Wednesday, January 23, 2019

SEPENGGAL KISAH 143

SEPENGGAL KISAH  143

(Tien Kumalasari)

 

Asri terkulai lemas, Bowo telah mematikan telphone nya. 

"Tidaaak... tak mungkin aku berpisah dengan anakku.. " tangisnya seorang diri. Ia berlari kebelakang, menuju kamar anaknya. Hatinya nagai teriris iris. Bocah kecil tampan itu, buah hatinya, sedang tergolek nyenyak, sambil memeluk guling kecilnya. Asri mendekatinya perlahan, menciumi pipinya sambil berlinangan air mata.

"Jangan pergi.. jangan pergi meninggalkan aku... aku tak mampu hidup tanpa kamu..." bisiknya diantara tangis.

 Pandu menggeliat, : " Ibu... " bisiknya pelan ketika merasa bahwa yang berada didekatnya adalah ibunya.

 Asri kemudian menepuk nepuk pahanya, agar Pandu kembali terlelap dan tidak melihat keadaannya yang berurai tangis.

"Sssh..shh..shhh.." dan itu menenangkan Pandu yang kembali terlelap.I merasa nyaman dalam dekapan ibunya. 

Asri mendekapnya, menciuminya dan menangisinya.

"Tidak nak, tak akan aku biarkan ayahmu membawa kamu, kamu milikku, kamu adalah darah dagingku. Kalau ayahmu menginginkan berpisah dengan ibu ini, memang dia tadinya bukan apa2ku, tapi kamu.. ditubuhmu mengalir darahku, dijiwamu mengalir cintaku. Jangan pergi..."

Pagi harinya pak Marsam terkejut melihat Asri tertidur dikamar Pandu. Ia ingin membangunkan tapi tidurnya tampak nyenyak. Ia juga membiarkan Pandu masih terlelap dalam dekapan ibunya, karena hari itu adalah hari Minggu.  Pak Marsam keluar dan menuju kekebun depan. Dalam hati ia bertanya. Beberapa hari ini keadaan Asri memang tak seperti biasanya. Ia juga tak mengatakan mengapa Bowo tidak pulang selama ber hari2. Bahkan pak Marsam juga bisa menangkap kesedian yang terpantul dari wajah anak perempuannya.  Pak Marsam merasa bahwa rumah tangga anaknya bukan menjadi urusannya lagi. Ia berharap mereka bisa menyelesaikan seandainya ada kemelut diantara mereka. Tak enak rasanya ikut campur, kecuali mereka mengatakannya.

Asri terbangun dengan bingung. Seperti mimpi ketika mendapati dirinya tidur dikamar Pandu yang tampak masih tertidur nyenyak. Tiba2 Asri sadar bahwa suaminya akan membawa Pandu pagi hari ini, atau hari ini. Asri panik. Ia keluar kamar dan menelpon Ongky. Barangkali dia satu2nya yang bisa mendengar sesambatnya, atau bahkan menolongnya.

Ketika telpn berdering Ongky ternyata berada dirumah Damar. Semalam mereka menyelesaikan suatu pembicaraan penting tentang usaha mereka. Ongky tidak mau Damar berlama2 dikantor jadi ia mengalah untuk tidur dirumah Damar.

"Hallo, Asri ?"

Damar menoleh dari tempat duduknya mendengar suara Asri disebut.

"Mas Ongky, tolong aku.. tolong aku.." suara tangis Asri dari seberang..

"Ada apa? Diam, dan tenanglah.. Ada apa"

"Mas Bowo tidak pulang sampai sekarang, semalam dia menelpon, aku disuruh menyiapkan barang2 Pandu karena hari ini ia akan membawa Pandu pergi.. tolong aku mas, lebih baik aku mati..."

"Asri, nggak baik bicara seperti itu, tenanglah, mari kita pecahkan masalah ini dengan kepala dingin." 

"Bagaimana aku bisa tenang Mas, aku lebih baik mati saja.. "

"Kan kamu bilang segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya?"\

"Tapi jalan keluar itu aku tak menemukannya. Mas... ayolah mas, tolong aku.. apa aku bawa Pandu lari saja dari rumah?"

"Jangan Asri, itu akan memperuncing keadaan.."

"Lalu aku harus bagaimana mas? Aku nggak mau dipisahkan dari anakku... aku lebih baik mati mas.. bunuh saja aku.."

"{Asri, mati hidup itu bukan kamu yang menentukannya. Okey.. okey.. kamu tenang.. tunggu aku dirumah..aku akan kesana sekarang."

"Bener ya mas, cepat.. sekarang, sebelum mas Bowo datang mas.."

"Iya.. iya... aku siap berangkat sekarang."

Telephone ditutup, Damar mendengarkan pembicaraan itu dengan seksama. Persoalannya Damar tidak jelas mengerti, tapi bahwa Asri sedang bingung.. ingin mati.. Damar mendengarnya.

