Thursday, May 30, 2019

SA'AT HATI BICARA 012

SA'AT HATI BICARA  012

(Tien Kumalasari)


Dokter Santi benar2 kesal mendengar jawaban Panji. Ia merasa disepelekan. Dengan kasar dia berdiri dan langsung pergi meninggalkan Panji. Panji mengheka nafas lega. Ternyata dokter yang terkenal ramah terhadap pasien, mempunyai watak yang menjengkelkan. Suka memaksakan kehendak, semua keinginannya harus dituruti. Tiba2 terbayang wajah Maruti yang lembut dan sedikit pemalu, ah.. alangkah lama ia tak menemui gadis itu. Ada rindu yang tiba2 menyeruak.

***

Sore itu Panji menemui Agus, sa'at sebelum selesai jam kantor. Ada dua keinginan yang terbersit dikepalanya. Ia ingin berbincang dengan sahabatnya, sekaligus ingin mengajak Maruti pulang bareng. 

"Tumben nih.. ada yang penting.." sapa Agus ketika mereka sudah berdua diruangan Agus.

"Nggak terlalu penting sih, cuma ingin ngomong saja, ternyata dokter Santi itu bekas isteri kamu?

Agus tersenyum kecut. 

"Aku benar2 nggak tau.."

"Ya, kabarnya dia itu calon isteri kamu?" tanya Agus tiba2.

Panji terkejut, sedikitpun tidak mengira kalau Agus mengatakan itu.

"Kata siapa?"

"Dia sendiri yang ngomong."

"Nggak.. nggak benar itu. Aku belum berfikir kearah mencari isteri. Tapi aku heran, mengapa kalian bercerai? Kayaknya.. kalian ini pasangan yang cocog .. serasi.. satu cantik.. satunya ganteng.."

Agus tertawa.

"Kalau dilihat dari luarnya sih.. oke.. tapi kamu belum tau watak aslinya."

Tiba2 Agus menghentikan kata2nya.

"Eh.. nanti dulu, kamu sedang memancing mancing aku ya, ingin tau tentang Santi?"

"Oh, jangan salah sangka. Ingin tau sih iya, tapi bukan untuk kepentingan aku.. atau.. hubungannya dengan mencari isteri.. bukaan.. aku .. ma'af.. tidak tertarik kok."

"Sungguh."

"Benar.. dia itu jauh dari impianku tentang seorang isteri."

Agus menghela nafas panjang.

"Aku juga tidak mengira. Dia itu .. kalau punya keinginan harus dituruti. Terkadang juga tidak bisa menghargai suami. Biar aku sedang sibuk dengan pekerjaan, kalau dia minta sesuatu aku harus tinggalkan pekerjaan itu. Kemudian kami sering cek cok.. dan akhirnya memilih untuk berpisah. Dia juga nggak mau membawa anaknya. Aneh juga.. biasanya seorang ibu yang bercerai dari suaminya pasti berupaya agar bisa membawa anaknya. Tapi dia tidak."

"Kasihan juga kamu, terpaksa menjadi ayah.. sekaligus ibu."

"Ya.. itulah aku," Agus tersenyum getir.

"Segera cari ibu bagi Sasa.. kasihan anakmu yang pasti juga membutuhkan sosok seorang ibu."

"Iya, baru nyari nih.." ketika mengucapkan itu, diam2 terbayang wajah Maruti. Dan Agus tersenyum senyum sendiri.

"Oke, aku hanya mampur, ini kan sa'atnya pulang, aku mau mengajak Maruti sekalian pulang."

Tiba2 wajah Agus berubah, ia ingin melarangnya, tapi apa alasannya.. aduh.. dan Panji sudah berjalan kearah meja costumer servis dimana dilihatnya Maruti sedang bersiap siap.

Didengarnya Maruti menyambut kedatangan Panji dengan semringah. 

"Maruti.. sudah mau pulang ya? Aku antar sekalian pulang ."

"Iya, aku kok nggak tau kalau mas Panji datang?" sambut Maruti sambil tersenyum, dan senyum itu sungguh senyum yang sering dirindukan Panji. Senyum yang polos, senyum yang menarik.. dan..sedikit malu2 setiap kali pandangan mereka beradu. Gemeess .. kata hatinya.

"Maruti, kita belum jadi beli buku untuk Sasa bukan?" tiba2 Agus sudah ada diantara mereka.

"Oh.. eh.. iya pak, tapi.." Maruti memandangi Panji seperti minta persetujuan, ada rasa kecewa tampak pada mukanya. Agus kan atasannya, apa dia harus membantah?

"Oh, kalian sudah janjian?" kata Panji penuh tanda tanya.

"Bukan.. bukan.. mm.. apa buku itu .. mm..harus.. segera?"

"Ya enggak, tapi sudah sebulan lebih aku janji mencarikan buku2 untuk anak seusia dia. Tapi kalau belum tepat waktunya ya sudahlah, lain kali saja."

"Pras, bagaimana kalau aku dan Maruti yang mencarikan buku untuk anakmu?" Panji mencoba menawar.

"Wah, merepotkan itu.." kata Agus, iyalah .. maksudnya kan bukan bukunya, tapi kebersamaannya dengan Maruti itu. Tapi Agus melihat Maruti sepertinya ingin bersama Agus. 

"Iya pak, begini saja, saya akan carikan, kalau cocok ya syukurlah, kalau enggak kapan2 bisa kita cari yang lainnya."

"Baiklah, silahkan."

Akhirnya Maruti pergi bersama Maruti. Agus memandangi dengan pandangan kecewa, dan entah mengapa, sakit hatinya melihat mereka pergi berdua. 

"Mengapa aku yang setiap hari bertemu harus kalah dengan Panji yang jarang2 menemuinya? Aku harus mendapatkannya." Agus berjanji dalam hatinya.

***

"Lama ya kita nggak bertemu?" kata Panji sambil mengemudikan mobilnya perlahan. Kebersamaannya dengan Maruti tak harus dilewatinya dengan terburu buru.

 "Ya, sebulan lebih."Maruti ingin mengatakan bahwa dia kangen, tapi tentu dipendamnya dalam hati.

"Kangen aku.." 

Maruti terkejut. Kok Panji yang mengatakan itu. Dia menoleh kearah Panji, yang kebetulan juga memandangnya. Aduuh.. senyum itu lagi. Tapi tiba2 Maruti sadar, Panji akan menjadi milik orang lain. Dialihkannya pandangan kearah depan, dan wajahnya sedikit muram.

"Itu benar Maruti."

"Apanya yang benar?"

"Kangen itu, sama kamu." Panji sepertinya bersungguh sungguh. 

"Jangan kangen sama aku, nanti dokter Santi marah."

"Lho.. apa hak nya dia marah?"

"Bukankah itu calon isteri mas Panji?"

Panji tertawa keras. Tawa itu seperti sedang menenggelamkan kekesalannya pada Santi. Maruti memandanginya dengan heran.

"Apa ada yang lucu?"

"Aku sedang mentertawakan dia."

"Siapa?"

"Santi. Dia bilang kemana mana kalau bakal menjadi isteriku.. hadeew.. sedikitpun aku tidak tertarik." Panji menampakkan wajah muram.

"Tapi itu kan amanah dari orang tua?"

"Bukaaan.. disa'at terakhir ibu hanya bilang, ingin agar aku mendapatkan pendamping yang baik. Tak ada nama Santi kok."

Maruti menghela nafas, lega.. ah.. kok belum2 ke ge eran.. memangnya aku yang dipilihnya? Pikir Maruti yang kemudian tertunduk malu.

"Kita makan2 dirumah makan yang dulu itu ya."

Tanpa menunggu jawaban Maruti Panji sudah memasukkan mobilnya kehalaman parkir dirumah makan. 

 "Disini kita dulu pertama kali makan bersama bukan?"

 Maruti mengikuti Panji dengan perasaan tak menentu.

Mereka kembali memilih tempat disudut ruangan, seperti ketika pertama kali mereka makan bersama. Dulu Maruti masih merasa gugup dan malu2, tapi perasaan itu sekarang sudah sedikit hilang. Mereka memesan makanan kesukaan mereka, dan berbincang dengan lebih santai.

"Jangan lupa nanti beli oleh2 buat Dita ya."

Maruti tersenyum. Teringat olehnya ketika dia dengan gembira menerima oleh2 yang dibelikan Panji.

"Merepotkan saja."

"Nggak apa2, supaya dia tidak marah karena kamu pulang terlambat."

Tiba2 mereka melihat beberapa orang masuk kedalam, dan berbincang sambil tertawa tawa.. dan salah satunya adalah Santi.

***

besok lagi ya


Wednesday, May 29, 2019

SA'AT HATI BICARA 11

SA'AT HATI BICARA  11

(Tien Kumalasari)

Panji merasa sedih, ia juga merasa bersalah karena kurang memperhatikan kesehatan ibunya. Mengapa tiba2 separah itu? Karena perasaan2 itu Panji jadi tak merasa betapa tangan ibunya mencengkeram tangannya disatukan dengan tangan dokter Santi. Ia juga tak merasa bahwa dokter Santi memperhatikan wajahnya tanpa berkedip. Barangkali baru sekali itu sang dokter cantik melihat betapa ganteng laki2 yang dijodohkan dengannya oleh bu Anjar. 

"Ibu cepatlah sembuh," bisik Panji memelas. Tak terasa butir2 air mata mulai membasahi pipinya.

Kembali bu Anjar tersenyum, ia berusaha membuka masker oksygen yang menutupi sebagian mukanya. Dokter Santi membantunya karena melihat bu Anjar ingin bicara.

"Kamu tidak salah le, tak seorangpun bisa menghindari takdir," pelan bu Anjar bicara, dan agak tersengal. Dokter Santi kembali membetulkan masker itu, dengan isyarat melarang banyak bicara. Tapi bu Anjar menggeleng gelengkan kepalanya tanda menolak;

"Waktuku tak lama, nak.. tapi aku hanya menginginkan pendamping yang baik untuk Panji."

Panji mengelus tangan ibunya lembut dengan sebelah tangannya, karena yang satu lagi masih digenggam ibunya, disatukan dengan satu tangan dokter Santi.

Bu Anjar memejamkan matanya,genggaman itu melemah, dan suara seperti peluit di pendeteksi jantung itu terdengar bersamaan dengan jerit hati Pandji.

"Ibu... mengapa ibu pergi? Mengapa bu?" Panji tertelungkup ditubuh ibunya, dengan tangis yang memilukan.

***

Ditanah pekuburan itu tampak Laras yang selalu mendampingi Panji,  ada Maruti dan Agus, juga Dita.

Dita erat2 menggenggam lengan Maruti, dan berkali kali mengusap air matanya.

"Kasihan mas Panji ya mbak," isaknya. Gadis centhil yang seringkali terlihat manja itu ternyata sangat mudah menangis. Sangat mudah mengasihani orang.

Maruti menepuk nepuk punggung adiknya. Dari jauh ia melihat dokter Santi, berdiri berdekatan dengan Panji. Ada duri yang tiba2 seperti menancap dihatinya. Aduhai, ternyata benar, dan bukankah Maruti bilang akan bersiap patah hati? Mengapa patah hati? Apakah dia jatuh cinta pada pengusaha muda itu?

Sebelum pulang ia sempat menyalami Panji, yang wajahnya tampak lebam karena terus2an menangis.

"Aku ikut berduka ya mas ... semoga mas Panji tabah.. dan semoga ibunda mendapatkan tempat yang mulia disisiNya.."

"Aamiin.., terimakasih Ruti..." serak suara Panji, sambil menggenggam erat tangan Maruti.

Dita yang menunggu giliran bersalaman tak sabar karena Panji berlama lama menyalami kakaknya. Ia  segera menarik tangan Maruti.

"Mas, ikut berduka ya, jangan menangis terus," kata Dita sambil berlinang air mata.

"Terimakasih Dita.."

"Ikut berduka sobat, sabar dan iklas ya." itu suara Agus yang juga kemudian akan segera berpamit.

"Terimakasih Pras, Panji menyalami dengan hangat. Sejak kenal pertama kali ia memanggil Agus dengan sebutan Pras.

"Ruti, kita kembali ke kantor seteleh mengantarkan adikmu ya," tiba2 Agus berkata.

"Oh, baiklah...," Maruti tentu saja tak bisa menolak ajakan Agus, karena memang itu masih jam kerjanya dia.

Maruti mengikuti langkah Agus setelah sebelumnya tangannya melambai kearah Laras. Ia tak sempat mendekati sahabatnya karena Agus telah mengajaknya pergi.Ia juga tak sempat bersalaman dengan dokter Santi yang juga sibuk menerima salam duka cita dari pelayat lainnya. Lagipula Dita sudah terlalu lama meninggalkan ibunya untuk melayat.

***

Malam hari itu Dita terus2an membicarakan meninggalnya bu Anjar. Ia memang belum mengenalnya, tapi kan dia ibunya Panji? 

"Apakah sebelumnya mas Panji pernah bilang kalau ibunya sakit?" tanya Dita. Ia juga melihat kakaknya sedang melamun. Entah apa yang dipikirkannya.

"Nggak pernah, kan mbak jarang ketemu dia," jawab Maruti.

"Menurut orang yang tadi melayat disebelah Dita, katanya meninggalnya tiba2. Paginya masih pergi belanja di tukang sayur keliling.

"Ya, memang begitu kata Laras tadi."

"Kasihan, mas Panji pasti sedih."

"Ya sudah, sekarang kamu tidurlah, ini sudah malam, dan besok mbak harus berangkat pagi2."

Dita mengangguk lalu berlalu dari kamar kakaknya, tapi sebelum sampai ke pintu, ia kembali mendekati Maruti.

