Saturday, April 29, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 32

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  32

(Tien Kumalasari)

 

Bingung untuk menjawab, Narita kemudian duduk di kursi dapur, sementara Farah mulai sedikit bingung dengan keheranan demi keheranan yang dirasakannya, menyaksikan dan merasakan perubahan yang sangat aneh sejak kepergiannya pulang ke rumah. Tapi sejauh ini Farah masih menganggap, bahwa perubahan itu terjadi karena Aliyah mulai bisa membuka hatinya pada suaminya.

“Nyonya akan duduk di sini saja? Akan saya letakkan minuman Nyonya di ruang tengah.”

“Baiklah, di sana saja.”

“Silakan Nyonya,” kata Farah sambil membawa nampan berisi cangkir minuman untuk 'Aliyah'.

“Nyonya sangat luar biasa, bisa mengetahui kalau tuan Alfi tidak suka daging kambing. Pasti tuan sudah bercerita banyak tentang apa yang disukainya, dan apa yang tidak,” kata Farah sambil berjalan mengikuti langkah 'Aliyah'

“Ya, dia pernah mengatakannya.”

“Syukurlah, jadi Nyonya sekarang mengerti, bahwa saya tidak menyimpan daging kambing di rumah ini. Kalau Nyonya ingin, saya akan beli saja dari luar, khusus untuk Nyonya.”

“Bisakah?”

“Tentu saja bisa, saya akan memesan sebentar. Oh ya, apakah ponsel Nyonya sudah ketemu?”

“Belum, bukankah kamu juga sudah mencarinya.”

“Nyonya ingin menelpon siapa? Untuk sementara bisa memakai ponsel saya,” kata Farah sambil mengambil ponselnya, untuk memesan gulai kambing secara online.

“Hanya menelpon teman,” ini juga ucapan yang membuatnya terpeleset lagi, karena Farah tahu bahwa Aliyah tidak punya teman, bahkan untuk menelpon saja Alfian baru mengajarinya setelah beli ponsel untuk sang istri.

“Nyonya punya teman siapa, berapa nomornya, apa Nyonya hafal?”

Narita menepuk dahinya sendiri.

“Tidak … tidak … lupakan saja, hanya tetangga kampung …”

“Kalau memang penting, boleh saja. Tuan tadi bilang, akan membelikan lagi ponsel untuk Nyonya. Tapi kan waktu membelikan itu, tuan Alfi ingin mempergunakannya saat tuan ada di kantor, dan ingin bicara sama Nyonya. Pasti tuan tidak mengira kalau Nyonya punya teman yang harus ditelpon.”

“Tidak, lupakan saja. Hanya ingin menanyakan kabarnya, tapi aku memang tidak tahu nomor kontaknya. Aku bodoh bukan?”

Farah mengangguk, dan merasa bahwa sang nyonya memang terkadang masih terlihat ‘bodoh’.

Sampai Farah meninggalkannya sendirian di ruang tengah itu, Narita sedang menyesali ucapan-ucapannya yang meluncur secara tidak sengaja.

“Semoga Farah tidak curiga,” gumamnya lirih, sambil menyeruput minumannya.

Ketika ia duduk itu, tiba-tiba terdengar langkah-langkah kaki mendekat. Mereka adalah pak Candra dan istrinya.

Mereka memasuki ruang tengah, dan melihat ‘Aliyah' sedang duduk menyaksikan televisi, sambil menyilangkan kaki.

“Lihatlah Pak, Aliyah sudah benar-benar seperti nyonya besar di rumah ini,” kata bu Candra.

Narita menoleh, menatap kedua mertuanya, kemudian berdiri dan langsung merangkul bu Candra dengan erat. Sikap itu membuat bu Candra heran, karena biasanya Aliyah tampak takut ketika berhadapan dengannya.

“Selamat datang, Ibu, Bapak,” sapanya ramah.

Narita tidak tahu bahwa Aliyah selalu memanggil mertuanya dengan tuan dan nyonya sepuh.

Bu Candra mendorong pelan tubuh ‘Aliyah’.

“Kami hanya mampir, untuk memberi tahu bahwa Alfian belum bisa pulang hari ini,” kata pak Candra.

“Oh, iya Pak, tadi Alfi sudah menelpon.”

“Ada Tuan dan Nyonya Sepuh? Silakan duduk, saya buatkan minum.”

“Tidak usah Farah, kami hanya mampir, untuk memberi tahu bahwa Alfian belum bisa pulang hari ini,” kata bu Candra.

“Mungkin baru besok, itupun pastinya sore,” sambung pak Candra.

“Iya Tuan Sepuh, tadi tuan Alfi sudah menelpon.”

“Baiklah kalau begitu, kami pergi dulu,” kata bu Candra sambil bergayut pada lengan suaminya. Farah mengantarkannya sampai ke depan.

“Nyonya kamu sudah berubah,” bisik bu Candra di telinga Farah.

Farah hanya tersenyum. Tapi ketika mau menaiki mobil, tiba-tiba satpam diluar datang tergopoh sambil membawa bungkusan.

“Apa itu?” tanya bu Candra.

“Pesanan makanan online, Nyonya.”

“Iya Nyonya, nyonya Aliyah ingin makan gulai kambing,” sambung Farah sambil menerima bungkusan itu dari tangan satpam.

“Gulai kambing? Kalau ada Alfian pasti dia marah. Dia tidak suka makan kambing. Bau masakannya saja dia tidak suka.”

Farah hanya tersenyum. Ia kembali masuk ke rumah ketika mobil majikan sepuhnya sudah berlalu.

***

“Aku heran. Aliyah kok berubah ya?” gumam pak Candra dalam perjalanan pulang.

“Nah, itu juga yang ibu pikirkan.”

“Dia itu kan lugu, santun, kalau sama  kita begitu menghormat sampai terbungkuk-bungkuk, kok ini tadi berbeda ya. Sungguh cepat berubahnya.”

“Dia juga tidak mengantarkan kita sampai ke depan.”

“Masa Farah atau Alfian tidak mengajarinya bersikap santun?”

“Itu kan pilihan Bapak juga. Aku tidak setuju pernikahan itu dilanjutkan, karena pasti akan mengecewakan. Tapi Bapak lebih suka pernikahan itu berlanjut.”

“Aku pikir Alfian akan membuatnya menjadi baik.”

“Nanti Bapak harus bicara lagi sama Alfian. Mumpung belum terlanjur. Beri saja uang yang banyak. Pasti itu yang diinginkannya.”

“Bukankah kita pernah menawarkan dan ditolak?”

“Itu kan hanya akal-akalan dia saja. Biar kelihatan lugu dan bodoh, tapi sebenarnya dia ingin lebih. Lihat saja sikapnya tadi, duduk sambil menyilangkan kaki yang diangkat di atas sofa, sambil menonton televisi. Sama sekali tidak kelihatan lugu kok.”

“Aku juga melihat banyak perubahan atas diri Aliyah.”

“Pokoknya Bapak harus bicara. Besok begitu dia pulang, harus bicara.”

“Iya, nanti aku bicara. Tapi bukan menyuruh dia menceraikan.”

“Gimana sih Bapak?” kesal bu Candra.

“Supaya dia mendidiknya menjadi wanita yang santun dan lebih baik.”

“Hmh, kelamaan,” gumam bu Candra yang sejak awal memang kurang suka bermenantukan Aliyah. Ia kesal karena ternyata suaminya masih berharap agar Aliyah bisa belajar menjadi lebih baik.

***

Bu RT sedang dalam perjalanan pulang dari rumah bu RW, ketika tiba-tiba seseorang menyapanya sambil terbungkuk-bungkuk.

“Baru pulang, bu RT?”

“Iya, pak Joyo. Dari mana?”

“Tadi dari rumah anak saya yang ada diujung sana. Ini saya ingin mengucapkan terima kasih juga lhoh, sama bu RT.”

“Terima kasih untuk apa?”

“Lha tadi, dikasih nasi sama ikan goreng, dua bungkus. Enak sekali. Saya bagi sama anak saya juga. Sekali lagi terima kasih.”

