CINTAKU BUKAN EMPEDU
32
(Tien Kumalasari)
Bingung untuk menjawab, Narita kemudian duduk di kursi
dapur, sementara Farah mulai sedikit bingung dengan keheranan demi keheranan
yang dirasakannya, menyaksikan dan merasakan perubahan yang sangat aneh sejak
kepergiannya pulang ke rumah. Tapi sejauh ini Farah masih menganggap, bahwa
perubahan itu terjadi karena Aliyah mulai bisa membuka hatinya pada suaminya.
“Nyonya akan duduk di sini saja? Akan saya letakkan
minuman Nyonya di ruang tengah.”
“Baiklah, di sana saja.”
“Silakan Nyonya,” kata Farah sambil membawa nampan
berisi cangkir minuman untuk 'Aliyah'.
“Nyonya sangat luar biasa, bisa mengetahui kalau tuan
Alfi tidak suka daging kambing. Pasti tuan sudah bercerita banyak tentang apa
yang disukainya, dan apa yang tidak,” kata Farah sambil berjalan mengikuti
langkah 'Aliyah'
“Ya, dia pernah mengatakannya.”
“Syukurlah, jadi Nyonya sekarang mengerti, bahwa saya
tidak menyimpan daging kambing di rumah ini. Kalau Nyonya ingin, saya akan beli
saja dari luar, khusus untuk Nyonya.”
“Bisakah?”
“Tentu saja bisa, saya akan memesan sebentar. Oh ya,
apakah ponsel Nyonya sudah ketemu?”
“Belum, bukankah kamu juga sudah mencarinya.”
“Nyonya ingin menelpon siapa? Untuk sementara bisa
memakai ponsel saya,” kata Farah sambil mengambil ponselnya, untuk memesan
gulai kambing secara online.
“Hanya menelpon teman,” ini juga ucapan yang
membuatnya terpeleset lagi, karena Farah tahu bahwa Aliyah tidak punya teman,
bahkan untuk menelpon saja Alfian baru mengajarinya setelah beli ponsel untuk
sang istri.
“Nyonya punya teman siapa, berapa nomornya, apa Nyonya
hafal?”
Narita menepuk dahinya sendiri.
“Tidak … tidak … lupakan saja, hanya tetangga kampung
…”
“Kalau memang penting, boleh saja. Tuan tadi bilang,
akan membelikan lagi ponsel untuk Nyonya. Tapi kan waktu membelikan itu, tuan
Alfi ingin mempergunakannya saat tuan ada di kantor, dan ingin bicara sama
Nyonya. Pasti tuan tidak mengira kalau Nyonya punya teman yang harus ditelpon.”
“Tidak, lupakan saja. Hanya ingin menanyakan kabarnya,
tapi aku memang tidak tahu nomor kontaknya. Aku bodoh bukan?”
Farah mengangguk, dan merasa bahwa sang nyonya memang
terkadang masih terlihat ‘bodoh’.
Sampai Farah meninggalkannya sendirian di ruang tengah
itu, Narita sedang menyesali ucapan-ucapannya yang meluncur secara tidak
sengaja.
“Semoga Farah tidak curiga,” gumamnya lirih, sambil
menyeruput minumannya.
Ketika ia duduk itu, tiba-tiba terdengar
langkah-langkah kaki mendekat. Mereka adalah pak Candra dan istrinya.
Mereka memasuki ruang tengah, dan melihat ‘Aliyah' sedang duduk menyaksikan televisi, sambil menyilangkan kaki.
“Lihatlah Pak, Aliyah sudah benar-benar seperti nyonya
besar di rumah ini,” kata bu Candra.
Narita menoleh, menatap kedua mertuanya, kemudian
berdiri dan langsung merangkul bu Candra dengan erat. Sikap itu membuat bu
Candra heran, karena biasanya Aliyah tampak takut ketika berhadapan dengannya.
“Selamat datang, Ibu, Bapak,” sapanya ramah.
Narita tidak tahu bahwa Aliyah selalu memanggil
mertuanya dengan tuan dan nyonya sepuh.
Bu Candra mendorong pelan tubuh ‘Aliyah’.
“Kami hanya mampir, untuk memberi tahu bahwa Alfian
belum bisa pulang hari ini,” kata pak Candra.