"mBak.."

"Ada apa lagi?"

"Pak Agus itu kan baik ya?"

"Ya, kenapa?"

"Tampaknya dia suka sama mbak."

"Dita, kamu itu ngomong yang enggak2 saja. Kalau tadi kita diantar olehnya itu karen aku harus kembali bekerja. Sudah.. jangan berfikiran yang aneh2."

"Semoga dia bisa menjadi kakak iparku," kata Dita sambil nyelonong pergi.

Maruti merasa kesal dengan sikap adiknya. Dia terlalu cepat menyukai seseorang, dan juga terlalu cepat menilai sikap seseorang. Iya lah, dia itu masih kekanak kanakan. Maruti memakluminya.

Namun sampai larut malam Maruti masih juga belum bisa memejamkan matanya. Bayangan dokter Santi yang selalu mendekati Panji sangat mengganggu hatinya. 

***

 Sebulan berlalu setelah meninggalnya bu Anjar, dokter Santi menjadi sering menemui Panji dikantornya. Ada saja alasannya. Terkadang ingin diantar membeli apalah.. apalah. Tapi Panji menerimanya dengan dingin. Ia tak tau bahwa dokter Santi ternyata juga tertarik padanya, dan dengan suka cita ingin memenuhi permintaan ibunya.

Terkadang juga Panji merasa sebal, dan dengan bermacam alasan ia menolak ajakannya.

Tapi mas, hari ini aku tak bisa pergi sendiri. Pasienku seorang laki2, dan aku sungkan untuk kesana walau seminggu sekali. Ia pasien yang tak bisa bangun dari tempat tidrurnya, dan aku dibayar untuk mengontrolnya seminggu sekali.

"Kamu kan dokter dan itu kewajibanmu, mengapa harus sungkan memeriksa pasien segala?" jawab Panji kesal.

"Kalau dirumah sakit sih nggak apa2 mas, tapi itu dirumah, aku mau mas Panji menemani."

"Aku tidak bisa, dan mengapa harus aku?"

"Mas, dia itu seorang duda.. aku sungguh sungkan."

"Bukankah kamu juga seorang janda?" kali ini Panji menyerangnya, kesabarannya sudah habis.

"Mas.. kok mas bilang begitu, justru karena itu aku sungkan menemuinya sendiri."

Panji sangat kesal, dokter Sant seperti memaksakan kehendak, dan itu membuatnya muak.

"Mas, aku dan mas Panji itu kan sudah dijodohkan oleh ibu, jadi sudah sepatutnya kalau aku harus minta perlindungan dari kamu." 

Siapa dijodohkan siapa? Ketika ibu mau meninggal ibu hanya bilang bahwa beliau menginginkan aku mendapatkan pendamping yang baik, dan itu belum tentu kamu."

Dokter Santi terperangan.

***

besok lagi ya

Tuesday, May 28, 2019

SA;AT HATI BICARA 010

SA'AT HATI BICARA  10

(TIEN KUMALASARI)


"Kenapa kamu ini? Pelan2 dong minumnya.."  

Laras mengelus elus dadanya, untuk menenangkan hatinya.

"Minumlah lagi, tapi pelan2."

"Kalau begitu, Agus itu seorang duda?"

Maruti mengangguk.,

"Kasihan... "

"Kamu itu kenapa? Aku tuh ingin tau, benarkah yang dimaksud itu doker Santi yang bekas isterinya pak Agus, atau dokter Santi yang lain."

 "Nggak tau aku.. mas Panji nggak pernah cerita tentang nama dokter itu, dan aku juga nggak nanya. Tapi kalau memang dia itu bekas isterinya Agus, mengapa mas Panji nggak tau? Kan mereka temenan."

"Iya ya... barangkali Santi yang lain.."

"Tapi apapun atau siapapun dia, mas Panji nggak suka kok.. "

"Hmm..."

"Kamu tau nggak mas Panji tuh suka sama siapa?"

Maruti berhenti menyuapkan makanan kemulutnya. Ia sungguh ingin tau siapa yang sebenarnya disukai Panji, dan Maruti sudah siap untuk patah hati kok. Eitt.. emangnya Maruti jatuh cinta beneran? Hanya Maruti sendiri yang tau.

"Menurut aku.. dia tuh sukanya sama kamu."

Dhiegg... seakan ada sesuatu yang memukul dadanya. 

"Beneran ... aku nggak bohong." 

Maruti mengibaskan tangannya tanda tak percaya, kemudian diteguknya minuman dalam gelas agar sedikit menenangkan perasaannya.

"Dia itu kalau ketemu aku, cuma kamun yang dibicarain.."

"Apa yang penting dibicarakan tentang aku? Aku ini gadis biasa saja, anak orang biasa, tidak bependidikan, begitu kan?"

"O.. bukaan.. bukaan begitu, ia memuji muji kecntikan kamu, kelembutan hati kamu.. dan semuanya yang baik2 tentang kamu. Suweeeerrr.."

Maruti tak menjawab, ia sibuk menghabiskan sisa makanannya, kemudian meneguk minumannya sampai habis.

"Bagaimana dengan kamu?"

"Sudah sore, sebaiknya kita pulang," Maruti membuka tas dan mencari dompetnya, ia tak mau Laras mentraktirnya terus menerus karena selama ini ia tak pernah boleh membayar makanan setiap kali makan bersama.

"Eiiit.. jangan, biar aku yang bayar." kata Laras sambil berdiri kemudian melangkah kearah kasir.

Maruti menghela nafas panjang. Ia yakin Laras hanya ingin menggodanya. Ia suka mengoceh yang tidak2, karenanya Maruti kurang percaya. Tapi apabila benar...? Dan Laras sudah sampai didekatnya, kemudian menggandengnya keluar dari rumah makan itu.

"Aku antar kamu sekalian."

***

Mengetahui kakaknya datang terlambat, Dita langsung mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.

"mBak.. diantar mas Panji lagi? Kok nggak bawa oleh2?" 

"Ih.. Dita.. siapa.. diantar siapa.. ngawur kamu."

"Itu tadi mobil siapa?"

"mBak sama Laras.."

"Apa kabar mas Panji, mengapa lama tidak datang kemari?Dilarang ya sama mbak?"

"Dita, kamu ada2 saja. Bagaimana ibu? Obatnya selalu diminum pada waktunya kan?" Maruti mengalihkan pembicaraan.

"Ibu baik. Sudah makan banyak, obatnya selal diminum tepat waktu."

"Oke, terimakasih sayang," kata Maruti sambil terus melangkah kebelakang. 

"Mbak.. kangen deh sama mas Panji.." Dita masih nyerocos dibelakangnya.

"Dita !!"

Dita tertawa tawa :"Emang nggak boleh..?"

"Nggak pantas ah..

Maruti masuk kekamar dan mengunci pintunya dari dalam. Sesungguhnya Maruti masih memikirkan kata2 Laras. Mas Panji sukanya sama kamu. Aah... mengapa aku harus percaya sama kata2 Laras, dia itu kan suka mengganggu orang..  batin hati Maruti.

***

Tapi Laras kayaknya tidak bohong. Sore setelah mengantar Maruti pulang, Panji sudah menunggu diteras rumah Laras. 

"Sudah lama mas?" Sapa Laras.

"Sampai ketiduran aku, kamu dari mana aja?"

"Dari jalan sama Maruti."jawab Laras sambil duduk dihadapan Panji.

"Yaaaah.. kenapa nggak bilang sama aku.. "

"Memangnya kenapa kalaa bilang?"

"Sudah lama aku nggak ketemu Maruti,"

"Kangen ya ?" 

"Bangeeett..."

"O.. jadi dugaan aku nggak salah ..."

"Dugaan apa?"

"Mas suka ya sama Maruti?"

"Dia sudah punya pacar?"

"Beluum.. memangnya mas yakin dia juga suka sama mas?"

"Hampir yakiin.." 

"Huuh.. sok ganteng .. "

Dan Panji pun tertawa. Tapi kemudian wajahnya muram karena teringat kata2 ibunya. Dan Laras juga kemudian teringat kata2 Maruti sore tadi, tentang dokter Santi.

"Tunggu mas, bolah aku bertanya?"

"Apa tuh?"

"Dokter yang kata bude mau diambil menanu itu, namanya Santi? Susanti."

"Ya.."

"Mas itu temenan sama Agus kan? Agus Prasetya bosnya Maruti..?"

"Ya, teman bisnis aja."

"Mas tau nggak kalau Agus itu duda?"

"Tau. Kamu kaya intel sedang menginterogerasi penjahat saja."

"Kenal sama bekas isterinya?"

"Nggak, nggak pernah nanya, aku kenal ketika dia sudah duda dengan anaknya yang masih kecil. Nggak pernah nanya2 aku, sungkan, tau." 

"Nah, bekas isterinya itu seorang dokter, namanya Susanti."\

"Apa?"

***

"Bu... ibu...." Panji melangkah tergesa kedalam rumah, Biasanya ibunya duduk dikursi malas didepan televisi, tapi tak ada.

"mBook... mbook.." lalu dipanggilnya simbok, pelayan setia yang selalu meladeni ibunya.

"Ya.. mas, sudah pulang? "

"Mana ibu?"

"Ibu baru saja pergi, katanya mau kontril ke dokter.

"Lho, apakah ini jadual kontrol? BUkankah baru tiga hari yang lalu ibu kontrol?"

"Tadi ibu mengeluh dadanya agak sesak, kemudian menuruh pak Man mengantarkan ke dokter."

Tanpa menjawab Panji langsung keluar menuju kemobilnya yang belum sempat dimasukkannya ke garasi. Kalau ibunya mengeluh dadanya sesak berarti ini masalah serius bagi kesehatan ibunya. Ia mengesampingkan niatnya bertanya tentang status dokter Santi.  Tapi pasti ibu keklinik langganannya dimana disana ada dokter Santi yang disukai ibunya. Apa boleh buat.

***

Panji buru2 memarkir mobilnya dan mencari cari dimana mobil ibunya. Tapi tak tampak disana. Panji bergegas masuk kedalam dan bertanya pada suster jaga.

"Ma'af sus, apakah tadi ada pasien bernama ibu Anjar Kusuma?"

"Oh, itu pasien dokter Santi, silahkan bapak bertanya. Kebetulan pasiennya sudah habis dan tampaknya dokter Santi mau keluar.

Panji mengetuk ruangan dokter Santi, lalu langsung masuk kedalam. Dilihatnya dokter Santi sudah berdiri dan bersiap akan pergi.

"Santi.."

"Oh, mas Panji, kebetulan kamu datang mas, ibu baru saja saya kirim ke rumah sakit."

"Kenapa?" Panji merasa kecut.

"Mudah2an nggak apa2, saya mau kesana begitu pasien habis. Ayo sama2."

"Aku bawa mobil, biar aku mengikuti kamu saja. Sebenarnya bagaimana keadaannya?"

"Ada serngan jantung mas, mudah2an nggak apa2."

Tak ada rasa kikuk antara keduanya karena memang mereka sudah lama berkenalan.Apalagi Panji sedang merasa khawatir tentang kesehatan ibunya. Tanpa banyak berkata kata ia segera memacu mobilnya mengikuti dokter Santi kearah rumah sakit terdekat.

***

Ternyata bu Anjar masih ada diruang ICU. Dokter Santi berbicara sebentar dengan suster jaga kemudian mempersilahkannya masuk. Dokter Santi masuk kedalam sambil menggamit tangan Panji supaya mengikutinya.

Panji merasa cemas melihat keadaan ibunya. Bu Anjar memejamkan mata, selang infus melingkar di lengannya. Asupan oksigen tampak menutupi mulut dan hidungnya. Sepi menyeruak diruangan itu, hanya detak2 mesin pendeteksi jantung terdengar mengiris perasaan Panji.

"Ibu..." Panji berbisik lirih. Bu Anjar tampak membuka matanya. Ia melihat kesebelah kirinya, ada dokter Sant dan sebelah kanannya aanak laki2nya, Panji. Bu Anjar memberi isyarat agar keduanya lebih mendekat. 

Wajah dokter Santi pucat, ia tahu keadaan bu Anjar sangat menghawatirkan. Ia memegang tangan wanita paruh baya itu. Dan Dilihatnya tangan bu Anjar mencari cari sesuatu. Dokter Santi memberi isyarat agar Panji memegang tangan yang satunya. Nafas bu Anjar tampak tersengal, Titik air mata Panji sambil mengelus elus tangan ibunya.

"Ibu tadi pagi tak apa2.. mengapa tiba2 begini?" serak suara Panji terdengar memilukan.

Namun Panji melihat senyum ibunya. Dengan gerakan lemah tangan ibunya mempersatukan tangannya dan tangan dokter Santi...

***

besok lagi ya

 

Monday, May 27, 2019

SA'AT HATI BICARA 09

SA'AT HATI BICARA  09

(Tien Kumalasari)

Maruti terpaku ditempatnya duduk. Sama sekali ia tak menyangka bahwa dokter Santi adalah bekas isteri Agus. Jadi bayangan tentang Panji yang dicalonkannya dengan dokter Santi sedikit kabur. Ia juga belum yakin ketika berada diklinik itu. Ia hanya mendengar orang2 berbicara dan hatinyapun juga berbicara sendiri. Barangkali ia salah.

"Kamu jemput Sasa?" tiba2 Agus menyapa wanita cantik itu setelah tiba didepannya.

"Ya, aku kangen, kebetulan ada waktu..,"

"Oh, syukurlah... masih punya rasa kangen..."

"Jangan mengejekku mas, kamu kan tau seperti apa pekerjaanku.."

