JANGAN PERGI 36
(Tien Kumalasari)
Dian menoleh ke arah dimana Dewi memandang, lalu ia
melihat Listi, bekas istrinya sedang memilih-milih gamis bersama seorang wanita
yang dia lupa-lupa ingat, apakah dia pernah mengenalnya.
Saat dipanggil, Listi segera menoleh, kemudian tersenyum
manis ketika melihat siapa yang memanggilnya. Listi menggandeng tangan ibunya,
mendekati Dewi dan Dian. Listi juga melihat, seorang anak kecil berpegang pada
tangan Dian.
“Bu Dewi?” sapa Listi ramah.
Sedang mborong ya?” kata Dewi tak kurang ramah.
“Ini … sedang mengantarkan ibu membeli baju-baju.”
“Oh, ini ibu?” tanya Dewi yang sudah mendengar dari
Ratri bahwa mereka sudah ketemu ibu kandungnya. Dian juga menatapnya dan takjub
karena dia juga sudah mendengar semuanya dari Dewi, dan sekilas dari Radit, dan
dia juga sudah pernah bertemu bu Tijah, tapi dalam keadaan yang berbeda. Bu
Tijah tampak anggun dan cantik, dalam balutan baju gamis berwarna terang,
pemberian Ratri.
“Iya, kenalkan ibu, ini bu Dewi, kepala sekolah dimana
Ratri mengajar,” kata Listi memperkenalkan ibunya.
Bu Tijah dan Dewi segera bersalaman.
“Saya bu Tijah.”
“Dan ini Dian Bu, bekas suami Listi,” kata Listi tanpa
canggung.
Dian menyalami bu Tijah dan mencium tangannya dengan
santun. Ia senang, ibu kandung Listi sudah tampak pulih, menatapnya dengan
wajah berseri.
“Saya sudah pernah bertemu,” kata bu Tijah sambil
tersenyum.
Tiba-tiba Arina mengangkat tangannya, mengajak bu
Tijah bersalaman.
“Anak pintar, namanya siapa?” tanya bu Tijah dengan
senyuman cerah.
“Ain.”
“Oh, Ain? Ini putri bu Dewi?” tanya bu Tijah dengan
masih menggenggam tangan kecil itu dengan lembut.
“Namanya Arin Bu, Arina.”
“Oh, Arin? Iya, Arina, ini nenek Tijah ya. Anak cantik
dan pinter.”
Arina melepaskan tangannya, dan kembali
menggandeng Dian. Listi menatap
keakraban Arina dan Dian dengan batin teriris. Dia tak pernah ingin memberinya
seorang anak, dan sekerang hal itu disesalinya. Tapi Listi wanita yang kuat. Ia
menutupi nyeri yang mengoyak batinnya, dengan menampakkan senyuman lebar. Ia
juga melihat bekas suaminya begitu dekat dengan Dewi, lalu dia maklum apa yang
terjadi.
“Yang lalu biarlah berlalu, ini hidup aku,” kata batin
Listi.
“Ya sudah, silakan melanjutkan belanja, saya juga
sedang memilihkan baju untuk ibu,” kata Listi kemudian, sambil menggandeng
ibunya pergi.
Dian tampak canggung, tak tahu harus berbuat apa. Ia
masih menatap punggung Listi dan ibunya, yang berjalan menjauh.
“Mengapa mas Dian tidak bicara apapun?”
Dian tersenyum.
“Bingung mau bicara apa. Kaget saja melihat perubahan
bu Tijah. Dia benar-benar sudah pulih. Barangkali rasa bahagia karena bertemu
anak-anak kandungnya itulah yang membuatnya pulih. Aku bersyukur,” kata Dian
sambil menggandeng tangan Arina, lalu melanjutkan melihat-lihat pakaian yang
tadi menarik baginya. Dewi mengikutinya.
“Aku juga bersyukur. Mereka tampak bahagia,” kata
Dewi.