"Ada apa mas?"

"Ini gara2 kamu."

"Aku ?"

"Kamu dulu meminta Asri untuk meninggalkan Bowo supaya kamu mau berobat keluar negri, dan sekarang Bowo meninggalkan Asri. Bener2 meninggalkan Asri dan hari ini ia akan menjemput anaknya.Kamu senang? Kamu akan mendekati Asri dan menagih janjimu?" Kesal Ongky ketika mengucapkan itu, dan Damar tampak tertunduk lesu.

Ongky tak perduli, ia mengenakan jacketnya dan langsung pergi keluar, meniki mobilnya dan pergi.

Tak urung pak Marsam menanyakannya ketika dilihatnya anaknya menangis dikamar. Masa ia tetap harus berdiam diri melihat anaknya seperti itu?

"Tolong kunci pintunya supaya Pandu tidak masuk kemari , bapak."

Pak Marsam mengunci pintu kamar anaknya, dan menunggu Asri menceriterakan semuanya. Pak Marsam yang semula tidak tau banyak tentang kejadian sejak Damar berangkat keluar negri, terkejut mendengar ceritera Asri. Sebegitu berat beban anak perempuannya dan dia sama sekali tak mengetahuinya.

"Yang paling membuat Asri sedih ialah ketika mas Bowo akan mengajak Pandu pergi. Aku tidak mau berpisah dengan Pandu, bapak, lebih baik aku mati,"

"Sssh.. jangan ngomong begitu nduk, nggak baik itu. "

"Asri harus bagaimana pak?"

"Tenangkan dulu pikirmu, nanti kalau nak Bowo datang kita akan bicara baik2. Nanti bapak juga akan ikut bicara."

"Mungkinkah kita bisa menghalangi keinginan mas Bowo itu?"

"Kita coba saja nanti, dan selalu memohon kepada Tuhan agar semuanya baik2 saja."

Asri mengusap air matanya, ada beban sedikit berkurang mendengar kata2 ayahnya. 

"Ma'afkan Asri yang telah  membuat ayah ikut sedih ya.."

"Mengapa harus meminta ma'af nduk? Kesedihan anaknya juga kesedihan orang tuanya. Kebahagiaan anak adalah juga kebahagiaan orang tuanya. Sudah, sekarang mandi dan berpakaian rapi, supaya nanti kalau anakmu terbangun tidak berpikiran macam2 melihat ibunya seperti ini.

 

"Horeeee... bapak sudah pulaaang..." teriakan Pandu penuh gembira itu bagai palu godam yang memukul dada Asri. 

Dengan ketakutan Asri memburu keluar, takut kalau2 Bowo tiba2 saja mengajak Pandu pergi.

"Bapak..mengapa perginya lama sekali? Bapak juga nggak bilang sama Pandu kalau mau pergi lama kan?"

"Ya sayang, bapak lupa." Boo menggendong Pandu dan mengangkatnya tinggi2. Selalu begitu kalau ia baru pulang dari kantornya.

"Tapi ibu bilang, Pandu harus mendo'akan bapak supaya bapak sehat, dan selalu baik2 saja." kata Pandu, dan Bowopun menoleh kearah Asri yang memandangi mereka dengan perasaan tak menentu. Namun hanya sekilas, dan itu menyakitkan Asri.

"Pandu sudah bersiap? Kita akan pergi hari ini.." kata Bowo tiba2.

"Horeeee... kita akan jalan2 ya bapak? Ibuuu.. kita akan jalan2.." Pandu merosot turun dari gendongan ayahnya dan merangkul ibunya.

Hati Asri teriris pedih.

"Kita hanya berdua saja Pandu, ibu tidak bersama kita. Ujar Bowo tiba2, membuat Pandu kemudian menoleh kearah ayahnya. Seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. 

"Kita berdua saja? Pandu dan bapak?"

Bowo mengangguk.

"Mengapa bapak? Pandu tidak mau pergi tanpa ibu."

"Pandu harus menurut kata ayah. Kali ini kita tidak akan pergi bersama ibu."

"Kemana bapak?"

"Kesuatu tempat yang sangat indah."

"Jalan2 kan yah? Tapi Pandu mau sama ibu juga. Ya  kan bu?"

Air mata mulai mengambang dipelupuk mata Asri. Bowo mengangkat tubuh Pandu dan dinaikkan ke mobilnya. Padu meronta, tapi apa daya seorang anak sekecil Pandu ketika kedua lengan kuat merengkuhnya?

Asri menangis keras. Dan Pandu semakin bingung melihat ibunya menangis. Ia meronta dan menggedor gedor kaca jendela mobil yang tekunci.

"Aku mau ibu... aku mau ibu....." tangis Asri

"Jangaan mass... jangaaan.."

#adalanjutannyaya#

No comments:

Post a Comment

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...