Monday, October 31, 2022

JANGAN PERGI 13

 

JANGAN PERGI  13

(Tien Kumalasari)

 

Radit tiba-tiba merasa tidak enak, saat Listi berjongkok di depannya, kemudian membantunya berdiri, dan tampak bahwa Dian yang datang sambil membawa mobilnya melihat adegan itu. Tapi dia kemudian meninggalkan Listi duduk di kursi dan menyambut Dian dengan berdiri di ujung tangga.

“Sekarang mau tukar mobilnya Mas?”

“Iya, nggak enak saja, mobil Mas Radit kan lebih bagus.”

Radit tertawa, sambil mempersilakan Dian masuk. Tentu saja Radit tidak tahu, siapa Listi di mata Dian. Dengan santai dia mengajak Dian masuk ke ruang tamu, membiarkan Listi duduk di teras.

Dian yang semula tidak tahu bahwa wanita tadi adalah Listi, terkejut saat menoleh sebelum masuk.

“Listi?” serunya.

“Mas Dian kenal?”

“Dia … istri saya …” kata Dian sambil berdiri di depan pintu masuk.

Radit terkejut bukan alang kepalang. Ia menatap Listi yang menundukkan kepala  sambil sibuk mengusap air matanya.

“Listi … istri mas Dian?”

“Kami sedang dalam proses cerai, seperti yang saya ceritakan beberapa waktu yang lalu,” kata Dian yang kemudian duduk di depan Listi, diikuti Radit dengan benak penuh tanda tanya.

“Apa jawabmu Listi?” tanya Radit sambil mengerutkan keningnya menatap Listi.

Listi terdiam. Wajahnya tampak memucat. Banyak kebohongan dikatakannya, dan tampaknya hari ini kebohongan itu akan berbuah petaka bagi hubungannya dengan Radit yang sedang diperjuangkannya.

“Jawab Listi?!!”

“Tiga tahun dia menjadi istri saya. Saya bawa ke Jakarta begitu selesai akad nikah.”

“Bukan berdagang, kemudian uang habis ditipu orang?”

Listi masih terdiam.

“Dan menggugurkan setiap bayi yang kamu kandung?” cecar Radit.

Listi terisak.

“Kebohongan apa lagi yang ingin kamu katakan, Listi?” kata Radit, dengan nada tinggi.

“Aku tidak cinta sama dia!!” akhirnya kata Listi, sambil menunjuk ke arah Dian.

Dian menghela napas panjang, ada sembilu menyayat hatinya, karena sejatinya dia dulu sangat mencintai istrinya. Hanya saja kekecewaan demi kekecewaan telah merobek-robek cinta itu.

“Omong kosong apa kamu itu. Tiga tahun  menikah, berkali-kali mengandung, kamu bilang tidak cinta?”

“Aku terpaksa menikahi dia.”

“Terpaksa? Siapa memaksa kamu?”

“Aku sudah hamil ketika dia menikahi aku.”

“Mas Radit, nanti aku akan mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi,” kata Dian, sedikit lesu.

“Baiklah, perempuan ini pembohong.”

“Radit, aku sangat mencintai kamu. Hanya kamu.”

“Hentikan Listi, aku tidak. Tidak lagi. Apapun alasan kamu, apapun yang terjadi atas kamu, aku tidak akan peduli lagi. Semuanya sudah berakhir. Dan jangan lagi menginjakkan kaki kamu di rumah ini. Kamu mengganggu ketenangan kami, terutama ibuku yang sangat tidak menyukai kamu.”

“Radit. Aku tidak punya siapa-siapa.”

“Belajarlah dari kehidupan yang pernah kamu jalani. Bertobat dan perbaiki langkah  dalam meniti hidup ini, agar kamu bisa menemukan ketenangan lahir dan batin kamu, karena meraih sesuatu yang tak mungkin, hanya akan membuat hidup kamu susah dan terbebani.”

Listi berdiri, menghapus wajahnya dengan kasar, lalu bergegas pergi.

Radit menghembuskan napas panjang. Apa yang didengarnya sangat membuatnya terkejut. Ternyata begitu sempitnya dunia.

“Mas Radit, saya minta maaf.” Kata Dian tiba-tiba.

Radit tersenyum.

“Mengapa Mas Dian harus minta maaf?”

“Saya telah mengejutkan Mas Radit dengan pernyataan saya tadi.”

“Benar, saya terkejut. Tapi bukan berarti Mas Dian bersalah sama saya.”

“Tiga tahun yang lalu, dalam sebuah pesta, saya melihat seorang gadis yang duduk  sendirian. Saya dekati dia, karena terus terang saya tertarik. Dia mengatakan pergi sendirian karena sedang kesal dengan pacarnya. Tanpa kami ketahui, seseorang yang iseng memberikan kami minuman, yang kemudian membuat kami mabuk, dan lupa segala-galanya.”

Radit teringat, dia memang sering bertengkar dengan Listi, karena sesungguhnya Listi bertemperamen agak keras. Tapi karena kesabaran Radit, mereka selalu bisa mengatasi semuanya. Radit sudah lupa, pertengkaran karena apa yang dimaksud Listi waktu itu.

“Sebulan kemudian dia mengabari saya kalau dia hamil. Saya merasa bertanggung jawab, kemudian menikahi dia, dan membawanya ke Jakarta."

Dian menata napasnya.

“Beberapa bulan kemudian dia keguguran. Tiga tahun kami berumah tangga, dalam kehidupan yang damai dan bahagia menurut saya. Tanpa disangka, setiap dia mengandung, selalu menggugurkan kandungannya. Saya sangat marah. Saya tidak bisa memaafkannya. Dan saat ini kami sedang dalam proses  perceraian.”

Radit termenung mendengar cerita Dian.  Ada yang bisa dimaafkannya, yaitu ketika keduanya melakukan hal yang tak pantas karena perbuatan yang tak di sengaja. Tapi ada yang tak bisa dimaafkan, yaitu kalau memang tidak cinta mengapa Listi menjalaninya sampai selama tiga tahun, bahkan bisa lebih kalau saja Dian tidak ingin menceraikannya. Tampaknya Listi berbohong dalam mengatakan tidak cinta. Dian laki-laki baik, mapan dan juga tampan. Dia mengatakan itu karena Dian yang marah pada kelakuannya kemudian ingin menceraikannya. Lalu menggugurkan kandungan? Listi telah melakukan dosa besar dengan melenyapkan janin yang tidak berdosa. Bahkan tidak hanya sekali.

