Saturday, September 30, 2023

BERSAMA HUJAN 06

 BERSAMA HUJAN  06

(Tien Kumalasari)

 

Gadis cantik berwajah Indo itu duduk didepan Andin, yang asyik mengingat-ingat, apakah pernah bertemu gadis ini.

“Hei, saya mau periksa,” kata gadis itu mengejutkannya.

“Oh, maaf. Sudah pernah periksa kemari sebelumnya?”

“Pernah … pernah, tapi sudah dua tahunan yang lalu.”

"Kartu pasien masih ada?”

“Mana aku ingat, sudah lama sekali.”

“Nama Anda?”

“Elisa. Elisa Wilton, ayah saya orang bule,” terangnya tanpa di tanya.

“Alamat?”

“Saya lama di luar negri. Belum dua minggu kembali kemari.”

“Maksud saya, alamat Anda saat berada di negeri ini.”

“Mm … Jl. Pakis nomor 50.”

“Akan saya cari kartu anda sebelumnya,” kata Andin sambil berdiri dan mencari nama Elisa di almari yang tak jauh dari tempatnya duduk.

Memang sudah lama, tapi akhirnya Andin menemukannya. Pasien lama. Dengan perasaan lega dia membawa kartu itu ke dalam ruang dokter, yang tampaknya pasien sebelumnya sudah bersiap untuk keluar.

“Masih ada pasien?”

“Masih ada satu dok, pasien lama,” katanya sambil menyerahkan kartu di depan sang dokter.

“Oh, ini gadis indo itu. Persilakan masuk.”

“Tapi tanpa dipanggil, Elisa sudah langsung memasuki ruangan. Andin membiarkannya karena memang tinggal dialah satu-satunya pasien yang tersisa.

“Hallo, dokter gantengku,” serunya riang.

Faris menghindar ketika Elisa berusaha memeluknya.

“Silahan duduk. Lama sekali tidak ketemu, sehat terus ya,” kata dokter Faris ramah.

“Aku di luar negri bersama papa. Baru dua mingguan kira-kira, aku pulang kemari. Dokter masih seperti dulu, ganteng dan menawan,” kata Elisa tanpa sungkan.

“Sakit apa?” tanya Faris langsung, untuk menghindari Elisa bicara yang tidak-tidak.

“Periksa saja. Aku sering pusing tanpa sebab. Barangkali aku makan tidak teratur.”

“Tidurlah di sini, aku akan mencoba memeriksanya.”

Elisa bangkit, lalu berusaha membuka baju atasnya sebelum berbaring, tapi dokter Faris menahannya.

“Tidak usah dilepas.”

“Tidak dibuka sama sekali?”

“Tidak, begitu cukup. Berbaringlah.”

Elisa tampak kecewa, ada keinginan untuk menggoda, tapi apa mau dikata. Dokternya tak mau buka-bukaan, pikirnya sambil tersenyum.

Faris memeriksa dengan stetoskopnya, dan Elisa menatapnya tanpa berkedip. Ia sungguh mengagumi dokter ganteng yang memeriksanya.

“Bisakah mendeteksi penyakit tanpa membuka pakaian?”

“Silakan kembali duduk.”

Elisa bangkit, dan kembali duduk di depan sang dokter. Elisa terus menatapnya dengan kagum.

“Kamu sudah menikah?” tanya dokter Faris tanpa menatap Elisa.

“Menikah? O, tidak. Aku tidak mau menikah muda. Tunangan aku masih kuliah,” katanya sambil tertawa kecil.

“Kamu baru bertunangan?”

“Hm mh.”

“Tapi tampaknya kamu hamil.”

“Haa, aku hamil?”

“Sudah dua bulan, kira-kira.”

“O, my God,” Elisa memegangi kepalanya.

“Aku bukan dokter kandungan, sebaiknya kamu periksa ke dokter kandungan untuk memeriksakan kondisi kandungan kamu.”

Elisa masih terpaku di tempat duduknya.

“Aku hanya menuliskan resep untuk mengurangi rasa pusing,” katanya sambil menyodorkan resep yang baru saja ditulisnya.

“Ya Tuhan … itu benar?”

“Dan maaf, kalau tidak ada keluhan lainnya, aku mau tutup.”

Elisa berhenti menatap dokternya, dan melupakan rasa kagumnya. Ia berdiri dengan lemas, lalu melangkah keluar.

Andin yang menunggu di depan mejanya, mengeluarkan sehelai kwitansi, kemudian Elisa membayarnya, dan pergi begitu saja.

Andin menatap punggungnya. Pertanyaan tentang siapa gadis itu belum terjawab. Lalu Andin berpikir, barangkali pernah bertemu di jalan, di pasar atau di toko, entahlah, ia tak ingin memikirkannya.

“Sudah habis, Andin?”

Tiba-tiba dokter Faris sudah berdiri di depan pintu.

“Iya dok, sudah habis. Itu tadi pasien terakhir. Cepat sekali periksanya.”

“Dia itu pasien lama, sudah dua tahun atau barangkali lebih, dia sering ke mari. Waktu itu dia baru lulus SMA.”

“Dia cantik sekali.”

“Benar. Tapi pergaulan di luar negri membuatnya kurang bisa menjaga sikapnya.”

“Dia seperti tidak sedang sakit.”

“Dia hanya hamil, aku suruh ke dokter kandungan.”

“Hamil?”

“Tampaknya kehamilan yang dibawanya dari luar negri.”

“Masa?”

Dokter Faris tertawa.

“Saatnya berkemas, Andin. Nanti kamu kemalaman.”

Andin berkemas dan tak ingin memikirkan pasien terakhir yang kata dokternya sedang hamil. Perutnya tidak atau belum tampak membesar.

***

Saat sampai di rumah, Andin melakukan hal rutin yang biasa dilakukan sepulang kerja, melayani ayahnya setelah membersihkan diri, lalu ngobrol sebentar untuk menunggu kantuk datang, barulah beranjak ke kamarnya untuk tidur.

Andin berusaha belajar, tapi kantuk lebih dulu menyerangnya.

Besok adalah hari Sabtu, berarti dia bisa libur bekerja. Lebih baik belajar besok saja, barangkali lebih bisa berkonsentrasi, daripada dipaksa belajar dalam kondisi mata mengantuk.

Tapi entah dari mana datangnya, tiba-tiba dia mengingat sesuatu. Gadis itu, bukankah yang datang ke kampus dan mengaku sebagai tunangan Romi?

“Iya, benar dia. Tapi dia hamil? Apakah mereka sudah menikah?” gumamnya.

Sudah punya tunangan cantik, kelakuannya sungguh tak bermoral. Tapi gadis itu bilang bahwa dia tinggal di luar negri, dan baru dua mingguan kembali kemari? Apakah dia hamil ketika berada di luar negri?

“Ya ampun, mengapa aku harus memikirkannya? Aduh, gara-gara teringat dia, kantukku jadi hilang,” gumamnya kesal.

Andin meraih bantalnya untuk menutupi wajahnya, ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Andin segera tahu,  siapa lagi yang suka menelpon malam-malam kalau tidak Aisah.

“Andin, sudah tidur kamu?”

“Ya ampun, hampir aku tidur, ada apa sih, malam-malam menelpon?”

“Nggak apa-apa. Kangen saja.”

“Iya juga sih, semingguan kamu tidak mengganggu aku malam-malam.”

“Maaf Ndin, aku lagi ujian nih.”

“Kalau begitu kenapa menelpon malam-malam? Belajar sana.”

“Sudah capek Ndin, mau tidur nih. Oh ya, sebenarnya aku mau cerita.”

“Cerita apa?”

"Beberapa hari yang lalu, eh agak lama sih, saat kamu baru sehari bekerja di mas Faris, ada gadis yang mencari Romi di kampus."

“Gadis indo, matanya kebiruan?”

“Iya, kamu ketemu juga?”

“Ketemu, tapi aku nggak begitu perhatian. Ogah aja ditanya tentang laki-laki brengsek itu.”

“Dia mencari Romi dan mengaku tunangannya.”

“Tadi tuh dia periksa ke dokter Faris.”

