Wednesday, November 30, 2022

JANGAN PERGI 38

 

JANGAN PERGI  38

(Tien Kumalasari)        

 

Ratri terpana. Ia menatap ibunya. Dua-duanya ditatapnya bergantian, lalu Listi. Semuanya menganggukkan kepala, artinya meminta agar Ratri menuruti kemauan bu Listyo.

“Tolong jangan pergi,” lirih bu Listyo.

Ratri membalikkan tubuhnya, melihat Radit meronta, dipegangi teman-teman dokternya. Ia setengah berlari mendekat, lalu memegangi salah satu tangannya.

“Mas Radit, aku tidak ke mana-mana,” bisiknya. Tapi bisikan itu membuat Radit berhenti meronta.

“Ratri?”

“Aku akan di sini.”

Para dokter melepaskan pegangannya, dan salah seorang suster kembali memasang infusnya.

“Ratri?”

“Aku ada di sini,” katanya sambil menepuk-nepuk tangan Radit.

“Ternyata obatnya ada di sini,” celetuk salah seorang teman dokter yang ikut menangani.

“Tidak terlalu sulit, kalau hati sudah bertaut.”

“Sembuh Dit !!” sambut yang lain, kemudian mereka bubaran.

Radit hanya diam, melihat mereka pergi satu persatu, tinggal dua orang perawat yang masih sibuk memasang lagi infusnya.

Radit terus memandangi Ratri yang berlinang air mata sambil masih memegangi tangannya.

“Jangan pergi …” bisiknya

“Aku di sini, tidurlah.”

“Aku ingin terus memandangi kamu.”

Ratri mencubit pelan punggung tangan Radit. Ada senyum terulas di bibir pucat itu. Senyum yang penuh rasa, yang tak bisa dilukiskannya. Maklumlah, ada tambatan hati menemani. Akankah sang ibu merestui?

Diatas sofa, bu Listyo masih sibuk mengusap air matanya. Entah apa yang dirasakannya. Bayangan orang-orang yang baru saja meninggalkan ruangan itu kembali melintas, lalu terpaku kepada bayangan salah satunya, yang dikenalkannya sebagai ibu kandung Ratri. Benarkah wanita itu kurang waras? Tatapannya begitu lembut, seperti Ratri. Kata-katanya tertata dan santun. Genggaman tangannya hangat, bersahabat. Lalu bu Listyo menatap ke arah ranjang, melihat Radit begitu tenang, dan sebelah tangannya bergenggaman dengan tangan Ratri. Gadis yang selalu disebut-sebut namanya dengan rintihan memelas.

Akankah Radit bahagia bersama gadis pujaannya? Ya iyalah, pastinya. Bagaimana seorang ibu bisa tidak begitu peka menangkap idaman anak satu-satunya? Idaman yang tidak menyimpang, tidak perlu diluruskan, karena mata hati tak pernah bohong.

Bu Listyo mengusap air matanya. Lalu berdiri serta melangkah mendekati keduanya.

“Apa kamu bahagia?” bisiknya sambil mengelus kepala anaknya.

“Ibu, bahagia Radit adalah dia.”

Bu Listyo mengelus punggung Ratri lembut.

“Selalu bahagiakan dia, dia satu-satunya milikku yang berharga.”

Ratri tersenyum, kembali menitikkan air mata. Apakah bahagia sudah sampai di muaranya?

Tiba-tiba sebuah ketukan terdengar, bibik membuka pintu dan seseorang muncul, langsung menghambur ke arah ranjang, dimana Radit masih berpegangan tangan.

“Mas Radit? Mas Radit kenapa?”

Ratri melepaskan tangannya, mengusap air matanya lalu mundur, membiarkan Dian mendekati Radit.

“Mas Dian?”

Bu Listyo menatap heran, ia belum pernah melihat Dian. Dian kemudian sadar diri, meraih tangan bu Listyo dan menciumnya.

“Saya Dian Bu, sahabat mas Radit dan Ratri.”

“Oh, baiklah. Biar ibu ke sana dulu,” katanya sambil pergi menjauh, sambil mengusap sisa air matanya.

Dian kembali menghadapi Radit.

“O, begini ya caranya Mas? Sesambat tentang Ratri, aku sampai ikut mikir, ee… ternyata sudah lengket kembali? Atau … apakah ini perpisahan? Baiklah, Ratri, aku punya teman, gadis, cantik, akan aku perkenalkan dia sama mas Radit, dan pasti mas Radit suka, karena dia sangat menarik, dan seksi, tapi dia baik kok. Kasihan aku sama mas Radit kalau kamu meninggalkannya,” seloroh Dian yang kemudian membuat Ratri memukul lengannya.

Dian terbahak. Keras sekali, membuat bu Listyo dan bibik yang duduk di sofa menatap ke arah mereka.

“Mas Dian, aku tidak mau gadis cantik seksi yang akan mas Dian kenalkan, aku mau yang ini, cantik, sederhana, menggemaskan. Pakai pura-pura ingin putus hubungan, padahal dia cinta mati sama aku,” kata Radit pelan. Ratri mengangkat tangannya, ingin memukul Radit, tapi diurungkannya. Masa sudah sakit mau disakiti lagi sih?

Radit belum bisa tertawa keras. Dadanya agak terasa sesak, tapi matanya tampak berseri.

“Ya sudah, berarti besok aku bisa kembali ke Jakarta dengan perasaan tenang. Tadi aku hampir membatalkan tiket aku gara-gara mendengar mas Radit kecelakaan,” kata Dian.

“Mbak Listi mengabari kamu?” tanya Ratri.

“Bukan, aku ke rumah mas Radit. Tetangganya yang memberi tahu. Kamu sih, tidak mengabari aku kalau ada kejadian seperti ini.”

“Dia sibuk menangisi aku,” kata Radit sambil tertawa.

Ratri mencubit lengan Radit, pelan.

Lalu Radit bercerita tentang kejadian yang menimpanya, dan membuat Radit harus dirawat.

“Maafkan aku,” kata Ratri pelan.

“Pasti itu bukan kemauan kamu. Listi, ya kan?” tebak Dian.

“Aku bersyukur, mbak Listi mau menerima ibu kandungnya.”

Tiba-tiba ponsel Dian berdering.

“Maaf,” kata Dian sambil mengangkat ponselnya.

“Mas, lagi di mana?” suara dari seberang.

“Ini, lagi di rumah sakit.”

