Sunday, March 31, 2024

WANGI TAMAN HATIKU

 Pagi yang sangat buta ini

sepi yang sangat senyap ini

terlelap dalam keheninganku

tenggelam dalam do'a dan sujudku,

hanya kepadaMu ya Allah

pinta dan permohonanku

semoga keindahan selalu mewarnai hudupku 

menghiasi bunga2 cintaku

memperwangi taman hatiku

aamiin


‐-‐----


gemercik kolamku

gemercik hatiku

gemercik sekelilingku

bagai gamelan manis dari awang sana

mengiringi kidung2 penuh cinta

mengiringi langkah penuh asa

tak kan berhenti

dan gemercik sepanjang masa

selamat pagiiii

Saturday, March 30, 2024

M E L A T I 12

 M E L A T I    12

(Tien Kumalasari)

 

Daniel menatap adik dan iparnya tak berkedip. Pernyataan cinta atau suka yang dilontarkan kepada seorang gadis bernama Melati membuat keduanya berteriak. Sekedar terkejut, atau ada pelarangan di mata mereka. Karena Melati gadis biasa? Bukan anak seorang pengusaha? Seandainya benar, maka Daniel akan menegurnya. Mereka, terutama Nilam, harus ingat, dari mana ia berasal. Bagaimana kehidupan mereka diwaktu lalu.

“Melati ya? Nama gadis itu Melati?” Nilam bertanya lirih.

“Ya. Gadis pegawai katering itu bernama Melati.”

“Mas suka sama dia?” lanjut Wijan.

Daniel tak menjawab. Ia sedang memikirkan kebenaran suara hatinya. Benarkah ia suka pada Melati? Tapi itu belum pernah diungkapkannya kepada gadis itu.

“Karena namanya Melati?” sambung Nilam.

Daniel menggeleng.

“Dia gadis yang baik dan sederhana. Dia juga dari keluarga sederhana. Tapi aku belum pernah mengatakan apapun kepadanya. Kami bertemu beberapa kali, tadi aku juga dari rumahnya. Apa kalian keberatan?”

“Tidaaak,” jawab Wijan dan Nilam hampir bersamaan.

Daniel merasa lega. Ia tak perlu bicara panjang lebar lagi.

“Mas Daniel bukan anak kecil lagi. Bahkan tidak muda lagi. Jadi menurut saya, mas Daniel melakukan sesuatu pasti sudah dengan banyak pertimbangan. Menentukan pilihan, juga pasti dengan pertimbangan. Ya kan Mas?”

“Pertama-tama yang membuat aku lega adalah, bahwa kalian tidak keberatan.”

“Semuanya kami serahkan kepada Mas Daniel. Keluarga kami tidak pernah membedakan status seseorang dari tingkat kehidupannya. Yang terpenting adalah bahwa dia baik. Baik itu adalah baik secara lahir, dan terutama batinnya. Orang kaya, harta berlimpah, tapi hatinya busuk, juga ada. Sebaliknya orang miskin, budinya mulia, luhur, banyak. Karenanya kaya dan miskin bukanlah nilai yang harus diperhitungkan.”

“Suamiku sudah menjadi kakek sejak dia masih kanak-kanak,” celetuk Nilam seenaknya.

“Apa maksudmu?”

“Bukankah sejak kita masih kecil, mas Wijan sudah memiliki banyak petuah-petuah, yang biasanya diucapkan oleh orang-orang tua?”

“Ah, kamu itu. Aku kira kamu mau bilang bahwa sejak kanak-kanak aku sudah seperti kakek-kakek. Keriput dong kulit aku.”

Daniel dan Nilam tertawa melihat Wijan yang hampir saja marah.

“Aku tuh sudah kenyang diomeli oleh dia.”

“Hidup yang kita jalani selalu menjadi pelajaran bagi kita, bukan?”

“Mas Wijan benar. Aku setuju. Tapi aku belum menjadi kakek. Menjadi suami saja belum. Maksudnya belum dua kali,” canda Daniel.

Pertemuan itu menjadi meriah, dan Daniel merasa lega karena mereka tidak menentang seandainya dia menyukai Melati, seorang gadis sederhana yang tidak dari kalangan keluarga kaya.

Setelah makan malam, Daniel pamit pulang.

***

Ketika sampai di rumah, ternyata Baskoro masih menunggunya, sambil duduk di depan televisi, tapi dengan mata terkantuk-kantuk.

“Pak Baskoro kok belum tidur?”

“Menunggu nak Daniel pulang.”

“Ya ampun, seperti menunggu anak kecil saja. Besok pak Bas harus jualan pagi, ini sudah malam, jam sepuluh lebih. Nanti bangun kesiangan, bagaimana?”

“Tidak apa-apa. Ini tadi juga sambil setengah tidur. Mau makan?”

“Saya sudah makan di rumah Nilam. Pak Bas belum makan?”

“Sudah. Tapi kalau nak Daniel mau makan, aku akan menyiapkannya dan menemani.”

“Tidak Pak, saya sudah makan. Pak Bas mau makan lagi? Aku yang akan menemani.”

Baskoro tertawa.

“Aku juga sudah kenyang. Tapi barangkali butuh minuman hangat?”

“Tidak juga, perut saya sudah penuh. Pak Bas tidur saja, saya akan ganti baju, dan juga tidur. Besok saya dinas pagi.”

“Baiklah Nak, tidurlah, biar saya kunci semua pintunya.

“Biar saya saja. Pak Bas langsung tidur saja. Kelihatannya sudah sangat mengantuk. Maaf saya membuat pak Bas menunggu. Lain kali kalau saya pergi sampai malam, pak Bas tidak usah menunggu. Saya kan bawa kunci rumah juga.”

“Baiklah. Saya tidur dulu, kalau begitu.”

“Selamat tidur, pak Bas.”

Daniel membersihkan diri, dan berganti baju rumahan. Ia langsung merebahkan diri di pembaringan, lalu memejamkan mata. Bayangan Melati melintas, membuatnya tersenyum. Akankah ia berhasil memilikinya? Ia belum bertanya, apakah Melati sudah punya pacar atau belum? Atau dia pernah bertanya, tapi jawabannya apa, dia lupa?”

Entahlah, dia tak ingin memikirkannya, bukankah selama belum ada janur melengkung maka dia masih berhak merebutnya? Merebutnya? Itu terlalu kasar. Maksudnya merebut hatinya. Yaaah, apa bedanya?

Daniel meraih bantal untuk menutupi wajahnya, tapi bayangan itu tak juga hilang dari benaknya. Apa ini yang dinamakan cinta?

“Melati, datanglah dalam mimpiku,” lalu Daniel benar-benar terlelap karena lelah.

***

Malam sudah larut, tapi Melati belum juga berhasil memejamkan mata. Beda yang dipikirkan Daniel, beda pula yang dipikirkan Melati.

Seminggu yang dijanjikan Harjo kurang dua hari lagi. Tak ada tanda-tanda Melati bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Jatuh dari langit? Itu hanya angan-angan kosong. Tapi di depan ibunya, Melati selalu menampakkan wajah yang tenang, setenang telaga bening saat purnama menghiasinya.

Dua pilihan yang sulit. Tapi ada satu yang bisa dijalaninya, yang sebenarnya membuat perasaannya was-was.

Apakah sebaiknya lapor polisi? Keluarga Harjo bukan orang biasa. Dia pernah bicara tentang sah dan tidaknya sebuah perjanjian hutang, kalau tak ada surat hutang itu sendiri, dan mereka tampaknya tidak takut. Dia sering membaca bahkan mendengar, seseorang meninggal karena terlilit hutang. Beritanya adalah bunuh diri. Bunuh diri, atau dibunuh oleh rentenir yang menghutangkannya? Ada kasus seperti itu. Ternyata dugaan bunuh diri itu isapan jempol saja. Yang benar, dia dibunuh. Melati merasa ngeri. Kalau dia tidak bisa membayar, lalu dia melakukan hal kejam seperti itu? Apalagi kalau ibunya yang menjadi korban? Melati menutup wajahnya dengan perasaan ngeri. Wajahnya pucat pasi, membayangkan ada pembunuhan yang menimpa keluarganya.

Ada satu jalan untuk selamat, yang bisa dia lakukan. Apa boleh buat.

Malam semakin larut. Ia sudah mantap dengan keputusannya. Hanya satu jalan. Tapi ia harus membuat perjanjian dengan Harjo, berapa lama ia harus bekerja di sana sehingga hutang ayahnya lunas. Melati benar-benar akan berserah diri atas apapun yang akan menimpanya.