“Apakah Mas Radit menyalahkan saya? Maksud saya dalam keputusan saya untuk menceraikan dia karena dia selalu menggugurkan kandungannya?”

“Tidak. Mas Dian tidak salah. Itu kelakukan yang sangat buruk.”

“Saya tidak mengira Listi adalah pacar mas Radit.”

“Dulu. Sekarang cinta itu sudah tidak ada.”

“Saya minta maaf, telah membuat Mas Radit kehilangan dia.”

Radit menghela napas berkali-kali.

“Jalan hidup yang harus dilalui manusia itu kan berbeda-beda. Dan jodoh itu juga bukan kita yang menentukannya. Jadi apapun yang terjadi, ya harus dijalani. Apalagi sekarang saya sudah menemukan seseorang yang sangat saya sayangi.”

“Ratri?”

Radit tersenyum.

“Baru dalam tahap pendekatan. Saya tidak tahu, apakah Ratri akan mengimbangi perasaan saya.”

Dian tersenyum lebih lebar. Ratri memang cantik dan lembut, bukan hanya Radit yang suka, dirinya pun suka. Tapi ia tahu, Ratri pasti memilih Radit setelah sekian lama dia mencoba memancing-mancingnya.

“Saya doakan, semoga mas Radit berhasil.”

“Terima kasih.”

“Dua hari lagi saya akan kembali ke Jakarta. Hari ini saya menghadiri sidang perceraian saya, selanjutkan saya serahkan kepada pengacara saya.”

“Baiklah, semoga semuanya lancar, dan mas Dian segera menemukan pengganti seperti yang diidamkan. Yang bisa menjadi ibu bagi anak-anak mas Dian.”

“Aamiin.”

Hari sudah menjelang malam ketika Dian pulang dari rumah Radit. Esok pagi ada rencana yang akan menyenangkannya, yaitu bermain dengan Arina.

***

Pagi hari itu, Arina senang bukan alang kepalang. Tak lama setelah ibunya pergi, om ganteng brewok yang di hari-hari terakhir ini selalu menemaninya, datang lagi, dan membawa sebuah mainan pula, berupa sepeda kecil yang bisa menyanyi. Semalam, sepulang dari rumah Radit, dia membelinya.

“Naik cepeda … naik cepeda … “ teriaknya riang.

Si bibik yang sudah beberapa kali tahu bahwa Dian adalah teman dekat majikannya, kemudian menaikkan Arin keatas sepeda kecil itu, dan mendorongnya ke sana kemari, karena kaki Arina belum bisa mengayuhnya.

“Cama om Dian … cama om Dian," pekiknya.

Dian tertawa, kemudian menggantikan bibik mendorongnya berkeliling halaman yang tidak begitu luas itu.

“Mana oneka … mana oneka …”

“Oh, boneka? Mau diajak naik sepeda?”

Bibik segera berlari ke dalam, mengambil boneka yang baru kemarin diberikan Dian, lalu diletakkannya dipangkuan Arina.

Arina melonjak-lonjak senang.”

“Pak Dian mau minum apa?” tanya bibik kemudian.

“Air putih saja Bik, tidak usah repot-repot.

“Baiklah, kalau air putih, di kulkas ada minuman botol.”

“Ya Bik, itu sudah cukup,” kata Dian sambil terus menuntun sepeda, dimana Arina duduk di atasnya sambil sebelah tangannya merangkul boneka yang sudah menjadi boneka kesayangannya.

“Pak Dian pasti capek, biar saya saja yang mendorongnya,” kata Bibik.

“Tidak, biarkan saya saja. Saya senang melakukannya.”

“Arin sudah ya, naik sepedanya, nanti om Dian capek,” bujuk Bibik.

“Main boneka saja yuk,” Dian ikut membujuk.

Arin mengangguk. Dian menggendongnya, lalu diajaknya masuk ke rumah, sedangkan si bibik menarik sepeda kecil itu ke dalam pula.

Dian duduk di lantai, menemani Arina bermain boneka. Bibik mengambilkan boneka-boneka Arina yang lain, kemudian masuk ke belakang, barangkali ada yang harus dilakukannya tapi belum terlaksana, dan kebetulan Arina ada yang menemaninya.

“Ya Tuhan, begini senangnya bermain bersama anak kecil. Betapa rindunya aku akan suasana ini, suasana yang belum pernah aku rasakan sebelumnya,” bisiknya pelan, dan tak terasa air matanya menitik.

“Om Dian angis?” tanya Arina ketika melihat Dian mengusap air matanya. Dan lebih mengharukan lagi ketika Arina menyentuh pipi Dian yang sedikit basah.

Air mata Dian mengalir lagi.

“Bodoh, mengapa aku tidak bisa menahannya? Pasti membuat anak ini kebingungan,” kata batin Dian, yang kemudian meraih tubuh Arina, didekapnya di dadanya.

“Angan angis … “ suara kecil itu membuat Dian semakin mempererat pelukannya, dan menciuminya bertubi-tubi.

Arina mengusap pipinya yang terkena air mata Dian.

“Asah.. pipi Ain asah…”

“Sayang, maaf ya, basah ya. Baiklah, ayo bermain boneka lagi,” katanya sambil mengambil boneka Arin, diletakkannya berjajar-jajar.

Arina sudah melupakan pipinya yang basah, kembali asyik bermain dengan boneka-bonekanya.

“Besok, om sudah pulang, Arin tidak boleh rewel ya?”

“Ulang? Ulang ke cini?”

“Tidak sayang, om Dian pulang ke Jakarta, jauuh. Tapi om janji, akan sering ke sini menemani Arin. Ya.”

Arina mengangguk, sesungguhnya dia tidak mengerti apa yang dikatakan Dian. Yang dia tahu adalah bahwa Dian sekarang sering datang dan mengajaknya bermain.

***

Dewi sedang berada di ruangannya, ketika ponselnya berdering.

“Dari pak Dian,” gumamnya sambil mengangkat ponselnya.

“Ya pak Dian?”

“Saya tadi ke rumah, bermain bersama Arin.”

“Oh ya? Pasti Arin sangat senang.”

“Senang sekali, tapi saya sedih, besok saya harus kembali ke Jakarta.”

“Secepat itu?”

“Saya sudah lama di sini, dan urusan saya sudah selesai.”

“Oh, begitu ya. Semoga Arin tidak rewel.”

“Saya sangat menyesal, tidak bisa bersama Arin lagi setiap hari.”