***
“Ibu, yang mana yang Ibu suka. Yang warna maroon, atau
hijau tua?” tanya Listi ketika menemukan model yang cocok untuk ibunya.
“Terserah kamu saja, ibu tidak bisa memilih.”
“Lho, ibu lebih suka warna apa?”
“Semua warna aku suka.”
“Baiklah, maroon ya Bu, ibu pasti kelihatan lebih
cantik.”
“Suamimu akan menikahi wanita itu?” tiba-tiba bu Tijah
mengalihkan pembicaraan.
“Oh, bu Dewi? Kelihatannya iya. Kenapa? Bu Dewi wanita
yang baik. Sepertinya dia janda dengan satu anak. Itu tadi anaknya.”
“Anaknya cantik dan pintar.”
“Iya Bu, nanti ibu juga akan mendapatkan cucu yang
cantik dan ganteng dan pintar. Dari Ratri,” kata Listi sedikit sendu.
Bu Tijah merasa bahwa Listi agak terluka dengan
pembicaraan tentang anak itu. Lalu dia mencoba memegang sebuah baju dengan
model lain, bercorak batik.
“Ibu suka yang ini?”
“Kan tadi kamu sudah memilihkan yang warna maroon.”
“Tidak bisa hanya satu, ibu butuh beberapa baju, dan
perlengkapan pakaian yang lain. Kalau ibu suka ini, Listi ambil ya.”
“Baiklah,” kata bu Tijah meng ‘iya’ kan, agar Listi melupakan rasa kecewa tentang hubungan Dian dan Dewi. Sebagai seorang ibu, ia merasakannya.
“Bagus, ayo kita pilih yang lain,” kata Listil sambil
memasukkan baju-baju pilihannya ke dalam tas yang sudah disediakan. Tak usah
menge pas nya, karena baju-baju itu ukurannya all size semua.
Menjelang maghrib Listi puas berbelanja, lalu
diajaknya ibunya pulang.
***
Pagi itu Ratri mengajak ibunya berbelanja. Ia heran,
Radit belum juga menghubunginya. Ratri merasa, Radit pasti marah setelah Listi mengajaknya
menghindar.
“Mbak Listi keterlaluan sih, harusnya biarkan saja mas
Radit menemui aku, lalu bicara face to face, biar lebih jelas. Tapi mbak Listi yakin
bahwa bunyi pesan yang aku kirimkan adalah sesuatu yang jelas. Jelas bahwa dia
ingin memutuskan hubungan dengan Radit. Tapi aku yakin, mas Radit tidak akan
bisa menerima keputusan semudah itu. Dia pasti ingin bicara. Aku jadi bingung,
apa aku harus menghubunginya, untuk menghilangkan perasaan tak enak yang aku
rasakan?” kata batin Ratri dalam berjalan mengikuti ibunya.
“Tri, kamu memikirkan apa?” Ratri terkejut. Ia tidak
sadar, ibunya berbelok ke kiri ke arah penjual buah, sedangkan dia berjalan
lurus ke depan, sehingga ibunya terpaksa mengejarnya dan menarik lengannya.
“Oh, iya Bu. Maaf,” kata Ratri tersipu.
“Kamu sedang melamun?”
“Sebenarnya tidak. Ratri sedang memikirkan ingin
memasak sayur apa,” elak Ratri yang kemudian terus digandeng ibunya.
“Kamu bohong. Bukankah sejak awal kamu sudah bilang
ingin memasak sayur asem sama membuat tahu bacem?”
“Oh iya, Ratri lupa.”
“Kita sudah membeli sayurnya, ibu ingin membeli buah.
Ibu melihat mangga yang masak di sana.”
“Baiklah, Ratri juga ingin makan mangga,” kata Ratri
sambil terus mengikuti ibunya.
Mereka membeli buah, kemudian Ratri mengambil ponsel
untuk menelpon taksi.
