Tuesday, December 31, 2019

DALAM BENING MATAMU 76

DALAM BENING MATAMU  76

(Tien Kumalasari)

Adhit masih memegangi ponselnya, sampai bu Broto menutup pembicaraan itu. Dewi menatap sahabatnya dengan heran.

"Ada apa Dhit?"

"Dari eyang, katanya Anggi pingsan," jawab Adhit kemudian menutup ponsel dan memasukkannya kembali ke saku. Adhit berdiri, seperti orang bingung.

"Adhit, tenangkan hatimu, cepat pulang, tapi hati-hati dijalan ya."

Adhit mengangguk, kemudian berjalan kearah mobilnya, dan menjalankannya keluar dari halaman.

Dewi kembali masuk kedalam toko. Mirna masih duduk di kursi belakang toko. Tadi Dewi sengaja berbohong dengan mengatakan Mirna sudah pulang karena Mirna yang memintanya.

"Dia sudah pulang mbak?" tanya Mirna.

\"Sudah, baru saja bu Broto menelpon, katanya   Anggi pingsan."

Mirna tampak terkejut.

"Pingsan? Apa dia sakit? Tadi sepertinya baik-baik saja, tapi... entahlah kalau memang sudah merasa nggak enak badan lalu ditahannya."

"Mungkin juga."

"Kasihan dia."

"Kisah ini sangat rumit difikirkan, Mirna, kuatkanlah hatimu. Kalian saling mencintai tapi tidak bisa saling memiliki."

Mirna menghela nafas. Dia baru saja mendengar bahwa Adhit mencintainya. Dari Anggi lalu yang barusan terdengar.. dari Dewi. Apa itu benar? Ada sekilas rasa bahagia yang membuncah. Aduhai, saling mencintai? Itu kan kata-kata yang sangat indah? Tapi kemudian Mirna menjadi sedih, karena kata berikutnya adalah tidak bisa saling memiliki. 

"Mirna," lembut kata Dewi, sambil mengelus pundaknya.

"Memang cinta tidak harus saling memiliki. Tapi kalau dia bahagia, bukankah kamu juga akan bahagia?"

"Tentu saja mbak," jawab Mirna sedih.

"Itulah cinta yang sebenarnya cinta. Seperti cintanya Anggi pada suaminya bukan?"

Mirna teringat kata-kata Anggi, bahwa dia ingin Adhit bahagia. Benar, Anggi mencintai suaminya dengan sepenuh hatinya. Ikhlas berkorban walau hati tersakiti. Diam-diam timbul rasa hormat dihati Mirna terhadap Anggi.

"Tolonglah mbak..." terngiang kembali kata-kata Anggi. Tolong menikahlah dengan suamiku. Aduhai, itu pertolongan yang sulit dilakukan. Walau hati ingin tapi tak mungkin dia tega melakukannya. Biarlah Anggi dan dirinya kesakitan. Itu benar, Anggi sakit karena ternyata suami yang dicintainya tidak mencintainya. Mirna sakit karena tak bisa memenuhi keinginan Anggi sementara sebenarnya dia juga cinta. Dan benar juga kata Dewi, ini kisah yang sangat rumit.

***

Ketika Adhit sampai dirumah, sudah ada dokter didalam kamarnya. Anggi tergolek pucat, tapi sudah sadarkan diri. Melihat suaminya datang, Anggi hanya melihat sekilas, kemudian dipejamkannya kembali matanya.

"Ada apa isteri saya dok?"

"Nggak apa-apa, jangan khawatir, dia hanya merasa tertekan, entah karena apa," jawab dokter yang sudah mengemasi semua peralatannya dan siap untuk pergi.

"Tertekan?"

"Mungkin tertekan, mungkin kecapean. Tensinya agak tinggi. Tapi saya sudah memberikan resepnya."

"Ini resepnya Dhit, sudah eyang bawa," sahut bu Broto.

"Baiklah dok, nanti segera saya belikan obatnya. Terimakasih banyak."

"Sama-sama pak Adhitt, untuk sementara dia harus istirahat dulu, saya sudah memberinya suntikan penenang.Oh ya, tampaknya dia juga belum makan, tubuhnya lemas."

"Sekali lagi terimakasih dok, nanti saya suruh dia makan," kata Adhit yan kemudian berjalan mengikuti dokternya keluar kamar, langsung menuju mobilnya.

Ketika Adhit kembali ke kamar, dilihatnya Anggi masih memejamkan matanya. Bu Broto duduk disamping pembaringan, tampak khawatir.

"Sebenarnya ada apa eyang? Apakah dia terjatuh lalu pingsan?"

"Nggak, dia menunggui eyang makan, eyang suruh ikut makan katanya nanti menunggu kamu pulang. Eyang suruh makan apapun dia nggak mau. Ya sudah, eyang makan sendiri karena eyang kan harus minum vitamin yang dibelikan Ayud, dan itu diminum sing sesudah makan."

"Dia bilang pusing, atau apa...gitu?"

"Dia nggak bilang apa-apa, tapi eyang melihat wajahnya memang pucat, apa dia habis menngis ya, entahlah, eyang hanya men duga-duga. Tiba-tiba saja kepalanya terjatuh dimeja, lumayan keras. Eyang terkejut, rupanya dia [ingsan. Dengan Supi eyang mengangkatnya kekamar, Lalu eyang memanggil dokter, lalu menelpon kamu."

Adhit menghela nafas, ielusnya kepala Anggi, entah apa yang difikirkannya.

"Apa kalian bertengkar?"

"Enggak, eyang."

"Sudah beberapa hari ini sikapnya aneh. Eyang nggak pernah nanya, karena eyang nggak mau ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian. Suami isteri bertengkar itu wajar kan."

Adhit tak menjawab. Ia ingat kata dokternya tadi, Anggi tertekan? Karena apa? Adhit juga merasa bersalah sejak di menyebutkan nama Mirna ketika sedang bercinta dengan isterinya. Aku memang gila, mengapa yang aku bayangkan adalah dia? Kata batin Addhit.

"Dhit, segera kamu belikan obatnya di apotik. Ini resepnya," kata bu Broto sambil mengulurkan selembar kertas resep.

"Baiklah eyang, Adhit pergi dulu. Kalau dia terbangun, cona eyang suruh dia makan."

"Benar, eyang lihat dari pagi dia belum makan sesuatu pun. Baiklah, nanti eyang suruh dia makan, kalau perlu eyang paksa."

***

Dalam perjalanan ke apotik itu pikiran Adhit melayang ke mana-mana. Dia merasa sangat bersalah, tapi bagaimana melupakan Mirna? Mengapa tiba-tiba Mirna hinggap dihatinya dan sulit dilupakannya? Dan Anggi, mengapa juga dia memaksanya menikah dengan Mirna, bahkan mendatangi Mirna dan memintanya agar mau menikah dengannya.

Adhit menghela nafas, gelisah bukan alang kepalang.Apakah sakitnya Anggi karena memikirkan keinginannya agar dirinya menikah dengan Mirna? Ya Tuhan, mana mungkin dia bisamelakukannya? Dan Mana mungkin Mirna juga mau walau dipaksa sekalipun?

Adhit terkejut ketika tiba-tiba mobilnya entah sampai dimana. Adhit menghentikannya ditepi jalan. Bukankah apotik yang ditujunya sudah lewat? Ya Tuhan, karena melamun Adhit mengemudikan mobilnya tak menantu. Ia menunggu sepi, kemudian memutar balik mobilnya.

***

Ketika membuka matanya, Anggi melihat yu Supi sedang berdiri didekatnya. Ia baru saja meletakkan nampan berisi sup hangat dimeja.

"Yu Sumi..."

"Ya bu, tapi nama saya Supi... bukan Sumi lho,' kata Supi sambil tersenyum.

"Iya yu, habis eyang sering memangil Sumi."

"Bu sepuh sering menyebut saya Sumi, padahal Sumi itu pembantunya yang sebelum saya. Tapi nggak apa-apa bu. Iya, ibu harus makan, ini sudah saya siapkan."

Tapi Anggi menggelengkan kepalanya.

"Kan ibu belum makan dari pagi. Sebentar, saya ambilkan sedikit nasi dan sup ya, masih hangat, nanti pasti ibu segera sehat kembali," kata Supi yang kemudian mengambil mangkok kecil berisi sup hangat, lalu membubuhkan sedikit nasi kedalamnya.

"Ini bu, saya suapi ya?"

Tapi Anggi kemudian mencoba bangun. Supi membantunya duduk. 

"Sudah kuat duduk bu?"

"Aku mau makan diluar sana saja, dimeja makan," kata Anggi sambil turun dari ranjang. Supi membantunya.

"Ibu tidak apa-apa?"

"Aku bisa, biar aku berjalan sendiri. Bawa saja makanan itu ke meja makan." kata Anggi yang kemudian mencoba melangkah perlahan. Kepalanya terasa berputar. Anggi berhenti sebentar, bersandar pada pintu kamar, sementara Supi sudah keluar dengan membawa makanan yang tadi disiapkannya.

Anggi melangkah lagi setelah merasa denyut di kepalanya berkurang. Ia sampai di meja makan, dan dilihatnya bu Broto sudah duduk disana.

"Mengapa makan disini Anggi? Kamu masih pucat, sebaiknya di kamar saja."

"Nggak apa-apa eyang, Anggi nggak sakit kok, cum sedikit pusing," jawab Anggi sambil duduk dikursinya.

"Pusing itu kan gejala suatu penyakit?"

"Nggak eyang, Anggi sudah baik kok."

"Ya sudah, makan dulu, lalu kembali ke kamar ya?"

Adhit heran ketika pulang dari apotik dilihatnya Anggi duduk diruang makan.

"Anggi, kamu nggak apa-apa?"

"Aku baik-baik saja mas," jawabnya sambil menyilangkan sendok garpunya, pertanda ia sudah selesai makan.

"Sudah selesai makan?" tanyanya sambil mengelus kepala Anggi.

"Makan, cuma sedikit, itupun karena dipaksa," kata bu Broto menimpali.

"Kenapa Anggi?"

"Perutku agak mual, jadi nggak pengin makan.Aku mau kembali ke kamar."

"Baiklah, ayo aku antar ke kamar," kata Adhit yang kemudian membantu Anggi berdiri lalu menuntunnya ke kamar.

"Biar aku berjalan sendiri," 

"Tidak bisa, kamu lemas begitu. Lihat, ini sudah aku belikan obatnya, nanti sebelum berbaring kamu harus minum obatnya dulu."

Adhit memberikan obatnya, sementara Anggi duduk ditepi pembaringan.

"Obat apa ini?"

"Sudahlah, ini yang dokter berikan. Kata dojter tensi kamu tinggi, lalu kamu tertekan, benarkah?"

"Aku nggak apa-apa," katanya sambil berbaring setelah menelan obatnya.

"Kamu jangan berfikir yang macam-macam Anggi, aku adalah suamimu, dan akan tetap menjadi suami kamu."

Anggi ddiam saja, seandainya kata-kata itu disertai rasa cinta, alangkah bahagianya. Tapi tidak, ia sudah tau bahwa Adhit tidak mencintainya. Menjadi seorang suami hanya karena status. Karena dia memintanya karena iba. Anggi memejamkan matanya, mencoba menahan perasaannya agar air mata tak meleleh membasahi pipinya.

"Tidulah, dan jangan berfikir yang bukan-bukan, aku menungguimu disini," kata Adhit sambil mengelus kepala Anggi.

Bu Broto masuk kedalam kamar. Dilihatnya Anggi sudah tertidur, dan Adhit mengelus kepalanya lembut.

"Kalau butuh apa-apa, panggil Sumi biar meladeni isterimu."

"Ya eyang, nanti saya panggil bi Supi."

"Ya, Supi, selalu masih kebawa untuk menyebut nama Sumi."

Bu Broto keluar kamar, Adhit masih mengelus kepala Anggi. 

Dalam hati Adhit sungguh merasa bersalah. Ia tak harus bersikap seperti itu. Ya Tuhan, tapi mengapa sangat sulit melupakannya?

Adhit turun dari tepi pembaringan ketika desah nafas Anggi terdengar halus. Berarti Anggi sudah tertidur. Tapi ketika akan keluar dari kamar, pintu kamar terbuka, dan bu Broto masuk bersama bu Susan.

"Dhit, tadi aku juga mengabari mertuamu," kata bu Broto.

Anggi mencium tangan bu Susan.

"Ada apa dia?"

"Kata dokter tensinya agak tinggi, tapi sudah minum obatnya, sekarang dia tertidur ma."

"Mama khawatir, tampaknya Anggi mencurigai kamu selingkuh dengan Mirna," kata bu Susan tiba-tiba.

Bu Broto terkejut, Adhit melepaskan tangan mertuanya yang semula digenggamnya.

***

besok lagi ya

 

















Monday, December 30, 2019

DALAM BENING MATAMU 75

DALAM BENING MATAMU 75

(Tien Kumalasari)

Mirna menggenggam pegangan kursi dengan erat. Matanya nanap menatap Anggi yang juga menatapnya tajam.

"Bu Anggi bilang apa?" tanyanya dengan suara bergetar.

"mBak Mirna, aku ber sungguh-sungguh. Mas Adhit mencintai mbak Mirna."

"Aap...apa?" Mirna terkaget-kaget.

"Itu benar, mas Adhit tiak mencintai aku, mbak Mirna yang dicintainya. Itu sebabnya aku minta mbak Mirna mau menikah dengan mas Adhit."

"Tidaaaak... tidaak bu Anggi, itu mustahil. Tidak mungkiin..."

"Itu benar, aku mohon. Aku ingin melihat mas Adhit bahagia. Sungguh, aku rela, aku ikhlas berbagi mbak, tolong.. penuhilah permintaanku," sekarang Anggi berlinangan air mata, memelas. 