“Siapa yang sakit?”

“Mas Radit kecelakaan.”

“Ya Allah, kecelakaan di mana, dan bagaimana keadaannya?”

“Masih dirawat. Ada apa?”

“Ya sudah kalau sedang membezoek pak Radit, Arin yang menanyakannya.”

“Iya, sebentar lagi aku kesana.”

“Pasti dari bu Dewi,” kata Ratri setelah Dian menyimpan ponselnya.

“Arina. Tapi baiklah, aku harus segera pergi, mas Radit cepat pulih ya.”

“Terima kasih perhatiannya. Salam untuk bu Dewi,” kata Radit.

Dian mengangguk, lalu melangkah keluar dari ruangan Radit, setelah berpamit kepada bu Listyo.

***

Listi mengajak bu Cipto ke rumahnya, setelah mereka meninggalkan Ratri di rumah sakit. Mereka berbincang tentang sikap orang tua Radit, yang tampaknya sudah bisa menerima Ratri setelah melihat keinginan Radit yang selalu memanggil-manggil Ratri dalam sakitnya.

“Tampaknya hubungan mereka membaik,” gumam bu Cipto dengan wajah berseri.”

“Tadinya tidak suka karena saya,” kata Tijah lirih.

“Bukan. Memang keluarga orang berada selalu banyak pertimbangan dalam memilih siapa yang harus menjadi keluarganya. Tadinya Ratri memang sudah ragu-ragu, mengingat orang tuanya hanya pensiunan guru yang sederhana. Dia merasa tidak sepadan dengan nak Radit yang putra dari keluarga terpandang. Dan itu dipikirkan Ratri sejak lama.”

“Ratri gadis baik, dan itu karena didikan dari bu Cipto sejak dia masih kanak-kanak. Saya bersyukur dan berterima kasih untuk Ibu.”

“Bukan begitu. Bukankah setiap orang tua selalu mendidik anaknya untuk menjadi baik?”

“Benar, dan saya menyesal tidak punya kesempatan untuk itu. Ketika bertemu dan berkumpul, mereka sudah menjadi dewasa, dan keduanya memiliki perilaku berbeda.”

“Tapi perilaku baik dimiliki oleh keduanya. Buktinya sekarang Listi bisa menerima Ibu Tijah dan Ratri sebagai keluarganya, begitu menyayangi dan menjaganya. Dan itu karena darah yang dimiliki adalah darah dari seorang ibu yang baik seperti bu Tijah,” kata bu Cipto yang tak ingin melihat bu Tijah kecewa.

“Benarkah?”

“Tentu saja benar.”

“Saya juga bersyukur, di hari tua saya, saya bisa merasakan kebahagiaan ini. Berkumpul bersama anak-anak saya, dan memiliki saudara sebaik Ibu,” kata bu Tijah sambil menepuk punggung tangan bu Cipto.

“Saya juga bersyukur, kita bisa bertemu dalam suasana hangat seperti ini. Saya tidak akan kesepian, ketika nanti Ratri sudah menikah dan dibawa suaminya.”

“Tapi saya prihatin, Listi tidak mau menikah lagi.”

“Apa yang dilaluinya di saat lalu, membuatnya memutuskan hal itu. Tapi kan itu baru sekilas diucapkannya. Siapa tahu pada suatu hari nanti, Allah memberikan jodoh yang baik untuk Listi.”

“Aamiin.”

Ketika kedua ibu itu berbincang di teras, Listi sedang termenung di kamarnya. Ada penyesalan di dalam hatinya, atas semua yang dilakukannya di masa lalu. Dulu hanya ingin bersenang-senang, dan tidak ingin repot dengan mengasuh anak, sekarang semua itu terjadi, dia tidak akan bisa memiliki anak. Vonis dokter itu selalu diingatnya, dan membekas sampai sekarang. Apalagi ketika melihat bekas suaminya begitu dekat dengan seorang anak kecil yang begitu manja terhadapnya. Ada perih mengiris dihatinya. Hanya saja Listi wanita yang berhati keras. Dengan senyuman yang selalu tersungging di bibirnya, ia tak pernah menampakkan rasa sesal dan kecewa itu, sementara dia adalah manusia biasa yang punya hati dan rasa. Lalu sore itu ia melihat betapa kentalnya sebuah cinta antara Ratri dan Radit, bekas pacarnya. Pasti indah rasanya, karena dia pernah mengalaminya.

Listi menghela napas panjang. Tampaknya ia memang tak ingin menikmati indahnya berumah tangga, karena ia merasa bahagianya sudah sempurna dengan hidup bersama ibu kandungnya. Biarlah Ratri menemukan kebahagiaannya sendiri. Ia berhak menemukannya. Ia lega ketika siang tadi di rumah sakit, bu Listyo bersikap baik dan mungkin semakin baik sekarang, setelah menyadari cinta Radit yang begitu besar.

“Aku akan selalu menjagamu Ratri. Tak akan aku ijinkan siapapun menyakiti kamu,” bisiknya.

Hari sudah temaram senja. Ia tahu kedua ibu yang tampak akrab itu sudah mandi, sedangkan dirinya belum. Ia melongok ke arah jendela, menatap remang yang mulai melingkupi alam. Lalu ia menutup jendela itu dan melangkah keluar.

“Kamu belum mandi?” tegur ibunya ketika melihat Listi masih mengenakan pakaian yang tadi dikenakannya.

Listi tersenyum, tersipu.

“Iya, Bu, ini mau mandi. Hanya ingin memberi tahu Ibu, bahwa sebentar lagi kita akan mencari makan, sambil beli makanan untuk Ratri, siapa tahu dia kelaparan di rumah sakit, karena lupa makan setelah bertemu dengan kekasihnya,” kata Listi.

“Baiklah, terserah kamu saja. Kami akan ganti pakaian, dan kamu harus segera mandi,” kata Sutijah.

“Kita akan berangkat setelah maghrib,” kata Listi sambil beranjak ke belakang.

***

Bu Listyo hanya duduk di sofa ditemani bibik, membiarkan Radit dan Ratri berdua. Radit sudah tertidur, tapi tangannya masih menggenggam erat tangan Ratri.

Bu Listyo mendekat, karena merasa kasihan melihat Ratri, yang pastinya kelelahan.

“Ratri, bukannya mengusir, tapi apakah kamu tidak ingin pulang dulu? Biarlah bibik menunggui Radit.”

“Ratri mau shalat dulu Bu.”