“Bagaimana kalau kita naik becak saja?”
“Baiklah, itu di sana ada becak.”
Keduanya berjalan menuju ke arah becak yang sedang
mangkal tak jauh dari sana.
Tiba-tiba seseorang mendekatinya.
“Koran Mbak, koran baru … “
Bu Cipto berhenti, dan penjual koran itu terkejut,
kemudian hendak berlalu.
“Bu Tarmi!” panggilnya.
“Ibu mau beli koran?” tanya Ratri heran.
“Itu bu Tarmi,” kata bu Cipto sambil menarik tangan
Ratri untuk mendekati Tarmi, si penjual koran.
Ratri menduga-duga, karena sudah mendengar . cerita tentang seorang wanita bernama Tarmi.
“Maaf, saya tergesa-gesa,” kata Tarmi.
“Jangan takut Bu, saya tidak akan melakukan apapun,”
kata bu Cipto.
“Iya …” jawabnya tersipu.
“Ini namanya Ratri, bayi yang ibu serahkan kepada
saya.”
Tarmi menatap Ratri dengan sepasang matanya yang
redup. Kuyup oleh penderitaan hidup, membuat Ratri merasa iba.
“Oh, maafkan saya,” katanya lirih sambil membungkuk.
“Saya beli korannya Bu,” kata Ratri sambil membuka
dompetnya.Tarmi menyodorkan setumpuk koran yang dibawanya, membiarkan Ratri
memilih.
Ratri mengambil satu, kemudian menyerahkan uang
duapuluhan ribu.
Tarmi tampak membuka kantung kumal tempat menyimpan
uang.
“Sudah, tidak usah bu, ambil saja sisanya,” kata Ratri
sambil terus menggandeng ibunya mendekati becak yang sudah dekat dengan mereka.
Sayup terdengar ucapan terima kasih dari bibir Tarmi,
ketika mereka sudah duduk di dalam becak.
Tarmi mengusap air matanya. Penyesalan selalu datang
terlambat. Tapi Tarmi bersyukur, tak ada yang melaporkan kejahatannya kepada
yang berwajib.
***
Ratri memasukkan koran yang dibelinya ke dalam tas,
ketika becak yang ditumpanginya sudah melaju.
“Ibu Tarmi itu selalu ketakutan, setiap bertemu Ibu?”
“Iya, sepertinya. Apa kamu kesal, karena dia penyebab
kamu berpisah dengan ibu kandung kamu?”
“Ketika mendengar ceritanya, Ratri merasa kesal, tapi
melihat orangnya, Ratri merasa iba. Dulu dia begitu jahat dan kejam, tapi dia
sudah mengunduh buah yang ditanamnya.”
“Benar.”
“Ya sudah, kita lupakan saja. Tampaknya dia sangat
menyesali perbuatannya, dan bertobat adalah jalan terbaik untuk menjalani sisa
hidupnya.”
“Aku senang, kamu selalu bisa berpikir dewasa dan
bijak,” kata bu Cipto sambil menepuk tangan Ratri.
“Karena ibu yang selalu mendidik Ratri kan?”
“Sekarang katakan, apa yang kamu pikirkan, sehingga
tadi kamu seperti orang bingung?”
“Ratri tidak bingung kok.”
“Kalau tidak bingung, mengapa kamu berjalan sendiri ke
arah sana, sedangkan ibu ke arah yang lain?”
Ratri tertawa.
“Kurang konsentrasi saja.”
“Kamu memikirkan nak Radit?”
Ratri diam untuk beberapa saat lamanya.
“Kalau kamu sudah memutuskan jalan yang akan kamu
tempuh, lakukanlah. Kalau kamu ragu, kamu tidak akan mendapatkan ketenangan
dalam melangkah.”
“Ratri tidak ragu.”
“Kalau begitu lepaskanlah, jangan lagi kamu pikirkan.