Menjelang pagi, barulah mata itu terpejam dan bisa terlelap.

***

Daniel sedang mencatat di ruang perawat, tentang sebuah laporan kesehatan seorang pasien, ketika tiba-tiba menyadari bahwa ada seseorang berdiri agak lama di hadapannya.

Ketika ia mengangkat kepalanya, seorang gadis cantik tersenyum memikat kepadanya. Daniel terbelalak. Bagaimana Nurina tiba-tiba ada dihadapannya?

“Mas Daniel?”

“Mau apa kamu kemari?”

“Aku sakit, Mas,” katanya setengah merengek, membuat Daniel merasa kesal. Mana ada orang sakit pringas-pringis tersenyum seperti itu?

“Kalau sakit ya ke dokter, bukan kemari. Aku bukan dokter. Di sana pendaftarannya,” katanya sambil menunjuk ke suatu loket.

“Aku mau dokternya mas Daniel saja.”

“Apa maksudmu?”

“Aku tuh sakit cinta, tahu?”

“Apa?” Daniel berteriak.

“Ini bukan sakit sembarang sakit. Tapi sakit dipanah raja asmara,” candanya seenaknya.

Daniel melotot tak senang.

“Nurina, aku sedang bertugas, jadi jangan mengganggu aku.”

“Aku hanya mau bilang itu.”

“Tapi itu mengganggu. Tolong pergilah.”

"Baiklah, tapi aku mau menunggu mas Daniel pulang.”

“Apa maksudmu? Aku pulang masih lama.”

“Setahun pun aku mau menunggu.”

“Nurina, tolonglah. Sekarang aku mau ke ruang dokter,” kata Daniel sambil berdiri, mengambil berkas dan melangkah pergi. Tak diduga, Nurina mengejarnya.

“Mas, aku bisa bersikap lemah lembut, manis, dan penurut.”

Lemah lembut? Mana ada gadis lemah lembut mengejar-ngejar laki-laki dan mengaku cinta? Memang sih, suaranya dibuat mendayu-dayu, tapi itu bukan lemah lembut. Itu membuatnya muak.

Daniel menghilang di sebuah ruangan, dan Nurina menunggu di depan pintu. Ia duduk di sebuah kursi, tetap bertahan sampai Daniel keluar dari ruangan. Tapi tanpa diduga, Daniel keluar dari pintu samping, menghindari bertemu Nurina lagi. Jadi, berjam-jam Nurina menunggu, Daniel tak juga keluar dari pintu itu.

Kesal menunggu, Nurina bertanya kepada perawat yang baru saja keluar dari sana.

“Sus … Sus, mas Daniel apa masih lama?”

“Maksudnya … pak Daniel? Bukankah beliau sudah pulang satu jam yang lalu?”

“Apa?”

Nurina membanting-banting kakinya karena kesal. Ia keluar dari rumah sakit, dengan air mata bercucuran.

***

Nilam terkejut ketika tiba-tiba Nurina muncul sambil menangis.

“Ada apa?”

“Aku menjemput mas Daniel di rumah sakit, tapi dia tiba-tiba pulang tanpa mengatakan apapun. Berjam-jam aku menunggu, sia-sia.”

Nilam hampir tertawa. Nurina seumur dirinya, tapi tingkahnya terkadang seperti anak kecil.

“Kenapa kamu menjemputnya? Dia kan bawa kendaraan sendiri?”

“Maksudku mau aku ajak makan siang, dari pagi aku belum makan, lapar, tahu!”

“Nurin, bukankah aku sudah bilang bahwa mas Daniel itu sukanya gadis yang lemah lembut, baik.”

“Kamu tahu tidak, tadi aku juga sudah bicara lemah lembut, mendayu-dayu seperti sedang menyanyikan lagu.”

Sekarang Nilam benar-benar tertawa.

“Bagaimana dia bisa pergi tanpa kamu mengetahuinya?”

“Dia masuk ke sebuah ruangan, aku menunggu berjam-jam, ketika aku tanyakan kepada seorang perawat, dia sudah pulang sejam yang lalu.”

Nilam tertawa semakin keras.

“Kamu mentertawakan aku sih Nilam, nggak kasihan sama aku.”

“Nurin, kamu itu bukan anak kecil lagi. Kamu sudah dewasa dan pasti bisa membaca perasaan seseorang dari sikap yang diperlihatkan. Menurut aku, lebih baik berhentilah mengejarnya.”

“Apakah aku tak akan punya harapan lagi untuk memilikinya?”

“Cinta itu adalah sesuatu yang sulit. Sulit itu tidak mudah dimengerti. Terkadang dia seperti burung merpati. Datang tanpa diundang, tapi terbang saat disayang.”

“Kamu ini seperti penyair saja.”

“Tapi itu benar. Begini Nurin, berhentilah mengejar cinta. Kamu diam, dan menunggu sampai jodohmu datang. Karena gadis seumur kamu, sudah seharusnya punya momongan. Kamu cantik dan pintar, kamu seorang pengusaha muda yang sukses. Pasti akan banyak yang menyukai kamu.”

“Memang banyak sih.”

“Nah, pilih salah satu diantaranya. Yang paling cakep, yang paling baik, yang bisa setia pada pernikahannya, dan yang bisa menjadi imam dalam kehidupan kamu.”

“Yang cocok itu hanya mas Daniel.”

“Mas Daniel itu bukan pengusaha, bukan orang kaya.”

“Aku tidak peduli.”

“Kalau dia nggak suka sama kamu?”

“Waduuuh…..”

“Nurin, kamu tidak pantas bersikap seperti itu. Kamu itu seorang intelektual, jangan mempermalukan dirimu seperti ini. Bukannya aku melarang kamu menyukai kakak aku, tapi sikapmu ini sudah berlebihan. Tidak pantas kamu melakukan semua ini. Jaga martabat kamu sebagai seorang wanita, dan sebagai seorang pengusaha sukses. Maaf, aku tidak bermaksud menggurui kamu. Tapi kamu adalah temanku. Bersikaplah proporsional, tidak berlebihan.”

Rupanya Nurin termakan oleh kata-kata yang Nilam ucapkan. Dia sedang tergila-gila pada seorang laki-laki yang mengagumkan, dan lupa diri. Lupa siapa dirinya, lupa bahwa dia seorang wanita yang harus menjaga martabatnya. Dulu, dia sangat mengagumi Nilam karena begitu santun dan berwibawa di tempat kuliah, sehingga pengagumnya tidak sembarang menyukai, tapi juga menghormatinya. Bukan seperti dirinya yang merasa dikagumi lalu yakin bahwa semua pria akan tunduk dibawah kecantikannya. Bahkan dia cenderung memanfaatkannya, menerima kemudian membuangnya seperti sampah. Sekarang, begitu dia tergila-gila kepada seorang pria, lalu dia bertindak sangat berlebihan, dan kalau dipikir-pikir memang memalukan.

“Kamu marah, Nurin?”

Nurina tersenyum.

“Tidak Nilam, terima kasih telah mengingatkan aku. Baiklah, aku telah bertindak diluar batas dan mempermalukan diriku sendiri. Tapi kamu harus tahu, aku tetap menyukai kakak kamu.”

“Lakukan dengan cara seorang wanita terhormat.”

Nurina mengangguk. Ia meninggalkan Nilam dan berjanji akan mengubah sikapnya.

***

Ini hari terakhir yang diberikan Harjo untuk membayar hutangnya. Tak ada yang bisa diperbuatnya kecuali menuruti kemauan Harjo, bekerja di rumahnya. Karti menangis ketika sore itu Melati berpamit pergi. Tapi dengan senyuman, Melati menepuk tangan ibunya, kemudian menciumnya lembut.

“Percayalah Bu, Allah akan menolong kita, dan akan melindungi anakmu ini,” bisiknya sambil menahan keluarnya air mata. Ia tak ingin tangisnya akan menambah beban bagi sang ibu.

Ia mengayuh sepedanya, dan tiba di rumah Harjo dengan sambutan anjing menyalak dengan ganas.

Melati tak mengacuhkannya. Ia berdiri di gerbang, dan satpam yang sudah mengenalnya, kemudian membukakan gerbang untuknya.

Rupanya Harjo sudah tahu, bahwa Melati akan memilih menuruti permintaannya untuk bekerja di rumahnya, sehingga ia juga berpesan kepada bibik pembantu yang ketika Melati datang, ia sudah menyambutnya di depan pintu.