“Dia? Periksa? Sakit apa?”

“Nggak tahu keluhannya apa, tapi dokter Faris bilang, dia hamil.”

“Waouu, baru datang sudah hamil?”

“Kata dokter Faris, kehamilan yang dibawa dari luar negri.”

“Mampus.”

“Heiii, ngomongnya kasar amat.”

“Aku kalau sama dia nggak perlu ngomong yang halus-halus. Tuh, dia menemukan karmanya. Tunangannya hamil dan bukan dari benihnya? Rasain.”

“Sudah … sudah, nggak suka aku ngomong tentang dia, lebih baik tidur saja.”

Andin menutup pembicaraan karena tak suka mendengar cerita yang ada hubungannya dengan Romi.

Ia berusaha melupakan semuanya, lalu tidur. Besok dia harus ke kampus pagi-pagi, dan sebelumnya ingin memasak untuk ayahnya sebelum pergi.

“Keburu nggak ya? Tadi sih sudah belanja, kalau besok bangun kesiangan, walau bahannya sudah ada, tetap saja aku tak bisa memasak."

Andin memejamkan matanya, dan tak lama kemudian diapun terlelap.

***

 Pak Harsono sudah bersiap berangkat, ketika Andin sibuk menata sarapan di ruang makan.

“Andin, katanya kamu kuliah pagi, kok pakai masak segala?”

“Lagi pengin masak Pak, cuma oseng kacang sama bandeng presto goreng. Ini pak, sudah siap, Bapak sarapan dulu.”

“Waah, begini ya enaknya punya anak perempuan. Kalau ada waktu, juga sempat memasak buat bapaknya,” kata pak Harsono sambil duduk di depan meja. Hidungnya mengendus endus harum masakan anak gadisnya.

“Silakan Pak, biar Andin ambilkan nasinya.”

“Baunya enak, pasti rasanya juga nikmat.”

“Rasain dulu, baru komentar,” kata Andin sambil tersenyum.

“Bapak yakin, pasti enak. Hmmm, benar kan,” kata sang ayah yang sudah menyendok makanannya.

“Benarkah?” kata Andin senang.

“Almarhumah ibumu itu, kalau masak selalu enak. Jadi tidak aneh kalau kamu juga bisa masak  enak.”

“Semoga Bapak selalu senang masakan Andin. Mulai sekarang, setiap hari Andin akan memasak buat Bapak.”

“Kamu itu tugas kamu bertambah, kok masih ditambah masak pula?”

“Andin sudah mencoba, dan itu tidak sulit. Habis kuliah, Andin mampir belanja sayur, lalu disimpan di kulkas. Pagi sebelum berangkat masih sempat masak kok.”

“Tapi harus menjaga kesehatan kamu juga, kalau lagi capek, jangan dipaksakan.”

“Iya, Andin mengerti.”

“Kamu mau berangkat jam berapa? Nanti kesiangan.”

“Tidak, setelah sarapan Andin baru mau berangkat.”

“Tidak terlambat?"

 ”Tidak Pak, Bapak jangan khawatir. Kalau dulu, kalau berangkatnya tidak bareng Bapak, Andin kan harus naik angkot, menunggu dulu kapan lewatnya angkot, jadi harus buru-buru. Sekarang Andin naik sepeda motor, jadi sudah bisa menghitung, jam berapa nanti bisanya sampai di kampus.”

“Iya, bapak tahu. Bersyukur sekali kamu mendapat pinjaman dari majikan kamu. Tampaknya dia baik. Apakah dia sudah setua banpak?”

“Tidak Pak, dia masih muda. Dia kan kakak misannya Aisah.”

“Kakak misan kan bukan saudara kandung. Kalau saudara kandung, bisa saja terpaut beberapa tahun, kalau kakak misan, bisa saja jauh lebih tua.”

“Tidak Pak, masih muda, dan belum menikah.”

“Oh ya?”

“Iya Pak.” tiba-tiba saja Andin teringat ucapan Aisah yang berharap dirinya bisa berjodoh dengan dokter Faris. Mimpi kah Aisah? Apa dia lupa bahwa dirinya bukan lagi gadis suci yang pantas mendampingi seseorang. Apalagi yang sebaik dokter Faris. Diam-diam Andin menghela napas sedih.

“Mengapa tiba-tiba wajahmu muram?”

Andin terkejut mendengar pertanyaan ayahnya. Mana ayahnya mengerti apa yang dipikirkannya? Apa yang terjadi pada dirinya akan tetap menjadi rahasia hidupnya. Hanya Aisah yang mengetahuinya selain dirinya.

“Ini Pak, sambalnya kepedasan,” kata Andin sekenanya.

“Bapak merasakannya, tidak tuh, cukupan. Bagaimana kamu bisa kepedasan?”

“Andin mengunyah cabe utuh rupanya, kurang halus mengulegnya.”

Pak Harsono tertawa. Andin merasa lega, ayahnya tak mempersoalkan wajahnya yang tiba-tiba muram. Padahal orang lagi kepedasan dan orang sedang tertekan kan beda. Syukurlah, barangkali karena sang ayah sedang terburu-buru harus segera berangkat kerja, terbukti ia sudah mengakhiri makan paginya tak lama kemudian.

“Bapak langsung berangkat ya, ini akhir minggu, banyak urusan,” katanya sambil minum segelas air dan berdiri.

“Bapak pelan-pelan saja naik motornya, tidak usah ngebut,” pesan Andin sambil menumpuk piring-piring kotor, kemudian mengantarkan sang ayah sampai ke halaman. Ia baru kembali masuk ke rumah setelah tak lagi melihat bayangan sepeda motor yang dikendarai ayahnya.

***

Begitu memasuki halaman kampus, dilihatnya Aisah sudah memarkir kendaraannya di parkiran.

“Ada kelas pagi?”

“Iya. Kamu juga?”

“Iya. Tapi kenapa semalam kamu buru-buru menutup telpon aku?”

“Yah, kan itu sudah malam, aku sudah sangat ngantuk, tahu.”

“Ya sudah, sebetulnya masih ingin ngerumpi tentang indo cantik itu.”

“Kurang kerjaan ya kamu?” kesal Andin yang segera melangkah ke ruangannya.

“Maaf, aku tahu kamu tidak suka membicarakan hal-hal yang ada hubungannya dengan laki-laki brengsek itu. Tapi aku heran tentang gadis itu.”

“Sudah, itu bukan urusan kita kan?”

Mereka berpisah ketika harus memasuki ruangan masing-masing, yang berbeda tempatnya.

***

Hari itu Romi tidak ke kampus, karena pagi-pagi sekali Elisa sudah nyamperin ke rumah. Keduanya langsung pergi, dan berhenti di sebuah rumah makan untuk sarapan.

“Semalam kamu pergi ke mana? Aku cari di rumah kamu tidak ada.”

“Semalam? Kamu ke rumah aku?”

“Kata pembantu kamu, kamu pergi ke dokter.”

“Oh, iya. Aku ke dokter.”

“Kamu sakit?”

“Hanya sedikit pusing, tidak masalah, sudah diberi obat.”

“Sejak beberapa hari yang lalu kamu terus mengeluh pusing.”

“Iya, itu sebabnya aku ke dokter.”

“Kamu batuk? Pilek? Sakit perut?”

“Tidak, hanya pusing. Jangan mengkhawatirkan aku, nikmati saja sarapannya,” kata Elisa yang tentu saja ingin menyembunyikan kata dokter Faris bahwa dirinya hamil. Mana mungkin Elisa berani mengatakannya, ia hamil karena siapa, ia tak menyadarinya.

“Aku bergaul dengan beberapa laki-laki, entah siapa ayah dari bayi yang aku kandung ini. Satu-satunya jalan aku harus memaksa Romi supaya harus segera menikahi aku.”

“Kok kamu nggak makan?” tanya Romi.

“Iya, sebentar, masih panas sotonya,” kata Elisa karena dia memang memesan nasi soto ayam.

“Enakan dimakan panas-panas,” gumam Romi sambil menyuap makanannya.