“Oh, baiklah. Tapi kamu boleh pulang setelah shalat, kamu pasti capek.”

“Ratri jangan pergi,” tiba-tiba Radit membuka matanya, dan mempererat genggaman tangannya.

“Mas, aku mau ke mushala dulu ya, nanti aku kembali kemari.”

“Benar?”

“Benar.”

“Ratri kan capek Dit, biarlah dia pulang dulu untuk beristirahat.”

“Sebentar lagi ya Tri?” Radit masih menawar.

“Bu, Ibu saja yang pulang dulu, biar saya menjaga mas Radit sebentar lagi. Saya akan pulang setelah ibu kembali. Ibu juga pasti capek.”

“Baiklah kalau begitu, sekalian membelikan makanan untuk kamu. Sekarang shalat dulu saja. Aku sama bibik menunggu di sini.”

Ratri mengangguk, lalu bergegas keluar untuk menuju mushala. Bu Listyo mendekati anaknya.

“Radit, apa kamu yakin akan memperistrikan dia?” tanya bu Listyo hati-hati.

“Radit hanya mau dia. Radit sangat mencintainya.”

Bu Listyo mengangguk.

“Apa ibu ragu-ragu?”

“Tidak.”

“Kalau begitu restuilah kami. Ratri tidak mau menerima Radit, kalau ibu tidak memberi restu.”

“Akan ibu pikirkan.”

“Mengapa Ibu masih harus memikirkannya?”

“Ibu harus bicara dulu sama Ratri, tapi tidak sekarang. Menunggu kamu sembuh dulu.”

Radit mengerti. Ia yakin tidak mudah meluluhkan hati Ratri, karena dia selalu merasa tidak pantas bersanding dengan dirinya. Tapi Radit akan terus meyakinkannya, bahwa dia mencintai bukan karena dia anak siapa, tapi karena memang dia pantas dicintai.

***

Ternyata Listi dan kedua ibunya datang sebelum bu Listyo kembali. Listi juga membawakan baju ganti untuk Ratri, dan menyuruhnya mandi.

“Mandi dulu, tak akan ada yang mau menculik pacar kamu selama kamu mandi,” seloroh Listi sambil menyerahkan baju ganti.

Ratri menerimanya dan tersenyum manis.

“Terima kasih Mbak,” katanya sambil berdiri, membawa baju yang diberikan Listi, ke kamar mandi.

“Kamu senang, Ratri sudah mau menunggui kamu?” kata Listi yang menggantikan duduk di samping Radit.

“Kamu kan tahu, bahwa aku sangat mencintai dia.”

“Apa ibu kamu akan setuju? Aku melihat dia menyakiti Ratri ketika membawa rendang ke rumah kamu.”

Radit menatap Listi, tak menjawab.

“Aku ada di sana ketika itu. Sakit hati aku melihat adikku disakiti.”

“Maaf, hal itu tak akan terulang lagi.”

“Kamu yakin?”

“Kamu harus pecaya sama aku.”

“Aku ikhlas Ratri bersamamu, tapi kalau sekali saja kamu menyakitinya, aku akan membalas kamu,” ancam Listi tanpa tahu balasan apa yang bisa dilakukannya. Pokoknya mengancam deh, kata batin Listi.

“Aku janji.”

***

Dian dan Dewi sedang duduk di sebuah bangku, membiarkan Arina bermain di arena bermain. Mereka terpaksa berangkat agak malam, karena Dian ada di rumah sakit sampai sore.

“Dewi, aku ingin segera melamar kamu.”

Dewi menatap Dian.

“Dan aku akan segera membawa kamu ke Jakarta.”

“Bolehkah aku mengatakan sesuatu?”

“Boleh saja. Apa itu?”

“Aku kasihan sama Listi. Entah kenapa, sungguh aku merasa kasihan.”

“Lalu?”

“Bagaimana kalau mas juga menikahinya nanti?”

Dian terlonjak kaget mendengar permintaan Dewi.

***

Besok lagi ya.

Tuesday, November 29, 2022

JANGAN PERGI 37

 

JANGAN PERGI  37

(Tien Kumalasari)

 

“Ya sudah Non, saya buru-buru nih,” kata bibik pembantu bu Listyo sambil membalikkan badan.

“Tunggu Bik, tunggu dulu,” Listi memegang lengannya.

“Ya Non?”

“Kecelakaan di mana?”

“Katanya menuju luar kota, menabrak pembatas jalan, mobilnya terguling, lalu pak Radit dibawa ke rumah sakit.”

“Bagaimana keadaannya?”

“Baru sadar pagi tadi, tapi nggak mau bicara sama ibu, ibu jadi sedih. Ya sudah Non.”

“Bik, di rumah sakit mana?”

“Rumah sakit pusat Non,” katanya sambil menjauh. Tampaknya ada taksi yang sedang menunggu.

“Ya Tuhan,” Listi menepuk keningnya.

“Kenapa Radityo masuk rumah sakit?”

“Katanya kecelakaan dua hari yang lalu. Kasihan, Listi yang jadi penyebabnya.”

“Mengapa kamu?”

“Dia mau ketemu Ratri, Listi mencegahnya, lalu Listi kabur bersama Ratri, Radit mengejarnya. Rupanya saat itulah dia kecelakaan. Mungkin tergesa-gesa, mungkin pikirannya kalut, lalu terjadilah kecelakaan itu.

“Mengapa kamu mencegah mereka bertemu?” tegur ibunya.

“Listi tidak suka, ibunya menghina Ratri. Memangnya hanya Radit laki-laki di dunia ini? Adikku kan cantik, pasti banyak yang suka. Aku akan carikan nanti, jodoh yang baik, bukan hanya orangnya, tapi juga orang tuanya harus baik. Sebel banget kalau ingat,” gerutu Listi sambil menggandeng ibunya menghampiri mobil.

“Kita ke rumah sakit?” tanya ibunya.

“Ngabarin Ratri dulu, mau nelpon nih.”

“Sebaiknya langsung saja, nanti dia kaget. Beda kalau bicara langsung, bicaralah dengan hati-hati.”

Listi mengangguk. Perasaan bersalah menggayuti dirinya.

“Pasti Ratri marah sama Listi,” gumamnya sambil  membukakan mobil untuk ibunya.

***

Ratri sedang membersihkan kamarnya, mumpung hari Minggu. Sudah lama dia tidak bersih-bersih, apalagi setelah dia memutuskan tidur di kamar ibunya.

