih kata Bowo, yang seperti juga mengandung kepedihan.

"Mas Bowo, aku tak bisa hidup tanpa kamu mas, aku tak bisa..."

"Jadilah wanita yang bisa menepati janji. "

Hanya itu yang diucapkan Bowo, kemudian dia  pergi meninggalkan rumah, dimalam buta, menembus kelamnya malam dan kelamnya suasana hati keluarga yang semula hiduppenuh bahagia itu.

Asri tergolek lemah ditempat tidur, kepalanya terasa sangat pusing. Pak Marsam heran tak mendapati menantunya sejak semalam. Ia juga menangkap kepedihan dimata anaknya. 

"Apa yang terjadi nduk?"

"Bapak, tolong buatkan sarapan untuk Pandu ya, biasanya dia suka telur mata sapi kalau nggak ada yang lainnya."

"Ya nduk, kamu sakit ?"

"Pusing bapak, tapi ngak apa2 Asri sudah minum obat."

"Baiklah, aku buatkan sarapan dulu untuk Pandu."

Pak Marsam berlalu, dan Pandu tiba2 lari kekamar ibunya.

"Ibu sakit?"

"Sedikit pusing nak, tidak apa2.."

"Coba Pandu pegang, wah.. badan ibu panas.. nanti biar kakek mengantar ibu ke dokter. Bapak mana ?" Pandu mencari ayahnya karena sejak tadi tak melihatnya.

"Bapak.. sedang.. ada tugas keluar kota.." jawab Asri sekenanya.

"Kok bapak nggak bilang sama Pandu.. biasanya kalau pergi lama..bapak pasti bilang."

"Iya, perginya mendadak, dan Pandu sudah tidur. Tapi bapak pesan sama ibu supaya ibu pamitkan bapak sama Pandu. Do'akan bapak selalu sehat dan baik2 saja ya."

"Iya ibu. Sekarang Pandu mau makan pagi, trus berangkat kesekolah. "

"Baiklah nak,"

"Ibu minum obat, nanti kedokter ya?"

"Ya sayang."

Pandu berlari mendapati kakeknya yang sudah menunggu dimeja makan. Pak Marsam tak banyak bicara, ada yang ingin ditanyakannya pada Asri namun terhalang dengan adanya Pandu. Anak kecil itu tidak boleh ikut merasakan kesedihan orang tuanya. Pak Marsam tau, ada sesuatu yang terjadi diantara anak dana menantunya, sejak kemarin ada hal2 aneh yang dirasakannya. Bowo pergi sampai malam, berangkat pagi2 sekali, lalu pulang hampir tengah malam, kemudian pergi lagi. Ya Tuhan, semoga semuanya baik2 saja. Harap pak Marsam.

Namun seharian itu Asri tidak bangkit dari tidurnya. Pak Marsam sepulang dari mengantar Pandu ingin menanyakannya, tapi melihat Asri seperti sedang kesakitan, keinginan itu diurungkannya. Ia memegang kening Asri dan terasa panas. 

"Asri, kamu sudah makan?" Masih ada sisa makanan semalam di kulkas, sudah bapak angetin. Makan ya?"

Tapi Asri menggeleng. Ia tak ingin apapun.

"Tapi kamu kan harus minum obat setelah makan. Cuma menurut bapak itu kan cuma obat penurun panas, bapak antar ke dokter ya?"

Asri menggeleng. Tapi pak Marsam kemudian menelpon dokter keluarga supaya datang kerumah. Ia sangat cemas melihat wajah anaknya pucat pasi.

"Ibu Asri tidak apa2, asalkan kemudian mau makan lalu minum obatnya. Mungkin ibu sedang memikirkan sesuatu yang berat.. " kata dokter setelah memeriksa keadaan Asri.

Asri terdiam, tak ada keluhan kecuali kepalanya sangat pusing, dan badannya panas.  Pak Marsam memaksanya makan sedikit, kemudian meminumkan obatnya.

Pandu menunggui ibunya disamping tempat tidur. Ia seperti merasakan sakit yang dirasakan ibunya. Dilihatnya ibunya memejamkan mata, yang tampak sembab setelah menangis semalaman. Pak Marsam tau itu karena Asri banyak menangis, tapi Pandu mengira ibunya menangis karena menahan sakit.