"Tidak bu, tidak.. jangan teruskan, pak Adhit milik mbak Anggi, saya tak akan mengganggunya, mana mungkin bu, jangan begitu. Tolong jangan lanjutkan."

"mBak Mirna, aku mohon."

"Mana mungkin seorang wanita rela berbagi cinta, berbagi suami. Tidak.. tolong bu Anggi, ayolah, saya bukan perempuan yang ingin merusak rumah tangga bu Anggi, sungguh, jangan begitu bu." kata Mirna sambil berdiri, lalu memegangi tangan Anggi dengan erat. Basah tangan itu, oleh keringat dingin yang membanjir.

Anggi berdiri, memeluk Mirna sambil menangis.

"Aku ingin suamiku bahagia mbak, tolonglah.."

"Jangan bu, saya mohon. Sekarang pulanglah, dan pikirkan kembali keinginan bu Anggi itu," kata Mirna sambil menggandeng tangan Anggi, seperti memaksanya pergi.

"mBak Mirna..."

"Lakukan yang terbaik untuk suami, bukan dengan mencarikan isteri lagi. Ibu akan menyesal nanti, percayalah."

"Tidak mbak Mirna, aku tak akan menyesal. Tolong..."

"Pulanglah mbak, dan endapkan pikiran itu, pasti nanti akan ada jalan terbaik untuk rumah tangga ibu."

Anggi akhirnya pergi, berjalan keluar dari halaman toko sambil mengusap air matanya yang menitik turun.

Mirna masuk kedalam toko dengan tubuh gemetaran. Seperti mimpi mendengar seorang isteri mencarikan lagi isteri lain untuk suaminya. Itu hanya ada didalam dongeng. Di pewayangan, Dewi Sembadra rela suaminya menikahi Srikandi, bahkan banyak isteri-isteri lainnya. Tapi itu kan cerita wayang. Mirna terduduk dikursi masih dengan tubuh gemetaran. Memang benar dia jatuh hati sama Adhit, sudah bertahun lalu, dan tak pernah bisa menghilangkan rasa itu, tapi merebut Adhit dari isterinya? Tidak, Mirna tidak sejahat itu. Ia mengira Anggi sedang emosi, dan berharap bisa mengendalikan perasaannya, menghilangkan keinginan yang sangat menakutkan itu.

Ketika Dewi pulang dari mengantar Bima, ia terkejut melihat Mirna masih terduduk dikursi belakang. Wajahnya pucat pasi, dan ada air mata mengambang di pelupuknya.

"Mirna, ada apa?"

Tak tahan menanggung resah yang melandanya, Mirna berdiri dan menubruk Dewi, menangis seesenggukan disana.

"Mirna... ayu duduklah, ceritakan ada apa.."

Dewi menuntuk Mirna agar duduk supaya lebih tenang. Ada segelas air putih dimeja, diulurkannya pada Mirna. Mirna meneguknya, masih dengan pipi basah oleh air mata.

"Tadi bu Anggi kesini," bisiknya pelan.

"Anggi? Dia memarahi kamu ?"

Mirna menggeleng.

"Lalu kenapa?"

"Dia minta agar saya mau menikah dengan pak Adhit."

Dewi terhenyak mendengarnya. Tak percaya, ia menatap Mirna lekat-lekat.

"Itu benar. Mana mungkin saya bisa melakukannya?"

"Kamu menolak?"

"Mana mungkin saya menerima. Biar saya jatuh hati sama pak Adhit, mana mungkin saya merebutnya dari iserinya?"

Dewi tak melepaskan pandangannya pada Mirna. Dengan tanpa ditanya Mirn sudah membuka apa yang dirasakannya. Jadi benar, dia jatuh hati sama Adhit. Aduuh... sungguh rumit.

"Jadi benar, kamu mencintai Adhit?"

Mirna menunduk. Air matanya sudah tak lagi menetes turun. Lebih tenang setelah bisa berbicara dengan Dewi. Tapi ia terkejut ketika tanpa sadar membuka isi hatinya. Apa boleh buat, semuanya sudah terlanjur. Salahkah kalau dirinya mencintai seseorang, dan seseorang itu adalah Adhit?

"Mirna..."

"Ya mbak, terus terang saya mengatakan, bahwa sudah lama saya mencintai dia, tapi apalah saya ini, hanya seorang yang tak punya derajat, hanya anak seorang tukang bangunan. Saya seperti pungguk merindukan bulan," katanya pilu.

"Mirna, jatuh cinta itu tidak salah. Cinta boleh menghinggapi hati siapapun juga, tak perduli dia punya derajat atau tidak. Aku kagum sama kamu, karena bsa memendam perasaan selama itu."

"Saya kan harus tau diri mbak. Tapi tadi itu, mengapa ya bu Anggi bilang begitu?"

"Apa dia marah sama kamu?"

"Enggak bu, dia malah me mohon-mohon supaya saya bersedia. Mana mungkin saya bisa melakukannya."

"Ada apa dengan keluarga itu?"

"Saya takut bu, bagaimana kalau saya mohon ijin untuk tidak masuk kerja selama beberapa hari? Saya takut bu Anggi datang lagi, atau terjadi hal yang sangat saya takuti."

"Baiklah Mirna, beristirahatlah selama beberapa hari untuk menenangkan hati kamu. Aku akan berusaha menemui Adhit dan menanyakan apa yang terjadi."

***

"Anggi, kamu dari mana ?" tanya bu Broto karena Anggi pergi tanpa pamit.

"Ma'af eyang, tadi cuma ingin jalan-jalan saja, jadi nggak pamit sama eyang."

"Jalan-jalan kemana? Kok ngajak eyang.."

"Cuma muter-muer disitu saja. Pengin beli sesuatu, tapi kok nggak ada yang menarik."

"Mau beli apa kamu? Makanan? Dirumah kan banyak makanan. Tuh, kue-kue buatan eyang, juga oleh-oleh dari Ayud kemarin. Enak lho."

"Iya sih eyang, memang enak, tapi Anggi pengin yang bukan roti atau kue-kue. Singkong goreng misalnya."

"Kalau siang begini jarang ada yang jual  singkong goreng. Kalau sore banyak."

"Oh, iya eyang, bener, pantesan tadi Anggi sudah berjalan jauh nggak ketemu."

"Kalau ingin sekali, nanti kalau suami kamu pulang, bilang saja. Sepulang dari kantor kan dia bisa beli untuk kamu."

"Iya benar eyang, nanti Anggi bilang deh."

"Ini sudah jam berapa, kok Adhit belum pulang makan?"

"Mungkin masih banyak yang harus dikerjakan eyang."

"Kalau begitu ayo kita makan sendiri saja, kasihan pasti kamu sudah lapar."

"Eyang saja yang makan, biar Anggi temani, nanti Anggi akan makan kalau mas Adhit sudah pulang."

"Iya, so'alnya eyang kan haus minum vitamin-vitamin, dan itu harus diminum setelah makan."

"Kalau begitu eyang harus makan sekarang, ayo Anggi temani."

Namun bu Broto menangkap sesuatu yang lain diwajah Anggi. Apakah Anggi sedang sedih? Bu Broto ingin menanyakannya, tapi diurungkannya. Ia tak ingin mencampuri urusan rumah tangga cucunya, walau ia tau ada yang ttidak seperti biasanya.

"Kamu nggak mau makan sesuatu? Tahu bacem ini enak lho, makanlah, kan kamu sendiri yang masak."

"Tadi kan Anggi sudah makan eyang, memang enak, eyang yang kasih bumbunya, jadi pasti enak."

"Adhit sangat suka tahu bacem buatan eyang. Nanti dia pasti senang kalau tau kamu yang memasak."

Anggi hanya tersenyum. Ia tau bahwa sa'at ini Adhit tak akan perduli akan sesuatu masakan. Ia sedang bingung dan menyesali langkahnya untuk melamar dirinya beberapa bulan lalu. Alangkah sakitnya. Tapi Anggi tak ingin larut dalam ketidak berdayaannya. Ia harus melakukan sesuatu demi kebahagiaan suaminya, biarpun hatnya terluka.

 Namun siang itu Adhit memang tidak pulang untuk makan siang. Ia sedang menuju ke toko Dewi, nggak tau mengapa, karena mobilnya seakan berjalan sendiri kearah sana. 

"Aku sudah gila." bisiknya sambil berhenti duhalaman toko. 

Karena ragu-ragu tak tau harus melakukan apa, Adhit memutar kembali mobilnya, ingin pergi dari sana. Tapi tiba-tiba didengarnya sebuah tepukan tangan, dan suara memanggil namanya.

"Adhit !!"

Adhit menghentikan mobilnya. Lalu didengarnya langkah-langkah mendekat.

"Kok balik ?"

"Iya, aku kesasar," kata Adhit sekenanya.

"Turunlah, aku mau bicara."

Tapi Adhit tak mau turun. Ia bingung kalau ketemu Mirna harus bersikap bagaimana, sementara jauh dilubuk hatinya ia sangat ingin melihatnya, memandangi matanya yang bening seperti sepasang bintang, atau....

"Adhit, turunlah, sebentar saja. Kamu seperti orang bingung begitu, ayo kita bicara," kata Dewi setengah memaksa.

Adhit membuka pintu mobilnya, lalu turun.

"Ayo kita duduk dibawah pohon jambu itu saja," kata Dewi sambil menunjuk kearah pohon jambu, dimana ada bangku2 dibawahnya. Kalau udara panas Dewi sering duduk-duduk disana untuk mencari angin.

Adhit seperti  anak kecil digandeng Dewi lalu diajaknya duduk disana. Tak ada suara keluar dari mulutnya.

"Ada apa dengan dirimu?"

"Nggak ada... memangnya ada apa?"

"Lihat kelakuanmu, masuk ke pekarangan orang, lalu muter dan mau kabur, itu kan sikap orang kebingungan ?"

Adhit tak menjawab, tapi diam-diam kepalanya melongok kearah toko, sayangnya Dewi mengetahui kelakuannya itu.

"Kamu mencari siapa? Mirna? Dia sudah pulang," kata Dewi tegas.

"Pulang? Jam berapa emang?"

"Dia sakit, aku suruh dia pulang. Memangnya kenapa?"

"Sakit apa dia?"

"Sakit hati."

"Apa?"

"Tadi isteri kamu datang kemari."

"Apa? Lalu apa terjadi sesuatu antara dia dengan Mirna? Anggi marah-marah, begitu? Atau melabrak Mirna?"

"Tidaaaak... tidaaak. Isterimu terlalu baik untuk marah. Kalau itu aku, pasti aku sudah ngamuk dan menghajar kamu habis-habisan."

"Dewi, apa maksudmu?"

"Anggi tidak marah. Dia minta agar Mirn a mau menjadi isterimu."

"Apa? Anggi bilang begitu?"

"Ya, apa itu kemauan kamu?"

"Tidak, bukan aku... aku bingung atas sikap Anggi. Dia itu..." 

Pembicaraan itu terhenti karena ponsel Adhit tiba-tiba berdering.

"Jawab dulu, dari siapa," kata Anggi.

"Dari eyang, tumben eyang menelpon."

Adhit membuka ponselnya.

"Adhit, kamu dimana?" Eyang... Adhit sedang... sedang..." pembicaraan itu terhenti karena bu Broto menyampaikan sesuatu yang mengejutkannya.

"Cepat pulang, isteri kamu pingsan.,"

 ***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 
















Saturday, December 28, 2019

DALAM BENING MATAMU 74

DALAM BENING MATAMU  74

(Tien Kumalasari)

Adhit terkejut, ada perasaan nggak enak ketika tiba-tiba bu Susan mendekati mereka. Mirna segera berlalu sambil membawa bungkusan belanjaannya, setelah mengangguk hormat pada bu Susan.

"Nak Adhit kok disini? Nggak ke kantor ?" tegur bu Susan penuh selidik.

"Ke kantor ma, tadi pas keluar, ketemu Mirna membawa belanjaan berat, lalu Adhit mengantarnya. Kebetulan Dewi kan sahabat baik Adhit sejak jaman kuliah dulu." jawab Adhit memberi alasan.

"Oh, iya, nak Dewi juga pernah cerita."

"Mama mau belanja?"

"Iya, pegawe nggak masuk, lagi butuh sesuatu," jawab bu Susan sambil melangkah ke arah toko. Ada perasaan nggak enak melihat sikap Adhit terhadap Mirna tadi. Seperti tidak wajar, seperti sepasang anak muda saling mencintai. Ya Tuhan, apakah ini ada hubungannya dengan tangis Anggi pagi tadi? pikir bu Susan.

Adhit juga menuju ke arah toko, tapi ia langsung masuk kedalam, untuk menemui Dewi.

"Dhit, ini kebetulan atau kamu memang sengaja menemui Mirna?" tanya Dewi sok tau.

"Apa maksudmu? Aku lagi keluar kantor, melihat Mirna sedang mencari taksi dan menjinjing belanjaan. Wajar dong kalau aku menolongnya."

"Hm.. gitu ya.." kata Dewi sambil tersenyum, tapi senuman itu seperti menyembunyikan sesuatu.

"Hei, kenapa senyum-senyum begitu?"

"Nggak apa-apa, masa aku nggak boleh senyum sih," jawab Dewi dengan masih tetap tersenyum.

"Senyummu itu aneh.."

"Aneh bagaimana? Ayo duduklah dulu, biar aku buatkan teh."

"Nggak usah, aku mau pamit. Mana Mirna?"

"Itu, lagi melayani mertua kamu,"

Adhit menuju kearah depan, berpamit pada Mirna.

"Mirna.."

Hm, panggilan itu mengapa begitu menusuk hati Mirna, sangat merdu dan menghanyutkan. Mirna yang sedang melayani bu Susan menoleh.

"Aku mau balik ke kantor."