“Rom, kita kan sudah berhubungan lebih dari hanya seperti sepasang kekasih,” kata Elisa, hati-hati.

“Memangnya kenapa? Kamu yang mau kan?”

“Bukan masalah siapa yang mau.”

“Lalu …”

“Bagaimana kalau kita segera menikah?”

Romi meletakkan sendoknya, menatap Elisa tajam.

“Apa maksudmu? Menikah? Tidak. Aku kan belum selesai kuliah!”

***

Besok lagi ya.

Friday, September 29, 2023

BERSAMA HUJAN 05

 BERSAMA HUJAN  05

(Tien Kumalasari)

 

Mobil yang dikendarai Elisa terus masuk ke dalam, lalu memarkirnya di area parkir. Ia turun dan melangkah sambil matanya mencari-cari. Tapi tempat di sekitar itu tampak tak banyak orang berseliweran. Tampaknya semua sedang berada di dalam ruangan. Elisa berjalan ke arah belakang, ia tak tahu di mana Romi berada. Dimana kelasnya. Baru sekali itu ia datang ke kampus kekasihnya.

Karena kesal, ia kembali ke tempat parkir, mencari-cari, barangkali dia mengenali yang mana mobil Romi. Tapi sudah beberapa tahun dia pergi, barangkali juga Romi sudah berganti mobil.

Elisa kembali masuk ke dalam mobil, mencoba menelpon nomor kontak Romi, tapi nomor itu rupanya sudah tidak aktif lagi. Rupanya Romi juga sudah mengganti nomor kontaknya. Elisa agak kesal. Ia tidak mengabarinya terlebih dulu, bermaksud memberinya kejutan. Tapi dia kesal karena tidak segera bertemu yang dicarinya.

Lebih dari satu jam Elisa menunggu, ketika kemudian dia melihat seorang gadis lewat di dekat parkiran. Ia segera melongok melalui jendela mobilnya sambil berteriak.

“MBak … tunggu Mbak..”

Ia turun, dan yang dipanggilnya berhenti.

“Hallo, nama saya Elisa,” katanya setelah dekat, mencoba bersikap lebih ramah.

“Ya, saya Aisah.”

“Saya ingin bertemu tunangan saya, dia ada di mana ya?”

“Tunangan Mbak, siapa?”

“Namanya Romi, Romi Darmajaya.”

“Oh.”

“Di mana ya dia?”

Wajah Aisah langsung muram mendengar nama itu. Ingatan akan cerita Andin masih tercetak jelas dalam ingatannya, membuatnya geram dan marah. Tadipun di kelas dia sama sekali tidak menyapanya.

“MBak Aisah tahu nggak?”

“Mm, maaf, saya tidak tahu. Permisi ….”

Aisah langsung ngeloyor pergi, menuju ke arah parkiran sepeda motor.

Elisa merengut.

“Heran, tak ada yang ramah mahasiswa di negara ini,” gumamnya pelan, sambil matanya mengamati ke arah segerombolan anak muda yang keluar setelah Aisah. Mata Elisa berbinar, melihat Romi berjalan ke arah parkiran. Tapi ada yang membuatnya agak kesal, ketika melihat Romi menarik-narik tangan salah seorang gadis, sementara itu sang gadis berteriak-teriak marah.

“Romi!!” kali itu Elisa berteriak, membuat Romi melepaskan cekalannya pada gadis yang tadi diganggunya.

Matanya terbelalak melihat siapa yang memanggilnya. Ia segera berlari mendekat.

“Elisa?”

Begitu dekat, Elisa langsung merangkulnya dan menciumnya bertubi-tubi. Perlakuan itu membuat banyak mahasiswa menatap ke arah mereka. Lalu mereka tersenyum mengerti. Gadis itu cantik, wajahnya ‘indo’ matanya biru. Pantas berciuman di tempat umum dengan tanpa rasa malu.

“Hei, hentikan. Kamu membuat tontonan gratis di sini, tahu,” kata Romi sambil terkekeh, lalu menariknya ke mobilnya.

“Aku bawa mobil sendiri.”

“Bodoh, kenapa bawa mobil? Kita sendiri-sendiri dong.”

“Nggak apa-apa, atau mau kamu tinggal saja mobil kamu di sini, nanti bisa diambil lagi kan?”

“Kita mau ke mana?”

“Ke mana saja, asal senang. Aku kangen sama kamu, tahu.”

Romi tertawa, sambil menepuk pipi Elisa dengan mesra.

“Aku juga kangen.”

“Tapi aku nggak suka tadi kamu menarik-narik teman wanita kamu,” kata Elisa merengut.

“Ah, hanya bercanda, apa salahnya?”

Elisa segera menarik Romi menuju ke arah mobilnya, dan membiarkan Romi membawanya. Mereka pergi dengan tatapan para mahasiswa ke arah mereka.

“Pacar Romi?”

“Aku dengar, dia bilang tadi tunangannya.”

“Oh ya? Sudah punya tunangan, masih suka gangguin gadis-gadis. Dasar.”

Celoteh teman-temannya bersahutan.

Aisah yang belum keluar dari kampus, juga melihat mereka, tapi dengan tatapan marah yang tak juga padam.

“Sudah punya tunangan, kelakuannya sangat menjijikkan,” geramnya sambil berlalu.

***

Andin sudah sampai di rumahnya, saat sang ayah belum pulang, Hari memang masih tergolong siang saat dia selesai dengan kuliahnya. Ia memasuki rumah sambil mengusap keringat yang membasahi wajahnya dengan tissue. Beruntung dia bisa naik sepeda motor pergi dan pulang kuliah. Juga nanti saat berangkat bekerja.

Ia meneguk air putih yang tersedia di meja, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia makan dari lauk yang disediakannya sejak pagi, setelah berganti baju rumahan. Masih ada tersisa waktu yang cukup sebelum dia berangkat bekerja.

Dokter Faris berpesan bahwa hari ini dia harus datang lebih awal. Itu benar, karena harus banyak yang dia pelajari sebelum dia mulai mengerjakan segala sesuatunya.

Karena itulah dia segera membersihkan rumah, menyiapkan minum dan bahkan menata meja makan, barangkali ayahnya ingin cepat-cepat makan tanpa harus menunggunya pulang.

Jam setengah empat sore, Andin sudah menyiapkan sepeda motornya, membersihkannya dari debu, supaya nanti dokter Faris tidak kecewa melihat motornya tidak terawat. Ia sudah rapi sekarang. Setelah menutup semua pintu, ia menulis pesan singkat kepada ayahnya, bahwa dia sudah berangkat kerja. Setelah itu barulah dia memacu kendaraannya ke tempat praktek dokter Faris.

Begitu sampai di sana, dilihatnya ruang praktek dokter Faris sudah terbuka. Ia memarkir kendaraannya, lalu melangkah masuk dengan berdebar. Jangan-jangan dia terlambat.

Andin berdiri di tengah pintu, dan melihat dokter Faris duduk di kursi kerjanya. Andin mengangguk hormat, dan dokter Faris menyambutnya dengan senyuman.

“Masuklah,” katanya lembut.

Andin melangkah maju, kemudian dokter Faris memerintahkannya duduk.

“Maaf, apakah saya terlambat?” tanyanya takut-takut.

“Tidak, jam kerja kamu masih satu jam lagi.”

“Oh …” Andin menghela napas lega.

“Mari aku tunjukkan, apa yang harus kamu lakukan,” kata dokter Faris sambil berdiri, lalu berjalan ke arah ruangan samping yang berhubungan dengan ruang tunggu. Ada almari penuh dengan kartu-kartu, dan tertera tanggal, bulan dan tahun di setiap deretnya.

“Kartu-kartu ini ada nama pasien, yang sudah disusun menurut abjad

. Lihatlah.”

Andin mengangguk” mengerti.

“Setiap pasien harus selalu membawa kartu pasien, dimana disitu tertulis nama, kapan dia berobat. Kamu harus mencari kartu seperti ini, disini. Ini namanya kartu anamnesa, yang berisi catatan penyakit pasien ketika berobat sebelumnya,” lanjut sang dokter.

Andin tampak mengangguk mengerti.