“Oh, iya Pak, tadi Alfi sudah menelpon.”
“Ada Tuan dan Nyonya Sepuh? Silakan duduk, saya
buatkan minum.”
“Tidak usah Farah, kami hanya mampir, untuk memberi
tahu bahwa Alfian belum bisa pulang hari ini,” kata bu Candra.
“Mungkin baru besok, itupun pastinya sore,” sambung
pak Candra.
“Iya Tuan Sepuh, tadi tuan Alfi sudah menelpon.”
“Baiklah kalau begitu, kami pergi dulu,” kata bu
Candra sambil bergayut pada lengan suaminya. Farah mengantarkannya sampai ke
depan.
“Nyonya kamu sudah berubah,” bisik bu Candra di
telinga Farah.
Farah hanya tersenyum. Tapi ketika mau menaiki mobil,
tiba-tiba satpam diluar datang tergopoh sambil membawa bungkusan.
“Apa itu?” tanya bu Candra.
“Pesanan makanan online, Nyonya.”
“Iya Nyonya, nyonya Aliyah ingin makan gulai kambing,”
sambung Farah sambil menerima bungkusan itu dari tangan satpam.
“Gulai kambing? Kalau ada Alfian pasti dia marah. Dia
tidak suka makan kambing. Bau masakannya saja dia tidak suka.”
Farah hanya tersenyum. Ia kembali masuk ke rumah
ketika mobil majikan sepuhnya sudah berlalu.
***
“Aku heran. Aliyah kok berubah ya?” gumam pak Candra
dalam perjalanan pulang.
“Nah, itu juga yang ibu pikirkan.”
“Dia itu kan lugu, santun, kalau sama kita begitu menghormat sampai terbungkuk-bungkuk,
kok ini tadi berbeda ya. Sungguh cepat berubahnya.”
“Dia juga tidak mengantarkan kita sampai ke depan.”
“Masa Farah atau Alfian tidak mengajarinya bersikap
santun?”
“Itu kan pilihan Bapak juga. Aku tidak setuju
pernikahan itu dilanjutkan, karena pasti akan mengecewakan. Tapi Bapak lebih
suka pernikahan itu berlanjut.”
“Aku pikir Alfian akan membuatnya menjadi baik.”
“Nanti Bapak harus bicara lagi sama Alfian. Mumpung
belum terlanjur. Beri saja uang yang banyak. Pasti itu yang diinginkannya.”
“Bukankah kita pernah menawarkan dan ditolak?”
“Itu kan hanya akal-akalan dia saja. Biar kelihatan
lugu dan bodoh, tapi sebenarnya dia ingin lebih. Lihat saja sikapnya tadi,
duduk sambil menyilangkan kaki yang diangkat di atas sofa, sambil menonton
televisi. Sama sekali tidak kelihatan lugu kok.”
“Aku juga melihat banyak perubahan atas diri Aliyah.”
“Pokoknya Bapak harus bicara. Besok begitu dia pulang,
harus bicara.”
“Iya, nanti aku bicara. Tapi bukan menyuruh dia
menceraikan.”
“Gimana sih Bapak?” kesal bu Candra.
“Supaya dia mendidiknya menjadi wanita yang santun dan
lebih baik.”
“Hmh, kelamaan,” gumam bu Candra yang sejak awal
memang kurang suka bermenantukan Aliyah. Ia kesal karena ternyata suaminya
masih berharap agar Aliyah bisa belajar menjadi lebih baik.
***
Bu RT sedang dalam perjalanan pulang dari rumah bu RW,
ketika tiba-tiba seseorang menyapanya sambil terbungkuk-bungkuk.
“Baru pulang, bu RT?”
“Iya, pak Joyo. Dari mana?”
“Tadi dari rumah anak saya yang ada diujung sana. Ini
saya ingin mengucapkan terima kasih juga lhoh, sama bu RT.”
“Terima kasih untuk apa?”
“Lha tadi, dikasih nasi sama ikan goreng, dua bungkus.
Enak sekali. Saya bagi sama anak saya juga. Sekali lagi terima kasih.”
“Nasi sama ikan goreng? Perasaan saya tidak masak ikan
hari ini.”
