Saturday, February 27, 2021

A Y N A 36

A Y N A   36

(Tien Kumalasari)

 

“Aduuh, banyak sekali darahnya..” teriak bu Tarni.

Ayna segera membalut luka Rio, setelah membersihkan darahnya.

Bintang masih terpaku didepan pintu. Ada rasa nyeri mengiris jantungnya. Ia ingin membalikkan tubuhnya ketika tiba-tiba Rio melihatnya dan memanggil namanya.

“Mas Bintang !”

Ayna terkejut. Pegangan dijari Rio terlepas, dan perban yang sedang dibalutkannya terurai.

“Oh.. eh..”

“Sudah Ayna, aku bisa..”

Bintang mengangguk, dan tersenyum tipis.

“Ternyata ada mas dokter.. ini .. aduh.. salahnya Rio.. maunya ikutan saja. Sudah, mana, biar ibu yang membalut,” kata bu Tarni.

“Mas Bintang, ayo duduklah dulu.. waduh.. berantakan ini, bikin puding sambil nonton tivi sih, ayo nak.. duduklah.”

Bintang terpaksa duduk. Ayna mengawasi mata Bintang yang tampak tidak berkenan.

“Mas Bintang darimana ?”

“Dari rumah,” jawab Bintang singkat.

“Aku cuci tangan dulu..” kata Ayna sambil membawa panci dan peralatan yang tadi dibawa ke ruang depan.

“Nah, sudah.. kamu itu..  namanya pisau kok ya buat rebutan..” gerutu bu Tarni yang selesai membalut jari tangan Rio.

“Ma’af mas Bintang, datang-datang disuguhin orang terluka,” kata Rio.

“Nggak apa-apa mas, namanya kecelakaan.”

“Ya itulah, maunya membantu Ayna mengiris buah, jadi berebut, nah.. terluka deh,” kata bu Tarni.

“Rio, tolong simpan lagi kotak obat ini,” kata bu Tarni lagi kepada Rio.

Bintang hanya tersenyum. Lalu dilihatnya Ayna keluar, sudah membawa mangkuk-mangkuk berisi puding buah yang tadi dibuatnya.

“Ini mas Bintang, aku sama ibu tadi yang buat.”

“Wah, ma’af .. aku lagi nggak minum dingin.. “ jawab Bintang.

“Oh, mas lagi pilek ?”

“Agak flu.”

“Kalau begitu buatkan teh hangat saja Ayna.” kata bu Tarni.

“Tidak bu, terimakasih banyak, saya datang kemari hanya akan menjemput Ayna,” kata Bintang sambil menatap Ayna.

“Lho, kenapa buru-buru dijemput nak? Kemarin aku sudah bilang sama Tanti.”

“Bukankah besok Ayna sudah masuk kerja?”

“Masuk kerja kan bisa dari sini? Tolong bilang Tanti, biarkan menginap semalam lagi disini,” kata bu Tarni.

Bintang tak menjawab, menatap Ayna yang tampak kebingungan.

“Bagaimana Ayna?” tanya Bintang.

“Ibu, saya mohon ma’af,  sebenarnya... saya kasihan sama ibu Danang.”

“Memangnya kenapa dia?”

“Sa’at ini kan beliau sedang hamil. Jadi saya tidak tega meninggalkannya lebih lama, karena saya harus membantu semua pekerjaan ibu Danang dirumah juga.”

“Aduuh, ya kasihan kalau kamu banyak bekerja dirumah, sementara kamu juga harus bekerja di toko, kan?”

“Tidak bu, itu kemauan saya sendiri, bukan karena disuruh sama ibu. Kasihan, kan ibu lagi hamil,” kata Ayna lembut.

“Tapi kalau semalam ini lagi kan nggak apa-apa Ayna? Aku mau bilang sama Tanti sekarang,” kata bu Tarni sambil mengambil ponselnya.

Ayna menatap Bintang yang mulai merasa kesal. Memang ya, bu Tarni sangat nekat, dan setengah memaksa.

“Iya Tanti, sehari ini lagi saja, nggak apa-apa kan? Kamu harus ingat, Ayna juga anakku lho,” kata bu Tarni ketika menelpon Tanti.

Ayna saling pandang dengan Bintang. Ingin sekali Bintang membantahnya, tapi ia harus menghormati seorang yang lebih tua. 

