Monday, January 31, 2022

MEMANG KEMBANG JALANAN 27

 

MEMANG KEMBANG JALANAN  27

(Tien Kumalasari)

 

Lala menatap tajam wanita yang tampak lusuh dihadapannya. Ia yakin bahwa perempuan ini yang telah merebut hati ayahnya. Bukan main, apa yang menarik dari wanita ini? Tapi Lala tak sempat menilai kelebihan wanita itu. Ia sangat marah karena kata-katanya yang tak memiliki sopan santun. Apakah ayahnya memungutnya di jalanan?

“Kalau Ibu bersikap sopan, saya juga akan bersikap sopan. Tapi Ibu sama sekali tidak punya tata krama. Saya heran, apa yang menarik pada Anda sehingga ayah saya tergila-gila,” katanya tajam. Pasti menyakitkan.

“Apa katamu? Saya sedang bekerja di dapur dan tentu saja tidak sempat dandan. Tentu saja tidak menarik,” jawabnya yang hanya berfokus pada kata ‘menarik’ saja.”

“Bukan itu, maksud saya, anda sangat tidak punya tata krama terhadap orang yang baru saja anda kenal.”

“Aku sudah tahu kalau kamu anaknya mas Haryo. Kamu sendiri mengatakannya kan? Dan dengar, kalau mas Haryo lebih mencintai aku, apapun alasannya pasti ibu kamu tidak menarik baginya."

“Saya tidak mau berbincang dengan orang yang tidak sopan. Saya hanya ingin bertemu ayah saya,” kata Lala yang dengan sekuat tenaga menahan tangannya agar tidak menampar wanita di hadapannya.

“Tidak bisa. Mas Haryo sedang sakit, dan kalau kamu mau minta uang ….”

“Diaamm!” kali ini Lala berteriak, membuat hati Nina sedikit kecut.

Tapi teriakan Lala terdengar oleh Haryo dari dalam kamarnya. Ia bangkit dan keluar. Heran melihat Lala berdiri di pintu dengan mata marah menatap Nina.

“Ada apa?”

Tiba-tiba Nina memeluk Haryo dan merengek manja.

“Maas, anakmu ini telah menghina aku.”

Haryo melepaskan pelukan Nina, lalu mendekati anaknya.

“Lala, ada apa?” tanyanya pelan.

“Sudah jelas dia mau minta uang,” kata Nina kesal.

“Bisakah saya duduk Pak?”

“Duduklah. Masuk,” perintah Haryo.

“Saya di sini saja Pak,” kata Lala sambil duduk di sebuah kursi di teras itu.

Haryo mengikutinya, setelah menepiskan tangan Nina yang memegangi lengannya. Tapi Nina kemudian bersembunyi di balik pintu, mendengarkan pembicaraan ayah dan anak itu.

“Apa Bapak sakit?”

“Ya, sedikit. Darimana kamu tahu?”

“Dokter Linda.”

“Ya, pasti dia, saat ibu kamu juga periksa sama dia. Sakit apa ibumu?”

“Tidak sakit, hanya kelelahan.”

Haryo mengangguk. Lala menatap wajah ayahnya yang pucat. Rasa kesal karena ayahnya telah berselingkuh dengan wanita tadi, luntur seketika. Bagaimanapun Haryo adalah ayahnya, yang telah mengukir jiwa raganya.

“Lala datang kesini karena mendengar bahwa Bapak sakit.”

“Ibumu yang menyuruhnya?”

Lala menggeleng, dan itu membuat Haryo sedikit kecewa. Barangkali Tindy memang tak lagi memperhatikannya. Biarlah, Haryo merasa salah.

“Aku sudah lebih baik, tapi masih ingin beristirahat untuk beberapa hari lagi.”

“Itu benar, bapak harus beristirahat. Apa Bapak tak ingin pulang?” tanya Lala hati-hati.

Haryo menggeleng lemah. Masih adakah muka untuk kembali setelah ia melihat wajah-wajah kebencian pada semua orang di rumah itu?

“Kalau Bapak ingin pulang, pulang saja.”

Haryo kembali menggeleng. Dibalik pintu, Nina hampir keluar untuk mendamprat Lala yang mengajak ayahnya pulang, tapi langkahnya terhenti ketika mendengar kalimat Lala selanjutnya.

“Kedatangan saya kemari, kecuali mendengar kalau Bapak sakit, juga untuk berpamit. Sebentar lagi Lala mau berangkat.”

“Kamu jadi mau ke luar negri?” tanya Haryo, karena ketika masih di rumah, Haryo pernah mendengar keinginan Lala itu.

Lala mengangguk.

“Apa kamu butuh uang?” dan Nina yang ada dibalik pintu lebih membuka telinganya.

“Tidak. Ibu memberi saya uang saku yang cukup.” Nina urung melabraknya.

“Syukurlah.”

“Lala juga akan kuliah sambil bekerja di sana.”

Haryo mengangguk. Ia tak bisa menyembunyikan kebanggaannya kepada anak-anaknya yang telah berhasil menempuh pelajaran demi pelajaran yang hampir tak pernah mendapat bimbingannya. Rasa bersalah itu ada, tapi Haryo lagi-lagi dicengkeram oleh harga dirinya.

“Lala hanya ingin mengatakan itu. Lala mohon doa restu,” kata Lala sambil berdiri, lalu mencium tangan ayahnya, kemudian merangkulnya erat. Haryo membalasnya dengan perasaan yang tak menentu.

“Kalau Bapak ingin pulang, pulanglah,” kata Lala sebelum pergi. Haryo hanya mengangguk pelan.

***

Gemuruh dada Nina mendengar Lala berkali-kali mengajaknya pulang. Rasa khawatir segera menyergapnya, kalau-kalau Haryo akan benar-benar pulang ke rumah isterinya.

Ia bergegas ke kamar, merapikan dandanannya, dan mengganti pakaiannya dengan yang lebih pantas. Ia memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik, kemudian berputar sejenak di depan cermin. Ia telah merasa rapi ketika Haryo masuk ke kamar itu.

Haryo menatapnya heran.

“Mau kemana?” tanyanya ketika melihat Nina berdandan.

"Tidak kemana-mana, aku sedang memasak di dapur tadi, tapi sambil menunggu kuah mendidih, aku berganti baju, karena tadi belum sempat."

Haryo tak menjawab, lalu kembali membaringkan tubuhnya.

“Apa Mas masih merasa sakit?” tanyanya seakan penuh perhatian.

“Tidak, aku hanya ingin beristirahat.”