"Oh ya, kenalkan, ini Maruti.." tiba2 Agus memperkenalkan dirinya, membuat Maruti yang tadinya menunduk kemudian mendongakkan kepalanya. Bertatapan dengan dokter Santi.

"Lho... ini kan... ini kan..putrinya... ibu..mm.. aku ingat.. ibu Tarjo bukan?" teriak dokter Santi.

"Apa kabar dokter," Maruti mengulurkan tangannya..

"Baik, bagaimana ibu ?"

"Sudah lebih baik dokter, terimakasih banyak."

"Rupanya sudah saling kenal?" sela Agus.

"Kemarin dia ke dokter mengantar ibunya periksa. Nggak nyangka.. ternyata dia adalah...."

"Saya karyawannya pak Agus," kata Maruti buru2, takut apabila dokter Santi menyangka ada hubungan khusus antara dirinya dan Agus.

"Ya, dia customer servis di kantorku."

"Oh.. baguslah.."

"Mamaaaa.... aku mau es krim..," teriak Sasa membuat dokter Santi kemudian berdiri menghampiri Sasa yang sedari tadi hanya berlarian kesana kemari diikuti oleh susternya.

"Oke sayang, ayo kita pesan kesukaanmu." 

***

 Dita sedang menulis sesuatu di buku kecilnya, ketika ibunya tiba2 menghampiri.

"Dita, obat yang harus diminum siang hari kan hanya satu macam?"

Dita terkejut, kemudian menutup buku kecilnya.

"Iya bu, tapi itu diminum sesudah makan. Ibu mau makan sekarang?"

"Ya, nanti setelah kamu selesai menulis nulis."

"Oh, nggak penting bu, hanya catatan kecil, orang menyebutnya buku harian."

"Apa saja yang kamu catat disitu?"

"Banyak hal, semua kejadian, semua yang Dita rasakan... Oke ibu, Dita sudah siapkan makan siang dimeja, ayo kita makan."

"Apa yang kamu rasakan hari ini?" tanya bu Tarjo menggoda anak gadisnya.

Dita tertawa.

"Apa kamu juga mencatat tentang cinta yang pernah kamu tanyakan pada ibu?"

"Ibu ini ada2 saja, sudah ayo kita makan, Dita simpan dulu buku Dita ya."

Dita berlalu, dan bu Tarjo siap duduk dimeja makan. Ia agak heran karena akhir2 ini Dita sangat rajin menulis. Diam2 bu Tarjo ingin sekali tau apa saja yang ditulis oleh anaknya.

"Ayo bu, ini sayur bening, ayam goreng.. yang tadi disiapkan mbak Ruti."

"Baiklah, tampaknya enak.."

"Makan yang banyak lho bu, supaya ibu cepat sehat."

"Iya, ibu sudah mulai doyan makan. Dokter cantik itu sangat baik, dan obatnya juga cocok untuk ibu." kata bu Tarjo sambil menyendokkan sayur kepiring yang telah diisi nasi oleh Dita.

"Besok kalau obatnya habis, kita kontrol lagi, untuk memastikan apakah ibu benar2 sehat atau masih harus minum obatnya."

"Baiklah."

***

 Penasaran dengan dugaan adanya dokter Santi yang janda, yang mungkin berhubungan dengan perjodohan yang ditawarkan ibunya Panji, membuat Maruti menelpon Laras siang itu sebelum dia pulang.

"Hallo.. ada apa? Belum pulang kamu?" 

"Laras, aku ingin ngomong, tapi bukan disini. Aku kerumahmu sore ini, bisa?"

"Eit, ini aku lagi dijalan habis belanja. Baiklah, aku berada didekat kantormu, aku jemput kamu ya?"

"Wah, kebetulan kalau begitu, baiklah aku tunggu."

Limabelas menit sebelum waktunya pulang, tiba2 Laras sudah muncul dihadapannya. Maruti tersenyum senang.

"Sebentar lagi ya, duduklah dulu," kata Maruti sambul mempersilahkan Laras agar duduk didekatnya.

"Benar kamu sudah kerasan bekerja disini ?"

"Kerasanlah.. kan aku lagi butuh pekerjaan. Disini semua baik kok, aku senang."

"Aku ikut senang, tapi aku lebih senang kalau aku dan kamu bisa berada dalam satu kiantor. Semoga mas Panji segera berhasil membuka cabang baru, sehingga kita bisa bekerja bersama sama."

Maruti tak menjawab. Ia sibuk membenahi barang2nya, dan merapikan meja kerjanya karena sudah sa'atnya pulang.

Namun tiba2 Agus sudah ada didekatnya, membuat Maruti terkejut.

"Maruti, nanti pulang bareng saya ya? Sekaliyan menemani saya ke toko buku. Saya ingin membelikan buku gambar yang sesuai untuk Sasa, mana bisa saya memilihnya sendiri."

Maruti tercengang, mengapa harus dia yang ikut memilih buku2 untuk anaknya?

"Mau kan?" ulang Agus

 "Ma'af pak, tapi saya dijemput teman saya, itu dia."jawab Maruti sambil menunjuk kearah Laras.

"Oh.. teman kamu?"

"Laras, ini pak Agus temannya mas Panji, dan ini Laras, sepupunya mas Panji," Maruti memperkenalkan mereka.

Agus dan Laras bersalaman.

"Baiklah, kalau begitu besok saja beli bukunya, ma'af aku tidak tau. Oke, silahkan kalau mau pulang Ruti. Salam untuk Panji ya, Laras."

"Oh.. eh.. baiklah..," jawab Laras gugup.

***

Laras dan Maruti duduk berhadapan disebuah rumah makan. Maruti belum mengucapkan apapun tentang dokter Santi. Sesungguhnya ia ragu2, mungkin ia keliru hanya karena ibu2 setengah tua itu menyebut nama Pandji.

"Ruti, gila.. bosmu ganteng ya?" tiba2 Laras nyeletuk.

"Apa?"

"Bosmu itu... pak Agus.. ganteng lho, aku suka kumisnya." Lalu keduanya tertawa.

"Nggak nyangka kamu suka pria berkumis."

"Kamu.. nggak?"

"Nggak.. kamu itu ada2 saja."

"Syukurlah kalau enggak, jadi aku nggak punya saingan." kata Laras seenaknya.

Iya sih, Agus memang ganteng, tapi Maruti sama sekali nggak punya rasa tertarik. Menurutnya dia biasa saja. Ah, ini kan so'al selera.. lalu Maruti tersenyum senyum sendiri.

"Oh ya, kamu tadi bilang mau ngomong. Mau ngomng apa?"

"Oh.. itu.. aduh.. darimana enaknya aku harus mulai ya.. sebentar.. kemarin lusa kamu bilang bahwa mas Panji dijodohkan oleh ibunya..seorang dokter..  benar?"

"Ya, memang iya, sampai sekarang dia kalau ketemu aku bawaannya uring2an terus. Padahal aku kan nggak tau apa2."

"Kemarin, waktu  aku memeriksakan ibu ke klinik, kebetulan dokternya seorang perempuan. Cantik, namanya dokter Susanti. Sebelum aku masuk, seorang wanita setengah baya keluar dari ruangan itu. Ia menyebut nyebut nama Panji, dan bilang ingin mengambil dokter itu sebagai menantu, tapi dokter itu hanya tertawa. Diakah yang dicalonkan dengan mas Panji? Mungkin hanya namanya saja yang sama, entahlah."

"Siapa nama dokter itu, Susanti?"

"Ya, benarkah nama calon mas Panji itu Susanti?"

"Sayangnya aku tidak tau namanya, mas Panji juga nggak mengatakan siapa namanya."

"Kalau bener dokter itu, dia  seorang janda."

"Apa? Darimana kamu tau ?"

"Dan bekas suaminya adalah pak Agus.."

Laras tersedak karena sa'at itu sedang meneguk minumannya.

 ***

besok lagi ya

 

 

 

 

Sunday, May 26, 2019

SA'AT HATI BICARA 08

SA'AT HATI BICARA 08

(Tien Kumalasari)

Maruti mendengar nama Panji disebut, dan dokter cantik.. apakah seperti yang dipikirkannya?

"mBak, ayo ikut kedalam," kata Dita tiba2.. Maruti terkejut, Dita dan ibunya sudah ada didalam ruangan sementara dirinya masih bengong diluar pintu. Bergegas ia mengikuti masuk, dan mengibaskan pikiran yang tiba2 mengganggu benaknya.

Dihadapan dokter cantik itu Maruti melaporkan semua keluhan ibunya. Dokter Santi mempersilahkan bu Tarjo berbaring ditempat pemeriksaan. 

Maruti dan Dita menunggu .. hati mereka berdebar tidak karuan.

Tak lama dokter Santi kembali duduk. 

"Hanya ganguan lambung. Saya buatkan resepnya, nanti ditebus di apotik ya?"

"Tidak berbahaya kan dokter?" tanya Dita khawatir.

"Nggak, makan hati2 ya, jangan yang asam2, jangan terlalu banyak yang mengandung lemak, santan apalagi," kata dokter Santi sambil menuliskan resepnya.

"Kadang2 seperti seseg disini dokter," sambung bu Tarjo sambil menunjuk kearah dadanya.

"Ya bu, kalau asam lambung naik, bisa terasa sesak disini, nanti kalau sudah baik pasti enggak lagi ya bu."

"Terimakasih dokter," kata mereka bertiga.

"Ini puteri2 ibu? Gadis2 yang baik, pasti sangat menyayangi ibu ya?"

"Ya dokter, kami hanya hidup bertiga, ayahnya sudah tak ada."

"Oh, begitu, pantas mereka sangat menjaga ibunya. Ini resepnya mbak..semoga lekas sembuh ya bu."

Dokter itu sangat ramah. Mereka keluar dari ruang periksa dan langsung menebus obatnya.

***

"Bagaimana sekarang rasanya bu, masih mual?" tanya Maruti sebelum berangkat kerja pagi itu.

"Lebih baik.. ini semua diminum sebelum makan ya?"

"Ya bu, kalau sa'atnya minum obat, biar Dita menyiapkannya. Ya Dit.. jangan biarkan ibu mengambil obat sendiri, nanti keliru mana yang sebelum makan dan mana yang sesudah makan."

"Iya.. iya.. aku tau."

"Kalau begitu minumkan dulu yang sebelum makan, kira2 setengah jam lagi, ajak ibu makan, aku sudah masak pagi tadi, untuk sarapan dan makan siang."

"Ya.. siap komandan.." jawab Dita sambil mengangkat sebelah tangannya seperti militer menghormati atasannya.

Maruti tersenyum, lalu mengambil hand tasnya, kemudian mencium tangan ibunya.

"Ruti berangkat dulu ya bu, segera sehat.."

Bu Tarjo mengelus tangan anaknya, dan Maruti mencium pipi ibunya. Sepeda motor on line yang dipesannya sudah menunggu, Maruti bergegas menghampiri.

"Kasihan kakakmu, harus bekerja untuk kita," gumam bu Tarjo lirih.

"Ibu jangan berkata begitu, mbak Ruti itu masih muda, gak apa2 donk bekerja, daripada ibu yang harus bekerja kan lebih baik anak2nya. Dita juga kalau boleh juga pengin bekerja, tapi kalau Dita juga bekerja, ibu sama siapa?"

Bu Tarjo menghela nafas panjang. Bagaimanapun ia harus sadar bahwa usianya sudah semakin tua. Tapi ia bersyukur punya anak2 yang penuh perhatian dan saling mengasihi dirumah itu.

"Bu, ini obatnya yang harus diminum sekarang, setelah itu baru ibu makan pagi," seru Dita sambil membawa nampan kecil berisi munuman dan obat2 yang disiapkannya.

"Lha itu kamu bawa apa?" tanya bu Tarjo karena melihat Dita juga membawa sebuah buku kecil ditangannya.

"Oh.. ini buku catatan Dita, tadi tertinggal disitu, mau Dita simpan dulu."

"Buku catatan apa?"

"Catatan Dita sendiri kok bu. Buku harian. Sudah, ibu minum obatnya dulu .."

***

 "Kemarin ibu ketemu dokter Santi," kata bu Anjar seakan kembali memancing pembicaraan tentang perjodohan yang diinginkannya. Hanya kalau pagi mereka bisa bicara banyak, karena akhir2 ini Panji sering pulang malam. Sepertinya ia memang menghindari berbicara dengan ibunya. Ia tau pasti itu lagi yang dibicarakannya. Tapi pagi harinya ia seringkli tak bisa menghindar. Hanya saja ia punya alasan untuk segera pergi dari rumah, yaitu harus segera tiba dikantor. Seperti pagi itu.

"Panji, kamu tidak mendengar kata2 ibu?"

Panji sudah menenteng tas kerjanya, tapi berhenti sebentar karena ibunya menegurnya.

"Apa bu?"

"Kemarin ibu bertemu dokter Santi." 

"Oh, dimana?"

"Ya diklinik lah, kan kemarin waktunya ibu kontrol. Kamu sekarang kurang perhatian sama ibu," keluh bu Anjar.

"Bukan begitu bu, akhir2 ini banyak pekerjaan yang harus Panji lakukan. Ma'af ya bu, lalu bagaimana keadaan kesehatan ibu?"

"Tensi ibu sudah normal, gula darah, kolesterol baik. Tapi ibu masih harus meminum obatnya."

"Iya bu, syukurlah kalau semua baik2 saja. Ibu harus menurut apa kata dokter, dan ta'at minum obatnya."

"Dokter Santi bertanya, mengapa bukan kamu yang mengantarkan ibu."

"Ibu kan tau, Panji selalu pulang malam."

"Aku juga berkata begitu. Tapi sekali2 antarkan ibu kontrol, supaya kamu bisa bertemu dengan dia."