“Nah, begitu dong Tanti, biarlah besok dia berangkat kerja dari sini,” kata bu Tarni kemudian menutup ponselnya.

Bu Tarni menatap Ayna sambil tersenyum.

“Sudah, ibu kamu sudah mengijinkan, jadi nanti tidur sama ibu semalam lagi. Ya Ayna?”

Ayna menatap Bintang. Ia tahu laki-laki ganteng itu tak suka bu Tarni masih menahannya sehari lagi. 

“Mas Bintang mau mengajak saya kemana sebenarnya?”

“Entahlah, kalau bisa mau mengajak kamu keluar.”

“Ibu, bolehkah saya  pergi bersama mas Bintang sebentar?”

“Mau kemana nak?”

“Aduuh.. si ibu ini seperti ngga pernah muda ya. Masa mau pergi berduaan masih ditanya kemana,” batin Bintang yang sudah merasa kesal sejak tadi.

“Mas, ibu bertanya, mau kemana,” kata Ayna sambil menggamit lengan Bintang, karena Bintang tak segera menjawab.

“Oh, hanya jalan-jalan saja.”

“Baiklah kalau begitu, tapi kalau bisa jangan lama-lama ya nak, nanti saya akan mengajak Ayna nonton wayang orang,” kata bu Tarni.

“Nonton wayang dimana bu?” tanya Bintang heran.

“Di Sriwedari lah nak dokter ini.. adanya wayang orang yang saya kenal ya disitu."

“Bukankah kalau Minggu wayangnya libur bu?”

“Oh.. iya.. ini Minggu.. ibu lupa, tahu begitu tadi malam ya nontonnya.”

“Ayna, bagaimana kalau kita berangkat sekarang?”

“Ya mas, aku ganti baju dulu..”

“Mengapa harus ganti, itu baju bagus.”

“Iya, kamu sudah cantik memakai itu, tapi jangan lama-lama ya, nanti aku ingin mengantar Rio ke bandara, tolong temani aku, soalnya nanti pulangnya mau mampir belanja.”

Ayna hanya mengangguk.

“Saya pamit dulu bu, nanti pamitkan sama mas Rio,” kata Bintang sambil berdiri, lalu keduanya keluar dari rumah.

***

Bintang mengajak Ayna makan di sebuah restoran. Wajah Bintang masih tampak muram, walau Ayna sudah bersamanya.

“Mas jangan cemberut dong.. marah sama Ayna ya?”

“Bukan.. “

“Lalu kenapa cemberut ?”

“Agak sakit melihat tangan lembut kamu memegang-megang jari Rio.”

“Aduh mas, aku merasa bersalah membuatnya terluka.”

“Asyik dong, bercanda sambil bikin puding, sayangnya yang dipakai bercanda kok pisau, terluka dong.”

“Yeee... bukan bercanda tahu. Dia itu ingin ikut mengiris-iris nanas, aku melarangnya, ya sudah, terjadilah kecelakaan kecil itu.”

“Oh.. gitu...”

“Mas marah ?”

“Nggaaak..”

“Kok cemberut begitu..”

“Aku jelek ya kalau cemberut..?” Bintang mencoba bercanda.

“Nggak kok, masih tetap ganteng..”

Bintang tersenyum lebar.. senangnya dipuji kekasih hati.

Ayna gadis yang lincah, cekatan, dan bukan gadis yang pendiam. Didekat Bintang ia bicara begitu lancar dan menyenangkan. Bintang suka melihat bibir tipisnya yang setiap ucapannya selalu membuatnya terpikat.  Ia benar-benar sangat mencintai Ayna.
Ia kesal sejak kemarin karena Ayna seakan ‘disandera’ oleh bu Riri atau bu Tarni. Bahkan hari inipun ia berpesan agar segera kembali kerumahnya. Bu Riri seakan benar-benar menguasai Ayna. Itu membuat Bintang kurang nyaman berbincang dengannya.

“Mas marah sama Ayna ?”

“Kok nanya lagi sih, kan tadi sudah tanya?”

“Kelihatannya mas masih kesal.”

“Tidak, begitu dekat sama kamu, kesal itu hilang.”

“Tapi tunggu dulu, tadi mas bilang tidak minum dingin karena flu kan, kok sekarang pesan es buah juga?”

Bintang tertawa.

