Monday, July 31, 2023

SEBUAH PESAN 57

 SEBUAH PESAN  57

(Tien Kumalasari)

 

Bu Rahman masih memegang ponselnya, dan masih meletakkannya di depan telinganya. Ia mendengar teman arisannya masih berkata-kata, tapi dia tidak meresponnya. Sang teman memuji-muji salon milik Raya dengan penuh kekaguman.

“Masih baru, tapi pelanggannya sudah banyak. Soalnya kata mereka, Raya selalu ramah kepada semua pelanggan, dan setiap sore suaminya juga ada di salon itu, berbincang dengan para karyawannya dengan hangat dan menyenangkan. Mbakyu juga tidak mengundang ketika mereka menikah sih, kata para karyawan salon, suami Raya ganteng sekali dan sangat royal. Sering memborong bakso keliling, untuk para karyawan dan pelanggan yang kebetulan masih ada di salon.”

Bu Lusia panjang lebar mengoceh, Bu Rahman mendengarkan sambil merasakan kepalanya berdenyut-denyut. Uang siapa yang dipergunakan untuk mendirikan salon? Butuh modal yang bukan main untuk itu semua.

“Mbakyu, Mbakyu masih di situ? Kok diam saja aku mengoceh tidak karuan?”

“Oh, eh … iya, sebenarnya aku ini sedang sakit, ini lagi digosokin minyak angin oleh pembantu aku.”

“Mbakyu sakit? Ya sudah, maaf kalau begitu. Aku mengganggu ya? Cepat sembuh ya, minggu depan kita ketemuan kan?”

Bu Rahman juga tidak menjawab ucapan terakhirnya. Matanya nanar menatap langit-langit kamar.

“Ini sudah rata, Nyonya, mau dipijit sekalian?”

“Boleh, sebentar saja, aku ingin segera tidur.”

“Baiklah.”

“Jadi salon itu milik Raya …” gumamnya perlahan.

“Tuh, benar kan kata saya? Namanya juga salon Raya. Pasti punya non Raya. Nyonya harus senang dong.”

“Tidak, aku justru sedih.”

“Mengapa Nyonya? Non Raya jadi pengusaha salon, bukankah itu menyenangkan?”

“Coba kamu pikir Sar. Mendirikan salon itu butuh uang yang bukan main banyaknya. Dari mana Raya mendapatkannya? Kalau hanya tabungan Raya, untuk beli salah satu alat pengering rambut saja tidak akan cukup.”

“Pastinya tuan Damian yang membelikannya, membiayai semuanya.”

“Nah, Damian kan? Tidakkah kamu berpikir, dari mana uangnya? Aku yakin Damian berhutang ke mana-mana, membuat Raya ikut menanggungnya.”

“Nyonya, kalau benar berhutang, orang yang punya uang itu tidak sembarang mau menghutangkan kepada sembarang orang lhoh.”

“Biarpun reyot, kan dia punya rumah?”

“Nyonya, kalau boleh saya bicara, sebaiknya Nyonya tidak terlalu banyak memikirkan non Raya. Saya kira non Raya sudah hidup tenang dan bahagia. Kalau Nyonya terlalu banyak pikiran, akibatnya Nyonya bisa sakit.”

Dan bu Rahman sadar, bahwa sekarang dadanya bertambah sakit. Seperti ada yang menindihnya. Bik Sarti khawatir, melihat wajah nyonya majikannya seperti menahan sakit.

“Nyonya, saya akan menelpon tuan ya?”

“Tidak, gosok lagi saja, di sini, di dada kiri ini,” keluhnya.

Bik Sarti menggosoknya lagi. Perasaan khawatir mulai mengganggu dirinya.

“Saya ambilkan minuman hangat ya Nyonya,” kata bik Sarti tanpa menunggu jawaban nyonya majikannya, langsung keluar kamar. Ia menuju dapur untuk membuat teh hangat, tapi ia juga sambil meraih ponselnya, dan menelpon tuan Rahman, dan mengatakan bahwa sang istri sakit.

Bik Sarti membawa masuk teh hangatnya ke dalam kamar, dan meminta agar sang Nyonya meneguknya perlahan.

“Sudah, tinggalkan saja aku, tolong selimuti aku, lalu kamu boleh pergi,” kata bu Rahman sambil memejamkan mata.

Bik Sarti keluar dengan perasaan khawatir. Ia berharap tuan majikannya segera pulang dan memastikan, apakah istrinya akan dibawa ke rumah sakit, atau memanggil dokter.

***

Belum begitu siang, Maksum masih menunggu dagangannya. Ada perasaan bersyukur ketika seorang yang baik hati memberikannya uang untuk berobat istrinya. Ia berjanji, setelah dagangannya habis, akan membawa sang istri ke rumah sakit.

“Semoga dengan ini, istriku akan kembali pulih,” gumamnya.

Dagangan tinggal sedikit. Maksum bermaksud menutup warungnya dan segera mempersiapkan sang istri untuk dibawa ke rumah sakit.

Tapi belum selesai dia berkemas, sebuah mobil berhenti. Maksum berdebar. Ia seperti mengenal mobil itu. Seorang wanita turun dengan wajah masam. Maksum segera tahu, dia adalah Hanna. Pasti dia akan memarahinya karena pasti maksud jahatnya gagal total setelah dia mengatakan semua perbuatannya kepada Ani.

“Jangan tutup dulu!” hardik Hanna.

Maksum berhenti berkemas. Sekarang dia berhadapan dengan wanita yang membuatnya terjerumus ke dalam aksi kejahatan.  Tapi keberanian tiba-tiba saja muncul. Ia sudah mempersiapkan jawaban kalau wanita cantik itu marah-marah.

“Kamu tahu, mengapa aku datang kemari? Kamu tahu bahwa aku sangat marah sama kamu,” hardiknya.

“Ya, maaf Non.”

“Kamu sadar kesalahan apa yang kamu lakukan, bodoh?! Mengapa kamu mengatakan semuanya kepada orang lain, sementara aku sudah membayar mahal untuk kamu?”

“Saya minta maaf. Saya berterus terang, karena gadis yang tadinya saya foto itu melihat saya dan mencurigai saya. Dari pada memikul beban, lebih baik saya berterus terang.”

“Bodoh! Dan aku menanggung malu karenanya. Bukan hanya itu, semuanya jadi barantakan. Keinginanku gagal total.”

Maksum diam.

“Sekarang kembalikan uang aku,” katanya sambil  menadahkan sebelah tangannya ke arah wajah Maksum.

“Apa?”

“Kembalikan uang aku. Aku nggak mau rugi. Kalau berhasil sih, berapapun uang yang kamu minta pasti aku berikan. Tapi ini gagal total dan membuat aku sangat malu karena ketahuan.”

Maksum terkejut. Tapi ia ingat membawa uang pemberian Damian. Lebih baik uang itu dikembalikan, dari pada dia terbebani dengan dosa yang telah diperbuatnya.

Maksum membuka keresek yang sudah diikat, lalu mengambil uang dari keresek itu, sebanyak dua juta. Uang itu diulurkannya kepada Hanna dengan wajah penuh kesal.

“Ini uang non Hanna, saya bersyukur bisa mengembalikannya. Semoga dengan demikian saya tidak lagi terbebani oleh dosa Sampeyan.”

Hanna terkejut. Ia tak mengira Maksum benar-benar bisa mengembalikan uangnya. Hanna menerimanya, dan menghitungnya. Sudah benar, dua juta.

Lalu maksum melanjutkan membenahi sisa dagangannya. Merapikan bangku bekas dia berjualan, dan karena sibuknya, ia bahkan tak tahu, wanita bernama Hanna itu sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya.

***

Dengan penuh harapan, Maksum membawa sang istri ke rumah sakit. Sungguh ia bersyukur karena ketemu orang sebaik Damian. Orang yang menjadi korbannya.

“Bu, ayo ke rumah sakit. Ada orang baik yang akan membiayai pengobatan kamu.”

Bu Maksum yang tak berdaya, hanya bisa mengangguk. Maksum menyiapkan baju bersih untuk istrinya, lalu memanggil taksi.