“Mbak Melati ya?”

Melati mengangguk seiring dengan debar jantungnya yang semakin kencang.

“Silakan masuk. Tuan Harjo akan pulang agak malam, tadi sudah berpesan, kalau mbak datang, saya disuruh menerima dan menunjukkan kamar untuk Mbak. Mari ikut saya,” kata pembantu itu yang kemudian Melati mengikutinya.

Ia membuka sebuah pintu kamar, Melati melongok ke dalam, Sebuah kamar yang bagus, bersih dan nyaman.

“Silakan beristirahat di dalam, akan saya ambilkan minum,” kata pembantu itu sambil beranjak pergi.

Melati terpaku di dalam kamar.

***

Besok lagi ya.

 

Friday, March 29, 2024

M E L A T I 11

 M E L A T I    11

(Tien Kumalasari)

 

Nurina melebarkan matanya, rupanya Daniel sudah punya kekasih. Wajah yang semula ceria menjadi redup. Ia menatap Nilam dengan penuh pertanyaan.

“Melati itu, nama istrinya yang sudah meninggal,” terang Nilam.

“O, begitu ya Mas?" Lalu wajah Nurina menjadi cerah kembali.

Tapi Daniel hanya tersenyum. Ia tak perlu menerangkan tentang Melati dengan panjang lebar, karena Nilam pun tak tahu siapa yang dimaksud. Nilam bahkan tidak tahu nama pegawai katering di mana dia memesan perlengkapan untuk acara tujuh bulanan beberapa hari yang lalu, padahal gadis itulah yang dimaksud Daniel.

“Mas, jalan-jalan yuk,” ajak Nurina sambil mengulaskan senyuman memikat. Tapi Daniel membuang muka. Ia menatap ke arah halaman yang mulai redup.

“Sebentar lagi mau hujan,” jawab Daniel.

“Jalan-jalannya naik mobil aku,” desak Nurina.

“Maaf, kan aku sudah bilang kalau sebenarnya mau pergi.”

“Hujan lho Mas, aku antar saja yuk,” Nurina masih nekat.

Daniel tertawa.

“Mana pantas … kamu mengantarkan aku?”

“Pantas lah Mas, kan aku yang mau?”

“Tidak, terima kasih. Aku lebih suka naik motor,” kata Daniel sambil berdiri.

“Lho, Mas, kok buru-buru sih?”

“Keburu hujan. Maaf, saya permisi dulu,” kata Daniel yang langsung membalikkan badan dan pergi.

Nurina mengerutkan keningnya, menatap Nilam dan mengangkat ke dua tangannya.

Nilam menatap kepergian kakaknya. Ia tahu, Nurina terlalu agresif, dan sedikit genit. Daniel pasti tak suka. Tapi sebenarnya Nilam hanya ingin mendekatkan mereka saja. Masalah cocok dan tidaknya terserah yang menjalani. Hanya saja baru bertemu dua kali, Daniel sudah menunjukkan wajah tak suka, meskipun kelihatannya tetap menanggapi dengan senyuman. Sikap itu justru membuat Nurina penasaran.

“Dia nggak suka sama aku,” keluhnya dengan cemberut.

“Baru bertemu dua kali, siapa tahu lama-lama dia suka,” kata Nilam menghibur temannya, walau sebenarnya ia tak yakin Daniel akan tertarik pada Nurina.

“Tadi kenapa nggak jadi minta nomor kontaknya?” kata Nurina lagi.

“Yaah, kenapa tadi kamu nggak minta?”

“Kakak kamu itu terlalu sombong. Tapi itu membuat aku penasaran. Kurang cantik apa sih aku?”

“Terkadang seseorang itu tartarik bukan karena kecantikannya.”

“Masa sih? Banyak teman laki-laki aku mengejar-ngejar aku, tapi aku sudah bosan berganti-ganti pacar. Nggak ada yang benar-benar bisa menarik dan membuat aku jatuh cinta. Padahal mereka itu ganteng-ganteng, manis dan tampan, nggak ada cacat celanya.”

“Jadi sekarang kamu harus tahu, bahwa wajah cantik juga belum tentu membuat orang jatuh cinta. Ya kan?”

“Iya sih. Tapi sebenarnya gadis yang bagaimana yang disukai mas Daniel?”

“Almarhumah istrinya, menurut mas Daniel, adalah gadis cantik yang lemah lembut, baik, dan penurut.”

“Aduuh, mana bisa aku bersikap lemah lembut. Aku tuh seperti aku ini, cerewet, banyak tingkah, slengekan,” katanya dengan mulut cemberut.

“Kamu bisa melatih diri menjadi gadis lemah lembut, menjadi gadis yang menawan, siapa tahu nanti akan membuat mas Daniel jatuh cinta.”

“Benarkah? Tapi susah ya ….”

“Dicoba … kalau jodoh nggak akan kemana, kan?” kata Nilam, lagi-lagi hanya menghibur. Ia menyesal mengenalkan Daniel dengan Nurina, ternyata banyak nggak cocoknya. Dulu waktu kuliah nggak begitu. Nurina cenderung pendiam, dan hanya rajin menekuni kuliahnya. Ia tergolong pintar, tapi tak banyak tingkah. Entah mengapa sekarang dia berubah. Barangkali baru sadar bahwa dirinya cantik dan banyak pengagum, sehingga membuatnya berubah sombong dan merasa tak ada yang tak menyukainya.

***

Daniel yang sedang libur hari itu bermaksud mengunjungi Melati di rumahnya. Mendung menggantung, sebentar lagi pasti turun hujan. Daniel mempercepat laju sepeda motornya, dan di jalan tikungan sebelum masuk gang yang menuju ke rumah Melati, ia hampir menabrak seseorang yang sedang bersepeda.

Ia segera mengerem sepeda motornya, dan untunglah tabrakan tak terjadi. Pengendara sepeda itu terus mengayuh sepedanya. Pasti dia juga sedang terburu-buru, karena hujan akan segera turun. Setetes demi setetes, gerimis sudah turun membasahi lengannya.

Daniel tersenyum. Agak heran menyadari bahwa pertemuannya dengan Melati adalah dengan peristiwa tabrak menabrak. Untunglah yang terakhir hanya hampir menabrak. Pengendara sepeda itu memang Melati yang baru pulang bekerja. Daniel mengikuti di belakangnya sambil tersenyum-senyum.

Ketika Daniel memasuki halaman kecil itu, Melati baru sadar bahwa ada yang mengikutinya. Ia turun dari sepedanya lalu menoleh kebelakang. Daniel sudah membuka helmnya, lalu senyuman di bibir Melati merekah.

“Mas Daniel?” katanya sambil menyandarkan sepedanya.

“Kamu dari mana?”

“Dari bekerja.”

“Oh, kirain libur. Ini kan Minggu.”

“Saya tidak selalu libur hari Minggu. Justru hari Minggu seringnya ada pesanan.”

“Oh, iya. Aku lupa.”

“Kok sampai kemari sih Mas?”

“Aku memang mau kemari.”

“Masuklah, gerimis semakin deras,” kata Melati sambil mendahului masuk ke teras.

Daniel mengikutinya. Dan begitu ia meletakkan pantatnya di sebuah kursi di teras itu, hujan turun dengan derasnya.

“Syukurlah, sudah sampai rumah,” kata Melati.

“Duduk dulu ya Mas, saya mau ganti baju,” kata Melati sambil masuk ke dalam.

“Mel, kamu bicara sama siapa?” tanya sang ibu yang baru keluar dari kamar.

“Ada tamu, namanya mas Daniel.”

“Oh, teman di rumah katering?”

“Bukan Bu, kenal di acara perjamuan, dan katering tempat Melati yang melayaninya.”

“Oh. Suruh masuk saja, di teras terkadang bisa basah. Kalau anginnya besar, air hujan masuk ke teras.”

“Iya Bu, Melati ganti baju dulu.”

Karena takut tamunya basah, Karti keluar, dan melihat Daniel duduk sambil menatap hujan yang semakin deras.

“Nak, masuklah, anginnya kencang, air hujan bisa masuk kemari,” kata Karti mempersilakan tamunya masuk.

Daniel berdiri, menyalami wanita setengah tua yang menyapanya dengan ramah, lalu mencium tangannya.

“Saya Daniel Bu, teman Melati.”

“Iya, Melati sudah mengatakannya. Saya bu Karti, ibunya Melati.”

“Maaf kalau saya mengganggu.”