"Maukan ibu Pandu pijitin ?" kata Pandu sambil memijit mijit kaki ibunya.

Tangan Asri menggapai kepala anaknya, dan mengelusnya lembut. 

"Sudah nak, kamu istirahat saja sana, ibu tidak apa2. Nanti setelah tidur ibu pasti sudah sehat."

"Benar ya bu?"

"Iya nak.. tidurlah dikamarmu sekarang. Cium ibu dulu.." lalu Pandu mencium pipi ibunya yang disambut pelukan erat sambil berlinangan air mata. 

"Hanya kamu yang tak bisa melukai hati ibu nak, kamu milikku, buah hatiku dan tak tergantikan.. jangan pernah terpisah dari ibu ya nak?"  suara batin Asri.  

Pandu mengusap air mata ibunya dengan telapak tangan kecilnya.

"Ibu jangan menangis lagi, setelah minum obat ibu pasti sembuh."

Asri mengangguk. Tiba2 ia teringat kata2 suaminya semalam. Kamu boleh pergi meninggalkan aku dan Pandu?Ya Tuhan, tidak... tangis itu meledak lagi, "Mana mungkin aku berpisah dari kalian??" rintih Asri...

Ongky sudah bertemu Damar, dan senang melihat keadaannya yang tampak membaik. Tapi ternyata Damar tidak menyukai keadaan itu. Ia tetap ingin pulang.

"Kamu itu bagaimana Damar, penyakitmu sudah membaik, mengapa masih saja kamu mengatakan bahwa kamu ingin pulang?"

"Entahlah, aku merasa tidak nyaman berada disini."

"Kan ada Nancy, dan sekarang ada aku.."

"Bukan itu, ada perasaan aneh yang mengganggu aku. Mungkin aku memang ditakdirkan harus mati. Mengapa kalian mencegahnya? "

"Kamu ini bicara apa, ngoceh tidak keruan.."

"Mas Ongky.."

"Diam dan tidurlah. Oh ya, ada salam dari Bowo untuk kamu.. juga dari Asri."

Damar terdiam. entah mengapa disebutnya dua nama itu sangat mengganggu perasaannya.

"Aku kan pernah bertanya sama kamu mas, berdosakah aku kalau aku berangkat kemari karena bujukan Asri? Dan bujukan itu bukan main2. Dan Asri menyanggupinya.. "

"Kamu sadar bahwa itu salah?"

"Itulah sebabnya aku lebih baik mati saja."

Ongky menatap Damar tajam2. Damar sering bicara meracau dan tak keruan, tapi kali ini ia benar2 serius. Setidaknya tampak seperti serius.

"Damar, sebuah keajaiban terjadi, dokter yang semula angkat tangan mendapati penyakitmu berangsur membaik. Itu anugerah buat kamu, jadi terimalah anugerah itu dengan perasaan penuh syukur."

"Kalau aku hidup, Asri akan menjadi milikku... tapi ada perasaan aneh didalam hatiku ini. "

"Kamu senang kan?"

"Tidak, ada sesuatu yang dipaksakan dan itu menyakitkan. Lebih baik ajak aku pulang saja."

Ongky merasa bahwa Damar sedang menyadari sesuatu. 

"Nanti aku akan bicara sama dokter, sekarang lebih baik kamu beristirahat.

Tiba2 Ongky teringat janjinya sama Asri untuk menelpon Bowo. Pasti Asri sedih kalau Bowo marah berkepanjangan. Ia juga akan mengatakan pada Bowo tentang sikap Damar barusan.

Namun ketika Ongky berbicara itu, Bowo mengatakan bahwa dia sudah membebaskan Asri. Ongky terkejut bukan alang kepalang.

"Hentikan Bowo, aku akan mengatakan sesuatu, hal penting yang kamu harus tau."

"Sudahlah Ongky, intinya aku tidak mau Asri menjadi wanita yang ingkar. Ia harus menepati janjinya."

$adalanjutannyaya#


 

SEPENGGAL KISAH 140

SEPENGGAL KISAH  140

(Tien Kumalasari)

 

Asri memegang tangan Bowo yang kemudian ditepiskan oleh suaminya.

"Jadi dia mau karena kamu sanguup meninggalkan keluargamu?"

"Tunggu mas, dengar dulu penjelasanku.."