“Iya Pak, mau bagaimana lagi, namanya juga tugas.”

“Tapi saya berjanji, setiap senggang saya akan datang kemari.”

“Baiklah Pak.”

“Nanti sore, maukan jalan-jalan bersama saya?”

“Saya?”

“Kalau bisa bersama Arina. Maukah?”

“Baiklah, saya akan pulang lebih awal, supaya tidak kesorean nanti.”

“Terima kasih atas kesediannya, bu Dewi.”

“Sama-sama, pak Dian.”

Dewi meletakkan ponselnya dengan dada berdebar. Lagi-lagi ia merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya.

“Apa yang terjadi pada diriku?”

Tiba-tiba terdengar pintu ruangannya diketuk.

Pintu itu terbuka setelah Dewi mempersilakan masuk. Ternyata Ratri.

“Oh, bu Ratri.”

“Ini Bu, saya sudah mengetik undangannya. Coba ibu periksa dulu, sebelum diperbanyak,” kata Ratri sambil menyerahkan hasil ketikannya, sesuai dengan keinginan bu Dewi. Sebenarnya ada pegawai administrasi yang bisa disuruhnya, tapi Dewi lebih suka meminta Ratri mengerjakannya, karena Ratri dinilai lebih bagus dalam menyusun kata.

Ia membaca undangan itu, lalu tersenyum.

“Serahkan saja pada bagian administrasi Bu, ini sudah bagus, saya suka.”

“Baiklah Bu.”

“Jangan lupa undangan untuk pak Radit harus di nomor satukan,” kata Dewi mengingatkan.

Ratri tersenyum, lalu mengundurkan diri, untuk pergi ke ruang kantor, agar undangan tersebut diperbanyak.

“Oh ya bu Ratri,” kata Dewi menghentikan langkah Ratri yang sudah hampir sampai di pintu.

“Besok pak Dian mau pulang ke Jakarta.”

“Oh ya? Saya malah belum mendengarnya.”

“Katanya urusannya sudah selesai.”

“Oh ya, syukurlah.”

“Nanti sore beliau mengajak saya jalan-jalan.”

“Oh ya?” Ratri tersenyum lebar.

“Maksud saya, Arina. Dia sangat suka pada Arina.” Dewi meralatnya.

“Oh, dia memang suka anak kecil.”

“Kasihan, mungkin karena belum punya seorang anak pun.”

“Iya, Bu Dewi. Saya permisi, mau mengajar.”

“Baiklah.”

Dewi tersenyum senang, Entah mengapa dia mengatakan rencana jalan bersama Dian itu, kepada Ratri. Mungkin untuk memberikan  kesan bahwa dia tidak lagi mengidolakan Radit, entahlah. Tapi kemudian dia teringat, bahwa Dian sudah punya istri, ada sedikit ganjalan yang membuatnya memarahi dirinya sendiri karena punya perasaan aneh pada Dian.

***

Arina sangat senang, ketika sore hari itu Dian menggendongnya, dan berjalan-jalan di taman bersama ibunya pula. Setelah Dewi duduk di sebuah bangku, Arin berlari-lari kecil diantara tumbuhan bunga-bunga yang ditata apik di taman itu. Dian dengan suka cita mengikutinya dari belakang. 

“Arin, jangan kenceng-kenceng larinya,” teriak Dian sambil mengejar. Tapi Arin malah seperti mengajak kejar-kejaran.

Tiba-tiba Dian terkejut, mendengar Dewi menjerit histeris.

***

Besok lagi ya.

Saturday, October 29, 2022

JANGAN PERGI 12

 

JANGAN PERGI  12

(Tien Kumalasari)

 

Diantara kerumunan orang yang menonton, tak satupun berusaha melerai. Dewi sudah kewalahan, karena rupanya Listi punya kekuatan yang diluar akal manusia biasa. Tubuhnya ramping, tinggi semampai, tapi cengkereman tangannya bagaikan besi, jari-jarinya  bercakar baja.

“Tolong, apa salahku? Aku sudah minta maaf,” teriaknya berkali-kali.

“Hei, hentikan. Hentikan Bu, jangan begitu!!” sebuah tarikan kuat membuat Listi melepaskan tangannya. Tapi bukan tarikan itu yang membuatnya kesal.

“Bu … bu … aku bukan ibumu !!” hardiknya sambil menatap orang yang menariknya. Lalu tiba-tiba ia membekap mulutnya sendiri.

“Dian?”

“Kamu?! Kelakuan apa yang kamu lakukan?” teriak Dian sambil menangkap tubuh Dewi yang limbung ketika cengkeraman dilepaskan.

“Jangan ikut campur!!”

“Kamu tidak tahu malu, membuat keributan di tempat umum seperti ini!!”

“Jangan pedulikan aku! Aku benci kamu!!”

“Aku benci kamu!!” teriak Dian tak kalah keras.

Lalu tiba-tiba Listi menghentakkan kakinya, kemudian pergi menjauh.

Dian menatap wajah cantik yang pipinya terluka karena cakaran Listi.

“Tunggu di sini, saya cari obat,” kata Dian sambil menuntun Dewi ke arah pinggir, sementara dia mencari sebuah toko obat, yang kebetulan tak jauh dari tempat itu. Seorang penjual minuman memberikan sebotol minuman dingin.

“Minumlah Mbak, biar agak tenang.”

“Terima … kasih,” katanya sambil menerima botol yang sudah dibuka tutupnya oleh sang pemberi minuman, lalu meneguknya beberapa teguk.

“Gadis itu kesetanan apa ya? Kenapa dia menyerang Mbak?”

“Saya hanya salah memanggil, saya kira dia teman saya. Hanya itu, kok dia bisa marah sekali.”

“Ya benar kalau begitu, dia kesetanan.”

Dian sudah kembali, membawa bungkusan berisi kapas dan obat untuk membersihkan luka. Ada juga plester.

“Sebentar ya Mbak, mungkin agak perih, supaya tidak terkena infeksi.”

Dewi hanya mengangguk. Ia meringis ketika Dian membersihkan lukanya yang berdarah, lalu membubuhkan obat berwarna kuning ke coklatan.

Ketika selesai, Dewi kemudian berdiri.

“Terima kasih banyak,” katanya.

“Tunggu, Mbak mau kemana?”

“Mau pulang saja.”

“Membawa kendaraan?”

“Saya mau memanggil taksi.”

“Saya antar saja.”

“Tapi ….”