Sang istri yang sebenarnya heran karena sang suami tampak gagah dengan akan membawanya ke rumah sakit. Tapi ia tak bisa menanyakan apapun.  Obat yang diminum belum sepenuhnya membuatnya pulih,. Mulutnya masih perot, dan tidak bisa bicara, karenanya dia menurut saja ketika sang suami mengangkatnya dan membawanya masuk ke dalam sebuah taksi.

***

Pak Rahman sudah memanggil dokter, begitu dia sampai di rumah dan melihat keadaan sang istri.

Tapi rupanya dokter menyarankan agar bu Rahman dibawa saja ke rumah sakit. Ada pemeriksaan yang harus dijalaninya, karena sang dokter menghawatirkan jantung bu Rahman  yang tampaknya bermasalah.

Jadi, mau tak mau bu Rahman harus dibawa ke rumah sakit.

“Ya ampun Pak, aku mau dirawat di rumah saja, aku kan tidak sakit berat, hanya merasa sesak sedikit, tadi sudah digosok minyak angin sama Sarti, sebentar lagi sudah pasti sembuh.”

“Ibu itu bukan anak kecil lagi, jadi tolong turuti nasehat dokter. Sopir sudah aku suruh menyiapkan mobilnya, ayo  bersiap. Perlu ganti baju tidak?”

“Mana aku kerasan tidur di rumah sakit.”

“Ya tidak ada orang yang kerasan tidur di rumah sakit. Tapi ada beberapa pemeriksaan yang harus Ibu jalani, sehingga jelas penyakitnya, jelas pula pengobatannya."

Bu Rahman bangkit, dan perlahan mencari baju di almari, pak Rahman membantunya.

“Kamu itu jangan banyak pikiran. Hal yang seharusnya kamu lepaskan, ya sudah lepaskan saja. Urus saja apa yang menjadi urusan kamu.,” omel pak Rahman.

“Namanya juga anak. Tetep saja orang tua kepikiran.”

“Memangnya mereka itu ada apa? Hidupnya tenteram, bahagia. Apa yang ibu susahkan? Aku kan sudah bilang, kalau ibu terus-terusan membebani pikiran dengan hal yang seharusnya tidak ibu pikirkan, nanti ibu akan sakit. Hati tak puas, tubuh akan menjadi sakit. Percayalah.”

Bu Rahman diam. Perlahan mengganti bajunya, karena memang dia merasa lemah. Dan dalam melangkah ke luar rumah untuk menghampiri mobil yang sudah menunggu saja, pak Rahman harus menuntunnya.

***

Raya sedang berada di salon, dan kebetulan sedang ada pelanggan yang harus dilayani ketiga karyawannya, ketika ponsel Raya berdering.

Raya mengangkatnya, ternyata dari bapaknya.

“Bapak? Ada apa Pak?”

“Kamu lagi di mana?”

“Di salon.”

“Bisa kah kamu minta ijin sebentar? Bapak akan menjemput kamu segera.”

“Bisa Pak, Bapak mau mengajak ke mana?”

“Ibumu ada di rumah sakit.”

Raya terkejut.

“Ibu sakit? Sakit apa?”

“Baru saja masuk, kata dokter yang tadi aku panggil ke rumah, ada masalah dengan jantungnya. Tapi harus diperiksa secara lengkap di rumah sakit.”

“Baik Pak, saya akan ke sana. Rumah sakit mana?”

“Kamu tunggu bapak saja, sekalian bapak pulang untuk mengambil baju ganti ibumu.”

“Oh, baiklah, Raya akan menunggu.”

Raya berpesan kepada para karyawannya, bahwa dia akan pergi ke rumah sakit. Ia sedang ke belakang ketika pak Rahman masuk ke dalam salon.

“Selamat siang,” sapa pak Rahman.

“Selamat siang Pak, maaf, ini salon khusus untuk wanita, jadi_”

“Iya, saya tahu kok. Saya akan menjemput karyawan yang bernama Raya.”

Karyawan yang mendengar saling pandang, karena Raya disebutnya karyawan. Ia tidak tahu siapa yang datang sebenarnya.

“Pak, ibu Raya bukan karyawan. Dia pemilik salon ini,” kata salah seorang karyawan sambil menghentikan kegiatannya.

Pak Rahman terkejut. Ia belum mendengar bahwa salon itu milik Raya. Menurut sang istri, Raya bekerja di salon yang namanya Salon Raya.

Pak Rahman ingin menjawab, ketika Raya tiba-tiba sudah keluar.

“Bapak sudah menjemput, ayo kita pergi. Aku pergi dulu ya Mbak,.. ini, ayah saya sudah menjemput,” katanya kemudian kepada karyawannya.

Pak Rahman ingin mengatakan sesuatu, tapi Raya segera menariknya keluar. Ia ingin segera tahu keadaan ibunya.

Tapi sepeninggal Raya dan ayahnya, para karyawan kasak kusuk karena heran. Mengapa ayahnya sendiri tidak tahu bahwa Raya adalah pemilik salon, bahkan ayahnya mengira Raya adalah karyawan.

“Berarti ibu Raya tidak berterus terang kepada orang tuanya bahwa dia pemilik salon ini, dan mengaku hanya sebagai karyawan,” kata salah satunya.

“Iya, kenapa ya, bu Raya?”

Tapi kasak kusuk itu berhenti karena ada pelanggan lain yang datang.

***

Pak Rahman nyamperin Raya dulu sebelum pulang untuk mengambil baju istrinya. Ia melakukannya, karena tiba-tiba sopirnya pamit karena istrinya mau melahirkan.

“Ray, bapak terkejut ketika mendengar bahwa kamulah pemilik salon itu.”

“Maaf, Pak. Saya memang belum mengatakan semuanya pada Bapak ataupun ibu.”

“Ibumu khawatir dengan keadaan ini.”

“Apa yang ibu khawatirkan?”

“Banyak hal tentang kamu dan Damian. Damian kuliah, lalu kalian bisa ke Jakarta pulang pergi dengan naik pesawat, dan sekarang ternyata kamu memiliki salon kecantikan.”

“Apa yang ibu khawatirkan?" Raya mengulangi pertanyaannya.

“Ibumu selalu menganggap, dari mana Damian mendapat duit segitu banyak. Ibumu khawatir uang itu didapat dari meminjam, atau menggadaikan rumah, atau apalah, karena setahu kami, Damian kan tidak punya apa-apa. Wajar saja kalau orang tua khawatir, hanya saja, ibumu memang agak berlebihan.”

“Raya tahu, ibu mengira kami mendapatkan uang dari sesuatu yang tidak wajar, tidak terpuji, atau apalah, pokoknya nggak ada bagus-bagusnya.”

“Bapak tidak sepenuhnya menyalahkan ibumu, walau terkadang menjengkelkan. Mengapa kamu tidak berterus terang saja tentang semua itu, supaya orang tua tidak khawatir.”

Raya menghela napas.

“Raya mengerti, apa yang dikatakan ibu itu, terbawa oleh rasa tidak sukanya kepada Damian.”

“Benar.”

“Dan itu sebabnya Damian tidak ingin berterus terang tentang uang itu. Tapi Bapak harus percaya, bahwa Damian tidak akan melakukan hal yang buruk, yang menyimpang dari kebenaran. Damian orang baik, yang tidak ingin menyombongkan diri atas apa yang bisa dilakukannya. Pada suatu hari nanti, Damian pasti akan mengatakannya.”

“Bapak mengerti.”

Mobil pak Rahman berhenti di halaman rumahnya, dan bik Sarti yang sudah mendapat perintah untuk menyiapkan baju ganti untuk bu Rahman, sudah menyiapkannya di teras, dalam sebuah kopor kecil.

***

Ketika pak Rahman dan Raya sampai di rumah sakit, segera bergegas ke ruang rawat, dimana bu Rahman ditinggalkannya seorang diri.

Tapi betapa terkejut mereka, ketika melihat bu Rahman tidak sendiri. Ada Damian di samping tempat tidurnya, sedang memijit kakinya, sedangkan bu Rahman memalingkan muka.

***

Besok lagi ya.

 

 

Saturday, July 29, 2023

SEBUAH PESAN 56

 SEBUAH PESAN  56

(Tien Kumalasari)

 

Raya masih terus mendengarkan apa yang Ani katakan, dan membuatnya terus terpana. Ani menceritakan semuanya, menceritakan apa yang dibicarakannya dengan laki-laki yang sampai sekarang dia lupa tidak menanyakan siapa namanya.