“Tadi aku agak pilek, sekarang sudah tidak,” kata Bintang sambil tersenyum.

“Huuh.. bohong kan ?”

“Mana yang bohong, yang tadi atau yang sekarang ?”

“Yang tadi. Nggak suka ya..  minum puding buah buatan Ayna..”

“Yang membuat nggak suka, buahnya diiris sambil bercanda..”

“Mas Bintang tuh, kan aku sudah bilang bahwa aku bukannya bercanda.”

“Aku cemburu, tahu.”

Ayna tertawa lepas. Bintang suka melihatnya. Ya, ia suka senyumnya, cara dia bicara, tawanya, semua serba menarik, membuat hatinya bergetar.

“Kok tertawa sih?”

“Habisnya, cemburu.. bilang-bilang.”

“Kalau aku nggak bilang mana bisa kamu tahu kalau aku cemburu.”

“Tahu dong...”  kata Ayna sambil tersenyum.

“Tahu ?”

“Darimana tahunya?”

“Sejak tadi wajahnya masam ."

“Kayak jeruk dong, padahal jeruk itu vitamin.. sehat..”

“Kalau terlalu masam bikin perut sakit.. ya kan? Pak dokter harus tahu itu.”

Keduanya bercanda sambil makan. Bahagia itu sederhana. Dekat dengan orang yang dicintai, apalagi disuguhi senyum dan canda yang menggelitik. Bintang ingin selamanya berada didekat Ayna.

“Ayna...”

“Hm...” jawab Ayna sambil menyapu mulutnya dengan tissue setelah selesai makan.

“Aku akan segera melamar kamu.”

“Begitu cepat ?”

“Kok cepat bagaimana, aku sudah lama menahannya tahu.”

“Mas nggak ingin memikirkan lagi? Aku ini siapa, orang tuaku bagaimana.. dan aku hanya pegawai toko..nanti mas menyesal?”

“Tidak, tak akan ada sesal. Aku yakin, kamu adalah pilihan terbaikku.”

Ayna tersenyum. Menahan debar jantungnya karena bahagia. Laki-laki didepannya ini bukan hanya ganteng, tapi juga baik hati, lembut, dokter lagi.

“Boleh kan? Aku akan bilang sama bapak sama ibu, agar segera melamar kamu.”

Ayna mengerjap-ngerjapkan matanya. Bintang sangat gemas, itu kebiasaan Ayna, mata bintangnya berkedip-kedip, seperti kejora menjelang pagi.

“Diam berarti setuju. Terimakasih Ayna, calon isteriku.”

“Tapi jangan melarang aku bekerja ya, aku kan pernah bilang.”

“Baiklah kalau kamu suka melakukannya.”

“Terimakasih mas..”

Mereka bertatapan dengan sangat mesra. Dan kemesraan itu terganggu karena dering ponsel Ayna.

“Dari bu Tarni.” Kata Ayna lirih.

“Nggak usah diangkat...” kata Bintang yang langsung cemberut.

“Jangan ah, kasihan..”

Bintang benar-benar cemberut ketika Ayna menerima telpon bu Tarni.

“Ya bu.. “

“Kamu dimana ?”

“Sedang makan bersama mas Bintang..”

“Yaah, kami menunggu makan dirumah, Rio sudah kelaparan, dan sebentar lagi dia mau berangkat ke bandara.”

“Ma’af bu, kami sudah makan.”

“Baiklah, tapi segera pulang ya, kita akan mengantar Rio ke bandara.”

“Ya ibu.”

Ayna menutup ponselnya, senyuman hilang dari bibir tipisnya.

“Disuruh segera kembali kesana kan?”

Ayna mengangguk.

“Nggak apa-apa, selesaikan dulu minumnya. Kalau perlu nambah makan lagi, biar lebih lama,” sungut Bintang.

“Yaah.. perutnya nggak muat dong mas.”

“Heran aku sama bu Riri itu, seperti benar-benar ingin memiliki kamu.”

“Sabar mas, kan besok aku sudah pulang ke rumah ibu Danang.”

“Jangan-jangan dia akan mengambil kamu sebagai menantu.”

“Enggak mas, kan dia sudah punya pacar.”

“Ya.. kan baru pacar. Belum ada janur melengkung kan?”

“Sudah, jangan lagi cemburu. Sabar untuk hari ini ya, besok aku sudah kembali pulang.”