“Tidak apa-apa, biar saya antar.”

Dewi mengangguk, kemudian mengikuti langkah Dian menuju ke arah mobilnya. Saat naik ke atas mobil itu, Dewi agak heran, seperti pernah menaiki mobil itu, tapi dia tak mengatakan apa-apa. Dewi juga sedang mengingat-ingat, lelaki gagah ganteng dan berewokan itu … dia seperti pernah melihatnya. Tapi kepala Dewi sedang pusing. Mungkin peristiwa yang tidak disangkanya tadi yang membuatnya.

***

“Masih terasa sakit?” tanya Dian ketika sedang berjalan ke arah rumah Dewi.

“Sedikit, dan agak pusing.”

“Aduh, kenapa tadi saya tidak membeli obat pusing ya?”

“Di rumah saya ada.”

“Oh, syukurlah.”

“Perempatan di depan itu belok kiri,” kata Dewi memberi aba-aba.

“Kenapa tadi bisa terjadi peristiwa itu?”

“Entahlah, saya juga bingung. Perempuan itu seperti kesetanan. Padahal saya hanya salah menyapa. Saya kira dia Ratri, teman guru saya, yang sebetulnya membuat saya heran karena cara berpakaiannya berbeda.”

Dian terkejut.

“Mbak mengenal Ratri?”

“Dia salah seorang guru di sekolah saya.”

Lalu keduanya sama-sama terkejut. Dian pernah melihat Dewi mengikuti Ratri ketika dia menjemput Ratri beberapa hari yang lalu, sedangkan Dewi ingat, laki-laki itu yang menjemput Ratri waktu itu.

“Oo, iya …” hampir bersamaan mereka berseru.

“Saya melihat Bapak saat menjemput bu Ratri.”

“Saya melihat Ibu saat saya juga menjemput Ratri.”

Lalu keduanya tertawa.

“Kita belum berkenalan, nama saya Dian Aryo Seno.”

“Saya Dewi Lestari.”

“Itulah, saya menyapa wanita itu dengan nama Ratri, kok dia bisa marah sekali atas kekeliruan saya. Saya mencoba pergi ketika dia menggebrak meja di dalam rumah makan itu, tapi dia mengejar saya, seperti kesetanan. Dia kuat sekali, seperti serigala yang sedang marah, tak terhentikan, saya tidak berdaya. Untunglah Pak Dian datang dan menghentikannya.”

“Ya Tuhan. Benar-benar mengerikan.”

“Sepertinya dia mengenal pak Dian? Dia tadi memanggil nama pak Dian.”

Dian menghembuskan napas berat. Ingin menutupi tapi untuk apa, kalau kenyataannya Listi memang istrinya.

“Dia istri saya.”

Dewi terkejut.

“Istri Bapak? Kenapa Bapak malah menolong saya?”

“Apa yang perlu ditolong dari dia? Kan Bu Dewi yang terluka?”

“Tapi … sebagai suami istri ….”

Dian kembali menghembuskan napas berat.

Lalu Dewi diam, tak mendesaknya lagi, takut penolongnya yang ganteng ini tersinggung.

Dian menghentikan mobilnya di depan sebuah pagar, tapi Dewi memintanya langsung masuk ke halaman.

Sebelum mereka turun, dilihatnya seorang anak kecil berjalan tertatih, diikuti seorang ibu yang sudah setengah tua.

“Hati-hati Arin …” teriak perempuan setengah tua itu.

Dewi segera turun, setengah berlari menghampiri anak kecil itu, lalu menggendongnya dan menciumi pipinya.

“Pak Dian, ayo silakan turun dulu,” kata Dewi mendekat ke arah kemudi, meminta Dian turun.

Dian terpana melihat anak kecil itu. Betapa dia sangat merindukan memiliki anak. Dan karena tertarik kepada gadis kecil itu, maka Dian pun turun.

Dian menowel pipi gembul si kecil cantik, yang kemudian tertawa-tawa.

“Ini putri bu Dewi?”

“Iya Pak, namanya Arina. Arina, kasih salam sama om,” pintanya kepada si kecil.

Gadis kecil berumur tiga tahunan itu kemudian mengulurkan tangannya, disambut Dian, kemudian si kecil Arina menciumnya.

“Anak pintar…”

“Ayo silakan masuk dulu Pak.”

“Bik, tolong buatkan minum untuk pak Dian ya,” perintah Dewi kepada wanita tua pengasuh Arina. Si bibik segera mengangguk dan mendahului masuk ke dalam rumah.

Seperti kerbau dicocok hidung, Dian mengikuti langkah Dewi yang menggendong Arina. Dian menowel-nowel pipi Arina, yang kemudian mengulurkan kedua tangannya ke arah Dian.

Dewi tertawa. Dian menyambut tangan si kecil, yang tidak menolak ketika digendongnya.

“Ya ampuun, Arina cepet banget kenal sama om Dian,” seru Dewi.

Dian senang sekali. Betapa sudah lama sekali dia ingin menggendong seorang anak, dan sekarang kesampaian, walaupun anak orang lain. Berkali-kali dia mencium pipi si cantik gembul, dengan gemas.

“Silakan duduk Pak.”

Dian duduk di kursi tamu, sambil memangku Arina. Arina mengelus wajah Dian yang berewokan, barangkali merasa aneh ada rambut-rambut halus menempel di wajah seseorang. Dian menciuminya berkali-kali.

“Putra pak Dian berapa?”

Dian menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah sedih.

“Belum punya? Pantesan senang sekali saat Arina minta gendong. Arina juga belum pernah digendong ayahnya.”

“Belum pernah?”

“Ayahnya meninggal karena kanker ketika Arina masih di dalam kandungan.”

Dian menatap Dewi dengan iba. Lalu mencium Arina dengan gemas.

“Saya ikut prihatin.”

Dewi mengangguk sambil tersenyum.

Si bibik keluar membawa dua gelas jus jeruk, lalu menatap Dewi. Rupanya tadi belum sempat bertanya.

“Pipi Ibu kenapa?”

“Ini … dicakar macan,” canda Dewi tapi membuat bibik terkejut.

“Tadi Ibu ke kebun binatang?”

Dewi dan Dian tertawa, rupanya si bibik mengira dia ke kebun binatang dan dicakar macan beneran.

“Tidak Bik, hanya luka sedikit, terkena kuku aku sendiri,” bohong Dewi.

“Kok bisa sih Bu,” tentu saja bibik tidak percaya.