Panji menghela nafas, diciumnya tangan ibunya untuk berpamitan.

"Panji berangkat dulu ya bu."

"Kamu itu lho le, setiap kali diajak bicara masalah itu kok mesti buru2 pergi."

"Nanti Panji terlambat bu, ada meeting pagi2 dengan staf dikantor."

Panji melangkah pergi, meninggalkan ibunya yang tampak kecewa .

***

Maruti sedang beristirahat siang itu, tapi ia menolak diajak temannya ke kantin. Ia harus berhemat. Tadi Dita membawakan bekal yang masih disimpannya, dan belum sempat dimakannya. Ia hampir mengambil bekal itu ketika tiba2 Agus muncul dan menghampirinya.

"Maruti, mau temani aku makan?"

Maruti terkejut. Makan dengan bos nya? Alangkah sungkan .. tapi bagaimana menolaknya?

"Ayo.. sebentar saja, dan cuma didekat situ."

"Oh.. tapi....."

"Ayolah..."

Itu seperti memaksa, dan mau tak mau Maruti kemudian mengikutinya. Beberapa karyawan melihat kearah mereka, membuat Maruti merasa risih. Mengapa juga pak bos ini pakai ngajakin makan segala.

***

Dirumah makan itu Maruti lebih banyak diam.Sungguh ia merasa rikuh karena menemani bos nya makan siang, sementara dia itu karyawan yang masih baru.

"Mengapa diam saja Maruti? Kamu nggak suka ya, makan sama aku?"

"Bukan pak.. bukan karena nggak suka, saya sungkan sama karyawan lain. Mengapa bapak mengajak saya?"

"Kamu salah Ruti, hampir semua karyawan pernah aku ajak makan bersama."

Maruti memandangi Agus seakan tak percaya.

"Ya, itu benar.. aku akrab dengan mereka, supaya mereka menganggap kita adalah keluarga kalau diluar kantor. Kadang2 hanya berdua, kadang2 juga beramai ramai."

Maruti mengangguk angguk.

"Aku suka banyak teman, karena aku orang yang kesepian."

Sekarang Maruti mengentikan suapan yang hampir masuk ke mulutnya. Kata2 "kesepian" itu membuatnya heran. Bukankah ia punya keluarga? Punya anak kecil semanis dan se lucu Sasa?

"Isteriku meninggalkan aku, karena kami ternyata tidak sejalan, lanjut Agus, dan ini lebih membuat Maruti terkejut.

"Kami baru punya anak satu, Sasa, tapi isteriku berkeras ingin meninggalkan kami. Mungkin karena aku sibuk, dan dia juga sangat sibuk. Hampir tiap hari kami berselisih karena sering tidak bisa menyatukan waktu luang. Dia...."

Kata2 Agus terputus ketika tiba2 terdengar teriakan seorang anak kecil.

"Papaaaaaa..."

Keduanya menoleh kearah datangnya suara, Maruti mengenal anak itu, Sasa.. yang pernah sekali menjemput ayahnya pada suatu sore.

"Hallo... sayang... sama siapa?" tegur Agus sambil berdiri lalu mengangkat tubuh Sasa tinggi2. Sasa terkekeh senang.

"Ada mama..."

Sasa menunjuk kearah depan rumah makan itu, dan seorang wanita cantik muncul dari sana, diikuti oleh suster yang kemarin juga mengantar Sasa.

Maruti hampir tersedak melihat wanita itu.

"Dokter... Santi ?" bisiknya lirih.

***

besok lagi ya

 

 

Saturday, May 25, 2019

SA'AT HATI BICARA 07

SA'AT HATI BICARA  07

(Tien Kumalasari)

Maruti merasa, ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Untuk sesa'at ia tak bisa mengucapkan apapun.

"Ruti, kamu masih disitu?" Laras dari seberang sana sedikit heran.

"Oh.. eh.. ya, tentu aku masih ada dan mendengarkan kamu," jawab Maruti gugup.

"Kok kamu kayak lagi bengong?"

"Bukaaan.. aku hanya terkejut.. tadi dia tidak mengatakan apapun."

"Ya,pastinya agak sungkan, tapi seharian ini dia seperti orang kebingungan, ibunya memaksa mas Panji menikah dengan gadis pilihannya. Seorang dokter."

"O.. Tapi kenapa bingung? Mas Panji nggak suka ?"

"Ya nggak suka lah, kalau suka pasti dia nggak kebingungan kayak tadi. Pergi kesana kemari nggak jelas jluntrungnya. Dan nggak kekantor juga. Padahal dia cantik lho."

"Nggak kekantor? Padahal tadi bilang dikantor banyak kerjaan.. dan belum sempat makan, lalu aku disuruhnya menemani makan."

"Ya itulah, namanya orang bingung. Seharian dia dirumah aku."

Maruti nggak tau lagi harus bicara apa, itu kan bukan urusannya, walau sedikit mengoyak hatinya. Cuma sedikit kok..  Tapi lewat tengah malam Maruti baru bisa memejamkan matanya.

***

"Panji, dari kemarin ibu bicara, tapi kamu belum juga menjawab pertanyaan ibu," kata bu Anjar yang menunggui Panji di teras pagi itu.

"Apa bu ?" Panji pura2 tidak mengerti.

"Itu, Santi kan sudah ibu anggap seperti anak sendiri. Bertahun tahun ibu menjadi pasiennya, dan ibu dirawatnya dengan baik. Ibu ingin menjadikannya menantu."

"Panji belum ingin memikirkan berumah tangga bu, masih ingin memajukan perusahaan peninggalan bapak."

"Itu saja jawabanmu, isteri kan tidak akan mengganggu usahamu le."

"Ya mengganggu lah.. ," jawab Panji sambil berlalu, menuju mobilnya yang sudah diparkir dihalaman.

"Panji, ibu belum selesai bicara."

"Panji harus kekantor bu. Itu dipikirkan kapan2 saja," jawab Panji dari kejauhan.

"Tapi ibu ingin ketegasanmu, kapan2 menjalaninya ya nggak apa2. Dia itu cantik, pintar.. kamu kan juga sudah mengenalnya? Kalau kamu mau, nanti ibu akan bicara sama dia."

"Nanti saja bu," jawab Panji sambil masuk kedalam mobilnya, dan menjalankannya pelan keluar dari halaman.

Bu Anjar masuk kedalam sambil bersungut sungut.

"Apa maunya anak itu, umur sudah lebih dari dewasa, disuruh menikah muter saja jawabannya. Apa dia sudah punya pacar?" gumam bu Anjar.

***

Pagi itu baru saja duduk, pak Agus sudah memanggilnya kedalam ruangannya. Maruti berdebar, apakah dia berbuat kesalahan?

"Duduk Maruti,"

Maruti duduk menunggu atasannya mengatakan sesuatu. Agus seperti sedang membuka buka file, tapi kemudian dihentikannya dan menghadapi Maruti sambil menatapnya tajam.

"Kamu sudah lama kenal Panji?" 

Lhoh, kok tentang Panji? Tapi Maruti menjawabnya juga.

"Belum pak.."

"Oh, kayaknya sudah sangat akrab."

"Sepupunya mas Panji teman sekolah saya dulu. Kami baru beberapa hari kenal."

"Oh... kirain..." dan Agus pun tersenyum, entah apa yang dipikirkannya.

"Baiklah, kamu boleh kembali ketempatmu. Oh ya, nanti kalau ada telephone dari pak Komar, bilang barangnya sudah aku siapkan, disini. Kamu boleh memberikannya kalau dia datang," Agus meletakkan sebuah map dimejanya.

Maruti mengangguk dan berlalu.

***

Dirumah, Dita sedang melayani ibunya makan siang. Sepagi tadi mereka menyelesaikan pesanan yang harus selesai sebelum jam 12.00, dan Dita sudah mengirimnya. Itu pesanan terakhir dibulan ini, seperti anjuran Maruti sebelum mulai bekerja.

"Ini ayam goreng yang kemarin, masih enak ya," kata bu Tarjo.

"Kalau enak mengapa ibu makannya cuma sedikit ?"

"Sudah kenyang tuh. Akhir2 ini perut ibu sering mual, dan sedikit pusing." Bu Tarjo menyuapkan nasi terakhir kemulutnya.

"Ibu, kemarin mbak Ruti mengajak ibu ke dokter, tapi ibu tidak mau.Sebaiknya ke dokter saja, supaya jelas penyakitnya, dan jelas juga obatnya. Bukan seperti ibu yang selalu saja minum Parasetamol setiap kali pusing."

"Tapi setelah itu kan rasanya jadi lebih enak."

"Tapi itu hanya menghilangkan pusing atau demam, tidak menyembuhkan penyakitnya. Orang merasa panas atau pusing itu pasti disebabkan karena penyakit. Nah, penyakit itu yang harus dicari bu."

Bu Tarjo tersenyum, tak menyangka gadis kecilnya bisa bicara seperti itu.

"Pintar kamu.. Terus.. ibu merasa sifat kolokan kamu nggak kelihatan kalau sudah ngomong seperti itu."

"Dita hanya menirukan apa yang pernah dikatakan mbak Ruti sama ibu. Ya kan?"

***

Sorenya sambil menunggu Maruti pulang, bu Tarjo dan Dita duduk bersantai diteras rumah. Bu Tarjo merasa lebih sehat, setidaknya setelah minum obat andalannya. Parasetamol.

"Bu, bagaimana sih rasanya orang jatuh cinta?" tanya Dita tiba2, dan itu mengejutkan ibunya.

"Kamu?Jatuh cinta?"

"Nggak tau, kan aku nanya sama ibu, rasanya bagaimana.."

Bu Tarjo tentu saja bingung menjawabnya. 

"Bagaimana ya, ibu sudah lupa tuh.."

"Ibu.. "

"Apa kamu sedang jatuh cinta?"

"Entahlah.."

"Kamu suka seseorang?"

"Sama kah suka sama cinta?"

"Ya beda dong.  Suka itu ya suka, seperti kalau kamu suka makan roti kacang, atau mie rebus.. itu suka."

"Bukan makanan bu.. orang." Dita protes.

"Ya sama saja... misalnya kamu suka sama si A.. karena dia lucu.. suka sama si B karena dia baik hati.. suka sama C karena dia ramah.. gitu aja."

"Kalau cinta?"

"Cinta itu ya.. lebih luas.. suka.. masih ditambah... apa ya.. kadang rindu.. trus.. apa yang dia punya.. kamu suka.. apa yang dia mau.. kamu ingin menurutinya.. terus... apa ya.. kalau ketemu hati berdebar debar...terus ada lagi.. sering kali rasa cinta itu diiringi rasa ingin memiliki. Nah terkadang rasa ini juga bisa mengotori hati kita...teruuus...mbuh ah.. ibu sudah lupa.."

Dita terdiam, barangkali sedang mencerna apa yang dikatakan ibunya.

"Dita, tolong ambilin minyak gosok ibu dong," tiba2 kata bu Tarjo 

"Ibu pusing?"

"Sedikit mual, ingin di bau2in saja minyak gosoknya." 

Dita bergegas kebelakang. Sa'at itulah Maruti datang.

"Ibu.. lagi nungguin Ruti ya?" kata Maruti sampil mencium tangan ibunya.

"Iya, ada yang nganterin kamu?"

"Nggak lah bu, naik ojek.. Mana Dita?"

"Weee.. sudah datang.. bawa oleh2 apa lagi?" kata Dita yang tiba2 muncul lalu menyerahkan minyak gosok pada ibunya.

"Oleh2 saja yang kamu pikirin," kata bu Tarjo sambil menerima obat gosok yang dimintanya.

"Ibu kenapa?" tanya Maruti dengan khawatir.

"Cuma ingin bau2 minyak angin ini.."

"Ibu sering merasa mual mbak, makannya cuma sedikit, dan juga sering pusing."

"Tuh, ibu kalau diajak ke dokter susah sih. Dita, aku mandi sebentar, minta ibu ganti baju, dan kita ke klinik sekarang." kata Maruti sambil melangkah kebelakang.

"Ayo bu, jangan membantah lagi, ini kan demi kesehatan ibu," kata Dita sambil menarik tangan ibunya. Sepertinya kali ini bu Tarjo menurut.

***

Memang agak ramai di klinik itu. Maruti sudah mendaftar, dan minta dokter umum untuk memeriksa ibunya. Ia berharap penyakit ibunya biasa2 saja, jadi belum perlu ke dokter spesialis.

"Aku nggak mau lho kalau pakai disuntik segala."

"Nggak bu, nggak semua dokter suka menyuntik, jawab Maruti sambil tersenyum. Ia tau ibunya paling takut disuntik. Trauma ketika melahirkn harus sering disuntik.. kata ibunya pada suatu waktu.

Ketika nama bu Tarjo dipanggil, Maruti segera memapah ibunya kearah yang ditunjuk suster jaga. Ketika itu seorang wanita paruh baya baru keluar dari sana, dan seorang dokter cantik mengantarnya sambil memegangi lengannya. Mereka tampak sangat akrab.

"Bener lho nak, ibu pengin sekali punya menantu seperti nak Santi, nak Santi nggak keberatan kan jadi suami Panji," kata wanita paruh baya itu sambil memandangi dokternya.

Tapi dokter itu hanya tertawa.:"Ibu ada2 saja, hati2 ya bu.. jangan lupa obatnya diminum. Lho. ibu sendirian?"

"Sama sopir, tuh nungguin disana. Habisnya Panji itu kalau pulang sore, kadang menjelang maghrib baru sampai rumah.

Wanita itu berlalu, dan Maruti yang mendengar percakapan itu mulai menduga duga. Ia sempat membaca tulisan di pintu ruangan.. dr. Susanti.