“Ya Tuhan, Hanna … begitu jahatnya dia, sementara aku ingin berbaik-baik padanya, walau aku tahu dia menyukai suamiku,” gumam Raya.

“Ibu tadi mengatakan tentang foto itu?” tanya Damian setelah Raya memberikan kembali ponselnya.

“Iya, aku hampir tersulut emosi. Maaf Dam. Aku tahu kamu tak seburuk itu.”

"Raya, bagaimana keputusan kamu? Sudah kamu katakan semua pada suami kamu?” tiba-tiba bu Rahman muncul di depan pintu.

Raya menoleh ke arah ibunya, menggelengkan kepalanya.

“Tidak Bu, mas Damian suami yang baik, dia tidak menghianati Raya, kami akan terus bersatu dan saling mencintai.”

“Ya ampun Raya! Kamu gampang sekali terbujuk oleh rayuan dia. Bahkan bukti nyata yang kamu lihat tidak juga bisa merubah kebodohan kamu?” kata bu Rahman dengan nada tinggi.

"Foto itu rekayasa yang dibuat Hanna, untuk memisahkan kami Bu.”

“Apa kataku tadi. Ada orang yang ingin merusak hubungan dan rumah tangga Raya bersama Damian,” tiba-tiba saja pak Rahman muncul. Barangkali kesal dengan nada tinggi yang diperdengarkan istrinya.

“Aku tidak mengerti, sungguh aku tidak mengerti,” bu Rahman memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing.

“Hanna menyuruh orang untuk membuat foto-foto saat Damian bersama teman kuliahnya. Itu foto bukan saat mereka berpelukan. Ani hampir jatuh ketika bertabrakan di depan pintu kelas, lalu mas  Damian menahan tubuhnya dengan memegangi pundaknya. Ibu lihat buku berserakan di bawah bukan? Buku-buku itu terjatuh ketika mereka hampir bertabrakan,” terang Raya.

“Itu alasan yang dibuat suami kamu kan?”

“Bukan. Ani bertemu dengan orang suruhan Hanna, yang menceritakan semuanya. Apa perlu kami membawa orang itu ke hadapan Ibu supaya Ibu percaya?” tantang Raya yang kesal melihat sikap ibunya.

“Sudah … sudah, tidak usah membawa siapa-siapa untuk membuktikannya. Bikin malu saja. Ya sudah, sekarang kalian pulanglah,” perintah pak Rahman.

“Damian juga dikirimi foto seperti itu di ponselnya. Ibu mau lihat?” Raya mengambil lagi ponsel Damian, menunjukkan foto serupa kepada ibunya. Bu Rahman hanya melirik sekilas.

“Bagaimana Bu, apakah kami harus mencari orang itu, atau membawa Hanna kemari?”

“Tidak Ray, sudah. Kalian pulang saja, jangan memperpanjang masalah yang memang dibuat oleh orang lain untuk memisahkan kalian. Teruslah hidup rukun, semoga kalian selalu bahagia,” kata pak Rahman dengan sabar.

Bu Rahman membalikkan tubuhnya, masuk ke dalam rumah. Berbagai perasaan memenuhi dadanya. Mungkin saja malu, atau kecewa karena harapan yang tadinya muncul, sirna tiba-tiba. Harapan untuk memisahkan Raya dan Damian, yang dianggapnya telah mengecewakannya.

“Ya sudah Dam, ayo kita pulang,” ajak Raya sambil berdiri, kemudian menarik tangan suaminya.

Keduanya menyelami tangan pak Rahman. Raya mencari-cari ibunya yang sudah tak kelihatan lagi.

“Sudah, biarkan saja ibumu, nanti aku yang akan bilang bahwa kalian sudah pulang. Barangkali memerlukan waktu untuk menenangkannya,” kata pak Rahman sambil menepuk bahu Damian.

***

Hari minggu siang itu Damian dan Raya duduk santai di rumah. Kalau hari Minggu, Raya juga tidak ke salon, meskipun salon tetap buka. Masing-masing merenungkan apa saja yang menimpa mereka, sejak pernikahan sampai bisa membentuk sebuah keluarga yang tenang dan saling pengertian.

Segala cobaan hinaan bahkan sindiran menyakitkan, dan caci maki yang mereka terima, terasa lebih menguatkan mereka untuk tetap berangkulan erat dalam mengayuh kehidupan.

“Apa yang kamu pikirkan Dam?” tanya Raya.

“Aku ingin mencari orang suruhan Hanna.”

"Mau kau apakan dia? Dia hanya orang tak punya yang tertarik melakukan apa yang Hanna suruh, karena dia butuh uang.”

“Tidak akan aku apa-apakan, hanya ingin ketemu saja."

“Aku ikut. Aku tak mau kalau sampai kamu menghajarnya karena kemarahan kamu. Bukan dia yang bersalah, bukan?”

“Benar, bukan dia yang bersalah.”

“Lalu apa?”

“Dia kan hanya penjual gorengan, sementara sekarang istrinya sakit. Dari mana dia dapat uang? Laki-laki itu hanya tukang bersih-bersih atau apa lah, kalau ada tetangga membutuhkan tenaganya.”

“Lalu ….”

“Akan kita beri dia uang.”

“Dam, itu benar?” mata Raya berbinar. Suaminya begitu sempurna. Dia ganteng, baik, sabar, penuh kasih sayang., Bukan hanya kepada dirinya, tapi juga kepada orang lain, dan peduli kepada penderitaan orang.

“Tentu saja. Kalau mau besok pagi saja, sebelum aku berangkat kerja.”

“Nggak apa-apa, aku ke salon agak siangan.”

***

Ternyata pada pagi keesokan harinya, penjual gorengan itu tetap ada. Damian ingat laki-laki itu, yang menagih uang tagihan ke rumah Hanna.

“Mau gorengannya dong. Dua puluh ribu,” kata Damian tiba-tiba, mengejutkan laki-laki itu.

Melihat Damian, dia tampak terkejut dan ketakutan.

“Mengapa Bapak menatap saya seperti itu? Apa menurut Bapak, saya ini hantu?” canda Damian.

Tukang gorengan itu sudah mengatakannya kepada Ani, dan dia yakin bahwa laki-laki ganteng yang menjadi salah satu ‘korbannya’ juga sudah diberi tahu.

 “Saya … saya minta maaf … sungguh saya menyesal …” ucapannya mirip sebuah rintihan, membuat Damian dan Raya merasa iba.

“Mengapa Bapak minta maaf, kami hanya ingin membeli gorengan. Ini uangnya,” kata Damian sambil memberikan uang dua puluh ribu.

“Saya mau yang pisang, sama tahu isi, sama ubi jalar,” kata Raya.

“Nama Bapak siapa?”

“Ss … saya … Maksum.”

“Oh, Pak Maksum ya? Baiklah, itu tadi, pesanan istri saya, dan itu uangnya.”

Maksum mengambilkan gorengan yang dipesan dengan tangan gemetar. Ia membayangkan, setelah dia melayani pesanannya, barangkali laki-laki ganteng itu akan menghajarnya.

“Nama saya Damian, dan ini istri saya, Raya.”

“Oh, iy … iya …” kata Maksum, masih dengan tangan gemetar.

“Mengapa Sampeyan yang jual gorengan? Biasanya istri Sampeyan kan?”

“Ya itulah, istri saya masih belum sembuh juga. Saya merasa, ini akibat dari perbuatan saya. Saya sangat bodoh, ngiler uang dua juta yang belum pernah saya pegang, tapi imbasnya adalah istri saya sakit. Harusnya dia dirawat, tapi saya tidak kuat membayarnya. Kalau nanti pak Damian menghajar saya, saya tidak lagi bisa jualan. Kami akan kelaparan,” kata Maksum sambil membungkus gorengan pesanan Raya.

Damian tertawa.

“Apa Pak Maksum mengira bahwa saya akan menghajar Pak Maksum?”

“Saya sudah bersalah. Dosa saya besar.”

“Pak Maksum tahu? Hanna itu ingin agar saya bertengkar dengan istri saya, bahkan mengharap kami akan bercerai. Tapi Bapak lihat, kami baik-baik saja kan?”

“Iyy … ya. Orang baik dilindungi Allah. Orang jahat mendapat hukuman.”