“Bisa Bik, aku menggaruk-garuk pipi, nggak sengaja terluka. Tidak apa-apa, hanya lecet.”

Bibik yang sudah lama melayani Dewi, merasa bahwa Dewi sudah seperti anaknya. Ia lega ketika Dewi mengatakan hanya lecet saja. Ia berdiri lalu melangkah ke dapur.

Dewi dan Dian masih tersenyum-senyum.

“Kalau cerita yang sebenarnya, jadi panjang kan?”

Dian mengangguk. Arina masih mengelus-elus wajah Dian.

“Arina, sudah dong, nggak boleh pegang-pegang wajah om,” tegur Dewi.

“Tidak apa-apa. Biarkan saja.”

“Silakan di minum.”

Karena ada Arina, Dian sangat betah berada di rumah Dewi. Arina bukan hanya minta dipangku Dian, tapi juga minta agar Dian menemani main boneka. Dewi menatap terharu. Rupanya Arina ingin ketemu sosok seorang ayah, dan Dian juga merindukan seorang anak.

Arina bahkan rewel ketika Dian berpamit pulang.

Dewi menggendong Arina mengantarkan sampai ke dekat mobil.

“Ini kok seperti mobilnya pak Radit ya?” celetuk Dewi.

Dian yang sudah hampir menaiki mobil, tersenyum.

“Kenal ya? Karena sering menjemput Ratri?” tanya Dian.

“Kecuali itu pak Radit pernah mengantarkan saya pulang.”

“Oh, pantesan. Memang iya, kami saling bertukar mobil saat bepergian bersama. Baiklah saya permisi dulu. Daag Arina.”

Memerlukan waktu lama bagi Dewi untuk menghentikan tangis Arina yang rewel tak mau ditinggal Dian pergi.

***

Pagi hari itu Ratri kaget melihat ada plester menempel di pipi kepala sekolahnya.

“Bu Dewi kenapa?”

“Panjang ceritanya bu Ratri, nanti akan saya ceritakan semuanya, saat istirahat saja. Ini jam pelajaran sudah hampir mulai kan?”

“Benar Bu, saya mengajar di jam pertama.”

Lalu Ratri pamit untuk memasuki kelas dimana dia harus mengajar, dan Dewi masuk ke dalam kantornya.

Begitu duduk, ponsel Dewi berdering.

“Dari pak Dian?” gumam Dewi yang kemudian mengangkat ponselnya.”

“Ya, pak Dian.”

“Bu Dewi sudah di sekolah?”

“Sudah Pak, jam tujuh saya sudah ada di sekolah. Ada apa ya?”

“Saya mau ke rumah.”

“Tapi di rumah hanya ada bibik dan Arina.”

“Saya ingin ketemu Arina. Saya bawakan mainan untuk dia.”

“Oh, benarkah?” tanya Dewi gembira.

“Iya, ini saya mau berangkat ke rumah. Saya minta Bu Dewi memberi tahu bibik supaya tidak terkejut ketika saya datang.”

“Baiklah Pak, saya akan menelpon bibik. Kemarin Arina rewel agak lama ketika Pak Dian pergi.”

“Oh ya? Padahal hari ini saya ada acara, jadi nggak bisa lama. Mudah-mudahan dengan adanya mainan baru, Arina tidak rewel.”

“Semoga tidak rewel Pak. Terima kasih perhatiannya lho.”

“Sama-sama bu Dewi, saya suka Arina, dan tiba-tiba menyayangi dia.”

“Iya, saya mengerti. Karena Pak Dian belum punya momongan, itu sebabnya sayang sama Arina.”

“Baiklah, selamat bekerja bu Dewi.”

“Terima kasih Pak Dian.”

Dewi meletakkan ponselnya dengan hati berdebar. Ia merasa aneh ketika wajah Dian melintas di benaknya. Sangat ganteng, dan menarik sekali dengan cambang di wajahnya. Tapi kemudian Dewi memarahi dirinya sendiri.

“Aku sudah gila, bukankah dia punya istri? Aduuh, istri yang galaknya seperti singa kelaparan? Bagaimana laki-laki selembut itu bisa punya istri seperti itu? Tapi kok hubungannya kelihatan aneh. Ah, entahlah, kenapa aku ini memikirkan dia. Ini berbeda ketika aku memikirkan pak Radit. Dia hanya ganteng, rupawan, pintar, tapi tak ada getar ketika berdekatan dengan dia. Aku hanya suka, tapi dengan Dian, mengapa berbeda? Ya Tuhan, aku sudah gila. Dia milik orang, Dewi …. Jangan gila.”

Lalu Dewi menyibukkan diri dengan tugas-tugasnya agar bisa melupakan wajah ganteng berewokan itu, yang dianggapnya sudah menjadi milik orang lain.

***

Ketika istirahat itu Dewi lalu memanggil Ratri, untuk menceritakan perihal pipinya yang terluka. Ratri sangat heran. Wanita berwajah mirip dia, seperti bermunculan dimana-mana, dan selalu ada saja peristiwa yang terjadi dengan adanya dia.

“Saya juga pernah bertemu dia, kata-katanya sangat pedas, tajam melebihi sayatan silet.”

“Yang saya heran, wajahnya sangat mirip bu Ratri, sehingga saya benar-benar keliru. Ketika melihatnya duduk di rumah makan itu, sekilas saya berpikir, kok Bu Ratri penampilannya seperti itu. Biasanya kan begini. Tapi bodohnya saya, kok ya tetap menyapa. Nah nggak tahunya kemudian dia mengamuk.”

“Beruntung kemudian ada Dian yang menyelamatkan bu Dewi?”

“Iya. Dan herannya saya, pak Dian bilang bahwa wanita itu istrinya. Nggak bisa mengerti saya. Kalau istri, kok sikapnya tidak seperti suami istri?”

Ratri ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi ditahannya. Barangkali Dian tak akan suka kalau banyak orang tahu tentang keadaan rumah tangganya yang mungkin hari ini adalah sidang perceraiannya.

“Iya Bu, saya juga tidak mengerti kalau masalah itu.”

Dewi juga menceritakan, bahwa Dian sangat menyukai anaknya, demikian juga anaknya yang sangat merindukan seorang ayah, pastinya. Ratri terkejut, ternyata Dewi seorang janda dengan satu anak. Ia tak pernah tahu sebelumnya.

“Pak Dian sangat menyukai anak, tapi sayang tiga tahun pernikahannya belum dikaruniai seorang anakpun.”