Tiba-tiba ponselnya berdering.

“Dian lagi? Ada apa nih?” gumamnya sambil mengangkat ponselnya yang berada di luar kamar.

“Ya Dian?”

“Aduh, kenapa ya, aku menelpon pak Radit tidak juga diangkat?”

“Sibuk, barangkali. Lagian aku tuh sebenarnya pengin nanya sama kamu. Kalau sama mas Radit itu ya, kamu terkadang memanggil ‘pak’, lalu lain kali ‘mas’. Aneh deh.”

Dian tertawa. Iya sih, habis mas Radit juga selalu begitu, kadang panggil aku ‘pak’ lalu lain kali ‘mas’. Ya nggak apa-apa lah, kan cuma cara memanggil, yang penting maksudnya saling menghormati.”

“Kalau ‘pak’ itu kan kedengarannya sangat formal, begitu lhoh. ‘Mas’ lebih akrab.”

“Iya deh, waduh, pacarnya marah nih.”

“Eh, enak aja. Aku sudah bukan pacarnya, tahu.”

“Memangnya sudah resmi putus? Tega kamu ya.”

“Bukan masalah tega nggak tega, aku harus tahu diri.”

“Tahu diri … tahu diri terus. Dimata Allah, semua orang itu sama.”

“Bagaimana dengan orang tuanya? Ada perbedaan sikap yang tiba-tiba, dan itu setelah aku ketemu dengan ibu kandungku. Kamu nggak bisa ya, menebak penyebabnya?”

“Kemarin aku bertemu ibu kamu, sedang belanja sama Listi. Lupa bilang aku tadi.”

“Oh ya? Bagaimana sikapnya? Baik kan?”

“Penampilan dan sikapnya sangat baik. Aku bersyukur untuk itu. Listi juga sudah berubah. Semoga seterusnya begitu.”

“Iya benar, aku juga senang.”

“Apa bu Listyo belum tahu, bagaimana ibu kamu? Dia tidak mengecewakan.”

“Entahlah, tapi aku tidak peduli. Oh ya, tadi kamu mau ngomong apa?”

“Ya itu, aku mau ketemu mas Radit. Hehe, ‘mas’ ya sekarang, Mm, ya itu, tapi aku nggak bisa menghubungi dia. Ponselnya nggak aktif. Ini aneh. Kalau nggak aktif sebentar, mungkin sedang di cas, tapi dua hari tidak aktif? Apa dia ganti nomor?”

“Mungkin dia marah karena aku lari. Tepatnya, dilarikan mbak Listi.”

“Listi juga sih, aneh-aneh saja.”

“Iya, itulah kakak aku. Kadang dia bisa keras, walau sudah banyak sikap manisnya.”

“Ya sudah, aku langsung ke rumahnya saja.”

“Tapi kamu nggak usah ngomong aneh-aneh, nggak usah pakai nyebut-nyebut aku juga.”

“Kenapa?”

“Itu yang terbaik Dian, tolong mengertilah. Eh, itu mbak Listi datang sama ibu.”

“Baiklah, sudah dulu Tri, aku mau langsung ke rumah mas Radit, soalnya aku janji mau jalan-jalan lagi sama Arina, besok kembali ke Jakarta pagi-pagi.”

“Selamat jalan ya, hati-hati.”

Listi tergopoh mendekati rumah, Ratri menyambutnya dengan heran.

“Ratri … Ratri, ada kabar buruk,” kata Listi panik.

“Kabar buruk apa sih? Tenang dulu deh.”

“Radit masuk rumah sakit.”

Ratri menutup mulutnya.

“Sakit apa?”

“Kecelakaan.”

“Siapa yang kecelakaan? Tiba-tiba bu Cipto keluar bergitu mendengar suara Listi yang terdengar panik.

“Radit Bu, baru saja Listi mendengar dari pembantunya.”

“Ya Allah,” seru bu Cipto terkejut.

“Kamu ke sana?” tanya Ratri.

“Tidak, ketemu di sekitar pasar, sedang belanja. Cepat ganti pakaian kamu, kita ke sana sekarang.”

Ratri bergegas masuk.

“Aku juga ikut ya Nak,” bu Cipto ikut panik, segera masuk ke dalam.

“Tenang Listi, kamu jangan panik. Kamu kan mengendarai mobil,” kata Tijah menenangkan anaknya.

***

Dian sudah sampai di rumah Radit, ia langsung memarkir mobilnya dan bergegas mendekati rumah. Tapi rumah itu tampak tertutup.

“Kok tertutup ya? Dan garasinya juga tertutup. Apa mereka pergi? Aneh saja, walaupun pergi kenapa ponselnya juga dimatikan? Apa benar, Radit marah seperti kata Ratri, karena penolakan Ratri? Masa sih, marah?” gumam Dian sambil berdiri di depan teras.

“Assalamu’alaikum ….”

Tak ada jawaban, Dian memencet bel tamu, sama saja, tak ada reaksi dari dalam. Dian naik ke teras, mendekati pintu dan mengetuk berkali-kali, tak ada suara menyambut. Ketika Dian melongok diantara korden yang tersingkap, dilihatnya ruangan itu gelap.

“Berarti mas Radit pergi. Bersama ibunya, atau pergi sendiri-sendiri ya? Aduh, aku berjanji mau ngomong sama mas Radit tentang Ratri. Sedih kalau sampai mereka benar-benar putus. Bagaimana ya cara menghubungi dia? Aku sudah mengirim pesan melalui WA, tapi tidak terbaca sejak kemarin. Apa yang terjadi?” Dian terus bergumam, menatap ke sekeliling halaman rumah. Sudah jelas tak ada siapa-siapa. Dian menghampiri mobilnya, putus asa.

Ketika mobilnya hampir keluar dari halaman, dilihatnya seseorang mengawasinya.

“Bapak mencari bu Listyo?”

“Ya. Tampaknya rumahnya kosong.”

“Bapak belum mendengar ya? Putra bu Listyo kecelakaan.”

Dian terkejut..

“Mas Radit?”

“Iya, siapa lagi. Putra bu Listyo kan hanya satu. Sudah dua hari yang lalu,” terang orang itu.

“Di rumah sakit mana ya?”

“Pusat, sepertinya. Dengar-dengar begitu. Kami juga belum sempat menjenguknya, baru nanti sore.

Dian memacu mobilnya menuju rumah sakit.