"Ya.. ya.. aku sudah mengerti tanpa kamu menjelaskannya, aku sudah tau Damar berangkat karena kamu berjanji seperti itu, dan .. baiklah.. aku terima itu."

Bowo berdiri, masuk kedalam rumah. Asri mengikutinya sambil menangis.

"Mas Bowo, aku kan belum selesai ngomong, dengar dulu mas.. aku hany bilang ya, tapi aku tidak bersungguh sungguh. Aku hanya melakukannya suyapa dia mau berobat mas.. aku tidak bersungguh sungguh.."

"Jadi kamu mempermainkan perasaan orang lain, membohonginya, lalu bagaimana kamu menebusnya? Kamu akan mengingkari janjimu? Apa itu pebuatan terpuji?" Omel Bowo sambil masuk kedalam kamar, lalu merebahkan tubuhnya ditempat tidur.

 Asri merebahkan tubuhnya disamping suaminya, merangkulnya dari belakang.

"Mas, ma'afkan Asri mas... Asri salah, tapi mas harus tau, Asri melakukannya demi nyawa seseorang."

"Lalu apa yang akan kamu lakukan kalau dia pulang nanti?" Jawab Bowo tanpa membalikkan tubuhnya.

"Mas, aku akan mencari jalan terbaik nanti, supaya dia tidak menuntut.."

"Jalan terbaik apa? Kamu akan mengingkari janjimu, dan dia akan mengejarmu, dan itu akan membuat hidup kita tidak tenang selamanya."

"Kita akan bicara baik2.. aku akan katakan sebabnya..dan...."

"Diamlah.. aku ingin beristirahat..." Bowo menarik sebuah bantal yang kemudian ditutupkannya pada telinganya.

Asri  terguguk dalam tangis. Ia berharap suaminya bisa mengerti, ia berharap bisa mengurangi beban yang disandangnya, tapi Bowo justru marah dan tak mau mendengarkan kata2nya. Asri merasa putus asa.. yak tau lagi harus mengatakan apa.

Pagi hari itu ketika Asri terbangun, dilihatnya suaminya tak lagi berbaring disampingnya, Bergegas Asri bangkit dan mencari keluar, dikamar mandi.. dimeja makan.. diteras... dan dijenguknya garasi mobil..  mobil suaminya nggak ada... Asri melangkah kedalam..

"Bapaak..." Asri memanggil pak Marsam. Dilihatnya pak Marsam sedang memandikan Pandu ..

"Bapak.. mas Bowo sudah berangkat ?"

"Lho, sudah tadi pagi2 sekali, dia minta aku yang mengantar Pandu karena ada perlu pagi2, gitu nduk, kamu malah nggak tau?"

"Oh, iya.. ? Asri baru bangun bapak.. ya sudahlah.. "Asri masuk kedapur menyiapkan makan pagi untuk Pandu. Pikirannya melayang kemana mana. Tampaknya suaminya benar2 marah sehingga pergi pagi2 tanpa mau membangunkannya.  Asri sedih, ia akan mencoba menelponnya setelah Pandu sarapan kemudian berangkat kesekolah.

"Ibu.. , ibu buat nasi goreng buat Pandu?" teriak Pandu dari meja makan.

"Ya, sayang.. sama telur dadar bukan?"

"Telurnya di iris iris ya bu?"

"Baiklah .."

Asri melayani sarapan anaknya. Untunglah tak ada protes pagi itu tentang sarapan yang disiapkannya.

"Bapak sarapan sekalian saja," pinta Asri.

"Bapak nanti saja sepulang dari mengantarkan Pandu. Apa kamu mau pergi?"

"Mungkin mau kerumah Danik, sambil belanja sekalian."

"Baiklah, nanti bapak sarapan sendiri saja.

Setelah Pandu berangkat, Asri mencoba menelpon Bowo, namun berkali kali Bowo nggak mau mengangkatnya. Yang terakhir malah kemudian Bowo mematikan ponselnya.

"Ya ampun mas Bowo, Asri hanya mencintai kamu, Asri nggak akan meninggalkan kamu." bisik Asri sedih.

Kemudian Asri menelpon Ongky, untuk mengadukan sikap Bowo setelah Asri berterus terang. Namun lama sekali juga tidak bisa nyambung. Asri kebingungan dan tidak tau harus melakukan apa. Perlahan air matanya mengalir lagi. Ia menyesal tak berani berterus terang kepada suaminya sejak awal. Sekarang sudah terlambat, dan suaminya tidak mau menerima alasan dia melakukannya.