Ratri hanya mengangguk. Tentu saja dia mengerti tentang Dian. Tapi Ratri senang Dian menyukai anak Dewi. Walau sebentar, barangkali bisa mengobati keinginannya menggendong seorang anak.

Ratri juga senang, Dewi mulai bersikap ramah seperti biasa, entah karena apa, Ratri tak ingin tahu. Yang penting, sebuah pertemanan tidak harus terluka, apalagi hanya karena seorang pria.

***

Sore itu Listi yang seperti kehilangan pegangan, pergi ke sana kemari seperti layang-layang putus talinya. Kenyataan bahwa Radit sudah tidak menyukainya, dan tampaknya menyukai gadis yang wajahnya mirip dengannya, membuatnya kacau seperti orang linglung. Tiba-tiba dia memasuki rumah Radit kembali, dan langsung menubruk Radit dengan tangisan memelas, ketika Radit keluar menemuinya.

“Tolong jangan pergi Radit, jangan pergi dari kehidupan aku. Aku sangat mencintai kamu,” katanya sambil memeluk erat Radit, yang gelagapan karena tak mampu melepaskannya.

“Lepaskan Listi, kamu melakukan hal yang tidak pantas. Ingat, semuanya sudah berlalu.”

Listi berjongkok didepan Radit dan memeluk kakinya. Ada rasa iba yang tiba-tiba menyeruak, melihat gadis yang pernah dicintainya, bersikap begitu memelas di hadapannya.

"Radit, aku tak punya siapa-siapa, hanya kamu Radit. Aku bisa mati tanpa kamu,"

Akhirnya Radit menarik tubuh Listi, agar berdiri.

Tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman.

***

Besok lagi ya.

Friday, October 28, 2022

JANGAN PERGI 11

 

JANGAN PERGI  11

(Tien Kumalasari)

 

Keduanya saling tatap dengan perasaan aneh.

“Boleh aku duduk di sini?” akhirnya sang pendatang yang adalah Listi itu mengulangi kata-katanya.

“Bb … boleh, tentu saja boleh,” kata Ratri agak gugup.

“Mana temanmu yang satunya? Kalian tadi bertiga bukan?”

“Yy … ya, sedang ke toilet .”

“Wajahmu kok bisa mirip aku ya, cuma … agak … gimana … gitu.”

“Mbak mau memesan makanan?”

“Tadinya … ya, tapi tiba-tiba selera makanku hilang begitu saja.”

“Owh,” kata Ratri heran karena tidak tahu maksud wanita yang sekarang duduk di depannya. Ada gelas-gelas dan piring-piring bekas makan Dian dan Radit. Listi menatapnya sekilas.

“Kemana Radit?” Listi tiba-tiba bertanya, mengejutkan Ratri karena dia mengenal Radit. Tapi Ratri merasa, tatapan wanita di depannya terasa sangat menusuk, seperti membencinya. Ratri kebingungan menghadapinya. Ia menoleh ke arah belakang restoran, berharap Dian segera muncul, tapi bayangan Dian tak segera tampak.

“Kamu pacarnya?” tatapan itu terasa lebih menghunjam.

“Buk … bukan ,,, Kok mbak kenal ?”

“Kamu tidak tahu ya? Radit itu pacar aku.”

Ratri terbelalak.

“Apa dia dekat-dekat kamu karena wajah kita mirip? Radit sungguh bodoh. Mungkin wajah boleh mirip, tapi dari segi penampilan, aku lebih menarik bukan?”

“Saya tidak mengerti apa maksud Mbak mendekati saya dan bicara seperti itu,” lama-lama Ratri merasa kesal, karena wanita di depannya bicara tanpa basa basi dan terdengar kasar. Tapi dia mencoba menjawabnya sambil tersenyum.

“Asal kamu tahu ya, Radit amat mencintai aku. Jadi sia-sia saja kalau kamu berharap atas dia. Dan ingat, jauhi dia, karena dia milik aku.”

Ratri tak menjawab. Ia meneguk minumannya tanpa menawarkan, lalu melihat ke arah ponsel karena terdengar ada nada pesan singkat. Dian pengirimnya.

“Ratri, tinggalkan dia, dan cepat keluar, aku sudah membayar semua makanan dan sekarang berada di dalam taksi, menunggu kamu. Warna taksi merah, hanya ada satu mobil merah di area parkir.”

Ratri mengusap mulutnya dengan tissue, lalu berdiri.

“Maaf, saya harus pergi.”

“Hei, kamu tidak menunggu teman kamu yang satunya? Atau … kamu melayani dua lelaki sekaligus dan sudah mendapat bayarannya?” katanya tajam, seperti silet menyayat ulu hatinya.

Ratri mengurungkan langkahnya untuk pergi, ditatapnya wanita tak sopan yang masih duduk di kursinya.

“Kalau saja mulut Mbak bisa bicara dengan penuh sopan santun, barangkali kita akan menjadi sahabat. Saya suka wajah kita mirip, tapi saya benci perilaku Mbak.”

Lalu Ratri bergegas keluar, mencari mobil merah, taksi yang dipesan Dian, dimana Dian sudah menunggu di dalamnya.

“Kurangajar, dia bisa memaki aku,” gumam Listi, lalu berdiri dan mencari tempat duduk lain yang masih kosong. Sebenarnya dia lapar. Sayang dia tidak memperhatikan laki-laki satunya yang bersama Ratri, karena matanya sibuk menatap Radit yang terlihat bicara akrab dengan Ratri. Kalau saja dia tahu, barangkali dia lah yang lebih dulu lari menjauh, karena Dian adalah suaminya yang akan menceraikannya.

“Sayang aku tidak sempat menanyakan siapa namanya. Tapi untuk apa menanyakannya? Dia hanya sampah. Mengapa Radit bisa bicara dengan manis? Pasti dia itu yang dikatakan pacar oleh Radit. Ketika pergi tadi, dia mengatakan bahwa akan pergi bersama pacarnya. Huhh, bodoh! Aku pasti bisa merebutnya kembali.”

***

“Aku bingung atas kejadian ini,” kata Ratri ketika sudah berada di dalam mobil.

“Dia itu Listi, istriku. Eh, hampir menjadi bekas istriku.”

“Haaa? Kok tadi dia tidak bicara tentang kamu, malah bicara tentang mas Radit?”

Dian mengerutkan keningnya, heran.

“Dia kenal sama mas Radit?”

“Dia mengaku pacarnya.”