“Aku siapkan makan siang nanti di kamar saja, supaya Mas tidak usah bangun dan makan di ruang makan.”

“Tidak usah,” katanya singkat.

Nina sedikit kesal karena Haryo seperti mengacuhkannya. Tapi ia menahan kekesalan itu, karena ajakan Lala untuk pulang kerumah selalu mengganggunya.

“Baiklah, aku lanjutkan memasak dulu. Tadi aku masak semur tahu dan telur, serta perkedel kesukaan Mas.”

Haryo memejamkan matanya.

“Hmh, untunglah tidak minta uang, coba kalau benar minta uang, aku akan benar-benar menghajarnya,” gumamnya pelan saat di dapur, seperti dia memang berani melakukannya. Padahal melihat pancaran marah dari mata Lala saja dia sudah merasa ciut.

Sementara itu di tempat tidurnya, Haryo merasa sangat terpukul. Kedatangan Lala membuatnya merasa tak berguna. Dia membawa berita akan keberangkatannya ke luar negri dan itu adalah keberhasilannya, sementara dia merasa tak menjadi sesuatu pada keberhasilan itu. Tenggelam dalam aroma nafsu, mabuk dalam gelimang rayuan dan kemesraan dari mana-mana, membuatnya tak memiliki makna dalam hidup ini.

Terngiang kembali kata-kata Lala, ‘kalau Bapak ingin pulang, pulanglah’.  Tapi tidak, sangat memalukan bagi seorang Haryo untuk menjilat ludah yang sudah dilemparkan. Lalu Haryo terkurung dalam sesal yang berkepanjangan.

***

“Bu, bagaimana ini bu, kan sudah saatnya aku bayar kuliah?” rengek Ana ketika pulang kuliah dan sudah duduk di meja makan.

“Sudah, tenang saja. Tidak lama lagi pasti akan terbayar.

“Dan aku juga, sebelum ujian aku harus lunas juga,” sambung Endah.

“Sudah, diamlah. Kan kamu tahu bahwa pak Haryo sedang sakit dan belum mengambil gaji?”

“Iya, tapi sampai kapan?”

“Sebentar lagi, diam disitu dan jangan mengucapkan apapun tentang uang sekolah saat pak Haryo sudah duduk di ruang makan ini. Itu urusan ibu. Tahu?” kata Nina tandas. Kedua anaknya diam dengan mulut cemberut.

Lalu Nina beranjak ke kamar, dimana Haryo masih terbaring diam.

“Mas,” katanya lembut. Sungguh dia akan berbaik-baik sekarang, karena tak ingin Haryo terbawa ajakan Lala untuk kembali ke rumah.

Haryo membuka matanya.

“Mas mau makan di kamar, atau ke ruang makan?”

“Aku keluar saja. Tidak enak makan di kamar,” kata Haryo sambil bangkit.

“Iya, kalau Mas masih merasa tidak enak, nggak apa-apa aku bawakan makan Mas ke kamar," katanya sambil membelai punggung Haryo lembut.

“Tidak.”

“Baiklah, ayo ke ruang makan, anak-anak sudah menunggu,” katanya sambil menarik lengan Haryo pelan.

“Aku ke kamar mandi dulu,” katanya sambil melepaskan pegangan Nina.

“Baiklah, aku tunggu di ruang makan ya Mas.”

Nina sudah duduk di kursi makan, lalu menyendokkan nasi untuk Haryo, ketika Haryo datang kemudian duduk di kursinya.

“Terlalu banyak, kurangi nasinya,” perintah Haryo.

“Segini terlalu banyak? Apa mas juga kehilangan selera makan? Ini masakan kesukaan Mas lho.”

“Iya, kurangi saja nasinya, kalau kurang aku nambah sendiri.”

“Baiklah, sayang,” kata Nina sambil mengurangi nasi di piring Haryo. Endah dan  Ana menutup mulutnya menahan senyum ketika melihat kemesraan ibunya yang dibuat-buat.

Nina memelototi mereka.

Mereka makan tanpa bicara. Kedua anak Nina mengerti, kalau Haryo sedang tak enak badan, dan ibunya tampak sangat menjaganya. Mereka tak tahu penyebab semua itu, Ia tak tahu ada Lala datang pagi tadi dan secara tidak langsung membawa ancaman bagi ibunya.

“Mas, bagaimana sekarang perasaan Mas? Masih pusing? “

“Tidak begitu, nanti sore mau kontrol ke dokter.”

“Aku ikut ya mas?”

“Nggak usah, kenapa ikut?”

“Ya supaya aku juga mendengar dari dokter, bagaimana keadaan sakitnya Mas”.

“Tidak usah, nggak enak sama dokternya. Itu kan dokter keluarga.”

“O, takut ketahuan Tindy ya.”

“Bukan takut. Nggak mau saja.”

“Kok obatnya tidak dibawa kemari? Aku ambilkan ya? Di kamar kan?”

“Tidak usah, aku minum di kamar saja.”

“Kalau begitu akan aku tambahkan air putihnya yang ada di kamar.”

“Masih penuh, belum aku minum, biarkan saja.”

“Oh, baiklah. Lhah kok makannya sudah selesai?” tanya Nina ketika Haryo sudah meletakkan sendok garpunya.

“Sudah kenyang, aku mau kembali ke kamar,” kata Haryo sambil berdiri.

Nina menghela napas ketika Haryo sudah pergi.

“Heran, hari ini Ibu mesra banget sama pak Haryo,” kata Endah.

“Diam. Ada cara untuk memikat hati pria. Bukan seperti kamu, menggaet Danarto saja tidak bisa,” omel Nina sambil melanjutkan makannya.

“Lhoh, Ibu kok lari kesitu?”

“Nah lo. Salah siapa tidak menyerahkan saja sama aku,” celetuk Ana yang membuat ibunya kembali melotot ke arahnya.

***

“Selamat sore,” ucapan itu mengejutkan Desy yang sedang duduk sendirian di teras.

“Eh, mas Danar. Kok tiba-tiba sudah ada di sini sih? Nggak dengar suara mobilnya?”

“Aku parkir di luar.”

“Kenapa nggak masuk ?”

“Ada mobil di situ, aku kira ada tamu.”

“Bukan, itu mobil mbak Lala, belum lama pulang.”

“Oh, ya sudah, nggak apa-apa, biar saja di luar.”

“Dari mana?”

“Dari rumah. Bagaimana keadaan ibu?”

“Ibu, baik sekali. Minum obatnya tertib, istirahat juga tertib.”

“Syukurlah, senang mendengarnya. Saya pikir hari ini akan kontrol.”