"Oh, baiklah, terimakasih pak," jawab Mirna sambil memasukkan barang yang dibeli bu Susan kedalam tas plastik. Adhit berlalu dan meninggalkan senyuman manis. 

Adhit yng keluar dari toko menghampiri bu Susan.

"Ma, belanjaannya perlu Adhit bawakan?" dhit manawarkan jasa untuk menutupi rasa sungknnya.

"Nggak usah nak, cuma sedikit saja," jawab bu Susan sambil mengulurkan uang kepada Mirna atas belanjaannya.

"Adhit balik ke kantor dulu ma,"

"Ya nak, hati-hati," jawab bu Susan tanpa menoleh ke arah Adhit. Ia sibuk menerima kembalian uangnya dan barang belanjaannya, sementara Adhit sudah naik ke mobilnya dan berlalu.

Namun begitu meletakkan belanjaannya sesampai dirumah, bu Susan menelpon Anggi.

"Hallo ma, ada apa,"

"Lagi ngapain kamu Nggi?"

"Ini.. lagi bantuin eyang memasak, tapi sudah selesai, ada apa ma?"

"Ibu tadi ketika belanja ke toko bu Dewi, melihat suamimu baru saja datang."

"Mas Adhit? Datang bagaimana ma?"

"Ya datang, bersama Mirna," kata bu Susan sambil menekankan kata Mirna. Pertanda ia tak suka melihat pemandangan seperti tadi.

Sejenak darah berdesir di hati Anggi. Bagaimanapun Adhit adalah suaminya. Biar dimulut berkata rela, tapi alangkah sakit jiwa ini, batin Anggi.

"Anggi, kamu masih disitu?" tegur bu Susan karena Anggi terdiam.

"Oh, iya ma, ini.. sambil menuang sayur kedalam panci," jawab Anggi berbohong. Sungguh sebenarnya hatinya terguncang. Ternyata walau bersikap menolak, diam-diam juga menemui Mirna. Siapa yang nggak sakit hati coba? Namun Anggi perempuan yang luar biasa. Ia bisa menutupi luka batinnya dengan bersikap seperti biasa saja.

"Oh, kirain kamu pingsan," kata bu Susan kesal.

"Mama ada-ada saja, nggak ma.. Anggi mendengarkan. Iya, tadi mas Adhit bilang mau kerumah mbak Dewi.

Nah, kan, jawabannya salah.

"Dia datang sehabis mengantar Mirna berbelanja," kata bu Susan mengubah keterangan yang tadi Adhit katakan, yaitu ketemu dijalan lalu membantu mengantarnya.

"Iya ma, nggak apa-apa, mas Adhit itu kan sahabatan sama mbak Mirna, dan juga mbak Dewi."

"Ah, kamu, mama pikir kamu akan marah, kamu nggak cemburu?"

Tanpa diduga Anggi tertawa lirih. Ada tangis ditahannya tapi diperdengarkannya tawa kepada ibuna, untuk menunjukkan bahwa batinnya tidak terluka.

"Mas Adhit itu suami Anggi, sudah menjadi milik Anggi, untuk apa cemburu? Ya sudah ma, nanti Anggi telephone lagi ya, sekarang mau menyelesaikan pekerjaan Anggi dulu."

Bu Susan menutup ponselnya. Ia tak tau bahwa Anggi bukannya berada didapur, tapi dikamarnya. Ia juga tak tau bahwa Anggi sedang tersedu memeluk bantalnya.

"Mas, aku mencintaimu, aku ingin melihat kamu bahagia..., nggak penting seandainya hatiku sakit dan terluka, yang terpenting adalah dirimu," bisiknya diantara sedu sedan yang memilukan.

Ketika tiba-tiba terdengar ketukan dipintu kamarnya, Anggi buru-buru mengusap air matanya. Tapi pasti terlihat sembab karena dia habis menangis, Anggi bangkit dan duduk.

"Anggi, kamu tidur?"

Anggi menata perasaannya dan menjawab supaya kelihatan wajar.

"Iya eyang, Anggi mau tidur sebentar saja."

"Tapi kayaknya suami kamu pulang untuk makan."

"Oh ya, sebentar eyang."

Bu Broto menjauh setelah mendengar jawaban Anggi. Tapi tak lama kemudian pintu diketuk kembali. Ia tau suaminya yang datang. Apa boleh buat. Ia bangkit dan membuka pintu, tapi segera melangkah kearah kamar mandi untuk mencuci mukanya. Ia tak ingin suaminya melihatnya menangis.

"Anggi," panggil Adhit begitu masuk kekamar.

"Sebentar mas," teriak Anggi dari dalam kamar mandi.

Adhit terduduk di tepi ranjang. Hatinya gelisah bukan alang kepalang. Ia benci pada perasaannya sendiri, tapi ia tak mampu menghindari. Aku sungguh lemah, bisiknya sedih.

Ketika Anggi keluar dari kamar mandi, dilihatnya wajahnya pucat. Ada sembab yang tersisa, apakah isterinya baru saja menangis? Atau sisa tangisan pagi tadi? Adhit tak mampu membuka mulutnya untuk bertanya.

"Ma'af tadi aku tertidur. Rasanya ngantuk sekali," ujarnya pelan sambil mengelap wajahnya dengan handuk.

"Anggi, aku tadi ketemu Mirna," kata Adht pelan.

"Oh ya.. "

"Dia habis berbelanja, lalu aku mengantarnya ketoko Dewi."

"Bagus lah mas, belanjaan mbak Dewi pasti banyak dan berat. Bagus kalau mas membantunya."

Adhit terdiam. Ia mendengar nada suara yang biasa saja. Ia tau pasti bu Susan telah bercerita, tapi Anggi seperti tak terpengaruh apapun.

"Seperti ermintaan aku, mas harus sering mendekati Mirna, aku rela berbagi mas."

Adhit menarik tubuh Anggi dan memeluknya erat. Anggi tak bereaksi. Ia merasa pelukan itu seperti ucapan terimakasih yang dilontarkan karena ucapannya agar mendekati Mirna. Ada darah menetes, tapi Anggi sungguh pintar menutupinya. Apakah hatinya terbuat dari batu? Tidak, ia tau ada luka menganga, namun tak ada jerit kesakitan.

"Ma'afkan aku Anggi, sungguh aku tak ingin berpisah dari kamu," bisiknya ditelinga Anggi.

"Ayo kita makan, yu Sumi sudah menyiapkan dari tadi," kata Anggi sambil melepaskan pelukan suaminya, lalu melangkah keluar dari kamar.

Adhit menghela nafas, tapi ia kemudian mengikuti isterinya menuju ruang makan, dimana bu Broto sudah menunggu.

***

 Hari itu Mirna gelisah bukan alang kepalang. Sikap Adhit tadi sungguh luar biasa. Ia mencoba me raba-raba, apa sebenarnya maksudnya. Mengapa bersikap seolah dia menyukai dirinya? Tidak,  bos ganteng kan sudah punya isteri, Mirna merasa bermimpi.

"Mirna, mengapa semprot serangga kamu taruh didekat deretan sirup?" tegur Dewi tiba-tiba.

Mirna terkejut. Aduuh.. 

"Oh, ma'af mbak.. " katanya lalu bergegas mengambil obat semprot itu dan diletakkan ditempat yang semestinya.

"Hari ini kamu banyak membuat kesalahan Mirna. Sabun cuci kamu letakkan dirak susu," tegur Dewi lagi.

"Ya ampun mbak... ma'af.. ma'af..  kok aku bingung ya," kata Mirna sambil membenahi kesalahannya.

"Ada apa denganmu Mirna?"

"Ssaya.. nggak ada apa-apa, mungkin agak pusing..."

"Karena tadi ketemu Adhit?" Dewi berterus terang.

"Aaap..apa? Tidak... bukan... ma'af mbak.." jawab Mirna gagap.

"Aku tadi juga heran, sikap Adhit sedikit aneh ya? Aku menduga -duga saja, mungkin sebenarnya dia suka sama kamu," kata Dewi berterus terang.

Mirna terkejut, tumpukan sabun yang dijinjingnya terlepas dari tangannya, berserakan dilantai. Untuk tak ada bungkus yang pecah.

"Mirna... hati-hati.. Kemarilah sebentar, biar pembantu membereskannya."

Dewi menyuruh pembantunya menata dagangannya, lalu menarik Mirna duduk didepan mejanya.

"Duduk dan tenangkan hatimu. Aku melihat kamu sangat gelisah.hari ini. Dan aku juga melihat sikap Adhit yang aneh hari ini."

Mirna meneguk minuman yang disodorkan Dewi.

"Ma'af mbak, itu nggak ada hubungannya, saya hanya... mungkin agak pusing hari ini."

"Mirna, sebenarnya sudah sejak lama aku peringatkan Adhit, jangan diteruskan keinginannya melamar Anggi, tapi dia nekat, aku tau itu karena kasihan, tapi kalau kemudian ada sesal dihatinya, jadi kasihan Anggi kan?"

"Mengapa pak Adhit menyesal?"

"Kamu kan tau, Anggi tak akan bisa memberinya keturunan?"

"Tapi..."

"Adhit itu keras kepala. Kalau punya keinginan susah diendapkan. Dia itu sahabat aku sejak masih kuliah, jadi aku tau seperti apa dia. Dulu banyak gadis-gadis suka sama dia, tapi dia itu susah banget jatuh cinta. Semua ditolaknya. Lalu ketika ia benar-benar jatuh cinta, aku kira rak akan ada yang bisa menghentikannya."

Mirna mendengarkan dengan seksama, tapi ia tak menjawab apapun. Ia tak mengerti mengapa Dewi mengatakan semua itu padanya.

"Aku kira Adhit itu suka sama kamu."

Gelas yang dipegang Mirna hampir terjatuh dimeja. Ia meneguknya kembali, lalu menggeleng pelan.

"Ya nggak mungkin mbak.mBak Dewi ada-ada saja," kata Mirna sambil beranjak berdiri.

"Mirna.."

"Saya akan membantu membereskan barang-barang mbak."

"Sudah, biarkan saja, lebih baik kamu duduk disini untuk menenangkan hati kamu, biar anak-anak itu membereskannya.

***

Ber hari=hari setelah itu Mirna tak bisa melupakan ucapan Dewi. Ia yakin Dewi meng ada-ada. Tapi sikap Adhit sendiri mengapa begitu? Pandangan matanya, sikapnya, itu senyumnya itu.. ya Tuhan... apa itu benar? Mengapa setelah punya isteri dia bersikap seperti itu?

Lamunan Mirna terhenti ketika seseorang muncul didepan toko. 

"mBak Mirna.."

"Ya bu Anggi, apa yang bisa sayaa bantu?"

"mBak Dewi ada?"

"mBak Dewi sedang menjemput Bima, baru saja berangkat."

"mBak, boleh aku masuk ?" 

"Oh ya, silahkan, lewat sini bu," kata Mirna mempersilahkan. Tiba-tiba hatinya berdebar kencang. Ia mengira Anggi akan melabraknya, mungkin ia tau bagaimana sikapnya terhadap dirinya, atau bu Susah bercerita ketika melihat mereka sedang berduaan didepan sana.

"Silahkan duduk bu, ada pesan untuk mbak Dewi? Nanti saya sampaikan." kata Mirna sambil berusaha menenangkan hatinya. Ia mempersilahkan Anggi duduk di kursi tamu yang ada di toko  itu. Hatinya masih berdebar. Tapi sikap Anggi seperti tidak sedang marah. Mirna duduk didepannya.

"Bukan untuk mbak Dewi, tapi untuk kamu."

Mirna memagang pinggiran meja. Hatinya gelisah.

"Apa yang bisa saya bantu bu?" Mirna mencoba menenangkan hatinya 

"mBak Mirna, tolonglah saya,"

Mirna tak menjawab, menunggu dengan hati berdebar. Ia siap seandainya Anggi akan menegurnya, ia sudah menyiapkan jawabannya. Mana mungkin ia akan mengganggu rumah tangga Anggi dan Adhit?

"Mas Adhit itu tidak bahagia bersama saya. Ia hanya kasihan sama saya. Ia sesungguhnya menginginkan bisa memiliki anak, "

Mirna masih tak menjawab.

"Saya sungguh kasihan melihatnya, saya mencintainya, dan ingin melihatnya bahagia. Jadi tolonglah saya."

"Apa yang bisa saya bantu bu?"

"Menikahlah dengn suamiku mbak."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tuesday, December 24, 2019

DALAM BEENING MATAMU 72

DALAM BENING MATAMU  72

(Tien Kumalasari)

 

Anggi terkulai lemas. Ditariknya tubuhnya dari pelukan Adhit, ditariknya pula sehelai selimut yang semula berantakan, agar menutupi tubuhnya yang menggigil. Bukan karena kedinginan, tapi karena guncangan hebat ketika mendengar suara lembut yang terlontar dari mulut suaminya. Suara panggilan yang sangat manis, tapi bukan nama dirinya yang selema beberapa sa'at berayun bersama dalam lilitan cinta. Aduhai, tak tahan lagi ketika air mata terburai membasahi pipinya. Ditelungkupkannya tubuhnya dan membiarkan isaknya tertahan tertutup bantal.

Adhit terperanjat. Ia tak menyangka melakukan semua itu. Tak menyangka nama itu yang terlontar dari bibirnya, ketika nikmat merayapi sekijur tubuhnya. Ketika bunga-bunga api memercik menghiasi taman hatinya. Dipandanginya tubuh Anggi yang tertelungkup menahan isak, lalu dipeluknya erat. Namun Anggi mengibaskannya. Ia beringsut menjauh, bahkan hampir terjatuh dari pembaringan.

"Anggi, ma'afkan aku... ma'af ya," suara Adhit seperti merintih. Mana bisa ia menarik kembali desis manis yang terlontar dari bibirnya. Mengapa... mengapa.. beribu pertanyaan juga memenuhi benaknya.