“Jadi setelah kartu anamnesa ini ketemu, kamu tumpuk di meja saya, sesuai nomor pendaftaran pasien. Sampai di sini adakah yang ingin kamu tanyakan?”

“Berarti setiap pasien yang mendaftar harus diberi nomor. Kan?”

“Tentu saja, begitu mereka datang, lalu mengambil nomor. Ini nomornya, sudah tersusun rapi,” kata dokter Faris sambil menunjukkan kartu kotak-kotak kecil bertuliskan nomor urut.

Banyak yang dikatakan dokter Faris, dan dicatat hati-hati dalam benaknya.

Jam setengah lima, Andin sudah siap duduk di pojok ruang tunggu. Ia siap melaksanakan tugasnya.

Tidak begitu sulit, hanya saja membutuhkan ketelitian, jangan sampai keliru mencocokkan kartu pasien dan kartu anamnesa yng harus diserahkannya kepada sang dokter.

Jam lima kurang seperempat, sudah ada pasien datang mendaftar. Seorang ibu yang berbadan gemuk tergesa mengambil nomor.

“Ah, untunglah, aku dapat nomor satu,” katanya sambil duduk di dekat pintu msuk ruang praktek, setelah meletakkan kartu di depan Andin. Lalu ia menatap Andin, tampak heran karena baru sekali melihatnya.

“Mbak, suster baru ya?” tanyanya ramah.

“Iya Bu.”

“Cantik,” katanya pelan, disambut senyuman manis oleh Andin, yang segera mengambil kartu itu, lalu berdiri menuju ke arah rak yang tadi ditunjukkan dokternya, untuk mencari kartu anamnesa pasien tersebut.

Tak lama setelah itu, bergantian pasien datang.

Andin mulai menyukai pekerjaannya, walau belum lancar benar. 

Saat dia baru saja menumpuk kartu yang kemudian dibawanya ke ruang praktek, dokter Faris sudah duduk di kursi kerjanya.

“Panggil pasien pertama, dan setelah selesai kamu juga yang bertugas memanggil pasien berikutnya,” titah sang dokter.

“Baik. Bisa sekarang, Dok?”

“Ya, sekarang.”

Karena dokternya sudah siap, maka Andin segera memanggil pasien pertama yang harus dilayani.

Andin tersenyum senang. Ia mulai mengerti apa yang harus dilakukannya.

Hari itu ada sebelas pasien yang mendaftar.

Jam setengah delapan, pasien sudah bersih. Andin kembali menyusun kartu-kartu ditempatnya semula.

Saat dia akan membereskan mejanya, dokter Faris keluar sambil membawa setumpuk pakaian berwarna putih.

“Andin, setiap kali kamu bertugas, pakailah ini, biar kelihatan rapi.”

Andin menerima tiga buah baju putih yang diberikan sang dokter.

“Ini cukup kamu pakai diluarnya saja, tidak usah mengganti semua baju kamu.”

Andin mengangguk sambil tersenyum.

“Seperti dokter dong,” katanya lirih.

“Iya, biarlah seperti dokter. Aku hanya ingin agar kamu kelihatan seperti asisten dokter yang mengurusi pasien-pasiennya.”

“Baik, dokter.”

“Simpan di almari itu. Kalau sudah kotor, berikan ke belakang, biar bibik mencucinya.

Saat dokter berbincang, seorang wanita setengah tua keluar sambil membawa baki berisi segelas teh hangat.

“Diminum dulu Non.”

“Nah, ini bibik. Dia yang melayani aku di rumah ini,” kata dokter Faris.

“Oh, kenalkan Bibik, saya Andin, pembantunya dokter Faris yang baru,” kata Andin memperkenalkan diri.”

“Iya Non, maaf terlambat membawakan minuman untuk Non.”

“Tidak apa-apa Bik, terima kasih banyak.”

Bibik tersenyum, kemudian beranjak ke belakang.

“Minumlah dulu, sebelum kamu pulang,” kata dokter Faris.

“Baik, terima kasih dok.”

Karena memang sudah selesai tugasnya, maka Andin segera menghirup minumannya, lalu membawa gelas yang sudah kosong itu ke belakang.

***

Ketika motornya memasuki halaman rumah, dilihatnya pak Harsono sudah duduk menunggu di teras. Andin naik ke teras, dan mencium tangan ayahnya.

“Baru pulang Ndin?”

“Iya Pak, jam delapan dari tempat kerja,” katanya sambil duduk di depan sang ayah.

“Apa kamu tidak capek, pagi kuliah sampai siang, terkadang sore, lalu kamu masih harus bekerja sampai malam?”

“Tidak Pak, biasa saja. Kan pekerjaannya hanya duduk dan menulis, tidak mengangkat barang-barang yang berat.”

“Meskipun begitu, waktu yang harusnya bisa kamu pergunakan untuk istirahat, kamu pergunakan untuk bekerja.”

“Bapak jangan khawatir, Andin bisa menjalaninya. Andin senang malakukannya.”

“Bapak hanya khawatir, kuliah kamu akan terbengkalai.”

“Andin janji, bahwa kuliah adalah yang nomor satu. Andin akan membuktikan bahwa Andin bisa segera menyelesaikan kuliah Andin, tanpa terganggu oleh apa yang Andin lakukan dalam bekerja.”

“Baiklah.”

“Bapak sudah makan?”

“Belum, aku menunggu kamu. Aku beli lauk tadi sepulang kantor.”

“Baiklah, Andin akan mandi sebentar, lalu melayani Bapak makan,” kata Andin sambil beranjak ke belakang.

Pak Harsono tersenyum, lalu mengikuti Andin masuk ke dalam rumah.

Ada rasa haru, melihat anaknya bersusah payah ingin mencari uang, demi meringankan beban ayahnya yang sudah tua.

Begitu selesai mandi, saat sedang berganti baju, ponsel Andin berdering, dari Aisah. Andin tak sampai hati untuk tidak mengangkatnya. Pasti Aisah ingin menanyakan tentang pekerjaannya.

“Andin!”

“Eh, iya, aku baru mau menjawab telpon kamu nih.”

“Kok lama banget jawabnya.”

“Aku baru habis mandi, sedang mengganti baju.”

“Baru pulang? Capek nggak?”

“Nggak, aku senang melakukannya. Nggak capek kok, cuma duduk, menulis, melayani pasien.”

“Dan melayani dokternya, ya kan.”

“Iya, kan dia yang menggaji aku, jadi kewajiban aku melayani semua kebutuhannya saat berpraktek.”

“Kakakku ganteng kan?”

“Eh, apa sih maksud kamu?”

“Aku hanya ingin, agar kamu jatuh cinta sama dia.”

Andin terkekeh. Iya sih, dokternya ganteng, tapi jatuh cinta? Tiba-tiba Andin merasa sedih. Dengan dirinya yang sudah cacat, masih adakah tempat untuk menjatuhkan cintanya?”

“Hei, kenapa diam?”

“Ais, maaf ya, aku ditunggu bapak di ruang makan, nanti setelahnya aku telpon kamu deh.”

“Oh iya, maaf. Baiklah, nanti telpon ya, bener lho.”

Pembicaraan itu terputus, Andin keluar dari kamar setelah merapikan rambutnya. Dilihatnya sang ayah sudah menunggu.

“Kamu telponan sama siapa?”

“Aisah Pak, dia menanyakan bagaimana Andin melakukan pekerjaan itu.”

“Aisah anak baik.”

“Karena dia, Andin bisa mendapatkan pekerjaan.”

“Jangan sampai kamu kecapekan,” kata pak Harsono yang sudah berulang kali mengatakan hal yang sama.

***

Sudah seminggu Andin bekerja di tempat praktek dokter Faris. Ia senang karena semuanya mulai terbiasa dilakukan, bukan seperti saat pertama bekerja, dimana dia harus mengingat-ingat, apa yang harus dilakukan, sebelumnya, sesudahnya, dan seterusnya.