“Nasi sama ikan goreng? Perasaan saya tidak masak ikan hari ini.”

“Kata pak RT, dari beli di warung sana. Mau diberikan sama orang, tapi orangnya nggak ada, jadi kemudian diberikan sama saya, yang kebetulan bertemu di dekat rumah bu RT.”

“Oh, begitu ya.”

“Baik bu RT, saya duluan.”

Bu RT mengangguk. Dengan heran dia berjalan pulang. Ia heran pada suaminya. Siapa sebenarnya yang akan diberinya nasi sampai dua bungkus? Di rumah ada nasi dan lauk, kalau memang ingin memberi, kenapa ia harus beli?

Ketika sampai di rumah, dilihatnya sang suami sedang duduk di teras rumah sambil berpangku tangan.

“Ada apa? Kok kelihatan sedih? O, yang mau dikasih nasi sama ikan nggak ada ya, orangnya. Kasihan deh,” ejek bu RT.

Pak RT terkejut. Kok istrinya bisa tahu tentang nasi dan ikan goreng itu?

 “Apa sih bu, Kau ini …”

“Bapak itu ya, sudah tua tapi kebanyakan mimpi. Orang tua itu harusnya, diam di rumah, beribadah, bertobat, jangan punya keinginan yang aneh-aneh.”

“Kok Ibu bisa menuduh aku punya keinginan yang aneh-aneh? Aneh-aneh yang Ibu maksud itu apa? Coba katakan.”

“Kalau orang itu punya niat baik, ya berniatlah dengan baik. Tidak usah berbohong, tidak usah sembunyi-sembunyi. Kalau Bapak ingin membantu orang, masa sih aku akan melarang? Tapi kalau bantuan itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, sudah pasti kalau Bapak itu niatnya tidak baik. Pasti itu.”

“Perempuan sukanya mengada-ada,” omel pak RT.

“Siapa yang mengada-ada. Coba Bapak bilang, apa yang aku katakan itu salah. Untuk apa Bapak beli nasi dengan ikan goreng dua bungkus? Kalau memang ingin membantu orang lain, di rumah ada nasi, ada lauk yang lengkap. Ada telur juga. Dan mengapa setelah tidak ketemu orang yang akan Bapak beri, lalu Bapak berikan kepada orang lain? Supaya aku tidak tahu kan? Mengapa?”

Pak RT diam, dia merasa sakit karena diacuhkan Aliyah, dan sekarang merasa sakit karena istrinya marah-marah. Ia tak bisa menjawab apapun.

“Sekarang coba Bapak katakan. Siapa yang sebenarnya ingin Bapak bantu dengan sembunyi-sembunyi itu? Siapa Pak? Aku rela kok kalau memang dia pantas dibantu.”

Tak tahu harus menjawab apa, dan merasa bahwa harapan untuk memiliki Aliyah sudah pupus, maka pak RT merasa lebih baik berterus terang.

“Katakan Pak, biar aku tahu, dan bisa ikut membantu. Tidak perlu Bapak berbohong atau melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.”

“Aliyah.”

Bu RT terkejut. Ia mengira suaminya bermimpi, karena bukankah Aliyah sudah menikah dengan orang kaya? Mengapa suaminya harus membantu, memberinya makan segala.

“Bapak mimpi ya? Aliyah yang mana lagi? Bukankah Aliyah sudah menjadi orang kaya?”

“Sebenarnya dia sudah pulang, karena disia-siakan oleh suaminya.”

"Aliyah, sudah pulang karena disia-siakan oleh suaminya? Perhelatan yang mewah dan disiarkan oleh banyak stasiun tivi itu akhirnya bubar?”

“Dan Aliyah pulang tanpa memiliki uang sepeserpun. Miskin dan kelaparan. Aku menemukannya di jalan, lalu mengantarkannya pulang.”

Karena tidak percaya, bu RT segera meninggalkan suaminya, bergegas pergi ke rumah Aliyah. Apa yang dikatakan suaminya sangat mengherankan. Ia harus membuktikannya.

Ketika ia sampai di rumah Aliyah, ia melihat lampu di depan rumahnya menyala. Memang lampu di depan itu selalu menyala setiap siang dan malam. Bu RT mendekat, dan memanggil namanya.

“Aliyah … Aliyah, apa kamu ada di dalam?”

Tapi tak ada jawaban. Bu RT mengetuk pintunya, tetap tak ada jawaban.

“Dasar pembohong,” omel bu RT sambil meninggalkan rumah Aliyah.

Begitu masuk rumah, Bu RT langsung menuding wajah suaminya dengan marah.

“Dasar pembohong. Pasti Bapak punya simpanan. Ya kan? Siapa dia? Katakan siapa?”

“Ibu itu bagaimana sih. Aku tadi dituduh berbohong, setelah berterus terang, masih saja dituduh berbohong.”

“Aku tadi dari rumah Aliyah, dan nyatanya Aliyah tidak ada. Bapak bermimpi kan?”

Ketika itu tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Pak RT ingin menuju ke arah depan, tapi ditahan oleh istrinya.

“Biar aku saja.”

Bu RT bergegas ke depan, terkejut ketika melihat Pinto datang berkunjung.

“Nak Pinto? Ayo masuklah Nak.”

“Di sini saja Bu, anginnya segar, soalnya udara panas sekali.”

“Iya benar Nak. Kok tumben nih, nggak kerja?”

“Saya dinas pagi Bu. Pak RT ada?”

“Ada, lagi di dalam. Mau ketemu pak RT?”

“Tidak juga Bu, hanya ingin main.”

“Saya sedang kesal sama pak RT. Dia bermimpi dengan mengatakan bahwa Aliyah pulang. Masa sih, sudah jadi istri orang kaya, tiba-tiba pulang?”

“Jadi Bu RT tidak tahu ya? Aliyah itu memang benar-benar pulang.”

“Apa? Nak Pinto melihatnya?”

“Saya melihatnya, tapi dia berubah sombong sekali. Sama saya tidak lagi mau kenal. Tapi kata pak RT, sikapnya sama pak RT baik.”

“Aku kok tidak mengerti sih Nak, bukankah dia sudah jadi istri orang kaya?”

“Menurut pak RT, dia disia-siakan suaminya, lalu memilih pulang.”

“Jadi benar, dia pulang. Saya tadi ke rumahnya, tapi dia tidak ada di rumah.”

“Sudah beberapa hari saya melihatnya. Tadi siang juga dia lewat di depan rumah makan, tempat saya bekerja. Dia menyapa saya, tapi saya diamkan saja. Saya malah menjauhi dia.”

“Kenapa Nak?”

“Sebelumnya dia tidak mau menyapa saya, bahkan mengatakan bahwa tidak kenal sama saya.”

Kemarahan bu RT kepada suaminya agak mereda, ketika tahu bahwa Aliyah memang benar-benar pulang. Tapi cara dia menolong dengan sembunyi-sembunyi, tetap saja membuatnya marah dan sakit.

***

Sore hari esoknya, Alfian memang benar-benar pulang. Narita dengan gaya malu-malu yang dibuat-buat, menyambutnya.

Tak banyak yang dilakukan Alfian kepada ‘istrinya’ seperti biasa, karena Alfian harus menahan diri sampai Aliyah benar-benar bersedia didekatinya tanpa paksaan.

Malam itu karena sangat letih, setelah makan malam Alfian segera beranjak tidur lebih awal.

“Aku ingin segera istirahat Aliyah, besok sore setelah pulang dari kantor, aku ajak kamu jalan-jalan.

“Baiklah, lebih baik kamu beristirahat, Alfi,” jawab ‘Aliyah’ tanpa membantah.

Iapun segera masuk ke dalam kamarnya. Tapi  sampai lewat tengah malam Narita tak bisa tidur. Keinginannya untuk segera bisa mendekati Alfian tak tertahankan. Ia bangkit dari tempat tidurnya. Ia membuka almari dan memilih baju yang kira-kira menarik untuk dipakai. Ia keluar dari kamar, menata debur darahnya yang nyaris mendidih, lalu membuka pintunya perlahan. Ia masuk dan menutup pintunya pelan. Dadanya sesak karena menahan gejolak yang sudah lama dipendamnya. Ia menatap Alfian yang tergolek dengan nafas lembutnya, dan tampak terlelap.