"Anggi, ma'af ya, aku tak sengaja..."

Ya Tuhan, tak sengaja.. tapi suara itu bagaikan sebilah pedang yang men cabik-cabik segumpal hatinya, jiwanya, perasaannya.

"Aku mohon, ma'afkan aku Anggi.. aku berjanji... aku..."

"Jangan pernah berjanji !!" tiba-tiba Anggi membalikkan tubuhnya, mata yang basah itu menatap tajam suaminya dengan amarah yang tak tertahankan. Adhit merinding. Ia melihat api memancar dari sana, dari mata bening yang penuh berlinangan .

"Anggi...."

"Hentikan semua ini mas, hentikan!" suara Anggi hampir berteriak. Ia turun dari ranjang sambil menarik selumut untuk menutupi tubuhnya, lalu diambilnya baju yang semula berserakan, dan dikenakannya.

"Anggi..."

Namun dengan cepat Anggi masuk kekamar mandi. Adhit mengejarnya tapi Anggi sudah menguncinya dari dalam. 

Adhit terpaku didepan pintu. Didengarnya gemerecik air tak henti-hentinya, berbaur dengan isak Anggi yang terdengar sayup. Isak yang memilukan, berpacu dengan derasnya air yang mengucur.

Anggi mengenakan pakaiannya, dan terduduk ditepi ranjang. 

Mengapa aku ini... mengapa Mirna... mengapa Mirna... Ya Tuhan, apakah aku mencintainya? Inikah cinta? Aku belum pernah merasakannya.. mengapa aku ini...?Bisiknya lirih, sambil meng acak-acak rambutnya.

Ketika Anggi keluar dari kamar mandi, membalut tubuhnya dengan kimono, Adhit mendekatinya, tapi Anggi menghindar. Air matanya tampak sembab, basah dan kemerahan. Diam-diam Adhit merasa iba.

"Anggi..."

Namun rupanya Anggi sudah bisa menenangkan hatinya. Ia mengambil selembar handuk bersih dari dalam lemari, diulurkannya pada suaminya.

"Mandilah mas, aku akan buatkan teh panas buat mas," bisiknya pelan.

Adhit terpana. Ia mengira Anggi akan kembali mengumpatnya habis-habisan, mengungkit semua yang pernah diucapkannya, namun tidak. Ia menerima handuk itu, ingin kembali memeluknya tapi lagi-lagi Anggi menghindar.

Tak ada kata terucap lagi dari mulut Anggi. Ia membuka almari pakaian dan mengambil seperangkat baju pengganti, membiarkan Adhit berjalan kekamar mandi dengan langkah gontai.

Hari masih pagi menar, gelam masih menyelimuti alam yang terasa dingin beku. Adzan subuh belum terdengar, tapi Anggi sudah duduk di ruang tengah sambil menghirup teh hangat yang baru saja dibuatnya. Matanya masih tampak sembab, tapi tak ada lagi air bening yang mengaliri pipinya. Anggi barangkali perempuan yang luar biasa. Sekejap tangisnya me=ledak-ledak, tapi tak lama kemudian ia berhasil menenangkan dirinya. Setidaknya itulah yang tampak, walau mungkin hatinya bagai dirajang  ber keping-keping.

Ketika Adhit keluar dari kamar, dengan rambut masih basah, tapi dengan pakaian yang bersih dan wangi, Anggi beringsut dari duduknya. Karena ia tau Adhit akan duduk disampingnya seperti biasa dilakukannya.

Adhit membiarkannya. Wajahnya tampak murung, mungkin penuh sesal.

"Minumlah teh nya, masih hangat," Kata Anggi sambil menghirup lagi tehnya, kemudian bangkit berdiri.

"Anggi..."

"Aku mau berganti pakaian. Ingin jalan-jalan ke pasar pagi-pagi," ujarnya sambil berlalu.

"Hari masih gelap Anggi," teriak Adhit karena Anggi sudah hampir memasuki kamar.

"Nggak apa-apa, dijalan sudah banyak lalu lalang," jawabnya lalu menutup pintunya, bahkan menguncinya, jangan sampai Adhit menyusulnya dan mengatakan apapun, karena Anggi tak ingin mendengarnya.

Adhit menyandarkan tubuhnya di sofa, matanya menerawang jauh, teringat apa yang baru saja terjadi, serasa seperti mimpi.

Mirna... Mirna... Mirna..... mengapa Mirna?

Adhit bahkan tak menyadari bahwa Anggi sudah keluar dari rumah, dan berjalan menyusuri kegelapan menjelang pagi itu.

***

Tapi benarkah hati Anggi sekuat batu? Dengan mudah dia bisa mengendapkan perasaan hatinya yang bergolak, amarahnya yang memuncak, dan sakit hatinya yang bagai ter iris-iris? Tidak, disepanjng langkahnya yang gontai, terburailah air mata yang seperti ditumpahkan dari sumbernya. Lelah Anggi mengusapnya, dan air mata itu terus saja mengalir. Tersaruk langkahnya, menatap kearah jalanan ber aspal yang dipijaknya. Sesekali terdengar isaknya, dan terguguk se-sa'at membuat pundaknya berguncang perlahan.

Beruntung belum banyak orang ber lalu-lalang. Anggi terus saja melangkah, entah kemana kaki akan membawanya. Barangkali dengan terus berjalan, akan tuntaslah semua derita yang disandangnya. 

***

Ketika terbangun, bu Broto terkejut melihat Adhit tertidur disofa diruang tengah. Bu Broto juga melihat sisa-sisa teh di dua cawan yang tergeletak di meja. Ditebarkannya pandangannya ke sekeliling, tapi tak ditemukannya Anggi. Bu Broto berjalan kearah kamar barangkali Anggi masih tertidur, atau sedang apa. Namun ia tak menemukan yang dicarinya. Dikamar mandipun tidak. Bu Broto kembali keluar, disentuhnya lengannya, lalu Adhit terkajut dan terbangun.

"Eyang?" tanyanya bingung.

"Mengapa tertidur disini? Mana Anggi?"

"Oh, dia.. dia.. katanya ingin ber jalan-jalan kepasar," jawab Adhit. Sebenarnya ia juga heran karena tak melihat kapan Anggi keluar dari sana. Mungkin ia sibuk dengan lamunannya.

"Kepasar? Sepagi ini?"

"Iya eyang, katanya ingin ber jalan-jalan."

Adhit kemudian berdiri dan melangkah kedalam kamar. Bu Broto tak mengatakan apapun, tak pernah menduga apa yang terjadi karena ia mengira Anggi pergi setelah membuat teh untuk mereka berdua. Bu Broto berjalan ke dapur dan melihat Sumi sedang membakar roti.

Namun ketika Sumi sudah membawa roti itu keruang tengah, dilihatnya Adhit sudah berdandan rapi.

"Kok sudah rapi Dhit?" tanya bu Broto.

"Mau menyusul Anggi, tapi nanti Adhit mau langsung ke kantor saja."

"Sarapan dulu?"

"Nanti saja eyang, Adhit bisa sarapan di kantor," jawab Adhit sambil terus berlalu, menuju garasi dan mengeluarkan mobilnya.

Bu Broto meng geleng-gelengkan kepalanya. Pagi ini terasa berbeda.

***

 Bu Susan terkejut ketika pagi itu Anggi muncul tib-tiba. Ia sedang membuat sarapan didapur ketika itu. Ia lebih terkejut ketika tiba-tiba Anggi memeluknya dan menangis sesenggukan didadanya.

"Anggi... "

"Mama.... biarkan aku menangis didada mama.." isaknya pilu.

"Ada apa ini? Kamu bertengkar dengan suami kamu?" 

Namun Anggi terus saja menangis.

"Anggi, sudah... ayu.. duduklah dulu .. mama buatkan teh hangat ya?"

Bu Susan menuntun anaknya ke sebuah kursi diruang dapur itu, lalu membuat secawan teh yang kemudian diulurkannya pada Anggi.

"Minum, dan tenangkan hatimu..."

Anggi meneguk minumannya. Air mata masih membasahi pipinya. Mata Anggi bengkak, sungguh, sudah sejak semalam dia menangis terus dan hanya menahannya ketika masih ada didepan suaminya sebelum dia pergi.

"Ada apa nduk?"

"Ma, bagaimana kalau Anggi bercerai dengan mas Adhit?"

Bu Susan tekejut. Dipandanginya Anggi lekat-lekat. Tak percaya akan apa yang diucapkannya. Namun Anggi tampak ber sungguh-sungguh.

"Ada apa sebenarnya?"

"Anggi kasihan sama mas Adhit ma.."

"Kasihan bagaimana maksudmu?"

"Anggi sangat mencintai mas Adhit, Anggi ingin mas Adhit bahagia."

"Mama tidak mengerti.."

"Mas Adhit hanya terpaksa menikahi Anggi, dia sangat ingin punya anak..."

"Itu kan sudah diketahuinya sejak dulu, bahwa kamu tak akan bisa memberinya keturunan?" kata bu Susan sedikit kesal.

"Benar, tapi Anggi sedih.. mas Adhit tidak bahagia ma.."

"Kalau ingin anak, kalian bisa mengambilnya dari panti asuhan.. atau..."

"Bukan ma... anak yang dari darah dagingnya sendiri."

"Lalu karena itu kamu ingin bercerai?" 

"Entahlah, Anggi bingung."

"Jangan Nggi, pernikahan itu bukan seperti mainan, yang kalau nggak suka lalu boleh ditinggalkan begitu saja. Kalian sudah mengucpkan janji suci, dihadapan Allah, dan itu harus kamu pegang selamanya."

"Tapi ma..."

"Tenangkan hatimu sejenak, jangan memutuskan sesuatu ketika hatimu sedang marah."

"Anggi tidak sedang marah."

"Tapi kamu dibalut emosi tinggi, entah oleh apa."

"Aku tidak akan menceraikan kamu Anggi," tiba-tiba suara itu muncul begitu saja dari luar pintu dapur. Bu Susan dan Anggi menoleh, dilihatnya Adhit sedang berdiri dipintu.

"Nak, masuklah, mari bicara dengan tenang, mama juga bingung mendengar keluhan Anggi pagi ini."

"Biar Adhit jemput Anggi sekarang ma, eyang mencari-carinya.."

"Tuh, Nggi..." kata bu Susan.

Adhit mendekati Anggi, menarik tangannya sehingga Anggi berdiri.

"Ayo kita pulang Nggi, nggak baik membawa perso'alan kita kepada orang tua. Itu akan membuat mama kepikiran."

Anggi tak menjawab, tapi menurut ketika Adhit membawanya ke mobil.

"Eyang mencari kamu, eyang heran kamu pergi pagi-pagi."

"Mas, ijinkan aku bicara," kata Anggi pelan.

"Baiklah, bicaralah," jawab Adhit sambil tersenyum.

"Anggi sedih melihat mas Adhit tidak bahagia."

"Siapa bilang aku tidak bahagia>?"

"Tidak mas, jangan ingkar. Sepanjang langkah Anggi dari pagi buta sampai tiba dirumah mama, hanya mas yang Anggi pikirkan. Anggi sedih karena Anggi tau mas menginginkan sesuatu, dan sesuatu itu nggak bisa Anggi berikan untuk mas."

"Iya, aku tau, sudahlah, ma'afkan aku."

"Bukan ma'af itu yang penting mas. Tadi Anggi memikirkan, apakah Anggi minta cerai dari mas..."

"Tidak Anggi... tidak.."

"Kalau begitu ada satu permintaan Anggi."

Adhit memandangi Anggi yang sesekali masih mengusap air matanya. Iba rasanya melihat wajah cantik itu kuyu bagai rembulan tertutup mendung.

"Katakan Anggi.."

"Menikahlah dengan mbak Mirna."

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Monday, December 23, 2019

DALAM BENING MATAMU 71

DALAM BENING MATAMU  71

(Tien Kumalasari)

 

Siang itu Adhit pulang kerumah untuk makan siang. Sejak Anggi pintar memasak, bu Broto menyarankan agar Adhit selalu pulang setiap makan siang.

Bu Broto dan Anggi yang menemaninya agak heran melihat wajah Adhit sedikit muram.

"Ada apa le? Kamu sakit?"

"Nggak eyang, itu... Ayud, anaknya masuk rumah sakit."

"Ada apa? Sakit apa?"

"Tadi pagi diare dan muntah-muntah, tapi eyang jangan khawatir, sudah baik kok. Besok sudah boleh pulang."

"Ah, syukurlah, tadi aku sudah bilang sama Anggi, akan kerumah Ayud untuk melihat Ananda. Kalau begitu nanti sore eyang mau kesana."

"Iya eyang, nanti kita sama-sama pergi kerumah sakit."

"Memangnya kenapa, anak sekecil itu bisa diare dan muntah-muntah?"

"Ayud memberinya minum susu formula."

"Bagaimana anak itu, sudah tau kalau susu terbaik itu ASI mengapa dikasih susu formula?" kata bu Broto kesal.

"Iya eyang, Adhit sudah memarahinya."

"Tapi benar, Ananda nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa eyang, tadi ketika Adhit kesana sudah bisa tertidur nyenyak. Dan tidak diare lagi. Besok katanya boleh pulang kok."

"Syukurlah, tapi kalau keadaannya baik mengapa wajahmu seperti orang lagi sedih.. begitu?"

"Masa sih eyang?Adhit cuma lelah barangkali.."

"Kalau begitu istirahatlah sebentar setelah makan, nggak usah buru-buru kembali ke kantor."

Adhit mengangguk. Benarkah wajahku muram? Adhit tak mengerti mengapa, tapi ada sesuatu yang mengganjal perasaannya. Setelah makan ia masuk kekamarnya diikuti Anggi. Melihat Adhit berbaring tanpa melepas sepatunya, Anggi segera melepasnya, juga kaos kakinya.