Hari itu pasien hampir habis. Tinggal satu orang yang masih berada di dalam ruang praktek dokter Faris. Andin sedang mulai merapikan mejanya, ketika tiba-tiba seseorang muncul. Seorang wanita cantik, bermata kebiruan. Andin merasa, seperti pernah melihatnya, tapi dimana, Andin lupa.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

Thursday, September 28, 2023

BERSAMA HUJAN 04

 BERSAMA HUJAN  04

(Tien Kumalasari)

 

Tak terbayangkan, ternyata dokternya masih muda, tidak setua yang Andin bayangkan. Dan mengapa menatapnya sangat tajam? Andin jadi ketakutan sendiri. Seorang dokter muda, terkenal, ahli penyakit dalam pula, pastilah mencari asisten yang cantik, menarik. Sedangkan dirinya? Andin ketakutan sendiri.

Padahal sang dokter merasa bahwa dirinya bersikap biasa saja.

“Aisah? Ini gadis yang kamu ceritakan itu?”

“Iya Mas, dia masih kuliah, tapi bisa membantu Mas saat sore hari.”

“Ayo masuklah,” dokter Faris mempersilakannya masuk, lalu mereka duduk di sofa, di dalam ruang tamu.

Andin hanya tertunduk. Kalaupun tidak diterima, kemudian dia merasa pasrah. Rasa takut dirasanya hanya akan membuat dirinya gugup dan tidak akan bisa menjawab semua pertanyaan dengan lancar. Andin menghembuskan napas panjang untuk menenangkan hatinya.

“Teman sekelas?”

“Sekelas waktu masih SMA, kemudian saya berhenti selama dua tahun, karena ayah saya harus mengumpulkan biaya kuliah saya.”

“Jadi, sekarang dia tuh adik kelas saya.”

Faris tampak mengangguk mengerti.

“Bekerja sore, sampai malam, bersedia? Tidak terlampau malam sih, saya hanya membatasi pasien sampai jam 8 harus selesai. Jadi kira-kira lima belas pasien sesore, cukuplah. Takut kecapekan,” kata Faris sambil tersenyum.

“Kalau memang diterima, saya bersedia.”

“Tidak mengganggu kuliah kamu ya?”

“Semoga tidak.”

Perasaan lega kemudian memenuhi hati Andin, karena tampaknya tak ada penolakan dari dokter Faris atas dirinya, untuk menjadi asisten penerima pasiennya.

“Baiklah, kapan kamu akan mulai bekerja?”

“Kapan saja dokter menghendakinya, saya sudah siap.”

“Bagus, kalau begitu. Bisa mulai besok? Oh ya, hari Sabtu aku libur. Jadi kamupun libur.”

“Baik.”

Dokter Faris kemudian menatap Aisah sambil tersenyum.

“Bagaimana Mas?”

“Ok, sudah beres. Terima kasih kamu telah mencarikan asisten untuk aku, karena aku terkadang sangat repot, di mana harus mencari data pasien yang datang, untuk disesuaikan dengan kedatangan sebelumnya. Kan semuanya harus nyambung, kecuali kalau pasien baru yang belum pernah datang periksa.”

“Iya, aku mengerti. Kalau begitu Andin juga harus mempelajari apa yang harus dilakukan, ya kan Mas?”

“Benar, kalau bisa, besok datanglah lebih awal, karena aku harus menunjukkan apa saja yang harus kamu lakukan.”

“Baik, dokter.”

“Ih, formal amat, kenapa tidak memanggil Mas Faris, begitu saja?” tegur Aisah kepada Andin.

“Tidak bisa begitu, Ais, beliau kan atasan aku, bukan kakak aku,” kata Andin sambil tersenyum.

Dokter Faris hanya menatap keduanya dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya. Dokter yang baik, dan ramah, dan selalu berkata manis. Barangkali itulah yang membuat pasiennya banyak. Bukankah orang sakit harus selalu dilayani dengan penuh kelembutan?

“Ya sudah, kalau begitu aku sama Andin akan pulang dulu.”

“Kalian naik apa?”

“Naik taksi tadi.”

“Andin tidak punya kendaraan?”

“Tidak punya, dokter, saya kemana-mana naik angkot,” jawab Andin tersipu.

“Tapi bisa naik sepeda motor bukan?”

“Bisa, dok. Saya juga sering memakai sepeda motor bapak saya, kalau sedang tidak dipakai ke kantor.”

“Di rumah ada sepeda motor yang tidak terpakai, boleh kamu bawa, sekalian biar dipakai Andin, jadi tidak usah naik angkot setiap harinya.”

“Haaa, benarkah Mas?”

“Tentu saja benar. Biar aku keluarkan sepeda motornya dari garasi,” kata dokter Faris sambil berdiri dan beranjak ke ruang samping, dimana garasi sang dokter terletak. Aisah mengikutinya, sambil menowel tangan Andin.

“Kamu beruntung, mas Faris berbaik hati dengan meminjamkan sepeda motornya untuk kamu.”

“Sungkan aku sebenarnya.”

“Kenapa sungkan? Itu harus kamu syukuri.”

“Ini dia, jarang sekali aku pakai, daripada rusak.”

Dokter Faris mengeluarkan sepeda motornya, masih bagus karena keluaran baru. Ia menyalakan mesinnya.

“Wah, ini bagus sekali, Andin.”

“Tapi dokter, saya kan baru mau mulai bekerja, mengapa dokter sudah memberikan sepeda motor .. eh, maksud saya, meminjamkan sepeda motor ini untuk saya pakai?”

“Tidak apa-apa, daripada tidak terpakai. Lagipula kamu temannya Aisah, adik misan aku, jadi tak ada alasan untuk tidak percaya,” kata sang dokter sambil menyerahkan sepeda motor itu.

“Asyik, aku bonceng ya Ndin, hati-hati, jangan ngebut,” canda Aisah.

“Ya sudah, pulanglah, hati-hati di jalan.”

“Terima kasih, dokter.”

“Terima kasih, Mas.”

Dokter Faris menatap kedua gadis  yang pulang sambil membawa sepeda motornya. Ada rasa suka melihat penampilan Andin yang sederhana, tapi manis. Bicaranya santun, dan tidak tampak seperti ingin menarik perhatian.

Ia masuk ke dalam rumah, dan bersiap untuk praktek, tanpa asisten. Sebenarnya ia ingin agar Andin memulainya hari itu juga, tapi kasihan, masa baru datang langsung disuruh bekerja.

***

Pak Harsono terkejut, melihat Andin pulang dengan naik sepeda motor. Sepeda motor bagus pula, jauh bedanya dengan sepeda motornya sendiri yang terhitung agak kuno.

Andin turun dari sepeda motornya, memarkirnya begitu saja. Ia tersenyum melihat sang ayah turun dari teras dan mendekatinya.

“Sepeda motor siapa? Aisah?”

“Bukan Pak, ini sepeda motor dokter Faris.”

“Dokter Faris yang terkenal itu?”

“Iya. Saya sudah diterima bekerja, dan mulai besok sore.”

“Begitu cepat?”

“Karena dokter itu membutuhkan asisten, sementara asistennya yang sebelumnya sudah mengundurkan diri karena menikah. Sampai sekarang belum mendapat penggantinya.

“Kamu sudah memikirkannya baik-baik, dan yakin bisa mengatur waktu kamu? Bapak ingin kamu tetap mengedepankan kuliah kamu.”

“Iya Pak, tentu saja. Kalau senggang, saya juga bisa bekerja sambil belajar.”

“Lalu mengapa kamu membawa sepeda motornya dokter Faris?”

“Karena sepeda motor itu tidak terpakai, katanya daripada rusak, lebih baik dipinjamkan ke Andin.”

“Baik sekali dia. Ini sepeda motor bagus. Mengapa dia percaya sama kamu, yang baru saja dikenalnya?”

“Katanya karena saya teman Aisah. Tadi Andin juga mengantarkan dulu Aisah pulang ke rumah.”

“Baiklah, masukkan dulu sepeda motornya ke dalam. Kamu harus merawatnya juga dengan baik, karena itu kan milik orang.”

“Iya Pak.”