“Tidak, kalau obatnya habis baru mau kontrol. Kan dikasih obat untuk sebulan?”

“Oh, iya benar, aku yang lupa.”

“Mau ketemu ibu?”

“Tidak, nanti aku mengganggu. Ketemu kamu saja,” kata Danarto nekat.

“Ah ….”

Desy tersipu, dan debar di jantungnya menjadi kencang. Apalagi ketika mata mereka bertatapan..

“Kenapa? Nggak boleh?” mata mereka masih bertatapan, susah sekali mengalihkan pandangan kepada masing-masing lawan bicara mereka.

Tapi kemudian Desy menundukkan wajahnya yang memerah.

“Nggak bolehkah?” ulang Danarto.

“Kalau nggak boleh, sudah aku usir mas Danar dari tadi,” jawab Desy tanpa berani menatap wajahnya lagi.

Danarto tertawa lirih.

“Terima kasih.”

“Mau aku ajak keluar sore ini?”

“Keluar? Keluar kemana?”

“Jalan-jalan lah, melepaskan lelah setelah beraktivitas seharian.”

“Makin lelah dong kalau jalan-jalan, bukannya melepaskan lelah,” sergah Desy sambil tersenyum.

“Maksudnya bukan fisiknya, tapi batinnya. Fisik lelah, harus diistirahatkan, kalau batin yang lelah, harus cari hiburan. Jalan-jalan, santai, nonton film. Pokoknya banyak, dan yang pasti harus yang membuat lelah itu hilang.”

“Gitu ya?”

“Maukah ?”

“Aku mau bilang ibu dulu, mungkin tidak apa-apa, karena mbak Lala sudah pulang.”

“Baiklah.”

Desy berdiri, beranjak ke belakang. Dilihatnya sang ibu sedang duduk di ruang tengah, ditemani Tutut.

“Siapa tamunya Des?” tanya Tindy.

“Mas Danarto.”

Tutut berdehem sambil tersenyum, Desy melotot memandangi adiknya yang menggodanya.

“Oh, suruh Simbok membuatkan minum.”

“Mas Danar mengajak aku jalan, bolehkah?”

“Aduuh, mau pacaran nih?” celetuk Tutut.

Tindy mencubit pipi Tutut.

“Jangan begitu. Besok kalau punya pacar,  dibalas, baru tahu rasa,” kata Tindy sambil tersenyum.

“Bolehkah Bu?”

“Boleh saja, jangan malam-malam pulangnya.”

“Desy ganti baju dulu,” kata Desy yang langsung masuk ke kamarnya.

Tindy melangkah keluar.

“Nggak tahu Ibu, ternyata ada tamu.”

“Bagaimana keadaan Ibu? Saya lihat sudah tampak lebih segar?”

“Alhamdulillah nak dokter, Ibu merasa lebih baik.”

“Ibu jangan terlalu capek ya.”

“Iya, pasti.”

“Bu, saya mau mengajak Desy jalan-jalan, bolehkah?”

“Iya, Desy sudah mengatakannya. Jangan terlalu malam pulangnya ya?”

“Iya Bu.”

***

Danarto memarkir mobilnya di area pertokoan, lalu mereka berjalan kaki  menyusuri jalanan dengan santai.

“Makan bakso yuk,” Danarto menawarkan.

“Boleh.”

“Didepan itu ada warung bakso yang enak. Agak kesana, biar jalannya lama.”

“Kok gitu?”

“Kan bisa lebih lama jalan sama kamu.”

“Ah ….”

“Suka sekali ngomong ‘ah’ ya?”

“Oh ya? Nggak sengaja tuh. Sudah berapa kali aku ngomong begitu?”

“Seingat aku … dua kali. Semoga ada lagi nanti,” goda Danarto.

Akhirnya mereka sampai di sebuah warung bakso yang dimaksud.

Danarto memegang lengan Desy karena ada tangga sebelum memasuki warung. Tiba-tiba sebuah panggilan mengejutkan mereka.

“Mas Danar !”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

Saturday, January 29, 2022

MEMANG KEMBANG JALANAN 26

 

MEMANG KEMBANG JALANAN  26

(Tien Kumalasari)

 

Haryo menatap Siska tak percaya. Tapi dilihatnya Siska mengangguk meyakinkan.

“Itu benar Pak, waktu kami belanja bersama-sama, Nina kecopetan, lalu saya pinjamin uang satu juta untuk belanja. Karena masih kurang, dia minta tambah lagi tigaratus ribu rupiah. Nina janji akan mengembalikan pada tanggal satu. Lha ini sudah tanggal dua kan Pak? Saya menelpon Nina berkali-kali, tapi sepertinya ponselnya tidak aktif.”

Haryo berpegangan pada sandaran kursi, karena dia merasa bumi yang dipijaknya serasa bergoyang. Ia ingat ketika Nina membawa banyak belanjaan hari itu, dan mengatakan bahwa Siska memberinya. Ternyata meminjamkannya. Haryo merasa sangat geram. Tapi ia menahannya.

“Kalau begitu rupanya kamu harus berurusan sendiri sama dia.”

“Ya Pak, tentu, itu sebabnya saya mencari dia. Tapi karena saya sedang tergesa-gesa, saya tinggal saja dulu. Saya harap Bapak mau menyampaikannya.”

“Tidak, sampaikan saja sendiri. Aku tidak mau ikut campur. Kalau mau menunggu, tunggu saja, mungkin sebentar lagi pulang. Tapi kalau tidak mau, datanglah lain kali. Saya sedang tak enak badan,” kata Haryo sambil menahan kekesalannya.

“Baiklah Pak, seperti saya sampaikan tadi, saya sedang tergesa-gesa, jadi saya akan datang lain kali. Sekarang saya permisi.”

“Ya … ya, silakan. Tapi aku minta tolong ya Sis, jangan sekali-sekali kamu bilang pada Nina bahwa kamu telah mengatakan semuanya padaku, karena aku akan berpura-pura tidak tahu menahu.”

“Baiklah Pak.”

Haryo langsung masuk ke kamarnya begitu Siska pergi. Ia mengambil segelas minum yang sudah disiapkannya di nakas, lalu membaringkan tubuhnya dengan napas terengah-engah.

Sekian puluh tahun berlalu dengan menyenangkan, dan ketika dia tak sanggup lagi membiarkan Nina menghambur-hamburkan uang, maka segalanya berubah. Perasaannya juga berubah.