Bukankah jodoh itu hanya Allah yang akan memberikan? Memohonlah yang terbaik
untuk diri kamu, hidup kamu.”
“Iya Bu.”
Lalu mereka berbincang ringan, sampai kemudian mereka
tiba di rumah, dan dengan sangat bersemangat kemudian memasak bersama.
***
“Bu, hari ini kita tidak usah memasak ya?” kata Listi
ketika mengajak ibunya jalan-jalan, makan pagi diluar dan melihat-lihat di mal
besar, yang ibunya belum pernah melihatnya.
“Terserah kamu saja. Kamu sudah bosan belajar memasak?”
tegur ibunya sambil melihat-lihat suasana mal dengan takjub.
“Bukan bosan Bu, hari ini Listi ingin mengajak ibu
jalan-jalan, agar ibu bisa melihat-lihat hal baru yang ibu belum pernah
melihatnya. Besok kita akan memasak lagi bersama-sama, lalu besoknya
jalan-jalan lagi, ke tempat dimana ibu belum pernah melihatnya. Nah besok
minggu depannya, kita jalan-jalan ke luar kota, dengan mengajak Ratri dan bu
Cipto,” kata Listi panjang lebar.
“Baiklah, terserah kamu saja.”
“Apa ibu senang melihat-lihat suasana mal ini?”
“Senang Lis, ibu belum pernah seumur-umur masuk ke
dalam toko sebesar ini.”
“Ini belum separuhnya Bu, kalau ibu lelah, kita
berhenti dulu, besok setelah memasak kita lanjutkan lagi.”
“Wah, setiap hari ada acara buat ibu,” kata bu Tijah
sambil tersenyum.
“Kalau ibu sudah puas berjalan-jalan, Listi akan
mencari pekerjaan.”
“Bagus Nak, kalau terus menerus kamu buat uangmu untuk
bersenang-senang, nanti bisa habis.”
“Iya, Listi tahu.”
“Kalau saja kamu mau menikah.”
“Ah, ibu, kan Listi sudah bilang, bahwa Listi hanya akan
menemani Ibu? Jadi sudah Listi putuskan, Listi tidak akan menikah.”
“Ya sudah, kamu sudah dewasa, sudah tahu apa yang
terbaik bagi diri kamu sendiri.”
“Terima kasih, Ibu,” kata Listi sambil merangkul
pinggang ibunya, dan meneruskan berjalan-jalan.
“Apa ibu ingin sesuatu?”
“Tidak, berjalan-jalan saja ibu sudah senang.”
“Nanti mampir belanja sayur ya Bu, buat masak besok
pagi, jadi kita tidak usah ke pasar, bisa selesai masak lebih pagi, lalu
jalan-jalan lagi.”
***
Hari itu Ratri terkejut, begitu selesai masak,
tiba-tiba Dian muncul, merangkul ibunya dengan hangat.
“Lama sekali nak Dian tidak datang kemari,” kata bu
Cipto senang.
“Iya Bu, itu sebabnya hari ini saya sempatkan mampir
ke sini.”
“Bu, Dian ini kan sudah hampir menikah, jadi sibuk
mengurus acaranya nanti,” tukas Ratri.
“Belum Bu, masih ancang-ancang dulu.”
“Dengan calon anaknya sudah sangat dekat, dengan
ibunya, apalagi,” Ratri terus meledek sahabatnya.
“Ya sudah Nak, kalau memang sudah cocok, ya segerakan
saja. Keburu tua, kalau menunggu lama-lama.”
“Nanti bareng sama Ratri kok Bu,” canda Dian.
“Ngawur!” pekik Ratri.
Dian terbahak.
“Ya sudah, ibu mau ke belakang dulu, ada yang belum
selesai di kerjakan,” kata bu Cipto sambil berlalu.
“Aku mau bicara penting sama kamu,” kata Dian setelah
bu Cipto ke belakang.
“Apa nih? Serius amat.”