***

Radit tergolek lemah di ruang perawatan. Kepalanya berbalut perban, berbecak darah, sedangnya lengannya terhubung jarum dan selang infus, yang tergantung di sampingnya.  Bu Listyo duduk dengan wajah sembab, tapi Radit tampak memalingkan muka. Belum lama dia sadar, dan ketika sadar, ucapan pertama yang terdengar adalah ‘Ratri, jangan pergi’. Hal itu membuat bu Listyo sedih.

“Radit, kamu tidak boleh banyak pikiran. Supaya segera pulih,” kata bu Listyo lirih.

“Bibik, panggil Ratri, Bik,” bisiknya lemah.

“Bibik tidak ada, ini ibu, Dit.”

Radit diam. Dia masih marah pada ibunya. Ibunya lah penyebab semua ini.

“Radit, jangan marah sama ibu dong Dit. Ibu sangat menyayangi kamu, ibu sedih kamu seperti ini.”

“Ratri, jangan pergi, Ratri.”

Bu Listyo mengusap air matanya. Ada perang di dalam batinnya. Antara menyayangi Ratri, dan mengingat keadaan ibunya. Dia merasa, bahwa sebagai orang terpandang, ia tak pantas berbesan dengan orang yang ‘kurang waras’. Apa kata orang nanti. Belum lagi kalau nanti bersanding di pelaminan, ibunya juga ikut mendampingi, kemudian ‘kumat’. Mau ditaruh di mana mukanya? Air mata bu Listyo mengalir deras.

“Radit, jangan begitu Nak, ingatlah, ibu sangat menyayangi kamu.”

“Bibiiik, panggil Ratri Biik. Jangan biarkan dia pergi,” rintihnya pelan.

“Radit …” bu Listyo terisak. Tapi Radit bergeming, terus saja Ratri yang dipanggilnya.

“Kalau Ratri tidak ke sini, lebih baik aku mati.”

Bu Listyo terkejut, dipegangnya tangan Radit dengan berurai air mata. Terasa sangat panas. Tapi dokter baru saja memberinya obat. Bu Listyo berharap panasnya segera turun. Radit seperti mengigau terus menerus.

“Jangan begitu Dit.”

“Ratri, jangan pergi …”

Bu Listyo berdiri, dilihatnya bibik bersimpuh di lantai, sedang mengusap air matanya. Bu Listyo duduk di sofa, dihadapan bibik.

“Apa yang harus aku lakukan, Bik?”

“Menurut saya, sebaiknya Non Ratri dipanggil kemari.”

“Tapi ….”

“Kasihan pak Radit.”

“Aku tidak rela, kalau mengingat orang tuanya Bik, mana pantas aku berbesan sama ….”

Terdengar ketukan di pintu. Bibik berdiri untuk membukanya, lalu muncullah beberapa orang. Listi, Ratri dan kedua ibu mereka.

Bu Listyo mengusap air matanya, menatap mereka satu persatu. Ratri mencoba mendekat, kemudian meraih tangan bu Listyo, diciumnya. Listi menatap tajam. Kalau sampai bu Listyo mengucapkan sesuatu yang menyakiti, maka dia siap menyemburkan kata-kata melawan.

Tapi tidak, bu Listyo menerima tangan Ratri. Tapi matanya menyapu ke arah dua orang wanita setengah tua yang berwajah tenang, juga cantik-cantik.

“Bu, ini ibu kandung saya, Bu Tijah, dan ini ibu angkat saya, bu Cipto.

Keduanya maju, mendekati bu Listyo.

Bu Listyo heran, yang disebut ‘ibu kandung’ oleh Ratri adalah seorang wanita cantik, tampak anggun dengan baju bersih dan rapi dengan kerudung yang senada. Ia mengulurkan tangannya, menyalami bu Listyo.

“Saya Sutijah, ibu kandung Listi dan Ratri,” ucapnya lembut.

Bu Listyo berdiri, menatap heran. Tak tampak sinar mata liar yang sering tampak pada orang-orang yang kurang waras. Begitu santun dan halus ucapannya, begitu lembut genggaman tangannya.

“Iya, silakan duduk, semuanya,” kata bu Listyo setelah bu Cipto dan Listi juga menyalaminya.

“Bibikkk,” teriak Radit.

Bibik bergegas menghampiri.

“Mana Ratri Bik … jangan biarkan dia pergi.”

Listi dan Ratri mendengarnya. Listi segera menarik tangan Ratri, untuk mendekat ke arah ranjang.

“Radit, ini Ratri,” kata Listi.

Ratri mengusap air matanya yang menitik. Iba melihat tubuh Radit tergolek tak berdaya. Laki-laki yang dicintainya, tak pernah surut cinta itu. Dan kalaupun berpisah, cinta itu akan tetap ada, jauh di dasar hatinya. Digenggamnya tangan Radit.

Radit menoleh, ia berusaha bangkit, begitu tahu siapa yang menggenggam tangannya.

“Ratri?

Listi berusaha membaringkannya kembali.

“Apa aku bermimpi, apa benar ini kamu?"

“Iya Mas, ini aku, Ratri.”

“Ratri, jangan pergi,” Radit terisak.

“Cepat sembuh ya Mas.”

“Jangan pergi Ratri, jangan tinggalkan aku.”

Ratri menangis sambil mencium tangan kekasihnya. Mana tega dia membiarkan Radit menderita? Tapi apakah dia punya daya?

“Cepatlah sembuh,” bisik Ratri dengan suara bergetar.

“Setelah sembuh, aku akan membawamu pergi. Kita akan bahagia berdua, Ratri.”

Ratri terisak.

Listi yang semula berdiri di samping Ratri, tak bisa menahan tangis. Ia menghampiri ibunya, sambil mengusap air matanya.

“Listi tidak tega melihatnya, ayo kita pulang saja Bu,” kata Listi.

Bu Cipto dan Tijah berdiri.

“Ibu, mohon maaf kalau kami mengganggu,” kata Tijah pelan. Kemudian berdua mereka mendekati ranjang tempat Radit berbaring.

“Nak Radit, cepat sembuh ya,” kata bu Cipto sambil memegang tangan Radit, setelah Ratri melepaskannya.

“Cepatlah sembuh, laki-laki perkasa tidak boleh jatuh karena rasa sakit,” kata bu Tijah, membuat Radit tertegun.

“Ibu,” bisiknya sambil meraih tangan Tijah.