“Mengapa dia melakukannya? Mengapa dia tak mau mengerti tentang keadaanku sekarang? Dan dia malah melakukan hal memalukan yang sudah kelewat batas. Berhutang untuk belanja bermacam barang dan sebagian besar barang yang tak perlu dibeli? Tidak, aku tak mau tahu. Aku akan berpura-pura tidak tahu. Terserah dia mau melakukan apa.”

Lalu Haryo berusaha menenangkan batinnya dengan memenjamkan mata dan mengatur napasnya yang memburu.

Tiba-tiba Haryo merasa bahwa dia telah salah melangkah. Nina yang pintar merayu dan melayaninya dengan manis, sudah lenyap dari angan-angannya. Kesenangan sesaat yang dirasakannya, lebur bersama hari demi hari yang dilaluinya. Apakah Haryo akan kembali kepada Tindy? Tidak, Haryo bukan saja seorang yang mudah tergoda perempuan, tapi dia juga tinggi hati dan pantang mengaku salah. Ia memendam kekecewaan demi kekecewaan hanya didalam hati. Entah sampai kapan dia mampu bertahan.

***

Sementara itu Nina yang baru saja memasuki rumah, mendengar ponselnya berdering. Nina memang baru saja keluar untuk membeli pulsa, sehingga ia bisa menerima panggilan telpon yang masuk.

“Hm, Siska,” gumamnya sambil mengangkat ponselnya.

“Ya Sis?” jawabnya.

“Aduh Nina, kamu kemana saja, aku menelpon kamu berkali-kali tapi kamu tidak mengangkatnya.”

“Maaf Sis, aku kehabisan kuota. Ini barusan beli, dan baru saja masuk ke rumah.”

“Oh, pantesan aku ke rumah kamu tapi kamu tidak ada.”

“Kamu ke rumah?”

“Iya, mau menagih uangku dulu itu. Kan kamu janji tanggal satu mau mengembalikan? Ini sudah tanggal berapa?”

“Tunggu, kamu tadi ke rumah ketemu siapa?”

“Ketemu pak Haryo.”

“Kamu bilang bahwa aku berhutang sama kamu?”

“Ti_tidak, aku hanya mencari kamu.”

“Oh, syukurlah.”

“Lalu bagaimana dengan janji kamu? Aku sedang butuh nih.”

“Maaf Sis, aku belum diberi uang oleh suamiku.”

“Ini kan sudah tanggal dua? Apa kamu tidak minta uang sama dia?”

“Tidak usah minta, kalau dia sudah gajian pasti dikasih. Tapi ini dia lagi sakit. Jadi aku belum menerima uangnya.”

“Iya, tadi aku melihat dia kelihatan seperti sakit.”

“Tuh kan, aku tidak bohong.”

“Jadi kapan nih? Aku butuh banget Nin.”

“Coba besok ya Sis. Aku kira dia besok sudah bisa mengambil gaji. Jangan khawatir, aku pasti akan mengembalikan uang kamu.”

“Baiklah, aku akan menunggu sampai besok.”

“Terimakasih atas pengertian kamu ya Sis.”

Tapi begitu menutup ponselnya, Nina menjadi gelisah bukan main. Benarkah besok Haryo sudah akan mengambil gajinya dan memberinya uang belanja?

Nina masuk ke kamar, dan melihat Haryo memejamkan mata. Barangkali dia tertidur, atau bahkan pura-pura tidur, entahlah.

***

Sore harinya, Nina masuk ke kamarnya, dengan membawa secangkir kopi dan sepiring cemilan. Dilihatnya Haryo masih memejamkan mata, tapi Nina berusaha membangunkannya, karena ia butuh sesuatu.

“Mas, ini kopinya.”

Nina meletakkan secangkir kopi di nakas.

“Mumpung masih anget lho mas, sama roti bakar lapis keju kesukaan Mas,” katanya sambil menyentuh lengan Haryo. Begitu manis dan manjanya Nina bersuara.

Haryo membuka matanya.

“Ini kopinya Mas.”

“Aku tidak minum kopi manis.”

“Kalau begitu aku buatkan teh saja?”

“Baiklah, teh saja. Atau air putih, tapi aku mau bangun, dan keluar kamar,” kata Haryo sambil bangkit lalu masuk ke kamar mandi.

“Baiklah, aku siapkan di ruang tengah ya.”

Nina kebelakang. Ia membuat teh untuk Haryo dan segelas air putih seperti yang dimintanya, kemudian meletakkannya di ruang tengah. Ketika ia meletakkan minuman itu, dilihatnya Haryo sudah duduk disana.

“Ini Mas, silakan, masih hangat.

Haryo meraih cangkir teh itu, dan mencecapnya, lalu meletakkan kembali di meja, kemudian menyalakan televisi, mencari chanel yang dikehendakinya.

“Mas, ini roti bakarnya.”

“Ya, nanti saja.”

“Mas tidak makan siang tadi, aku lihat Mas tidur sangat nyenyak.”

“Ya.”

“Mas sudah merasa baikan?”

“Lumayan.”

“Kalau begitu besok Mas ke kantor dong.”

“Tidak, aku cuti selama seminggu.”

Nina membelalakkan matanya.

“Cuti seminggu ? Bagaimana dengan gaji Mas?”

“Apa boleh buat … “ kata Haryo sambil mengganti chanel di televisinya.

“Mas bagaimana sih, uangku sudah habis.”

“Bukankah kebutuhan sehari-hari sudah ada? Kamu belanja banyak waktu itu kan? Tinggal beli sayur, kan tidak begitu mahal?”

“Apa Mas mau makan seadanya?”

“Makan seadanya saja. Sayur yang sehat, tahu, tempe, kan murah? Aku beri duaratus ribu untuk beli sayuran dan lauk sederhana,” kata Haryo sambil masuk ke kamar, lalu keluar dan menyerahkan uang duaratus ribu kepada Nina.

Wajah Nina masam bagai perasan jeruk nipis.Eh bukan … Kalau jeruk nipis itu banyak khasiatnya, tapi wajah Nina tampak seperti racun yang siap membunuh siapapun yang meminumnya. Haryo tak peduli.

“Mengapa merengut? Apakah hanya sayur dan lauk selama seminggu itu tidak cukup? Bukankah hanya itu kebutuhan kita? Barusan sudah beli beras banyak.”

“Tapi harus bayar listrik, air.”

“Nanti aku yang bayar.”

Nina benar-benar kesal. Ia ingat bahwa janjinya pada Siska adalah besok pagi. Bagaimana kalau uangnya belum siap? Ia ingin berteriak sekeras-kerasnya. Dan akhirnya dia menangis tersedu-sedu.

Haryo hanya meliriknya sekilas. Ia mengambil sepotong roti, lalu memakannya, karena ia memang merasa lapar.