***

besok lagi ya

 

 

Friday, May 24, 2019

SA''AT HATI BICARA 06

SA'AT HATI BICARA 06

(Tien Kumalasari)

Maruti dan Agus bersamaan menoleh kearah datangnya suara, Maruti menahan debar jantungnya, sementara Agus segera menyalami sahabatnya dengan hangat.

"Kok kamu tiba2 ada disini?" Sapa Agus ramah.

"Kebetulan lewat, ingat Maruti ada disini, jadi bisa sekalian aku samperin."

"Ini hari pertama Maruti kerja," kata Agus seperti melaporkan sesuatu kepada atasannya.

"Bagaimana dia?"

"Baik kok... mudah2an dia kerasan."

"Bimbing dia, karena belum berpengalaman Pras,"

"Ya, pasti lah..."

"Sudah mau pulang juga? Aku bawa Maruti ya?"

"Oke, silahkan... ?" Agus tersenyum, sepertinya senyum itu menggoda, seperti mengartikan sesutu, tapi Panji seakan tak perduli. Dihampirinya Maruti yang masih tegak berdiri tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Kita pulang sama2." Dan tanpa menunggu jawaban Maruti Panji sudah memegang lengannya untuk dibawa bersamanya.

"Oke, hati2 dijalan..." sapa Agus sambil manurunkan anaknya.

"Hai Sasa,,, tante pergi dulu ya," Maruti menyapa Sasa dengan manis, sambil menowel pipinya yang menggemaskan.

"Daaag.. ," Sasa melambaikan tangan dengan dipegangi oleh susternya.

Agus menghela nafas panjang, Entah apa yang ada dalam fikirannya.

"Ayo kita pulang Sasa.."

***

Didalam perjalanan pulang Maruti masih juga menahan debaran jantungnya. Ini aneh, berbicara berlama lama dengan Agus.. seperti tak ada perasaan seperti ini. Mereka sama2 laki2, handsome, menarik donk bagi perempuan manapun yang diajak bicara, tapi Maruti merasakan hal yang berbeda. Apa karena pandangan mata Panji yang begitu tajam, senyum yang memikat.. ah.. bencinya Maruti pada perasaannya sendiri.

"Kok diam?" tiba2 Panji memecahkan kebisuan itu.

"Aku... harus bicara apa? Mengapa mas Panji menjemput saya?"

Pasti Panji merasakan suara Maruti yang agak bergetar. Ia tersenyum memandang Maruti yang kebetulan juga menoleh kearahnya. Hm... mengapa sih senyumnya begitu ?Maruti mengalihkan pandangan matanya kearah depan. Ada sesuatu yang menghentak dadanya.

"Kan aku tadi bilang, kebetulan lewat, lalu aku teringat ini hari pertama kamu bekerja. Cuma ingin tau saja. Gimana, suka pekerjaannya?"

"Suka.. terimakasih banyak ," jawab Maruti

"Syukurlah, semoga kerasan.. "

"Terimakasih mas.." itu lagi yang diucapkannya..

"Sudah terimakasihnya. Oh ya.. mau menemani aku makan?" 

"Apa?"

"Makan, dari tadi aku belum makan, lapar nih," katanya seperti meminta. Maruti bingung, menolak segan, menerima juga bingung.

"Ini kan sudah sore.."

"Itulah, sudah sore begini belum sempat makan, banyak kerjaan dikantor. Mau kan? Sebentar saja."

Mau tak mau Maruti mengangguk. Ia merasa, barangkali nanti dengan minum seteguk air bisa menenangkan segup jantungnya.

***

Mobil Panji berhenti disebuah halaman parkir yang luas. Rumah makan mewah, pikir Maruti. Ia belum pernah makan dirumah makan seperti ini. Ia terkejut ketika tiba2 Panji sudah membukakan pintu disampingnya dan mempersilahkan turun.

"Ayo, kok ngelamun, kita sudah sampai."

Maruti turun tanpa menjawab, dan berjalan mengikuti langkah Panji. 

Rumah makan itu tak begitu ramai, maklum, jam makan siang sudah lewat. Mereka duduk disebuah sudut, agak jauh dari pelanggan lainnya.

"Mau makan apa?" tanya Panji 

"Kan mas yang lapar, aku nggak lapar kok.

"Kamu tadi makan siang jam berapa?"

Maruti tak menjawab, apakah ia makan siang tadi? Tidak, ia hanya duduk dan minum sebotol air putih yang dibawanya, dan menolak ketika salah seorang teman mengajaknya ke kantin. Jadi sesungguhnya dia juga lapar. Malu dong mengakuinya..

"Makan jam berapa sih? " Panji mengulang pertanyaannya.

"Aku... mm.. ya tadi... lupa jamnya," jawab Maruti sekenanya.

"Ini sudah sore, jam istirahat sekitar jam duabelas...ya.. pasti masih bisa dong sesuap dua suap lagi.. kan aku minta ditemani tadi?"

Maruti menghela nafas lalu mengangguk pelan.

Panji memanggil pelayan restoran. 

"Aku mau makan nasi sama ayam goreng aja. Kamu apa?" tanyanya pada Maruti.

Maruti menelan ludahnya, mm.. ayam goreng.. itu kan kesukaannya? 

"Terserah mas saja," jawabnya sedikit sungkan. Ia khawatir Panji melihatnya ketika ia menelan ludah karena mendengar makanan kesukaannya.

"Nasi ayam juga?"

Maruti mengangguk.

"Minumnya? Aku mau lemon tea hangat. Jangan minum minuman dingin setelah makan. Itu kurang bagus, bisa memicu kolesterol tinggi"

Dirumah makan ada ceramah kesehatan nih. Pikir Maruti, 

"Aku teh panas." jawab Maruti

Sambil menunggu pesanan itu tiba2 ponsel Maruti berdering. Haa.. dari si centil Dita, pasti akan banyak pertanyaan kalau dia jawab apa adanya.

"Hallo, Dit.."

"Hallo, mbak dimana? Masih bekerja ya? Sore amat pulangnya, jam berapa nanti pulang? "

Maruti tersenyum, geleng2 kepala.

"Mana yang harus mbak jawab lebih dulu? Banyak benar pertanyaannya?"

"Terserah mbak deh, yang penting kenapa mbak belum pulang."

"Ya, sebentar lagi mbak pulang."

"Ini masih dikantor...?"

"Nggak.. lagi... lagi.. dijalan.." Maruti menjawab sekenanya.

"Lhoh, naik apa, kok bisa sambil ngejawab telephone?"

Waduh... ini bisa panjang lagi kalau nggak segera dapat jawaban yang bisa menghentikan pertanyaan Dita.

"Mm.. mbak lagi mampir beli oleh2 buat kamu." 

"Asyiiik.. apaan tuh."

"Sudah jangan tanya2 lagi."

Maruti menutup ponselnya.

Panji tersenyum:" Dita ya? Terpaut berapa tahun kamu sama dia?"

"Cuma... dua tahun setengah."

"Oh ya?  Kayak terpaut sepuluh tahun deh."

Mau tak mau Maruti tersenyum geli, masa sepuluh tahun?

"Masa? Aku kelihatan tua ya?"

"Bukan, dia masih seperti anak2, sementara kamu tampak lebih dewasa.

"Oh... itu..."

Mereka menghabiskan sejam untuk makan dan minum, sementara tiba2 Panji memberikan sekotak bungkusan kepada Maruti.

"Apa ini?"

"Kan kamu tadi bilang, lagi beli oleh2 buat Dita, kalau nggak bawa bisa ngamuk dia."

"Oh.. ta..tapi..."

"Sudah, ayo kita pulang... "

Tanpa menunggu jawaban Maruti, Panji segera melangkah menuju mobilnya.

***

Dita kegirangan mendapat oleh2 sekotak ayam goreng, lengkap dengan lalapan dan sambelnya.  

"Waah,, ini hebat, dan ini makanan mahal."

"Sudah .. bawa kebelakang dan taruh dipiring..."

"mBak sudah gajian? Memangnya gaji bisa dibayar dimuka? Enak bener bekerja disana? Banyak ya gajinya?"

"Dita.. cerewet amat... mbak mau mandi dulu."

"mBak, kalau sudah gajian, nanti kita belanja2 yuk.. barangkali ibu juga mau diajak jalan2."

"Kamu ini ngomong apa, masuk juga baru sehari, mana mungkin gajian?"

"Lhoh.. lha ini?"

"Dikasih mas Panji !" kata Maruti sambul berlalu karena kesal diberondong pertanyaan lalu mengatakan apa adanya, meninggalkan Dita terbengong bengong.

"Mbaaak..."

Dita ingin bertanya lebih banyak, tapi Maruti sudah menutup pintu kamar mandi.

***

Malam itu Maruti sedang istirahat dikamarnya. Banyak kejadian yang membuatnya memikirkan banyak hal. Sikap Panji.. sikap Dita.. pekerjaan yang dianggapnya menyenangkan.Ia mengunci pintu kamarnya rapat2, takut Dita akan bertanya terus tentang pemberian ayam goreng dari Panji. Tiba2 ponsel berdering. Dari Laras...

"Hallo Ras.."

"Sudah tidur kamu?"

"Ya belum lah, kalau tidur mana bisa ngejawab telephone kamu. Ada apa?"

"Gimana pekerjaannya?"

"Baik kok, kayaknya aku kerasan .."

"Syukurlah. Oh ya, bukankah tadi mas Panji menjemputmu?"

"Ya, kenapa juga dia begitu, aku jadi sungkan, dan merasa merepotkan."

"Dengar Rut, mas Panji sebenarnya lagi sedih. Maksudku.. bingung."

"Memangnya kenapa?"

"Ibunya memaksa mas Panji untuk menikah."

"Apa?"

"Dengan pilihan ibunya."

***

besok lagi ya

Thursday, May 23, 2019

SA'AT HATI BICARA 05

SA'AT HATI BICARA  05

(Tien Kumalasari)

Sampai ketiganya duduk diteras itu, Dita masih tertegun dibalik pintu. Seperti mimpi rasanya melihat laki2 yang selalu membayang dipelupuk matanya. 

"Aku kebelakang dulu ketemu bu Tarjo ya." tiba2 Laras berdiri dan beranjak kebelakang. Dita terkejut dan tak sempat menghindar dari sana.

"Heiii.. apa yang kamu lakukan disini..?" teriak Laras .

"Oh.. eh.. aku... aku ingin .. ingin tau siapa tamunya..," gugup Dita menjawabnya. Tapi ketika ia mau pergi kebelakang, Laras mencegahnya.

"Hei.. keluar saja.. itu sepupuku, mas Panji. Mau dikenalin nggak?" Tiba2 Laras sudah menarik tangan Dita dan dibawanya keluar.

"Nih.. ada satu lagi gadis kecil bersembunyi disitu.," teriak Laras.\

Dita kelimpungan. Dan Panji menatapnya lekat.

"Kamu? Kamu.. ???"

"Kenapa mas ?" tanya Laras heran.

"Tuh kan, aku bilang apa.. wajahnya mirip... ini gadis sembrono yang nyaris tertabrak mobilku kemarin lusa." 

Maruti memandangi adiknya yang menatap Panji dengan berani. Astaga, Dita... hampir saja Maruti menarik tangan Dita agar segera duduk didekatnya. Tapi Dita malah memgulurkan tangannya.

"Hallo, nggak nyangka bisa ketemu lagi."

"Kamu adiknya Maruti ?"

"Namaku Dita, Anindita, mas Panji kan ?"

Tentu saja Dita tau karena mendengar Laras berkali kali menyebut namanya.

"Mirip,, cuma sedikit beda.Yang ini pemalu, yang ini pemberani," kata Panji sambil tersenyum.

"Saya berani karena tidak sedang melakukan kesalahan. Kalau kemarin itu.. iya lah aku salah, menyeberang tanpa melihat kiri kanan, jadi ya ketakutan."

"Ya sudah, aku mau ketemu bu Tarjo dulu." Kali ini Laras benar2 pergi kebelakang, sudah lama ia tak menemui bu Tarjo.

Tiba2 Maruti pun bangkit.

"Aku buatkan minuman dulu."

"Aku saja," Dita menarik kakaknya agar kembali duduk, sedangkan dia sendiri kemudian berdiri meninggalkan mereka berdua.

Maruti masih merasa kikuk.

"Kalian mirip..," Panji mengulang kata2nya sambil memandang Maruti lekat2.

"Iya, namanya saudara," Maruti tersenyum.

"Oh ya Maruti, aku ingin mengatakan sesuatu," Panji berpindah tempat duduk, agak mendekat dari Maruti, membuat Maruti semakin panas dingin.

"Kamu jadi memerlukan pekerjaan?"

"Oh .. tidak.. eh..bukan.. mm.. maksud ku.. jangan repot2... aku..." gugup Maruti menjawabnya. Alangkah maulunya menjadi karyawan si tampan ini.. perusahaan besar.. dimana ia yang tak berpendidikan, nggak berpengalaman.. aduuh.. pasti ia kelihatan paling bodoh dan kampungan.

"Nggak repot, kemarin malam temen saya yang punya perusahaan lumayan, bilang membutuhkan customer servise.. tak perlu sarjana kok. Kalau kamu mau, aku berikan kartu namanya," Panji merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar kartu nama dari dompetnya. Maruti menerimanya dan sedikit tenang hatinya karena bukan dikantor Panji ia harus melamar. 

"Temui  dia dan bilang kamu saudara aku."

"Terimakasih banyak mas," jawab Maruti. Ia membaca kartu nama itu, Agus Prasetya,Manager Marketing..