Pasti nanti Danik juga akan menyalahkan aku, pikir Asri, yang kemudian mengurungkan niyatnya menemui Danik. Orang yang akan  disambatinya hanyalah Ongky, Lagipula Ongky yang menyarankan ia berterus terang pada suaminya. 

Lalu dicobanya lagi menelpon Ongky. Namun tiba2 Ongky sudah ada didepannya. Langsung masuk kerumah dan melongok kedalam. Rupanya dia naik taksi, tidak membawa mobilnya sendiri.

"Mana Bowo?"

"Mas Bowo sudah pergi pagi2 sekali."

"Oh ya? Tumben? Ada acara apa sepagi ini?"

"Dia lagi marah2 sama aku.."

"Marah? Kenapa?"

"Bukankah mas Ongky yang menyuruh aku berterus terang pada mas Bowo mengenai keberangkatan Damar itu ?"

"Jadi dia marah karena itu ?"

"Marah sekali dan tidak mau mendengar penjelasanku. Mas.. tolong aku, sungguh aku nggak mau kehilangan dia.. aku harus bagaimana mas?"

"Aku kan sudah bilang ini berat bagi kamu dan suamimu. Ya jelaslah suamimu marah, kamu mengambil keputusan yang sangat berani, dan bersiap untuk berbohong nanti. "

"Mas Ongky jangan memarahi aku lagi dong, tolong aku." kata Asri sambil berlinang air mata.

"Aku ini terburu buru Asri, hari ini juga aku mau berangkat menemui Damar, Nancy sudah menelpone aku berkali kali, jadi aku selesaikan pekerjaanku dulu baru berangkat."

"Tapi mas, mas Bowo bagaimana?" 

"Biarkan saja dulu, nanti kalau marahya reda kan bisa diajak bicara."

Kata Ongky sambil berdiri dan melangkah keluar.

"Mas, .." Asri benar2 menangis. Ongky merasa iba.

"Asri, aku harus berangkat sekarang, nanti aku ketinggalan pesawat. Tapi aku janji, aku akan menelpon Bowo nanti."

"Mas..."

Ongky melangkah kearah taksi yang menungguinya dihalaman.. lalu melambaikan tangannya, apa boleh buat, ia harus pergi, dan meninggalkan Asri yang berdiri dipintu sambil berlinang air mata.

Hari itu Asri nggak jadi pergi.. ia bermalasan dirumah sambil meratapi langkahnya yang semua orang menganggapnya keliru. 'Dulu dia pernah berkata, kalau ini dosa, biarlah aku yang menanggungnya, kalau ini membuatku menderita, pasti akan ada jalan keluarnya. Tapi mana jalan keluar itu? Sudah adakah dalam gambaran atau angan2anya? Baru selangkah dia bersikap, hasilnya sudah demikian menyakitkan.

Tapi tanpa diduga, malam itu Bowo pulang. Wajahnya masih kaku, tapi Asri menyambutnya dengan sebaik baiknya seorang isteri menyambut suaminya. Tapi Bowo menolak ajakan makan yang sudah disiapkannya. Ia menunggu Asri diteras rumah untuk mengatakan sesuatu. Dan dengan berdebar Asri mendekatinya. Duduk disamping suaminya, dan bermaksud menyandarkan kepalanya dibahu bidang yang selalu dipakainya untuk tempat bertumpu. Tapi Bowo menghindar. Pedih hati Asri.

"Mas, aku kan sudah mina ma'af." bisik Asri pilu,

"Baiklah, aku ma'afkan kamu. Tapi aku sudah mengambil keputusan."

Asri menatap suaminya, wajah tampan yang penuh wibawa dan kasih sayang itu tampak muram. Asri ingin mengelusnya, tapi diurungkannya. Ia takut Bowo akan menepiskannya lagi.

"Mas..."

"Asri, aku tak ingin isteriku jadi pembohong."

"Ya mas, ma'af..  aku salah.."

"Dan aku juga tak ingin kamu mengingkari janjimu kepada Damar."

Asri masih tak mengerti, wajah itu begitu kaku, membuat hatinya bergetar.

