JANGAN PERGI 38
(Tien Kumalasari)
Ratri terpana. Ia menatap ibunya.
Dua-duanya ditatapnya bergantian, lalu Listi. Semuanya menganggukkan kepala,
artinya meminta agar Ratri menuruti kemauan bu Listyo.
“Tolong jangan pergi,” lirih bu
Listyo.
Ratri membalikkan tubuhnya, melihat
Radit meronta, dipegangi teman-teman dokternya. Ia setengah berlari mendekat,
lalu memegangi salah satu tangannya.
“Mas Radit, aku tidak ke mana-mana,”
bisiknya. Tapi bisikan itu membuat Radit berhenti meronta.
“Ratri?”
“Aku akan di sini.”
Para dokter melepaskan pegangannya,
dan salah seorang suster kembali memasang infusnya.
“Ratri?”
“Aku ada di sini,” katanya sambil
menepuk-nepuk tangan Radit.
“Ternyata obatnya ada di sini,”
celetuk salah seorang teman dokter yang ikut menangani.
“Tidak terlalu sulit, kalau hati
sudah bertaut.”
“Sembuh Dit !!” sambut yang lain,
kemudian mereka bubaran.
Radit hanya diam, melihat mereka
pergi satu persatu, tinggal dua orang perawat yang masih sibuk memasang lagi
infusnya.
Radit terus memandangi Ratri yang
berlinang air mata sambil masih memegangi tangannya.
“Jangan pergi …” bisiknya
“Aku di sini, tidurlah.”
“Aku ingin terus memandangi kamu.”
Ratri mencubit pelan punggung tangan
Radit. Ada senyum terulas di bibir pucat itu. Senyum yang penuh rasa, yang tak
bisa dilukiskannya. Maklumlah, ada tambatan hati menemani. Akankah sang ibu
merestui?
Diatas sofa, bu Listyo masih sibuk
mengusap air matanya. Entah apa yang dirasakannya. Bayangan orang-orang yang
baru saja meninggalkan ruangan itu kembali melintas, lalu terpaku kepada
bayangan salah satunya, yang dikenalkannya sebagai ibu kandung Ratri. Benarkah wanita itu kurang waras? Tatapannya begitu lembut, seperti Ratri. Kata-katanya
tertata dan santun. Genggaman tangannya hangat, bersahabat. Lalu bu Listyo
menatap ke arah ranjang, melihat Radit begitu tenang, dan sebelah tangannya
bergenggaman dengan tangan Ratri. Gadis yang selalu disebut-sebut namanya
dengan rintihan memelas.
Akankah Radit bahagia bersama gadis
pujaannya? Ya iyalah, pastinya. Bagaimana seorang ibu bisa tidak begitu peka
menangkap idaman anak satu-satunya? Idaman yang tidak menyimpang, tidak perlu
diluruskan, karena mata hati tak pernah bohong.
Bu Listyo mengusap air matanya. Lalu
berdiri serta melangkah mendekati keduanya.
“Apa kamu bahagia?” bisiknya sambil
mengelus kepala anaknya.
“Ibu, bahagia Radit adalah dia.”
Bu Listyo mengelus punggung Ratri
lembut.
“Selalu bahagiakan dia, dia
satu-satunya milikku yang berharga.”
Ratri tersenyum, kembali menitikkan
air mata. Apakah bahagia sudah sampai di muaranya?
Tiba-tiba sebuah ketukan terdengar,
bibik membuka pintu dan seseorang muncul, langsung menghambur ke arah ranjang,
dimana Radit masih berpegangan tangan.
“Mas Radit? Mas Radit kenapa?”
Ratri melepaskan tangannya, mengusap
air matanya lalu mundur, membiarkan Dian mendekati Radit.
“Mas Dian?”
Bu Listyo menatap heran, ia belum
pernah melihat Dian. Dian kemudian sadar diri, meraih tangan bu Listyo dan
menciumnya.
“Saya Dian Bu, sahabat mas Radit dan
Ratri.”
“Oh, baiklah. Biar ibu ke sana dulu,”
katanya sambil pergi menjauh, sambil mengusap sisa air matanya.
Dian kembali menghadapi Radit.
