MEMANG KEMBANG JALANAN
27
(Tien Kumalasari)
Lala menatap tajam wanita yang tampak lusuh
dihadapannya. Ia yakin bahwa perempuan ini yang telah merebut hati ayahnya.
Bukan main, apa yang menarik dari wanita ini? Tapi Lala tak sempat menilai
kelebihan wanita itu. Ia sangat marah karena kata-katanya yang tak memiliki sopan
santun. Apakah ayahnya memungutnya di jalanan?
“Kalau Ibu bersikap sopan, saya juga akan bersikap
sopan. Tapi Ibu sama sekali tidak punya tata krama. Saya heran, apa yang
menarik pada Anda sehingga ayah saya tergila-gila,” katanya tajam. Pasti
menyakitkan.
“Apa katamu? Saya sedang bekerja di dapur dan tentu
saja tidak sempat dandan. Tentu saja tidak menarik,” jawabnya yang hanya
berfokus pada kata ‘menarik’ saja.”
“Bukan itu, maksud saya, anda sangat tidak punya tata
krama terhadap orang yang baru saja anda kenal.”
“Aku sudah tahu kalau kamu anaknya mas Haryo. Kamu
sendiri mengatakannya kan? Dan dengar, kalau mas Haryo lebih mencintai aku,
apapun alasannya pasti ibu kamu tidak menarik baginya."
“Saya tidak mau berbincang dengan orang yang tidak
sopan. Saya hanya ingin bertemu ayah saya,” kata Lala yang dengan sekuat tenaga
menahan tangannya agar tidak menampar wanita di hadapannya.
“Tidak bisa. Mas Haryo sedang sakit, dan kalau kamu
mau minta uang ….”
“Diaamm!” kali ini Lala berteriak, membuat hati Nina
sedikit kecut.
Tapi teriakan Lala terdengar oleh Haryo dari dalam
kamarnya. Ia bangkit dan keluar. Heran melihat Lala berdiri di pintu dengan
mata marah menatap Nina.
“Ada apa?”
Tiba-tiba Nina memeluk Haryo dan merengek manja.
“Maas, anakmu ini telah menghina aku.”
Haryo melepaskan pelukan Nina, lalu mendekati anaknya.
“Lala, ada apa?” tanyanya pelan.
“Sudah jelas dia mau minta uang,” kata Nina kesal.
“Bisakah saya duduk Pak?”
“Duduklah. Masuk,” perintah Haryo.
“Saya di sini saja Pak,” kata Lala sambil duduk di
sebuah kursi di teras itu.
Haryo mengikutinya, setelah menepiskan tangan Nina
yang memegangi lengannya. Tapi Nina kemudian bersembunyi di balik pintu,
mendengarkan pembicaraan ayah dan anak itu.
“Apa Bapak sakit?”
“Ya, sedikit. Darimana kamu tahu?”
“Dokter Linda.”
“Ya, pasti dia, saat ibu kamu juga periksa sama dia.
Sakit apa ibumu?”
“Tidak sakit, hanya kelelahan.”
Haryo mengangguk. Lala menatap wajah ayahnya yang
pucat. Rasa kesal karena ayahnya telah berselingkuh dengan wanita tadi, luntur
seketika. Bagaimanapun Haryo adalah ayahnya, yang telah mengukir jiwa raganya.
“Lala datang kesini karena mendengar bahwa Bapak
sakit.”
“Ibumu yang menyuruhnya?”
Lala menggeleng, dan itu membuat Haryo sedikit kecewa.
Barangkali Tindy memang tak lagi memperhatikannya. Biarlah, Haryo merasa salah.
“Aku sudah lebih baik, tapi masih ingin beristirahat
untuk beberapa hari lagi.”
“Itu benar, bapak harus beristirahat. Apa Bapak tak
ingin pulang?” tanya Lala hati-hati.
Haryo menggeleng lemah. Masih adakah muka untuk
kembali setelah ia melihat wajah-wajah kebencian pada semua orang di rumah itu?
“Kalau Bapak ingin pulang, pulang saja.”
Haryo kembali menggeleng. Dibalik pintu, Nina hampir
keluar untuk mendamprat Lala yang mengajak ayahnya pulang, tapi langkahnya
terhenti ketika mendengar kalimat Lala selanjutnya.
“Kedatangan saya kemari, kecuali mendengar kalau Bapak
sakit, juga untuk berpamit. Sebentar lagi Lala mau berangkat.”
