Tuesday, December 31, 2019

DALAM BENING MATAMU 76

DALAM BENING MATAMU  76

(Tien Kumalasari)

Adhit masih memegangi ponselnya, sampai bu Broto menutup pembicaraan itu. Dewi menatap sahabatnya dengan heran.

"Ada apa Dhit?"

"Dari eyang, katanya Anggi pingsan," jawab Adhit kemudian menutup ponsel dan memasukkannya kembali ke saku. Adhit berdiri, seperti orang bingung.

"Adhit, tenangkan hatimu, cepat pulang, tapi hati-hati dijalan ya."

Adhit mengangguk, kemudian berjalan kearah mobilnya, dan menjalankannya keluar dari halaman.

Dewi kembali masuk kedalam toko. Mirna masih duduk di kursi belakang toko. Tadi Dewi sengaja berbohong dengan mengatakan Mirna sudah pulang karena Mirna yang memintanya.

"Dia sudah pulang mbak?" tanya Mirna.

\"Sudah, baru saja bu Broto menelpon, katanya   Anggi pingsan."

Mirna tampak terkejut.

"Pingsan? Apa dia sakit? Tadi sepertinya baik-baik saja, tapi... entahlah kalau memang sudah merasa nggak enak badan lalu ditahannya."

"Mungkin juga."

"Kasihan dia."

"Kisah ini sangat rumit difikirkan, Mirna, kuatkanlah hatimu. Kalian saling mencintai tapi tidak bisa saling memiliki."

Mirna menghela nafas. Dia baru saja mendengar bahwa Adhit mencintainya. Dari Anggi lalu yang barusan terdengar.. dari Dewi. Apa itu benar? Ada sekilas rasa bahagia yang membuncah. Aduhai, saling mencintai? Itu kan kata-kata yang sangat indah? Tapi kemudian Mirna menjadi sedih, karena kata berikutnya adalah tidak bisa saling memiliki. 

"Mirna," lembut kata Dewi, sambil mengelus pundaknya.

"Memang cinta tidak harus saling memiliki. Tapi kalau dia bahagia, bukankah kamu juga akan bahagia?"

"Tentu saja mbak," jawab Mirna sedih.

"Itulah cinta yang sebenarnya cinta. Seperti cintanya Anggi pada suaminya bukan?"

Mirna teringat kata-kata Anggi, bahwa dia ingin Adhit bahagia. Benar, Anggi mencintai suaminya dengan sepenuh hatinya. Ikhlas berkorban walau hati tersakiti. Diam-diam timbul rasa hormat dihati Mirna terhadap Anggi.

"Tolonglah mbak..." terngiang kembali kata-kata Anggi. Tolong menikahlah dengan suamiku. Aduhai, itu pertolongan yang sulit dilakukan. Walau hati ingin tapi tak mungkin dia tega melakukannya. Biarlah Anggi dan dirinya kesakitan. Itu benar, Anggi sakit karena ternyata suami yang dicintainya tidak mencintainya. Mirna sakit karena tak bisa memenuhi keinginan Anggi sementara sebenarnya dia juga cinta. Dan benar juga kata Dewi, ini kisah yang sangat rumit.

***

Ketika Adhit sampai dirumah, sudah ada dokter didalam kamarnya. Anggi tergolek pucat, tapi sudah sadarkan diri. Melihat suaminya datang, Anggi hanya melihat sekilas, kemudian dipejamkannya kembali matanya.

"Ada apa isteri saya dok?"

"Nggak apa-apa, jangan khawatir, dia hanya merasa tertekan, entah karena apa," jawab dokter yang sudah mengemasi semua peralatannya dan siap untuk pergi.

"Tertekan?"

"Mungkin tertekan, mungkin kecapean. Tensinya agak tinggi. Tapi saya sudah memberikan resepnya."

"Ini resepnya Dhit, sudah eyang bawa," sahut bu Broto.

"Baiklah dok, nanti segera saya belikan obatnya. Terimakasih banyak."