“Tidak, masuklah, lihat, hujan semakin deras dan anginnya kencang sekali.”

Daniel berdiri. Memang benar, air hujan masuk membasahi teras itu. Ia mengikuti masuk, dan duduk di sebuah ruangan yang tidak begitu besar.

Ruangan sederhana tapi bersih dan rapi. Bukan ruangan mewah seperti rumah adiknya sekarang, bahkan rumah Suri yang katanya sederhana masih jauh lebih baik dari rumah Melati. Tapi entah mengapa, Daniel tak bisa melupakan Melati. Apa karena namanya sama dengan almarhumah istrinya? Tentu saja tidak, nama yang sama bukan berarti memiliki pekerti yang sama. Tapi Daniel melihat banyak kesamaan diantara mereka. Cantik, lembut, baik. Apakah Melati sudah punya pacar? Daniel tiba-tiba menjadi khawatir. Gadis secantik Melati belum punya pacar?

“Silakan diminum Mas,” tiba-tiba Melati muncul dengan segelas kopi panas.

“Ah, jadi merepotkan.”

“Tidak. Tapi maaf, apakah mas Daniel minum kopi?”

“Aku minum apa saja, asalkan jangan yang berbau alkohol,” kata Daniel sambil tertawa.

“Kalau minuman berbau alkohol saya tidak punya, adanya alkohol pembersih luka,” kata Melati yang sudah berganti pakaian rumahan, yang kemudian duduk di depan tamunya.

Daniel terkekeh.

“Kamu ternyata bisa lucu juga.”

“Lucu kah? Di rumah memang ada alkohol pembersih luka, obat merah, pembalut, plester, salep, dan lain-lain.”

“Seperti apotek,” canda Daniel.

“Pada suatu hari, ibu yang sedang menjahit terluka. Tangannya terkena gunting. Setelah itu saya selalu menyediakan obat-obat itu.”

“Sangat baik, menjaga kesehatan.”

“Silakan diminum Nak, jangan sungkan. Hujan di luar sangat deras, minuman hangat pasti membuat nyaman.”

“Iya Bu, terima kasih,” kata Daniel sambil meraih gelasnya, sedangkan Karti hanya sebentar menyapa, kemudian berlalu ke belakang.

“Saya terkejut, Mas tiba-tiba bisa sampai di sini,” kata Melati mengulang ucapan yang tadi pernah dikatakan.

“Saya persis tahu bahwa ini rumah kamu, bahkan kalau tadi tidak melihatmu di jalan, karena aku pernah mengikuti kamu sampai ke rumah ini.”

“Masa?”

“Ketika aku mengantar kamu setelah kecelakaan itu. Meskipun kamu maunya diturunkan di jalan, tapi aku tetap mengikuti kamu.”

“Oh, begitu ya?”

Mereka berbincang akrab, selama hujan belum reda. Karti bahkan menyuguhkan singkong goreng yang gurih di hadapan tamu anaknya, membuat suasana menjadi semakin hangat.

***

Tapi setelah akhirnya kemudian Daniel pulang, Karti menanyakan banyak hal tentang laki-laki bernama Daniel itu. Barangkali seperti juga orang tua lain yang memiliki anak gadis, selalu ingin tahu dengan siapa anaknya bergaul.

“Dia itu perawat senior di rumah sakit pusat.”

“Kalian saling suka?” langsung sang ibu menembaknya.

“Ah, tidak Bu, dia itu keluarga orang kaya. Mana mungkin Melati berani menyukainya?”

“Tapi sepertinya dia suka. Ibu melihat cara dia memandang kamu. Tapi ibu suka, dia baik dan santun.”

“Tidak mungkin kami saling mencintai. Melati tahu, dia itu siapa. Keluarganya orang kaya Bu, pemilik perusahaan besar. Adiknya adalah direktur muda di perusahaan itu.”

“Kamu tahu dari mana? Dia mengatakannya?”

“Tidak. Perusahaan katering tempat Melati bekerja kan pernah melayani ketika adiknya menikah, dan baru-baru ini ada acara tujuh bulanan. Rumahnya besar dan mewah. Jauh kalau dibandingkan dengan kita, Bu. Melati tak akan pernah bermimpi untuk menyukainya.”

“Bagus Mel. Orang yang bisa mengerti di mana dia harus duduk dan di mana dia harus berdiri, adalah orang baik dan bijak. Ibu juga tidak pernah memiliki mimpi yang terlalu muluk.”

Kemudian suasana menjadi sendu, manakala kemudian teringat akan hutang Suyono yang kemudian menjadi beban yang maha berat bagi mereka.

“Ya sudahlah Bu, ibu tidak usah memikirkan terlalu berat. Kalau memang terpaksa, Melati akan menjalaninya.”

Karti terbelalak.

“Menjalani apa maksudmu?”

“Menjalani bekerja di rumah tuan Harjo.”

“Melati, apakah itu tidak terlalu berbahaya? Ibu takut terjadi sesuatu atas diri kamu, kalau kamu sampai berada di sana. Ibu tahu, mereka bukan orang-orang baik.”

“Melati akan menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Ibu doakan saja agar Melati selamat dari hal buruk yang menimpa hidup Melati.”

“Tapi Mel ….”

“Kalau memang itu satu-satunya jalan, mau bagaimana lagi. Semakin kita memikirkannya, kita akan merasa semakin sakit. Jadi lebih baik dilepaskan saja, dan berserah diri kepada Sang Pencipta. Melati percaya, Allah akan menolong ketika kita bergayut pada belas kasihNya.”

Akhirnya memang itulah yang harus mereka lakukan. Dua pilihan itu, akan dipilih mana yang bisa mereka lakukan.

“Percayalah Bu, Allah akan mengatur hidup kita,” kata Melati yang kemudian merasa yakin pada keputusannya.

Tak urung Karti menitikkan air mata mendengar perkataan anak gadisnya.

“Semoga permohonan orang teraniaya akan didengarkan olehNya."

***

Sepulang dari rumah Melati, hari sudah menunjukkan pukul delapan malam. Daniel mampir ke rumah Nilam karena ingin menjewer kuping adiknya itu.

“Mas, Nurina sudah pulang tadi, saat hujan deras,” kata Nilam ketika Daniel muncul.

“Siapa yang menanyakan Nurina? Sini, aku kemari hanya untuk menjewer kuping kamu,” kata Daniel yang benar-benar mendekat dan mengarahkan tangannya kepada kuping adiknya.

Nilam berteriak karena sang kakak benar-benar menjewernya.

“Maaaas!! Aku bilangin mas Wijan ya,” kata Nilam sambil mengerucutkan bibirnya.

“Bilangin aja, memangnya aku takut? Kamu itu ya, seperti tidak tahu kakakmu saja. Masa aku dijodoh-jodohin sama gadis genit seperti Nurina,” gerutu Daniel sambil duduk di depan adiknya.

“Aku tuh bukan ngejodoh-jodohin. Dia pengin kenal, ya aku kenalin. Nanti dikira pelit, punya kakak nggak mau ngenalin.”

“Aku nggak suka dia. Genit dan terlalu dibuat-buat kalau bicara. Memang sih dia cantik, tapi dia bukan type aku.”

“Hai, kenapa ini kok ramai bener, Nilam sampai teriak-teriak begitu,” kata Wijan yang tiba-tiba muncul.

“Ini Mas, aku dijewer mas Daniel,” kata Nilam, lagi-lagi dengan bibir mengerucut.”

"Pasti kamu nakal, ya kan?” bukannya membela, Wijan malah tertawa.

“Ini lho Mas, mas Daniel marah, gara-gara Nilam kenalin sama Nurina,” kata Nilam.

“Kalau mas Daniel nggak suka ya jangan dipaksa. Siapa tahu mas Daniel sudah punya pilihan yang pastinya lebih cocok.

“Benarkah Mas? Mas Daniel sudah punya pilihan? Aku tuh prihatin sama Mas, sudah lama menduda, tidak segera cari istri.”

Daniel hanya tertawa enteng.

“Kan aku pernah menyebut sebuah nama. Ya itu yang aku suka.”

“Mas Daniel hanya menyebut nama almarhumah istrinya. Dia itu tidak bisa melupakan istrinya, Mas.”

“Gadis itu namanya memang Melati.”

“Ada gadis namanya Melati? Gadis mana itu? Sesama perawat?”

“Dia gadis dari katering langganan kamu.”

“Haaa? Dia? Yang kemarin ngobrol sama mas Daniel itu?” pekik Wijan.