“Kamu jadi mau ke luar negri?” tanya Haryo, karena
ketika masih di rumah, Haryo pernah mendengar keinginan Lala itu.
Lala mengangguk.
“Apa kamu butuh uang?” dan Nina yang ada dibalik pintu
lebih membuka telinganya.
“Tidak. Ibu memberi saya uang saku yang cukup.” Nina
urung melabraknya.
“Syukurlah.”
“Lala juga akan kuliah sambil bekerja di sana.”
Haryo mengangguk. Ia tak bisa menyembunyikan
kebanggaannya kepada anak-anaknya yang telah berhasil menempuh pelajaran demi
pelajaran yang hampir tak pernah mendapat bimbingannya. Rasa bersalah itu ada,
tapi Haryo lagi-lagi dicengkeram oleh harga dirinya.
“Lala hanya ingin mengatakan itu. Lala mohon doa
restu,” kata Lala sambil berdiri, lalu mencium tangan ayahnya, kemudian
merangkulnya erat. Haryo membalasnya dengan perasaan yang tak menentu.
“Kalau Bapak ingin pulang, pulanglah,” kata Lala
sebelum pergi. Haryo hanya mengangguk pelan.
***
Gemuruh dada Nina mendengar Lala berkali-kali
mengajaknya pulang. Rasa khawatir segera menyergapnya, kalau-kalau Haryo akan benar-benar
pulang ke rumah isterinya.
Ia bergegas ke kamar, merapikan dandanannya, dan
mengganti pakaiannya dengan yang lebih pantas. Ia memoles wajahnya dengan bedak
dan lipstik, kemudian berputar sejenak di depan cermin. Ia telah merasa rapi
ketika Haryo masuk ke kamar itu.
Haryo menatapnya heran.
“Mau kemana?” tanyanya ketika melihat Nina berdandan.
"Tidak kemana-mana, aku sedang memasak di dapur tadi,
tapi sambil menunggu kuah mendidih, aku berganti baju, karena tadi belum
sempat."
Haryo tak menjawab, lalu kembali membaringkan
tubuhnya.
“Apa Mas masih merasa sakit?” tanyanya seakan penuh perhatian.
“Tidak, aku hanya ingin beristirahat.”
“Aku siapkan makan siang nanti di kamar saja, supaya
Mas tidak usah bangun dan makan di ruang makan.”
“Tidak usah,” katanya singkat.
Nina sedikit kesal karena Haryo seperti
mengacuhkannya. Tapi ia menahan kekesalan itu, karena ajakan Lala untuk pulang
kerumah selalu mengganggunya.
“Baiklah, aku lanjutkan memasak dulu. Tadi aku masak
semur tahu dan telur, serta perkedel kesukaan Mas.”
Haryo memejamkan matanya.
“Hmh, untunglah tidak minta uang, coba kalau benar
minta uang, aku akan benar-benar menghajarnya,” gumamnya pelan saat di dapur,
seperti dia memang berani melakukannya. Padahal melihat pancaran marah dari
mata Lala saja dia sudah merasa ciut.
Sementara itu di tempat tidurnya, Haryo merasa sangat
terpukul. Kedatangan Lala membuatnya merasa tak berguna. Dia membawa berita akan
keberangkatannya ke luar negri dan itu adalah keberhasilannya, sementara dia
merasa tak menjadi sesuatu pada keberhasilan itu. Tenggelam dalam aroma nafsu,
mabuk dalam gelimang rayuan dan kemesraan dari mana-mana, membuatnya tak
memiliki makna dalam hidup ini.
Terngiang kembali kata-kata Lala, ‘kalau Bapak ingin
pulang, pulanglah’. Tapi tidak, sangat
memalukan bagi seorang Haryo untuk menjilat ludah yang sudah dilemparkan. Lalu
Haryo terkurung dalam sesal yang berkepanjangan.
***
“Bu, bagaimana ini bu, kan sudah saatnya aku bayar
kuliah?” rengek Ana ketika pulang kuliah dan sudah duduk di meja makan.
“Sudah, tenang saja. Tidak lama lagi pasti akan
terbayar.
“Dan aku juga, sebelum ujian aku harus lunas juga,”
sambung Endah.
“Sudah, diamlah. Kan kamu tahu bahwa pak Haryo sedang
sakit dan belum mengambil gaji?”