“O, begini ya caranya Mas? Sesambat
tentang Ratri, aku sampai ikut mikir, ee… ternyata sudah lengket kembali? Atau
… apakah ini perpisahan? Baiklah, Ratri, aku punya teman, gadis, cantik, akan
aku perkenalkan dia sama mas Radit, dan pasti mas Radit suka, karena dia sangat
menarik, dan seksi, tapi dia baik kok. Kasihan aku sama mas Radit kalau kamu
meninggalkannya,” seloroh Dian yang kemudian membuat Ratri memukul lengannya.
Dian terbahak. Keras sekali, membuat
bu Listyo dan bibik yang duduk di sofa menatap ke arah mereka.
“Mas Dian, aku tidak mau gadis cantik seksi yang akan mas Dian kenalkan, aku mau yang ini, cantik, sederhana,
menggemaskan. Pakai pura-pura ingin putus hubungan, padahal dia cinta mati sama
aku,” kata Radit pelan. Ratri mengangkat tangannya, ingin memukul Radit, tapi
diurungkannya. Masa sudah sakit mau disakiti lagi sih?
Radit belum bisa tertawa keras.
Dadanya agak terasa sesak, tapi matanya tampak berseri.
“Ya sudah, berarti besok aku bisa
kembali ke Jakarta dengan perasaan tenang. Tadi aku hampir membatalkan tiket
aku gara-gara mendengar mas Radit kecelakaan,” kata Dian.
“Mbak Listi mengabari kamu?” tanya
Ratri.
“Bukan, aku ke rumah mas Radit.
Tetangganya yang memberi tahu. Kamu sih, tidak mengabari aku kalau ada kejadian
seperti ini.”
“Dia sibuk menangisi aku,” kata Radit
sambil tertawa.
Ratri mencubit lengan Radit, pelan.
Lalu Radit bercerita tentang kejadian
yang menimpanya, dan membuat Radit harus dirawat.
“Maafkan aku,” kata Ratri pelan.
“Pasti itu bukan kemauan kamu. Listi,
ya kan?” tebak Dian.
“Aku bersyukur, mbak Listi mau
menerima ibu kandungnya.”
Tiba-tiba ponsel Dian berdering.
“Maaf,” kata Dian sambil mengangkat
ponselnya.
“Mas, lagi di mana?” suara dari
seberang.
“Ini, lagi di rumah sakit.”
“Siapa yang sakit?”
“Mas Radit kecelakaan.”
“Ya Allah, kecelakaan di mana, dan
bagaimana keadaannya?”
“Masih dirawat. Ada apa?”
“Ya sudah kalau sedang membezoek pak
Radit, Arin yang menanyakannya.”
“Iya, sebentar lagi aku kesana.”
“Pasti dari bu Dewi,” kata Ratri setelah Dian menyimpan ponselnya.
“Arina. Tapi baiklah, aku harus
segera pergi, mas Radit cepat pulih ya.”
“Terima kasih perhatiannya. Salam
untuk bu Dewi,” kata Radit.
Dian mengangguk, lalu melangkah
keluar dari ruangan Radit, setelah berpamit kepada bu Listyo.
***
Listi mengajak bu Cipto ke rumahnya,
setelah mereka meninggalkan Ratri di rumah sakit. Mereka berbincang tentang
sikap orang tua Radit, yang tampaknya sudah bisa menerima Ratri setelah melihat
keinginan Radit yang selalu memanggil-manggil Ratri dalam sakitnya.
“Tampaknya hubungan mereka membaik,”
gumam bu Cipto dengan wajah berseri.”
“Tadinya tidak suka karena saya,”
kata Tijah lirih.
“Bukan. Memang keluarga orang berada
selalu banyak pertimbangan dalam memilih siapa yang harus menjadi keluarganya.
Tadinya Ratri memang sudah ragu-ragu, mengingat orang tuanya hanya pensiunan
guru yang sederhana. Dia merasa tidak sepadan dengan nak Radit yang putra dari keluarga
terpandang. Dan itu dipikirkan Ratri sejak lama.”
“Ratri gadis baik, dan itu karena
didikan dari bu Cipto sejak dia masih kanak-kanak. Saya bersyukur dan berterima
kasih untuk Ibu.”
“Bukan begitu. Bukankah setiap orang
tua selalu mendidik anaknya untuk menjadi baik?”
“Benar, dan saya menyesal tidak punya
kesempatan untuk itu. Ketika bertemu dan berkumpul, mereka sudah menjadi
dewasa, dan keduanya memiliki perilaku berbeda.”