Lupa segala-galanya, Narita mendekat, dan berdiri di pinggir ranjang.

***

Besok lagi ya.

Friday, April 28, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 31

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  31

(Tien Kumalasari)

 

Ada apa dengan mas Pinto? Dipanggil kok malah lari? Padahal aku mau cerita banyak sama dia. Salahku apa ya?

Karena penasaran, Aliyah mendekat ke arah samping rumah makan, lalu melongok ke dalam. Seorang karyawan mendekat.

“Ada apa ya Mbak?”

“Mau ketemu mas Pinto. Ada kan?”

“Mas Pinto? Dia sudah pulang.”

“Lhoh, tadi masuk ke dalam sini tuh.”

“Dia keluar lewat pintu belakang, Mbak.”

“Oh, baiklah, terima kasih.”

Aliyah membalikkan tubuhnya, melangkah pulang dengan seribu satu pertanyaan memenuhi benaknya.

“Mengapa ya, mas Pinto menghindar? Apakah aku bersalah sama dia? Harusnya aku samperin saja dia ke rumah kost nya. Ah, tapi nggak enak ah, masa aku nyamperin ke rumah kost seorang pria. Dulu itu kan karena terpaksa, aku lagi sakit hampir pingsan. Ya sudah lah, siapa tahu ada kali lain yang lebih baik untuk bicara,” gumam Aliyah sambil terus melangkah.

Aliyah sangat merindukan rumah neneknya lagi. Sudah berhari-hari dia tidak membersihkannya, sejak dia pulang diantar Farah, dan itu juga dengan tergesa-gesa. Itu sebabnya dia bergegas melangkah, dan segera melupakan kekecewaannya karena sikap Pinto yang dianggapnya aneh.

Beruntung Aliyah tak bertemu siapapun sampai dia memasuki rumahnya. Tapi ia merasa ada yang aneh. Ada bekas gelas minum terletak di meja, dan kamar neneknya sedikit terbuka.

“Siapa yang memasuki rumah ini? Memang sih, pasti tak akan ada barang yang hilang, karena apa yang diharapkan, seandainya ada pencuri masuk di rumah ini?” gumamnya perlahan.

Aliyah memasuki kamar neneknya, dan melihat ada plastik keresek teronggok di lantai, berisi beberapa potong pakaian.

“Aneh, siapa memasuki kamar nenek dan meletakkan baju-bajunya di sini? Haa, dia juga membuka almari nenek, sementara aku selama hidup belum pernah membukanya, kecuali untuk memasukkan baju-baju nenek yang telah aku cuci, waktu nenek masih hidup.”

Aliyah membuka lebar almari neneknya, dan melihat sebuah kotak kayu yang diletakkan sembarangan di rak paling bawah.

Apa yang ada di dalam kotak itu? Aliyah menariknya keluar, lalu dia duduk bersimpuh di sana.

“Tak mungkin ada berlian tersimpan di dalam kotak nenek,” gumamnya sambil mengeluarkan isi kotak.

Seperti juga Narita, ia menemukan dua pasang kaos kaki bayi, bersulan tulisan masing-masing sebuah nama.

“Aliyah, itu kan namaku, tapi satunya ini, Afifah… siapa dia? Aku punya saudara?”

Aliyah menarik keluar sebuah amplop dengan tulisan yang hampir buram, tapi masih jelas bisa terbaca.

Aliyah terbelalak membacanya sampai habis. Air matanya pun bercucuran.

“Jadi aku punya saudara kembar? Apakah … apakah … “

Lalu ingatan Aliyah melayang ke arah beberapa minggu yang lalu, saat dia ditangkap dan disiksa oleh Alfian, karena Alfian mengira dia adalah Narita.

“Apakah Narita itu saudara kembar aku? Kami terpisah saat ada bencana banjir. Aku dirawat oleh pembantu keluarga aku. Jadi nenek Supi itu tadinya pembantu ayah ibuku? O, nenek, mengapa tidak sejak dulu nenek mengatakan semua ini? Kemungkinan besar, saudara kembar aku itu masih hidup nek, dia bernama Narita, bukan Afifah.”

Aliyah menangis sesenggukan.

“Aku harus mencari Narita, tapi ke mana aku harus mencarinya? Dia dianggap penjahat oleh tuan Alfi, karena melarikan uang dan perhiasan yang sangat banyak. Mengapa kamu begitu jahat, Narita?” isak Aliyah.

Aliyah membongkar semua isi kotak itu. Ternyata masih ada sebuah amplop lagi. Aliyah menariknya, ada sebuah foto. Seorang laki-laki ganteng dan perempuan cantik, memangku dua bayi yang baru bisa duduk, berwajah persis sama.

“Inikah foto ayah ibuku? Dan ini adalah aku dan Narita?”

Ada tertulis nama di belakang foto itu. Keluarga Pambudi.

Hanya itu. Tapi Aliyah segera tahu. Dia dilahirkan kembar, kembarannya bernama Afifah, ayahnya bernama Pambudi, dan nenek Supi sebenarnya adalah membantu keluarganya.

Air mata Aliyah kembali bercucuran. Ia tak menyangka keluarganya menjadi tercerai berai. Dan melihat pakaian yang dikenakan ayah ibunya, ia tahu bahwa ayah ibunya adalah orang yang cukup berada.

“Semuanya sudah tak ada. Tapi aku masih memiliki saudara kembar, Afifah atau yang sekarang bernama Narita. Tampaknya dia lebih beruntung, karena ditemukan oleh orang kaya yang pastinya sangat memanjakannya. Tapi mengapa dia begitu jahat? Siapa sebenarnya orang tua yang telah memungut Afifah?

Aliyah menyimpan kembali barang-barang itu ke dalam tempatnya semula, tapi ia mengambil foto itu untuk dibawanya nanti.

Aliyah segera mulai membersihkan rumah dan kamar neneknya. Tapi ia heran melihat bungkusan baju wanita di kamar.

“Berarti ada yang masuk dan tinggal di rumah ini sampai beberapa hari. Siapa dia? Dan mengapa ke rumah ini?”

Aliyah hampir selesai bersih-bersih, ketika sebuah panggilan menyebut namanya, berteriak dari arah depan dan langsung masuk ke rumah.

“Aliyah …. Aliyah sayang …”

Aliyah terkejut. Itu kan suara pak RT? Lancang sekali dia, berani masuk ke dalam rumahnya. Pakai manggil ‘sayang’ pula? Wajah Aliyah gelap karena kesal. Ia menatap pak RT yang tiba-tiba sudah ada di depannya.

“Aliyah, sedang apa kamu?”

“Mengapa pak RT masuk ke dalam rumah? Ini sangat tidak pantas. Saya harap segera keluarlah.” Kata Aliyah sengit.

Sambutan dingin dan penuh amarah itu membuat pak RT terkejut. Ia merasa, biasanya Aliyah menyambutnya dengan manis.

“Aliyah, ada apa kamu ini? Lihat, aku membawakan nasi bungkus dengan lauk ikan goreng. Pasti enak. Lihatlah.”

“Pak RT, siapa yang minta makanan dari pak RT? Segera keluarlah. Ini tidak pantas. Bukankah saya sudah pernah mengatakannya?” kata Aliyah sambil bergegas keluar rumah, maksudnya agar pak RT mengikutinya keluar. Dan pak RT memang mengikutinya, sambil masih menenteng bungkusan di dalam keresek hitam yang tadi dibawanya.

“Aliyah, ada apa kamu ini? Dengar. Istriku sedang arisan di rumah bu RW, aku memerlukan beli makanan ini, dan aku sempat menemukan lagi kartu ATM ku, nanti aku beri  kamu uang.”

Kata-kata pak RT sangat tidak dimengerti oleh Aliyah. Pak RT bersikap seakan sudah sangat akrab dengan dirinya.