“Apa?”

“Kok dia tidak tahu bahwa ada kamu bersama aku, tadi? Nggak salah kamu?”

“Salah bagaimana? Kamu tidak melihat wajahnya? Kamu tidak melihat bahwa wajah kamu tuh sangat mirip dia?”

“Rupanya dia tadi hanya memperhatikan mas Radit yang kebetulan saat masuk kan aku berjalan di sampingnya. Jadi karena matanya fokus melihat mas Radit, jadi tidak melihat bahwa dibelakangnya ada kamu.”

“Mungkin.”

“Mengapa kamu tiba-tiba pergi? Kamu menghindari dia?”

“Ya. Aku enggan bertemu dia. Dulu aku sangat mencintai dia. Tapi karena kelakuannya, cinta itu sudah tak ada lagi.”

“Sungguh aneh, kenapa dia bilang bahwa dia itu pacar mas Radit? Dia mengancam aku agar menjauhi mas Radit.”

“Dasar perempuan tak tahu malu. Ketika bertengkar terakhir kali, dia bilang alasannya tak mau punya anak. Katanya dia tidak mau punya anak dari aku, karena dia mencintai laki-laki lain. Apa yang dimaksud laki-laki lain itu mas Radit?”

“Ya Tuhan. Aku pusing,” kata Ratri sambil memijit-mijit keningnya dengan kedua jari tangannya.

“Kemana lagi kita?”

“Lebih baik pulang saja. Kejadian ini menghilangkan selera aku untuk jalan-jalan.”

“Aku juga. Tapi bagaimana dengan rencana membelikan oleh-oleh untuk ibu?”

“Lain kali saja, ini hari yang buruk.”

Lalu Dian memerintahkan pengemudi taksi untuk menuju ke rumah Ratri.

***

Radit sedang memijit kaki ibunya, yang sudah merasa tenang setelah Radit memberinya obat, Bu Listyo memang mengidap sakit darah tinggi, dan harus meminum obat setiap hari.

“Mengapa bibik tiba-tiba panik dan mengatakan kalau ibu sesak napas?”

“Ibu hanya merasa agak sesak napas tadi, bibik saja yang kebingungan.”

“Ibu lupa minum obat ya?”

“Iya sih, gara-gara ada Listi datang dan mengejutkan ibu, lalu ibu jadi lupa minum obatnya. Kamu bertemu dia kan?”

“Iya, tapi lalu Radit tinggalkan dia.”

“Ibu kira ketika Listi datang, kamu sudah pergi, kan kamu sudah pamit tadi sama ibu?”

“Ketika Radit siap-siap mau berangkat, dia datang. Radit juga kaget.”

“Apa kamu masih suka sama dia?”

“Tidak, Radit sudah mengatakan sama dia bahwa Radit sudah tidak lagi mencintainya.”

“Kamu benar. Tiga tahun pergi kemudian datang dan bilang bahwa masih mencintai kamu? Aneh saja ibu mendengarnya. Dan alasan dia pergi juga tidak masuk akal. Jangan-jangan dia lari sama laki-laki lain,” tuduh bu Listyo.

“Entahlah, Radit juga tidak menanggapi apa yang dia katakan tadi.”

“Dia sempat memeluk ibu dan nangis-nangis. Tapi setelah ibu mengatakan bahwa tak bisa membantu menyatukan kalian lagi, dia pergi begitu saja, tanpa pamit. Bibik sampai ngomong bahwa dia itu tidak sopan.”

“Ibu jangan memikirkan dia lagi, nanti tensi ibu naik lho.”

“Iya, ibu tidak akan memikirkannya.”

“Nanti semua foto Listi benar-benar akan Radit buang.”

“Lebih baik begitu, supaya tidak ada lagi kenangan atas gadis itu di rumah ini.”

“Iya Bu.”

“Ibu jadi teringat gadis itu lagi.”

“Gadis yang mana Bu?”

“Gadis yang dulu pernah ibu ceritakan, yang bertemu ketika dia membeli ponsel, yang wajahnya mirip Listi, tapi dia lebih lembut.”

“Oh, itu,” Radit tersenyum. Tangannya masih asyik memijit-mijit kaki ibunya.

“Kok kamu senyum-senyum sih?”

“Gadis itu, namanya Ratri.”

“Aaah, iya benar … dia juga menyebut bahwa itu namanya, hanya ibu yang lupa. Tapi bagaimana kamu tahu bahwa dia itu namanya Ratri? Kamu juga bertemu dia?”

“Kami sudah kenal .. beberapa bulan terakhir ini.”

“Kamu kenal dia? Bagaimana keluarganya? Orang baik-baik? Ibu tidak peduli dia kaya atau miskin, tapi ibu ingin dia dari keluarga baik-baik, dan dia juga punya pekerti yang baik.”

Radit tertawa keras.

“Ibu itu … sepertinya sudah yakin kalau Radit ingin memperisterikan dia.”

“Oo, tidak ya? Kamu hanya berteman?”

“Belum pernah bicara tentang bentuk hubungan, tapi Radit sering ke rumahnya. Makan masakan ibunya ….”

“Sudah sejauh itu, tapi tidak mengaku cinta?”

“Belum Bu, Radit juga belum tahu apakah dia suka sama Radit atau tidak. Apalagi sekarang ini Radit punya saingan.”

“Tuh kan, gadis cantik dan baik, pasti banyak yang suka. Saingan kamu seperti apa? Lebih ganteng? Lebih kaya?”

“Dia juga ganteng, tapi dia bekas teman sekolahnya, dan sedang proses cerai dengan istrinya.”

“Waaah, itu bukan saingan berat. Kamu lajang, dia duda.”

“Dia tuh duren,” Radit terbahak.

“Oh, juragan duren, penjual duren?”

Tawa Radit semakin keras.

“Bukan juragan duren bu, duren itu … duda keren …”

“Aduuh, jangan bicara pakai singkatan-singkatan begitu, ibu tidak mengerti.”

Radit masih saja tertawa, walau rasa khawatir kalah bersaing dengan Dian itu ada.

“Rebut dia, kalau kamu memang cinta, dan bawa dia menemui ibu.”

“Baiklah, Radit ingin tahu dulu, bagaimana perasaan dia sama Radit.”

***

Ratri dan Dian sampai di rumah, dan membuat heran bu Cipto karena mereka cepat sekali pulang.

“Kok sudah pulang? Mana nak Radit?”