“Memang serius. Kemarin malam pak Radit menelpon saya.”
“Oh ya, cerita apa dia?”
“Belum begitu jelas. Waktu itu sudah malam. Aku ingin
menemuinya, tapi tak bisa menelpon sejak kemarin. Ponselnya mati.”
“Iya.”
“Kamu memutuskan hubungan sama dia?”
Ratri menghela napas panjang.
“Aku harus melakukannya Dian.”
“Kenapa tiba-tiba?”
“Aku kan harus tahu diri. Aku ini siapa, dia itu siapa.
Tadinya aku merasa baik-baik saja, tapi belakangan sikap bu Listyo sudah lain.
Aku mengerti, sangat mengerti, karena aku terlahir dari seorang ibu yang … mm …
waktu itu tampak seperti … sakit jiwa.”
“Sedikit banyak aku sudah tahu, tapi pak Radit sangat
terpukul. Dia terdengar sedih saat menelpon aku. Apa kamu akan tetap dengan
pendirian kamu?”
“Dian, kamu harus tahu, melangkah tanpa restu orang
tua itu sangat tidak baik. Aku tak ingin mas Radit menjadi anak durhaka.”
“Nanti aku akan mencoba menemui pak Radit lagi.”
***
Siang hari itu Listi kembali mengajak ibunya
berjalan-jalan, di mal yang lain. Setelah berputar-putar, Listi mengajak ibunya
singgah di sebuah rumah makan, sekedar minum atau makan makanan ringan, karena
sebelum berangkat mereka sudah makan.
Sebelum masuk ke rumah makan itu, tiba-tiba seseorang
memanggil namanya.
“Non Listi !!”
Listi berhenti melangkah. Ia melihat pembantu bu Listyo
sedang membawa tas belanjaan.
“Bik, kok sendirian belanjanya?”
“Iya Bu, soalnya ibu sedang ada di rumah sakit, dan
saya di suruh belanja banyak untuk keperluan di rumah sakit.”
“Bu Listyo sakit?”
“Bukan ibu yang sakit, tapi pak Radit.”
“Radit sakit?” tanya Listi terkejut.
“Dua hari yang lalu, kecelakaan.”
Mata Listi terbelalak.
“Dua hari yang lalu?”
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun ... Mbak Tien.
ReplyDeleteSalam ADUHAIIII.
Selamat buat pa Yowa juara 1.
DeleteJeng Iin capekngak bisa balapan tadi takziyah kerunah duka Mojokerto bersama PCTK MALANG
Matur nuwun bu Tien eps 36 sampun tayang, Salam SEROJA
Alhamdulillah udah sampai rmh slsai mandi lht kok udah tayang
DeleteTrnyt pak Yo jaga gawang
Mksh bunda Tien
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Pergi sudah tayang
ReplyDeletealhamdulillah..
ReplyDeleteYessss sampun tayang
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteMtrnwn mb Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah JP sudah Hadir...
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien Kumala...
Moga Bu Tien sehat selalu...
Aamiin...
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ...
Terima kasih bu tien , Alhamdulillah dah tayang
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Matur nuwun bunda Tien..🙏
ReplyDeleteSalam sehat selalu..
Alhamdulillah, sampun tayang.
ReplyDeleteMatur sembah nuwun Bu Tien, mugi2 panjenengan tansah pinaringan sehat wal afiat, ginanjar kasarasan karaharjan kabegjan widada nir ing sambekala sahengga saget paring lelipur dumateng para sutrisno cerbung.
Aamiin yaa robbal alamiin 🤲
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Yes!!! Tayang mskasih bunda
ReplyDeleteOo.. akibat mengejar Listy / Ratri jadi kecelakaan ya. Tapi justru merupakan berkah, bu Listyo bisa ketemu bu Tijah yang ternyata sehat.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdullilah sdh tayang JP nya..mksih bunda🙏slmt mlm dan slm sht sll🙏🥰🌹
ReplyDeleteTerima kasih bu tien, alhamdulilah jp sdh tayang ... tambah seru, kasihan radit dan ratri ...