“Tapi perilaku baik dimiliki oleh
keduanya. Buktinya sekarang Listi bisa menerima Ibu Tijah dan Ratri sebagai
keluarganya, begitu menyayangi dan menjaganya. Dan itu karena darah yang
dimiliki adalah darah dari seorang ibu yang baik seperti bu Tijah,” kata bu
Cipto yang tak ingin melihat bu Tijah kecewa.
“Benarkah?”
“Tentu saja benar.”
“Saya juga bersyukur, di hari tua
saya, saya bisa merasakan kebahagiaan ini. Berkumpul bersama anak-anak saya,
dan memiliki saudara sebaik Ibu,” kata bu Tijah sambil menepuk punggung tangan
bu Cipto.
“Saya juga bersyukur, kita bisa
bertemu dalam suasana hangat seperti ini. Saya tidak akan kesepian, ketika
nanti Ratri sudah menikah dan dibawa suaminya.”
“Tapi saya prihatin, Listi tidak mau
menikah lagi.”
“Apa yang dilaluinya di saat lalu,
membuatnya memutuskan hal itu. Tapi kan itu baru sekilas diucapkannya. Siapa
tahu pada suatu hari nanti, Allah memberikan jodoh yang baik untuk Listi.”
“Aamiin.”
Ketika kedua ibu itu berbincang di
teras, Listi sedang termenung di kamarnya. Ada penyesalan di dalam hatinya,
atas semua yang dilakukannya di masa lalu. Dulu hanya ingin bersenang-senang,
dan tidak ingin repot dengan mengasuh anak, sekarang semua itu terjadi, dia
tidak akan bisa memiliki anak. Vonis dokter itu selalu diingatnya, dan membekas
sampai sekarang. Apalagi ketika melihat bekas suaminya begitu dekat dengan
seorang anak kecil yang begitu manja terhadapnya. Ada perih mengiris dihatinya.
Hanya saja Listi wanita yang berhati keras. Dengan senyuman yang selalu tersungging
di bibirnya, ia tak pernah menampakkan rasa sesal dan kecewa itu, sementara dia
adalah manusia biasa yang punya hati dan rasa. Lalu sore itu ia melihat betapa
kentalnya sebuah cinta antara Ratri dan Radit, bekas pacarnya. Pasti indah
rasanya, karena dia pernah mengalaminya.
Listi menghela napas panjang.
Tampaknya ia memang tak ingin menikmati indahnya berumah tangga, karena ia
merasa bahagianya sudah sempurna dengan hidup bersama ibu kandungnya. Biarlah
Ratri menemukan kebahagiaannya sendiri. Ia berhak menemukannya. Ia lega ketika
siang tadi di rumah sakit, bu Listyo bersikap baik dan mungkin semakin baik
sekarang, setelah menyadari cinta Radit yang begitu besar.
“Aku akan selalu menjagamu Ratri. Tak
akan aku ijinkan siapapun menyakiti kamu,” bisiknya.
Hari sudah temaram senja. Ia tahu
kedua ibu yang tampak akrab itu sudah mandi, sedangkan dirinya belum. Ia
melongok ke arah jendela, menatap remang yang mulai melingkupi alam. Lalu ia
menutup jendela itu dan melangkah keluar.
“Kamu belum mandi?” tegur ibunya
ketika melihat Listi masih mengenakan pakaian yang tadi dikenakannya.
Listi tersenyum, tersipu.
“Iya, Bu, ini mau mandi. Hanya ingin
memberi tahu Ibu, bahwa sebentar lagi kita akan mencari makan, sambil beli
makanan untuk Ratri, siapa tahu dia kelaparan di rumah sakit, karena lupa makan
setelah bertemu dengan kekasihnya,” kata Listi.
“Baiklah, terserah kamu saja. Kami
akan ganti pakaian, dan kamu harus segera mandi,” kata Sutijah.
“Kita akan berangkat setelah maghrib,”
kata Listi sambil beranjak ke belakang.
***
Bu Listyo hanya duduk di sofa
ditemani bibik, membiarkan Radit dan Ratri berdua. Radit sudah tertidur, tapi
tangannya masih menggenggam erat tangan Ratri.
Bu Listyo mendekat, karena merasa
kasihan melihat Ratri, yang pastinya kelelahan.