"Dia temen baikku.. kebetulan saja kemarin omong2.. Kamu tertarik? Tapi kamu boleh pikirkan kok, atau kamu ketemu dulu.. kemudian kamu jalani beberapa bulan.. kalau suka diterusin.. kalau nggak suka ya sudah."

Panjang lebar Panji membicarakan tentang pekerjaan itu, dan Maruti bertekat ingin mencobanya.

"Silahkan diminum mas...," tiba2 Dita muncul dengan senampan teh hangat, yang diletakkannya dimeja dengan masih tersenyum senyum.

"Terimakasih Dita.."

***

Pertemuan siang itu membuat Dita banyak mengoceh. Ia tampak gembira sekali bertemu kembali dengan laki2 yang pernah hampir menabraknya, dan tampaknya sekarang benar2 menabrak hatinya.

"mBak, katakan.. apa mas Panji itu sudah punya pacar?" tanya Dita tanpa sungkan.

"Apa? Ya mana mbak tau Dita.. berkenalan juga baru kemarin.." jawab Maruti kesal. Ia merasa Dita terlalu ingin tau tentang Panji, dan itu membuatnya kurang nyaman.

"Mbak suka sama dia?"

"Dita ! Kamu ini ngomong yang enggak2 saja." Maruti cemberut.

"Tadi mbak dikasih apa? Alamat dia? Mana coba, Dita ingin tau.."

"Huuh... nggak boleh..!" jawab Maruti sengit.

"Jahat bangat sih mbak.. ingin tau alamatnya aja.. nggak mungkin lah aku berani main kerumahnya."

Karena kesal Maruti mengulurkan kartu nama yang tadi diberikan Panji.

Dita membacanya lalu mengerutkan keningnya.

"Kok Agus Prasetya...?"

"Memang iya.. "

"Siapa dia ?"

"Mas Panji mencarikan pekerjaan mbak, terus mbak dikasih kartu nama ini. Ini temannya mas Panji, lagi butuh karyawan."

"Ah.. aku juga mau.." Dita nerocos semaunya.

"mBak akan bekerja, kamu harus menemani ibu. Bulan depan ibu tidak usah menerima pesanan lagi. Sekarang ini hanya menyelesaikan pesanan yang sudah disepakati."

***

Disebuah kantor, Maruti menemui Agus Prasetya. Orangnya baik, ramah, dan Maruti langsung suka menerima pekerjaan itu. Bukan karena kebaikan dan keramahan Agus, tapi Maruti memang membutuhkannya. 

"Kalau kamu setuju, kamu boleh mulai bekerja Minggu depan, memang sih gajinya tidak banyak diawal awal bulan, tapi kalau pekerjaan kamu memuaskan aku janji memberikan salary yang lebih baik," kata Agus.

***

"Mengapa kamu harus bekerja Rut, ibu masih kuat melakukan apa saja," kata bu Tarjo ketika Maruti menceriterakan perihal pekerjaan itu.

"Nggak bu, ibu sudah lelah, Maruti sudah dewasa, dan tidak harus selalu memberati ibu dengan segala keperluan kami.  Sa'atnya ibu beristirahat. Kalau kita hidup sederhana, pasti gaji Ruti akan cukup untuk kita bertiga.

"Bu, mbak Ruti sudah dewasa, ibu carikan saja jodoh yang kaya buat dia.. supaya..."

"Stop Dita!! Kamu sukanya bercanda deh !" Maruti kesal dengan candaan adiknya.

"Tapi kalau suaminya kayak mas Panji, mbak Ruti suka kan? Eh.. jangan.. mas Panji buat aku saja.." Dita cengar cengir, dipelototi kakaknya. Ada rasa kurang nyaman ketika Dita mengatakan bahwa mas Panji buat aku saja... huhh.. ada apa dengan hati ini ?

"Dita, jangan suka mengolok olok kakakmu, nanti paha kamu habis kena cubit lho.," bu Tarjo tersenyum. Bagaimanapun canda si bungsu ini selalu membuatnya hangat.. kalau dia sedang tak dirumah.. bu Tarjo selalu mengatakan sepinya rumah ini...

***

Hari sudah agak sore, sa'atnya pulang. Beberapa karyawan mengangguk kearah Maruti yang disambut dengan manis olehnya. Baru sehari bekerja Maruti tampak disukai oleh karyawan lainnya. Pembawaannya yang lembut dan manis, membuat orang suka dan juga segan. Maruti yang tau diri selalu merasa rendah hati. Ia tau bahwa ia bekerja disini karena belas kasihan Panji semata. Ia yakin, pasti Panji telah bicara dengan pak Agus dan membuat Maruti dengan mudah diterima. Banyak yang harus dia pelajari pada pekerjaan barunya, dan dia belajar dengan sungguh2. Semoga tidak mengecewakan, demikian selalu kata hatinya.

Tiba2 seorang gadis cilik berlari lari kearahnya, diikuti oleh seorang wanita muda yang tampaknya babby sitter, menilik pakaian putih2 yng dikenakannya.

"Papa... aku mau papa...," gadis kecil itu berkata sedikit cedal.  Umurnya kira2 baru 3 tahunan. Maruti yang sedang bersiap siap pulang memandangi gadis itu dan tersenyum ramah.

"Hallo adik kecil, mau cari siapa?"

"Mana papa?" mata bulat bening itu mendongak, memandangi Maruti dengan heran. Mungkin karena baru sekali melihatnya.

Maruti berjongkok dihadapannya, dan memegangi pipinya dengan gemas.

"Mana papa?" gadis itu bertanya lagi.

Maruti yang tidak tau siapa papa gadis cilik itu  menoleh kesana kemari, barangkali ada laki2 yang sedang dicari. Tiba2 wanita baju putih itu mendekat. 

"Sasa... papa disana..." lalu ia tersenyum pada Maruti.

"Oh.. nama kamu Sasa? Cantik sekali... " sekali lagi Maruti mengelus pipi Sasa.

Sasa menoleh kearah yang ditunjuk pembantunya, dan berteriak nyaring sambil berlari lari kecil.

"Papaa.. papaaa... "

Maruti terkejut, melihat Agus sudah menggendong Sasa dan menciuminya.. sambil terus berjalan kearah keluar. 

"Maruti, ini anakku, Sasa..." Agus memperkenalkan anaknya setiba didepan Maruti. Maruti tersenyum lebar, alangkah menggemaskan gadis kecil itu.

"Kami sudah berkenalan tadi," jawab Maruti.

"Oh ya, Maruti pulang sama siapa?"

"Sendiri pak, silahkan kalau ..."

"Ayo aku antar sekalian.." Agus memotong kata2 Maruti.

"Oh.. nggak pak.. terimakasih... saya bisa...mm.."

"Biar Maruti pulang sama saya saja," suara itu mengejutkannya. Maruti terpana dan melihat Panji sedang berjalan kearahnya.

***

besok lagi ya

 

SA'AT HATI BICARA 04

 SA'AT HATI BICARA  04

(Tien Kumalasari)

 

 Dita menunggu kakaknya sampai mereka memasuki rumah.

"mBak tadi sama siapa?"

"Itu...."

"Laki2 ya.. aku melihatnya sekilas, tadi kan sama mbak Laras? Itu siapanya mbak Laras?"

Aduuuuh..crewet..crewettt..creweeet.... batin Maruti.

"Mana ibu? " Maruti mengalihkan pembicaraan. Ia tak melihat ibunya berbaring atau duduk2 disofa didepan televisi.

"Dikamar..tadi katanya pusing .. tapi sudah minum obat."

"Pusing?" Maruti menyahut dengan perasaan khawatir. Bergegas ia memasuki kamar ibunya, dan melihat ibunya terbaring sambil memejamkan mata.

"Ibu.." pelan Maruti mendekati dan memegang tangan ibunya.

Bu Tarjo membuka mata dan tersenyum lelah.

"Kamu sudah pulang? Tadi sama Laras ya?"

"Ya bu, Laras minta ma'af tidak bisa mampir. Waktu berangkat tadi tergesa gesa dan pulangnya tiba2 ada keperluan."

"Jadi mbak tadi diantar siapa?" Dita tiba2 saja menyambar. Ia seperti melihat seseorang yang sosoknya seperti dikenalnya.

"Itu sepupunya Laras. Kamu tadi jadi belanja?"

"Jadi, tuh.. periksa dibelakang, ada yang tercecer tidak."

"Ibu sakit? Pusing ya? Kita ke dokter ?" Maruti kembali menghadapi ibunya.

"Oh.. ke dokter segala.. ibu cuma pusing, lihat.. sudah nggak apa2," sahut bu Tarjo sambil bangkit duduk. Maruti memegang kening ibunya. Biasa saja, tapi ibunya memang tampak pucat.

"Ibu kalau sakit bilang saja sakit, jangan ditahan tahan, nanti kalau sudah terlanjur semakin susah mengobatinya."

"Ya, ibu tau.. sudah.. ayo kita keluar.. Dita sudah menyiapkan teh hangat untuk kita bukan?"

"Ya.. sudah... Eh.. mbak.. tadi itu......" 

"Dita.. bantu ibu turun, mbak mau ganti pakaian dulu, potong Maruti karena tau bahwa Dita ingin menanyakan siapa tadi yang mengantarnya, dan ia belum menjawabnya dengan jelas. Maruti masih terganggu dengan kata2 Panji bahwa kemarin hampir menabrak seorang gadis, dan mirip dirinya. Ah.. Dita kah?

***

Hari sudah malam, tapi Maruti belum bisa memejamkan matanya. Besok kebetulan libur, tidak ada pesanan makanan. Tapi Maruti berfikir, kalau ibunya sakit, siapa yang akan memasak untuk memenuhi pesanan2 itu? Maruti dan Dita sudah belajar tapi berkali kali ibunya bilang, masakan itu, biar sama bumbunya, tapi kalau beda yang menanganinya juga akan beda rasanya. Maruti menghela nafas. Ia suka memasak, tapi untuk dirinya sendiri dan ibu serta Dita adiknya. Kalau memasak dalam porsi besar.. wadhuh.. 

Sekarang Maruti benar2 berfikir tentang keinginannya mencari pekerjaan. Ia tak harus bergantung pada ibunya yang sudah semakin tua. Diam2 Maruti mengusap setitik air matanya yang tiba2 meleleh. Berpuluh tahun ibunya berkutat mencari uang hanya untuk dirinya dan Dita. Pasti kekuatan itu ada batasnya. Ia melihat ibunya tampak lelah tapi dipaksakannya. Tapi pekerjaan apa yang bisa didapatnya dengan pendidikannya yang tidak seberapa tinggi? 

"mBak menangis ?" Maruti kembali mengusap air matanya, untuk menyembunyikan tangisnya. Ia tak sadar Dita sudah ada didalam kamarnya.

"Kamu belum tidur ?" 

"Aku nggak bisa tidur,"  Dita duduk ditepi pembaringan, disebelah kakaknya.

"Kenapa?"

"Kalau ibu sakit, siapa yang akan menggantikan menangani pekerjaan masak memasak itu?"

Maruti memandangi wajah adiknya. Rupanya si kecil centil yang biasanya kekanak kanakan itu juga memikirkan keadaan ibunya. 

"mBak mau mencari pekerjaan."

"Aku juga..."

"Hussyy.. kamu harus menjaga ibu...," sahut Maruti yang kemudian sadar bahwa pekerjaan itu belum didapatkannya.

"Mbak mau kerja apa?"

"Entahlah..."

Maruti teringat pertanyaan Panji sore tadi. Ah.. alangkah malu meminta pekerjaan sama dia. Bukan.. bukan ke dia ia harus meminta tolong. Memalukan.. untuk apa karyawan yang hanya lulusan SLTA? Lha kenapa juga ia harus malu? Bukankah ia membutuhkannya? Tiba2 Maruti terbayang kembali senyum Panji yang sempat membuatnya gugup. Ya ampuun..  Maruti benci dengn perasaannya.

"Dita, sudah.. kamu tidur saja, ini sudah malam," kata Maruti sambil menepuk bahu adiknya. Dita mengangguk.. dan berjalan keluar dari kamar kakaknya.

****

Pagi hari itu Laras terkejut karena tiba2 Panji datang kerumahnya. Setelah berbasa basi sama ibunya, Panji segera menarik Laras keteras, seperti ada sesuatu yang ingin dibicarakanya.

"Ada apa sih?"

"Laras, benarkah Maruti memerlukan pekerjaan?" tiba2 kata Panji.

"Ya ampuuuun... aku yang mau ngelamar duluan, Maruti yang lebih diperhatikan," sungut Laras tapi tanpa perasaan kesal.

Panji tersenyum.

"Kamu itu kan masih belum begitu memerlukan. Lanjutin dulu kuliah kamu baru memikirkan pekerjaan."

"Nggak mas, aku benar2 nggak ingin kuliah. Kasihan ibu, tabungan kami sudah menipis.. aku harus berhenti. Nggak tau nanti kalau aku sudah punya uang sendiri kemudian ingin melanjutkan lagi."

"Baiklah, sekarang kita bicara dulu tentang Maruti, oke?"

"Oke, mas mau kasih dia pekerjaan apa?O.. aku tau.. diam2 mas tertarik sama dia kan?"

"Laras, jangan ngelantur... kemarin ada teman yang membutuhkan karyawan. Cuma costumer servis sih.. tapi dia mau lulusan SLTA."

"Oh.. kirain di kantor mas Panji..."

"Belum sekarang, nanti dia akan bekerja sama kamu, kalau aku sudah berhasil membuka cabang lagi seperti yang aku ketakan kemarin."

"Wouw... serius nih? Asyiik.. ayo kita kesana sekarang."

Panji tersenyum senang.