Bagaimanapun pak Harsono senang, melihat anaknya begitu gembira mendapat pekerjaan. Ia juga terharu karena Andin berpikir sangat dewasa, dan berniat tidak ingin memberatkan orang tua, walaupun pak Harsono sudah bertekat akan sekuat tenaga berjuang untuk anak semata wayangnya.

Kegembiraan mendapat pekerjaan itu melupakan rasa pedih atas apa yang dialaminya dua hari yang lalu. Andin memang bertekat melupakannya, dan akan menekuni pekerjaannya sambil tak melupakan tugas kuliahnya, seperti yang diimpikan ayahnya. Biarlah malapetaka itu akan dipendamnya jauh di dalam lubuk hatinya, jangan sampai sang ayah juga tersakiti mendengar kesakitannya.

Karena gembira itulah kemudian Aisah lupa menanyakan perihal kejadian yang menimpanya bersama Romi. Andin justru berharap, Aisah tak akan menanyakannya.

***

Tapi Andin terkejut, saat istirahat kuliah, Aisah mendekatinya dan menariknya jauh dari hiruk pikuk mahasiswa yang berhamburan saat tak ada kelas.

“Kamu masih berhutang sama aku,” kata Aisah.

“Hutang apa?”

“Kamu kan janji mau menceritakan soal Romi?”
Wajah Andin langsung muram. Sebenarnya ia tak ingin mengatakannya kepada siapapun juga, karena ingin memendamnya sendiri di dalam hatinya. Tapi entah bagaimana, kemarin dia memang berjanji akan mengatakannya, dan Aisah tidak lupa akan janji itu. Rupanya dia sangat penasaran, melihat dirinya tampak sangat membenci Romi.

“Kamu tidak lupa kan?”

Andin menghela napas panjang, wajah murung terus menyelimutinya. Ia mengitarkan pandangan ke sekeliling, barangkali ada Romi diantara para mahasiswa yang berlalu lalang.

“Aku masih sahabatmu kan?  Apa kamu tidak percaya sama aku?”

“Aisah, ini sesuatu yang amat menyakitkan, karena luka itu tak akan pernah hilang dari kehidupanku,” kata Andin lirih.

“Aku akan mendengarnya, dan ikut menyimpannya sebagai rahasia.”

“Benar ya?”

“Aku janji.”

Sambil mengusap air matanya yang tiba-tiba menitik, Andin menceritakan perbuatan biadab yang dilakukan Romi, membuat Aisah terbelalak, lalu berteriak marah.

“Iblis dia itu.” keras sekali suaranya, sehingga Andin terpaksa menutup mulut sahabatnya dengan telapak tangannya.

“Laporkan saja ke polisi,” pekiknya marah.

“Tidak semudah itu Ais. Aku akan mendapat malu, ayahku akan sedih, dan semua orang akan tahu kebusukan itu. Mungkin ada belas kasihan untuk aku, tapi mungkin juga akan banyak yang mencibir. Banyak pertimbangan yang harus aku pikirkan kalau aku harus melakukan itu,” kata Andin sedih.

Sesungguhnya ia kemudian merasa sedikit lega karena bisa berbagi atas penderitaannya, kepada sahabatnya yang ia tahu akan selalu mendukungnya.

Aisah tampak terdiam. Apa yang dikatakan Andin ada benarnya. Melaporkan perbuatan bejat itu ke polisi, berbeda dengan kalau melapor karena kecopeten. Ini menyangkut nama baik dan perasaan. Bukan hanya perasaannya sendiri, tapi juga orang tua.

“Aku bisa mengerti perasaan kamu Andin, sangat mengerti. Kalau itu aku, pasti aku sudah mengamuk. Mungkin aku akan mencari laki-laki bejat itu dan membunuhnya,” kata Aisah berapi-api.

“Aku ini lemah, tak berani melangkah.”

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?"

“Tidak ada.”

“Kamu akan diam saja?”

“Biarlah aku menanggungnya sendiri. Dan aku minta sama kamu Ais, tolong simpan semua yang aku katakan ini. Hanya aku dan kamu yang mengetahuinya.”

“Akan aku pegang janjiku. Kamu tidak usah khawatir. Tapi aku sangat prihatin mendengar semua itu. Rasanya dadaku ikut sakit mendengarnya.

“Biarkan saja, aku pasrah pada takdirku,” kata Andin, pasrah, membuat Aisah semakin trenyuh. Dengan hangat dipeluknya Andin, yang dengan sekuat tenaga menahan jatuhnya air matanya.”

“Baiklah, aku ada kelas di jam ini, aku tinggal dulu ya, kamu belum mau pulang?”

“Aku akan pulang saja sekarang.”

“Kamu naik sepeda motor yang dari mas Faris kan?”

“Iya, tentu saja. Aku berterima kasih kepada calon majikan aku itu, karena dengan demikian aku bisa mengirit ongkos pulang pergi ke kampus, juga ke tempat kerja.”

“Orang baik pasti akan mendapat kebaikan,” kata Aisah sambil menepuk pundak sahabatnya.

Andin tersenyum haru. Beruntung ada sahabat yang menguatkannya.

Andin sedang melangkah ke arah parkiran, ketika seseorang menggamit lengannya. Mata Andin berkilat ketika melihat siapa yang melakukannya.

“Mengapa kamu seperti membenciku, Andin, aku kan sudah minta maaf,” yang berkata adalah Romi, yang dengan tersenyum menatap Andin.

“Aku bukan hanya membenci kamu, tapi aku sangat jijik melihatmu,” katanya kemudian berlalu.

“Hei, sombong amat sih, kamu ingat kan, aku sudah minta maaf? Baiklah, aku tak akan mengganggu kamu lagi. Memangnya cuma kamu perempuan cantik di dunia ini?” katanya sambil ngeloyor pergi. Andin tak mempedulikannya, ia mengambil sepeda motornya, kemudian keluar dari area parkir.

Hal yang membuatnya selalu terganggu adalah, dia masih satu kampus dengan Romi, sehingga pertemuan dengannya tak akan bisa dihindari. Ingin rasanya Andin berhenti saja kuliah, tapi ia tak mau mematahkan cita-cita dan harapan ayahnya.

“Mau tidak mau aku harus menahan amarah ini setiap kali melihatnya,” gumamnya masih dengan wajah merah padam.

Saat dia mau keluar dari halaman kampus, sebuah mobil berhenti, dan seorang wanita cantik melongok dari jendela mobilnya yang kemudian terbuka.

Andin tak ingin mempedulikannya, tapi wanita itu memanggilnya.

“Mbak … Mbak.”

“Andin terpaksa menghentikan sepeda motornya, memundurkannya sehingga sejajar dengan mobil itu.

“Ya, Mbak?”

Mbak tahu nggak, di mana aku bisa ketemu Romi?”

Jantung Andin berdesir. Ia benci orang itu, bahkan benci mendengar nama itu.

“Dia di jurusan apa ya, saya lupa.”

“Maaf, saya tidak kenal nama itu,” kata Andin yang tak ingin berpanjang lebar bicara tentang laki-laki bernama Romi.

“Tapi dia kuliah di kampus ini, aku baru datang dari luar negri dan ingin menjemput tunangan aku.”

Andin memacu sepeda motornya dan terus berlalu, membuat gadis itu merasa kesal.

“Sombong amat sih. Memangnya siapa dia? Masa sih, satu kampus kok tidak mengenal?”

Tapi ketika ada lagi yang lewat, dan gadis itu menanyakannya, dengan manis, ia menjawab bahwa Romi masih ada kelas.

“Terima kasih ya Mas, nama saya Elisa, dan Romi itu tunangan saya.”

Gadis itu memperkenalkan diri tanpa ditanya, tapi laki-laki itu hanya tersenyum.

***

Besok lagi ya.


Wednesday, September 27, 2023

BERSAMA HUJAN 03

 BERSAMA HUJAN  03

(Tien Kumalasari)

 

Aisah berteriak senang melihat mobil Romi berhenti di dekat mereka. Ia segera menyentuh lengan Andin.

“Lihat, ada taksi gratis datang Ndin, sungguh beruntung kamu,” katanya riang, melihat Romi turun dari mobil.