“Besok tidak usah beli roti. Singkong rebus, kata dokter adalah makanan sehat,” ujarnya ringan.

Sebenarnya uang itu cukup kalau untuk beli sayur. Tapi janjinya kepada Siska itu jutaan. Satu juta lebih. Ia tahu Siska itu baik, tapi kalau soal uang ia sangat perhitungan. Barangkali suaminya juga memperhitungkan uang belanja yang diberikan, siapa tahu.

“Mas sungguh keterlaluan,” pekik Nina kemudian beranjak kebelakang, meninggalkan Haryo sendirian. Haryo bergeming. Ia harus memberi pelajaran kepada Nina. Kalau Nina tidak bisa diperbaiki, Haryo sudah memikirkan apa yang harus dilakukannya.

***

“Mbak Lala kok melamun disini?” kata Simbok yang sibuk memasak di dapur, sementara Lala duduk diam di sebuah kursi di depan meja dapur.

“Pengin ngelihat Simbok masak,” kata Lala sambil tersenyum.

“Ini sudah hampir selesai Mbak. Apa mbak Lala ingin makan dulu? Atau sama Ibu?”

“Ibu sedang tidur, dan beliau tak akan mau makan duluan sebelum kami bersaudara berkumpul. Kecuali kalau memang ada yang benar-benar tidak bisa ikut makan bersama.”

“Iya benar. Menurut Ibu, makan bersama-sama itu lebih nikmat.”

“Benar Mbok.”

“Tapi menurut Simbok, Mbak Lala seperti sedang sedih begitu. Ada apa?”

“Sebenarnya aku memikirkan Bapak.”

“O, begitu ?”

“Beberapa hari yang lalu Bapak periksa ke dokter karena sakit. Tadi aku ke kampusnya Bapak, tapi katanya Bapak tidak masuk karena sakit.”

“Kasihan ya Mbak. Tapi kan Bapak sudah ada yang mengurusnya?”

“Biarpun ada, tapi aku tetap kepikiran dong Mbok.”

“Iya sih Mbak, namanya anak sama orang tua. Lalu bagaimana kalau Bapak tidak ada dirumah ini? Apa mbak Lala mau menengoknya di rumah … itu … isteri mudanya?” kata Simbok hati-hati.

“Sedang aku pikirkan Mbok. Gimana ya enaknya.”

“Ya nggak apa-apa sih Mbak, kalau memang Mbak Lala ingin kesana. Kan maksudnya mau menjenguk Bapak.”

“Sekalian mau berpamit, kan sebentar lagi aku berangkat.”

“Nah, itu ada alasannya yang bagus.”

“Tapi Simbok nggak usah bilang-bilang sama yang lainnya ya. Apalagi sama Ibu, aku tidak tahu apakah Ibu akan berkenan atau tidak.”

“Iya Mbak, Simbok mengerti kok. Tapi keinginan Mbak Lala itu sangat bagus.”

“Baiklah, mungkin besok saja aku mau ke rumahnya. Tapi bertanya dulu ke kampus, siapa tahu bapak sudah mulai ke kampus lagi.”

***

Hari itu Haryo belum masuk kerja. Ia ingin istirahat, sekaligus menahan keinginan Nina yang ingin segera minta uang belanja. Haryo yakin Nina juga memikirkan hutangnya sama Siska.

“Aku harus memberinya pelajaran. Entah apa yang akan dilakukannya ketika dia tidak bisa menepati janjinya. Siapa menyuruhnya berhutang begitu banyak,” pikir Haryo.

Nina benar-benar hanya memasak sayur bening dan tahu-tempe bacem. Pagi hari itu Haryo sarapan dengan lahap. Berbeda dengan Endah dan Ana, yang menikmati sarapan dengan ogah-ogahan.

“Ibu apa-apaan nih, nggak enak lauknya.”

“Diam.” Kata Nina kasar. Kedua anaknya diam. Mereka makan sedikit, kemudian berpamit untuk berangkat kuliah.

“Bu, buat beli bensin?” kata Ana.

“Mas, ada uang nggak?” tanya Nina kepada Haryo.

“Tidak ada,” jawab Haryo singkat, sambil menyendok makanannya.

“Ini, beli sepuluh ribu saja,” kata Nina sambil memberikan selembar puluhan ribu kepada Ana dari saku dasternya. Itu kembalian dari tukang kerupuk yang baru saja diletakkan di toples untuk tambah lauk mereka.

“Cuma ini?” protes Ana.

“Sudah, berangkat sana!” hardik Nina sambil melotot ke arah Ana. Mereka berangkat bersama dengan wajah bersungut-sungut.

Haryo masih menikmati sarapannya, ketika ponsel Nina berdering. Nina menghampirinya dan menerimanya di teras depan, takut Haryo mendengarnya, karena telpon itu dari Siska.

“Ya Sis?”

“Bagaimana Nin, apa aku bisa kerumah untuk mengambil uangku?”

“Waduh Sis, baru saja aku mau menelpon kamu. Suamiku masih sakit, dan benar-benar belum bisa mengambil gajinya.”

“Gimana sih Nin, aku tuh menagih berdasarkan janji kamu sendiri. Kalau begini caranya aku bisa marah nih.”

“Tolong mengertilah Sis, dia benar-benar sakit.”

“Masa sih kamu hanya mengandalkan gaji suami kamu? Katanya orang kaya.”

“Kan kamu tahu bahwa aku habis kecopetan. Uangku limabelasan juta amblas waktu itu," Nina bohobg lagi.

“Minta dong sama suami kamu. Tanpa menunggu gajian kan dia pasti punya uang.”

“Ya ampun Sis, tolong mengertilah. Sekarang aku janji, empat hari lagi lah. Suamiku hanya cuti lima hari lagi sejak hari ini. Tolong Sis.”

“Baiklah, aku beri kamu waktu sampai tanggal sepuluh. Kalau tidak bisa juga, aku akan memintanya langsung pada Pak Haryo.”

“Jangan dong Sis. Aku bisa habis kalau dia tahu.”

“Ya sudah, tanggal sepuluh, jangan lupa.”

Nina menghela napas. Tanggal sepuluh, pastinya Haryo sudah masuk kerja dan mengambil gajinya.

***

Pagi hari itu, Lala benar-benar mendatangi rumah Nina, demi keinginannya untuk melihat keadaan bapaknya, sekaligus ingin berpamit karena sebentar lagi mau berangkat ke luar negri.