***

Arsi mengambil bungkusan kecil dengan pita merah itu. Tadi ia segan membukanya, karena tak tahu bungkusan itu dialamatkan kepada siapa. Jangan-jangan memang barang Rio ketinggalan. Tapi rasa keingin tahuan membuat dia nekat ingin membukanya. Pelan ditariknya pita merah yang mengikatnya, lalu dengan hati-hati dia membuka pembungkusnya. Jangan sampai rusak, sehingga kalau barang itu memang milik orang lain, dia bisa dengan mudah mengembalikannya.

Arsi berhasil membukanya, dan terbelalak melihat sebuah arloji cantik melingkar didalam kotak itu. Arsi terpana melihat tulisan yang ada diatasnya.

UNTUK KEKASIHKU, ARSI ARSANTI

Gemetar tangan Arsi ketika mengambil arloji cantik itu.

“Rupanya untuk aku. Berarti semalam mas Rio membeli arloji untuk aku, dan Ayna hanya disuruh mencobanya saja, atau entahlah. Tapi pemandangan itu membuat hatiku sangat panas.”

Arsi mengenakan arloji itu dengan kemarahan yang benar-benar padam, berganti rasa suka dan bahagia.

“Ma’af mas, aku salah faham, aku harus menelponnya, semoga dia belum berangkat kembali ke Jakarta.” bisiknya pelan, lalu diraihnya ponselnya.

***

“Disuruh cepet kembali, kok lama sekali sih,” gerutu bu Tarni sambil duduk diruang depan.

“Namanya lagi pacaran bu, mana bisa disuruh cepat-cepat pulang?”

“Aku kan hanya ‘pinjam ‘ dua hari saja. Lagian aku juga berjasa dalam menemukan Ayna lho. Kalau dia tidak ketemu ibu didepan sana, entah bagaimana nasibnya.”

“Ibu kan sudah menolong, ya jangan disesali, atau diingat-ingat lagi.”

“Bukan ibu merasa sudah berbuat baik, tapi harusnya Ayna juga sering-sering berada disini. Aku kan bilang bahwa dia sudah aku anggap sebagai anakku?”

Ponsel Rio tiba-tiba berdering.

Rio menatap kearah ponsel, tapi membiarkannya.

“Kok tidak diangkat sih ?”

“Biar saja, Rio lagi sebel sama dia.”

Arsi ?”

“Iya, tadi pagi Rio kerumah, dia nggak mau keluar menemui Rio.”

“Dia marah ?”

“Marah, karena semalam melihat kita belanja bersama Ayna.”

“Kan ada ibu juga, masa dia marah ? Cemburu ?”

“Itulah bu, Rio kesal sama dia, Cemburunya keterlaluan. Gadis baik itu ya seperti Ayna, sudah cantik, lembut, baik hati.”

“Hm, jangan bilang kamu tertarik sama dia.”

“Memangnya kalau tertarik kenapa?”

“Rio, dia sudah punya pacar.”

“Apa salahnya kalau sudah punya pacar? Kan belum jadi isterinya?”

“Rio..”

***

Besok lagi ya.

 

                                                                                     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Friday, February 26, 2021

A Y N A 35

A Y N A   35

(Tien Kumalasari)

 

Rio ingin berteriak memanggil,  tapi tiba-tiba Widi muncul dengan membawa dua gelas jus.

“Diminum, Rio... Mana Arsi tadi ?”

“Tiba-tiba masuk ke dalam bu,” kata Rio sambil menunjuk ke arah dalam.

“Lho.. gimana sih anak itu. Ayo nak itu diminum saja dulu.”

“Terimakasih bu.”

Widi masuk ke dalam, dilihatnya pintu kamar Arsi tertutup. Widi ingin membukanya, ternyata dikunci dari dalam.

“Arsi... Arsi.. ngapain kamu?”

Tak ada jawaban. Widi mengira Arsi sedang ganti pakaian.

“Arsi, mengapa dikunci ?  Itu, ditungguin Rio.. “ kata Widi sambil mengetuk-ngetuk pintunya. Tapi Arsi tetap tak menjawab.

“Arsi... Arsi... “

“Bu, Arsi nggak mau keluar,” akhirnya teriak Arsi dari dalam.

“Ada apa Arsi ? Tolong buka pintunya, ibu mau bicara. Buka dulu pintunya,” kata Widi dengan nada keras.

