M E L A T I 09
(Tien Kumalasari)
Wijan masih asyik berbicara dengan Jatmiko, ketika Daniel kemudian berdiri dan menghampiri seseorang yang dikenalnya. Gadis itu sedang memberi instruksi kepada rekan-rekan bawahannya yang sedang menata hidangan, karena memang sekarang dia ditugasi untuk memimpin para karyawan yang bekerja dalam menyiapkan hidangan bagi para tamu di sebuah acara.
Melati terkejut mendengar suara pelan di belakangnya.
“Melati.”
Melati menoleh, dan terkejut ketika melihat Daniel.
“Ini mas Daniel kan?”
Daniel tersenyum. Dua pasang mata saling memandang dengan perasaan yang sulit diartikan.
“Saya … kebingungan mencari Mas,” akhirnya kata Melati pelan, setelah Daniel mengajaknya duduk di tempat yang agak terpisah.
Melati menatap tatanan makanan dan minuman yang terhidang, lalu mengangguk puas ketika anak buahnya menunggu instruksi selanjutnya, lalu ia mengikuti Daniel, dan duduk di depannya.
“Kamu … mencari aku?” mata Daniel berbinar.
“Iya, bingung mau mencari ke mana, soalnya saya kan harus mengganti biaya perbaikan sepeda saya.”
“Lhoh, siapa yang menyuruh mengganti?”
“Saya sendiri dong, masa Mas yang harus membayarnya. Itu kan sepeda milik saya. Kecuali itu saya juga berterima kasih karena Mas telah menolong saya.”
“Sepeda itu memang milik kamu, tapi yang membuatnya rusak kan aku? Jadi sewajarnya kalau aku yang membuatnya kembali baik melalui tukang reparasi sepeda itu.”
“Tapi kan semua itu kesalahan saya.”
Daniel tertawa, dan tawa yang menurutnya teramat manis itu membuat dada Melati kemudian berdebar sangat kencang. Karena itulah kemudian dia menundukkan kepalanya, untuk menenangkan diri.
“Biasanya orang itu berebut kebenaran, tapi kita berebut kesalahan. Bukankah itu lucu?”
Melati mengangkat kepalanya, dan tertawa pelan. Memang benar, kedengarannya lucu.
“Jangan dipikirkan semua itu. Yang penting kita bertemu di sini, aku senang. Ternyata ini perusahaan katering yang dulu juga melayani pesanan saat Nilam menikah.”
“Iya, saya juga ingat, ketika Mas menabrak saya, dan membuat baju saya kotor terkena kuah.”
“Aku tidak pernah melupakannya.”
Melati kembali tersenyum. Rupanya Daniel juga tidak melupakannya, dan itu membuat dadanya kembali berdebar.
“Yang sedang hamil itu saudara Mas?”
“Adikku.”
“Oh, pantas, Mas selalu ada di setiap acaranya.”
Tapi kemudian perasaan Melati menjadi surut karenanya. Kalau adiknya sudah menikah, bahkan sudah hamil, pastilah Daniel bukan seorang bujangan. Ia sudah beristri, ya kan? Melati menata kembali perasaannya yang dianggapnya tidak pantas.
“Mana istri Mas?” Melati hampir menampar mulutnya sendiri karena pertanyaannya sepertinya terlalu lancang.
“Istri? Istriku sudah meninggal.”
Melati terkejut. Ia menatap Daniel yang pandangan matanya menjadi sayu.
“Maaf, bukan maksud saya_”
“Saya duda, sudah hampir empat tahun dia meninggalkan saya.”
“Maaf ….”
“Tidak apa-apa. Aku memang duda. Itu sebabnya tak ada gadis yang mau mendekat.”
Melati tersenyum.
“Masa sih?”
“Buktinya, sampai sekarang aku masih menduda.”
“Terlalu memilih, barangkali.”
“Benar. Bukankah hidup adalah pilihan? Istri juga pilihan. Harus yang cantik, yang baik, yang pintar … mmm … yang apa lagi ya ….”
“Tidak ada manusia yang sempurna,” kata Melati pelan.
“Mas Daniel!!" sebuah teriakan membuat keduanya menoleh ke arah datangnya suara. Nilam dengan senyum merekah melambaikan tangannya.
“Sini!!”
“Ada apa?”
“Ada yang mau kenalan nih, buruan!” kata Nilam sambil mengacungkan jempolnya.