“Itu bukan hukuman, tapi peringatan, agar kita tahu apa yang salah dalam apa yang kita lakukan.”

Maksum mengangguk. Perlahan rasa takutnya hilang, melihat sikap Damian dan istrinya yang sangat manis.

“Bawalah istri Bapak ke rumah sakit, supaya segera bisa disembuhkan. Karena penanganan di rumah sakit lebih baik dari pada dirawat sendiri di rumah.”

“Mana mungkin saya membawa istri saya agar dirawat?” kata Maksum sambil tersenyum pahit.

“Bawa saja, dari pada sakitnya terlalu lama. Ini uang untuk berobat,” kata Damian sambil memberikan uang sebanyak limabelas juta.

Maksum gemetar menerimanya.

“Ti … tidak … ini tidak mungkin … saya … saya …”

Lalu Maksum mengucapkan terima kasih berkali-kali.

“Kalau masih kurang, carilah istri saya di salon Raya, saya beri alamatnya nanti,” lanjut Damian sambil meraih tangan istrinya, diajaknya pergi. Tak sampai hati dia melihat kesedihan di mata Maksum, dan ucapan terima kasih yang diucapkannya bertubi-tubi.

***

 Sore hari, bu Rahman melamun di teras, memikirkan kegagalannya memisahkan Raya dan Damian. Lalu ia merasa, terkadang dirinya keterlaluan.  Tapi kemudian disusul oleh perasaan tak puas. Betapa gundah dan tak tenteramnya hatinya, ketika mengentaskan anak bungsunya. Tidak seperti ketika menikahkan Kamila dan Abi, yang begitu terlepas dan mapan, maka puaslah hatinya.

Mengapa Raya ini berbeda? Mengapa pilihannya sangat mengganggu hidupnya? Bu Rahman menyandarkan kepalanya di kursi teras. Ia merasa sangat pusing.

Lalu tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di halaman. Bu Rahman mengira mobil suaminya, ternyata bukan.

Bu Rahman melongok ke halaman, menunggu siapa yang datang.

“Tante.” sebuah teriakan terdengar. Bu Rahman menghela napas panjang. Ternyata Hanna. Ia masih ingat penuturan Raya kemarin, bahwa Hanna lah yang menyuruh seseorang untuk membuat foto Damian dan teman wanitaya.

Bu Rahman bergeming, tetap duduk di kursinya.

“Tante sedang apa?”

Sesungguhnya Hanna ingin tahu, bagaimana reaksi keluarga Raya setelah menerima foto yang dikirimkannya melalui Maksum. Tapi ia pura-pura tidak mengerti., dan bersikap seperti tak terjadi apa-apa. Ia duduk di depan bu Rahman, meletakkan sebungkus kue-kue yang dibelinya di jalan.

“Tante, saya bawa kue-kue. Enak nih, Tante pasti suka,” katanya sambil tersenyum. Bu Rahman hanya menatap bungkusan itu sekilas.

“Tante, mengapa Tante seperti sangat bersedih? Apa yang sedang tante pikirkan? Saya dengar mbak Mila telah melahirkan. Pasti senang dong. Cucu selalu membuat orang tua senang."

Hanna tak perlu menceritakan bahwa dia pernah menjenguk anak Kamila, ia hanya memancing-mancing, dan ia juga sebenarnya ketemu bu Rahman saat itu. Tapi Hanna terus saja mengoceh. 

" Ya kan Tante? Tapi terkadang memang ada saja yang membuat kecewa. Semoga tante bahagia dengan kedua putri tante yang sudah menikah. Ya kan Tante?”

Bu Rahman menatap Hanna dengan perasaan tidak senang. Ia merasa Hanna sedang memancing-mancing, karena dia juga ketemu ketika Hanna bersama Rosa menjenguk bayi Kamila. Tapi bu Rahman tak peduli, yang dirasakannya adalah Hanna telah mempermalukannya.

“Mengapa kamu begitu ceroboh?” katanya sengit.

Hanna terkejut. Mengapa sikap bu Rahman seperti sangat tidak bersahabat.

“Maksud Tante?”

“Kamu menyuruh orang yang tidak berguna. Kamu membuat foto yang akhirnya hanya mempermalukan saya.”

Degg.

Hanna tersentak. Rupanya bu Rahman sedang berbicara tentang foto yang dikirimkannya. Bagaimana dia bisa tahu kalau dirinya yang berbuat? Siapa mengatakannya? Apa Maksum membocorkan semuanya pada bu Rahman? Mengapa mempermalukannya? Apa Damian dan Raya mengerti semuanya, dan bahkan tahu bahwa  dirinya yang melakukannya? Celaka kalau begitu.

“Tante, mengapa Tante mengatakan bahwa Hanna adalah_”

“Kamu menyuruh orang, dan orang itu mengatakannya kepada orang yang kamu fitnah. Kamu ceroboh dan bodoh!”

“Yaaah, benarkah?”

“Kamu bodoh, menyuruh orang sembarangan.”  omel bu Rahman.

Kata-kata bu Rahman itu menunjukkan bahwa sebenarnya bu Rahman mendukungnya, hanya saja menganggap dirinya ceroboh, karena rencana yang seharusnya sudah jadi itu ternyata bocor.

“Jadi benar kan, kamu yang menyuruh orang itu?”

“Iya, Tante. Maaf. Bocor ya? Jadi Damian dan Raya sudah tahu?”

“Sudah tahu, jadi kamu tanggung sendiri saja akibatnya.”

Hanna pulang dengan perasaan tak menentu. Alangkah malu ketika Damian sama Raya sampai tahu. Masih adakah muka untuk bertemu mereka?

***

Hari itu setelah pak Rahman berangkat ke kantor, bu Rahman memanggil bik Sarti ke kamarnya. Bu Rahman tampak terbaring di ranjang dengan wajah pucat.

“Ada apa Nyonya? Nyonya sakit?”

“Tolong minyak angin di atas meja itu Sarti,” katanya sambil menunjuk ke arah meja. Bik Sarti mengambilnya, kemudian mendekat ke ranjang. Ia sudah tahu kalau sang nyonya majikan minta di pijit.

“Dipijit Nyonya, tapi saya belum masak.”

“Tidak apa-apa, nggak usah dipijit, tolong gosok dada dan punggungku. Rasanya kok seperti sesak sekali untuk bernapas.”

“Nyonya terlalu banyak pikiran,” kata bik Sarti sambil membuka baju nyonya majikannya. Ia memegangnya dan merasa panas.

“Badan Nyonya panas sekali.”

“Tidak panas, aku hanya merasa sesak saja. Cepat gosok dan jangan banyak komentar,” cela bu Rahman sambil menelungkupkan badannya.

Bik Sarti menggosok seluruh punggungnya.

“Agak ditekan Sar, seperti kalau memijit itu.”

“Katanya sesak, nanti tambah sesak?”

“Tidak usah terlalu keras. Na, begitu. Sekarang bagian dada,” kata bu Rahman sambil tertelentang.

“Nyonya ini benar-senar sakit. Apa saya harus menelpon tuan?”

“Jangan, tidak usah. Nanti setelah digosok kan merasa hangat, lalu sembuh.”

Tiba-tiba ponsel bu Rahman berdering.

“Dari siapa itu.”

“Nggak usah diangkat ya Nyonya, nanti Nyonya terganggu.”

“Eeh, diangkat saja, siapa tahu penting.”

Bu Rahman meraih ponselnya, sementara bik Sarti terus menggosok dada, bahkan sampai ke ulu hati dan perutnya.

“Hallo, jeng Lusia? Ada apa jeng?” sapa bu Rahman setelah membuka ponselnya.

“Saya hanya ingin memarahi mbakyu.”

“Memangnya kenapa?”

“Ternyata Raya punya salon kecantikan, kalau tahu begitu saya pasti ke situ terus.”

“Apa?”

“Saya tadi coba-coba mampir ke situ, ini Mbak, hanya ingin membersihkan muka. Ada salon Raya, saya kok baru tahu. Ramainya bukan main, dan pelayanannya bagus. Saya sangat cocok Mbak. Lha ternyata itu milik Raya, Mbakyu kok nggak pernah bilang. Tahu begitu dari kemarin-kemarin saya ke situ."

“Oh, Raya kan hanya karyawan disitu.”