Andin melepaskan pegangan Aisah, ia melihat angkot lewat, kemudian berlari mendekati.

“Ais, terima kasih banyak, aku pergi dulu,” katanya sambil naik ke atas angkot, membuat Aisah bengong.

“Andin! Apa sih maksudnya tuh.”

“Dia kabur?” kata Romi yang tiba-tiba sudah berada di dekat Aisah.

“Heran aku sama dia, tiba-tiba saja kabur. Apa ketakutan sama kamu ya?”

Romi tertawa.

“Kok bisa, memangnya orang ganteng itu menakutkan?”

“Hih, kepedean deh, tapi memang dia sepertinya ogah ketemu kamu. Tadi juga begitu. Dompet dia ketinggalan di kampus, aku bilang mau aku titipin ke kamu, eh, dia memilih mengambil sendiri kemari. Sekarang begitu melihat kamu, dia kabur. Untung ada angkot lewat, kalau tidak pasti dia sudah berlari sekencang-kencangnya.”

Romi tetap saja tertawa. Tak tampak ada beban yang menggayutinya. Dia seperti menganggap kaburnya Andin adalah bukan apa-apa.

“Kamu sih, tukang ganggu perempuan. Habis melakukan apa kamu sama dia?”

“Kamu nggak kuliah?” tanya Romi mengalihkan pembicaraan.

“Enggak, itu sebabnya tadi aku mau nitipin dompet Andin sama kamu, ternyata dia memilih mengambil sendiri kemari.”

“Dia pasti ke kampus.”

“Tidak, dia bilang tidak akan ke kampus hari ini. Memangnya apa yang sudah kamu lakukan sama dia? Jangan pernah kamu menyakiti sahabat aku.”

“Mana mungkin aku menyakiti? Aku tuh bisanya menyenangkan perempuan, bukan menyakiti.”

“Kalau tidak, pasti dia tak akan bersikap begitu sama kamu.”

“Percayalah, besok juga kalau ketemu di kampus, dia pasti sudah baikan. Aku akan minta maaf sama dia karena sering mengganggunya.”

“Tumben kamu mengenal kata maaf,” cibir Aisah.

“Kamu tuh, mikirnya sama aku jelek melulu. Ya sudah, aku ke kampus dulu,” katanya sambil kembali masuk ke dalam mobilnya, kemudian berlalu begitu saja.

Aisah masih berdiri menatap mobil itu, sampai menghilang ditikungan. Tapi ia masih merasa aneh dengan sikap Andin tadi. Kalau hanya diganggu seperti Romi mengganggu gadis-gadis cantik sekampusnya, tak mungkin Andin sampai semarah itu. Ya, menurut Aisah, Andin memang sedang sangat marah pada Romi. Ia bisa melihat sinar kemarahan itu pada matanya.

“Nanti sore aku pasti akan menanyakannya,”  gumam Aisah sambil memasuki rumah. Ketika ia masuk ke ruang tengah, ia terkejut melihat irisan mangga dan mentimun yang sudah disiapkannya di meja. Ada pula nanas yang masih utuh.

“Ya ampun, kenapa tadi aku biarkan dia pulang? Kami kan janjian mau bikin rujak?” kata Aisah sambil geleng-geleng kepala.

***

Andin sudah sampai kembali di rumahnya. Ia membeli lauk di warung dekat rumah, dan menyiapkannya di meja makan. Dia juga menanak nasi untuk makan bersama ayahnya, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian rumah.

Bayangan wajah Romi melintas, membuat wajahnya muram. Sakit lahir batin yang dirasakannya. Ia mengibaskan bayangan laki-laki bejat itu sekuat tenaga, kemudian menyibukkan diri dengan bersih-bersih seisi rumah.

Tiba-tiba ponselnya berdering, dari Aisah.

“Assalamu’alaikum, Andin.”

“Wa’alaikumu salam, ada apa Ais, mau berangkat sekarang?”

“Tidak, aku menyesal tadi tidak menahan kamu saat kamu pamit pulang.”

“Kenapa?” wajah Andin agak gelap karena mengira Aisah akan mengingatkannya tentang Romi yang tiba-tiba datang.

“Kita kan janjian mau bikin rujak?”

“Oh iya, lupa. Ya udah, lain kali saja.”

“Nanti aku bawa ke rumah kamu saat nyamperin kamu ya.”

“Waah, repot amat.”

“Nggak apa-apa, di rumah nggak ada yang suka, cuma aku saja.”

“Ya sudah, terserah kamu saja.”

Tapi kemudian hatinya sedikit terhibur, ketika teringat bahwa sore nanti Aisah akan mengajaknya ke rumah kakak misannya, yang semoga saja mau menerima dirinya menjadi asisten penerima pasien setiap sore.

Ia kemudian menyiapkan pakaian yang rapi untuk dipakainya nanti sore.

“Apakah aku harus memberi tahu bapak bahwa aku akan bekerja? Atau kalau bapak sudah pulang saja aku mengatakannya? Aku ingin menelpon, tapi takut mengganggu. Bagaimana kalau aku sudah disamperin Aisah sementara bapak belum pulang?”

Aduh, mengapa Andin jadi kelihatan sangat repot? Pikiran yang kalut juga mengganggu konsentrasinya dalam bertindak. Bukankah dia bisa menelpon sebelum berangkat, atau menulis pesan singkat kalau tak ingin mengganggu?

Andin beranjak ke belakang setelah selesai bersih-bersih, kemudian dia menata lauk yang dibelinya di atas meja. Hanya oseng kacang panjang dan tahu bacem serta kerupuk. Sang ayah yang giginya tak lagi utuh, lebih suka lauk yang empuk-empuk. Tahu adalah lauk kesukaannya. Dimasak apapun boleh. Tapi sang ayah jarang sekali pulang ke rumah saat makan siang.

Andin melihat ke arah jam weker di atas almari, jam duabelas lebih sedikit. Andin tak ingin segera makan, karena sejak semalam selera makannya hilang.

Tapi tiba-tiba dia mendengar suara sepeda motor memasuki halaman. Rupanya pak Harsono pulang.

Andri bergegas menyambutnya ke depan.

“Bapak sudah pulang?”

“Tidak, hanya pulang makan siang saja, sambil melihat keadaan kamu.”

“Ya ampun, Bapak, Andin tidak apa-apa. Capek dong bolak balik ke rumah?”

“Tidak, aku beli ayam goreng kesukaan kamu, nih,” kata pak Harsono sambil mengulurkan sebuah bungkusan.

“Bapak, kenapa harus beli lagi? Bukankah saya sudah bilang bahwa akan beli lauk di warung depan?”

“Tidak apa-apa, biar lebih lengkap. Kamu belum makan kan? Ayo kita makan,” kata pak Harsono sambil beranjak ke arah cucian untuk mencuci tangan, kemudian duduk di meja makan.

“Wah, nasinya masih panas, pasti nikmat.”

Andin tersenyum, sambil menyendokkan nasi untuk sang ayah, lalu untuk dirinya sendiri. Ia tak ingin mengecewakan ayahnya yang sudah bersusah payah membeli tambahan lauk yang memang kesukaannya.

“Kamu tampak lebih segar.”

“Iya, Andin sudah baikan. Oh ya Pak. Ada yang ingin Andin katakan pada Bapak.”

“Apa tuh? Uang semesteran sudah bapak siapkan.”

“Bukan itu. Andin mau bekerja, Pak. Boleh kan?”

Pak Harsono meletakkan sendoknya, menatap Andin tak percaya.

“Bekerja? Bukankah bapak ingin agar kamu bisa menyelesaikan kuliah kamu dan tidak memikirkan hal lain?”

“Bekerja sambil kuliah Pak, Andin bukan ingin meninggalkan bangku kuliah.”

“Bagaimana bisa bekerja sambil kuliah?”

“Andin kan kuliah pagi, sorenya Andin bekerja.”

“Bekerja apa sore hari itu? Bapak tidak setuju, apalagi kalau sampai pulang malam seperti kemarin itu. Biarpun kamu terlambat pulang karena hujan, bapak tetap saja khawatir.”