“Aliyah, ini nasi nya, bisa untuk nanti malam juga. Uangnya juga sudah aku siapkan. Kali ini aku beri kamu tigaratus ribu,” katanya sambil merogoh saku celananya.

“Saya tidak mengerti apa yang pak RT katakan. Segera pergi dari sini, atau saya berteriak, agar pak RT mendapat malu,” kata Aliyah yang kemudian masuk ke dalam rumah, menutup pintunya rapat, dan menahannya dengan sebuah palang pintu, karena kunci rumahnya tidak lagi berfungsi dengan baik.

Pak RT terbelalak. Perubahan sikap Aliyah membuatnya heran, sekaligus sedih. Sudah banyak rencana yang disusunnya, agar bisa selalu berada di dekat Aliyah. Kalau perlu ia akan menceraikan istrinya. Bukankah yang lebih muda dan segar akan lebih membuatnya senang? Tapi mengapa tiba-tiba Aliyah berubah?

Pak RT melangkah keluar dari halaman, sambil membawa bungkusan nasi lauk ikan, dan memasukkan lagi uang tigaratus ribu itu ke dalam saku celananya.

***

 Aliyah sudah merasa puas melihat rumah nenek Supi kelihatan bersih. Tapi keheranannya tentang baju-baju dan bekas minum di dalam rumah itu tidak juga terjawab. Siapa gerangan yang memasuki rumahnya dan bahkan tinggal di situ selama beberapa hari? Barangkali pak RT tahu, lalu Aliyah menyesal karena tadi tidak menanyakannya. Tapi tidak, ia enggan berbicara dengan pak RT yang sikapnya aneh, dan dirasa menjijikkan. Habis, ia juga memanggilnya dengan  panggilan ‘sayang’. Enak saja.

“Oh ya, pasti tuan Alfi mencari aku ke rumah ini, apakah mbak Farah membawakan baju-baju itu untuk aku? Tapi tidak, aku sudah melihatnya. Memang baju-baju itu bagus, tapi bukan baju yang pernah diberikan tuan Alfi untuk aku. Kalaupun mbak Farah mencari aku, ia pasti tak akan berlama-lama berada di sini.  Begitu tak ada aku, pasti dia sudah kembali. Kasihan juga  ya. Apakah tuan Alfi memarahinya karena mbak Farah tidak menemukan aku? Barangkali juga tuan Alfi tidak lagi peduli akan kepergianku. Aku bukan gadis istimewa yang pantas diburu oleh seorang tuan muda seperti tuan Alfi. Ah, sudahlah, aku tak mau memikirkannya lagi. Semoga tuan Alfi segera menemukan gadis yang pantas untuknya, dan hidup berbahagia.”

Lalu Aliyah membiarkannya saja tentang siapa yang tidur di rumah itu. Kalaupun ada yang mau tidur dirumah nenek Supi, ia tidak keberatan, karena pasti orang itu tidak punya tempat berteduh, dan membiarkan orang berteduh di rumahnya, tidak membuatnya kesusahan. Barangkali juga, kalau nenek Supi masih ada, dia akan dengan suka rela membantu orang lain dengan membiarkan orang berteduh di rumahnya. Toh tidak akan ada barang berharga yang hilang, karena bukankah nenek Supi tidak punya harta yang akan membuat orang tertarik untuk mencurinya?

Aliyah meninggalkan lagi rumahnya, bermaksud kembali ke warung bu Siti, karena dia sudah berjanji akan membantunya. Pekerjaan itu penting, untuk menyambung hidupnya, bukan?

Di depan rumah makan di mana Pinto bekerja, Aliyah berhenti sejenak. Ia mengamati pelayan yang sedang malayani pelanggan, tapi ia tak melihat bayangan Pinto. Mungkin Pinto bertugas pagi dan di sore hari seperti ini pastilah dia sudah pulang.

Aliyah melanjutkan langkahnya. Masih ada sisa uang untuk naik angkutan umum, supaya dia tidak kemalaman di jalan.

“Lain kali aku akan menemui mas Pinto dan menanyakan sikapnya yang aneh. Dan aku juga ingin banyak bercerita sama dia.”

***

Farah sedang menerima telpon dari tuan Alfi, yang mengatakan bahwa kepulangannya ditunda sampai besok, karena pembicaraan belum selesai..

“Tapi begitu selesai, aku akan langsung pulang. Bagaimana Aliyah? Dia baik-baik saja bukan?”

“Nyonya Aliyah baik-baik saja. Selama tiga hari ini, nyonya sudah mau makan banyak.”

“Pasti dia masih rajin belajar masak sama kamu, bukan?”

“Sudah sejak Tuan pergi, nyonya Aliyah agak tidak bersemangat membantu di dapur. Pasti dia sedih karena Tuan tidak ada.”

“Benarkah dia sedih?”

“Tentu saja Tuan. Saya melihat, bahwa nyonya sudah mulai menyukai Tuan, bahkan sebelum tuan berangkat pergi.”

“Apa dia berbicara tentang hal yang menyakitkan tentang ibuku?”

“Dia hanya menyatakan bahwa hatinya sakit. Tapi dia sudah tahu, bahwa yang terpenting adalah Tuan.”

“Syukurlah, layani dia dengan baik, dan berikan apa yang dia inginkan.”

Farah ingin mengatakan  tentang uang yang tujuh juta untuk membayar cincin itu, tapi diurungkannya. Sesungguhnya dia juga tak ingin tuannya kecewa karena ‘Aliyah’ telah menggantikan cicin itu dengan yang lain.

“Baiklah, sebenarnya aku ingin bicara sama dia, tapi kalau dia sedang tidur, biarkan saja.”

“Oh ya, nyonya kelihatannya kehilangan ponsel yang tuan berikan.”

“Hilang bagaimana?”

“Dia bilang, lupa menaruhnya di mana. Saya sudah mencari di kamarnya, tapi tidak ketemu.”

“Nanti saja kalau aku pulang, akan aku belikan lagi. Dia kan tidak akan menelpon siapa-siapa kecuali aku, dan itu kan nanti, kalau aku sudah bekerja kembali, lalu ingin bicara sama dia.”

Farah baru saja meletakkan ponselnya, ketika tiba-tiba ‘Aliyah’ muncul.

“Nyonya sudah bangun? Baru saja tuan Alfi menelpon.”

“Bukankah hari ini akan pulang?”

“Kepulangannya ditunda sampai besok, katanya belum selesai, begitu.”

“O, belum pulang ya.”

“Apakah Nyonya sudah sangat kangen?” goda Farah.

Narita tentu saja kangen. Ia sudah sangat ingin bisa benar-benar menjadi istri Alfian, dan berbahagia bersamanya.

“Kamu sedang apa, Farah?”

“Sedang menyiapkan makan malam. Nyonya ingin makan apa?”

“Aku sebenarnya ingin makan gulai kambing, tapi kan Alfi tidak suka daging kambing?”

Farah tercengang. Selama ini Aliyah tidak pernah mengatakan keinginannya untuk makan sesuatu. Dia selalu bilang ‘terserah mbak Farah’, tapi kali ini dia ingin makan gulai kambing? Dan herannya Farah, darimana  sang nyonya tahu bahwa tuan Alfi tidak suka daging kambing?

“Oh iya, kok nyonya tahu sih, bahwa tuan tidak suka daging kambing?”

Narita terkejut. Dia keceplosan. Dulu waktu sering jalan-jalan, dan Narita ingin sate kambing, Alfian selalu menolak, karena tak suka makan daging kambing. Sekarang dia bingung, mau menjawab apa.

***

Besok lagi ya.

 

Thursday, April 27, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 30

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  30

(Tien Kumalasari)

 

Farah keluar dari arah belakang, sudah berdandan rapi. Ia juga sudah mengontak Kirman, yang segera menyiapkan mobil di depan.

“Nyonya, kita berangkat sekarang?”

“Ya, tentu saja. Mumpung hari masih pagi,” kata Narita yang segera melangkah ke arah depan.