"Aku ikhlas.."

"Apa maksudmu mas?"

"Kamu boleh meninggalkan aku dan Pandu, untuk menepati janjimu sama Damar."

"Tidaaaaak......" Asri menjerit histeris.

 

#adalanjutannya#

 


Sunday, January 20, 2019

SEPENGGAL KISAH 139

SEPENGGAL KISAH  139

(Tien Kumalasari)

 

Ongky sedih, apakah dengan begitu Damar tak bisa disembuhkan?

Benarkah Damar hanya akan bertahan paling lama 6 bulan seperti perkiraan dokter, atau bahkan kurang dari itu? Ongky memang belum lama dikenalnya, kalau dibandingkan dengan persahabatannya dengan Bowo yang berjalan sejak mereka masih sama2 kuliah. Ongky mengenal Damar ketika mereka ternyata menggeluti dunia bisnis yang sama, dan bersatu ketika Damar menemukan kenyataan tentang kedua orang tuanya , yang tertipu oleh teman bisnisnya, yang terbunuh juga oleh upaya orang yang sama. Namun mereka sudah sangat dekat, melebihi seorang saudara. Ketika mereka saling berdebat, bermarahan, kemudian bercanda, semuanya adalah warna2 dalam kehidupan mereka, yang tak bisa dilupakannya begitu saja.

Sekarang ketika Damar sakit, hati Ongkypun ikut merasakan pedihnya. Segala upaya ingin dilakukannya agar sahabatnya bisa pulih seperti sedya kala.

Namun seminggu kemudian sebuah keajaiban terjadi. Nancy menelpon dengan suara sedikit riang, tidak lesu seperti biasanya.

"Tapi om, kata dokter lagi keadaannya membaik , Artinya kanker itu perlahan bisa dimatikan." Lanjut Nancy.

"Benarkah? Jadi masih ada harapan?"

"Kata dokter ini semua mujizat, dan hanya Tuhan yang bisa melakukannya. Cuma mungkin memakan waktu yang agak lama. Entahlah, ini diluar jangkauan ilmu kedokteran yang manapun juga, "

"Ya Tuhan, terimakasih... semoga dia semakin membaik," bisik Ongky sambil menadahkan kedua tangannya keatas, sebuah permohonan kepada Tuhannya, yang dilakukannya dengan segenap hatinya.

"Om, apakah om akan kemari dalam waktu dekat ini?"

"Ya Nancy, setelah semua urusan disini aku bereskan. Tapi bagaimana dengan papa kamu? Apakah dia masih juga ingin pulang?"

"Sering bilang begitu, tapi Nancy berhasil membujuknya. Tadinya Nancy merasa bahwa papa memang sudah putus asa dan tak ingin sembuh. Ini keajaiban"

 

Berita itu sudah disampaikan pada Bowo sahabatnya yang menerima berita itu dengan suka cita pula. 

"Ini sebuah keajaiban Ongky, mudah2an itu benar, mudah2an dia bisa segera pulih." kata Bowo ditelephone ketika Ongky mengabarinya.

Asri mendengarkan berita itu dengan harap2 cemas. Harapan untuk kesemduhan Damar, itu pasti,tapi kecemasan juga mulai merayapi hatinya. Ada yang haru dilakukannya ketika nanti   Damar menagih janji. Dan itu sekarang memang sedang menyiksanya. Apalagi ia menyembunyikann hal itu dari suaminya. Ini terasa berat. Asri bingung harus melakukan apa.

Kegelisahan itu hanya disampaikannya pada Ongky, sahabat suaminya. Tampaknya Asri ingin bertemu Ongky, dan mengeluhkan perasaan gelisahnya. Pasti Ongky akan menyalahkannya. Tapi bagaimana lagi, ternyata ia tak sanggup menahan beban itu seorang diri. Harus ada seseorang yang bisa memberinya jalan untuk keluar dari kemelut hatinya ini. 

 

Keinginannya bertemu Ongky itu kesampaian ketika Ongky menelpon dan ingin pergi kerumah bu Surya dengan mengajaknya. Ongky bilang sudah meminta ijin dari Bowo suaminya. Tapi sebelum berangkat Asri mangajaknya bicara.

"Aku kan sudah bilang, ini akan berakibat buruk. "

"Ya, aku tau mas Ongky akan bilang begitu."