"Sama-sama pak Adhitt, untuk sementara dia harus istirahat dulu, saya sudah memberinya suntikan penenang.Oh ya, tampaknya dia juga belum makan, tubuhnya lemas."

"Sekali lagi terimakasih dok, nanti saya suruh dia makan," kata Adhit yan kemudian berjalan mengikuti dokternya keluar kamar, langsung menuju mobilnya.

Ketika Adhit kembali ke kamar, dilihatnya Anggi masih memejamkan matanya. Bu Broto duduk disamping pembaringan, tampak khawatir.

"Sebenarnya ada apa eyang? Apakah dia terjatuh lalu pingsan?"

"Nggak, dia menunggui eyang makan, eyang suruh ikut makan katanya nanti menunggu kamu pulang. Eyang suruh makan apapun dia nggak mau. Ya sudah, eyang makan sendiri karena eyang kan harus minum vitamin yang dibelikan Ayud, dan itu diminum sing sesudah makan."

"Dia bilang pusing, atau apa...gitu?"

"Dia nggak bilang apa-apa, tapi eyang melihat wajahnya memang pucat, apa dia habis menngis ya, entahlah, eyang hanya men duga-duga. Tiba-tiba saja kepalanya terjatuh dimeja, lumayan keras. Eyang terkejut, rupanya dia [ingsan. Dengan Supi eyang mengangkatnya kekamar, Lalu eyang memanggil dokter, lalu menelpon kamu."

Adhit menghela nafas, ielusnya kepala Anggi, entah apa yang difikirkannya.

"Apa kalian bertengkar?"

"Enggak, eyang."

"Sudah beberapa hari ini sikapnya aneh. Eyang nggak pernah nanya, karena eyang nggak mau ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian. Suami isteri bertengkar itu wajar kan."

Adhit tak menjawab. Ia ingat kata dokternya tadi, Anggi tertekan? Karena apa? Adhit juga merasa bersalah sejak di menyebutkan nama Mirna ketika sedang bercinta dengan isterinya. Aku memang gila, mengapa yang aku bayangkan adalah dia? Kata batin Addhit.

"Dhit, segera kamu belikan obatnya di apotik. Ini resepnya," kata bu Broto sambil mengulurkan selembar kertas resep.

"Baiklah eyang, Adhit pergi dulu. Kalau dia terbangun, cona eyang suruh dia makan."

"Benar, eyang lihat dari pagi dia belum makan sesuatu pun. Baiklah, nanti eyang suruh dia makan, kalau perlu eyang paksa."

***

Dalam perjalanan ke apotik itu pikiran Adhit melayang ke mana-mana. Dia merasa sangat bersalah, tapi bagaimana melupakan Mirna? Mengapa tiba-tiba Mirna hinggap dihatinya dan sulit dilupakannya? Dan Anggi, mengapa juga dia memaksanya menikah dengan Mirna, bahkan mendatangi Mirna dan memintanya agar mau menikah dengannya.

Adhit menghela nafas, gelisah bukan alang kepalang.Apakah sakitnya Anggi karena memikirkan keinginannya agar dirinya menikah dengan Mirna? Ya Tuhan, mana mungkin dia bisamelakukannya? Dan Mana mungkin Mirna juga mau walau dipaksa sekalipun?

Adhit terkejut ketika tiba-tiba mobilnya entah sampai dimana. Adhit menghentikannya ditepi jalan. Bukankah apotik yang ditujunya sudah lewat? Ya Tuhan, karena melamun Adhit mengemudikan mobilnya tak menantu. Ia menunggu sepi, kemudian memutar balik mobilnya.

***

Ketika membuka matanya, Anggi melihat yu Supi sedang berdiri didekatnya. Ia baru saja meletakkan nampan berisi sup hangat dimeja.

"Yu Sumi..."

"Ya bu, tapi nama saya Supi... bukan Sumi lho,' kata Supi sambil tersenyum.