***

Dita terkejut ketika sedang duduk diteras rumah, lalu ada mubil berhenti didepan pagar rumahnya. Lagi2 mobil itu?  Kok aku jadi terobsesi dengan mobil orang itu sih. Pikir Dita. Dia sedang melongak longok, benarkah itu tamu yang mau masuk kerumah.. atau cuma mau parkir.. atau...

"Siapa itu?" tiba2 Maruti sudah ada disampingnya, sama2 memandangi mobil yang berhenti didepan.

"Itu mas Panji.?"

"mBak kenal?"

Tak lama seseorang keluar dari mobil itu. 

"Laras...?" Maruti keluar rumah dan menyambutnya. Dita bersungut dan masuk kebelakang. Ternyata mobil mbak Laras sama. Lhah.. kok mobil itu lagi yang dipikirkannya?

Maruti tertegun ketika ternyata Laras tidak sendiri. Sorang laki2 muda bertubuh tegap mengikutinya dari belakang. Astagaa... kenapa juga dada Maruti menjadi berdegup kencang? Dia lagi? Senyum2 lagi... dan ...

"Heii... itu mas Panji... jangan melongo.." Laras menepuk pundaknya keras. Maruti meringis kesakitan.

"Sakit, tau..!!"

Laras terkekeh.

"Ayo.. sambut tamumu.."

"Hallo Maruti.." justru Panji yang menyapa duluan..

"Selamat datang mas...silahkan.." Maruti mulai bisa menata hatinya. Ia menoleh kebelakang, tak tampak Dita disana.

Maruti tak tau, rupanya Dita berdiri dibalik pintu, mengintip tamu2 kakaknya dengan dada berdebar. Dia... dia... bukankah dia? Bisik hatinya.

***

besok lagi ya


Wednesday, May 22, 2019

SA'AT HATI BICARA 03

SA'AT HATI BICARA  03

(Tienkumalasari)

 

Maruti tiba2 teringat Dita adiknya yang bercerita tentang dirinya yang nyaris ditabrak mobil yang dikendarai seorang cowok gantheng . Maruti berdebar mendengar kata2 Panji bahwa wajah gadis itu mirip dengannya. Dita kah? Tapi Maruti enggan menanyakannya. Ia lebih gugup daripada ingin berbicara panjang dihadapan lelaki yang memandangnya tanpa berkedip, dan membuatnya tertunduk dengan telapak tangan basah oleh keringat dingin. Idiih.. kenapa juga Laras membawaku kemari, pikir Maruti.

"Ya, benar2 mirip..." tiba2 Panji masih melanjutkan kata2nya. Tangannya masih diatas meja, dan matanya belum lepas juga dari wajah Maruti.

"Mas, aku mau ngomong, tapi nggak sekarang. Hari menjelang sore dan Maruti pasti sudah ditunggu tunggu ibunya, jadi aku mau pamit." beruntung Laras memutuskan adegan mendebarkan itu dengan kata2nya. Dan beruntung juga Laras belum ingin berceritera tentang keinginan mencari pekerjaan itu sekarang.

"Mau ngomong apa?"

Aduh.. mengapa mas ganteng ini ingin memperpanjang suasana hatinya yang tegang. Maruti memandangi sahabatnya dan memberi isyarat untuk segera berpamitan.

"Nanti kalau pas santai aja aku ngomongnya, aku pamit dulu sekarang ya,, aku harus ke bengkel sebelum tutup." kata Laras sambil berdiri, diikuti Maruti yang merasa lega.

"Eit.. tunggu dulu, biar aku mengantar kamu ke bengkel." tiba2 Panji juga ikut berdiri.

"Lho.. mas.. sudah mau pulang?" 

"Ya... aku memang sudah mau pulang." jawab Panji sambil membukakan pintu kantornya.

 

***

 Diperjalanan menuju bengkel itu Maruti lebih banyak diam. Hanya Laras yang ramai berkicau dan bersenda gurau dengan sepupunya. Mereka sangat akrab. Terkadang Maruti tersenyum mendengar mereka saling mengejek.

"Mas, cariin aku pekerjaan dong," tiba2 Laras mengungkapkan juga keinginan yang sejak tadi ditahannya.

"Apa? Pekerjaan apa?" Panji bertanya heran.

"Ya pekerjaan. Aku nggak ingin melanjutkan kuliah lagi, kasihan ibu. Jadi aku ingin bekerja."

"Kamu... gadis manja.. kolokan.. urakan.. mau bekerja apa?" Panji bertanya dengan nada bergurau. 

"Ini bener mas... aku melamar jadi sekretarismu ya?" 

Panji tertawa terbahak.

"Kok tertawa sih?" Laras tampak kesal ditertawakan.

"Sekretaris itu yang pintar, cerdas, tegas, tidak manja dan semaunya kayak kamu."

"Iih.. mas Panji jahat deh..."

Laras cemberut. Maruti menutup mulutnya karena merasa lucu melihat tampang sahabatnya.

"Nggak.. aku nggak mau sekretaris kayak kamu."

"Maaas... " Laras cemberut..

"Nanti aku ajari kamu bekerja, aku sedang memikirkan sebuah cabang perusahaan ditempat lain. Kalau kamu bisa menjalankan, oke banget, tapi harus belajar dulu."

"Oh.. apa itu?"

"Nanti aku akan bicarakan, kalau kita banyak waktu, ini sudah hampir sampai bengkel."

"Maruti juga ingin mencari pekerjaan lho mas..." tiba2 kata Laras mengejutkan Maruti. Aduh.. malunya... mengapa Laras juga mengatakan hal itu...

"Oh ya? Benar Maruti?" Panji melongok kearah kaca spion didepannya, agar bisa melihat wajah Maruti.

"Oh.. nggak.. nggak... Laras cuma bercanda..." gugup Maruti menjawabnya..

"Maruti gimana sih.. katanya tadi...."

"Nggak.. aku nggak bersungguh sungguh kok..." Maruti buru2 memotong kata2 Laras.

Mereka sudah sampai didepan bengkel itu. Laras melihat mobilnya sudah siap diujung halaman, tapi ia tidak segera turun.

"Mas, bolehkah aku minta tolong?" Laras menatap wajah sepupunya yang masih duduk didepamn kemudi.

Pnnji memandang Laras tanpa bertanya pertolongan apa yang diinginkannya.

"Aku harus mampir membelikan ibu makanan, tolong mas antar Maruti pulang ya?" kali ini Maruti benar2 ingin menghambur turun. Untung pintu mobil itu masih terkunci.

"Nggaaaak.. nggak.. aku bisa naik taksi..."

"Jangan bawel Maruti, kakakku ini baik hati, dia bisa marah kala ada orang menolak kebaikanya. Ya kan mas?"

"Ya, kenapa tidak.. biar aku yang antarkan Maruti."

Laras membuka pintu mobil, lalu menoleh kearah Maruti

"Ruti, ma'af banget ya.. bener nih.. aku lupa ibu memesan sesuatu...Nanti aku telpon kamu. Oh ya.. nitip salam buat bu Tarjo ya.. aduh.. tadi nggak sempat mampir. Juga salam buat si centil Dita."

Laras sudah menutup kembali pintu mobilnya, dan Maruti dibuat kebingungan oleh ulahnya.

"Ma'af, biar aku naik taksi saja." gemetar Maruti mengatakannya.

"Nggak boleh, aku sudah janji untuk mengantarkan kamu, jadi akan aku antar kamu sampai kerumah.Oke?"

Tanpa menunggu jawaban Panji sudah menjalankan mobilnya.

***

 Maruti diam2 merasa kesal pada sahabatnya, karena memaksanya berada dalam situasi kaku seperti ini. Tak sepatahpun kata mampu diucapkannya hampir disepanjang perjalanan pulang.

"Benar kamu ingin mencari pekerjaan?" tiba2 Panji memecahkan suasana kaku itu.

"Oh.. nggak.. nggak.. aku hanya lulusan SLTA.. bisa apa?" terbata Maruti menjawabnya.

"Kamu mempunyai keahlian lain?"

Maruti menggeleng. Panji melihatnya dari kaca spion.

Komputer barangkali?

"Apa?"

"Bisa mengoperasikan komputer ?"

"Mm.. sedikit.. tapi tidak.. jangan repot karena aku."

"Barangkali nanti ada kesempatan, aku akan membantu."

"Stop..stop... mm..mas.. itu rumahku." tiba2 Maruti berteriak, rumahnya sudah terlewat beberapa puluh meter kedepan.

Mobil berhenti tiba2. 

"Dimana rumah kamu?" Panji menoleh kebelakang

"Disana, agak disana, biar berhenti disini saja."

Tapi Panji mengundurkan mobilnya pelan.

"Yang mana?"

"Sudah, disini saja."

Panji turun dan membukakan pintu mobil , mempersilahkan Maruti turun. Aduuh.. seperti juragan saja pakai dibukakan pintu mobil. Tapi Maruti tak bisa menolaknya. Ia kemudian turun, sedikit tersipu karena Panji memandanginya lekat.

"Mengapa kamu seperti ketakutan begitu ?" kata Panji sambil tersenyum.

"Terimakasih banyak mas.. " hanya itu yang bisa diucapkannya.

"Aku nggak dipersilahkan mampir?" senyum itu sungguh mnggoda.

"Oh..eh.. mampir...sill..lahkan.." Maruti mencoba tersenyum. Kecut barangkali karena bercampur dengan perasaan gugup tak menentu.

"Terimakasih, lain kali aku akan kemari bersama Laras."

Maruti melangkah pergi. Panji heran karena ternyata mereka tidak berhenti didepan rumah Maruti. Masih agak kesana. Panji mengikuti dari belakang, sampai Maruti membuka pintu pagar.

"Oh.. disini? Jauh amat berhentinya.." gumam Panji yang kemudian membuat Maruti tersenyum.

"Lain kali aku kesini ya.." Panji melambaikan tangan dan berlalu.

Maruti menghela nafas lega. Mencoba menenangkan debar didadanya. 

Tiba2 terdengar teriakan keras dari arah rumah.

"Mbak Ruti... itu tadi siapa ?" 

Itu suara Dita...

***

nanti lagi ya


Tuesday, May 21, 2019

SA'AT HATI BICARA 02

SA.AT HATI BICARA  02

(Tien Kumalasari)

Dita kembali duduk bersimpuh dibawah sofa tempat ibunya berbaring. Mobil teman Maruti tadi masih terbayang didepan matanya. Namun ingatan tentang mobil itu segera dikibaskannya. Bukankan banyak orang memiliki mobil serupa?

"Siapa teman mbakmu itu tadi?"

"Kayaknya mbak Laras. Entah kenapa dia nggak mau masuk dulu kedalam."

"Mungkin tergesa gesa, biasanya dia mampir dulu."

"Tapi mobil itu....." Laras tak melanjutkan kata2nya, ia tak tau harus bicara apa tentang mobil yang membuatnya berdebar. Aneh.. pikirnya untuk dirinya sendiri. Mengapa aku ini...

Dita mengambil minyak gosok yang tadi diletakkannya dimeja. Beruntung tampaknya sang ibu tak memperhatikan kata2nya ketika dia menggumamkan mobil itu.Tapi ketika ia akan kembali menggosokkan minyak gosok dikaki ibunya, bu Tarjo menolaknya.

"Sudah.. sudah.. katanya kamu mau belanja kepasar? "

"Lha nanti ibu sama siapa? Kan mbak Ruti pergi?"

"Ya nggak apa2.. kayak belum pernah ninggalin ibu sendiri aja kamu ini. Memangnya ibu harus selalu ditungguin?"

"Bukan begitu bu, kan ibu bilang kakinya nyeri, dan Dita lihat ibu sedikit pucat. Benar ibu nggak apa2?"

"Enggak.. mungkin ibu hanya kecapean saja. Sudah sana, ingat ya.. hati2 menyeberang jalan, kakakmu sudah cerita perihal kamu mau keserempet mobil kemarin."

Dita tertawa. 

"Mbak Ruti berlebihan, Dita kan nggak apa2.. Mana catatannya bu?" tanya Dita sambil berdiri dan melangkah kebelakang. Ia cepat2 pergi.. khawatir kakaknya juga menceriterakan tentang cowok gantheng pemilik mobil yang membuatnya terpesona, lalu dia akan malu menjawab apabila ibunya menanyakannya juga.

"Itu dimeja, sudah ibu tulis semua, gula masih banyak, nggak usah beli lagi dulu."

"Dita ganti baju dulu ya bu."

Bu Tarjo menghela nafas. Memang akhir2 ini tubuhnya terasa sedikit lemas. Ada rasa nggak enak, tapi ia tak ingin membuat anak2nya khawatir. Ketika kemudian Dita berangkat untuk belanja, ia bangkit dan menuju almari obat. Diambilnya sebutir obat pusing dan diminumnya, kemudian dibaringkannya lagi tubuhnya disofa. Ia mematikan televisi yang sejak tadi menyala tapi tak ingin ditontonnya.

***

Jalanan sedikit rame, Laras.. teman Maruti mengendarai mobilnya pelan. Mereka baru saja ketemuan dengan teman2 sekelasnya dan sekarang mereka sedang menuju pulang. Laras harus mengantarkan Maruti.

"Aku kembalikan mobil ini dulu kerumah sepupu aku ya Rut,aku janji mengembalikannya sebelum Ashar," kata Laras sambil memutar mobinya kearah berlawanan.

"Ya, terserah kamu saja. Aku pikir ini mobil barumu Ras.."

"Bukan, sejak ayahku meninggal ibu tak mengijinkan lagi ganti2 mobil. Kami hanya hidup dari peninggalan almarhum ayah, jadi harus berhemat. Ibuku bukan perempuan yang pintar mencari uang.Ia benar2 seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa mengandalkan pemberian suami. Itulah sebabnya aku ingin mencari pekerjaan dan tak usah melanjutkan kuliah."