"Apa yang harus kamu lakukan? "

"Justru itu aku ingin omong2 sama mas Ongky."

"  Kan kamu yang punya mau?"

"Tolong aku mas, katakan aku harus bagaimana?"

"Kamu dulu begitu yakin akan bisa mengatasinya, sekarang kamu kebingungan. Apa sebaiknya kita do'akan saja supaya Damar nggak jadi sembuh?"

"Mas Ongky jahat. Masa mendo'akan seperti itu?"

"Kan permasalahannya akan datang kalau Damar sembuh lalu menagih janji?"

Asri terdiam, ia sudah tau bagaimana jawaban Ongky kalau dia mengajaknya bicara. Tapi Ongky kemudian merasa kasihan melihat kegelisahan Asri.

"Aku tau jalan yang harus kamu lalui."

"Gimana mas?"

"Pertama kali, kamu harus berterus terang pada suamimu."

Asri termenung. Pernah tersirat keinginan itu, tapi dia tidak berani melakukannya. Bagamana kalau suaminya marah? Lalu membencinya, lalu mengira dia tidak setia, lalu..." Ya Tuhan, aku tak berani membayangkannya. " keluh Asri

"Apapun akibatnya, lakukanlah itu. Hanya itu saranku."

Mestinya Ongky akan mengajak Asri menemui bu Surya, tapi kemudian Asri menolaknya. Ia ingin mereka reka kalimat yang akan dikatakannya ketika suaminya pulang nanti.  Hatinya gelisah, dia hanya terdiam dikamar dan terus mencari kelimat terbaik yang bisa diterima nalar suaminya.

Ia tak mendengar suara mobil ketika suaminya datang, dan terkejut ketika tiba2 Bowo muncul dikamar. Hari masih siang, rupanya Bowo pulang lebih awal.

"Kamu sakit ?" tanya Bowo khawatir.

"Tidak, Ma'af mas, baru selesai menata baju2 di almari." jawab Asri sekenanya.

"Oh, baiklah, aku mau ganti baju dulu."

"Aku siapkan makan siang ya mas.." kata Asri yang langsung keluar dari kamar.

Ketika menata meja itu Asri masih saja mereka reka kalimat yang tadi sudah disusunnya kemudian buyar lagi. 

"Asri, kamu meletakkan sendoknya terbalik." tegur pak Marsam yang datang bersama Pandu.

"Haa.. kan sendok letaknya dikanan ibu, garpunya dikiri," cela Pandu sambil tertawa.

"Oh.. iya, gimana ibu ini.. " Asri mencoba tertawa sambil membetulkan letak sendok garpu disamping piring suaminya.

"Tadi Pandu sudah menatanya, kamu membalikkannya, gimana sih?" tegur pak Marsam lagi.

"Iya bapak, Asri linglung."

Dimeja makan itu Asri tidak mengatakan apapun tentang janjinya kepada Damar. Ia sungkan karena ada ayahnya, lagi pula ada Pandu yang pasti belum bisa menerima keadaan itu.

Baru setelah malam, dan mereka duduk berdua diteras, Asri bersiap melakukannya. Kata Ongky, ini jalan terbaik untuk mengurangi beban pikirannya, jadi ia harus melakukannya.

"Kok dari tadi diam ? Tegur Bowo 

"Diluar hawanya segar, Asri jadi ngantuk.."

"Kalau begitu ayo tidur saja," ajak Bowo.

"Tunggu mas, m.. Asri ingin mengatakan sesuatu.

"Oh ya, apa itu ?" Bowo menatap wajah Asri yang tampak gelisah. Asri mengingat ingat lagi kalimat yang tadi sudah disusunnya.

"Ada apa sih? Sepertinya serius banget.."

"Mas.. mas kan tau.. 

"Nggak, aku nggak tau..." canda Bowo..

"Maaas.. serius nih mas.. ini tentang Damar.."

"O... tentang Damar... 

"Mas kan tau.. dulu Damar nggak mau diajak berobat keluar negeri oleh mas Ongky."

"Ya, dan kamu berhasil membujuknya kan?"

"Benar...."

Lalu Asri terdiam, mengingat lagi kalimat berikut yang harus diucapkannya. Aduh.. Asri lupa, Asri sangat gugup.. sungguh..

"Trus kenapa?"