Mendengar nada suara ibunya yang agak keras, Arsi kemudian membuka pintunya. Widi melihat genangan air bening dimata anaknya.

“Kenapa kamu itu? O.. masih marah seperti kemarahan kamu semalam ?”

“Arsi nggak mau nemuin dia bu, “

“Kenapa Arsi? Kalau ada masalah, sekaranglah sa’atnya kamu bicara. Kalau begini caranya, masalah tidak akan selesai.”

“Sekali saja dia berbuat selingkuh, maka tetap dia akan melakukannya, entah nanti, besok, atau kapan saja.”

“Apa kamu yakin bahwa dia selingkuh?”

“Ibu semalam tidak melihatnya. Dia dengan senyum-senyum manis gitu, mengenakan arloji ditangan Ayna. Siapa yang tidak panas bu?” Arsi mulai terisak.

“Apakah itu berarti bahwa dia selingkuh? Bukankah Ayna itu pacarnya Bintang?”

“Justru itu yang membuat Arsi sedih. Dua-duanya pengkhianat !”

“Arsi, apapun.. kamu harus membicarakannya sama dia, supaya semuanya jelas.”

“Arsi tidak sanggup melihat wajahnya. Pasti dia tidak akan mengakui. Pasti ada alasan untuk menghindar, sementara Arsi sudah melihatnya.”

“Belum-belum kamu sudah berprasangka buruk. Ayolah keluar dulu.”

“Tidak bu, Ma’af, aku tidak mau menemuinya.”

“Hiiih... anak ini,” gerutu Widi sambil keluar dari kamar anaknya, yang segera ditutup kembali oleh Arsi.

Widi keluar, dilihatnya Rio belum meminum jus yang disuguhkan.

“Rio, minumlah.”

“Mana Arsi bu?”

“Apakah kalian sedang marahan ?”

“Tidak bu, bukankah kemarin saya menelpon kemari? Sedianya sorenya mau mengajak Arsi jalan-jalan, sama ibu saya juga, tapi kata ibu, dia sakit.”

“Lhoh.. yang sakit kan mas Ryan, bapaknya Arsi.”

“Iya, rupanya saya salah terima. Saya pikir yang sakit Arsi, sehingga saya tidak nyamperin kemari.”

“Lalu mengajak Ayna ?”

“Kebetulan ada Ayna disana, ibu saya kangen sama dia, jadi saya ajak saja, kami jalan bertiga. Mengapa Arsi tidak mau ketemu, nanti sore saya harus kembali ke Jakarta.”

“Semalam saya pergi sama Arsi, melihat Rio sama Ayna.”

“Ooh...? Kok tidak memanggil saya? Saya tidak tahu bu, sungguh saya kira Arsi sakit.”

“Ya sudah, nanti akan ibu sampaikan sama Arsi. Tampaknya dia masih marah, mengira nak Rio selingkuh.”

“Ya ampun bu, tidak ada apa-apa antara saya dan Ayna. Dia seperti adik saya karena ibu saya menganggapnya sebagai anaknya. Ibu sangat menyayangi Ayna.”

“Iya, ibu bisa mengerti.”

“Baiklah bu, kalau Arsi masih marah, nanti kalau marahnya sudah mereda saya akan menelponnya. Saya permisi dulu karena nanti sore saya mau kembali ke Jakarta.”

Ketika Rio pulang, Widi baru menyadari bahwa diatas meja tergeletak sebuah bungkusan kecil, dengan pita cantik berwarna merah. Apakah ini barang ketinggalan, atau memang ditinggal? Widi melihat kedepan tapi Rio sudah tidak kelihatan. Widi membawa bungkusan itu kedalam,  

Arsi tergolek diranjang sambil memeluk guling ketika ibunya masuk.

“Arsi..”

“Bu, aku tidak mau keluar.”

“Terserah kamu, dia sudah pulang,” kata ibunya kesal.

Arsi membalikkan tubuhnya, melepaskan guling yang dipeluknya..

“Sudah pulang?” ada nada kecewa ketika dia menanyakannya. Susah ya kalau lagi marah pada orang yang dicintai? Dia datang, memilih ngambek, nggak mau keluar, dia pulang, kok kecewa. Aduhai..