"Mau dipijit?" tanya Anggi.

\"Nggak ... aku nggak apa-apa.. biarkan aku berbaring sejenak ya," kata Adhit sambil memejamkan mata. Ada bayangan me nari-nari disana, bayangan seorang perempuan menggendong anak kecil, membuainya dengan manis.

"Mas.." 

Adhit terkejut, bayangan itu buyar, Anggi berbaring disampingnya, miring menghadap kearahnya. Kepalanya terangkat, ditumpu oleh sebelah tangannya. Adhit menatapnya sekilas. Wajah cantik itu sangat dekat dengan wajahnya. Harum rambut yang sebagian menutupi keningnya terasa menusuk hidungnya. Adhit menyibakkannya, tapi hanya itu yang dilakukannya, lalu matanya kembali terpejam.

***

Adhit ketiduran sampai hari menjelang sore. Ia tak akan kembali ke kantor. Ketika keluar dari kamar dilihatnya bu Broto sudah siap berdandan

 "Dhit, kamu jadi mengantarkan kami ke rumah sakit kan?" kata bu Broto.

"Iya eyang, tapi Adhit mandi dulu ya?"

Ketika Adhit mau masuk kembali ke kamar, dilihatnya Anggi sedang membawa nampan berisi cawan2 teh hangat.

"Mium dulu mas," kata Anggi sambil meletakkan cawan-cawan iu di meja.

"Aku mau mandi dulu," kata Adhit lalu masuk kekamarnya. Anggi mengikutinya, menyiapkan ganti pakaian untuk suaminya dan semua perlengkapan mandinya.  SEsungguhnya Anggi seoang isteri yang baik, yang berusaha melayani dan menyenangkan hati suami dengan se tulus-tulusnya.

"Terimakasih Anggi, kamu sudah mandi?"

"Sudah, eyang ingin kita segera berangkat ke rumah sakit."

"Baiklah," sahut Adhit yang langsung masuk kekamar mandi. Anggi menghela nafas panjang. Sikap suamunya sore ini sudah lain dari semalam sampai pagi harinya. Tak sehangat semalam, ketika becumbu dalam alunan kidung-kidung dari surga, sesa'at terasa indah... tapi sekarang.. dingin seperti es. Baiklah..  Anggi hanya ingin berbakti. Apapun perasaan Adhit terhadapnya, dia akan terus melayaninya.

***

Ketika Adhit, bu Broto dan Anggi memasuki ruangan dimana Ananda dirawat, Adhit benar-benar tercengang. Disana ada Dewi, dan berdiri agak kesudut, Mirna sedang menggendong Ananda, mengayunkannya  perlahan dalam dekapannya. Ia terpana, selalu begitu. Pemandangan yang terus menerus membuatnya tergoda. Tergoda untuk mendekat dan mengayunkan bayi itu ber sama-sama. Adhit serta merta mendekat.

Mirna terkejut. Aduh.. mengapa selalu begini?

"Sudah tidur?" sapa Adhit sambil menyentuh pipi Adinda.

Mirna hanya mengangguk.

"Boleh aku menggendongnya?" katanya sambil mengulurkan tangannya. Mirna mengulurkannya dengan gemetaran. Wajahnya sangat dekat dengan bos ganteng yang selalu dikaguminya. Bahkan desah nafasnyapun terdengar lembut, terasa menghembus pipinya. 

"Sama pakde ya..?" kata Adhit sambil menerima Ananda ditangannya. Tapi bayi itu membuka matanya dan merengek pelan.

"Adduh... diamlah Nanda.. ini pakde..." Adhit berusaha mengayunkannya, tapi Ananda tetap menangis. Mirna yang sudah melangkah menjauh menghentikan langkahnya. 

"Adhuh... bagaimana ini, Mirna.. tolong.." 

Mirna mendekat dan menerima lagi Ananda. Kembali wajah mereka hampir bersentuhan, dan nafas sang bos ganteng terasa seperti menghembus ke pipinya. Wajah Mirna memerah. Sedikit  gemetaran ia menerima Ananda dengan cekatan, mendekapnya kedada dan menhayunkannya. Tangis itu berhenti. Menurut Adhit itu adalah keajaiban. Setidaknya bagi hatinya sendiri. Ia berdiri terpaku dan terus memandangi Mirna.

Anggi bukan tak tau. Suaminya terpesona pada pemandangan itu. Ada perih dibatinnya, ada darah menetes pelan, terasa  nyeri di ulu hati. Adhit bukan hanya menyukai bayi itu, tapi juga perempuan yang menggendongnya. Hati seorang isteri.. barangkali begitu peka menangkap perilaku suaminya. Tapi Anggi  tak akan marah, dan akan mengibaskan rasa sakit hati.Benar.., bukan hanya sekali ia menyaksikan sikap Adhit terhadap Mirna. Ia menghela nafas, lalu mencoba tersenyum. Bukankah senyum itu bisa mengurangi rasa sakit yang mengiris? Ia mencobanya... lalu  rasa sakit itu memang berkurang. Bukan hanya karena senyum yang disunggingkannya, tapi juga oleh rasa pasrah karena ia begitu memahami keadaan dirinya. Barangkali juga Anggi sudah mempersiapkan hal-hal yang bakal terjadi pada pernikahannya. Entahlah..

Tiba-tiba Adhit merasa bahwa beberapa pasang mata sedang memandanginya. Ia kemudian menjauh dari Mirna dan duduk diantara mereka sambil beberapa kali masih menoleh kearahnya.

Sementara itu Mirna telah meletakkan Ananda kedalam box nya, lalu menghampiri Dewe.

"mBak, kalau mbak Dewi masih ingin disini, bolehkah saya pulang lebih dulu?"

"Oh, jangan Mirna, sebentar.. kita pulang bersama saja," jawab Dewi.

"So'alnya saya membawa kunci rumah, takutnya kalau bapak pulang lebih dulu, nanti gak bisa masuk," Mirna memberikan alasan.

"Ya Mirna, ayo kita pulang bersama... Ayud, aku pulang ya, syukurlah anakmu sudah sehat."

"Terimakasih mbak Dewi, terimakasih Mirna," kata Ayud sambil menyalami Dewi dan Mirna. 

Ketika keduanya menjauh, Adhit masih saja memandangi punggung mereka. Ayud yang melihatnya mencolek Lengan Adhit, lalu memelototinya. Adhit tersenyum, lalu menyandarkan tubuhnya disofa yang ada diruangan itu.

Anggi berdiri, lalu mendekat kearah cox dimana Ananda dibaringkan. Ia memandangi bayi kecil yang terlelap dalam tidurnya. Ada rasa rindu dihati Anggi, rindu akan memiliki seorang bayi, tapi mana mungkin? Ia menghela nafas, berusaha tabah dan menahan bulir air matanya yang nyaris memenuhi kelopaknya. Perlahan ia mengelus pipi ananda.

Adhit menatapnya lalu menghela nafas panjang.

"Ayud, besok kalau kamu ingin mulai bekerja, biar Ananda dititipkan sama eyang saja, bagaimana?" tiba-tiba kata bu Broto.

"Oh ya, itu bagus Yud, aku setuju. Biarpun ada perawat yang kamu percaya tapi kalau ada yang mengawasi itu lebih baik." kata Adhit

"Nanti merepotkan eyang.." tukas Ayud.

"Nggak, benar kata masmu Adhit, harus ada yang mengawasi."

"Usul yang bagus, nanti  Ayud bicarakan lagi sama mas Raka.

***

Akhirnya memang Ananda dititipkan dirumah bu Broto. Sebelum berangkat ke kantor, Ananda dan perawatnya diantar dulu kerumah bu Broto, baru sore ketika pulang dijemput kembali.

Ayud juga senang, barangkali kehadiran Ananda akan menyenangkan hati Anggi yang pasti merindukan hadirnya seorang anak.

Namun ternyata Anggi kurang begitu luwes mengasuh bayi. Ia hanya mendekati Ananda ketika ana perawat yang juga menungguinya. Pernah suatu ketika, sang perawat sedang ada dikamar mandi, sementara Ananda terbangun. dan menangis. Anggi yang mencoba mendekatinya  lalu mengangkatnya untuk membuatnya diam, tak bisa membuatnya berhenti menangis. Bu Broto yang mendekatinya menyuruhnya memberikan susu yang tadi telah dipersiapkan. Susu ASI yang selalu ditinggalkan Ayud sebelum pergi dan ditaruh di freezer. 

"Ini susunya, sudah dihangatkan tadi, tinggal diminumkan," kata bu Broto. 

Sejenak Ananda terdiam, tapi kemudian menangis lagi. Anggi kewalahan. Perawat yang kemudian datang, mengambilnya.

"O.. lha ini dia ngompol bu, risih kalau nggak segera diganti," kata perawat yang kemudian menidurkan Ananda dan menggantikan popoknya.

Setiap waktu makan Adhit pasti pulang, setelah makan dihabiskan waktu luangnya untukbermain bersama Ananda. Ia juga tau isterinya tak begitu suka bermain bersama Ananda. Namun setiap akhir pekan Ayud mengajak anaknya tinggal dirumah saja, atau mengajaknya ber jalan-jalan bersama suaminya. Sering hal itu membuat Adhit kecewa. Namun bagaimana lagi, Ananda bukanlah anaknya sendiri.

Berbulan telah berlalu, 

Tampaknya biasa saja, namun ada gejolak dihati Adhit yang sesungguhnya menginkari janjinya sendiri. Pada dirinya, dan juga pada Anggi sebelum meminangnya. Ternyata ia menginginkan memiliki bayi sendiri.

***

Sore hari itu Adhit tak melihat Anggi dirumahnya.

"Isterimu pulang kerumah ibunya, katanya kangen."

"Oh ya?"

"Nanti jemputlah dia, eyang sudah bilang kalau begitu kamu pulang kantor pasti akan menjemputnya."

"Ya eyang, nanti Adhit jemput. Ananda mana?"

"Ayud baru saja menjemputnya."

"Oh," kata Adhit dengan nada kecewa.

"Adhit, eyang tau kamu sangat ingin memiliki anak. Bagaimana kalau kamu meng adopsi seorang anak.. misalnya.. di panti asuhan?"

"Panti asuhan?"

"Kmu bisa merawaatnya seperti anakmu sendiri, sekaligus mengangkat si anak dari rasa kehilangan orang tuanya. Itu perbuatan mulia bukan?"

"Adhit sudah sering membanti panti-panti asuhan, eyang.' 

"Iya, eyang tau, tapi maksud eyang kalau saja ada yang kamu suka, kemudian mengadopsinya, begitu. Eyang tau Anggi tak akan bisa memberikan anak untuk kamu, tapi kamu kan sudah berjanji akan menerima dengan segala kekurangannya?"

"Betul eyang."

"Cobalah kamu pikirkan usul eyang ini. Nani Adhit akan bicara juga sama Anggi."

"Bagus kalau begitu."

"Sekarang Adhit mau kerumah Anggi dulu ya,"

"Baiklah."

***

Namun di jalan sebelum sampai kerumah Anggi, dilihatnya seseorang sedang berjalan. Seseorang yang sangat dikenalnya. Adhit menghentikan mobilnya, tepat disamping seseorang itu, dan membuatnya terkejut.

""Mirna," seru Adhit yang kemudian turun dari mobilnya.

"Oh, " seri Mirna terkejut. Ia ingin melanjutkan langkahnya tapi Adhit menahan lengannya.

"Mau pulang?"

"Yy..ya.. pak," jawabnya gugup.

"Ayo, aku antar kamu."

"Jangan pak, terimakasih, saya.. biasa berjalan kaki.."

"Hari hampir hujan, nanti kamu kehujanan."

"Saya membawa payung, terimakasih."

"Mirna, ayolah, jangan menolak."

"Tt..tapi..."

Mirna ingin meronta tapi merasa tak enak. Adhit sudah membukakan pintu mobil dan menuntunnya agar naik keatasnya. Aduhai, bagaimana kalau aku pingsan disampingnya? Bisik batin Mirna gemetaran.

Adhit sudah menjalankan mobilnya, dan berbalik arah, menuju ke rumah kontrakan Mirna. Tak sepatah katapun mampu diucapkan Mirna. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Ia me remas-remas tangannya sendiri untuk menutupi kegelisahannya.

"Mirna..." Panggil Adhit pelan.

Mirna menoleh sejenak kearah Adhit.

"Mengapa kamu seperti ketakutan begitu?"

"Buk..bukan takut.. tt..tapi.. mengapa.. bapak mengantar saya?"

"Aku nggak tega melihat kamu pulang dengan berjalan kaki."

"Rumah saya dekat. Kalau naik mobil.. malah jadi jauh.. karena didepan itu jalan satu arah. Kalau jalan kaki kan nggak apa-apa."akhirnya  jawab Mirna pelan setelah berhasil menata hatinya.

"Benar, aku tau kok.'

 "Saya merepotkan.."

"Nggak, kan ini kemauan saya? Nggak apa-apa jalannya sedikit memutar, kan kita bisa lebih lama berbincang," jawab Adhit seenaknya.

Tapi itu membuat hati Mirna bergincang. Apa maksud kata-katanya? Lalu kenapa kalau berbincang lebuh lama?

"Kita lama nggak ketemu ya, kamu nggak kangen Ananda?"

"Dia kan sudah ada dirumah bapak.."

"Benar, tapi kalau sore sudah dibawa sama ibunya. Senang ya kalau punya anak sendiri," kata Adhit yang kemudian membuatnya terkejut menyadari ucapannya sendiri.

Mirna menatap Adhit. Dilihatnya bisa ganteng itu tersenyum perih. Aduh.. tampaknya dia sedih, ingin Mirna mengelus punggungnya, menghiburnya. Lhah.. ini kan ngelantur? Sampai kemudian tiba didepan rumah kontrakan Mirna, masing-masing dari keduanya sibuk mencerna arti dari pertemuan itu.