"Mm.. ketika itu Damar mengajukan syarat.."

"O.. ya, syarat apa?"

"Ia mau, ... asalkan..." Asri tak sanggup mengatakannya, harusnya dia memulainya dari .. bukan kalimat yang tadi, gimana sih.. kacau banget..

"Begini... dia mau.. 

"Asalkan..." Bowo yang melanjutkan kalimat itu, walau belum tau kelanjutan kalimatnya.

"Dia ingin aku ..aku.. meninggalkan mas Bowo..."

Dan Bowo langsung berdiri, memandangi Asri dengan pandangan tak percaya. Ada kilatan kemarahan dimata Bowo, yang membuat hati Asri sangat kecut.

#adalanjutannyaya#

SEPENGGAL KISAH 138

SEPENGGAL KISAH  138

(Tien Kumalasari)

 

Bu Surya kebingungan ketika Ongky menelpon dari Cina, dan mengatakan bahwa Damar ingin pulang saja. 

"Bagaimana mungkin nak Ongky? Bukankah sudah sampai disana? Sudahbu, malah sudah masuk rumah sakit karena di pesawat tadi keadaannya memburuk."

"Kalau begitu biar saja diteruskan pengobatannya nak, kasihan.. sudah sampai mengapa harus balik lagi?"

"Dia tampak bingung,"

"Tapi bagaimana kata dokternya nak?"

"Lebih baik dirawat saja dulu sambil menunggu perkembangannya."

"Kalau begitu bujuk dia dulu nak, dia itu memang seperti orang bingung. Kami mendo'akan supaya semuanya berjalan lancar dan mendapatkan hasil yang baik."

"Grandma, bolehkah Nancy menyusul kesana?"

Nancy yang mendengar hal itu menawarkan diri untuk menyusul, dan Ongky segera menyetujuinya.

Namun bu Surya merasa gelisah. Entah mengapa perasaan2 itu muncul begitu saja. Perasaan akan kehilangan Damar, perasaan yang ... ya Tuhan.. bu Surya tak bisa membayangkannya. Damar seperti anak kandungnya sendiri. Ayah ibunya adalah sahabatnya, dan dia sudah berjanji akan merawatnya. Tapi mengapa kemudian menjadi seperti ini? Apakah yang harus disesali? Semuanya terjadi begitu saja.

"Ya Tuhan, sembuhkanlah dia... sembuhkanlah dia.." bisiknya lirih sambil menadahkan tangannya." Semoga Nancy bisa membuatnya lebih tenang." harapnya.

 

Namun ketika Asri kemudian juga mengatakan kepada Danik sahabatnya tentang janjinya kepada Damar, Danik marah2. Ia menyalahkan Asri yang begitu tega membuat akal2an.

"Kamu keterlaluan Asri, akibatnya akan buruk. Kamu akan menyesalinya nanti."

"Ya aku tau, tapi tak ada ja lan lain. Aku ingin dia sembuh Danik."

Mata Danik menatap wajah Asri lekat2.. ia mencoba mencari, apa yang sesungguhnya tersembunyi dibalik wajah cantik itu.

"Mengapa kamu memandangi aku seperti itu?"

"Apa sesungguhnya yang ada dalam pikiranmu Asri?"

"Aku hanya ingin membantu, mengapa semua orang mencurigai aku?"

"Bukan begitu, langkahmu diluar akalku Asri."

"Aku sudah bilang sama mas Ongky, kalau ini dosa, biarlah aku yang menanggungnya, kalau ini menyengsarakan hidupku, aku percaya pasti akan jalan keluarnya."

Danik menggeleng gelengkan kepalanya. Tapi seperti juga Ongky, Danik meraba, masih ada rasa cinta dihati Asri. Mungkin Asri tidak merasakannya karena rasa itu tenggelam didasar hatinya yang paling dalam.

 

Bowo yang mendengar dari Ongky tentangkeinginan Damar untuk membatalkan pengobatannya juga menyesali niyat itu. Ia menyuruh Ongky agar terus membujuknya.

"Sayang kalau dia memaksa pulang, siapa tau disana bisa tertolong bukan?" kata Bowo kepada isterinya.

"Benar mas, harusnya dicoba dulu lalu dilihat bagaimana perkembangannya. Dokter menyarankan akan mengoperasinya, memotong hati yang terkena kanker, tapi belum diputuskan kapan. Tampaknya menunggu kondisi tubuhnya lebih baik."