Melati berdiri.
“Saya harus melanjutkan pekerjaan saya,” katanya, kemudian berlalu.
Tiba-tiba Melati merasa, bahwa dirinya tak pantas mengagumi Daniel. Duda keren yang baik hati, dan sangat perhatian. Bukankah dia keluarga orang-orang kaya? Sedangkan dirinya, hanya anak seorang penjahit, hanya pegawai di sebuah perusahaan katering. Rasanya ia adalah pungguk merindukan bulan. Ia mengibaskan semua perasaan yang mengganggu, lalu kembali melihat persiapan makan siang yang sudah terhidang. Semuanya sempurna. Melati merasa puas.
Dari sebuah ruangan yang berdekatan dengan tempat dia berdiri, terdengar suara renyah seorang wanita.
“O, ini yang namanya Daniel, si duren itu? Memang keren sih, ayo salaman dulu, kalian belum pernah bertemu kan?”
Lalu suara-suara gurauan terdengar, dan semuanya adalah menggoda Daniel yang rupanya sedang dikenalkan dengan seorang gadis.
Melati menjauh agar tak mendengar suara-suara itu lagi.
Ia kemudian teringat, bahwa harus menukarkan uang pemberian pak Samiaji yang berupa dolar, lalu akan membayarkannya kepada tuan Harjo. Kalau cicilannya tidak sedikit, barangkali tuan Harjo mau lebih sabar dan memberikan waktu lagi.
“Mbak Melati, ada baiknya Mbak memberi tahu kepada bu Nilam, bahwa kita sudah selesai.”
“Baiklah, akan aku menemuinya.”
Melati menuju ke sebuah ruang, karena tahu bahwa Nilam berada di sana.
“Bagaimana Mbak?” Nilam menyapa terlebih dulu.
“Hidangan sudah siap,” kata Melati.
Nilam mengangguk, lalu Melati membalikkan tubuhnya. Sekilas ia melihat Daniel duduk di samping seorang gadis cantik, seperti sedang berbincang sambil tertawa-tawa.
“An, aku mau pergi sebentar ya,” Melati pamit kepada Ana, salah seorang anak buahnya.
“Mau ke mana Mbak?”
“Hanya sebentar, ke bank.”
“Lho, ini kan hari Sabtu. Apa tidak tutup?”
Melati memukul keningnya.
“Ah, ya … kok aku lupa ya.” lalu keduanya tertawa lucu.
***
Ditempat jamuan sudah sepi, para tamu undangan sudah pada pulang. Nilam masih berbincang dengan suaminya dan Daniel, kakaknya, yang hanya tersenyum-senyum mendengar ocehan adiknya, tentang gadis yang tadi diperkenalkan kepadanya.
“Mas, jangan hanya senyum-senyum begitu. Mas itu sudah semakin tua. Nggak bosan-bosan ya menjadi duda?”
“Nanti pasti aku pikirkan, laki-laki itu biar tua pasti masih laku kok,” canda Daniel.
“Sombong, mentang-mentang jadi duda ganteng. Tapi Mas harus ingat lhoh, umur semakin bertambah. Masa akan terus-terusan hidup sendiri?”
“Siapa bilang aku hidup sendiri? Aku kan hidup bersama pak Baskoro.”
Nilam mengerucutkan bibirnya. Kesal karena Daniel selalu menanggapinya dengan bercanda.
“Iya Mas, apa yang dikatakan Nilam itu benar. Mas harus punya pendamping, supaya kelak kalau sudah tua tidak kesepian,” sambung Wijan yang sejak tadi hanya diam.
“Nanti aku pasti menikah, tunggu saja.”
“Nurin, yang tadi aku perkenalkan sama mas Daniel itu juga cantik lho. Dia sejak kedatangannya selalu melirik mas Daniel. Kelihatannya suka.”
”Masa baru melirik langsung suka?”
“Iya, dia bilang begitu, ya Mas?” katanya kemudian kepada Wijan yang hanya mengangguk mengiyakan. Padahal Wijan tidak mendengar sendiri Nurina mengatakannya. Ia tahu bahwa itu akal-akalan Nilam untuk menjodohkan kakaknya.
“Dia itu teman kuliah Nilam. Nggak tahunya, ibunya malah kenal sama bapak. Jadi tadi tuh aku juga terkejut ketika melihat dia datang. Aku kan nggak ngundang dia.”