Farah duduk di samping Kirman yang mengemudikan mobilnya, sedangkan Narita di sebelah belakang.

“Nyonya mau ke mana?” tanya Kirman sambil menjalankan mobilnya keluar dari halaman.

“Aku hanya ingin jalan-jalan saja.”

“Ke mal, mungkin?”

“Ya, tidak apa-apa. Aku ingin ke toko perhiasan, di mana Alfi membelikan aku perhiasan.”

“Oh, iya … saya tahu, toko emas langganan keluarga tuan sepuh,” kata Farah. Narita tentu saja juga tahu, karena dia juga diajak ke sana ketika Alfian membelikan perhiasan. Dia sudah menelpon toko itu dan mau datang ke sana.

“Nyonya ingin membeli perhiasan lagi? Saya membawa uang yang cukup, kalau Nyonya ingin sesuatu,” kata Farah yang sebelumnya tahu, bahwa Aliyah tak suka membeli apapun saat pergi ke mal bersamanya.

“Bukan membeli,” walau ingin, Narita harus bisa menahan diri, karena dia tahu, Aliyah gadis sederhana yang tak akan menginginkan barang-barang mewah seperti dirinya.

“Kalau tidak membeli, mau apa Nyonya ke toko perhiasan itu?”

“Begini, jari manisku ini kan masih sakit karena terluka, sedangkan Alfi ingin aku segera memakai cincinnya. Jadi aku ingin cincin ini dibuat agar pas di jari manis yang sebelah kiri saja.”

“Biasanya kalau jari sebelah kiri itu kan lebih kecil, Nyonya? Apa kebesaran kalau dipasang di sebelah kiri?”

“Agak kurang pas. Toko itu pasti bisa membuatnya supaya pas dan enak dipakai. Tapi … aku kan tidak punya uang.”

“Saya membawa uang yang cukup. Nyonya kan tidak pernah mau kalau tuan memberi uang untuk Nyonya?”

“Gadis bodoh!” umpat Narita dalam hati.

Tapi ia kemudian hanya mengangguk.

“Nanti ongkosnya kamu yang bayar kan, Farah?”

“Iya, Nyonya, tentu saja. Nanti kalau Nyonya ingin beli sesuatu lagi, bilang saja sama saya.”

“Sebenarnya, aku ingin … membeli ponsel … “ kata Narita.

“Ponsel? Bukankah tuan Alfi pernah membelikannya untuk Nyonya?”

Sekarang Narita terkejut. Ia memarahi dirinya sendiri yang begitu gegabah meminta ponsel, sementara Alfian pernah membelikannya untuk Aliyah.

“Ah, ya … tapi … di mana ponsel itu?”

“Nyonya tidak membawanya waktu pergi?”

Narita menggeleng dengan bingung. Kalau Aliyah begitu sederhananya sehingga cincin sebagus itu ditinggalkannya begitu saja di atas meja, mana mungkin dia juga membawa ponselnya pergi? Tapi di mana?

“Kalau Nyonya tidak membawanya, lalu Nyonya taruh di mana?”

“Aku benar-benar lupa, karena sebelumnya tidak tertarik pada ponsel itu. Aku juga lupa meletakkannya di mana,” gumamnya ragu.

“Nanti kalau pulang, saya akan membantu Nyonya mencari ponsel itu.

Nyonya, kita sudah sampai di toko perhiasan yang Nyonya maksud,” kata Kirman sambil menghentikan mobilnya di depan toko perhiasan itu.

“Farah, biar aku saja yang turun, kamu tunggu saja di sini.”

“Tapi kan Nyonya tidak bermaksud pergi ke mana-mana?”

“Tidak, tentu saja. Aku hanya akan membuat cincin ini pas di jari aku.”

“Tapi kan saya harus ikut, karena saya yang membawa uang. Kalau harus membayar, bagaimana?”

“Gampang, kalau sudah selesai, aku akan memanggil kamu,” kata Narita yang kemudian turun, dan masuk ke dalam toko yang cukup besar itu.

Karena dilarang, Farah tak berani mengikutinya. Tapi matanya tak pernah lepas dari arah ‘Aliyah’ melangkah, sampai menghilang di dalam toko itu.

“Mas Kirman, apa Mas Kirman tidak khawatir? Kalau tiba-tiba nyonya Aliyah kabur lagi, bagaimana?”

“Kenapa tadi kamu tidak memaksa ikut?”

“Kan dia tidak mau, nggak enak kalau memaksa.”

“Baiklah, aku saja yang masuk, dan mengawasinya diam-diam,” kata Kirman sambil turun dari atas mobil.

“Bagus Mas, kalau begitu aku tidak perlu merasa khawatir.”

Farah duduk menunggu di dalam mobil, dan merasa tenang karena Kirman sudah masuk dan mengawasi sang nyonya yang telah masuk terlebih dulu.

Agak lama Farah menunggu. Sebentar-sebentar dia mengirimkan pesan singkat pada Kirman, menanyakan tentang keberadaan sang nyonya.

“Tenang saja, dia juga sedang melihat-lihat. Tampaknya ada cincin yang ujudnya sama, tapi lebih pas dipakainya.”

“Benarkah?”

“Aku duduk tidak jauh dari nyonya. Tapi nyonya tidak melihatku kok.”

“Syukurlah. Nah, tampaknya dia sudah mencoba cincin itu. Barangkali nyonya membutuhkan uang, dia sedang beranjak keluar, barangkali butuh uang tambahan untuk perhiasan itu.”

“Mas jangan melepaskan dia, nanti kalau tiba-tiba dia kabur, mampuslah kita.”

Tapi Farah tidak perlu khawatir, karena Narita benar-benar menuju ke arah mobil dan menemuinya.

“Bagaimana, Nyonya?”

“Tampaknya aku butuh tambahan uang, apa kamu membawa uang yang cukup?”

“Saya membawa ATM tuan Alfi, berapa yang Nyonya harus bayar?”

“Hanya tujuh juta. Karena saya menggantinya dengan yang pas di jari aku.”

“Kenapa diganti Nyonya, tuan pasti akan kecewa, karena itu kan cincin pernikahan Nyonya dan tuan?”

“Modelnya persis, tidak berbeda. Masa Alfi akan marah? Rupanya jari aku yang sebelah kiri memang agak lebih besar, jadi cincinnya juga lebih berat, ukuran gramnya.”

“Baiklah, saya akan turun dan membayarnya,” kata Farah yang kemudian turun, sambil menggandeng lengan sang nyonya.

Ada rasa heran di hati Farah,

“Mengapa ya, jari sebelah kiri yang biasanya lebih kecil, kok punya nyonya Aliyah bisa lebih besar?” pikir Farah.

Tapi kemudian Farah membantah pikirannya sendiri, bahwa semua anggota tubuh manusia itu kan Tuhan yang menciptakannya. Barangkali punya ‘Aliyah’ memang berbeda, mengapa protes?

Transaksi itu selesai, dan ketika keluar dari toko maka Narita sudah memakai cincin itu di jari manisnya yang sebelah kiri, sedangkan yang sebelah kanan masih terbalut plester.

“Nyonya mau ke mana lagi?” tanya Kirman lagi.

“Putar-putar saja, boleh kan?”

“Tentu saja boleh, Nyonya.”

Dan Kirman pun membawa mobilnya untuk hanya berputar-putar kota saja.

“Farah, lihat cincin ini, tidak berbeda kan dengan aslinya?”

“Ya Nyonya, yang berbeda adalah sejarah hadirnya cincin itu,” kata Farah yang sebenarnya kurang suka saat ‘Aliyah’ menukar cincin itu.

“Apa maksudmu?”

“Cincin sebelumnya, walaupun bentuk dan modelnya sama, adalah cincin yang menjadi saksi pernikahan tuan dan Nyonya.”

“Ah, itu kan hanya perasaan kamu saja. Bukankah yang penting bagi Alfi adalah aku memakai cincin ini? Nanti juga, aku minta sama kamu, agar tak usah mengatakan apapun tentang cincin ini, agar Alfian tidak kecewa.”