“Aisah punya kakak seorang dokter. Andin hanya membantu menerima pasien saat sore. Prakteknya juga tidak sampai malam.”

Pak Harsono diam, ia kembali menyendok makanannya. Belum ada jawaban yang didengar Andin.

“Andin ingin sekali bisa meringankan beban Bapak.”

“Siapa bilang bapak keberatan? Apapun akan bapak lakukan untuk kamu.”

“Paling tidak Andin tidak akan minta uang jajan lagi sama Bapak. Boleh kan Pak? Itu saudaranya Aisah. Dia butuh orang yang bisa membantu saat dia praktek.”

“Apa kamu tidak capek?”

“Kuliah kan tidak seharian penuh. Hanya kadang-kadang saja sampai sore. Nanti Andin akan mengaturnya.”

 “Pikirkan dulu baik-baik, jangan langsung menerima tawaran.”

“Nanti sore Aisah akan nyamperin Andin kemari, agar bertemu dengan dokter yang saudaranya Aisah itu.

“Ya sudah, tapi pikirkan baik-baik sebelum kamu bertindak, jangan sampai kamu menyesalinya setelah terlambat.”

Dada Andin serasa dipukul palu. Ayahnya sangat hati-hati menjaganya, seperti menjaga kristal mahal yang jangan sedikitpun sampai retak. Tapi apakah yang terjadi pada dirinya?

“Bapak hanya ingin kamu selalu baik-baik saja,” katanya saat sebelum mengakhiri makan siangnya.

Andin tak menjawab, hanya menundukkan kepalanya dengan sedih. Tapi semua yang sudah berlalu, mana bisa diulangnya kembali? Dia hanya ingin berusaha membuat hidupnya baik-baik saja, seperti harapan ayahnya. Dan retak pada kristal mahal itu jangan sampai terlihat oleh ayahnya sehingga membuat ayahnya terluka, yang barangkali melebihi luka hatinya.

***

Jam setengah empat sore, Andin sudah berdandan rapi. Ia gadis sederhana yang selalu menjaga kesopanan dalam berpakaian maupun bersikap. Ia berharap, dokter Faris mau menerima dirinya apa adanya.

Ia menutup pintu belakang, kemudian duduk di teras. Kalau Aisah datang, maka mereka tinggal berangkat dan tak perlu menunggu lama.

Oh ya, Andin lupa menyiapkan minuman sore untuk ayahnya, sehingga kalau sewaktu-waktu datang tak perlu membuatnya sendiri. Aisah kembali masuk ke dapur, menyiapkan minuman dan diletakkannya di ruang tengah seperti biasanya. Ada cemilan roti pisang yang tadi dibelinya saat membeli lauk, disiapkannya di dekat minuman itu.

Baru kemudian dia bergegas ke depan.

Begitu duduk, ponselnya berdering, ternyata dari ayahnya. Andin terharu, begitu besar perhatian ayahnya pada dirinya.

“Bapak?”

“Kamu sudah berangkat?”

“Belum Pak, tapi Andin sudah menyiapkan minum untuk Bapak dan sedikit cemilan.”

“Iya, aku tahu, kamu mau disamperin jam berapa?”

“Sebentar lagi, pastinya Pak.”

“Hati-hati, dan pikirkan sekali lagi.”

“Baik, Pak.”

Andin menghela napas haru.

Begitu dia menyimpan kembali ponselnya, ia mendengar mobil berhenti di jalan. Andin terbelalak, ketika melihat Aisah turun dari mobil, bersama Romi. Wajah Andin pucat pasi. Kalau bisa, ingin dia langsung masuk ke dalam rumah dan mengunci diri di dalamnya. Ia tak sudi melihat wajah laki-laki bejat yang sudah merusak hidupnya. Wajahnya langsung muram melihat Aisah tersenyum lebar.

“Bagus, Andin, kamu sudah siap?”

“Mengapa kamu bersama dia?”

“Oh, Romi? Saat aku sedang mengeluarkan sepeda motor aku, Romi tiba-tiba melintas, kemudian berhenti begitu melihat aku. Dengan senang hati dia mau mengantar kita kok.”

“Tidak, aku tidak mau.”

“Apa maksudmu Andin?”

“Kita naik taksi saja,” kata Andin tandas, dengan wajah merah padam menahan marah. Sungguh Andin kesal, mengapa harus selalu ada Romi?

“Andin, jangan begitu, aku datang untuk meminta maaf. Aku khilaf. Sungguh aku menyesal.”

Andin menatapnya dengan mata menyala bak menyemburkan  dahana. Khilaf? Apakah kata khilaf bisa menghapus noda yang menempel di tubuhnya? Bahkan kata maaf itu bisakah mengilangkan dosa di malam penuh kekejaman itu?

Andin memalingkan wajahnya.

“Aisah, kalau kamu ingin mengajak aku, aku pesan taksi sekarang.”

“Andin.”

“Kalau tidak, kamu tidak usah mengajak aku. Perjanjian kita tadi dibatalkan saja,” katanya tandas.

Rupanya Aisah mengerti, bahwa Andin sangat marah pada Romi. Ia tak tahu apa sebabnya, tapi Aisah lebih memilih menjaga perasaan sahabatnya.

“Romi, terima kasih sudah mengantar aku. Sekarang kamu pulanglah, aku sama Andin akan naik taksi,” kata Aisah kepada Romi.

“Baiklah, tapi yang penting aku sudah minta maaf. Dan aku harap kamu melupakan semuanya.”

“Enyahlah dari hadapanku.” hardik Andin tanpa sudi memandangi wajah yang tampak tersenyum tanpa dosa.

“Ais, aku pergi dulu ya, daaaag!”

Romi berlalu, meninggalkan kemarahan Andin yang masih melingkupi wajahnya.

Aisah memeluk sahabatnya dengan manis.

“Apa yang terjadi?”

“Aku sedang memanggil taksi.”

“Baiklah, tapi berjanjilah agar kamu mau mengatakan semuanya sama aku.”

Andin memencet ponselnya untuk memanggil taksi.

“Benar ya, nanti kamu ceritain semuanya sama aku? Kamu kan tidak lupa bahwa aku masih sahabat kamu?”

Andin hanya mengangguk. Ia tetap diam sampai kemudian taksi yang dipanggilnya tampak berhenti di luar pagar.

***

Disepanjang perjalanan, Aisah juga membiarkan Andin terdiam. Ia menunggu sampai sahabatnya merasa tenang, sambil sesekali menepuk punggung tangannya agar Andin merasa lebih tenang.

“Kita hampir sampai Ndin, siap-siap ya, jangan perlihatkan wajah yang tampak sedih dong,” kata Aisah.

Andin menatap sahabatnya, mencoba mengulaskan senyuman.

“Maaf Ais, aku terlalu kasar tadi, juga terhadap kamu.”

“Tidak apa-apa, aku mengerti, kamu pasti sedang marah sama Romi. Aku mengerti kok, Romi itu seperti apa. Barangkali dia sudah bersikap keterlaluan sama kamu, sehingga kamu marah.”

Andin tersenyum, Pahit. Sikap keterlaluan? Sikap yang seperti apa? Itu bukan hanya keterlaluan, tapi memuakkan, menjijikkan.

“Kalau kamu mau berbagi, barangkali beban kamu akan lebih ringan.”

Andin meremas tangan sahabatnya.

“Tapi aku tidak memaksa.”

Taksi berhenti didepan sebuah gerbang yang kokoh. Ada tulisan dr. Faris Wijaya, Ahli Penyakit Dalam, praktek jam 5 sore sampai jam 8 malam.

“Ayo masuk,” Aisah menggandeng tangan sahabatnya. Andin mengikutinya dengan berdebar. Rasa was-was menghantuinya. Bagaimana kalau dokter itu menolaknya?

Baru saja Aisah mengajaknya naik ke teras, dilihatnya seorang laki-laki dengan jas praktek putih keluar dari sebuah ruangan.

Andin terpana. Dokter itu masih muda, tampan, bermata teduh. Andin menundukkan wajahnya ketika dokter itu menatapnya..

***

Besok lagi ya.

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...