“Kata pak RT, dari beli di warung sana. Mau diberikan
sama orang, tapi orangnya nggak ada, jadi kemudian diberikan sama saya, yang
kebetulan bertemu di dekat rumah bu RT.”
“Oh, begitu ya.”
“Baik bu RT, saya duluan.”
Bu RT mengangguk. Dengan heran dia berjalan pulang. Ia
heran pada suaminya. Siapa sebenarnya yang akan diberinya nasi sampai dua bungkus?
Di rumah ada nasi dan lauk, kalau memang ingin memberi, kenapa ia harus beli?
Ketika sampai di rumah, dilihatnya sang suami sedang
duduk di teras rumah sambil berpangku tangan.
“Ada apa? Kok kelihatan sedih? O, yang mau dikasih
nasi sama ikan nggak ada ya, orangnya. Kasihan deh,” ejek bu RT.
Pak RT terkejut. Kok istrinya bisa tahu tentang nasi
dan ikan goreng itu?
“Bapak itu ya, sudah tua tapi kebanyakan mimpi. Orang
tua itu harusnya, diam di rumah, beribadah, bertobat, jangan punya keinginan
yang aneh-aneh.”
“Kok Ibu bisa menuduh aku punya keinginan yang
aneh-aneh? Aneh-aneh yang Ibu maksud itu apa? Coba katakan.”
“Kalau orang itu punya niat baik, ya berniatlah dengan
baik. Tidak usah berbohong, tidak usah sembunyi-sembunyi. Kalau Bapak ingin
membantu orang, masa sih aku akan melarang? Tapi kalau bantuan itu dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi, sudah pasti kalau Bapak itu niatnya tidak baik. Pasti
itu.”
“Perempuan sukanya mengada-ada,” omel pak RT.
“Siapa yang mengada-ada. Coba Bapak bilang, apa yang
aku katakan itu salah. Untuk apa Bapak beli nasi dengan ikan goreng dua bungkus? Kalau
memang ingin membantu orang lain, di rumah ada nasi, ada lauk yang lengkap. Ada
telur juga. Dan mengapa setelah tidak ketemu orang yang akan Bapak beri, lalu
Bapak berikan kepada orang lain? Supaya aku tidak tahu kan? Mengapa?”
Pak RT diam, dia merasa sakit karena diacuhkan Aliyah,
dan sekarang merasa sakit karena istrinya marah-marah. Ia tak bisa menjawab
apapun.
“Sekarang coba Bapak katakan. Siapa yang sebenarnya
ingin Bapak bantu dengan sembunyi-sembunyi itu? Siapa Pak? Aku rela kok kalau
memang dia pantas dibantu.”
Tak tahu harus menjawab apa, dan merasa bahwa harapan
untuk memiliki Aliyah sudah pupus, maka pak RT merasa lebih baik berterus
terang.
“Katakan Pak, biar aku tahu, dan bisa ikut membantu. Tidak
perlu Bapak berbohong atau melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.”
“Aliyah.”
Bu RT terkejut. Ia mengira suaminya bermimpi, karena
bukankah Aliyah sudah menikah dengan orang kaya? Mengapa suaminya harus
membantu, memberinya makan segala.
“Bapak mimpi ya? Aliyah yang mana lagi? Bukankah
Aliyah sudah menjadi orang kaya?”
“Sebenarnya dia sudah pulang, karena disia-siakan oleh
suaminya.”
"Aliyah, sudah pulang karena disia-siakan oleh
suaminya? Perhelatan yang mewah dan disiarkan oleh banyak stasiun tivi itu
akhirnya bubar?”
“Dan Aliyah pulang tanpa memiliki uang sepeserpun.
Miskin dan kelaparan. Aku menemukannya di jalan, lalu mengantarkannya pulang.”
Karena tidak percaya, bu RT segera meninggalkan
suaminya, bergegas pergi ke rumah Aliyah. Apa yang dikatakan suaminya sangat
mengherankan. Ia harus membuktikannya.
Ketika ia sampai di rumah Aliyah, ia melihat lampu di
depan rumahnya menyala. Memang lampu di depan itu selalu menyala setiap siang
dan malam. Bu RT mendekat, dan memanggil namanya.
“Aliyah … Aliyah, apa kamu ada di dalam?”