“Dia pegawai katering?” Nilam berteriak.

“Salahkah kalau dia pegawai katering?” pikir Daniel setelah melihat sikap adik dan adik iparnya.

***

Besok lagi ya.

 

Thursday, March 28, 2024

M E L A T I 10

 M E L A T I    10

(Tien Kumalasari)

 

Harjo memberi isyarat kepada Kabul agar menjauh darinya. Kabul mengerti, kemudian pergi ke arah depan, membiarkan tuannya berbincang atau entah apa yang akan dilakukannya bersama Melati.

Melati duduk di atas sofa empuk, yang karena ia meletakkan pantatnya terlampau keras, maka tubuhnya hampir mumbul diatas bantalan empuk itu. Melati menenangkan hatinya yang gundah. Hanya ingin bicara, dan Melati berharap, pembicaraan itu benar-benar akan menghasilkan sesuatu yang baik untuk dirinya dan tentu saja juga ibunya. Mata sangar itu tak tampak, apakah hati tuan Harjo telah melunak? Bukankah uang yang diserahkannya cukup besar? Ia sudah bertanya-tanya saat dikantor, berapa nilai satu lembar uang seratus dolar , dan ada yang mengatakan, sekitar satu juta limaratus, atau bahkan lebih. Kalau begitu, bukankah uang yang diberikannya kepada Harjo sudah senilai limabelas juta rupiah? Jumlah yang sangat besar bagi Melati, dan ia tetap berharap Harjo akan bersikap lebih lunak seperti sikapnya yang manis sekarang ini.

“Kamu tahu berapa nilai uang yang kamu berikan ini tadi? Kata Harjo sambil melambaikan tumpukan uang itu dihadapan Melati.

“Kalau tidak salah, sekitar limabelas juta rupiah,” kata Melati yang tak mau dianggap bodoh, lalu Harjo akan menilai semaunya.

“Hm, bagus. Kamu cukup cerdas, dan tidak terlalu bodoh.”

“Tuan, dengan cicilan pertama sebanyak itu, maukah tuan memberi kami waktu, agar sisanya bisa kami cicil setiap bulan?”

“Ahaaa, banyak ya. Itu kan menurut kamu. Bagi aku, limabelas juta rupiah itu bukan apa-apa. Itu baru seperempat dari banyaknya uang yang harus kamu kembalikan. Lagipula dari mana kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam dua hari?”

“Tuan tidak perlu tahu. Tuhanlah yang memberi jalan sehingga saya bisa mendapatkan uang itu.”

“Hahaaa, Tuhan ya? Kalau kamu punya Tuhan yang baik hati, mengapa kamu hanya minta sedikit? Tidak enam puluh juta sekaligus?”

“Tuan jangan mengecilkan nama Tuhan Yang Maha Kuasa, Dia memberi dengan suatu maksud, yang entah apa kita tidak tahu.”

“Aku bertanya, mengapa hanya sedikit uang yang kamu dapatkan dari Tuhan kamu itu?”

“Baiklah, saya tidak ingin berdebat dengan orang yang tidak mengenal Tuhan. Tapi bagi saya itu sudah sangat besar. Sekarang ijinkan saya mencicilnya Tuan, kalau perlu buatlah surat perjanjian, agar Tuan bisa menagih setiap saat, dengan bukti yang jelas.”

“Melati, keinginanku hanya satu, yaitu uang itu harus segera kembali. Aku tidak suka menerima cicilan, apalagi seperti yang kamu katakan kemarin-kemarin, bahwa kamu akan mencicil sebesar dua juta setiap bulan? Capek aku menghitung recehan seperti itu.”

Melati merasa kesal, seperti bawahannya, Harjo juga menganggap uang dua juta adalah uang receh. Keterlaluan.

“Tapi aku masih bisa berbaik hati, asalkan kamu mau bekerja untukku setiap sore sampai pagi.”

Keringat dingin mulai mengaliri sekujur tubuh Melati. Semua yang diperkirakannya salah. Cicilan sebanyak limabelas juta tidak bisa melunakkan hati lintah darat itu.

Bekerja setiap sore sampai pagi? Di rumah seorang laki-laki yang tampaknya mesum dan menjijikkan ini?

“Kamu tidak perlu takut. Di sini kamu bukan satu-satunya pekerja. Ada pembantu perempuan yang tidur di belakang. Dia bersih-bersih rumah dan memasak. Kamu tidak akan sendirian. Kalian bisa berteman.”

“Ada pembantu perempuan di sini?”

“Ya, kamu pikir siapa yang menata rumah dan bersih-bersih setiap hari? Menyirami tanaman, dan menjaga seluruh rumah dengan kebersihan yang aku sukai. Aku tidak suka rumah yang kotor. Tapi aku tidak mengijinkan dia memasuki kamar aku."

“Kalau begitu apa yang harus saya kerjakan? Malam-malam pula?” Melati sangat naif dan gampang mempercayai setiap ucapan. Ia bisa menimbang-nimbang permintaan Harjo, kalau memang itu bisa mengurangi hutang ayahnya, sehingga ibunya akan merasa tenang.

“Kamu itu bodoh ya, bukankah aku pernah bilang bahwa pekerjaan kamu adalah melayani aku? Mengapa malam? Karena aku baru pulang malam, bahkan sampai larut. Aku sediakan kamar untuk kamu. Kamar bagus sehingga kamu bisa beristirahat dengan nyaman.”

Melati masih terdiam, menundukkan wajahnya.

“Tapi itu terserah kamu, coba kamu hitung, berapa hari lagi waktu yang aku berikan? Sudah berkurang tiga hari sampai hari ini, bukan?”

“Tapi saya kan sudah mencicilnya limabelas juta, tuan.”

“Mencicil … mencicil … itu tidak ada dalam penawaran aku,” wajah Harjo berubah muram. Ia meletakkan uang yang dibayarkan Melati, di atas meja.

“Bawa kembali uang kamu, jangan kesini sebelum genap lima puluh juta berikut bunganya. Baiklah, aku akan sedikit berbaik hati. Bayar saja enam puluh juta, sampai genap seminggu yang aku berikan waktunya, tetap enam puluh juta, tidak akan bertambah, biarpun seharusnya, waktu yang berjalan tetap harus ada perhitungan bunga.”

“Tuan, benarkah tidak ada sedikitpun belas kasihan tuan kepada kami orang tak punya ini? Kami akan membayarnya, tapi semampu kami.”

“Tidak ada tawar menawar lagi. Waktuku tidak banyak, aku harus segera pergi. Kembali kemari ketika kamu membawa uang, atau kamu sanggup bekerja malam untuk aku,” kata Harjo tandas, lalu berdiri.

“Tuan …. “

“Cepat ambil uang kamu dan pergilah,” wajah sangar itu kembali tampak, seakan  menelannya bulat-bulat. Melati meraup kembali uangnya, kemudian memasukkannya ke dalam tas, dan berdiri.

Dengan langkah lunglai Melati keluar dari rumah dan turun ke halaman. Harjo bertepuk tangan dan Kabul mendekat dengan berlari. Melati tak sedikitpun meloleh kepadanya. Ia terus melangkah keluar, dan merasa bahwa ia tak akan bisa mendapatkan jalan untuk terlepas dari jeratan hutang itu.

***

Memasuki rumah dengan lunglai, membuat Karti yang sedang duduk mengerjakan jahitan menatap ke arahnya dengan khawatir.

“Ada apa? Kamu seperti orang sakit begitu?”

“Tidak berhasil Bu,” jawabnya lemah.

“Apanya? Uang itu?”

“Ia tidak mau menerima uang ini.”

“Mungkin kamu harus menukarkannya dulu ke bank.”

“Bukan masalah itu. Dia tetap minta dikembalikan, utuh, sebanyak enam puluh juta, waktunya tinggal empat hari lagi.”

“Mengapa enam puluh juta?”

“Dihitung dengan bunganya. Atau saya harus bekerja di sana, sore hari, baru pulang keesokan harinya.”

“Ya Tuhan. Bagaimana bisa ada orang sejahat itu?”

“Kamu seorang gadis, dia laki-laki, kalau kamu bekerja sampai menginap, lalu apa yang harus kamu kerjakan? Ibu takut Mel, laki-laki sejahat itu bisa melakukan apa saja,” Karti meletakkan jahitannya, lalu duduk di depan Melati yang bersandar di kursi dengan wajah kuyu.

“Bagaimana kalau minta tolong pak Samiaji?”