“Ibu bilang,  kamu sama dia harus bicara, supaya tahu duduk permasalahannya. Kalau kamu tidak mau keluar, mana bisa mengurai benang kusut diantara kalian?”

Arsi bangkit, mengusap air matanya.

“Dia bilang, tadinya mau mengajak kamu jalan, tapi dia salah terima ketika ibu mengatakan bahwa kamu sedang melayani bapak yang sedang sakit. Dia mengira kamu yang sakit, makanya dia tidak nyamperin kamu.”

“Lalu mengajak Ayna ?”

“Karena Ayna kebetulan ada disana, karena ibunya Rio kangen. Dan mereka tidak hanya berdua kok, ada ibunya juga.”

Arsi tak menjawab. Adegan dimana Rio memasangkan arloji di lengan Ayna kembali terbayang. Siapa yang tidak cemburu melihat kekasihnya begitu dekat dengan seorang gadis secantik Ayna?

“Jadi orang itu jangan terlalu gampang terbakar cemburu. Cemburu boleh, tapi jangan keterlaluan.”

“Ibu, mana sih cemburu yang tidak keterlaluan?”

“Arsi, kamu itu keterlaluan. Katakanlah dia itu tamu, harusnya kamu menemuinya. Seandainya ada masalah, justru itu sa’atnya kamu bicara.”

“Ibu jangan marah sama saya. “

“Ibu bukan marah. Rio bilang tak ada apa-apa anatara dia dan Ayna. Ayna dianggapnya sebagai adik, karena ibunya Rio menganggap Ayna anaknya. Masih kurang jelas apa yang ibu katakan ?”

“Ibu.”

“Sudah, ibu nggak ikutan. Kamu selesaikan sendiri masalah kamu. Ini, ibu cuma mau memberikan ini. Rio meninggalkannya dimeja, entah ini barang apa. Sengaja ditinggalkan atau ketinggalan. Kamu urus sendiri,” kata Widi yamg kemudian meletakkan bungkusan kecil itu disamping Arsi, lalu keluar dengan wajah kesal.

***

“Mas.. ini hari Minggu lho..” kata Bulan kepada kakaknya.

“Memangnya kenapa kalau hari Minggu?”

“Jangan bilang ada janji dengan pasien.. lalu tidak bisa pergi kemana-mana.”

“Reseh !”

“Ayo jemput Ayna.. masa dibiarkan disana berlama-lama?”

“Nggak enak sama bu Riri.. kayaknya dia sayang banget sama Ayna..”

“Mengapa mas nggak mau menelpon dia ?”

“Ayo kita kerumah tante saja..”

“Waaah, itu aku suka.. “

“Nanti Nanda menelpon kamu, mengajak kamu pergi kemana.. gitu.”

“Kalau dia menelpon, kita ajak dia kesana. Tapi aku tahu maksud kamu mas. Kamu mau minta tante agar memanggil Ayna pulang kan?”

“Nggak, ngawur kamu.”

“Dengar mas, disana ada cowok ganteng yang tampaknya sangat perhatian sama Ayna. Kalau Ayna terpikat beneran sama dia, baru mas tahu rasa.”

Bintang diam. Bisa saja hal itu terjadi kan ?  Rasa khawatir itu terus menghantuinya, lalu diambilnya ponselnya. Ia harus menelpon Ayna.

Tapi Ayna tidak mengangkat panggilannya. Bintang duduk dengan lesu.

“Mengapa? Tidak diangkat ? Kalau aku jadi mas, aku berangkat kesana, dan ajak dia pulang. Mengapa pakai sungkan segala? Sudah sejak kemarin dia disana. Masa belum cukup juga kangennya bu Riri sama dia?”

“Kalau mas tidak mau, ayo kesana sama aku. Masa nggak mau diajak pulang,” lanjut Bulan.

Bulan si tukang nekat, pemberani dan sedikit galak. Tapi apa yang dikatakannya membuat semangat Bintang tiba-tiba terbit. Ia merasa memang harus melakukannya.

“Ayo, tunggu apa lagi ?”

“Baiklah, tapi kamu nggak usah ikut.”

“Yaaa.... kenapa?” tanya Bulan kecewa.

“Nanti kamu bikin rusak suasana.”

“Aku ini mas.. seandainya ikut, hanya ingin ngebelain mas.. bukan mau bikin rusak suasana.”

“Memangnya perang, harus dibelain segala?”