Farah tak menjawab. Ia heran Aliyah bisa mengajarinya berbohong. Ia merasa, sejak kepergiannya, Aliyah tampak banyak berbeda. Tapi dia tak berani mengatakan apa-apa. Barangkali saat pergi itu, Aliyah sudah berpikir tentang sesuatu, dan harus mulai menyesuaikan kehidupannya yang baru. Jangan terlalu kelihatan bodoh dan sederhana. Bukankah itu yang diinginkan Alfian juga?”

“Farah, aku tidak bermaksud jahat, aku hanya ingin menjaga perasaan Alfian saja.”

“Tapi Nyonya, pengeluaran uang yang tujuh jutaan itu kan harus saya laporkan nantinya kepada tuan?”

“Kamu bisa mengatakan bahwa aku yang meminta uang itu, Farah.”

Farah tak menjawab. Selama mengabdi di keluarga Candra, ia tak pernah berbohong. Semua pengeluaran dilaporkan apa adanya. Itu sebabnya dia sangat dipercaya mengelola uang keluarga itu. Mulai dari ibunya yang masih melayani keluarga Candra, sampai ketika dia mengabdi pada tuan muda Alfian.

“Kamu harus mengerti Farah, aku tak ingin Alfi kecewa. Berbohong sedikit tak apa-apa kan?”

Farah lagi-lagi tak menjawab. Yang namanya berbohong, sedikit atau banyak, tetap saja namanya berbohong, dan itu berlawanan dengan hati nuraninya.

***

Sudah tiga hari Aliyah bekerja pada bu Siti, dan ia merasa mendapatkan sesuatu yang dicarinya. Bekerja untuk menyambung hidup, dan itu cukup baginya.

Hari Minggu, warung bu Siti tutup. Ia mengijinkan Aliyah kalau ingin pulang ke rumah. Ia juga memberikan upah yang sesuai, walau semula Aliyah menolaknya.

“Aliyah, kamu kan punya sedikit uang. Pergilah ke pasar, beli baju ganti dan semua peralatan kamu. Sedikit dulu tidak apa-apa. Kamu kan seorang wanita, pasti membutuhkan banyak keperluan untuk berganti baju, daleman, dan sebagainya. Kalau uangmu tidak cukup, kamu boleh meminjam dulu sama aku. Aku bisa mengerti kalau keperluan kamu untuk itu memang tidak sedikit.”

Aliyah akhirnya mengerti, bahwa yang diperlukannya bukan sekedar baju. Di rumahnya, masih ada beberapa pakaian daleman, tapi dengan uang upah yang diterimanya, ia ingin membeli sesuatu yang baru, walaupun yang harganya murah.

Ia senang, bu Siti sangat pengertian akan kebutuhannya. Pastilah, karena bu Siti juga seorang wanita.

Maka pagi hari itu ia pun pergi ke pasar. Ia tak perlu berjalan jauh, karena pasar itu tak jauh letaknya dari warung bu Siti.

Ia membeli dua potong pakaian sederhana, dan semua perlengkapannya. Ia senang masih ada sisa uang duapuluh ribu di dalam dompetnya. Dompet yang diberikan juga oleh bu Siti untuk tempat uangnya.

Ia membawa semua belanjaannya ke rumah bu Siti, dan meletakkannya di dalam kamar, yang oleh bu Siti diperuntukkannya untuk dirinya.

“Aku kira kamu langsung pulang ke rumah kamu, Yah,” kata bu Siti ketika melihat Aliyah kembali ke rumahnya.

“Saya hanya meletakkan belanjaan saya itu dulu, Bu. Sekarang saya pamit mau melihat rumah saya, dan bersih-bersih.”

“Baiklah, itu benar, dari pada kamu membawa barang-barang kamu itu ke mana-mana, pasti berat. Kalau begitu segeralah berangkat. Nanti sore kamu kembali kemari bukan?”

“Iya Bu, setelah bersih-bersih rumah, saya pasti kembali. Bukankah saya membutuhkan pekerjaan itu?”

“Iya, aku tahu. Setelah Sumi datang, aku juga mau belanja ke pasar. Aku harus menyediakan semua bahan untuk sedikitnya seminggu.”

“Apakah saya perlu membantu?”

“Kamu pulang saja dulu, aku akan belanja bersama Sumi. Lain kali aku akan mengajakmu belanja, sehingga kalau suatu waktu aku membutuhkan sesuatu, kamu bisa melakukannya sendiri.”

“Baiklah.”

***

Pak RT merasa sangat kesal. Mulai sekarang, sang istri mengawasi dengan ketat keuangannya. Ia bahkan menghitung sisa uangnya yang ada, dan siap menunggu turunnya uang pensiun dia, untuk ikut diperhitungkan segala keperluannya.

Keinginannya bertemu dengan Aliyah tak terbendung. Sudah berhari-hari dia tidak melihat Aliyah. Ia sedih tak bisa memberi uang untuk menyenangkan Aliyah. Ia juga sedih tak berhasil membelikan kasur untuk Aliyah.

Pagi hari itu, ketika bu RT pergi ke pasar, diam-diam pak RT menyelinap ke rumah Aliyah. Tapi lagi-lagi dengan kecewa ia tak melihat Aliyah di sana.

“Ya ampun, aku hampir bisa mendapatkannya. Ia begitu manis dan penurut sekarang, dan aku yakin, suatu hari aku akan bisa memilikinya. Benar-benar memilikinya,” gumam pak RT.

“Tapi kenapa dia tak ada? Apa karena aku tak memberinya uang lagi, maka dia harus pergi? Kemana aku harus mencari Aliyah? Apakah dia pergi seterusnya, atau dia memang sedang keluar, lalu kembali lagi ke rumahnya?”

Pak RT sedang berpikir, bagaimana caranya agar bisa terus menjadikan Aliyah sebagai simpanannya.

“Aku tak mau, ibunya anak-anak mengatur uang yang aku miliki. Kalau hal ini diteruskan, aku tak akan bisa melakukan apapun, dan itu akan sangat menyiksa aku.”

Lalu semakin lama, timbul keinginannya yang paling gila, yaitu untuk menceraikan saja istrinya, agar dia bebas melakukan apa saja. Bebas mendekati Aliyah, bebas memberi uang dan bebas setiap kali dia harus tidur di rumah Aliyah.

“Dengan demikian aku akan benar-benar membeli kasur untuk tempat tidur kamu,” gumamnya sambil melangkah kembalki ke rumah.

***

Aliyah sudah hampir sampai di rumahnya. Ia sedang melewati rumah makan di mana Pinto bekerja.

Aliyah berhenti sejenak. Ia sangat rindu pada Pinto, yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya sendiri.

“Pasti mas Pinto senang kalau bertemu aku. Nanti akan aku ceritakan, semua yang aku alami. Pasti dia akan heran mendengar bahwa aku pernah menjadi seorang putri yang didandani bak dewi dari kahyangan, lalu menjadi istri seorang pangeran tampan yang kemudian aku memilih untuk meninggalkannya,” gumamnya lirih, sambil berhenti di bawah sebuah pohon besar yang ada di depan rumah makan itu.

“Mas Pinto!” Aliyah berteriak ketika melihat Pinto keluar dari rumah makan itu, barangkali untuk beristirahat. Tapi Aliyah terkejut, ketika kemudian Pinto menatapnya, lalu wajahnya tampak kesal, bahkan lalu membalikkan tubuhnya masuk kembali ke dalam.

***

Besok lagi ya.

Wednesday, April 26, 2023

CINTAKU BUKAN EMPEDU 29

 

CINTAKU BUKAN EMPEDU  29

(Tien Kumalasari)

 

Narita masih duduk di depan cermin, tempat dia akan merias wajahnya. Farah menatapnya, yang tampak susah ketika Narita ingin memakai cincinnya.

“Farah, kamu tinggalkan saja aku, aku bisa sendiri.”

“Baiklah Nyonya.”

Narita bingung. Cincin itu benar-benar tak bisa masuk ke dalam jari tangannya. Padahal Alfian sudah menyuruhnya memakai cincin itu.