“Cepat sembuh, jangan cengeng,” kata Tijah sambil tersenyum lembut.

Kemudian Tijah menarik lengan bu Cipto, berjalan ke arah sofa, dimana bu Listyo masih menangis.

“Ibu, saya mohon maaf kalau dianggap mengganggu, tapi saya akan selalu berdoa untuk kesembuhan nak Radit. Dia kuat. Ibu jangan khawatir,” kata Tijah.

Bu Listyo berdiri, sejak tadi tak mampu berkata-kata.

“Listi, ajak adikmu pulang,” perintahnya kepada Listi, yang segera melangkah mendekati Ratri.

“Ibu mengajak kita pulang,” bisiknya.

Tiba-tiba Radit mencengkeram tangan Ratri.

“Jangan pergi Ratri.”

“Maaf Mas, Ratri harus pergi, maafkan Ratri ya,” kata Ratri sambil menangis, dan melepaskan tangan Radit, kemudian melangkah menjauh.

Radit bangkit. Dilepaskannya jarum yang menancap pada tangannya, lalu melompat turun dari tempat dia berbaring.

“Ratri !”

Ratri dan semuanya terkejut. Bu Listyo berdiri menghambur ke arah anaknya. Darah berceceran dari tangan Radit, membasahi lantai.

“Susteeeer!!” hampir semuanya berteriak.

Radit terhuyung. Ratri dan Listi memegangi tubuhnya.

“Biarkan aku pergi bersama kamu, Ratri. Jangan pergi sendiri.” Gemetar suara Radit.

Dokter segara datang, dan dua orang perawat laki-laki memapah Radit untuk kembali ke tempat tidur. Radit meronta.

“Biarkan aku pergi bersama dia.”

Bu Listyo mendekati Ratri

“Tolong, jangan pergi,” bisik bu Listyo memohon.

***

Besok lagi ya.

Monday, November 28, 2022

JANGAN PERGI 36

 

JANGAN PERGI  36

(Tien Kumalasari)

 

Dian menoleh ke arah dimana Dewi memandang, lalu ia melihat Listi, bekas istrinya sedang memilih-milih gamis bersama seorang wanita yang dia lupa-lupa ingat, apakah dia pernah mengenalnya.

Saat dipanggil, Listi segera menoleh, kemudian tersenyum manis ketika melihat siapa yang memanggilnya. Listi menggandeng tangan ibunya, mendekati Dewi dan Dian. Listi juga melihat, seorang anak kecil berpegang pada tangan Dian.

“Bu Dewi?” sapa Listi ramah.

Sedang mborong ya?” kata Dewi tak kurang ramah.

“Ini … sedang mengantarkan ibu membeli baju-baju.”

“Oh, ini ibu?” tanya Dewi yang sudah mendengar dari Ratri bahwa mereka sudah ketemu ibu kandungnya. Dian juga menatapnya dan takjub karena dia juga sudah mendengar semuanya dari Dewi, dan sekilas dari Radit, dan dia juga sudah pernah bertemu bu Tijah, tapi dalam keadaan yang berbeda. Bu Tijah tampak anggun dan cantik, dalam balutan baju gamis berwarna terang, pemberian Ratri.

“Iya, kenalkan ibu, ini bu Dewi, kepala sekolah dimana Ratri mengajar,” kata Listi memperkenalkan ibunya.

Bu Tijah dan Dewi segera bersalaman.

“Saya bu Tijah.”

“Dan ini Dian Bu, bekas suami Listi,” kata Listi tanpa canggung.

Dian menyalami bu Tijah dan mencium tangannya dengan santun. Ia senang, ibu kandung Listi sudah tampak pulih, menatapnya dengan wajah berseri.

“Saya sudah pernah bertemu,” kata bu Tijah sambil tersenyum.

Tiba-tiba Arina mengangkat tangannya, mengajak bu Tijah bersalaman.

“Anak pintar, namanya siapa?” tanya bu Tijah dengan senyuman cerah.

“Ain.”

“Oh, Ain? Ini putri bu Dewi?” tanya bu Tijah dengan masih menggenggam tangan kecil itu dengan lembut.

“Namanya Arin Bu, Arina.”

“Oh, Arin? Iya, Arina, ini nenek Tijah ya. Anak cantik dan pinter.”

Arina melepaskan tangannya, dan kembali menggandeng  Dian. Listi menatap keakraban Arina dan Dian dengan batin teriris. Dia tak pernah ingin memberinya seorang anak, dan sekerang hal itu disesalinya. Tapi Listi wanita yang kuat. Ia menutupi nyeri yang mengoyak batinnya, dengan menampakkan senyuman lebar. Ia juga melihat bekas suaminya begitu dekat dengan Dewi, lalu dia maklum apa yang terjadi.

“Yang lalu biarlah berlalu, ini hidup aku,” kata batin Listi.

“Ya sudah, silakan melanjutkan belanja, saya juga sedang memilihkan baju untuk ibu,” kata Listi kemudian, sambil menggandeng ibunya pergi.

Dian tampak canggung, tak tahu harus berbuat apa. Ia masih menatap punggung Listi dan ibunya, yang berjalan menjauh.

“Mengapa mas Dian tidak bicara apapun?”

Dian tersenyum.

“Bingung mau bicara apa. Kaget saja melihat perubahan bu Tijah. Dia benar-benar sudah pulih. Barangkali rasa bahagia karena bertemu anak-anak kandungnya itulah yang membuatnya pulih. Aku bersyukur,” kata Dian sambil menggandeng tangan Arina, lalu melanjutkan melihat-lihat pakaian yang tadi menarik baginya. Dewi mengikutinya.

“Aku juga bersyukur. Mereka tampak bahagia,” kata Dewi.

***

“Ibu, yang mana yang Ibu suka. Yang warna maroon, atau hijau tua?” tanya Listi ketika menemukan model yang cocok untuk ibunya.

“Terserah kamu saja, ibu tidak bisa memilih.”

“Lho, ibu lebih suka warna apa?”

“Semua warna aku suka.”

“Baiklah, maroon ya Bu, ibu pasti kelihatan lebih cantik.”

“Suamimu akan menikahi wanita itu?” tiba-tiba bu Tijah mengalihkan pembicaraan.

“Oh, bu Dewi? Kelihatannya iya. Kenapa? Bu Dewi wanita yang baik. Sepertinya dia janda dengan satu anak. Itu tadi anaknya.”

“Anaknya cantik dan pintar.”