“Memang perang sih, memperebutkan sebuah cinta.. dan itu berat.”

“Sok tahu ah.”

“Ayo bilang aku anak kecil... bilaang.. tak gelitikin baru kapok..”

Bintang tertawa. Bagaimanapun adiknya ini terkadang kocak dan menggemaskan. Tak mau kalah, tapi dia sangat penurut kepada kakaknya. Bintang suka sekali mengacak-acak kepala adiknya, lalu membuatnya kesal karena rambut ikalnya jadi awut-awutan.

Bintang bangkit, lalu sambil berlalu mengacak kepala Bulan terlebih dulu, membuat adiknya berteriak-teriak.

“Iih... mas Bintang !!”

***

“Bulan.. kamu sama siapa?” tanya Tanti ketika tiba-tiba Bulan muncul dirumahnya.

“Sendiri..” jawab Bulan sambil mencium perut tantenya.

“Kirain sama Nanda.”

“Nggak tahu tante, belum bangun ‘kali.”

“Masa jam segini belum bangun?”

“Nggak tahu,  Bulan sendirian dirumah, jadi kesini saja deh.. Simbah mana?”

“Tuh, dibelakang. Memangnya pada pergi kemana kok kamu sendirian?”

“Bapak sama ibu ke kondangan. Mas Bintang .. kayaknya nyamperin Ayna dirumah bu Riri.”

“Oh, ya ampun.. iya, Ayna masih disana. Kelihatannya bu Riri kangen banget sama Ayna, ya sudah biar saja disana sehari. Kasihan..”

“Mas Bintang kangen dong tan..”

“Yaaahhh.. cuma sehari nggak ketemu aja kangen.”

“Tante kayak nggak pernah muda saja,” kata Bulan yang terus nyelonong kedalam. Dilihatnya Danang sedang menonton televisi.

“Oom.. wah, pada kesepian ya, nggak ada Ayna ?” sapa Bulan.

“Iya nih, yang suka berkicau berkurang satu, jadi nggak rame, tapi karena kamu datang, jadi rame lagi nih,” seloroh Danang.

“Enak aja, memangnya aku burung,” protes Tanti.

“Om Danang ada-ada saja. Simbah mana?”

“Siapa nyari simbah? Ini.. simbah disini..”

“Saya mbah, lagi ngapain  nih ?” tanya Bulan sambil masuk kekamaar bu Suprih.

“Lagi.. ini.. njahit baju simbah.. jahitannya lepas..”

“Ya ampun mbah, itu masukin benang ke jarumnya bisa nggak?”

“Iya nak, tolongin deh.. dari tadi benangnya lepas terus.”

“Waah.. simbah.. baju sobek kenapa nggak dibuang saja?”

“Jangan, tadi Tanti juga bilang begitu, mau digantiin yang baru. Tapi ini baju yang dulu dibelikan mbah kakung untuk saya.. sayang dong kalau dibuang.”

Bulan tertawa ngakak.

“Baju dari mbah kakung? Masih disimpan ? Sudah berapa tahun?”

“Sudah empat puluhan tahun lebih.. jangan tertawa kamu ini. Ini pemberian yang tak ternilai.  Sudah, cepat masukkan benangnya,” kata bu Suprih sambil terus memegangi bajunya.

“Iya mbah, aduuh.. jadi nggak masuk-masuk mbah.. habisnya Bulan pengin tertawa terus.”

“Makanya jangan mentertawai simbah. Namanya cinta itu tak berbatas.. sampai simbah nanti meninggal, cinta mbah kakung masih terbawa oleh simbah.”

“Duuh.. gitu ya yang namanya cinta?”

“Iya, kamu juga, besok kalau sudah menikah, juga harus mencintai suami kamu selamanya.”

“Do’akan ya mbah, dapat suami yang baik, ganteng, setia, dan sayang sama Bulan.”

“Iya.. pasti simbah do’akan. “

“Ini mbah, sudah benangnya... Mana sih mbah yang sobek, biar Bulan yang jahit.”

“Ini bukan sobek, tapi lepas jahitannya. Biar simbah sendiri..  kalau njahit sih masih bisa, tapi kalau masukin benang ke jarumnya ini yang susah.”

“Ya sudah, Bulan kedepan ya, nanti kalau masih mau masukin benang lagi, panggil Bulan ya.”

“Ya .. cantik.”