Akhirnya dia hanya meletakkannya begitu saja di atas meja. Sambil memikirkn bagaimana caranya memakai cincin itu, dia memoles wajahnya dengan bedak. Ia tahu, Aliyah gadis yang sederhana, pasti ia tak bisa berdandan seperti dirinya yang sudah biasa memoles wajahnya dengan bedak tebal dan semua alat make up dengan tebal. Jadi dia hanya berbedak tipis, bergincu tipis, dan memoles bibirnya, tipis pula. Ia melihat wajahnya sudah cantik sempurna. Tapi masalah cincin masih menjadi pemikiran. Kalau tiba-tiba cincin tak muat di jarinya, pasti tampak aneh. Agak lama dia mengotak atik cincin itu, yang akhirnya dimasukkannya ke jari kelingkingnya. Aneh ya, tapi dia sudah punya jawaban seandainya sang ‘suami’ menanyakannya. Tapi kemudian dia kembali ragu, sampai kemudian terdengar ketukan dipintu.

“Aliyah, mengapa lama sekali?”

“Iya … iya, tunggu.”

“Farah sudah membuatkan minuman untuk kita.”

“Aku lelah, tu … tuan.”

“Baiklah, aku mengerti, tapi aku ingin bicara dulu sebentar.”

Mau tak mau Narita membuka pintu kamarnya. Alfian menatapnya dengan takjub. Narita memang cantik, secantik Aliyah, karena keduanya memang saudara kembar. Tak urung tangan Alfian mengusap pipi Narita dengan lembut.

“Kamu memang cantik, Aliyah,”

 Katanya lembut.

Narita membalas tatapan itu dengan gelora yang ditahannya. Benar, ia harus menahan diri, mengingat seperti kata Farah, bahwa Aliyah belum mau didekati Alfian, sehingga memilih tidur di kamar yang berbeda.

“Ayo kita minum di ruang tengah, Farah sudah menyediakannya,” kata Alfian sambil menggamit pinggang Narita.

Narita hampir tak bisa menahan diri. Tapi ia tetap bertahan, kalau memang ingin keinginannya terwujud. Narita bersyukur, Alfian tak melihat ke arah jari tangannya.

Itu karena Alfian ingin segera menanyakan, kenapa Aliyah pergi.

Ketika mereka duduk dan minum-minuman hangat yang disajikan Farah, Alfian segera menanyakan, mengapa Aliyah pergi dari rumah tanpa pamit.

“Aku sakit,” jawabnya singkat. Ia tak mau bicara terlalu panjang, soalnya tak tahu pasti, kata apa saja yang diucapkan oleh bu Candra sehingga membuat Aliyah kabur dari rumah.

“Mengapa sakit?”

“Aku tak bisa mengatakannya.”

“Aliyah, kamu harus tahu, bahwa aku sangat mencintai kamu.”

“Ya, aku tahu.”

“Dan kamu tidak usah mendengarkan kata-kata sumbang yang diucapkan oleh siapapun, termasuk oleh ibuku.”

Narita mengangguk.

“Jangan sampai kamu mengulanginya lagi. Aku sangat sedih, ketika kamu pergi.”

Narita mengangguk lagi.

“Janji?”

“Ya, aku janji.”

“Apa kamu juga mencintai aku?”

“Ya.”

“Ya apa, jangan singkat-singkat dong jawabnya.”

“Ya, aku mencintai kamu.”

Meskipun agak heran mendengar tutur kata Aliyah yang langsung ber ‘aku’ dan berkamu, tapi seperti juga Farah, Alfian mengira, Aliyah sudah mulai mau membuka hatinya untuk dirinya. Karena itulah, Alfian justru merasa senang.

“Kamu tidak boleh lagi memanggil aku ‘tuan’, ya.”

“Panggil apa dong?”

“Panggil saja namaku.”

“Alfi ….”

“Nah, itu lebih manis didengarnya.”

“Aku mau istirahat dulu.”

“Mau tidur di kamar aku?”

Narita benar-benar menahan hatinya untuk tidak mengatakan ‘iya’,

“Tidak dulu,” itulah yang akhirnya diucapkannya.

“Baiklah, aku mengerti, sekarang istirahatlah, nanti aku akan memanggil kamu, saat makan malam, karena ada yang harus aku kerjakan. Biasa, urusan kantor.”

Narita berdiri, tapi tiba-tiba :”Kenapa cincinnya belum kamu pakai?”

Narita terkejut.

“Ya, nanti aku pakai.”

“Aku mohon, pakailah, karena itu adalah cincin pernikahan kita. Aku memberikannya dengan cinta.”

Narita mengangguk, dan segera bergegas masuk ke dalam kamarnya, untuk memikirkan hal terbaik tentang cincin itu.

***

“Apa ini minumku, Farah?” tanya Kirman ketika masuk ke dapur.

“Iya Mas, aku lupa bilang, soalnya aku belum sempat memasak untuk makan malam nanti. Minumlah. Ada goreng pisang di meja itu juga.”

“Terima kasih Farah.”

“Tapi hari ini aku senang sekali.”

“Kenapa?”

“Nyonya bersedia pulang dengan mudah. Aku pikir, tadinya akan susah membujuknya, mengingat nyonya kan benar-benar sakit hati karena mendengar ucapan nyonya sepuh.”

“Aku juga bersyukur. Akhirnya tuan juga kelihatan sangat berbahagia. Aku melihatnya ketika tuan menyambut di teras.”

“Benar Mas Kirman, kalau majikan senang, kita juga senang. Kalau majikan kesal, akibatnya uring-uringan terus, kita juga kena imbasnya kan?”

“Semoga tuan dan nyonya menjadi pasangan yang berbahagia.”

“Aku tahu sebenarnya nyonya juga sudah mulai mencintai tuan. Dia juga mau ber akrab-akrab sama aku. Tidak lagi memanggil mbak Farah, tapi Farah, begitu saja. Itu sangat menggembirakan.”

“Kelihatan kok, kalau kamu sedang gembira.”

“Masa Mas Kirman tidak ikut berbahagia sih, melihat majikan kita bahagia?”

“Bahagia dong, dan lebih bahagia lagi, pisang goreng yang kamu berikan ini sangat enak.”

Farah terkekeh.

“Itu karena pisang yang aku beli kemarin benar-benar sudah tua.”

“Kirain karena kamu lagi senang, terus apa yang kamu masak jadi enak.”

“Ngarang deh.”

“Ya sudah, lanjutin masaknya, aku ke depan dulu. Nanti kalau ada aku, kamu ngobrol melulu, nggak selesai-selesai masaknya,” kata Kirman sambil nyelonong keluar, sambil meraih lagi sepotong pisang gorengnya.

Farah tersenyum, lalu melanjutkan pekerjaannya.

***

Bu Siti, pemilik warung itu sudah menutup warungnya. Ia menyuruh Aliyah istirahat di kamar sebelah, walau kecil tapi cukup bersih dan nyaman.

“Kamar itu kosong, tak ada yang menempati. Aku ini hidup sendiri, anakku sudah menikah dan jauh di luar kota. Dia sudah ikut suaminya. Jarang sekali pulang. Belum tentu setahun sekali dia pulang.”

“Terima kasih Bu.”

“Panggil aku bu Siti.”

“Ya, Bu Siti.”

“Sekarang kamu boleh istirahat, karena besok pagi-pagi sudah harus bangun. Kalau aku sih, jam tiga pagi pasti sudah bangun dan memasak. Cuma saja aku baru akan membangunkan kamu setelah subuh. Kasihan kalau kamu juga ikut bangun terlalu pagi.”

“Tidak apa-apa Bu, kalau saya bisa bangun jam tiga. Saya biasa shalat malam, jadi tidak keberatan kalau harus bangun pagi-pagi.”

“Ya ampun, kamu ternyata anak baik. Ya sudah, terserah kamu saja. Aku tidak akan memaksa kamu, kasihan kalau terlalu capek.”

“Saya membutuhkan pekerjaan Bul, jadi saya senang mengerjakan apapun yang bisa saya kerjakan.”