“Mbakyu ini suka merendah. Semua karyawan bilang kalau salon itu miliknya Raya, bagaimana sih.”

Bu Rahman tertegun. Salon itu milik Raya? Ia tiba-tiba merasa bahwa dadanya semakin sesak.

***

Besok lagi ya.

Friday, July 28, 2023

SEBUAH PESAN 55

 SEBUAH PESAN  55

(Tien Kumalasari)

 

Pada waku itu pintu kemudian terbuka, tapi bukan Hanna yang keluar. Ia seorang perempuan setengah baya, yang membawa sebuah amplop yang entah berisi apa, Damian dan Raya tak mengerti. Lalu tiba-tiba amplop itu diberikannya kepada Damian.

“Ini, kata non, kekurangannya,” katanya.

Damian bingung, tapi laki-laki tak dikenal itu berteriak.

“Heiii, itu untuk aku. Gimana sih!”

“Oh, maaf Pak, saya tidak tahu, habis ada dua laki-laki di sini,” katanya sambil mengulurkan amplop itu, kemudian laki-laki yang agaknya sudah sangat kesal itu langsung pergi. Tanpa pamit, apalagi mengucapkan terima kasih.

Damian dan Raya mengangkat bahu, bingung karena tak mengerti, apa saja yang dikatakan orang itu.

“Bapak mau cari siapa ya?”

“Hanna ada?”

“Sedang di kamar, Bapak siapa? Mau ketemu non Hanna?”

“Ya, saya Damian dan_”

Belum selesai Damian bicara, wanita yang memang pembantu Hanna itu langsung membalikkan tubuhnya dan bergegas masuk, tanpa mempersilakannya duduk.

Tapi tak lama kemudian pembantu itu keluar lagi.

“Tuan Damian dipersilakan langsung ke kamar,” katanya.

Damian menarik tangan Raya, diajaknya masuk.

“Yang disuruh masuk ke kamar cuma kamu,” bisik Raya.

“Hishh. Masa aku masuk sendirian,” katanya sambil terus menarik tangan Raya.

Begitu keduanya masuk ke kamar, kelihatan bahwa Hanna terkejut, karena juga melihat Raya bersamanya.

“Raya?” sapanya pelan, ada kekecewaan di wajahnya.

“Kamu sakit apa? Damian sudah menceritakan semuanya. Kamu hampir pingsan di kampus, sehingga Damian harus menggendong kamu ke dalam taksi, lalu menggendong kamu pula sampai ke kamar,” kata Raya yang mengatakan semuanya, supaya Hanna tahu bahwa tak ada yang disembunyikan Damian dari padanya. Raya mengucapkannya sambil tersenyum manis.

Dilihatnya ada sorot mata masgul di mata Hanna. Barangkali tak mengira Raya mengetahui semuanya.

“Bagaimana keadaan kamu?” tanya Raya sambil meletakkan bungkusan kue-kue yang tadi dibelinya di jalan.

“Sudah mendingan, tapi aku masih malas bangun. Masih sedikit pusing,” katanya. Hanna bahkan tak sedikitpun melihat Damian. Ada rasa tak enak ketika menyadari bahwa Raya berlaku baik walau tahu bahwa suaminya telah membawanya ke rumah sejak dari kampus, dan ia sempat berharap lebih ketika itu.

“Tidak ke dokter saja?”

“Aku hanya sedikit flu, sudah berkurang ketika Damian memberi aku obat.”

“Syukurlah. Aku mengajak Damian kemari, karena ingin melihat keadaan kamu.”

“Aku minta maaf.”

“Kenapa harus minta maaf? Sudah benar apa yang dilakukan Damian. Aku senang suamiku peduli pada sesama, apalagi yang namanya sesama itu adalah teman sekolah aku, yang sekarang juga menjadi teman kuliah Damian.”

“Tidak, kami bukan teman, beda jurusan.”

“Sama saja, kan.”

“Ray, kita masih ada perlu lain, sebaiknya kita segera pamit.”

“Iya benar, kami mau ke rumah ibu, tadi ibu memanggil aku,” kata Raya.

Hanna berdebar, apakah akal bulusnya untuk menjatuhkan Damian akan berhasil? Tiba-tiba dia ingat, bahwa laki-laki yang disuruhnya mungkin sudah bertemu dengan Damian dan Raya. Apakah laki-laki itu mengatakan keperluannya? Tapi sikap Damian dan Raya biasa saja, sehingga Hanna tidak merasa khawatir.

“Oh, mau ke rumah ibu ya? Nitip salam buat tante dan om ya,” kata Hanna.

“Nanti aku sampaikan,” kata Raya sambil menjabat tangan Hanna.

“Cepat sembuh ya.”

Damian juga mengatakan hal yang sama, kemudian mereka berlalu.

Bibik pembantu yang kemudian masuk ke kamar sambil membawa cangkir-cangkir minuman, tak lagi menemukan mereka.

“Mana tamunya?”

“Sudah pulang. Oh ya Bik, waktu kamu memberikan uang tadi, apakah kedua tamuku tadi juga ada?”

“Ada Non. Malah saya hampir keliru memberikan amplopnya kepada tuan muda yang ganteng itu tadi.”

“Ngawur kamu. Apakah Bibik melihat mereka bercakap-cakap?”

“Bercakap-cakap? Sepertinya tidak Non,” jawab bibik. Karena bibik tidak melihat saat mereka berbicara, jadi dia menjawab tidak. Hanna merasa lega.

“Sini teh nya, biar aku minum saja.”

Bibik meletakkan cangkir-cangkir itu ke atas nakas, kemudian berlalu, sementara Hanna kemudian bangun, meneguk minumannya sambil tersenyum. Siasatnya pasti berhasil.

***

Di sebuah apotek, Ani sedang duduk menunggui obat untuk ibunya. Tak jauh  didepannya, duduk pula seorang laki-laki, yang tiba-tiba saja dikenalnya, saat dia keluar dari kelas dan ingin pulang. Ia ingat, laki-laki itu sangat mencurigakan, berendap diantara pepohonan dengan membawa ponsel yang baru saja dibidikkannya entah ke mana. Saat itu Ani menegurnya, karena curiga, tapi laki-laki itu malah berlari keluar.

Sekarang dia melihatnya di apotek dan tergerak hatinya untuk bertanya. Ia merasa laki-laki itu punya niat kurang baik.

“Pak, Bapak kenal saya?”

Laki-laki itu tampak terkejut. Ia menatap Ani, dan kemudian wajahnya berubah pucat. Ia ingat gadis itu yang menegurnya ketika dia sedang memotret adegan seorang lelaki dan satunya adalah gadis ini.

“Maaf Mbak.”

“Kenapa waktu di kampus itu, saat saya menegur Bapak, lalu Bapak seperti melarikan diri?”

“Oh, itu MBak. Aduh, saya minta maaf. Sungguh sekarang saya menyesal. Karena perbuatan saya itu, ketika pulang, saya melihat istri saya sakit. Mulutnya perot dan tak bisa bicara. Saya melarikannya ke rumah sakit, hanya saja karena tidak bisa membayar untuk rawat inap, saya hanya minta rawat jalan saja. Sungguh saya menyesal. Ini saya sedang beli obat untuk istri saya, harganya mahal bukan main, Saya membayarnya juga dengan uang haram itu. Sedih saya. Sungguh saya menyesal,” wajah laki-laki itu berubah sedih.

“Memangnya istri Bapak sakit apa?”

“Kata dokter, strook Mbak, butuh waktu lama untuk memulihkan.”

“Mengapa Bapak merasa bahwa sakitnya istri Bapak itu karena Bapak telah melakukan sebuah kesalahan. Apa yang sebenarnya Bapak lakukan?”

“Begini Mbak, rumah saya kan di dekat kampus itu, pekerjaan istri saya jual gorengan tak jauh dari sana. Pada suatu hari saya didekati seorang nona cantik bernama Hanna. Dia meminta saya mengamati seorang laki-laki, yang fotonya dikirimkannya kepada saya. Katanya saat laki-laki itu sedang dekat dengan wanita, siapapun wanita itu, saya harus memotretnya. Kalau sudah, saya harus menunjukkannya sama dia, apa itu sesuai yang dia inginkan. Kalau sudah cocok, saya harus mencetaknya menjadi foto beneran, lalu mengirimkannya ke rumah keluarga Rahman, yang alamatnya sudah dikirimkannya sama saya. Saya mendapat bayaran dua juta. Yang satu juta dibayar di muka, sisanya diberikan kalau saya sudah mengirimkan fotonya. Pekerjaan saya selesai, tapi istri saya dalam keadaan sakit. Bahkan tidak bisa bicara jelas. Saya sedih, perbuatan saya berbalas sakitnya istri saya, bahkan uang dua juta yang saya terima tidak cukup untuk pengobatan istri saya,” katanya panjang lebar, dengan wajah sedih. 