Lala menghentikan mobilnya diluar pagar, lalu berjalan perlahan memasuki halaman.  Ia melihat mobil ayahnya terparkir dihalaman itu, tapi rumah itu tampak sepi, dan pintunya tertutup. Lala berdebar, apakah ayahnya masih terbaring sakit?

Ia menaiki teras dan mengetuk pintunya pelan. Tak ada sahutan. Lalu diketuknya lebih keras. Lala mendengar langkah kaki mendekat, dan terbukalah pintu itu. Seorang wanita muncul dengan wajah keruh.

“Selamat pagi,” sapa Lala berusaha sopan.

“Pagi. Mau ketemu siapa ya?”

“Pak Haryo ada?”

Wajah Nina semakin keruh. Gadis didepannya sangat cantik. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih, berpakaian sederhana tapi tampak anggun. Nina mengira Lala adalah mahasiswa yang sedang mencari Haryo. Pastilah mahasiswa yang sangat istimewa.

“Anda siapa?”

“Saya Lala, anak pak Haryo.”

Nina mundur selangkah. Ia belum pernah melihat anak-anak Haryo sebelumnya. Kecurigaannya timbul. Pastilah gadis ini akan meminta uang karena sudah lama ayahnya tidak pulang.

“O, anaknya pak Haryo? Saat ini pak Haryo sedang sakit, dan kalau kamu mau meminta uang, saat ini pak Haryo belum gajian,” katanya ketus.

Lala tertegun. Rupanya begini wajah perempuan yang membuat ayahnya terhanyut. Dia pernah melihatnya dari kejauhan, dan sekarang baru benar-benar jelas. Mata Lala menyala tiba-tiba. Ada api disana, membuat Nina mundur selangkah lagi.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

 

 

Friday, January 28, 2022

MEMANG KEMBANG JALANAN 25

 

MEMANG KEMBANG JALANAN  25

(Tien Kumalasari)

 

“Stop, nak dokter. Berhenti dulu,” kata Tindy sambil melihat ke arah halaman tempat dokter Linda berpraktek.

“Lebih baik kita masuk setelah Bapak pergi.”

“Apa pak Haryo sakit?” tanya Danarto.

“Pastinya dia sakit. Tapi saya tidak ingin bertemu disini,” kata Tindy pelan.

“Baiklah Bu, saya akan memarkir agak kedepan sedikit, supaya kalau pak Haryo keluar tidak melihat keberadaan kita," kata Danarto mengerti.


“Apa Bapak mengenal mobil ini ?”

“Pastinya mengenal, kalau beliau ingat. Soalnya mobil ini pernah dibawa pak Haryo pulang ketika melayat saat ibu meninggal.”

“Apa Bapak tidak membawa mobil ?”

“Tidak, kan saat menjelang meninggalnya ibu, aku menjemput pak Haryo ke rumah. Jadi  pak Haryo juga ikut ke rumah, lalu pulangnya mobil ini dibawa. Esok paginya pak Haryo datang saat pemakaman, masih membawa mobil ini.”

“O, karena itulah mas Danar bisa kenal anaknya Nina?”

“Ya, ketika melayat itu dia ikut bersama pak Haryo. Tapi aku tuh agak-agak lupa wajahnya, karena bertemunya hanya sekilas. Maklum, saat itu banyak tamu yang melayat, termasuk saudara-saudaranya ibu.”

“Setahuku, anaknya Nina ada dua. Yang satu namanya Ana.”

“Saya hanya melihat Endah ketika itu.”

“Apa Nina ikut melayat?”

“Tidak Bu. Bahkan saya belum pernah bertegur sapa saat ke rumahnya. Soalnya dia tidak ikut menemui saya. Jadi saya juga hanya melihatnya sekilas.”

“Lihat Bu, tampaknya Bapak sudah mau keluar," kata Desy.

“Sama siapa dia?”

“Sepertinya sendirian,” jawab Desy.

Dan tak lama kemudian memang mobil Haryo meluncur dari halaman itu. Untunglah Danarto sudah memajukan mobilnya, sehingga Haryo tidak melihatnya.

“Apakah kita bisa masuk?”

“Ya nak dokter, silakan. Aduh, tapi saya sungkan, nak dokter jadi repot.”

“Tidak repot kok Bu, kan saya sudah bilang bahwa saya sedang tidak punya pekerjaan,” kata Danarto sambil memundurkan mobilnya, lalu masuk ke halaman.

Tampaknya sudah tidak ada pasien lagi setelah Haryo, sehingga begitu masuk, Tindy langsung dipersilakan menemui dokternya.

“Lhoh, ada Danar juga nih?” kata dokter Linda ketika melihat Danar masuk bersama Tindy dan Desy.

“Iya dok, kebetulan saya lagi main kesana, jadi ikut mengantar sekalian,” jawab Danar.

“Silakan duduk semuanya,” kata dokter Linda ramah.

“Terimakasih dok,” kata Tindy dan Desy hampir bersamaan.

“Danarto ini dokter pintar, tidak lama lagi dia akan mengambil spesialisasi interna. Iya kan Danar?”

“Iya dok,” jawab Danar tersipu.

“Barangkali bu Tindy butuh menantu … “ kata dokter Linda sambil mengacungkan jempolnya ke arah Danarto, membuat wajah Danarto memerah, dan melirik sekilas ke arah Desy yang menunduk tak berkomentar.

Tindy tertawa sambil menatap Danarto.

“Jangan begitu dok, siapa tahu nak dokter ini sudah punya calon,” kata Tindy.

“Tidak Bu, belum laku nih.”

Lalu pembicaraan sekedar beramah tamah itu menjadi riuh karena dokter Linda terus menggoda Danar,

“Oh ya, barusan pak Haryo kemari,” tiba-tiba dokter Linda mengalihkan pembicaraan, sambil membuka laporan dari lab yang diserahkan Desy.

“Oh, apa dia sakit?”

“Memangnya pak Haryo tidak bilang sama bu Tindy?”

“Dia ….”

“Memang tadi pak Haryo bilang bahwa dari kantor langsung ke sini, tapi saya kira beliau bilang sama ibu kalau sakit.”

“Oh, tidak.”

“Tekanan darahnya tinggi. Pantas dia merasa pusing. Tapi saya sudah memberikan resep tadi. Mungkin terlalu banyak pekerjaan, jadi capek.”

“Bagaimana dengan saya dok?” tanya Tindy mengalihkan pembicaraan.

“Mm … saya lihat … baik semua kok Bu.”

“Benarkah dok?” tanya Desy.

“Kamu kan calon dokter, pasti bisa dong membaca hasil lab ini,” kata dokter Linda sambil menyerahkan hasil lab nya kepada Desy.