“Ratri, bukannya mengusir, tapi
apakah kamu tidak ingin pulang dulu? Biarlah bibik menunggui Radit.”
“Ratri mau shalat dulu Bu.”
“Oh, baiklah. Tapi kamu boleh pulang
setelah shalat, kamu pasti capek.”
“Ratri jangan pergi,” tiba-tiba Radit
membuka matanya, dan mempererat genggaman tangannya.
“Mas, aku mau ke mushala dulu ya,
nanti aku kembali kemari.”
“Benar?”
“Benar.”
“Ratri kan capek Dit, biarlah dia
pulang dulu untuk beristirahat.”
“Sebentar lagi ya Tri?” Radit masih
menawar.
“Bu, Ibu saja yang pulang dulu, biar
saya menjaga mas Radit sebentar lagi. Saya akan pulang setelah ibu kembali. Ibu
juga pasti capek.”
“Baiklah kalau begitu, sekalian
membelikan makanan untuk kamu. Sekarang shalat dulu saja. Aku sama bibik
menunggu di sini.”
Ratri mengangguk, lalu bergegas
keluar untuk menuju mushala. Bu Listyo mendekati anaknya.
“Radit, apa kamu yakin akan
memperistrikan dia?” tanya bu Listyo hati-hati.
“Radit hanya mau dia. Radit sangat
mencintainya.”
Bu Listyo mengangguk.
“Apa ibu ragu-ragu?”
“Tidak.”
“Kalau begitu restuilah kami. Ratri
tidak mau menerima Radit, kalau ibu tidak memberi restu.”
“Akan ibu pikirkan.”
“Mengapa Ibu masih harus
memikirkannya?”
“Ibu harus bicara dulu sama Ratri,
tapi tidak sekarang. Menunggu kamu sembuh dulu.”
Radit mengerti. Ia yakin tidak mudah
meluluhkan hati Ratri, karena dia selalu merasa tidak pantas bersanding dengan
dirinya. Tapi Radit akan terus meyakinkannya, bahwa dia mencintai bukan karena
dia anak siapa, tapi karena memang dia pantas dicintai.
***
Ternyata Listi dan kedua ibunya
datang sebelum bu Listyo kembali. Listi juga membawakan baju ganti untuk Ratri,
dan menyuruhnya mandi.
“Mandi dulu, tak akan ada yang mau
menculik pacar kamu selama kamu mandi,” seloroh Listi sambil menyerahkan baju
ganti.
Ratri menerimanya dan tersenyum
manis.
“Terima kasih Mbak,” katanya sambil
berdiri, membawa baju yang diberikan Listi, ke kamar mandi.
“Kamu senang, Ratri sudah mau
menunggui kamu?” kata Listi yang menggantikan duduk di samping Radit.
“Kamu kan tahu, bahwa aku sangat
mencintai dia.”
“Apa ibu kamu akan setuju? Aku
melihat dia menyakiti Ratri ketika membawa rendang ke rumah kamu.”
Radit menatap Listi, tak menjawab.
“Aku ada di sana ketika itu. Sakit
hati aku melihat adikku disakiti.”
“Maaf, hal itu tak akan terulang
lagi.”
“Kamu yakin?”
“Kamu harus pecaya sama aku.”
“Aku ikhlas Ratri bersamamu, tapi kalau
sekali saja kamu menyakitinya, aku akan membalas kamu,” ancam Listi tanpa tahu
balasan apa yang bisa dilakukannya. Pokoknya mengancam deh, kata batin Listi.
“Aku janji.”
***
Dian dan Dewi sedang duduk di sebuah
bangku, membiarkan Arina bermain di arena bermain. Mereka terpaksa berangkat
agak malam, karena Dian ada di rumah sakit sampai sore.
“Dewi, aku ingin segera melamar kamu.”
Dewi menatap Dian.
“Dan aku akan segera membawa kamu ke
Jakarta.”
“Bolehkah aku mengatakan sesuatu?”
“Boleh saja. Apa itu?”
“Aku kasihan sama Listi. Entah
kenapa, sungguh aku merasa kasihan.”
“Lalu?”
“Bagaimana kalau mas juga menikahinya
nanti?”
Dian terlonjak kaget mendengar
permintaan Dewi.
***
Besok lagi ya.