"Ya, Ongky juga mengatakan itu. Kabarnya Nancy akan menyusul kesana."

"Bagus itu mas, mereka kan dekat, siapa tau bisa menenangkan hati Damar. Kapan Nancy berangkat?"

"Mungkin sekarang sedang mengurus semuanya, dan secepatnya dia pasti berangkat. Kamu hubungi saja dia bagaimana perkembangannya."

"Baiklah mas,"

 

Tapi Nancy menghubunginya ketika sehari sebelum keberangkatannya. 

"Apakah ibu ingin titip sesuatu?" tanya Nancy di telephone.

"Aku hanya menitipkan do'a, semoga semua baik2 saja. Jaga papa kamu dan tenangkan hatinya supaya dia sabar menunggu sampai masa pengobatan itu selesai."

"Baiklah ibu. Apakah juga ada salam untuk papa Damar dari ibu?"

"Salam dari saya dan mas Bowo buat dia, "

Nancy tau, wanita yang dicintai papa Damarnya ini sangat menyayangi keluarganya. Dia mengerti kalau salam itu bukan hanya dari dirinyaa tapi dari suaminya juga. 

"Baiklah ibu."

"Hati2 dijalan dan terus kirimi kami kabar ya?"

 

Memang Damar tampak senang ketika melihat Nancy datang, tapi itu tak menyurutkan keinginannya untuk pulang.

"Aku sudah baik sekarang, dan lebih baik aku pulang."

"Papa, apakah papa ingin mengecewakan kami semua yang menyayangi papa? Kalau kesembuhan ini belum tuntas, lebih baik papa bersabar. Bukankah sekarang papa merasa lebih baik?"

"Itulah sebabnya aku ingin pulang saja. Ada beban berat yang aaku sandang, dan kamu tidak perlu mengetahuinya."

"Mengapa Nancy tidak boleh mengetahuinya?"

"Nanti kamu akan tau pada sa'atnya. Lagipula aku enggan menjalani operasi yang mungkin akan dilakukan dokter."

"Tapi kalau memang itu perlu, mengapa tidak?"

"Entahlah... "

"Papa harus tetap bersemangat dan terus berharap untuk sembuh. Kata dokter, semangat untuk sembuh itu merupakan obat yang sangat  manjur..disamping terus berusaha."

Damar terdiam, ada sesuatu yang dirasakannya, sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuatnya enggan menjalani operasi itu.

 

 Seminggu setelah kedatangan Nancy , Ongky pamit untuk kembali dulu ke Indonesia. Operasi belum bisa dijalankan sambil menunggu perkembangan.Wanti2 ia berpesan pada Nancy agar selalu menjaa papanya dan memberinya semangat agar mau bersabar.

"Aku senang kamu mau datang kemari Nancy, itu sangat membantu, bukan hanya untuk kesembuhan papa kamu, tapi juga untuk kepentingaan pekerjaanku, yang juga pekerjaan papa kamu tu."

"Ya om, Nancy malah merasa tidak tenang kalau hanya mendengar berita melalui telephone, dengana melihat sendiri keadaan papa, Nancy merasa lebih senang. Nancy juga sudah mengabarkan keadaan papa Damar kepada mama dan grandma."

"Ya, apakah menurutmu dia tampak lebih baik?"

"Ya, tampak lebih baik. Berbicara banyak, dan tidak tampak kesakitan."

"Syukurlah, semoga ini adalah awal yang baik, dan itu sebabnya maka kamu harus membujuknya supaya bersabar sampai pengobatan itu selesai. Dan kabari om terus setiap perkembangan yang terjadi."

"Baiklah om.."

 

Dan Nancy dengan sabar selalu meladeni papanya. Banyak berceritera tentang apa saja, supaya Damar melupakan keinginannya untuk pulang.

Namun sesungguhnya Damar merasa tidak lebih baik.  Entah mengapa, hanya dia sendiri yang bisa merasakannya dan tak ingin orang lain mengetahuinya.

 

Namun seminggu kemudian Ongky mendapat kabar bahwa operasi itu tidak bisa dilakukan, karena kanker sudah terlanjur menyebar

 

#adalanjutannyaya#

 


M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...