"Foto itu masih saya simpan di ponsel saya.“ lanjutnya sambil membuka ponsel dan menunjukkannya pada Ani.

“Ya Tuhan, ini kan Damian sama saya?” Ani terkejut.

“Saya sudah mengirimkannya ke keluarga Rahman. Tapi saya sangat menyesal."

Ani segera minta agar laki-laki itu mengirimkan ke ponselnya.

“Baiklah Pak, semoga semua ini menjadi pelajaran buat Bapak, bahwa perbuatan yang buruk akan berimbas buruk pada kehidupannya. Tapi saya sangat berterima kasih. Hanna ingin merusak hubungan Damian dan istrinya. Saya mengenal dia. Sekarang saya harus mengatakan semuanya pada Damian. Kasihan, ada yang ingin menghancurkan rumah tangganya."

“Sungguh saya menyesal,” katanya berkali-kali.

“Baiklah Pak, terima kasih atas keterangan yang Bapak berikan. Ini saya punya sedikit uang, sisa pembelian obat untuk ibu saya. Tidak seberapa, semoga bisa membantu sedikit,” kata Ani sambil memberikan uang ratusan tiga lembar, kepada laki-laki tersebut.

Pembicaraan itu berakhir ketika petugas apotek sudah memanggil nama ibu Ani.

Laki-laki itu mengangguk-angguk, lalu mengucapkan terima kasih sambil mengusap air matanya.

***

  Sakit perut yang diderita pak Rahman semalam sudah dirasa enak. Ia duduk di ruang tengah, tapi merasa heran melihat sang istri mondar mandir ke depan dan ke belakang.

“Ada apa sih Bu, kok seperti sedang gelisah begitu?”

”Bapak lupa ya, apa yang ibu ceritakan semalam? Tentang foto itu?”

“Oh, ya, aku baru kepikiran tentang foto itu.”

“Ibu menyuruh Raya datang kemari, supaya dia tahu kebusukan suaminya.”

“Mengapa Ibu sangat bersemangat untuk membubarkan rumah tangga anak sendiri?”

“Apa maksud Bapak sih? Siapa bermaksud membubarkan?”

“Foto itu seperti dibuat oleh orang yang iseng, kemudian dipergunakan untuk merusak rumah tangga Raya. Ibu tidak usah mengatakannya pada Raya, sepertinya yang difoto itu, Damian tidak berpelukan sama seseorang.”

“Bapak kok ngeyel ya,” kesal bu Rahman.                     

“Yang aku tidak suka, adalah ada orang yang ingin merusak hubungan Raya dan suaminya. Ini perbuatan orang jahat.”

“Orang jahat, atau orang baik yang ingin menyelamatkan hidup Raya? Dengan menunjukkan kebusukan hati Damian, berarti dia itu ingin agar Raya selamat, dan tidak melanjutkan pernikahannya dengan Damian. Itu kan bagus?”

“Membuat orang ribut, tidak tenang, itu bagus?”

“Mengapa Bapak selalu membela dia, bahkan setelah terbukti dia berbuat tidak pantas?”

Pak Rahman diam, dia menoleh ke halaman, ketika mendengar suara sepeda motor mendekat.

“Itu mereka datang.”

“Ya ampun, kenapa Raya tidak mendengar apa yang aku katakan sih. Aku suruh dia datang sendiri, tanpa Damian. Malah datang berdua,” omel bu Rahman sambil menunggu di teras depan.

Damian dan Raya mendekat, lalu bergantian meraih tangan bu Rahman dan menciumnya.

“Bukankah aku menyuruhmu datang sendiri?” kata bu Rahman tanpa merasa sungkan.

“Mana bisa Raya datang sendiri. Kami sudah menjadi suami istri, saat kami bisa berdua, kami harus datang berdua. Maaf ya Bu,” kata Raya sambil menggandeng tangan Damian.

“Damian duduk di teras sini saja, Raya masuk ke dalam, ada yang ingin ibu bicarakan sama kamu.”

“Tapi Bu ….”

“Ray, biar aku duduk di sini saja, nggak apa-apa,” kata Damian memutus kata-kata istrinya.

Akhirnya Raya menurut. Sang ibu menariknya ke ruang tengah, dimana ayahnya juga duduk di sana.

“Duduklah.”

“Ada apa sih Bu?”

“Ibu ingin mengingatkan kamu, hati-hati dengan suami kamu.”

“Apa maksudnya Bu?”

Bu Rahman mengambil foto yang diterima kemarin sorenya, lalu diberikannya kepada Raya, sementara pak Rahman kelihatan asyik menonton televisi.

“Ini foto apa?” kata Raya bingung.

“Kamu nggak kenal sama yang ada di foto itu?”

“Ini kan mas Damian.”

“Nah, kamu kenal. Lalu apa yang kamu pikirkan tentang foto itu?”

“Ini foto mas Damian bersama Ani, teman kuliahnya. Beberapa hari yang lalu Ani datang ke salon untuk potong rambut,” kata Raya sambil terus mengamati foto itu dengan perasaan aneh. Apakah Raya curiga?

“Bolehkah bapak juga potong rambut di sana?” kata pak Rahman bercanda.

“Itu khusus perempuan Pak,” jawab Raya sambil terus menatap foto itu.

“Ini bagaimana, perhatikan foto itu, bukan bapakmu.”

“Iya Bu, ini mas Damian.”

“Pantaskah apa yang dilakukannya?”

“Dari mana ibu mendapatkan foto ini?”

“Nggak tahu dari mana, tapi dari mana pun foto ini, atau siapa pun yang mengirimnya, dia bermaksud baik sama kamu. Dia ingin menunjukkan, kelakuan suami kamu selama dia di kampus, sementara dia menyuruh kamu bekerja,” kata bu Rahman dengan mata berapi-api.

Ada perasaan Raya yang terganggu sebenarnya. Ani dikenalnya, setelah Damian meminta kepada teman-teman wanita nya, agar mengunjungi salon nya. Ani sangat baik. Lembut, ramah dan tak tampak bahwa dia suka sama Damian. Mereka bersahabat, bahkan. Ani pernah mengatakan, bahwa dia sering meminjam buku Damian, karena Damian memiliki koleksi buku yang lebih lengkap.

“Apa komentar kamu tentang foto ini? Cepat ambil keputusan sebelum kamu benar-benar hancur karena kelakuan suami kamu,” kata bu Rahman yang berusaha terus membakar hati Raya.

Tiba-tiba Raya berdiri, beranjak ke teras, di mana suaminya menunggu. Ketika keluar itu, didengarnya sang suami sedang bertelpon.

“Ini dia An, Raya sudah ada, silakan bicara sendiri,” kata Damian sambil mengulurkan ponselnya.

“Dari Ani, ia punya sebuah rahasia besar."

Raya ragu-ragu menerimanya, sampai ketika Ani menyapanya.

“Raya, barusan aku bicara sama Damian. Ada orang yang sengaja mengirimkan foto Damian ketika dia hampir bertabrakan sama saya di pintu. Kamu jangan percaya, itu foto juga aku kirimkan ke Damian, yang memberi tahu aku adalah orang suruhan Hanna.

Raya tertegun.

***

Besok lagi ya.

 

 

Thursday, July 27, 2023

SEBUAH PESAN 54

 SEBUAH PESAN  54

(Tien Kumalasari)

 

 

Bu Rahman menatap nanar foto itu. Ia tak salah lihat kan? Itu jelas Damian, sedang memeluk seorang gadis. Tiba-tiba kemarahan bu Rahman memuncak. Ia bergegas ke belakang, mencari sang suami. Tapi dia tak mendapatkannya di ruang tengah.