Melati mengangkat wajahnya.

“Minta tolong pak Samiaji? Mana bisa Melati melakukannya Bu. Kenal juga hanya karena Melati menemukan dompetnya. Masa tiba-tiba minta tolong tentang uang, sementara dia baru saja memberi uang banyak pada Melati.”

“Iya juga sih.”

Tiba-tiba ponsel Melati berdering.

“Oh, ya ampun, aku kan harus ke kantor,” kata Melati sambil mengangkat ponselnya.

“Iya … iya, aku tahu, aku mau berangkat sekarang.”

“Aku kira kamu libur,” gumam ibunya.

“Ada pesanan hari ini. Melati harus menanganinya. Melati berangkat dulu ya.”

“Baiklah, hati-hati di jalan,” pesan sang ibu.

Menatap kepergian anaknya, hati Karti semakin dirundung sedih. Betapa susahnya keluar dari jeratan hutang, sementara sebelumnya ia tak tahu apa-apa.

Karti mengusap air matanya, lalu kembali duduk di depan mesin jahitnya. Ia harus tetap fokus bekerja, walaupun hasilnya tak seberapa. Kecuali membutuhkan uang, ia juga terikat janji pada orang-orang yang menjahitkan bajunya.

***

Kabul sedang mengantarkan Harjo ke kantornya, sebuah dealer besar yang ada di kota itu. Tapi usaha itu sebenarnya hanyalah kedok belaka. Sesungguhnya Harjo adalah rentenir kelas kakap yang meminjamkan uang dengan bunga yang mencekik leher. Pelanggannya adalah para penjudi yang kalah perang. Dari merekalah Harjo mendapatkan uang, sehingga bisa menumpuk harta setinggi gunung.

“Mengapa Melati tuan suruh pulang?” dari yang semula diam, akhirnya Kabul buka suara. Ia tahu, sang majikan tampak sedang tidak suka.

“Gadis itu terlalu jual mahal. Menurut dia, dengan memberikan uang limabelas juta sebagai cicilan pertama, dia bisa membujuk aku agar memenuhi keinginannya.”

“Lalu uang itu tuan kembalikan?”

“Tentu saja. Sebenarnya keinginanku kan bukan uang itu.”

“Tapi gadis itu kan?” kata Kabul sambil menyeringai.

“Kamu sudah tahu. Tapi dia gadis yang istimewa. Menurutku dia luar biasa. Aku harus berusaha mendapatkannya.”

“Tuan pasti mendapatkannya. Mana mungkin dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.”

“Tapi dia bisa punya uang limabelas juta dalam dua hari. Dolar lagi. Bagaimana dia mendapatkannya? Bagaimana kalau dia bisa melakukannya lagi?”

“Tuan tidak menanyakan dari mana ia mendapatkan uang itu?”

“Dia tidak mau mengatakannya. Katanya dari Tuhan. Rupanya Tuhan menjatuhkan uang itu dari langit,” katanya sambil tertawa.

“Ya sudah, sebaiknya Tuan bersabar dulu, percayalah, kalau dia tidak menemukan jalan untuk membayar, dia pasti akan datang dan bersedia menjadi pelayan Tuan. Tuan pasti senang kan?”

“Kalau dia mau, akan aku jadikan ratu di rumahku.”

“Hahaaa, ratu, Tuan?”

“Dia sangat cantik. Akan aku beri dia pakaian yang bagus dan mahal, akan aku manjakan dia bagai memanjakan seorang ratu. Bukankah dia pantas menjadi ratu di rumahku?”

“Tuan sudah sering mendapatkan perempuan cantik. Melati itu sangat lugu, seperti gadis kampung yang sama sekali tidak bersinar seperti perempuan-perempuan yang pernah tuan bawa.”

“Kamu bodoh. Dia itu berlian yang belum digosok. Dia akan cemerlang setelahnya, aku yang akan membuatnya. Kamu akan membuktikannya nanti,” kata Harjo dengan penuh keyakinan.

Lalu keduanya tertawa terbahak-bahak.

“Heii, awaasss! Tiba-tiba Harjo berteriak. Terdengar rem berderit di jalanan. Hampir saja Kabul menabrak sebuah kendaraan lain karena tawa yang kelewat keras itu hampir menutup mata garangnya.

***

Hari itu Nurina bertandang ke rumah Nilam. Nilam yang sudah mengambil cuti, memang sedang bersantai di rumah. Ia menerima kedatangan Nurina dengan wajah berseri. Mereka sudah berkencan, dan Nilam sudah menelpon Daniel agar datang ke rumahnya.

“Mana dia, Nilam, katamu dia akan datang kemari sore ini.”

“Sebentar, dia pasti datang. Sabar dong Nurin,” kata Nilam sambil menghidangkan segelas jus tomat di meja tamu.

“Soalnya aku penasaran, masa minta nomor kontak saja kamu nggak mau berikan sih?”

“Bukan aku nggak mau. Mas Daniel itu orangnya disiplin dan sangat keras. Aku harus minta ijin dulu kalau memberikan nomor kontaknya. Nah, nanti kan kalian sudah saling ketemu, jadi bisa memintanya langsung. Ya kan?”

“Baiklah. Kamu tuh, punya kakak begitu ganteng nggak bilang-bilang. Tahu begitu aku nggak usah gonta-ganti pacar.”

“Nggak bagus gonta-ganti pacar. Nanti kamu dikira gadis gampangan.”

“Iya, aku sekarang sadar. Mulai sekarang aku akan menjadi gadis baik, dan setia kepada pilihan aku.”

“Kamu yakin, benar-benar menyukai kakakku? Dia itu duda lhoh.”

“Tidak apa-apa, duda ditinggal mati istri, berarti bukan laki-laki yang suka selingkuh. Bagiku itu tidak masalah.”

Tiba-tiba terdengar sepeda motor memasuki halaman.

Daniel tertegun, melihat mobil diparkir di sana. Itu bukan mobil Wijan, atau mobil Raharjo, mertua Nilam.

Ia turun dari sepeda motor dan mendengar tawa renyah dari dalam rumah. Daniel sedikit merasa kesal. Ia ingat suara itu, dan sekarang juga ingat, mobil siapa itu. Dia pernah melihatnya di acara tujuh bulanan kandungan Nilam. Sebenarnya ia enggan masuk ke dalam, tapi sudah kepalang. Nilam juga pasti sudah mendengar suara sepeda motornya, jadi tak mungkin lagi dia kembali.

“Mas Daniel ya?” benar kan? Nilam sudah tahu bahwa dia datang. Rupanya Nilam ingin mempertemukannya dengan Nurina, teman kuliahnya yang diperkenalkan saat tujuh bulanan.

Tanpa menjawab Daniel masuk. Senyuman Nurin merekah.

“Hallo mas Daniel, kami sudah menunggu lhoh,” sapa Nurin tanpa sungkan.

Daniel hanya tersenyum. Ia berjanji akan menjewer kuping Nilam nanti setelah Nurin pulang, karena sudah mempertemukannya dengan gadis genit seperti Nurina.

“Lama banget sih Mas, lagi tidur ya, tadi?” tanya Nilam.

“Nggak, sebenarnya aku mau pergi ke rumah teman, lalu kamu menelpon. Kirain ada yang penting,” kesal Daniel.

“Ini penting lho Mas, aku pengin sekali kenal mas Daniel lebih dekat.”

“Duduklah dulu Mas, itu sudah Nilam siapkan minumnya,” kata Nilam yang mulai merasa bahwa kakaknya sepertinya tidak suka.

“Sebentar saja ya, ada yang penting nih.”

“Sini Mas, duduk dekat aku,” kata Nurina.

Daniel duduk, tapi agak jauh dari mereka.

“Sebenarnya Mas mau pergi ke mana?”

“Ke rumah Melati,” kata Daniel sambil menyeruput jus tomat yang disediakan adiknya.

Entah benar atau tidak, tapi alasan itu hendaknya membuat Nilam mengerti, bahwa ada gadis lain yang akan ditemui.

***

Besok lagi ya.

 

 

Wednesday, March 27, 2024

M E L A T I 09

 M E L A T I    09

(Tien Kumalasari)

 

Wijan masih asyik berbicara dengan Jatmiko, ketika Daniel kemudian berdiri dan menghampiri seseorang yang dikenalnya. Gadis itu sedang memberi instruksi kepada rekan-rekan bawahannya yang sedang menata hidangan, karena memang sekarang dia ditugasi untuk memimpin para karyawan yang bekerja dalam menyiapkan hidangan bagi para tamu di sebuah acara.