“Baiklah, tapi kamu tidak boleh menolak pemberian uang dari aku, karena itu uang dari jerih payah kamu. Kamu bukan hanya butuh makan, tapi juga butuh pakaian, dan semua kebutuhan kamu, bukan?”

“Iya sih Bu, tapi ….”

“Memberikan upah atas apa yang sudah kamu kerjakan itu sudah menjadi kewajiban aku, dan menerima upah atas sesuatu yang sudah kamu kerjakan, itu adalah hak kamu, jadi terima saja, berapapun banyaknya. Dengan uang itu, nanti kamu bisa membeli apa yang kamu butuhkan. Kali ini, kamu bisa berganti pakaian karena aku beri pakaian bekas aku, tapi lain kali kamu pasti ingin beli sendiri kan?”

Aliyah mengangguk. Ia merasa beruntung, tiba-tiba bisa mendapat pekerjaan dimana majikannya sangat baik hati, bahkan mengijinkannya tidur di rumahnya, sehingga dia tidak terlalu capek berjalan pulang dan pergi untuk bekerja dari rumahnya. Lagipula dia masih takut pulang, khawatir kalau-kalau Alfian menjemputnya.

Malam itu dia tidur di kamar yang disediakan bu Siti, walau tidak seindah kamar di rumah Alfian, tapi membuatnya merasa lebih nyaman. Ia menekan rasa rindunya pada Alfian, dengan kesadaran atas keinginannya membuat Alfian bahagia.

***

 Hari itu pak Candra pulang malam, karena banyak yang harus dikerjakannya. Ia bersantai sebentar di ruang tengah, bersama istrinya.

“Hari ini Bapak pulang malam. Pasti capek.”

“Benar Bu, padahal besok aku harus ke Jakarta. Ada klient yang harus aku temui di sana, karena dia tidak bisa datang kemari.”

“Besok?”

“Ini proyek besar. Harus aku sendiri yang menangani, atau Alfian. Tapi Alfian belum siap masuk kerja, katanya baru besok. Dia hanya memantau bisnisnya dari rumah. Ini kurang memuaskan aku.”

“Kalau begitu mengapa tidak Alfian saja yang Bapak suruh berangkat ke Jakarta?”

“Alfian? Tapi dia kan pengantin baru, pasti berat meninggalkan istrinya.”

“Halah, pengantin baru apa. Kalau memang pekerjaan menuntutnya harus bertugas, masa dia akan menolak?”

“Apa dia mau ya?”

“Pasti mau lah Pak, masa di suruh bapaknya kok tidak mau. Lagi pula ini kan tugas dia juga. Kasihan dong kalau semua-semua bapak yang urus? Bapak kan sudah mulai tua, dan tidak bisa terlalu capek begini.”

“Baiklah, aku telpon saja Alfian kalau begitu.”

“Telpon saja, masa dia akan menolak.”

“Jam berapa sih ini?”

“Baru setengah delapan, Bapak pikir dia sudah tidur? Ya belum lah. Apa biar ibu saja yang menelpon?”

“Eh, jangan Bu, ini masalah pekerjaan. Biar aku saja.”

Alfian tentu saja terkejut, ketika ayahnya menelpon dan mengharuskannya berangkat ke Jakarta besok pagi.

“Besok pagi Pak? Bukankah pak Ibnu akan datang kemari untuk berbicara? Alfi sudah menghubunginya kok.”

“Tidak, baru sore tadi dia menelpon bapak, bahwa dia tidak bisa datang karena ada urusan penting, jadi dia meminta agar kita yang datang ke sana. Bapak sangat lelah.”

“Baiklah Pak, kalau memang harus Alfi yang menangani, besok Alfi berangkat.”

“Besok pagi kamu ambil berkasnya di kantor, kamu pelajari dulu, baru kamu berangkat. Ticket untuk kamu sudah ada yang mengurus.”

“Baik Pak.”

“Bapak tidak mengganggu kamu kan?”

“Mengapa Bapak mengatakan itu?”

“Pengantin baru kan biasanya selalu ingin berduaan?” goda ayahnya.

Alfian tertawa. Kalau saja ayahnya tahu bahwa Aliyah belum mau didekati ….

Pak Candra merasa lega ketika Alfian sanggup melakukannya.

“Tuh, kan. Begitu lebih baik. Giliran yang muda yang bekerja keras, dan perlahan-lahan Bapak harus bisa menyerahkan semuanya pada Alfi.”

“Iya, aku juga berpikir begitu.”

***

Farah sudah selesai menyiapkan makan malam, ia mengetuk pintu kamar ‘Aliyah’.

“Nyonya, makan malam sudah siap, Tuan menunggu di ruang makan.”

“Baiklah,” jawab Narita dari dalam. Ia membuka pintunya, dan Farah melihat jari manis ‘Aliyah' terbalut plester.

“Tangan Nyonya kenapa?”

“Luka, agak dalam.”

“Luka kenapa, biar saya obati.”

“Sudah aku obati sendiri. Kebetulan ada kotak obat di situ, dan aku menemukan obat, lalu menutupnya dengan plester.”

“Benar, tidak apa-apa?”

“Tidak, jangan khawatir.”

“Baiklah, silakan ke ruang makan, tuan sudah menunggu.”

Narita melangkah ke ruang makan, sambil tersenyum puas. Ia menemukan jalan untuk tidak memakai cincinnya.

“Tuan, jari tangan nyonya sakit.”

“Apa? Sakit kenapa?” tanya Alfian khawatir, sambil meraih jari tangan ‘istrinya’.

“Tidak apa-apa, tertusuk jarun pentul, berdarah lumayan, tapi sudah aku obati.”

“Bagaimana bisa terkena jarum pentul sih?”

“Aku kurang hati-hati, tidak apa-apa.”

“Kasihan, berarti belum bisa memakai cincinnya dong.”

“Nanti pasti bisa. Sekarang terasa sakit kalau aku paksa juga,” katanya sambil duduk di kursi yang disediakan.”

“Oh ya Farah, besok pagi aku harus berangkat ke Jakarta.”

“Ke Jakarta?” tanya Farah dan Narita hampir bersama-sama.

“Barusan bapak menelpon, ada tugas penting. Tolong siapkan baju aku dan semua keperluanku. Tidak usah terlalu banyak, aku disana paling lama tiga hari.”

“Baiklah Tuan.”

Farah sudah lama melayani Alfian, dan dia tahu semua yang dibutuhkan Alfian setiap kali harus pergi ke luar kota. Alfian tentu saja tidak meminta ‘Aliyah’ melakukannya, karena ‘Aliyah’ kan belum biasa melakukannya.

“Aliyah, besok kamu akan aku tinggal selama paling lama tiga hari. Tapi kalau aku bisa pulang lebih cepat, maka aku akan senang sekali.”

“Begitu lama?”

“Ini tugas perusahaan. Besok-besok kalau aku bertugas ke luar kota, aku akan mengajak kamu. Atau … besok kamu mau ikut?”

Narita terkejut. Betapa ingin dia melakukannya, tapi dia kan punya rencana. Jadi keinginan itu ditahannya. Pelan, tapi pasti, ia yakin Alfian akan menjadi miliknya.

***

Pagi hari itu, Alfian sudah berangkat. Ia harus ke kantor dulu, lalu langsung ke bandara. Farah heran, melihat ‘Aliyah’ berdandan rapi. Ia khawatir sang nyonya akan pergi lagi.

“Nyonya mau ke mana?”

“Aku mau keluar sebentar.”

“Tidak bisa Nyonya, tuan sudah wanti-wanti bilang kepada saya, bahwa Nyonya tidak boleh keluar rumah saat tuan tidak ada.”

“Aku ingin jalan-jalan saja.”

“Kalau begitu biar saya dan mas Kirman mengantarkan Nyonya.”

Narita berpikir sejenak, kemudian membiarkan Farah dan Kirman mengantarkannya. Ketika Farah pamit berganti pakaian, Narita menelpon seseorang, melalui telpon rumah, karena dia kan tidak punya ponsel, dan belum sempat memintanya.

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...