"Ooh.. mau bekerja dimana kamu?"

"Belum tau, lagi mau nyari. Mungkin kakak sepupu ku bisa membantu, entahlah, aku juga belum ngomong."

"Kakak sepupu?"

"Yang punya  mobil ini. Tadi tuh mobilku mogok... aku taruh dibengkel.. mas Panji aku suruh jemput lalu aku pakai mobilnya. Nanti aku kenalkan kamu sama dia, dia ganteng lho.."

Maruti tersenyum. Tiba2 ia teringat Dita adiknya tentang laki2 ganteng yang ditemuinya. Ah, ada apa dengan lelaki ganteng? Maruti tidak tertarik kata2 laras tentang lelaki ganteng sepupunya itu. Ia lebih tertarik tentang pekerjaan yang akan dicari sahabatnya. Siapakah mas Panji? Pejabat tinggi atau pengusaha kaya raya yang bisa mencarikan pekerjaan? Maruti ingin mendapatkan juga pekerjaan itu. Barangkali dengan ia bekerja ibunya tak usah bersusah payah mencari penghasilan dengan masak memasak setiap hari. Ibunya sudah semakin tua, dan ia serta Dita sama sekali tidak menyukai dunia itu. Bu Tarjo selalu bilang masakannya kurang sedap.. apabila dia atau Dita yang memasaknya. Berbeda dengan tangan ibunya yang piawai mengolah segala macam masakan dan dipuji semua orang, sehingga banyak pelanggan yang menyukainya.

"Kok melamun?" ujar Laras tiba2.

"Oh.. eh.. apa?" Gugup Maruti menjawabnya.

"Bener lho, nanti aku kenalkan kamu sama dia."

"Kamu itu ada2 saja. Aku berfikir tentang pekerjaan. Kalau kamu ma cari pekerjaan, bisakah kamu juga mencarikannya untuk aku?Tapi aku kan hanya lulusan SMA." tiba2 Maruti sedih mengingatnya. Tak mudah bagi lulusan SLTA untuk mendapatkan pekerjaan bukan?

"Kamu? Mau cari pekerjan juga? Bukankah kamu setiap hari sibuk membntu ibumu?"

"Iya sih, tapi aku berfikir ibuku itu sudah semakin tua, tidak akan bisa selamanya aku bergantung pada ibu."

"Tapi kan kamu bisa meneruskan usaha ibu itu?"

"Aku dan Dita sama2 tidak menyukai dunia masak memasak. Bisanya kami hanya membantu. Masakanku nggak seenak masakan ibu, jadi kami kurang menyukai dunia itu."

"Nanti aku bilang sama mas Panji, barangkali dia bisa mencarikan pekerjaan untuk kamu."

"Tapi... nggak ah.. aku kan hanya lulusan SLTA... " kemudian Maruti ragu2.

"Siapa tau dia bisa. Mas Panji itu seorang pengusaha, banyak yang dia bisa lakukan. Siapa tau bisa membantu."

Maruti terdiam. Ia membayangkan, barangkali ditempat perusahaan sepupu Laras yang bernama Panji itu ia akan menjadi cleaning servis.. atau..tukang kebun.. atau...

"Kita sudah sampai," kata Laras tiba2, kemudian mobilnya memasuki sebuah halaman luas sebuah perkantoran, dan memarkirnya ditempat parkir.

Mereka keluar dari mobil itu, Laras menggandeng tangan Maruti masuk kedalam. Sebuah perkantoran yang megah. Tampaknya Laras sudah biasa memasuki tempat itu, kaena beberapa kayawan tampak mengangguk hormat padanya.

"Pak Panji ada dikantornya?" tanya Laras pada salah seorang staf yang duduk didepan ruangan dengan tulisan menarik... DIREKTUR

"Ada mbak, didalam.. "

Tanpa menunggu Laras menarik tangan Maruti dan langsung masuk kedalam ruangan yang cukup luas dan tertata asri. Seorang laki2 yang masih terbilang muda duduk disudut ruangan, memandangi kedatangan mereka dengan wajah berseri.

"Laras? Sudah selesai senang2nya?"

"Sudah lah mas.. mm.. ini kunci mobilmu, aku akan ke bengkel mengambil mobilku." Laras mengulurkan kunci kontak mobil yang diterima laki2 muda itu sambil tersenyum ramah. Dan tanpa diperslahkan Laraspun duduk didepan meja sambil menarik Maruti duduk disebelahnya.

"Eh.. oh ya, silahkan duduk," si pemilik kantor itu baru menyadari bahwa ada orang lain selain Laras sepupunya. 

"Ini....." 

"Oh ya mas, kenalkan, ini teman SMA ku.. ayo kenalkan.. ini Maruti.. dan ini mas Panji.."

Mereka bersalaman dan menyebutkan nama masing2. Tapi Panji memandangi Maruti lekat2. Ia tampak sedang mengingat ingat sesuatu.

"Apa.. kita pernah bertemu?" tanya Panji.

Maruti menggeleng dengan gugup. Tak urung hatinya berdebar dipandangi laki2 yang.. ehem.. emang tampan sih..  dan tangannya masih digenggam erat oleh si tampan itu.

"Tapi.. kayaknya aku pernah melihat wajah seperti ini... haaaa.. baru kemarin... baru kemarin.. ya.. aku ingat.."

Maruti menarik tangan yang masih digenggam Panji, pelan tapi yakin kemudian basah oleh keringat dingin. Maruti merasa laki2 dihadapannya sedang ingin berakrab akrab dengannya dan pura2 sudah mengenal sebelumnya. Hm.. tapi suka sih... hahh.. Maruti menundukkan mukanya, malu oleh perasaannya.

"Mas Panji gimana sih? Kalau belum kenal tuh jangan suk kenal.. orang baru pertama kali bertemu mengaku kenal." Akhirnya Laras membuka mulut melihat adegan yang seperti membuat Maruti tegang itu.

"Bukan.. aku bukan sok kenal..eh.. apa mirip ya... ya.. mirip. Dengar.. kemarin aku nyaris menabrak seorang gadis, wajahnya ada miripnya sama Maruti."

Dan Marruti pun tercengang. 

*****

besok lagi ya

SA'AT HATI BICARA 01

SA'AT HATI BICARA 01

{TIENKUMALASARI}

 

Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersenandung riang.  Ia melemparkan tas tangannya begitu saja keatas kursi lalu duduk sambil menyelempangkan kakinya, sedangkan mulutnya tak berhenti bersenandung.

"Dita.. kamu kesurupan?"

"Dengar mbak, aku tadi nyaris ketabrak mobil." enteng suaranya ketika mengucapkan itu, dan Maruti terbelalak memandangi adiknya.

"Kamu ngomong apa? Nyaris ketabrak mobil dan kamu malah bersikp seperti orang yang sedang bergembira begitu?"

Maruti mendekati adiknya dan memegang dahinya.

"Panaskah?" Dita masih berusaha bercanda.

"Jangan main2 Dita.."

"mBak.. kalau aku benar2 ketabrak, ya nggak mungkin lah aku bisa ketawa ketiwi seperti ini. Makanya aku bilang nyaris, dan tu sebabnya aku tampak seperti orang kegirangan."

Namun Maruti tidak mengerti. Meskipun nggak jadi ketabrak, yang namanya hampir ketabrak mobil pastilah membuat orang berdebar debar untuk waktu yang cukup lama. Tapi Dita tidak.. 

"Sini mbak, aku ceritain, tadi itu.. pas aku menyeberang jalan setelah mengirimkan pesanan, tiba2 aku terkejut ketika sebuah mobil sudah berhenti tepat disamping aku. "

"Sembrono kamu memang." Maruti ngedumel.

"Terkejut sekali aku.. hadeeww.. hampir saja. Tapi mbak, ketika pengendara mobil itu membuka kaca depan lalu melongok kearahku, aku dibuat terpana. Debar jantungku ini tidak lagi disebabkan oleh ketakutan karena nyawaku hampir melayang.. tapi karena melihat wajah laki2 itu." kata Dita bersemangat, membuat Maruti kemudian meninggalkannya lalu melanjutkan pekerjaannya menata meja.

"mBak, laki2 itu guanteng banget, dan senyumnya itu... eh.. bukan.. tadinya dia melotot kearahku, lalu aku mengangguk dan mengucapkan ma'af sambil tanganku memegangi pintu mobilnya, dan gemetaran pastinya. Melihatku seperti itu dia kemudian tersenyum, sambil berkata maniis sekali, lain kali hati2 ya.. Wouw.. itu kan senyuman yang mirip... apa ya.. ah.. pokoknya ketakutanku sirna lalu aku berjalan menepi. Dia juga menepikan mobilnya dan turun, sambil bertanya apakah ada yang luka? Aku menggeleng sambil tak henti menatapnya dan kemudian dia berkata lagi, lain kali hati2 ya. Hm.. kenapa ya dia nggak mau menawari aku naik kemobilnya lalu mengantarku pulang?"

"Ya ogahlah.. mengantar pulang anak gadis yang sembrono seperti itu." Maruti menimpali sambil bersungut.

"Iya 'kali... ia malah kembali meneiki mobilnya dan pergi begitu saja. Tapi sungguh aku ingin bertemu dia lagi lho.."

"Ssst.. diam dan cuci kaki tanganmu.. lalu bantu aku menyiapkan makan siang."

"Sayang aku nggak sempat bertanya siapa namanya. Ah.. ya malu kan kalau itu aku lakukan?" Dita masih saja mengomel.

"Dita..."tegur Maruti kembali.

"Iya.. iya..." sahut Dita sambil berdiri, lalu berjalan kearah kamarnya sambil masih saja terus bersenandung.

****

Maruti dan Anindita adalah dua gadis bersaudara yang hanya terpaut 2 tahun umurnya. Ayahnya sudah lama meninggal, bahkan ketika keduanya masih kecil2..tinggal ibu Tarjo ibunya yang bekerja mati2an untuk menghidupi dan menyekolahkan kedua anak gadisnya dengan menerima pesanan2 catering. Itulah sebabnya keduanya hanya bisa bersekolah sampai jenjang SMA. Tak satupun dari mereka menuntut karena mereka maklum betapa beratnya menyekolahkan anak keperguruan tinggi. Mereka hanya membantu ibunya memasak dan mengirimkan pesanan2 pelanggan.

"Ibu.. apakah hari ini giliranku berbelanja?" kata Dita sambil mendekati ibunya, yang sedang memijit mijit kakinya yang diselonjorkan disofa kuna yang diletakkan didepan televisi.

"Terserah kamu saja, tanya sana sama kakakmu," jawab bu Tarjo.

"Ibu capek?Biar Dita pijitin dulu ya..," Dita bersimpuh dibawah lalu memijit mijit kaki ibunya.

"Nggak capek, tapi akhir2 ini memang ibu sering merasa ngilu dikaki."

"Nanti Dita antar ke dokter ya?"

"Enggak.. cuma begini saja ke dokter.. nanti juga sembuh."

"Oh, sebentar, Dita ambilin obat gosok ya bu..," Dita berlari kecil kekamar ibunya dan kembali dengan sebotol obat gosok yang kemudian diurutkannya pada kaki ibunya.

"Ibu.. Ruti pergi sebentar ya..," tiba2 Maruti menghampiri mereka sudah dengan pakaian rapi dan dandanan sederhana tapi cantik. 

"Mau kemana nak ?" sang ibu bertanya sambil memandangi wajah gadis sulungnya. Ia bangkit duduk dan memandangi anak gadisnya tanpa berkedip.  Tiba2 bu Tarjo sadar bahwa ia telah memiliki seorang gadis yang sudah matang. Senyumnya mengambang. Ada rasa haru yang menyelinap ketika menyadari bahwa sudah duapuluhan tahun ia membesarkan sendiri anak2nya. Kini mereka tumbuh dewasa, semuanya manis dan cantik.. bukan hanya wajahnya tapi juga perilakunya. Ia bersyukur telah mengajarkan anak2nya dengan tata krama yang tinggi, saling mengasihi dan menjaga.

"Ibu... kok ibu memandangi Ruti seperti ini?" Maruti membungkuk dan mencium pipi ibunya yang mulai keriput.

"Ibu baru sadar, kamu sudah dewasa, dan cantik. Bisik bu Tarjo sambil membalas ciuman anaknya.

"Iya bu, sudah sa'atnya dicarikan suami tuh..." sela Dita yang sedari tadi juga ikut mengagumi kecantikan kakaknya.

"Hussyy..." Maruti memelototi adiknya yang kemudian meloncat menjauh karena khawatir kena cubit kakaknya. Ya, Maruti paling suka mencubit. Setiap kali Dita membuatnya kesal selalu cubitlah senjatanya. Bu Tarjo hanya tertawa melihat ulah keduanya. Maruti memang lebih lembut dan manis, sementara Dita agak manja dan sedikit lincah .. nakal namun selalu ta'at pada ibu dan kakaknya.

Tiba2 terdengar suara klakson dari jalan besar. Maruti melongok.. lalu sekali lagi mencium ibunya, lalu berpamit sambil berlalu.

"Ruti pergi dulu ya bu, sudah disamperin temen tuh."

"Hati2 nak," pesan bu Tarjo.

Dita mengikuti dari belakang, dan melhat sebuah mobil berhenti tepat didepan pintu pagar. Ia melihat seorang gadis turun dari mobil itu dan membukakan pintu untuk Maruti. Namun Dita terkejut, ia seperti mengenali mobil itu.

**** 

dilanjutin besok ya....

SA'AT HATI BICARA

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...