“Iya Bu, nanti ibu juga akan mendapatkan cucu yang cantik dan ganteng dan pintar. Dari Ratri,” kata Listi sedikit sendu.

Bu Tijah merasa bahwa Listi agak terluka dengan pembicaraan tentang anak itu. Lalu dia mencoba memegang sebuah baju dengan model lain, bercorak batik.

“Ibu suka yang ini?”

“Kan tadi kamu sudah memilihkan yang warna maroon.”

“Tidak bisa hanya satu, ibu butuh beberapa baju, dan perlengkapan pakaian yang lain. Kalau ibu suka ini, Listi ambil ya.”

“Baiklah,” kata bu Tijah meng ‘iya’ kan, agar Listi melupakan rasa kecewa tentang hubungan Dian dan Dewi. Sebagai seorang ibu, ia merasakannya.

“Bagus, ayo kita pilih yang lain,” kata Listil sambil memasukkan baju-baju pilihannya ke dalam tas yang sudah disediakan. Tak usah menge pas nya, karena baju-baju itu ukurannya all size semua.

Menjelang maghrib Listi puas berbelanja, lalu diajaknya ibunya pulang.

***

Pagi itu Ratri mengajak ibunya berbelanja. Ia heran, Radit belum juga menghubunginya. Ratri merasa, Radit pasti marah setelah Listi mengajaknya menghindar.

“Mbak Listi keterlaluan sih, harusnya biarkan saja mas Radit menemui aku, lalu bicara face to face, biar lebih jelas. Tapi mbak Listi yakin bahwa bunyi pesan yang aku kirimkan adalah sesuatu yang jelas. Jelas bahwa dia ingin memutuskan hubungan dengan Radit. Tapi aku yakin, mas Radit tidak akan bisa menerima keputusan semudah itu. Dia pasti ingin bicara. Aku jadi bingung, apa aku harus menghubunginya, untuk menghilangkan perasaan tak enak yang aku rasakan?” kata batin Ratri dalam berjalan mengikuti ibunya.

“Tri, kamu memikirkan apa?” Ratri terkejut. Ia tidak sadar, ibunya berbelok ke kiri ke arah penjual buah, sedangkan dia berjalan lurus ke depan, sehingga ibunya terpaksa mengejarnya dan menarik lengannya.

“Oh, iya Bu. Maaf,” kata Ratri tersipu.

“Kamu sedang melamun?”

“Sebenarnya tidak. Ratri sedang memikirkan ingin memasak sayur apa,” elak Ratri yang kemudian terus digandeng ibunya.

“Kamu bohong. Bukankah sejak awal kamu sudah bilang ingin memasak sayur asem sama membuat tahu bacem?”

“Oh iya, Ratri lupa.”

“Kita sudah membeli sayurnya, ibu ingin membeli buah. Ibu melihat mangga yang masak di sana.”

“Baiklah, Ratri juga ingin makan mangga,” kata Ratri sambil terus mengikuti ibunya.

Mereka membeli buah, kemudian Ratri mengambil ponsel untuk menelpon taksi.

“Bagaimana kalau kita naik becak saja?”

“Baiklah, itu di sana ada becak.”

Keduanya berjalan menuju ke arah becak yang sedang mangkal tak jauh dari sana.

Tiba-tiba seseorang mendekatinya.

“Koran Mbak, koran baru … “

Bu Cipto berhenti, dan penjual koran itu terkejut, kemudian hendak berlalu.

“Bu Tarmi!” panggilnya.

“Ibu mau beli koran?” tanya Ratri heran.

“Itu bu Tarmi,” kata bu Cipto sambil menarik tangan Ratri untuk mendekati Tarmi, si penjual koran.

Ratri menduga-duga, karena sudah mendengar . cerita tentang seorang wanita bernama Tarmi.

“Maaf, saya tergesa-gesa,” kata Tarmi.

“Jangan takut Bu, saya tidak akan melakukan apapun,” kata bu Cipto.

“Iya …” jawabnya tersipu.

“Ini namanya Ratri, bayi yang ibu serahkan kepada saya.”

Tarmi menatap Ratri dengan sepasang matanya yang redup. Kuyup oleh penderitaan hidup, membuat Ratri merasa iba.

“Oh, maafkan saya,” katanya lirih sambil membungkuk.

“Saya beli korannya Bu,” kata Ratri sambil membuka dompetnya.Tarmi menyodorkan setumpuk koran yang dibawanya, membiarkan Ratri memilih.

Ratri mengambil satu, kemudian menyerahkan uang duapuluhan ribu.

Tarmi tampak membuka kantung kumal tempat menyimpan uang.

“Sudah, tidak usah bu, ambil saja sisanya,” kata Ratri sambil terus menggandeng ibunya mendekati becak yang sudah dekat dengan mereka.

Sayup terdengar ucapan terima kasih dari bibir Tarmi, ketika mereka sudah duduk di dalam becak.

Tarmi mengusap air matanya. Penyesalan selalu datang terlambat. Tapi Tarmi bersyukur, tak ada yang melaporkan kejahatannya kepada yang berwajib.

***

Ratri memasukkan koran yang dibelinya ke dalam tas, ketika becak yang ditumpanginya sudah melaju.

“Ibu Tarmi itu selalu ketakutan, setiap bertemu Ibu?”

“Iya, sepertinya. Apa kamu kesal, karena dia penyebab kamu berpisah dengan ibu kandung kamu?”

“Ketika mendengar ceritanya, Ratri merasa kesal, tapi melihat orangnya, Ratri merasa iba. Dulu dia begitu jahat dan kejam, tapi dia sudah mengunduh buah yang ditanamnya.”

“Benar.”

“Ya sudah, kita lupakan saja. Tampaknya dia sangat menyesali perbuatannya, dan bertobat adalah jalan terbaik untuk menjalani sisa hidupnya.”

“Aku senang, kamu selalu bisa berpikir dewasa dan bijak,” kata bu Cipto sambil menepuk tangan Ratri.

“Karena ibu yang selalu mendidik Ratri kan?”

“Sekarang katakan, apa yang kamu pikirkan, sehingga tadi kamu seperti orang bingung?”

“Ratri tidak bingung kok.”

“Kalau tidak bingung, mengapa kamu berjalan sendiri ke arah sana, sedangkan ibu ke arah yang lain?”

Ratri tertawa.

“Kurang konsentrasi saja.”

“Kamu memikirkan nak Radit?”