“Iya, tapi sampai kapan?”
“Sebentar lagi, diam disitu dan jangan mengucapkan
apapun tentang uang sekolah saat pak Haryo sudah duduk di ruang makan ini. Itu
urusan ibu. Tahu?” kata Nina tandas. Kedua anaknya diam dengan mulut cemberut.
Lalu Nina beranjak ke kamar, dimana Haryo masih
terbaring diam.
“Mas,” katanya lembut. Sungguh dia akan berbaik-baik
sekarang, karena tak ingin Haryo terbawa ajakan Lala untuk kembali ke rumah.
Haryo membuka matanya.
“Mas mau makan di kamar, atau ke ruang makan?”
“Aku keluar saja. Tidak enak makan di kamar,” kata
Haryo sambil bangkit.
“Iya, kalau Mas masih merasa tidak enak, nggak apa-apa
aku bawakan makan Mas ke kamar," katanya sambil membelai punggung Haryo lembut.
“Tidak.”
“Baiklah, ayo ke ruang makan, anak-anak sudah menunggu,”
katanya sambil menarik lengan Haryo pelan.
“Aku ke kamar mandi dulu,” katanya sambil melepaskan
pegangan Nina.
“Baiklah, aku tunggu di ruang makan ya Mas.”
Nina sudah duduk di kursi makan, lalu menyendokkan
nasi untuk Haryo, ketika Haryo datang kemudian duduk di kursinya.
“Terlalu banyak, kurangi nasinya,” perintah Haryo.
“Segini terlalu banyak? Apa mas juga kehilangan selera
makan? Ini masakan kesukaan Mas lho.”
“Iya, kurangi saja nasinya, kalau kurang aku nambah
sendiri.”
“Baiklah, sayang,” kata Nina sambil mengurangi nasi di
piring Haryo. Endah dan Ana menutup mulutnya menahan senyum ketika melihat
kemesraan ibunya yang dibuat-buat.
Nina memelototi mereka.
Mereka makan tanpa bicara. Kedua anak Nina mengerti,
kalau Haryo sedang tak enak badan, dan ibunya tampak sangat menjaganya. Mereka
tak tahu penyebab semua itu, Ia tak tahu ada Lala datang pagi tadi dan secara
tidak langsung membawa ancaman bagi ibunya.
“Mas, bagaimana sekarang perasaan Mas? Masih pusing? “
“Tidak begitu, nanti sore mau kontrol ke dokter.”
“Aku ikut ya mas?”
“Nggak usah, kenapa ikut?”
“Ya supaya aku juga mendengar dari dokter, bagaimana
keadaan sakitnya Mas”.
“Tidak usah, nggak enak sama dokternya. Itu kan dokter
keluarga.”
“O, takut ketahuan Tindy ya.”
“Bukan takut. Nggak mau saja.”
“Kok obatnya tidak dibawa kemari? Aku ambilkan ya? Di
kamar kan?”
“Tidak usah, aku minum di kamar saja.”
“Kalau begitu akan aku tambahkan air putihnya yang ada
di kamar.”
“Masih penuh, belum aku minum, biarkan saja.”
“Oh, baiklah. Lhah kok makannya sudah selesai?” tanya
Nina ketika Haryo sudah meletakkan sendok garpunya.
“Sudah kenyang, aku mau kembali ke kamar,” kata Haryo
sambil berdiri.
Nina menghela napas ketika Haryo sudah pergi.
“Heran, hari ini Ibu mesra banget sama pak Haryo,”
kata Endah.
“Diam. Ada cara untuk memikat hati pria. Bukan seperti
kamu, menggaet Danarto saja tidak bisa,” omel Nina sambil melanjutkan makannya.
“Lhoh, Ibu kok lari kesitu?”
“Nah lo. Salah siapa tidak menyerahkan saja sama aku,”
celetuk Ana yang membuat ibunya kembali melotot ke arahnya.
***
“Selamat sore,” ucapan itu mengejutkan Desy yang
sedang duduk sendirian di teras.
“Eh, mas Danar. Kok tiba-tiba sudah ada di sini sih?
Nggak dengar suara mobilnya?”
“Aku parkir di luar.”
“Kenapa nggak masuk ?”
“Ada mobil di situ, aku kira ada tamu.”
“Bukan, itu mobil mbak Lala, belum lama pulang.”
“Oh, ya sudah, nggak apa-apa, biar saja di luar.”