"Iya yu, habis eyang sering memangil Sumi."

"Bu sepuh sering menyebut saya Sumi, padahal Sumi itu pembantunya yang sebelum saya. Tapi nggak apa-apa bu. Iya, ibu harus makan, ini sudah saya siapkan."

Tapi Anggi menggelengkan kepalanya.

"Kan ibu belum makan dari pagi. Sebentar, saya ambilkan sedikit nasi dan sup ya, masih hangat, nanti pasti ibu segera sehat kembali," kata Supi yang kemudian mengambil mangkok kecil berisi sup hangat, lalu membubuhkan sedikit nasi kedalamnya.

"Ini bu, saya suapi ya?"

Tapi Anggi kemudian mencoba bangun. Supi membantunya duduk. 

"Sudah kuat duduk bu?"

"Aku mau makan diluar sana saja, dimeja makan," kata Anggi sambil turun dari ranjang. Supi membantunya.

"Ibu tidak apa-apa?"

"Aku bisa, biar aku berjalan sendiri. Bawa saja makanan itu ke meja makan." kata Anggi yang kemudian mencoba melangkah perlahan. Kepalanya terasa berputar. Anggi berhenti sebentar, bersandar pada pintu kamar, sementara Supi sudah keluar dengan membawa makanan yang tadi disiapkannya.

Anggi melangkah lagi setelah merasa denyut di kepalanya berkurang. Ia sampai di meja makan, dan dilihatnya bu Broto sudah duduk disana.

"Mengapa makan disini Anggi? Kamu masih pucat, sebaiknya di kamar saja."

"Nggak apa-apa eyang, Anggi nggak sakit kok, cum sedikit pusing," jawab Anggi sambil duduk dikursinya.

"Pusing itu kan gejala suatu penyakit?"

"Nggak eyang, Anggi sudah baik kok."

"Ya sudah, makan dulu, lalu kembali ke kamar ya?"

Adhit heran ketika pulang dari apotik dilihatnya Anggi duduk diruang makan.

"Anggi, kamu nggak apa-apa?"

"Aku baik-baik saja mas," jawabnya sambil menyilangkan sendok garpunya, pertanda ia sudah selesai makan.

"Sudah selesai makan?" tanyanya sambil mengelus kepala Anggi.

"Makan, cuma sedikit, itupun karena dipaksa," kata bu Broto menimpali.

"Kenapa Anggi?"

"Perutku agak mual, jadi nggak pengin makan.Aku mau kembali ke kamar."

"Baiklah, ayo aku antar ke kamar," kata Adhit yang kemudian membantu Anggi berdiri lalu menuntunnya ke kamar.

"Biar aku berjalan sendiri," 

"Tidak bisa, kamu lemas begitu. Lihat, ini sudah aku belikan obatnya, nanti sebelum berbaring kamu harus minum obatnya dulu."

Adhit memberikan obatnya, sementara Anggi duduk ditepi pembaringan.

"Obat apa ini?"

"Sudahlah, ini yang dokter berikan. Kata dojter tensi kamu tinggi, lalu kamu tertekan, benarkah?"

"Aku nggak apa-apa," katanya sambil berbaring setelah menelan obatnya.

"Kamu jangan berfikir yang macam-macam Anggi, aku adalah suamimu, dan akan tetap menjadi suami kamu."

Anggi ddiam saja, seandainya kata-kata itu disertai rasa cinta, alangkah bahagianya. Tapi tidak, ia sudah tau bahwa Adhit tidak mencintainya. Menjadi seorang suami hanya karena status. Karena dia memintanya karena iba. Anggi memejamkan matanya, mencoba menahan perasaannya agar air mata tak meleleh membasahi pipinya.

"Tidulah, dan jangan berfikir yang bukan-bukan, aku menungguimu disini," kata Adhit sambil mengelus kepala Anggi.

Bu Broto masuk kedalam kamar. Dilihatnya Anggi sudah tertidur, dan Adhit mengelus kepalanya lembut.