“Paak, Paaak… kemana sih Bapak ini? Paaak …”

Bu Rahman masuk ke kamar, suaminya tak ada. Tapi dia mendengar suara dari kamar mandi. Ia segera mendekat dan mengetuk kamar mandi sekeras-kerasnya sambil memanggil-manggil nama suaminya.

“Paaak, Bapaaaak.”

“Ada apa sih Bu, ini, perutku sakit sekali. Nggak tahu tadi makan apa,” jawab pak Rahman dari dalam kamar mandi.

“Ada hal penting yang Bapak harus tahu, cepatlah keluar,” bu Rahman tak peduli walau sang suami bilang perutnya sakit.

Pak Rahman diam, membiarkannya.

“Adduuuh… Bapak nih. Cepatlah sedikit. Ini sangat penting Bapak ketahui.”

Bu Rahman tak berhenti menggedor pintu, dan pak Rahman terus membiarkannya. Oleh karena itu bu Rahman kemudian duduk di sofa di dalam kamar itu, sambil terus memegangi foto yang baru saja diterimanya.

Kira-kira sepuluh menit, barulah pak Rahman keluar. Wajahnya gelap, merasa kesal karena perutnya sakit dan sang istri membuat suara  gaduh dengan menggedor-gedor pintu.

“Pak, sini Pak, lihat ini.”

“Ibu itu sebenarnya kenapa, perutku itu sakit.”

“Maaf. Tapi duduklah sebentar.”

“Aku mau tiduran sebentar. Mulesnya belum hilang ini,” kata pak Rahman sambil terus melangkah ke ranjang dan berbaring di sana, membuat bu Rahman kesal. Tapi kemudian dia mengejarnya, sambil membawa foto itu.

“Ini karena sesuatu yang luar biasa. Bapak tak akan percaya. Lihat ini.”

Bu Rahman nekat mengulurkan foto itu ke depan wajah suaminya.

“Apa sih ini?” katanya sambil menepis tangan istrinya, membuat foto yang diulurkannya terlempar ke bawah.

“Bapak bagaimana sih, lihat dulu ini fotonya.” bu Rahman kembali menunjukkan foto yang baru diambilnya dari lantai.

“Ini foto apa?”

“Oh ya, lampu di kamar agak remang. Bu Rahman segera menghampiri tombol lampu besar, lalu kamar itu menyala terang.

“Ya ampun Bu, silau.”

“Lihatlah baik-baik fotonya,” bu Rahman kembali menunjukkan foto itu ke depan wajah suaminya.

Mau tak mau pak Rahman mengambilnya, lalu mengamatinya.

“Ini foto apa sih Bu.”

“Ya ampun, Bapak, itu fotonya Damian.”

“Damian ya? Sedang apa dia? Sepertinya ada di depan pintu, lalu … apa dia sedang memeluk seseorang?”

“Nah, itu. Dia sedang memeluk seorang gadis. Coba Bapak pikir. Istrinya disuruh bekerja, dia bersenang-senang dengan wanita lain di kampus. Ini di kampus bukan? Kelihatan ada ruang-ruang di sampingnya?”

“Damian sedang apa ini?”

“Sedang berpelukan teman teman kuliahnya, pastinya. Apa ini pantas? Ayo sekarang Bapak bilang, ini perbuatan pantas atau tidak?” kata bu Rahman yang merasa di atas angin, setelah beberapa kali tak pernah mendapat dukungan saat dirinya mencela menantunya.

Pak Rahman bangkit, lalu duduk, masih di atas ranjang, lalu mengamati foto itu lagi dengan seksama.

“Dari mana ibu mendapatkan foto ini?”

“Nggak tahu siapa yang mengirimkan, tapi foto itu tadinya dimasukkan dalam amplop coklat, tergeletak begitu saja di lantai teras.”

“Berarti ada yang mengirimkannya diam-diam. Coba tanya satpam, siapa yang datang kemari sore ini.”

“Kenapa harus tanya siapa yang datang atau siapa yang mengirim? Gambar ini saja Bapak perhatikan dan silakan Bapak menilai, seperti apa menantu Bapak yang sangat Bapak banggakan itu.”

“Bukan begitu Bu, aku berpikirnya kok beda. Kenapa seseorang mengirimkan foto ini. Aku lihat mereka tidak berangkulan kok. Damian memegangi pundak perempuan ini, dan lihat, ada buku berserakan di bawah.”

“Kenapa Bapak mengamati bukunya? Yang jelas orangnya. Atau … baiklah, Damian yang memegangi pundaknya, tapi mengapa? Ini pasti ada sesuatu diantara mereka. Dan Raya tidak mengetahuinya. Raya selalu membela suaminya. Selalu memuji-mujinya setinggi langit. Ibu ingin tahu, bagaimana nanti reaksi Raya setelah melihat ini. Heran aku, kok Bapak kelihatan tenang begitu? Sedang memikirkan alasan untuk meringankan dosa si tukang kebun ini?”

Pak Rahman seorang yang bijaksana, dan tak mudah terbakar oleh hasutan. Ia merasa, ada orang yang memang ingin menjatuhkan Damian. Ia membaca gambaran atas foto itu. Mungkin mereka bertabrakan di pintu sampai buku yang dipegangnya berserakan, jadi mereka bukan berpelukan. Ada yang sengaja berbuat jahat. Kalau tidak, mengapa mengirimkan foto itu kepada keluarga istri Damian? Untuk memisahkan Damian dan istrinya? 

“Aku mau menelpon Raya. Besok pagi dia harus datang kemari. Dia harus tahu tentang kebusukan suaminya,” kata bu Rahman berapi-api.

Pak Rahman diam. Kecuali memikirkan niat seseorang dengan mengirimkan foto ini, pak Rahman juga merasa perutnya masih melilit.

***

Raya menunggu suaminya dengan gelisah. Kepergiannya ke rumah Hanna, walau dengan alasan Hanna sakit, tetap menerbitkan perasaan curiga. Ia tahu siapa Hanna karena mengenalnya sejak masih SMA. Ia tak pernah berhenti mengejar sesuatu, sebelum yang diinginkannya terpegang oleh tangannya. Tapi ini adalah Damian, suaminya, yang dia tahu bahwa Hanna menyukainya. Apakah rasa suka itu masih tersisa, setelah peristiwa pesta ulang tahunnya, dan dia tahu bahwa Damian adalah suaminya?

Ketika mendengar sepeda motor memasuki halaman, barulah Raya merasa lega. Ia memperhitungkan, dari Damian bilang akan segera pulang, sampai kemudian tiba di rumahnya, adalah terlalu lama. Pasti Damian tidak segera pulang. Masih berbincang dengan yang bilang sakit? Apakah Hanna bermanja-manja terlebih dulu dan enggan melepaskan suaminya? Tak urung ada rasa panas menjalari batinnya. Cemburu? Iya lah, cemburu. Hanna itu cantik, terlalu genit dan jarang laki-laki menjauhinya ketika Hanna sudah mengatakan suka.

“Ray, kok aku tidak disambut seperti biasanya?”

Raya terkejut ketika tiba-tiba Damian sudah berada di depannya, sementara dia sibuk mereka-reka kira-kira apa saja yang dilakukan di rumah Hanna sebelum akhirnya pulang.

“Eh, Dam … “ Raya meraih tangan suaminya, dan menciumnya seperti biasa. Ia mengikuti sang suami ketika dia melangkah masuk sambil merangkulnya. Ada aroma wangi menyengat dari tubuhnya. Eh, bajunya, barangkali. Wangi yang tidak dikenalnya, karena di rumah ini tidak ada wewangian serupa.

“Ray, kok diam sih? Aku akan ceritakan semuanya setelah berganti baju dan mandi. Aku bau acem kan?”

“Tidak. Kamu bau wangi,” jawab Raya yang tiba-tiba menjadi sengit. Aroma itu seperti membakar tubuhnya sehingga tangannya berkeringat.

“Ahaaa, meledek aku kan? Biasanya kamu bilang kalau sepulang kuliah aku bau asem. Kok beda sih?”

“Memang beda. Malam ini kamu memang beda.”

“Pulang sangat terlambat? Baiklah, nanti aku akan cerita. Mana dong, teh hangat buatan istriku? Baiklah, aku mandi dulu saja,” kata Damian sambil menuju kamar, lalu keluar dengan membawa handuk yang sudah disiapkan istrinya.