“Dari mana?”
“Dari rumah. Bagaimana keadaan ibu?”
“Ibu, baik sekali. Minum obatnya tertib, istirahat
juga tertib.”
“Syukurlah, senang mendengarnya. Saya pikir hari ini
akan kontrol.”
“Tidak, kalau obatnya habis baru mau kontrol. Kan
dikasih obat untuk sebulan?”
“Oh, iya benar, aku yang lupa.”
“Mau ketemu ibu?”
“Tidak, nanti aku mengganggu. Ketemu kamu saja,” kata
Danarto nekat.
“Ah ….”
Desy tersipu, dan debar di jantungnya menjadi kencang.
Apalagi ketika mata mereka bertatapan..
“Kenapa? Nggak boleh?” mata mereka masih bertatapan,
susah sekali mengalihkan pandangan kepada masing-masing lawan bicara mereka.
Tapi kemudian Desy menundukkan wajahnya yang memerah.
“Nggak bolehkah?” ulang Danarto.
“Kalau nggak boleh, sudah aku usir mas Danar dari
tadi,” jawab Desy tanpa berani menatap wajahnya lagi.
Danarto tertawa lirih.
“Terima kasih.”
“Mau aku ajak keluar sore ini?”
“Keluar? Keluar kemana?”
“Jalan-jalan lah, melepaskan lelah setelah beraktivitas
seharian.”
“Makin lelah dong kalau jalan-jalan, bukannya
melepaskan lelah,” sergah Desy sambil tersenyum.
“Maksudnya bukan fisiknya, tapi batinnya. Fisik lelah,
harus diistirahatkan, kalau batin yang lelah, harus cari hiburan. Jalan-jalan,
santai, nonton film. Pokoknya banyak, dan yang pasti harus yang membuat lelah
itu hilang.”
“Gitu ya?”
“Maukah ?”
“Aku mau bilang ibu dulu, mungkin tidak apa-apa,
karena mbak Lala sudah pulang.”
“Baiklah.”
Desy berdiri, beranjak ke belakang. Dilihatnya sang
ibu sedang duduk di ruang tengah, ditemani Tutut.
“Siapa tamunya Des?” tanya Tindy.
“Mas Danarto.”
Tutut berdehem sambil tersenyum, Desy melotot
memandangi adiknya yang menggodanya.
“Oh, suruh Simbok membuatkan minum.”
“Mas Danar mengajak aku jalan, bolehkah?”
“Aduuh, mau pacaran nih?” celetuk Tutut.
Tindy mencubit pipi Tutut.
“Jangan begitu. Besok kalau punya pacar, dibalas, baru tahu
rasa,” kata Tindy sambil tersenyum.
“Bolehkah Bu?”
“Boleh saja, jangan malam-malam pulangnya.”
“Desy ganti baju dulu,” kata Desy yang langsung masuk
ke kamarnya.
Tindy melangkah keluar.
“Nggak tahu Ibu, ternyata ada tamu.”
“Bagaimana keadaan Ibu? Saya lihat sudah tampak lebih
segar?”
“Alhamdulillah nak dokter, Ibu merasa lebih baik.”
“Ibu jangan terlalu capek ya.”
“Iya, pasti.”
“Bu, saya mau mengajak Desy jalan-jalan, bolehkah?”
“Iya, Desy sudah mengatakannya. Jangan terlalu malam
pulangnya ya?”
“Iya Bu.”
***
Danarto memarkir mobilnya di area pertokoan, lalu
mereka berjalan kaki menyusuri jalanan dengan
santai.
“Makan bakso yuk,” Danarto menawarkan.
“Boleh.”
“Didepan itu ada warung bakso yang enak. Agak kesana,
biar jalannya lama.”
“Kok gitu?”
“Kan bisa lebih lama jalan sama kamu.”
“Ah ….”
“Suka sekali ngomong ‘ah’ ya?”
“Oh ya? Nggak sengaja tuh. Sudah berapa kali aku ngomong
begitu?”
“Seingat aku … dua kali. Semoga ada lagi nanti,” goda
Danarto.
Akhirnya mereka sampai di sebuah warung bakso yang
dimaksud.
Danarto memegang lengan Desy karena ada tangga
sebelum memasuki warung. Tiba-tiba sebuah panggilan mengejutkan mereka.
“Mas Danar !”
***
Besok lagi ya.