***

Ketika Anggi kembali kerumah bu Broto sendirian, bu Broto heran, karena tadi Adhit menjemputnya.

"Sudah lama tadi berangkatnya, kok bisa kamu nggak ketemu?"

"Barangkali mas Adhit mampir-mampir eyang."

"Bagaimana anak itu, harusnya kan menjemput isterinya dulu baru mampir kemana dia suka, gerutu bu Broto.

Tiba-tiba ponsel Anggi berdering. ternyata dari ibunya.

"Anggi, kamu dimana ?"

"Anggi sudah sampai dirumah ibu, ada apa?"

"Ini, nak Adhit baru saja datang menjemput kamu."

"Oh, ya sudah bu, suruh kembali saja, Anggi sudah sampai rumah kok."

Begitu ponsel ditutup, bu Broto kembali mengomel.

"Gimana anak itu, nanti eyang marahi d9ia, menjemput isterinya dari tadi kok ini baru sampai sana, dan isterinya malah sudah sampai rumah."

"Ya sudah bu, biarkan saja, barangkali mas Adhit punya keperluan  lain," jawab Anggi sambil berlalu kebelakang.

***

"Mas tadi mampir kemana, kok bisa selisih lama dari Anggi pulangnya?"

"Oh, tadi iru,... tadi itu... aku ketemu teman, lalu.. ngobrol sebentar."

Ah, Adhit kan tidak berbohong. Memang tadi ketemu teman kan?

Tapi Anggi tidak mengatakan sesuatu. Ia berbaring disamping Adhit, menatap langit-langit dengan perasaan yang tak menentu. 

Tiba-tiba Anggi terkejut, Adhit mengusap pipinya lembut,  membuat Anggi memiringkan tubuhnya, menghadap kearah Addhit. Ditatapnya mata Adhit, yang memandanginya penuh gairah. Adhit menarik tubuh Anggi, sampai bersentuhan dengan tubuhnya. Lalu memeluknya erat, sangat erat dan membuat Anggi sulit bernafas. 

Malam yang hangat dan membuat Anggi terhanyut dalam ayunan cinta itu tiba-tiba pecah ketika dari mulut Adhit terdengar bisikan lembut, tapi berhasil memecahkan aroma manis yang semula menghiasi kamar itu. Membuat batinnya hancur berkeping.

"Mirna...." bisik lembut itu pasti menyakitkan bagi yang mendengarnya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Saturday, December 21, 2019

DALAM BENING MATAMU 70

DALAM BENING MATAMU  70

(Tien Kumalasari)

 

Malam itu adalah malam dimana Adhit menemukan seseorang yang harus dicintainya, dan Anggi menemukan suami yang betul-betul menjadi suaminya. Entah itu nafsu, entah itu cinta, Anggi tak perduli. Ia adalah perempuan yang butuh perhatian dari suami, butuh elusan sayang, gelora menggelegak dimalam malam yang dingin. 

Sampai pagi tiba, Anggi masih terlelap dalam pelukan Adhit.

Bu Broto heran melihat Anggi belum bangun pagi itu. Biasanya Anggi bangun selalu hampir bersamaan dengan dirinya, bersama membuat minum dan sarapan buat Adhit. Mungkinkah Anggi sakit?

Ketika bu Broto sedang menata roti yang akan  dibakar dipiring, Anggi muncul dengan rambut masih basah.

"Ma'af eyang, Anggi terlambat bangun," kata Anggi tersipu.

Bu Broto menatap Anggi dan tersenyum ketika melihat rambut ikal yang biasanya tergerai kini basah berbalut anduk.

"Nggak apa-apa, sudah eyang dan Sumi siapkan, bangunkan suamimu dan ajak dia sarapan."

"Baiklah," jawab Anggi sambil membawa nampan yang sudah berisi cawan teh hangat, lalu meletakkannya dimeja ruang tengah. Anggi kemudian masuk kekamar, dan melihat suaminya sudah beranjak ke kamar mandi. Tubuh kekarnya berbalut handuk sebatas pinggang, menampakkan dada bidangnya yang telanjang. Sejenak Anggi terpesona. 

"Baru mau mandi?" pertanyaan yang sekenanya karena dilihatnya Adhit kan memang mau masuk kekamar mandi?

"Hm mh... jawab Adhit sambil tersenyum. Senyuman yang berbeda, bukan senyuman dingin seperti setiap kali dilihatnya. Ada bahagia membuncah dihati Anggi. Ia segera membereskan tempat tidur, lalu menyiapkan ganti baju untuk suaminya. Ini sudah setiap hari dilakukannya, tapi pagi ini semuanya terasa lain. Anggi membuka jendela kamar, dan tersenyum kepada burung-burung yang berceloteh dipohon, kepada bunga-bunga yang berayun perlahan oleh hembusan angin pagi nan segar. Ia juga tersenyum kepada matahari yang muncul diufuk timur dengan kemerahan yang ramah. Selamat pagi wahai hari indahku... bisiknya perlahan.

Ketika Adhit muncul dari kamar mandi, dengan tubuh masih terbalut handuk Anggi mengulurkan handuk kering yang sudah disiapkannya, dan Adhit begitu saja melepaskan balutan handuknya. Anggi melihatnya tersipu, ia ingin keluar dan membiarkan Adhit mengganti sendiri pakaiannya, tapi Adhit menariknya.

Anggi tenggelam dalam dekapannya.

"Ma'afkan aku.." hanya itu yang diucapkannya, lalu mengecup keningnya.

Tubuh Anggi bergetar. Ia belum pernah diperlakukan seperti ini. Tapi ia mengangguk, kemudian melepaskan pelukan suaminya. 

"Bantu aku mengeringkan tubuhku, Anggi," kata Adhit sambil mengulurkan handuknya.

Anggi menerimanya dan mengelap tubuh suaminya dengan perasaan tak menentu. Ia terkejut ketika tiba-tiba Adhit mengangkat tubuhnya dan membaringkannya kembali di ranjang.

***

Bu Broto meletakkan roti bakar yang masih hangat, lalu duduk disana. Ia menunggu Adhit dan Anggi keluar dari kamarnya. Tak enak rasanya minum dan sarapan sendiri. Ber kali-kali menoleh kearah pintu kamar mereka, tapi keduanya belum muncul juga. 

"Hm, tehnya keburu dingin," gumam bu Broto yang kemudian meraih cawan yang sudah disiapkan dihadapannya.  Sa'at itulah keduanya muncul, Adhit sudah dengan pakaian rapi, siap pergi ke kantor.

"Itu, teh kalian keburu dingin," kata bu Broto sambil menghirup minumannya.

Adhit dan Anggi duduk bersebelahan, wajah mereka berseri. Bu Broto melihatnya sekilas, kemudian mengambil sepotong roti bakar yang masih hangat.

Adhit dan Anggi menghirup tehnya, hampir bersamaan, mencomot roti bakarnya, juga hampir bersamaan.

"Eyang mau belanja hari ini. Apa Anggi mau ikut?"

"Iya eyang, Anggi ikut."

"Adhit mau dimasakin apa?"

"Terserah eyang saja, apapun yang eyang masak, Adhit pasti suka."

"Tapi sekarang bukan eyang yang memasak, sudah ber hari-hari Anggi sendiri yang masak."

"Oh ya? Enak, kirain eyang."

"Anggi belajar dari eyang, kami masak bersama yu Sumi juga kok.."

"Baguslah, isteriku pintar memasak. Oh ya, tolong bungkusan hadiah buat Ananda, lupa, nanti siang aku akan mengantarnya kesana.

"Oh iya," kata Anggi yang kemudian bergegas berdiri daan mengambil bungkusan yang dimaksud. Sebenarnya dia ingin ikut kerumah Ayud, tapi ragu mengatakannya. Adhit juga tidak mengajaknya. Ya sudahlah, pikirnya. Lalu ia mengantarkan suaminya sampai mobilnya lenyap diluar pagar.

"Kalau kamu ingin, nanti sehabis memasak kita bisa kerumah Ayud. Eyang juga kangen melihat Ananda," tiba-tiba kata bu Broto, setelah Adhit berangkat ke kantor.

"Benarkah?" 

Bu Broto mengangguk.

"Ya eyang. Anggi juga ingin melihat Ananda," jawab Anggi riang.

*** 

Tapi pagi itu Ayud sedang kebingungan. Ananda diare dan muntah-muntah. Raka urung pergi mengajar karena Ayud memintanya mengantarkan ke rumah sakit. 

Ketika siang harinya Adhit kerumah Ayud, heran karena rumahnya terkunci. 

"Ayud ? Kalian pada kemana?" tanya Adhit ketika menelpone Ayud.

"Mas, Ananda harus opnme dirumah sakit," jawab Ayud sedih..

"Lhoh... kenapa?"

"Sejak pagi muntah-muntah dan diare,"

"Lalu apa kata dokter?"

"Nggak apa-apa katanya, tapi harus opname."

"Kenapa mas nggak dikasih tau?"

"Aku panik mas.."

"Ya sudah mas kesitu sekarang."

***

"Ada apa sebenarnya Yud? "

"Itulah mas, gara-gara aku persiapkan nanti kalau aku sudah bekarja, lalu aku mencoba memberinya susu formula, rupanya nggak cocog."

"Sembrana kamu itu Yud, Ananda itu masih bayi, susu terbaik adalah susu ibu. Biar nanti kamu sudaah bekerja lagi, usahakan yang diminum hanya ASI saja."

"Iya mas, aku menyesal. Tapi sekarang sudah baik, lihat dia tertiidur."

Adhit mendekati keponakannya yang tergolek diranjang, dan tampak pulas tertidur. Adhit mengelus pipinya perlahan.

"Ssst... mas, nanti dia terbangun."

"Apa kata dokter?"

"Kalau tidak ada apa-apa besok boleh pulang. Susu formula dilarang diberikan."

"Itu benar. Jangan sampai anakmu sakit lagi gara-gara ibunya sembrono. Ya le.. nanti pakde akan jewer kuping ibu kamu kalau dia buat kamu sakit," bisik Adhit sambil terus mengelus pipinya.

"Apa kabar Anggi?" tanya Ayud setelah mereka duduk disofa.

"Baik, hari ini katanya mau belanja sama eyang. Tapi pastinya sudah pulang, memasak. Sekarang ini dia lagi rajin belajar memasak."

"Bagus lah, supaya suaminya nggak boros, makan diluar terus."

"Apa kabarnya Mirna?" tiba-tiba Adhit bertanya dan membuat heran yud.

"Apa maksudmu mas? Kok nanyain Mira ke aku ?"

"Oh, bukan apa-apa... kan Mira suka sama anakmu.. barangkali dia juga datang kemari.." jawab Adhit yang tiba-tiba juga menyadari kesalahannya. Ia heran kepada dirinya ketika tiba-tiba menanyakan Mirna pada Ayud.

"Mana dia tau kalau Ananda ada disini? "

"Iya... aku ngelantur," gumam Adhit.

"Mas, diam-diam mas memperhatikan Mirna ya?"

"Apa katamu? Orang cuma bertanya aja, kamu mengira yang enggak-enggak. Sebenarnya aku hanya berfikir, Mira itu luwes sekali menggendong bayi, juga mengasuh anak kecil."

"Mas, darimana mas tau tentang mengasuh anak juga?"

"Kemarin aku melihat dia di toko bersama Dewi dan Bima... ah, sudahlah.. aku kan hanya ngomong sekenanya," jawab Adhit menghindar. Ia menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal, memarahi mulutnya karena bicara salah sehingga menimbulkan prasangka yang bukan-bukan dihati Ayud.

Tapi Ayud sudah menangkap semuanya. Tampaknya ada perhatian khusus dari Adhit kepada Mirna. Aduhai, rupanya kakaknya salah memilih isteri, begitukah?

"Mengapa kamu memandangku seperti itu?" tanya Adhit yang merasa risih karena adiknya menatapnya tak berkedip.

"Mas, semoga dugaanku salah, tapi mas menaruh perhatian pada Mirna kan?"

"Uupsss.... " lalu Adhit berdiri seakan mencari seseorang.

"Mana Raka?"

"Lagi ke instalasi farmasi, ada obat-obat yang harus dibayarnya."

"Baiklah, aku akan menyusul kesana," kata Adhit yang kemudian keluar dari ruangan, diikuti pandangan mata adiknya.

***

Ketika keluar dari rumah sakit itu hati Adhit dipenuhi oleh pertanyaan untuk dirinya sendiri. Ada apa aku ini, mengapa tiba-tiba berfikir tentang Mirna? Bisik batinnya, yang kemudian buyar ketika suara klakson ber talu-talu terdengar disamping mobilnya.

Adhit ingin mengumpat kesal, tapi ketika menoleh kesamping, dilihatnya mobil DEwi beriringan dengan mobilnya. Adhit kemudian membawanya menepi. Entah mengapa ia ingin menepi, dan ketika mobil Dewiikut parkir didepannya, Adhit me longok-longok kedalam mobil ibu.

Adhit turun dari mobil dan mendekati mobil Dewi. Ia masih me longol-longok.

"Adhit, kamu mencari siapa?" tegur Dewi tanpa turun dari mobil. Ia hanya membuka kaca disampingnya.

"Kamu sendiri?

  "Iya, mau menjemput Bima," jawab DEwi.

"Oh, "

"Kamu dari mana sih?"

"Dari rumah sakit, Ananda masuk rumah sakit,"

"Lhah... kenapa?"

"Diare, tapi sudah nggak apa-apa, mungkin besok sudah boleh pulang kok."

"Ya ampuun kok aku nggak dikasih tau.."

"Baru pagi tadi... dan besok katanya sudah boleh pulang."

"Ya sudah nanti aku kesana , ini buru-buru mau jemput BIma dulu."