Raya menuju dapur, bagaimanapun kesalnya, dia tetap melayani sang suami dengan segelas teh hangat yang sudah disiapkannya sejak sore, dan dimasukkannya ke dalam termos, agar panasnya masih awet. Ia menuangnya ke dalam gelas, lalu diletakkannya di ruang tamu, seperti biasa.

Ada keripik singkong di dalam toples yang dibelinya ketika pulang dari salon.

“Jam berapa kamu pulang dari salon?” tiba-tiba suara Damian mengejutkannya. Damian segera duduk di samping sang istri, lalu meraih gelas yang berisi teh hangat seperti biasanya.

“Apa nih? Keripik singkong, hm … kesukaanku. Istri cantikku ini selalu tahu apa yang menjadi kesukaan suaminya,” kata Damian sambil mengelus rambut sang istri, lalu menciumnya.

“Rambutmu selalu wangi.”

“Wanginya beda kan?”

“Raya, apa kamu marah?”

“Aku tidak marah. Aku sedang menunggu cerita kamu sehingga baju kamu berbau wangi. Hal itu terjadi ketika kamu duduk berdempetan, atau melakukan  lebih dari itu.”

“Aku menggendongnya, malah,” kata Damian menggoda sang istri.

“Apa?” Raya melotot, kemudian mendorong tubuh sang suami. Tapi Damian merengkuhnya. Raya meronta sambil memukul-mukul dada sang suami.

“Ray, aduh sakit dong, nanti kalau jantungku jatuh, aku mati dong,” teriak Damian pura-pura kesakitan. Mendengar kata ‘mati’, Raya menghentikan pukulannya.

“Kamu jahat. Kamu jahat!” teriak Raya.

“Ray, dengar dulu penjelasan aku. Kamu ingin ya, punya suami yang tidak berperi kemanusiaan?”

“Apa maksudmu?” Raya melotot memandang suaminya.

“Biar aku cerita, tapi kamu nggak boleh marah. Tadi itu, memang ada kelas agak sorean. Ketika aku pulang, kampus sudah sepi. Tapi-tiba aku mendengar Hanna memanggilku. Aku sudah berpura-pura tidak mendengar, dan hampir menstarter sepeda motor aku, tapi tiba-tiba Hanna terjatuh. Tak ada orang disekitar tempat itu, sehingga aku terpaksa mendekati. Ternyata dia lemas, dan badannya panas. Aku membawanya pulang naik taksi, meninggalkan sepeda motor di kampus."

"Di rumah dia, tak ada siapa-siapa," lanjutnya.

“Asyik dong,” Raya menyela.

“Hish! Dengar dulu, aku mencarikan obat di rumah itu dan ketemu obat penurun panas, aku berpesan sama dia, kalau masih panas juga, besok pagi harus ke dokter.”

“Tunggu dulu, acara gendong menggendong itu, kenapa tidak diceritakan?”

“Oh iya, karena dia lemas, aku terpaksa menggendongnya sampai ke taksi, dan menggendongnya pula sampai ke kamar dia.”

“Hm … begitu rupanya. Dan kamu berlama-lama di kamarnya, masa sih, nggak ada acara apa-apa di dalam kamar itu?”

“Ada-ada saja. Acara apa? Acara memberikan obat untuk dia, lalu aku pulang. Eh bukan, harus naik taksi lagi ke kampus, untuk mengambil sepeda motor aku. Kalau enggak, besok aku bekerja naik apa dong.”

Raya sebenarnya mengerti, tapi dasar Raya, ia masih saja menampakkan wajah cemberut. Ia tahu, kalau sudah begitu, Damian pasti akan mengganggunya dengan rayuan gombalnya.

“Senyum dong, kan aku sudah menceritakan semuanya.”

“Nggak mau, aku masih membayangkan saat kamu gendong dia, lalu kepalanya bersandar di dada kamu, lalu kamu pasti berdebar dong, tubuhnya begitu dekat sama kamu, lalu_”

Raya berhenti bicara karena Damian menutup bibirnya.

***

Paginya adalah hari Minggu. Raya dan Damian duduk bersantai di depan rumah, sambil menikmati nasi liwet yang dibeli Damian, saat Raya bersih-bersih rumah.

“Sudah lama aku tidak makan nasi liwet.”

“Enak kan?”

“Enak lah, aku lapar, tahu,” sergah Raya sambil membuang daun bekas nasi liwet kedalam keranjang sampah.

“Dam, aku mau ke rumah Hanna.”

“Apa? Kenapa?”

“Bagaimanapun Hanna adalah temanku. Aku ingin tahu, apakah dia baik-baik saja, setelah kamu meninggalkannya sendirian.”

“Bener, kamu ingin ke sana? Atau kamu curiga sama aku, dan mengira aku bohong tentang sakitnya dia?”

“Bukan, ih .. kamu kira aku begitu jahat ya. Aku benar-benar ingin tahu keadaannya. Lagi pula biar dia tahu, bahwa yang terjadi kemarin sore, kamu menceritakan semua sama aku. Lalu aku ingin agar dia sadar bahwa dia tak akan lagi mengharapkan perhatian lebih dari kamu.”

“Kenapa kamu mengira bahwa dia masih mengharapkan perhatian lebih dari aku?”

"Kami berteman lama, aku tahu bagaimana Hanna. Tak mungkin dia melepaskan kamu begitu saja. Pasti ada niat untuk menjatuhkan hati kamu.”

Damian mengangguk. Dia merasakannya, setelah Hanna memaksa makan bersama di kantin, dan bicara tidak karuan. Yang ini sangat tidak penting, dan Damian tak ingin menceritakannya pada sang istri.

“Mau kan, sebentar lagi kita ke sana. Aku harap dia baik-baik saja.”

“Baiklah, aku mandi dulu ya.”

“Mandilah, yang wangi ya,” Raya meledeknya sambil mengikuti masuk ke dalam rumah.

Tapi tiba-tiba ponsel Raya berdering. Dari ibunya.

“Ya, Bu. Raya baru mau mandi.”

“Ibu minta, kamu datang ke rumah ibu, tapi tidak dengan suami kamu.”

“Memangnya kenapa Bu? Ini hari minggu, saatnya Raya pergi berdua sama mas Damian.”

“Sebentar saja. Ada hal penting yang kamu harus tahu.”

“Hal penting apa ya Bu?”

“Pokoknya datang saja, jangan banyak bertanya.”

Raya agak kesal, tapi tak berani membantahnya.

“Baiklah, tapi Raya ada perlu sebentar, setelahnya Raya mau ketemu ibu.”

Raya menutup ponselnya. Ia mau ke rumah Hanna terlebih dulu, baru mau ke rumah orang tuanya.

***

Damian menghentikan sepeda motornya di halaman rumah Hanna. Saat itu pintu masih tertutup, tapi mereka melihat seorang laki-laki berdiri di depan teras sambil melongok-longok.

Damian dan Raya mendekat.

“Mencari Hanna ya mas?” tanya Damian.

“Iya, sudah memencet bel dari tadi, dan mendengar jawaban dari dalam, tapi lama sekali pintunya nggak dibuka. Padahal aku hanya mengambil sisa uang aku saja.”

“Sisa uang?” begitu kepo nya Damian bertanya.

“Aku sudah mengirimkan foto itu ke rumah yang alamatnya disebutkan, baru dibayar separo, aku mau minta sisanya. Istriku sedang sakit, aku butuh uang.”

“Oh, mas tukang foto, rupanya,” sela Raya.

“Bukan, foto laki-laki berpelukan itu. Aku yang membuatnya,  dan harus aku krimkan ke keluarga Rahman. Bayarannya kurang, aku harus buru-buru.”

Karena tidak mengerti apa maksudnya, keduanya terdiam, sama-sama menunggu Hanna membukakan pintu. Keluarga Rahman itu siapa? Tapi kan banyak nama Rahman di negeri ini.

Tiba-tiba laki-laki itu menatap Damian.

“Lhoh, kok mirip Mas ya, fotonya?”

Damian dan Raya semakin tak mengerti.

***

Besok lagi ya.

 

M E L A T I 31

  M E L A T I    31 (Tien Kumalasari)   Ketika meletakkan ponselnya kembali, Daniel tertegun mengingat ucapannya. Tadi dia menyebut Nurin? J...