ReplyDeleteSemoga segera bisa bersatu .. selamat malam bu tien . Salam sehat
Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien Jangan Pergi episode 36 sudah tayang.
ReplyDeleteSalam sehat dan salam hangat selalu.
Ceritanya masih panjang, masih berliku dan masih menarik...
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Semoga bu Tien sekeluarga sehat selalu
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSugeng dalu mbak Tien sayang..... Sudah wktnya klimax nih dg luluhnya hati bu Listyo.... Semoga Listy jg menemukan kebahagiaan nantinya.... biar adil gitu heheheheeee.... ngarang ya
ReplyDeleteSalam sehat penuh semangat mbak
Salam rinduku dr Surabaya
Salam Aduhaaai... aaah😙😍👌❤
Alhamdulillah.... Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~36 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Waah makin seru saja ini ceritanya bu Tien.
ReplyDeleteTerimakasih dan salam sehat dari mBantul
Waduh Radit kecelakaan
ReplyDeletePasti ini gara2 Listi lg barusan waras juga udah bikin ulah
Hadeeh...Listi tuh bgmn kl udah bgtu
Yuuuk kita tunggu lanjutannya aj bsk
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku bunda dan ttp ADUHAI
Jgn2 gara2 ngikuti Listi Radit jd kecelakaan🤭
ReplyDeleteJêbul ora biså nututi tå..
ReplyDeleteAmbisi bangêt nututi Listi
Lha iya pacaré dibawa lari, malah parkir sendiri di rumah sakit.
Dokter jadi pasien.
Yang nyetir kan wong edan mlayuné tênanan.
Berasa sudah nggak kelihatan agak tenang, sudah nggak nampak dari kaca spion, jêbul nya bobok di sal rumah sakit, nah ini kesempatan ; calon nya Bu Listyo diajukan disuruh pedekaté nganter masakan ke Radityo di mana dia harus berbaring, nggak peduli hati anaknya maunya sama siapa, kalau maunya emaknya harus sama kandidat yang diusulkan, nggak peduli cocok apa enggak, keras kepala.
Ya iyalah masa kepala enggak keras, aneh-aneh aja.
Tahunya nanti kalau Dian kerumah Radit berniat mau nemuin, jadi mak comblang, èh salah pak comblang.
Tahu maksudnya gitu apa emaknya Radit nggak emosi.
Bisa malah ngusir Dian biså lho.
Nggak tahu kalau Listi nelpon Ratri; memberitahu Radit lagi dirumah sakit, lebih cepat mesthi Ratri memberi tahu Dian.
Biar maksudnya pesan Ratri sampai ke Radit sesegera mungkin.
Malah Ratri langsung pergi kerumah sakit kali.
Rindu menderu-deru.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Jangan pergi yang ke tiga puluh enam sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Tansah ngèkèk...
DeleteOh Radit kecelakaan karna tidak konsentrasi
ReplyDeleteMksh Bu Tien tayangnya JP-36 semoga ibu diberikan kesehatan. Amiin
Trims Bu Tien dan sehat selalu
ReplyDeleteTerima kasih atas sapaannya..
ReplyDeleteSemoga mbak Tien selalu sehat dan tetap berkarya.. Aamiin
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien ,salam sehat wal'afiat 🤗🥰
ReplyDeleteSmg ibu Listyo sadar dg kecelakaan Radit ,,mantab n aduhaiiiii deh bu Tien 👍👍👍
Gud
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteKasihan Radit. Pastinya lagi galau .
ReplyDeleteMakasih mba Tien
Sdh tdk sabar nunggu Ratri dtg nanti mlm..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Salam sehat dan salam Aduhaii..
Radit kecelakaan ooo pantesan..top top ceritanya tdk monoton..trim bu Tien
ReplyDelete