"Ya, nanti ajak Mirna ya?"

Dewi mengangguk, lalu menjalankan mobilnya. Adhit kembali ke mobil sambil memikirkan lagi kata-katanya, nanti ajak Mirna? Mengapa dia inginkan itu? Dan Adhit kembali meng garuk-garuk kepalanya.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Thursday, December 19, 2019

DALAM BENING MATAMU 69

DALAM BENING MATAMU  69

(Tien Kumalasari)

Mirna mengeluh dalam hati. Selalu begini setiap kali ada Adhit. Seharusnya tak usah bertemu, sehingga perasaan ini tak mengganggu. Ya Tuhan, aku mencintainya, keluhnya dalam hati. Sementara Adhit sudah berjalan semakin dekat. Beruntung Bima kemudian menariknya karena dia melihat sesuatu seperti yang diinginkannya. Dengan senang hati sambil menenangkan hatinya Mirna mengikuti langkah Bima.

Adhit melihat itu seperti melihat pemandangan yang menyenangkan. Seorang ibu, dan seoang anaknya yang merengek minta dbelikan mainan. Aduhai, seandainya aku bisa, bisik batin Adhit sambil terus menatap keduanya.

"Adhit, apa yang kamu lakukan disini?" seru Dewi begitu Adhit tiba didepannya.

Adhit terkejut, buyar lamunannya.

"Aku lagi cari mainan untuk Ananda. Anaknya Ayud."

"Ya ampun, baru satu bulan belum ada, dia mau kamu beri mainan apa?"

"Nggak tau aku, baru mau nyari nih."

"Adhit... kamu ingin punya anak kan?" tiba-tiba Dewi berkata seenaknya. Adhit terkejut, benarkah apa yang dikatakan DEwi?

"Ah, entahlah... ini kamu lagi ngapain? Beli mainan buat Bima?"

"Iya, ceritanya Bima kan ulang tahun, Mirna ingin membelikan sesuatu buat Bima, nggak tau tuh, dari tadi me milih-milih terus."

"Kalau begitu aku juga ingin membeli mainan untuk Bima," kata Adhit yang kemudian bergegas mendekati Mirna dan Bima yang lagi me lihat-lihat.

"Hai BIma, selamat ulang tahun ya,"kata Adhit tiba-tiba, dan lagi lagi mengejutkan Mirna. Bos ganteng sudah ada didekatnya. Dibiarkannya Bima menerima salam dan ciuman dari Adhit, sementara dia sedang menyuruh pelayan toko mengambilkan mobil-mobilan yang tadi dipilih Bima.

"Bima mau mobil itu?"

"Iya, tapi kata ibu nggak boleh yang mahal=mahal."

"Bima mau yang mana? Itu, yang dipegang tante Mirna?"

Bima mengangguk. Harga mobil itu duaratus limapuluh ribu rupiah, Mirna ingin membelinya, tapi ketika pelayan mengulurkan nota yang dibuatnya, Adhit memintanya.

"Biar aku yang membayarnya," katanya sambil tersenyum kepada Mirna. Aduh, kenapa tersenyum begitu?

"Oh.. jj.. jangan... saya.. ingin...ingin membelikan untuk BIma."

"Benar, tapi ijinkan aku yang membayarnya, Bima pengin yang mana lagi?"

Bima, namanya anak kecil, ditawarin mainan, siapa yang nggak mau? dhit membawanya ke kelompok yang lain. 

"Woouww... kapal terbang, Bima suka?"

Bima mengangguk, tapi kemudian menoleh kepada ibunya, yang mengacungkan jari telunjuk sambil di goyang-goyangkan, tanda melarang.

Adhit menoleh ke arah Dewi.

"Dewi, apa-apaan kamu ini, biarkan saja, ini kan ulang tahunnya, biarlah dia bergembira sedikit saja," kata Adhit sambil menarik Bima untuk melihat pesawat mana yang dia suka.

Bima menoleh lagi pada ibunya, tapi Adhit kembali menariknya.

"Sudahlah, ibumu sudah mengijinkan, jangan takut, yang mana? Ini.. yang biru? Ouw.. ini helikopter..  atau... "

"Yang itu," Bima menunjuk kesebuah pesawat lain. 

"Itu?"

Bima mengangguk. Pelayan segera mengambil dan membuatkan nota.

Sementara Mirna kemudian mendekati Dewi yang menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Adhit.

"Biarkan saja, mana bisa menahan kemauan dia," kata Dewi yang kemudian melihat wajah Mirna yang pucat.

"Mirna, kamu kenapa? Sakit?"

"Oh, nggak mbak, memangnya saya kelihatan seperti sakit?"

Dewi memegang tangan Mirna, yang berkeringat.

"Tuh, keringat dingin tuh."

"Nggak mbak, bener saya nggak apa-apa."

Dewi melihat sesuatu dimata Mirna. Sudah lama dia men duga-duga. Mirna suka sama Adhit, dan sekaang kelihatan lagi perbedaan sikapnya, dari semula dia datang, sampai setelah Adhit datang. Ya Tuhan, kasihan Mirna.

Dilihatnya Adhit membawa Bima ke tempat kasir, lalu tak lama kemudian dua buah bungkusan besar sudah dibawanya bersama Bima.

"Ibu, om Adhit yang kasih.." kata Bima begitu sampai didepan ibunya.

"Ya sudah, nggak apa-apa, kalau masih mau lagi minta aja lagi sama om Adhit. Tapi Bima menggeleng. Adhit tertawa.

"Nggak apa=apa kok, kalau perlu ibunya boleh minta yang dia suka, boneka barby?"

Dewi tertawa sambil menggaplok lengan Adhit.

"Lhah kamu tadi mau beli apa, kok jadi mikirin Bima?"

"Nggak jadi, katanya masih belum sebulan belum bisa main apapun."

"Ya nggak apa-apa, namanya hadiah, boleh saja dibeli sekarang untuk bermain besok=besok."

"Kalau begitu antar aku nyariin dong, ayo Mirna," kata Adhit kepada Mirna.

Kok aku sih, Mirna tak mampu lagi menahan debar jantungnya.

"Ssa..saya.. mana tau.." jawabnya gugup.

"Ya sudah, ayo kita cari bersama=sama," kata Dewi yang emudian menarik Adhit menuju ke mainan bayi.

***

Ketika mereka keluar dari toko mainan itu, Dewi Mirna dan Bima menuju ke arah mobil Dewi, tapi Adhit mengikutinya.

"Kamu mau kemana ?" tanya Dewi.

"Mobilku disana," jawab Adhit, tapi tiba-tiba Adhit terkejut ketika seseorang memanggilnya.

"Mas Adhit !!

Dan lebih terkejut lagi ketika melihat siapa yang berjalan mendekatinya. Dinda dan Anggi.

"Dinda, Anggi?"

Dewi dan Mirna urung masuk ke mobilnya. Ia menyalami Anggi dan Dinda.

"Kok bisa main sendiri-sendiri sih." seru Dewi

"Dinda nyamperin saya, ngajakin jalan..."

"Ya sudah, kami duluan ya," kata Dewi yang kemudian menggandeng Mirna dan Bimo untuk diajak naik ke mobilnya.

"Dinda, kamu nggak kuliah?" tanya Adhit setelah mobil Dewi berlalu.

"Nggak, lagi kangen sama Anggi, trus aku ajak jalan-jalan, nggak boleh?" 

"Boleh saja, siapa bilang nggak boleh."

"Mas Adhit sih, jalan-jalan nggak ngajakin isteri malah ngajakin orang lain," tegus Dinda sambil cemberut sementara Anggi hanya diam saja.

"Bukan ngajakin, kami kebetulan saja ketemu disini."

"Itu mas bawa apa?"

"Lha ya ini, lagi beliin mainan buat Ananda, ee.. ketemu Dewi sama Mirna yang lagi beliin mainan Bima."

"Bima itu anaknya mbak Dewi?"

"Iya.. hari ini ulang tahun. Mas juga kaget melihat mereka."

"Ya udah, sekarang traktir kami makan dong, eeh.. sama isterinya kok diam aja,"

"Aneh kamu, terus harus bagaimana?"

"Dicium kek..." kata Dinda seenaknya.

"Dinda, kamu ada-ada saja."

"Ayo mas, kita makan, laper nih," Dinda merengek seperti biasanya kalau ketemu Adhit.

"Baiklah, mau makan dimana?"

"Mana bungkusannya biar Anggi yang bawa mas," kata Anggi meminta bungkusan besar yang ditenteng suaminya. Adhit mengulurkannya sambil tersenyum.

"Berat lho," katanya.

"Nggak papa, nggak berat kok."

"Ayo, kita makan dimana?"

"Terserah kamu , tapi  cari disekitar sini saja, karena mas harus segera kembali ke kantor."

***

 Setelah mengantarkan Anggi pulang, Adhit kemudian mengantar Dinda ke tempat kostnya. Dengan enteng Dinda menegur Adhit yang tampak tak ramah terhadap isterinya.

"Mas, mengapa mas mengambil dia sebagai isteri kalau mas nggak suka sama dia?"

"Kok kamu bilang begitu?"

"Kelhatan, apalagi pengantin baru, nggak ada mesra-mesranya."

"Kamu itu anak kecil tau apa."

"Eh, jangan lagi bilang Dinda anak kecil ya, Dinda udah mahasiswa nih, udah dewasa, udah boleh nyari pacar."

Adhit tertawa. Selalu semuanya menjadi ramai kalau ada Dinda.

"Mas, Dinda minta ya, jangan sampai mas membuat Anggi sedih."

"Memangnya Anggi cerita apa sama kamu?"

"Nggak cerita apa-apa. Dia cuma bilang sangat mencintai mas. Tapi dia tau bahwa mas hanya kasihan sama dia."

"Nggak semuanya benar," jawab Adhit sambil menghela nafas. Sesungguhnya Adhit juga heran pada dirinya sendiri. Mengapa sama sekali tak ada gairah ketika mendekati Anggi. Tapi bukan berarti dia nggak suka. Sungguh. 

"Maksudnya apa?"

"Mas suka kok, tapi beri mas waktu, kan kami juga belum lama kenalnya?"

"Kalau begitu mengapa mas buru-buru melamarnya? Dinda sudah peringatkan, cari yang lain saja supaya mas nggak kecewa. Mas nekat," kata Dinda sambil cemberut.

"Aduuh, hari ini aku sial ya, masa seorang kakak dimarah-marahin sama adiknya."

"Pokoknya Dinda nggak suka kalau mas me nyia-nyiakan Anggi."

***

Malam itu ketika berbaring disamping Anggi, Adhit termenung. Kata-kata Dinda sangat menusuk perasaannya. Bukan dia sakit hati, tapi dia mulai menyadari kesalahannya. Dipandangnya isterinya, yang terbaring telentang sambil memejamkan matanya. Selalu begitu, Anggi tak pernah menuntut. Anggi menyadari kekurangannya, dan sadar seandainya Adhit tak akan memberinya cinta. Mata bening yang terpejam itu, membiaskan bulu-bulu mata lentik yang menawan. Bibir tipisnya terkatup. Ada helai-helai rambut yang menutupi wajahnya. Adhit memiringkan tubuhnya, sejenak menikmati keindahan yang setiap malam terbentang disampingnya dan tak pernah disentuhnya. 

"Alangkah berdosanya aku," bisiknya lembut. Lalu sebelah tangannya terulur, menyibakkan helai-helai rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Anggi tak terusik. Ia mungkin terlelap, atau pura-pura terelap. Wajah cantik itu tergolek diam, seperti bayi tanpa dosa. Adhit tergoda untuk menyentuh pipinya yang sidikit kemerahan. Disentuhnya pelan. Sebulan lamanya tubuh molek itu terbaring disampingnya, dan dia membiarkannya. Seperti seorang teman yang tidur seranjang, tanpa melakukan apa-apa. Tapi malam itu,entah  karena omelan Dinda, atau entah malaikat mana yang mengingatkannya, baru Adhit menyadarinya.

Disentuhnya pipinya lagi, Anggi tetap tak bergeming. Terlalu nyenyakkan tidurnya atau memang dia sedang menunggu?

Adhit menggeser tubuhnya lebih mendekat. Tubuh molek itu meggeliat, lalu berbalik memunggunginya. Adhit menghela nafas. Dia baru menyentuh pipinya, dan darahnya mulai berdesir aneh. Dibalikkannya tubuh yang menghadap kearah sana, lalu tubuh itu kembali tertelentang. Tapi mata itu masih terpejam. Desirah nafasnya halus terdengar, rupanya Anggi benar terlelap. Ia tak lagi pernah menunggu setelah sebulan penantiannya tanpa arti.

Tapi malam itu Adhit merasa lain. tubuh molek yang tergolek itu adalah miliknya, mengapa di sia-siakannya? Adhit mengangkat kepalanya, lalu mengecup bibir tipis yang terkatup dengan lembut. Tiba-tiba Anggi membuka matanya. Seperti mimpi ia merasakan ada seseorang yang mencumbuinya. Suami yang dicintainya. Ia merasa tubuhnya melayang, tinggi sekali.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Wednesday, December 18, 2019

DALAM BENING MATAMU 68

DALAM BENING MATAMU  68

(Tien Kumalasari)

Anggi terkejut. Ia langsung berdiri dan bergegas mendekati suaminya.

"Ma'af mas, Anggi nggak tau kalau mas sudah datang," katanya sambil menyambut tas kerja yang dibawa suamina.

"Mengapa kamu mem bawa-bawa kucing kerumah ini ?" tanya Adhit dngan wajah kusam.

"Iya, kucing tetangga lewat didepan sana, aku memanggilnya dan datang, tapi..."

"Jangan Lagi kamu ulangi dengan membawa kucing ataupun binatang piaraan lainnya kerumah ini, aku tidak suka," katanya sambil berlalu.