Daniel tersenyum. Ia menyadari, dirinya tidak punya sesuatu yang bisa membuat seorang gadis tertarik. Kaya … tidak. Pejabat di sebuah perusahaan … tidak. Dia hanya perawat, yang dianggap perawat senior ditempatnya bekerja. Gajinya hanya cukup untuk hidup sederhana. Pasti Nurin hanya melihat dirinya dari fisiknya saja. Memang sih, dia tampan, menarik, tapi kalau tahu bahwa dirinya hanya laki-laki sederhana, belum tentu juga dia mau.
“Kok diam sih Mas, tadi Nurin bilang mau minta nomor kontak Mas, belum Nilam kasih lho. Nanti pasti dia telpon Nilam.”
“Jangan. Jangan dikasih nomorku.”
“Memangnya kenapa. Ya sekedar saling menyapa dulu lah Mas.”
“Apa dia tahu, aku ini siapa?”
“Ya tahu lah, Nilam bilang kok. Bukankah mas Daniel itu kakakku?”
“Tapi kehidupan kita berbeda. Pasti Nurin mengira aku sekaya kamu. Kalau tahu seperti apa kehidupan aku, belum tentu dia mau.”
“Mas jangan begitu. Merendahkan diri itu tidak baik. Tidak semua gadis hanya suka pada laki-laki kaya. Yang jelas, Masku ini baik, lembut ….”
Daniel tertawa.
“Kamu jangan terlalu menyanjung masmu ini di depan gadis-gadis yang ingin kamu perkenalkan. Nanti dia akan kecele. Yang jelas aku belum ingin berkeluarga.”
“Tapi berkenalan dulu kan bisa Mas,” Nilam masih ngeyel.
“Tadi kan sudah berkenalan?”
“Maksudku, kalau nanti dia Nilam kasih nomor ponsel Mas, lalu bisa berbincang, agar tahu kepribadian masing-masing, siapa tahu ternyata cocok?”
“Nggak usah tergesa-gesa, pokoknya jangan memberikan nomor kontak aku kepada siapapun,” sanggah Daniel.
“Nilam, kelihatannya mas Daniel sudah punya pacar. Jadi jangan dipaksa.”
“Benarkah? Kenalin dong sama aku,” tanya Nilam dengan penuh semangat.
Daniel hanya tertawa. Seketika itu juga, wajah Melati melintas. Lalu dia berjanji akan datang ke rumahnya untuk mengenal lebih dekat. Ia sudah tahu di mana rumah Melati, karena pernah mengikutinya ketika terjadi tabrakan itu. Dia tahu, Melati bukan keluarga kaya raya. Rumahnya sederhana, penampilannya juga sederhana. Itu sebabnya dia ingin berusaha mendekatinya. Bukan Nurina yang datang dan pulang mengendarai mobil mewah bersama orang tuanya.
***
Melati sampai di rumah dengan tubuh lelah. Hari itu ada dua tempat jamuan yang harus dilayani oleh perusahaan katering di mana dia bekerja.
Begitu datang, dia langsung mandi dan menyelonjorkan kakinya di kursi panjang, didepan ibunya yang sudah menyiapkan teh hangat untuknya.
“Mengapa ya, teh buatan Ibu selalu enak?”
“Masa sih? Perasaan ibu kok ya biasa saja. Ya seperti teh-teh yang lain.”
“Beda kok Bu. Sungguh.”
Membuat teh itu memang sepertinya biasa. Hanya teh, dikasih gula, dikucurin air panas. Ya kan? Tapi sebenarnya ada yang lebih mantap rasanya.”
“Gimana caranya sih, Bu?”
“Begini, taruh sejumput teh, lalu masukkan ke dalamnya air yang baru mendidih. Tapi jangan banyak-banyak, yang penting tehnya terendam air. Lalu tutup rapat. Sekitar sepuluhan menit atau limabelasan menit deh, tambahkan lagi air. Setelah itu tuang ke dalam cangkir yang sudah dikasih gula, aduk. Dengan begitu rasa tehnya akan lebih meresap.”
“O, begitu ya Bu, nanti akan Melati coba.”
“Belajarlah banyak hal, karena kelak kamu akan menjadi seorang istri. Kalau kamu bisa menyiapkan minuman enak, makanan nikmat, suami kamu pasti suka.”