Tapi tak ada jawaban. Bu RT mengetuk pintunya, tetap
tak ada jawaban.
“Dasar pembohong,” omel bu RT sambil meninggalkan
rumah Aliyah.
Begitu masuk rumah, Bu RT langsung menuding wajah
suaminya dengan marah.
“Dasar pembohong. Pasti Bapak punya simpanan. Ya kan?
Siapa dia? Katakan siapa?”
“Ibu itu bagaimana sih. Aku tadi dituduh berbohong,
setelah berterus terang, masih saja dituduh berbohong.”
“Aku tadi dari rumah Aliyah, dan nyatanya Aliyah tidak
ada. Bapak bermimpi kan?”
Ketika itu tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Pak
RT ingin menuju ke arah depan, tapi ditahan oleh istrinya.
“Biar aku saja.”
Bu RT bergegas ke depan, terkejut ketika melihat Pinto
datang berkunjung.
“Nak Pinto? Ayo masuklah Nak.”
“Di sini saja Bu, anginnya segar, soalnya udara panas
sekali.”
“Iya benar Nak. Kok tumben nih, nggak kerja?”
“Saya dinas pagi Bu. Pak RT ada?”
“Ada, lagi di dalam. Mau ketemu pak RT?”
“Tidak juga Bu, hanya ingin main.”
“Saya sedang kesal sama pak RT. Dia bermimpi dengan
mengatakan bahwa Aliyah pulang. Masa sih, sudah jadi istri orang kaya,
tiba-tiba pulang?”
“Jadi Bu RT tidak tahu ya? Aliyah itu memang
benar-benar pulang.”
“Apa? Nak Pinto melihatnya?”
“Saya melihatnya, tapi dia berubah sombong sekali.
Sama saya tidak lagi mau kenal. Tapi kata pak RT, sikapnya sama pak RT baik.”
“Aku kok tidak mengerti sih Nak, bukankah dia sudah
jadi istri orang kaya?”
“Menurut pak RT, dia disia-siakan suaminya, lalu
memilih pulang.”
“Jadi benar, dia pulang. Saya tadi ke rumahnya, tapi
dia tidak ada di rumah.”
“Sudah beberapa hari saya melihatnya. Tadi siang juga
dia lewat di depan rumah makan, tempat saya bekerja. Dia menyapa saya, tapi
saya diamkan saja. Saya malah menjauhi dia.”
“Kenapa Nak?”
“Sebelumnya dia tidak mau menyapa saya, bahkan
mengatakan bahwa tidak kenal sama saya.”
Kemarahan bu RT kepada suaminya agak mereda, ketika
tahu bahwa Aliyah memang benar-benar pulang. Tapi cara dia menolong dengan
sembunyi-sembunyi, tetap saja membuatnya marah dan sakit.
***
Sore hari esoknya, Alfian memang benar-benar pulang.
Narita dengan gaya malu-malu yang dibuat-buat, menyambutnya.
Tak banyak yang dilakukan Alfian kepada ‘istrinya’
seperti biasa, karena Alfian harus menahan diri sampai Aliyah benar-benar
bersedia didekatinya tanpa paksaan.
Malam itu karena sangat letih, setelah makan malam
Alfian segera beranjak tidur lebih awal.
“Aku ingin segera istirahat Aliyah, besok sore setelah
pulang dari kantor, aku ajak kamu jalan-jalan.
“Baiklah, lebih baik kamu beristirahat, Alfi,” jawab
‘Aliyah’ tanpa membantah.
Iapun segera masuk ke dalam kamarnya. Tapi sampai lewat tengah malam Narita tak bisa
tidur. Keinginannya untuk segera bisa mendekati Alfian tak tertahankan. Ia
bangkit dari tempat tidurnya. Ia membuka almari dan memilih baju yang kira-kira
menarik untuk dipakai. Ia keluar dari kamar, menata debur darahnya yang nyaris
mendidih, lalu membuka pintunya perlahan. Ia masuk dan menutup pintunya pelan.
Dadanya sesak karena menahan gejolak yang sudah lama dipendamnya. Ia menatap
Alfian yang tergolek dengan nafas lembutnya, dan tampak terlelap.
Lupa segala-galanya, Narita mendekat, dan berdiri di
pinggir ranjang.
***
Besok lagi ya.