“Itulah Bu, kami cepat pulang, karena mas Radit dikabari kalau ibunya sakit,” jawab Ratri.

“Sakit apa?”

“Belum jelas, coba aku telpon ya,” kata Dian ketika mereka sudah duduk bersama.

Beberapa saat Dian bertelpon, dan merasa lega karena ternyata ibunya tidak apa-apa, hanya karena lupa minum obat tensinya.

“Rupanya pembantunya yang panik, kemudian menelpon mas Radit,” sambung Dian setelah menceritakan apa yang dikatakan Radit di telpon.

“Syukurlah, alhamdulillah,” kata Ratri dan bu Cipto bersamaan.

“Ibu buatin minum ya?” kata bu Cipto, sambil berdiri.

“Nggak usah Bu, ibu istirahat saja,” kata Dian.

“Kamu cerita tentang wanita itu?” tanya Ratri ketika ibunya sudah masuk ke dalam rumah.

“Tidak, nggak enak aku. Tapi ini kejadian yang sangat luar biasa. Siapa sangka, calon bekas istriku ternyata pacarnya mas Radit.”

“Kayaknya belum tentu juga. Sepertinya dia yang suka. Tapi entahlah. Lain kali aku akan menanyakannya.”

“Sepertinya mas Radit suka sama kamu.”

“Ah, jangan ngarang kamu,” sergah Ratri.

“Kami kan sama-sama laki-laki, kelihatan dong bagaimana gelagat laki-laki yang sedang menyukai wanita.”

“Jangan mengada-ada.”

“Itu benar, dan sejak aku tahu, aku sudah memutuskan untuk mundur.”

“Kamu sedang bicara apa sih Dian?”

Dian hanya tertawa.

“Nggak, lupakan saja.”

“Iih, ngomong nggak jelas,” kata Ratri, cemberut.

“Aku segera pulang ke Jakarta, setelah sidang besok.”

“Begitu cepat?”

“Sudah aku serahkan ke pengacara. Aku sudah mantap, harus pisah. Dia memang bukan jodohku.”

“Sabar ya Dian, kamu pasti dapat ganti yang lebih baik kok.”

“Aamiin. Sekarang aku pamit dulu ya, mau mampir beli oleh-oleh.”

“Mau beli oleh-oleh untuk siapa?”

“Teman-teman sekantor, kalau yang di rumah jelas nggak ada siapa-siapa, hanya ada satu pembantu, tukang bersih-bersih rumah. Aku kan jadi bujangan lagi,” katanya sambil berdiri.

“Kenapa tadi nggak beli sekalian?”

“Keadaannya tidak memungkinkan. Kacau gara-gara ada dia.”

“Baiklah. Kalau mau pulang ke sini dulu, nanti dicari-cari ibu lhoh.”

“Kirain kamu, ternyata ibu.”

“Jangan ngaco ah,” Ratri tertawa renyah.

"Tidak, harapanku kan sudah tipis, saingan aku berat,” katanya sambil tertawa.

“Oh ya, ini kan mobil mas Radit. Bagaimana ya mengembalikannya?”

“Nanti telponan lah, di mana mau tukar menukar mobil nya.”

***

Siang itu Listi masih berada di rumah makan itu. Ia memesan beberapa macam makanan untuk di bawa pulang, karena dia sendirian di rumahnya. Rasa kesal setelah bertemu Ratri membuatnya uring-uringan. Ia juga memarahi pelayan restoran yang salah menyiapkan makanan yang di pesannya.

“Aku mau kulit goreng, bukan usus goreng,” hardiknya.

“Maaf Bu, maaf,” kata pelayan yang kemudian mengambil kembali pesanan yang keliru itu, tapi lagi-lagi Listi menghardiknya.

“Bu … bu … aku bukan ibumu!”

“Oh, maaf, Mbak …”

“Aku juga bukan kakakmu. Panggil aku nona.”

“Baiklah … nona … saya minta maaf,” kata pelayan kemudian berlalu.

Listi duduk menunggu sambil menopang wajahnya dengan kedua tangan.  Ia rela dicerai Dian, karena mengharapkan bisa kembali dengan Radit. Ia yakin, dulu Radit begitu mencintainya. Tapi Listi lupa, bahwa bertahun sudah ia meninggalkannya, dan semuanya sudah berubah. Tampaknya Radit juga sudah menyukai gadis lain.

“Siapa dia? Bagaimana wajahnya bisa mirip wajahku? Dan itukah sebabnya maka Radit menyukainya? Ini gila, tak boleh terjadi.”

“Ini Bu, pesanannya,” kata pelayan membawakan lagi pesanan yang sudah diganti.

“Apa? Bu lagi?”

“Eh, maaf Nona ….”

Pelayan segera berlalu, karena takut singa betina yang pemarah itu memangsanya bulat-bulat.

Listi sedang bersiap untuk berdiri, ketika tiba-tiba seseorang mendekatinya.

“Bu Ratri?”

Listi terkejut, ia heran orang yang tidak dikenal mendekatinya, dan menyebut nama lain.

“Kok Bu Ratri berpakaian seperti ini?”

Kemarahan Listi memuncak. Ia menggebrak meja dan memelototi wanita yang menyapanya, yang ternyata adalah Dewi, sang kepala sekolah.

“Apa maksudmu? Coba ulangi, kamu tadi memanggil siapa?” hardiknya.

Dewi terkejut, lalu ia menyadari bahwa telah menyapa orang yang salah. Karena pada dasarnya tak ingin ribut, maka Dewi bergegas keluar dari rumah makan itu. Tapi siapa sangka, Listi mengejarnya. Dewi berlari menjauhi rumah makan itu, dan Listi masih tetap mengejarnya. Ketika akhirnya terpegang olehnya lengan Dewi, Listi mencengkeramnya erat. Ia sedang kesal, sedang ingin menerkam siapa saja yang dianggapnya salah.

“Ada apa ini? Lepaskan!”

Tanpa disangka Listi mencengkeram kedua lengan Dewi dan menatapnya dengan mata menyala.

“Kamu memanggil aku dengan nama siapa tadi? Katakan!”

“Tolong lepaskan. Maaf saya salah.” Kata Dewi yang benar-benar ketakutan.

Bukannya reda amarahnya mendengar permintaan maafnya, Listi yang sedang marah malah mencakar wajah Dewi.

"Aaughh"

Tiba-tiba seseorang yang sedang menenteng belanjaan melihat adegan itu, mendekatinya dan bermaksud melerainya.

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...