Berlinang air mata Anggi, ia tak menyangka Adhit bisa berkata sepedas itu, dengan wajah yang sangat muram, mengandung kemarahan.

"Anggi...," tiba-tiba bu Broto muncul dari dalam.

"Eyang, Anggi tidak tau bahwa mas Adhit tidak suka kucing," kata Anggi memelas, lalu menceritakan kemarahan suaminya tadi.

"Oh, iya... eyang lupa memberi tau, suamimu itu tidak suka kucing, tidak suka anjing dipelihara didalam rumah. Geli katanya. Darimana kamu bisa mendapatkan kucing itu?"

"Ada kucing lewat didepan sana, Anggi panggil lalu mendekat, warnanya bagus, sebenarnya Anggi ingin memelihara kucing."

"Jangan Anggi, Adhit pasti tidak suka," kata bu Broto sambil mengelus punggung cucu menantunya.

Anggi mengangguk, lalu meletakkan tas yang tadi dibawa suaminya diatas meja kerjanya, kemudian masuk kedalam kamar. Dilihatnya Adhit sedang berganti baju. Anggi mendekat, lalu dibantunya suaminya melepaskan kancing-kancing bajunya.

"Mas, Anggi minta ma'af, Anggi nggak tau kalau mas nggak suka kucing," katanya lembut, yang tak urung meluluhkan juga hati Adhit.Ada rasa menyesal ketika tadi berkata kasar.

"Iya, nggak apa-apa, sekarang kamu kan sudah tau. Kamu suka kucing rupanya?"

"Iya sih, tapi sekarang enggak lagi, karena mas juga nggak suka."

"Terimakasih Anggi."

"Mas mandilah dulu, aku akan siapkan minum buat mas."

"Baiklah," kata Adhit sambil menerima handuk yang diulurkan isterinya.

Anggi keluar dari kamar. Dilihatnya bu Broto ssudah duduk diruang tengah, dan teh hangat sudah dihidangkan disana.

"Ma'af eyang, tadinya Anggi mau menyiapkan minum untuk mas Adhit. Ternyata sudah siap disini, kata Anggi sambil duduk dehadapan bu Broto.

"Sudah Sumi yang menyajikannya. Suamimu masih marah?"

"Sepertinya enggak eyang. Sekarang sedang mandi."

"Baguslah, pada dasarnya Adhit itu jarang sekali marah. Hatinya sangat baik dan penyayang. Ia suka berbuat kebaikan pada siapa saja. Beruntung kamu bisa menjadi isterinya."

"Ya benar, Anggi tidak menyangka mas Adhit bersedia menerima segala kekurangan Anggi. Ini anugerah buat Anggi. Dan Anggi berjanji akan melayani dengan sepenuh jiwa raga, eyang, Anggi juga tidak akan melanggar apa yang dia larang, apa yang dia tidak suka," katanya sambil matanya menerawang kedepan, entah apa yang dipikirkanna.

"Anggi, eyang senang mendengarnya. Eyang berharap, hidup kamu akan bahagia selamanya, menjadi isteri yang baik itu kan harapan setiap suami.. ."

"Ajari Anggi supaya bisa menjadi isteri yang baik ya eyang," kata Anggi.

Bu Broto meng angguk-anguk Walau kecewa dengan cacat yang disandang cucu menantunya, tapi ia selalu berharap akan kebahagiaan mereka. Semoga.

Namun ketika keluar, Adhit sudah berganti pakaian rapi, tampaknya ia akan bepergian.

"Lho mas, mau kemana ?"

"Mau kemana, ini tehnya diminum dulu, keburu dingin tuh," ujar bu Broto.

"Iya eyang," jawab Adhit sambil duduk diantara mereka, lalu menghirup teh yang sudah disediakan.

"Ini apa eyang?"

"Itu sukun goreng, enak lho... masih hangat.."

"Oh iya eyang, tapi nanti saja ya, Adhit mau ke rumah Ayud dulu."

"Lho, kok kerumah Ayud nggak ngajak isterinya?"

"Pengin liat anaknya, lucu banget eyang. Oh ya, Anggi, kamu mau ikut?"

"Nggak mas, nanti mas kelamaan, kan Anggi harus ganti pakaian segala, kelihatannya mas buru-buru."

"Baiklah, kalau begitu temani eyang ngobrol ya," katanya sambil berdiri.

"Anggi berdiri, mengikuti suaminya dari belakang. Ada sedikit neri dihatinya, ketika menyadari suaminya tak mau mengajaknya pergi. Ia bahkan tidak memaksa ketika dirinya mengatakan tidak usah ikut, padahal dia hanya basa basi. Cuma kerumah Ayud, ia ingin juga ikut sih. 

"Ya, sudahlah," keluhnya pelan. Adhit menoleh kebelakang, sepertinya ia mendengar Anggi mengatakan sesuatu.

"Apa Nggi?"

"Nggak apa-apa, mas hati-hati dijalan ya," katanya ketika Adhit mulai membuka pintu mobil, kemudian menjalankannya.

Anggi menghela nafas panjang. Ada telaga bening mengambang dipelupuk matanya.

"Aku akan menjaga cintaku, seperti menjaga sebutir mutiara berharga," bisiknya sambil melangkah masuk kedalam rumah.

***

"Horee... ada pakde nih le..."

"Hallow... keponakan pakde yang ganteng, eh.. pakde lupa, siapa sih namanya?"

"Yee... baru dua minggu lebih sudah lupa nama keponakannya,,,, ayo jawab le, siapa namamu?" kata Ayud sambil mengulurkan anaknya di gendongan Adhit.

"Iya, pakde lupa.. siapa namamu...cah bagus?"

"Nama caya..Ananda... pakde..." jawab Ayud  yang kemudian meneriaki suaminya.

"Bapaaak, ini ada pakde..."

Raka muncul lalu menyalami kakak iparnya.

"Mana isterimu mas ?"

"Iya, budenya kok nggak ikut?"

"Nggak mau.. tadi sudah mas ajak."

"Masa nggak mau sih?" 

"Iya, benar, mas tuh nggak suka me maksa-maksa, ya.. Nanda..?"

"Jam segini sudah wangi, pulang dari kantor jam berapa?"

"Dari kantor, pulang, mandi terus kesini," jawabnya sambil menciumi Ananda. Ayud meng geleng-gelengkan kepalanya. Ia tau kakaknya tak akan memiliki anak, itukah sebabnya ia sangat sayang pada Ananda? Ada rasa sedih yang menyelinap, dan meragukan kebahagiaan mereka.

"Lain kali kalau bilang nggak mau harus dipaksa mas, kan cuma mau kesini," kata Raka.

"Iya tuh," Ayud menimpali, 

"Yah, aku kan sudah bilang nggak mau me maksa-maksa."

"Iih, mas Adhit aneh deh, memaksa kerumah adiknya kan nggak apa-apa."

Adhit juga menyesal, mengapa tadi tidak memaksanya. Terkadang ia merasa aneh, tiba-tiba sudah memiliki isteri, tapi yang belum pernah dijamahnya. Aduhai...

***

"Anggi, kamu dimana ?" itu suara Dinda ketika menelpon Anggi.

"Hai, Dinda, aku dirumah."

"Eh, kirain ngelayap kemana gitu."

"Waah, aku habis belajar memasak sama eyang. Kamu kuliah?"

"Udah selesai, ini mau kesitu, bolehkah?"

"Ya boleh dong, seneng aku, hampi sebulan nggak pernah ngelihat wajah kamu."

"Oo, iya? Emang sih, aku ini jelek-jelek begini ta[i ngangenin.. ya udah, aku sebenarnya uda jalan kesitu, hampir sampai nih."

"Ya ampuun, ya udah, aku tungguin didepan."

Begitu Anggi sampai di teras rumah, Dinda baru saja turun dari taksi online yang ditumpanginya. Setengah berlari ia mendekati sahabatnya, kemudian berpelukan lama sekali. Lalu Dinda lari ke dalam untuk menyapa bu Broto.

"Eyang, apa kabar?"

Bu Broto tampak senang melihat kedatangan Dinda. Ia memeluk dan menciumi pipi Dinda.

"Lama banget nggak kesini nduk,"

"Iya eyang, sibuk belajar, eyang lagi ngapain?"

"Nggak ngapa-ngapain, nih lagi nonton televisi. Ya sudah duduk didepan sana .. biar eyang suruh Sumi buat minuman untuk kalian."

"Ya eyang," kata Dinda yang kemudian kembali ke teras. Anggi sudah menunggunya disana.

"Apa kabar pengantin baru?"

"Baik, kamu lebih kurusan, kurang makan ya?"

"Masak sih, gila apa.. begini dibilang kurus."

"Sedikit.."

"Mungkin berat badanku sedikit berkurang, mau ujian nih. Enak kamu, nggak usah miki kuliah, kerjanya santai aja dirumah."

"Iya, lagi belajar jadi isteri," jawab Anggi sambil tertawa.

"Eh gimana sih rasanya jadi pengantin? Enakkah?"

"Gila kamu nanyanya yang aneh-aneh Din.. "

"Kalau enak, biar aku jadi kepengin... gitu lhoh.."

"Biasa aja..."

"Eh, gimana malam pertama?" kata Dinda seenaknya. Tapi Dinda heran, dilihatnya wajah Anggi muram.

"Dia belum pernah menjamah aku," kata Anggi sambil matanya menerawang jauh.

Dinda terkejut.

  Sudah sebulan .. dan belum pernah menjamah kamu?"

"Nggak apa-apa Dinda, jangan ikutan sedih begitu ah, aku sabar kok. MUngkin nggak mudah melakukan ketika cinta belum tumbuh," kata Anggi sambil tersenyum, atau memang mencoba menyiratkan senyum untuk menutupi kegelisahan hatinya.

"Ya sudah Nggi, kamu sabar ya, pada suatu hari nanti hal itu pasti akan terjadi."

"Aku tau, mas Adhit menikahi aku karena belas kasihan mendengar penderitaanku."

"Mungkin, tapi lambat laun cinta itu pasti akan tumbuh. Mas Adhit sesungguhnya sangat baik."

"Iya, aku tau."

"Ayo kita jalan-jalan.."

"Kemana?"

"Kemana aja, nggak enak dirumah terus, kan kamu udah selesai memasak?"

"Iya, aku bilang eyang dulu ya, kayaknya asyik jalan lagi sama kamu kayak dulu," sambut Anggi yang kemudian berdiri dan berpamit pada bu Broto.

***

"Mirna, maukah ikut bersama kami siang ini?" kata Dewi ketika sa'atna Mirna beristirahat.

"Kemana mbak?"

"Hari ini Bima mulang tahun, kita akan merayakannya sambil makan-makan direstoran.

"Oh ya, tapi Bima kan kesekolah?"

"Kita jemput dia, langsung kita ajak makan."

"Baiklah, terserah mbak saja."

"Aku sudah berpesan pada pembantu bahwa kita akan pergi sebentar siang ini."

"Baiklah mbak."

***

Setelah menjemput Bima, mereka kemudian pergi kerumah makan pilihan Bima. Pasti lah anak kecil, dicarinya rumah makan yang ada es krimnya.

"Selamat ulang tahun Bima," kata Mirna ketika dia sudah duduk dirumah makan itu.

"Terimakasih tante," jawab Bima tersipu.

"Ayo dong sini, tante Mirna pengin nyium pipi kamu," kata Mirna.

Bima langsung berdiri mendekat.  Mirna menciumnya dengan gemas. Bima memang gembul, pipinya seperti bakpao, kata ibunya. Dan ber kali-kali Mirna menciumnya.

"Bilang terimakasih sama tante Mirna,"

"Sudah kok.." jawab Bima sambil kembali duduk.

"mBak, nanti setelah makan, bolehkah kita mampir sebentar ke toko mainan? Saya ingin membelikan sesuatu untuk BIma."

"Mirna, nggak usah repot-repot lah, mainan Bima sudah banyak," serga Dewi.

"Ya nggak apa-apa kan mbak, ini haru istimewa buat Bima, ya Bima, nanti Bima boleh memilih mainan yang Bima suka, sebagai hadiah ulang tahun untuk Bima."

"Horeee...."

"Eh, belum-belum sudah hore.." seru Dewi sambil tersenyum.

"Terimakasih tante..." kata Bima dengan wajah berseri.

"Tapi makan es krimnya nggak boleh banyak=banyak lho."

"Iya bu, kan baru sekali," protes Bima.

"Lhah maunya berapa kali?"

Bima mengacungkan dua jarinya sambil meringis.

***

Di toko mainan itu Mirna merangkul pundak BIma, menyusuri etalase dan mempersilahkan Bima untuk memilih mainan yang disukainya. Dewi hanya mengikutinya, dan terharu melihat Mirna tampak sangat menyayangi Aji. Walah baru hamil sekali, itupun kemudian dia keguguran, tapi rasa keibuannya sangat tampak. Diam-diam Dewi berdo'a agar suatu hari nanti Mirna juga mendapatkan suami yang baik, memiliki anak=anak yang lucu.

"Bima, jangan yang mahal-mahal ya milihnya, kasihan tante Mirna," pesan Dewi yang terus mengikuti mereka dari belakang.

Mereka tidak tau, sepasang mata sedang mengawasi Mirna dan Bima dengan perasaan tak menentu.

"Itu kan MIrna? " bisiknya pelan. Lagi-lagi ia seperti melihat seorang ibu yang sedang menuntun anaknya dengan kasih sayang. Adhit merasa terguncang. Bukankah memiliki anak itu bahagia? Ia merasakan kehangatan yang terdampar dihadapannya. Tak seorangpun tau apa yang difikirkannya.

"Mirna," tak tahan ia memanggilnya.

Mirna terkejut dan berpaling kearah datangnya suara. Demikian juga Dewi dan Bima. Mereka heran melihat Adhit ada disana.

***

besok lagi ya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...