Melati tersenyum malu. Membayangkan suami saja belum, tapi harus belajar menyeduh teh, dan memasak enak? Wajahnya langsung menjadi merah, karena wajah Daniel yang terbayang.
“Hm, hanya mimpi,” keluhnya tanpa terasa.
“Apa yang hanya mimpi?”
Melati terkejut. Tadi dia teringat bahwa Daniel adalah keluarga orang kaya, mimpi kan kalau dia mengharapkannya? Tapi dia tak mengira pemikiran itu terlontar melalui bibirnya sehingga sang ibu mendengarnya.
Melati terkekeh malu.
“Melati belum memikirkan suami, masih dalam mimpi kan bu?” sanggahnya sekenanya.
“Cepat atau lambat kamu akan menjalaninya.”
Melati hanya mengangguk.
“Oh iya Mel, kapan kamu akan menemui tuan Harjo? Ibu kira, uang kamu itu, berapapun besarnya, lebih baik segera kamu berikan pada dia, siapa tahu hatinya akan melunak kalau kita sudah bisa mengembalikan walau baru sebagian kecil.”
“Iya, Melati juga berpikiran begitu. Tadi Melati mau ke bank untuk menukar uang, atau ke tempat penukaran uang asing, tapi lupa kalau hari ini hari Sabtu.”
“Bagaimana kalau diserahkan begitu saja, biar dia menukarnya sendiri. Bukankah dia pasti juga tahu nilai uang itu?”
“Begitu juga boleh, tapi jangan sekarang Bu, besok pagi saja sebelum berangkat kerja.”
“Baiklah, terserah kamu saja. Semoga dia bisa menerimanya dan hatinya lebih melunak sehingga kita boleh mencicilnya.”
“Iya Bu.”
***
Begitu Melati sampai di rumah Harjo, anjing penjaga itu sudah menyalak sampai memekakkan telinga.
Satpam yang berjaga, mendekat dan mengenalinya.
“Kamu … gadis yang dulu itu ya?”
“Ya, Pak, saya mau ketemu tuan Harjo.”
“Saya akan bilang pada pak Kabul terlebih dulu,” lalu satpam itu kembali ke posnya, dan berbicara melalui interkom, untuk menghubungi Kabul yang ada di dalam rumah.
Tak lama kemudian satpam itu kembali, lalu membuka gerbang.
“Masuklah.”
Melati mengangguk, lalu melangkah ke dalam, mendekati rumah besar yang masih tampak tertutup.
Ia berdiri cukup lama di depan tangga, tak berani masuk karena belum dipersilakan. Ketika pintu terbuka, lalu wajah garang dari orang bernama Kabul itu muncul, barulah Melati naik ke teras, karena Kabul memberinya isyarat untuk masuk.
“Kamu mau membayar hutang, atau menyetujui permintaan tuan Harjo agar kamu bekerja di sini untuk melayaninya?”
“Saya akan mencicil hutang ayah saya.”
“Hahaaaah, mencicil? Berapa? Dua juta seperti janji kamu waktu itu? Tuan Harjo tidak menerima uang receh,” kata Kabul merendahkan.
Dua juta, uang receh? Melati menatap Kabul dengan geram.
“Ini bukan dua juta. Nanti tuan Harjo akan tahu kalau sudah menerimanya.”
“Mana uangnya? Dan berapa? Sudah genap lima puluh juta?”
“Saya kan bilang mau mencicil?”
Kabul masuk ke dalam, dan keluar bersama tuan Harjo, yang begitu sumringah ketika melihatnya.
“Melati, aku yakin kamu akan datang, entah mana yang kamu pilih dari ke dua pilihan yang aku tawarkan,” katanya masih dengan berdiri di depan pintu.
“Ijinkan saya mencicilnya,” kata Melati sambil mengeluarkan sebuah amplop, yang berisi lembaran dolar pemberian pak Samiaji. Mata Harjo terbelalak.
“Ini uang kamu? Ayo masuk ke dalam,” kata tuan Harjo sambil melambaikan tangan memberi isyarat agar Melati ikut masuk.
“Saya menunggu di sini saja.”
“Kamu menunggu siapa? Masuklah, kita bicarakan utang ayah kamu di dalam.”
Kabul maju, berusaha menarik tangan Melati, tapi Melati mengibaskannya.
Dengan ragu, Melati melangkah masuk, mengikuti tuan Harjo. Ada perasaan tidak enak ketika Kabul setengah memaksanya.
***
Besok lagi ya.