“Saya kan tidak berani membukanya dok,” kata Desy sambil mengamati hasil lab itu.

“Bagus semua kan? Memang sih, bu Tindy tidak boleh kecapekan. Hanya ada sedikit gangguan di liver ibu, tapi hanya sedikit. Ibu harus banyak istirahat, jangan banyak pikiran, dan buat agar hari-hari ibu menyenangkan,” kata dokter Linda.

“Mungkin kalau perlu, Bu Tindy harus cuti untuk beberapa hari, ya kan dok?” tanya Danarto.

“Betul. Ambil cuti seminggu atau dua minggu Bu,” sahut dokter Linda.

“Saya akan menuliskan resepnya, sekaligus untuk sebulan,” kata dokter Linda sambil menulis resep.

“Tuh Bu, ibu harus istirahat dan mengambil cuti,” kata Desy sambil memeluk pinggang ibunya.

“Baiklah. Tapi apakah penyakit saya berbahaya?” tanya Tindy.

“Tidak. Asalkan Bu Tindy benar-benar bisa istirahat, dan jangan membebani pikiran dengan hal-hal yang berat.”

“Sebenarnya saya juga tidak pernah terbebani,” kata Tindy pelan.

“Syukurlah. Tapi mulai sekarang Ibu harus lebih relax. Satu lagi, kurangi makanan berlemak ya Bu.”

“Baiklah dokter.”

“Jaga ibu ya Des.”

“Siap dokter.”

Danarto mengantarkan pulang setelah mampir ke apotek untuk membeli obat.                                                                                                         

***

Danarto singgah beberapa waktu, sekedar berbincang dengan Desy dan Lala, yang saat itu sudah pulang ke rumah.

“Jadi sakit ibu tidak berbahaya ya dok?” tanya Lala.

“Aduh, panggil saya Danarto saja dong Mbak, jangan ‘dok’ begitu,” sanggah Danarto.

“Lha memangnya mas Danarto kan dokter?”

“Tapi kan saya tidak sedang menjadi dokter. Saya datang sebagai sahabat, eh, sebagai putranya bu Tindy, kan tadi bu Tindy bersedia menganggap saya sebagai putranya.”

“Oh ya, baiklah mas Danarto.”

“Danarto saja, nggak pakai ‘mas’ ,”

“Lhoh, kok banyak sekali peraturannya?”

“Supaya saya tidak merasa rikuh, saya kan lebih muda dari mbak Lala?”

“Baiklah, Danar, saya ulangi lagi, sakit ibu tidak berbahaya kan?”

“Tidak Mbak, Ibu hanya perlu istirahat dan jangan boleh banyak beban pikiran.”

“Baiklah, kami akan menjaga ibu sebaik mungkin, karena kami hanya punya Ibu.”

Danarto ingin mengatakan sesuatu tapi diurungkannya. Ia heran karena Lala mengatakan bahwa dia hanya punya ibu, sementara Haryo kan masih ada. Apakah bu Tindy sudah bercerai dengan suaminya? Danarto hanya tersenyum mengangguk meng ‘iya’ kan.

“Tadi Bapak juga berobat ke dokter Linda,” kata Desy.

“Oh ya, kalian ketemu?”

“Tidak, kami masuk setelah Bapak pulang.”

“Kamu bertanya pada dokter Linda tentang sakitnya Bapak?”

“Ya. Tekanan darahnya sangat tinggi. Katanya sering merasa pusing.”

“Oo. Pasti Bapak juga capek,” ujar Lala pelan.

Bagaimanapun Haryo adalah ayahnya, dan mendengar ayahnya sakit, Lala juga merasa prihatin.

“Semoga Bapak segera pulih.”

“Aamiin,” kata Desy dan Danarto hampir bersamaan.

***

“Mengapa sudah malam Mas baru pulang?” tanya Nina yang menyambut pulangnya Haryo di teras.

“Ya, aku dari dokter Linda.”

“Ngapain ke dokter Linda? Pasti dokter itu cantik kan?”

“Kamu aneh-aneh saja. Dia kan dokter, kalau aku kesana ya pasti aku periksa dong.”

“Memangnya Mas sakit apa?”

“Akhir-akhir ini aku sering merasa pusing. Ternyata tekanan darahku tinggi,” kata Haryo sambil masuk ke dalam kamar.

“Mas tidak pernah bilang kalau pusing.”

“Keseringan pusing, jadi malas bilang.”

“Lalu dikasih obat apa?”

“Ini obatnya, aku sudah mengambilnya di apotek sekalian,” kata Haryo sambil meletakkan bungkusan obat di nakas.

“Obat segini banyak? Pati mahal.”

“Mana ada obat murah?” kata Haryo sambil melepas sepatunya. Nina membantu melepaskannya.

“Kalau begitu Mas makan dulu, lalu obatnya diminum.”

Haryo melepas pakaiannya, lalu masuk ke kamar mandi, membersihkan diri dan berganti pakaian. Nina masih menungguinya di kamar.

“Mas mau makan sekarang?”

“Aku istirahat dulu sebentar,” kata Haryo sambil berbaring di atas ranjang.

“Aku pijitin ya Mas,” kata Nina sambil memijit-mijit kaki Haryo.

Haryo memejamkan matanya.

“Mas tahu, aku tadi sudah khawatir.”

“Khawatir kenapa?”

“Jangan-jangan Mas pulang ke rumah Tindy.”

“Hm …”

“Aku takut kehilangan Mas,” rengek Nina.

Haryo tak menjawab, matanya masih terpejam. Sudah sering Nina mengatakan kalimat itu. Mereka diam beberapa saat lamanya, dan Nina masih terus memijit kaki Haryo.

“Mas ….”

“Hm ….”

“Sudah sejak kemarin-kemarin aku ingin bilang, bahwa uang bulanan sudah menipis.”

Haryo masih diam dan memejamkan matanya.

“Mas sudah gajian kan? Ini sudah tanggal dua.”

“Aku belum mengambil gaji.”

“Lhoh, Mas gimana sih. Mengapa tidak segera diambil? Kita kan butuh makan? Butuh ini … itu … Endah juga sudah saatnya bayar kuliah.”

“Aku kan sudah bilang bahwa kamu harus berhemat?” kata Haryo dengan nada tinggi. Ia sebenarnya ingin menenangkan pikiran dan menghilangkan pusing yang menderanya, tapi Nina yang begitu manis melayaninya malam itu ternyata hanya karena ingin minta uang.