Bulan masih tertawa-tawa ketika keluar dari kamar bu Suprih.

“Ini minum kamu, Bulan, kenapa tertawa-tawa? Ngelihat simbah menjahit baju kesayangannya ya?”

“Ngelihat simbah masukin benang ke jarumnya, nggak masuk-masuk.. “

“Itu baju kesayangan simbah, sudah aku suruh buang saja, nggak mau, karena itu kenangan dari almarhum mbah kakung.”

“Indah ya.. yang namanya cinta ?”

“Sangat indah..”

“Seperti cinta om sama tante kamu ini,” kata Danang yang tiba-tiba mendekat lalu memeluk isterinya.

“Iya, harus dong om.”

“Bulan...!”

Semuanya menoleh kearah pintu. Nanda sudah berdiri disana.

“Tuh kan, itu juga namanya cinta.. tahu aja dia kalau kesayangannya ada disini,” seloroh Danang.

“Baunya udah ketahuan mas.”

“Eeh.. emangnya aku bau ?” sergah Bulan dengan cemberut.

“Bau wangi.. duuh, jangan marah dulu dong.”

“Kok tahu bahwa aku disini ?” tanya Bulan.

“Ya tahu lah, kan aku sudah bilang karena baunya.. Eh, mana Ayna? Belum pulang ya? Atau sudah jalan sama Bintang?”

 “Tuuh.. Ayna lagi yang dicari..”

“Ayna masih dirumah bu Riri. Kata Bulan Bintang kesana siang ini.”

“Oh.. syukurlah, biar dia nggak uring-uringan lagi.”

“Masa sih, Bintang bisa marah?”

“O.. kalau so’al pacar digangguin, dia bisa keluar taring mbak.”

Tanti dan Danang tertawa.

“Aku bilangin nanti sama mas Bintang..”

“Eeeh.. jangaaan.. takuuut..”

“Lalu Bulan melempar Nanda dengan bantalan sofa yang semula disandarinya.”

“Nih kalau keluar galaknya mbak, bagaimana kalau besok Nanda dilempar piring?”

“Ya enggak lah kalau piring, sayang kalau pecah.”

“Bukan sayang kalau orangnya luka nih?”

“Kasih tahu nggak ya...” kata Bulan kemayu.

“Ngga usah, aku sudah tahu jawabnya.”

“Masak apa mbak, lapar nih..” lanjut Nanda.

“Hiih, malu-maluin, datang-datang bilang lapar..” ejek Bulan.

“Kangen masakan mbak Tanti ...”

“Iya, nanti makan disini rame-rame.. tapi nggak masak enak lho ini, cuma ada pecel sama sayur asem pakai jagung.”

“Naah, itu aku suka..”

***

“Lho, Rio.. kok cepet sekali pulang, nggak ketemu Arsi?” tanya bu Tarni.

“Nggak, dia sakit.” Jawab Rio sambil duduk diantara ibunya dan Ayna.

Keduanya sedang membuat puding buah. Puding itu sudah jadi dan sekarang Ayna sedang mengiris buah.

“Kok disini buat pudingnya,” kata Rio ketika melihat mereka asyik membuat puding diruang tamu.

“Sambil melihat acara televisi, tadi ada film bagus,” kata bu Tarni.

“Hm.. segar sekali baunya..” celetuk Rio sambil memungut potongan puding.

“Eeeh, belum cuci tangan sudah main comot saja,” tegur bu Tarni.

“Tanganku bersih bu.. hm.. enak.. manis kayak yang buat,” kata Rio sambil melirik kearah Ayna.

Ayna diam saja, meneruskan mengiris-iris buah nanas yang harumnya menusuk selera.

“Mana biar aku saja, aku juga bisa..” kata Rio sambil berusaha mengambil pisau dari tangan Ayna, tapi Ayna mempertahankan pisau itu, sehingga tangan Rio teriris.

“Aauuh...” pekik Rio sambil memegangi tangannya yang berdarah.

Ayna terkejut.

“Ma’af.. ma’af..”

Bu Tarni berlari mengambil kotak PPPK.

Ayna mengambil kapas, lalu membersihkan jari Rio yang berdarah. Menekannya agar darahnya berhenti keluar.

Ketika itulah tiba-tiba Bintang muncul. Tertegun dia didepan pintu.

***

Besok lagi ya

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...