"Kalau butuh apa-apa, panggil Sumi biar meladeni isterimu."

"Ya eyang, nanti saya panggil bi Supi."

"Ya, Supi, selalu masih kebawa untuk menyebut nama Sumi."

Bu Broto keluar kamar, Adhit masih mengelus kepala Anggi. 

Dalam hati Adhit sungguh merasa bersalah. Ia tak harus bersikap seperti itu. Ya Tuhan, tapi mengapa sangat sulit melupakannya?

Adhit turun dari tepi pembaringan ketika desah nafas Anggi terdengar halus. Berarti Anggi sudah tertidur. Tapi ketika akan keluar dari kamar, pintu kamar terbuka, dan bu Broto masuk bersama bu Susan.

"Dhit, tadi aku juga mengabari mertuamu," kata bu Broto.

Anggi mencium tangan bu Susan.

"Ada apa dia?"

"Kata dokter tensinya agak tinggi, tapi sudah minum obatnya, sekarang dia tertidur ma."

"Mama khawatir, tampaknya Anggi mencurigai kamu selingkuh dengan Mirna," kata bu Susan tiba-tiba.

Bu Broto terkejut, Adhit melepaskan tangan mertuanya yang semula digenggamnya.

***

besok lagi ya

 

















21 comments:

  1. Sakau Saya menunggu edisi selanjutnya.Kok kayak sebentar ya Saya baca, es susah habis. Hehehe Tanggal merah dan Hari libur tetep lanjut dong ya Mba Tien. Wkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau Ada e-booknya yg versi lengkapnya.. diJual boleh saya beli? Pinisirin. 😍

      Delete
  2. Pengen cepet2 baca lanjutannya mbak tien 😊

    ReplyDelete

  3. Mbak tirn selalu bs mengaduk aduk oerasaan ..penasaran tenan ini mbak..ditunggu kelanjutannya...

    ReplyDelete
  4. Dewasa tdk tergantung usia (Anggi)

    ReplyDelete
  5. Wah ceritanya panjang bikin penasaran gmn ya kelanjutannta apakah bu susan sm bu broto marah kpd adhit .

    ReplyDelete
  6. Ayo bu ceritanya saya penasaran

    ReplyDelete
  7. aduh membacanya cuman sebentar. menunggu keluarnya aduuuuh lama sekali. . . ceoat atuh 77. 78. 79. 80.

    ReplyDelete
  8. mumpung hari libur terus hujan ga ada lagi yg untuk di baca. cepaaat ba. 77. 78. 79. 80

    ReplyDelete
  9. Part 77 ??????? Hadehhh penasaran

    ReplyDelete
  10. Bu Susan ini emang type sosialita yg suka bergosip ria.... jd kasihan sama Mirna... hmmm jd baper nih
    Semoga mbak Tien senantiasa sehat wal afiat dan makin banyak idea2 utk mengembangkan ceritanya 😚😚

    ReplyDelete
  11. Ibu tien cepet atuh jgn kelamaan, aku dah ga sabar

    ReplyDelete
  12. Berharap mirna jd ama pujaannya ..kasiaan dia

    ReplyDelete
  13. Aduuuuuuh.... Kurang puaaaanjuaaang deh, rasanya baruuuuu baca eh .. Besook lagi ya... huhuhu

    ReplyDelete
  14. Bu Tien kok lama part 77 nya ya πŸ€—πŸ€—

    ReplyDelete
  15. Tgl merah Dan Hari libur, ikutan libur cerpennya

    ReplyDelete
  16. Ceritanya sih bagus meski ada beberapa salah ketik… biasalah nilai tujuh dah cukup fairz

    ReplyDelete

M E L A T I 45

  M E L A T I    45 (Tien Kumalasari)   Melati merasa gelisah. Dia tahu, Nurin bersikap baik kepadanya, tapi ia mengkhawatirkan sikap ibunya...