“Mau berhemat apa lagi mas? Sudah seminggu lebih saya berhemat, tidak membeli yang mahal-mahal, dan itu karena aku sudah belanja ketika bertemu Siska waktu itu. Tapi setiap hari kan aku harus mengeluarkan uang? Beli gas, bayar listrik, bayar air. Sampai-sampai ponselku mati gara-gara aku kehabisan kuota.”

Haryo membalikkan tubuhnya, membelakangi Nina yang mengomel tak habis-habisnya.

“Mas, besok ya, aku ingatkan, jangan lupa,” kata Nina sambil berdiri lalu keluar dari kamar.

Haryo menghela napas berat. Kalau saja dia tidak sedang sakit, dia akan bicara banyak tentang uang yang dimiliki dan yang harus dikeluarkan, sehingga Nina tidak sembarangan meminta. Tapi kepalanya yang terasa berat, membuatnya enggan berbicara banyak.

Lalu ia teringat bahwa harus segera minum obatnya. Ia bangkit, meraih bungkusan obat, dan membaca setiap etiket yang tertulis di beberapa macam obat yang harus diminumnya.

Haryo mengambil satu per satu .obat yang harus diminumnya, lalu keluar untuk mengambil air minum. Ia melihat di meja ada segelas air putih dan secangkir kopi, yang pastinya disediakan untuk dirinya. Tak terlihat Nina di ruang tengah itu. Ia mengabaikan kopi yang sudah mulai dingin, lalu menelan obat-obatnya dengan air putih yang ada di sana.

Kemudian dia kembali masuk ke kamar.

***

Pagi hari itu Haryo tidak masuk ke kantor. Rasa pusing sudah berkurang, tapi ia perlu beristirahat untuk beberapa hari. Ia makan pagi bersama Nina dan anak-anaknya, dengan tanpa banyak bicara.

“Mas, aku ingatkan lagi ya, hari ini jangan lupa,” kata Nina ketika mereka makan.

Haryo tak menjawab apapun. Ia menaruh obat yang diminumnya untuk pagi hari itu didekat gelas minumnya, agar begitu selesai makan ia bisa langsung meminumnya.

“Mas tidak lupa kan?” ulang Nina.

“Sama aku juga butuh uang nih Bu,” sambung Endah.

“Aku juga lho Bu, kan catatannya sudah aku serahkan sama Ibu, ada kebutuhan untuk buku juga lho,” Ana ikutan bicara.

“Ya sudah, diam kalian, nanti Bapak baru mau ambil gaji,” kata Nina.

Begitu selesai sarapan, Endah dan Ana segera berpamit untuk pergi kuliah, tinggal Haryo dan Nina yang masih duduk di kursi makan.

“Pakaian Mas sudah aku siapkan. Sudah jam segini kok Mas belum siap-siap sih? Apa tidak kesiangan?”

“Aku tidak ke kantor hari ini,” kata Haryo sambil meminum obatnya.

“Apa? Tidak ke kantor? Bukankah Mas harus mengambil gaji hari ini?”

“Kamu tahu tidak, bahwa aku sedang tidak enak badan?” kata Haryo lagi-lagi dengan nada tinggi.

“Tapi Mas kan sudah minum obatnya?”

“Aku butuh istirahat,” kata Haryo sambil berdiri.

“Padahal gas habis juga. Aduh … “ keluh Nina dengan wajah masam.

Kemudian ia membereskan meja makan dan mengangkutnya ke belakang.

Haryo masuk ke kamar dan membaringkan tubuhnya. Ia masih merasa pusing. Tiba-tiba ia teringat apa yang dikatakan dokter Linda kemarin sore.

“Bu Tindy juga sakit, sekarang pak Haryo sakit pula.”

Haryo tertegun. Tindy sakit? Ia ingin bertanya, tentang sakitnya Tindy, tapi sungkan. Masa sih isterinya sakit dia sampai tidak tahu? Ia malah mengalihkan cerita tentang Tindy dengan mengeluhkan rasa sakit yang dideritanya. Pusing, lemas, susah makan, dan sebagainya.

“Tekanan darah Pak Haryo tinggi sekali. Hampir duaratus. Pak Haryo harus minum beberapa obat yang saya berikan. Kurang istirahat ya Pak? Atau sedang banyak pikiran?”

Haryo menghela napas berat. Ternyata ia hampir tidak lagi punya tabungan. Ia hanya mengharapkan gaji bulanan yang diterima, dengan kebutuhan yang entah bagaimana hampir menghabiskan seluruh uang bulanannya.

“Aku harus mengekangnya. Nina tak boleh lagi sembarangan menghamburkan uang,” gumam Haryo.

Tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya. Barangkali ada obat yang efeknya membuatnya sangat mengantuk. Haryo memejamkan matanya, tapi tiba-tiba didengarnya ketukan di pintu. Ketukan itu terdengar berkali-kali.

“Nina kemana ya, apa tidak mendengar ada orang mengetuk pintu?” gumam Haryo kesal.

Ia bangkit, lalu melangkah keluar. Ketika ia membuka pintu, dilihatnya seorang wanita dengan pakaian glamour berdiri sambil tersenyum.

“Ini Pak Haryo kan?”

“Iy_ iya ….”

“Pak Haryo lupa ya sama saya? Saya Siska Pak, dulu bekerja di optik sama Nina.”

“Oh, iya … iya … sekarang ingat. Sekarang kok tambah muda kelihatannya.”

“Pak Haryo bisa saja. Boleh saya duduk ?”

“Silakan … silakan … Mau ketemu Nina ya, sebentar saya panggilkan,” kata Haryo sambil membalikkan tubuh dan beranjak ke belakang. Tapi ternyata dia tak menemukan Nina. Di dapur, di kamar mandi, tidak ada. Lalu ia kembali lagi ke teras, dimana Siska masih duduk menunggu.

“Rupanya dia sedang keluar, Sis. Nggak tahu aku, soalnya aku sedang nggak enak badan, tiduran di kamar. Dia tidak pamit sama saya. Mungkin hanya ke warung, atau entah kemana ya.”

“Oh, gitu ya, soalnya saya menelponnya berkali-kali tidak diangkat. Tampaknya ponselnya tidak aktif.”

“Mungkin juga. Apa mau menunggu? Tapi maaf, akan saya tinggal ke kamar ya, badan saya agak kurang enak soalnya.”

“Saya sedang tergesa-gesa Pak, tuh saya ditunggu sopir. Kalau begitu saya pesan saja sama Pak Haryo ya.”

“Pesan apa Sis?”

“Kira-kira sepuluhan hari yang lalu, Nina meminjam uang saya sebanyak satu juta tigaratus ribu rupiah.”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...