Melati terkejut mendengar suara pelan di belakangnya.

“Melati.”

Melati menoleh, dan terkejut ketika melihat Daniel.

“Ini mas Daniel kan?”

Daniel tersenyum. Dua pasang mata saling memandang dengan perasaan yang sulit diartikan.

“Saya … kebingungan mencari Mas,” akhirnya kata Melati pelan, setelah Daniel mengajaknya duduk di tempat yang agak terpisah.

Melati menatap tatanan makanan dan minuman yang terhidang, lalu mengangguk puas ketika anak buahnya menunggu instruksi selanjutnya, lalu ia mengikuti Daniel, dan duduk di depannya.

“Kamu … mencari aku?” mata Daniel berbinar.

“Iya, bingung mau mencari ke mana, soalnya saya kan harus mengganti biaya perbaikan sepeda saya.”

“Lhoh, siapa yang menyuruh mengganti?”

“Saya sendiri dong, masa Mas yang harus membayarnya. Itu kan sepeda milik saya. Kecuali itu saya juga berterima kasih karena Mas telah menolong saya.”

“Sepeda itu memang milik kamu, tapi yang membuatnya rusak kan aku? Jadi sewajarnya kalau aku yang membuatnya kembali baik melalui tukang reparasi sepeda itu.”

“Tapi kan semua itu kesalahan saya.”
Daniel tertawa, dan tawa yang menurutnya teramat manis itu membuat dada Melati kemudian berdebar sangat kencang. Karena itulah kemudian dia menundukkan kepalanya, untuk menenangkan diri.

“Biasanya orang itu berebut kebenaran, tapi kita berebut kesalahan. Bukankah itu lucu?”

Melati mengangkat kepalanya, dan tertawa pelan. Memang benar, kedengarannya lucu.

“Jangan dipikirkan semua itu. Yang penting kita bertemu di sini, aku senang. Ternyata ini perusahaan katering yang dulu juga melayani pesanan saat Nilam menikah.”

“Iya, saya juga ingat, ketika Mas menabrak saya, dan membuat baju saya kotor terkena kuah.”

“Aku tidak pernah melupakannya.”

Melati kembali tersenyum. Rupanya Daniel juga tidak melupakannya, dan itu membuat dadanya kembali berdebar.

“Yang sedang hamil itu saudara Mas?”

“Adikku.”

“Oh, pantas, Mas selalu ada di setiap acaranya.”

Tapi kemudian perasaan Melati menjadi surut karenanya. Kalau adiknya sudah menikah, bahkan sudah hamil, pastilah Daniel bukan seorang bujangan. Ia sudah beristri, ya kan? Melati menata kembali perasaannya yang dianggapnya tidak pantas.

“Mana istri Mas?” Melati hampir menampar mulutnya sendiri karena pertanyaannya sepertinya terlalu lancang.

“Istri? Istriku sudah meninggal.”

Melati terkejut. Ia menatap Daniel yang pandangan matanya menjadi sayu.

“Maaf, bukan maksud saya_”

“Saya duda, sudah hampir empat tahun dia meninggalkan saya.”

“Maaf ….”

“Tidak apa-apa. Aku memang duda. Itu sebabnya tak ada gadis yang mau mendekat.”

Melati tersenyum.

“Masa sih?”

“Buktinya, sampai sekarang aku masih menduda.”

“Terlalu memilih, barangkali.”

“Benar. Bukankah hidup adalah pilihan? Istri juga pilihan. Harus yang cantik, yang baik, yang pintar … mmm … yang apa lagi ya ….”

“Tidak ada manusia yang sempurna,” kata Melati pelan.

“Mas Daniel!!" sebuah teriakan membuat keduanya menoleh ke arah datangnya suara. Nilam dengan senyum merekah melambaikan tangannya.

“Sini!!”

“Ada apa?”

“Ada yang mau kenalan nih, buruan!” kata Nilam sambil mengacungkan jempolnya.

Melati berdiri.

“Saya harus melanjutkan pekerjaan saya,” katanya, kemudian berlalu.

Tiba-tiba Melati merasa, bahwa dirinya tak pantas mengagumi Daniel. Duda keren yang baik hati, dan sangat perhatian. Bukankah dia keluarga orang-orang kaya? Sedangkan dirinya, hanya anak seorang penjahit, hanya pegawai di sebuah perusahaan katering. Rasanya ia adalah pungguk merindukan bulan. Ia mengibaskan semua perasaan yang mengganggu, lalu kembali melihat persiapan makan siang yang sudah terhidang. Semuanya sempurna. Melati merasa puas.

Dari sebuah ruangan yang berdekatan dengan tempat dia berdiri, terdengar suara renyah seorang wanita.

“O, ini yang namanya Daniel, si duren itu? Memang keren sih, ayo salaman dulu, kalian belum pernah bertemu kan?”

Lalu suara-suara gurauan terdengar, dan semuanya adalah menggoda Daniel yang rupanya sedang dikenalkan dengan seorang gadis.

Melati menjauh agar tak mendengar suara-suara itu lagi.

Ia kemudian teringat, bahwa harus menukarkan uang pemberian pak Samiaji yang berupa dolar, lalu akan membayarkannya kepada tuan Harjo. Kalau cicilannya tidak sedikit, barangkali tuan Harjo mau lebih sabar dan memberikan waktu lagi.

“Mbak Melati, ada baiknya Mbak memberi tahu kepada bu Nilam, bahwa kita sudah selesai.”

“Baiklah, akan aku menemuinya.”

Melati menuju ke sebuah ruang, karena tahu bahwa Nilam berada di sana.

“Bagaimana Mbak?” Nilam menyapa terlebih dulu.

“Hidangan sudah siap,” kata Melati.

Nilam mengangguk, lalu Melati membalikkan tubuhnya. Sekilas ia melihat Daniel duduk di samping seorang gadis cantik, seperti sedang berbincang sambil tertawa-tawa.

“An, aku mau pergi sebentar ya,” Melati pamit kepada Ana, salah seorang anak buahnya.

“Mau ke mana Mbak?”

“Hanya sebentar, ke bank.”

“Lho, ini kan hari Sabtu. Apa tidak tutup?”

Melati memukul keningnya.

“Ah, ya … kok aku lupa ya.” lalu keduanya tertawa lucu.

***

Ditempat jamuan sudah sepi, para tamu undangan sudah pada pulang. Nilam masih berbincang dengan suaminya dan Daniel, kakaknya, yang hanya tersenyum-senyum mendengar ocehan adiknya, tentang gadis yang tadi diperkenalkan kepadanya.

“Mas, jangan hanya senyum-senyum begitu. Mas itu sudah semakin tua. Nggak bosan-bosan ya menjadi duda?”

“Nanti pasti aku pikirkan, laki-laki itu biar tua pasti masih laku kok,” canda Daniel.

“Sombong, mentang-mentang jadi duda ganteng. Tapi Mas harus ingat lhoh, umur semakin bertambah. Masa akan terus-terusan hidup sendiri?”

“Siapa bilang aku hidup sendiri? Aku kan hidup bersama pak Baskoro.”

Nilam mengerucutkan bibirnya. Kesal karena Daniel selalu menanggapinya dengan bercanda.

“Iya Mas, apa yang dikatakan Nilam itu benar. Mas harus punya pendamping, supaya kelak kalau sudah tua tidak kesepian,” sambung Wijan yang sejak tadi hanya diam.

“Nanti aku pasti menikah, tunggu saja.”

“Nurin, yang tadi aku perkenalkan sama mas Daniel itu juga cantik lho. Dia sejak kedatangannya selalu melirik mas Daniel. Kelihatannya suka.”

”Masa baru melirik langsung suka?”

“Iya, dia bilang begitu, ya Mas?” katanya kemudian kepada Wijan yang hanya mengangguk mengiyakan. Padahal Wijan tidak mendengar sendiri Nurina mengatakannya. Ia tahu bahwa itu akal-akalan Nilam untuk menjodohkan kakaknya.

“Dia itu teman kuliah Nilam. Nggak tahunya, ibunya malah kenal sama bapak. Jadi tadi tuh aku juga terkejut ketika melihat dia datang. Aku kan nggak ngundang dia.”