Ratri diam untuk beberapa saat lamanya.

“Kalau kamu sudah memutuskan jalan yang akan kamu tempuh, lakukanlah. Kalau kamu ragu, kamu tidak akan mendapatkan ketenangan dalam melangkah.”

“Ratri tidak ragu.”

“Kalau begitu lepaskanlah, jangan lagi kamu pikirkan. Bukankah jodoh itu hanya Allah yang akan memberikan? Memohonlah yang terbaik untuk diri kamu, hidup kamu.”

“Iya Bu.”

Lalu mereka berbincang ringan, sampai kemudian mereka tiba di rumah, dan dengan sangat bersemangat kemudian memasak bersama.

***

“Bu, hari ini kita tidak usah memasak ya?” kata Listi ketika mengajak ibunya jalan-jalan, makan pagi diluar dan melihat-lihat di mal besar, yang ibunya belum pernah melihatnya.

“Terserah kamu saja. Kamu sudah bosan belajar memasak?” tegur ibunya sambil melihat-lihat suasana mal dengan takjub.

“Bukan bosan Bu, hari ini Listi ingin mengajak ibu jalan-jalan, agar ibu bisa melihat-lihat hal baru yang ibu belum pernah melihatnya. Besok kita akan memasak lagi bersama-sama, lalu besoknya jalan-jalan lagi, ke tempat dimana ibu belum pernah melihatnya. Nah besok minggu depannya, kita jalan-jalan ke luar kota, dengan mengajak Ratri dan bu Cipto,” kata Listi panjang lebar.

“Baiklah, terserah kamu saja.”

“Apa ibu senang melihat-lihat suasana mal ini?”

“Senang Lis, ibu belum pernah seumur-umur masuk ke dalam toko sebesar ini.”

“Ini belum separuhnya Bu, kalau ibu lelah, kita berhenti dulu, besok setelah memasak kita lanjutkan lagi.”

“Wah, setiap hari ada acara buat ibu,” kata bu Tijah sambil tersenyum.

“Kalau ibu sudah puas berjalan-jalan, Listi akan mencari pekerjaan.”

“Bagus Nak, kalau terus menerus kamu buat uangmu untuk bersenang-senang, nanti bisa habis.”

“Iya, Listi tahu.”

“Kalau saja kamu mau menikah.”

“Ah, ibu, kan Listi sudah bilang, bahwa Listi hanya akan menemani Ibu? Jadi sudah Listi putuskan, Listi tidak akan menikah.”

“Ya sudah, kamu sudah dewasa, sudah tahu apa yang terbaik bagi diri kamu sendiri.”

“Terima kasih, Ibu,” kata Listi sambil merangkul pinggang ibunya, dan meneruskan berjalan-jalan.

“Apa ibu ingin sesuatu?”

“Tidak, berjalan-jalan saja ibu sudah senang.”

“Nanti mampir belanja sayur ya Bu, buat masak besok pagi, jadi kita tidak usah ke pasar, bisa selesai masak lebih pagi, lalu jalan-jalan lagi.”

***

Hari itu Ratri terkejut, begitu selesai masak, tiba-tiba Dian muncul, merangkul ibunya dengan hangat.

“Lama sekali nak Dian tidak datang kemari,” kata bu Cipto senang.

“Iya Bu, itu sebabnya hari ini saya sempatkan mampir ke sini.”

“Bu, Dian ini kan sudah hampir menikah, jadi sibuk mengurus acaranya nanti,” tukas Ratri.

“Belum Bu, masih ancang-ancang dulu.”

“Dengan calon anaknya sudah sangat dekat, dengan ibunya, apalagi,” Ratri terus meledek sahabatnya.

“Ya sudah Nak, kalau memang sudah cocok, ya segerakan saja. Keburu tua, kalau menunggu lama-lama.”

“Nanti bareng sama Ratri kok Bu,” canda Dian.

“Ngawur!” pekik Ratri.

Dian terbahak.

“Ya sudah, ibu mau ke belakang dulu, ada yang belum selesai di kerjakan,” kata bu Cipto sambil berlalu.

“Aku mau bicara penting sama kamu,” kata Dian setelah bu Cipto ke belakang.

“Apa nih? Serius amat.”

“Memang serius. Kemarin malam pak Radit menelpon saya.”

“Oh ya, cerita apa dia?”

“Belum begitu jelas. Waktu itu sudah malam. Aku ingin menemuinya, tapi tak bisa menelpon sejak kemarin. Ponselnya mati.”

“Iya.”

“Kamu memutuskan hubungan sama dia?”

Ratri menghela napas panjang.

“Aku harus melakukannya Dian.”

“Kenapa tiba-tiba?”

“Aku kan harus tahu diri. Aku ini siapa, dia itu siapa. Tadinya aku merasa baik-baik saja, tapi belakangan sikap bu Listyo sudah lain. Aku mengerti, sangat mengerti, karena aku terlahir dari seorang ibu yang … mm … waktu itu tampak seperti … sakit jiwa.”

“Sedikit banyak aku sudah tahu, tapi pak Radit sangat terpukul. Dia terdengar sedih saat menelpon aku. Apa kamu akan tetap dengan pendirian kamu?”

“Dian, kamu harus tahu, melangkah tanpa restu orang tua itu sangat tidak baik. Aku tak ingin mas Radit menjadi anak durhaka.”

“Nanti aku akan mencoba menemui pak Radit lagi.”

***

Siang hari itu Listi kembali mengajak ibunya berjalan-jalan, di mal yang lain. Setelah berputar-putar, Listi mengajak ibunya singgah di sebuah rumah makan, sekedar minum atau makan makanan ringan, karena sebelum berangkat mereka sudah makan.

Sebelum masuk ke rumah makan itu, tiba-tiba seseorang memanggil namanya.

“Non Listi !!”

Listi berhenti melangkah. Ia melihat pembantu bu Listyo sedang membawa tas belanjaan.

“Bik, kok sendirian belanjanya?”

“Iya Bu, soalnya ibu sedang ada di rumah sakit, dan saya di suruh belanja banyak untuk keperluan di rumah sakit.”

“Bu Listyo sakit?”

“Bukan ibu yang sakit, tapi pak Radit.”

“Radit sakit?” tanya Listi terkejut.

“Dua hari yang lalu, kecelakaan.”

Mata Listi terbelalak.

“Dua hari yang lalu?”

***

Besok lagi ya.

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...