Daniel tersenyum. Ia menyadari, dirinya tidak punya sesuatu yang bisa membuat seorang gadis tertarik. Kaya … tidak. Pejabat di sebuah perusahaan … tidak. Dia hanya perawat, yang dianggap perawat senior ditempatnya bekerja. Gajinya hanya cukup untuk hidup sederhana. Pasti Nurin hanya melihat dirinya dari fisiknya saja. Memang sih, dia tampan, menarik, tapi kalau tahu bahwa dirinya hanya laki-laki sederhana, belum tentu juga dia mau.

“Kok diam sih Mas, tadi Nurin bilang mau minta nomor kontak Mas, belum Nilam kasih lho. Nanti pasti dia telpon Nilam.”

“Jangan. Jangan dikasih nomorku.”

“Memangnya kenapa. Ya sekedar saling menyapa dulu lah Mas.”

“Apa dia tahu, aku ini siapa?”

“Ya tahu lah, Nilam bilang kok. Bukankah mas Daniel itu kakakku?”

“Tapi kehidupan kita berbeda. Pasti Nurin mengira aku sekaya kamu. Kalau tahu seperti apa kehidupan aku, belum tentu dia mau.”

“Mas jangan begitu. Merendahkan diri itu tidak baik. Tidak semua gadis hanya suka pada laki-laki kaya. Yang jelas, Masku ini baik, lembut ….”

Daniel tertawa.

“Kamu jangan terlalu menyanjung masmu ini di depan gadis-gadis yang ingin kamu perkenalkan. Nanti dia akan kecele. Yang jelas aku belum ingin berkeluarga.”

“Tapi berkenalan dulu kan bisa Mas,” Nilam masih ngeyel.

“Tadi kan sudah berkenalan?”

“Maksudku, kalau nanti dia Nilam kasih nomor ponsel Mas, lalu bisa berbincang, agar tahu kepribadian masing-masing, siapa tahu ternyata cocok?”

“Nggak usah tergesa-gesa, pokoknya jangan memberikan nomor kontak aku kepada siapapun,” sanggah Daniel.

“Nilam, kelihatannya mas Daniel sudah punya pacar. Jadi jangan dipaksa.”

“Benarkah? Kenalin dong sama aku,” tanya Nilam dengan penuh semangat.

Daniel hanya tertawa. Seketika itu juga, wajah Melati melintas. Lalu dia berjanji akan datang ke rumahnya untuk mengenal lebih dekat. Ia sudah tahu di mana rumah Melati, karena pernah mengikutinya ketika terjadi tabrakan itu. Dia tahu, Melati bukan keluarga kaya raya. Rumahnya sederhana, penampilannya juga sederhana. Itu sebabnya dia ingin berusaha mendekatinya. Bukan Nurina yang datang dan pulang mengendarai mobil mewah bersama orang tuanya.

***

Melati sampai di rumah dengan tubuh lelah. Hari itu ada dua tempat jamuan yang harus dilayani oleh perusahaan katering di mana dia bekerja.

Begitu datang, dia langsung mandi dan menyelonjorkan kakinya di kursi panjang, didepan ibunya yang sudah menyiapkan teh hangat untuknya.

“Mengapa ya, teh buatan Ibu selalu enak?”

“Masa sih? Perasaan ibu kok ya biasa saja. Ya seperti teh-teh yang lain.”

“Beda kok Bu. Sungguh.”

Membuat teh itu memang sepertinya biasa. Hanya teh, dikasih gula, dikucurin air panas. Ya kan? Tapi sebenarnya ada yang lebih mantap rasanya.”

“Gimana caranya sih, Bu?”

“Begini, taruh sejumput teh, lalu masukkan ke dalamnya air yang baru mendidih. Tapi jangan banyak-banyak, yang penting tehnya terendam air. Lalu tutup rapat. Sekitar sepuluhan menit atau limabelasan menit deh, tambahkan lagi air. Setelah itu tuang ke dalam cangkir yang sudah dikasih gula, aduk. Dengan begitu rasa tehnya akan lebih meresap.”

“O, begitu ya Bu, nanti akan Melati coba.”

“Belajarlah banyak hal, karena kelak kamu akan menjadi seorang istri. Kalau kamu bisa menyiapkan minuman enak, makanan nikmat, suami kamu pasti suka.”

Melati tersenyum malu. Membayangkan suami saja belum, tapi harus belajar menyeduh teh, dan memasak enak? Wajahnya langsung menjadi merah, karena wajah Daniel yang terbayang.

“Hm, hanya mimpi,” keluhnya tanpa terasa.

“Apa yang hanya mimpi?”

Melati terkejut. Tadi dia teringat bahwa Daniel adalah keluarga orang kaya, mimpi kan kalau dia mengharapkannya? Tapi dia tak mengira pemikiran itu terlontar melalui bibirnya sehingga sang ibu mendengarnya.

Melati terkekeh malu.

“Melati belum memikirkan suami, masih dalam mimpi kan bu?” sanggahnya sekenanya.

“Cepat atau lambat kamu akan menjalaninya.”

Melati hanya mengangguk.

“Oh iya Mel, kapan kamu akan menemui tuan Harjo? Ibu kira, uang kamu itu, berapapun besarnya, lebih baik segera kamu berikan pada dia, siapa tahu hatinya akan melunak kalau kita sudah bisa mengembalikan walau baru sebagian kecil.”

“Iya, Melati juga berpikiran begitu. Tadi Melati mau ke bank untuk menukar uang, atau ke tempat penukaran uang asing, tapi lupa kalau hari ini hari Sabtu.”

“Bagaimana kalau diserahkan begitu saja, biar dia menukarnya sendiri. Bukankah dia pasti juga tahu nilai uang itu?”

“Begitu juga boleh, tapi jangan sekarang Bu, besok pagi saja sebelum berangkat kerja.”

“Baiklah, terserah kamu saja. Semoga dia bisa menerimanya dan hatinya lebih melunak sehingga kita boleh mencicilnya.”

“Iya Bu.”

***

Begitu Melati sampai di rumah Harjo, anjing penjaga itu sudah menyalak sampai memekakkan telinga.

Satpam yang berjaga, mendekat dan mengenalinya.

“Kamu … gadis yang dulu itu ya?”

“Ya, Pak, saya mau ketemu tuan Harjo.”

“Saya akan bilang pada pak Kabul terlebih dulu,” lalu satpam itu kembali ke posnya, dan berbicara melalui interkom, untuk menghubungi Kabul yang ada di dalam rumah.

Tak lama kemudian satpam itu kembali, lalu membuka gerbang.

“Masuklah.”

Melati mengangguk, lalu melangkah ke dalam, mendekati rumah besar yang masih tampak tertutup.

Ia berdiri cukup lama di depan tangga, tak berani masuk karena belum dipersilakan. Ketika pintu terbuka, lalu wajah garang dari orang bernama Kabul itu muncul, barulah Melati naik ke teras, karena Kabul memberinya isyarat untuk masuk.

“Kamu mau membayar hutang, atau menyetujui permintaan tuan Harjo agar kamu bekerja di sini untuk melayaninya?”

“Saya akan mencicil hutang ayah saya.”

“Hahaaaah, mencicil? Berapa? Dua juta seperti janji kamu waktu itu? Tuan Harjo tidak menerima uang receh,” kata Kabul merendahkan.

Dua juta, uang receh? Melati menatap Kabul dengan geram.

“Ini bukan dua juta. Nanti tuan Harjo akan tahu kalau sudah menerimanya.”

“Mana uangnya? Dan berapa? Sudah genap lima puluh juta?”

“Saya kan bilang mau mencicil?”

Kabul masuk ke dalam, dan keluar bersama tuan Harjo, yang begitu sumringah ketika melihatnya.

“Melati, aku yakin kamu akan datang, entah mana yang kamu pilih dari ke dua pilihan yang aku tawarkan,” katanya masih dengan berdiri di depan pintu.

“Ijinkan saya mencicilnya,” kata Melati sambil mengeluarkan sebuah amplop, yang berisi lembaran dolar pemberian pak Samiaji. Mata Harjo terbelalak.

“Ini uang kamu? Ayo masuk ke dalam,” kata tuan Harjo sambil melambaikan tangan memberi isyarat agar Melati ikut masuk.

“Saya menunggu di sini saja.”

“Kamu menunggu siapa? Masuklah, kita bicarakan utang ayah kamu di dalam.”

Kabul maju, berusaha menarik tangan Melati, tapi Melati mengibaskannya.

Dengan ragu, Melati melangkah masuk, mengikuti tuan Harjo. Ada perasaan tidak enak ketika Kabul setengah memaksanya.

***

Besok lagi ya.

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...